Dosen Pembimbing:
Dr Lina Noviyanti Sutardi, SSi, Apt, MSi
Kelompok 13
Nama NRP
Anita Yuwanti B94184206
Elfa Gita Fitri Febriani B94184212
Valen Hilmy Ramadhan B94184246
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
Hasil dari diskusi makalah ini dapat menjadi rujukan dalam pengobatan
salmonellosis pada hewan reptil. Hasil diskusi juga dapat dijadikan acuan untuk
publikasi mengenai penyakit yang sejenis.
TINJAUAN PUSTAKA
Reptil
Patogenesis
Transmisi salmonellosis pada reptil dapat terjadi secara langsung dan tidak
langsung. Transmisi langsung terjadi melalui kontak handling reptil dan transmisi
tidak langsung terjadi melalui kontak dengan objek yang terkontaminasi oleh
reptil yang terinfeksi seperti feses atau makanan atau minuman. Gigitan dan
cakaran reptil juga dapat mentransmisikan Salmonella. Kontak dengan rodensia
yang digunakan sebagai pakan reptil juga dilaporkan berhubungan dengan kasus
salmonellosis pada manusia. Infeksi melalui daging reptil terinfeksi yang tidak
matang dan transfusi darah jarang dilaporkan (CFSPH 2013).
Menurut Hidalgo-Vila et al. (2007), Salmonella pada reptil umumnya
dapat ditransmisikan secara faecal-oral, namun transmisi melalui kloaka saat
kopulasi juga dapat terjadi. Salmonella sp. melakukan penetrasi ke sel epitel usus
dan berproliferasi di dalam usus sehingga menyebabkan enteritis. Proliferasi di
usus menyebabkan kerusakan lamina propria dan menimbulkan diare. Salmonella
sp. dapat menghasilkan racun cytotoxin dan enterotoxin (Muthu et al. 2014).
Produksi thermostable cytotoxic factor memengaruhi kemampuan Salmonella
4
untuk menginvasi dan merusak sel. Salmonella di dalam sel epitel akan
memperbanyak diri dan menghasilkan thermolabile enterotoxin yang akan
mempengaruhi sekresi air dan elektrolit (Poeloengan et al. 2014).
Faktor virulensi sangat berpengaruh terhadap patogenesa Salmonella sp.
Beberapa faktor yang dapat menjadi faktor virulensi adalah kemampuan invasi
sel, lapisan polisakarida, kemampuan replikasi intrasel, dan toksin. Organisme
akan berkoloni dalam ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan berproliferasi
pada epitel dan folikel limfoid. Bakteri kemudian menginduksi membran enterosit
dan menstimulasi pinositosis organisme (Khoiriyah et al. 2013).
Gejala Klinis
Pengobatan
Flourokuinolon
Flourokuinolon merupakan antibiotik berspektrum luas dan digunakan
untuk terapi infeksi intraabdominal, infeksi tulang dan sendi, kulit dan jaringan
lunak, dan beberapa infeksi lainnya. Tahun 2011, di Amerika Serikat, antibiotik
6
fluorokuinolon digunakan oleh sekitar 23.1 juta pasien rawat jalan (70%
diantaranya adalah siprofloksasin, 28% levofloksasin) dan 3.8 juta pasien rawat
inap (diantaranya 63% levofloksasin, 28% siprofloksasin). Levofloksasin dan
siprofloksasin pada tahun 2011 di Amerika Serikat mendapat lebih dari 2000
tuntutan hukum karena efek samping yang ditimbulkan (Doneley et al. 2018).
Fluorokuinolon bersifat toksik dan mempunyai efek samping yang lebih
berat dari antibiotik lain yang dapat menimbulkan kerusakan permanen bahkan
kematian jika tidak digunakan secara tepat. Fluorokuinolon merupakan bakterisida
yang bekerja dengan menghamat DNA gyrase pada bakteri. Sediaan ini menjadi
salah satu pilihan antibiotik pada pengobatan reptil. Contoh sediaan
fluorokuinolone yaitu enrofloksasin, siprofloksasin, dan ofloksasin. Seluruh
sediaan ini memiliki spektrum yang luas untuk bakteri gram negatif, khususnya
pada bakteri usus seperti Salmonella, Pseudomonas, dan Aeromonas (Girling dan
Raiti 2004).
Fluorokuinolon juga dapat melawan bakteri penghasil beta-lactamase
dengan baik. Obat ini bersifat lipofilik dan membutuhkan volume yang tinggi
untuk distribusinya. Fluorokuinolon juga dapat melawan Mycoplasma yang sering
menyebabkan gangguan pernapasan pada Chelonia. Sediaan ini dapat diberikan
melalui rute parenteral maupun oral. Pemberian fluorokuinolon pada ular akan
mencapai efek tertinggi pada 3 jam setelah pemberiaan (Girling dan Raiti 2004).
Dosis enrofloksasin untuk reptil yaitu 5-10 mg/kg PO SC IM s24j (Carpenter
2013). Salah satu nama paten dari sediaan ini yaitu Bayer® (Plumb 2011).
Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotik golongan beta laktam dengan
memblokade sintesis dinding sel. Sefalosporin aman digunakan untuk hewan yang
mengalami dehidrasi (Girling dan Raiti 2004). Sefalosporin dapat didistribusi
dengan baik pada ruang ekstraseluler. Sediaan ini memiliki kinerja yang searah
(sinergis) dengan aminoglycosides (Doneley et al. 2018).
Generasi ketiga dari Sefalosporin yaitu seftazidim dapat bekerja dengan
baik melawan bakteri gram positif maupun negatif seperti Salmonella dan
Pseudomonas. Seftazidim juga dapat penetrasi ke mata maupun CNS (Doneley et
al. 2018). Dosis Seftazidim yaitu 20-40mg/kg SC, IM s48-72j untuk reptil secara
umum, s24j untuk chameleon, 20 mg/kg SC IM IV s72j untuk ular, dan 22 mg/kg
IM IV s72j untuk penyu (Carpenter 2013). Nama paten seftazidim yaitu Ceptaz®,
Fortaz®, dan Tazicef® (Plumb 2011).
Ceftiofur juga merupakan generasi ketiga dari sefalosporin yang dapat
melawan Salmonella sp. Ceftiofur tidak memiliki kemampuan penetrasi ke mata
dan CNS seperti seftazidim. Dosis ceftiofur untuk reptil pada umumnya yaitu 5-15
mg/kg IM s24j (Doneley et al. 2018), 2.2 mg/kg IM s48j untuk ular, 5 mkg/kg SC
IM s24j untuk kadal/iguana, 2.2 mg/kg IM s24j untuk kura-kura air, dan 4 mg/kg
IM s24j untuk kura-kura darat (Carpenter 2013). Nama paten sediaan ini yang
banyak digunakan yaitu Naxcel® (Plumb 2011).
7
PEMBAHASAN
Kasus 1
Kasus Klinik Endokarditis Valvularis dan Pneumonia pada Burmese Pyhton
(Schroff et al. 2010)
20 mg/kg
Antibiotik Seftazidim Fortum s72j
(IM)
Ringer’s Ringer-Lösung
Terapi Cairan
soluiton 45% Delta Select
Glukosa 5% Glucose 5
20 mL/kg
Asam amino Volamin s24j
(SC)
Calciumgluconat
Kalsium
10% B. Braun
glukonat 10%
Injektionlösung
Kasus 2
Kasus Klinik Infeksi Bakteri pada Saluran Pencernaan Ular Sanca Batik
(Wijayanti et al. 2013)
Pencegahan salmonelosis
[CFSPH] The Center for Food Security & Public Health. 2013. Reptile-
Associated Salmonellosis [Internet]. [Diakses pada 2019 Februari 12].
Tersedia pada: http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/reptileassociated
salmonellosis.pdf.
[CFSPH] The Center for Food Security & Public Health. 2019. Disease Image:
Salmonella (Reptile-Associated) [Internet]. [Diakses pada 2019 Februari 12].
Tersedia pada: http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/diseaseimages.php ?
name=salmonella-reptile&lang=en.
Beardeddragon.org. 2017. Bad diarrhea [Inernet]. [Diakses pada 2019 Februari
13]. Tersedia pada: https://www.beardeddragon.org/forums/viewtopic.php?p
=1837338.
Bertrands S, Rimhanen-Finne R, Weill FX, Rabsch W. 2008. Salmonella
infections associated with reptiles: the current situation in Europe.
EUROSURVEILLANCE. 13(24): 1-6
Carpenter JW. 2013. Exotic Animal Formulary Fourth Edition. China (CN):
Saunders.
Cheng BY, Wong SP, Dykes GA. 2014. Salmonella associated with captive and
wild lizards in Malaysia. Herpetol Notes. 7: 145-147.
Cornejo J, Lapierre L, Iraguen D, Cornejo S, Cassus D, Ritcher P, San Martin B.
2011. Study of enrofloxacin and flumequin residues depletion in eggs of
laying hen after oral administration. J Vet Pharmacol Therap. 35:67-72.
De Jong B, Andersson Y, Ekdahl K. 2005. Effect of regulation and education on
reptile-associated salmonellosis. Emerg Infect Dis. 11: 398-403
Doneley B, Monks D, Johson R, Carmel B. 2018. Reptile Medicine and Surgery
in Clinical Practice. New York (US): John Wiley & Sons Inc.
Ebani VV, Cerri D, Fratini F, Meille N, Valentini P, Andreani E. 2005. Salmonella
sp. enteritica isolates from faeces of domestic reptiles and a study of their
antimicrobial in vitro sensitivity. Res Vet Sci. 78(2):117-121.
Gibbon PM. 2009. Critical care nutrition and fluid therapy in reptiles.
Proceedings of the 15th Annual Inernational Veterinary Emergency and
Critical Care Symposium, Chicago. 91-94.
Girling SJ, Raiti P. 2004. BSAVA Manual of Reptiles Second Edition. Gloucester
(UK): British Small Anial Veterinary Association.
Halliday T, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptile and Amphibian. New
York (USA): Fact on File Inc.
12