Anda di halaman 1dari 25

IDENTIFIKASI ENDOPARASIT PADA BABI (Sus spp.

) DI
RUMAH POTONG HEWAN KAPUK JAKARTA BARAT

DENDI KOMALA

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi


Endoparasit pada Babi (Sus spp.) di Rumah Potong Hewan Kapuk Jakarta Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Dendi Komala
NIM B04110145
ABSTRAK
Identifikasi Endoparasit pada Babi (Sus spp.) di Rumah Potong Hewan Kapuk
Jakarta Barat. Di bawah bimbingan RISA TIURIA dan ARIFIN BUDIMAN
NUGRAHA.

Infeksi endoparasit merupakan infeksi yang paling umum terjadi pada babi.
Beberapa masalah yang terjadi akibat infeksi endoparasit antara lain diare,
dehidrasi, penurunan efisiensi pakan, penurunan berat badan dan pertumbuhan.
Infeksi endoparasit terdiri dari masalah kecacingan (ascariasis, trichuriasis) dan
infeksi protozoa (koksidiosis). Ascariasis pada babi disebabkan Ascaris suum dan
trichuriasis pada babi disebabkan Trichuris suis. Koksidiosis pada babi
disebabkan Eimeria spp.. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung persentase
infeksi endoparasit dan mengidentifikasi endoparasit pada babi di rumah potong
hewan (RPH) Kapuk. Ukuran sampel sebesar 103 sampel. Sampel feses diperiksa
dan dihitung telur tiap gram tinja (TTGT) atau ookista tiap gram tinja (OTGT)
menggunakan metode McMaster. Hasil penelitian ini menunjukkan persentase
infeksi endoparasit yang terjadi pada babi di RPH kapuk sebesar 93.2%. Infeksi
endoparasit tertinggi terlihat pada infeksi oleh Eimeria spp.. Persentase ascariasis
dan trichuriasis pada babi di RPH Kapuk sebesar 3.8% dan 4.9%.

Kata kunci: ascariasis, koksidiosis, persentase, rumah potong hewan, trichuriasis

ABSTRACT
Identification of Endoparasites in Pigs at Kapuk Slaughter House. Supervised by
RISA TIURIA and ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA.

Endoparasites infection are the most common infection in pigs. There are
many problems caused by endoparasites infection, such as diarrhea, dehydrat ion,
decreasing feed efficiency, reduce weight and growth. Endoparasites infection
consist of helminth infection (i.e ascariasis, trichuriasis) and protozoa infection
(i.e coccidiosis). Ascariasis in pigs caused by Ascaris suum and trichuriasis in pigs
caused by Trichuris suis. Coccidiosis in pigs caused by Eimeria spp.. The aims of
this study were to estimate percentage of endoparasites infection and
identification of endoparasite in pigs at Kapuk slaughter house. The sample size
was 103 samples. The faecal samples were examined and counted of egg per gram
(EPG) or oocyst per gram (OPG) by McMaster method. The result showed that
the overall percentage of endoparasites infection in Kapuk slaughter house pig
was 93.2%. While the highest endoparasite infection was observed by Eimeria
spp.. Percentage of ascariasis and trichuriasis in Kapuk pig slaughter house were
3.8% and 4.9%.

Keywords: ascariasis, coccidiosis, pig slaughter house, percentage, trichuriasis


IDENTIFIKASI ENDOPARASIT PADA BABI (Sus spp.) DI
RUMAH POTONG HEWAN KAPUK JAKARTA BARAT

DENDI KOMALA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa atas
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Judul skripsi yang dipilih dalam penelitian yang telah dilaksanakan pada bulan
Januari sampai bulan Agustus 2015 adalah “Identifikasi Endoparasit pada Babi
(Sus spp.) di Rumah Potong Hewan Kapuk Jakarta Barat”. Adapun penyusunan
skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran
Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Risa Tiuria, MS selaku
pembimbing I dan Drh Arifin Budiman Nugraha, MSi selaku pembimbing II.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Ibu Yulli
Maria Goretti, MPd dan Bapak Suwato Komala, keluarga, Abhi, Eca, Olaf, Sherly,
Gina, serta teman-teman Ganglion FKH 48 atas segala doa dan dukungannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga
ucapkan terima kasih kepada Suku Dinas Rumah Potong Hewan atas
kerjasamanya. Semoga penulis dapat menghasilkan skripsi yang bermanfaat
khususnya bagi penulis, dan umumnya bagi pembaca.

Bogor, Agustus 2015

Dendi Komala
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Sifat dan Habitat Babi 2
Cacing Parasitik pada Babi 2
Protozoa pada Babi 3
METODE PENELITIAN 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Bahan dan Alat Penelitian 4
Koleksi Sampel Feses 4
Pemeriksaan Kualitatif 4
Pemeriksaan Kuantitatif 5
Identifikasi Endoparasit 5
Analisis Data 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Kondisi Geografis Lokasi Peternakan 6
Identifikasi Tipe Telur Cacing 6
Identifikasi Spesies Eimeria spp. 6
Persentase Infeksi Endoparasit 8
Penghitungan Telur Tiap Gram Tinja / Ookista Tiap Gram Tinja 10
Kerugian Akibat Infeksi Endoparasit 10
SIMPULAN DAN SARAN 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 12
RIWAYAT HIDUP 14
DAFTAR TABEL
1 Telur cacing yang ditemukan pada babi 6
2 Persentase koksidiosis berdasarkan pengelompokkan spesies Eimeria
spp. 6
3 Rata-rata TTGT/OTGT menggunakan metode McMaster 10

DAFTAR GAMBAR
1 Milk spot pada hati babi 3
2 Ookista Eimeria 3
3 Persentase infeksi endoparasit menggunakan metode flotasi sederhana 9
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Babi merupakan salah satu hewan yang diternakkan di Indonesia.


Konsumsi babi di Indonesia tidak terlalu besar, karena hanya dapat dikonsumsi
oleh masyarakat non- muslim. Babi yang diternakkan di Indonesia sudah
mengalami kawin silang dengan jenis lain, sehingga sulit untuk mengidentifikasi
kemurnian jenis babi tersebut. Populasi babi di Indonesia sebanyak 7 873 000
ekor (BPS 2015). Pada tahun 2012 jumlah babi yang dipotong di Rumah Potong
Hewan (RPH) di seluruh Indonesia sebanyak 730 388 ekor. Persentase jumlah
tersebut sebesar 24.1% masih lebih besar dibandingkan jumlah kerbau (1.9%),
kuda (0.2%), kambing (17.3%), dan domba (9.6%) yang dipotong di RPH.
Produksi daging babi terbanyak pada tahun 2011 sampai 2013 berada di provinsi
Bali yaitu sebanyak 90 068 ton, 99 683 ton, dan 103 551 ton.
Menurut BPS (2015), jumlah perusahaan ternak babi pada tahun 2002
sebanyak 53 dengan kegiatan utama pembibitan dan 347 dengan kegiatan utama
budidaya. Pada tahun 2012 jumlah perusahaan tersebut menurun menjadi 3
perusahaan dengan kegiatan utama pembibitan dan 27 perusahaan dengan
kegiatan utama budidaya. Banyaknya populasi babi, jumlah babi yang dipotong di
RPH, dan produksi daging babi sudah dapat memenuhi kebutuhan konsumen
secara kuantitas. Menurunnya jumlah perusahaan ternak babi dari tahun ke tahun
akan membuat komoditi babi di Indonesia tidak memenuhi kebutuhan konsumen
secara kualitas. Penurunan jumlah perusahaan tersebut disebabkan karena
banyaknya kendala dalam mengembangkan ternak babi secara menyeluruh
sehingga peternakan babi di Indonesia hanya berkembang statis sesuai permintaan
pasar (Wheindrata 2013). Menurut Kariyasa dan Ilham (2002) bahwa Indonesia
mempunyai potensi ekspor daging babi yang cukup besar yaitu sebesar 48.7% dari
jumlah produksi atau penawaran daging babi di Indonesia. Potensi ekspor tersebut
memerlukan peningkatan kualitas ternak dan daging babi sesuai respon atau
permintaan pasar ekspor. Peningkatan tersebut dapat dilakukan melalui
penggunaan bibit unggul, kualitas pakan yang baik, produksi yang optimal,
fasilitas RPH yang memadai, pendistribusian yang sesuai, dan penanganan yang
tepat pada babi yang sakit (Kariyasa dan Ilham 2002).
Salah satu masalah pada babi yang sering dijumpa i di RPH adalah
penyakit kecacingan dan infeksi protozoa. Cacing dan protozoa pada babi akan
menurunkan kesehatan tubuh babi dengan menyerap bahan nutrisi dan
mengganggu berbagai organ. Beberapa babi yang terinfeksi cacing tidak
menunjukkan gejala klinis, tetapi akan menurunkan efisiensi pakan dan
produktivitas babi tersebut (Pam et al. 2013).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menduga persentase infeksi endoparasit pada


babi di RPH Kapuk, dan mengidentifikasi endoparasit (helminth dan protozoa).
2

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki manajemen peternakan,


sehingga pengendalian terhadap penyakit kecacingan dan infeksi protozoa dapat
dilaksanakan dengan baik.

TINJAUAN PUSTAKA

Sifat dan Habitat Babi

Secara taksonomi babi diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia,


phylum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, famili Suidae, genus Sus,
spesies Sus sp. (Wheindrata 2013). Babi termasuk hewan omnivora (pemakan
segala). Pada peternakan tradisional, babi diberi makan dengan sistem basah.
Semua bahan yang didapat dicampur menjadi satu, kemudian dimasukkan ke
dalam wadah yang besar, diberi air secukupnya, ditambah garam secukupnya,
kemudian direbus sampai matang. Setelah dingin kemudian diberikan kepada babi.
Peternakan modern memberikan pakan dalam dua bentuk, yaitu pakan dalam
bentuk tepung (serbuk) dan bentuk pellet. Peternakan modern yang menggunakan
sistem kering, langsung memasukkan pakan ke kandang babi tetapi harus
disediakan air minum yang cukup. Peternakan modern yang menggunakan sistem
basah, biasanya berlaku pada bentuk tepung, akan membasahi pakan terlebih
dahulu sehingga menjadi adonan yang mudah dimakan (Wheindrata 2013).
Induk babi akan mengandung selama 115 hari dan menyusui anak-anaknya
selama 28 hari. Setelah 4 minggu, babi akan memasuki fase babi muda. Babi
muda akan diberi konsentrat yang cukup serta dilakukan kastrasi agar beratnya
bertambah. Setelah 16 minggu, babi akan memasuki fase dewasa (Wheindrata
2013).

Cacing Parasitik pada Babi

Nematoda merupakan cacing yang simetris bilateral dan gilig. Cacing ini
memiliki alat pencernaan sempurna. Beberapa cacing Nematoda pada babi adalah
Ascaris suum dan Trichuris suis. Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh
A. suum. Panjang cacing ini dapat mencapai 40 cm. Te lur cacing ini sangat
resisten terhadap lingkungan dan dapat hidup beberapa tahun di luar babi. Cacing
ini memiliki siklus hidup langsung. Setelah cacing termakan babi, larva akan
muncul dan bermigrasi ke mukosa sekum dalam beberapa jam. Kemudian larva
tersebut akan menuju hati untuk melakukan moulting dan menuju paru-paru.
Larva tersebut akan menjadi larva tingkat 4 dalam paru-paru. Lalu akan
menembus jaringan ke usus halus untuk menjadi cacing dewasa. Masa prepaten
cacing ini 50 hari. Cacing dewasa di dalam usus tidak menunjukkan gejala klinis
dan dapat dilihat adanya cacing dewasa pada usus halus pada pemeriksaan post-
mortem. Cacing ini dapat menyebabkan obstruksi usus halus yang dapat
menyebabkan kematian. Selain itu, obstruksi juga dapat terjadi di saluran empedu
yang akan menyebabkan jaundice. Lesio berwarna putih akan terlihat di hati yang
disebut milk spot (Gambar 1) (Urquhart et al. 1996).
3

Gambar 1 Milk spot pada hati babi (Zimmerman et al. 2012)

Trichuriasis adalah penyakit yang disebabkan Trichuris suis. Cacing ini


hidup di sekum dan panjangnya sekitar 1.5 cm. Jika terjadi infestasi yang parah,
cacing ini dapat menyebabkan masalah yang parah pada babi muda. Cacing ini
dapat ditemukan di seluruh dunia. Gejala klinis yang terjadi pada babi adalah
diare dan penurunan berat badan. Biasanya hal tersebut terjadi karena manajemen
yang buruk (Urquhart et al. 1996).

Protozoa pada babi

Salah satu penyakit babi di Indonesia yang disebabkan oleh protozoa


adalah koksidiosis. Koksidiosis disebabkan oleh Eimeria spp. dan merupakan
penyakit umum pada babi terutama babi muda. Babi dewasa dapat bertindak
sebagai pembawa penyakit. Ookista Eimeria dapat bertahan dalam tanah selama
15 bulan pada suhu -4.5 dan 40ºC. Waktu sporulasi protozoa ini 12 hari dan
periode prepatennya selama 10 hari. Siklus hidup Eimeria spp. dikenal dengan
tiga stadium, yaitu skizogoni, gametogoni, dan sporogoni. Siklus aseksual
merupakan stadium skizogoni, siklus seksual meliputi gametogami, sedangkan
sporogoni adalah pembentukan spora (Tampubolon 1996). Siklus hidup Eimeria
spp. berawal dari tertelannya ookista yang sudah bersporulasi oleh babi. Setelah 3
hari akan membentuk skizon di jejunum. Skizon generasi kedua akan matang
dalam waktu 5 hari dan skizon generasi ketiga akan matang dalam waktu 7 hari
setelah infeksi di ileum. Skizon generasi kedua akan menghasilkan 14 sampai 22
merozoit. Sedangkan skizon generasi ketiga akan menghasilkan 14 sampai 28
merozoit. Pada hari kedelapan setelah infeksi akan terbentuk 2 jenis kelamin. Pada
hari kesembilan setelah infeksi akan terbentuk mikrogamet dan makrogamet.
Makrogamet tersebut akan difertilisasi oleh mikrogamet dan membentuk zigot
yang berkembang menjadi ookista. Ookista keluar dari sekum atau usus kecil dan
keluar bersama feses (Gambar 2).

Gambar 2 Ookista Eimeria (Dewi dan Nugraha 2007)


4

Babi yang terserang koksidosis sering tidak menunjukkan gejala klinis


yang nyata, kecuali pada infeksi yang berat dapat terjadi diare berdarah.
Pencegahan koksidiosis dapat dilakukan dengan membersihkan kandang dan tidak
menempatkan babi dalam kandang yang berjejal-jejal dan penuh (Dewi dan
Nugraha 2007).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 hingga bulan Juni
2015 bertempat di RPH Kapuk. Pemeriksaan tinja dilakukan di Laboratorium
Helmintologi dan Laboratorium Protozoologi Bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel tinja babi, larutan
garam jenuh, dan akuades. Sedangkan alat yang digunakan pada penelitian ini
adalah timbangan digital, pipet, saringan teh (0.75‒0.9µm x 0.6‒0.675 µm), spidol,
label, gelas objek dan kaca penutup, kamar hitung McMaster, tabung reaksi, dan
mikroskop cahaya.

Metode Penarikan Contoh

Sampel diambil dari RPH Kapuk, Jakarta Barat. Pengambilan sampel


diambil dengan metode purposive sampling. Jumlah sampel sebanyak 103 sampel.

Koleksi Sampel Feses

Feses diambil menggunakan kantung plastik spesimen. Plastik spesimen


diberi keterangan berupa nama sampel dan tanggal pengambilan, kemudian
langsung dimasukkan ke dalam coolbox. Setelah itu, disimpan dalam lemari
pendingin 4ºC sampai dilakukan pemeriksaan.

Pemeriksaan Kualitatif

Pemeriksaan kualitatif dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi


endoparasit. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode flotasi sederhana.
Sebanyak 2 gram sampel dicampurkan dengan 58 ml larutan garam jenuh. Setelah
itu, larutan sampel disaring beberapa kali dengan menggunakan saringan teh.
Setelah disaring, campuran tersebut dituang ke dalam tabung reaksi hingga
membentuk meniskus. Kaca penutup ditempatkan di atas tabung reaksi. Lalu
didiamkan selama 10 menit. Kemudian kaca penutup diangkat dan diletakkan
pada gelas objek. Preparat diamati dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran
10x10 (Zajac dan Conboy 2012).
5

Pemeriksaan Kuantitatif

Pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan melalui Telur Tiap Gram Tinja


(TTGT) atau Ookista Tiap Gram Tinja (OTGT) dengan menggunakan teknik
McMaster yang sudah dimodifikasi (Kusumamihardja 1992). Penghitungan
TTGT/OTGT dihitung dengan menggunakan rumus:

TTGT/OTGT =

Keterangan:
n : Jumlah telur cacing atau ookista dalam kamar hitung
bt : Berat tinja (gram)
Vt : Volume total sampel (ml)
Vh : Volume kamar hitung (ml)

Pemeriksaan kuantitatif dilakukan untuk menghitung jumlah telur cacing


serta ookista protozoa pada kamar hitung McMaster. Sebanyak 2 gram sampel
dicampurkan dengan 58 ml larutan garam jenuh di dalam gelas dan diaduk sampai
homogen. Campuran tersebut disaring menggunakan saringan teh secara berulang
(3 sampai 5 kali). Setelah itu, larutan diambil dan dimasukkan ke dalam kamar
hitung McMaster menggunakan pipet. Kemudian dilakukan pengamatan telur
cacing dan ookista protozoa yang terdapat pada kamar hitung McMaster
menggunakan mikroskop dengan perbesaran 10x10 (Soulsby 1982).

Identifikasi Endoparasit

Jenis tipe telur cacing yang ditemukan dianalisis berdasarkan morfologi tipe
telur cacing menurut Urquhart et al. (1996). Sedangkan morfologi dan
pengukuran ookista dianalisis berdasarkan Soulsby (1982).

Analisis Data

Persentase infeksi (perbandingan jumlah hewan yang terinfeksi dengan


hewan bebas infeksi) endoparasit dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak
Microsoft Office Excel dan SPSS 20.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Tipe Telur Cacing

Berdasarkan hasil analisis laboratorik, tipe telur cacing yang ditemukan


adalah tipe ascarid dan trichurid. Jenis-jenis tipe telur cacing hasil pengamatan
disajikan pada Tabel 1.
Telur tipe ascarid yang paling umum ditemukan pada babi merupakan
telur dari Ascaris suum. Telur A. suum berbentuk oval dengan ukuran 50‒75 x
40‒50 µm dan dilapisi albumin. Albumin akan terlihat berwarna cokelat tua pada
6

pemeriksaan feses (Bowman 2014). Cacing A. suum memiliki empat macam telur
yang dapat dijumpai di feses, yaitu telur fertile (telur yang dibuahi), unfertile
(telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur yang sudah dibuahi tetapi telah
kehilangan lapisan albuminnya), dan telur infektif (telur yang mengandung larva).
Menurut Pittman et al. (2010), telur trichurid pada babi berasal dari spesies
Trichuris suis. Telur T. suis memiliki bentuk oval dengan ukuran 60 x 25 µm,
berwarna cokelat, dan memiliki polar cap pada kedua ujungnya.

Tabel 1 Telur cacing yang ditemukan pada babi


Jenis Ascarid Trichurid
Tipe telur yang
ditemukan

Ukuran ( µm) 60.1 x 47.4 59.5 x 26.5


(52.4‒66.7 x 43.6‒51.6) (57.9‒61.1 x 26.2‒27.1)
Tipe telur (a) (b)
berdasarkan
literatur

a
Sumber: Supriad i et al. (2014) b Su mber: Pitt man et al. (2010), bar 25 µm.

Identifikasi Spesies Eimeria spp.

Sebanyak 6 spesies Eimeria ditemukan dalam penelitian yaitu, E.


perminuta, E. neodebliecki, E. debliecki, E. porci, E. suis, dan E. polita. Ookista
Eimeria memiliki refractile shell dan beberapa spesies memiliki pori kecil yang
biasanya dilapisi polar cap (Urquhart et al. 1996). Ookista Eimeria jarang
ditemukan di peternakan besar. Jenis Eimeria pada babi yang mempunyai
distribusi di seluruh dunia adalah E. debliecki, E. scraba, E. perminuta E.
cerdonis, E. neodebliecki dan E. porci. Spesies E. guevarai dan E. scrofae pernah
dilaporkan ditemukan di Spanyol dan Swiss. Eimeria spinosa pernah ditemukan
pada babi yang didomestikasi di Amerika dan Uni Soviet (Soulsby 1982).

Tabel 2 Persentase koksidiosis berdasarkan pengelompokkan spesies Eimeria spp.


Jenis Eimeria spp. Jumlah Persentase
(%)
1 spesies 3 3.5
E. perminuta 2 2.3
E. neodebliecki 1 1.2
>1 spesies 83 96.5
E. debliecki dan E. neodebliecki 1 1.2
E. debliecki dan E. polita 1 1.2
E. neodebliecki dan E. perminuta 12 14.0
E. neodebliecki dan E. porci 12 14.0
7

E. neodebliecki dan E. suis 1 1.2


E. perminuta dan E. porci 16 18.6
E. perminuta dan E. suis 1 1.2
E. debliecki, E. neodebliecki, dan E. perminuta 1 1.2
E. debliecki, E. neodebliecki, dan E. porci 2 2.3
E. debliecki, E. perminuta, dan E. porci 1 1.2
E. neodebliecki, E. perminuta, dan E. porci 23 26.7
E. neodebliecki, E. perminuta, dan E. suis 3 3.5
E. neodebliecki, E. porci, dan E. suis 1 1.2
E. perminuta, E. porci, dan E. suis 3 3.5
E. debliecki, E. neodebliecki, E. perminuta, dan E. porci 4 4.7
E. neodebliecki, E. perminuta, E. porci, dan E. suis 1 1.2
Total 86 100

Laporan mengenai persentase kasus koksidiosis berdasarkan


pengelompokkan spesies pada babi di RPH Indonesia belum pernah dilaporkan
sebelumnya. Pada penelitian ini, koksidiosis yang terjadi dikelompokkan menjadi
dua kelompok yaitu, kelompok infeksi Eimeria tunggal (satu spesies) dan
kelompok infeksi Eimeria campuran (lebih dari satu spesies) yang disajikan pada
Tabel 2. Pada penelitian ini terdapat 83 sampel yang terinfeksi lebih dari satu
spesies Eimeria (96.5%) dan hanya terdapat tiga sampel yang terinfeksi satu
spesies Eimeria (3.5%). Menurut Chhabra dan Mafukidze (1992), sebanyak 90%
kasus koksidiosis pada babi merupakan infeksi campuran dari dua atau lebih
spesies Eimeria. Infeksi Eimeria yang murni disebabkan hanya oleh satu spesies
merupakan infeksi yang kurang patogen (Vetterling 1966). Setiap spesies Eimeria
memiliki kemampuan yang berbeda dalam menimbulkan gejala klinis. Menurut
Lindsay et al. (1987), E. debliecki bukan merupakan spesies yang patogen pada
babi. Pernyataan tersebut berlawanan dengan pernyataan Kaufmann (1996) yang
menjelaskan bahwa E. debliecki, E. scabra, E. polita, dan E. spinosa merupakan
spesies Eimeria yang lebih patogen daripada spesies lainnya. Menurut Daugschies
et al. (1999), ookista E. scabra dan E. polita pernah didiagnosa pada beberapa
kasus (1‒3%). Sedangkan kasus ookista E. suis dan E. porci terdapat sekitar 93%.

Persentase Infeksi Endoparasit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 93.2% babi di Rumah RPH Kapuk


terinfeksi endoparasit. Salah satu penyebab infeksi endoparasit dalam suatu
peternakan diakibatkan karena manajemen pemeliharaan ternak yang buruk.
Peternak tidak memberikan anthelmintik atau koksidiostat yang tepat pada babi.
Tamboura et al. (2006) melaporkan bahwa sebanyak 92% babi terinfeksi satu atau
lebih endoparasit. Persentase infeksi endoparasit dalam penelitian dibagi menjadi
dua kelompok yaitu kelompok infeksi tunggal dan kelompok infeksi campuran.
Persentase pada infeksi tunggal, terdapat 3.8% babi yang terinfeksi A. suum dan
4.9% babi yang terinfeksi T. suis. Persentase infeksi A. suum dalam penelitian ini
berbeda dengan laporan Tomass et al. (2013) bahwa persentase A. suum pada
peternakan babi di Ethiopia sebesar 25.9%. Persentase tersebut juga berbeda
dengan laporan Tamboura et al. (2006) bahwa persentase A. suum pada
peternakan babi di Afrika Barat sebesar 54%. Perbedaan persentase tersebut
8

terjadi karena adanya perbedaan suhu, kelembaban, dan cara pemeliharaan ternak.
Hasil persentase infeksi T. suis dalam penelitian ini masih di bawah hasil yang
dilaporkan Edith et al. (2010) yaitu sebesar 5.6%. Persentase infeksi A. suum
biasanya lebih tinggi dari persentase infeksi T. suis seperti yang dilaporkan Jufare
et al. (2015) bahwa pada peternakan babi di Ethiopia persentase A. suum sebesar
4.9% dan T. suis sebesar 2.9%. Persentase A. suum dalam penelitian ini yang lebih
rendah dari persentase T. suis kemungkinan karena perbedaan lokasi dan
anthelmintik. Anthelmintik yang biasa digunakan oleh peternak babi di Indonesia
adalah piperazine. Piperazine memiliki efikasi yang sangat baik terhadap
roundworm (A. suum) dan nodular worm (Oesophagostomum dentatum) tetapi
tidak efektif untuk jenis cacing lain. Kelebihan yang paling utama dari piperazine
adalah harganya yang tidak mahal dan frekuensi pemberiannya cukup satu kali
(Jacela et al. 2009). Efikasi piperazine yang sangat baik terhadap cacing A. suum
dan O. dentatum sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan hasil
persentase infeksi A. suum yang lebih rendah dibandingkan dengan infeksi T. suis.
Niasono (2002) juga melaporkan bahwa pemberian piperazine citrate mampu
menurunkan jumlah telur A. suum tetapi tidak memberikan pengaruh yang efektif
bagi cacing T. suis.
Persentase koksidiosis pada babi sebesar 63.1%. Tingginya persentase
koksidiosis disebabkan karena kebersihan kandang yang tidak terjaga sehingga
ookista Eimeria dengan mudah menginfeksi babi. Babi yang dipelihara pada
kandang tradisional dengan kandang tanah sangat rentan terhadap koksidiosis.
Menurut Schwartz (2002), ookista Eimeria resisten terhadap banyak desinfektan
sehingga penting untuk melakukan penggantian litter kandang dan menjaga
kebersihannya. Selain itu, buruknya sanitasi kandang menjadi faktor yang
meningkatkan kasus koksidiosis pada babi (Supriadi et al. 2014). Pada beberapa
kasus, mengecat kandang dan lantai dapat memutus siklus infeksi Eimeria. Babi
muda umumnya lebih peka terhadap koksidiosis dan daya tahannya lebih lemah
dibandingkan dengan babi dewasa. Keadaan tersebut menyebabkan koksidiosis
sering terjadi pada babi muda dibandingkan dengan babi dewasa (Sihombing
1997). Babi muda mempunyai kebiasaan memakan kotoran induk babi yang
mengandung telur cacing atau stadium infektif protozoa. Menelan kotoran induk
babi oleh babi yang masih menyusui merupakan physiological behavior untuk
memasok kebutuhan zat besi pada anak babi (Sansom dan Gleed 1981).
Temperatur dan kelembaban lingkungan yang tinggi merupakan kondisi
yang baik untuk perkembangan Eimeria (Yuliari et al. 2013). Pemberian
koksidiostat dapat menurunkan kejadian koksidiosis. Beberapa koksidiostat dapat
menurunkan kejadian koksidiosis pada babi dewasa, tetapi koksidiostat hanya
efektif untuk mencegah kejadian koksidiosis jika diberikan pada tahap awal
infeksi sebelum gejala klinis muncul. Koksidiosis biasanya tidak memberikan
gejala klinis yang signifikan sehingga membuat peternak jarang memberikan
koksidiostat pada waktu yang tepat. Babi yang diberi koksidiostat oleh peternak
biasanya sudah memiliki kerusakan usus yang parah sehingga pengobatan yang
dilakukan tidak memberikan dampak yang besar (Hall et al. 1982). Menurut
Nansen dan Roepstorff (1999), ookista Eimeria merupakan infeksi protozoa yang
paling umum pada babi dewasa terutama babi yang tidak dikandangkan.
Persentase ookista Eimeria yang tinggi dapat diambil dari feses ternak yang tidak
menunjukkan gejala klinis (Bowman 2014). Lindsay et al. (1987) menjelaskan
9

bahwa sebanyak 82‒95% dari 200 babi yang ada di beberapa peternakan terinfeksi
ookista Eimeria. Sementara itu, di Indonesia menurut Yasa et al. (2010) bahwa
sebesar 60% babi terinfeksi Eimeria dari hasil pemeriksaan feses babi yang
dilakukan di Bali. Hasil tersebut serupa dengan hasil persentase koksidiosis dalam
penelitian ini.

0.9% 3.9% Ascaris


4.9%

15.5% Trichuris
4.9%
Eimeria

Ascaris dan Eimeria

63.1% Trichuris dan Eimeria

Ascaris, Trichuris, dan


Eimeria
Gambar 3 Persentase infeksi endoparasit menggunakan metode flotasi sederhana

Persentase penyakit parasitik pada infeksi campuran, terdapat 4.9% babi


yang terinfeksi A. suum dan Eimeria, 15.5% babi yang terinfeksi T. suis dan
ookista Eimeria, dan 0.9% babi yang terinfeksi A. suum, T. suis, dan Eimeria.
Pada infeksi campuran, dapat terlihat semua sampel terinfeksi ookista Eimeria.
Infeksi campuran dapat disebabkan karena sistem pemeliharaan beberapa
peternakan babi masih diumbar. Sistem pemeliharaan ini sangat berpotensi bagi
endoparasit untuk menginfeksi babi. Selain itu, beberapa peternakan menerapkan
sistem pemeliharaan organik. Pada sistem pemeliharaan organik, babi tidak
diberikan anthelmintik atau koksidiostat. Tingginya persentase infeksi campuran
dapat terjadi karena rendahnya sistem kontrol yang efektif. Sistem kontrol yang
efektif tidak mudah dilakukan karena membutuhkan informasi tentang pola
epidemiologi, anthelmintik atau koksidiostat yang sesuai, dan pengetahuan
peternak yang lebih baik. Babi yang terinfeksi lebih dari satu endoparasit akan
menunjukkan lesio yang lebih parah tetapi lesio tersebut sulit teramati dalam
kawanan (Suh dan Song 2005).

Penghitungan Telur Tiap Gram Tinja / Ookista Tiap Gram Tinja

Derajat infeksi endoparasit dapat dilakukan dengan penghitungan telur tiap


gram tinja (TTGT) atau ookista tiap gram tinja (OTGT). Berdasarkan keterangan
standar infeksi pada ternak, maka derajat infeksi dapat dibedakan yaitu dengan
nilai 1‒499 TTGT/OTGT termasuk dalam kategori infeksi ringan, nilai 500‒5000
TTGT/OTGT termasuk dalam kategori infeksi sedang, dan nilai >5000
TTGT/OTGT termasuk dalam kategori infeksi berat (Thienpont et al. 1995).
Hasil pemeriksaan rata-rata TTGT menggunakan metode McMaster yang
dimodifikasi pada kelompok Ascaris sebesar 282.5 dan pada kelompok Trichuris
sebesar 50.5. Hasil tersebut menunjukkan bahwa infeksi Ascaris dan Trichuris
yang terjadi di RPH Kapuk termasuk dalam kategori ringan. Infeksi cacing yang
10

ringan sampai sedang tidak selalu menimbulkan gejala klinis yang nyata.
Sedangkan infeksi berat dari cacing dewasa dapat menyebabkan gangguan
pencernaan dan terhambatnya pertumbuhan pada babi muda (Subekti 2007). Nilai
TTGT pada kelompok Ascaris dan Trichuris yang tinggi sering ditemukan pada
babi-babi muda. Niasono (2002) melaporkan bahwa rata-rata TTGT Ascaris dan
Trichuris berturut-turut sebesar 4600 dan 308.33 dengan kisaran 100‒11600
TTGT untuk Ascaris dan 100‒900 TTGT untuk Trichuris.

Tabel 3 Rata-rata TTGT/OTGT menggunakan metode McMaster yang


dimodifikasi
Jumlah Hasil Pemeriksaan
Hewan Sampel (min-max)
Babi 103 Ascaris Trichuris Eimeria
282.5 50.5 7048.5
(200‒ 12300) (100‒ 1600) (200‒ 93200)

Nilai pemeriksaan menggunakan metode McMaster tertinggi ditemukan


pada kelompok Eimeria yaitu 7048.5. Infeksi Eimeria di RPH Kapuk termasuk
kategori berat. Toivo dan Erika (2008) melaporkan kisaran nilai OTGT Eimeria
sebesar 220‒1000. Nilai OOGT Eimeria spp. yang tinggi (>10000) dapat
ditemukan pada semua kategori umur. Pemberian koksidiostat yang terlambat
akan meningkatkan nilai OTGT kelompok Eimeria. Pemberian koksidiostat harus
diberikan pada tahap awal infeksi Eimeria (Hall et al. 1982).

Kerugian Akibat Infeksi Endoparasit

Infeksi saluran pencernaan merupakan masalah yang paling sering terjadi


pada peternakan babi. Infeksi saluran pencernaan dapat mengakibatkan kerugian
ekonomi yang besar. Kerugian yang terjadi berupa penurunan berat badan,
kematian, dan pengeluaran biaya berlebih untuk pengobatan (McOrist 2005). A.
suum dan T. suis memiliki potensi sebagai Nematoda zoonotik (Nejsum et al.
2012).
Larva Ascaris akan menimbulkan hipersensitvitas dan inflamasi dalam
migrasinya di berbagai jaringan pada babi. Inflamasi yang terjadi pada hati babi
akan memicu proses fibrosis yang disebut milk spot. Hati babi yang terjangkit
lesio tersebut menjadi tidak layak untuk dikonsumsi manusia sehingga akan
dibuang saat pemeriksaan di RPH. Infeksi cacing dewasa A. suum pada saluran
pencernaan lebih ringan dibandingkan dengan migrasi larvanya. Diare dapat
terjadi akibat infeksi pada saluran pencernaan tetapi yang lebih penting adalah
gangguan penyerapan nutrisi dan pertumbuhan (Bowman 2014). Kejadian diare
akan meningkat bila babi terinfeksi lebih dari satu endoparasit. Menurut Nansen
dan Roepstorff (1999), infeksi A. suum pada babi dapat menurunkan pertambahan
berat badan sampai 40% dan efisiensi pakan sampai 25%.
Infeksi Trichuris yang parah pada manusia akan mengakibatkan diare kronis,
anemia, malnutrisi, dan berpotensi terinfeksi parasit usus lainnya (Gilman et al.
1976). Pencegahan trichuriosis pada babi dan manusia saat ini hanya tergantung
pada penggunaan anthelminik. Penggunaan anthelmintik untuk trichuriosis tidak
diharapkan karena akan menimbulkan masalah lain seperti resistensi terhadap
anthelmintik dan meninggalkan residu pada daging babi (Krag et al. 2006). Lesio
11

pada pencernaan akan muncul setelah telur Trichuris tertelan. Larva Trichuris
tidak melakukan migrasi ekstraintestinal. Infeksi T. suis dapat menyebabkan
catarrhal enteritis dengan gejala klinis diare, dehidrasi, anoreksia, dan
keterlambatan pertumbuhan (Bowman 2014).
Koksidiosis yang parah dapat menyebabkan dehidrasi, diare kronis, dan
destruksi epitel usus. Destruksi usus akan membuat penyerapan nutrisi tidak
efektif sehingga akan menurunkan berat badan babi. Pada beberapa kasus,
dehidrasi yang terjadi dapat mengakibatkan kematian (Bowman 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jenis cacing yang menginfeksi babi di RPH Kapuk adalah jenis ascarid (A.
suum) dan trichurid (T. suis). Protozoa yang menginfeksi babi di RPH Kapuk
adalah Eimeria spp.. Persentase infeksi endoparasit pada babi di RPH Kapuk
sebesar 93.2%. Derajat infeksi cacing A. suum dan T. suis termasuk kategori
ringan, sedangkan derajat infeksi ookista Eimeria spp. termasuk kategori berat.

Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai infeksi endoparasit pada babi
di RPH Kapuk dengan sampel individu yang dapat dibedakan umur dan jenis
kelaminnya. Manajemen pemeliharaan meliputi anthelmintik dan koksidiostat
serta kebersihan kandang di setiap peternakan dan RPH perlu diadakan secara
periodik sebagai bagian dari progam pengendalian infeksi endoparasit.

DAFTAR PUSTAKA

Bowman DD. 2014. Georgis Parasitology for Veterinarians. Ed ke-10. New York
(US): Saunders.
[BPS] Balai Pusat Statistik. 2015. Populasi Ternak 2000-2014. Jakarta (ID): BPS.
Chhabra RC, Mafukidze RT. 1992. Prevalence of coccidia in zimbabwe. Vet
Parasitol [Internet]. [diunduh 2015 Jul 30]; 41:1‒5. Tersedia pada:
http://booksc.org/s/?q=Prevalence+of+coccidia+in+zimbabwe&t=0.
Daugschies A, Imarom S, Bollwahn W. 1999. Differentiation of porcine Eimeria
spp by morphologic algorithms. J Vet Parasitol [Internet]. [diunduh 2015
Jul 30]; 81:201‒210. Tersedia pada: http://booksc.org/s/?q=
Differentiation+of+porcine+Eimeria+spp+by+morphologic+algorithms&t
=0.
Dewi K, Nugraha RTP. 2007. Endoparasit pada feses babi kutil (Sus verrucosus)
dan prevalensinya yang berada di kebun binatang Surabaya. Zoo Indonesia
12

[Internet]. [diunduh 2015 Jul 31]; 16(1):13‒19. Tersedia pada: http://e-


journal.biologi.lipi.go.id/index.php/zoo_indonesia/article/view/115.
Edith J, Ilirjan K, Bejo B, Esmeralda S, Shemsho L. 2010. Preliminary research
for the presence of parasites in swine in Albania. Albanian J Agr Sci
[Internet]. [diunduh 2015 Jul 28]; 3(9):57‒66. Tersedia pada:
http://agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=DJ2012080053.
Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology. Ed ke-5. Iowa (US): Iowa State
University Pr.
Gilman RH, Davis C, Fitzgerald F. 1976. Heavy Trichuris infection and amoebic
dysentery in orang asli children a comparison of the two diseases. T Roy
Soc Trop Med H [Internet]. [diunduh 2015 Jul 27]; 70(4):313‒316.
Tersedia pada: http://trstmh.oxfordjournals.org/content/70/4/313.short.
Hall RE, Meyer RC, Todd AC. 1982. Swine Coccidiosis. Michigan (US):
Michigan State University.
Houpt KA. 2011. Domestic Animal Behaviour for Veterinarians and Animal
Scientists. Ed ke-5. Hoboken (US): Wiley Blackwell.
Jacela JY, Derouchey JM, Tokach MD, Goodband RD, Nelssen JL, Renter DG,
Dritz SS. 2009. Feed additives for swine fact sheets carcass modifiers
carbohydrate degrading enzymes and proteases and anthelmintics. J Swine
Health Prod [Internet]. [diunduh 2015 Jul 31]; 17:270‒275. Tersedia pada:
https://www.aasv.org/jshap/issues/v17n6/v17n6p326.htm.
Jufare A, Awol N, Tadesse F, Tsegaye Y, Hadush B. 2015. Parasites of pigs in
two farms with poor husbandry practices in Bishoftu Ethiopia.
Onderstepoort J Vet [Internet]. [diunduh 2015 Jul 30]; 82(1):1‒5. Tersedia
pada: http://reference.sabinet.co.za/sa_epublication_article/opvet_v82_n1_
a6.
Kariyasa IK, Ilham N. 2002. Analisis penawaran dan permintaan serta potensi
ekspor daging babi Indonesia. Agris [Internet]. [diunduh 2015 Jul 31];
1:1‒24. Tersedia pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/view
File/4017/3006.
Kaufmann J. 1996. Parasitic infections of domestic animals, a diagnostic manual.
Basel (CH): Birkhauser Verlag.
Kusumamihardja S. 1992. Parasit dan parasitosis pada hewan ternak dan hewan
piaraan di Indonesia. Bogor (ID): IPB Pr.
Krag L, Thomsen LE, Iburg T. Pathology of Trichuris suis infection in pigs fed an
inulin and a non inulin containing diet. J Vet Med [Internet]. [diunduh
2015 Jul 31]; 53:405‒409. Tersedia pada:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1439-0442.2006.00861.
Levine N. 1985. Protozoologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah;
Brotowidjojo MD, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Lindsay DS, Blagburn BL, Boosinger TR. 1987. Experimental Eimeria debliecki
infections in nursing and weaned pigs. Vet Parasitol [Internet]. [diunduh
2015 Jul 27]; 25:39‒45. Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/030440178790063X.
Lord WD, Bullock WL. 1982. Swine ascaris in humans. N Engl J Med [Internet].
[diunduh 2015 Jul 31]; 306:113. Tersedia pada: http://agris.fao.org/agris-
search/search.do?recordID=US201302623983.
13

McOrist S. 2005. Defining the full costs of endemic porcine proliferative


enterophaty. J Vet [Internet]. [diunduh 2015 Jul 31]; 170:8‒9. Tersedia
pada: http://booksc.org/s/?q=Defining+the+full+costs+of+endemic+
porcine+proliferative+enterophaty&t=0.
Nansen P, Roepstorff A. 1999. Parasitic helminthes of the pig factors influencing
transmission and infection levels. J Parasitol [Internet]. [diunduh 2015 Jul
31]; 29:877‒891. Tersedia pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S002075199900048X.
Nejsum P, Betson M, Bendall RP, Thamsborg SM, Stothard JR. 2012. Assessing
the zoonotic potential of Ascaris suum and Trichuris suis looking to the
future from an analysis of the past. J Helminthol [Internet]. [diunduh 2015
Jul 30]; 86:148‒155. Tersedia pada:
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&ai
d=8555809&fileId=S0022149X12000193.
Niasono AB. 2002. Prevalensi infeksi kecacingan ternak babi di lingkungan
peternakan kampus IPB Darmaga [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Pam VA, Daniel LN, Bata SI, Udokaninyene AD, Hassan AA, Kemza SY, Igeh
CP, Ogbu KI. 2013. An investigation of haemo and gastrointestinal
parasites of pig in some parts of langtang north local government area of
plateau state. J Vet Adv [Internet]. [diunduh 2015 Jul 31]; 3(2):79‒86.
Tersedia pada: http://www.scopemed.org/?jft=74&ft=74-1362051581.
Pittman JS, Shepherd G, Thacker BJ, Myers GH. 2010. Trichuris suis in finishing
pigs case report and review. J Swine Health Prod [Internet]. [diunduh
2015 Jul 27]; 18(6):306‒313. Tersedia pada:
http://www.swineweb.com/trichuris-suis-in- finishing-pigs-case-report-and
-review/.
Sansom BF, Gleed PT. 1981. The ingestion of sows faeces by suckling piglets.
Brit J Nutr [Internet]. [diunduh 2015 Jul 23]; 46:451‒456. Tersedia pada:
http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&ai
d=845576&fileId=S0007114581001293.
Schwartz K. 2002. Swine Coccidiosis. Michigan (US): Michigan State University.
Sihombing DTH. 1997. Ilmu Ternak Babi. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Soulsby, EJL. 1982. Helminth, arthropods and protozoa of domesticated animals.
Ed ke-7. London (UK): Bailliere Tindall.
Subekti S. 2007. Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner. Surabaya (ID): Universitas
Airlangga.
Suh DK, Song JC. 2005. Prevalence of enteropathogen in swine herds. J Vet Scie
[Internet]. [diunduh 2015 Jul 28]; 6:289‒293. Tersedia pada:
http://booksc.org/s/?q=Prevalence+of+enteropathogen+in+swine+herds.
Supriadi, Muslihin A, Roesmanto B. 2014. Pre eliminasi parasit gastrointestinal
pada babi dari desa Suranadi kecamatan Narmada Lombok Barat. Media
Bina Ilmiah [Internet]. [diunduh 2015 Jul 22]; 8(5):64‒68. Tersedia pada:
http://lpsdimataram.com/phocadownload/Agustus-2014/12-pre-eliminas
i%20parasit%20gastrointestinal%20pada%20babi%20dari%20desa%20sur
anadi%20-%20supriadi%20muslihin%20dan%20roesmanto.pdf.
Tamboura HH, Bangamboko H, Maes D, Youssao I, Traore A, Bayala B,
Dembele MA. 2006. Prevalence of common gastrointestinal nematode
14

parasites in scavenging pigs of different ages and sexes in eastern centre


province Burkina Faso. J Veterinary Res [Internet]. [diunduh 2015 Jul 27];
73:53‒60. Tersedia pada:
http://reference.sabinet.co.za/sa_epublication_article /opvet_v73_n1_a5.
Tampubolon MP. 1996. Protozoologi. Bogor (ID): IPB Pr.
Thienpont, Rochette F, Vanparijs OFJ. 1995. Diagnosting Helminthiasis Through
Coprological Examination. Belgium (BE): Jannsen Pharmaeutica.
Toivo J, Erika M. 2008. Pig endoparasites in Estonia. Agris [Internet]. [diunduh
2015 Jul 31]; 1:54‒58. Tersedia pada:
http://www.cabdirect.org/abstracts/20093169420.html;jsessionid=66AE00
1ECEB0A893BBD9765DCAD81A3F.
Tomass Z, Imam E, Kifleyohannes T, Tekie Y, Weidu K. 2013. Prevalence of
gastrointestinal parasites and cryptosporidium spp in extensively managed
pigs in Mekelle and urban areas of southern zone of Tigray region
northern Ethiopia. Vet World [Internet]. [diunduh 2015 Jul 29];
6(7):433‒439. Tersedia pada: http://www.scopemed.org/?mno=27948.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary
Parasitology. Ed ke-2. Skotlandia (UK): Blackwell.
Vetterling JM. 1966. Endogenous cycle of the swine coccidium Eimeria debliecki.
J Protozool [Internet]. [diunduh 2015 Jul 31]; 13:290‒300. Tersedia pada:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.15507408.1966.tb01910.x/abs
tract.
Wheindrata HS. 2013. Cara Mudah Untung Besar dari Babi. Yogyakarta (ID):
Lily Publisher.
Yasa IMR, WirawanK, Suyasa IW. 2010. Prevalensi Infeksi Parasit Cacing dan
Eimeria SP pada Babi Bali Desa Sanggalangit Kecamatan Gerokgak
Buleleng Bali. Denpasar (ID): Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Yuliari PK, Damriyasa IM, Dwinata IM. 2013. Persentase Protozoa Saluran
Pencernaan pada Babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak Papua.
Indonesia Medicus Veterinus [Internet]. [diunduh 2015 Jul 28];
2(2):208‒215. Tersedia pada:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82676&val=974.
Zajac AM, Conboy GA. 2012. Veterinary Clinical Parasitology. Ed ke-8. West
Sussex (UK): John Wiley & Sons Inc.
Zimmerman JJ, Karriker LA, Ramirez A, Schwartz KJ, Stevenson GW. 2012.
Diseases of Swine. Hoboken (US): Wiley.

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di RSB Tembaga, Jakarta pada tanggal 17 April 1993 dari
Ayah bernama Suwato Komala dan Ibu bernama Yulli Maria Goretti. Penulis
merupakan putra ketiga dari tiga bersaudara dengan seorang kakak laki- laki
bernama Ferdi Yulianto Komala dan seorang kakak perempuan bernama Irene
Natalia Komala. Penulis pernah bersekolah di SDK 6 BPK Penabur Jakarta pada
tahun 1999-2005, SMPK 4 BPK Penabur Jakarta tahun 2005-2008, lulus dari
SMAK 5 BPK Penabur Jakarta tahun 2011 dan pada tahun yang sama lulus
15

seleksi masuk IPB jalur SNMPTN tulis di Institut Pertanian Bogor. Selama
mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif menjadi anggota Himpro HKSA tahun
2013-2014.

Anda mungkin juga menyukai