Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM ENDOKRIN, REPRODUKSI DAN SIRKULASI


(DEF4274)
SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK A4


ANGGOTA:

Ramendra Dirgantara Putra (NIM. 155070507111023)


Rifky Afrizal Fajar Kurniawan (NIM. 155070500111011)
Saffana Qolby Mayana (NIM. 155070500111017)
Savira Septiarini (NIM. 155070501111017)
Shafira (NIM. 155070507111021)
Sofyah Putri Ramadhani (NIM. 155070501111027)
Tiara Ayu Lestari (NIM. 155070500111003)
Vinta Fajar Ridho Illahi (NIM. 155070500111025)
Wardah Az Zahrah (NIM. 145070507111003)
Yuniati Elisabeth (NIM. 155070501111035)
Intan Rachma Agustia (NIM. 135070507111013)
“PCOS (Polycystic Ovary Syndrome)”

1. DEFINISI
Polycystic Ovari Syndrome (PCOS) adalah serangkaian gejala yang
dialami wanita pada usia reproduktif yang dihubungkan dengan
hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yg berhubungan dengan kelainan
endokrin dan metabolik pada wanita, tanpa adanya penyakit primer pada
kelenjar hipofise/adrenal yang mendasari (Dorland, 2002). Anovulasi kronik
terjadi akibat kelainan sekresi gonadotropin sebagai akibat dari kelainan sentral
dimana terjadi peningkatan frekuensi GnRH sehingga menyebabkan terjadi
peningkatan kadar LH serum dan peningkatan rasio LH/ FSH serta androgen.
Hiperandrogenisme ditandai dengan hirsutisme, timbulnya jerawat (akne),
alopesia akibat androgen dan naiknya konsentrasi serum androgen khususnya
testosteron dan androstenedion. Sedngkan kelainan metabolik berhubungan
dengan timbulnya keadaan hiperandrogenisme dan anovulasi kronik. (Crum dkk,
2007).
Penyebab PCOS sampai sekarang masih belum diketahui. Namun,
sindrom ini dikaitkan dengan kelainan biokimiawi berupa hiperandrogenisme,
kadar LH yang tinggi dan kadar FSH yang rendah. Obesitas merupakan salah
satu faktor predisposisi PCOS. Obesitas identik dengan resistensi insulin yang
akan mengakibatkan hiperinsulinemia (Fauci dkk, 2008). PCOS menyerang
perempuan usia produktif. Ovarium biasanya berukuran dua kali dibandingkan
normal, tampak putih abu-abu dengan korteks luar licin dan dipenuhi oleh kista-
kista subkorteks bergaris tengah 0,5 hingga 1,5 cm. Terdapat 12 atau lebih
folikel, dan volume ovarium meningkat lebih 10 ml. Secara histologis, terjadi
penebalan tunika fibrosa yang terkadang disebut sebagai fibroma stroma korteks,
di bawahnya terletak kista yang dilapisi oleh sel granulosa dengan hipertrofi dan
hiperplasia teka interna yang mengalami luteinisasi. Korpus luteum tidak
ditemukan. ( Fortner dan Lipari, 2007)
Adanya kelainan hormon akan menimbulkan gejala dan tanda. Gejala
tersebut adalah amnorea atau oligomenorea, hirsutisme, obesitas, nyeri pelvis,
jerawat (Gardner dan Shoback, 2007). Sedangkan, tanda yang tampak adalah
hiperinsulinemia, hiperestrenisme, hiperandrogenemia, peningkatan kadar
testosteron, dehidroepiandrosteron sulfat, rasio LH/FSH, dan penurunan SHBG
(sex hormone binding protein) di hepar, peningkatan kolesterol dan glukosa
darah (Gardner dan Shoback, 2007 ; Fauci dkk, 2008).

Gambar 1. Pengukuran diameter tiga dimensi dari ovarium untuk menghitung


volume (Dikutip dari Speca S)

2. EPIDEMIOLOGI
Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab
ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi,
keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur (ovarium). Sindrom ovarium
polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya
proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin
(seperti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka
panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi
peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi
insulin), kadar lipid dalam darah abnormal (dislipidemia), penyakit
kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas. Sindrom ovarium
polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan
angka kejadiannya sekitar 5-10%.
Kelainan atau sindrom ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan
kelompok gejala. Gambaran klinis yang dijumpai pada umumnya berupa
amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oligomenorea (haid yang sedikit),
infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut berlebihan),
adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium. Sindrom ovarium
polikistik ini cukup erat kaitannya dengan peristiwa tidak terjadinya proses
ovulasi (anovulasi); setiap kondisi atau keadaan yang dapat menyebabkan
terjadinya anovulasi kronis akan menyebabkan terjadinya sindrom ovarium
polikistik. Pada tahun 1989, Franks dalam penelitiannya melaporkan dari 300
wanita SOPK 52% amenore, 28% oligomenore, 64% hirsutisme, 35%
mengalami obesitas, 27% dengan acne, 3% alopecia, kurang dari 1% dengan
tanda-tanda akantosis nigrikan, dan 42% mengalami infertilitas.
Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita usia
reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum banyak diketahui. Sindrom ovarium
polikistik pertama sekali ditemukan oleh Stein dan Leventhal pada sekitar tahun 1935.
Resistensi insulin diyakini sebagai principal underlying etiologic factor. Hal ini juga
dibuktikan dengan tingginya angka kejadian resistensi insulin pada penderita SOPK.
Resistensi insulin akan menimbulkan keadaan hiperinsulinemia sebagai reaksi
kompensasi insensitivitas insulin. Tingginya kadar insulin akan merangsang produksi
androgen ovarium dengan berbagai mekanisme. Hiperinsulinemia akan menghambat
sekresi hepar dalam menghasilkan Insulin like Growth Factor Binding Protein-I
(IGFBP-I) dan meningkatkan Insulin like Growth Factor-I (IGF-I). Kelebihan insulin
akan diikat oleh IGF-I yang bekerja pada sel teka untuk meningkatkan kadar LH. Insulin
juga akan mengaktifasi jalur fosforilasi serin yang bisa meningkatkan aktivitas P450c17
pada ovarium dan adrenal yang akan menstimulasi sintesis androgen.
Insulin juga menekan kadar Sex Hormone Binding Globulin (SHBG)
sehingga kadar androgen bebas meningkat. Tingginya kadar androgen akan
mengganggu sistem aromatase di dalam sel granulosa sehingga memicu
terjadinya atresia folikel lebih dini. Teori ini dibuktikan dengan penelitian yang
dilakukan di RS. Cipto Mangunkusumo dengan hasil 75% penderita SOPK
mengalami resistensi insulin.7 Hal ini sejalan dengan penelitian Rusnasari di
RSIA Anugerah Semarang pada tahun 2005 yang menyimpulkan bahwa 82,9%
pasien SOPK mengalami resistensi insulin.
Resistensi insulin dapat diukur dengan berbagai metode. Berdasarkan
American Diabetes Association, teknik klem euglikemik merupakan baku
emas/gold standar pengukuran sensitivitas jaringan terhadap insulin. Teknik ini
tidak praktis digunakan untuk klinis sehari-hari,9 sehingga digunakan metode
yang lebih sederhana dan mempunyai korelasi tinggi dengan klem euglikemik
dalam menilai sensitivitas insulin., yaitu HOMA-IR (Homeostasis Model
Assesment – Insulin Resistance).
Prevalensi PCOS seperi yang didefiniskan oleh NIH/NICHD,
menunjukkan bahwa PCOS umunya mempengaruhi endocrinopathy pada 4-8%
wanita usia reproduktif dan merupakan penyebab paling sering terhadap
ketidaksuburan pada wanita diantara berbagai ras dan etnik. Gejala dari PCOS
mungkin mulai pada masa remaja dengan siklus menstruasi yang tidak teratur,
atau pada wanita yang tidak tahu telah terkena PCOS sampai di kemudian hari
ketika gejala muncul dan/atau infertilitas telah terjadi.Baru-baru ini, beberapa
kelompok telah menunjukkan prevelensi PCOS yang bervariasi tergantung pada
diagnostik yang digunakan seperti pada tabel di bawah ini (Sirmans, 2013).

3. ETIOLOGI
PCOS sampai saat ini masih belum diketahui. Akan tetapi adanya
peningkatan fakta yang melibatkan faktor genetik. Sindroma ini di kelompokan
dalam keluarga, dan rata-rata prevalensi nya dalam first-degree relative adalah 5
sampai 6 kali lebih tinggi dari pada populasi secara umum. Walaupun
kebanyakan kasus ditransmisikan secara genetik, akan tetapi faktor lingkungan
juga dapat terlibat karena PCOS juga dapat didapatkan dengan adanya eksposur
terhadap androgen yang berlebihan pada saat tertentu dalam masa fertil. Pada
masa ini terdapat peningkatan penemuan tentang hipotesa etiologi yaitu adanya
eksposur terhadap androgen yang berlebihan pada fetus wanita didalam
kandungan dapat menyebabkan PCOS. Walaupun sumber dari kelebihan
androgen in utero tidak diketahui, percobaan pada hewan percobaan menunjukan
bahwa eksposur pada fetus terhadap kelebihan androgen menunjukan
manifestasi PCOS pada fetus betina (Gardner dan Shoback, 2007).
Crum dkk, 2007 mengajukan hipotesa klasik yang di dasarkan atas dua
konsep besar yaitu hiperandrogenism dan resistensi terhadap insulin. Hormon
androgen ini mengalami aromatisasi di jaringan perifer menjadi estrogen,
menyebabkan ketidakseimbangan sekresi luteinizing hormone (LH) dan follicle
stimulating hormone (FSH) pada tingkat pituitary yang menyebabkan
hipersekresi endogenous LH. LH ini sangat kuat menstimulasi produksi
androgen didalam ovarium. Insulin seperti juga LH menstimulasi langsung
biosintesis hormon steroid di ovarium, terutama androgen ovarium. Lebih lanjut,
insulin menyebabkan menurunnya produksi sex hormone binding globulin
(SHBG) di dalam hati, yang menyebabkan meningkatnya kadar androgen bebas.
Dengan demikian kedua jalur diatas akan menstimulasi theca sel dari ovarium
sehingga terjadi peningkatan produksi androgen dari ovarium yang
menyebabkan terganggunya folliculogenesis, kelainan siklus haid dan
oligo/anovulation kronik.

Tabel 1. Prevalensi polycystic ovary syndrome (PCOS) dengan kriteria diagnostik


yang berbeda

Studi ini secara konsisten melaporkan bahwa perkiraan pravelensi


menggunakan kriteria Rotterdam dua sampai tiga kali lebih besar daripada yang
diperoleh dengan menggunakan kriteria NIH/NICHD.Riwayat keluarga yang
menderita PCOS merupakan faktor risiko untuk PCOS.Peningkatan prevalensi
PCOS berhubungan dengan sejumlah kondisi. Riwayat berat badan sering
menyebabkan terjadinya PCOS, sehingga perlu gaya hidup yang sehat dan telah
terbukti dapat mengurangi berat badan, lemak perut, mengurangi testosteron,
meningkatkan resistensi insulin dan menurunkan hirsutisme pada wanita dengan
PCOS. Wanita obesitas memiliki prevalensi PCOS sebesar 28,3%. Namun ada
sebuah penelitian, prevalensi PCOS tidak berbedan secara signifikan
berdasarkan kelas obesitas (Sirmans, 2013).
Tingkat prevalensi PCOS untuk underweight sebesar 8,2%, berat badan
normal sebesar 9,8%, overweight sebesar 9,9,%, agak gemuk sebesar 5,2%,
cukup obesitas sebesar 12,4% dan sangat gemuk sebesar 11,5%. Diagnosis
PCOS ditegakkan atas dasar hiperandrogenisme dan disfungsi ovulasi dengan
menyingkirkan penyebab spesifik lain. Pemeriksaan sonografi saja tidak
mempunyai nilai diagnostik.Selain ditandai dengan hiperandrogenisme dan
anovulasi kronis, PCOS juga disertai oleh perubahan metabolik berupa
gangguan toleransi glukosa, hiperinsulinemia dan resistensi insulin (Sirmans,
2013).

4. PATOFISIOLOGI
Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) adalah kumpulan tanda dan gejala
yang terdiri dari oligo/anvulasi hiperandrogen dan polistik ovarium. Sindrom ini
merupakan penyebab gangguan sistem reproduksi wanita yang terbanyak
(Insler, 1993). patofisiologinya berawal dari adanya gangguan sistem endokrin.
1. Peningkatan faktor pertumbuhan atau inadekuatnya produksi protein
pengikat faktor pertumbuhan akan menyebabkan meningkatnya faktor
pertumbuhan yang tidak terikat sehingga akan meningkatkan respon
ovarium terhadap Hormone LH dan FSH yang menyebabkan perkembangan
folikel ovarium akan berlebih yang menyebabkan banyaknya folikel yang
bersifat kistik dan produksi androgen juga meningkat (Insler, 1993).
2. Produksi androgen yang berlebih oleh ovarium, kelenjar adrenal atau
keduanya, akan menyebabkan aromatisasi androgen menjadi estrogen juga
meningkat yang akan mengganggu pulsasi Gonadotropin Releasing
Hormone(GnRH) sehingga pulsasi yang dihasilkan akan meningkatkan
kadar LH menjadi tinggi yang menyebabkan produksi androgen meningkat
(Insler, 1993).
3. Obesitas akan menyebabkan hiperinsulin yang kronis atau resistensi insulin.
Hiperinsulin akan menstimulasi sel teka ovarium secara berlebihan untuk
memproduksi androgen yang akan menghambat produksi Sex Hormone
Binding Globulin (SHBG) sehingga androgen bebas akan meningkat. Di
perifer, androgen akan diaromatisasi menjadi estrogen sehingga dengan
estrogen yang tinggi dapat menyebabkan kelainan pulsasi LH. Selain itu,
pada obesitas juga terdapat gangguan dalam penurunan pengendalian sinyal
rasa lapar akibatnya asupan glukosa akan meningkat yag menyebabkan
hiperinsulin yang akan menstimulasi sekresi steroid adrenal sehingga terjadi
hiperandrogen (Kasim, 2007).
4. Hiperinsulin akan menyebabkan sensitivitas sel teka terhadap insulin
meningkat sehingga sel teka terstimulasi berlebihan mengakibatkan
terjadinya fosforilasi serine dari komponen 17,20-lyase yang terdapat pada
sitokrom 9P450c17 alfa di sel teka yang memicu sintesis androgen di
kelenjar adrenal dan ovarium ( Jacobs, 1999).
5. Infertilitas pada PCOS disebabkan oleh adanya hambatan ovulasi dan
hipersekresi LH. Ovulasi terhambat karena hiperinsulin dan hiperandrogen.
Berat/ringannya infertilitas yang terjadi tergantung dengan berat/ringannya
PCOS ( Jacobs, 1999).
6. Hiperandrogen, anovulasi dan polikistik pada ovarium dapat disebabkan
oleh faktor genetik yang terkait kromosom X dominan. Tapi pada kasus lain
juga dapat terkait dengan kromosom autosom dominan. Jika seorang wanita
yang memiliki ibu atau saudara perempuan yang menderita PCOS, maka
sebesar 50% wanita tersebut juga akan menderita PCOS (Speroff, 2005).
7. Karena PCOS terkait dengan resistensi insulin pada diabetes tipe 2, maka
kelainan genetik yang menyebabkan diabetes tipe 2 juga dapat menjadi
penyebab PCOS, yaitu kelainan gen pada reseptor insulin di kromosom 19
(Abbott, 2005).

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Konsensus dan panduan terapi terkait PCOS menekankan pentingnya
terapi non farmakologi modifikasi gaya hidup (untuk menurunkan berat badan)
pada wanita PCOS yang kelebihan berat badan atau obesitas karena banyaknya
bukti yang menunjukkan bahwa penurunan berat badan dapat memperbaiki
gangguan menstruasi, sensitivitas insulin, serta kadar androgen. Selain itu,
obesitas berhubungan dengan rendahnya tingkat keberhasilan terapi infertilitas
dan risiko kehamilan yang lebih berat dibandingkan kelompok non obesitas
(Tang T, 2012).
1. Konsumsi air putih secukupnya
2. Konsumsi makanan yang bergizi
3. Menghindari Stress
4. Hindari konsumsi alkohol
5. Disarankan untuk tidak mengkonsumsi makanan yang memicu karsinoma,
seperti makanan yang mengandung bahan pengawet dan makanan yang
dibakar
6. Istirahat yang cukup
7. Menurunkan berat badan, karena dapat :
- Memperbaiki sensitivitas insulin
- Meningkatkan “sex hormone binding globulin” (SHBG) dan
menururunkan kadar testosteron bebas
- Mengembalikan siklus haid normal (bisa sampai 80%)
- Memperbaiki ovulasi (bisa sampai 50%) dengan penurunan badan 5%

6. TERAPI FARMAKOLOGI
a. Kontrasepsi oral
Kontrasepsi oral digunakan untuk menurunkan produksi steroid
ovarium dan produksi androgen adrenal, meningkatkan sex hormon-binding
globulin (SHBG), menormalkan rasio gonadotropin dan menurunkan
konsentrasi total testosteron dan androstenedione didalam sirkulasi.
Mengembalikan seleksi haid yang normal, sehingga dapat mencegah
terjadinya hiperplasia endometrium dan kanker endometrium.
Medroxyprogesteron asetat dapat dijadikan sebagai terapi untuk
menghilangkan gejala hirsutisme. Dosis yang digunakan adalah 150 mg
intramuskular setiap 6 minggu selama 3 bulan atau 20 – 40 mg perhari.

b. Antiandrogen
Antiandrogen memiliki fungsi untuk menurunkan produksi testosteron
atau untuk mengurangi kerja dari testosteron. Beberapa antiandrogen yang
tersedia adalah:
- Cyproteron acetat yang bersifat kompetitif-inhibisi terhadap testosteron
dan dyhidrotestosteron pada reseptor androgen. Dosis 100 mg perhari
pada hari 5 – 15 siklus haid.
- Flutamide bersifat menekan biosintesa testosteron. Dosis yang
digunakan 250 mg 3 kali pemberian perhari selama 3 bulan.
- Finasteride yang merupakan inhibitor spesifik enzym 5α reduktase
digunakan dengan dosis 5 mg/hari.

c. GnRh analog
GnRh agonis fungsinya memperbaiki denyut sekresi LH sehingga
luteinisasi prematur dari folikel dapat dicegah dan dapat memperbaiki rasio
FSH/LH.
Bekerja secara langsung pada ovarium untuk mengembangkan dan
mematangkan folikel serta merangsang ovulasi. Cara kerja FSH dan LH
sama dengan hMg, yaitu mematangkan folikel sehingga memulai terjadinya
ovulasi; sedangkan hCG bekerja memicu terjadinya ovulasi dengan
meningkatkan sekresi LH secara cepat dalam jumlah besar pada pertengahan
siklus menstruasi. Oleh karena itu, hCG baru digunakan pada saat folikel
sudah matang. Dengan demikian, hCG diberikan setelah pemberian obat-
obat yang mematangkan folikel seperti hMg, FSH, atau klomifen.
Gonadotropin digunakan untuk gangguan ovulasi Kelompok 2 WHO yang
tidak berhasil diatasi dengan klomifen sitrat atau tamoksifen. Gonadotropin
adalah terapi induksi ovulasi yang diberikan melalui rute injeksi (Hendarto,
2008).

d. Metformin
Metformin dapat digunakan untuk menekan aktifitas cytochrom P450c-
17α ovarium, yang akan menurunkan kadar androgen, LH dan
hiperinsulinemia. Diberikan dengan dosis 500 mg 3 kali pemberian perhari
selama 30 hari.
Selama lebih dari satu dekade terakhir, kondisi hiperinsulinemia
sebagai kompensasi dari resistensi insulin mempunyai peran penting dalam
patogenesis PCOS. Resistensi insulin dialami oleh sekitar 22-100% wanita
PCOS, baik yang kurus maupun yang kelebihan berat badan dan obesitas.
Minimum 50% wanita PCOS menderita obesitas, dan wanita PCOS yang
obesitas lebih resisten terhadap insulin dibandingkan mereka yang obesitas
namun tidak mempunyai kondisi PCOS. Obesitas sendiri berhubungan
dengan meningkatnya gangguan menstruasi dan infertilitas. Sementara
penelitian lain membuktikan bahwa penurunan berat badan memperbaiki
gangguan siklus menstruasi dan meningkatkan kemungkinan ovulasi
(Irawati, 2012).
Wanita PCOS dan resisten terhadap insulin mempunyai kadar androgen
(testosteron) yang lebih tinggi daripada wanita PCOS tanpa kondisi
resistensi insulin. Di samping itu, wanita PCOS dengan kondisi resisten
insulin juga mempunyai kemampuan ovulasi yang lebih rendah dan lebih
berisiko tidak respon terhadap klomifen sitrat daripada wanita PCOS yang
tidak mengalami resistensi insulin (Irawati, 2012).
Metformin adalah salah satu obat antidiabetes yang termasuk dalam
kelompok biguanid. Salah satu mekanisme kerja metformin yang
berhubungan dengan penggunaannya dalam terapi infertilitas pada wanita
adalah karena metformin dapat meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap
insulin, sehingga berpotensi mengurangi resistensi insulin dan
hiperinsulinemia (Irawati, 2012).
Suatu kajian sistematis menunjukkan bahwa metformin tampaknya
lebih baik dibandingkan dengan plasebo atau non terapi dalam memperbaiki
jumlah ovulasi pada semua wanita PCOS, baik yang non obesitas
(IMT<30kg/m2) maupun obesitas (IMT 30kg/m2) [16 RCT, n=1208; OR
1,81,95%CI 1,13-2,93]. Akan tetapi, pada analisis berdasarkan IMT, tidak
ada perbedaan antara metformin dan plasebo atau non terapi dalam hal
jumlah ovulasi pada wanita PCOS dengan IMT<30kg/m2(5 RCT, n=441;
OR 2,94, 95%CI 0,81-10,61) maupun dengan IMT 30kg/m2 (11 RCT,
n=767; OR 1,50, 95%CI 0,95-2,37). Dalam hal peningkatan jumlah
kehamilan, metformin juga terlihat lebih baik daripada plasebo atau non
terapi pada semua wanita PCOS (8 RCT, n=707; OR 2,31, 95%CI 1,52-
3,51). Namun, bila dianalisis berdasarkan IMT, manfaat metformin terbatas
pada wanitaPCOS dengan IMT<30kg/m2 (4 RCT, n=413; OR 2,35, 95%CI
1,44-3,82).
Meskipun demikian, tidak ada perbedaan antara metformin
dibandingkan plasebo atau tanpa terapi dalam hal jumlah kelahiran hidup dan
jumlah kehamilan gugur (misscariage). Dibandingkan dengan plasebo atau
nonterapi, penggunaan metformin berisiko meningkatkan reaksi
gastrointestinal, yaitu mual muntah (3 RCT, n=73; OR 3,91, 95%CI 0,98-
15,64) dan reaksi gastrointestinal selain mual muntah (5 RCT, n=318; OR
4,27, 95%CI 2,4-7,59)(Irawati, 2012).

e. Clomiphene Citrat
Clomiphene Citrat (CC)adalah terapi pilihan untuk induksi ovulasi dan
mengembalikan fungsi fertilisasi. Pada keadaan hiperandrogen pada wanita
yang anovulasi, clomiphen citrat dilaporkan meningkatkan frekwensi siklus
ovulasi sampai 80% dengan rata-rata terjadi kehamilan sekitar 67%. Dosis
diberikan 50 mg satu kali pemberian perhari dengan dosis maksimal perhari
dapat ditingkatkan menjadi 200 mg.
Klomifen sitrat bekerja dengan cara menduduki reseptor estrogen di
hipotalamus dan pituitari anterior sehingga meningkatkan sekresi hormon-
hormon gonadotropin, yaitu follicle stimulating hormone (FSH) dan
luteinizing hormone (LH). FSH dan LH bekerja pada ovarium untuk
pengembangan dan pematangan folikel yang mengandung sel telur, serta
untuk menginduksi ovulasi. (Branigan, 1999).
Dosis klomifen yang digunakan untuk menginduksi ovulasi adalah
50mg sekali sehari selama 5 hari, bisa dimulai dalam 5 hari sejak hari
pertama menstruasi, dapat dipilih pada hari ke-2,3, 4, atau 5. Bila siklus
menstruasi tidak teratur, biasanya diberikan progestin untuk menginduksi
menstruasi. Waktu yang tepat untuk berhubungan seksual sangat penting
dalam mendukung keberhasilan terapi klomifen. Hari pertama menstruasi
disebut hari pertama siklus. Ovulasi biasanya terjadi 5-10 hari setelah satu
siklus pengobatan klomifen, atau antara hari ke-14 dan hari ke-19 siklus
menstruasi. Pasangan dianjurkan melakukan hubungan seksual teratur mulai
dari hari ke-10 siklus menstruasi. Bila ovulasi tidak terjadi, siklus
pengobatan klomifen dapat diulang menggunakan dosis 100mg sekali sehari
selama 5 hari; pengulangan ini dilakukan minimum 30 hari setelah siklus
pengobatan sebelumnya. Bila ovulasi terjadi, tetapi kehamilan tidak terjadi,
tidak ada manfaatnya meningkatkan dosis klomifen pada siklus pengobatan
berikutnya (Branigan, 1999).
Tiga siklus pengobatan seharusnya sudah cukup untuk memberikan
hasil yang diharapkan karena sebagian besar pasien seharusnya responsif
terhadap satu siklus pengobatan klomifen. Bila setelah 3 siklus pengobatan
klomifen terjadi ovulasi, namun tidak terjadi kehamilan, maka
penggunaanklomifen tidak direkomendasikan untuk dilanjutkan.
Penggunaan klomifen sebanyak 12 siklus atau lebih berhubungan dengan
meningkatnya risiko kanker ovarium (RR 11,1; 95%CI 1,5-82,3).
Reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) terkait penggunaan
klomifen antara lain: kehamilan majemuk (>1 anak per hamil), membesarnya
ovarium, hot flashes, sakit kepala, rasa nyeri abdomen dan kembung, mual
muntah, perubahan mood, dan nyeri di payudara. ROTD terkait penggunaan
tamoksifen antara lain: hot flashes, perdarahan vagina, menstruasi tidak
teratur, gangguan saluran cerna, lightheadedness, sakit kepala, dan
perubahan endometrium, termasuk hiperplasia, polip, kanker, dan sarkoma
rahim.
7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI

“ PCOS “
PROFIL PASIEN
Inisial Pasien : Ny. D
Umur/ BB/TB : 30 tahun/54 kg/145cm
Kontrol 1 : 5 Agustus 2008
Riwayat Sosial : Umum
Keluhan Utama :Telat haid 1 bulan lebih (HPHT 6 juni ) kemudian perdarahan
Menarkhe : 12 thn,
Riwayat Mens : 17/5, 17/6, 5/8 menstruasi tidak teratur, ±1 bulan 7 hari,merasa
sakit sebelum dan selama haid, jerawat +, jumlah darah banyak
menggumpal
Diagnosis Akhir :PCOS 30/7 +IPA+SA ATZ
Tindakan Medis :Dilakukan TVS untuk evaluasi jumlah folikel, Tes patensi Tuba
a.l : SIS, HSG, Laparoskopi
Riwayat Penyakit : HT (-) DM (-) Jtg&Asma (-), TD rendah (+), Keputihan (-),
Keguguran (-), KB (-), tante pernah mengidap tumor rahim
Riwayat Pengobatan : -
Riwayat Allergi : -
Data klinik : Tekanan darah 120/80, nadi 80x, RR 18 dan afebris

PROFIL PENGOBATAN

 Pada tgl 5/8/08


 Transamin 3x1 tablet  mencegah penderahan
 Asam Mefenamat 3x1 tablet  nyeri haid
 Clomifen Citrat 50mgx1 Hari 3-Hari 6 selama 6 siklus  pengobatan pertama PCOS
 KIE pasien dan suami, coitus terjadwal

PERTANYAAN

1. Berikan analisa dan penjelasan tentang pengobatan yang dilakukan !


2. Bagaimanakah rekomendasi cara dan dosis terapi yang anda sarankan untuk
penggunaan CC ?
3. Apakah efek samping yang dapat muncul dari penggunaan CC ?
4. Apabila terapi tidak menyebabkan pasien mengalami ovulasi, apakah yang akan anda
sarankan ? Berikan contoh jurnal terkait !
5. Bagaimanakah monitoring yang dapat dilakukan untuk pasien tersebut?
8. PEMBAHASAN KASUS
8.1. SUBJEKTIF
Inisial pasien : Ny. D
Umur/BB/TB : 30 tahun/54 kg/145 cm (Overweight (BMI=25,7))
Keluhan utama : Telat haid 1 bulan lebih (HPHT 6 Juni) kemudian perdarahan
Menarkhe : 12 tahun
Riwayat mens : 17/5, 17/6, 5/8 menstruasi tidak teratur, ± 1 bulan 7 hari,merasa sakit
sebelum dan selama haid, berjerawat, jumlah darah banyak menggumpal
Riwayat penyakit :
 Hipertensi (-)
 Diabetes mellitus (-)
 Jantung & Asma (-)
 TD rendah (-)
 Keputihan (-)
 Keguguran (-)
 KB (-)
 Tante pernah mengidap tumor Rahim
Riwayat pengobatan: -
Riwayat alergi: -
Profil pengobatan: pada tanggal 5-8-08
 Transamin 3 x 1 tablet
 Asam mefenamat 3 x 1 tablet
 Clomifen citrate 50 mg sehari, pada hari ke-3 dan hari ke-9 selama 6 siklus
KIE pasien dan suami, agar “coitus” terjadwal

8.2. OBJEKTIF
Data klinik:
 Tekanan darah = 120/80 (normal)
 Nadi = 80 x/menit (normal)
 RR = 18 x/menit (normal)
 afebris = suhu tubuh tidak demam (normal)
 Tindakan medis: dilakukan TVS (Trans Vaginal Scan) untuk evaluasi
jumlah Folikel, Tes patensi tuba a.I: SIS (Saline Infusion
Sonohysterography), HSG (Histerosalphinography), Laparoskopi
Riwayat Penyakit : HT (-) DM (-) Jtg&Asma (-), TD rendah (+), Keputihan (-),
Keguguran (-), KB (-), tante pernah mengidap tumor rahim
 Riwayat Pengobatan dan alergi : -
8.3. ASSESSMENT
No. Nama Obat/Alat Indikasi Cara Penggunaan Efek Samping
1 Transamin (Asam Mengurangi kondisi Dosis 1300 mg diminum 3 kali Efek samping utama meliputi sakit
Traneksamat) perdarahan yang dialami sehari selama 5 hari saat timbul kepala dan nyeri perut
pasien dengan menghambat perdarahan
aktivasi plasminogen yang
kemudian berefek pada
menurunnya konsentrasi
fibrinolisin sehingga
meningkatkan konsentrasi
fibrin yang dapat menutup
luka pada daerah perdarahan
2 Asam Mefenamat Mengurangi rasa nyeri pada Dosis awal 500 mg 1 kali sehari, Efek samping utama meliputi
pasien akibat haid dan kemudian dilanjutkan dengan dosis peningkatan nilai LFT (Liver
perdarahan dengan 250 mg tiap 6 jam saat timbul nyeri Function Test) dan nyeri perut
menghambat enzim COX 2 (dismenorhea)
yang menghasilkan
Prostaglandin
3 Clomiphene Citrate Meningkatkan peluang proses Dosis awal 50 mg diminum 1 kali Efek samping utama meliputi
ovulasi dan kehamilan pada sehari mulai dari hari kelima kehamilan majemuk akibat
pasien PCOS melalui efeknya setelah menstruasi dan dikonsumsi pematangan banyak sel ovum
yang mirip terhadap estrogen, selama 5 hari secara teratur. secara bersamaan, meningkatkan
yaitu meningkatkan sekresi Apabila tidak terjadi ovulasi, maka resiko terjadinya kanker ovarium
FSH yang dapat menstimulasi dosis ditingkatkan menjadi 100 mg apabila digunakan dalam jangka
pematangan ovum dengan cara penggunaan yang waktu panjang, serta bersifat
sama. Penggunaan dihentikan teratogenic
apabila setelah 3 siklus berturut-
turut tidak timbul ovulasi dan
kehamilan.
4 Ovulation Predictor Mengamati tanda-tanda Alat dicelupkan pada urin yang Dapat menimbulkan hasil false
Kits (OPK) terjadinya ovulasi melalui ditampung pada waktu antara pukul positive apabila digunakan pada
deteksi peningkatan kadar LH 10.00 – 20.00. Pasien disarankan pasien yang mengonsumsi obat-
yang memicu ovulasi (LH untuk tidak banyak mengonsumsi obatan yang mengandung hCG
surge) pada urin, sehingga air agar peningkatan konsentrasi (Human Chorionic Gonadotropin),
pasien dapat merencanakan LH pada urin dapat dideteksi LH, serta Clomiphene Citrate. Pada
kehamilan dengan lebih baik dengan mudah. pasien PCOS, tes dilakukan setelah
penghentian konsumsi Clomiphene
Citrate.
8.4. PLAN

Perlakuan apabila terapi tidak menyebabkan pasien mengalami ovulasi


Apabila pasien telah diterapi dengan clomiphene citrate tetapi setelah
pemberian pada 3 siklus menstruasi tidak terjadi ovulasi atau tidak terjadi
menstruasi maka dilihat dari respon ovulasi ovarium pasien. Selain itu, dosis
dapat ditingkatkan menjadi 100 mg sekali sehari (Dipiro, et.al, 2008).
Langkah selanjutnya dengan menggunakan terapi alternatif antara lain
(The Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine,
2006) :
1. Menggunakan kombinasi antara CC dengan metformin sebagai insulin
sensitizing agents. Berdasarkan hasil studi membuktikan bahwa metformin
menjadi terapi tunggal pada wanita infertil PCOS yang tidak mengalami
ovulasi dengan dosis 1,000 mg/ hari-2,000 mg/hari dalam dosis terbagi.
Digunakan dengan dosis 500 mg 3dd1 etiap hari selama 30 hari sebelum
penggunaan CC. Metformin ini sendiri berfungsi untuk menginduksi
penggunaan CC nantinya.
2. Menggunakan kombinasi clomifen sitrate dengan hCG
3. Kombinasi clomifen citrate dengan glukokortikoid. Pada beberapa wanita
PCOS yang resisten terhadap CC dapat dikombinasi dengan glukokortikoid
(deksametason 0,5 mg atau prednison 5 mg). Terapi dapat dilanjutkan (3-6
silkus) ketika dapat berhasil dan dihentikan bila tidak berhasil.
4. Kombinasi clomifen citrate dengan eksogen gonadotropin. Terapi
gonadotropin yang digunakan seperti menotropin (hMG) atau dimurnikan
atau rekombinan FSH. Regimen terapi standart CC (50-100 mg/hari pada hari
ke 5-9 siklus) diikuti dengan dosis rendah hMG atau FSH (75 IU/hari pada
hari 9-12 siklus).
5. Selain itu dapat pula digunakan tamoxifen yang telah terbukti pada beberapa
studi klinis dapat menginduksi ovulaasi pada pasien PCOS, hal ini terjadi
karena tamoxifen memiliki stukture yang mirip dengan clomifen citrate
sehingga mekanisme aksinya dalam menginduksi ovulasi juga sama.
Beberapa studi baru-baru ini juga menunjukkan bahwa letrozole (obat
golongan aromatase inhibitor) dapat berpotensi sebagai agen penginduksi
ovulasi. Berbeda dengan clomifen citrate dan tamoxifen yang bekerja pada
aksi central, letrozole bekerja secara perifer dengan menghambat produksi
folikular E2 pada ovarium, sehingga menurunkan estrogen yang
menyebabkan penurunan sekresi pituitari gonadotropin.

Monitoring yang dilakukan terhadap pasien


Monitoring efikasi pengobatan dan efek samping yang muncul atau
berpotensi untuk muncul seperti kehamilan ganda dan penipisan dinding
endometrium serta lender pada serviks. Selain itu dilakukan monitoring siklus
haid yang terjadi pada pasien, parahnya pendarahan akibat haid, kepatuhan
pasien, berkurangnya penggumpalan darah saat menstruasi untuk mengetahui
efetivitas transamin, gaya hidup dan diet untuk mencapai berat badan ideal, serta
monitoring efek samping pengobatan yang dilakukan. Selain itu monitoring
efikasi clomifen citrate setelah pemberian pada 3 siklus menstruasi apabila terjadi
menstruasi atau tidak dengan dilihat respon ovulasi ovarium pasien. Apabila pada
saat monitoring tidak terjadi ovulasi, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi
100mg sekali sehari (Dipiro, 2008; Medscape).
Selanjutnya dapat dibantu dengan pemeriksaan midcycle LH dalam urin
yang dapat menunjukkan interval puncak kesuburan (fertilitas) dan durasi pada
fase luteal. Pemeriksaan ini dilakukan pada saat antara 5 sampai 12 hari setelah
pemberian clomifen citrate (biasanya pada hari ke 16 atau 17 apabila clomifen
citrate diberikan pada hari ke 5-9 saat menstruasi). Pasien juga disarankan untuk
mencek gula darah puasa jika menggunakan kombinasi CC dengan metformin
dan melakukan tes USG 5 hari setelah pemberian dosis.
Metode untuk mendeteksi ovulasi yang dapat digunakan untuk time IUI
termasuk ovulasi prediktor kit, USG, dan pengukuran serum estradiol, LH, dan /
atauprogesteron (Nielsen et al, 2001).
 Ovulation Predictor Kits

Rangakaian perlatan predictor kits


Ovulasi prediktor kit mengidentifikasi lonjakan LH pertengahan siklus,
yang berkorelasid engan interval puncak kesuburan. Lonjakan ini biasanya
diamati antara 5 dan 12 hari setelah pengobatan selesai, paling sering pada siklus
hari 16 atau 17, ketika clomiphene citrate diberikan pada hari 5-9 (Nielsen et al,
2001).

 USG
Ketika gelombang suara yang melewati perut bagian bawah dan kandung
kemih untuk mengamati ovarium (disebut USG perut) atau melalui vagina (USG
vagina), indung telur menunjukkan massa elips kecil di setiap sisi panggul. Untuk
menentukan apakah ovulasi terjadi, tes dijadwalkan setiap hari dari hari ke-10
setelah hari pertama menstruasi sampai ovulasi terdeteksi. Terjadi ovulasi apabila
terdapat suatu bulatan berisi cairan bulat kecil (disebut kista), secara bertahap
akan tumbuh sampai sekitar ukuran kuku ibu jari (18 mm) yang kemungkinan
akan melepaskan telur. Setelah melihat folikel dominan tumbuh, satuhari itu akan
hilang yang dinyatakan oleh USG bahwa wanita berovulasi (Gore et al, 1997).

 Tes Kadar Progesteron


Tes darah untuk progesterone harus diperoleh sekitar hari ke 21 dari
siklus (atau tiga minggu setelah hari pertama menstruasi) untuk wanita dengan
siklus teratur, sekitar 28 hari (4 minggu) siklus. Seringkali tiga tes darah diambil
setiap hari selama pertengahan fase luteal. Tiga kadar dijumlahkan harus sama
setidaknya 65 nmol/L (atau 21 ng/ml). Jika hanya satu tes darah diambil, kadar
harus lebih dari 18 nmol/L (normal 18-90 nmol/L). Tingkat progesteron yang
ideal di tengah fase luteal adalah 45 nmol/L atau lebih tinggi (O’Connor et al,
2006).
DAFTAR PUSTAKA

Abbott, DH., Barnett, DK., Bruns, CM., Dumesic, DA. 2005. Androgen Excess
Fetal Programming of Female Reproduction: A Developmental Aetiology for
Polycystic Ovary Syndrome. Human Reproduction 11(4): 57-74.
Baziad,Ali.Sindrom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analog GnRH. CDK-196,
2012, 39(8), 573-575.
Branigan, EF., Estes MA. 1999. Treatment of Chronic Anovulation Resistant to
Clomiphene Citrate (CC) by Using Oral Contraceptive Ovarian Suppression
Followed by Repeat CC Treatment.Journal of Fertility and Sterility.
American Society. USA. Vol 71 No. 3 pp: 544-546.
Crum, CP dkk. 2007. Sistem Genitalia Perempuan dan Payudara. Dalam : Buku
Ajar Patologi Robbins Edisi 7 Volume 2. Editor : Kumar, V., Cotran, RS.,
Robbins, SL. Alih Bahasa : Brahm UP. Editor Edisi Indonesia : Huriawati
hartanto dkk. Jakarta : EGC. hlm 777
Dorland, WA. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Alih Bahasa : Huriawati
Hartanto dkk. Editor Edisi Indonesia : Huriawati Hartanto dkk. Jakarta : EGC.
hlm 2146
Fauci, AS dkk (Ed.). 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition.
McGraw-Hill Companies
Fortner, KB dan Lipari, CW. 2007. Hyperandrogenism. Dalam : Johns Hopkins
Manual of Gynecology and Obstetrics 3rd Edition. Editor : Fortner, KB dkk.
Lippincott Williams & Wilkins. hlm 430-433
Gore MA, Nayudu PL, Vlaisavljevic V. Attaining dominance in vivo:
distinguishing dominant from challenger follicles in humans. Hum.Reprod,
1997; 12 (12): 2741-7.
Hendarto, Hendy. 2008. Penggunaan Klomifen Sitrat, Aromatase Inhibitor dan
Gonadotropin Sebagai Induksi Ovulasi.Surabaya: Universitas Airlangga.
Insler, V.,Lunenfeld, B.1993.Polycystic Ovarian Disease in: Infertility: Male and
Female Second Edition. Newyork:Churchill Livingstone; 661-75.
Irawati, S. 2012. Terapi Farmakologi Infertilitas Pada
Wanita.http://repository.ubaya.ac.id/21355/1/Rasional%20Vol%2010%20N
o%202%20acc.pdf. Diakses pada 08Maret 2017
Jacobs, HS.1999.Polycystic Ovary Syndrome in: Atlas of Clinical Gynecology
Volume III Reproductive Endocrinology.Philadelphia:Appleton Lange
Current Medicine, Inc;5.2-5.15.
Kasim-Karakas, SE., Cunningham,WM.,Tsodikov, A.2007.Relation ot Nutrients
and Hormones in Polycystic Ovary Syndrome. Am J Clin Nutr 85: 688-94.
Nielsen MS, Barton SD, Hatasaka HH, Stanford JB. Comparison of several one-
step home urinary luteinizing hormone detection test kits to OvuQuick. Fertil
Steril, 2001; 76: 384–7.
O'Connor KA, Brindle E, Miller RC, Shofer JB, Ferrell RJ, Klein NA et al.
Ovulation detection methods for urinary hormones: precision, daily and
intermittent sampling and a combined hierarchical method. Hum.Reprod,
2006; 21(6): 1442-52.
Speroff, L.,Fritz, MA. 2005. Clinical Gynecologic Andocrinology and Infertility
Seventh Edition Book 1.Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 470-
91.
Sirmans, M.S. & Pate K.A.. 2013. Epidemiology, Diagnosis, and Management of
Polycystic Ovary Syndrome, Clinical Epidemiology, 6: 1-13.
Tang T, Lord JM, Norman RJ, Yasmin E, Balen AH. Insulin-sensitising drugs
(metformin, rosiglitazone, pioglitazone, Dchiro-inositol) for women with
polycystic ovary syndrome, oligo amenorrhoea and subfertility. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2012, Issue 5. Art. No.: CD003053. DOI:
10.1002/14651858.CD003053.pub5
The Practice Committee of the American Society for Reproductive Medicine. 2006.
Use Clomiphen Citrate in Women. Fertility and Sterility. Vol 86 (4): 187-
193.
Wahyuni,M., Eva D., Putri S.L., Hubungan Resistensi Insulin dengan Gambaran
Klinis Sindrom Ovarium Polikistik.Jurnal Kesehatan Andala, 2015, 4(3),
908-909.

Anda mungkin juga menyukai