Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KELOMPOK

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI ENDOPARASIT


PADA SAMPEL FESES DAN DARAH DOMBA

Disusun oleh:

Kelompok H PPDH Periode 2 2021/2022

Dibimbing oleh:
Dr. drh. Yusuf Ridwan, M.Si.

BAGIAN ENDOPARASIT DAN EKTOPARASIT


PUTARAN LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
SEKOLAH KEDOKTERAN HEWAN DAN BIOMEDIS
IPB UNIVERSITY
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................1
Latar Belakang..............................................................................................................................1
Tujuan...........................................................................................................................................2

BAB II METODE................................................................................................................................3
Waktu dan Tempat........................................................................................................................3
Bahan dan Alat..............................................................................................................................3
Prosedur.........................................................................................................................................3
Koleksi Sampel Feses....................................................................................................................3
Koleksi Sampel Darah...................................................................................................................3
Pemeriksaan Sampel Feses............................................................................................................3
Pemerikasaan Sampel Darah.........................................................................................................5
Identifikasi Telur Cacing...............................................................................................................5

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................................................6

BAB III PENUTUP...........................................................................................................................11


Simpulan......................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................12

ii
BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang
Parasit merupakan organisme yang hidup di luar atau di dalam tubuh organisme
lain. Daur hidup parasit yang seperti ini akan mengganggu kehidupan inang.
Keberadaan parasit akan mempengaruhi kualitas dan kesehatan inang yang terinfeksi.
Parasit dapat dikelompokan menjadi dua bagian apabila dilihat dari tempat hidupnya,
yaitu endoparasit dan ektoparasit. Endoparasit adalah parasit yang hidup dalam tubuh
inang, contohnya adalah cacing dan protozoa. Sedangkan ektoparasit adalah parasit
yang hidup di luar tubuh inang contohnya hewan kelas insekta seperti pinjal dan kutu
dan arachnida seperti caplak dan tungau (Natadisastra dan Ridad 2009). Penyakit
parasit pada hewan merupakan salah satu masalah penting yang sering ditemukan.
Adanya infestasi parasit dapat menyebabkan gangguan kesehatan hewan, kerugian
ekonomi bahkan dapat menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Parasit adalah
organisme yang bersifat merugikan inangnya dimana seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya bergantung pada organisme lain dalam memperoleh makanan atau nutrisi
untuk perkembangbiakannya.
Penyakit parasitik terjadi pada manusia maupun hewan. Dalam dunia veteriner,
terdapat beberapa hewan yang menjadi fokus utama dalam hal identifikasi, pencegahan,
pengendalian, dan pengobatan terjadinya infestasi parasit. Kuda, ruminansia, hewan
kesayangan, dan unggaspun tidak luput dari penyakit parasitik, baik yang disebabkan
oleh endoparasit maupun ektoparasit. Endoparasit yang umum menyerang kuda antara
lain adalah cacing dan protozoa. Cacing yang umum menginfeksi kuda berasal dari
kelas nematoda khususnya dari ordo Strongylida, Ascaridida, Rhabditida, Oxyurida,
dan Spirurida. Sedangkan protozoa yang umum berada di kuda adalah Eimeria
leuckarti, Giardia intestinalis, Cryptosporodium spp, dan Cycloposthium edentatum.
Kutu dan tungau merupakan ektoparasit yang dapat ditemukan pada kuda. Terdapat dua
jenis kutu yang dapat ditemukan yaitu kutu penggigit (Damalinia equi) dan kutu
penghisap darah (Hematopinus asini) (Schaefer 2011).
Hewan kesayangan yang umumnya didominasi oleh anjing dan kucing di
Indonesia, memiliki resiko mengalami penyakit parasitik yang juga bersifat zoonosis
bagi manusia. Cacing Ancylostoma atau hookworm, memiliki stase hidup larva yang
dapat berpenetrasi ke permukaan kulit sehingga menyebabkan cutaneus larva migran
pada manusia (Shepherd et al. 2018). Selain itu, anjing dapat berperan dalam
penyebaran penyakit ektoparasit ke manusia (Budiana 2009). Beberapa jenis ektoparasit
yang sering ditemukan pada anjing yaitu kelas Insekta (pinjal dan kutu) dan Arachnida
(caplak dan tungau). Endoparasit yang sering ditemukan pada anjing adalah cacing
seperti Toxocara, Toxascaris, Dypillidium, Taenia, Trichuris, Ancylostoma. Sedangkan
jenis protozoa yang ditemukan pada anjing seperti Giardia, Isospora, dan parasit darah
(Babesia, Anaplasma, dan Ehrlichia).
Endoparasit secara alami juga dapat ditemukan pada jenis unggas liar dan
peliharaan. Beberapa spesies parasit cacing sering ditemukan secara kebetulan pada
waktu melakukan bedah bangkai pada unggas. Parasit cacing yang penting pada ayam,
meliputi Nematoda, Cestoda dan Trematoda (Tabbu 2012). Umumnya infeksi cacing
pada gastrointestinal ayam sering disebabkan oleh Nematoda (cacing gilig) dan Cestoda
(cacing pita), sedangkan infeksi oleh Trematoda jarang terjadi. Pengendalian infeksi
cacing tersebut membutuhkan identifikasi spesies yang tepat dan pengetahuan tentang
siklus hidup parasit. Kasus infeksi oleh Nematoda sering terjadi karena siklus hidupnya
1
langsung atau tidak memerlukan inang perantara, sedangkan Cestoda dan Trematoda
mempunyai siklus hidup tidak langsung dan memerlukan inang perantara untuk
melengkapi siklus hidupnya. Nematoda yang sering menginfeksi ayam petelur antara
lain Ascaridia galli, Heterakis sp. dan Capillaria sp., sedangkan Cestoda adalah
Raillietina sp. (Retnani dan Satria 2009). Selain parasit dari kelas Nematoda, Cestoda
dan Trematoda, protozoa juga menyerang unggas. Protozoa di dalam tubuh unggas
merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kesehatan dan kelayakan
ayam untuk dikonsumsi. Beberapa jenis protozoa yang bersifat parasitik pada ayam
adalah spesies dari genus Eimeria sp. (Tabbu 2012).
Ternak ruminansia merupakan hewan yang banyak dipelihara sebagai
komoditas pangan dan sebagai ternak simpanan di Indonesia. Masalah parasitik umum
yang terjadi dalam pemeliharaan ternak ruminansia baik ruminansia kecil maupun
ruminansia besar ialah penyakit akibat parasit cacing saluran pencernaan. Beberapa
jenis cacing nematoda yang banyak terdapat pada domba dan kambing di Indonesia, di
antaranya adalah Haemonchus spp., Trichostrongylus spp., Cooperia spp.,
Oesophagostomum spp. dan Bunostomum spp. (Hanafiah et al 2002). Gangguan yang
ditimbulkan akibat terserang cacing nematoda saluran pencernaan berupa penurunan
bobot badan dan timbulnya kematian, terutama pada hewan muda (Hanafiah et al 2002;
Nurhidayah et al. 2019). Pemeriksaan feses biasanya dilakukan untuk mengetahui
infeksi telur nematode, cestoda dan ookista pada domba.

Tujuan
Tujuan dari praktikum untuk mengisolasi dan mengidentifikasi endoparasit pada
10 sampel yang diambil dari hewan domba berbeda.

2
BAB II METODE

Waktu dan Tempat


Kegiatan ini dimulai sejak tanggal 17 sampai 23 Mei 2022. Sampel dikoleksi
dari lima jenis hewan yaitu sapi, kuda, domba, unggas, dan hewan peliharaan yang
berasal dari Unit Rehabilitasi dan Reproduksi Sekolah Kedokteran Hewan dan
Biomedis, IPB University. Identifikasi selanjutnya dilaksanakan di Laboratorium
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Rumah Sakit Hewan Pendidikan, SKHB IPB
University.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan yaitu sampel darah, feses, alkohol 70%, larutan
pengapung, giemsa 10%, minyak emersi, aquades, methanol dan vermikulit. Alat yang
digunakan yaitu gloves, kapas, syringe, coolbox, tabung EDTA, kantong plastik, spidol,
kertas label, refrigerator, tabung reaksi dan rak, gelas objek, cover glass, gelas plastic,
stik kayu, tusuk gigi, saringan, timbangan digital, gelas ukur, pipet tetes, dan
mikroskop.

Prosedur
Koleksi Sampel Feses
Sampel feses diperoleh dengan mengambil langsung feses segar. Sampel feses
kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik transparan dan diberi label. Kantong-
kantong plastik tersebut disimpan sementara di dalam coolbox yang berisi ice packs
untuk selanjutnya dipindahkan ke dalam refrigerator. Sampel feses terus disimpan
hingga seluruh proses pengamatan selesai dilakukan.

Koleksi Sampel Darah


Lokasi pengambilan darah berbeda-beda tergantung jenis hewan. Pada ungags
darah diambil pada vena brachialis. Lokasi pengambilan darah didisinfeksi dengan
kapas alkohol 70%. Tabung EDTA yang akan digunakan disiapkan untuk menyimpan
sampel darah yang telah diambil. Selanjutnya dilakukan pengambilan darah
menggunakan syringe kemudian darah dimasukkan ke dalam tabung EDTA agar tidak
terjadi penggumpalan, setelah itu tabung diberi label dan tabung EDTA disimpan
sementara di dalam coolbox yang berisi ice packs untuk selanjutnya dipindahkan ke
dalam refrigerator.

Pemeriksaan Sampel Feses


Pemeriksaan sederhana/Natif
Sampel feses yang diambil adalah feses bagian dalam dengan menggunakan
batang es krim. Feses tersebut dihomogenkan dengan aquadest di dalam gelas. Setelah
itu feses tersebut disaring menggunakan penyaring agar tidak ada debris-debris dan
pengamatan lebih mudah. Hasil fitrat tersebut dimabil satu tetes dan ditaruh di atas
glass object. Pengamatan dilakukan dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 X.
3
Untuk membuat kontras anatara telur dengan yang lain maka ditambahkan satu tetes
eosin.

Metode Flotasi Sederhana


Metode ini bertujuan untuk menemukan keberadaan telur cacing Nematoda dan
Cestoda. Feses ditimbang sebanyak 2 g, kemudian dimasukkan ke dalam gelas plastik
dan ditambahkan 58 ml larutan pengapung. Campuran feses dan larutan pengapung
diaduk dan disaring menggunakan saringan teh, kemudian dihomogenkan dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga terbentuk meniskus di permukaan tabung.
Cover glass diletakkan di atas tabung reaksi tersebut dan ditunggu selama 15 menit,
kemudian cover glass diangkat dan diletakkan di atas gelas objek, lalu diperiksa di
bawah mikroskop dengan pembesaran 10 X 10 dan 40 X 10 (Nurhayati et al. 2021).

Metode McMaster
Metode ini bertujuan untuk menghitung jumlah telur cacing serta menduga
derajat infeksinya. Feses ditimbang sebanyak 2 g kemudian dicampurkan dengan 58
mL larutan pengapung. Campuran tersebut dihomogenkan dan disaring menggunakan
penyaring. Kemudian, campuran tersebut dihomogenkan kembali sebelum dimasukkan
ke dalam kamar hitung menggunakan pipet. Cairan dimasukkan ke dalam kamar hitung
McMaster dengan menggunakan pipet dan didiamkan selama 3-5 menit.

Jumlah telur cacing dan ookista dalam tiap gram tinja (TTGT atau OTGT) dapat
dihitung dengan rumus berikut:
n V total
TTGT atau OTGT = X
bt V hitung
Keterangan:
n = jumlah telur yang ditemukan pada kamar hitung McMaster slide
bt = berat tinja/feses dalam satuan gram
Vtotal = Volume suspense tinja dan larutan pengapung
Vhitung = Volume cairan yang dimasukkan kedalam kamar

Sedimentasi
Sampel feses ditimbang sebanyak 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam
gelas. Kemudian akuades ditambahkan sebanyak 58 ml ke dalam gelas dan
dihomogenkan. Kemudian disaring menggunakan saringan biasa diulang sebanyak 3
kali. selanjutnya dilakukan penyaringan bertingkat dengan ukuran lubang saringan
mulai dari 500 µm, 100 µm, dan 45 µm. Filtrat atau hasil saringan yang paling akhir
diambil dan diamati dengan menggunakan kaca objek khusus untuk sedimentasi.
Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 10 X. Metode
sedimentasi tidak hanya digunakan untuk pemeriksaan feses secara kualitatif, namun
dapat juga digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif telur trematoda yang berada di
dalam feses.
Pemupukan dan Sporulasi

4
Pemupukan larva dilakukan pada feses yang positif mengandung telur
nematode, cestoda ataupun ookista. Pertama cawan petri disiapkan terlebih dahulu,
masukan sejumlah feses dan campurkan dengan vermiculeite dengan perbandingan 1 :
4, setelah keduanya tercampur rata, sejumlah NaCl fisiologis diteteskan pada campuran
tersebut hingga campuran cukup lembab. Kemudian pupukan didiamkan selama 7-10
hari dalam suhu ruang. Setelah didiamkan, ambil sejumlah pupukan dalam kasa
kemudian diikat. Kain kasa diikat pada penumpu sehingga dapat tergantung diatas
baermann glass, dan biarkan pupukan terendam pada permukaan gelas yang berisi air.
Larva hidup dari pupukan akan bermigrasi ke bawah, larva akan berenang menuju dasar
gelas. Kemudian larva dapat diambil menggunakan pipet dan diidentifikasi jenis
cacingnya.

Pemerikasaan Sampel Darah


Preparat Ulas Darah
Preparat ulas difiksasi kedalam metanol dan dibiarkan selama 5 menit,
kemudian dikeringkan. Setelah kering dimasukkan ke dalam pewarna Giemsa 10%
selama 30 menit. Preparat ulas yang telah diwarnai dicuci dengan aquades dan
dikeringkan. Preparat ulas ditutup dengan gelas penutup, kemudian diteteskan minyak
emersi sebanyak satu tetes, dan diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran
1000 X.
Modifikasi Knott Test
Sampel darah diambil dari anjing melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak 2
ml menggunakan syringe 5 ml. Kemudian sampel darah dimasukkan ke tabung EDTA.
Sebanyak 1 ml sampel darah dimasukkan dalam tabung dan ditambahkan 9 ml formalin
2%. Kemudian sampel disentrifugasi selama 5 menit pada 500 G. Supernatan sampel
dibuang sehingga tersisa buffy coat dan sel darah sampel. Sebanyak 2 x 10 μl sedimen
diambil dan diletakkan pada gelas objek, lalu ditutup dengan kaca penutup. Amati pada
mikroskop pembesaran 1000 X. Prinsip dari uji ini yaitu untuk mendeteksi adanya
mikrofilaria pada sedimentasi sampel darah. Sampel yang digunakan merupakan darah
hewan anjing yang dikoleksi pada waktu jam 12 malam atau dini hari.

Identifikasi Telur Cacing


Pengelompokan jenis telur cacing berdasarkan kelas cacing Cestoda,
Trematoda, atau Nematoda. Adapun identifikasi setiap tipe telur berdasarkan morfologi
dan ukuran tipe telur Ascarid, Strongylid, Oxyurid, atau Trichurid menurut Noble &
Noble (1989) dan Taylor et al. (2007).

5
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

Setelah dilakukan koleksi feses dari kesepuluh domba, dilakukan pemeriksaan


sesuai dengan metode yang dilakukan pada praktikum. Didapatkan hasil pemeriksaan
feses domba yaitu:
Tabel 1. Pemeriksaan Feses pada Domba
Domba
Sampel
Flotasi McMaster Sedimentasi Natif TTGT
feses
(saringan
domba
bertingkat)
D01 550/gram
+ 11 - -
feses
D02 850/gram
+ 17 - Eimeria
feses
D03 - - - - -
D04 8 (7 tipe 350/gram
strongyloid feses dan
+ - -
dan 1 tipe 50/gram
trichuris) feses
D05 50/gram
+ 1 - Eimeria
feses
D06 - - Eimeria
D07 250/gram
+ 5 - -
feses
D08 250/gram
+ 5 - -
feses
D09 + 0 - - -
D10 - - - Eimeria -
Keterangan: + = Positif
– = Negatif

Hasil pemeriksaan laboratorium sampel feses dengan metode pengapungan atau


flotasi dari 10 sampel menunjukkan 7 sampel feses domba terinfeksi endoparasit berupa
diantaranya telur tipe strongyloid dan tipe trichuris. Prinsip dari pemeriksaan dengan
metode pengapungan adalah pemeriksaan feses yang didasarkan bahwa telur parasit dan
ookista yang berat jenis lebih rendah dibandingkan dengan larutan pengapung
(Demelash et al. 2016). Sampel D01, D02, D04, D05, DO7 dan D08 yang terinfeksi
telur kemudian dilakukan perhitungan menggunakan metode McMaster. Prinsip dari
metode McMaster adalah menghitung jumlah telur dan ookista yang diapungkan
dengan larutan pengapung jenuh menggunakan kamar hitung. Hasil McMaster
menunjukkan pada D01 terdapat TTGT sebanyak 550/gram feses, sampel D02 terdapat
TTGT sebanyak 850/gram feses, sampel D04 terdapat TTGT sebanyak 350/gram feses
dan 50/gram feses untuk tipe telur trichuris, sampel D05 terdapat TTGT sebanyak
50/gram feses, sampel D07 terdapat TTGT sebanyak 250/gram feses dan sampel D08
terdapat TTGT sebanyak 250/gram feses. Menurut Kaplan (2014) derajat infeksi rendah
apabila terdapat di bawah 50 butir telur per gram feses dan infeksi derajat tinggi
6
ditunjukan dengan jumlah telur per gram feses di atas 100. Hasil TTGT pada domba
menunjukkan derajat infeksi sedang untuk tipe telur trichuris dan infeksi tinggi untuk
tipe telur strongyloid. Melalui uji natif diketahui bahwa domba terinfeksi parasit dengan
ditemukannya protozoa pada sampel. Sampel D02, D05, D06 dan D10 dinyatakan
terinfeksi protozoa setelah dilakukan pengamatan dibawah mikroskop dengan preparat
yang sudah diteteskan lugol.
Telur yang ditemukan diduga merupakan parasit Strongylus spp., Trichuris spp.
dan protozoa Eimeria spp. (Coccidia) yang umumnya ditemukan pada saluran
pencernaan ruminansia. Beberapa nematoda gastrointestinal yang dapat ditemukan pada
kambing dan domba adalah Trichostrongylus, Oesophagostomum, Bunostomum,
Chabertia, dan Haemonchus (Hanafiah et al. 2002). Genus terebut berasal dari Ordo
Strongylida yang mencakup nematoda penting dalam saluran pencernaan ruminansia,
kuda, dan babi. Individu betina dari sebagian besar anggota Ordo Strongylida
menghasilkan tipe Strongyl. Strongyloides memiliki generasi seksual yang hidup bebas
di alam serta perkembangan sebagai parasit di dalam tubuh hewan. Oleh karena itu,
Strongyloides memiliki dua jalur dalam menghasilkan telur yang akan berkembang
menjadi larva infektif dan kemudian cacing dewasa (Levine 1990). Nematoda
gastrointestinal pada hewan ruminansia merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi
produktivitas dan umumnya tidak menimbulkan kematian, tetapi bersifat menahun yang
dapat mengakibatkan penurunan berat badan, penurunan produktivitas, infeksi berat
dari cacing dapat menyebabkan gangguan pencernaan dan terhambatnya pertumbuhan
pada hewan muda (Subekti et al. 2007). Infeksi koksidia umumnya bersifat subklinis,
namun umumnya dapat menyebabkan diare pada ruminansia muda. Pada kasus tertentu,
infeksi koksidia dapat menyebabkan diare berdarah (Zajac dan Conboy 2012). Menurut
Nurhidayah et al. (2019), infeksi ookista oleh parasit protozoa Eimeria spp. berkaitan
erat dengan beberapa aspek manajemen peternakan, seperti sistem perkandangan
tertutup, pemberian pakan di lantai kandang, sumber air yang kurang diperhatikan
kebersihannya, tipe lantai kandang yang tidak bersemen, hingga kepadatan populasi
dalam satu kawanan.

Gambar 1. Diduga telur strongyle yang ditemukan pada feses domba nomor 2

7
Gambar 2. Diduga telur trichuris yang ditemukan pada feses domba nomor 4

Gambar 3. Diduga protozoa Eimeria spp. ditemukan pada feses domba nomor 2

Setelah dilakukan pemupukan terhadap feses yang ditemukan telur nematoda.


Metode baerman yang merupakan metode lanjutan tidak dilakukan karena tidak ada
larutan sodium thiosulphate. sodium thiosulphate pada metode baerman berfungsi untuk
dekolorisasi atau menghilangkan warna sampel feces agar larva dapat terlihat secara
jelas dan kontras. Penggunaan sodium thiosulphate harus tepat pemberian volumenya
karena jika berlebihan warna larva akan pudar sehingga pemeriksaan tidak kontras dan
jelas (Roepstorff dan Nansen 1998)
Feses yang telah diidentifikasi positif terduga ookista Eimeria spp. lalu diuji
dengan metode sporulasi. Uji sporulasi digunakan untuk membedakan antara Eimeria
spp. dengan protozoa lain dari famili Eimiriidae seperti isospora (Oluwadare 2004).
Hasil uji sporulasi menunjukkan bahwa ookista yang ditanam belum mengalami
sporulasi. Hal ini dapat diakibatkan karena tidak sesuainya waktu uji yang dilakukan.
Uji sporulasi hanya dilakukan selama ± 1 hari, sedangkan berdasarkan arahan dokter
pembimbing dan laboran yang bertugas menganjurkan uji sporulasi dilakukan selama 2
hari. Uji sporulasi juga dapat berhasil negatif akibat kesalahan praktikan saat
melakukan identifikasi di bawah mikroskop serta dapat juga disebabkan oleh faktor
suhu dan waktu (Taylor et al. 2007). Suhu yang digunakan di ruangan praktikum
8
kadang-kadang menggunakan AC sehingga suhu di kultur kurang optimal yang
menyebabkan sporulasi ookista terhambat dan minimnya waktu yang digunakan hingga
melakukan identifikasi di bawah mikroskop yaitu 2 hari. Mungkin jika pemupukan
dilakukan hari ke 3 dan 4 akan terlihat ookista yang bersporulasi dengan jelas. Siklus
hidup Eimeria sp. bermula dari ookista yang belum bersporulasi pada tinja yang
dikeluarkan (satu massa protoplasma berinti yang dilindungi dinding sel). Inti ookista
akan membelah dua kali dan massa protoplasma akan membentuk empat badan kerucut
(conical bodies) yang melingkar dari pusat massa jika pada kondisi yang sesuai, yaitu
pada suhu kamar sekitar 27°C dan kelembaban tinggi. Setiap badan kerucut yang
berinti akan membentuk sporoblast yang berbentuk bulat, sedangkan sisa protoplasma
pada beberapa spesies akan membentuk badan residu ookista. Setiap sporoblast akan
mensekresikan dinding dari material yang refraktil dan menjadi sporokista. Protoplasma
akan membelah menjadi dua bentuk seperti pisang yang disebut dengan sporozoit.
Protoplasma yang masih tersisa dengan sporokista pada beberapa spesies akan
membentuk sporocyst residual bodies yang disebut dengan stieda bodies. Bentuk dan
ukuran Eimeria spp. mirip satu sama lain sehingga sulit diidentifikasi secara
mikroskopis. Struktur internal dari ookista yang telah sporulasi merupakan ciri yang
dapat digunakan untuk membedakan Eimeria dengan protozoa dari famili Eimiriidae
yang lainnya seperti isospora (Oluwadare 2004). Siklus hidup Eimeria spp. terjadi di
dalam tubuh inang (endogenus) dan di lingkungan (eksogenus). Eimeria spp. hanya
membutuhkan inang tunggal untuk melengkapi seluruh proses siklus hidupnya yang
bersifat langsung. Parasit ini tidak memerlukan vektor biologis untuk
perkembangbiakannya, tetapi vektor mekanik seperti lalat atau insekta lainnya
dilaporkan membantu dalam menyebarkan ookista infektif dari tinja ke lingkungan
yang baru (Indraswari et al. 2017).

Gambar 4. Ookista terduga Eimeria spp. yang ditemukan pada uji sporulasi

Pengendalian pada kasus infeksi nematoda, trematoda dan parasit protozoa


dapat dilakukan dengan memastikan kebersihan kandang dan dilakukannya rotasi
kandang maupun padang penggembalaan apabila domba tidak dikandangkan. Secara
ideal seharusnya suatu tempat harus dibiarkan tanpa ada penggembalaan selama 2-3
bulan sehingga larva infektif yang ada di rumput sebagai akibat kontaminasi oleh tinja
dari ternak tertular, dapat mati. Infeksi oleh kedua cacing disebabkan oleh tertelannya
telur infektif oleh inang, maka kebersihan kandang harus selalu dijaga. Penempatan
9
pakan di wadah khusus akan lebih baik karena menghindari kontaminasi pakan oleh
feses. Pemberian antihelmintik dapat dilakukan sebagai pengendalian maupun
pengobatan. Penggunaan kelas benzimadizoles sebagai antihelmintik dapat digunakan
karena terbukti mampu efektif memberantas cacing dewasa maupun larva. Mekanisme
kerja obat ini yaitu menganggu metabolisme energi dengan menjadi inhibitor fumarat
reduktase. Sehingga cacing tidak memiliki energi menyebabkan cacing mati. Namun
obat ini tidak digunakan pada hewan yang sedang bunting (Infovet 2008). Sedangkan
untuk pilihan lain untuk membunuh larva dapat digunakan Moxidectin dan
Fenbendazole. Pada kasus parascariasis dapat digunakan Ivermectin dengan dosis 0.2
mg/kg berat badan (Kumar dan Khan 2013).
Pengendalian terhadap coccidiosis terutama Eimeria spp. dapat dilakukan
dengan perbaikan manajemen dan tata kelola peternakan. Pengembalian berupa tata
kelola peternakan tersebut di antaranya perbaikan sanitasi dan higienitas, pemisahan
kandang induk dan anak, sistem perkandangan yang cukup pencahayaan dan oksigen,
pengaturan kepadatan kandang, pemberian pakan dan minum bebas ookista, rotasi
padang pengembalaan serta pengolahan limbah ternak (Oluwadare 2004). Pencegahan
coccidiosis dapat dilakukan untuk sapi antara lain: Membersihkan tempat pakan dan
minum secara teratur, Membersihkan feses dari kandang secara teratur sebelum
pemberian pakan, Membersihkan dan mendisinfeksikan kandang dan menjaga agar
kandang tetap kering secara teratur, Hindarkan agar sapi tidak berdesakkan,
Mengurangi terjadinya penumpukan feses dalam kandang, menggunakan koksidiostat
dalam pakan dan minumnya, menghindari penggembalaan sapi di dekat kolam atau
genangan air yang tercemar ookista dan membersihkan tempat minum secara teratur.

Tabel 2. Pemeriksaan Ulas Darah


Sampel Domba
feses Ulas Darah Knott Test
domba
D01 - TD
D02 - TD
D03 - TD
D04 - TD
D05 - TD
D06 - TD
D07 - TD
D08 - TD
D09 - TD
D10 - TD
Keterangan: + = Positif
– = Negatif
TD = Tidak Dilakukan

Hasil pemeriksaan ulas darah dengan pewarnaan Giemsa pada sampel darah
domba tidak ditemukan adanya parasit yang menginfeksi darah domba. Hal ini berarti
10
domba yang terdapat di URR SKHB IPB negatif terhadap parasit yang menginfeksi
darah. Dapat diketahui bahwa manajemen sanitasi, dan pengendalian penyakit terutama
penyakit parasit darah pada domba di daerah ini tergolong ke dalam pengendalian yang
baik.

11
BAB III PENUTUP

Simpulan
Endoparasit terutama cacing nematoda dapat menginfeksi ruminansia kecil.
Pada domba yang diperiksa positif ditemukan telur jenis Strogyloid dan Trichuris, serta
ditemukan pula protozoa diduga Eimeria spp. Diagnosis dari penyakit ini dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan memeriksa gejala klinis, identifikasi
feses dan pemeriksaan post-mortem. Pengendalian infeksi dapat dilakukan dengan
menjaga kebersihan kandang dan mencegah kontaminasi pakan dan sumber minum dari
feses. Pengobatan dapat menggunakan antihelmintik dari kelas Fenbendazole,
Moxidectin, dan Ivermectin.

12
DAFTAR PUSTAKA

Demelash K, Abebaw M, Negash A, Alene B, Zemene M, Tilahun M. 2016. A review


on diagnostic techniques in veterinary Helminthology. Nature and Science.
14(7):109 – 118.
Hanafiah M, Winaruddin, Rusli. 2002. Studi infeksi nematoda gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. Jurnal Sains
Veteriner. 20(1): 15 – 19.
Hanafiah M, Winaruddin, Rusli. 2002. Studi infeksi nematoda gastrointestinal pada
kambing dan domba di rumah potong hewan Banda Aceh. Jurnal Sain
Veteriner. 20(1):15-19.
Indraswari AAS, Suwiti NK, Apsari IAP. 2017. Protozoa gastrointestinal: Eimeria
auburnensis dan Eimeria bovis menginfeksi sapi Bali betina di Nusa Penida.
Buletin Veteriner Udayana. 9(1): 112 – 116.
Infovet. 2008 Juni. Cacingan dan Pengobatannya. Infovet Majalah Peternakan dan
Kesehatan Hewan [internet]. [diunduh 19 Oktober 2016]. Tersedia pada:
http://www.majalahinfovet.com/2008/07/cacingan-dan-pengobatannya.html
Kaplan JP. 2014. Centers for Disease Control and Preventation. Atlanta(US): Unaids
Pr.
Kumar RR, Vatsya S, dan Khan S. 2013. Effectiveness of ivermectin against Parascaris
equorum in English thorough bred foals-a case study. Vet Rscrh Intl. 1(2): 49-
50.
Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta(ID): UGM
Press.
Lyons ET, Tolliver SC. 2015. Strongyles in Horse. Lexington (US): Kentucky
University.
Natadisastra J, Ridad A. 2009. Parasitologi Kedokteran Ditinjau Dari Organ Tubuh
Yang diserang. Jakarta (ID): Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Nurhayati D, Baaka A, Pattiselanno F. 2021. Identifikasi telur cacing pada saluran
pencernaan satwa liar yang dipelihara masyarakat di Manokwari, Papua Barat.
Journal of Tropical Animal and Veterinary Science . 11(2): 165 – 172.
Nurhidayah N, Satrija F, Retnani EB, Astuti DA, dan Murtini S. 2019. Prevalensi dan
faktor risiko infeksi parasit saluran pencernaan pada kerbau lumpur di
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Jurnal Veteriner. 20(4): 572 – 582.
Nurhidayah N, Satrija F, Retnani EB, Astuti DA, dan Murtini S. 2019. Prevalensi dan
Faktor Risiko Infeksi Parasit Saluran Pencernaan pada Kerbau Lumpur di
Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Jurnal Veteriner. 20(4): 572-582.
Oluwadare AT. 2004. Studies on bovine coccidia [Apicomplexia: Eimeriidae] in parts
of Plateau state, Nigeria [Thesis]. Jos(NG): University of Jos.

13
Retnani EB, Satria F, Hadi UK, Sigit SH. 2009. Analisis faktor-faktor resiko infeksi
cacing pita pada ayam ras petelur komersial di Bogor. Jurnal Veteriner, 10(3):
165 – 172.
Roepstorff A, dan Nansen P. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Helminth
Parasites of Swine. Rome(IT): UN Food and Agricultural Organization
Schaefer M. 2011. Skin Conditions Third Series: Equine Ectoparasite [internet].
[diunduh 2016 Oktober 19]. Tersedia pada:
http://www.dairylandvet.net/Newsletters/Skin%20Conditions3%201221.pdf
Shepherd C, Wangchuk P, Loukas A. 2018. Review of dogs and hookworms: man’s
best friend and his parasites as a model for translational biomedical research.
Parasite & Vectors. 11(3): 59 – 74.
Subekti S, Mumpuni SM, Kusnoto. 2007. Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner. Surabaya
(ID): Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Surabaya.
Tabbu CR. 2012. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Asal Parasit,
Noninfeksius dan Etiologi Kompleks. Jakarta(ID): Penerbit Kanisius.
Taylor S, Kappe SHI, Kaiser K, Matuschewski K. 2007. The Plasmodium sporozoite
journey: a rite of passage. Trends in Parassitology. 19(3): 135-143.
Veterinary Parasitology. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Zajac AM dan Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology: 8th Edition. Oxford
(UK): John Willey & Sons Inc.

14

Anda mungkin juga menyukai