Anda di halaman 1dari 44

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... i


DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1. Struktur dan Morfologi Jamur......................................................................3
2.2. Klasifikasi Infeksi Jamur..............................................................................6
2.3. Epidemiologi Infeksi Jamur .........................................................................7
2.4. Respons Imun Terhadap Infeksi Jamur ........................................................8
2.5. Obat Antijamur...........................................................................................10
2.5.1. Klasifikasi dan Mekanisme Kerja Obat Antijamur ....................................10
2.5.2. Mekanisme Resistensi Obat Antijamur......................................................12
2.6. Pemeriksaan Mikrobiologi Pada Infeksi Jamur .........................................13
2.6.1. Preanalitik Pemeriksaan Mikrobiologi Pada Infeksi Jamur .......................15
2.6.2. Pemeriksaan Mikroskopik..........................................................................17
2.7. Kultur dan Identifikasi Jamur.....................................................................18
2.8 Uji Kepekaan Obat Antijamur ...................................................................21
2.8.1. Uji Kepekaan Ragi .....................................................................................22
2.8.1.1.Metode Broth Dilution ...............................................................................23
2.8.1.2.Metode Disk Diffusion ...............................................................................27
2.8.1.3.Uji Kepekaan Ragi Komersial ...................................................................29
2.8.2. Uji Kepekaan Untuk Kapang .....................................................................31
2.8.2.1.Metode Broth Dilution ...............................................................................32
2.8.2.2.Uji Kepekaan Kapang Komersial...............................................................36
BAB III RINGKASAN ........................................................................................37
SUMMARY ..........................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................39

i
DAFTAR TABEL

2.1. Klasifikasi berdasarkan topografi ................................................................6


2.2. Mekanisme kerja dan mekanisme resistensi obat antijamur ......................13
2.3. Lokasi, pengumpulan spesimen dan prosedur diagnostik pada infeksi
jamur ..........................................................................................................16
2.4. Daftar obat antijamur yang diujikan pada metode broth dilution ..............23
2.5. Skala pembacaan metode broth dilution ....................................................24
2.6. Interpretasi uji kepekaan metode broth dilution ........................................24
2.7. Zona inhibisi dan break points uji kepekaan ragi metode disk diffusion ...28
2.8. Daftar obat antijamur pada uji kepekaan kapang metode broth dilution ..32

DAFTAR GAMBAR

2.1. Struktur dinding sel jamur ............................................................................4


2.2. Morfologi ragi (kiri) dan hifa kapang (kanan) .............................................5
2.3. Dimorfisme pada Candida albicans .............................................................5
2.4. Respons imun terhadap infeksi jamur ..........................................................9
2.5. Mekanisme kerja obat antijamur ................................................................11
2.6. Algoritme pemeriksaan laboratorium pada infeksi jamur ..........................14
2.7. Blastokonidia dan pseudohifa Candida albicans dengan pewarnaan
Gram (kiri), Cryptococcus neoformans dengan pemeriksaan Tinta
India (tengah) dan pewarnaan Gram (kanan) .............................................18
2.8. Berbagai koloni Candida spp. pada media CHROMagar ..........................20
2.9. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan ragi metode broth macrodilution ......25
2.10. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan ragi metode broth microdilution ......26
2.11. Contoh C. albicans sensitif (kiri) dan resisten (kanan) terhadap
golongan azole............................................................................................28
2.12. Pemeriksaan Etest pada ragi .......................................................................29
2.13. Uji kepekaan pada ragi metode kolorimetri ...............................................30
2.14. Sumur broth microdilution pada Aspergillus .............................................33
2.15. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan kapang metode broth macrodilution.34
2.16. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan kapang metode broth microdilution 35

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Jamur merupakan organisme eukariot yang dapat menyebabkan infeksi

superfisial, kutaneus, subkutaneus atau sistemik/invasif. Jamur jarang

menyebabkan penyakit pada individu dengan imunokompeten. Penyakit timbul

ketika jamur menembus pertahanan host atau pada kondisi gangguan sistem imun

yang memungkinkan jamur untuk masuk dan tumbuh.1

Pemeriksaan laboratorium untuk penegakkan diagnosis infeksi jamur

diantaranya: (i) pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan

mikroskopik, kultur, identifikasi dan uji kepekaan jamur, (ii) histopatologi jamur

dari jaringan, (iii) imunoserologi dengan mendeteksi antigen dan antibodi, serta

(iv) biomolekuler dan biokimia.2,3 Selama tiga dekade terakhir, infeksi jamur

(mikosis) semakin meningkat terutama infeksi jamur invasif pada individu dengan

imunitas lemah (immunocompromised) akibat penyakit seperti infeksi human

immunodeficiency virus/acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS) atau

keganasan; atau akibat terapi seperti pemberian antibiotik spektrum luas,

kortikosteroid dosis tinggi dan lama pada transplantasi organ.4 Peningkatan

infeksi jamur hingga sekarang menjadikan Candida albicans sebagai patogen

penyebab infeksi nosokomial terbanyak ke empat.5

Peningkatan insiden infeksi jamur, terutama infeksi jamur invasif, diiringi

dengan meningkatnya penggunaan obat-obat antijamur dan kejadian resistensinya.

1
2

Saat ini telah ditemukan adanya resistensi Candida spp. dan Aspergillus spp.

terhadap golongan azole dan resistensi Cryptococcus neoformans terhadap obat

flucytosine. Kejadian tersebut menjadikan pemeriksaan uji kepekaan pada jamur

semakin mendapat perhatian dan berperan penting dalam manajemen pasien

dengan infeksi jamur invasif.6

Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai infeksi jamur: struktur

jamur, klasifikasi, mekanisme kerja dan resistensi obat antijamur, pemeriksaan

kultur, identifikasi dan uji kepekaan obat antijamur pada infeksi jamur invasif.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Jamur merupakan suatu kelompok organisme yang sangat beragam dan secara

umum dibedakan menjadi kapang (moulds atau filamentous fungi) atau

ragi/khamir (yeasts). Sebagian jamur telah dikenal sebagai patogen pada manusia,

sebagian lainnya sebagai saprofit di lingkungan. Jamur dapat menyebabkan

infeksi ringan, mencetuskan reaksi alergi seperti asma, dan menimbulkan penyakit

serius yang mengancam nyawa. Penyakit akibat jamur semakin meningkat akibat

penggunaan antibiotik, kemoterapi, radioterapi, transplantasi organ, serta

meningkatnya penyakit seperti HIV/AIDS.5

2.1. Struktur dan Morfologi Jamur

Sel jamur memiliki karakteristik tipikal eukariot yang memiliki nukleus

dengan nukleolus, dinding nukleus, kromosom linear, dan organela di dalam

sitoplasma. Jamur memiliki dinding sel luar yang rigid dengan membran

sitoplasma di bagian dalamnya. Dinding sel jamur tersusun dari polisakarida

manan, glukan dan kitin bersama protein struktural. Membran sitoplasma

mengandung ergosterol, dan mikrotubulus yang terdiri dari tubulin.7 Struktur

dinding jamur dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.

3
4

Gambar 2.1. Struktur dinding sel jamur


Dikutip dari: Kenneth J. Ryan7

Beberapa golongan obat antijamur bekerja dengan mengganggu sintesis

ergosterol. Ergosterol dibentuk dari squalene yang diubah oleh enzim squalene

epoxidase menjadi lanesterol. Lanesterol oleh enzim C14α-demetilase akan

diubah menjadi C14-demetil-lanosterol yang akhirnya akan diubah menjadi

ergosterol.7

Ukuran jamur sangat bervariasi dari sel tunggal berukuran 2-4 μm hingga yang

terlihat secara makroskopik. Jamur dapat tumbuh sebagai ragi, kapang atau

keduanya (dimorfik). Ragi merupakan sel tunggal yang bereproduksi dengan

bertunas. Hifa berbentuk tabung panjang dengan dinding tebal yang paralel. Hifa

dapat bersepta atau tanpa septa.7 Morfologi ragi dan hifa kapang dapat dilihat

pada Gambar 2.2 berikut.


5

Gambar 2.2. Morfologi ragi (kiri) dan hifa kapang (kanan)


Dikutip dari: Kenneth J. Ryan7

Jamur dimorfik adalah jamur yang dapat tumbuh menjadi bentuk ragi dan juga

kapang tergantung dari kondisi lingkungan. Sebagai ragi secara in vivo maupun in

vitro pada suhu lingkungan 35–37°C dengan sumber nutrisi melimpah, sedangkan

tumbuh sebagai kapang pada suhu 25°C dengan nutrisi minimal. Candida spp.

merupakan salah satu contoh jamur dimorfik dengan morfologi yang tampak pada

Gambar 2.3.8

Gambar 2.3. Dimorfisme pada Candida albicans


Dikutip dari: Garry TC9
Keterangan: DYC: daughter yeast cell (sel anak dari ragi)
GT: germ tube
H: hypha
Ph: pseudohypha
YMC: yeast mother cell (sel induk ragi)
6

2.2. Klasifikasi Infeksi Jamur

Dari 10.000 spesies jamur yang saat ini diketahui, hanya sebagian kecil yang

dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Infeksi jamur (mikosis) dapat

diklasifikasikan berdasarkan topografi, asal patogen, dan virulensi. Berdasarkan

topografi, infeksi jamur dibagi menjadi 4, yaitu infeksi jamur superfisial, infeksi

jamur kutaneus, infeksi jamur subkutaneus, dan infeksi jamur sistemik/invasif.

Klasifikasi infeksi jamur berdasarkan topografi dapat dilihat pada Tabel 2.1

berikut.

Tabel 2.1 Klasifikasi berdasarkan topografi


Klasifikasi Penyakit
Infeksi jamur superfisialis
Piedraia hortae Piedra hitam
Trichosporon beigelii Piedra putih
Malassezia furfur Pityriasis versicolor
Phaeoannellomyces werneckii Tinea nigra

Infeksi jamur kutaneus


Dermatofitosis (Epidermophyton, Microsporum, Tinea capitis, tinea barbae, tinea
Trichophyton) corporis, tinea cruris, dan onikomikosis

Dermatoinfeksi jamur (Candida spp.) Kandidiasis


Infeksi jamur subkutaneus
Fonsecaea pedrosoi, Fonsecaea compacta, Kromoblastomikosis
Cladosporium carionii, Phialophora verrucosa
Pseudallescheria boydii, Nocardia brasiliensis Misetoma
Sporothrix schenckii Sporotrikosis

Infeksi jamur sistemik/invasif


Patogen primer= Coccidioides immitis, Histoplasma Koksidioidomikosis, histoplasmosis,
capsulatum, Blastomyces dermatitidis, blastomikosis, parakoksidioidomikosis
Paracoccidioides brasiliensis
Patogen oportunistik= Cryptococcus neoformans, Kriptokokosis, meningitis kriptokokal,
Candida spp., Aspergillus spp., Penicillium marneffei, kandidiasis invasif, aspergilosis,
Zygomycetes, Trichosporon beigelii, Fusarium spp. zigomikosis
Disadur dari: Walsh TJ, Dixon DM10
7

Berdasarkan asal patogen, infeksi jamur dapat berasal dari eksogen (airborne,

kutaneus, atau perkutaneus) atau endogen (kolonisasi flora normal). Berdasarkan

virulensi, jamur dibagi menjadi patogen primer (dapat menimbulkan penyakit

pada individu dengan imunitas normal) atau patogen oportunistik (menimbulkan

penyakit pada individu dengan imun terganggu).1,10

2.3. Epidemiologi Infeksi Jamur

Epidemiologi infeksi jamur, terutama infeksi jamur invasif, meningkat tajam

dalam tiga dekade terakhir. Pandemik global infeksi HIV berperan besar dalam

peningkatan angka infeksi jamur oportunistik, seperti kandidiasis, kriptokokosis,

dan penisiliosis serta infeksi jamur primer histoplasmosis. Setiap tahunnya sekitar

958.000 kasus meningitis Cryptococcus terjadi, dengan angka tertinggi di sub-

Sahara Afrika 720.000 kasus per tahun, diikuti Asia Selatan dan Asia Tenggara

120.000 kasus per tahun.11

Infeksi Candida dalam darah (kandidemia) di Amerika Serikat sekitar 8-10

kasus per 100.000 penduduk dan di Eropa 2–5 kasus per 100.000 penduduk.

Dalam sepuluh tahun terakhir, Aspergillus fumigatus merupakan jamur patogen

airborne tersering (>90%) pada manusia. Aspergilosis terjadi sekitar 30% pada

pasien kanker, 10–25% pada pasien leukemia, 26% pada resipien transplantasi sel

punca, dan 1–15% pada resipien transplantasi organ.4

Infeksi jamur invasif di Indonesia juga semakin meningkat seiring peningkatan

jumlah penderita HIV/AIDS. Di Jakarta dan Bandung dilaporkan 21,9% dan 30%
8

pasien AIDS dengan gangguan sistem saraf pusat terbukti menderita meningitis

kriptokokal.12

Data prevalensi resistensi obat antijamur pada infeksi jamur invasif masih

sangat terbatas. Resistensi Candida spp. yang menyebabkan kandidemia terhadap

antijamur fluconazole mencapai 7%, resistensi terhadap echicandin 1% dan

resistensi terhadap keduanya 0,4% di Amerika Serikat pada tahun 2011.13,14 Di

Asia resistensi Cryptococcus neoformans terhadap antijamur flucytosine sebesar

3,4% dan terhadap fluconazole sebesar 2%. Di Indonesia ditemukan resistensi

Cryptococcus neoformans terhadap dua antijamur flucytosine dan fluconazole

sebesar 12,5% dari 40 isolat yang diteliti.15

2.4 Respons Imun Terhadap Infeksi Jamur

Saat jamur masuk ke jaringan respon imun alami dan adaptif akan merespon

sebagaimana pada infeksi bakteri. Imunitas alami yang berperan mulai dari kulit,

permukaan mukosa epitel, mikroba antagonis dari flora normal, hingga aktivasi

komplemen dan opsonisasi patogen serta aktivasi sel-sel fagositik seperti sel

dendritik, makrofag, monosit dan neutrofil.16

Jamur dikenali oleh sistem imun alami melalui komponen pada dinding sel

jamur (glukan) yang melekat dengan pattern recognition receptors (PRR) sel

fagositik yaitu dectin-1 dan Toll-like receptors (TLR2, TLR4). Saat PRR

berikatan dengan jamur, sinyal akan dihasilkan untuk mencetuskan fagositosis,

menghasilkan reactive oxygen species (ROS), dan membangkitkan imunitas

adaptif.16,17
9

Sel jamur yang bertahan dari sistem imun alami akan tumbuh perlahan, atau

pada jamur dimorfik akan berubah menjadi bentuk ragi atau hifa. Pertumbuhan

jamur lambat namun tidak mati oleh makrofag yang memfagosit mereka.

Neutrofil dan makrofag akan menghasilkan sitokin IL-10 dan IL-12 yang akan

mengaktifkan sel dendritik yang kemudian mengaktifkan limfosit. Limfosit Th1

akan menghasilkan tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), dan interferon gamma

(IFN-γ) yang meningkatkan aktivitas fagositosis di lokasi infeksi. Limfosit Th2

menghasilkan IL-3 dan IL-4 untuk mengaktifkan limfosit B agar menghasilkan

antibodi.16,17 Respons imun terhadap infeksi jamur digambarkan pada Gambar 2.4.

berikut ini.

Gambar 2.4. Respons imun terhadap infeksi jamur


Dikutip dari: Luigina Romani17
10

2.5. Obat Antijamur

Obat antijamur merupakan obat yang selektif membunuh jamur patogen dari

tubuh penjamu dengan toksisitas yang minimal terhadap tubuh penjamu.

Pemahaman terhadap mekanisme kerja obat-obatan antijamur merupakan

prasyarat untuk dapat memahami mekanisme resistensi jamur terhadap obat-

obatan tersebut.18

2.5.1. Klasifikasi dan Mekanisme Kerja Obat Antijamur

Antifungal saat ini dapat diklasifikasi menjadi beberapa golongan, yaitu:

allylamine, azole, polyene, echinocandins, fluoropyrimidines dan golongan

lainnya. Mekanisme kerja obat antijamur tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5

berikut.

Allylamine bekerja dengan menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan

komponen membran sel jamur pada tahap oksidasi squalene oleh squalene

oxidase menjadi lanesterol. Contoh obat golongan allylamine yaitu terbinafine

yang digunakan pada dermatofitosis dan onikomikosis. Golongan allylamine

digunakan hanya sebagai obat topikal.18,19

Golongan azole (ketoconazole, flukonazole, itraconazole, dan voriconazole)

bekerja dengan menghambat kerja enzim sitokrom p450 (C14α-demetilase)

sehingga sintesis ergosterol akan terhambat. Golongan polyene terdiri dari 4 jenis

amphotericin B yaitu amphotericin B deoxycholate, amphotericin B colloidal

dispersion, amphotericin B lipid complex, dan amphotericin B liposomal.

Amphotericin B akan berikatan dengan ergosterol pada membran sel jamur


11

menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel, kebocoran komponen

intraselular dan akhirnya kematian sel.20,21

Golongan fluoropyrimidine (antimetabolit) bekerja dengan menghambat

sintesis DNA dan RNA melalui konversi intrasitoplasmik 5-fluorocytosine

menjadi 5-fluorouracil.18 Contoh obat golongan ini yaitu flucytosine yang

digunakan bersama obat antijamur golongan lain dalam terapi meningitis

kriptokokal.19,22

Gambar 2.5. Mekanisme kerja obat antijamur


Dikutip dari: Lorena Martinez20

Golongan obat antijamur terbaru yaitu golongan echinocandins dengan

mekanisme kerja menghambat produksi β-glukan yang merupakan komponen

penting dinding sel jamur. Terhambatnya produksi β-glukan menyebabkan

dinding sel tidak stabil dan menimbulkan kebocoran komponen intraseluler (lisis

sel jamur). Yang termasuk obat golongan echinocandins yaitu capsofungin,


12

micafungin dan anidulafungin. Golongan ini memiliki efek samping paling sedikit

karena pada sel mamalia tidak mengandung glukan.20,22 Griseovulfin merupakan

obat antijamur antibiotik yang diproduksi oleh Penicillium griseofulvum.

Mekanisme kerja griseofulvin dengan menghambat mitosis pada jamur.20

2.5.2. Mekanisme Resistensi Obat Antijamur

Insiden infeksi jamur mengalami peningkatan yang cukup drastis dalam tiga

dekade terakhir dan disertai oleh peningkatan resistensi obat antijamur baik

resistensi alami/natural (terjadi sebelum pemberian obat) maupun resistensi

acquired (setelah paparan obat).22 Resistensi secara klinis, berupa kegagalan

terapi pada pasien, tidak selalu berhubungan dengan resistensi in vitro yang

diukur sebagai peningkatan minimal inhibitory concentration (MIC) dari obat

yang diuji. Interaksi yang kompleks antara host, obat, dan pathogen jamur dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti status imun host, lokasi dan derajat

infeksi, dosis dan lama terapi, serta kepatuhan pasien.6 Mekanisme resistensi obat

antijamur berdasarkan golongan obat antijamur dapat dilihat pada Tabel 2.2

berikut.

Mekanisme resistensi obat antijamur berbeda-beda antara setiap golongan dan

antara masing-masing genus jamur, namun mekanisme yang umum terjadi dan

berjalan sinergis22 yaitu:

• Modifikasi metabolisme obat oleh jamur

• Menurunkan afinitas obat terhadap target

• Mencegah masuknya obat ke dalam sel jamur


13

• Pembuangan obat oleh sel melalui peningkatan regulasi dari ekspresi

multidrug efflux pumps

Tabel 2.2. Mekanisme kerja dan mekanisme resistensi obat antijamur


Golongan Mekanisme Kerja Mekanisme Resistensi
Allylamine Menghambat squalene oxidase Tidak diketahui
Azole Mengganggu sintesis ergosterol - Modifikasi kuantitas dan kualitas
dengan menghambat fungsi enzim target enzim
sitokrom p450: C14α-demetilase - Mutasi gen ERG11 yang
yang dikode oleh gen ERG11 mengkode target enzim (C14α-
demetilase) sehingga menurunkan
afinitas azole terhadap enzim
- Meningkatkan jumlah multidrug
efflux pumps
Polyene Mengikat ergosterol - Mengurangi komposisi ergosterol
pada sel
- Menghilangkan komponen
ergosterol (mutasi pada gen ERG3
atau ERG6)
Echinocandins Mengganggu sintesis β-glukan Mengubah afinitas echinocandins
terhadap β-glukan
Fluoropyrimidine/ Menghambat sintesis asam nukleat - Penurunan uptake obat (defek pada
Antimetabolit cytosine permease)
- Defisiensi enzim yang berfungsi
dalam konversi flucytosine menjadi
cytosine deaminase
Disadur dari: Patrick Vandeputte22

2.6. Pemeriksaan Mikrobiologi Pada Infeksi Jamur

Pemeriksaan laboratorium pada infeksi jamur dapat dilakukan dengan

pemeriksaan mikrobiologi, imunologi, histopatologi serta metode molekuler dan

biokimia. Pemeriksaan mikrobiologi diantaranya pemeriksaan mikroskopik

(Gram, Giemsa, Tinta India dan KOH), kultur, identifikasi dan uji kepekaan.

Pemeriksaan imunologi dilakukan dengan mendeteksi antigen, antibodi dan

metabolit jamur. Pemeriksan histopatologi pada infeksi jamur diantaranya

pewarnaan rutin seperti hematoksilin eosin (HE); pewarnaan khusus dengan

Periocidic acid-Schiff (PAS), Gomori methenamine-silver (GMS), atau


14

Mucicarmine; imunofloresens langsung, dan hibridisasi in situ.6 Algoritme

pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada infeksi jamur dapat dilihat

pada Gambar 2.6. berikut.

Spesimen

Pemeriksaan langsung Kultur

Cairan Jaringan
22-25°C 30-37°C
serebrospinal • Pewarnaan histologi
• Tinta India (suspek jamur
• Antibodi fluoresens dimorfik)
• Antigen (organisme tertetu)
Cryptococcal
Tidak Tumbuh
Kulit, rambut,
tumbuh
kuku, dll.

KOH/KOH dengan calcofluor white Ragi Kapang

Elemen hifa Tidak ada hifa


• Ukuran
• Hyaline vs dematoaceous
• Septa vs tidak bersepta

Media khusus tambahan


Tumbuh

Ragi Kapang

Tes
Tes biokimia Mikroskopik
Germ Makroskopik
Media • Asimilasi
tube • Warna
khusus • Fermentasi
• Tekstur
Konidia Tidak • Kecepatan
• Ukuran ditemukan pertumbuhan
Cornmeal • Bentuk konidia n
• Blastokonidia Lain-lain
• Susunan
(Cryptococcus) • Birdseed Kultur slide
• Klamidospora • Caffeic acid
• Urea Hifa
(Candida) • Hyaline vs dematoaceous
• Septa vs tidak bersepta
• Rhizoids
Gambar 2.6. Algoritme pemeriksaan laboratorium pada infeksi jamur
Disadur dari: Annette W. Fothergill5
15

2.6.1. Preanalitik Pemeriksaan Mikrobiologi Pada Infeksi Jamur

Diagnosis laboratoris infeksi jamur bergantung pada pengumpulan,

penyimpanan dan pengiriman spesimen yang benar sebelum dikirim ke

laboratorium. Pemilihan jenis spesimen yang akan diperiksakan kultur dan

mikroskopik tidak hanya berdasarkan informasi yang diperoleh dari pemeriksaan

fisik dan radiologis tetapi disertai pertimbangan bahwa patogen jamur yang paling

mungkin menyebabkan infeksi.6

Spesimen harus dikumpulkan secara aseptik atau dengan melakukan

dekontaminasi yang baik pada lokasi sampel. Jumlah spesimen yang diambil

harus mencukupi untuk pemeriksaan kultur dan mikroskopik. Namun, seringkali

dijumpai spesimen yang diberikan ke laboratorium tidak berkualitas baik, jumlah

kurang sehingga tidak sesuai untuk menegakkan diagnosis.6

Secara umum, jika pemeriksaan tertunda, spesimen untuk kultur jamur dapat

disimpan pada suhu 4°C untuk waktu singkat tanpa kehilangan viabilitas

organisme. Hampir serupa dengan pemeriksaan bakteriologi, pada Tabel 2.3. di

atas diuraikan mengenai jenis spesimen, organisme penyebab infeksi yang

mungkin, cara pengumpulan spesimen dan prosedur diagnostik yang disarankan

pada infeksi jamur.6 Seluruh spesimen yang diterima termasuk dalam kategori

biosafety tingkat 2. Pemeriksaan kultur dan uji kepekaan pada jamur dilakukan

dalam biological safety cabinet (BSC) kelas 2 dengan menggunakan alat

pelindung diri dan pencegahan infeksi sesuai standar.23


16

Tabel 2.3. Lokasi, pengumpulan spesimen dan prosedur diagnostik pada infeksi jamur
Metode
Lokasi infeksi dan organisme Pilihan
pengumpulan Prosedur diagnostik
penyebab infeksi spesimen
spesimen
Darah
Candida, Cryptococcus neoformans, Whole blood Pungsi vena Kultur
Histoplasma capsulatum, Fusarium, (steril)
Aspergillus terreus, Penicillium Serum Pungsi vena Antigen (Candida,
marneffei, Trichosporon (steril) Cryptococcus, dan
Histoplasma), biomolekular
Urine Steril Antigen (Histoplasma)
Sumsum tulang
Histoplasma capsulatum, Aspirat Steril Pemeriksaan mikroskopik,
Penicillium marneffei kultur
Serum Pungsi vena Serologi, (Histoplasma)
(steril) antigen, antibodi
Urine Steril Antigen (Histoplasma)

Sistem saraf pusat


Candida, Cryptococcus Cairan Steril Pemeriksaan mikroskopik,
neoformans/gattii, Aspergillus, serebrospinalis kultur, antigen (Cryptococcus)
Scedosporium, kapang dematiaceous, Biopsi Steril, Pemeriksaan mikroskopik,
Mucormycetes, Histoplasma, nonsteril untuk kultur (jaringan jangan
Coccidioides histopatologi dihancurkan)
Serum Steril Antigen (Aspergillus,
Cryptococcus, dan
Histoplasma)

Tulang dan sendi


Candida, Fusarium, Aspergillus, Aspirat Steril Pemeriksaan mikroskopik,
Histoplasma capsulatum, kultur
Coccidioides immitis/posadasii, Biopsi Steril, Pemeriksaan mikroskopik,
Blastomyces dermatitidis, nonsteril untuk kultur (jaringan jangan
Penicillium marneffei, Sporothrix histopatologi dihancurkan)
schenckii Serum Pungsi vena Serologi: antigen, antibodi

Mata
Fusarium, Candida, Cryptococcus Kornea Kerokan atau Pemeriksaan mikroskopik,
neoformans, Aspergillus, biopsi kultur
Mucormycetes Cairan vitreous Aspirat steril Pemeriksaan mikroskopik,
kultur
Sistem urogenital
Candida, Cryptococcus neoformans, Urine Steril Pemeriksaan mikroskopik,
Trichosporon, Rhodotorula kultur
Jarang: Histoplasma capsulatum, Sekret/cairan Saline swab Pemeriksaan mikroskopik,
Blastomyces dermatitidis, vagina, uretra, preparat basah, KOH, kultur
Coccidioides immitis/posadasii prostat
Serum Pungsi vena Serologi (antibodi)
Biopsi Steril, Pemeriksaan mikroskopik,
nonsteril untuk kultur (jaringan jangan
histopatologi dihancurkan)

Tabel 2.3. Lokasi, pengumpulan spesimen dan prosedur diagnostik pada infeksi jamur
17

(lanjutan)
Metode
Lokasi infeksi dan organisme Pilihan
pengumpulan Prosedur diagnostik
penyebab infeksi spesimen
spesimen
Saluran pernafasan
Cryptococcus neoformans/gattii, Sputum Induksi, tanpa Pemeriksaan mikroskopik,
Aspergillus, Fusarium, penggunaan zat kultur
Mucormycetes, Scedosporium pengawet
apiospermum, kapang dematiaceous, Bilasan Tanpa Pemeriksaan mikroskopik,
jamur dimorfik endemik, penggunaan zat kultur,
Pneumocystis jirovecii pengawet galaktomanan(Aspergillus)
Transbronchial Aspirat atau Pemeriksaan mikroskopik,
biopsi kultur
Biopsi paru Steril, Pemeriksaan mikroskopik,
nonsteril untuk kultur (jaringan jangan
histopatologi dihancurkan)
Serum Pungsi vena Serologi, antigen, antibodi,
biomolekular
Urine Steril Antigen (Histoplasma)
Kulit dan membran mukosa
Candida, Cryptococcus neoformans, Biopsi Steril, Pemeriksaan mikroskopik,
Trichosporon, Aspergillus, nonsteril untuk kultur (jaringan jangan
Mucormycetes, Fusarium, kapang histopatologi dihancurkan)
dematiaceous, jamur dimorfik Usap mukosa Saline swab Pemeriksaan mikroskopik,
endemik, Sporothrix schenckii preparat basah, KOH, kultur
Kerokan kulit Nonsteril KOH
Serum Pungsi vena Serologi, antigen, antibodi,
biomolekular
Urine Steril Antigen (Histoplasma)

Berbagai lokasi sistemik


Candida, Cryptococcus neoformans Whole blood Pungsi vena Kultur
/gattii, Trichosporon , kapang (steril)
hyaline molds, kapang dematiaceous, Serum Pungsi vena Serologi, antigen, antibodi,
jamur dimorfik endemik (steril) biomolekular
Urine Steril Antigen (Histoplasma)
Biopsi Steril, Pemeriksaan mikroskopik,
nonsteril untuk kultur (jaringan jangan
histopatologi dihancurkan)
Disadur dari: Patrick R. Murray6

2.6.2. Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik yang dapat dilakukan dapat berupa pemeriksaan

langsung maupun dengan pewarnaan. Pemeriksaan mikroskopik langsung

memiliki kelebihan cepat dan hemat dalam diagnosis infeksi jamur, namun sering

dijumpai negatif palsu dan positif palsu. Pemeriksaan mikroskopik langsung


18

dengan hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi jamur.6

Jenis pemeriksaan langsung pada identifikasi infeksi jamur termasuk pemeriksaan

preparat basah menggunakan KOH dan Tinta India.5

Berbagai metode pewarnaan dan teknik mikroskopik dapat digunakan untuk

mendeteksi dan melihat karakteristik jamur secara langsung pada spesimen.

Pewarnaan paling banyak digunakan yaitu pewarnaan Gram dan Giemsa untuk

melihat struktur ragi dan hifa.6 Pada Gambar 2.7. berikut tampak blastokonidia

dan pseudohifa Candida albicans dengan pewarnaan Gram (kiri) serta ragi

Cryptococcus neoformans dengan pemeriksaan Tinta India (tengah) dan

pewarnaan Gram (kanan).

Gambar 2.7. Blastokonidia dan pseudohifa Candida albicans dengan pewarnaan


Gram (kiri), Cryptococcus neoformans dengan pemeriksaan Tinta
India (tengah) dan pewarnaan Gram (kanan)
Dikutip dari: Luis M. de la Maza24

2.7. Kultur dan Identifikasi Jamur

Penegakkan diagnosis infeksi jamur yang paling bermakna yaitu jika

ditemukan jamur dari kultur. Kultur jamur juga diperlukan untuk mengidentifikasi

jenis patogen penyebab infeksi. Pertumbuhan optimal dari jamur tergantung pada
19

perlakuan spesimen dan metode kultur yang digunakan. Hingga saat ini belum ada

media kultur ideal untuk mengisolat semua jenis jamur patogen yang penting.25

Media yang digunakan untuk kultur jamur diantaranya Sabouraud dextrose

agar (SDA), SDA dengan antibiotik, potato dextrose agar (PDA), agar brain

heart infusion (BHI), agar BHI dengan darah domba 5–10% dan antibiotik, serta

agar Sabouraud dextrose and BHI (SABHI). Gentamicin atau chloramphenicol

dan cycloheximide merupakan antibiotik yang rutin digunakan dalam media

jamur. Gentamicin dan chloramphenicol menghambat pertumbuhan bakteri,

sedangkan cycloheximide menghambat baik pertumbuhan bakteri maupun banyak

jamur yang berasal dari lingkungan (kontaminan). Penggunaan media dengan

cycloheximide disarankan selalu disertai dengan media tanpa cycloheximide.5

Media pertumbuhan jamur telah diformulasikan untuk identifikasi perkiraan

jenis ragi (presumptive identification) berdasarkan bentuk morfologi koloni

dengan menambahkan substrat atau zat kromogen dimana dapat terdeteksi

aktivitas enzimatik yang spesifik untuk spesies ragi tertentu. Contoh media

tersebut yaitu CHROMagar yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi jamur

Candida albicans, Candida tropicalis, dan Candida krusei. Penggunaan

CHROMagar mempersingkat waktu dan mempermudah identifikasi berbagai ragi

yang ada dalam media berdasarkan perbedaan warna koloni yang tumbuh. Pada

Gambar 2.8. tampak media CHROMagar dengan koloni Candida albicans

berwarna hijau, Candida tropicalis berwarna biru abu-abu, Candida krusei

dengan tepi kasar berwarna merah muda pucat, dan spesies ragi lainnya yang

berwarna lembayung dengan tepi halus.6


20

Gambar 2.8. Berbagai koloni Candida spp. pada media CHROMagar


Dikutip dari: Patrick R. Murray6

Setelah inokulasi, kultur jamur diinkubasi pada suhu dan periode waktu yang

sesuai agar jamur dari spesimen dapat tumbuh dengan baik. Sebagian besar jamur

tumbuh optimal pada suhu 25–30°C, namun sebagian besar jenis Candida tumbuh

dari kultur darah pada suhu 35–37°C. Inkubasi dilakukan minimal selama 2

minggu, namun pada kultur darah dapat ditemui hasil positif dalam 5–7 hari.6

Identifikasi hasil kultur jamur dimulai dengan menilai karakteristik

makroskopik dari koloni seperti warna, tekstur, dan kecepatan pertumbuhan.

Jamur dengan pertumbuhan yang cepat seperti Zygomycetes, koloni akan tumbuh

dalam 1–3 hari, jamur dengan kecepatan pertumbuhan sedang membutuhkan

waktu 5–9 hari, dan pertumbuhan lambat hingga 2 minggu. Penilaian karakteristik

jamur secara mikroskopik dari isolat yaitu apakah hifa bersepta atau tidak, hifa

hialin atau dematiaceous, adakah struktur seperti berbuah (fruiting); tipe, ukuran,

bentuk, dan susunan konidia.5

Pemeriksaan identifikasi untuk jamur kapang yaitu tes perforasi rambut untuk

identifikasi Tinea rubrum, Tinea mentagrophytes, dan Microsporum canis; tes

urease untuk membedakan Tinea rubrum dengan Tinea mentagrophytes; agar

trichophyton untuk identifikasi Trichophyton spp.; dan melihat pertumbuhan pada


21

bulir beras untuk membedakan M. canis dengan M. audouinii. Pemeriksaan

identifikasi pada ragi yaitu tes urease, tes germ-tube (dapat sebagai identifikasi

presumtif pada ragi), tes asimilasi karbohidrat, kultur pada substrat chromogenic

(CHROMagar) untuk identifikasi beberapa Candida spp., dan kultur pada

cornmeal agar untuk melihat morfologi ragi.5

Sistem identifikasi jamur komersial telah tersedia dengan metode identifikasi

yang telah terstandar dengan waktu pemeriksaan yang lebih cepat dimana hasil

dapat diperoleh dalam 24–72 jam. Salah satunya VITEK 2 YST untuk identifikasi

ragi terutama berbagai Candida spp., Crytococcus spp., Malassezia spp.,

Trichosporon spp., dll. Identifikasi dengan VITEK 2 YST berdasarkan 46 tes

biokimia yang mengukur utilisasi karbon dan aktivitas enzimatik.26

Pemeriksaan identifikasi jamur dapat dilakukan dengan matrix-assisted laser

desorption ionization–time of flight (MALDI–TOF) mass spectrometry (MS).

MALDI–TOF MS menggunakan pola peptida dan massa protein yang spesifik

terhadap suatu spesies sehingga meningkatkan akurasi dalam identifikasi ragi.

Metode MALDI–TOF MS memiliki kelebihan hasil akurat, mudah

diinterpretasikan, turnaround time yang lebih singkat; namun memiliki

keterbatasan masih sedikitnya database untuk ragi dan kinerja yang buruk dalam

identifikasi kapang.6

2.8. Uji Kepekaan Obat Antijamur

Seiring dengan peningkatan insidensi infeksi jamur sistemik dan penggunaan

obat antijamur, peranan laboratorium dalam pemilihan terapi antijamur semakin


22

mendapat perhatian. Walaupun uji kepekaan jamur tidak dilakukan sebanyak uji

kepekaan bakteri, namun standar prosedur telah dibuat dan dikembangkan oleh

Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI).24

Pada tahun 1982, komite CLSI area mikrobiologi membentuk subkomite uji

kepekaan obat antijamur. Pada tahun 1992 CLSI mempublikasikan dokumen

M27-P mengenai standar uji kepekaan metode broth dilution pada ragi27, tahun

2002 dokumen M38-A mengenai standar uji kepekaan metode broth dilution pada

kapang28, dan tahun 2004 dokumen M44-A dan M44-SI mengenai uji kepekaan

dan minimal inhibitory concentration (MIC) metode disk diffusion untuk ragi29.

Seluruh dokumen terus diperbaharui dan direvisi hingga terakhir pada tahun 2009.

Uji kepekaan obat antijamur dilakukan untuk organisme penyebab infeksi yang

dalam pemberian terapi diprediksi adanya kepekaan yang tidak sesuai dengan

profil organisme tersebut. Indikasi dilakukannya uji kepekaan terutama jika

organisme penyebab infeksi dicurigai menunjukkan sifat resisten terhadap obat

yang umum diberikan. Uji kepekaan juga penting untuk penelitian epidemiologi

resistensi obat dan penelitian obat baru.27

2.8.1. Uji Kepekaan Untuk Ragi

Metode-metode uji kepekaan untuk ragi beraneka ragam, diantaranya yang

direkomendasikan CLSI: metode broth dilution dan disk diffusion, dan yang

tersedia secara komersial seperti metode kolorimetri, sistem Etest dan sistem

VITEK 2. Uji kepekaan tersebut direkomendasikan hanya untuk Candida spp. dan
23

Cryptococcus neoformans. Komite CLSI belum membuat suatu rekomendasi uji

kepekaan untuk ragi lain selain kelompok ragi tersebut.30

2.8.1.1. Metode Broth Dilution

Berdasarkan rekomendasi CLSI terdapat dua jenis metode broth dilution, yaitu

metode broth macrodilution dan metode broth microdilution. Metode broth

microdilution lebih praktis diterapkan di laboratorium dengan volume

pemeriksaan yang besar.30

Metode broth dilution menggunakan 12 tabung/sumur untuk setiap jenis obat

antijamur per jenis ragi yang akan diperiksa. Setiap tabung/sumur akan diisi

dengan media RPMI-1640, larutan obat antijamur berbagai konsentrasi, dan

inokulum 0,5 McFarland yang akan diinkubasi pada suhu 35°C selama 24–48 jam

untuk Candida spp. atau hingga 70–74 jam untuk C. neoformans. Jenis-jenis obat

antijamur dan konsentrasi yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 2.4 berikut.27

Tabel 2.4. Daftar obat antijamur yang diujikan pada metode broth dilution
Obat Antijamur Konsentrasi (μg/mL)
Amphotericin B 0,0313–16
Flucytosine 0,125–64
Ketoconazole 0,0313–16
Itraconazole 0,0313–16
Fluconazole 0,125–64
Posaconazole 0,0313–16
Ravuconazole 0,0313–16
Voriconazole 0,0313–16
Anidulafungin 0,015–8
Capsofungin 0,015–8
Micafungin 0,015–8
Disadur dari: CLSI27

Obat antijamur pada metode broth dilution dibedakan menjadi obat antijamur

larut air seperti flucytosine, fluconazole, caspofungin dan micafungin; dan obat
24

antijamur lainnya yang tidak larut air. Prosedur pemerikaan uji kepekaan metode

broth dilution dapat dilihat pada Gambar 2.9. untuk broth macrodilution dan

Gambar 2.10. untuk broth microdilution. Pembacaan hasil pada metode broth

macrodilution dengan membandingkan kekeruhan yang terlihat pada tabung

growth-control (tanpa obat antijamur) dengan setiap tabung tes dengan skala pada

Tabel 2.5. berikut.27

Tabel 2.5.Skala pembacaan metode broth macrodilution


Skala Keterangan
0 Jernih
1 Sedikit berkabur
2 Penurunan kekeruhan jelas (~50%)
3 Sedikit penurunan kekeruhan
4 Tidak ada penurunan kekeruhan
Disadur dari: CLSI27
Keterangan: tabung GC: keruh, tabung SC: jernih

Definisi MIC untuk amphotericin B yaitu konsentrasi obat antijamur terendah

yang memberikan skala 0 (jernih). Untuk golongan azole, echinocandins dan

flucytosine, MIC ditentukan oleh konsentrasi obat antijamur terendah yang

memberikan skala 2 (tampak penurunan kekeruhan yang jelas).27 Interpretasi uji

kepekaan setiap obat antijamur metode broth dilution dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Interpretasi uji kepekaan metode broth dilution (break points μg/mL)
Susceptible-
Obat Susceptible dose Intermediate Resistant Nonsusceptible
Antijamur (S) dependent (I) (R) (NS)
(S-DD)
Flucytosine ≤4 - 8-16 ≥32 -
Itraconazole ≤0,125 0,25–0,5 - ≥1 -
Fluconazole ≤8 16–32 - ≥64 -
Voriconazole ≤1 2 - ≥4 -
Anidulafungin ≤2 - - - >2
Capsofungin ≤2 - - - >2
Micafungin ≤2 - - - >2
Disadur dari: CLSI31
Catatan: S: Susceptible, S-DD: Susceptible-dose dependent, R: Resistant, NS: Nonsusceptible
Buat larutan stok obat antijamur dengan konsentrasi 1.280 μg/mL (obat antijamur larut air) dan 1.600 μg/mL (obat antijamur tidak larut air) 25

Siapkan 12 tabung, beri label=


Tabung 1: sterility control (SC)
Tabung 2-11: nama dan konsentrasi obat antijamur
Tabung 12: growth control (GC)

Pengenceran obat antijamur larut air Persiapan Pengenceran obat antijamur tidak larut air
larutan inokulum

- Ambil 10 μL dari tabung GC dan tanam pada


CHROMagar atau agar SAB (untuk melihat
kemurnian inokulum)
- Inkubasi tabung-tabung dan agar pada suhu 35°C
selama 24–48 jam (Candida spp.) sampai 74 jam (C.
neoformans)

Gambar 2.9. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan ragi metode broth macrodilution
Disadur dari: Ana Espinel-Ingroff 25
Buat larutan stok obat antijamur dengan konsentrasi 1.280 μg/mL (obat antijamur larut air) dan 1.600 μg/mL (obat antijamur tidak larut air)

26
Siapkan 12 tabung, beri label=
Tabung 1: sterility control (SC)
Tabung 2-11: nama dan konsentrasi obat antijamur
Tabung 12: growth control (GC)
Pengenceran obat antijamur larut air Pengenceran obat antijamur tidak larut air

Persiapan
larutan inokulum

- Tambahkan 0,1 mL larutan inokulum pada sumur 2-12


- Ambil 10 μL dari tabung GC dan tanam pada
CHROMagar atau agar SAB (untuk melihat
kemurnian inokulum)
- Inkubasi sumur dan agar pada suhu 35°C selama 24–
48 jam (Candida spp.) sampai 74 jam (C. neoformans)

Gambar 2.10. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan ragi


metode broth microdilution
Disadur dari: Ana Espinel-Ingroff 25
27

Hasil uji kepekaan susceptible (S) menyiratkan bahwa pertumbuhan isolat

dapat dihambat oleh obat dengan konsentrasi yang umum diberikan. Kategori

susceptible-dose dependent (S-DD) menyiratkan efikasi klinis jika dosis obat

yang diberikan lebih besar daripada dosis normal dan kadar maksimal dalam

darah tercapai. Hasil uji kepekaan untuk golongan echinocandins dikategorikan

menjadi susceptible (S) dan nonsusceptible (NS) dimana kategori ini digunakan

untuk organisme yang dalam interpretasinya hanya masuk kategori susceptible

dan sering digunakan pada obat baru. Kategori intermediate (I) digunakan untuk

isolat dengan MIC obat antijamur yang selalu mendekati MIC isolat yang

susceptible namun dengan data yang tersedia tidak dapat dikategorikan sebagai

susceptible maupun resistant. Hasil uji kepekaan Resistant (R) menyiratkan

pertumbuhan isolat tidak terhambat oleh konsentrasi obat yang biasa digunakan.27

Pemantapan mutu uji kepekaan ragi dilakukan untuk verifikasi bahwa

konsentrasi antijamur yang digunakan dipersiapkan dengan benar. Pemantapan

mutu uji kepekaan dengan metode broth macrodilution dilakukan pada saat setiap

kali pemeriksaan. Untuk metode broth microdilution, pemantapan mutu dilakukan

setiap pergantian nomor Lot microdilution yang baru. Pemantapan mutu metode

broth dilution menggunakan satu dari dua strain Candida parapsilosis ATCC

22019 atau Candida crusei ATCC 6258. 27

2.8.1.2. Metode Disk Diffusion

Pemeriksaan uji kepekaan ragi dengan metode disk diffusion berdasarkan

dokumen CLSI M44-A2 ditujukan untuk uji kepekaan Candida spp. Obat
28

antijamur yang digunakan yaitu caspofungin 5 μg, fluconazole 25 μg, dan

voriconazole 1 μg. Media yang direkomendasikan menggunakan agar Mueller-

Hinton dengan suplementasi glukosa 2% dan pewarna methylene blue 0,5 μg/ml.29

Contoh hasil uji kepekaan ragi dengan metode disk diffusion tampak pada Gambar

2.11 berikut.

Gambar 2.11. Contoh C. albicans sensitif (kiri) dan resisten (kanan) terhadap
golongan azole
Dikutip dari: Ana Carolina Azevedo32

Konsentrasi inokulum yang digunakan yaitu 0,5 McFarland menggunakan

densitometer dan diinkubasi pada suhu 35°C selama 24 jam. Beberapa jenis ragi

mungkin belum tampak pertumbuhan setelah 24 jam dan dapat dibaca setelah

inkubasi 48 jam. Direkomendasikan pula pemeriksaan dengan disk diffusion

sebaiknya dikonfirmasi dengan standar broth dilution.29

Tabel 2.7. Zona inhibisi dan MIC uji kepekaan ragi metode disk diffusion
Obat Zona Inhibisi (mm) MIC break points (μg/mL)
Antijamur S S-DD R NS S S-DD R NS
Capsofungin ≥11 - - ≤10 ≤2 - - >2
Fluconazole ≥19 15–18 ≤14 - ≤8 16–32 ≥64 -
Voriconazole ≥17 14–16 ≤13 - ≤1 2 ≥4 -
Disadur dari: CLSI33
Catatan: S: Susceptible, S-DD: Susceptible-dose dependent, R: Resistant, NS: Nonsusceptible
29

Pengukuran zona inhibisi dengan cara mengukur perbatasan dalam mm dimana

jelas tampak berkurangnya pertumbuhan jamur. Interpretasi diameter zona dan

MIC dapat dilihat pada Tabel 2.7. di atas.

2.8.1.3. Uji Kepekaan Ragi Komersial

Beberapa uji kepekaan komersial untuk ragi telah tersedia untuk membantu

memperoleh hasil yang lebih cepat dengan cara yang lebih mudah. Uji kepekaan

komersial yang banyak digunakan diantaranya Etest, sistem VITEK 2, dan metode

kolorimetri.30

Etest merupakan strip plastik yang telah dilekatkan obat antijamur dengan

berbagai gradien konsentrasi yang telah diketahui. Pemeriksaan Etest

menggunakan media RPMI-1640 dengan suplementasi glukosa 2%. Pemeriksaan

Etest sederhana untuk dilakukan namun membutuhkan keterampilan dalam

interpretasi. Contoh pemeriksaan Etest tampak pada Gambar 2.12 berikut.

Gambar 2.12. Pemeriksaan Etest pada ragi


Dikutip dari: Jesus Guinea34
30

Interpretasi MIC Etest memiliki kecenderungan tinggi palsu, sehingga jika

ditemukan hasil resisten sebaiknya dikonfirmasi dengan metode lain. Strip obat

antijamur Etest yang tersedia yaitu amphotericin B, ketoconazole, itraconazole,

fluconazole, voriconazole dan flucytosine.30

Metode kolorimetri untuk uji kepekaan pada dasarnya menggunakan metode

broth microdilution dengan menggunakan sumur dan larutan obat antijamur

dengan berbagai konsentrasi. Pada metode kolorimetri di dalam sumur

ditambahkan alamar blue sebagai indikator warna.30 Contoh metode kolorimetri

tampak pada Gambar 2.13 berikut.

Gambar 2.13. Uji kepekaan pada ragi metode kolorimetri


Dikutip dari: David Ellis35

Panel obat antijamur yang tersedia yaitu amphotericin B, fluconazole,

itraconazole, ketoconazole, flucytosine, voriconazole dan capsofungin. Inkubasi

sumur dilakukan selama 24–48 jam pada suhu 35°C untuk Candida spp. dan

golongan obat antijamur azole; atau selama 48 jam untuk Candida spp. dan

amphotericin B; serta selama 48–72 jam untuk C. neoformans. Pertumbuhan


31

jamur ditandai oleh perubahan warna dari biru menjadi merah. Jika setelah

inkubasi warna ungu yang muncul, disarankan inkubasi dilanjutkan beberapa jam

hingga berwarna merah.30

Uji kepekaan ragi otomatis dengan sistem VITEK 2 menggunakan kartu yang

mengandung obat antijamur dengan berbagai konsentrasi (pengenceran serial).

Obat antijamur yang dapat diujikan yaitu amphotericin B, flucytosine, fluconazole,

dan voriconazole. Lama inkubasi tergantung dari kecepatan pertumbuhan yang

diukur dari sumur kontrol tanpa obat antijamur. Rata-rata hasil didapat dalam 12–

20 jam untuk Candida spp.; dan 19–29 jam untuk C. neoformans. Uji kepekaan

obat antijamur yang tidak tersedia dalam kaset VITEK 2 (echinocandins dan

posaconazole) sebaiknya dilakukan dengan metode lainnya.36

2.8.2. Uji Kepekaan Untuk Kapang

Metode-metode uji kepekaan untuk kapang juga beraneka ragam seperti pada

ragi, diantaranya yang direkomendasikan CLSI: metode broth dilution (broth

macrodilution dan broth microdilution), dan yang tersedia secara komersial

seperti metode kolorimetri dan metode Etest. Jenis kapang yang umum dilakukan

uji kepekaan yaitu dermatofit yang dapat menyebabkan infeksi invasif dan

kutaneus seperti Aspergillus pp., Fusarium spp., Rhizopus spp., P. boydii, S.

prolificans, Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton spp.28


32

2.8.2.1. Metode Broth Dilution

Prosedur uji kepekaan kapang berdasarkan dokumen CLSI M38-A2 hampir

serupa dengan yang digunakan pada ragi yaitu menggunakan tabung/sumur

dengan media RPMI-1640, serial dilusi obat antijamur dengan berbagai

konsentrasi, dan inokulum 0,5 McFarland yang akan diinkubasi pada suhu 35°C.

Lama inkubasi tergantung pada jenis kapang, seperti pada: Rhizopus spp. 21–26

jam; Fusarium spp., Aspergillus spp., S. schenckii 46–50 jam.28

Jenis obat antijamur yang diujikan dikelompokkan menjadi obat antijamur

untuk kapang dermatofit dan nondermatofit. Daftar jenis dan konsentrasi obat

antijamur yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.8 berikut.

Tabel 2.8. Daftar obat antijamur pada uji kepekaan kapang metode broth dilution
Kapang Nondermatofit Kapang Dermatofit
Obat Antijamur Konsentrasi (μg/mL) Obat Antijamur Konsentrasi (μg/mL)
Amphotericin B 0,0313–16 Ciclocipox 0,06–32
Flucytosine 0,125–64 Griseofulvin 0,125–64
Ketoconazole 0,0313–16 Itraconazole 0,001–0,5
Itraconazole 0,0313–16 Fluconazole 0,125–64
Fluconazole 0,125–64 Posaconazole 0,004–8
Posaconazole 0,0313–16 Voriconazole 0,001–0,5
Ravuconazole 0,0313–16 Terbinafine 0,001–0,5
Voriconazole 0,0313–16
Anidulafungin 0,015–8
Capsofungin 0,015–8
Micafungin 0,015–8
Disadur dari: CLSI28

Pembacaan hasil pada metode broth dilution dengan membandingkan

pertumbuhan yang tampak pada tabung growth-control (tanpa obat antijamur)

dengan setiap tabung tes. Definisi MIC disini yaitu konsentrasi obat antijamur

terendah yang menghambat pertumbuhan jamur, yang dideteksi secara visual.

Penentuan kepekaan obat antijamur untuk kapang (susceptible, intermediate, atau


33

resistant) belum ditetapkan oleh CLSI. Hasil MIC itraconazole >8 μg/mL tampak

berhubungan dengan resisten itraconazole secara klinis, dan MIC amphotericin B

>2 μg/mL berhubungan dengan kegagalan terapi.37 Contoh uji kepekaan kapang

Aspergillus dengan metode broth microdilution tampak pada Gambar 2.14

berikut.

Gambar 2.14. Sumur broth microdilution pada Aspergillus


Dikutip dari: Ana Espinel-Ingroff38

Pemantapan mutu uji kepekaan pada kapang dilakukan untuk verifikasi bahwa

konsentrasi antijamur yang digunakan telah dipersiapkan dengan benar.

Pemantapan mutu dapat menggunakan strain kapang Paecilomyces vaiotii ATCC

MYA-3630; strain ragi Candida parapsilosis ATCC 22019 dan C. krusei ATCC

6258. Pemantapan mutu dilakukan setidaknya menggunakan satu jenis strain

tersebut pada setiap kali melakukan pemeriksaan.28,37 Prosedur pemerikaan uji

kepekaan kapang dengan metode broth dilution dapat dilihat pada Gambar 2.15.

untuk broth macrodilution dan Gambar 2.16. untuk broth microdilution.


Buat larutan stok obat antijamur dengan konsentrasi 1.280 μg/mL (obat antijamur larut air) dan 1.600 μg/mL (obat antijamur tidak larut air) 34

Siapkan 12 tabung, beri label=


Tabung 1: sterility control (SC)
Tabung 2-11: nama dan konsentrasi obat antijamur
Tabung 12: growth control (GC)

Pengenceran obat antijamur larut air Pengenceran obat antijamur tidak larut air
Persiapan larutan inokulum

Inkubasi tabung pada suhu 35°C selama 46–50 jam untuk


sebagian besar kapang oportunistik (Aspergillus spp.,
Fusarium spp., dan S. schenkii), inkubasi Rhizopus spp.,
dan Zygomycetes lainnya selama 21–26 jam.

Gambar 2.15. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan kapang


metode broth macrodilution
Disadur dari: Ana Espinel-Ingroff 33
Buat larutan stok obat antijamur dengan konsentrasi 1.280 μg/mL (obat antijamur larut air) dan 1.600 μg/mL (obat antijamur tidak larut air)
35

Siapkan 12 tabung, beri label=


Tabung 1: sterility control (SC)
Tabung 2-11: nama dan konsentrasi obat antijamur Pengenceran obat antijamur tidak larut air
Pengenceran obat antijamur larut air
Tabung 12: growth control (GC)

Persiapan larutan inokulum

- Tambahkan 0,1 mL larutan inokulum pada sumur 2-12


- Inkubasi sumur pada suhu 35°C selama 46–50 jam
untuk sebagian besar kapang oportunistik (Aspergillus
spp., Fusarium spp., dan S. schenkii), inkubasi Rhizopus
spp., dan Zygomycetes lainnya selama 21–26 jam.

Gambar 2.16. Prosedur pemeriksaan uji kepekaan


kapang metode broth microdilution
Disadur dari: Ana Espinel-Ingroff 33
36

2.8.2.2. Uji Kepekaan Kapang Komersial

Beberapa uji kepekaan komersial yang tersedia untuk ragi, juga dapat

melakukan uji kepekaan untuk kapang, diantaranya metode Etest dan metode

kolorimetri. Strip obat antijamur Etest yang tersedia untuk uji kepekaan kapang

yaitu amphotericin B, ketoconazole, itraconazole, fluconazole, voriconazole,

flucytosine, posaconazole, dan caspofungin. Prosedur pemeriksaan dan

pembacaan serupa dengan yang dilakukan pada ragi. Inkubasi untuk Fusarium

spp. dilakukan pada suhu 35°C selama 24–48 jam dilanjutkan pada suhu ruangan

(sekitar 25°C) selama 24–48 jam.30

Pemeriksaan dengan Etest memiliki keuntungan seperti mudah dilakukan;

kontaminasi dapat dikenali dengan mudah; metodologi pengerjaan lebih fleksibel

dari segi obat antijamur yang dipakai, media, lama inkubasi dan ukuran inokulum

yang digunakan. Namun pada pemeriksaan Etest memerlukan keterampilan dalam

interpretasi hasil dan untuk uji kepekaan kapang belum mendapat persetujuan dari

Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat.37

Uji kepekaan kapang dengan metode kolorimetri menggunakan obat antijamur

amphotericin B, fluconazole, itraconazole, ketoconazole, flucytosine, capsofungin,

dan voriconazole. Prosedur dan pembacaan sama seperti pemeriksaan untuk ragi,

namun inkubasi dilakukan selama 24–72 jam pada suhu 35°C.30


BAB III

RINGKASAN

Insidensi infeksi jamur terutama infeksi jamur invasif semakin meningkat

seiring peningkatan pasien imunokompromais akibat infeksi HIV maupun terapi

transplantasi (organ, sel punca, atau sumsum tulang) yang mendapat

kortikosteroid jangka lama. Jamur penyebab infeksi jamur invasif terbanyak yaitu

C. neoformans, A. flavus, C. albicans dan H. capsulatum.

Seiring dengan peningkatan infeksi jamur penggunaan obat antijamur juga

meningkat, sehingga pemeriksaan uji kepekaan obat antijamur berperan penting

dalam manajemen terapi pasien agar penggunaan obat antijamur dapat efektif dan

efisien. Beberapa standar telah dipublikasikan oleh CLSI terkait uji kepekaan pada

ragi (metode broth dilution dan disk diffusion) dan kapang (metode broth

dilution). Uji kepekaan jamur komersial juga telah banyak beredar dengan metode

dan pengerjaan yang lebih mudah dan cepat dengan validitas hasil yang baik.

37
SUMMARY

The incidence of invasive fungal infections has increased with increases in

patients immunocompromised due to HIV infection or transplant therapy (organ,

stem cell, or bone marrow) who received long-term corticosteroid. The most

common cause of invasive fungal infections are C. neoformans, A. flavus, C.

albicans and H. capsulatum.

Along with the increased of fungal infections, the use of antifungal agents also

increased, so knowdays the antifungal susceptibility test plays an important role

in the management of patients for the use of effective and efficient antifungal

therapy. Some standards have been published by CLSI related to the yeast

susceptibility test (broth dilution method and disk diffusion) and molds

susceptibility test (broth dilution method). Commercial susceptibility test for yeast

and filamentous fungi also been widely provided with easier and faster method,

with good validity results.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Kobayashi GS. Disease of Mechanisms of Fungi. Dalam: Baron S, editor.


Medical Microbiology. Edisi ke-4. Galveston: University of Texas Medical
Branch at Galveston; 1996.

2. Cuenca-Estrella M, Bassetti M, Lass-Florl C, Racil Z, Richardson M,


Rogers TR. Detection and investigation of invasive mould disease. J
Antimicrob Chemother. 2011 Jan;66 Suppl 1:15-24.

3. Yeo SF, Wong B. Current status of nonculture methods for diagnosis of


invasive fungal infections. Clin Microbiol Rev. 2002 Jul;15(3):465-84.

4. Abu-Elteen KH, Hamad MA. Changing Epidemiology of Classical and


Emerging Human Fungal Infections: A Review. Jordan J Biol Sci.
2012;5:215.

5. Fothergill AW. Medically Significant Fungi. Dalam: Mahon CR, Lehman


DC, Manuselis G, editor. Textbook of Diagnostic Microbiology. Edisi ke-4.
Maryland Heights: Saunders Elsevier; 2011. hlm. 603-37.

6. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller MA. Mycology. Dalam: Murray PR,
Rosenthal KS, Pfaller MA, editor. Medical Microbiology. Edisi ke-7.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013. hlm. 605-710.

7. Ryan KJ. Fungi: Basic Concepts. Dalam: Ryan KJ, Ray CG, editor. Sherris
Medical Microbiology. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Education;
2014. hlm. 697-704.

8. McGinnis MR, Tyring SK. General Concepts of Mycology. Dalam: Baron


S, editor. Medical Microbiology. Edisi ke-4. Galveston: University of Texas
Medical Branch at Galveston; 1996.

9. Cole GT. Basic Biology of Fungi. Dalam: Baron S, editor. Medical


Microbiology. Edisi ke-4. Galveston: University of Texas Medical Branch
at Galveston; 1996.

10. Walsh TJ, Dixon DM. Spectrum of Mycoses. Dalam: Baron S, editor.
Medical Microbiology. Edisi ke-4. Galveston: University of Texas Medical
Branch at Galveston; 1996.

11. Park BJ, Chiller TM, Brandt ME, Warnock DW. Epidemiology of Systemic
Fungal Diseases: An Overview. Dalam: Kauffman CA, Pappas PG, Sobel
JD, Dismukes WE, editor. Essentials of Clinical Mycology. Edisi ke-2:
Springer; 2011. hlm. 27-34.

39
40

12. Wahyuningsih R. Ancaman Infeksi Jamur pada Era HIV/AIDS. Majalah


Kedokteran Indonesia. Desember 2009;59:570.

13. Cleveland AA, Farley MM, Harrison LH, Stein B, Hollick R, Lockhart SR,
dkk. Changes in Incidence and Antifungal Drug Resistance in Candidemia:
Results From Population-Based Laboratory Surveillance in Atlanta and
Baltimore, 2008-2011. Clin Infect Dis. 2012;55:1352-60.

14. CDC. Antibiotic Resistance Threats in the United States, 2013. In: Services
USDoHaH, editor. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention
(CDC); 2013. hlm. 63.

15. Pan W, Khayhan K, Hagen F, Wahyuningsih R, Chakrabarti A, Chowdhary


A, dkk. Resistance of Asian Cryptococcus neoformans serotype A is
confined to few microsatellite genotypes. PLoS One. 2012;7(3):e32868.

16. Ryan KJ. Pathogenesis and Diagnosis of Fungal Infection. Dalam: Ryan KJ,
Ray CG, editor. Sherris Medical Microbiology. Edisi ke-6. New York:
McGraw-Hill Education; 2014. hlm. 705-12.

17. Romani L. Immunity to fungal infections. Nat Rev Immunol. 2004;4:11-24.

18. Dixon DM. General Concepts of Mycology. Dalam: Baron S, editor.


Medical Microbiology. Edisi ke-4. Galveston: University of Texas Medical
Branch at Galveston; 1996.

19. Chen SC, Sorrell TC. Antifungal Agents. Med J Aust. 2007;187:404-9.

20. Martinez L, Falson P. Multidrug resistance ATP-binding cassette membrane


transporters as targets for improving oropharyngeal candidiasis treatment.
Adv Cell Mol Otolaryngo. 2014;2:1-8.

21. Ashley ESD, Lewis R, Lewis JS, Martin C, Andes D. Pharmacology of


Systemic Antifungal Agents. Clin Infect Dis. 2006;43:28-39.

22. Vandeputte P, Ferrari S, Coste AT. Antifungal Resistance and New


Strategies to Control Fungal Infections. Int J Microbiol. 2011;2012:1-17.

23. CLSI. Protection of Laboratory Workers From Occupationally Acquired


Infections; Approved Guideline-Third Edition. Wayne, Pennsylvania:
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI); 2005. hlm. 31-45.

24. Maza LMdl, Pezzlo MT, Baron EJ. Mycology. Dalam: Roche J, editor.
Color Atlas of Diagnostic Microbiology. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc.;
1997. hlm. 116, 23.
41

25. Murray PR. Laboratory Diagnosis of Fungal Diseases. Dalam: Murray PR,
Rosenthal KS, Pfaller MA, editor. Medical Microbiology. Edisi ke-7.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2013. hlm. 621-30.

26. Forbes BA, Sahm DF, Welssfeld AS, editors. Bailey & Scott's Diagnostic
Microbiology. 12 ed. St. Louis: Mosby Elsevier; 2007.

27. CLSI. Reference Method for Broth Dilution Antifungal Susceptibility


Testing of Yeast; Approved Standard-Third Edition. Wayne, Pennsylvania:
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI); 2008. hlm. 1-17.

28. CLSI. Reference Method for Broth Dilution Antifungal Susceptibility


Testing of Filamentous Fungi; Approved Standard-Second Edition. Wayne,
Pennsylvania: Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI); 2008.
hlm. 1-35.

29. CLSI. Method for Antifungal Disk Diffusion Susceptibility Testing of


Yeast; Approved Standard-Second Edition. Wayne, Pennsylvania: Clinical
and Laboratory Standards Institute (CLSI); 2009. hlm. 1-40.

30. Espinel-Ingroff A, Canton E. Antifungal SusceptibilityTesting of Yeast.


Dalam: Schwalbe R, Steele-Moore L, Goodwin AC, editor. Antimicrobial
Susceptibility Testing Protocols. London: Taylor & Francis Group; 2007.
hlm. 173-208.

31. CLSI. Reference Method for Broth Dilution Antifungal Susceptibility


Testing of Yeast; Third Informational Supplement. Wayne, Pennsylvania:
Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI); 2008. hlm. 9.

32. Azevedo AC, Bizerra FC, Matta DAd, Almeida LPd, Rosas R, Colombo
AL. In Vitro Susceptibility of a Large Collection of Candida Strains
Against Fluconazole and Voriconazole by Using the CLSI Disk Diffusion
Assay. Mycopathologia. 2010;171:411-6.

33. CLSI. Zone Diameter Interpretive Standards, Corresponding Minimal


Inhibitory Concentration (MIC) Interpretive Breakpoints, and Quality
Control Limits for Antifungal Disk Diffusion Susceptibility Testing of
Yeasts; Third Informational Supplement. Wayne, Pennsylvania: Clinical
and Laboratory Standards Institute (CLSI); 2009. hlm. 1.

34. Guinea J, Recio S, Escribano P, Torres-Narbona M, Pelaez T, Sanchez-


Carrillo C, dkk. Rapid antifungal susceptibility determination for yeast
isolates by use of Etest performed directly on blood samples from patients
with fungemia. J Clin Microbiol. 2010 Jun;48(6):2205-12.
42

35. Ellis D. Antifungal Susceptibility Testing.2015: Available from:


http://www.mycology.adelaide.edu.au/Laboratory_Methods/Antifungal_Sus
ceptibility_Testing/overview.html.

36. Borghi E, Iatta R, Sciota R, Biassoni C, Cuna T, Montagna MT, dkk.


Comparative evaluation of the Vitek 2 yeast susceptibility test and CLSI
broth microdilution reference method for testing antifungal susceptibility of
invasive fungal isolates in Italy: the GISIA3 study. J Clin Microbiol. 2010
Sep;48(9):3153-7.

37. Espinel-Ingroff A, Canton E. Antifungal Susceptibility Testing of


Filamentous Fungi. Dalam: Schwalbe R, Steele-Moore L, Goodwin AC,
editor. Antimicrobial Susceptibility Testing Protocols. London: Taylor &
Francis Group; 2007. hlm. 209-42.

Anda mungkin juga menyukai