Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap


antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya (Baratawidjaja
dan Rengganis, 2014)
Hipersensitivitas berkenaan dengan ketidaktepatan reaksi imunologis,
daripada usaha untuk menyembuhkan, reaksi ini menciptakan kerusakan jaringan dan
merupakan suatu bentuk penting dalam proses perjalana penyakit secara keseluruhan
(Mohanty dan Leela, 2014).
Hipersensitivitas tipe II adalah diakibatkan oleh antibodi berupa imonoglobin
G (IgG) dan imunoglobin M (IgM)
2.2 Etiologi.
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G
(IgG) dan imunoglobulin M (IgM) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan
matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan
yang secara langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi
yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat patogenik dan
menimbulkan kerusakan pada target sel. berupa anemia hemolitik autoimun,
eritroblastosis fetalis, sindrom Good Pasture, atau pemvigus vulgaris. Tiga
mekanisme utama hipersensitivitas tipe II (Purnomo, 2015)
2.3 Manifestasi Klinis
 Sindrom goodpasture
 Anemia hemolitik
 Autoimun
 Trombositopenia
 Pemfigus
 Pemfigoid
 Anemia pernisiosa
2.4 Klasifikasi Hipersensitivitas tipe II
Berikut Ini Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi
silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan
kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II (Tan, dkk 2008) :
1. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal)
2. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah).
3. Sindrom Goodpasture. IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal (David., dkk. 2006).
2.5 Patofisiologi.
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi
berupaimunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen
pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan terbatas atau spesifik
pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan antigen tersebut. Pada
umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan
bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang


berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan.
Beberapa tipe dari hipersensitivitas tipe II adalah:
a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal).
b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat
menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk
produksi antibodi kemudian berikatan dengan permukaan sel darah merah dan
menyebabkan lisis sel darah merah).
c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus
sehingga menyebabkan kerusakan ginjal).
2.6 Reaksi Hipersensitivitas tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan


pada sel tubuh oleh karena antibodi melawan atau menyerang secara langsung antigen
yang berada pada permukaan sel. Antibodi yang berperan adalah IgG.
1. Reaksi transfusi.
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan
yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung
antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B,
darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang
mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung
antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi
(Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B.
Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin. Aglutinin tersebut timbul secara
alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari
reaksi sitotoksikterlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO.
Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi
panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal
dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan
kompleks haem yang lepas.
2. Reaksi antigen resus.
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang
terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel
(ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai
darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi
ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti
Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian.
Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada
permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis.
Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan
reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan
bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam
usaha menyelamatkan bayi.
3. Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang
membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via
reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang
dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang
dibutuhkan untuk aglutinasi.
4. Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan
eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik.
Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan
menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat
mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah
merah.
5. Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan
membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal
dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru.
Perjalanannya sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan
pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul
dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang
membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom ini sering ditemukan
setelah mengalami infeksi streptococ.
6. Myasthenia gravis
Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi
neuromuskuler, sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor
astilkoli.
7. Pempigus
Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara
keratinosit yang menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-
gelembung.
2.7 Kelainan klinis Hipersensitivitas II
1. Reaksi transfusi
2. Hemolitic disease of the newborn (HDNB)
3. Reaksi induksi obat terhadap komponen darah
4. Reaksi terhadap leukosit
5. Penolakan pencengkokan hiperakut
6. Myastenia gravis
Tabel Contoh Penyakit-Penyakit yang Dimediasi Antibodi (Hipersensitivitas Tipe II

2.8 mekanisme hipersensitivitas tipe II pada reaksi transfusi


 terjadi karena ketidakcocokan transfusi golongan darah ABO
 resepien membentuk antibodi terhadap eritrosit donor segera setelah transfusi
 IGM mengaktifkan komplemen, aktifasi C5,6,7,8,9 menghancurkan (lisis)
eritrosit intravaskuler
 Antibodi yang terbentuk pada Inkompatibilitas sistem ABO: IgM, sistem lain:
IgG
 Destruksi eri menyebabkan shock sirkulasi
 Bagian eritrosit yang hancur menyebabkan ATN pada ginjal
2.9 mekanisme hipersensitivitas tipe II pada HDNB
 Terjadi pada bayi baru lahir (pada anak ke II)
 Karena inkompatibilitas rhesus (ibu RhD-, Janin+)
 Darah ibu disensitisasi oleh antigen eri janin sehingga terbentuk
IgG→destruksi eri janin
 Sensitisasi terjadi selama proses partus (darah anak kembali ke ibu melalui
plasenta)

2.10 Contoh penyakit pada Hipersensitivitas tipe II.


1. Perdarahan paru,anemia.
2. Myasthenis gravis (MG).
3. Immune hemolytic (anemia Hemolitik)
4. Immune Thrombocytopenia purpura
5. Thyrotoxicosis (Graves’ disease)
Terapi yang dapat diberikan pada hipersensitivas tipe II adalah cortikosteroids-
prednisolon
2.11 Komplikasi
Polip Hidung
Otitis media
Sinusitis paranasal
Anofilaksi
Pruritus
Mengi
Edema (Baratawidjaya, 2002)
Daftar Pustaka

David K. Male, Jonathan Brostoff, Ivan Maurice Roitt, David B. Roth (2006). Immunology.
Mosby. ISBN 978-0-323-03399-2
Baratawidjaja KG. Imunologi dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010.p.370-83

Anda mungkin juga menyukai