Anda di halaman 1dari 18

DIAGNOSA PENYAKIT PARASITIK PADA KAMBING DI RUMAH

DOA ANAK YATIM, DESA CIBUNTU, KECAMATAN CIAMPEA,


KABUPATEN BOGOR

Disusun oleh:

Kelompok J 1
PPDH Gelombang 4 Tahun 2017/2018

Agatha Kosat B94174404


Kishyorr Karthikeyan B94174429

Dosen Pembimbing:

Dr Drh Susi Soviana, MSi


Drh Risa Tiuria, MS PhD

BAGIAN PARASITOLOGI DAN ENTOMOLOGI KESEHATAN


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018
PENDAHULUAN

Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil dibandingkan


dengan sapi dan kerbau dan merupakan komoditi ternak penting sudah lama
diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan secara luas di
Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup tinggi
yang dapat dimanfaatkan sebagai ternak penghasil daging dan susu. Kambing
secara umum memiliki beberapa keunggulannya antara lain mampu beradaptasi
dalam kondisi yang ekstrim, tahan terhadap beberapa penyakit, cepat berkembang
biak dan prolifik (beranak banyak). Kambing dan domba digembalakan pada
siang hari dan dikandangkan malam hari. Pemeliharaan kambing dan domba yang
digembalakan dan pakan seadanya menyebabkan kambing dan domba mudah
terserang penyakit. Penyakit yang menyerang domba dan kambing dibagi menjadi
dua, yaitu penyakit yang disebabkan oleh infeksi agen infeksius (virus, bakteri,
parasit, jamur) dan penyakit yang disebabkan oleh agen non-infeksius yaitu
penyakit gangguan metabolisme dan penyakit keracunan pakan. Keberadaan
parasit di sekitar lingkungan peternakan memberikan pengaruh terhadap
produktivitas dan kesehatan ternak.
Salah satu agen penyakit yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan
adalah parasit. Menurut (Prabowo 2010) parasit pada saluran pencernaan kambing
dapat mengganggu kesehatan, menurunkan produktivitas, dan menyebabkan
kematian. Kontaminasi cacing parasit dapat berasal dari pakan hijauan yang
dikonsumsi yang diduga telah terinfestasi larva parasit. Pakan hijauan dapat
berupa rumput alam dan rumput yang dibudidayakan, sedangkan pakan konsentrat
dapat berupa dedak padi. Adanya faktor pendukung seperti iklim dan kelembaban
yang tinggi menyebabkan cacing parasit berkembang biak dengan cepat. Penyakit
cacingan ini dapat menyerang tubuh hewan ternak yang berakibat menurunnya
berat badan dan ketahanan tubuh hewan tersebut. Selain itu juga dapat merugikan
peternak karena dapat menurunkan tingkat produksi yang berakibat pada
menurunnya penghasilan peternak (Sambodo et al 2012).
Berdasarkan hidupnya parasit dibedakan menjadi ektoparasit dan
endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di bagian luar dari tempatnya
bergantung atau pada permukaan tubuh inangnya sedangkan endoparasit adalah
parasit yang hidup di dalam tubuh inangnya, seperti berbagai jenis cacing dan
protozoa (Hadi dan Soviana 2010). Beberapa ektoparasit dan endoparasit yang
sering ditemukan pada kandang kambing dan domba adalah lalat (Musca
domestica, Crysomya sp.), kutu (Damalinia caprae dan Damalinia ovis), nyamuk
(Aedes sp), tungau Sarcoptes scabiei var caprae dan Sarcoptes scabiei var ovis
(Hadi et al. 2013).
Tabel 1 kasus ektoparasit dan endoparasit yang ditemukan pada komoditi
ruminansia kecil
No Jenis Endoparasit
Hewan/Umur Ras Ektoparasit Feses Darah
Telur Ookista
1 Kambing Etawa Damalinia sp Strongylid Eimeria sp -
3 tahun
2 Kambing Etawa Damalinia sp Strongylid Eimeria sp -
3 tahun
3 Kambing Etawa Damalinia sp Strongylid Eimeria sp -
2 tahun
4 Kambing Etawa Damalinia sp Strongylid Eimeria sp -
1 tahun
5 Kambing Etawa Damalinia sp Strongylid Eimeria sp -
3 tahun

Latar Belakang

Hewan komoditi terpilih ruminansia kecil adalah kambing. Hewan dipilih


berdasarkan kondisi hewan dalam kandang, satu ekor kambing berasal dari rumah
Doa. Hewan yang dijadikan hewan kasus adalah kambing 4 berdasarkan
sinyalemen dan status present dari kambing 4 adalah sebagai berikut:
Jenis hewan : Kambing
Spesies : Kambing Etawa
Jenis kelamin : Betina
Umur : 1 tahun
Suhu : 37,5 °C
Warna rambut : Hitam dan Putih
Warna kulit : Putih
Pemilik : Rumah Doa

Populasi ternak kambing di rumah Doa berjumlah 40 ekor. Kandang yang


digunakan adalah kandang dibentuk dari kayu dan buluh. Disekitar kandang
ditemukan banyak lalat musca domestika dan Chrysomya sp. Kambing yang
dijadikan hewan kasus diamati dan diperiksa. Kambing yang diamati terlihat lebih
murung dan rambutnya kusam serta kelihatan lebih kurus dibandingkan dengan
hewan lainnya

Tujuan

Tujuan kegiatan ini adalah mahasiswa PPDH dapat melakukan teknik


koleksi ektoparasit dan sampel endoparasit berupa darah dan feses, membuat
preparat ektoparasit dan ulas darah serta melakukan identifikasi terhadap jenis
ektoparasit maupun endoparasit pada hewan yang terdapat di lingkungan sekitar
sehingga mengetahui cara pengendalian yang tepat

METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Pengambilan sampel feses dan kutu dilakukan pada 15 dan 18 December


2018 di Rumah Do’a Anak Yatim, Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor. Pemeriksaan sampel feses dan identifikasi parasit dilakukan di
Laboratorium Entomologi dan Parasitologi Veteriner, Rumah Sakit Hewan
Pendidikan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah jarum, syringe, kapas alkohol, kapas tanpa
alkohol, plastik sampel, kertas label, gelas objek, pipet tetes, counter, bunsen
burner,light trap, killing jar, botol koleksi, cooling box mac master, dan
mikroskop
Bahan yang digunakan yaitu feses kambing dari Rumah Do’a Anak Yatim,
Larutan pengapung, larutan aquadest, alkohol, KOH 10%, Minyak cengkih dan
xylol
Prosedur

Ektoparasit

Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan koleksi dan pengambilan
sampel diantaranya adalah alkohol 70% dan metanol. Peralatan yang digunakan
adalah sweeping net, killing jar, gelas objek, gelas penutup, needle, perangkap
Nzi, perangap cahaya (light trap) kantung plastik, botol koleksi dan cooling box.

Teknik Koleksi dan Pengambilan Sampel


Ektoparasit dikoleksi secara mekanis dengan menggunakan sweeping net
untuk lalat yang kemudian dimatikan dengan killing jar dan dimasukkan dalam
tabung koleksi. Koleksi ektoparasit secara langsung dilakukan dengan cara
mengambil langsung kutu yang terdapat pada hewan dengan menggunakan pinset
dan dimasukkan dalam botol koleksi yang berisikan alkohol 70%. Perangkap
digunakan untuk mengkoleksi lalat terutama lalat tabanus. Perangkap cahaya
dipasang di sekitar kandang utuk mengoleksi serangga malam seperti nyamuk.
Perangkap dipasang di belakang kandang dekat dengan area tergenang air.

Prosesing, Preservasi dan Identifikasi Ektoparasit


Pembuatan preparat dari ektoparsit yang telah didapatkan dibagi menjadi
preparat kering (pinning) dan preparat kaca (slide) dan preparat basah. Pinning
dibuat dengan cara menusukkan jarum pada badan serangga seperti lalat dan
kecoa yang telah dimatikan dengan menggunakan killing jar yang berisi
chloroform kemudian diberi label berisikan klasifikasi, lokasi dan kolektor dan
diletakkan pada kotak khusus yang beirisi champora.
Preparat slide dibuat untuk ektoparasit seperti kutu, caplak, tungau dan larva
nyamuk yang dikoleksi dalam botol berisikan alkohol 70%. Kutu dan caplak
dibilas menggunakan air bersih dan kemudian dimasukan dalam tabung reaksi
yang telah berisikan KOH 10% dan dipanaskan sampai lapisan kulit ektoparasit
tersebut menipis. Lapisan yang telah menipis dicuci dengan air bersih dan
direndam dengan alkohol bertingkat dimulai dari 70% sampai 100%. Sedangkan
untuk larva nyamuk dimulai dari 40% sampai 60%. Masing- masing tingkat
direndam selama 10 menit. Setelah direndam alkohol dilakukan perendaman
dengan minyak cengkeh selama 30 menit dan pembilasan dengan xylol sampai
bersih dan selanjutnya dilakukan penempelan kutu dan caplak tersebut pada gelas
objek dengan menggunakan cana balsam yang diteteskan pada gelas objek
sebanyak 3 tetes dan ditutup dengan gelas penutup yang telah diberikan sedikit
xylol untuk pembuatan preparat kutu dan caplak. Sedangkan untuk tugau cukup
direndam dalam larutan nesbit dan langsung dibuat preparat kaca dengan
menempelkan dengan menggunakan Hoyer’s yang diteteskan pada gelas objek
sebanyak 3 tetes kemudian ditutup dengan gelas penutup. Pada pembuatan
preparat larva tidak dilakukan perendaman dengan minyak cengkeh dan xylol.
Pembuatan preparat basah dilakukan dengan memasukan koleksi ektoparasit
dalam botol kaca berisikan alkohol 70% kemudian diberikan label.
Musca domestica
Kingdom : Animalia
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Cyclorrhapha
Famili : Muscidae
Genus : Musca
Spesies : Musca domestica

Musca domestica yang biasa disebut sebagai lalat rumah merupakan


serangga yang keberadaannya tersebar di seluruh dunia dan berperan sebagai
vektor penyakit pada manusia dan hewan ternak. Ukuran panjang tubuh jantan
berkisar antara 5.8-6.5 mm dan betina 6.5-7.5 mm, berwarna kelabu, pada bagian
bagian thoraks mempunyai 4 ban hitam longitudinal. Probsis (alat mulut) tumpul
dengan bagian ujung (labela) melebar dan memiliki struktur seperti spons yang
berfungsi untuk menyerap makanan. Antena pendek dengan arista yang berambut
(plumose) pada bagian ventral dan dorsal. Sayap jernih dengan vena sayap M1+2
sangat khas membentuk lengkungan sudut yang tajam dan sel R5 agak tertutup di
distal (Hadi dan Soviana 2006).

Gbr 1 Musca Domestica (lalat rumah) Gbr 2Vena Sayap musca domestika
(www.poultryhub.com)
Peranan Musca domestica bukan sebagai parasit pada hewan hidup
melainkan sebagai vektor dalam memindahkan agen penyakit dikarenakan
kebiasaan lalat ini yang sering hinggap pada feses dan bahan-bahan organik
(Taylor et al. 2007). Lalat ini menyerap makanan kemudian diregurgitasikan
dengan lambung yang mengandung enzim pencerna (Hadi dan Soviana 2010).
Agen penyakit (virus, bakteri, cacing parasitik, protozoa) dapat terbawa karena
tertempel pada rambut-rambut yang ada pada tubuh lalat ini atau teregurgitasi
bersama dengan muntahan dari hasil regugitasi (salivary vomit) selama proses
makan (Taylor et al. 2007).
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat ini antara lain, kolera
(Vibrio cholera), disentri (Entamoeba hystolitica, E.coli, Giardia lamblia),
helminthiasis, shigellosis (Shigella), salmonellosis (Salmonella thypi, S. pullorum,
S. gallinarum) dan berapa penyakit lainnya (Hadi dan Soviana 2010).
Pengendalian dapat dilakukan melalui pengelolaan lingkungan. Feses atau sampah
di sekitar kandang atau rumah, tidak dibiarkan menumpuk terlalu lama di satu
tempat. Sampah dan feses merupakan tempat perkembangbiakan serta sumber
makanan bagi lalat. Pemngendalian kimiawi dapat dilakukan dengan larvasidal,
repelen, spray, atau pengumpanan (baiting). Pengendalian non kimiawi
menggunakan alat pengusir lalat seperti jebakan sederhana menggunakan lem
perekat atau perangkap lampu yang dapat membunuh lalat dewasa dengan aliran
listrik lebih ramah lingkungan dibandingkan menggunakan bahan kimia.
Pengendalian menggunakan bahan kimia seperti insektisida sebaiknya dihindari
karena tidak ramah lingkungan, residu yang ditinggalkan akan memberikan
dampak yang negatif bagi lingkungan sekitar.

Chrysomya sp.
Kingdom : Animalia
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Cyclorrhapha
Famili : Calliphoridae
Genus : Chrysomya
Spesies : Chrysomya sp.

Chrysomya sp. atau biasa disebut lalat hijau merupakan penyebab miasis
pada sapi, kuda, dan hewan lain.Ukuran tubuhnya kurang lebih 1.5 kali lalat
rumah. Berwarna biru metalik, biru keunguan, atau biru kehijauan dengan banyak
bulu-bulu pendek menutupi tubuh diselingi bulu kasar. Struktur mulut sama
seperti lalat rumah, termasuk dalam tipe penjilat. Larvanya berbentuk silinder
dengan deretan duri-duri pada keliling tiap ruas tubuh (Hadi dan Soviana 2006).
Dua spesies yang dikenal adalah Chrysomya bezziana yang merupakan
penyebab miasis obligat dan Chrysomya megacephala sebagai penyebab miasis
fakultatif. Populasi Chrysomya megacephala di Indonesia lebih banyak
dibandingkan Chrysomya bezziana.Lalat betina C. bezziana merupakan penyebab
miasis obligat yang meletakkan telurnya pada tepi luka terbuka yang membusuk
dalam jumlah 150-500 butir dalam satu kelompok. Telur akan menetas setelah 23-
30 jam kemudian dan larvanya akan masuk semakin dalam dan memakan jaringan
yang luka. Stadium larva dilalui selama 5-6 hari lalu menjatuhkan diri dari luka
untuk berubah menjadi pupa yang akan berlangsung selama 7-9 hari kemudian
menjadi dewasa (Hadi dan Soviana 2006). Sama halnya seperti lalat Musca
domestica, lalat Crysomya megacephala juga menjadi vektor mekanik penyakit
salmonellosis, escerichiasis, dan kolera.

Gambar 3 Siklus hidup Chrysomya sp. (www.cmnh.org)


Pengendalian lalat ini dapat dilakukan dengan pengedalian kimiawi dan non
kimiawi. Pengendalian kimiawi dengan menggunakan larvasida (pembunuh
larva), repelen, spray, atau dengan memasang umpan yang mengandung zat
insektisida. Pengendalian non kimiawi dengan pengelolaan lingkungan, menjaga
sanitasi dengan tidak menciptakan lingkungan yang memberikan bentuk
kehidupan bagi lalat; pemasangan penghalang berupa kawat atau kasa pada pintu,
jendela, atau lubang angin; atau menggunakan perangkap cahaya yang dapat
membunuh lalat dewasa dengan sengatan listrik.

Damalinia ovis
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Mallophaga
Kelompok : Ischnocera
Famili : Trichodectidae
Genus : Damalinia
Spesies : Damalinia ovis

Damalinia ovis memilik panjang diatas 2-3 mm, berwarna coklat dan relatif
berukuran besar kepalanya. Kutu mengalami metamorfosi tidak sempurna, mulai
dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga lalu dewasa. Seluruh tahap
perkembangannya secara umum berada pada inangnya. Telurnya berukuran 1-2
mm, berbentuk oval, berwarna putih dan menempel pada rambut domba. Jumlah
telur yang dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10-300 butir selama
hidupnya. Telur menetas menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5-18 hari tergantung
jenis kutu. Nimfa akan berganti kulit dua kali dengan interval 5-9 hari. Bagian
mulut dari kutu tersebut beradaptasi untuk menggigit dan mengunyah bagian luar
wol, lapisan dermis dan darah. (Hadi dan Soviana 2010).

Gambar 4 Damalinia ovis (dokumentasi pribadi 2018)


Gambar 5 Siklus hidup kutu Damalinia ovis (bayeranimal.co.nz)
Kutu memiliki derajat kekhasan inang yang (host specificity) tinggi serta
mempunyai tempat-tempat kecenderungan (predileksi) tertentu pada inang.
Perpindahan kutu antar inang satu dengan inang yang lain dapat terjadi akibat
kontak tubuh. Kutu dapat dikatakan tidak memiliki musuh alami. Infestasi kutu
yang berat dalam bidang kesehatan hewan dapat menurunkan produksi daging,
susu, wol, dan industri unggas. Pengendalian terhadap infeksi kutu dapat
dilakukan dengan pemberian obat antiparasit seperti ivermestin secara oral dan
pemberian suplmemen untuk meningkatkan sistem pertahanan tubuh ternak.
Selain itu, dapat juga dilakukan dengan mengatur populasi ternak dalam satu
kandang sehingga tidak berdesakan serta dapat melakukan dipping pada ternak
dengan menggunakan insektisida.

Endoparasit

Bahan dan Alat


Bahan yang diperlukan meliputi feses, aquades, pewarna lugol, pewarna
eosin, vermi kulit, dan larutan pengapung (larutan gula garam). Alat yang
diperlukan meliputi kantung plastik, gelas plastik, batang pengaduk, saringan teh
dengan ukuran lubang 750-900 x 600-675 µm, gelas ukur, tabung reaksi, kamar
hitung McMaster, gelas Baermann, cawan petri, gelas objek, gelas penutup,
saringan bertingkat 400 100 dan 45, timbangan, pipet tetes, pipet volume,
mikroskop cahaya, mikroskop okuler.

Pengambilan Sampel Feses


Sampel yang diperoleh adalah feses segar atau yang telah dikeluarkan oleh
hewan lebih dari tiga jam. Sampel disimpan dalam kantung plastik transparan
serta diberi identitas jenis hewan, tempat, dan tanggal pengambilan. Feses
disimpan di dalam refrigerator (suhu 4-5 oC). Pemeriksaan feses dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif menggunakan metode natif,
pengapungan (flotasi) sederhana, dan sedimentasi sedangkan metode kuantitatif
menggunakan kamar hitung McMaster.
Metode Natif
Metode natif merupakan metode pemeriksaan telur cacing yang paling
sederhana. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk melihat keberadaan dari telur
cacing dalam feses secara cepat. Pemeriksaan natif dilakukan dengan mengambil
beberapa bagian feses lalu dihomogenkan dengan aquades. Feses yang telah
homogen tersebut kemudian diteteskan sebanyak 1 tetes diatas gelas objek dan
diberi gelas penutup kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran
10x.

Pewarnaan Preparat (Lugol dan Eosin)


Preparat pewarnaan yang dilakukan menggunakan dua zat pewarna yaitu
lugol dan eosin. Pembuatan preparat ini menggunakan teknik yang sama dengan
pembuatan preparat natif. Perbedaan berada pada penambahan zat warna yang
digunakan untuk memperjelas temuan endoparasit pada sampel feses yang
diperiksa. Sampel diambil sedikit dan ditaruh di atas gelas objek. kemudian
ditambahkan beberapa tetes akuades kemudian dihomogenkan. Campuran tersebut
ditambahkan dengan zat warna eosin dan lugol secara terpisah kemudian ditutup
dengan gelas penutup lalu diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 10×.

Metode Pengapungan Sederhana


Prinsip metode ini adalah memisahkan telur cacing dengan partikel feses
lainnya dengan memanfaatkan perbedaan berat jenis antara keduanya dengan
bantuan larutan pengapung. Metode ini bertujuan untuk menentukan keberadaan
telur cacing parasitik nematoda dan cestoda. Sebanyak 4 gram feses ditimbang
dan ditambahkan larutan pengapung sebanyak 56 mL hingga volumenya
mencapai 60 mL kemudian dihomogenkan. Campuran feses dan larutan
pengapung kemudian disaring menggunakan saringan. Campuran tersebut
kemudian dituangkan ke dalam tabung reaksi hingga telihat meniskus atas dari
larutan dalam tabung lalu ditutup dengan gelas penutup. Dibiarkan 15-20 menit
kemudian gelas penutup diangkat dan diletakkan di atas gelas objek lalu diamati
di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x.

Metode pemupukan
Feses dan vermi kulit dimasukkan kedalam wadah kemudian
dihomogenkan. Perbandingan antara feses dengan vermin kulit adalah 1:4. Wadah
tersebut atasnya dibungkus dengan menggunakan kain saring. Pemupukan
didiamkan selama 7 hari. Setelah tujuh hari feses dimasukkan kedalam wadah
yang atasnya ditutup dengan kertas saring. Kemudian wadah diletakkan secara
terbalik di gelas Baermann yang sudah diisi air sampai 1/3 bagian feses yang
dibungkus terendam. Kemudian air di dasar gelas Baermann diambil
menggunakan pipet dan diteteskan 2-3 tetes pada gelas objek. Selanjutnya
ditambahkan lugol satu tetes untuk mematikan larva sehingga memudahkan dalam
pengamatan dan ditutup dengan cover glass lalu diamati di bawah mikroskop
dengan perbesaran 10x.

Metode Modifikasi Sedimentasi


Metode modifikasi filtrasi sedimentasi merupakan metode yang dapat
melihat adanya telur trematoda dalam feses. Feses sebanyak dua gram
dihomogenkan dengan menggunakan 58 mL air dan disaring dengan
menggunakan saringan teh. Filtrat disaring menggunakan saringan bertingkat
(diameter 400, 100, dan 45 μm). Proses penyaringan juga dibantu menggunakan
penyemprot yang berisi akuades. Hasil yang tersaring pada ukuran 45 μm dibilas
dengan akuades dan dimasukkan ke dalam cawan petri, kemudian diambil
menggunakan pipet dan dimasukan ke dalam gelas objek yang telah dimodifikasi
untuk diperiksa dengan perbesaran 10x di bawah mikroskop.

Metode McMaster
Penghitungan TTGT (telur tiap gram tinja) dan OTGT (ookista tiap gram
tinja) pada feses digunakan agar dapat mengidentifikasi jenis telur cacing dan
ookista sekaligus penghitungan jumlahnya dengan menggunakan Metode
McMaster. Diketehuinya jumah telur dan ookista pada feses bertujuan untuk
untuk menduga derajat infeksi. Feses diambil sebanyak 2 gram ke dalam gelas
lalu ditambah dengan larutan gula garam sebagai larutan pengapung sebanyak 58
ml. Feses diaduk sampai homogen dengan cairan pengapung, kemudian campuran
feses disaring dengan saringan teh beberapa kali. Campuran dipipet dan
dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster. Jumlah parasit di dalam kamar
hitung dihitung di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10. Penghitungan
dilakukan untuk setiap tipe telur.Pemeriksaan dengan metode ini dilakukan untuk
menghitung jumlah telur strongyloid, ascarid, trichurid, strongyloides, dan
cestoda. Kemudian hasil yang diperoleh dihitung dengan rumus penghitungan
total telur dalam tiap gram feses (TTGT) dan total ookista tiap gram feses
(OTGT) yaitu:

𝑛 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
TTGT = 𝑥
𝑏𝑡 𝑉ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
Keterangan:
n : jumlah telur/ookista yang ditemukan dalam kamar hitung
bt : berat feses (gram)
Vtotal : volume cairan pengapung + feses (mL)
Vhitung : volume cairan yang dimasukkan ke dalam kamar hitung (mL)

Pembuatan Preparat Ulas Darah


Preparat ulas darah dibuat dengan cara setetes darah diambil dan langsung
diletakkan pada gelas objek. Darah diulas pada gelas objek dan diusahakan setipis
mungkin. Ulasan darah difiksasi sampai kering kemudian dimasukkan ke dalam
methanol selama kurang lebih 10 menit. Setelah itu gelas objek dikeringkan dan
dimasukkan ke dalam giemsa selama 60 menit. Preparat dicuci dengan air
kemudian dikeringkan dan diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x.

Trichuris sp
Kingdom : Animopleali
Filum : Nematoda
Kelas : Enoplea
Ordo : Trichurida
Sub Ordo : Trichurida
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris sp

Menurut (Natadisastra 2009) bahwa infeksi cacing Trichuris sp akan


menimbulkan radang mukosa pada sekum. Telur yang keluar bersama feses keadaan
belum matang (belum membelah) tidak infektif. Cara infeksi ketika ternak menelan telur
matang kemudian adanya larva yang keluar melalui telur dan masuk ke usus halus.
Setelah menjadi cacing dewasa turun ke usus dan masuk ke daerah sekum dengan masa
pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina menetaskan telur
kira-kira 30 - 90 hari. Gejala klinis trichuriosis dapat menyebabkan anoreksia, diare, lesu,
lemahan, dan kematian

Eimeria sp.
Kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Eimeriorina
Famili : Eimeriidae
Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria sp.

Siklus hidup Eimeria sp. memiliki dua stadium dalam siklus hidupnya, yaitu
endogenus dan eksogenus. Stadium endogenus terjadi di dalam tubuh induk
semang meliputi tahap skizogoni dan gametogoni,sedangkan stadium eksogenus
meliputi tahap sporogoni. Siklus hidup Eimeria sp. juga terdiri atas tahap aseksual
(skizogoni dan sporogoni) serta tahap seksual (gametogoni). Siklus hidup Eimeria
sp. dapat dillihat pada Gambar 27.
Gambar 6 Siklus hidup Eimeria sp. (Levine 1995)
Perkembangan tahap aseksual dimulai dari masuknya ookista ke dalam
tubuh hingga terbentuknya merozoit generasi kedua. Perkembangan tahap
sporogoni atau sporulasi dimulai dari ookista yang keluar bersama feses yang
terdiri atas satu sel sporon dan bersifat diploid, ookista akan mengalami
pembagian reduksi dan timbul badan kutub. Sporon kemudian membagi menjadi
empat sporoblast dan masing masing sporoblast akan menjadi sebuah sporokista
yang berisi dua sporozoit. Ookista pada tahap ini memiliki protoplasma yang
mengandung massa nukleus dengan dinding pelindung yang tahan terhadap
pengaruh fisis, kimia ataupun terhadap aktivitas bakteri. Tahap sporogoni atau
sporulasi ini terjadi di luar tubuh inang dengan waktu sporulasi selama beberapa
hari hingga beberapa minggu tergantung pada spesies, ketersediaan oksigen,
kelembapan, suhu, dan faktor lingkungan lainnya (Lassen 2009).
Tahap skizogoni dimulai saat ookista yang termakan akan menginfeksi
induk semang. Gerakan mekanik CO2 akan merusak dan memecah dinding ookista
sehingga menyebabkan keluarnya sporozoit (eksistasi). Sporozoit akan bergerak
menembus sel epitel, kemudian membentuk tropozoit. Tropozoit akan
berkembang membentuk vakuola parasitophorous kemudian menjadi meron
(skizon) generasi pertama. Skizon generasi pertama akan berkembang dan
membelah menjadi merozoit generasi pertama.Merozoit generasi pertama akan
memecah sel induk semang dan masuk ke dalam sel baru dan menjadi meron
(skizon) generasi kedua. Meron (skizon) generasi kedua akan tumbuh dan
membelah menjadi merozoit generasi kedua. Sebagian dari merozoit generasi
kedua akan berkembang menjadi merozoit generasi ketiga atau masuk ke dalamsel
epitel usus dan saluran pencernaan. Merozoit generasi kedua akan merusak
mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perdarahan yang meluas hingga usus
halus dan usus besar sehingga darah akan keluar bersama feses dan menimbulkan
darah dalam feses atau berak darah (Morgan dan Hawkins 1955).
Merozoit yang masuk menembus sel epitel akan membentuk gametosit
dan berkembang membentuk gamon (makrogamon dan mikrogamon).
Makrogamon membelah secara aseksual membentuk makrogametosit (gametosit
betina), sedangkan mikrogamon membentuk mikrogametosit (gametosit jantan).
Mikrogamet akan keluar dan membuahi makrogamet yang akan membentuk zigot,
kemudian berkembang menjadi ookista. Ookista tersebut kemudian akan terbawa
keluar bersama feses (Levine 1995).
Pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan terhadap infeksi ookista
adalah dengan melakukan sanitasi kandang, pembersihan dan pengontrolan
tempat pakan dan minum, pemberian obat-obatan yang bersifat koksidiostat
dengan mencampurkan kedalam pakan atau air minum. Koksidiostat yang dapat
ditambahkan antara lain seperti ionophore, sulfaquinoxalin, robenidine, clopidol,
amprolium dan nicarbazine (Ditjennak 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan ektoparasit rambut pada kambing 4 ditemukan ektoparasit kutu


Damalinia ovis. Infeksi kutu ini dalam jumplah yang banyak menyebar keseluruh
tubuh menyebabkan kambing mengalami kegelisahan, kegatalan dan kekusaman
pada seluruh tubuhnya dan terjadi penurunan nafsu makan sehingga kambing juga
mengalami kekurusan. elur kutu diletakkan di batang rambut, dekat pangkal dari
rambut dan melekat padanya karena ada perekat yang dihasilkan oleh parasit
tersebut. Telur menetas dalam waktu 7-10 hari dan keluarlah larva yang berubah
bentuk sebagai nimfa, dan menjadi dewasa dalam waktu 17-23 hari. Daur dari
telur sampai bertelur lagi adalah 24-33 hari. Kutu jantan dewasa dapat hidup ± 50
hari, dan segera mati bila lepas dari hospes dalam waktu 2-3 hari. Telur kutu
diletakkan di batang rambut dekat pangkal. Kutu dapat mengakibatkan lesi
superfisial. Secara mekanis gigitan parasit akan diikuti oleh rasa nyeri,
menimbulkan iritasi dan gatal, Terjadi luka abrassive (gesekan) menyebabkan
infeksi sekunder oleh kuman hingga terjadi radang infeksi. Secara mekanik
gigitan parasit akan diikuti oleh rasa nyeri, menimbulkan iritasi dan rasa gatal, dan
untuk mengurangi rasa tersebut penderita mencoba menggigit, menggaruk, atau
menggosok-gosokkan bagian yang sakit ke objek-objek yang keras, yang
akibatnya menimbulkan kerusakan kulit atau rambut. Menurut (Blood et al 1979)
kambing dan domba merupakan tuan rumah khusus bagi spesies Damalinia
(D.Ovis dan D.caprae).

Hasil Pemeriksaan feses komoditi hewan yang di amati


Jenis
Natif Flotasi Sedimentasi Baermann McMaster
Hewan/Umur
Kambing 1 Tipe Telur Trichuris Ookista - 4000 (OTGT)
3 tahun Strongylid Eimeria Sp
Kambing 2 Tipe Telur Trichuris Ookista - 3500 (OTGT)
3tahun Strongylid Eimeria Sp
Kambing 3 Tipe telur Trichuris Ookista - 4000 (OTGT)
2 tahun Strongylid Eimeria Sp
Kambing 4 Tipe Telur Trichuris Ookista - 6000 (OTGT)
1 tahun Strongylid Eimeria Sp
Kambing 5 Tipe telur Trichuris Ookista - 4000 (OTGT)
3 tahun Strongylid Eimeria Sp

Pemeriksaan feses pada ternak yang diamati, didapatkan bentuk ookisata


Eimeria sp. pada kambing dari peternakan Rumah Doa. Menurut Tampubolon
(1992) bentuk umum dari ookista Eimeria sp. adalah bulat ovoid dan elips. Hasil
pemeriksaan dapat dilihat pada Gambar . Koksidiosis merupakan salah satu
penyakit patogen pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Eimeria sp..
Derajat infeksi koksidiosis dikelompokkan menjadi infeksi ringan, sedang dan
berat. Menurut Lassen dan Jarvis (2009) infeksi ringan adalah infeksi dengan
jumlah ookista dibawah 1000 OTGT, infeksi sedang 1001 sampai 5000
OTGT,dan infeksi berat diatas 5000 OTGT.

Hasil pemeriksaan dari kelima hewan menunjukkan bahwa kambing 4 yang


berumur 1 tahun terinfeksi berat ookista. Selain itu, hewan dari kelompok umur
yang berbeda dapat terinfeksi koksidiosis terutama pada hewan muda. Hewan
muda lebih rentan terhadap infeksi dikarenakan kurangnya respon imunitas
spesifik, sehingga populasi ookista Eimeria sp. yang terakumulasi di dalam tubuh
hewan semakin tinggi sedangkan hewan dewasa yang sebelumnya pernah terpapar
akan memiliki sistem imunitas yang lebih baik. Kekebalan tubuh hewan
tergantung pada maternal antibodi, pakan yang bernutrisi dan kebersihan kandang
(Taylor 2007). Lalat dapat berperan sebagai vektor penyebaran ookista di sekitar
kandang. Lalat akan membawa ookista yang ada pada feses kemudian hinggap ke
pakan atau air minum kambing sehingga pakan terkontaminasi dengan ookista,
yang kemudian masuk kedalam tubuh kambing.
Gambar 7 Ookista Eimeria sp. (dokumentasi pribadi 2018)
Pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan terhadap infeksi ookista
adalah dengan melakukan sanitasi kandang, pembersihan dan pengontrolan
tempat pakan dan minum, pemberian obat-obatan yang bersifat koksidiostat
dengan mencampurkan kedalam pakan atau air minum. Koksidiostat yang dapat
ditambahkan antara lain seperti ionophore, sulfaquinoxalin, robenidine, clopidol,
amprolium dan nicarbazine (Ditjennak 2014).

Gambar 8 Larva Trichostrongylid hasil pemupukan feses kambing


Derajat infeksi cacing nematoda pada saluran pencernaan untuk telur tiap
gram tinja dibagi kedalam tiga kelompok yaitu ≤ 500 kategori rendah, 600-2000
kategori sedang, ≥ 2000 pada kambing berumur kurang dari 12 bulan (Suhardono
et al. 2002).

SIMPULAN

Kambing 4 yang berasal dari Rumah Doa terinfeksi kutu Damalinia Ovis,
dan ookista Eimeria sp dengan derajat infeksi berat. Pengendalian terhadap infeksi
kutu dapat dilakukan dengan pemberian ivermectin secara rute subkutan (SC)
sedangkan untuk pengendalian infeksi ookista dapat dilakukan dengan pemberian
koksidiostat pada pakan

DAFTAR PUSTAKA

Blood, D.C., Radotits, O.M. AND Gray, C.C., 1979. Veterinary Medicine, 8th
Ed., Bailiiere Tindall Ltd., pp. 1242-1245.
Ditjennak [Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan]. 2014. Manual
Penyakit Mamalia. Jakarta (ID): Subdit Pengamatan Penyakit Hewan,
Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI.
Hadi UK dan Soviana S. 2006. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Supriono. 2013. Atlas Entomologi Veteriner.
Bogor (ID): IPB Press.
Levine ND. 1995. Parasitology Veterinary. Soekardono, penerjemah. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.Terjemahan dari: Textbook of
VeterinaryParasitology
Lassen B, Viltrop A, Raaperi K, Jarvis T. 2009. Eimeria and Cryptosporidium in
Estonian dairy farms in regard to age, species, and diarrhoea. Vet Parasitol
[Internet]. [diunduh 2018 Disember 19]; 166: 212-219. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19747778.
Morgan BB, Hawkins PA. 1955. Veterinary Protozoology. USA: Burgess
Publishing Company Minnesota.
Prabowo, A. 2010. Petunjuk Teknis Budidaya Ternak Kambing (Materi Pelatihan
Agribisnis bagi Kmph). BPTP, Sumatera Selatan.
Sambodo P., P.A., dan Suprayogi T. H. 2012. Hubungan antara bobot badan,
volume ambing terhadap produksi susu kambing perah laktasi Peranakan
Etawa. Journal Animal Agricultural Vol.1 No. 1. Hal 99 – 105.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Antropods and Protozoa of Domesticate Animals
7thEd. Inglish Laguage Book Service Bailiere Tindall. 231-257
Tampubolon M. 1992. Petunjuk Laboratorium Protozoology. Pusat Antar
Universitas. Institut Pertanian Bogor. 51-57.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology Third Edition.
UK: Blackwell Publishing.

Anda mungkin juga menyukai