Anda di halaman 1dari 29

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Epidemiologi Analitik


Epidemiologi analitik merupakan ilmu yang mempelajari determinan
yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dan distribusi penyakit atau
masalah yang berkaitan dengan kesehatan (Lapau, 2009). Murti (1997)
menyatakan bahwa epidemiologi analitik merupakan riset epidemiologi yang
bertujuan untuk memperoleh penjelasan antara faktor risiko dan kejadian
penyakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada korelasi
antara satu faktor terhadap sebuah penyakit dengan melaksanakan uji hipotesis.
Epidemiologi analitik di samping meliputi pemahaman terhadap dasar-
dasar epidemiologi deskriptif juga mempunyai pembidangan yang lebih khusus.
Kekhususannya tersebut menekankan pada aspek analisis yaitu mengkhususkan
diri pada analisis hubungan antara fenomena kesehatan dengan berbagai variabel
lain (Riyadi dkk., 2011). Prinsip analisis yang digunakan dalam studi analitik
adalah membandingkan risiko terkena penyakit antara kelompok terpapar dan
tidak terpapar faktor penelitian. Analisis tersebut memungkinkan dilakukannya
pengujian hipotesis etiologi dalam rancangan studi analitik (Murti, 1997).
Epidemiologi analitik dilakukan untuk mengidentifikasi dan menguji
hipotesa tentang hubungan antara faktor penyebab yang diduga dan hasil
(penyakit) tertentu yang muncul. Pembuatan hipotesa umumnya diarahkan pada
apakah suatu faktor pemaparan tertentu dapat menyebabkan suatu keadaan
(penyakit) tertentu. Faktor pemaparan dapat berupa sifat, perilaku, faktor
lingkungan atau karakteristik lain yang mungkin menjadi penyebab penyakit.
Epidemiologi analitik ini ditujukan untuk menentukan kekuatan, kepentingan dan
makna statistik dari hubungan epidemiologi antara pemapar dan akibat yang
ditimbulkan (Ferasyi, 2008).
Epidemiologi analitik menitikberatkan pada pencarian hubungan sebab
(faktor-faktor risiko) – akibat (kejadian penyakit). Epidemiologi analitik
menekankan pada pencarian jawaban tentang penyebab terjadinya masalah
kesehatan (determinant), besarnya masalah atau kejadian (frekuensi), dan
penyebaran, serta munculnya masalah kesehatan (distribusi) dengan tujuan
menentukan hubungan sebab akibat antara faktor risiko dan penyakit (Budiarto
dan Anggraeni, 2002). Dapat disimpulkan, secara umum epidemiologi analitik
merupakan penelitian epidemiologi yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan
tentang hubungan sebab akibat antara faktor risiko dan penyakit dengan
membandingkan risiko terkena penyakit antara kelompok terpapar dan tak
terpapar melalui suatu pengujian hipotesis.

B. Jenis Desain Epidemiologi Analitik


Menurut Rajab (2009), epidemiologi analitik terdiri dari (1) Studi
observasi (case control, cohort, cross sectional), dan (2) Eksperimen atau
intervensi (eksperimen kuasi, eksperimen murni). Sedangkan, menurut Lapau
(2009) dan Bustan (2006), jenis desain epidemiologi analitik dibagi menjadi dua
sub kelompok, yaitu studi observasional dan studi eksperimental. Studi
observasional, meliputi studi potong lintang (cross sectional), studi kasus kontrol
(case-control), dan studi kohort (follow-up). Sedangkan, studi eksperimental,
meliputi randomized controlled trial, field trials, dan community trial. Pada
makalah ini hanya akan membahas secara rinci mengenai studi observasional
dalam desain epidemiologi analitik. Adapun penjelasan mengenai studi
observasional, yaitu sebagai berikut.
Pada studi observasional peneliti hanya mengamati suatu fenomena atau
kejadian dan sama sekali tidak melakukan intervensi. Studi observasional dengan
pendekatan analitik meliputi:
1. Studi Potong Lintang (Cross Sectional)
Studi potong lintang (cross sectional) diartikan secara luas
merupakan suatu penelitian dengan peneliti melakukan observasi atau
pengukuran variabel hanya satu kali pada satu saat. Pada satu saat bermakna
bahwa tiap subjek hanya diobservasi satu kali dan pengukuran variabel
penelitian hanya dilakukan pada saat yang sama. Data yang dihasilkan
dalam studi potong lintang merupakan data prevalensi, sehingga disebut
juga survei prevalensi (Nugraheni, 2011).
Studi potong lintang dapat digunakan untuk penelitian deskriptif
maupun analitik. Studi potong lintang untuk penelitian deskriptif adalah
studi yang bertujuan untuk menggambarkan fenomena yang ditemukan, baik
berupa faktor risiko (paparan) atau efek (penyakit atau masalah kesehatan),
dengan peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel hanya satu
kali pada satu saat. Misalnya, penelitian mengenai pemberi ASI ekslusif di
suatu masyarakat, penelitian mengenai gambaran kejadian anemia pada
remaja putri, dan penelitian tentang pengetahuan siswa SMA mengenai
kesehatan reproduksi remaja (Nugraheni, 2011).
Berbeda dengan penelitian deskriptif, studi potong lintang untuk
penelitian analitik adalah studi yang mempelajari hubungan faktor risiko
(paparan) dan efek (penyakit atau masalah kesehatan) dengan cara
mengamati faktor risiko dan efek secara serentak pada banyak individu dari
suatu populasi pada satu saat. Misalnya, penelitian mengenai perbedaan
pemberian ASI eksklusif pada berbagai tingkat pendidikan ibu, penelitian
mengenai beda proporsi hiperlipidemia pada pria dan wanita, dan penelitian
mengenai hubungan berbagai faktor risiko dalam menyebabkan terjadinya
penyakit tertentu (Nugraheni, 2011).
Dalam studi potong lintang untuk penelitian analitik, tiap subjek
hanya diobservasi satu kali dan pengukuran variabel penelitian, yaitu
variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (efek atau penyakit atau
masalah kesehatan) dilakukan pada saat yang sama. Dari pengukuran
tersebut, dapat diketahui jumlah subjek yang mengalami efek (efek +), baik
pada kelompok subjek yang mempunyai faktor risiko (faktor risiko +)
maupun pada kelompok tanpa faktor risiko (faktor risiko -). Skema studi
potong lintang dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini (Nugraheni, 2011).
Efek +

Faktor risiko
+
Efek -
Populasi Sampel Dianalisis
Efek +
Faktor risiko
-

Efek -

Gambar 2.1 Skema Studi Potong Lintang


Sumber: Nugraheni, 2011

Studi potong lintang sering disebut juga penelitian transversal, dan


sering digunakan dalam penelitian-penelitian epidemiologi. Dibandingkan
dengan penelitian-penelitian yang lain, metode penelitian ini merupakan
yang paling lemah karena penelitian ini paling mudah dilakukan dan sangat
sederhana (Notoatmodjo, 2005). Penelitian analitik dengan
pendekatan cross sectional dapat dilakukan di rumah sakit atau di lapangan.
Penelitian klinis yang dilakukan di rumah sakit banyak menggunakan
pendekatan cross sectional dengan tujuan untuk mencari adanya hubungan
antara pajanan terhadap faktor risiko dan timbulnya penyakit sebagai akibat
pajanan tersebut. Hal ini dilakukan karena penelitian dengan
pendekatan cross sectional untuk tujuan analitis akan lebih cepat, lebih
praktis dan efisien, serta data yang telah ada dapat dimanfaatkan walaupun
terdapat beberapa kelemahan karena pengamatan sebab dan akibat
dilakukan pada saat yang bersamaan, tanpa urutan waktu yang lazim, yaitu
sebab mendahului akibat, yang merupakan salah satu syarat penting dalam
menentukan hubungan sebab akibat (Hasmi, 2012).
Menurut Budiarto dan Anggraeni (2002), studi cross sectional
memiliki ciri-ciri dan langkah-langkah dalam melakukan penelitiannya.
Ciri-ciri dari penelitian cross sectional tersebut sebagai berikut.
a. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan prevalensi penyakit
tertentu.
b. Pada penelitian ini tidak terdapat kelompok pembanding.
c. Hubungan sebab-akibat hanya merupakan perkiraan saja.
d. Penelitian ini dapat menghasilkan hipotesis.
e. Merupakan penelitian pendahuluan dari penelitian analitis.

Langkah-langkah yang dibutuhkan untuk melakukan penelitian


cross sectional adalah sebagai berikut (Budiarto dan Anggraeni, 2002).
a. Identifikasi dan perumusan masalah
Masalah yang akan diteliti harus diidentifikasi dan dirumuskan
dengan jelas agar dapat ditentukan tujuan penelitian dengan
jelas. Identifikasi masalah dapat dilakukan dengan mengadakan
penelaahan terhadap insidensi dan prevalensi berdasarkan
catatan yang lalu untuk mengetahui secara jelas bahwa masalah
yang sedang dihadapi merupakan masalah yang paling penting
untuk diatasi melalui suatu penelitian.
b. Menentukan tujuan penelitian
Tujuan penelitian harus dinyatakan dengan jelas agar orang
dapat mengetahui apa yang akan dicari, dimana akan dicari,
sasaran, berapa banyak dan kapan dilakukan, serta siapa yang
akan melaksanakannya. Tujuan penelitian merupakan hal yang
sangat penting dalam suatu penelitian karena dari tujuan ini
dapat ditentukan metode yang akan digunakan.
c. Menentukan lokasi dan populasi studi
Dari tujuan penelitian dapat diketahui lokasi penelitian dan
ditentukan pula populasi studinya. Biasanya, penelitian cross
sectional tidak dilakukan terhadap semua subjek studi, tetapi
dilakukan pada sebagian populasi dan hasilnya dapat
diekstrapolasi pada populasi studi tersebut. Populasi studi dapat
berupa populasi umum dan dapat berupa kelompok populasi
tertentu tergantung dari apa yang diteliti dan dimana penelitian
dilakukan.
d. Menentukan cara dan besar sampel
Agar tidak terjadi kesalahan dalam pengumpulan data, sasaran
yang dituju yang disebut subjek studi harus diberi kriteria yang
jelas, misalnya jenis kelamin, umur, domisili, dan penyakit yang
diderita. Hal ini penting untuk mengadakan ekstrapolasi hasil
penelitian yaitu kepada siapa hasil penelitian ini berlaku.
Pada penelitian cross sectional, diperlukan perkiraan besarnya
sampel dan cara pengambilan sampel. Perkiraan sampel dapat
dihitung dengan rumus Snedecor dan Cochran berikut.
1) Untuk data diskrit
𝑝. 𝑞. 𝑧𝛼2
𝑛=
𝐿2

Keterangan:
n = besar sampel
p = proporsi yang diinginkan. Apabila proporsi
sampel tidak diketahui, maka dapat diambil
proporsi terbesar yaitu p = 0,5
q = 1-p
𝑧𝛼2 = simpangan dari rata-rata distribusi normal standar
pada derajat kemaknaan α
𝑧𝛼2 = 1,64 untuk derajat kepercayaan 90%
𝑧𝛼2 = 1,96 untuk derajat kepercayaan 95%
𝑧𝛼2 = 2,58 untuk derajat kepercayaan 99%
L = kesalahan sampling yang masih dapat ditoleransi
(5% = 0,05)

2) Untuk data kontinu


𝑧𝛼2 .𝑠2
𝑛=
𝐿2
Keterangan:
𝑠2 = varian sampel
e. Memberikan definisi operasional
f. Menentukan variabel yang akan diukur
g. Menyusun instrumen pengumpulan data
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian harus disusun
dan dilakukan uji coba. Instrumen dapat berupa daftar
pertanyaan atau pemeriksaan fisik atau laboratorium atau
radiologis yang disesusaikan dengan tujuan penelitian.
h. Rencana analisis
Analisis data harus disesuaikan dengan tujuan
penelitian agar hasil penelitian dapat digunakan untuk menjawab
tujuan tersebut. Analisis data hasil penelitian terhadap hasil
observasi atau pengukuran faktor risiko dan efek pada penelitian
analitik kemudian dianalisis adanya hubungan atau perbedaan
prevalensi antar kelompok yang diteliti. Analisis ini dapat
berupa suatu uji hipotesis (uji statistik) seperti Chi-Square (X2),
uji-t (t-test), regresi, dan korelasi atau analisis untuk
memperoleh faktor risiko, yaitu dengan menggunakan
prevalence ratio (PR) (Nugraheni, 2011).
Prevalence ratio merupakan perbandingan antara
prevalensi efek (penyakit atau masalah kesehatan) pada
kelompok subjek yang memiliki faktor risiko dan prevalensi
efek pada kelompok tanpa faktor risiko. Prevalence ratio
menunjukkan peran faktor risiko dalam terjadinya efek pada
studi potong lintang. Prevalence ratio dapat dihitung secara
sederhana, yaitu dengan menggunakan tabel 2x2 sebagai berikut
(Nugraheni, 2011).

Tabel 2.1 Tabel kontingensi 2x2


Penyakit
Faktor Risiko Total
Ya Tidak
Terpapar a b a+b
Tidak Terpapar c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d=N
Dari definisi PR di atas, rumus untuk menghitung prevalence
ratio adalah sebagai berikut.
𝑎/(𝑎+𝑏)
PR = 𝑐/(𝑐+𝑑)

PR harus selalu disertai nilai interval kepercayaan (confidence


interval) yang dikehendaki, misalnya interval kepercayaan 95%.
Interpretasi hasil PR adalah sebagai berikut.
1) Jika nilai PR = 1 berarti variabel yang diduga sebagai
faktor risiko tidak ada pengaruh dalam terjadinya efek,
atau dengan kata lain bukan sebagai faktor risiko
terjadinya efek (penyakit atau masalah kesehatan).
2) Jika nilai PR > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti variabel tersebut sebagai faktor
risiko terjadinya efek (penyakit atau masalah kesehatan).
3) Jika nilai PR < 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti faktor yang diteliti merupakan
faktor protektif terjadinya efek.
4) Jika nilai interval kepercayaan PR mencakup nilai 1, maka
berarti mungkin nilai prevalensi = 1, sehingga belum dapat
disimpulkan bahwa faktor yang kita teliti sebagai faktor
risiko atau faktor protektif.

Kelebihan dan kelemahan studi potong lintang, antara lain sebagai


berikut:
a. Kelebihan studi potong lintang (Budiarto dan Anggraeni, 2002;
Bustan, 2006; Nugraheni 2011), meliputi:
1) Cepat, dapat dilakukan dengan hanya sekali pengamatan
atau interview.
2) Murah, bahkan dapat termurah dibandingkan dengan
penelitian lainnya.
3) Desain penelitian mudah untuk dilakukan.
4) Berguna untuk informasi bagi perencanaan misalnya untuk
menentukan lokasi rumah sakit, penganggaran obat, dan
peralatan medis, dan jenis-jenis pelayanan yang
diperlukan.
5) Desain yang efisien untuk mendeskripsikan distribusi
penyakit dihubungkan dengan distribusi sejumlah
karakteristik populasi, misalnya usia, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, jumlah anak yang dilahirkan
(paritas), status sosial ekonomi, dan status perkawinan.
6) Dalam hal tertentu, pendekatan potong lintang dapat
digunakan untuk memperkirakan adanya hubungan sebab
akibat.
7) Sebagai studi analitik, potong lintang bermanfaat untuk
memformulasikan hipotesis hubungan kausal yang akan
diuji dalam studi analitik lainnya, seperti kasus kontrol
dan kohort.
8) Tidak memaksa subjek mengalami faktor yang merugikan
kesehatan (tidak adanya perlakuan).

b. Kelemahan studi potong lintang (Bustan 2006; Nugraheni,


2011), meliputi:
a) Validitas penilaian hubungan kausal menuntut rangkaian
waktu yang jelas antara faktor risiko dan terjadinya efek
(penyakit atau masalah kesehatan) pada studi potong
lintang sulit dipenuhi, sehingga penggunaan desain studi
ini terbatas untuk menganalisis hubungan kausal antara
faktor risiko dan efek.
b) Penggunaan data prevalensi, padahal dalam penelitian
faktor risiko dan etiologi penyakit menuntut penggunaan
data insidensi penyakit. Artinya bahwa pengamatan status
penyakit harus segera dilakukan pada fase awal klinis
penyakit, adanya keterlambatan mengidentifikasi penyakit,
terutama pada penyakit dengan durasi yang pendek dan
penyakit yang langka akan menghasilkan frekuensi
penyakit yang berbeda. Studi potong lintang sulit dipakai
untuk penyakit yang akut, pendek masa inkubasi, dan
masa akhirnya.
c) Umumnya hanya menemukan kasus yang selamat. Tidak
dapat menemukan mereka yang mati karena penyakit yang
diteliti.

Untuk memudahkan dalam memahami studi potong lintang, berikut


disajikan contoh kasus studi potong lintang untuk penelitian analitik. Kasus
dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
Kasus:
Suatu penelitian ingin mengetahui tentang hubungan antara
pendidikan ibu dengan kejadian diare pada balita di kelurahan X,
Kecamatan Y, Kota Z tahun 2007. Populasi adalah seluruh ibu yang
memiliki balita di Kota Z tahun 2007. Berdasarkan data diperoleh proporsi
kejadian diare di Kota Z sebesar 20%. Sampel diperoleh dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
𝑝. 𝑞. 𝑧𝛼2
𝑛=
𝐿2
0,2. 0,8. (1,96)2
𝑛=
0,052
𝑛 = 246

Dari hasil perhitungan sampel, diperoleh sampel sebanyak 246 orang


balita. Selanjutnya, pengambilan sampel dilakukan dengan teknik simple
random sampling. Setelah data terkumpul, data dianalisis menggunakan uji
beda proporsi (chi square). Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel di
bawah ini.
Tabel 2.2 Hasil Penelitian
Pendidikan Ibu Kejadian Penyakit Diare PR
Diare Tidak Diare Jumlah P (95%
Value CI)
n % N % n %
Rendah 27 22,7 92 77,3 119 100 2,4
Tinggi 12 9,4 115 90,6 127 100 0,008 (1,9-
10,5)
Jumlah 39 16,05 207 83,95 246 100

Dari hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat


pendidikan rendah, sebanyak 27 orang (22,7%) anaknya menderita diare.
Sedangkan ibu dengan tingkat pendidikan tinggi sebanyak 12 orang (9,4%)
anaknya menderita diare.
Hasil uji statistik diperoleh p value = 0,008 (p value < 0,05), berarti
terdapat perbedaan proporsi kejadian penyakit diare pada balita antara ibu
yang berpendidikan rendah dan tinggi. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dan
kejadian penyakit diare pada balita.
Dari hasil analisis, diperoleh nilai PR = 2,4 (95% CI = 1,9-10,5). Hal
ini berarti ibu yang berpendidikan rendah berisiko memiliki anak yang
terkena penyakit diare sebesar 2,4 kali lebih besar dibandingkan ibu yang
berpendidikan tinggi.

2. Studi Kasus Kontrol (Case Control)


Studi kasus kontrol merupakan penelitian epidemiologi analitik
observasional yang dapat digunakan untuk menelaah hubungan antara efek
(penyakit atau masalah kesehatan) dan faktor risiko tertentu. Desain kasus
kontrol dapat digunakan untuk menilai berapa besar faktor risiko untuk
terjadinya suatu penyakit. Dalam kekuatan hubungan sebab akibat, studi
kasus kontrol ada di bawah desain eksperimental dan kohort, namun lebih
kuat dibandingkan dengan desain potong lintang (Nugraheni, 2011). Murti
(1997), menyatakan bahwa studi kasus kontrol adalah rancangan studi
epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian)
dan penyakit, dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok
kontrol berdasarkan status paparannya.
Studi kasus kontrol sering disebut juga penelitian retrospektif yang
dapat diartikan sebagai suatu penelitian dengan pendekatan longitudinal
yang bersifat observasional mengikuti perjalanan penyakit ke arah belakang
(retrospektif) untuk menguji hipotesis spesifik tentang adanya hubungan
pemaparan terhadap faktor risiko di masa lalu dengan timbulnya penyakit.
Dengan kata lain, mengikuti perjalanan penyakit dari akibat ke sebab
dengan membandingkan besarnya pemaparan faktor risiko di masa lalu
antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol sebagai pembanding.
Kelompok kasus atau kelompok penderita ialah kelompok individu yang
menderita penyakit yang akan diteliti dan ikut dalam proses penelitian
sebagai subjek studi. Hal ini penting dijelaskan karena tidak semua orang
yang memenuhi kriteria penyakit yang akan diteliti bersedia mengikuti
penelitian dan tidak semua penderita memenuhi kriteria yang telah
ditentukan. Sedangkan, kelompok kontrol ialah kelompok individu yang
sehat atau tidak menderita penyakit yang akan diteliti, tetapi mempunyai
peluang yang sama dengan kelompok kasus untuk terpajan oleh faktor risiko
yang diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit dan bersedia menjadi
subjek studi. Jumlah kelompok kontrol tidak harus sama dengan kelompok
kasus (Budiarto dan Anggraeni, 2002).
Studi kasus kontrol (case control) dimulai dengan mengidentifikasi
sekelompok subjek dengan efek (penyakit atau masalah kesehatan) sebagai
kasus dan sekelompok subjek tanpa efek sebagai kontrol. Studi ini dapat
digunakan untuk menentukan apakah kelompok yang sakit (kasus) dan
kelompok yang sehat (kontrol) memiliki proporsi yang berbeda pada mereka
yang telah terpapar faktor risiko yang diteliti (Nugraheni, 2011). Skema
studi kasus kontrol dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.
Faktor Risiko +

Kasus (Kelompok Subjek


dengan Efek +) Faktor Risiko -
Populasi

Faktor Risiko +
Kontrol (Kelompok
Subjek dengan Efek -)

Faktor Risiko -

Gambar 2.3 Skema Studi Kasus Kontrol


Sumber: Nugraheni, 2011

Hasil dari studi kasus kontol lebih diutamakan untuk menetapkan


hubungan sebab akibat (hubungan etiologis) daripada melakukan
generalisasi pada populasi umum. Misalnya, karakteristik atau perilaku
tertentu dapat diduga sebagai penyebab terjadinya suatu penyakit, seperti
obesitas dan kebiasaan merokok sebagai risiko terjadinya penyakit
hipertensi, dan berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh
bahwa terdapat hubungan yang signifikan (ada hubungan etiologis)
sehingga dapat diartikan bahwa obesitas dan kebiasaan merokok sebagai
penyebab terjadinya hipertensi (Nugraheni, 2011).
Menurut Budiarto dan Anggraeni (2002), studi kasus kontrol
memiliki ciri-ciri, yaitu sebagai berikut.
a. Bersifat observasional
b. Diawali dengan kelompok penderita dan bukan penderita
c. Terdapat kelompok kontrol
d. Kelompok kontrol harus memiliki risiko terpajan oleh faktor
risiko yang sama dengan kelompok kasus
e. Membandingkan besarnya pengalaman terpajan oleh faktor
antara kelompok kasus dan kelompok kontrol
f. Tidak mengukur insidensi.

Nugraheni (2011), menjelaskan langkah-langkah dalam melakukan


penelitian studi kasus kontrol, yaitu sebagai berikut.
a. Menetapkan kelompok yang diteliti
1) Memilih kasus. Dalam memilih kasus perlu diperhatikan
beberapa hal, yaitu.
(a) Kriteria diagnosis suatu penyakit yang akan diteliti
dan definisi operasional harus jelas, agar tidak
menimbulkan bias dalam melakukan pengukuran.
(b) Populasi sumber kasus dapat berasal dari rumah
sakit (hospital based) maupun masyarakat
(community based).
2) Memilih kontrol. Kelompok kontrol dimaksudkan untuk
membandingkan proporsi terpapar faktor risiko pada
kelompok kasus dengan proporsi terpapar faktor risiko
pada kelompok kontrol. Kelompok kontrol harus
komparabel terhadap kelompok kasus. Oleh karena itu,
kelompok kontrol harus memiliki ciri-ciri, yaitu.
(a) Tidak menderita penyakit atau masalah kesehatan
yang sedang diteliti.
(b) Mempunyai kemungkinan terpapar faktor risiko
yang sedang diteliti seperti yang terjadi pada
kelompok kasus.
(c) Merupakan sampel yang representatif terhadap
populasi kasus.
Kontrol harus dipilih dari populasi yang memiliki
karakteristik serupa dengan populasi kasus sehingga
mempunyai kesempatan yang sama untuk terpapar faktor
risiko yang diteliti. Misalnya, jika peneliti ingin
mengetahui apakah kanker payudara disebabkan oleh
penggunaan pil KB, maka untuk kontrol adalah subjek
yang memiliki peluang sama untuk menggunakan pil KB,
yaitu wanita usia subur dan menikah (wanita yang belum
menikah atau tidak mempunyai anak tidak akan minum pil
KB). Kontrol dapat diperoleh dari beberapa sumber, antara
lain pasien rumah sakit, populasi umum, tetangga, teman,
atau kerabat keluarga.

b. Menetapkan besarnya sampel


Besar sampel yang digunakan dalam studi kasus kontrol
dapat dihitung dengan menggunakan rumus sampel berikut.
{𝑍1𝛼/2 √[2 𝑃 (1 − 𝑃)] + 𝑍1−𝛽 √[𝑃1 (1 − 𝑃1 ) + 𝑃2 (1 − 𝑃2 )] }2
𝑛=
(𝑃1 − 𝑃2 )2
Keterangan:
n = besar sampel minimal
𝑍1𝛼/2 = nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α
Z = 1,64 untuk derajat kepercayaan 90%
Z = 1,96 untuk derajat kepercayaan 95%
Z = 2,58 untuk derajat kepercayaan 99%
𝑍1−𝛽 = nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β
Z = 1,28 untuk kekuatan uji 90%
Z = 1,64 untuk kekuatan uji 95%
Z = 2,33 untuk kekuatan uji 99%
P1 = proporsi subjek terpapar pada kelompok kasus
P2 = proporsi subjek terpapar pada kelompok kontrol

Pada perhitungan untuk mendapatkan jumlah sampel minimal


dengan menggunakan rumus di atas, dicari terlebih dahulu P1 dengan
menggunakan rumus:
(𝑂𝑅)𝑃2
𝑃1 =
(𝑂𝑅)𝑃2 + (1 − 𝑃2 )

OR dan P2 dapat dihitung dari hasil proporsi subjek terpapar


pada kelompok kontrol berdasarkan penelitian yang telah ada
sebelumnya. P2 dapat dicari dengan perhitungan sebagai berikut
(berdasarkan tabel 2x2 di bawah ini).

Tabel 2.4 Tabel kontingensi 2x2


Efek
Faktor risiko Total
Kasus Kontrol
Faktor risiko (+) a b a+b
Faktor risiko (-) c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d = N

𝑏
𝑃2 =
𝑏+𝑑

Sementara P adalah rata-rata subjek terpapar pada kelompok kasus


dan kontrol dengan perhitungan sebagai berikut.
𝑃1 + 𝑃2
𝑃=
2

c. Pengambilan data dan pencatatan


Pengumpulan semua keterangan masa lampau yang pernah
dialami subjek penelitian sebelum terjadinya penyakit, dapat
dilakukan dengan wawancara dan observasi. Selain itu, pengumpulan
keterangan tersebut dapat dilakukan dengan memeriksa catatan medik
yang pernah dilakukan oleh subjek dan memeriksa hasil pemeriksaan
laboratorium.

d. Pengolahan dan analisis data hasil penelitian


Setelah data diolah kemudian dilakukan analisis data, baik
secara univariat, bivariat, dan multivariat. Untuk menilai apakah
faktor risiko (faktor penelitian) yang dialami subjek sebagai penyebab
timbulnya efek (penyakit atau masalah kesehatan), dilakukan melalui
tes kemaknaan dengan menggunakan uji statistik yang disesuaikan
dengan data hasil penelitian, seperti regresi dan korelasi, chi square,
uji t, Anova, Rank Spearman, regresi linear sederhana atau regresi
logistic ganda. Hasil pengujian statistik akan menghasilkan dua
kemungkinan, yaitu menolak hipotesis 0 (H0) dan gagal menolak
hipotesis 0.
Pada desain kasus kontrol, kita dapat menghitung besarnya
risiko terkena penyakit yang mungkin terjadi karena adanya paparan.
Dalam desain studi kasus kontrol untuk menilai besarnya risiko
terkena penyakit tidak dapat menggunakan perbandingan insidensi
penyakit, karena tidak dapat menghitung kecepatan kejadian penyakit.
Oleh karena itu, dilakukan perhitungan yang disebut Odds Ratio (OR),
dengan rumus:
𝑂𝑑𝑑𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠
𝑂𝑅 =
𝑂𝑑𝑑𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙

𝑃𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜


𝑂𝑑𝑑𝑠 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 =
𝑃𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

𝑃𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜


𝑂𝑑𝑑𝑠 𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 =
𝑃𝑟𝑜𝑝𝑜𝑟𝑠𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑡𝑟𝑜𝑙 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

𝑎/(𝑎+𝑐):𝑐/(𝑎+𝑐)
𝑂𝑅 = 𝑏/(𝑏+𝑑):𝑑/(𝑏+𝑑)
𝑎/𝑐
= 𝑏/𝑑
𝑎𝑑
= 𝑏𝑐

OR harus selalu disertai nilai interval kepercayaan


(confidence interval) yang dikehendaki, misalnya interval kepercayaan
95%. Interpretasi hasil OR adalah sebagai berikut.
a. Jika nilai OR = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor
risiko tidak ada pengaruh dalam terjadinya efek, atau dengan
kata lain bukan sebagai faktor risiko terjadinya efek (penyakit
atau masalah kesehatan).
b. Jika nilai OR > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti variabel tersebut sebagai faktor risiko
terjadinya efek (penyakit atau masalah kesehatan).
c. Jika nilai OR < 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti faktor yang diteliti merupakan faktor
protektif terjadinya efek.
d. Jika nilai interval kepercayaan OR mencakup nilai 1, maka
berarti mungkin nilai prevalensi = 1, sehingga belum dapat
disimpulkan bahwa faktor yang kita teliti sebagai faktor risiko
atau faktor protektif.

Kelebihan dan kelemahan studi kasus kontrol, antara lain sebagai


berikut:
a. Kelebihan studi kasus kontrol (Budiarto dan Anggraeni, 2002;
Nugraheni 2011), meliputi:
1) Relatif murah dan mudah dilakukan dibandingkan dengan
desain analitik lainnya, seperti kohort dan eksperimen.
2) Pelaksanaannya relatif lebih cepat dibandingkan dengan
prospektif, karena pada penelitian retrospektif diawali
dengan penderita yang berarti penyakit yang akan diteliti
telah timbul, sedangkan pada penelitian prospektif,
insidensi penyakit yang akan diteliti harus menunggu yang
cukup lama.
3) Cocok untuk meneliti penyakit dengan periode laten yang
panjang. Peneliti tidak perlu mengikuti perkembangan
penyakit sampai penyakit bermanifestasi, cukup dengan
mengidentifikasi subjek penelitian yang telah menderita
penyakit dan tidak mengalami penyakit, kemudian
mencatat riwayat paparan pada kedua kelompok. Misalnya
hubungan rokok dengan karsinoma paru-paru.
4) Adanya keleluasaan menentukan perbandingan ukuran
sampel kasus dan kontrol, dan dengan demikian tepat
untuk meneliti penyakit langka.
5) Dapat meneliti pengaruh sejumlah paparan terhadap satu
penyakit. Dengan demikian desain studi kasus kontrol
tidak saja cocok untuk menguji hubungan paparan dan
penyakit, tetapi juga dapat memastikan adanya hubungan
sejumlah paparan yang masih belum jelas.
b. Kelemahan studi kasus kontrol (Nugraheni, 2011), antara lain:
1) Pemilihan subjek berdasarkan status penyakit dilakukan
saat paparan telah berlangsung sehingga rawan bias,
khususnya bias seleksi (yaitu kesalahan dalam pemilihan
subjek penelitian) dan recall bias (kesalahan dalam
mengingat paparan).
2) Subjek penelitian dipilih berdasarkan status penyakit
sehingga tidak dapat menghitung laju insidensi (kecepatan
kejadian penyakit), baik pada kelompok berisiko atau pada
kelompok yang tidak berisiko.
3) Hanya dapat meneliti sebuah penyakit.

Untuk memudahkan dalam memahami studi kasus kontrol, berikut


disajikan contoh kasus studi kasus kontrol untuk penelitian analitik. Kasus
dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
Kasus:
Suatu penelitian ingin mengetahui bahwa hipetensi sebagai faktor
risiko terjadinya penyakit stroke pada penderita stroke yang pernah dirawat
di RS X di Kabupaten Y tahun 2006. Untuk mendapatkan sampel penelitian
dihitung dengan menggunakan rumus:
{𝑍1𝛼/2 √[2 𝑃 (1 − 𝑃)] + 𝑍1−𝛽 √[𝑃1 (1 − 𝑃1 ) + 𝑃2 (1 − 𝑃2 )] }2
𝑛=
(𝑃1 − 𝑃2 )2
Terlebih dahulu harus mencari OR dan P2 dari hasil penelitian
serupa. Dari hasil penelitian yang dilakukan Amahorseja (1991) didapatkan
OR sebesar 2 dan P2 sebesar 0,27. Selanjutnya, kita hitung P1, sebagai
berikut:
(𝑂𝑅)𝑃2
𝑃1 =
(𝑂𝑅)𝑃2 + (1 − 𝑃2 )
(2)0,27
𝑃1 =
(2)0,27 + (1 − 0,27)
0,54
= = 0,42
0,54+0,73

𝑃1 + 𝑃2
𝑃= 2
0,42+0,27
𝑃= = 0,35
2

Selanjutnya kita hitung jumlah sampel, sebagai berikut:


{1,96√[2.0,35 (1 − 0,35)] − (−0,64)√[0,42(1 − 0,42) + 0,27(1 − 0,27)] }2
𝑛=
(0,42− 0,27)2
= 60

Dari hasil perhitungan sampel, diperoleh sampel sebanyak 60


orang. Dengan menggunakan perbandingan antara kasus dan kontrol 1:1,
didapatkan jumlah keseluruhan sampel adalah 120 orang (terdiri dari 60
orang kasus dan 60 orang sebagai kontrol).
Cara pengambilan kasus, dari 200 orang penderita stroke pada
tahun 2006 diambil 60 pasien sebagai sampel dengan menggunakan simple
random sampling. Sementara kontrol diambil dari pasien penyakit dalam
dengan diagnosis selain stroke dengan kriteria tanggal dirawat sama dengan
kasus dan berusia ≥ 30 tahun. Setelah data dikumpulkan, kemudian
dianalisis menggunakan uji beda proporsi (chi square). Hasil penelitian
dapat dilihat pada Tabel 2.5 dibawah ini.
Tabel 2.5 Hasil Penelitian
Stroke OR
Total P
Hipertensi Kasus Kontrol (95%
Value
n % n % n % CI)
Ya 42 70 15 25 57 47,5 7
0,0005 (3,133-
Tidak 18 30 45 75 63 52,5
15,640)
Total 60 100 60 100 120 100

OR dapat dihitung secara manual dengan tabel kontingensi, dengan


hasil sebagai berikut:
𝑎/𝑐
OR = 𝑏/𝑑
42/15
= 18/45 = 7

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa responden yang menderita


stroke sebanyak 42 (70%) pasien yang memiliki hipertensi. Sementara pada
kelompok kontrol, sebanyak 15 (25%) pasien yang memiliki hipertensi.
Dari uji statistik diperoleh p value = 0,0005, keputusan uji
statistiknya H0 ditolak (p value ≤ 0,05) artinya ada perbedaan yang
signifikan antara hipertensi dan stroke atau dapat disimpulkan bahwa
hipertensi merupakan faktor risiko stroke. Dari hasil analisis diperoleh nilai
OR = 7 (95% CI = 3,13-15,64) artinya orang yang memiliki hipertensi
berisiko terkena stroke sebesar 7 kali dibandingkan dengan orang yang tidak
memiliki hipertensi.

3. Studi Kohort
Studi kohort adalah studi yang mempelajari hubungan antara faktor
risiko dan efek (penyakit atau masalah kesehatan) dengan memilih
kelompok studi berdasarkan perbedaan faktor risiko. Kemudian mengikuti
sepanjang suatu periode waktu tertentu untuk melihat berapa banyak subjek
dalam masing-masing kelompok mengalami efek (penyakit atau masalah
kesehatan). Pada awal penelitian, subjek harus bebas dari penyakit yang
diteliti. Faktor risiko diidentifikasi terlebih dahulu, kemudian subjek diikuti
sampai periode tertentu untuk melihat terjadinya efek atau penyakit yang
diteliti pada kelompok subjek dengan faktor risiko dan tanpa faktor risiko.
Hasil penelitian dianalisis dengan teknik tertentu sehingga dapat
disimpulkan apakah ada hubungan antara faktor risiko dengan kejadian
penyakit atau efek yang terjadi (Nugraheni, 2011).
Studi kohort merupakan metode epidemiologi yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi suatu populasi berdasarkan kriteria
tertentu, seperti usia atau paparan yang dialami individu, atau dapat dengan
menggunakan cara atau sifat suatu pengelompokkan individu lainnya
berdasarkan tujuan penelitian. Kelompok dari suatu populasi studi dapat
ditetapkan untuk mengkaji apakah setiap kelompok telah atau akan terkena
penyakit atau efek yang kita teliti. Pengamatan kohort dapat dilakukan
secara intermiten atau kontinu. Periode waktu follow up umumnya beberapa
tahun atau bahkan dasawarsa untuk memberi waktu yang cukup kepada
sebagian penyakit (terutama kanker) untuk memanifestasikan diri secara
klinis (Nugraheni, 2011).
Studi kohort dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kohort prospektif
dan retrospektif. Kohort prospektif merupakan studi kohort apabila faktor
risiko atau faktor penelitian diukur pada awal penelitian, kemudian
dilakukan follow up untuk melihat kejadian penyakit di masa akan datang.
Lamanya follow up dapat ditentukan berdasarkan lamanya waktu terjadinya
penyakit. Kejadian penyakit atau efek dapat ditentukan melalui wawancara
dengan anggota kohort, anggota keluarganya, hasil pemeriksaan
laboratorium atau memeriksa catatan medik responden. Sedangkan, kohort
retrospektif merupakan studi kohort apabila faktor risiko dan efek atau
penyakit sudah terjadi di masa lampau sebelum dimulainya penelitian.
Dengan demikian, variabel tersebut diukur melalui catatan historis
(Nugraheni, 2011). Prinsip studi kohort retrospektif tetap sama dengan
kohort prospektif, namun pada studi ini pengamatan dimulai saat efek sudah
terjadi. Hal yang penting diperhatikan dalam studi kohort adalah populasi
yang diamati tetap memenuhi syarat populasi kohort dan yang diamati
adalah faktor risiko masa lalu yang diperoleh melalui pencatatan data yang
lengkap. Dengan demikian, studi kohort retrospektif hanya dapat dilakukan
apabila data tentang faktor risiko tercatat dengan baik sejak terjadinya
paparan pada populasi yang sama hingga efek yang ditemukan pada awal
pengamatan. Skema studi kohort dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Efek +

Faktor risiko
Follow up
+
Efek -

Populasi
Populasi dengan efek Efek +
-

Faktor risiko
- Follow up
Efek -

Gambar 2.4 Skema Studi Kohort


Sumber: Nugraheni, 2011

Studi kohort memiliki ciri-ciri, antara lain:


a. Mempelajari hubungan faktor risiko dengan efek atau penyakit
b. Pemilihan subyek berdasarkan status paparannya
c. Pendekatan waktu secara longitudinal (time-period approach)
d. Faktor risiko diidentifikasi terlebih dahulu
e. Diikuti periode tertentu untuk melihat efek atau penyakit yang
diteliti pada kelompok dengan faktor risiko dan pada kelompok
tanpa faktor risiko
f. Hasil analisis digunakan untuk melihat hubungan dan pengaruh.

Langkah-langkah studi kohort (Nugraheni, 2011), yaitu sebagai


berikut.
a. Memilih kelompok terpapar dan tidak terpapar
1) Kelompok terpapar. Pemilihan kelompok terpapar yang
berasal dari populasi umum memungkinkan peneliti
mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat dari
subjek penelitian. Populasi umum merupakan pilihan yang
tepat pada beberapa keadaan seperti:
(a) Prevalensi paparan pada populasi cukup tinggi
(b) Batas geografik jelas
(c) Secara demografis stabil
(d) Ketersediaan catatan demografis lengkap dan up to
date.
Selain populasi umum, kita dapat menggunakan populasi
khusus. Populasi khusus merupakan alternatif pada
kondisi apabila prevalensi dan kejadian penyakit pada
populasi umum rendah dan adanya kemudahan untuk
memperoleh informasi yang akurat. Namun, populasi
umum memiliki kelemahan yaitu derajat kesehatan yang
berbeda, data kependudukan, kesehatan dan catatan medik
tidak seakurat populasi khusus.

2) Kelompok tidak terpapar


Kelompok tidak terpapar dapat dipilih dari populasi
yang sama dengan populasi kelompok terpapar.
Kelompok tidak terpapar juga dapat dipilih dari
populasi yang bukan populasi asal kelompok
terpapar, tetapi harus dipastikan kedua populasi
harus sama dalam hal faktor-faktor yang
merancukan penilaian hubungan antara paparan dan
penyakit yang sedang diteliti.

b. Menetapkan kelompok yang akan diteliti


Kelompok yang akan diteliti adalah kelompok yang mengalami
faktor risiko dan kelompok yang tidak mengalami faktor risiko
penelitian.
c. Menetapkan besarnya sampel
Besar sampel yang digunakan dalam studi kohort dapat dihitung
menggunakan rumus berikut.
{𝑍1𝛼/2 √[2 𝑃 (1 − 𝑃)] + 𝑍1−𝛽 √[𝑃1 (1 − 𝑃1 ) + 𝑃2 (1 − 𝑃2 )] }2
𝑛=
(𝑃1 − 𝑃2 )2

Keterangan:
n = besar sampel minimal
𝑍1𝛼/2 = nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α
Z = 1,64 untuk derajat kepercayaan 90%
Z = 1,96 untuk derajat kepercayaan 95%
Z = 2,58 untuk derajat kepercayaan 99%
𝑍1−𝛽 = nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β
Z = 1,28 untuk kekuatan uji 90%
Z = 1,64 untuk kekuatan uji 95%
Z = 2,33 untuk kekuatan uji 99%
P1 = proporsi yang terkena penyakit pada kelompok terpapar
P2 = proporsi yang terkena penyakit pada kelompok tidak
terpapar

Sebelum menghitung jumlah sampel minimal dengan


menggunakan rumus di atas, P1 dicari menggunakan rumus:
𝑃1 = 𝑅𝑅. 𝑃2

Sementara RR dan P2 dapat dihitung dari hasil proporsi subjek


yang terkena penyakit atau efek pada kelompok terpapar
berdasarkan penelitian yang telah ada sebelumnya. P2 dapat
dicari dengan perhitungan sebagai berikut (berdasarkan tabel
2x2 di bawah ini).
𝑐
𝑃2 =
𝑐+𝑑
Tabel 2.6 Tabel Kontingensi 2x2
Faktor Risiko Penyakit Total
Ya Tidak
Risiko (+) a b a+b
Risiko (-) c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d=N

P adalah rata-rata subjek terpapar pada kelompok kasus dan


kontrol dengan perhitungan sebagai berikut.
𝑃1 + 𝑃2
𝑃=
2

d. Pengambilan data dan pencatatan


Kedua kelompok kemudian diikuti selama jangka waktu tertentu
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dalam penelitian.
Selanjutnya, dilakukan pencatatan semua keterangan yang telah
diperoleh sesuai tujuan penelitian.

e. Pengolahan dan analisis data hasil penelitian


Setelah data diolah kemudian dilakukan analisis data, baik
secara univariat, bivariat, dan multivariat. Untuk menilai apakah
faktor risiko (faktor penelitian) yang dialami subjek sebagai
penyebab timbulnya efek (penyakit atau masalah kesehatan),
dilakukan melalui tes kemaknaan dengan menggunakan uji
statistik yang sesuai. Hasil pengujian statistik akan
menghasilkan dua kemungkinan, yaitu menolak hipotesis 0 (H0)
dan gagal menolak hipotesis 0.
Pada desain kohort kita dapat menghitung besarnya risiko
yang dihadapi kelompok terpapar untuk terkena penyakit. Untuk
menilai besarnya risiko terjadinya penyakit pada kelompok
terpapar dapat digunakan perhitungan yang meliputi RR
(relative risk) dan risiko atribut (attributable risk).
RR adalah perbandingan antara insidensi penyakit yang
muncul dalam kelompok terpapar dan insidensi penyakit yang
muncul dalam kelompok tidak terpapar. Berdasarkan tabel 2x2
di atas, nilai RR dapat dihitung dengan rumus:
𝑎/(𝑎 + 𝑏)
𝑅𝑅 =
𝑐/(𝑐 + 𝑑)

RR harus selalu disertai nilai interval kepercayaan


(confidence interval) yang dikehendaki, misalnya interval
kepercayaan 95%. Interpretasi hasil RR adalah sebagai berikut.
1) Jika nilai RR = 1 berarti variabel yang diduga sebagai
faktor risiko tidak ada pengaruh dalam terjadinya efek,
atau dengan kata lain bukan sebagai faktor risiko
terjadinya efek (penyakit atau masalah kesehatan).
2) Jika nilai RR > 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti variabel tersebut sebagai faktor
risiko terjadinya efek (penyakit atau masalah kesehatan).
3) Jika nilai RR < 1 dan rentang interval kepercayaan tidak
mencakup angka 1, berarti faktor yang diteliti merupakan
faktor protektif terjadinya efek.
4) Jika nilai interval kepercayaan RR mencakup nilai 1, maka
berarti mungkin nilai prevalensi = 1, sehingga belum dapat
disimpulkan bahwa faktor yang kita teliti sebagai faktor
risiko atau faktor protektif.

Risiko atribut (AR) adalah selisih antara insidensi


penyakit yang diderita kelompok terpapar dan insidensi penyakit
yang diderita kelompok yang tidak terpapar. Berdasarkan tabel
2x2, AR dapat dihitung menggunakan rumus:
𝑎 𝑐
𝐴𝑅 = (𝑎+𝑏) − (𝑐+𝑑)
Laju insidensi (incidence rate) yaitu kecepatan kejadian
baru penyakit pada populasi, dapat dihitung dengan rumus:
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑏𝑎𝑟𝑢 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑖𝑛𝑠𝑖𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖 =
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜 𝑥 𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

Kelebihan dan kelemahan studi kohort, antara lain sebagai berikut:


a. Kelebihan studi kohort (Budiarto dan Anggraeni, 2002;
Nugraheni 2011), meliputi:
1) Sekuens waktu antara faktor risiko dan penyakit atau efek
dapat diketahui secara pasti.
2) Dapat menghitung dengan akurat jumlah paparan yang
dialami populasi.
3) Pada studi kohort, dapat menghitung laju insidensi
(kecepatan terjadinya penyakit).
4) Dapat meneliti paparan yang langka.
5) Hubungan sebab akibat lebih jelas dan meyakinkan.

b. Kelemahan studi kohort (Nugraheni, 2011), meliputi:


1) Jika prospektif, sangat mahal dan memerlukan waktu yang
lama.
2) Jika retrospektif, membutuhkan catatan data yang lengkap.
3) Validitas hasil penelitian dapat terancam, karena adanya
subjek-subjek yang hilang saat follow up.

Untuk memudahkan dalam memahami studi kasus kontrol, berikut


disajikan contoh kasus studi kasus kontrol untuk penelitian analitik. Kasus
dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
Kasus :
Suatu penelitian kohort ingin mengetahui hubungan antara
merokok dan kemungkinan menderita penyakit kanker paru.
Tabel 2.7 Tabel Kontingensi
Kanker Paru
Merokok Jumlah
Ya Tidak
Ya 300 10 310
Tidak 20 600 620
Total 320 610 930

𝑎/(𝑎 + 𝑏)
𝑅𝑅 =
𝑐/(𝑐 + 𝑑)
300/(310)
𝑅𝑅 = = 30
20/(620)
Hal ini berarti orang yang merokok akan mengalami kemungkinan
menderita kanker paru 30 kali lebih besar daripada orang yang tidak
merokok. Pada contoh di atas risiko atributnya adalah:
𝑎 𝑐
𝐴𝑅 = ( )− ( )
𝑎+𝑏 𝑐+𝑑
300 20
𝐴𝑅 = ( )− ( ) = 0,965 (965 ‰)
310 620
Hal ini berarti, dari 1000 orang yang merokok akan ditemukan 965
orang diantaranya menderita kanker paru karena merokok.

Anda mungkin juga menyukai