Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH STUDI KASUS

LABORATORIUM DIAGNOSTIK

ANAPLASMOSIS PADA ANJING PERANAKAN KINTAMANI

Disusun oleh:

Raynaldo (B9404212130)
Elsi Nidya Putri Erita (B9404212134)

Kelompok I2 PPDH Periode 2

Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Ridi Arif

LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2022
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anjing merupakan hewan domestikasi yang keberadaannya sangat dekat
dengan manusia (Sanne 2012). Anjing dipelihara dengan berbagai tujuan diantaranya
untuk penjagaan rumah, hewan kesayangan, dan sebagai pelacak di kepolisian (Alfi et
al. 2015). Manajemen kesehatan anjing merupakan salah satu bagian dari manajemen
pemeliharaan yang harus diperhatikan oleh pemilik. Terdapat beragam penyakit yang
dapat menyerang anjing baik penyakit infeksius maupun non-infeksius. Anjing
meskipun sudah dirawat dengan intensif, anjing dapat terifeksi oleh berbagai jenis agen
penyakit seperti virus, bakteri, maupun parasit.
Penyakit parasitik merupakan masalah yang paling umum ditemukan pada
anjing dan kucing. Penyakit ini disebabkan oleh parasit, baik ektoparasit maupun
endoparasit. Kejadian penyakit parasitik zoonotik dapat ditularkan melalui gigitan
caplak, pinjal, dan nyamuk (Hadi et al. 2016). Penyakit parasitik yang terjadi pada
anjing salah satunya adalah Anaplasmosis. Penyakit anaplasmosis salah satu jenis
penyakit bakteri intraselular yang menginfeksi anjing. Penyakit ini tidak hanya terjadi
pada anjing, namun dapat menyerang hewan lain seperti sapi, domba, dan kuda.
Anaplasmosis disebabkan oleh Anaplasma spp. yang dapat ditularkan melalui gigitan
caplak. Pengendalian parasit ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan penyakit.

1.2 Tujuan
Makalah ini bertujuan mempelajari infeksi studi kasus anaplasmosis pada
anjing mencakup etiologi, siklus hidup, gejala klinis, diagnosis, dan pengendalian serta
pengobatan yang tepat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Etiologi
Anaplasmosis merupakan penyakit yang menyerang sel darah merah,
ditularkan oleh caplak, dan disebabkan oleh mikroba patogen dari genus Anaplasma
yang termasuk bakteri intraeritrositik obligat (Eisawi et al. 2020). Taksonomi
Anaplasma menurut Dumler et al. (2001) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Probacteria
Kelas : Alpha Protobacteria
Ordo : Rickettsiales
Famili : Anaplasmataceae
Genus : Anaplasma

Infeksi granulocytic anaplasmosis pertama kali diidentifikasi tahun 1982 pada


anjing di California yang disebabkan oleh Ehrlichia phagocytophila. Spesies tersebut
sekarang disebut dengan A. phagocytophilum (Sainz et al. 2015). Anaplasma sp.
memiliki distribusi yang luas, yaitu di daerah beriklim sedang, subtropis, dan tropis
(Kocan et al. 2003). Iklim tropis di Indonesia merupakan lingkungan ideal bagi
perkembangan dan transmisi parasit. Kejadian penyakit parasit darah yang disebarkan
caplak pada umumnya meningkat satiap tahun.
Anaplasmosis pada anjing disebabkan oleh dua agen mikoorganisme obligat
intraseluler Gram-negatif, yaitu, A. phagocytophilum atau A. platys (Atif 2015).
Anaplasma yang patogen saat ini ada 5 spesies, yaitu Anaplasma marginale,
Anaplasma bovis, Anaplasma centrale, Anaplasma phagocytophylum, dan Anaplasma
platys (Zhou et al. 2019). Anaplasma spp. akan terlihat berwarna ungu dengan
pewarnaan Giemsa, terletak di tepi atau di tengah eritrosit (Quinn et al. 2011).
Anaplasma spp. berukuran kecil 0,3-0,4 μm, berbentuk kokoid sampai elips, dan
menyebabkan anaplasmosis. Pengamatan dengan mikroskop elektron, Anaplasma spp.
terdiri atas suatu koloni yang berisi sampai 8 sub unit atau initial bodies, setiap sub unit
berukuran 0.16-0.27 µm x 0.24-0.52 µm (Boone et al. 2001).
Manifestasi klinis karena A. phagocytophilum di Eropa telah tercatat pada
domba, kambing, sapi, kuda, anjing, kucing, rusa, dan manusia. A. platys adalah spesies
lain dari Anaplasma yang dapat menginfeksi anjing, yang dianggap sebagai inang
reservoir utama. Spesies ini kemungkinan besar ditularkan oleh Rhipicephalus
sanguineus (Khatat et al. 2017). A. phagocytophilum ditularkan oleh caplak famili
Ixodidae. Vektor utama di Amerika Utara adalah Ixodes scapularis dan I. pacificus, I.
ricinus mentransmisikan A. phagocytophilum di Eropa, dan I. persulcatus merupakan
vektor utama di Asia (Rovid-Spickler 2013).
Gambar 1 Anaplasma spp., tanda panah menunjukkan inkulsi intrasitoplasmik
(Arsyitahlia 2021)

2.2 Siklus Hidup


Anaplasma tersebar luas di alam; inang reservoirnya termasuk banyak hewan
liar, serta beberapa spesies peliharaan. Rusa ekor putih dan beberapa spesies hewan
pengerat kecil dianggap sebagai inang reservoir primer (Alleman dan Wamsley 2008).
Anaplasma spp. masuk melalui gigitan caplak terinfeksi pada tubuh inang, kemudian
masuk ke dalam eritrosit melalui proses endositosis, dan terjadi pembelahan biner.
Hasil pembelahan dikeluarkan melalui permukaan sel dan bersifat menular pada
eritrosit lainnya. Seluruh stadium perkembangan caplak memiliki potensi
menyebarkan Anaplasma (Kocan et al. 2010).
Siklus hidup dari anaplasma dibagi menjadi tiga tahap yaitu elementary bodies,
initial bodies dan morulae. Infeksi dimulai ketika elementary bodies yang ditularkan
melalui saliva caplak masuk ke dalam tubuh hospes. Elementary bodies akan masuk ke
dalam monosit melalui fagositosis. Fusi fagolisosomal elementary bodies mulai
berkembang dan bereplikasi biner. Infeksi elementary bodies berjalan dalam waktu 3-
5 hari setelah berkembang menjadi initial bodies dengan bentuk pleomorfik dengan
besar sekitar 1,0-2,5 mm. Selama 7-12 hari, initial bodies berkembang dan bereplikasi
biner menjadi morula. Morula akan keluar dari sel (eksositosis) dan mengakibatkan sel
menjadi hancur, lalu mengulang infeksi pada sel target lainnya (Dubie et al. 2014).
Gambar 2 Siklus hidup Rhipicephalus sanguineus (Zaid 2017)

Gambar 3 Siklus hidup Anaplasma spp. (Kocan et al. 2003)


Siklus perkembangan dari Anaplasma spp. dimulai ketika caplak stadium larva
mengisap darah anjing yang menderita Anaplasmosis, lalu bakteri patogen tersebut
akan masuk dan bereplikasi di dalam usus caplak. Larva caplak yang telah kenyang
karena menghisap darah akan drop-off dan moulting menjadi nimfa, adapun
Anaplasma spp. akan tetap di usus caplak dan terbawa dalam proses moulting tersebut.
Anaplasma spp. akan bermigrasi ke kelenjar saliva ketika nimfa caplak siap untuk
mengisap darah. Perpindahan Anaplasma spp. pada caplak hanya terjadi secara
transtadial. Pada saat caplak mengisap darah, Anaplasma akan masuk ke dalam tubuh
anjing bersamaan dengan keluarnya saliva caplak. Saliva tersebut berperan sebagai
antikoagulasi darah inang. Anaplasma spp. yang telah masuk ke inang akan menuju
target sel dan bereplikasi (Rikihisa 2010).

2.3 Gejala Klinis


Anjing yang terinfeksi Anaplasma spp. umumnya menunjukkan gejala klinis
berupa demam, anemia, kelemahan (Erawan et al. 2018). Tanda-tanda anoreksia dan
muskuloskeletal (kepincangan, nyeri sendi, keengganan untuk bergerak) juga umum
ditemukan. Tanda-tanda klinis lainnya, termasuk batuk (biasanya ringan dan tidak
produktif), polidipsia, tanda gastrointestinal (muntah, diare), splenomegali,
limfadenopati, dan tanda-tanda hemoragik. Tanda-tanda neurologis tidak umum
ditemukan (Rovid-Spickler 2013). Demam, kepincangan dan anoreksia diikuti oleh
depresi, ataxia, dan keengganan untuk bergerak merupakan tanda klinis yang
ditemukan oleh Melter et al. (2007), pada anjing ras Golden Retriever yang terinfeksi
A. phagocytophilum.
Anaplasmosis dapat bersifat per-akut, akut, sub-akut, dan kronis. Masa
inkubasi anaplasmosis berkisar 6-38 hari dan tahap perkembangan 15-45 hari. Fase
subakut ditandai dengan trombositopenia semakin parah, hipergammaglobulinaemia,
leukopenia dan anemia. Anjing yang berada pada fase akut akan mengalami fase
subklinis selama beberapa waktu atau dapat berkembang ke fase kronis. Fase subklinis,
anjing tetap terinfeksi namun asimptomatis (Brooks 2009). Fase kronis, gejala serupa
dengan yang terlihat pada fase akut namun dengan tingkat keparahan yang lebih tinggi.
Gejala pada fase ini yaitu selaput lendir pucat, kelemahan, perdarahan dan penurunan
bobot badan yang signifikan. Pada fase kronis, trombositopenia biasanya parah disertai
dengan anemia dan leukopenia yang jelas (Lakkawar et al. 2003).
BAB III DESKRIPSI KASUS
Studi kasus ini dilakukan dengan mengambil data dari laporan kasus yang
dilakukan oleh Arsyitahlia et al. (2021) mengenai “Anaplasmosis pada Anjing
Peranakan Kintamani”.

3.1 Sinyalemen dan Anamnesis


Seekor anjing ras kintamani berjenis kelamin jantan dengan umur satu tahun,
memiliki bobot badan 9,2 kg. Anjing memilki rambut bewarna hitam putih, berpostur
tubuh tegap, behavior dan habitous pendiam. Anjing dibawa ke Rumah Sakit Hewan
dengan gejala gatal-gatal diseluruh tubuh. Anjing dipelihara dengan cara di lepas
liarkan disekitar rumah. Obat cacing dan vaksin sudah pernah diberikan. Pakan yang
diberikan berupa nasi dicampur hati ayam dua kali sehari setiap pagi dan sore. Anjing
selama dipelihara dilaporkan belum pernah mendapatkan tindakan pengobatan.
Berdasarkan informasi dari pemilik, anjing mengalami gatal-gatal diseluruh tubuh,
lemas, nafsu makan menurun dan eritema diseluruh tubuh.

3.2 Pemeriksaan Fisik


Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dilakukan, ditemukan adanya infestasi
caplak Rhipicephalus sp. diseluruh tubuh anjing, disertai eritema seperti pada Gambar
3.

Gambar 3 Hasil pemeriksaan fisik terlihat adanya infestasi caplak Rhipicephalus sp.
pada bagian kepala (a dan b), kaki (c), dan telinga (d). Hasil pencabutan
caplak di tubuh anjing (e).
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan hematologi
terhadap sampel darah anjing kasus yang tertera pada Tabel 1. Berdasarkan
pemeriksaan hematologi, dapat diintepretasikan anjing kasus mengalami anemia
normositik hiperkromik, selain itu anjing juga mengalami trombositopenia dan
granulositopenia
Tabel 1 Hasil Pemeriksaan hematologi rutin anjing kasus
Hematologi Hasil Nilai Rujukan Satuan Keterangan
WBC 14,1 6,0-15,0 109/L Normal
Limfosit 83,4 10,0-30,0 % Meningkat
Monosit 10,4 3,0-10,0 % Meningkat
Granulosit 6,2 63,0-87,0 % Menurun
RBC 2,33 5,00-8,50 1012/L Menurun
HGB 7,3 12,0-18,0 g/dL Menurun
MCV 65,5 60,0-77,0 fL Normal
MCH 31,3 14,0-25,0 Pg Meningkat
MCHC 47,8 31,0-36,0 g/dL Meningkat
HCT 15,3 37,0-55,0 % Menurun
PLT 29 160-625 109/L Menurun

Pemeriksaan selanjutnya berupa pemeriksaan ulas darah terhadap anjing kasus.


Hasil pemeriksaan ulas darah ditemukan adanya inklusi intrasitoplasmik (morula). Dari
ciri-ciri yang ditemukan menunjukkan adanya parasit darah yaitu Anaplasma spp. yang
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hasil ulas darah menunjukkan adanya inkulsi intrasitoplasmik (tanda panah)
dengan pembesaran 400 kali.
BAB IV PEMBAHASAN

Anaplasmosis pada anjing disebabkan oleh dua agen mikoorganisme obligat


intraseluler Gram-negatif yaitu, A. phagocytophilum atau A. platys (Erawan et al.
2018). Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa pada tubuh anjing di bagian telinga,
punggung dan kaki anjing kasus ditemukan caplak. Caplak Rhipichepalus sp. telah
dilaporkan berperan penting dalam menularkkan penyakit Anaplasmosis. Kondisi
rambut hewan yang tebal dan panjang menjadi pengaruh besar terhadap caplak
dikarenakan kondisinya yang lembap mendukung pertumbuhan dan perkembangan
caplak (Koh et al. 2016).
Selain pemeriksaan hematologi dan ulas darah, metode diagnosis penyakit
anaplasmosis dapat menggunakan tes serologis. Erawan et al. (2018) menyatakan tes
serologi dengan rapid test kit berguna dalam menegakkan diagnosis, karena tes ini
dapat mendeteksi antibodi Anaplasma sp.. Penggunaan rapid test kit dapat
menunjukkan hasil negatif ketika hewan berada pada fase akut penyakit. Hal ini tidak
boleh dianggap sebagai alasan untuk menghentikan terapi, karena antibodi
membutuhkan lebih dari satu minggu untuk berkembang pada kasus akut, sehingga
dapat dideteksi pada infeksi klinis maupun subklinis (Sainz et al. 2015).
Penyakit anaplasmosis dapat ditangani dengan terapi kausatif, simptomatis, dan
suportif. Terapi kausatif diberikan antibiotik doksisiklin, antiparasit ivermectin, terapi
simtomatis diberikan antihistamin dipenhidramine HCl, sedangkan terapi suportif
diberikan pemberian vitamin. Doxycycline merupakan obat pilihan untuk mengobati
anjing penderita anaplasmosis dengan mekanisme kerja menghambat sintesis protein
bakteri dengan mengikat ribosom 30S. Sebagian besar anjing menunjukkan perbaikan
klinis dalam 24-48 jam setelah pengobatan (Carrade et al. 2009). Ivermectin memiliki
mekanisme kerja meningkatkan pelepasan GABA (Gamma Amino Butyric Acid) pada
presinaptik neuron. GABA bertindak sebagai neurotransmiter penghambat dan
memblokir stimulasi pasca-sinaptik dari neuron yang berdekatan pada nematoda atau
serat otot pada artropoda, menyebabkan kelumpuhan parasit sampai kematian parasit
(Plumb 2011).
Pengendalian terhadap Anaplasmosis yang dapat dilakukan diantaranya, yaitu
hewan yang terinfeksi diasingkan dari hewan rentan lain, pengendalian dengan
pemberantasan terhadap vektor penyakit yaitu caplak. Kandang hewan dan tempat
sekitarnya dijaga kebersihannya, hewan yang terinfeksi anaplasmosis dilakukan
pengobatan. Selain itu, hewan yang mati karena anaplasmosis harus dikubur.
BAB V SIMPULAN

Anaplasmosis merupakan penyakit yang menyerang sel darah merah,


ditularkan oleh caplak, dan disebabkan oleh mikroba patogen dari genus Anaplasma
yang termasuk bakteri intraeritrositik obligat. Anjing yang terinfeksi Anaplasma spp.
umumnya menunjukkan gejala klinis berupa demam, anemia, kelemahan.
Pengendalian terhadap anaplasmosis dapat dilakukan dengan pemberantasan terhadap
vektor penyakit yaitu caplak, dan menjaga kebersihan kendang.

DAFTAR PUSTAKA

Alfi N, Ferasyi TR, Rahmi E, Adam M, Nasution I, Ismail. 2015. Prevalensi perubahan
perilaku anjing lokal (Canis familiaris) jantan yang dikandangkan dengan
prinsip kesejahteraan hewan selama 60 hari. Jurnal Medika Veterinaria 9(2):
1-5.
Alleman AR, Wamsley HL. 2008. An update on anaplasmosis in dogs. Vet Medicine
103: 212-222.
Arsyitahlia N, Suartha N, Soma IG. 2021. Laporan kasus: Anaplasmosis pada anjing
peranakan kintamani. Indonesia Medicus Veterinus. 10(2): 304-315.
Atif FA (2015). Anaplasma marginale and Anaplasma phagocytophilum: Rickettsiales
pathogens of veterinary and public health significance. Parasitology
Research. 114 (11): 3941–3957.
Boone DR, Richard WC, George MG. 2001. Bergey’s Manual of Systematic
Bacteriology. Berlin (DE): Springer Berlin Heidelberg.
Brooks WC. 2009. Ehrlichia Infection in Dogs. Veterinary Information Network, Inc.
[diakses pada 2022 Apr 1]. Tersedia dari:
www.VeterinaryPartner.com/Content.plx?P=A&A=2103.
Carrade DD, Foley JE, Borjesson DL, Sykes JE. 2009. Canine Granulocytic
Anaplasmosis: A Review. J Vet Intern Med 23: 1129-1141.
Dubie T, Mohammed Y, Terefe G, Muktarand Y, and Tesfaye J. 2014. An Insight
Review On Canine Erlichiosis With Emphasis On Its Epidemiology And
Pathogenesity Importance. Glob. J. Vet. Med. 2(4):60-67.
Dumler JS, Barbet AF, Bekker CPJ, Dasch GA, Palmer GH, Ray SC, Rikihisa Y,
Rurangirwa FR. 2001. Reorganization of the genera in the families
Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Richettsiales: unification of
some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with ehrlichia and
Ehrlichia with Neorichetsia, descritions of six new spesies combinations and
degination of Ehrichia equi and “HGE agent” as subjective synonyms of
Ehrlichia phagocytophila. International Journal of Systematic and Evolutionary
of Microbiology. 51(1):2145–2165. doi:10.1099/00207713-51- 6-2145.
Eisawi NM, El Hussein ARM, Hassan DA, Musa AB, Hussien MO, Enan KA, Bakheit
MA. 2020. A molecular prevalence survey on Anaplasma infection among
domestic ruminants in Khartoum State, Sudan. Tropical Animal Health and
Production 54(4): 1845-1852. doi: 10.1007/s11250-019-02176-7. Feradis.
2014. Reproduksi Ternak. Bandung (ID): Alfabeta.
Erawan IGMK, Duarsa BSA, Suartha IN. 2018. Laporan kasus: anaplasmosis pada
anjing pomeranian. Indonesia Medicus Veterinus 7(6): 737-742.
Erawan IGMK, Duarsa BSA, Suartha IN. 2018. Laporan Kasus: Anaplasmosis pada
Anjing
Pomeranian. Indonesia Medicus Veterinus 7(6): 737-742.
Hadi UK, Soviana S, Pratomo IRC. 2016. Prevalence of ticks and tick-borne diseases
in Indonesian dogs. Journal of Veterinary Science and Technology. 7(3):1-7.
Isikhnas.com. 2021. Penyakit Anaplasmosis. [diunduh pada 2022 Apr 1]. Tersedia
pada http://wiki.isikhnas.com/images/d/dd/Penyakit_ANAPLASMOSIS.pdf
Khatat SE, Daminet S, Kachani M, Leutenegger CM, Duchateau L, Amri HE, Hing M,
Azrib
R, Sahibi H. 2017. Anaplasma spp. in dogs and owners in north-western Morocco.
Parasites and Vectors 10: 202-211.
Kocan KM, Feunte JDL, Blouin EF, Coetzee JF, Swing SA. 2010. The natural history
of Anaplasma marginale. Veterinary Parasitology. 167(2):95–107. doi:
10.1016/j.vetpar.2009.09.012.
Kocan KM, Fuente J, Guglielmone AA, Mele ́ndez RD. 2003. Antigens and
alternatives for control of Anaplasma marginale infection in cattle.J Clin
Microbiol. 16(4):698-712.
Koh FX, Panchadcharam C, Tay ST. 2016. Vector-Borne Diseases in Stray Dogs in
Peninsular Malaysia and Molecular Detection of Anaplasma and Ehrlichia spp.
from Rhipicephalus sanguineus (Acari: Ixodidae) Ticks. Journal of Med
Entomology 53: 183- 187.
Lakkawar AW, Nair MG, Varshney KC, Sreekrishnan R, Rao VN. 2003. Pathology of
canine
monocytic erlichiosis in a german shepherd dog. Slov Vet Res 40(2): 119-128.
Melter O, Stehlik I, Kinska H, Volfova I, Ticha V, Hulinska D. 2007. Infection with
Anaplasma phagocytophilum in a young dog: a case report. Vet Medicina 52:
207-212.
Plumb DC. 2011. Plumb’s Veterinary Drug Handbook seventh Edition. USA:
PharmaVet Inc.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC, Fanning S, Maguire D.
2011. Veterinary Microbiology and Microbial Disease 2𝑛𝑑 ed. Oxford (UK):
Wiley-Blackwell Pub.
Rikihisa Y. 2010. Anaplasma phagocytophilum and Ehrlichia chaffeensis: Subversive
Manipulators of Host Cells. Nat Rev Microbiol 8(5): 328-39.
Rovid-Spickler A. 2013. Ehrlichiosis and Anaplasmosis: Zoonotic Species. Institute
For International Cooperation In Animal Biologic. Iowa. Iowa State
University. Hlm. 1-14.
Sainz A, Roura X, Miró G, Estrada-Peña A, Kohn B, Harrus S, Solano-Gallego L.
2015. Guideline for veterinary practitioners on canine Ehrlichiosis and
anaplasmosis in Europe. Parasites & Vectors 8(75): 1-20.
Sanne VW. 2012. The communicative relationship between human and dog;
Understanding the relationship between domestic dogs (Canis lupus familiaris)
and humans from a biological point of view. [Master Thesis]. Utrecht
Netherlands(NL) Utrecht University.
Zaid TMT. 2017. Genetic Characterization of Anaplasma and Ehrlichia in Ixodid Ticks
and Animals from Palestine: Spatial Distribution. [THESIS]. Genetic
Characterization of Anaplasma and Ehrlichia in Ixodid Ticks and Animals from
Palestine: Spatial Distribution. Jerusalem(PS): Al-Quds University.
Zhou Z, Li K, Sun Y, Shi J, Li H, Chen Y, Yang H, Li X, Wu B, Li X, Wang Z, Cheng
F, Hu S. 2019. Molecular epidemiology and risk factors of Anaplasma spp.,
Babesia spp. and Theileria spp. infection in cattle in Chongqing, China. PLoS
ONE 14(7):1–11.

Anda mungkin juga menyukai