Anda di halaman 1dari 5

Peran Neutrofil pada Inflamasi

Neutrofil disebut sebagai “soldier of the body” karena merupakan sel pertama yang
dikerahkan ke tempat bakteri yang masuk dan berkembang di tubuh. Neutrofil merupakan leukosit
yang terbesar di dalam sirkulasi dan akan bermigrasi ke jaringan selama beberapa hari. Neutrofil
memiliki reseptor untuk IgG dan komplemen. Neutrofil yang bermigrasi pertama dari sirkukasi ke
jaringan yang mengalami infeksi dilengkapi dengan reseptor TLR 2, TLR 4 dan reseptor lain.
Neutrofil dapat mengenal patogen secara langsung. Ikatan dengan patogen atau fagositosis dapat
meningkat bila antibodi atau komplemen yang berfungsi sebagai opsonin diikatnya. Tanpa bantuan
antibodi, komplemen dalam serum dapat mengendap fragmen protein di permukaan patogen sehingga
memudahkan untuk diikat oleh neutrofil dan fagositosis. (Baratawidjaja K.G, Rengganis I.2009)
Peran Limfosit pada Inflamasi

Limfosit dalam tubuh manusia disirkulasikan terus menerus dalam darah dan limfe, limfosit dapat
bermigrasi ke jaringan dan organ limfoid serta merupakan perantara berbeagai sistem imun, sel
limfosit merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun spesifik, sel T pada imunitas selulat
dan sel B pada imunitas humoral. Pada imunitas humoral sel TCD4 + berinteraksi dengan sel B dan
merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B. Pada imunitas selulas, sel T CD4 mengaktifkan
macrofag untuk menghancurkan mikroba atau CD8 untuk membunuh mikroba intraselular. Kedua
sistem imun non spesifik atau spesifik bekerja sangat erat satau sama lain.

Peran Neutrofil Limfosit Ratio dalam Mortalitas

Respon sistemik terhadap multitrauma, operasi besar, syok, luka bakat, infeksi berat dan isschemi
diatur oleh neuroendrokrin dan respon imun bawan, dimediasi oleh imunitas selular dan humoral.
Peristiwa yang menyebabkan respon inflamasi pada lokasi cedera ditandai oleh sel-sel inflamasi,
danperekrutan spesifik subpopulasi leukosit ke dalam jaringan serta peningkatan serum protein fase
akut yakni C-reaktif protein, serum amyloid A, fibrinogen dan CD14. Parameter infeksi bakteri berat
ditandai dengan serum procalcitonin, neopterin penanda infeksi virus dan respon imun selular
dimediasi oleh interferon gamma, (Zahorec R,2001)

Immunokompeten sel darah putih yakni monosit, limfosit dan neurofil berperan sangat penting
dalam respon inflamasi sistemik terhadap infeksi berat, cederam politrauma dan syok. Penurunan
yang signifikan dari limfosit dalam sirkulasi setelah trauma berat, operasi besar, sepsis berat dan
peradangan sitemik telah dijelaskan oleh beberapa literasi. Depresi imunitas selular bawan yang
ditandai dengan penurunan T4 limfosit helper dan elevasi dari limfosit T6.

Nitric Oxide merupakan molekul yang mampu memberikan isyarat penting pada jaringan untuk
mengatur proses fisiologis yang mencakup vasodilatasi, fungsi meurin, inflamasi dan fungsi imun. NO
juga terlibat dalam proses apoptosis.

Rasio Neutrofil Limfosit sebagai suatu marker inflamasi

Parameter yang dapat diukur di dalam darah yang merefleksikan inflamasi sistemik antara lain
peningkatan

C-reactive protein

, hipoalbuminemia, peningkatan beberapa sitokin dan peningkatan leukosit dan berbagai subtype
dari leukosit (Daniel G. Remick,.
May 2007; Vigano A, BrueraE, Jhangri GS, et al. 2000 ). Neutrofil merupakan leukosit pertama yang
bermigrasi dari darah k

empat yang mengalami injuri ataupun infeksi untuk membunuh pathogen dan menyingkan debris
seluler. Neutrofil bermigrasi ke lokasi inflamasi dan infeksi, yaitu tempatnya mengenali dan
memfagositosis mikroorganisme yang menginvasi dengan tujuan untuk membunuhnya melalui
mekanisme sitotoksik. Proses ini melibatkan mekanisme molekular yang mengkoordinasikan
polarisasi sel, pengiriman reseptor, dan aktivasi integrin hingga tempat terjauh dari bermigrasinya
neutrofil mengikuti kemoatraktan. Jika sudah tiba di tempat infeksi, neutrofil secara aktif
memfagositosis mikroorganisme atau membentuk

neutrophyl extracellular traps

(NETs) untuk memerangkap dan membunuh pathogen. NADPH mereduksi kompleks oksidase pada
membrane fagosomal

untuk membentuk

reactive oxygen species

( ROS) dan pengiriman enzim proteolitik ke dalam fagosom untuk memulai penghancuran dan
menyingkirkan pathogen (Rosales C et al. 2016)

Pada infeksi awal, nilai neutrofil cenderung mengalami penurunan, namun seiring berjalannya
proses infeksi, nilai neutrofil cenderung mengalami peningkatan, baik dari segi jumlah dan
distribusinya. Selama proses infeksi, agen kemotaksis akan menarik neutrofil ke area yang
mengalami infeksi untuk menjalankan fungsinya dalam memfagosit dan membunuh mikroorganisme
penyebab infeksi (Nader, N.D. 2015.). Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Takele

, et al

. (2016), bila proses infeksi kronis yang terjadi disertai dengan kondisi malnutrisi, profil nuetrofil
cenderung menurun, sehingga beberapa fungsi dari neutrofil juga akan terganggu

Takele Y, Adem E, Getahun M, Tajebe F, Kiflie A, Hailu A, et al. 2016) Beberapa tahun ini disebutkan
adanya bukti

bahwa neutrofil tidak hanya memiliki peranan fundamental pada inflamasi fase akut, namun juga
memiliki kemampuan untuk memodifikasi respon imun secara menyeluruh. Hal ini dapt terjadi
karena pertukaran informasi dengan makrofag, sel

denritik, dan sel-sel lain pada sistem imun adaptif melalui mediator-mediator atau kontak antar sel.
Neutrofil merupakan regulator poten inflamasi melalui pelepasan faktor-faktor proinflamasi dan
beberapa sitokin. Neutrofil memiliki dua peranan dalam mencetuskan dan mengontrol inflamasi.
Mekanisme yang mengontrol hasil akhirnya belum digambarkan secara lengkap, namun fungsi yang
berlawanan ini sangatlah berimbang (Rosales C et al. 2016). Terdapat berbagai hal yang dapat
mempengaruhi kadar neutrofil maupun limfosit secara langsung maupun tidak langsung dapat
dijabarkan dalam tabel sebagai berikut ini:

` Hal-hal yang dapat mempengaruhi kadar neutrofil dan limfosit


Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan profil hemoglobin,
neutrofil, limfosit dan platelet pada pasien yang memiliki indeks masa tubuh kurang dari 16,5
dibandingkan dengan pasien dengan indeks masa tubuh lebih tinggi (16,5-18,4).( Takele Y, Adem E,
Getahun M, Tajebe F, Kiflie A, Hailu A, et al. 2016) Limfopenia merupakan kondisi yang jarang
ditemukan pada sebagian besar penyakit autoimun. Penurunan jumlah limfosit total dapat
ditemukan pada beberapa kasus, seperti misalnya

rheumatoid arthritis, insulin-dependent diabetes mellitus, Crohn's disease, systemic lupus


erythematosus

(SLE) dan

primary vasculitis.

Namun demikian, meskipun limfopenia sering dikaitkan dengan penyakit autoimun, limfopenia
tidak sepenuhnya dapat menyebabkan penyakit autoimun karena dibutuhkan adanya kontribusi
faktor lingkungan dan genetik untuk menimbulkan manifestasi penyakit autoimun. Penyakit
autoimun adalah respon imun terhadap antigen jaringannya sendiri yang disebabkan oleh kegagalan
mekanisme normal dalam mempertahankan

self tolerance

sel B, sel T atau keduanya yang dapat menyebabkan kerusakan dan serangan pada sel-sel dan
jaringan sehat (Koops, HS. 2004

Kondisi lain yang dapat mempengaruhi jumlah limfosit adalah imunodefisiensi. Imunodefisiensi
dapat menyebabkan penurunan pada jumlah limfosit B, limfosit T, dan makrofag. Sel T dan sel B
adalah sel utama dari sistem

kekebalan adaptif tubuh. Sel B memediasi produksi antibodi dan oleh karena itu memainkan peran
utama dalam antibodi-mediated (humoral) imunitas. Di sisi lain, sel T mengatur respon sel yang
dimediasi sistem imun. Cacat yang terjadi pada setiap pengembangan, diferensiasi dan pematangan
sel T mengarah pada gangguan immunodefisiensi sel T, sedangkan cacat yang berkaitan dengan sel B
mengarah pada pengembagan sel B dan/atau gangguan hasil pematangan sel B (defisiensi antibodi),
karena produksi antibodi sel B yang diperantarai sel B membutuhkan fungsi sel T. Oleh karenanya
gabungan gangguan sel T dan sel B akan menyebabkan gangguan immunodefisiensi sel B dan sel T
(Abbas, AK., Andrew, HL., Shiv P. 2007; McCusker, C., Richard W. 2011)

Rasio neutrofil-limfosit dapat dihitung dengan mudah dari hasil pemeriksaan darah lengkap, serta
merupakan marker yang mudah diperoleh yang dapat mengindikasikan status inflamasi pada tubuh.
Walaupun di beberapa literatur, mekanisme dari penggunaan rasio neutrofil limfosit sebagai marker
inflamasi belum dapat dijelaskan secara terperinci , namun rasio neutrofil limfosit cukup sering
digunakan sebagai marker inflamasi. Akhir-akhir ini, rasio neutrofil-limfosit diperkenalkan sebagai
biomarker potensial untuk menilai inflamasi dan memprediksi

outcome

pada pasien kanker, penyakit jantung dan kelainan lainnya (Evren D,Kenji I,Tobias H,2015 ; Walsh
SR, Cook EJ, Goulder F, et al. 200

2.14 Faktor Faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai rasio neutrofil limfosit
Setelah melihat ulasan diatas dan mengingat komponen dari RNL (neutrofil dan limfosit) yang
merupakan penanda inflamasi secara umum,dapat dijabarkan berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi nilai RNL pada seseorang, yang dapat sebagai faktor perancu dalam kaitannya pada
pasien peritonitis.faktor tersebut diantaranya

1.

Usia

seseorang berperan dalam proses inflamasi kronis,semakin tua seseorang didapatkan peningkatan
hitung neutrofil dan limfosit (

Azab B, Camacho R.M, Taioli E.2014; Dixon J.B, Brien P.2006)

2.

Jenis kelamin.

Dalam satu penelitian didapatkan nilai RNL lebih tinggi pada wanita daripada laki laki,hal ini
dikaitakan dengan respon kortisol terhadap stres fisik pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki

(Gwak M.S, Choi S.J, Kim J.A, et al.2007)

3.

Indeks Massa Tubuh (IMT)

yang tinggi menjadi suatu tanda kemunculan sidrom metabolik seseorang,dan hal ini telah terbukti
dapat memicu adanya inflamasi sistemik,yang ikut mengaktivasi neutrofil dan limfosit.

(Azab B, Camacho R.M, Taioli E.2014)

4.

Imunodefisiensi

. dapat menyebabkan penurunan pada jumlah limfosit B, limfosit T, dan makrofag.( Abbas, AK.,
Andrew, HL., Shiv P. 2007; McCusker, C., Richard W. 2011)

5.
Penyakit autoimun

Penurunan jumlah limfosit total dapat ditemukan pada beberapa kasus, seperti misalnya

rheumatoid arthritis, insulin-dependent diabetes mellitus, Crohn's disease, systemic lupus


erythematosus

(SLE) dan

primary vasculitis.

Namun demikian, meskipun limfopenia sering dikaitkan dengan penyakit autoimun.( Koops, HS.
2004)

2.15 Faktor resiko yang mempengaruhi Mortalitas Pada Peritonitis

Malla reddy,dll melaporkan sebuah study evaluasi mortalitas dan morbiditas pada peritonitis akut
didapatkan data bahwa usia terbukti menjadi faktor resiko dimana usia >50 th terjadi 55,56 %
kematian dan <50 th terjadi 9,52% , Durasi praoperasi juga menjadi faktor resiko kematian
berikutnya dengan >24 jam angka kematian 35,9% dan < 24 jam tidak didapatkan
kematian,berikutnya sifat cairan peritoneal menjadi resiko penting didapatkan kematian 57,14%
pada eksudat feses dan 22,64 % kematian pada purulen. Gelismekte,dkk juga melaporkan sebuah
study prediktor mortality dan morbidity pada peritonitis didapatkan data heart rate& respiratory
rate,haemoglobine,creatinin,urea dan PaO2 signifikan terhadap mortalitas dan morbiditas,dan
umur, Leukosit,Haemotokrit signifikan pada mortalitas tapi tidak morbiditas,sedangkan
Na,K,tekanan darah, berat badan tidak ada

hubungan terhadap mortalitas maupun morbiditas.Telat penanganan dengan durasi > 48 jam
,tercatat mortalitas paling tinggi,cairan peritonium purulent dan feculent memiliki morbidity dan
mortality paling tinggi,durasi operasi > 2jam memiliki mortalitas 12 lebih tinggi dari <2 jam

Anda mungkin juga menyukai