Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Eosinofil merupakan lekosit yang termasuk dalam seri granulosit dengan

granula khas berwarna jingga pada pewarnaan Wright. Eosinofil dibentuk dan

berkembang di sumsum tulang dan akan dilepaskan ke dalam darah untuk

bermigrasi ke jaringan. Eosinofil memiliki lima jenis granula yang mengandung

berbagai substansi yang berperan pada proses inflamasi. Infiltrasi dan degranulasi

masif eosinofil di jaringan dapat menimbulkan kerusakan jaringan yang serius. 1

Eosinofilia (jumlah eosinofil absolut >1.500/l) sering ditemukan pada

penyakit seperti infeksi parasit, alergi atau reaksi obat dan atopi/asma. Eosinofilia

juga ditemukan pada keganasan hematologi seperti myeloproliferative neoplasms

(MPN), acute myeloid leukemia (AML), dan myelodysplastic syndromes (MDS).2

Klasifikasi kelainan eosinofilia selama ini berbeda-beda antar bidang ilmu

kedokteran, namun yang banyak dijadikan sebagai acuan adalah klasifikasi

menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008. Pada tahun 2011

Working Conference on Eosinophil Disorders and Syndromes merumuskan

definisi baru eosinofilia, hipereosinofilia dan hypereosinophilic syndrome (HES)

serta klasifikasinya.2,3

Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai eosinofil: pembentukan dan

perkembangan eosinofil, fungsi dan kelainan eosinofil, patogenesis eosinofilia,

klasifikasi kelainan eosinofil dan pemeriksaan laboratorium yang terkait.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eosinofil

Eosinofil pertama kali diidentifikasi oleh Paul Ehrlich pada tahun 1879.2

Eosinofil pertama kali dikenali dari karakteristik granula eosinofil yang memiliki

afinitas tinggi terhadap asam pada pewarnaan eosin. Eosinofil berukuran diameter

12-17 m dan umumnya memiliki nukleus bilobus (terkadang dijumpai tiga lobus

atau lebih).1,4 Dengan pewarnaan Wright granula eosinofil yang normal berwarna

jingga hingga jingga kemerahan. Granula eosinofil berbentuk bola, ukuran

homogen, dan tersebar merata.5

Pembentukan eosinofil dalam sumsum tulang membutuhkan waktu 3 sampai 6

hari sebelum eosinofil muncul di sirkulasi darah. Eosinofil yang tersimpan dalam

sumsum tulang dapat segera dikeluarkan ke sirkulasi darah saat dibutuhkan. Masa

transit eosinofil dalam darah perifer sekitar 8 jam, namun dapat lebih lama pada

kondisi eosinofilia.5

Eosinofil bermigrasi ke dalam jaringan, seperti mukosa bronkus, kulit, saluran

gastrointestinal, dan vagina. Eosinofil dalam jaringan bertahan selama 8-12 hari

dan dapat kembali ke sirkulasi darah dan sumsum tulang. Eosinofil dapat

bermigrasi melalui sel endotel menuju jaringan atau lokasi inflamasi.5

Darah tepi orang dewasa normal mengandung 1-5% eosinofil dengan jumlah

absolut 40-550/l.6 Sumsum tulang orang dewasa normal mengandung 0-3%

eosinofil.5 Eosinofil yang meningkat berhubungan dengan berbagai jenis penyakit

2
diantaranya alergi, respon inflamasi terhadap parasit cacing, kondisi penyakit kulit

dan keganasan tertentu.1

Granula eosinofil mengandung berbagai enzim hidrolitik, seperti peroksidase,

asam fosfatase, aril sulfatase, beta-glukoronidase, katepsin, dan ribonuklease,

namun mengandung sedikit lisosom, protein kationik, dan alkalin fosfatase. 5

Eosinofil dapat memiliki lima populasi granula yang berbeda, yaitu granula

kristaloid/granula sekunder, granula primer, granula kecil, badan lipid, dan vesikel

sekretorik.1 Struktur eosinofil dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur eosinofil


Dikutip dari: Giembycz7
Ket: 1° = Granula primer
2° = Granula sekunder
BLN = Bi-lobed nucleus
LB = Lipid bodies
SG = Small Granulaes

3
2.1.1. Granulopoiesis Eosinofil

Eosinofil berkembang dan mengalami proses pematangan di dalam sumsum

tulang dari sel progenitor myeloid yaitu eosinophil colony-forming unit (CFU-

Eo).8 Perkembangan dan diferensiasi eosinofil di sumsum tulang diatur oleh

sitokin-sitokin eosinofilopoietik yaitu interleukin 3 (IL-3), granulocyte-

macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), dan interleukin 5 (IL-5).1,9

Prekursor eosinofil yang paling awal dikenali dari morfologi yaitu promielosit

eosinofil yang berdiferensiasi menjadi mielosit eosinofil, metamielosit eosinofil,

batang eosinofil, dan eosinofil matur. Pembelahan sel terjadi pada sel CFU-Eo,

promielosit eosinofil, dan mielosit eosinofil; sedangkan pada sel metamielosit

eosinofil, batang eosinofil, dan eosinofil matur tidak terjadi pembelahan sel.8

Sitokin eosinofilopoietik dihasilkan dan disekresikan oleh sel imun yang

teraktivasi seperti limfosit T, sel mast, sel stroma, dan eosinofil itu sendiri. Sitokin

eosinofilopoietik juga berperan dalam migrasi, produksi sitokin, aktivasi dan

kelangsungan hidup (dengan menghambat apoptosis) eosinofil matur. Mobilisasi

eosinofil dari sumsum tulang ke dalam sirkulasi darah diregulasi oleh IL-5 dan

eotaksin.9

Perkembangan dan fungsi eosinofil dalam darah di kontrol oleh Siglec-8 dan

inhibitor reseptor permukaan sel lainnya. Transforming growth factor-β (TGF- β),

interferon- (IFN-), dan interferon- (IFN-) menekan kerja sitokin

eosinofilopoietik. TGF- β menginduksi terjadinya apoptosis pada eosinofil matur.9

Proses perkembangan dan aktivasi eosinofil dapat dilihat pada gambar 2.2.

4
Gambar 2.2. Perkembangan eosinofil dan proses eosinofilia
Dikutip dari: Peter V, et al9

2.1.2. Granula Eosinofil

Eosinofil memiliki lima populasi granula yang berbeda. Granula yang tampak

dengan mikroskop cahaya yaitu granula kristaloid/sekunder yang dengan

pewarnaan eosin berwarna merah terang. Keempat granula eosinofil lain tampak

dengan mikroskop elektron, yaitu granula primer, granula kecil, badan lipid dan

vesikel sekretorik. Kelima granula eosinofil akan dijelaskan sebagai berikut:1,6,9

a. Granula kristaloid/sekunder: memiliki diameter 0,5-0,8 m, mengandung inti

kristalin electron-dense yang dikelilingi matriks electron-lucent. Granula

sekunder terdapat pada eosinofil matur, namun pada eosinofil imatur dapat

ditemukan. Granula sekunder mengandung protein yang berlimpah seperti

major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO), eosinophil cationic

5
protein (ECP), dan eosinophil-derived neurotoxin (EDN). Dalam setiap

eosinofil matur mengandung sekitar 200 granula sekunder.

b. Granula primer: terbentuk pada tahap promielosit dengan komposisi utama

protein kristal Charcot-Leyden. Granula primer berdiameter 0,1-0,5 m dan

tidak memiliki inti.

c. Granula kecil: berdiameter kurang dari 0,1 m dan mengandung asam

fosfatase, aril sulfatase B, katalase, dan sitokrom b558.

d. Badan lipid: dalam setiap eosinofil matur terdapat sekitar lima badan lipid

yang jumlahnya meningkat pada kelainan eosinofil, terutama pada

hipereosinofilia idiopatik. Badan lipid kaya akan asam arakidonat yang

teresterifikasi menjadi gliserofosfolipid.

e. Vesikel sekretorik: sitoplasma eosinofil dipadati oleh vesikel sekretorik kecil

yang mengandung albumin. Vesikel sekretorik memberikan struktur berbentuk

halter pada potongan melintang yang lebih dikenal dengan struktur

mikrogranula atau tubulovesikuler.

2.1.3. Fungsi Eosinofil

Eosinofil memiliki berbagai fungsi seperti neutrofil: keduanya merupakan sel

yang motil, berespon terhadap agen kemotaksis spesifik dan memfagositosis serta

membunuh mikroorganisme. Eosinofil lebih lambat dalam ingesti dan membunuh

bakteri dibandingkan netrofil, namun lebih aktif dalam metabolisme. Eosinofil

juga berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat dan sebagai antigen-

presenting cells (APC).4

6
Eosinofil berperan dalam aktivasi sel mast, limfosit T, sel epitel, dan

mempanjang masa hidup sel plasma di sumsum tulang, homeostasis dimana

eosinofil meregulasi alternatively activated macrophages (AAMs) di jaringan

lemak.10 Fungsi eosinofil dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Fungsi eosinofil


Dikutip dari: Fulkerson10

2.1.4. Kelainan Eosinofil

Jumlah eosinofil dalam sirkulasi darah memiliki variasi diurnal dimana jumlah

terendah di pagi hari dan tertinggi di malam hari dengan variasi sekitar 40%

dalam satu hari. Jumlah eosinofil meningkat fisiologis pada bayi baru lahir dan

menurun pada kehamilan normal dan saat persalinan.11

7
Eosinopenia didefinisikan sebagai penurunan jumlah eosinofil dalam sirkulasi

darah (jumlah eosinofil absolut <10/l). Eosinopenia idiopatik sangat jarang

terjadi. Eosinopenia pada stres akut dimediasi oleh glukokortikoid dan epinefrin

adrenal. Eosinopenia juga dilaporkan terjadi pada sindroma Cushing, akromegali,

sistemik lupus eritematosus (SLE) dan anemia aplastik.11

Eosinopenia juga dapat disebabkan oleh obat-obatan seperti kortikotropin,

kortikosteroid, epinefrin atau histamin, namun eosinopenia akan hilang dalam

beberapa jam setelah penghentian terapi. Eosinopenia pada inflamasi atau infeksi

akut terjadi sebagai konsekuensi dari sedikitnya pelepasan faktor kemotaksis ke

dalam sirkulasi darah. 11,12

Peningkatan eosinofil dalam sirkulasi perifer dapat terjadi pada berbagai

kondisi penyakit seperti alergi, neoplasma, kelainan hematologi primer, dan lain-

lain. Eosinofilia merupakan suatu keadaan dimana jumlah eosinofil dalam darah

perifer >500/l. Eosinofilia dibagi menjadi ringan (jumlah eosinofil absolut 500-

1.500/l), sedang (jumlah eosinofil absolut 1.500-5.000/l), dan berat/masif

(jumlah eosinofil absolut >5.000/l).3,13

Hipereosinofilia didefinisikan sebagai jumlah eosinofil absolut >1.500/l darah

dalam dua kali pemeriksaan (interval ≥1 bulan) dengan atau tanpa hipereosinofilia

jaringan. Jika hipereosinofilia telah menyebabkan kerusakan jaringan disebut

sebagai hypereosinophilic syndrome (HES).1,3 Penyebab dan klasifikasi eosinofilia

akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab tersendiri.

Anomali Pelger atau pseudo-Pelger juga dapat terjadi pada eosinofil seperti

yang terjadi pada neutrofil. Defisiensi eosinofil peroksidase merupakan kelainan

8
familial yang sangat jarang terjadi, tidak berhubungan dengan penyakit tertentu,

ditandai oleh morfologi eosinofil yang normal, tidak ada sebagian atau seluruh

granula spesifik yang positif dimetilaminoazobenzena. 11

2.2. Epidemiologi Eosinofilia

Insidensi dan prevalensi dari HES atau chronic eosinophilic leukemia (CEL)

belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan data Surveillance, Epidemiology, and

End Results (SEER) tahun 2001 sampai 2005 angkat kejadian HES dan CEL

sekitar 36 per 1.000.000 penduduk dengan rasio laki-laki dibanding perempuan

1,47 dan kejadian meningkat seiring peningkatan usia dengan insiden tertinggi

pada usia 65-74 tahun.2,13 Berdasarkan data dari rumah sakit di Amerika Serikat,

HES banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki dengan ratio 4-9:1 dengan

rentang usia terbanyak 20-50 tahun.14

2.3. Patogenesis Eosinofilia

Eosinofilia yang terjadi sebagai respon imun tubuh terhadap infeksi parasit

cacing bergantung dari produksi IL-5 yang dihasilkan oleh limfosit Th2. Eosinofil

melawan infeksi parasit cacing dengan melepaskan isi granula yang sitotoksik.

Karena eosinofilia jaringan merupakan penanda penyakit atopi dan eosinofil

sebagai sel efektor utama, penyakit alergi dijadikan sebagai prototipe untuk

memahami patogenesis dari eosinofilia.15

Setelah terpapar dengan alergen, banyak pasien dengan alergi berespon

progresif dalam tiga sampai empat jam, mencapai puncak dalam delapan jam, dan

9
bertahan selama beberapa hari. Proses yang dikenal sebagai respon fase lambat

tersebut terjadi bersamaan dengan influks sel-sel inflamasi termasuk eosinofil.

Eosinofil, merupakan sel efektor utama dalam respon fase lambat yang diatur oleh

limfosit T dan sel mast.15

Peran sel mast dalam proses eosinofilia belum sepenuhnya dimengerti. Sel

mast yang teraktivasi akan menyebabkan inflamasi oleh eosinofil dengan

menghasilkan mediator proinflamasi (misalnya IL-1 dan tumor necrosis factor )

dan sitokin eosinophil-directed (seperti IL-4 dan IL-5). Substansi tersebut

berperan sebagai kemokin untuk menarik lebih banyak eosinofil. Namun, dalam

suatu percobaan pada hewan diketahui bahwa defisiensi sel mast pada tikus yang

disensitisasi dengan alergen tidak mempengaruhi penarikan eosinofil ke dalam

paru-paru setelah paparan alergen.15

Tidak seperti sel mast, limfosit T berperan penting dalam respon fase lambat

dengan menghasilkan tiga sitokin yang menimbulkan respon alergi, yaitu IL-4,

IL-13, dan IL-5. IL-4 dan IL-13 mengatur produksi IgE dan vascular-cell

adhesion molecule 1 (VCAM-1). Faktor genetik dan paparan antigen

mempengaruhi peran sel mast dan limfosit T dalam regulasi eosinofil. APC

(makrofag, sel dendritik) tidak hanya mengaktifkan limfosit Th2 tetapi juga

menghasilkan mediator proinflamasi yang merangsang sel setempat (contohnya

sel epitel) untuk menghasilkan kemokin untuk menarik eosinofil ke jaringan.15

10
Gambar 2.4. Eosinofilia pada respon fase lambat
Dikutip dari: Marc E. R.15

Setelah eosinofil mencapai fokus inflamasi, eosinofil akan mengalami

apoptosis dengan pembersihan cepat oleh makrofag, namun jika eosinofil

distimulasi oleh IL-3,IL-5, atau GM-CSF umur eosinofil akan memanjang dan

meningkatkan respon eosinofil terhadap agen aktivasi lainnya. Eosinofil yang

diaktivasi melalui jalur ini akan mengekspresikan berbagai reseptor sitokin,

immunoglobulin, dan komplemen.15 Proses eosinofilia pada respon fase lambat

dapat dilihat pada gambar 2.4.

2.4. Etiologi Hipereosinofilia

Peningkatan jumlah eosinofil pada darah perifer dan jaringan dapat dijumpai

pada berbagai keadaan penyakit sebagai gejala/tanda atau sebagai penyakit

primer11,12 Eosinofilia paling banyak ditemukan pada infestasi parasit/cacing,

11
hipersensitivitas obat, dan penyakit alergi, sedangkan hypereosinophilic sindrome

(HES) atau leukemia terkait eosinofilia sangat jarang ditemukan.12

2.4.1. Infeksi

Berbagai agen infeksius, terutama parasit cacing dapat menyebabkan

eosinofilia. Pola dan derajat eosinofilia pada infeksi parasit dipengaruhi oleh

perkembangan, migrasi dan distribusi parasit di dalam penjamu serta respon imun

penjamu. Jumlah eosinofil paling tinggi pada tahap parasit bermigrasi ke jaringan

(contohnya pada trichinosis, ascariasis, strongyloidiasis, schistosomiasis, dan

filariasis). Eosinofilia yang menetap tidak ditemukan lagi saat seluruh parasit

berada di dalam rongga usus (misalnya cacing pita dewasa) atau pada struktur

kistik (contohnya kista hidatid) hingga saat dinding kista mengeluarkan isi kista

dan merangsang respon imun. Infeksi protozoa jarang menyebabkan eosinofilia,

namun infeksi Isospora belli di usus dapat mencetuskan eosinofilia.12

Hipereosinofilia dapat dijumpai pada pasien HIV dengan dermatitis pustular,

dermatitis eksfoliatif, folikulitis eosinofilik, dan skabies. Infeksi jamur yang

berhubungan dengan hipereosinofilia yaitu kokidiomikosis dan aspergilosis.

Eosinofilia pada kokidiomikosis lebih ringan dari eosinofilia pada

kokidioidomikosis.12

2.4.2. Penyakit Alergi/Atopi

Eosinofilia pada darah perifer jarang melebihi 1500/l pada rhinitis alergi,

rhinitis non-alergi, bahkan asma walaupun terjadi infiltrasi eosinofil pada saluran

12
pernafasan.12 Infiltrasi selektif eosinofil ke dalam jaringan alergi disebabkan oleh

tingginya IL-5, CCR3 (CD193) yang mengikat kemokin, molekul adhesi P-

selektin dan molekul adhesi sel vaskular. Mekanisme patogenesis utama pada

asma yaitu kerusakan pada epitel saluran pernafasan yang disebabkan oleh

eosinofil sehingga menyebabkan inflamasi bronkial dan kerusakan jaringan.11

2.4.3. Keganasan

Eosinofilia terkait keganasan dapat terjadi pada keganasan hematologis

maupun non hematologis (tumor solid). Eosinofilia pada tumor solid dapat

disebabkan oleh derivat glikoprotein yang berasal dari tumor, yang menstimulasi

eosinofil granulopoiesis. Tumor paru melepaskan faktor kemotaksis untuk

eosinofil, yang menyerupai faktor kemotaksis eosinofil untuk anafilaksis

(eosinophil chemotactic factor for anaphylaxis/ECF-A). Proliferasi eosinofil pada

limfoma Hodgkin disebabkan oleh produksi IL-5 oleh sel Reed-Sternberg.11,12

2.4.4. Imunologis

Penyakit imunodefisiensi yang sering disertai dengan eosinofilia yaitu sindrom

Omenn, sindrom hiper IgE (Job), defisiensi Dock, defisiensi IPEX, dan defisiensi

Zap70. Eosinofilia juga ditemukan pada Graft-versus-host disease (GVHD) akut

dan ringan.12

13
2.4.5. Endokrin

Eosinofilia dapat disebabkan oleh kurangnya adrenoglukokortikosteroid

endogen pada penyakit Addison, perdarahan adrenal, atau hipopituitarisme.

Eosinofilia dapat membantu menegakkan diagnosis pada pasien dengan

insufisiensi adrenal.12

2.4.6. Etiologi Lainnya

Emboli kolesterol yang terjadi setelah prosedur intravaskular dapat

menimbulkan eosinofilia. Eosinophilic, polymorphic, and pruritic eruption

associated with radiotherapy (EPPER) ditandai oleh eosinofilia terkait tumor dan

infiltrasi eosinofil di kutaneus.12 Allergic granulomatosis (sindrom Churg-

Strauss) merupakan vaskulitis sistemik yang ditimbulkan oleh multi faktorial

ditandai dengan eosinofilia, asma, demam, dan vaskulitis berbagai sistem organ. 11

2.5. Klasifikasi Eosinofilia

Klasifikasi eosinofilia berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi

eosinofilia familial (kelainan autosomal dominan) dan eosinofilia didapat (primer:

klonal, idiopatik, HES; dan sekunder: alergi, infeksi). 16 Klasifikasi kelainan

eosinofil menurut WHO tahun 2008 berdasarkan pemeriksaan molekular dan

sitogenetik dapat dilihat pada tabel 2.1.

14
Tabel 2.1. Klasifikasi kelainan eosinofil menurut WHO tahun 2008
Klasifikasi kelainan eosinofil menurut WHO tahun 2008
1. Keganasan myeloid dan limfoid yang berhubungan dengan eosinofilia dan abnormalitas
pada PDGFRA, PDGFRB, atau FGFR1
1) Kriteria diagnostik myeloproliferative neoplasm (MPN)a dengan eosinofilia yang
berhubungan dengan FIP1L1-PDGFRA
a. keganasan myeloproliferatif dengan eosinofilia yang nyata dan
b. adanya fusi gen FIP1L1-PDGFRAb
2) Kriteria diagnostik keganasan myeloproliferatif dengan fusi gen ETV-6-PDGFRB atau
penyusunan kembali PDGFRB lain
a. keganasan myeloproliferatif, dengan eosinofilia yang nyata dan terkadang dengan
neutrofilia dan monositosis dan
b. adanya t(5;12)(q31q33;p13) atau variasi translokasic, atau demonstrasi dari fusi gen
ETV6-PDGFRB atau penyusunan kembali PDGFRB
3) Kriteria diagnostik keganasan myeloproliferatif atau leukemia akut yang berhubungan
dengan penyusunan kembali FGFR1
a. keganasan myeloproliferatif , dengan eosinofilia yang nyata dan terkadang dengan
neutrofilia dan monositosis atau AML atau prekursor sel T atau prekursor leukemia
limfoblastik sel B/limfoma (selalu berhubungan dengan eosinofilia pada darah tepi atau
sumsum tulang) dan
b. adanya t(8;13)(p11;q12) atau variasi translokasi memicu demonstrasi penyusunan
kembali pada sel myeloid, limfoblast atau keduanya
2. Leukemia Eosinofilik Kronik-not otherwise specified (NOS)
a. Eosinofilia (jumlah eosinofil >1.5x109/L)
b. Tidak ada kromoson Phi atau fusi gen BCR-ABL atau keganasan myeloproliferatif lainnya
(PV, ET, PMF, sistemik mastositosis) atau MDS/ keganasan myeloproliferatif (CMML
atau CML atipik)
c. Tidak ada t(5;12)(q31q35;p13) atau penyusunan kembali PDGFRB lain
d. Tidak ada fusi gen FIP1L1-PDGFRA atau penyusunan kembali PDGFRA lain
e. Tidak ada penyusunan kembali FGFR1
f. Jumlah sel blast di darah perifer dan sumsum tulang <20% dan tidak ada inv(16)(p13q22)
atau t(16;16)(p13;q22) atau kriteria diagnostik AML lain
g. Ada abnormalitas pada klonal sitogenetik atau genetik molekular, atau sel blast lebih dari
2% di darah perifer atau lebih dari 5% di sumsum tulang.
3. HES idiopatik, jika tidak ada:
a. Eosinofilia reaktif
b. Limfosit-varian hipereosinofilia (produksi sitokin, immunophenotypically-aberrant T-cell
population)
c. Leukemia eosinoofilik kronik-NOS
d. Keganasan myeloid menurut WHO yang berhubungan dengan eosinofilia (misalnya MDS,
MPNs, MDS/MPNs, atau AML)
e. Eosinofilia terkait MPNs atau AML/ALL dengan penyusunan kembali PDGFRA,
PDGFRB, atau FGR1
f. Harus ada jumlah eosinofil absolut >1.500/l yang menetap selama minimal 6 bulan dan
adanya kerusakan jaringan. Jika tidak ada kerusakan jaringan, diagnosis menjadi
hipereosinofilia idiopatik.
Disadur dari: Gotlib13
a pasien dengan AML atau ALL/limfoma dengan eosinofilia dan fusi gen FIP1L1-PDGFRA juga dimasukkan

dalam kategori ini


b jika analisis molekular tidak tersedia, diagnosis ini sebaiknya dicurigai/suspek jika ditemukan MPN negatif-

Ph dengan gambaran hematologi leukemia eosinofilik kronik dengan splenomegali, peningkatan nyata
vitamin B12 serum, peningkatan triptase serum, dan peningkatan sel mast sumsum tulang
c karena t(5;12)(q31q33;p13) tidak selalu mengarah ke fusi gen ETV6-PDGFRB, konfirmasi molekular

sangat disarankan. Jika analisis molekular tidak tersedia, diagnosis ini sebaiknya dicurigai/suspek jika
ditemukan MPN negatif-Ph dengan eosinofilia dan translokasi dengan breakpoint 5q31-33

15
2.5.1. Hipereosinofilia (HE)

Menurut Working Conference on Eosinophil Disorders and Syndromes pada

tahun 2011 definisi hipereosinofilia (HE) yaitu jumlah eosinofil >1.500/l dalam

dua kali pemeriksaan (interval ≥1 bulan) dengan atau tanpa hipereosinofilia

jaringan. Kriteria hipereosinofilia jaringan yaitu:3

1) Persentase eosinofil dalam sumsum tulang lebih dari 20% dari seluruh sel

berinti, dan/atau

2) Ahli patologi menyatakan infiltrasi jaringan oleh eosinofil yang masif, dan/atau

3) Ditemukan deposit protein granula eosinofil (dengan ada atau tidak adanya

infiltrasi jaringan oleh eosinofil).

Hipereosinofilia jaringan dapat terjadi tanpa disertai dengan hipereosinofilia

darah, namun pada sebagian besar kasus ditemukan hipereosinofilia darah yang

sesaat atau setidaknya eosinofilia.3 Pada tahun 2011 Working Conference on

Eosinophil Disorders and Syndromes menghasilkan klasifikasi baru kelainan

eosinofil.2,3 Klasifikasi hipereosinofilia (HE) menurut Working Conference on

Eosinophil Disorders and Syndromes tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 2.2.

16
Tabel 2.2 Klasifikasi hipereosinofilia (HE)
Terminologi Singkatan Keterangan
HE herediter/familial HEFA Patogenesis tidak diketahui, diturunkan, tanpa
gejala atau simptom imunodefisiensi
herediter, dan tidak ada bukti adanya kondisi
keganasan yang menyebabkan HE
HE of undetermined HEUS Tidak ada penyebab yang mendasari
Significance (idiopatik) timbulnya HE, tidak ada riwayat keluarga,
tidak ada bukti adanya keganasan, dan tidak
ada kerusakan organ tujuan
HE primer (klonal/neoplastik) HEN Keganasan eosinofil, diklasifikasi oleh WHO
tahun 2008
HE sekunder/reaktif HER Keadaan dimana tidak adanya klonalitas
eosinofil, dicetuskan oleh sitokin
Disadur dari: Peter V3

2.5.2. Hypereosinophilic Syndrome (HES)

Istilah Hypereosinophilic Syndrome (HES) pertama kali diutarakan oleh Hardy

dan Anderson pada tahun 1968.2 Kriteria untuk menegakkan HES pertama kali

dikemukakan oleh Chusid dan kawan-kawan pada tahun 1975, yaitu eosinofilia

persisten selama lebih dari 6 bulan; tidak ada bukti adanya alergi, parasit, atau

penyebab lain yang diketahui menyebabkan eosinofilia; serta adanya tanda dan

gejala dari organ yang terkait. Menurut Working Conference on Eosinophil

Disorders and Syndromes pada tahun 2011, HES didefinisikan sebagai suatu

kondisi yang memenuhi kriteria:

1) HE darah: jumlah eosinofil >1500/l dalam dua kali pemeriksaan (interval ≥1

bulan), dan

2) kerusakan dan/atau disfungsi organ yang diakibatkan HE jaringan, dan

3) kerusakan organ karena penyebab atau kondisi lain telah disingkirkan.

Kerusakan organ yang diakibatkan HE diartikan sebagai disfungsi organ

ditandai oleh infiltrasi jaringan oleh eosinofil dan/atau deposit protein derivat

17
eosinofil (dengan ada atau tidak adanya eosinofilia jaringan), dan satu atau lebih

kondisi berikut:3

1) fibrosis (paru, jantung, saluran pencernaan, kulit, dan lain-lain)

2) trombosis dengan atau tanpa tromboemboli

3) eritema kutaneus (termasuk mukosa), edema/angioedema, ulserasi, pruritus,

dan eksema,

4) neuropati perifer atau sentral dengan defisit neurologi kronik atau berulang.

Tanda dan gejala HES yang dapat ditemukan yaitu: lemah lesu (26%), batuk

(26%), dispneu (16%), mialgia atau angioedema (14%), ruam atau demam (12%),

dan rhinitis (10%). Pada pemantauan pasien dengan eosinofilia yang menetap

diketahui keterlibatan kulit paling banyak terjadi (69%), diikuti paru-paru (44%)

dan gastrointestinal (38%).2 Sampai saat ini masih belum diketahui penyebab

pasti dari HES, meskipun demikian ada dugaan bahwa GM-CSF, IL-5 dan IL-7

berperanan dalam proses disregulasi yang mengakibatkan produksi berlebihan

dari eosinofil.17

Angka kelangsungan hidup penderita bervariasi, tergantung pada efek penyakit

terhadap organ-organ yang terkena. Di Amerika, angka kelangsungan hidup

selama 5, 10 dan 15 tahun berturut-turut adalah sebesar 75, 40 dan 40%. Adanya

gagal jantung atau angka lekosit >90.000/mm3 menandakan prognosis yang

buruk.17 Klasifikasi HES berdasarkan Working Conference on Eosinophil

Disorders and Syndromes tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 2.3.

18
Tabel 2.3 Klasifikasi hypereosinophilic syndrome (HES)
Terminologi Keterangan
HES idiopatik Penyebab yang mendasari HE tidak diketahui, tidak ada tanda
atau kondisi neoplastik/kelainan yang mendasari HE, dan ada
kerusakan organ yang dikarenakan HE
HES primer (neoplastik) Neoplasma sel punca, myeloid, atau eosinofil berdasarkan
klasifikasi WHO dan kerusakan organ akibat HE, dan
eosinofil berupa sel neoplastik (klonal)
HES sekunder/reaktif Keadaan dimana eosinofil berupa sel nonklonal; HE dipicu
oleh sitokin, dan kerusakan organ yang terjadi disebabkan
oleh HE
Subvarian: HES varian limfosit (limfosit T klonal diketahui
sebagai satu-satunya penyebab HES)
Disadur dari: Peter V3

2.6. Pemeriksaan Laboratorium

Eosinofilia dinilai dari jumlah eosinofil absolut yang sebaiknya secara rutin

diperiksa bersama parameter hematologi lainnya (hemoglobin, hematokrit, jumlah

eritrosit, jumlah lekosit, jumlah trombosit, indeks eritrosit, hitung jenis, dan

jumlah absolut). Pemeriksaan lain yang disarankan diperiksa secara rutin pada

pasien dengan eosinofilia yaitu PT/aPTT, pemeriksaan fungsi organ (pemeriksaan

fungsi hati, pemeriksaan fungsi ginjal, urinalisis), penanda inflamasi (CRP/LED),

dan status imun (imunoglobulin kuantitatif dan IgE). 12 Untuk mengetahui etiologi

eosinofilia pemeriksaan laboratorium lain juga diperlukan seperti pemeriksaan

kultur feses, feses rutin serial untuk mencari parasit, dan terkadang dibutuhkan

pemeriksaan serologi untuk mendeteksi parasit.2

2.6.1. Hematologi

Pemeriksaan hematologi pada pasien dengan HES memberi gambaran: jumlah

eosinofil absolut >1.500/l, jumlah neutrofil normal atau meningkat, anemia pada

50% kasus (umumnya anemia penyakit kronik), jumlah trombosit normal atau

19
meningkat. Eosinofil yang ditemukan pada eosiofilia atau HES non neoplastik

berupa eosinofil matur yang dapat disertai dengan kelainan morfologi berupa

hipersegmentasi, hipo- atau hipergranularitas. Eosinofil dengan vakuolisasi dan

hipogranularitas umumnya berhubungan dengan penyakit jantung. Prognosis

memburuk jika terdapat leukositosis >90.000/l.12 Apus darah tepi pasien dengan

HES dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5. Apus darah tepi HES


Dikutip dari: Laurence R14

Pada darah tepi leukemia eosinofilik selain ditemukan gambaran eosinofilia

dengan berbagai tingkat kematangan eosinofil, juga disertai dengan neutrofilia,

anemia, trombositopenia, dan ditemukannya limfoblast atau mieloblast. Morfologi

eosinofil normal, namun tidak jarang ditemukan degranulasi, vakuolisasi

sitoplasma atau hipo/hipersegmentasi.18

20
2.6.2. Sumsum Tulang

Pemeriksaan sumsum tulang dilakukan untuk mencari apakah penyebab

eosinofilia berasal dari kelainan pada sumsum tulang, setelah menyingkirkan

penyebab sekunder eosinofilia (infeksi, alergi, dan lain-lain). Apus sumsum tulang

menunjukkan gambaran hiperselularitas dengan peningkatan eosinofil dan

prekursornya yang juga disertai dengan infiltrasi limfoblast atau mieloblast. 2

Gambaran sumsum tulang dengan leukemia eosinofilik kronik dapat dilihat pada

gambar 2.6.

Gambar 2.6. Gambaran sumsum tulang leukemia eosinofilik kronik


Dikutip dari: Juergen T19

Aspirasi dan biopsi sumsum tulang dengan pemeriksaan sitogenetik dan

immunophenotyping bermanfaat untuk pengelompokkan ke dalam klasifikasi

WHO.2 Algoritme untuk diagnosis dan terapi kelainan eosinofil berdasarkan

WHO dapat dilihat pada gambar 2.7.

21
Hipereosinofilia

Skrining penyebab sekunder


Eosinofilia
reaktif
Positif Negatif
Terapi penyebab
yang mendasari Skrining untuk FIP IL-1 dengan FISH atau RT-PCR darah, biopsi
sumsum tulang dengan analisis sitogenik untuk reciprocal
Positif translocations yang mencakup 4q12 (PDGFRA), 5q31-q33
(PDGFRB), atau 8p11-13 (FGFR1)

Negatif

Abnormalitas molekular atau Abnormal


klonal lainnya, eosinofil klonal, immunophenotyping sel
dan/atau peningkatan blast T dan/atau produksi
sumsum tulang atau darah? sitokin Th2 in vitro?

Tidak
Ya
Ya

Keganasan Leukemia Hipereosinofilia Lymphocyte-variant


myeloid dan eosinofilik idiopatik hypereosinophilia
limfoid dengan kronis-NOS
eosinofilia dan
abnormalitas
Jika ada
PDGFRA, kerusakan
PDGFRB, atau organ
FGFR1 Sindrom
hipereosinofilia
idiopatik

Imatinib (terapi awal 7- Hidroksiurea, Steroid, hidroksiurea Steroid,


10 hari dengan steroid interferon- mepolizumab,
jika troponin jantung alemtuzumab,
meningkat, abnormal kemoterapi lain
EKG, dan untuk
disfungsi LV/CHF Pilihan terapi

Gambar 2.7. Algoritma diagnosis


Disadur dari: Greer dkk2

22
BAB III

RINGKASAN

Eosinofil termasuk dalam seri granulosit dengan ciri khas granula berwarna

jingga hingga jingga kemerahan pada pewarnaan Wright. Eosinofil mengandung

lima jenis granula dengan beragam protein yang terkandung didalamnya. Kelainan

eosinofil meliputi kelainan jumlah dan morfologi.

Klasifikasi kelainan eosinofil berdasarkan WHO tahun 2008 dibagi menjadi

tiga besar: keganasan myeloid dan limfoid yang berhubungan dengan eosinofilia

dan abnormalitas pada PDGFRA, PDGFRB, atau FGFR1; leukemia eosinofilik

kronik-not otherwise specified (NOS); dan HES idiopatik. Definisi dan klasifikasi

kelainan eosinofil juga telah dirumuskan dalam Working Conference on

Eosinophil Disorders and Syndromes tahun 2011.

Pemeriksaan laboratorium pada kelainan eosinofil tidak terbatas hanya pada

pemeriksaan hematologi. Pemeriksaan lain (kimia, serologi, mikrobiologi,

biomolekular dan histopatologi) juga dibutuhkan untuk membantu mencari

etiologi kelainan eosinofil.

23
SUMMARY

Eosinophil granulocytes are in a tie with granula characteristic orange to

orange-red in coloration Wright. Eosinophils contain five types of granula with

different proteins contained therein. Variants include eosinophil number and

morphological abnormality.

Based on the WHO classification in 2008, eosinophilia is divided into three

groups: myeloid and lymphoid neoplasms associated with eosinophilia and

abnormalities in PDGFRA, PDGFRB, or FGFR1; chronic eosinophilic leukemia -

not otherwise specified (NOS); and idiopathic HES. Definition and classification

of eosinophil disorders has also been formulated in Working Conference on

Eosinophil Disorders and Syndromes in 2011.

Laboratory examination on eosinophils disorders not only limited to the

examination of hematology. Other examination (chemistry, serology,

microbiology, biomolecular, cytogenetic and histopathology) are also needed to

find the etiology of eosinophil disorders.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. Lacy P, Adamko DJ, Moqbel R. The Human Eosinophil. Dalam: Greer JP,
Arber DA, Glader B, List AF, Robert T. Means J, Paraskevas F, et al.,
editor. Wintrobe's Clinical Hematology. Edisi ke-13. Philadelpia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2014. hlm. 160-80.

2. Nguyen H, Gotlib J. Eosinophilic Neoplasms and Hypereosinophilic


Syndrome. Dalam: Greer JP, Arber DA, Glader B, List AF, Robert T.
Means J, Paraskevas F, et al., editor. Wintrobe's Clinical Hematology.
Edisi ke-13. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. hlm. 1746-
56.

3. Valent P, Klion AD, Horny HP, Roufosse F, Gotlib J, Weller PF, et al.
Contemporary consensus proposal on criteria and classification of
eosinophilic disorders and related syndromes. J Allergy Clin Immunol.
2012 Sep;130(3):607-12 e9.

4. SN Wickramasinghe WE. Normal blood cell. Dalam: Porwit A,


McCullough J, Erber WN, editor. Blood and Bone Marrow Pathology.
Edisi ke-2. China: Elsevier; 2011. hlm. 10-1.

5. Bell A, Harmening DM, Hughes VC. Morphology of Human Blood and


Marrow Cells. Dalam: Harmening DM, editor. Clinical Hematology and
Fundamentals of Hemostasis. Edisi ke-5. Philadelpia: F. A. Davis
Company; 2009. hlm. 5, 20-1.

6. Stiene-Martin A. Leukocyte Development, Kinetics, and Functions.


Dalam: Rodak BF, Fritsma GA, Keohane EM, editor. Hematology:
Clinical Principles and Applications. Edisi ke-4. St. Louis: Saunders;
2012. hlm. 140-2.

7. Giembycz MA, Lindsay MA. Pharmacology of the Eosinophil. Pharm


Rev. 1999;51:220.

8. Wickramasinghe S, Porwit A, Erber W. Normal bone marrow cells:


development and cytology. Dalam: Porwit A, McCullough J, Erber WN,
editor. Blood and bone marrow pathology. Edisi ke-2. China: Elsevier;
2011. hlm. 29-31.

9. Valent P, Gleich GJ, Reiter A, Roufosse F, Weller PF, Hellmann A, et al.


Pathogenesis and classification of eosinophil disorders: a review of recent
developments in the field. Expert Rev Hematol. 2012 Apr;5(2):157-76.

10. Fulkerson PC, Rothenberg ME. Targeting eosinophils in allergy,


inflammation and beyond. Nat Rev Drug Discov. 2013 Feb;12(2):117-29.

25
11. Zini G. Abnormalities in leukocyte morphology and number. Dalam:
Porwit A, McCullough J, Erber WN, editor. Blood and Bone Marrow
Pathology. Edisi ke-2. China: Elsevier; 2011. hlm. 256-7.

12. Mejia R, Nutman TB. Evaluation and differential diagnosis of marked,


persistent eosinophilia. Semin Hematol. 2012 Apr;49(2):149-59.

13. Gotlib J. World Health Organization-defined eosinophilic disorders: 2012


update on diagnosis, risk stratification, and management. Am J Hematol.
2012 Sep;87(9):903-14.

14. Roufosse FE, Goldman M, Cogan E. Hypereosinophilic Syndrome.


Orphanet Journal of Rare Diseases. 2007;2:1-12.

15. Rothenberg ME. Eosinophilia. N Engl J Med. 1998 May 28;338(22):1592-


600.

16. Voican I, Vladareanu AM, Dervesteanu M. Hypereosinophilic syndromes-


recent advances in definition, classification and therapeutic approach.
Maedica. 2009;4:146-53.

17. Casciato DA. Myeloproliferative disorder. Dalam: Casciato DA, editor.


Manual of clinical oncology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins; 2004. hlm. 496-513.

18. Bain B. Myeloproliferative neoplasms with eosinophilia. Dalam: Porwit


A, McCullough J, Erber WN, editor. Blood and bone marrow pathology.
Edisi ke-2. China: Elsevier; 2011. hlm. 371-9.

19. Thiele J. Philadelphia Chromosome–Negative Chronic Myeloproliferative


Disease. Am J Clin Pathol. 2009;132:261-80.

26

Anda mungkin juga menyukai