Disusun oleh:
Kelompok J 1
PPDH Gelombang 4 Tahun 2017/2018
Dosen Pembimbing:
Latar Belakang
Tujuan
METODOLOGI
Alat-alat yang digunakan adalah jarum, syringe, kapas alkohol, kapas tanpa
alkohol, plastik sampel, kertas label, gelas objek, pipet tetes, counter, bunsen
burner,light trap, killing jar, botol koleksi, cooling box mac master, dan
mikroskop
Bahan yang digunakan yaitu feses kambing dari Rumah Do’a Anak Yatim,
Larutan pengapung, larutan aquadest, alkohol, KOH 10%, Minyak cengkih dan
xylol
Prosedur
Ektoparasit
Gbr 1 Musca Domestica (lalat rumah) Gbr 2Vena Sayap musca domestika
(www.poultryhub.com)
Peranan Musca domestica bukan sebagai parasit pada hewan hidup
melainkan sebagai vektor dalam memindahkan agen penyakit dikarenakan
kebiasaan lalat ini yang sering hinggap pada feses dan bahan-bahan organik
(Taylor et al. 2007). Lalat ini menyerap makanan kemudian diregurgitasikan
dengan lambung yang mengandung enzim pencerna (Hadi dan Soviana 2010).
Agen penyakit (virus, bakteri, cacing parasitik, protozoa) dapat terbawa karena
tertempel pada rambut-rambut yang ada pada tubuh lalat ini atau teregurgitasi
bersama dengan muntahan dari hasil regugitasi (salivary vomit) selama proses
makan (Taylor et al. 2007).
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan oleh lalat ini antara lain, kolera
(Vibrio cholera), disentri (Entamoeba hystolitica, E.coli, Giardia lamblia),
helminthiasis, shigellosis (Shigella), salmonellosis (Salmonella thypi, S. pullorum,
S. gallinarum) dan berapa penyakit lainnya (Hadi dan Soviana 2010).
Pengendalian dapat dilakukan melalui pengelolaan lingkungan. Feses atau sampah
di sekitar kandang atau rumah, tidak dibiarkan menumpuk terlalu lama di satu
tempat. Sampah dan feses merupakan tempat perkembangbiakan serta sumber
makanan bagi lalat. Pemngendalian kimiawi dapat dilakukan dengan larvasidal,
repelen, spray, atau pengumpanan (baiting). Pengendalian non kimiawi
menggunakan alat pengusir lalat seperti jebakan sederhana menggunakan lem
perekat atau perangkap lampu yang dapat membunuh lalat dewasa dengan aliran
listrik lebih ramah lingkungan dibandingkan menggunakan bahan kimia.
Pengendalian menggunakan bahan kimia seperti insektisida sebaiknya dihindari
karena tidak ramah lingkungan, residu yang ditinggalkan akan memberikan
dampak yang negatif bagi lingkungan sekitar.
Chrysomya sp.
Kingdom : Animalia
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Sub Ordo : Cyclorrhapha
Famili : Calliphoridae
Genus : Chrysomya
Spesies : Chrysomya sp.
Chrysomya sp. atau biasa disebut lalat hijau merupakan penyebab miasis
pada sapi, kuda, dan hewan lain.Ukuran tubuhnya kurang lebih 1.5 kali lalat
rumah. Berwarna biru metalik, biru keunguan, atau biru kehijauan dengan banyak
bulu-bulu pendek menutupi tubuh diselingi bulu kasar. Struktur mulut sama
seperti lalat rumah, termasuk dalam tipe penjilat. Larvanya berbentuk silinder
dengan deretan duri-duri pada keliling tiap ruas tubuh (Hadi dan Soviana 2006).
Dua spesies yang dikenal adalah Chrysomya bezziana yang merupakan
penyebab miasis obligat dan Chrysomya megacephala sebagai penyebab miasis
fakultatif. Populasi Chrysomya megacephala di Indonesia lebih banyak
dibandingkan Chrysomya bezziana.Lalat betina C. bezziana merupakan penyebab
miasis obligat yang meletakkan telurnya pada tepi luka terbuka yang membusuk
dalam jumlah 150-500 butir dalam satu kelompok. Telur akan menetas setelah 23-
30 jam kemudian dan larvanya akan masuk semakin dalam dan memakan jaringan
yang luka. Stadium larva dilalui selama 5-6 hari lalu menjatuhkan diri dari luka
untuk berubah menjadi pupa yang akan berlangsung selama 7-9 hari kemudian
menjadi dewasa (Hadi dan Soviana 2006). Sama halnya seperti lalat Musca
domestica, lalat Crysomya megacephala juga menjadi vektor mekanik penyakit
salmonellosis, escerichiasis, dan kolera.
Damalinia ovis
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Phthiraptera
Sub Ordo : Mallophaga
Kelompok : Ischnocera
Famili : Trichodectidae
Genus : Damalinia
Spesies : Damalinia ovis
Damalinia ovis memilik panjang diatas 2-3 mm, berwarna coklat dan relatif
berukuran besar kepalanya. Kutu mengalami metamorfosi tidak sempurna, mulai
dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga lalu dewasa. Seluruh tahap
perkembangannya secara umum berada pada inangnya. Telurnya berukuran 1-2
mm, berbentuk oval, berwarna putih dan menempel pada rambut domba. Jumlah
telur yang dihasilkan oleh seekor induk kutu mencapai 10-300 butir selama
hidupnya. Telur menetas menjadi nimfa (kutu muda) setelah 5-18 hari tergantung
jenis kutu. Nimfa akan berganti kulit dua kali dengan interval 5-9 hari. Bagian
mulut dari kutu tersebut beradaptasi untuk menggigit dan mengunyah bagian luar
wol, lapisan dermis dan darah. (Hadi dan Soviana 2010).
Endoparasit
Metode pemupukan
Feses dan vermi kulit dimasukkan kedalam wadah kemudian
dihomogenkan. Perbandingan antara feses dengan vermin kulit adalah 1:4. Wadah
tersebut atasnya dibungkus dengan menggunakan kain saring. Pemupukan
didiamkan selama 7 hari. Setelah tujuh hari feses dimasukkan kedalam wadah
yang atasnya ditutup dengan kertas saring. Kemudian wadah diletakkan secara
terbalik di gelas Baermann yang sudah diisi air sampai 1/3 bagian feses yang
dibungkus terendam. Kemudian air di dasar gelas Baermann diambil
menggunakan pipet dan diteteskan 2-3 tetes pada gelas objek. Selanjutnya
ditambahkan lugol satu tetes untuk mematikan larva sehingga memudahkan dalam
pengamatan dan ditutup dengan cover glass lalu diamati di bawah mikroskop
dengan perbesaran 10x.
Metode McMaster
Penghitungan TTGT (telur tiap gram tinja) dan OTGT (ookista tiap gram
tinja) pada feses digunakan agar dapat mengidentifikasi jenis telur cacing dan
ookista sekaligus penghitungan jumlahnya dengan menggunakan Metode
McMaster. Diketehuinya jumah telur dan ookista pada feses bertujuan untuk
untuk menduga derajat infeksi. Feses diambil sebanyak 2 gram ke dalam gelas
lalu ditambah dengan larutan gula garam sebagai larutan pengapung sebanyak 58
ml. Feses diaduk sampai homogen dengan cairan pengapung, kemudian campuran
feses disaring dengan saringan teh beberapa kali. Campuran dipipet dan
dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster. Jumlah parasit di dalam kamar
hitung dihitung di bawah mikroskop dengan perbesaran 10x10. Penghitungan
dilakukan untuk setiap tipe telur.Pemeriksaan dengan metode ini dilakukan untuk
menghitung jumlah telur strongyloid, ascarid, trichurid, strongyloides, dan
cestoda. Kemudian hasil yang diperoleh dihitung dengan rumus penghitungan
total telur dalam tiap gram feses (TTGT) dan total ookista tiap gram feses
(OTGT) yaitu:
𝑛 𝑉𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
TTGT = 𝑥
𝑏𝑡 𝑉ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔
Keterangan:
n : jumlah telur/ookista yang ditemukan dalam kamar hitung
bt : berat feses (gram)
Vtotal : volume cairan pengapung + feses (mL)
Vhitung : volume cairan yang dimasukkan ke dalam kamar hitung (mL)
Trichuris sp
Kingdom : Animopleali
Filum : Nematoda
Kelas : Enoplea
Ordo : Trichurida
Sub Ordo : Trichurida
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris sp
Eimeria sp.
Kingdom : Protozoa
Filum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Ordo : Eucoccidiorida
Subordo : Eimeriorina
Famili : Eimeriidae
Genus : Eimeria
Spesies : Eimeria sp.
Siklus hidup Eimeria sp. memiliki dua stadium dalam siklus hidupnya, yaitu
endogenus dan eksogenus. Stadium endogenus terjadi di dalam tubuh induk
semang meliputi tahap skizogoni dan gametogoni,sedangkan stadium eksogenus
meliputi tahap sporogoni. Siklus hidup Eimeria sp. juga terdiri atas tahap aseksual
(skizogoni dan sporogoni) serta tahap seksual (gametogoni). Siklus hidup Eimeria
sp. dapat dillihat pada Gambar 27.
Gambar 6 Siklus hidup Eimeria sp. (Levine 1995)
Perkembangan tahap aseksual dimulai dari masuknya ookista ke dalam
tubuh hingga terbentuknya merozoit generasi kedua. Perkembangan tahap
sporogoni atau sporulasi dimulai dari ookista yang keluar bersama feses yang
terdiri atas satu sel sporon dan bersifat diploid, ookista akan mengalami
pembagian reduksi dan timbul badan kutub. Sporon kemudian membagi menjadi
empat sporoblast dan masing masing sporoblast akan menjadi sebuah sporokista
yang berisi dua sporozoit. Ookista pada tahap ini memiliki protoplasma yang
mengandung massa nukleus dengan dinding pelindung yang tahan terhadap
pengaruh fisis, kimia ataupun terhadap aktivitas bakteri. Tahap sporogoni atau
sporulasi ini terjadi di luar tubuh inang dengan waktu sporulasi selama beberapa
hari hingga beberapa minggu tergantung pada spesies, ketersediaan oksigen,
kelembapan, suhu, dan faktor lingkungan lainnya (Lassen 2009).
Tahap skizogoni dimulai saat ookista yang termakan akan menginfeksi
induk semang. Gerakan mekanik CO2 akan merusak dan memecah dinding ookista
sehingga menyebabkan keluarnya sporozoit (eksistasi). Sporozoit akan bergerak
menembus sel epitel, kemudian membentuk tropozoit. Tropozoit akan
berkembang membentuk vakuola parasitophorous kemudian menjadi meron
(skizon) generasi pertama. Skizon generasi pertama akan berkembang dan
membelah menjadi merozoit generasi pertama.Merozoit generasi pertama akan
memecah sel induk semang dan masuk ke dalam sel baru dan menjadi meron
(skizon) generasi kedua. Meron (skizon) generasi kedua akan tumbuh dan
membelah menjadi merozoit generasi kedua. Sebagian dari merozoit generasi
kedua akan berkembang menjadi merozoit generasi ketiga atau masuk ke dalamsel
epitel usus dan saluran pencernaan. Merozoit generasi kedua akan merusak
mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perdarahan yang meluas hingga usus
halus dan usus besar sehingga darah akan keluar bersama feses dan menimbulkan
darah dalam feses atau berak darah (Morgan dan Hawkins 1955).
Merozoit yang masuk menembus sel epitel akan membentuk gametosit
dan berkembang membentuk gamon (makrogamon dan mikrogamon).
Makrogamon membelah secara aseksual membentuk makrogametosit (gametosit
betina), sedangkan mikrogamon membentuk mikrogametosit (gametosit jantan).
Mikrogamet akan keluar dan membuahi makrogamet yang akan membentuk zigot,
kemudian berkembang menjadi ookista. Ookista tersebut kemudian akan terbawa
keluar bersama feses (Levine 1995).
Pencegahan dan pengobatan yang dapat dilakukan terhadap infeksi ookista
adalah dengan melakukan sanitasi kandang, pembersihan dan pengontrolan
tempat pakan dan minum, pemberian obat-obatan yang bersifat koksidiostat
dengan mencampurkan kedalam pakan atau air minum. Koksidiostat yang dapat
ditambahkan antara lain seperti ionophore, sulfaquinoxalin, robenidine, clopidol,
amprolium dan nicarbazine (Ditjennak 2014).
SIMPULAN
Kambing 4 yang berasal dari Rumah Doa terinfeksi kutu Damalinia Ovis,
dan ookista Eimeria sp dengan derajat infeksi berat. Pengendalian terhadap infeksi
kutu dapat dilakukan dengan pemberian ivermectin secara rute subkutan (SC)
sedangkan untuk pengendalian infeksi ookista dapat dilakukan dengan pemberian
koksidiostat pada pakan
DAFTAR PUSTAKA
Blood, D.C., Radotits, O.M. AND Gray, C.C., 1979. Veterinary Medicine, 8th
Ed., Bailiiere Tindall Ltd., pp. 1242-1245.
Ditjennak [Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan]. 2014. Manual
Penyakit Mamalia. Jakarta (ID): Subdit Pengamatan Penyakit Hewan,
Direktorat Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI.
Hadi UK dan Soviana S. 2006. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi, dan
Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Press.
Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Supriono. 2013. Atlas Entomologi Veteriner.
Bogor (ID): IPB Press.
Levine ND. 1995. Parasitology Veterinary. Soekardono, penerjemah. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.Terjemahan dari: Textbook of
VeterinaryParasitology
Lassen B, Viltrop A, Raaperi K, Jarvis T. 2009. Eimeria and Cryptosporidium in
Estonian dairy farms in regard to age, species, and diarrhoea. Vet Parasitol
[Internet]. [diunduh 2018 Disember 19]; 166: 212-219. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19747778.
Morgan BB, Hawkins PA. 1955. Veterinary Protozoology. USA: Burgess
Publishing Company Minnesota.
Prabowo, A. 2010. Petunjuk Teknis Budidaya Ternak Kambing (Materi Pelatihan
Agribisnis bagi Kmph). BPTP, Sumatera Selatan.
Sambodo P., P.A., dan Suprayogi T. H. 2012. Hubungan antara bobot badan,
volume ambing terhadap produksi susu kambing perah laktasi Peranakan
Etawa. Journal Animal Agricultural Vol.1 No. 1. Hal 99 – 105.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Antropods and Protozoa of Domesticate Animals
7thEd. Inglish Laguage Book Service Bailiere Tindall. 231-257
Tampubolon M. 1992. Petunjuk Laboratorium Protozoology. Pusat Antar
Universitas. Institut Pertanian Bogor. 51-57.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology Third Edition.
UK: Blackwell Publishing.