Anda di halaman 1dari 10

INFEKSI DIPYLIDIUM CANINUM PADAANJING DENGAN

CTENOCEPHALIDES CANIS SEBAGAI VEKTOR


Parasit merupakan organism kelompok hewan yang untuk dapat mempertahankan
hidupnya

membutuhkan

makhluk

hidup

lainnya

sebagai

sumber makanan dan sumber

kehidupannya, sehingga merugikan dan bahkan dapat membunuh induk semang tempatnya
menumpang hidup. Parasit dalam peranannya adalah suatu organisme yang hidup secara temporer
(sementara) atau menetap pada atau dalam tubuh organisme hidup yang bertujuan untuk
memperoleh makanan. Dalam hal ini parasit diuntungkan dengan adanya hubungan yang erat
terhadap keberadaan induk semang. Parasitologi pada umumnya mencakup bakteri, kapang,
protozoa, cacing, artrhopoda, spirokheta dan virus (Anonymous, 2003).
Anjing merupakan salah satu hewan domestik yang dijadikan hewan peliharaan atau
kesayangan yang banyak digemari manusia karena anjing relatif mudah dipelihara. Anjing bagi
sebagian manusia dipelihara sebagai teman dan juga ada yang memelihara sebagai keperluan lain
seperti penjaga malam. Saat sekarang, anjing semakin banyak difungsikan untuk pengintaian
atau anjing pelacak, misalnya digunakan oleh polisi untuk fungsi-fungsi keamanan mulai dari
pengendusan dugaan adanya narkoba, melacak bom bahkan para teroris dan pengacau keamanan
(Soulsby, 1982).
Di daerah yang padat penduduk, kenaikan jumlah populasi dari anjing sebagai hewan
peliharaan tetap menimbulkan masalah pada kontaminasi lingkungan oleh telur parasit cacing
dan larva. Diberbagai tempat dimana hewan peliharaan dan manusia hidup berdampingan,
tumpukan feses adalah jalan utama penyebaran dari infeksi cacing yang melibatkan anjing dan
dapat menularkan ke manusia (Genchi dkk., 1990).
Cacing gastrointestinal pada anjing sangat berpengaruh serius terhadap anjing tersebut
maupun terhadap manusia. Parasit cacing tersebut, apabila bermanifestasi pada inangnya dapat

berakhibat menjadi penyakit infeksius, menghambat pertumbuhan, menurunkan produktivitas


kerja, malnutrisi serta masalah kesehatan yang serius (Soulsby, 1982). Parasit pada hewan
menunjukkan gejala yang bervariasi, tergantung spesiesnya parasitnya. Gejala yang terlihat
biasanya adalah gangguan pencernaan, iritasi, mal digesti, mal absorbsi dan gastroentropathy
(Dunn, 1978) dan beberapa kasus kadang berujung dengan kematian (Schoper, 2003).
Umumnya kebanyakan parasit cacing pada anjing dapat bersifat zoonosis. Salah satunya
adalah parasit cacing dari subkelas cestoda, yakni diphilidium caninum. Cacing ini biasa disebut
juga cacing pita pada anjing atau dog tapeworm karena cacing ini tubuhnya berbentuk segmensegmen seperti pita (Anderson, 1988). Cacing ini terdistribusi secara kosmopolitan. Cacing pita
ini termasuk kedalam kelas subkelas cestoda, kelas cestoidea, filum platyhelminthes, genus
diphilidae, spesies diiphilidium caninum. Cacing dewasanya menempati saluran usus vertebrata
dan larvanya hidup di jaringan vertebrata dan invertebrate. Bentuk memanjang seperti pita,
biasanya pipih dorsoventral. Tidak mempunyai alat cerna ataupun saluran vascular dan biasanya
terbagi ke dalam segmen-segmen yang disebut proglotid yang bila dewasanya akan berisi alatalat reproduksi jantan dan betina (Boreham, 1990).
Penyakit cacing pita merupakan penyakit yang sulit diberantas secara tuntas dan bersifat
menahun. Timbulnya gejala penyakit cacing pita tergantung dari jumlah cacing pita yang
menyerang, kondisi anjing, umur anjing, ras dan lingkungan. Hampir semua anjing dewasa
pernah terserang cacing ini, tetapi kebanyakan tidak menimbulkan gejala klinis. Biasanya anjing
yang banyak kutu pada tubuhnya juga diserang penyakit cacing pita (Eguia dkk., 2005).
Banyak sediaan obat anthelmentik pada anjing, namun pada parasit cacing dari kelas
nematoda dan terutama cestoda memerlukan tindakan penanganan yang serius mengenai dosis
yang dianjurkan (Genchi dkk., 1990). Banyak terdapat sediaan anthelmentik yang dapat

digunakan untuk memberantas parasit ini pada anjing, namun sayangnya pemberian
anthelmentik ini tidak diimbangin dengan pemutusan siklus hidup dari cacing ini. Keberadaan
dari agen pembawa (vektor) dari parasit ini seringkali diabaikan. Pinjal ctenocephalides canis
merupakan ektoparasit yang berperan sebagai vector dalam proses maturasi cacing dipylidium
caninum (Horak, 1982). Tindakan pemberantasan pinjal ini seringkali terabaikan dikarenakan
pemilik anjing terlalu fokus dengan temuan cacing pita dipylidium caninum pada feses anjing
peliharaannya.
Diperlukan suatu pemahaman atau pengetahuan mengenai siklus hidup serta inang
perantara pada suatu organisme parasit agar diketahui secara cepat diagnosa serta pengobatan
yang selektif untuk memberantas parasit yang merugikan tersebut (CDC, 1995). Untuk itulah
laporan ko-asistensi ini disusun agar pembaca dapat mengerti cara efisien untuk memberantas
cacing dipylidium caninum pada anjing.
A . Klasifikasi dan Morfologi Pinjal
Pinjal termasuk ke dalam ordo Siphonaptera yang pada mulanya dikenal sebagai ordo
Aphniptera. Secara umum, morfologi pinjal mempunyai tubuh pipih berukuran 1,5-4 mm, tidak
bersayap, mulut tersembunyi (berfungsi untuk menusuk-mengisap, mempunyai kaki-kaki yang
panjang dan kuat untuk meloncat, pada daerah dekat mata terdapat ocular bristle, mempunyai
abdomen dengan 10-12 segmen : pada segmen ke-8 atau ke-9 terdapat spermatheca (pinjal
betina), sedangkan pada yang jantan, penis terdapat pada segmen abdomen ke-5 atau ke-6. Juga
terdapat comb (rambut seperti sisir) yang penting untuk differensiasi pinjal yang terdiri dari
Genal comb di atas mulut dan thoracal comb yang terdapat di segmen pertama toraks..
Metamorfosa pada pinjal adalah metamorfosa sempurna. Adapun jenis pinjal, diantaranya
Ctenocephalides canis, Ctenocephalides felis, Pulex irritans, Xenopsylla cheopis (pinjal tikus).

Menurut Soulsby (1982), Ctenocephalides canis berdasarkan taksonominya termasuk ke


dalam :
Phylum

: Arthropoda

Kelas

: Insekta

Sub Kelas

: Pterygota

Ordo

: Siphonaptera

Super Famili

: Pulicoidae

Famili

: Pulicidae

Genus

: Ctenocephalides

Spesies

: Ctenocephalides canis

Secara umum morfologi dari C.canis sama dengan C.felis, tetapi berbeda dengan C.felis,
pinjal C.canis memiliki duri pertama dari ktenidia genal yang lebih pendek dari duri yang
dibelakangnya. Selain itu pinjal ini memiliki mamibrium melebar di apeks. Kaki belakang terdiri
dari delapan ruas.
Kepala C.canis dengan muka yang lebar memiliki panjang satu setengah dari tinggi
kepalanya (Roberts, 1992). Dengan penegasan bentuk kepala dari C,canis ini sedikit membulat.
Ciri-ciri inilah yang dapat digunakan untuk membedakannya dengan C.felis.

B. Daur Hidup Ctenocephalides Canis


Pinjal mengalami metamorphosis yang sempurna, yang dimulai dari telur, larva, pupa
kemudian menjadi pinjal dewasa. Pinjal betina biasanya mengeluarkan telur sampai dua puluh
butir setiap periode bertelurnya. Telur pinjal berbentuk oval dan berwarna keputihan. Biasanya
telur diletakkan di kandang, alas kandang dan kadang kalanya ditemukan pada rumput (Taboada,
1966).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi daya hidup dari pinjal C.canis dewasa adalah
temperature dan kelembaban lingkungan. Ctenocephalides canis dewasa dapat hidup optimal
pada lingkungan yang bertemperatur 27oC-39oC dengan kelembaban 75-92%. Pada lingkungan
yang kelembaban 60% C.canis dapat hidup selama 62 hari (Dryden, 1988).

Menurut soulsby (1982) C.canis dewasa dapat bertahan hidup selama 26 bulan dan
menghasilkan telur sebanyak 400-500 butir sepanjang hidupnya.
C. Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Infestasi Pinjal
Diperkirakan bahwa 50% dari kasus dermatitis yang dilaporkan oleh dokter hewan
disebabkan oleh gigitan pinjal. Dinyatakan pula bahwa Ctenocephalides canis merupakan
penyebab utama flea allergic dermatitis (FAD) pada anjing dan kucing. FAD merupakan reaksi
hipersensitivitas terhadap komponen antigenic yang terkandung dalam saliva pinjal (Rust, 1997).
Selain bertindak sebagai vektor penyakit, ektoparasit ini juga dapat bertindak sebagai
inang antara bagi parasit lain misalnya cacing pita pada anjing dan kucing (Diphylidium
caninum) dan larva cacing filarial anjing (Dipetalonema recondinatum) (Levine, 1990).

A. Etiologi
Infestasi parasit intestinal yang disebabkan Dipylidium caninum disebut dipylidiasis.
Cacing ini dikenal juga dengan nama lain flea tapeworm, double-pored tapeworm, cucumber
seed tapeworm atau common dog tapeworm. Penyakit ini disebabkan oleh cacing pita yang
umumnya termasuk dalam golongan Dipylidium. Cacing pita ini termasuk kedalam kelas
subkelas cestoda, kelas cestoidea, filum platyhelminthes, genus dipylidiidae, spesies diiphilidium
caninum.

Klasifikasi taksonomi cacing dipylidium caninum:


Kingdom

: Animalia

Phylum

: Platyhelminthes

Class

: Cestoda

Order

: Cyclophyllidea

Family

: Dipylidiidae

Genus

: Dipylidium

Species

: D. caninum

B. Morfologi
Cacing Dipylidium caninum tinggal dalam usus halus anjing, memiliki panjang sampai
50 cm. Untuk melekat dan memperoleh makanan cacing tersebut dilengkapi dengan 4 penghisap
(Sucker) pada skoleksnya. Skoleks ber-sucker, sebuah rostellum refraktil, memiliki 4-7 baris
hook. Serta kait-kait yang dapat ditarik ke dalam. Puluhan proglotid yang berbentuk oval
memiliki alat reproduksi hermaprodit yang memiliki 2 buah muara genital yang terletak
disebelah lateral. Di dalam proglotid mengandung telur dalam jumlah yang besar terdapat kapsul
telur yang berbentuk ovoid. Tiap kapsul terdapat telur sebanyak 3-30 butir. Telur yang
berdiameter 44-54 mikron mengandung embrio yang memiliki 6 kait dan bersifat motil
(onkosfer) (Subronto, 2006). Dalam satu kapsula terdapat 1-63 telur per paket.

C. Host intermediate
Spesies pinjal Ctenocephalides Spp dan Pulex irritans merupakan hospes antara yang
paling sering ditemukan. Meskipun kutu Trichodectes canis juga dapat bertindak sebagai hospes
antara. Larva pinjal mungkin mengkonsumsi sejumlah kapsul telur yang tiap telur mengandung
sejumlah onkosfer. Seekor pinjal dapat memiliki sistiserkoid dalam jumlah besar sehingga dapat
menginfeksi anjing beberapa kali (Subronto, 2006).

D. Siklus hidup
Segmen cacing yang mengandung telur yang mengandung telur gravid keluar dari tubuh
bersama feses anjing secara spontan. Segmen tersebut secara aktif bergerak di daerah anus atau
jatuh ke tanah dan membebaskan telur cacing. Kapsul cacing yang berisi embrio akan termakan
oleh larva pinjal. Kapsul tersebut pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di
dinding usus larva pinjal yang selanjutnya berkembang mesnjadi sistiserkoid di dalam jaringan
tubuh larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa, sistiserkoid mejadi
infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal maka akan terinfeksi oleh cacing
Dipylidium sp. Di dalam usus akan mengalami evaginasi, skoleks akan melekat diantara villi
usus halus dan lama-lama akan berkembang sebagai cacing dewasa (Subronto, 2006).

E. Patogenesis
Selain menyebabkan rasa gatal di daerah anus karena keluarnya proglotid serta
rangsangan yang timbul oleh melekatnya proglotid tersebut. Rasa gatal tersebut akan
menyebabkan penderita menggosok gosokan bagian rektalnya di tanah. Penderita dengan infeksi

berat memperlihatkan gejala nafsu makan menurun dan berat badan yang menurun (Subronto,
2006).

F. Gejala Klinis
Cacing dapat mengakibatkan enteritis kronis, muntah dan gangguan syaraf (Foreyt,
2001). Rasa gatal di daerah anus yang diperlihatkan dengan menggosok-gosokan bagian yang
gatal tersebut serta berjalan dengan tubuh yang tegak merupakan petunjuk kuat untuk diagnosa
(Subronto, 2006).

G. Diagnosa Laboratorium
Dengan ditemukan proglotid di feses ataupun dengan identifikasi telur cacing dengan
pemeriksaan mikroskopis.

H. Pengobatan
Pyrantel

merupakan

obat

cacing

golongan

tetrahydropyrimidin,

derivat

dari

imidazothiazole dengan rumus kimia yaitu E-1,4,5,6-tetrahydro-1-methyl-2-[2-(2-thienyl)vinyl]pyrimidine (Ganiswara, 1995) dengan garam pyrantel yang diproduksi adalah pamoat yang
berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, namun dalam bentuk cairan jika terkena
cahaya matahari akan mengalami fotoisomerisasi sehingga tidak memiliki potensi sebagai obat
cacing dengan demikian bila telah dilarutkan harus segera dihabiskan. Pada hewan berlambung
tunggal, pyrantel segera diserap setelah pemberian dengan kadar puncak plasma tercapai dalam
2-3 jam.

Garam pyrantel pamoat larut dalam air, dan hal ini menguntungkan untuk membunuh
cacing yang hidup di usus posterior (Subronto, dan Tjahajati, 2008). Absorbsi pyrantel pada usus
tidak baik sehingga sifat ini memperkuat efeknya yang selektif pada cacing. Ekskresi sebagian
besar bersama tinja, dan kurang dari 15% diekskresikan bersama urin dalam bentuk utuh dan
metabolitnya. Efek samping pirantel pamoat jarang, ringan dan bersifat sementara, misalnya
keluhan saluran cerna, demam dan sakit kepala (Ganiswara, 1995).
Praziquantel merupakan antihelmintes terutama cestoda yang merupakan derivat dari
pirazinoisokuinolin yang efektif terhadap cestoda dan trematoda. Praziquantel tidak berwarna
dan tersasa pahit.Terabsorbsi secara cepat pada pemberian secara oral dan dimetabolisme dalam
hepar sebelum di ekskresikan ke dalam empedu. Efektif untuk mengatasi parasit Dipylidium
caninum, T. pisiformis, dan E. granulosus. Jangan diberikan pada anjing atau anjing berumur 1
2 bulan (Rossof, 1994).
Efek anthelmentik praziquantel secara invitro, praziquantel diambil secara cepat dan
reversibel oleh cacing tetapi tidak dimetabolisme. Kerjanya cepat melalui dua cara. Pertama pada
kadar efektif terendah menimbulkan peningkatan aktivitas otot pada cacing karena holangnya ion
Ca intrasel sehingga timbul kontraksi dan paralisis spastik yang sifatnya reversible, yang
mungkin menyebabkan terlepasnya cacing dari tempatnya yang normal pada hospes. Yang
kedua, pada dosis terapi yang lebih tinggi praziquantel dapat menyebabkan terjadinya
vakuolisasi dan vesikulasi tegumen cacing sehingga isi cacing keluar, mekanisme pertahanan
hospes dipacu dan terjadi kematian cacing.
Pada pemberian oral absorbsinya baik, kadar maksimal dalam darah tercapai dalam
waktu 1-2 jam. Metabolisme obat berlangsung cepat melalui proses hidroksilasi dan konjugasi
sehingga kadar metabolit dalam plasma kira-kira 100 kali kadar praziquantel. Metabolitnya

sebagian besar diekskresikan bersama urin dan sedikit diekskresikan dalam bentuk utuh. Efek
samping segera timbul segera setelah diberi pengobatan seperti sakit perut, anoreksia, sakit
kepala dan pusing, namun efek ini hanya sementara dan ringan dan timbulnya tergantung
besarnya dosis.

Anda mungkin juga menyukai