Anda di halaman 1dari 13

i

MAKALAH PENGOBATAN SALMONELLOSIS PADA


REPTIL

Dosen Pembimbing:
Dr Lina Noviyanti Sutardi, SSi, Apt, MSi

Kelompok 13

Nama NRP
Anita Yuwanti B94184206
Elfa Gita Fitri Febriani B94184212
Valen Hilmy Ramadhan B94184246

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kesehatan hewan peliharaan merupakan salah satu aspek penunjang


tercegahnya penyakit zoonosis. Salah satu hewan yang dapat menularkan penyakit
zoonosis adalah hewan reptil. Reptil adalah hewan berdarah dingin dan memiliki
tingkat hidup yang relatif panjang dibandingkan mamalia. Keunikan itulah yang
membuat banyak orang memilih reptil sebagai hewan peliharaannya.
Pemeliharaan hewan reptil tergolong mudah dan tidak memerlukan biaya yang
besar. Salah satu reptil yang banyak dipelihara adalah ular (Wijayanti et al. 2013).
Reptil memiliki peran penting dalam penularan mikroorganisme berbahaya, salah
satunya yang umum ditemukan pada reptil adalah Salmonella sp.
Salmonella merupakan penyebab signifikan dari suatu penyakit yang dapat
memengaruhi manusia dan hewan (De Jong et al. 2005). Salmonella merupakan
agen kausatif dari salmonellosis, yaitu penyakit gastrointestinal yang dapat
memengaruhi kesehatan masyarakat. Salmonella juga dapat menyebabkan
penyakit invasif seperti bakteremia dengan atau tanpa penyakit metastatik, infeksi
kulit dan tulang, infeksi traktus urinarius, meningitis dan abses pada limpa.
Bakteri ini umumnya dikenal sebagai foodborne pathogen, namun sekitar 6%
kasus salmonellosis sporadik dan 11% kasus salmonellosis pada orang berumur
dibawah 21 tahun di USA disebabkan adanya kontak dengan reptil dan amfibi
(Mermin et al. 2004).
Reptil merupakan kelompok hewan vertebrata berdarah dingin dan
umumnya memiliki sisik pada kulitnya. Popularitas reptil sebagai hewan
peliharaan eksotik semakin meningkat karena daya tariknya yang cukup tinggi
(De Jong et al. 2005). Jenis-jenis reptilia yang umumnya dipelihara adalah kura-
kura darat, kura-kura air, ular, kadal seperti iguana dan gecko. Meningkatnya
permintaan untuk memelihara reptil sebagai hewan eksotis menyebabkan
tingginya impor reptil yang dapat mengakibatkan globalisasi penyakit (Mihalca
2015). Interaksi yang semakin tinggi antara manusia dengan reptil berpotensi
meningkatnya penularan penyakit dari reptil, seperti Salmonella sp.
Laporan mengenai salmonellosis pada reptil peliharaan semakin
meningkat. Studi di Malaysia menunjukkan 83.3% dari reptil peliharaan
(Iguanidae, Agamidae, Scincidae, Gekkonidae, Varanidae) dan 25% dari kadal
liar (Agamidae, Scincidae, Gekkonidae) positif membawa Salmonella (Cheng et
al. 2014). Salmonellosis pada reptil dapat ditularkan ke manusia secara langsung
maupun tidak langsung (Bertrand et al. 2008). Kemampuan penyebaran bakteri
Salmonella sp. Transmisi sangat mudah disebarkan melalui makan maupun
minuman yang terkontaminasi. Menurut penyebarannya bakteri Salmonella sp.
dapat menyebar melalui kontak langsung maupun tidak langsung. Penyebaran
secara langsung melalui kontak dengan reptil atau hewan yang terkena, sedangkan
secara tidak langsung melalui kontaminasi kandang maupun peralatan kandang.
Penelitian menunjukkan bahwa salmonellosis pada reptil yang dipelihara lebih
tinggi tingkat prevalensinya dibandingkan dengan reptil yang ada di alam liar.
Makalah ini dibuat untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan outbreaknya
kejadian Salmonella pada reptil.
2

Tujuan

Pembuatan makalah bertujuan untuk mengetahui pengobatan penyakit


salmonellosis pada hewan reptil dan mengetahui penyebaran dari penyakit
salmonellosis sebagai agen zoonosis.

Manfaat

Hasil dari diskusi makalah ini dapat menjadi rujukan dalam pengobatan
salmonellosis pada hewan reptil. Hasil diskusi juga dapat dijadikan acuan untuk
publikasi mengenai penyakit yang sejenis.

TINJAUAN PUSTAKA

Reptil

Gambar 1 Reptil (Zilla-Rules 2016)


Reptil merupakan hewan bertulang belakang dan berjalan secara merayap,
memiliki sisik, serta bernapas dengan paru-paru. Reptil memiliki beberapa ordo
antara lain Testudies, Squamata, Ryncochepalia, dan Crocodylia. Reptil memiliki
ciri-ciri khusus berupa tubuh yang tertutupi dari sisik sisik yang berfungsi untuk
mengatur sirkulasi air pada kulitnya serta tidak memiliki rambut atau bulu. Warna
sisik reptil beragam dan cenderung menyerupai lingkungan.
Reptil merupakan kelompok hewan vertebrata berdarah dingin dan
umumnya memiliki sisik pada kulitnya. Popularitas reptil sebagai hewan
peliharaan eksotik semakin meningkat karena daya tariknya yang cukup tinggi
(De Jong et al. 2005). Reptil tidak memiliki telinga eksternal. Perbedaan jantan
dan betina pada reptil dapat terlihat dari ukuran tubuh dan ukuran bentuk hewan,
perbedaan lainnya dapat dilihat dari warna ketika reptil dewasa (Halliday dan
Adler 2000). Reptil umumnya berkembang biak secara ovipar (bertelur), namun
ada beberapa reptil yang bersifat ovovivipar.
3

Bakteri Salmonella sp.

Gambar 2 Salmonella sp. dengan pewarnaan gram (Todar 2008)

Salmonella merupakan bakteri yang sering ditemukan di lingkungan.


Bakteri Salmonella sp. termasuk famili Enterobactericiacae yaitu bakteri gram
negatif dan berbentuk batang tidak memiliki spora. Ukuran dari bakteri ini sekitar
1-3 mikrommeter x 0,5 mikronmeter. Sifat dari bakteri ini motil dengan flagella
peritrichous. Bakteri Salmonella sp. umumnya ditemukan di saluran pencernaan
hewan. Spesies dari Salmonella yang telah terdeteksi ada 2 species. Kedua spesies
tersebut adalah Salmonella enterica dan Salmonella bongori, serta memiliki 6
subspesies S. enterica, S. salamae, S. arizonae, S. diarizonae, S. houtenae dan S.
indica. Subspesies 1 ditemukan pada manusia, sedangkan subspecies lain umum
ditemukan di hewan poikilotermik dan lingkungan (Ray dan Bhunia 2008).
Salmonella sp. merupakan bakteri patogen bagi manusia. Salmonella hidup di
temperatur 5o C sampai 47o C. Bakteri ini tidak dapat hidup pada suhu lebih dari
70o C. Bakteri ini tidak tahan pada suhu pasteurisasi namun dapat bertahan pada
kondisi kering beku.

Patogenesis

Transmisi salmonellosis pada reptil dapat terjadi secara langsung dan tidak
langsung. Transmisi langsung terjadi melalui kontak handling reptil dan transmisi
tidak langsung terjadi melalui kontak dengan objek yang terkontaminasi oleh
reptil yang terinfeksi seperti feses atau makanan atau minuman. Gigitan dan
cakaran reptil juga dapat mentransmisikan Salmonella. Kontak dengan rodensia
yang digunakan sebagai pakan reptil juga dilaporkan berhubungan dengan kasus
salmonellosis pada manusia. Infeksi melalui daging reptil terinfeksi yang tidak
matang dan transfusi darah jarang dilaporkan (CFSPH 2013).
Menurut Hidalgo-Vila et al. (2007), Salmonella pada reptil umumnya
dapat ditransmisikan secara faecal-oral, namun transmisi melalui kloaka saat
kopulasi juga dapat terjadi. Salmonella sp. melakukan penetrasi ke sel epitel usus
dan berproliferasi di dalam usus sehingga menyebabkan enteritis. Proliferasi di
usus menyebabkan kerusakan lamina propria dan menimbulkan diare. Salmonella
sp. dapat menghasilkan racun cytotoxin dan enterotoxin (Muthu et al. 2014).
Produksi thermostable cytotoxic factor memengaruhi kemampuan Salmonella
4

untuk menginvasi dan merusak sel. Salmonella di dalam sel epitel akan
memperbanyak diri dan menghasilkan thermolabile enterotoxin yang akan
mempengaruhi sekresi air dan elektrolit (Poeloengan et al. 2014).
Faktor virulensi sangat berpengaruh terhadap patogenesa Salmonella sp.
Beberapa faktor yang dapat menjadi faktor virulensi adalah kemampuan invasi
sel, lapisan polisakarida, kemampuan replikasi intrasel, dan toksin. Organisme
akan berkoloni dalam ileum dan kolon, memasuki epitel usus dan berproliferasi
pada epitel dan folikel limfoid. Bakteri kemudian menginduksi membran enterosit
dan menstimulasi pinositosis organisme (Khoiriyah et al. 2013).

Gejala Klinis

Gejala klinis dari salmonellosis pada reptil tergolong beragam. Kekhasan


dari penyakit salmonellosis adalah adanya inflamasi dan diare yang parah di
daerah saluran pencernaan. Salmonellosis pada reptil umumnya menunjukkan
gejala asimtomatik atau tidak terlihat. Gejala klinis mungkin terlihat saat hewan
mengalami stress karena faktor-faktor seperti transportasi, keramaian, kekurangan
makanan, terpapar pada suhu dingin, infeksi virus atau parasit lainnya,
penggantian pakan mendadak, pemberian pakan yang berlebihan. Sindrom
salmonellosis yang telah dilaporkan yaitu meliputi septicaemia (ditandai oleh
anoreksia, lesu dan kematian), osteomyelitis, osteoarthritis, pneumonia,
gastroenteritis dan abses pada kutaneus/subkutan. Infeksi tulang yang fatal dan
progresif pada ular pernah dilaporkan. Gejala klinis yang terlihat pada kura-kura
yaitu kekurusan, lesi pada plastron, perubahan warna pada karapas dan lesi pada
intestinal, sistem respiratori dan hati (CFSPH 2013). Tanda klinis lainnya adalah
lesi, bengkak dan peradangan di daerah mulut berbagai tingkat dan stomatitis
akibat dari berintariksanya dengan bakteri bakteri lain seperti Pseudomonas sp.,
Aeromonas sp., Klebsiella sp. dan Salmonella sp.
Kejadian salmonellosis pada reptil umumnya hanya terbatas pada traktus
intestinal tanpa menginvasi jaringan ekstraintestinal. Infeksi salmonellosis juga
hanya pada kondisi stress seperti terkena parasit, trauma, atau terkena penyakit
infeksius lainnya yang menyebabkan Salmonella sp. dapat memenetrasi lapisan
barrier mukosa intestin dan menyebabkan infeksi sistemik (Pasmans et al. 2003).
Lesi yang diakibatkan salmonellosis umumnya enteritis, pada kasus akut sering
ditemukan enteritis berdarah dan erosi pada sebagian besar lumen usus (Ebani et
al. 2005). Penelitian yang dilakukan pada ular sanca batik menunjukkan adanya
gangguan pencernaan dengan lesi klinis berupa mouthrot atau stomatitis
(Wijayanti et al. 2013). Penelitian lainnya menunjukkan hewan memperlihatkan
gejala splenomegaly, kadal menunjukan tanda nekrosis enteritis, dan pada ular boa
menunjukan pneumonia. Infeksi dari Salmonella umumnya menunjukkan adanya
lesi visceral.
5

Gambar 3 Diare pada bearded dragon (Beardeddragon.org 2017)

Gambar 4 Enteritis pada kura-kura darat akibat infeksi Salmonella


(CFSPH 2019)

Gambar 5 Mouthrot pada ular (Suedmeyer 2013)

Uji dan diagnosa

Pengujian untuk mendiagnosa salmonellosis pada reptil dapat dilakukan


dengan pengambilan sampel swab mulut dan kloaka hewan. Pengambilan swab
untuk mengidentifikasi adanya Salmonella pada reptil. Identifikasi dilakukan
secara mikrobiologis melalui media brillian green agar (BGA), Mc Conkey agar
(MCA), Triple sugar iron (TSI) dan biakan isolat murni bakteri pada agar miring.
Media BGA berfungsi untuk media spesifik Salmonella sp. Penggunaan MCA
untuk mengisolasi dan membedakan bakteri gram negatif saluran pencernaan dan
dapat digunakan untuk membedakan strain Salmonella (Wijayanti et al. 2013).

Pengobatan

Flourokuinolon
Flourokuinolon merupakan antibiotik berspektrum luas dan digunakan
untuk terapi infeksi intraabdominal, infeksi tulang dan sendi, kulit dan jaringan
lunak, dan beberapa infeksi lainnya. Tahun 2011, di Amerika Serikat, antibiotik
6

fluorokuinolon digunakan oleh sekitar 23.1 juta pasien rawat jalan (70%
diantaranya adalah siprofloksasin, 28% levofloksasin) dan 3.8 juta pasien rawat
inap (diantaranya 63% levofloksasin, 28% siprofloksasin). Levofloksasin dan
siprofloksasin pada tahun 2011 di Amerika Serikat mendapat lebih dari 2000
tuntutan hukum karena efek samping yang ditimbulkan (Doneley et al. 2018).
Fluorokuinolon bersifat toksik dan mempunyai efek samping yang lebih
berat dari antibiotik lain yang dapat menimbulkan kerusakan permanen bahkan
kematian jika tidak digunakan secara tepat. Fluorokuinolon merupakan bakterisida
yang bekerja dengan menghamat DNA gyrase pada bakteri. Sediaan ini menjadi
salah satu pilihan antibiotik pada pengobatan reptil. Contoh sediaan
fluorokuinolone yaitu enrofloksasin, siprofloksasin, dan ofloksasin. Seluruh
sediaan ini memiliki spektrum yang luas untuk bakteri gram negatif, khususnya
pada bakteri usus seperti Salmonella, Pseudomonas, dan Aeromonas (Girling dan
Raiti 2004).
Fluorokuinolon juga dapat melawan bakteri penghasil beta-lactamase
dengan baik. Obat ini bersifat lipofilik dan membutuhkan volume yang tinggi
untuk distribusinya. Fluorokuinolon juga dapat melawan Mycoplasma yang sering
menyebabkan gangguan pernapasan pada Chelonia. Sediaan ini dapat diberikan
melalui rute parenteral maupun oral. Pemberian fluorokuinolon pada ular akan
mencapai efek tertinggi pada 3 jam setelah pemberiaan (Girling dan Raiti 2004).
Dosis enrofloksasin untuk reptil yaitu 5-10 mg/kg PO SC IM s24j (Carpenter
2013). Salah satu nama paten dari sediaan ini yaitu Bayer® (Plumb 2011).

Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotik golongan beta laktam dengan
memblokade sintesis dinding sel. Sefalosporin aman digunakan untuk hewan yang
mengalami dehidrasi (Girling dan Raiti 2004). Sefalosporin dapat didistribusi
dengan baik pada ruang ekstraseluler. Sediaan ini memiliki kinerja yang searah
(sinergis) dengan aminoglycosides (Doneley et al. 2018).
Generasi ketiga dari Sefalosporin yaitu seftazidim dapat bekerja dengan
baik melawan bakteri gram positif maupun negatif seperti Salmonella dan
Pseudomonas. Seftazidim juga dapat penetrasi ke mata maupun CNS (Doneley et
al. 2018). Dosis Seftazidim yaitu 20-40mg/kg SC, IM s48-72j untuk reptil secara
umum, s24j untuk chameleon, 20 mg/kg SC IM IV s72j untuk ular, dan 22 mg/kg
IM IV s72j untuk penyu (Carpenter 2013). Nama paten seftazidim yaitu Ceptaz®,
Fortaz®, dan Tazicef® (Plumb 2011).
Ceftiofur juga merupakan generasi ketiga dari sefalosporin yang dapat
melawan Salmonella sp. Ceftiofur tidak memiliki kemampuan penetrasi ke mata
dan CNS seperti seftazidim. Dosis ceftiofur untuk reptil pada umumnya yaitu 5-15
mg/kg IM s24j (Doneley et al. 2018), 2.2 mg/kg IM s48j untuk ular, 5 mkg/kg SC
IM s24j untuk kadal/iguana, 2.2 mg/kg IM s24j untuk kura-kura air, dan 4 mg/kg
IM s24j untuk kura-kura darat (Carpenter 2013). Nama paten sediaan ini yang
banyak digunakan yaitu Naxcel® (Plumb 2011).
7

PEMBAHASAN

Zoonosis merupakan penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah


baik dari hewan ke manusia maupun sebaliknya. Berkembangnya penyakit
zoonosis dalam beberapa tahun terakhir menjadi tanda bertambahnya ancaman
penyakit yang mematikan bagi manusia yang ditularkan oleh hewan. Terdapat
tidak kurang dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari manusia. Tujuh puluh
lima persen penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari
hewan ke manusia atau bersifat zoonotik dalam 20 tahun terakhir, dan dari 1.415
mikroorganisme patogen pada manusia, 61.6% bersumber dari hewan (Khairiyah
2011).
Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara,
yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak
langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit,
atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang
tercemar (Suharsono 2002). Zoonosis dibedakan menjadi dua bagian berdasarkan
penyebarannya zoonosis yang berasal dari satwa liar, zoonosis dari hewan yang
tidak dipelihara tetapi ada di sekitar rumah, seperti tikus yang dapat menularkan
leptospirosis, dan zoonosis dari hewan yang dipelihara manusia. WHO telah
mencatat terdapat 310 kasus avian influenza (AI) atau flu burung. Berdasarkan
agen penyebabnya, zoonosis digolongkan menjadi zoonosis yang disebabkan oleh
bakteri, virus, parasit, dan jamur. Salah satu penyakit zoonosis yang berbahaya
dan tersebar melalui kontak dnegan hewan peliharaan adalah salmonellosis.
Salmonellosis disebabkan oleh agen bakteri Salmonella sp. Bakteri ini
umum ditemukan di pencernaan makhluk hidup dan sering ditemukan pada hewan
reptil. Salmonella merupakan bakteri yang sering ditemukan di lingkungan.
Bakteri ini dapat hidup dalam makanan yang terbuat dari daging, susu, atau telur
dengan kondisi suhu dan kelembapan yang sesuai sehingga menimbulkan sakit
bila dikonsumsi manusia (Purnomo 1992). Gejala yang ditimbulkan setelah
infeksi adalah demam, diare disertai lendir dan kadang diare berdarah.

Kasus 1
Kasus Klinik Endokarditis Valvularis dan Pneumonia pada Burmese Pyhton
(Schroff et al. 2010)

Ular Burmese python jantan berumur 11 tahun memiliki keluhan pada


sistem respirasi selama 1 minggu. Ular dengan berat badan 19.4 kg dan panjang
3.4 m menunjukkan penurunan kondisi tubuh. Pemeriksaan klinik menyatakan
bahwa pemeriksaan fisik, frekuensi pernapasan, dan jantung normal, tetapi suara
pernapasan abnormal dan terdapat leleran pada hidung. Ular mengalami stomatitis
ringan dan glotis berwarna agak kemerahan.
Diagnosa penunjang dilakukan mulai dari kultur bakteri, cytology, CT
scan, endoskopi, dan ultrasonografi. Hasil diagnosa yaitu terdapat bakteri
Salmonella enterica ssp. IV, Enterobacter cloacae, dan Klebsiella pneumoniae
8

pada paru-paru. Keseluruhan uji menyimpulkan bahwa ular mengalami


pneumonia dan diduga menderita endokarditis.
Terapi pneumonia dan endokarditis dilakukan dengan pemberian antibiotik
seftazidim dengan dosis 20 mg/kg dengan rute intramuskular (IM) setiap 72 jam.
Terapi suportif juga diberikan berupa terapi cairan untuk mengembalikan kondisi
tubuh ular. Terapi cairan diberikan sebanyak 20 ml/kg yang terdiri dari campuran
Ringer’s solution, glukosa 5%, asam amino, dan kalsium glukonat. Terapi tersebut
diberikan melalui rute subkutan (SC) setiap 24 jam. Seluruh terapi diberikan
selama 21 hari dan diputuskan bahwa ular dieuthanasi.

Tabel 1 Terapi kasus Pneumonia dan Endokarditis


Dosis dan
Gejala klinis Nama obat Nama dagang Keterangan
Rute

20 mg/kg
Antibiotik Seftazidim Fortum s72j
(IM)

Ringer’s Ringer-Lösung
Terapi Cairan
soluiton 45% Delta Select
Glukosa 5% Glucose 5
20 mL/kg
Asam amino Volamin s24j
(SC)
Calciumgluconat
Kalsium
10% B. Braun
glukonat 10%
Injektionlösung

Dokter Hewan : Drh Boyke Arifin


Alamat : Jl. Jalan bareng kamu, Bogor
SIP : -
No Handphone : -
______________________________________
Bogor, 14 Februari 2019
R/ Seftazidim No. I Vial
s.pro. Inj. s.i.m.v.m
---------------------------------------------------ttd
R/ Ringer’s soluiton 45% No. I Flacon
Glukosa 5%
Asam amino
Kalsium glukonat 10%
s.pro. Infus. s.i.m.v.m
---------------------------------------------------ttd

Nama Pasien : ular


Pemilik : Ervin
Alamat : Laladon Indah
9

Ular dinekropsi untuk dilakukan uji postmortem. Hasil uji postmortem


yaitu ular dikonfirmasi menderita pneumonia dan endockrditis pada vena
pulmonis. Hal ini diakibatkan oleh Salmonella enterica spp. IV. Arteriosklerosis
juga ditemukan pada paru-paru.
Pengobatan Salmonella sp. dapat menggunakan antbiotik gram negatif
seperti seftazidim. Seftazidim adalah antibiotik yang umum digunakan pada reptil
untuk melawan bakteri Enterobacteriaceae (Plumb 2011). Dosis yang dapat
digunakan yaitu 20-40 mg/kg IM SC s48-72j setiap 2-3 hari (Carpenter 2013).
Sediaan ini merupakan generasi ketiga dari sefalosporin yang bekerja
menghambat enzim yang bertugas menyintesis dinding sel bakteri. Nama paten
dari obat ini yaitu Ceptaz®, Fortaz®, dan Tazicef® (Plumb 2011).
Terapi cairan pada reptil digunakan untuk mengatasi dehidrasi dan
mengembalikan kondisi tubuh ke normal. Kasus darurat (dehidrasi parah)
penangan terapi dilakukan melalui rute intravena (IV) atau intraosseous.
Pemberian secara subkutan diberikan bila reptil berada pada suhu dan tekanan
onkotik yang normal (Gibbon 2009). Ringer’s solution berguna untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang dengan dosis 10-20ml/kg s24j. Penambahan glukosa dan
asam amino merupakan terapi nutrisi pada reptil. Kalsium glukonat digunakan
untuk mengatasi hipokalsemia (Carpenter 2013).

Kasus 2
Kasus Klinik Infeksi Bakteri pada Saluran Pencernaan Ular Sanca Batik
(Wijayanti et al. 2013)

Ular python mengalami gangguan pencernan berupa stomatitis berupa


radang dan lesio mulut. Berat badan ular yaitu 7.5 kg. Isolasi dan identifikasi
dilakukan dengan mengabil sampel swab mulut dan kloaka. Media yang digunkan
yaitu media brilliant green agar (BGA), Mc Conkey agar (MCA), triple sugar
iron (TSI) dan biakan isolat murni pada agar miring.
Hasil isolasi menunjukkan bahwa ular terebut terinfiksi Salmonella sp. dan
Proteus. Terapi dilakukan menggunakan antibiotik enrofloksasin. Dosis sediaan
yaitu 5 mg/kg secara intramuskular selama 17 hari. Ular dipantau
perkembangannya dan diketahui bahwa pada hari ke 10 peradangan pada mulut
sudah negatif.

Tabel 2 Terapi kasus Salmonella sp pada ular sanca batik


Dosis dan
Gejala klinis Nama obat Nama dagang Keterangan
Rute

Antibiotik Enrofloxacine Baytril 5 mg/kg (IM) S24j


10

Dokter Hewan : Drh Boyke Arifin


Alamat : Jl. Jalan bareng kamu, Bogor
SIP : -
No Handphone : -
______________________________________
Bogor, 14 Februari 2019
R/ Enrofloksasin No. I Vial
s.pro. Inj. s.i.m.v.m
---------------------------------------------------ttd
Nama Pasien : ular
Pemilik : Ervin
Alamat : Laladon Indah

Enrofloksasin merupakan golongan fluorokuinolon yang memiliki


spektrum yang luas (Plumb 2011). Dosis yang direkomendasikan untuk reptil
yaitu 5-10 mg/kg PO SC IM s24j. Pemberian melalui rute IM memberikan rasa
nyeri dan pada beberapa spesies menyebabkan nekrosi jaringan serta abses di area
suntikan. Rute SC juga dapat menberikan efek yang sama terutama perubahan
warna kulit di area suntikan (Carpenter 2013). Pemberian enrofloksasin pada
mamalia sudah jarang digunakan akibat resistensi (Cornejo et al. 2011)

Pencegahan salmonelosis

Pencegahan salmonelosis dapat dilakukan dengan cara


memasak makanan dengan baik dan matang. Pencucian tangan
dengan sabun dan air selama sekurang-kurangnya 10 detik,
disiram dan dikeringkan dengan baik.
Penyimpanan makanan yang tidak benar memungkinkan
Salmonella tumbuh.
Makanan yang didinginkan harus disimpan di bawah suhu 5° C.
Makanan hangat harus tetap hangat di atas suhu 60° C. Makanan
yang dipanaskan harus dipanaskan dengan cepat sampai setiap
bagian
makanan tersebut mengeluarkan uap. Melunakkan makanan
beku harus dilakukan dalam kulkas atau microwave.
 Simpan makanan mentah (misalnya daging) dalam wadah
tertutup di
bagian bawah kulkas atau freezer.
 Cuci tangan sebelum memegang makanan yang matang.
 Gunakan papan memotong, baki, alat makan dan piring
yang bersih.
11

 Cuci segala kotoran dari semua sayur dan buah mentah


sebelum
disiapkan dan dimakan.
 Keringkan piring dan mangkuk dengan kain yang berlainan
dengan yang digunakan untuk mengeringkan tangan atau
membersihkan meja dan cuci
kain secara berkala.
DAFTAR PUSTAKA

[CFSPH] The Center for Food Security & Public Health. 2013. Reptile-
Associated Salmonellosis [Internet]. [Diakses pada 2019 Februari 12].
Tersedia pada: http://www.cfsph.iastate.edu/Factsheets/pdfs/reptileassociated
salmonellosis.pdf.
[CFSPH] The Center for Food Security & Public Health. 2019. Disease Image:
Salmonella (Reptile-Associated) [Internet]. [Diakses pada 2019 Februari 12].
Tersedia pada: http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/diseaseimages.php ?
name=salmonella-reptile&lang=en.
Beardeddragon.org. 2017. Bad diarrhea [Inernet]. [Diakses pada 2019 Februari
13]. Tersedia pada: https://www.beardeddragon.org/forums/viewtopic.php?p
=1837338.
Bertrands S, Rimhanen-Finne R, Weill FX, Rabsch W. 2008. Salmonella
infections associated with reptiles: the current situation in Europe.
EUROSURVEILLANCE. 13(24): 1-6
Carpenter JW. 2013. Exotic Animal Formulary Fourth Edition. China (CN):
Saunders.
Cheng BY, Wong SP, Dykes GA. 2014. Salmonella associated with captive and
wild lizards in Malaysia. Herpetol Notes. 7: 145-147.
Cornejo J, Lapierre L, Iraguen D, Cornejo S, Cassus D, Ritcher P, San Martin B.
2011. Study of enrofloxacin and flumequin residues depletion in eggs of
laying hen after oral administration. J Vet Pharmacol Therap. 35:67-72.
De Jong B, Andersson Y, Ekdahl K. 2005. Effect of regulation and education on
reptile-associated salmonellosis. Emerg Infect Dis. 11: 398-403
Doneley B, Monks D, Johson R, Carmel B. 2018. Reptile Medicine and Surgery
in Clinical Practice. New York (US): John Wiley & Sons Inc.
Ebani VV, Cerri D, Fratini F, Meille N, Valentini P, Andreani E. 2005. Salmonella
sp. enteritica isolates from faeces of domestic reptiles and a study of their
antimicrobial in vitro sensitivity. Res Vet Sci. 78(2):117-121.
Gibbon PM. 2009. Critical care nutrition and fluid therapy in reptiles.
Proceedings of the 15th Annual Inernational Veterinary Emergency and
Critical Care Symposium, Chicago. 91-94.
Girling SJ, Raiti P. 2004. BSAVA Manual of Reptiles Second Edition. Gloucester
(UK): British Small Anial Veterinary Association.
Halliday T, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptile and Amphibian. New
York (USA): Fact on File Inc.
12

Hidalgo-Vila J, Diaz-Paniagua C, de Fructo-Escobar C, Jiminez-Martinez C,


Perez-Santigosa N. 2007. Salmonella in free living terrestrial and aquatic
turtles. Vet Microbiol. 119:311-315.
Khairiyah. 2011. Zoonosis dan upaya pencegahannya (kasus Sumatera Utara).
Journal Litbang Pertanian. 30(3): 117-124.
Khoiriyah A, Triyana, Ngatini. 2013. Bahaya Salmonella bagi Kesehatan. Buletin
LaboraturiumVeteriner (Velabo). 30(2): 1-44
Mermin J, Hutwagner L, Vugia D, Shallow S, Daily P, Bender J, Koehler J,
Marcus R, Angulo FJ. 2004. Emerging infections program foodnet working
group. Reptiles, amphibians, and human Salmonella infection: A population-
based, case-control study. Clin Infect Dis. 38: S253–S261
Mihalca AD. 2015. Ticks imported to Europe with exotic reptiles. Vet Parasitol.
213: 67-71.
Muthu G, Suresh A, VishnuPrabu D, Munirajan AK, Esther MS, Sathishkumar E,
Gopinath P, Srivani S. 2014. Detection in virulence genes from Salmonella
species in Chennai, India. CIB Tech J Microbiol. 3:11-14.
Pasmans F, Van Immerseel F, Van Den Broeck W, Bottreau E, Velge P, Ducatelle
R, Haesebrouck F. 2003. Interactions of Salmonella enterica subsp. enterica
serovar Muenchen with intestinal explants of the turtle Trachemys scripta
scripta. J Comp Pathol. 128(2-30): 119-26.
Plumb DC. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 7th Edition. Wisconsin
(US): PharmaVet Inc.
Poeloengan M, Komala I, Noor SM. 2014. Bahaya Salmonella terhadap
kesehatan. JITV. 19(3):216-224
Purnomo S. 1992. Pengendalian penyakit bakterial pada ayam khususnya bidang
bakteriologi hewan. Bogor (ID): Balai Penelitian Veteriner Bogor.
Ray B, Bhunia A. 2008. Fundamental Food Microbiology 4th Ed. Florida (US):
CRC Press Taylor & Francis Group.
Schroff S, Schmidt V, Kiefer I, Krautwald-Junghanns ME, Pees M. 2010.
Ultrasonographic diagnosis of an endocarditis valvularis in a Burmese python
(Python molurus bivittatus) with pneumonia. Journal of Zoo and Wildlife
Medicine. 41(4): 721-724.
Suedmeyer K. 2013. Presenting problem: Stomatitis in Reptiles [internet].
[Diakses pada 2019 Februari 13]. Tersedia pada:
https://lafeber.com/vet/presenting-problem-stomatitis-in-reptiles/.
Suharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia.
Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius
Todar K. 2008. Salmonella and Salmonellosis [internet]. [Diakses pada 2019
Februari 13]. Tersedia pada: http://www.textbookofbacteriology.net/salmo
nella 1.html.
Wijayanti AD, Rosetyadewi AW, Untari T. 2013. Efektivitas fluoroquinolon
terhadap isolat bakteri saluran pencernaan ular sanca batik (Python
reticulatus). Acta VETERINARIA Indonesiana. 1(1): 27-31
Zilla-Rules. 2016. Top Ten Reptile and Amphibian Care Tip [internet]. [Diakses
pada 2019 Februari 13]. Tersedia pada: https://www.zillarules.com/
articles/top-ten-reptile-amphibian-care-tips.

Anda mungkin juga menyukai