Anda di halaman 1dari 28

Coccidiosis

A. Spesies yang Rentan


Spesies yang rentan dari infeksi Eimeria tenella adalah Ayam ( 4-5
minggu ), Itik ( 6-8 minggu ), Kalkuk ( 6-8 minggu ) dan Angsa ( 3-12
minggu ) ( Salfina dan Partoutomo, 1994 ). Spesies yang rentan terhadap
infeksi Eimeria canis, E. felina, E. cati adalah Anjing dan Kucing (
Subronto,2006 ). Spesies yang rentan terhadap infeksi Eimeria punctata
dan Eimeria parva adalah Kambing dan Domba. Spesies yang rentan
terhadap infeksi Eimeria ziuernii adalah Sapi ( Subronto, 2003 ).
B. Patogenesa
Oocyst Eimeria sp masuk kedalam tubuh unggas melalui pakan
atau air minum unggas yang terkontaminas. Oocyst Eimeria mengandung 4
sporocyst dimana masing – masing sporocyst mengandung 2 buah
sporozoit. Proses pematangan dan menjadi bentuk infektif selama 48 jam.
Ketika mencapai gizzard oocyst akan hancur sehingga sporozoit mudah
masuk ke dalam sel epitel mukosa usus halus. Di dalam usus halus
sporozoit akan berkembang menjadi skizon I dan Merozit I. Merozoit I
yang keluar dari sel epitel akan masuk ke usus halus dan berkembang
menjadi skizon II dan Merozoit II. Merozoit II keluar dari sel epitel dan
melakukan penestrasi kembali untuk berkembang membentuk mikrogamet
dan makrogamet. Pertemuan mikro gamet dan makrogamet akan
membentuk zigot dan berkembang menjadi oocyst. Oocsyt akan keluar dari
epitel usus dan keluar bersama feses.
C. Gejala Klinis
Unggas yang terinfeksi penyakit Coccidiosis menunjukkan gejala
klinis berupa anoreksia, depresi, bulu berdiri, kepucatan pada pial dan
jengger, kekurusan dan kematian. Perkembangbiakan Eimeria sp di sel
epitel mukosa usus halus menyebabkan terjadinya kerusakan sel epitel dan
terjadi dan terjadi reaksi peradangan. Sel-sel radang yang berkumpul
disekitar lesi akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah usus halus
sehingga terjadi hemoragi perdiapedesis. Hemoragi pada usus halus tersebut
menyebabkan terjadinya diare berdarah. Beberapa spesies Eimeria
membentuk koloni di usus halus yang berisi ratusan merozoit. Merozoit
tersebut akan berkembang dan menginvasi lebih kedalam hingga ke lapisan
lamina propria sehingga saat merozoit dilepaskan dari koloni akan terjadi
erosi yang parah pada mukosa usus halus. Erosi mukosa usus halus tersebut
menyebabkan penyerapan nutrisi menjadi tidak optimal dan terjadi
dehidrasi. Kematian terjadi setelah 4 sampai 6 hari post infeksi.
D. Patologi Anatomi
Pada stadium awal perkembangan, merozoit membentuk koloni
yang terlihat sebagai focal kecil pada usus halus, setelah 4 hari infeksi
ceacum akan membesar membentuk ceacal core, dan berisi darah yang
telah membeku. Caecal core semakin mengeras dan mengering setelah 6
hari infeksi, dinding ceacu makan mengeras karena udema dan infiltrasi
sel-sel radang yang kemudian di ikuti dengan nekrotik jaringan. Lokasi lesi
berbeda-beda untuk masing-masing spesies, E. acervulina dan mevati
menyebabkan hemoragi dan vocal putih pada distal, duodenum dan
proximal jejenum. E. necrotic dan E. maxima menyebabkan distensi pada
pertengahan jejenum dan hemoragi pada mucosa. E. brunetti menyebabkan
hemoragi pada mucosa dan distal jejenum di kolon. Pada kejadian yang
kronis dapat menimbulkan fibrinecrotik enteritis. Berbeda dengan yang
lainnya E. tenella tidak menyebabkan hemoragi pada usus halus tetapi pada
sekum.
E. Histopatologi
Ada banyak spesies Eimeria yang menginfeksi ayam, tetapi ada 7
spesies Eimeria yang berparasit pada ayam. Spesies-spesies ini adalah
E.acervulina, E. brunetti, E. maxima, E. mitis, E.necatrix, E. praecox, dan
E. tenella, terjadi di seluruh dunia pada unggas. Koksidiosis pada ayam
secara garis besar berdasarkan lokasi parasitnya dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu koksisiosis bentuk sekal yang berlokasi di daerah sekum
dan koksidiosis bentuk usus yang berlokasi di daerah usus halus. Kerusakan
usus bervariasi tergantung jenis spesies Eimeria yang menginfeksi
menyatakan bahwa koksidiosis pada sepanjang usus disebabkan oleh E.
acervulina, pada duodenum disebabkan oleh E. praecox, pada duodenum
sampai bagian tengah usus kecil disebabkan oleh E.necatrix, pada bagian
tengah usus kecil disebabkan oleh E. maxima, pada setengah lebih bawah
usus kecil dan pada area di bawah divertikulum yolk sac disebabkan oleh E.
brunetti, dan pada sekum disebabkan oleh E. tenella.

Gambar 1. Gambaran histopatologis duodenum yang diinfeksi 1000


oosista, tanpa probiotik, pada 5 hari post infeksi.Terlihat adanya kongesti,
hemoragis, dan adanya stadium skizon, makrogamet Eimeria sp.
(Hematoksilineosin,250x.).
Gambar 2. Gambaran histopatologis duodenum yang diinfeksi 3000
oosista, dengan pemberian probiotik, 7 hari post infeksi. Terlihat adanya
kongesti, hemoragis, nekrosis sel-sel epitelia , adanya stadium skizon,
mikrogamet, dan makrogamet Eimeria sp. (Hematoksilin-eosin, 250x.).
Leucocytozoonosis
A. Spesies yang Rentan
Spesies yang rentan dari infeksi Leucocytozoon caulleryi, L.
Andrewsi, L. schoutedeni dan L. sabrazesi adalah ayam. Spesies yang
rentan dari infeksi L. simondi adalah Bebek dan Angsa. Spesies yang rentan
dari infeksi L. smithi adalah Kalkun.
B. Patogenesa
Penularan leucocytozoonosis memerlukan bantuan vektor biologis
Simulium sp. Dan C. Arakawae. Kedua arthropoda tersebut akan
memasukan sporozoit ke dalam tubuh inang. Sporozoit masuk ke pembulu
darah dan berkembang menjadi dua tipe skizon yaitu skizon hepatic dan
megaloskizon. Skizon hepatic akan terbawa oleh aliran darah menuju hati
dan berkembang di sel-sel kupffer hati. Skizon tersebut akan berkembang
menjadi merozoit.
Megaloskizon berkembang pada sel-sel darah seperti sel limfoid dan
sel makrofag. Megaloskizon yang terdapat pada sel-sel darah akan beredar
ke berbagai organ tubuh seperti otak,hati,paru-paru,ginjal,saluran
pencernaan dan ginjal setelah 6 hari infeksi. Setelah 7 hari infeksi, hepatic
skizon dan megaloskizon akan mengalami robek dan mengeluarkan
merozoit yang berkembang di dalam skizon. Merozoit akan beredar bersama
aliran darah mengikuti sirkulasi darah perifer. Merozoit akan berkembang
menjadi makrogamet dan mikrogamet. Makrogamet dan mikrogamet akan
berkembang dan fertilisasi membentuk oocyt di dalam saluran pencernaan
vektor dan memproduksi sporozoit. Sporozoit akan menuju kelenjar ludah
dan menginjeksikan ke tubuh inang ketika nyamuk menghisap darah inang.
C. Gejala Klinis
Gejala yang terlihat umumnya adalah penurunan nafsu makan, haus,
depresi, bulu kusut dan pucat. Ayam kehilangan keseimbangan, lemah,
pernapasan cepat dan anemia. Kejadian penyakit berlangsung cepat. Ayam
dapat mati atau sembuh dengan sendirinya. Angka kematian dapat mencapai
10-80%. Leucocytozoonosis yang menyerang pada ayam yang sedang
dalam pertumbuhan pada umumnya bersifat subklinik, sedangkan pada
ayam yang sedang produksi akan menurunkan produksi telur secara drastis,
dan membutuhkan waktu sekitar dua bulan untuk kembali ke tingkat
produksi yang normal.
Ayam terinfeksi yang dapat bertahan akan mengalami infeksi kronis
dan selanjutnya dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan produksi. Bentuk
infeksi kronis biasanya tidak tampak tanda-tanda perdarahan, namun ayam
terlihat pucat (anemia) hanya dalam waktu yang pendek, diare berwarna
hijau, pertumbuhan maupun produksi akan menurun tajam, terkadang
terlihat telur yang kerabangnya lembek atau berbintik-bintik.
Derajat keparahan penyakit bervariasi pada berbagai kejadian
penyakit pada suatu peternakan. Gejala klinik dipengaruhi jumlah
Leucocytozoon sp. yang berkembang di dalam tubuh ayam dan umur serta
jenis hewan yang terserang . Umumnya jika ayam yang terinfeksi umurnya
kurang dari sebulan, bisa mengakibatkan kematian pada 13 hari setelah
infeksi, sedangkan jika menyerang ayam dewasa umumnya menyebabkan
anemia dan berak kehijauan, tapi ada beberapa ayam yang tidak
memperlihatkan gejala.
Lesi yang menonjol adalah adanya pembesaran limpa, yang terjadi
selama periode gametogoni. Hati dan ginjal biasanya membengkak dan
berwarna merah hitam. Perdarahan juga terjadi dengan ukuran yang sangat
bervariasi pada kulit, jaringan subkutan, otot dan berbagai organ misalnya
ginjal, thymus, pancreas, hati, otak, paru-paru, usus dan bursa Fabricius
(Rifky dkk., 2010). Perdarahan-perdarahan dalam paru-paru, hati dan ginjal
terutama disebabkan oleh megalomeron-megalomeron eksoeritrosit yang
menyebabkan perdarahan jika 11 pecah. Perdarahan besar pada luka di
ginjal juga memungkinkan untuk masuk ke dalam rongga peritoneal. Ayam
muda di bawah umur satu bulan (mulai umur 15 hari) lebih rentan terserang,
biasanya mulai terlihat setelah satu minggu terinfeksi, sedangkan unggas
yang sembuh akan betindak sebagai karier dan merupakan reservoir untuk
infeksi unggas lain.
D. Patologi Anatomi

Gambar1 : Ptekhipada organ visceral


Unggas yang terinfeksi Leukocytozoonosis akan menunjukkan lesi
berupa adanya bercak-bercak pendarahan pada paha, dada, abdomen, kulit,
dan kulit sekitar mata, bercak-bercak pendarahan juga dapat di temui pada
hampir seluruh organ dalam unggas, hati dan Limpa terkadang mengalami
pembesaran.
E. Histopatologi
Morfologi pada inang definitif fase gametosit Leucocytozoon sp.
yang terlihat pada hasil ulas darah perifer merupakan cara yang dilakukan
untuk membedakan dan melakukan identifikasi spesies Leucocytozoon.
Umumnya Leucocytozoon sp menghasilkan gametosit dalam dua tipe yang
berbeda yaitu parasit yang tampak mengelilingi lingkaran sel darah dengan
nukleus yang terdorong ke sisi sehingga tampak terjepit dan mengecil, serta
parasit yang dengan penampakan berbentuk lingkaran, oval, atau pun elips
dengan sitoplasma mengalami perpanjangan yang merupakan
perkembangan dari parasit.
Gambar 2.1 Bentuk gametosit Leucocytozoon sp pada perifer.
Terdapat perbedaan morfologi pada spesies L. Caulleryi yang
menginfeksi ayam yaitu gametosit pada spesies ini berbentuk melingkar dan
nukleus sel terdorong keluar dengan sedikit perubahan bentuk dan terkadang
terdorong keluar dari sel darah. Gamon-gamon dewasa L. Caulleryi
berbentuk bulat, berukuran 15,5 x 15 μm, dan terletak di dalam sel darah
merah atau sel darah putih yang membesar berdiameter sekitar 20μm.
Meron ekso eritrosit terutama terdapat di dalam ginjal, hati dan paru-paru.
Parasit ini berdiameter 26-300 μm dan menghasilkan sejumlah besar
merozoit bulat. Inti sel induk semang membentuk pita gelap, memanjang
sampai kira-kira sepertiga keliling parasit. Zigot berbentuk bulat dengan
diameter kira-kira 14 μm, memanjang menjadi ookinet dengan panjang kira-
kira 21 μm yang akan membentuk ookista yang agak bundar (supherical) 4-
13 x 5-14 μm. Sporozoit yang terbentuk berukuran 7-11 x 1-2 μm .L.
sabrazesi mempunyai struktur gamon dewasa memanjang kira-kira 22-24 x
4-7 μm terdapat dalam sel darah merah atau sel darah putih. Sel-sel induk
semang berbentuk bulat dengan sitoplasma panjang, memanjang melebihi
parasit kira-kira 67 μm. Inti selinduk semang sempit, berwarna gelap pada
pewarnaan sepanjang suatu sisi parasit. Makro gametosit berbentuk seperti
sosis dengan ukuran 16-24 x 4-12 μm.
Cryptosporodiosis
A. Spesies yang rentan
Cryptosporidium merupakan protozoa yang termasuk ke dalam
filum Apikompleksa, merupakan parasit yang bersifat obligat selular,
menyerang selsaluran pencernaan. Parasit ini mempunyai karakteristik
dengan mempunyai organel khusus di bagian ujung yang digunakan untuk
melakukan penetrasi ke sel inang.

Klasifikasi dari kryptosporodium sebagai berikut:


Filum : Apicomplexa
Kelas : Coccidea
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Cryptosporidiidae
Genus : Cryptosporidium
Spesies : Cryptosporidium hominis, C. parvum, C.andersoni, C.
bovis, C. canis, C. muris, C. felis, C. wrairi, C. suis, C. baileyi, C. galli, C.
varanii, C. serpentis, dan C. Molnari. C. hominis menyerang manusia, C.
parvum menyerang manusia, lembu, dan mamalia lain, C.andersoni dan C.
bovis menyerang sapi, C. canis menyerang anjing, C. muris menyerang
tikus, C. felis menyerang kucing, C. wrairi menyerang babi hutan, C. suis
menyerang babi, C. baileyi menyerang burung, C. galli menyerang ayam
dan unggas liar, C. varanii menyerang kadal, C. serpentis menyerang ular
dan kadal, dan C. molnari menyerang ikan.
B. Patogenesa
Kriptosporidiosis ditransmisikan melalui rute fecal-oral (melalui air
minum dan makanan) yang terkontaminasi ookista Cryptosporidium sp yang
infektif. Ookista masuk ke usus kecil dan berkembangbiak menjadi sebuah
koloni. Ookista mengalami tahap perkembangan eksistasi, yaitu pelepasan
sporozoit infektif. Sporozoit infektif menempel pada mukosa epitel,
kemudian menembus enterosit mikrovili untuk memulai siklus produktif.
Sporozoit menginduksi sel-sel mukosa epitel melepaskan sitokin untuk
mengaktifkan sel-sel fagosit. Sel-sel fagosit akan melepaskan faktor pelarut
histamin, serotonin, adenosin, prostaglandin, leukotrien, dan platelet-
activating factor. Faktor pelarut akan meningkatkan sekresi usus (air dan
klorida) dan menghambat penyerapan. Hal tersebut menyebabkan kerusakan
sel-sel epitel yang mengakibatkan malabsorbsi nutrisi dan terjadi
rangsangan terhadap nervus parasimpatis yang meningkatkan gerakan
peristaltik usus sehingga timbul gejala diare.

Cryptosporidium sp mempunyai siklus hidup lengkap pada satu


inang, yaitu berkembang secara aseksual dan seksual. Cryptosporidium sp
memiliki enam tahap perkembangan utama yaitu: 1) eksistasi (pelepasan
sporozoit infektif), 2) merogoni (multiplikasi aseksual dalam jaringan epitel
inang), 3) gametogoni (pembentukan mikrogamet dan makrogamet), 4)
fertilisasi (pembuahan, penyatuan mikrogamet dan makrogamet), 5)
pembentukan dinding ookista, dan 6) sporogoni (pembentukan sporozoit
infektif dalam dinding ookista).
Ookista Cryptosporidium sp ditransmisikan ke tubuh inang melalui
rute fecal-oral (melalui makanan dan minuman). Ookista mengandung
empat sporozoit infektif. Sporozoit infektif dilepas dan menembus enterosit
mikrovili untuk memulai siklus produktif. Sporozoit akan dilapisi oleh
membran sel apikal inang di dalam vakuola parasitoporus dan kemudian
berdiferensiasi menjadi tropozoit. Tropozoit mendapatkan nutrisi dari induk
semang melalui organel feeder yang terlihat seperti lipatan membran. Pada
proses pematangan, tropozoit mengalami pembelahan secara aseksual
menjadi meront tipe 1 yang berisi 6–8 merozoit. Meront tipe 1 pecah dan
melepaskan merozoit ke sel-sel epitel inang yang berdekatan. Merozoit
tersebut berkembang menjadi meront tipe I dan meront tipe II yang berisi 4
merozoit.
Meront tipe II mengalami pembelahan menjadi mikrogamet (jantan)
dan makrogamet (betina). Mikrogamet dan makrogamet bersatu
membentuk ookista. Ookista yang dihasilkan bersporulasi membentuk
ookista berdinding tunggal dan ganda. Ookista berdinding tunggal akan
melakukan autoinfeksi pada inang, sedangkan ookista berdinding ganda
akan keluar dari saluran pencernaan dan menginfeksi inang baru.
C. Gejala klinis
Kriptosporidiosis lebih dominan terjadi pada hewan muda, karena
sistem kekebalan hewan muda belum terbentuk sempurna. Gejala klinis
yang muncul adalah anoreksia, diare, tremor dan penurunan bobot badan.
Sedangkan pada manusia adalah diare, nyeri perut dan kembung, mual,
muntah, penurunan bobot badan, demam, serta anoreksia. Pada penderita
imunodefisiensi gejala yang timbul lebih parah, yaitu tubuh melemah akibat
dehidrasi (dapat kehilangan cairan tubuh hingga 20 liter per hari).
D. Patologi Anatomi

Gambaran dari Intestine Ular

Lipatan mukosa secara nyata tampak menebaldan banyak terdapat


ptechi. Hipertropi dari lambung dan usus juga terlihat.
Gambaran makroskopik dari kriptosporodiosis ayam
Bentuk pernapasan dapat menunjukkann adanya eksudat mukoid
berwarna kelabu atau putih paa permukaan mukosa yang terinfeksi.
Jaringan yang terkena, meliputi konjungtiva, sinus, turbinatum, paru,
bronki, dan kantong udara. Infeksi pada paru ditandai oleh adanya
perubahan warna menjadi lebih kelabu, konsistensi mengeras, dan basah.
Disamping itu, terlihat juga adanya penebalan kantong udara akibat
timbunan eksudat cair sampai kaseus. Perubahan makroskopik pada usus
kerapkalai bersifat ringan, usus dapat mengalami dilatasi akibat adanya
timbunan cairan dan sekum dapat mengalami distensi bercampur basah
E. Histopatologi
Pada kriptoporodiosis bentuk pernapasan dapat ditemukan adanya
sejumlah besar protozoa pada daerah mikroskopis epitel trakea dan bronki,
terlihat juga kehilangan silia pada sel epitel karena posisi silia tersebut
diganti oleh protozoa yang sedang berkembang. Leso histopatologik lain
yang terlihat adalah hiperplasia sel epitel, penebalan membran mukosa
akibat infiltrasi loimposit, makrofag, dan heterofil, serta eksudasi
mukoselulerkedalam saluran udara. Didalam bronkitertiar dan atria dari paru
dapat ditemukan adanya akumulasi mukus, deskuamasi epitel, infiltrasi
limposit dan makrofag, serta kumpulan protozoa pada daerah mukrovilus
epitel.

Parubahan mikroskopikpaa saluran pencernaa, meliputi


pemendekan pada vili, nekrosis, dan deskuamasi epitel, dan adanya
sejumlah besar protozoa pada lumen
Toksoplasmosis
A. Spesies yang rentan
Toksoplasmosis adalah salah satu jenis penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh protozoa Toxoplasma gondii dan mulai mendapat perhatian
dari kesehatan masyarakat veteriner Indonesia. Parasit ini dapat hidup
dijaringan tubuh hospes (pejamu) dan menyerang semua hewan berdarah
panas, burung dan manusia. Peneliti toksoplasmosis di Indonesia pertama
kali dilakukan oleh Hartono pada tahun 1972 dan baru dilaporkan tahun
1988. Peneliti tersebut berhasil mengisolasi kista Toxoplasma pada kambing
dan domba yang dipotong di rumah potong hewan Surabaya dan Malang
(Iskandar, 1999).
B. Patogenesa
Toxoplasma gondii pertama kali ditemukan pada binatang pengerat
di Afrika pada tahun 1908 oleh Nicole dan Manceaux. Toxoplasma gondii
termasuk Genus Toxoplasma, Subfamili Toxoplasmatinae, Family
Sarcocystidae, Subkelas Coccidia, Kelas Sporozoa, Filum Apicomplexa.
Bentuk pertama adalah trofozoit yang berbentuk seperti bulan sabit dengan
panjang 4-6 mikron dan lebar 2-3 mikron, mempunyai inti lonjong dengan
kariosom yang terletak ditengah. Apabila diwarnai dengan pewarnaan
Romanowsky, intinya akan berwarnah merah, sedangkan sitoplasmanya
bewarna biru pucat. Bentuk kedua yaitu, bradizoit yang dalam kista
membelah diri secara endodiogeni, membelah lambat dalam kista jaringan
dan merupakan stadium toksoplasmosis kronik. Kista jaringan didapat pada
infeksi kronis atau asimtomatis, pada otak, otot rangka dan jantung. Kista
ini berisi 60.000 bradizoit dan mampu bertahan selama beberapa hari dalam
jaringan setelah hospes (pejamu) mati. Ookista yang merupakan bentuk
ketiga, terdapat dalam usus kucing dan biasanya keluar bersama tinja
kucing. Bentuk ketiga, terutama yang telah bersporulasi (mengandung
sporozoit), mampu bertahan selama 10 bulan pada suhu 24 ͦC atau selama 28
hari pada suhu 37 ͦ C. Perkembangbiakan Toxoplasma gondii melalui dua
siklus hidup yaitu siklus seksual dan siklus aseksual. Siklus seksual
(enteroephitelial) berlangsung pada pejamu sejati yaitu kucing dan
sejenisnya, sedangkan siklus aseksual terjadi dipejamu antara manusia dan
hewan berdarah panas termasuk burung. Stadium aseksual dimulai dengan
dimulai dengan termakannya kista ataupun ookista infektif oleh pejamu
sejati (kucing makan tikus yang mengandung Toxoplasma gondii bentuk
pertama dan bentuk ketiga). Waktu yang diperlukan Toxoplasma gondii dari
periode prepaten bradizoit (bentuk kedua) adalah 3-10 hari sedangkan pada
takizoit (bentuk pertama) selama 5-10 hari dan pada bentuk ketiga untuk
menjadi ookista memerlukan waktu selama 24 hari atau lebih.
Kista yang berisi bradizoit dan takizoit mengalami perkembangan
menjadi lima tipe yaitu tipe A, B, C, D dan E yang masing-masing berbeda
jumlah organisme dan cara membelahnya. Tipe A tampak pada 12-18 jam
setelah infeksi, tipe ini merupakan pembelahan terkecil dan tampak terdiri
dua atau tiga organisme dalam usus halus. Tipe B terjadi 12-54 jam setelah
infeksi, tipe ini mempunyai inti yang terdapat ditengah yang disebut inti
utama. Tipe B terbagi atas pembelahan endodiogeni dan endopologeni. Tipe
C ini terjadi 24-54 jam setelah infeksi dan terbagi atas skizogoni. Tipe ini
mempunyai inti subterminal. Tipe D terjadi dari 3-15 hari setelah infeksi.
Sejumlah 90% dari Toxoplasma ditemukan dalam usus kecil pada saat itu.
Bentuk tipe D lebih kecil dari tipe C dan terbagi atas endodiogeni dan
skizogoni. Tipe E terbagi atas skizogoni yang terjadi 3-15 hari setelah
infeksi dan mirip dengan bentuk tipe D.
Stadium seksual diawali dengan berkembangnya merozoit menjadi
makrogamet dan mikrogamet didalam sel epitel usus, kedua gamet tersebut
mengalami proses fertilisasi dan berbentuk zigot, selanjutnya tumbuh
menjadi ookista. Ookista masuk kedalam lumen usus dan keluar bersama
tinja. Setelah 2-3 hari pada suhu 24 ͦ C menjadi infektif atau mengalami
sporulasi.
Siklus di luar sel usus ini merupakan siklus hidup berikutnya yang
sama terjadi di luar jaringan usus pejamu sejati terutama pada pejamu
antara, dan siklus ini terjadi secara bersamaan dengan siklus di dalam epitel
sel usus pejamu sejati. Setelah infeksi peroral, takizoit yang terbentuk
berkembang secara endodiogeni dalam vakuola beberapa jenis sel yang
diserangnya. Kemudian berakumulasi di dalam sel yang berisi delapan atau
lebih takizoit, keadaan ini disebut kista semu. Bila kista semu pecah,
takizoit menyerang sel-sel di sekitarnya dan menyebar ke seluruh tubuh
melalui aliran darah dan limfe. Parasitemia mungkin terjadi beberapa kali
sampai terbentuk antibodi dalam plasma akibat adanya kekebalan tubuh,
takizoit akan dihancurkan kecuali yang telah berkembang menjadi bradizoit
di dalam kista jaringan. Kista jaringan ditemukan paling cepat pada hari
kedelapan setelah pejamu mengalami awal infeksi dan mampu bertahan
selama pejamu hidup. Bila kekebalan tubuh menurun, maka kemungkinan
bradizoit akan dilepas dan berkembang menjadi takizoit, sehingga terulang
lagi infeksi Toxoplasma akut (Iskandar, 1999).

C. Gejala Klinis
Toksoplasmosis pada mantlsia dan hewan umumnya tanpa
menunjukkan tanpa-tanda klinis . Gejala klinis tergantung pada organ yang
terserang dan sifat infeksi yang diperoleh secara bawaan atau perolehan.
Gejala yang tampak di antaranya abortus, kejang-kejang, spasmus otot,
opistotonus, bahkan dapat terjadi paralisa otot-otot tubuh. Pada anjing
ditandai demam, anemia, susah bernafas dan diare. Pada kucing, bentuk akut
menimbulkan gejala demam yang tinggi, anoreksia, dispnue, anemia, diare
dan kadang-kadang dapat berakhir dengan kematian, sedangkan pada bentuk
kronis, gejalanya berupa anoreksia, anemia, abortus, kemandulan dan iritis.
Kambing dan domba mempunyai gejala subakut sampai kronis .
Pada kambing yang bunting sering terjadi abortus, kelahiran prematur dan
vaginitis . Janin yang dilahirkan mengalami ensefalitis, oedema subkutan,
tetapi kadang-kadang janin yang mati tidak dikeluarkan melainkan tetap di
dalam dan mengalami mumifikasi. Gejala akut biasanya berupa demam,
abortus, kelahiran prematur, hidung mengeluarkan cairan eksudat dan hal ini
dapat berakhir dengan kematian.
Pada babi yang dewasa ditandai kelemahan, enteritis, tremor dan
relaksasi otot abdomen . Pada anak babi umur 3-4 minggu yang peka
terhadap infeksi, gejala yang tampak berupa demam, lemah, dispnue, diare,
ascites dan dapat menimbulkan kematian. Jika babi tetap bertahan hidup,
maka gejala saraf sering timbul sampai dewasa (Iskandar, 1999).
D. Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan bedah bangkai anjing, ditemukan eksudat
serosanguinous pada rongga tubuh, terdapat nodul-nodul kecil pada paru-
paru, pembengkakan limfoglandula regional, pada usus terdapat tukak kecil
tenltama pads duodenum dan anus. Perivascular cuffing ditemukan di
serebrum dan medula spinalis, kista ditemukan di otot, paru-paru, limps, dan
jantung. Pada kucing, pneumonia terjadi lebih intensif, rongga alveoli berisi
fibroblast, sehingga konsistensinya berubah menjadi seperti paru-paru janin.
Dari luar, paru-pans terlillat nekrotik yang tersebar dalam satu atau beberapa
lobus. Anak-anak kucing yang induknya diinokulasi Toxoplasma pada saat
bunting menunjukkan multifocal granulomatous encephalitis, miokarditis,
miositis dan pneumonia interstitialis. Pada domba diketemukan kista dalam
otak dan bersamaan ads pembendungan dan ilrfltrasi sel-sel perivascular
cuffing. Toksoplasmosis pada sapi jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan
pada sapi Brown Swiss menunjukkan pembesaran llnlfoglandula
Submaksillaris, pneumonia hemorhagika dan kalsifikasi dinding pembulull
darah (Iskandar, 1999).

Plasenta biri-biri yang aborsi akibat infeksi Toxoplasma gondii


E. Histopatologi

(A) Takizoid dari Toxoplasma gondii pada susunan saraf pusat burung liar
(B) Kista yang mengandung bradizoit pada otak (Iskandar, 1999).
Histomoniasis
A. Spesies yang rentan
Histomoniasis merupakan suatu penyakit asal protozoa pada
berbagai jenis unggas, terutama ayam dan kalkun. Penyakit tersebut dikenal
juga dengan nama enterohepatitis (black head) dan bersifat oleh adanya foki
nekrotik pada hati dan ulserasi pada sekum, Dapat ditemukan pada ayam,
kalkun, itik, angsa, ayam mutiara, sejenis ayam hutan, burung kuau, dan
burung puyuh, di dalam lumen sekum. Jenis cacing ini dapat dihubungkan
dengan peranan sebagai hospes perantara / carrier Histomonas meleagridis
yang menimbulkan histomoniasis (black head) pada unggas (Tabbu dkk.
,2002)
B. Patogenesis
Penyakit tersebut telah dilaporkan di USA, terutama pada kalkun dan
kadang kadang pada ayam. Kejadian histomoniasis pada kalkun maupun
ayam dilaporkan juga di Kanada, maxico, dan berbagai negara lain di dunia.
Penyakit tersebut sering ditemukan pada daerah yang cocok untuk
perkembangan cacing tanah. Di indonesia, histomoniasis kadang kadang
ditemukan diberbagai daerah pada ayam ras maupun ayam bukan ras (buras)
(Fisma,2013).
Protozoa tersebut dapat dikeluarkan bersama fese ayam yang
terinfeksi dan didalam telur cacing Heterakis gallinarum. Penularan
biasanya terjadi jika unggas/ayam yang sensitif menelan telur cacing sekum
yang infektif dan sekanjutnya larva histomonad akan dibebaskan dari larva
heterakis sp. Di dalam sekum.Histomonad bereplikasi di dalam jaringan
sekum, kemudian bermigrasi ke dalam hati melalui sirkulasi darah. Cacing
tanah juga menelan telur cacing sekum dan telur tersebut menetas dan
membentuk kista di dalam jaringan cacing tanah.Protozoa tersebut sangat
resisten jika berada didalam telur cacing larva, atau cacing tanah, dan akan
mencemari lingkungan peternakan. histomonas meleagridis akan ditularkan
dari ayam/kalkun pada periode pemeliharaan satu ke lainnya jika menelan
cacing tanah atau telur cacing sekum yang terinfeksi oleh protozoa tersebut.
C. Gejala Klinis

Histomoniasis terutama ditemukan pada unggas yang berumur


kurang dari 12 minggu. Walaupun penyakit tersebut telah dilaporkan pada
sejenis ayam hutan, burung puyuh, dan ayam mutiara, jenis unggas yang
paling peka adalah kalkun. Meskipun ayam dapat terinfeksi dengan mudah,
penyakit yang timbul biasanya lebih ringan dibandingkan dengan penyakit
yang timbul pada kalkun. Ayam berumur 4-6 minggu dan kalkun berumur
3-12 minggu bersifat sangan sensitif terhadap infeksi histomonas
meleagridis.
Lesi yang timbul oleh histomoniasis biasanya lebih parah jika
terjadi infeksi campuran dengan clostridium perfringens atau escherichia .
Coli. Gejala awal akibat histomoniasis pada kalkun meliputi feses yang
berwarna kekuning kuningan, mengantuk, sayap menggantung, berjalan
dengan langkah yang kaku, mata tertutup, kepala digantung, anoreksia,
bapsu makan meningkat, bulu kusam dan berdiri. Kulit didaerah kepala
berwarna kebiru-biruan (sianotik) , tetapi dapat juga berwarna normal.
Sehunbungan dengan adanya sianosis tersebut, sehingga histomoniasis
juga dikenal dengan nama black head. Setelah 12 hari masa infeksi kalkun
akan mengalami emisiasi.
Masa inkubasi penyakit tersebut sekitar 7-12 hari dan biasanya
berlangsung khronik sampai unggas tersebut mati. Infeksi pada ayam
mungkin bersifat ringan atau tidak teramati, tetapi dapat juga berlangsung
parah dan menyebabkan mortalitas yang tinggi . Kotoran yang berwarna
kekuning kuningan jarang ditemukan pada ayam, tetapi kotoran yang
berwarna merah campuran darah yang berasal dari sekum dapat diamati
pada ayam. Mortalitas pada kalkun muda umr 3-12 minggu mencapai 50%.
Mortalitasakibat histomonasiasis pada ayam biasanya rendah tetapi pada
sejumlah kasus bisa mencapai >30%.
(gambar lesi pada hati kalkun )
Lesi utama histomoniasis berada di ceca, yang memperlihatkan
ditandai perubahan inflamasi dan ulserasi, menyebabkan penebalan dinding
cecal. Kadang-kadang, borok ini mengikis dinding cecal, yang
menyebabkan peritonitis dan keterlibatan organ lain. ceca mengandung
hijau kekuningan, eksudat caseous atau, dalam tahap selan0utnya, kering,
inti cheesy. Lesi hati sangat bervariasi dalam penampilan7 pada kalkun,
mereka mungkin hingga1 cm dan melibatkan seluruh organ. dalam
beberapa kasus, hati akan tampak hi0au atau cokelat. Hati dan cecal lesi
bersama-sama yang patognomonik. namun, lesi hati harus dibedakan dari
orang-orang dari )56, leukosis, trichomonosis burung, dan mikosis. Lesi
juga terlihat pada organ lain, seperti ginjal, bursa fabricius, limpa, dan
pankreas Histomonas dapat ditemukan di dalam darah dan jaringan dari
sebagian besar organ, apakah lesi yang hadir atau tidak. Pemeriksaan
histopatologi sangat membantu untuk diferensiasi penyakit (Tabbu dkk.
,2002)
D. Patologi Anatomi
Lesi primer yang ditimbulkan oleh histomonasiasis dapat ditemikan
pada sekum dan hati. Setelah histomonad menginfeksi sekum maka dinding
sekum akan menebal dan hiperamik. Lumen sekum akan mengalami
distensi dan terisi oleh masa padat menyerupai keju yang terdiri atas
hancuran jaringan nekrotik, eksudat, komponen darah, hancuran sel, dan
bakteri. Dinding sekum dapat mengalami ulserasi dan selanjutnya dapat
mengalami perforasi pada organ tersebut dan peritonitis yang bersifat difus
dab berbau busuk.
Lesi pada hati biasanya terdiri atas daerah nekrosis berwarna
kekuning kuningan yang berbentuk sirkular yang menyerupai kawah dengan
diameter 1 cm dan dikelilingi oleh cincin yang menonjol di atas permukann
hati. Bentuk lesi pada hati dapat bervariasi, meskipun bentuk lesi sirkular
paling sering dijumpai pada kasus histomonasiasis.

Pada infeksi berat, lesi pada hati dapat berukuran kecil, banyak dan
letaknya berada di bawah permukaan hati dan meliputi sebagian besar
organ tersebut. Hati dapat membesar dan berwarna hijau atau kecoklatan,
kadang pada paru, ginjal, limpa dan mesenterium dapat ditemukan adanya
daerah nekrosis yang berbentuk bulat dan berwarna keputih-putihan.
E. Histopatologi
Invasi awal pada dinding sekum ditandai dengan adanya hiperemia
dan infiltrasi heterofil. Sekitar satu minggu pasca infeksi, sejumlah
histomonad akan terlihat pada daerah lamina propia sebagai benda ovoid
dalam lekuk (lakuna) yang tercat pucat. Pada periode tersebut akan dijumpai
juga adanya sejumlah besar limfosit, makrofag dan heterofil. Lumen sekum
dapat terisi suatu massa yang berbentuk pasta yang terdiri atas suatu epitel
yang mengalami fibrin, deskuamasi, eritrosit, leukosit, dan feses. Sekitar 2
minggu pasca inavasi dapat dijumpai adanya sejumlah giant cell pada
jaringan sekum.
Lesi yang mengalami degenerasi akan menunjukkkan adanya
kumpulan limfosit yang tersebar diseluruh jaringan sekum, inding sekum
akan menjadi sangat tipis dan kripta memendek. Lesi awal pada hati terdiri
atas infiltrasi heterofil, monosit dan limfosit disekitar pembuluh darah.
Setelah 2 minggu pasca invasi akan terlihat infiltasi makrofag dan limfosit
yang ektensif dan sejumlah heterofil. Hepatosit di bagian tengah dari lesi
akan mengalami nekrosis dan disintegrasi, Pada periode tersebut dapat
ditemukan adanya sejumlah histomonad dalam lakuna disekitar bagian tepi
lesi. Jika proses infeksi berlanjut maka nekrosis akan lebih ekstensif dan
histomonad akanditemukan pada umumnya sebagai suatu benda kecil di
dalm makrofag. Jika terjadi penyembuhan, maka akn dijumpai adnya foki
limfosit yang disertai oleh daerha fibriosis dan hepatosit yang mengalami
degenerasi (Abdullah,2013)
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah ,2013. Pathological changes in turkeys liver associated with


Histomoniasis in Duhok City,Kurdistan Region.. Iraqi Journal
of Veterinary Sciences .2(28):55-59.
Akoso, B. T. 1998. KesehatanUnggas. Kanisius, Yogyakarta.
Allen, P.C. and Fetterer, R.H. 2002. Recentadvances in biology and
immunobiology of Eimeria species and in diagnosis and control
of infection with these coccidian parasites of poultry. Clin.
Microbiol. 15: 58-65.
Apsari, I.A.P dan I Made S.A. 2010. Gambaran Darah Merah Ayam Buras
yang Terinfeksi Leucocytozoon. JurnalVeteriner. 11(2): 114-
118.
Arifin Budiman Nugraha. 2015., Kajian Prevalensi Dan Faktor Risiko
Kriptosporidiosis Pada Peternakan Sapi Perah
Di Kabupaten Bogor. Thesis Ipb
Fadilah dan Polana A. 2004. Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara
mengatasinya. Agromedia Pustaka, Jakarta.
Fisma, 2013. Pengaruh pemberian serbuk ekstrak temu hitam (curcuma
aeruginosa ) dan temu lawak (curcuma xanthorrhiza) sebagai
antelmentika heterakis gallinarum pada ayam petelur. Jurnal
Universitas Brawijaya.3(2):1-7
Hanafiah, M., R.Sulaiman dan R. Latif. 2007. Pemeriksaan Leucocytozoon
pada Broiler dan Itik Mengunakan Metode Gerusan dan
Hapusan Darah. Jurnal Veteriner. 8(1):9-12.
I Ketut Artama1, Umi Cahyaningsih2 Dan Etih Sudarnika2. 2016.
Prevalensi Infeksi Cryptosporidium Parvum Pada
Sapi Bali Di Dataran Rendah Dan Dataran Tinggi
Di Kabupaten Karangasem Bali. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan Dan Veteriner 2005.
Iskandar, T. 1999. Tinjauan Tentang Toksoplasmosis pada Hewan dan
Manusia. Jurnal WARTAZOA. 8 (2): 58-63.
Manalu, S.F., 2013. Prevalensi Infeksi Cryptosporidium Sp Pada Sapi
potong Di Kecamatan Cijulang Dan Cimerak,
Ciamis, Jawa Barat. Skripsi Ipb.
Melasari, 2015. Deteksi dan Faktor Resiko Leucytozoonosis pada Tingkat
Peternakan Ayam Pedaging di Kelurahan Maccope Kecamatan
Awangpone Kabupaten Bone. Skripsi. Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Salfina, Hamdan dan Partoutomo. 1994. Studi tingkat koksidia dan
penyebaran koksidiosis pada ayam buras di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Timur. Jurnal Ilmu Ternak Veteriner. 1(2):7-11.
Sri Wahdini,1* Agnes Kurniawan,1 Evy Yunihastuti2., 2016. Deteksi
Koproantigen Cryptosporidium Sppada Pasien Hiv/Aids
Dengan Diare Kronis. Artikel Penelitian. Ejki 4(1)
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan
Kucing. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak: Ed 1. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Tabbu,R.Charles. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya. Kanisius,
Yogyakarta. Hal 40-44.
Tri Wijayanti. 2017. Kriptosporidiosis Di Indonesia. Jurnal Balaba. 13(1).
73-82.
Paper
PATOLOGI VETERINER KOMPARATIF
PARASIT INTERNAL (KOKSIDIOSIS,
LEUCOCYTOZOONOSIS, KRIPTOSPORIDIASIS,
TOKSOPLASMOSIS, HISTOMONIASIS)

Nama Kelompok 1:
1. Feby Fema Amzani. N 1502101010004
2. Anna Fitriani 1502101010013
3. Aulia Rahmi 1502101010014
4. Haminuddin 1502101010018
5. Lidra Andrean 1502101010019
6. Kamalia Nur Azzahra 1502101010020
7. Azizah Zakiya 1502101010021
8. Anta Rezky Sitepu 1502101010024
Kelas : 04

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2018

Anda mungkin juga menyukai