Anda di halaman 1dari 20

Laporan II Praktikum Kesehatan Ternak

PEMERIKSAAN INVESTASI CACING PADA FESES TERNAK


MENGGUNAKAN METODE NATIF, METODE SEDIMEN DAN
METODE APUNG

OLEH :

NAMA : LA ODE SARFAN


NIM : L1A121213
KELAS : E
KELOMPOK : II (DUA)
ASISTEN : SYAHRIL AZZUMAN

LABORATORIUM UNIT FISIOLOGI, REPRODUKSI, DAN KESEHATAN TERNAK


JURUSAN PETERNAKANFAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
HALAMAN KONSULTASI

HARI/TANGGAL MATERI PARAF

Kendari 14 Desember 2023


Asisten praktikum

Syahril Azzuman
L1A120218
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemeliharaan ternak ditujukan untuk menghasilkan produksi ternak berupa

susu, daging dan telur yang berkualitas untuk dikonsumsi. Ternak harus selalu

dipastikan dalam kondisi sehat. Peternakan yang dipelihara secara modern atau

yang dipelihara secara tradisional tidak lepas dari berbagai hambatan dan kendala

termasuk infeksi cacing. Salah satu penyebab penurunan jumlah dan kualitas

produksi pada ternak yaitu infeksi kecacingan.

Feses ternak merupakan hasil buangan atau limbah dari industri

peternakan yang dapat menimbulkan efek negatif karena mengandung amonia

yang tinggi serta sebagai sarang tumbuhnya mikroorganisme atau parasit salah

satunya adalah parasit cacing. Penyakit parasit cacing umumnya tidak

menimbulkan kematian tetapi bersifat menahun. Oleh sebab itu perlu dilakukan

suatu tindakan pemberantasan penyakit cacing untuk menghindari kerugian yang

lebih besar.

Pemeriksaan feses dimaksudkan untuk mengetahui adanya telur cacing

ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk mendiagnosa

tingkat infeksi cacing parasit usus pada ternak yang diperiksa fesesnya.

Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif.

Secara kualitatif dapat menggunakan metode natif, metode sedimen, metode

apung, metode harada mori, dan metode kato.


Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka perlu dilakukan praktikum

pemeriksaan investasi cacing pada feses ternak menggunakan metode natif,

metode sedimen, dan metode apung.

1.2. Tujuan

Tujuan dilakukannya praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses

ternak yaitu mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan investasi telur cacing pada

feses ternak menggunakan metode natif, metode sedimen dan metode apung.

1.3. Manfaat

Manfaat dilakukannya praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses

ternak yaitu mahasiswa memiliki keterampilan melakukan pemeriksaan telur

cacing pada feses ternak dengan metode natif, metode sedimen dan metode apung.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Metode Natif

Metode natif (direct slide) merupakan gold standard pemeriksaan

kualitatif tinja karena sensitif, murah, mudah dan pengerjaan cepat. Metode natif

baik digunakan pada infeksi berat karena pada infeksi ringan telur-telur cacing

sulit ditemukan. Prosedur metode natif yaitu feses dicampurkan dengan 1-2 tetes

aquades lalu diperiksa di bawah mikroskop (Refi, 2021).

Teknik pemeriksaan telur cacing nematoda usus yang paling sederhana

adalah metode natif. Teknik ini menggunakan reagen eosin 2% dengan tujuan

antara lain untuk menilai berbagai unsur dalam sediaan/preparat. Eosin sendiri

memiliki sifat tidak mudah terurai, dan menimbulkan limbah yang berbahaya

(toxic) serta mudah terbakar (flameable) (Salnus, 2021).

Alat yang digunakan dalam metode natif adalah sarung tangan (gloves),

object glass, cover glass, tusuk gigi, dan spoit 3 ml dan mikroskop. Bahan yang

digunakan adalah sampel feses sapi dan larutan aquades. Metode natif dilakukan

dengan mengambil sampel feses secukupnya pada plastik dengan menggunakan

tusuk gigi. Sampel feses diletakkan di atas object glass bersih. Aquades

ditambahkan secukupnya, kemudian sampel feses dihomogenkan dan ditutup

dengan cover glass. Preparat uji natif dilihat di bawah mikroskop dengan

perbesaran lensa obyektif 4x dan 10x untuk mengetahui ada atau tidak adanya

telur cacing (Tetty, 2021).


2.2. Metode Sedimen

Pemeriksaan menggunakan metode sedimentasi mempunyai prinsip kerja

dengan adanya gaya sentrifuge atau pemutaran sehingga mengahasilkan endapan

dan supernatan, supernatan di buang dan endapan di periksa di bawah mikroskop.

Cairan jernih diatas endapan akan dibuang dan endapan diambil, kemudian

meletakkannya di atas gelas objek yang ditutup dengan deck glass

(Nurfaikatunnisa, 2021).

Metode sedimentasi NaCl 0,9% tidak memiliki sifat panas bila dilarutkan

dalam air dan tidak memiliki sifat korosif, hal ini dilihat pada sedian feses dimana

sisa makanan masih mempertahankan bentuk aslinya, Hasil reagen NaCl 0,9%

pada preparat akan terlihat lebih jernih dan bersih karena tidak ada warna pada

reagen. Metoda sedimentasi kadang memberikan hasil negatif palsu karena

terdapat partikel yang rusak atau tidak mengalami pengendapan dengan sempurna

karena kesalahan dalam sentrifugasi (Agnes, 2019).

Pengujian Sedimentasi Sampel feses dilakukan dengan cara ditimbang

sampel seberat 3g pada wadah yang sudah diberi label sesuai nomor sampel,

diberi larutan gula jenuh sebanyak 10 ml, di aduk sampai homogen. Sampel

dituang kedalam gelas dan disaring sebanyak 3 kali, dituang kedalam tabung

reaksi, ditunggu hingga terbentuk endapan pada larutan feses. Air larutan feses

dibuang hingga tersisa endapan. Endapan larutan feses diberi air sebanyak 3x

pengulangan dengan masing-masing waktu selama 10 menit/pengulangan.

Larutan feses dituang kedalam cawan petri ditetesi dengan 1-2 tetes metil biru,

diamati dibawah mikroskop perbesaran 100 kali (Hadi, 2020).


2.3. Metode Apung

Metode pengapungan (flotasi sederhana) digunakan untuk jenis telur

cacing parasit yang dapat mengapung dengan mengunakan larutan gula garam

jenuh. Jumlah sampel feses yang digunakan akan mempengaruhi jumlah larutan

gula garam jenuh yang dicampurkan. Sampel feses sebanyak 1g dicampurkan

dengan 29 ml larutan gula garam jenuh (Nono, 2017).

Metode flotasi memiliki kelebihan yaitu menghasilkan sediaan yang lebih

baik dan bersih dari pada sedimentasi yang terjadi karena terpisahnya protozoa

telur dan larva cacing tertentu. Selain itu kelebihan dari metode ini adalah cukup

mudah dalam pengerjaannya dan lebih murah (Auliana, 2017).

Pengujian metode apung dilakukan dengan cara sampel feses ditimbang

seberat 3g pada wadah yang sudah diberi label sesuai nomor sampel, ditambahkan

larutan gula atau garam jenuh sebanyak 10 ml, di aduk sampai homogen. Sampel

dituang kedalam gelas dan disaring sebanyak 3 kali, kemudian dituang kedalam

tabung reaksi. Larutan apisan feses teratas diambil dengan pipet pada penutup

kaca, diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali (Abdillah, 2020).
BAB III
METODEOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Waktu dan Tempat

Praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses ternak menggunakan

metode natif, metode sedimen, dan metode apung dilaksanakan pada Selasa 12

Desember 2023, pukul 10.00 WITA-selesai, bertempat di Laboratorium Unit

Fisiologi, Reproduksi, dan Kesehatan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas

Halu Oleo Kendari.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan investasi cacing pada

feses ternak menggunakan metode natif, metode sedimen, dan metode apung

dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Alat dan kegunaan


No Alat Kegunaan
.
1 Mikroskop Untuk mengamati telur cacing pada feses
2 Tabung sentrifuse Tempat pemisahan supranatant dan sedimen
3 Alat sentrifuse Untuk memutar tabung sentrifuse
4 Object glass Tempat sampel yang akan diamati
5 Cover glass Penutup object glass
6 Pipet pasteur Untuk mengambil sampel sedimen
7 Saringan teh Menyaring sampel yang telah dicampur air
8 Gelas beaker Tempat pencampuran sampel feses dengan air
9 Cotton bud/lidi Untuk mengambil sampel feses
10 Kamera Mengambil dokumentasi

Bahan yang digunakan dalam praktikum pemeriksaan investasi cacing

pada feses ternak menggunakan metode natif, metode sedimen, dan metode apung

dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Bahan dan kegunaan


No Bahan Kegunaan
1 Sampel feses Sebagai bahan pengamatan
2 Air Sebagai bahan pencampur feses
3 Larutan garam jenuh Sebagai bahan pencampur feses

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Metode Natif

1. Ambil sejumlah kecil feses menggunakan cotton bud/lidi dan letakkan di object

glass

2. Beri satu tetes air pada feses kemudian aduk menggunakan cotton bud/lidi

3. Tutup dengan cover glass

4. Segera periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100X

3.3.2. Metode Sedimen

1. Ambil ± 3 gram sampel feses kemudian tambahkan ±20 ml air dan aduk

sampai homogen.

2. Saring feses kemudian masukkan filtrate ke tabung sentrifus

3. Tutup tabung sentrifus kemudian lakukan sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm

selama 5 menit

4. Buang supernatant dan sisakan sedimen dalam tabung

5. Aduk sedimen sampai homogen

6. Ambil sedimen dengan pipet pasteur kemudian letakkan di object glass

7. Tutup dengan cover glass

8. Segera amati di bwah mikroskop dengan perbesaran 100X

3.3.3. Metode Apung

1. Aduk sedimen yang didapatkan dari metode sebelumnya

2. Tambahkan air dan aduk sampai homogen

3. Lakukan sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit

4. Buang supernatant dan sisakan sedimen


5. Ulangi metode di atas bila supernatant belum jernih

6. Bila supernatant sudah jernih, buang supernatant

7. Tambahkan larutan garam jenuh sampai hampir penuh, lalu aduk dengan cara

membolak-balik tabung

8. Letakkan tabung sentrifus pada rak tabung

9. Tambakan larutan garam jenuh sampai permukaannya cembung

10. Tutup permukaan tabung dengan cover glass, biarkan selama 5 menit

11. Ambil cover glass lalu letakkan di object glass

12. Periksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100X


3.4. Diagram Alir

Diagram alir praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses ternak

menggunakan metode natif, metode sedimen, dan metode apung dapat dilihat

pada gambar 1 berikut.

Pelaksaan asistensi

Melakukan respon

Pelaksanaan praktikum

Melakukan pengamatan

Melakukan dokumentasi

Membuat laporan

Gambar 1. Diagram alir

\
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Pengamatan

Hasil pengamatan praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses

ternak menggunakan metode natif, metode sedimen, dan metode apung dapat

dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Hasil pengamatan


No. Metode Hasil Keterangan

‫( ־‬negatif) feses ternak


sapi tidak ditemukan
1 Metode apung Feses sapi 1 larva dan telur cacing

+ (positif) feses ternak


sapi ada ditemukan
larva dan telur cacing
2 Metode sediman Feses sapi 2 jenis mecistosirrus
digitarus

- (negatif) feses
ternak ayam tidak
3 Metode natif Feses ayam 2 ditemukan adanya
larva atau telur
cacing.

+ (positif) feses ternak


kambing ada
4 Metode sedimen Feses ditemukan larva dan
kambing 1 telur cacing jenis tri-
charis globularis dan
chabertia ovina.
+ (positif) feses ternak
kambing ada
5 Metode natif Feses kambing ditemukan larva dan
2 telur cacing jenis tri-
charis globularis.

6 Metode sedimen Feses + (positif) feses ternak


kambing 3 kambing ada
ditemukan larva dan
telur cacing jenis tri-
charis globularis.

7 Metode Natif Feses ayam 1 + (positif) feses ternak


ayam ada ditemukan
larva dan telur cacing
jenis Capillaria
longicolis dan
Capillaria columbae

+ (positif) feses ternak


sapi ada ditemukan
8 Metode Natif feses sapi 3 larva dan telur cacing
jenis Schistosoma
nasalis

4.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan pada praktikum pemeriksaan investasi cacing

pada feses ternak menggunakan metode natif, metode sedimen dan metode apung

yang ada pada gambar 1 menggunakan sampel feses sapi dengan metode Apung,

pada hasil pengamatan dibawah mikroskop didapatkan nilai – (negatif) tidak

ditemukan larva dan telur cacing. Hal ini sesusai dengan pendapat Putri, (2015)

bahwa hasil negatif artinya tidak ditemukan adanya telur cacing. Ini disebabkan

sapi tersebut telah diberi obat anti cacing secara rutin dan pemeliharannya

dilakukan secara baik oleh para peternak. Hal ini diperkuat oleh Anggraini et al.

(2020), bahwa konsentrasi sampel yang terlalu tinggi dan kemampuan


pemeriksaan mikroskopik yang tidak baik, maka telur cacing mungkin tidak dapat

ditemukan dalam pemeriksaan mikroskopik.

Berdasarkan hasil pengamatan yang ada pada gambar 2 menggunakan

sampel feses sapi dengan metode natif, pada hasil pengamatan dibawah

mikroskop didapatkan nilai +(positif) dimana ditemukan larva dan telur cacing

dengan jenis carmyerius spatiosus dan schistosoma spindalis. Hal ini sesuai

dengan pendapat Nezar dan Setiati, (2017) bahwa jenis telur cacing yang

ditemukan pada feses sapi dengan metode natif ditemukan lebih tinggi dan lebih

banyak yaitu tiga belas spesies (A. lumbricoides, B. phlebotomum, H. contortus,

O. ostertagi, T. globulosa, F. hepatica, M. expansa, M. benedeni, P. cervi, C.

cotylophorum dan S. bovis). Banyaknya cacing yang ditemukan dipengaruhi oleh

faktor makanan. Makanan yang dikonsumsi sapi adalah sisa makanan, dedaunan

dan sisa sayuran. Selain itu, sapi-sapi tersebut minum di kubangan dan saluran air

lindi yang ada di lokasi TPA.

Berdasarkan hasil pengamatan yang ada pada gambar 3 menggunakan

sampel feses ayam dengan metode natif, pada hasil pengamatan dibawah

mikroskop didapatkan nilai negatif (-) tidak ditemukan larva dan telur cacing. Hal

tersebut terjadi karena kemampuan pemeriksaan mikroskopik yang tidak baik,

maka telur cacing mungkin tidak dapat ditemukan dalam pemeriksaan

mikroskopik. Hal ini sesuai dengan pendapat Andriani, (2021), bahwa

pemeriksaan feses sapi dengan metode natif menunjukkan hasil negatif. Artinya

tidak ditemukan adanya telur cacing. Hasil negatif disebabkan sapi perah tersebut

telah diberi obat anti cacing secara rutin dan pemeliharannya dilakukan secara

baik oleh para peternak. Obat anti cacing yang biasa diberikan pada ayam.
Berdasarkan hasil pengamatan menggunakan sampel feses kambing

dengan metode sedimen yang ada pada gambar 4, pada hasil pengamatan dibawah

mikroskop didapatkan nilai + (positif) dimana ditemukan larva dan telur cacing

dengan jenis mecistosirrus digitarus. Pada gambar 5. ditemukan jenis telur cacing

tri-charis globularis dan chabertia ovina. Sedangkan pada gambar 6. ditemukan

jenis cacing ovies aries. Hal ini sesuai dengan pendapat Susilo et al. (2020),

Bahwa jenis telur cacing pada saluran pencernaan yang terinfestasi pada kambing

tersebut adalah cacing Haemonchus sp., M. digitatus., dan Eimeria sp. Rata-rata

infestasi cacing Haemonchus sp., M. digitatus termasuk dalam infestasi ringan,

sedangkan infestasi Eimeria sp., termasuk dalam infestasi sedang dengan jumlah

telur masing-masing sebanyak 112 butir pergram, 125 butir pergram dan 2.084

butir per gram feses, sehingga diduga infestasi cacing saluran pencernaan dan

Eimeria sp., yang terjadi pada kambing Saburai belum menunjukkan dampak

yang terlalu merugikan. Hal ini didukung oleh pendapat Amni, (2017) bahwa

infestasi koksidia akan menyebabkan kerusakan pada lumen usus yang dapat

meningkatkan peristaltik usus. Kerusakan pada mukosa usus akan mengakibatkan

hemoragi, penyerapan nutrisi yang kurang optimal akibat kerusakan vili-vili usus

dan penebalan dinding usus.

Berdasarkan praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses ternak

menggunakan metode natif, metode sedimen dan metode apung. Pada gambar 7

feses ayam dan gambar 8 menggunakan sampel feses sapi dengan menggunakan

metode natif. Ketika dilakukan pengamatan dengan pemeriksaan dibawah

mikroskop didapatkan nilai + (positif) dimana ditemukan larva dan telur cacing

jenis tri-charis globularis dan Gallus domesticus pada sapi dan jenis cacing
Capillaria longicolis pada ayam. Hal ini sesusai dengan pendapat Pradana, (2018)

bahwa Endoparasit yang menyerang ayam petelur adalah Strongyloides avium,

Ascaridia galli, Heterakis gallinarum, Davainea proglottina, Trichostrongylus

tenuis serta protozoa Eimeria sp dan yang menyerang ayam pedaging adalah

endoparasit protozoa Eimeria sp. Protozoa Eimeria sp dapat menyebabkan

coccidiosis pada ayam. Keganasan Eimeria sp dapat memengaruhi umur ayam

serta penyerapan nutrisi pada ayam. Gejala yang ditunjukkan pada ayam yang

terinfeksi yaitu tidak ada nafsu makan, dan sayap menggantung diikuti diare

berdarah. Pada sapi jenis cacing yang sering menginfeksi adalah jenis cacing

Schistosoma nasalis.
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan praktikum pemeriksaan investasi cacing pada feses ternak

menggunakan metode natif, metode sedimen, dan metode apung dapat

disimpulkan bahwa hasil pengamatan yang di temukan saat pemeriksaan di

bawah mikroskop pada gambar 1 sampel feses sapi dengan metode apung tidak di

temukan larva atau telur cacing. pada gambar 2 sampel feses sapi dengan metode

sedimen di temukan telur cacing dan larva dengan jenis mecistosirrius digitarus.

Pada gambar 3 feses ayam dengan metode natif,tidak di temukan adanya telur

cacing dan larva, gambar 4 pada feses kambing dengan metode sedimen

ditemukan larva dan telur cacing dengan jenis tri charisglobularis ovina. Gambar

5 pada feses kambing dengan metode sedimen didapatkan hasil positif dengan di

temukan telur cacing dan larva pada feses dengan jenis tri-charis. Pada gambar 6

feses kambing dengan metode natif ditemukan nilai positif dimana di dalam feses

ayam terdapat telur cacing dan larva dengan jenis tri-charis globularis.pada

gambar 7 pada feses ayam dengan metode natif ditemukan hasil positif dimana

ada telur cacing dan larva dengan jenis telur cacing ovies aries. Sedangkan pada

gambar 8 pada feses sapi dengan metode natif ditemukan adanya telur cacing

dengan jenis telur teanis Spp.


5.2. Saran

Adapun saran yang dapat saya berikan pada praktikum ini yaitu :

1. Laboratorium, alat dan bahan yang akan digunakan praktikum dilengkapi

sehingga praktikum dilakukan sesuai panduan yang diberikan

2. Asisten, selalu sabar dan konsisten dalam mengoreksi laporan praktikan yang

melakukan konsultasi

3. Praktikkan, selalu semangat dalam melaksanakan praktikum dan pembuatan

laporan
DAFTAR PUSTAKA

Abrianto, P. 2018. Laporan Inventarisasi Parasit Cacing pada Ternak di RPHU


Ujung Padang dan Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan. LPPH Bogor.
Agoes R. Natadisastra Djaenudin. 2019 Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari
Organ Tubuh yang Diserang.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ariawan. 2019. Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Kambing Peranakan
Ettawa di Kelurahan Amban Kecamatan Manokwari Barat Kabupaten
Manokwari Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmiah Peternakan
Terpadu.Vol.5(8): 13-18.
Bakar A. 2020. Penuntun Praktikum kesehatan Ternak. Fakultas Peternakan
Universitas Padang Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.
David PP, T Haryono dan A Reni. 2015. Identifikasi Cacing Endoparasit pada
Feses Ayam Pedaging dan Ayam Petelur. Jurnal LenteraBio. 4(2): 119–
123.
Firdayana. 2016. Identifikasi telur cacing parasit pada feses sapi (Bos sp.) yang
digembalakan di sekitar tempat pembuangan akhir sampah (TPAS)
Tamangapa Makassar. Skripsi. Makassar. UIN Alauddin Makassar.
Hanafiah. 2017. Penuntun Praktikum kesehatan Ternak .Fakultas Peternakan
Universitas Padang Kedokteran Hewan. Universitas Udayana.
Kurnia F, CD Atma, NSII Ningtyas dan M Janah. 2021. Deteksi Cacing
Nematoda pada Ayam Kampung (Gallus domesticus) di Desa
Bagikpayung Kecamatan Suralaga Kabupaten Lombok Timur.
Mandalika Veterinary Journal. 1(2): 29-34.
Limpomo AB. 2014. Perbedaan metode flotasi menggunakan larutan ZnSO4
dengan metode KATO-KATZ untuk pemeriksaan kuantitatif tinja.
Skripsi. Universitas Dipenogoro. Semarang.
Monika MM. 2016. Faecal Parasitology: Concentration Methodology Needs to
be Better Standardised. London UK NEQAS Natl Inst Heal Res Univ
CollLondon Hosp Biomed Res Cent.
Mukaratirwa S dan Pfukenyi DM. 2013. A review of the epidemiology and control
of gastrointestinal nematode infections in cattle in Zimbabwe.
Onderstepoort. Journal Veterin Res. 80:1-12.
Nezar MR. 2014. Jenis Cacing pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTT
Sidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Skripsi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
Nono PL. 2017. Kecacingan pada mencit (Mus musculus) di Unit Pengelolaan
Hewan Laboratorium (UPHL) Fakultas Kedokteran Institut Pertanian
Bogor. Skripsi. Bogor Institut Pertanian. Bogor.
Nurfaikatunnisa, Asdinar, Hasanuddin dan ARP Hasanuddin. 2021. Hubungan
Kecacingan dengan Stunting pada Balita dengan Menggunakan Metode
Sedimentasi di Kabupaten Bulukumba. Jurnal TLM Blood Smear. 2(2):
12–17.
Pradana D P., Haryono T., Ambarwati R. 2018. Identifikasi Cacing Endoparasit
pada Feses Ayam Pedaging dan Ayam Petelur. LenteraBio. 4(2): 119–
123.

Putri H, EP Santosa. 2015. Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada


Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu Provinsi
Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 3(3):12-18

Regina MP, RH alleyantoro dan S Bakri. 2018. Perbandingan Pemeriksaan Tinja


Antara Metode Sedimentasi Biasa dan Metode Sedimentasi Formol-
Ether dalam Mendeteksi Soil-Transmitted Helminth. Diponegoro
Medical Journal. 7(2): 527–537.
Salsabila, IS Hamid dan F Fikri. 2020. Infeksi Capillaria Sp pada Burung Merpati
Lokal di Banyuwangi. Prosiding Seminar Nasional Kedokteran Hewan
dan Call of Paper. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
Setiati. 2017. Jumlah Telur Cacing Soil Transmitted Helminth (STH) Pada
Metode Sedimentasi dan Flotasi. Jurnal Kesehatan Lingkungan.12(1):
142 – 145.

Silva MRL, MRV Amarante, KDS Bresciani dan AFT Amarante. 2014. Host-
specificity and morphometrics of female Haemonchus contortus, H.
placei and H. similis (Nematoda: Trichostrongylidae) in cattle and sheep
from shared pastures in São Paulo State Brazil. Journal Helminthol.
(4):1-5.
Susilo H., Abdilah NA., Amelia KR. 2020. Identifikasi Telur Cacing Parasit pada
Feses Hewan Ternak Di Propinsi Banten. Jurnal Biologi dan
Pembelajarannya. 15(2): 21-30.

Taufik M. 2018. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan pada Kambing Peranakan


Etawa (Pe) di Kelompok Tani Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten
Pesawaran Lampung. Skripsi. Jurusan peternakan. Fakultas Peternakan.
Universitas Lampung.
Yunizeta R, Siagian TB. 2021. Pemeriksaan Kecacingan Secara Kualitatif pada
Sapi Perah Friesian Holstein di KPGS Cikajang Garut. Jurnal
Agroekoteknologi dan Agribisnis. (1): 1-11.

Anda mungkin juga menyukai