Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.

4, Juli 2019

Prevalensi Dan Intensitas Telur Cacing Parasit Gastrointestinal Pada


Ternak Babi (Sus scrofa domesticus L.)
Erna Pali, Nova Hariani*
Laboratorium Ekologi dan Sistematika Hewan, FMIPA UNMUL, Samarinda
*e-mail: nova.ovariani@gmail.com

Received:May 20, 2019 Accepted: May 27, 2019 Online Published:July 3, 2019

Abstract: Prevalence and Intensity of Parasitic Worm Eggs Gastrointestinal on Pig


Farming (Sus Domesticus) in Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Worm disease in
livestock is a very important thing to observed, due to related to the amount and quality of
the desired meat. This research method is descriptive and has done by observing worm
eggs in pig faeces consisting of 24 samples of male pig faeces and 36 samples of female pig
faeces on Marangkayu farm. The results has showed that there were 5 types of parasitic
worm eggs in pig faeces from Marangkayu farm is namely Fasciolopsis buski,
Echinococcus granulosus, Ascaris suum, Trichuris suis, Ancylostoma duodenale. The
prevalence and intensity values were found from high to low is namely Ascaris suum
prevalence 71.67% and intensity of 1.672 items/individual in Ancylostoma duodenale
prevalence of 46.67% and intensity of 164 eggs/individual; on Fasciolopsis buski
prevalence 35% and intensity 7 eggs/individual; in Trichuris suis there is a prevalence of
15% and an intensity of 100 eggs/individual.

Keywords: prevalence, intensity, parasitic eggs, Kutai Kartanegara

Abstrak: Prevalensi Dan Intensitas Telur Cacing Parasit Gastrointestinal Pada


Ternak Babi (Sus scrofa domesticus L.). Penyakit cacing pada ternak merupakan hal yang
sangat penting untuk dicermati, karena terkait dengan jumlah dan kualitas daging yang
diinginkan. Metode penelitian ini bersifat deskriptif dan telah dilakukan dengan mengamati
telur cacing dalam kotoran babi yang terdiri dari 24 sampel kotoran babi jantan dan 36
sampel kotoran babi betina di peternakan Marangkayu. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat 5 jenis telur cacing parasit pada kotoran babi dari peternakan Marangkayu
yaitu Fasciolopsis buski, Echinococcus granulosus, Ascaris suum, Trichuris suis,
Ancylostoma duodenale. Nilai prevalensi dan intensitas yang ditemukan dari tinggi ke
rendah yaitu prevalensi Ascaris suum 71,67% dan intensitas 1,672 item / individu pada
prevalensi Ancylostoma duodenale 46,67% dan intensitas 164 telur / individu; pada
prevalensi Fasciolopsis buski 35% dan intensitas 7 telur/individu; di Trichuris suis ada
prevalensi 15% dan intensitas 100 telur / individu.

Kata kunci: Prevalensi, Intensitas, Telur Parasit, Kutai Kartanegara

69
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

PENDAHULUAN bukan berarti tidak ada infeksi (Irianto,


Babi (Sus scrofa domesticus L.) 2009). Peternakan babi di Kecamatan
merupakan salah satu ternak yang Marangkayu, Kutai Kartanegara
memiliki potensi besar dalam merupakan salah satu usaha peternak
pengembangan usaha untuk pemenuhan yang menghasilkan daging babi untuk
kebutuhan akan daging. Hal ini didukung dikonsumsi oleh masyarakat Kalimantan
oleh sifatnya yang mempunyai Timur. Penelitian mengenai jenis cacing
pertumbuhan dan perkembangbiakan parasit pada feses babi di peternakan
yang cepat dan efisien dalam Marangkayu belum pernah dilakukan.
mengkonversi pakan menjadi daging Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian
sehingga mempunyai persentase karkas tentang kesehatan pada ternak babi
yang tinggi dalam produksi daging babi melalui prevalensi dan intensitas cacing
berkualitas (Siagian, 1999). Untuk parasit pada feses, yang bertujuan untuk
memperoleh daging babi yang berkualitas mengetahui jenis cacing parasit,
para peternak babi harus memperhatikan prevalensi dan intensitas telur cacing
pemeliharaan hewan ternak tersebut agar gastrointestinal dengan pemeriksaan feses
terhindar dari berbagai penyakit yang pada babi di Kecamatan Marangkayu,
akan menurunkan produktivitas babi Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.
(AAK, 2012).
Penyakit yang paling umum pada METODE
ternak peliharaan, disebabkan oleh cacing Waktu dan Tempat Penelitian
parasit yang bersifat endoparasit Penelitian ini dilaksanakan dari
(Kusumamiharja, 1985). Parasit cacing bulan Juli sampai Oktober 2018,
umumnya dapat ditemukan hampir sampling feses dilakukan di Peternakan
diseluruh bagian tubuh inangnya, akan babi Kecamatan Marangkayu dan proses
tetapi sebagian besar dapat dijumpai pada identifikasi dilakukan di Laboratorium
saluran pencernaan (Soulsby, 1982). Ekologi & Sistematika Hewan, Fakultas
Penyakit parasit ini dapat dipengaruhi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
oleh beberapa faktor yang terdiri dari Universitas Mulawarman, Samarinda.
kondisi lingkungan, pakan dan cara
pemeliharaannya (Galloway, 1974). Rancangan Penelitian
Secara global kerugian ekonomi yang Penelitian ini bersifat deskriptif dan
dapat dialami oleh para peternak akibat dilakukan dengan cara mengamati telur
infeksi cacing parasit tersebut berupa cacing pada feses babi yang terdiri dari 24
kematian, penurunan berat badan, sampel feses babi jantan dan 36 sampel
kehilangan karkas, kerusakan hati, feses babi betina di Kecamatan
kehilangan tenaga kerja dan biaya yang Marangkayu. Data diperoleh dengan
harus dikeluarkan untuk pengobatan melakukan pemeriksaan feses dengan
ternak tersebut (Charlier, 2008). menggunakan metode apung dan metode
Informasi mengenai infeksi cacing sedimentasi.
parasit pada hewan ternak di Kalimantan
Timur sangat sedikit disebabkan karena Alat dan Bahan
jarangnya dilakukan penelitian mengenai Alat yang digunakan dalam
infeksi dari cacing pita tersebut. Kurang penelitian ini yaitu, botol film, gelas ukur,
atau tidak adanya penelitian dan kasus, pipet tetes, mikrometer, timbangan, gelas

70
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

kimia, kertas label, batang pengaduk, yaitu metode apung dan metode
sterofom box, alat tulis, kamera digital sedimentasi, kedua metode ini dilakukan
dan mikroskop, sedangkan bahan-bahan karena pada telur cacing parasit ada yang
yang digunakan dalam penelitian ini mengapung dan ada yang tenggelam.
adalah air methylen blue, formalin 10%,
larutan gula jenuh, 24 sampel feses segar Pemeriksaan Dengan Metode Apung
babi jantan dan 36 sampel feses segar Prinsip dari metode apung yaitu
babi betina serta buku identifikasi telur melarutkan feses yang diduga
cacing. mengandung telur cacing nematoda
didalam larutan gula jenuh, pada metode
Cara Kerja ini telur cacing nematoda akan
Penelitian ini dilakukan dalam dua mengapung. Metode apung dalam
tahapan kerja, pertama sampling feses di pemeriksaan telur cacing dilakukan
peternakan babi desa Sebuntal kecamatan sebagai berikut: sampel feses yang segar
Marangkayu. Kedua identifikasi telur ditimbang sebanyak 3 gram, kemudian
cacing pada sampel feses dilakukan di sampel feses dimasukkan kedalam mortil
Laboratorium Ekologi & Sistematika yang telah diisi air sebanyak 7 mL,
Hewan dan Laboratorium Anatomi dan kemudian sampel digerus hingga halus.
Mikroteknik Hewan, Fakultas campuran dari sampel dan air dimasukkan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam kedalam gelas kimia yang telah berisi
Universitas Mulawarman. larutan gula jenuh sebanyak 50 mL
kemudian diaduk hingga tercampur.
Sampling Feses Metode apung menyebabkan telur cacing
Terlebih dahulu disiapkan alat dan nematode akan mengapung dipermukaan
bahan yang akan digunakan, kemudian larutan air gula jenuh. Suspensi sampel
sampel feses yang masih segar diambil diambil sebanyak 0,5 mL kemudian
sebanyak kurang lebih 15 gram untuk dimasukkan kedalam Whitlock chamber.
masing-masing jantan dan betina, setelah Sampel didiamkan selama 3-5 menit
itu sampel feses dimasukkan dalam botol kemudian sampel diamati dengan
film yang telah diberi label (No. Koleksi, menggunkan mikroskop dengan
tanggal pengambilan, jenis kelamin, dan perbesaran dari yang kecil sampai yang
lokasi pengambilan sampel). Sampel besar, telur cacing parasit dapat terlihat
feses kemudian ditetesi dengan formalin jelas pada perbesaran 100 x 10. Untuk
10% sebanyak 5 tetes dan disimpan mengetahui jumlah telur cacing dilakukan
kedalam termos yang telah diberi es batu. dengan menghitung satu persatu pada
Sampel yang telah dikumpulkan setiap strip dari setiap sekat pada gelas
selanjutnya dibawa ke Laboratorium Whitlock chamber kemudian didokumen-
Fakultas Matematika dan Ilmu tasikan dan pengamatan diulang atau
Pengetahuan Alam Universitas dilakukan dua kali untuk setiap sampel.
Mulawarman untuk dianalisis dan Semua telur cacing yang didapatkan
diidentifikasi. dihitung jumlahnya dan diidentifikasi
menggunakan buku identifikasi (Shahid,
Pemeriksaan Telur Cacing Pada Feses dkk. 2010).
Pemeriksaan telur cacing pada
sampel feses menggunakan dua metode

71
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

Table 1. Prevalensi telur cacing parasit yang ditemukan pada ternak babi jantan dan betina
di Marangkayu, Kutai Kartanegara
Σ sampel terinfeksi Prevalensi %
Jenis cacing
Jantan Betina Jantan Betina
SEDIMENTASI
Fasciolopsis busky 10 11 41,67 30,56
Echinococcus granulosus 1 5 4,17 13,89
APUNG
Ascaris suum 19 24 79,17 66,67
Trichuris suis 6 3 25,00 8,33
Ancylostoma duodenale 12 16 50,00 44,44

80
70
60
Prevalensi %

50
40
30
20
10
0
Fasciolopsis Echinococcus Ascaris suum Trichuris suis Ancylostoma
busky granulosus duodenale
Jenis cacing

Gambar 1. Prevalensi endoparasit pada ternak babi di Kecamatan Marangkayu

Tabel 2. Jumlah telur cacing parasit yang ditemukan dan tingkat infeksi pada ternak babi
jantan dan betina di Marangkayu, Kutai Kartanegara
Σ Endoparasit yang
terdapat pada sampel Tingkat terinfeksi
Jenis cacing (butir)
Jantan Betina Jantan Betina
SEDIMENTASI
Fasciolopsis busky 46 100 Ringan Ringan
Echinococcus granulosus 16 86 Ringan Ringan
APUNG
Ascaris suum 35.466 36.433 Berat Berat
Trichuris suis 783 116 Sedang Ringan
Ancylostoma duodenale 2.533 2.050 Sedang Sedang

72
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

Tabel 3. Intensitas telur cacing parasit yang ditemukan pada ternak babi jantan dan betina
di Marangkayu, Kutai Kartanegara
Σ Endoparasit yang Intensitas
terdapat pada Σ sampel terinfeksi (butir/sampel
Jenis cacing sampel (butir) terinfeksi)
Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina
SEDIMENTASI
Fasciolopsis busky 46 100 10 11 5 9
Echinococcus 16 17
granulosus
16 86 1 5
APUNG
Ascaris suum 35.466 36.433 19 24 1.866 1.518
Trichuris suis 783 116 6 3 130 39
Ancylostoma duodenale 2.533 2.050 12 16 211 128

Pemeriksaan Dengan Metode telur cacing dari Whitlock Chamber


Sedimentasi. Pemeriksaan dengan metode kemudian didokumentasikan dan
sedimentasi atau pengendapan bertujuan pengamatan diulang atau dilakukan dua
untuk identifikasi telur cacing trematoda kali untuk setiap sampel. Semua telur
dan cestoda. Metode sedimentasi dalam cacing yang didapatkan dihitung
pemeriksaan telur cacing dilakukan jumlahnya dan diidentifikasi
dengan langkah-langkah sebagai berikut: menggunakan buku identifikasi (Shahid,
sampel feses ditimbang sebanyak 3 gram, dkk. 2010).
kemudian sampel dimasukkan kedalam
mortil yang berisi air sebanyak 7 mL, Tingkat Infeksi Berdasarkan
kemudian sampel feses dimasukkan Jumlah Telur. Menghitung prevalensi
kedalam gelas kimia yang telah berisi air dan mengetahui tingkat infeksinya
sebanyak 60 mL. Campuran sampel feses berdasarkan jumlah telur per gram feses,
dan air kemudian diaduk hingga homogen maka infeksi dapat dibedakan menjadi
dan didiamkan selama 60 menit, setelah beberapa tingkatan:
itu sampel feses disaring dan Jumlah telur
Tingkat infeksi
ditambahkan lagi air sebanyak 60 mL, (butir/gram feses)
diaduk dan dibiarkan lagi selama 6 menit,
kemudian sampel disaring lagi. Setelah 1 - 499 Ringan
itu kembali ditambahkan air 60 mL, 500 - 5000 Sedang
kemudian cairan bagian atasnya dibuang >5000 Berat
dan disisakan bagian sedimen sebanyak
kurang lebih 15 mL dan endapannya (Thienphont et al. 1995)
ditetesi dengan Methylen blue 1 %
sebanyak 2 tetes atau sampai berwarna
kebiruan. Sampel yang telah ditetesi
Methylen blue 1 % diambil 0,5 mL dan
dimasukkan kedalam alat penghitung

73
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

Analisis Data. Data dari hasil Tabel 1 menunjukkan bahwa


penelitian ditampilkan secara deskriptif Ascaris suum memiliki nilai prevalensi
(Identifikasi telur cacing). Perhitungan tertinggi dari semua endoparasit yang
jumlah telur per gram feses (EPG): ditemukan pada ternak babi di Kecamatan
Pemeriksaan dengan metode apung: Marangkayu. Nilai prevalensi dari
EPG = jumlah telur yang dihitung pada Ascaris suum yang ditemukan pada jantan
setiap 5 strip dalam satu sekat x yaitu 79,17% pada betina 66,67%. Nilai
200 prevalensi terendah dari semua jenis
Pemeriksaan dengan metode sedimentasi: endoparasit yang ditemukan terjadi pada
EPG = jumlah telur yang dihitung pada Echinococcus granulosus (4,17%)
setiap 5 strip dalam satu sekat x terhadap babi jantan dan Trichuris suis
40 (8,33%) terhadap babi betina.
Tingginya nilai prevalensi Ascaris
Penentuan prevalensi dilakukan suum pada ternak babi ini disebabkan
berdasarkan pada hasil pemeriksaan feses karena Ascaris suum merupakan salah
dari kedua metode kemudian satu endoparasit yang umum ditemukan
dipresentasikan menggunakan rumus: didalam pencernaan hewan ternak (baik
sapi maupun ayam) yang memakan
rerumputan. Ascaris suum yang
ditemukan pada babi jantan lebih tinggi
Penentuan intensitas telur cacing
dari pada babi betina hal ini diduga
karena babi jantan lebih aktif serta
memiliki usia yang lebih muda
dibandingkan dengan babi betina.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pernyataan ini sesuai dengan penelitian
(Fendryanto et al, 2015) di Bali yang
Jenis Telur Cacing Parasit Yang melaporkan hasil penelitiannya pada anak
Ditemukan Pada Feses Babi. Hasil babi ditemukan nilai prevalensi Ascaris
pengamatan pada 60 sampel feses babi suum tertinggi sebesar 33,2%.
(Sus domesticus L) (24 jantan dan 36 Rendahnya nilai prevalensi
betina) di peternakan Kecamatan Echinococcus granulosus pada babi
Marangkayu dengan metode sedimentasi jantan, hal ini diduga karena E.
dan metode apung ditemukan 5 jenis telur granulosus merupakan jenis cacing yang
cacing parasit. Jenis cacing parasit yang memerlukan dua host dalam siklus
ditemukan pada sampel feses tersebut hidupnya. Sehingga proses infeksti tidak
tergolong ke dalam filum langsung terjadi walaupun parasit ini
Plathyhelminthes kelas trematoda dan masuk kedalam tubuh. Murel (1991);
cestoda serta filum nemathelminthes Tizard (1988), menjelaskan bahwa E.
dengan kelas Secernentea. Jenis telur granulosus merupakan cestoda yang
cacing parasit yang ditemukan pada memiliki siklus hidup yang melibatkan
pemeriksaan sampel feses tersebut secara dua hospes, ada yng definitive dana ada
umum memiliki morfologi berbentuk yang perantara. E. granulosus yang
bulat hingga oval, memiliki warna ditemukan pada babi jantan memiliki nilai
kecoklatan hingga coklat tua serta prevalensi lebih rendah daripada babi
memiliki dinding. betina, hal ini diduga karena cara

74
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

pemeliharaan yang berbeda dan jumlah suum pada babi tidak menutup
ternak babi jantan yang digunakan dalam kemungkinan dapat menginfeksi manusia
penelitian ini lebih sedikit dibandingkan yang mengkonsumsi daging tersebut. Hal
dengan babi betina. Sedangkan Trichuris ini didukung oleh penelitian (Tolistiawaty
suis pada babi betina memiliki nilai et al, 2016) di Kabupaten Sigi, Sulawesi
prevalensi terendah. Hal ini diduga Tengah yang menyatakan bahwa cacing
karena ternak babi betina yang digunakan jenis Fasciola sp., Ascaris sp. dan
memiliki usia yang sudah dewasa Usia Trichuris sp. merupakan kelompok cacing
babi mempengaruhi keberadaan dari yang bersifat zoonosis.
Trichuris suis. Hal ini sejalan dengan Prevalensi yang terendah ditemukan
pernyataan Sowemimo et al. (2012), pada Echinococcus granulosus yaitu
bahwa Trichuris suis merupakan parasit sebesar 10%. Hal ini berbeda dengan
yang umumnya ditemukan pada sekum laporan Fendriyanto et al., (2015) yang
dan kolon babi muda yang dapat menemukan nilai prevalensi terendah
menimbulkan penyakit trichuriosis seperti pada Trichuris suis yaitu sebesar 14,00%
diare, dehidrasi dan sebagainya. Nsoso et pada ternak babi di Bali. Jenis telur
al. (2000) telah mengamati pengaruh cacing yang didapatkan pada setiap ternak
jenis kelamin dan umur babi terhadap babi tidak akan pernah sama, perbedaan
prevalensi parasit cacing Trichuris suis. hasil yang didapat dalam setiap penelitian
Hasil penelitian menunjukkan nilai tentang cacing parasit pada ternak
prevalensi secara keseluruhan pada ternak didukung oleh Obonyo dkk, (2012) yang
babi dapat dilihat pada Gambar 1. menyatakan bahwa perbedaan tingkat
Hasil penelitian prevalensi infeksi prevalensi didalam setiap penelitian
cacing endoparasit secara keseluruhan disebabkan oleh sistem pemeliharaan,
terhadap babi jantan dan betina perbedaan kondisi iklim, kekebalan inang
menunjukkan bahwa cacing Ascaris suum serta sistem perkandangan dan perawatan
memiliki tingkat prevalensi yang paling ternak babi yang berbeda.
tinggi yaitu sebesar 71,67%. Ascaris
suum biasa dan umum ditemukan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa Ascaris
hewan ternak yang memakan dan suum memiliki jumlah endoparasit yang
beraktifitas langsung ditanah. Hasil paling banyak dari semua jenis telur
penelitian ini lebih tinggi dibandingkan cacing yang ditemukan pada ternak babi
dengan laporan (Suryastini et al, 2012) di Kecamatan Marangkayu. Jumlah
yang menemukan prevalensi infeksi endoparasit yang ditemukan pada babi
Ascaris suum pada babi di Manokwari jantan sebanyak 35.466 butir sedangkan
dan Wamena Papua sebesar 36%. Hal ini pada babi betina sebanyak 36.433 butir.
disebabkan karena Ascaris suum Jumlah endoparasit yang paling sedikit
merupakan jenis cacing parasit yang ditemukan terjadi pada Echinococcus
mempunyai siklus hidup secara langsung granulosus. Jumlah endoparasit yang
atau tanpa perantara. ditemukan pada babi jantan sebanyak 16
Kejadian infeksi parasit terjadi butir dan pada babi betina sebanyak 86
akibat sistem pemeliharaan babi yang butir. Berdasarkan keterangan standar
masih bersifat tradisional dan kondisi infeksi tingginya jumlah endoparasit
kandang yang buruk sehingga mudah Ascaris suum yang menginfeksi babi
terkena penyakit. Adanya infeksi Ascaris betina tergolong kedalam infeksi berat

75
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

karena telur cacing lebih dari 5000 butir, Tabel 3. menunjukkan bahwa Ascaris
sedangkan jumlah endoparasit yang suum memiliki nilai intensitas tertinggi
paling sedikit yaitu Echinococcus dari semua cacing parasit yang ditemukan
granulosus yang menginfeksi babi jantan pada ternak babi di Kecamatan
tergolong kedalam infeksi ringan karena Marangkayu. Nilai intensitas yang
telur cacing kurang dari 500 (Levine, ditemukan pada babi jantan yaitu 1.866
1968). butir/individu, pada babi betina yaitu
Tinggi rendahnya tingkat infeksi 1.518 butir/individu. Nilai terendah dari
cacing pada ternak disebabkan karena semua jenis cacing parasit yang
adanya perbedaan cara pemeliharaan ditemukan terjadi pada Fasciolopsis buski
ternak, kondisi lingkungan serta terhadap babi jantan. Nilai intensitas dari
pemberian pakan yang berbeda. Infeksi Fasciolopsis buski pada jantan yaitu 5
cacing didalam usus dapat menyebabkan butir/individu, pada betina yaitu 9
obstruksi pada usus. Namun gangguan ini butir/individu.
tidak langsung berakibat fatal pada Tingginya nilai intensitas Ascaris
kematian trenak. Pada umumnya ternak suum pada ternak babi ini disebabkan
hanya menunjukkan perubahan berat karena Ascaris suum merupakan jenis
badan karena infeksi cacing parasitik cacing parasit yang memiliki siklus hidup
yang bejalan kronis (Akhira et al., 2003). secara langsung atau tanpa perantara.
Hasil menunjukkan bahwa jumlah Babi jantan memiliki nilai intensitas
endoparasit total pada semua babi baik tertinggi dikarenakan babi jantan
jantan maupun betina paling banyak memiliki usia yang lebih muda serta
ditemukan pada Ascaris suum sebanyak jumlah yang lebih sedikit dibandingkan
71.899 butir, sedangkan jumlah dengan ternak babi betina. Tingginya
endoparasit paling sedikit ditemukan pada nilai intensitas dalam penelitian ini lebih
Echinococcus granulosus sebanyak 102 rendah bila dibandingkan dengan laporan
butir. Ascaris suum yang menginfeksi Muslihin dkk, (2014) di Desa Surana
ternak babi tergolong kedalam infeksi Kecamatan Lombok yang menemukan
berat. Berdasarkan tingkat infeksi tersebut adanya intensitas Ascaris suum sebesar
Ascaris suum belum memperlihatkan 387,50. Dengan rata-rata jumlah telur
gejala klinis yang jelas pada infeksi yang cukup tinggi ini dapat
ringan, namun pada infeksi berat dapat mengakibatkan kerugian ekonomi serta
menyebabkan diare. Diare dapat hewan ternak dapat mengalami kematian.
menyebabkan feses encer berwarna Rendahnya nilai intensitas
kuning keabu-abuan dan dapat bertahan Fasciolopsis buski terhadap terhadap
selama 4 hingga 7 hari. Penyakit ini ternak babi disebabkan karena perbedaan
menyebabkan kekurangan berat badan usia setiap ternak, kondisi lingkungn,
yang sangat drastis (Agustina, 2013). jenis kelamin, serta perbedaan pakan.
Intensitas menunjukkan jumlah Fasciolopsis buski yang ditemukan pada
rata-rata parasit yang ditemukan dari babi jantan memiliki nilai intensitas lebih
setiap ekor babi yang terinfeksi parasit rendah hal ini diduga karena jumlah babi
tersebut. Tabel 3. dibawah ini jantan yang sedikit dibanding dengan babi
emperlihatkan nilai intensitas telur cacing betina.
parasit pada ternak babi di Marangkayu, Jika dilihat pada semua ternak babi
Kutai Kartanegara. intensitas menunjukkan nilai nilai yang

76
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

lebih kurang sama dengan nilai intensitas


berdasarkan jenis kelamin. Nilai
intensitas tertinggi ditemukan pada
Ascaris suum yaitu sebesar 1.672
butir/individu. Intensitas terendah
ditemukan pada Fasciolopsis buski yaitu
sebesar 7 butir/individu. Tinggi
rendahnya nilai intensitas cacing parasit
pada penelitian ini disebabkan karena
adanya perbedaan cara pemeliharaan, Gambar 4. Telur Ascaris suum
pemberian pakan serta keadaan kandang (perbesaran 10 x 10)
yang berbeda.
Hasil penelitian ini menunjukkan Deskripsi: Telur Ascaris suum
bahwa jumlah prevalensi dan intensitas memiliki lapisan terluar yang berupa
telur cacing parasit yang ditemukan pada protein dan lapisan bagian dalamnya
ternak babi sangat berbeda. Hal ini diduga dapat dibedakan menjadi kulit yang
karena setiap individu memiliki siklus transparan serta membrane vitelinus yang
hidup yang berbeda serta cara bergelombang. Ukuran: panjang 23,53
pemeliharaan hewan ternak yang berbeda. μm dan lebar 27,10 μm (Ichiro, 1991).
Antara ternak babi jantan dan betina tidak
memiliki perbedaan tingkat kecacingan
hal ini dikarenakan hasil penelitian yang
menunjukkan adanya jumlah telur yang
tidak jauh berbeda. Hal ini bersesuaian
dengan Murel (1981); Tizard (1988) yang
menyatakan bahwa infeksi kecacingan
pada ternak disetiap negara berkaitan
dengan faktor umur inang, yaitu semakin
bertambah umur babi kekebalan terhadap
Gambar 5. Telur Trichuris suis
infeksi cacing akan semakin meningkat.
(perbesaran 10 x 10)
Jenis telur cacing parasit yang
ditemukan pada sampel tersebut memiliki
Deskripsi: telur Trichuris suis
perbedaan antara satu jenis dengan yang
memiliki bentuk lonjong dan menyerupai
lain berdasarkan karakteristik dan
tong anggur memiliki mucoid plug dan
morfologinyan yang khas serta ukurannya
berwarna kecoklatan. Ukuran: panjang
yang berbeda.
27,06 μm dan lebar 12,43 μm (Pusarawati
dkk, 2014).

77
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

Gambar 6. Telur Ancylostoma duodenale Gambar 7. Telur Echinococcus


(perbesaran 10 x 10) granulosus (perbesaran 10 x 10)

Deskripsi: Telur Ancylostoma Deskripsi: telur Echinococcus


duodenale memiliki bentuk yang lonjong granulosus berbentuk bulat, berdinding
dan dinding yang tipis serta jernih. tebal, dinding bagian dalam
Cacing betina menghasilkan telur tersebut bergelombang tak beraturan dan memiliki
dapat mencapai 10.000 telur. Ukurannya: warna yang kecoklatan atau kuning
panjang 16,8 μm dan lebar 5,24 μm Ukurannya: panjang 0,36 μm dan lebar
(Safar, 2010) 0,35 μm (Pusarawati dkk, 2014)

Kondisi Peternakan. Peternakan


babi (Sus domesticus L) yang terdapat di
kecamatan Marangkayu memiliki
kandang dengan kondisi yang sudah
sesuai dengan kriteria yang disarankan
yaitu lokasi kandang yang jauh dari
lingkungan masyarakat, kandang yang
tinggi agar tidak tergenang oleh air serta
bahan kandang yang dipilih ekonomis.
Gambar 4.6 Telur Fasciolopsis busky Peternakan babi tersebut terletak pada dua
(perbesaran 10 x 10) lokasi yaitu didaerah persawahan dan
yang berada disekitar kebun yang jauh
Deskripsi: telur Fasciolopsis busky dari pemukiman masyarakat. Ada dua
memiliki sel kuning telur (yolk) dan sel jenis kandang yang terdapat di
germinal yang tampak transparan Marangkayu yaitu kandang yang
didaerah operculum pada salah satu menggunakan kayu serta kandang yang
kutubnya. Telur tersebut memiliki bentuk menggunakan semen. Menurut Setiadi
yang lonjong. Ukurannya: panjang 0,54 dkk, (2012) kandang yang baik dapat
μm dan lebar 0,31 μm (Purwanta dkk, dilihat dari segi sumber air dan pakannya,
2009) sejuk, letak bangunan jauh dari
lingkungan permukiman padat penduduk.
Pada lingkungan peternakan di
Marangkayu terdapat banyak rerumputan
sebagai pakan ternak yang merupakan
hospes perantara trematoda yaitu siput.

78
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

SIMPULAN DAFTAR RUJUKAN


Hasil penelitian pada 60 sampel
feses babi (Sus domesticus) dengan AAK. 2012. Hijauan Makanan Ternak.
metode apung dan sedimentasi Yogyakarta: Kanisius.
didapatkan 5 jenis telur cacing parasit Agustina KK. 2013. Identifikasi dan
yaitu Fasciolopsis buski, Echinococcus prevalensi cacing tipe Strongyle
granulosus, Ascaris suum, Trichuris suis, pada babi di Bali. Buletin
dan Ancylostoma duodenale. Nilai Veteriner Udayana. 5(2): 131-
prevalensi dan intensitas ditemukan dari 138.
yang tinggi sampai rendah yaitu pada Akhira, D., Y. Fahrimal dan M. Hasan.
Ascaris suum prevalensi 71.67% dan 2013. Identifikasi Parasit
intensitas sebesar 1.672 butir/individu; Nematode Pada Saluran
pada Ancylostoma duodenale prevalensi Pencernaan Anjing Pemburu Di
46.67% dan intensitas 164 butir/individu; Kecamatan Lareh Sago Halaban
pada Fasciolopsis buski prevalensi 35% Provinsi Sumatera Barat. Jurnal
dan intensitas 7 butir/individu; pada Medika Veterinaria. 7(1).
Trichuris suis prevalensi 15% dan Fendryanto A, Dwinata IM, Oka IBM,
intensitas sebesar 100 butir/individu; Agustina KK. 2015. Identifikasi
terakhir pada Echinococcus granulosus dan prevalensi cacing nematode
prevalensi 10%, dan intensitas sebesar 17 saluran pencernaan pada anak
butir/individu. Hasil penghitungan jumlah babi di Bali. Indonesia Medicus
telur cacing pada feses babi disimpulkan Veterinus. 4(5): 465-473
masih tergolong tingkat infeksi ringan Galloway, J.H. 1974. Farm Animal
sampai berat, dengan jumlah telur Health and Disease Control. Lea
berkisar dari 16 – 36.433 butir/individu. and Febiger. Philadelphia. 295-
360.
SARAN Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan
Penelitian mengenai infeksi cacing Percobaan. Bandung Armico
ini perlu dilakukan lebih lanjut dengan Ichiro, Miyazaki. 1991. An lllustrated
menggunakan metode lain. Seperti Book of Helminthic Zoonoses.
metode natif yaitu metode pemeriksaan Tokyo: Fukuoka Shukosha
cepat dan hasil yang lebih maksimal serta Printing.
perlunya dilakukan penelitian sampai Irianto, K. 2009. Panduan Praktikum
tingkat molekuler. Parasitologi Dasar untuk
Paramedis dan Non Paramedis.
UCAPAN TERIMAKASIH Bandung: Yrama Widya.
Ucapan terimakasih disampaikan Kusumamiharja, S. 1985. Pengendalian
kepada Kepala Laboratorium serta dan Pemberantasan Parasit
Laboran, Laboratorium Anatomi dan Cacing. Poultry Indonesia.
Mikroteknik Hewan, FMIPA Universitas Jakarta: GAPPI.
Mulawarman atas bantuan dan ijin tempat Levine ND. 1994. Parasitologi Veteriner.
penelitian. Yogyakarta: UGM University
Press.
Murrel KD. 1981. Induction of protective
immunity Strongyloides ransomi

79
Jurnal Bioterdidik, Vol.7 No.4, Juli 2019

in pigs. American journal of Mancanegara. Jakarta: Penebar


veterinary research 42:1915- Swadaya.
1919 Shahid dkk, 2010. Identification Of
Muslihin, S.A. 2014. Pre-eliminasi parasit Hookworm Species In Stool By
gastrointestinal pada babi dari Harada Mori Culture.
desa Suranadi Kecamatan Bangladesh. Journal Medical
Narmada Lombok Barat. Media Microbiology. 4(02): 03-04
Bina Ilmiah. 8(5): 1978-3787. Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth,
Nsoso SJ, Mosala KP, Ndebele RT, Arthropods and Protozoa of
Ramabu SS. 2000. The Domesticated Animal. 7th Ed.
prevalence of internal and London: The English Language
external parasites in pigs Book Society and Bailliere
different ages and sexes in Tindall.
Southeast District, Botswana. Sowemimo OA, Asaolu SO, Adegoke
Onderstepoort. Journal Veteriner FO, Ayanniyi OO. 2012.
Research. (67): 217-220. Epidemiological survey of
Obonyo, F.O., N. Maingi, S.M. Githigia, gastrointestinal parasites of pigs
C.J. Ng`ang`a. 2012. Prevalence, in Ibadan, Southwest
intensity and spectrum of Nigeria. Journal Public Health
helminths of free range pigs in Epidemiology. 4(10): 294–298.
Homabay district, Kenya. Suryastini KAD, Dwinata IM 2012.
Livestock research for Rural Akurasi metode ritche dalam
Develolopment. 24(3): 2-11. mendeteksi infeksi cacing
Purwanta, Nuraeni, Hutauruk, J.D dan saluran pencernaan pada babi.
Setiawaty, S. 2009. Identifikasi Indonesia Medicus Veterinus.
Cacing Saluran Pencernaan 1(5): 567-581.
(Gastrointestinal) Pada Sapi Thienpont, Rochette F & Vanparijs OFJ.
Bali Melalui Pemeriksaan Tinja 1995. Diagnosting Helminthes
di Kabupaten Gowa. Through Coprological
Pusarawati S, Idehan B, Kusmartisnawati, Examination. Belgium: Jannsen
Tantular IS & Basuki S. 2014. Pharmaeutica
Atlas Parasitologi Kedokteran. Tolistiawaty, I., Widjaya J., Isnawati R.
Jakarta: EGC. 2016. Parasit gastrointestinal
Safar, R. 2010. Parasitologi Kedokteran: pada hewan ternak di tempat
Protozoologi, Entomologi dan pemotongan hewan Kab. Sigi
Helmintologi. Cetakan I. Sulawesi tengah. Balai Litbang
Bandung: Yrama Widya. P2B2 Donggala. 12(2).
Siagian, P. H. 1999. Manajemen Ternak Tizard I. 1988. Pengantar imunologi
Babi. Diktat kuliah. Bogor: veteriner. Penerjemah Masduki
Jurusan Ilmu Produksi Ternak. Partodiredjo. Surabaya:
Fakultas Peternakan, Institut Airlangga University pers.
Pertanian Bogor.
Setiadi, A., Sa’id, G., Achjadi, R., dan
Purbowati, E. 2012. Sapi dari
Hulu ke Hilir dan Info

80

Anda mungkin juga menyukai