Anda di halaman 1dari 23

1

BAB I

PENDAHULUAN

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) atau sindrom polikistik ovarium

merupakan kelainan endokrinopati yang paling banyak terjadi pada perempuan

usia reproduktif dengan prevalensi hingga 12% di seluruh dunia.1 Penyebab

sindrom polikistik ovarium belum diketahui dengan pasti, namun beberapa

gangguan hormonal diketahui berperan dalam terjadinya PCOS, seperti

hiperandrogenemia, resistensi insulin, dan hiperinsulinemia. Polikistik ovarium

sendiri yaitu keadaan dimana ovarium memiliki folikel berdiameter kurang dari

10 mm dengan jumlah 12 atau lebih. Adanya PCOS dalam jangka panjang dapat

menimbulkan berbagai komplikasi seperti infertilitas, diabetes melitus tipe 2,

penyakit kardiovaskular dan sindrom metabolik.2

Berbagai kriteria diagnosis diajukan untuk membantu dalam mendiagnosis

PCOS, yakni kriteria National Institutes of Health (NIH) tahun 1990, kriteria

Rotterdam tahun 2003, dan kriteria Androgen Excess and Polycystic Ovary

Syndrome (AE-PCOS) Society tahun 2006. Kriteria diagnosis PCOS secara umum

terdiri dari adanya hiperandrogenisme, oligo-anovulasi dan morfologi polikistik

ovarium.2

Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi dan pemeriksaan laboratorium

diperlukan dalam membantu menegakkan diagnosis PCOS. Pemeriksaan

laboratorium juga berperan dalam menyingkirkan kemungkinan penyakit lain

yang memiliki gejala yang serupa dengan PCOS.1 Pemeriksaan laboratorium yang
2

diperlukan yaitu pemeriksaan kadar thyroid-stimulating hormone (TSH),

prolaktin, testosteron, dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS), androstenedion,

17α-hidroksiprogesteron, luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone

(FSH), tes toleransi glukosa oral, glukosa puasa, insulin puasa, profil lipid

(kolesterol total, HDL, LDL), anti-Müllerian hormone (AMH), antinuclear

antibodies (ANA), dan anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA).

Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai: definisi, gejala klinis,

epidemiologi, etiologi, patogenesis, dan pemeriksaan laboratorium pada PCOS.


3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sindrom Polikistik Ovarium

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) atau sindrom polikistik ovarium

pertama kali dikemukakan oleh Irving Stein (1887-1976) dan Michael Leventhal

(1901-1971) pada tahun 1935 sebagai sindrom yang terdiri dari oligomenore,

hirsutisme, obesitas dan infertilitas yang berhubungan dengan pembesaran

ovarium yang tampak saat laparatomi.3 Sindrom polikistik ovarium juga dikenal

sebagai sindrom Stein-Leventhal. Berdasarkan konsensus endokrin di Belanda

tahun 2003, sindrom polikistik ovarium adalah kelainan endokrin yang ditandai

oleh disfungsi ovarium (anovulasi atau oligo-ovulasi), hiperandrogenisme, dan

kista ovarium yang multipel.1

Polikistik ovarium merupakan suatu kondisi dimana ovarium memiliki folikel

multipel (lebih dari 12 folikel) dan berukuran kecil (diameter kurang dari 10 mm),

yang mengelilingi stroma ovarium.4 Gambar 2.1. menunjukkan polikistik ovarium

dengan penebalan kapsul dan beberapa kista.5


4

Gambar 2.1. Polikistik ovarium


Dikutip dari: Rojas J, et al.5

2.2. Gejala Klinis

Pada perempuan dengan PCOS keluhan yang ditimbulkan diantaranya

iregularitas menstruasi, infertilitas, manifestasi hiperandrogenisme atau disfungsi

endokrin. Gejala klinis tampak jelas beberapa tahun setelah pubertas. Gejala klinis

PCOS yaitu timbulnya akne, hirsutisme, obesitas, iregularitas menstruasi

(oligomenore atau amenore), dan infertilitas.1

Pada tahun 1990 National Institutes of Health (NIH) merumuskan kriteria

diagnosis PCOS, yaitu:1

(1) oligo-ovulasi dan

(2) hiperandrogensime dan/atau hiperandrogenemia.

Pada tahun 2003 konsensus antara the European Society of Human Reproduction

and Embryology (ESHRE) dan the American Society for Reproductive Medicine

(ASRM) menghasilkan suatu kriteria diagnosis sindrom polikistik ovarium yang


5

dikenal sebagai kriteria Rotterdam, yaitu jika ditemukan dua dari tiga gejala

berikut:1

(1) manifestasi dari hiperandrogenisme,

(2) disfungsi ovarium (oligo atau anovulasi), dan

(3) polikistik ovarium, setelah menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan lain

dengan gejala klinis serupa PCOS yaitu sindrom Cushing, keganasan

ovarium, keganasan adrenal atau hiperplasia adrenal kongenital.

Kriteria Rotterdam diperbaharui pada tahun 2006 oleh Androgen Excess and

Polycystic Ovary Syndrome (AE-PCOS) Society. Kriteria berdasarkan AE-PCOS

Society yaitu:6

(1) Hiperandrogenisme: hirsutisme dan/atau hiperandrogenemia, dan

(2) Disfungsi ovarium: oligo-anovulasi dan polikistik ovarium, dan

(3) Eksklusi kelainan lain yang berhubungan dengan hiperandrogenisme

Hiperandrogenisme dapat diketahui dari gejala klinis atau hasil laboratorium

(hiperandrogenemia). Hiperandrogenisme umumnya ditandai oleh hirsutisme,

akne, dan atau alopesia androgenik. Hirsutisme yaitu pertumbuhan rambut yang

kasar dan berwarna gelap yang terdistribusi dengan pola seperti pada laki-laki (di

atas bibir, dagu, dada, abdomen atas, punggung, dan lain-lain). Hirsutisme dan

peningkatan kadar hormon testosteron dan androstenedion dijumpai pada 70-80%

perempuan dengan polikistik ovarium.1

Sebagian besar perempuan dengan PCOS memiliki siklus menstruasi yang

abnormal, baik oligomenore atau amenore. Disfungsi ovarium dengan ovulasi


6

ireguler serta produksi androgen yang berlebihan oleh stroma ovarium

menyebabkan gangguan siklus menstruasi.3

Polikistik ovarium diketahui dengan ultrasonografi (USG) dimana ovarium

memiliki 12 atau lebih folikel berdiameter 2–9 mm dan atau peningkatan volume

ovarium lebih dari 10 cm3 pada USG vaginal atau abdominal (gambar 2.2).

Deskripsi polikistik ovarium tidak dapat digunakan jika pasien mengkonsumsi pil

kontrasepsi oral. Waktu yang baik untuk melakukan USG pada perempuan dengan

menstruasi yang teratur yaitu hari ketiga sampai kelima siklus menstruasi.7

Gambar 2.2. Polikistik ovarium pada ultrasonografi transvaginal.


Dikutip dari: Schmidt J8

Sebanyak 35–50% perempuan dengan PCOS mengalami kelebihan berat badan

(Indeks Massa Tubuh [IMT] 25–29,9 kg/m2) dan obesitas (IMT >30 kg/m2).

Perempuan dengan PCOS yang disertai obesitas sentral memiliki faktor risiko

tujuh kali lipat mengalami infark miokard. Gejala klinis PCOS lainnya yaitu

timbulnya akne dan akantosis nigrikans. Akne terdapat pada ±30% penderita

PCOS. Akantosis nigrikans yaitu erupsi mukokutan yang terjadi pada lipatan kulit
7

seperti leher dan aksila dimana terdapat peningkatan pigmentasi dan

papilomatosis. Akantosis nigrikans berhubungan dengan resistensi insulin dan

kompensasi peningkatan sekresi insulin.7

2.3. Epidemiologi

Sindrom polikistik ovarium ditemukan pada 6-10% perempuan di seluruh

dunia menurut kriteria diagnosis NIH, dan lebih banyak menurut kriteria

Rotterdam yang lebih luas, menjadikan PCOS sebagai endokrinopati terbanyak

pada perempuan usia produktif. Beberapa faktor risiko PCOS yaitu pada

perempuan dengan hiperandrogenisme (hirsutisme, akne atau alopesia), disfungsi

menstrual, PCO, hiperinsulinemia, dan riwayat PCOS pada keluarga.2

2.4. Etiologi

Etiologi spesifik dari PCOS belum diketahui dengan pasti. Etiologi PCOS

diperkirakan disebabkan oleh interaksi berbagai faktor seperti resistensi insulin,

faktor genetik, faktor lingkungan dan gangguan hormonal (hiperandrogenemia

dan hiperinsulinemia).9

2.5. Patogenesis

2.5.1. Resistensi Insulin-Hiperinsulinemia-Hiperandrogenemia

Etiopatogenesis yang tepat untuk PCOS masih belum diketahui dengan jelas,

namun kombinasi faktor lingkungan dan genetik nampaknya menyebabkan

perkembangan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah suatu kondisi metabolik


8

dimana terdapat penurunan kemampuan sel untuk merespon sinyal dari insulin.

Resistensi insulin di kemudian hari akan menimbulkan kompensasi

hiperinsulinemia, yang kemudian akan meningkatkan sintesis androgen ovarium

dengan meningkatkan frekuensi sekresi LH di hipofisis dengan merangsang

transkripsi gen gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dalam sel hipotalamus.5

Insulin juga memicu hiperandrogenemia dengan mengaktifkan langsung jalur

mitogenik pada sel ovarium dan meningkatkan transkripsi steroidogenic acute

regulatory protein (StAR) dan beberapa enzim steroidogenik. Hiperandrogenemia

adalah gangguan utama yang mendasari gambaran klinis yang khas pada PCOS.

Selain itu, peningkatan produksi androgen ovarium akan memperberat resistensi

insulin, sehingga menimbulkan siklus resistensi insulin-hiperinsulinemia-

hiperandrogenemia.5

Androgen tidak hanya mengganggu sinyal insulin secara langsung, tetapi juga

memicu lipolisis sehingga meningkatkan asam lemak bebas yang beredar, yang

kemudian memperberat resistensi insulin. Androgen juga mengurangi serat otot

tipe I yang oksidatif dan sensitif-insulin, serta meningkatkan serat otot tipe II yang

glikolitik dan kurang sensitif-insulin; yang mendukung perkembangan resistensi

insulin. Selain itu, obesitas memperkuat siklus tersebut dengan meningkatkan

sintesis androgen tidak hanya di ovarium, tetapi juga di jaringan lemak subkutan

dan kelenjar adrenal.5

Pada penderita PCOS dengan obesitas, kadar leptin yang meningkat diketahui

berperan dalam patogenesis terjadinya hiperandrogenisme PCOS. Leptin adalah

peptide yang dihasilkan oleh gen obesitas (ob) di jaringan lemak. Leptin bekerja
9

di hipotalamus untuk menekan nafsu makan dan meningkatkan metabolisme. Pada

obesitas selain terjadi peningkatan ekspresi gen ob pada jaringan lemak subkutan,

juga terdapat gangguan transportasi leptin melewati sawar darah otak yang

menyebabkan resistensi leptin, dan akhirnya menimbulkan hiperleptinemia.

Hiperleptinemia menyebabkan inflamasi kronis, penunrunan kolagen ovarium,

peningkatan sekresi LH dan penurunan FSH yang akhirnya meningkatkan hormon

testosteron.

Resistensi insulin dan inflamasi kronis menjadi predisposisi untuk

berkembangnya komorbiditas pada penderita PCOS, seperti diabetes melitus tipe

2 dan penyakit kardiovaskular.5 Mekanisme kompleks interaksi berbagai faktor

tampak pada gambar 2.3.

Hiperandrogenemia akan menyebabkan perubahan morfologi ovarium.

Androgen berfungsi merangsang pertumbuhan folikel primer yang dipercepat

dengan adanya hiperandrogenemia dibandingkan dengan ovarium yang normal.

Ovarium akan menghasilkan folikel preantral yang lebih banyak dan berukuran

lebih kecil dibandingkan pada ovarium normal menjadi polikistik ovarium.

Pertumbuhan folikel tertahan pada ukuran 2-9 mm dan memerlukan FSH untuk

pematangannya. Pada PCOS terdapat penurunan kadar FSH karena peningkatan

beberapa faktor inhibitor FSH endogen (seperti folistatin, epidermal growth

factor, dll). Kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang menyebabkan morfologi

ovarium berkarakteristik polikistik.1


10

Diet karbohidrat Aromatase jaringan  Androgen Leptin


dan lipid lemak subkutan/ viscera adrenal

Faktor lingkungan Obesitas Gen


dan gaya hidup

Resistensi Insulin
 TIMF
 ALB  TIIMF

Hiperinsulinemia Inflamasi kronik Hiperandrogenemia

ovarium

Hipofisis:  LH

Liver:  SHBG +  IGFBP-1 →  testosterone bebas +  IGF-1 bebas

Hipertensi arterial – dislipidemia – diabetes melitus tipe 2 – sindrom metabolik –


penyakit kardiovaskular

Kista ovarium – gangguan menstruasi - hirsutisme

Gambar 2.3. Interaksi antara resistensi insulin, hiperinsulinemia, dan


hiperandrogenemia pada etiopatogenesis PCOS.
Dikutip dari: Rojas J, et al.5
Keterangan: ALB: Asam lemak bebas
LH: Luteinizing hormone
TIMF: Type I muscle fibers
TIIMF: Type II muscle fibers
SHBG: Sex hormone binding globulin
IGFBP-1: Insulin-like growth factor binding protein-1
IGF-1: Insulin-like growth factor-1
11

Gangguan folikulogenesis yang terjadi menyebabkan peningkatan

pembentukan folikel preantral dan antral yang kecil sehingga terjadi pula

peningkatan kadar anti-Müllerian hormone (AMH). Anti-Müllerian hormone

(AMH) merupakan hormon yang disekresikan dari sel granulosa pada

perkembangan folikel preantral dan antral fase awal hingga diameter folikel

mencapai 6 mm, dan kadarnya menurun sejalan dengan perkembangan folikel.

Peningkatan AMH dapat menjadi penanda potensial adanya morfologi polikistik

ovarium dan PCOS.10

Peningkatan insulin dan LH, akan meningkatkan produksi androgen dari sel

teka ovarium, akibatnya ovarium akan melepaskan testosteron dan

androstenedion. Peningkatan androgen juga menyebabkan peningkatan estrogen

perifer melalui konversi androgen oleh aromatase menjadi estrogen. 1

Anovulasi pada perempuan dengan PCOS disebabkan dari sekresi

gonadotropin yang tidak sesuai. Perubahan sekresi GnRH menyebabkan

ketidakseimbangan produksi LH dibandingan FSH. Penyebab perubahan tersebut

belum diketahui, apakah akibat disfungsi hipotalamus sebagai penyebab primer

PCOS atau sekunder akibat umpan balik steroid.1

2.5.2. Proses Autoimun

Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan PCOS dengan proses

autoimun. Peneliti menggambarkan kista pada ooforitis autoimun berhubungan

dengan antibodi antiovarian pada perempuan dengan PCOS. Penelitian lain

menyebutkan peningkatan kadar androgen pada penderita PCOS nampaknya


12

memberikan dampak protektif terhadap perkembangan penyakit autoimun, namun

beberapa mekanisme yang terkait efek estrogen pada sistem imun berlawanan

dengan hal tersebut.11

Estrogen meningkatkan sekresi IL-4 oleh limfosit Th2, IL-1 oleh monosit, IL-6

oleh limfosit T dan interferon-γ oleh sel Th1. Pada siklus ovulasi normal, fase

folikular ditandai oleh peningkatan IL-6, dimana kadarnya akan menurun pada

fase luteal. Efek stimulasi estrogen pada sistem imun dapat dihambat oleh

progesteron. Pasien PCOS memiliki kadar progesteron yang rendah karen

oligo/anovulasi sehingga sistem imun dapat terstimulasi berlebihan menimbulkan

produksi autoantibodi.11

2.6. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada PCOS diperlukan untuk mendukung diagnosis

dan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya kelainan lain dengan gejala klinis

serupa PCOS seperti sindrom Cushing, keganasan ovarium, keganasan adrenal

atau hiperplasia adrenal congenital, namun belum ada pemeriksaan laboratorium

yang sensitif dan spesifik untuk PCOS. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

diantaranya: thyroid-stimulating hormone (TSH), prolaktin, testosteron,

dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS), androstenedion, 17α-

hidroksiprogesteron, luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone

(FSH), tes toleransi glukosa oral, glukosa puasa, insulin puasa, profil lipid

(kolesterol, HDL, LDL), anti-Müllerian hormone (AMH), antinuclear antibodies

(ANA), dan anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA).12


13

2.6.1. Thyroid-Stimulating Hormone (TSH)

Pemeriksaan TSH dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya

kelainan tiroid. Pada kelainan tiroid dimana kadar TSH meningkat, sering

dijumpai disfungsi menstruasi yang serupa dengan penderita PCOS.1

Pemeriksaan TSH menggunakan metode immunochemiluminometric dengan

spesimen serum atau plasma. Spesimen yang digunakan bebas dari hemolisis dan

lipemia, stabil selama 5 hari dengan penyimpanan pada suhu 2-8°C dan selama 1

bulan jika dibekukan. Konsentrasi TSH dipengaruhi oleh irama sirkadian dimana

kadar puncak tercapai pada malam hari antara pukul 02.00-04.00, dan kadar

terendah pada sore hari antara pukul 17.00-18.00. Nilai normal TSH pada dewasa

usia 21-54 tahun 0,3-4,5 mIU/L dan pada usia 55-87 tahun 0,5-8,9 mIU/L.13

2.6.2. Prolaktin

Hiperprolaktinemia ringan dapat ditemukan pada 5-30% penderita PCOS.

Hiperprolaktinemia umumnya bersifat sementara, dan dapat ditemukan menetap

pada 3-7% penderita PCOS.14 Hiperprolaktinemia juga diketahui sebagai

penyebab iregularitas menstruasi, amenore, dan anovulasi. 1

Pemeriksaan prolaktin menggunakan spesimen serum dengan stabilitas 24 jam

pada suhu 4°C dan 1-2 hari jika dibekukan. Pemeriksaan prolaktin dilakukan

dengan metode imunometrik. Sampel darah harus diambil dalam 3-4 jam setelah

pasien bangun tidur karena kadar prolaktin meningkat selama tidur dan mencapai

puncak pada dini hari. Kadar prolaktin dipengaruhi oleh stress, kegiatan fisik, dan

konsumsi protein, sehingga pengambilan spesimen dilakukan setelah puasa


14

sepanjang malam saat pasien istirahat. Nilai normal prolaktin pada wanita dewasa

yaitu 3,2-20 μg/L.15

2.6.3. Testosteron

Testosteron yang beredar dalam sirkulasi darah terdiri dari tiga bentuk yang

berbeda: bentuk bebas, terikat lemah (dengan albumin), dan terikat kuat (dengan

sex hormone binding globulin). Kadar testosteron yang dapat diperiksa yaitu

testesteron total (seluruh bentuk testosteron di dalam darah) dan testosteron

bebas.16

Pemeriksaan testosteron total dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis

banding neoplasma androgen-secreting seperti tumor ovarium dan tumor adrenal.

Peningkatan kadar testosteron bebas ditemukan pada 70-80% perempuan dengan

PCOS. Pemeriksaan testosteron bebas lebih sensitif sebagai indikator

hiperandrogenisme dan bermanfaat dalam pemantauan terapi. Namun, karena

standar pemeriksaan testesteron bebas tidak seragam antar laboratorium, maka

pemeriksaan testosteron total masih menjadi pilihan utama. 1

Pemeriksaan testosteron total atau bebas dilakukan dengan metode

immunoassay, baik yang menggunakan label enzim, zat fluoresen, ataupun

chemiluminescence yang sudah terautomasi. Spesimen yang digunakan berupa

serum atau plasma heparin yang stabil selama 3 hari pada suhu 4-8°C dan selama

1 tahun pada suhu -20°C. Testosteron memiliki variasi diurnal, dimana kadar

puncak tercapai pada pukul 04.00-08.00, sehingga sebaiknya menggunakan


15

spesimen yang diambil pada pagi hari. Nilai normal testosteron pada wanita

dewasa yaitu 0,06–0,82 ng/mL.16

2.6.4. Dehydroepiandrosterone Sulfate (DHEAS)

Dehydroepiandrosterone Sulfate (DHEAS) dihasilkan di kelenjar adrenal,

sehingga peningkatan kadar DHEAS ≥800 μg/dL (21,7 μmol/L) menandakan

adanya neoplasma adrenal.1 Pada penderita PCOS terjadi sedikit peningkatan

kadar DHEAS, sehingga DHEAS dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya

neoplasma adrenal.12

Pemeriksaan DHEAS yang telah tersedia menggunakan metode

radioimmunoassay (RIA), immunofluorescence dan immunochemiluminescence.

Spesimen yang digunakan yaitu serum atau plasma EDTA yang stabil selama 14

hari pada suhu 4-8°C dan selama >1 tahun pada suhu -20°C.16

2.6.5. Androstenedion

Hormon androstenedion dihasilkan di kelenjar adrenal dan gonad yang

berperan pada tahapan pembentukan hormon testosteron dan estrogen.

Pengukuran androstenedion serum menjadi penanda biosintesis androgen.

Hormon androstenedion meningkat pada PCOS, hiperplasia adrenal, tumor

adrenal, dan tumor ovarium. Nilai normal hormon androstenedion 600–3.400

ng/ml. Pemeriksaan hormon androstenedion menggunakan metode ELISA

kompetitif dimana hormon androstenedion dalam serum berkompetisi dengan

hormon androstenedion berlabel dalam reagen.12


16

2.6.6. 17α-Hidroksiprogesteron (17-OHP)

Hormon 17α-hidroksiprogesteron merupakan prekursor hormon yang akan

dikonversi menjadi kortisol. Kadar 17-OHP yang dilakukan saat pagi hari dan

puasa <200 ng/dL (<6 nmol/L) pada fase folikular bermanfaat untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya hiperplasia adrenal sekunder akibat

defisiensi 21-hidroksilase yang dapat ditemukan pada 1 dari 8 kasus hirsutisme. 12

Penelitian lebih lanjut mengungkapkan kadar 17-OHP ≥200 ng/dL sesaat

setelah stimulasi dengan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan ≥1.000 ng/dL

30 menit setelah stimulasi mendukung diagnosis PCOS. Pemeriksaan 17-OHP

dipengaruhi oleh kontrasepsi oral dan glukokortikoid.14

2.6.7. Hormon Gonadotropin (LH dan FSH)

Pemeriksaan LH dan FSH tidak rutin dilakukan pada pasien tersangka PCOS.

Kadar LH dapat ditemukan meningkat minimal dua kali lipat nilai normal dan

lebih tinggi dari FSH, namun tidak ditemukan pada semua penderita PCOS.

Sepertiga penderita PCOS memiliki kadar LH dalam batas normal. Ratio LH/FSH

≥2,0 dapat mengindikasikan adanya PCOS (ditemukan pada ±60% penderita

PCOS), namun tidak sensitif dan spesifik. Kadar LH serum dipengaruhi oleh

siklus menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral, dan indeks massa tubuh.1

Pemeriksaan LH dan FSH menggunakan metode sandwich

immunochemiluminescence dengan spesimen serum atau plasma (EDTA atau

heparin).15
17

2.6.8. Pemeriksaan Resistensi Insulin

Banyak penderita PCOS mengalami resistensi insulin dan hiperinsulinemia

terkompensasi. Walaupun konsensus Rotterdam pada tahun 2003 mengatakan

pemeriksaan resistensi insulin tidak diperlukan dalam mendiagnosis atau terapi

PCOS, namun pemeriksaan ini sering diperlukan dalam evaluasi metabolisme

glukosa dan gangguan sekresi insulin pada PCOS. Baku emas pemeriksaan

resistensi insulin yaitu hyperinsulinemic euglycemic clamp. Namun karena

pemeriksaan tersebut sulit, mahal, dan invasif, parameter yang digunakan untuk

evaluasi resistensi insulin yaitu kadar glukosa puasa, kadar serum insulin puasa,

HDL, trigliserida dan rasio glukosa/insulin puasa.1

Kriteria laboratorium untuk resistensi insulin pada perempuan yaitu: rasio

glukosa/insulin puasa <4,5; trigliserida ≥150 mg/dL, HDL <50 mg/dL, glukosa

puasa ≥110 mg/dL.14 Rasio glukosa/insulin puasa <4,5 berhubungan secara

signifikan dengan resistensi insulin dan telah diteliti untuk digunakan sebagai

pemeriksaan skrining pada pasien obesitas dengan PCOS. Rasio glukosa/insulin

puasa terhadap kejadian PCOS memiliki nilai prediksi positif 87% dan nilai

prediksi negatif 97%, namun tidak berlaku pada perempuan non-obesitas.

2.6.9. Profil Lipid

Komplikasi dari PCOS jangka panjang diantaranya yaitu hipertensi, penyakit

kardiovaskular, dan sindrom metabolik. Pemeriksaan profil lipid (kolesterol total,

HDL, LDL, dan trigliserida) diperlukan dalam perencanaan dan pemantauan


18

modifikasi gaya hidup untuk mengurangi obesitas dan risiko timbulnya

komplikasi.12

2.6.10. Pemeriksaan Autoimun

Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi autoimun, seperti ANA dan anti-

dsDNA, telah diteliti memiliki hubungan dengan PCOS. Korelasi bermakna

ditemukan antara kadar ANA pada pasien PCOS yang berhubungan dengan

tiroiditis autoimun.17

Pemeriksaan ANA yang digunakan pada banyak penelitian yaitu qualitative

immunometric enzyme immunoassay yang mendeteksi ANA terhadap SS-A/Ro,

SS-B/La, RNP 70, Sm, RNP/Sm, Scl-70, Centromere B, dan Jo-1. Antigen-

antigen dilekatkan pada sumur untuk mengikat antibodi yang terdapat dalam

serum. Hasil positif jika kadar ANA ≥10 IU/ml.17

Pemeriksaan anti-dsDNA dilakukan secara kuantitatif dengan metode enzyme

linked immunosorbent assay (ELISA) dimana jika terdapat antibodi terhadap ds-

SNA dalam serum akan diikat oleh antigen pada sumur. Hasil positif jika kadar

anti-dsDNA ≥75 IU/ml, dan borderline 30-74 IU/ml.17

2.6.11. Anti-Müllerian hormone (AMH)

Pemeriksaan AMH menggunakan metode ELISA kompetitif, dimana AMH

dalam serum akan berkompetisi dengan AMH yang berlabel pada reagen untuk

berikatan dengan antibodi spesifik AMH yang dilekatkan pada sumur. Nilai cut-
19

off AMH untuk mendiagnosis PCOS 3,94 ng/mL memiliki spesifisitas 89,8% dan

sensitivitas 80%.10
20

BAB III

RINGKASAN

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) atau sindrom polikistik ovarium

merupakan kelainan endokrinopati yang paling banyak terjadi pada perempuan

usia produktif. Berbagai faktor terutama resistensi insulin menjadi penyebab

timbulnya PCOS. Beberapa kriteria diagnosis digunakan untuk membantu

menegakkan diagnosis PCOS. Gejala klinis PCOS timbul akibat

hiperandrogenemia, resistensi insulin, dan disfungsi ovarium, seperti hirsutisme,

obesitas, amenore, akne, dan lain-lain.

Pemeriksaan laboratorium pada PCOS bermanfaat selain dalam membantu

menegakkan diagnosis juga dalam menyingkirkan kemungkinan penyakit lain

dengan gejala serupa PCOS. Dari berbagai pemeriksaan yang disarankan, yang

dapat membantu menegakkan diagnosis PCOS yaitu thyroid-stimulating hormone

(TSH), prolaktin, testosteron, dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS),

androstenedion, 17α-hidroksiprogesteron, luteinizing hormone (LH), follicle

stimulating hormone (FSH), tes toleransi glukosa oral, glukosa puasa, insulin

puasa, profil lipid (kolesterol, HDL, LDL), anti-Müllerian hormone (AMH),

antinuclear antibodies (ANA), dan anti-double-stranded DNA (anti-dsDNA).


21

SUMMARY

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) is the most common endocrinopathy

among women of reproductive age. Various factors, especially insulin resistance

proposed to be the cause of PCOS. Some of the diagnostic criteria used to help

diagnosis of PCOS. Clinical symptoms of PCOS arised as a result from

hiperandrogenemia, insulin resistance, and ovarian dysfunction, such as

hirsutism, obesity, amenorrhea, acne, and others.

Laboratory evaluation used to help diagnosis of PCOS and for exclude the

other diseases with similar symptoms with PCOS. Examinations that can help to

diagnosis of PCOS are thyroid-stimulating hormone (TSH), prolactin,

testosterone, dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS), androstenedione, 17α-

hydroxyprogesterone, luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone

(FSH), oral glucose tolerance test, fasting glucose:insulin ratio, lipid profile, anti-

Müllerian hormone (AMH), antinuclear antibodies (ANA), and anti-double-

stranded DNA (anti-dsDNA).


22

DAFTAR PUSTAKA

1. Wilson EE. Polycystic Ovarian Syndrome and Hyperandrogenism:


Introduction. Dalam: Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL,
Bradshaw KD, Cunningham FG, editor. Williams Gynecology. The
McGraw-Hill Companies, Inc.; 2008.

2. Goodarzi MO, Dumesic DA, Chazenbalk G, Azziz R. Polycystic ovary


syndrome: etiology, pathogenesis and diagnosis. Nat Rev Endocrinol.
2011;7:219-31.

3. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Obstetrics and Gynaecology. China:


Churchill Livingstone;2003. hlm. 114-115.

4. Wolf J, Barnes CL, Aubuchon M. Polycystic Ovarian Syndrome: A


Diagnosis of Exclusion. Dalam: Pal L, editor. Polycystic Ovary Syndrome:
Current and Emerging Concepts. New York: Springer; 2014. hlm. 11-23.

5. Rojas J, Chavez M, Olivar L, Rojas M, Morillo J, Mejias J, dkk. Polycystic


Ovary Syndrome, Insulin Resistance, and Obesity: Navigating the
Pathophysiologic Labyrinth. Int J Reprod Med. 2014:1-18.

6. Azziz R, Carmina E, Dewailly D, Diamanti-Kandarakis E, Escobar-Morreale


HF, Futterweit W, dkk. The Androgen Excess and PCOS Society criteria for
the polycystic ovary syndrome: the complete task force report. Fertil Steril.
2009 Feb;91(2):456-88.

7. Hart R, Hickey M, Franks S. Definitions, prevalence and symptoms of


polycystic ovaries and polycystic ovary syndrome. Clin Ob Gyn J.
2004;18:671-83.

8. Schmidt J. Polycystic ovary syndrome. Goteborg: University of Gothenburg;


2011.

9. Norman RJ, Dewailly D, Legro RS, Hickey TE. Polycystic ovary syndrome.
Lancet. 2007 Aug 25;370(9588):685-97.

10. Sahmay S, Atakul N, Aydogan B, Aydin Y, Imamoglu M, Seyisoglu H.


Elevated serum levels of anti-Mullerian hormone can be introduced as a new
diagnostic marker for polycystic ovary syndrome. Acta Obs Gyn J.
2013;92:1369-74.

11. Petrikova J, Lazurova I, Yehuda S. Polycystic ovary syndrome and


autoimmunity. Eur J Int Med. 2010;21:369-71.
23

12. Richardson MR. Current Perspectives in Polycystic Ovary Syndrome. Am


Fam Physician. 2003;68(August 15, 2003):697=703.

13. Demers LM, Spencer C. TheThyroid: Pathophysiology and Thyroid


Function Testing. Dalam: Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE, editor. Tietz
Texbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostics. Edisi ke-4. St.
Louis: Elsevier Saunders; 2006. hlm. 2065-8.

14. Sheehan MT. Polycystic Ovarian Syndrome: Diagnosis and Management.


Clin Med Res. 2004;2:13-27.

15. Demers LM, Vance ML. Pituitary Function. Dalam: Burtis CA, Ashwood
ER, Bruns DE, editor. Tietz Texbook of Clinical Chemistry and Molecular
Diagnostics. Edisi ke-4. St. Louis: Elsevier Saunders; 2006. hlm. 1978-81.

16. Haymond S, Gronowski AM. Reproductive Related Disorders. Dalam:


Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE, editor. Tietz Texbook of Clinical
Chemistry and Molecular Diagnostics. Edisi ke-4. St. Louis: Elsevier
Saunders; 2006. hlm. 2127-39.

17. Hefler-Frischmuth K, Walch K, Huebl W, Baumuehlner K, Tempfer C,


Hefler L. Serologic markers of autoimmunity in women with polycystic
ovary syndrome. Am Soc Repro Med J. 2010;93:2291-4.

Anda mungkin juga menyukai