Anda di halaman 1dari 14

Laporan praktikum 1 kesehatan ternak

PEMERIKSAAN INVESTASI CACING PADA FESES TERNAK


KAMBING DENGAN METODE NATIF, SEDIMEN, DAN APUNG

Oleh :

NAMA : FITARIA
NIM : L1A117123
KELAS :D
KELOMPOK :1 (SATU)
ASISTEN : MUHAMAD DZAKIR

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur

cacing ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk

mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada ternak yang diperiksa

fesesnya. Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan

kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif, metode apung,

metode harada mori, dan metode kato.

Metode natif digunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik

diaplikasikan untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit

ditemukan telur cacing. Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan air, NaCl

fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih

jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.

Pemeriksaan telur cacing menggunakan metode sedimen berfungsi untuk

memeriksa telur cacing kelas Trematoda dan Cestoda. Metode ini merupakan

metode yang baik untuk memeriksa sampel tinja yang sudah lama. Prinsip dari

metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifugal dapat memisahkan antara

sedimen dan supernatannya sehingga telur cacing dapat terendapkan. Metode

sedimentasi kurang efisien dibandingkan dengan metode flotasi dalam mencari

kista protozoa dan banyak macam telur cacing.


Metode apung ini menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula

jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan

mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses

yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan

yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan. Hal ini juga

berfungsi untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam

tinja. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa telur Nematoda, Schistostoma,

Dibothriosephalus, telur yang berpori, Taenidae, telur Achantocephala maupun

telur Ascaris yang infertil.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dalam praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses

kambing adalah Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan telur cacing pada

feses ternak dengan metode natif, metode sedimen dan metode apung.

1.3. Manfaat

Adapun manfaat dalam praktikum pemeriksaan investasi cacing pada

feses kambing adalah Mahasiswa memiliki keterampilan melakukan pemeriksaan

telur cacing pada feses ternak dengan metode natif.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ternak Kambing

Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

dikenal luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang

tinggi. Kambing di Indonesia telah dimanfaatkan sebagai ternak penghasil

daging,susu maupun keduanya dan kulit. Kambing secara umum memiliki

beberapa keunggulannya antara lain maupun beradaptasi dalam kondisi yang

ekstrim, tahan terhadap beberapa penyakit dan cepat berkembang biak.

(pamungkas, 2009)

Kambing diklasifikasikan dalam Kingdom Animalia; Phylum Chordata;

Subphylum Vertebrata; Class Mammalia; Ordo Artiodactyla; Sub-ordo

Ruminantia; Family Bovidae; Sub-family Caprinae; Genus Capra; dan Species

Hircus. Kambing (Capra hircus) memiliki 60 kromosom yang terdiri atas 29

pasang kromosom autosom dan sepasang kromosom kelamin. kambing

peliharaan terdiri atas lima spesies yaitu Capra ibex, Capra Hircus, Capra

Caucasica, Capra Pyrenaica, dan Capra Falconeri (Zein, 2012).

2.2. Cacing Pada Ternak

Cacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit

berupa cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga


sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan.

Tetapi dalam keadaan infeksi berat atau keadaan yang luar biasa,cacing

cenderung memberikan analisa keliru ke arah penyakit dan tidak jarang berakibat

fatal (Murtidjo, 2012)

Penyakit cacingan atau helminthiasis masih kurang mendapat perhatian

dari para peternak. Helminthiasis merupakan penyakit akibat infestasi cacing

dalam tubuh. Penyakit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian hewan

ternak, namun menyebabkan kerugian berupa penurunan kondisi badan dan

penurunan daya produktivitas yang cukup tinggi. Salah satu penyakit yang

menghambat gerak 4 laju pengembangan peternakan dalam hubungannya dengan

peningkatan populasi dan produksi ternak adalah parasit (Soejoto, 2002).

2.3. Pemeriksaan Feses Metode Natif

Metode natif dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik

intuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi ringan sulit ditemukan telur-telurnya, cara

pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin (2%).

Penggunaan eosin 2% dimaksudkan untuk memperjelas dalam bembedakan telur

cacing dengan kotoran disekitarnya (Gandahusada, 2005)

Kelebihan metode natif ini adalah mudah dan cepat dalam pemeriksaan

telur cacing semua spesies, biaya yang diperlukan sedikit, serta peralatan yang

digunakan juga sedikit. Sedangkan kekurangan metode ini adalah dilakukannya

hanya untuk infeksi berat, infeksi ringan sulit dideteksi (Dwinata, 2017).

2.4. Pemeriksaan Feses Metode Sedimen


Metode ini merupakan metode yang baik untuk memeriksa sampel feses

yang sudah lama. Prinsip dari metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifugal

dapat memisahkan antara suspensi dan supernatanya sehingga telur cacing dapat

terendapkan (Sandjaja, 2007)

Metode sedimentasi adalah pemisahan larutan berdasarkan perbedaan BJ,

dimana partikel yang tersuspensi akan mengendap ke dasar wadah. Metode

sedimentasi dilakukan dengan memusingkan sampel atau larutan uji menggunaan

centrifuge dengan kecepatan (rpm) dan waktu tertentu (Gandahusada, 2005).

2.5. Pemeriksaan Feses Metode Apung

Pada metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau

larutan gula jenuh yang didasarkan atas jenis telur, sehingga telur akan

mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses

yang mengandung sedikit telur. Metode ini dilakukan dengan cara melarutkan

feses dengan NaCl, diputar pada sentrifuge lalu disaring. Selama 5 didiamkan,

setelah itu dengan lidi diambil larutan permukaan dan diletakkan di object glass.

( Bakar, 2012)

Kelebihan dari metode apung ini adalah telur cacing yang diperiksa

terpisah dengan kotoran untuk semua jenis telur, baik untuk infeksi berat dan

ringan. Sedangkan kekurangannya yaitu membutuhkan sampel yang cukup

banyak, waktu lebih lama, pada waktu pengambilan telur yang mengapung tidak

terambil, serta pada waktu menunggu telur tidak mengapung dan kembali turun

sehingga hasil yang ditemukan negatif (Dwinata, 2017).


BAB III

METODEOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum pemeriksaan investasi cacing feses ternak metode natif,

metode sedimen, dan metode apung dilaksanakan hari Jum'at, 28 November

2019, pukul : 00 WITA sampai selesai, bertempat di Laboratorium Unit

Fisiologi, Reproduksi, dan Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas

Halu Oleo, Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan investasi cacing feses

ternak metode natif, metode sedimen, dan metode apung ini dapat dilihat pada

tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Kegunaan


No Nama Alat Kegunaan
1 Mikroskop Mengamati cacing atau telur cacing
2 Object glass Wadah pada sampel feses
3 Cover glass Penutup sampel feses
4 Cotton bud/lidi Mengambil dan mengaduk sampel feses
5 Tabung sentrifus Mengencerkan sampel feses
6 Alat sentrifus Memisahkan larutan padat dan cair
7 Pipet pasteur Mengambil sampel feses
8 Saringan teh Menyaring feses
9 Gelas beaker Menampung fese
Bahan yang digunakan pada praktikum pemeriksaan investasi cacing

feses ternak metode natif, metode sedimen, dan metode apung ini dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Bahan dan Kegunaan


NO Nama Bahan Kegunaan
1 Sampel feses Sebagai objek pengamatan
2 Air Sebagai pelarut sampel
3 Larutan garam jenuh Sebagai campuran feses pada saat
pemeriksaan menggunakan meode apung

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Metode Netif

1. Mengambil sejumlah kecil feses menggunakan cotton bud/lidi dan

letakkan di object glass

2. Memberi satu tetes air pada feses kemudian aduk menggunakan cotton

bud/lidi

3. Menutup dengan cover glass

4. Segera periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100X

3.3.2. Metode Sedimen

1. Mengambil ±3 gram sampel feses kemudian tambahkan ±20 ml air dan

aduk sampai homogen.

2. Menyaring feses kemudian masukkan filtrate ke tabung sentrifus

3. Menutup tabung sentrifus kemudian lakukan sentrifus dnegan kecepatan

1500 rpm selama 5 menit

4. Membuang supernatant dan sisakan sedimen dalam tabung


5. Aduk sedimen sampai homogen

6. Ambil sedimen dengan pipet Pasteur kemudian letakkan di object glass

7. Tutup dengan cover glass Segera amati di bwah mikroskop dengan

perbesaran 100X

3.3.3. Metode Apung

1. Mengaduk sedimen yang didapatkan dari metode sebelumnya

2. Menambahkan air dan aduk smapai homogeny

3. Lakukan sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit

4. Membuang supernatant dan sisakan sedimen

5. Mengulangi metode di atas bila supernatant belum jernih

6. Bila supernatant sudah jernih, buang supernatant

7. Menambahkan larutan garam jenuh sampai hamper penuh, lalu aduk

dengan cara membolak-balik tabung

8. Meletakkan tabung sentrifus pada rak tabung

9. Menambakan larutan garam jenuh sampai permukaannya cembung

10. Menutup permukaan tabung dnegan cover glass, biarkan selama 5 menit

11. Mengambil cover glass lalu letakkan di object glass

12. Periksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100X


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan pemeriksaan investasi telur cacing pada feses kambing

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. hasil pengamatan


NO Metode Yang Digunakan Hasil Keterangan

1 Metode Natif + 15. Di temukan telur cacing


2 Metode Sedimen + 15.Di temukan telur cacing
3 Metode Apung -3 . Tidak di temukan telur cacing

4.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan dimna praktikum ini dilakukan dengan 3

metode kerjanya diantaranya metode natif, metode sedimen, dan metode apung.

Ketiga metode ini dilakukan oleh setiap kelompok. Dalam praktikum ini kami

menggunakan sampel fese kambing yang masih segar untuk melakukan

pemeriksaan telur cacing dengan ketiga metode tersebut.

Metode natif digunakan untuk memeriksa secara cepat dan baik untuk

infeksi berat. Dalam metode natif pemeriksaan telur cacing pada feses kambing

(positif) ditemukan telur cacing dengan jenis cacing Avitellina Centripanclata

dan metode natif hanya dilakukan pada ternak berat sedangkan untuk ternak yang

terinfeksi ringan sulit dideteksi telur cacingnya, ini menandakan ternak kambing

yang kami periksa fesesnya terinfeksi parasit cacing.


Metode sedimen dalam pemeriksaan telur cacing pada kambing (positif)

ditemukan telur cacing sama dengan pemeriksaan pada metode sebelumnya

dengan metode natif jenis cacing Avitellina Centripanclata, karena metode

sedimen dilakukan dengan memusingkan sampel atau larutan uji menggunakan

centrifuge dengan cepat dan waktu tertentu. Menurut Gandahusada (2005),

metode sedimen dari segi proses pemeriksaanya waktu yang digunakan lebih

cepat dan juga metode sedimen lebih mudah mendapatkan telur cacing

dibandingkan metode lain. Dalam pemeriksaan telur cacing pda feses kambing

yang dilakukan Gandahudsada ada ditemukan telur cacing.

Metode apung ini dengan menggunakan larutan garam jenuh yang

didasarkan atas berat jenis telur sehingga telur akan mengapung dan mudah

diamti. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit

telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan sehingga

telur-telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel-partikel

yang besar yang terdapat dalam feses. Dalam praktikum ini metode apung yang

kami gunakan untuk pemeriksaan telur cacing pada feses kambing (positif)

ditemukan cacing dengan jenis cacing Thysaniezia Glardi hal ini menunjukkan

bahwa feses kambing yang kami periksa terinfeksi cacing.

Dari ketiga cara yang kami lakukan dengan menggunakan metode natif,

metode sedimen, dan metode apung dalam pemeriksaan fases pada kambing

yang kami periksa menemukan telur cacing (positif) pada feses tersebut. Hal ini

seswuai dengan pendapat Kadarsan (2006) yang mengemukakan bahwa

terdapatnya telur cacing pada feses kambing karena kambing tersebut dalam
kondisi yang kurang sehat. Adanya Perbedaan telur cacing yang didapat dari

metode natif dan sedimen ini jenis cacingnya sama namun di metode apung

adanya perbedaan jenis cacingnya kemungkinan ini disebabkan karena kekurang

telitian dalam proses pengamatan ataupun kemungkinan terjadi kesalahan pada

teknisnya atau prosedur kerja yang dilakukan. Namun, sesuai hasil yang

diperoleh bahwa kemungkinan besar kambing digunakan fesesnya sebagai

sampel ini kurang sehat dan telah terinfeksi cacing Avitellina centripanclata

ataupun Thysaniezia giardi sehingga adanya perbedaan jenis cacing antara

metode sedimen dengan metode apung.


BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan makan dapat

disimpulkan bahwa, Metode pemeriksaan yang digunakan pada praktikum

pemeriksaan investasi telur cacing pada feses ternak kambing yaitu metode natif,

metode sedimen, dan metode apung. Hasil praktikum yang kami lakukan dengan

menggunakan ketiga metode tersebut ditemukan telur cacing (positif) pada feses

kambing tersebut, ini dapat disebabkan ternak kambing tersebut kurang sehat dan

lingkungannya yang kurang baik.

5.2. Saran

Saran yang dapat kami berikan pada praktikum ini yaitu diharapkan pada

semyua prektikan lebih teliti lagi dalam melakukan pemeriksaan telur cacing ini

agar dapat mendapatkan hasil yang diinginkan.


DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Abu. 2012. Penuntun praktikum Kesehatan Ternak. Fakultas Peternakan.

Universitas. padang jKedokteran Hewan. Universitas Udayana.

Gandahusada, S.W. 2005. Parasitologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran.

Jakarta

Kadarsan, S. 2006. Bintang Parasit. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.

Murtidjo, B. 2012. Beteenak Sapi Potong. Yogyakarta

Sandjaja, B. 2007. Helminthologi Kedokteran Buku II. Prestasi Pustaka

Publisher. Jakarta

Soejoto dan soebari. 2002. Parasitologi Medik Jilid 3 Protozoologi dan


Helmintologi. Solo : EGC.

Pamungkas, F.A. 2009. Potensi Beberapa Plasma Nurfah Kambing Lokal

Indonesia. Bandung.

Zein, M. S. A., S. Sulandari, Muladno, Subandriyo, dan Riwantoro. 2012.

Diversitas Genetik dan Hubungan Kekerabatan Kambing Lokal

Indonesia menggunakan Marker dna Mikrosatelit. Jurnal Ilmu

Ternak dan Veteriner (JITV), Vol. 17 No. 1 : 25-35.

Anda mungkin juga menyukai