Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik dimana terjadi kerusakan sel

darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek

(kurang dari 100 hari) ( Williams, 2005). Distribusi utama meliputi daerah-

daerah perbatasan Laut Mediterania, sebagian besar Afrika, timur tengah, sub

benua India, dan Asia Tenggara. Dari 3 % sampai 8 % orang Amerika

keturunan Italia atau Yunani dan 0,5% dari kulit hitam Amerika membawa

gen untuk thalasemia β. Dibeberapa daerah Asia Tenggara sebanyak 40% dari

populasi mempunyai satu atau lebih gen thalasemia (Kliegam,2012).

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang diwariskan oleh orangtua

kepada anak. Thalasemia mempengaruhi kemampuan dalam menghasilkan

hemoglobin yang berakibat pada penyakit anemia. Hemoglobin adalah suatu

protein dalam sel darah merah yang mengangkut oksigen dan nutrisi lainnya

ke sel-sel lainnya dalam tubuh. Sekitar 100.000 bayi di seluruh dunia terlahir

dengan jenis thalasemia berbahaya setiap tahunnya (Kliegam,2012).

Ada dua jenis thalassemia yaitu alpha dan beta. Kedua jenis thalassemia

ini diwariskan dengan cara yang sama. Penyakit ini diturunkan oleh orangtua

yang memiliki mutated gen atau gen mutasi thalasemia. Seorang anak yang

mewarisi satu gen mutasi disebut pembawa atau carrier, atau yang disebut

juga dengan thalassemia trait (sifat thalassemia). Kebanyakan pembawa ini

hidup normal dan sehat. Anak yang mewarisi dua sifat gen, di mana satu dari

ibu dan satu dari ayah, akan mempunyai penyakit thalassemia. Jika baik ibu

maupun ayah adalah pembawa, kemungkinan anak mewarisi dua sifat gen

1
(Williams,2005). Dengan kata lain mempunyai penyakit thalasemia, adalah

sebesar 25 persen. Anak dari pasangan pembawa juga mempunyai 50 persen

kemungkinan lahir sebagai pembawa. Jenis paling berbahaya dari alpha

thalassemia yang terutama menimpa keturunan Asia Tenggara, Cina dan

Filipina menyebabkan kematian pada jabang bayi atau bayi baru lahir.

Sementara itu, anak yang mewarisi dua gen mutasi beta thalassemia akan

menderita penyakit beta thalassemia. (Williams,2005)

Anak ini memiliki penyakit thalasemia ringan yang disebut dengan

thalassemia intermedia yang menyebabkan anemia ringan sehingga si anak

tidak memerlukan transfusi darah. Jenis thalassemia yang lebih berat adalah

thalassemia major atau disebut juga dengan Cooley's Anemia. Penderita

penyakit ini memerlukan transfusi darah dan perawatan yang intensif. Anak-

anak yang menderita thalassemia major mulai menunjukkan gejala-gejala

penyakit ini pada usia dua tahun pertama. Anak-anak ini terlihat pucat, lesu

dan mempunyai nafsu makan rendah, sehingga menyebabkan pertumbuhannya

terlambat.

Oleh karena itu kami merasa perlu untuk lebih meningkatkan asuhan

keperawatan pada anak thalasemia,karena anak yang terkena thalasemia bukan

hanya mengalami gangguan hematologi tetapi juga gangguan imunitas,

sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus agar anak tidak mengalami

gangguan tumbuh kembang.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah definisi dan klasifikasi dari thalasemia?

2
2. Apakah etiologi dan gejala thalasemia?

3. Bagaimana cara mendiagnosa thalasemia?

4. Bagaimana tatalaksana thalasemia?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dan klasifikasi thalasemia

2. Untuk mengetahui etiologi dan gejala thalasemia

3. Untuk mengetahui cara mendiagnosa thalasemia

4. Untuk mengetahui tatalaksana thalasemia

1.4 Manfaat

Agar pembaca dapat mengetahui apa itu penyakit thalasemia sampai

tatalaksananya dan penulis dapat memahami lebih dalam mengenai cara

mendiagnosa sampai tatalaksana.

3
BAB II

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. S

Umur : 51 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Dsn. Krajan, Bandungrejo, Bantur, Kab. Malang,

Jawa Timur

Pekerjaan : Petani

Suku : Jawa

Agama : Islam

Tanggal MRS : 9 Januari 2020

No register : 438705

B. ANAMNESIS

√ : sendiri : orang lain

1. Keluhan Utama : Lemas sejak 3 hari yang lalu

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Tn.S datang ke poli tanggal 9 Januari 2020 dengan keluhan lemas

sejak 3 hari yang lalu. Selain lemas, pasien juga mengeluh tidak nafsu

makan, sesak, keringat dingin, BAB warna hitam petis, badan pegal

4
semua, sulit tidur, mual dan muntah jika dipaksa makan sejak 3 hari

yang lalu. Pasien sudah sejak 2,5 tahun yang lalu mengalami gejala

seperti ini. Keluhan muncul ketika pasien beraktivitas sedikit berat,

kemudian akan membaik saat dipakai istirahat. Sebelumnya, setiap

gejala muncul, pasien kontrol ke bidan desa dan didiagnosa sakit

lambung dan diberikan obat lambung. Sejak 1,5 tahun yang lalu gejala

semakin memberat dan periksa ke RS. Sejak saat itu, pasien sering

keluar masuk rumah sakit 1-2 bulan sekali dan menerima transfusi

darah 2 labu. Setelah transfusi, pasien mengaku gejala hilang namun

akan kembali 1-2 bulan kemudian.

Pasien menyangkal adanya gangguan pertumbuhan dan

perkembangan saat masih kecil, dada tidak berdebar-debar, dan tidak

pernah mengalami gejala yang sama saat masih kecil hingga 2,5 tahun

yang lalu, kulit ataupun mata tidak pernah berwarna kuning. Tidak ada

keluhan tulang. Orangtua tidak memiliki penyakit yang sama. Tidak ada

penonjolan dahi, gigi tidak maju, hidung tidak datar. Pasien pernah

USG abdomen dan didapatkan hasil splenomegali.

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat penyakit serupa (+)

- Riwayat penyakit jantung (-)

- Riwayat penyakit ginjal (-)

- Riwayat kencing manis (DM) (-)

- Riwayat penyakit paru (-)

- Riwayat hipertensi (-)

5
4. Riwayat Penyakit Keluarga :

- Penyakit serupa (-)

- Hipertensi (-)

- Asma (-)

- Penyakit jantung (-)

- Penyakit paru (-)

- DM (-)

- Alergi obat/makanan (-)

5. Riwayat Kebiasaan

- Riwayat merokok : 1 bungkus 2 hari

- Minum kopi : 2 gelas sehari

- Jamu :-

- Olahraga :-

- Pola makan teratur

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum

Tampak sakit ringan, compos mentis, GCS 456, status gizi kesan

cukup.

2. Tanda Vital

Tensi : 124/70 mmHg

Nadi : 84 x / menit, reguler

Pernafasan : 20 x /menit

Suhu : 36 oC

6
3. Kulit

Ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi (-),

berkeringat (+).

4. Kepala

Bentuk normoocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut,

keriput(-), atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-),

kelainan mimik wajah / bells palsy (-), oedem (-), pucat (-)

5. Mata

Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).

6. Hidung

Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-).

7. Mulut

Bibir pucat (+), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-).

8. Telinga

Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-).

9. Tenggorokan

Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).

10. Leher

JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-),

pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-)

7
11. Thoraks

Normochest, simetris, pernapasan thoracoabdominal, retraksi (-),

spider nevi (-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).

Cor :

Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat

Perkusi : batas kiri atas : ICS II Linea Para Sternalis Sinistra

batas kanan atas : ICS II Linea Para Sternalis Dextra

batas kiri bawah : ICS IV Linea Medio Clavicularis

Sinistra

batas kanan bawah : ICS IV Linea Para Sternalis Dextra

Auskultasi: Bunyi jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-)

Pulmo :

Statis (depan dan belakang)

Inspeksi : Pengembangan dada kanan dan kiri sama.

Palpasi : Stem fremitus raba kanan dan kiri sama.

Perkusi : Sonor pada bagian kiri dan kanan

Auskultasi : suara tambahan (Ronchi (-/-), Wheezing (-/-)

8
Dinamis (depan dan belakang)

Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri sama.

Palpasi : Stem fremitus raba kanan dan kiri sama.

Perkusi : Sonor pada paru-paru kanan dan kiri.

Auskultasi : Suara tambahan (rokhi -/-)

12. Abdomen

Inspeksi : Perut tampak menonjol sedikit di bagian bawah

diafragma kiri, ada pembesaran lien, tidak ada

pembesar hepar

Palpasi : Nyeri tekan (+) Left Upper Quadran, Asites (-)

Perkusi : Timpani, Shifting dullnes (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

13. Ektremitas

Palmar eritema (-/-)

Akral dingin Oedem


+ + - -
+ + - -
14. Sistem genetalia: dalam batas normal.

9
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium Darah Lengkap

(10 Januari 2020)

Pemeriksaan Hasil

Hb : 9.8 g/dl (Menurun)

Hematokrit : 30.4 % (Menurun)

MCV : 73.9 (Menurun)

MCH : 23.9 (Menurun)

MCHC : 32.4

Eritrosit : 4.11 juta/cmm

Leukosit : 14.400 sel/cmm (Meningkat)

Trombosit : 282.000 sel/cmm

Eosinofil : 3.4 %

Basofil : 1.1 %

Neutrofil : 82.1 % (Meningkat)

Limfosit : 5.8 % (Menurun)

Monosit : 7.5 % (Meningkat)

10
D. RESUME

Tn.S datang ke poli tanggal 9 Januari 2020 dengan keluhan lemas

sejak 3 hari yang lalu. Selain lemas, pasien juga mengeluh tidak nafsu

makan, sesak, keringat dingin, BAB warna hitam petis, badan pegal semua,

dan sulit tidur, mual dan muntah jika dipaksa makan sejak 3 hari yang lalu.

Pasien sudah sejak 2,5 tahun yang lalu mengalami gejala seperti ini.

Keluhan muncul ketika pasien beraktivitas sedikit berat, kemudian akan

membaik saat dipakai istirahat. Sebelumnya, setiap gejala muncul, pasien

kontrol ke bidan desa dan didiagnosa sakit lambung dan diberikan obat

lambung. Sejak 1,5 tahun yang lalu gejala semakin memberat dan periksa ke

RS. Sejak saat itu, pasien sering keluar masuk rumah sakit 1-2 bulan

sekali dan menerima transfusi darah 2 labu. Setelah transfusi, pasien

mengaku gejala hilang namun akan kembali 1-2 bulan kemudian.

Dari pemeriksaan fisik, KU: Tampak sakit ringan, GCS 456, compos

mentis, didapatkan TD: 124/70 mmHg, Nadi: 804x/menit, Suhu: 36,0 C

RR: 20x/menit. Ditemukan benjolan di bawah difragma kiri sebesar 2 jari,

konsistensi padat, nyeri jika tekan. Pada pemeriksaan penunjang berupa

USG abdomen didapatkan hasil splenomegali dan pada hasil laboratorium

darah langkap ditemukan peningkatan leukosit dan penurunan hemoglobin,

hematokrit, MCV, dan MCH.

F . DIAGNOSIS

 Thalasemia Alfa Trait

11
G. PLANNING

a. Penatalaksanaan

- Medikamentosa

 Vit.C 100-250 mg/hari

 Vitamin E 200-400 IU/hari

 Omeprazole 2 x 40 mg

 Ondansentron 3 x 8 mg

 Sucralfat syrup 3 x 10 cc

 Curcuma 3 x 2 tablet

- Non-medikamentosa

a) Edukasi pasien dan

keluarga tentang penyakitnya

b) Tirah baring

c) Pembatasan aktivitas

d) Kontrol cairan

e) Transfusi darah PRC

3ml/kgBB dikali 3 (untuk meningkatkan 3 g/L Hb)

12
Follow-Up

Tgl Subyek Obyek Assesment Planning


9
/01 Badan lemas, K/U agak lemah Thalasemia Omeprazole
badan sakit TD: 120/80 inj 2x40 mg
semua, tidak N:80 Ondansentron
nafsu makan, RR: 20x inj 3x8 mg
BAB warna Curcuma 3x2
hitam tab
Sucralfat syrup
3x10cc
10
/01 Badan lemas, K/U agak lemah Thalasemia PRC 3 labu
badan sakit TD: 120/80 Tx lanjut
semua, tidak N:88
nafsu makan,
BAB warna
hitam
11
/01 Badan lemas K/U agak lemah Thalasemia Tx lanjut
berkurang, TD: 110/70
badan sakit N:68
semua, mulai
nafsu makan,
BAB warna
hitam
12
/01 Badan pegel K/U cukup Thalasemia Tx lanjut
TD: 110/60
N:79

BAB III

13
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Thalasemia

3.1.1 Definisi Thalasemia

Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut.

Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di

daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan

pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau

eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama

penemunya (Ganie, 2005).

Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh

kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang

membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh

tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah

mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia

(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).

Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi

mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah

pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.

Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari

rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α)

dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2

= 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%).

14
Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh

suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin-α terletak

pada kromosom 16 dan kluster gen globin-β terletak pada kromosom 11. Penyakit

thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta. Gen

globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk

hemoglobin. Gen globin beta hanya sebelah yang mengalami kelainan maka

disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia

tampak normal atau sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan

normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang memerlukan pengobatan.

Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita

thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masing-masing

membawa sifat thalassemia. Proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen

globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari orang tua

menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan 50%

thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka kemungkinan 25% anak

sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait (Ganie. R.A,

2008).

3.1.2 Klasifikasi Thalasemia

Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu

thalasemia alfa dan thalasemia beta.

1. Thalasemia Alfa Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau

seluruh globin rantai alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :

15
a. Silent Carrier State

Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama

sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.

b. Alfa Thalasemia Trait

Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan

dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.

c. Hb H Disease Gangguan pada 3 rantai globin alfa.

Penderita dapat bervariasi mulai tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia

yang berat yang disertai dengan perbesaran limpa.

d. Alfa Thalassemia Mayor Gangguan pada 4 rantai globin alpha.

Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada

thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat rantai globin yang dibentuk

sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi. Janin yang menderita alpha

thalassemia mayor pada awal kehamilan akan mengalami anemia, membengkak

karena kelebihan cairan, perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami

keguguran atau meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

2. Thalasemia Beta

Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin

beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :

a. Beta Thalasemia Trait

16
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang

bermutasi. Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel

darah merah yang mengecil (mikrositer).

b. Thalasemia Intermedia

Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa

produksi sedikit rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang

derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.

c. Thalasemia Mayor

Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat

memproduksi rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika

berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor

tidak dapat membentuk hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak

ada oksigen yang dapat disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan

akan menyebabkan kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun

kematian. Penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang

rutin dan perawatan medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009

dan Yuki 2008).

3.1.3 Gejala Thalasemia

Thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis rantai asam

amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian besar

mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik (Tamam.M. 2009).

Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia karena

17
kegagalan pembentukan sel darah, proses hemolisis dan reduksi sintesa

hemoglobin.

Anemia kronis menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan dan merangsang

peningkatan produksi eritropoietin yang berdampak pada ekspansi susunan tulang

sehingga pasien thalasemia mengalami deformitas tulang, resiko menderita gout

dan defisiensi asam folat. Selain itu peningkatan eritropoietin menyebabkan

hemapoesis ekstra medular. Hemapoesis ekstra medular serta hemolisis

menyebabkan hiperspenisme dan splenomegali. Hipoksia yang kronis

mengakibatkan penderita sering mengalami sakit kepala, mudah marah, anorexia,

nyeri dada dan tulang, serta intoleran aktivitas. Pada taraf lanjut juga dapat

mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Penderita

thalasemia juga mengalami perubahan struktur tulang yang ditandai dengan tulang

maxillaris yang menojol, dahi yang lebar, dan hidung yang datar. Disebut dengan

cooley face.

Gejala lain dari thalasemia adalah dada berdebar-debar dikarenakan oksigen

yang dibawa ke jantung akan lebih sedikit karena hemoglobin yang bertugas

membawa oksigen ke dalam darah berkurang dan jantung akan berusaha lebih

keras sehingga menyebabkan kelemahan pada otot jantung. Pada thalasemia beta

mayor, penderita mengalami jaundice/sakit kuning, luka terbuka di kulit/ulkus

batu empedu, dan pembesaran hati.

Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan splenomegali sebagai akibat

terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman akibat dari meningkatnya produksi

Fe, juga terjadi ikterus karena produksi bilirubin meningkat. Gagal jantung

18
disebabkan penumpukan Fe di otot jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi

pertumbuhan, penuaan dini (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).

3.1.4 Pemeriksaan Penunjang

1. DL : Hb dapat sangat rendah 2-3g/dL, retikulosit meningkat

2. HDT : hipokrom mikrositer, anisopoikilosis, plokromasia, sel target,

normoblas, leptositosis, dan titik-titik basofil, benda howell jolly, poikilositosis

3. Elektrofoesis : HbF meningkat

4. Coomb’s test : dapat positif pada pasien reccurent transfussion

5. Ro kepala : hair on end, korteks menipis

6. Ro tulang panjang : korteks menipis, trabekula jelas, perluasan sutul

7. Resistensi osmotik meningkat

8. Sumsum tulang : hiperplasi normoblastik, kadar besi serum dan timbunan besi

meningkat (pengecatan prussian biru)

9. Bilirubin bebas (unconjugated) serum meningkat

3.1.5 Diagnosis

Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu makan

dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan, kemudian

19
dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi bentuk muka mongoloid (facies

Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan hepatomegali.

Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa sampai 2-

3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik hipokromik, sel target,

anisositosis berat dengan makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi,

basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan sel target.

Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis meliputi : Hb F

meningkat 20%-90%, elektroforesis Hb (Dewi.S. 2009 dan Herdata.H.N. 2009).

3.1.6 Terapi Thalasemia

Sampai saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan secara total.

Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan terhadap penyakit dan

komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan cara tranfusi darah,

splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi

gen.

Pengobatan komplikasi meliputi mencegah kelebihan dan penimbunan besi,

pemberian kalsium, asam folat, imunisasi. Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari

untuk meningkatkan ekskresi besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja.

Vitamin E 200-400 IU/hari untuk memperpanjang umur sel darah merah.

Transfusi harus dilakukan seumur hidup secara rutin setiap bulannya

(Herdata.H.N.2008 dan Tamam.M. 2009).

Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein.

Apabila melakukan transfusi darah secara teratur dapat mengakibatkan

20
penumpukan zat besi dalam darah yang dapat menyebabkan kerusakan jantung,

hati, dan organ lainnya. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, dilakukan terapi

khelasi besi untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh. Obat yang biasa

digunakan yaitu deferoxamine (injeksi di bawah kulit) atau deferasirox (pil).

Asam folat atau vitamin B juga diberikan disamping transfusi darah dan khelasi

besi yang berfungsi untuk pembangunan sel-sel darah merah yang sehat.

Pemberian darah dalam bentuk PRC (Packed Red Cell) 3 ml/kg BB untuk

setiap kenaikan Hb 1 g/dl. Terapi juga bisa disertai pemberian iron chelating agent

(deferoxamine), diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l

atau saturasi transferin lebih 50%, atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.

Sebaiknya zat besi tidak diberikan, dan makanan yang kaya akan zat besi juga

dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat membantu mengurangi penyerapan zat

besi di usus.

Terapi talasemia juga bisa berupa pembedahan yaitu splenektomi, dengan

indikasi limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,

menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur.

Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau

kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat badan dalam satu

tahun. Bisa juga dengan tindakan transplantasi sumsum tulang belakang.

Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari 200-250

mL/kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr/dL karena dapat

menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%.

21
3.2. Dampak Transfusi Berulang Pada Thalasemia Mayor

Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk

mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan

kadar Hb diatas 10 gr/dl namun dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan

agar suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang

berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi Fe dari traktus

digestivus. Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB dan

dalam bentuk PRC (paked read cells) (Priyantiningsih R.D. 2010).

Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk

mempertahankan hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena

berisiko terinfeksi bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti infeksi

bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan HIV (Herdata

N.H. 2009 dan Kartoyo P.dkk 2003).

Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan

penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal.

Akumulasi zat besi pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat

transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat

gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30, dengan jumlah

total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia penderita 2-9 tahun

(Priyantininsih R.D. 2010). Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya

dan apabila tidak dilakukan penanganan yang serius dapat berakibat kematian.

Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi khelasi besi, yang sering

digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat ini

22
pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral.

Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya hemosiderosis

dan hemokromatosis (Herdata N.H.2008 dan Priyantiningsih R.D.2010).

3.2.1. Hemosiderosis

Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena dalam 1

liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan menambah

jumlah zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma terikat pada

trasnferin, kemampuan transferin mengikat zat besi sangat terbatas sehingga

apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh transferin berada dalam keadaan

tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-

transferrin bound plasma iron) yang dapat menyebabkan pembentukan radikal

bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan

zat besi terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi

di jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal

jantung yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati

yang berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati (Priyantiningsih

R.D.2010).

3.2.2. Hemokromatosis

23
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari penimbunan

zat besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai dengan kadar

feritin serum > 1000 µg/L. Ferritin merupakan suatu protein darah yang

kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan dalam tubuh.

Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi tertentu seperti

hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan ferritin tidak spesifik

untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain untuk mendiagnosa

hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation. TIBC adalah suatu

pengukuran jumlah total besi yang dapat dibawa dalam serum oleh transferrin.

Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang dihitung dengan membagi serum

besi oleh TIBC, hasil angka yang mencerminkan besarnya persentase dari

transferrin yang sedang dipakai untuk mengangkut besi. Hasil transferrin

saturation pada manusia sehat antara 20 dan 50 %. Penderita dengan

hemokromatosis keturunan, serum besi dan transferrin saturation hasilnya di atas

normal. Tes yang paling akurat untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah

dengan biopsi jaringan hati sehingga dapat melihat langsung seberapa besar

kerusakan hati. Gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali,

pada stadium lanjut dapat terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali,

ikterus, asites dan edema. Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita

thalasemia lebih beresiko terkena hemokromatosis sebagai akibat dari

penimbunan zat besi pada hati (Herdata.N.H.2009 dan Kartoyo.P. dkk 2003).

3.3 Metabolisme Gangguan Fungsi Hati dan Ginjal Thalasemia Mayor

24
Penderita thalasemia mayor mengalami kelainan pada gen globin

menyebabkan produksi hemoglobin berkurang dan sel darah merah mudah

rusak/berumur lebih pendek dari sel darah merah normal. Kerusakan sel darah

merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam

tubuh. Manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk

membentuk sel darah merah yang baru. Penderita thalasemia, zat besi yang

ditinggalkan sel darah merah yang rusak akan menumpuk dalam organ tubuh

seperti hati dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh. Zat besi paling banyak

terakumulasi di hati karena fungsi hati sebagai sintesis ferritin (simpanan besi)

dan transferin (protein pengikat besi) juga tempat penyimpanan terbesar cadangan

besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin. Penderita thalasemia mayor harus

mendapat suplai darah terus menerus dari darah transfusi untuk mengatasi anemia

sehingga akan menambah penumpukan zat besi di dalam hati. Penumpukan zat

besi ini harus dikeluarkan karena akan sangat membahayakan dan dapat berujung

pada kematian (Herdata N.H, 2008).

Penumpukan zat besi juga terdapat di ginjal. Kelebihan zat besi dapat

dikurangi dengan terapi kelasi besi berupa obat yang diberikan secara oral

maupun lewat infus. Fungsi ginjal diantaranya sebagai ekskresi sisa metabolik dan

bahan kimia asing juga produk akhir pemecahan hemoglobin. Obat khelasi besi

selain bermanfaat namun juga berbahaya karena mengandung bahan kimia.

Sebagian besar zat besi diekskresikan melalui feses dan <10 % lewat urin, dengan

cara mengeliminasi atau mengurangi ikatan serum non transferin besi. Obat

khelasi besi ini diabsorbsi dan bersirkulasi selama beberapa jam. Jangka waktu

yang lama maka menambah beban ginjal sebagai ekskresi yang dapat

25
mengakibatkan kerusakan ginjal. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur produksi

sel darah merah, ginjal menyekresikan eritropoetin yang merangsang

pembentukan sel darah merah. 90 % dari seluruh eritropoetin dibentuk dalam

ginjal. Penderita thalasemia mayor pembentukan sel darah merah lebih cepat

sehingga ginjal akan lebih sering menyekresikan eritropoetin untuk pembentukan

sel darah merah baru, lama kelamaan dapat mengakibatkan kerusakan fungsi

ginjal (Fathoni F.2008, Herdata N.H.2008 dan Qodariah N.R.2006).

3.4 Kerangka Teori

26
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Thalasemia adalah penyakit kelainan darah yang bisa dikarenakan

keturunan yang ditandai dengan kondisi sel darah merah mudah rusak atau

umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Mekanisme thalasemia

yaitu tubuh tidak dapat memproduksi rantai protein hemoglobin yang cukup. Hal

ini menyebabkan sel darah merah gagal terbentuk dengan baik dan tidak dapat

membawa oksigen. Gen memiliki peran dalam mensintesis rantai protein

hemoglobin. Jika gen-gen ini hilang atau diubah atau terganggu maka thalasemia

dapat terjadi.

Adapun tanda dan gejala talasemia yaitu lemah, pucat, perkembangan fisik

tidak sesuai dengan umur, berat badannya kurang, gizi buruk, perut membuncit,

muka yang mongoloid, kulit tampak pucat kuning – kekuningan dan jantung

mudah berdebar – debar. Talasemia dibedakan menjadi 2 berdasarkan

terganggunya rantai globin dan secara klinis. Penyebab talasemia yaitu gangguan

27
genetik; kelainan struktur hemoglobin; produksi satu atau lebih dari satu jenis

rantai polipeptida terganggu; terjadi kerusakan eritrosit dan deoksigenasi.

Pendeteksian penyakit talasemia bisa dengan meriksa darah secara rutin serta

untuk pencegahan dan pengobatanya dengan menghindari makanan yang di

asinkan, tranfusi darah, terapi khelasi besi maupun suplemen asam folat juga

transplantasi sumsum tulang belakang, splenektomi, induksi sintesa rantai globin,

transplantasi sumsum tulang dan terapi gen.

4.2 Saran

1. Mengetahui gejala thalasemia agar penatalaksanaannya efektif.

2. Pentingnya pemberian edukasi pada pasien agar segera melakukan tindak

pengobatan terhadap gejala yang dirasakan guna pengontrolan penyakitnya

sebagai cara untuk menurunkan resiko penyakit yang berat.

3. Diperlukan tata laksana yang adekuat untuk menurunkan resiko terjadinya

komplikasi pada pasien thalasemia

28
DAFTAR PUSTAKA

Behrman Richard E., Kliegman Robert., Arvin Ann M, 2001. Kelainan


Hemoglobin: Sindrom Thalassemia. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2.
Edisi ke-15. Jakarta: EGC. Hlm 1708-1712.

Bleibel, SA, 2009. Thalassemia Alpha. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/206397-overview. (Diakses pada
tanggal 11 Januari 2020).

Haut, A., Wintrobe MM, 2010. The hemoglobinopathies and thalassemias. Forfar
and Arneil’s Textbook of Paediatrics. Edisi 7. Chruchill Livingstone. Hlm
1621- 1632.

Permono B, Sutaryo, 2006. Buku Ajar Hemotologi-Onkologi Anak Cetakan


Kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Takeshita, K, 2010. Thalassemia Beta. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/206490-overview. (Diakses pada
tanggal 11 Januari 2020).

Yaish HM. 2009. Thalassemia. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/958850-followup. (Diakses pada
tanggal 11 Januari 2020).

29
WW Hay, Levin MJ, 2007. Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th
Edition. New York: Lange Medical Books/ McGraw Hill Publishing
Division.

Harahap. 2013. Penatalaksaan pada Pasien Thalasemia. Fakultas Kedokteran


Universitas Lampung. Vol. 1, No.1.

Doenges, Marilynn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan edisi 3. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC

Hoffbrand. A.V & Petit,J.E. (2006). Kapita Selekta Hematologi  . Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC

Kliegman Behrman. (20012). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15,  Alih Bahasa


Indonesia, A.Samik Wahab. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC

Mansjoer, Arif, Dkk. (2000). Kapita Selekta kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC

Maureen Okam, M.D (Harvard Media School). (1999). Thalassemia Information.


Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC

Muscari,Mary E.(2005). Panduan Belajar Keperawatan Pediatrik. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC

Ngastiyah .(1997). Perawatan Anak Sakit Edisi 1 . Jakarta :  Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Nurarif,Amin Huda Dan Hardhi Kusuma. (2013) . Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc Jilid 2. Yogyakarta :
MediaCtion Publishing

Schwartz,M.William. (2005). Pedoman Klinis Pediatri,Alih Bahasa Brahm U


Pandit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Soeparman,Sarwono w. (1996). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia

Suriadi S.kep dan Yuliana Rita S.kep. (2001) Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 1.
Jakarta : PT. Fajar Interpratama

30

Anda mungkin juga menyukai