Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH BAHAN PAKAN DAN FORMULASI RANSUM

Penggunaan Feed Aditif (Bahan Tambahan) Pakan Ternak

Oleh :

Kelompok 8

LA ODE SARFAN (L1A121213)


MUH. FAISAL ADITIYA R. (L1A121227)
NUR CAHAYA (L1A121235)
RINI PAEMBONAN (L1A121244)
WA ODE RISTI (L1A121254)

JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah ini berjudul “Penggunaan Feed Aditif (Bahan
Tambahan) Pakan Ternak”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
yang lebih luas kepada pembaca.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada teman-teman yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah
SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hewan ternak apabila hanya diberikan ransum untuk pakannya tidaklah cukup
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, membangun hormon, metabolisme, hidup pokok,
dll. Oleh karena itu pemberian bahan pakan tambahan (feed aditive) sangat penting
untuk membantu kekurangan asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh ternak. Additive
adalah bahan pakan tambahan yang diberikan pada ternak dengan tujuan untuk
meningkatkan produktifitas ternak maupun kualitas produksi. Feed additive
merupakan bahan makanan pelengkap yang dipakai sebagai sumber penyedia
vitamin-vitamin, mineral-mineral dan atau juga antibiotika. Fungsi feed additive
adalah untuk menambah vitamin-vitamin, mineral dan antibiotika dalam ransum,
menjaga dan mempertahankan kesehatan tubuh terhadap serangan penyakit dan
pengaruh stress, merangsang pertumbuhan badan (pertumbuhan daging menjadi baik)
dan menambah nafsu makan, meningkatkan produksi daging maupun telur.
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan feed additive?


2. Bagaimana macam dan bentuk additive?
3. Bagaimana cara penggunaan feed additive?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Additive adalah susunan bahan bahan atau kombinasi bahan tertentu yang
sengaja ditambahkan ke dalam ransum pakan ternak untuk menambah atau
meningkatkan nilai gizi pakan guna memenuhi kebutuhan khusus atau imbuhan yang
umum digunakan dalam meramu pakan ternak. Additive adalah bahan pakan
tambahan yang diberikan pada ternak dengan tujuan untuk meningkatkan
produktifitas ternak maupun kualitas produksi.
Feed additive merupakan bahan makanan pelengkap yang dipakai sebagai
sumber penyedia vitamin-vitamin, mineral-mineral dan atau juga antibiotika. Fungsi
feed additive adalah untuk menambah vitamin-vitamin, mineral dan antibiotika dalam
ransum, menjaga dan mempertahankan kesehatan tubuh terhadap serangan penyakit
dan pengaruh stress, merangsang pertumbuhan badan (pertumbuhan daging menjadi
baik) dan menambah nafsu makan, meningkatkan produksi daging maupun telur.
Imbuhan Pakan (feed additives) adalah setiap bahan yang tidak lazim
dikonsumsi ternak sebagai pakan, yang dengan sengaja ditambahkan, memiliki atau
tidak memiliki nilai nutrisi, dapat mempengaruhi karakteristik pakan atau produk
hewan. bahan tersebut meliputi microorganisme, enzim, pengatur keasaman, mineral,
vitamin, dan bahan lain tergantung pada tujuan penggunaan dan cara pemakaiannya. 
Zat additive yang diberikan pada ternak digolongkan menjadi 4, yaitu sebagai
berikut :
1. vitamin tambahan
2. antibiotik
3. anabolik (hormonal)
B. Macam-Macam Feed Additive

Macam ragam pakan additive antara lain additive pada bahan pakan
(contohnya agensia antioksidan, agensia cita rasa), additive untuk manipulasi
pencernaan dan absorpsi nutrien (contohnya buffer, enzim), additive untuk kesehatan
ternak (contohnya obat cacing), additive melalui hormonal (contohnya hormon
pertumbuhan, hormon reproduksi), additive untuk meningkatkan kualitas produk
(contohnya agensi pewarna, agensi antiradikal).
Berbagai macam feed additive yang bersifat non nutritive antara lain:
1. Makanan tambahan pelengkap untuk memperbaiki tekstur dan kekuatan pakan
pellet
2. Flavoring agent yaitu zat pemberi bau enak yang dipergunakan untuk
meningkatkan palatabilitas pakan
3. enzim-enzim yang memperbaiki daya cerna di bawah kondisi tertentu
4. Antibiotika, senyawa-senyawa arsen dan nitrofurans dipergunakan pada tingkat
rendah untuk melindungi pakan dari serangan perusakan oleh mikroorganisme
dan mencegah timbulnya keracunan yang disebabkan oleh mikroflora dalam
usus.
5. Antibiotika yang mempunyai spektrum luas (broad spectrum) dan daya absorpsi
yang baik ditambahkan ke dalam pakan untuk memerangi penyakit khusus.
6. Senyawa-senyawa kimia tertentu dipergunakan untuk meningkatkan daya
penyembuhan dari antibiotika terhadap penyakit
7. obat-obat pencegah cacing dalam saluran pencernaan
8. Antioksidan untuk mencegah kerusakan asam-asam lemak yang tidak jenuh dan
vitamin-vitamin yang larut dalam lemak karena proses peroksidasi
9. Sumber-sumber karotenoid ditambahkan dalam pakan untuk memperbaiki
pigmentasi dari broiler dan kuning telur.
10. Hormon-hormon yang digunakan untuk memperbaiki metabolisme ayam antara
lain :
a. Estrogen untuk memperbaiki pertumbuhan
b. Senyawa-senyawa thyroaktif untuk memperbaiki produksi telur, kualitas telur,
kualitas kulit telur dan mencegah degenerasi lemak pada kondisi tertentu.
c. hormon untuk menghentikan molting (jatuh bulu).
Feed Additive merupakan bahan makanan tambahan pelengkap yang diberikan
dengan beberapa tujuan diantaranya :
a. Memperbaiki kondisi fisik ransum, terutama yang dibuat pellet, baik dari segi
warna maupun tekstur ransum. Contohnya ialah bentonit. Warna dan tekstur
ransum yang baik akan meningkatkan feed intake (nafsu makan, red)
b. Memberikan aroma atau bau khas dari ransum (flavoring agent) sehingga
palatabilitas atau rasa kesukaan terhadap ransum meningka
c. Memperbaiki atau meningkatkan proses pencernaan dan penyerapan zat nutrisi
dari ransum.
Beberapa feed additive yang berperan dalam hal ini ialah ;
1. Enzim
Enzim merupakan senyawa protein yang berfungsi sebagai katalisator
untuk mempercepat reaksi pemecahan senyawa-senyawa yang komplek menjadi
sederhana. Saat ini telah terindentifikasi lebih kurang 3000 enzim. Walaupun
dalam tubuh makhluk hidup enzim dapat diproduksi sendiri sesuai dengan
kebutuhan, penambahan enzim pada pakan kadang kala masih dibutuhkan. Hal ini
disebabkan beberapa faktor seperti antinutrisi faktor pada bahan pakan (lekctins
dan trypsin inhibitor), rendahnya efesiensi kecernaan bahan pakan, dan ketidak
tersediaan enzim tertentu dalam tubuh ternak. Xylanase dan ß-glucanase adalah
contoh-contoh enzym yang digunakan pada ternak monogastrik untuk
meningkatkan daya cerna ternak. Rendahnya kemampuan ternak muda untuk
mencerna protein pada kacang kedele (glycin dan ß-conglycin) dapat diatasi
dengan penambahan enzim protease.
Enzim merupakan katalisator yang berperan mempercepat suatu reaksi
kimiawi. Enzim phytase mulai banyak digunakan peternak yang berperan
memecah ikatan phytate pada bahan ransum nabati, seperti jagung sehingga
ketersediaan fosfor bisa meningkat. Kerja enzim ini akan optimal apabila jenis
enzim sesuai dengan substratnya, kondisi lingkungan dan kesesuaian dosisnya.
 Jenis-Jenis Enzim Dalam Industri Pakan Ternak
  Terdapat empat type enzim yang mendominasi pasar pakan ternak saat ini
yaitu enzim untuk memecah serat, protein, pati dan asam pitat.
1. Enzim Pemecah Serat
Keterbatasan utama dari pencernaan hewan monogastrik adalah bahwa
hewan-hewan tersebut tidak memproduksi enzim untuk mencerna serat. Pada
ransum makanan ternak yang terbuat dari gandum, barley, rye atau triticale (sereal
viscous utama), proporsi terbesar dari serat ini adalah arabinoxylan dan ß-glucan
yang larut dan tidak larut.  Serat yang dapat larut dan meningkatkan viskositas isi
intestin yang kecil, mengganggu pencernaan nutrisi dan karena itu menurunkan
pertumbuhan hewan.
Kandungan serat pada gandum dan barley sangat bervariasi tergantung
pada varitasnya, tempat tumbuh, kondisi iklim dan lain-lain.  Hal ini dapat
menyebabkan variasi nilai nutrisi yang cukup besar di dalam ransum makanan. 
Untuk memecah serat, enzim-enzim xylanase dan ß-glucanase) dapat menurunkan
tingkat variasi nilai nutrisi pada ransum dan dapat memberikan perbaikan dari
pakan ternak sekaligus konsistensi responnya pada hewan ternak.  Xylanase
dihasilkan oleh mikroorganisme baik bakteri maupun jamur.   
Pius P Ketaren, T. Purwadaria dan A. P Sinurat dari Balai Penelitian
Ternak, Bogor, juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh
suplementasi enzim pemecah serat kasar terhadap penampilan ayam pedaging.
Suplementasi diberikan dengan menambahkan enzim xilanase kedalam ransum
basal dedak atau polar. Penelitian ini menggunakan 120 anak ayam pedaging
umur sehari yang dialokasikan secara acak kedalam 20 kandang yang masing-
masing berisi 6 ekor. Ayam-ayam tersebut dikenai 4 perlakuan. Perlakuan I, ayam
diberi ransum basal 30% dedak (RBD). Perlakuan II, ransum RBD + 0,01%
enzim xilanase (RBD + E). Perlakuan III diberi ransum basal 30% polar (RBP)
dan perlakuan IV dengan ransum RBP + 0,01% enzim xilanase (RBP + E). Setiap
perlakuan diulang 5 kali dan tiap ulangan terdiri dari 6 ekor. Seluruh kandang/pen
ditempatkan dalam bangunan tertutup yang dilengkapi dengan lampu penerang,
pemanas dan pengatur sirkulasi udara, yang diatur sesuai dengan kebutuhan.
Sedangkan ransum dan air minum disediakan secara tak terbatas. Anak ayam juga
divaksin pada umur 4 dan 21 hari untuk mencegah ND dan pada umur 14 hari
untuk mencegah Gumboro. Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB),
feed conversion ratio (FCR) dan mortalitas digunakan sebagai parameter dan
diukur setiap minggu selama 5 minggu perlakuan.
Hasil riset memperlihatkan PBB ayam pedaging yang diberi ransum basal
polar dengan suplementasi enzim cenderung tumbuh lebih cepat dibanding ayam
pedaging yang memperoleh ransum lain. Dalam penelitian ini, suplementasi
enzim xilanase sebanyak 0,01% kedalam ransum basal dedak maupun polar tidak
berpengaruh negatif terhadap penampilan broiler. Hal ini tampak dari tidak
adanya mortalitas selama penelitian berlangsung. FCR ayam pedaging yang diberi
ransum basal polar dengan suplementasi enzim secara nyata lebih baik dibanding
ransum FCR ayam pedaging yang diberi ransum lain.
Berdasarkan penampilan ayam pedaging tersebut terlihat bahwa
suplementasi enzim kedalam ransum basal polar mampu meningkatkan efisiensi
penggunaan ransum sekitar 4%, sebaliknya suplementasi enzim kedalam ransum
basal dedak tidak mampu memperbaiki efisiensi penggunaan ransum ayam
pedaging. Ini membuktikan bahwa enzim xilanase yang digunakan dalam
penelitian ini lebih efektif apabila digunakan pada polar, yang diketahui
mengandung lebih banyak xilan/pentosan  atau glucan dibanding dedak.
Peningkatan penampilan ayam pedaging yang diberi ransum basal polar
dengan suplementasi enzim xilanase ini, kemungkinan juga berkaitan dengan
peningkatan kecernaan protein dan lemak disamping kenaikan kecernaan serat
kasar. Dengan peningkatan kecernaan gizi dan pertumbuhan unggas tersebut,
dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan pakan lokal yang tersedia di
dalam negeri. Kondisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian
perunggasan nasional.
2. Enzim Pemecah Protein
Berbagai bahan mentah yang digunakan sebagai bahan pakan ternak
mengandung protein.  Terdapat variasi kualitas dan kandungan protein yang
cukup besar  dari bahan mentah yang  berbeda.  Dari sumber bahan protein primer
seperti kedelai, beberapa faktor anti nutrisi seperti lectins dan trypsin inhibitor
dapat memicu kerusakan pada permukaan penyerapan, karena ketidaksempurnaan
proses pencernaan.  Selain itu belum berkembangnya sistem pencernaan pada
hewan muda menyebabkan tidak mampu menggunakan simpanan protein yang
besar di dalam kedelai (glycin dan ß-conglycinin).
Penambahan protease dapat membantu menetralkan pengaruh negatif dari
faktor anti-nutrisi berprotein dan juga dapat memecah simpanan protein yang
besar menjadi molekul yang kecil dan dapat diserap.
3. Enzim pemecah Pati
Jagung merupakan sumber pati yang sangat baik sehingga para ahli gizi
menyebutnya sebagai bahan mentah standard emas.  Sebagian besar ahli gizi tidak
mempertimbangkan pencernaan jagung adalah jelek: kenyataannya bahwa 95 %
dapat dicerna.  Namun hasil penelitian Noy dan Sklan (1994) yang diacu oleh
Sheppi (2001), pati hanya dicerna tidak lebih dari 85 % pada ayam broiler umur 4
dan 21 hari.  Penambahan enzim amylase pada makanan ayam dapat membantu
mencerna pati lebih cepat di intestin yang kecil dan pada gilirannya dapat
memperbaiki kecepatan pertumbuhan karena adanya peningkatan pengambilan
nutrisi.
Pada masa aklimatisasi, anak ayam sering menderita shok karena
perubahan nutrisi, lingkungan dan status imunitasnya.  Penambahan amilase,
biasanya juga bersamaan dengan penambahan enzim lain, untuk meningkatkan
produksi enzim endogeneous telah terbukti dapat memperbaiki pencernaan nutrisi
dan penyerapannya.
4. Enzim Pemecah Asam pitat
Phospor merupakan unsur esensial untuk semua hewan, karena diperlukan
untuk mineralisasi tulang, imunitas, fertilitas dan juga pertumbuhan.  Swine dan
Unggas hanya dapat mencerna Phospor dalam bentuk asam pitat yang terdapat
dalam sayur sekitar 30-40 %.  Phospor yang tidak dapat dicerna akan keluar
bersama kotoran (feces) dan menimbulkan pencemaran.
Enzim pytase dapat memecah asam pytat, maka penambahan enzim
tersebut pada pakan ternak akan membebaskan lebih banyak phospor yang
digunakan oleh hewan.
Enzime phytase banyak dikenal dapat menghilangkan pengaruh anti
nutrisi asam phitat. Penggunaan enzime phytase  dalam pakan akan mengurangi
keharusan penambahan sumber-sumber fosfor anorganik   mengingat fosfor asal
bahan baku tumbuhan terikat dalam asam phitat yang mengurangi
ketersediaannya dalam pakan. Padahal suplementasi fosfor anorganik misalnya
mengandalkan dicalcium phosphate maupun mono calcium phosphate relatif
mahal belakangan ini. Di samping itu, fosfor yang terikat dalam asam phitat yang
tidak bisa dicerna sempurna oleh sistem pencernaan hewan monogastrik akan ikut
dalam feses dan menjadi sumber polutan yang berpotensi mencemari tanah.
Fosfor adalah tidak terurai dalam tanah sehingga dalam jangka panjang,
pembuangan feses dengan kandungan fosfor tinggi akan menimbulkan masalah
bagi tanah. 
Terdapat dua keuntungan menggunakan phytase dalam pakan ternak yaitu
(1) pengurangan biaya pakan dari pengurangan suplemen P pada makanan dan (2)
pengurangan polusi dari berkurangnya limbah melalui feces.
Dampak Positif dan Negatif Penggunaan Enzim
Enzim mempunya sifat yang unik, akan menunjukkan aktivitasnya pada
kondisi lingkungan yang cocok, baik pH maupun Suhu.  Masing-masing jenis enzim
mempunya kisaran pH dan suhu optimalnya. Pelet pakan ternak dibuat melalui proses
pemanasan pada suhu tinggi, karena itu kestabilan enzim terhadap perlakuan panas
pada industri pakan sangat diperlukan.
Enzim bekerja sebagai katalisator untuk mempercepat suatu proses reaksi
kimia, karena itu aktivitasnya juga akan ditentukan oleh dosis enzim itu sendiri. 
Pemberian enzim exogeneous harus mempertimbangkan juga enzim endogeneous
yang sudah ada pada hewan, karena itu sebelum membuat formulasi produk harus
dilakukan penelitian terlebih dahulu dan dilihat performance hewannya pada berbagai
tingkatan umur.
Metode analisis yang mudah dan tepat untuk menentukan jumlah enzim yang
aktif  juga merupakan suatu tantangan yang perlu mendapatkan perhatian dari para
ilmuwan,  Dengan adanya metode analisis yang akurat dan cepat makan akan sangat
mempermudah pembuatan formulasi produk pakan ternak. Walaupun telah terbukti
bahwa suplemen enzim dapat meningkatkan produksi ternak, namun karena untuk
mendapatkan enzim itu sendiri tidak mudah maka produk pakan ternak berenzim
harganya menjadi mahal, karena itu komponen biaya lain dari produksi pakan sedapat
mungkin dapat ditekan sehingga akan menurunkan harga pakan ternak berenzim.  Hal
lain yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian untuk mendapatkan enzim
secara mudah dan murah.
Indonesia merupakan negara yang mempunya julukan megadiversiti, karena itu
explorasi untuk mendapatkan sumber penghasil enzim baru  sangat dimungkinkan,
baik dari jamur maupun bakteri.  Saat ini belum banyak enzim termostabil yang
dihasilkan dari Indonesia, padahal sumber-sumber baik bakteri maupun jamur dari
lokasi kawah sangat berlimpah.
5. Penggunaan Hormon Pemacu Pertumbuhan
Yang dimaksud dengan frowth hormon ialah himpunan sejumlah hormon
yang berfungsi mengatur pertumbuhan. Hormon pertumbuhan dihasilkan oleh
kelenjar pituitari dan dikenal dengan STH (Somato Tropic Hormone =
Somatotropin). Mekanisme kerjanya langsung dan tidak langsung terhadap
pertumbuhan. Efek langsungnya sebagai anti-insulin, sedangkan efek tidak
langsungnya ialah terhadap reseptor dalam hati yang kemudian hati mengeluarkan
beberapa hormon polipeptida lain. Secara kolektif disebut Somatomedin yang
juga sering disebut Insulinlike Growth Factor I dan II atau IGF – I dan IGF – II
dengan rangkaian asam amino 70 dan 67. Hormon ini merangsang proliferasi sel
dan melakukan negative feed back terhadap pengeluaran STH.
Hormon lain yang ada kaitannya dengan pertumbuhan, poliferasi dan
diferensiasi sel spesifik antara lain erythropoietin, nerve growth factor, epidermal
and fibroblast growth factor, platelet derived growth factor , dan sejumlah hormon
thymine seperti thymosin, thymopoetin, serum thymic factor dan lain-lain. Insulin
merupakan hormon polipeptida yang di samping bekerja terhadap metabolisme
karbohidrat dan lemak, juga mempunyai peranan penting dalam regulasi
pertumbuhan. Prolaktin memegang peranan penting dalam pertumbuhan kelenjar
mammae selama akhir stadia kebuntingan. Laktogen plasenta sangat berperan
terhadap pertumbuhan fetus. Anabolic steroid pada diduga mampu meningkatkan
myogenesis dan meningkatkan lipolisis, namun sangat bergantung kepada unur
hewannya. Jadi, hormon pemacu pertumbuhan adalah himpunan beberapa
hormon yang ada kaitannya dengan pertumbuhan.
Hormon pertumbuhan utama yang digunakan dalam produksi ternak
adalah anabolic steroid dan Growth Hormone. Namun yang menjadi perhatian
dewasa ini ialah bovine somatotropin ( bST, bGH ) dan porcine (babi)
somatotropin (pST, pGH). Porcine somatotropin, walaupun sangat efektif
meningkatkan pertumbuhan , sudah jelas tidak diharapkan masuk, karena
permasalahan agama. Fungsi fisiologis hormon ini ialah mempengaruhi
metabolisme yang berkaitan dengan pertumbuhan melalui stimulasi sintesis
protein, meningkatkan transpor asam amino ke dalam sel, mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, meningkatkan glucogenesis dalam hati, merangsang
mobilisasi lemak tubuh, mempengaruhi metabolisme mineral dan memacu
pertumbuhan tulang rawan, yang pada gilirannya memacu pertumbuhan.
Sekarang berkembang hormon recombinant antara lain recombinant bovine
growth hormone dan recombinant bovine somatotropin (rBGH dan rBST). Salah
satu produk dibuat oleh Mosanto corporation melalui rekayasa genetik yakni
rBGH dengan nama perdagangan Posilac yang dikenal juga sebagai BST atau
BGH atau rBGH. Applikasinya bervariasi bergantung kepada produk mana yang
digunakan. Sebagian digunakan secara injeksi dan sebagian dengan cara
inplantasi. Cara aplikasi ini sangat menentukan kandungan hormon dalam darah
dan organ tubuh.
6. Penggunaan pada Sapi Perah
Pada perusahaan sapi perah, khususnya perusahaan besar, banyak
menggunakan rBGH sebagai milk-stimulating hormone. Applikasi pada sapi perah
di Amerika Serikat secara injeksi dan banyak digunakan rBST. Dalam penelitian
produksi susu, ternyata hormon ini dapat meningkatkan produksi susu sampai
10%. Namun, kemudian dalam aplikasinya banyak perusahaan mengeluh, karena
efeknya hampir tidak ada. The Standing Senate Committee on Agriculture and
Forestry, Canada, pada hari Senin tanggal 26 April 1999 di Ottawa,
menyelenggarakan diskusi penggunaan rBGH pada sapi perah. Ratusan laporan
dari peternak dan asosiasi peternak, yang mengemukakan bahwa bila BGH dan
BST diberikan pada sapi perah akan terjadi metabolit IGF-I disebut juga
myotrophin digunakan sebagai obat untuk pertumbuhan syaraf pada manusia,
namun kemudian FDA menyelenggarakan diskusi panel yang kesimpulannya
bahwa IGF-I (myotrophin) ditolak sebagai obat, karena menimbulkan bnyak
kematian pada manusia (The Standing Senate Committee on Agriculture and
Forestry, 1999).
Sebelum tahun 1995 perusahaan sapi perah besar menggunakan milk-
stimulating hormone (rBGH), namun sejak tahun 1995 di California penggunaan
rBGH menurun dan bahkan pada cuaca buruk, penggunaan rBGH ini justru
menimbulkan stress. Injeksi rBGH menurunkan harapan hidup sapi perah,
meningkatkan resiko penyakit, sapi perah bobotnya menurun, kadang-kadang jadi
infertil dan lebih peka terhadap mastitis. Lebih lanjut bahwa banyak peternak
mulai ketakutan menggunakan rBGH, karena adanya masalah kelainan reproduksi.
Di Amerika Serikat, para dokter hewan tidak menentang penggunaan rBGH, tetapi
dokter hewan di Jerman secara formal menolak penggunaan rBGH dan dianggap
melanggar kode etik (Rachel, 1996).
Hasil penelitian terhadap Posilac (nama perdagangan rBGH dari
Monsanto) air susu sapi yang diberi rBGH mengandung Metabolit IGF-I atau
dikenal dengan myotrophin dan IGF-I merupakan penyebab tumor kolon,
menimbulkan cepatnya pembelahan sel, merupakan acute diabetes induction pada
anak-anak dan menimbulkan antibodi berkaitan dengan diabetes. IGF-I secara
alami terdapat pada sapi dan manusia dan molekulnya ternyata identik.
Selanjutnya IGF-I tidak mngurai dengan pasturisasi, sehingga IGF-I yang terdapat
dalam susu sapi yang diberi strukturnya dengan hormon alami (Rachel, 1996).
7. Penggunaan pada Sapi Potong
Pada sapi potong, penggunaan zat pemacu pertumbuhan masih bersimpang
siur. Hormon yang diimplantasikan pada telinga seperti terlihat pada sapi impor
dari Australia, dapat meningkatkan berat sekitar 14% dan memperbaiki konversi
pakan antara 6-10%. Banyak hormon perdagangan yang digunakan antara lain
Ralgo, Synovex C, Zeranol, Revalor S, Revalor H, Posilac dan lain-lain.
Lima organisasi yakni WHO, the United Nations Food and Agricultural
Organization, the European Commission Scientific Working Group on Anabolic
Agents in Animal production, dan the Codex Alimentarius Commission,
menyatakan bahwa penggunaan hormon yang sudah mendapat pengawasan dan
disartifikasi adalah aman bagi produksi sapi potong. Walaupun demikian, untuk
penggunaan hormon ini harus tercatat, sesuai dengan teknologi trbaru,
penggunaannya terprogram. Di Australia Barat, hnya retailer yang tercatat boleh
menjual hormon HGP’s. Setiap pengecer harus menyediakan format perjanjian
dengan pembeli.
Pada tanggal 26 April 1999, The Standing Senate Committee on
Agriculture and Forestry, Canada, menerbitkan hasil diskusi mengenai status
pertanian sekarang dan masa yang akan datang di Canada. Anggota Komite
umumnya tidak percaya, karena belum banyak bukti, tentang resiko yang timbul
pada manusia yang mengkonsumsi susu dari sapi yang diberi rBST. Tetapi,
Environmental Research Foundations, Annapolis, USA, menyatakan bahwa
hormon BST atau BGH atau rBGH yang nama perdagangannya POSILAC
ditentang mati-matian oleh kelompok konsumen di lapangan, karena (1) untuk sapi
tidak baik, (2) masyarakat merasa lebih aman peningkatan produksi tanpa zat
kimia, (3) di Amerika tidak diperlukan, karena produksi sapi perah sudah cukup,
(4) dampaknya pada manusia tidak diketahui.
Hormon aktif yang digunakan untuk memacu pertumbuhan pada sapi,
potensial berisiko bagi kesehatan manusia akibat residu pada daging dan produk
daging. Yang diteliti adalah enam hormon steroid yakni oestradiol-17B,
testosterone, zeranol, progesterone, trebolone acetate dan melenogestrol acetate.
The SCVPH menyimpulkan bahwa resiko akibat mengkonsumsi daging dari sapi
yang diberi hormon steroid pemacu pertumbuhan lebih tinggi dari dugaan semula.
Dampak Positif Dan Negatif Penggunaan Hormon
Secara umum, tidak disangsikan lagi bahwa hormon mengontrol reproduksi
dan pertumbuhan/perkembangan, dan dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan
produksi susu. Namun banyak peternak menolak dengan alasan tidak ada jaminan
yang pasti tentang keamanan produk, ada keraguan tentang kredibilitas FDA, ada
anggapan bahwa ilmuwan kurang memperhatikan keadaan ini dan tidak benar-benar
netral. Di samping itu banyak juga yang mnerima, karena secara alami hormon
tersebut sudah ada dalam tubuh, persetujuan FDA merupakan suatu kepercayaan,
merasakan adanya efisiensi produksi, sehingga mendorong pengurangan biaya
produksi, dan lain-lain. Dari ungkapan di atas, jelas adanya kontroversi yang cukup
beralasan, karena belum ada penelitian yang benar-benar menjurus ke arah itu.
Dari penelitian secara partial, tidak disangsikan lagi bahwa hormon seks
eksogenous dalam level yang tinggi dapat mengggangu proses fisiologis tubuh.
Bahkan dalam beberapa kasus dapat secara permanen mengganggu beberapa aspek
kegiatan fifiologis. Somatotropin alami sudah sejak lama diketahui dan digunakan
sebagai pemacu roduksi ternak, dan menunjukkan adanya efisiensi produksi. Namu,
belakangan setelah didapat somatotropin produk rekayasa genetik, terjadi sorotan
tajam, karena diduga adanya residu yang mengganggu kesehatan manusia. Rupanya
produksi asam amino pada ribosoma bakteri terlalu kuat mempengaruhi sapi dan terus
aktif, sehingga berbahaya bagi manusia.
Hormon pemacu pertumbuhan terdiri atas hormon non-steroid yakni hormon
protein atau lebih tepat disebut hormon polypeptide yang terdiri atas sekitar 190 asam
amino berikatan satu dengan yang lainnya dalam sebuah molekul polypeptide.
Komposisi asam aminonya berbeda antar spesies. Kelompok non-steroid antara lain
Bovine Somatotropin (bST, bGH) dan Porcine (babi) Somatotropin (pST , pGH)
dengan beberapa nama perdagangan. Hormon lain ialah kelompok hormon steroid
antara lain, Oestradiol 17 B, Progesterone, Testosterone, Melengestrol acetate,
Trenbolonce acetate, Zerano.
Fungsi fisiologis hormon ini ialah mempengaruhi proses metabolisme yang
menyangkut pertumbuhan melalui stimulasi sintesis protein, meningkatkan
transportasi asam amino ke dalam sel, mempengaruhi metabolisme karbohidrat,
glucogenesis dalam hati, memacu mobilisasi lemak tubuh, mempengaruhi
metabolisme mineral dan memacu pertumbuhan tulang rawan. Keuntungan dan
kerugian penggunaan hormon dalam produksi ternak dan dampak produk tersebut
terhadap konsumen masih simpang siur.
Tantangan ilmiahnya ialah manusia harus memahami cara pengendalian agar
keberadaan campuran zat kimia yang kompleks tersebut serendah mungkin pada
setiap stadia perkembangan manusia, sebab dapat menimbulkan pengaruh terhadap
“hormonal pathways”. Sejauh ini belum ada bukti bahwa bila level hormon sex
exogenous cukup rendah dapat menggangu reproduksi dan perkembangan manusia.
8. Antibiotik
Antibiotik merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad
renik, seperti bakteri dan jamur yang memiliki fungsi menghentikan pertumbuhan
atau membunuh jasad renik. Penicillin dihasilkan oleh Penicillium, Cephalosporin
dihasilkan oleh Cephalosporium. Antibiotik yang diperoleh secara alami oleh
mikroorganisme disebut antibiotik alami, antibiotik yang disintesis di laboratorium
disebut antibiotik sintetis, seperti sulfa. Antibiotik yang dihasilkan oleh
mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan senyawa
kimia disebut antibiotik semisintetis.
Berdasarkan cara kerjanya, antibiotik dibedakan dalam 4 kelompok, yaitu:
1.  Antibiotik penghambat sintesis dinding sel, misalnya Penicillin, Bacitrasin,
Novobiosin, Sefalosporin dan Vancomisin
2.   Antibiotik perusak membrane sel, misalnya Polimixin, Colistin, Novobiosin,
Gentamisin, Nistatin dan Amfoterisin B
3.   Antibiotik penghambat sintesis protein, misalnya Tetrasiklin, Khloramfenikol,
Neomisin, Streptomisin, Kanamisin, eritromisin, Oleandomisin, Tilosin dan
Linkomisin
4.    Antibiotik penghambat sintesis asam nukleat, misalnya Aktinomisin,
Sulfonamida dan derivat kuinolon.
Antibiotik dibedakan juga berdasarkan kemampuannya menekan
pertumbuhan atau membunuh bakteri, yaitu :
a. Antibiotik bakterisidal adalah antibiotik yang mampu membunuh sel bakteri,
contohnya: Penicillin, Streptomisin, Bacitrasin, Neomisin, Polimiksin dan
Nitrofurans.
b.  Antibiotik yang bersifat bakteriostatik yaitu antibiotik yang hanya mampu
menekan pertumbuhan sel bakteri, contohnya : sediaan Sulfa, Tetrasiklin,
Khloramfenikol, Eritromisin, Tilosin, Oleandomisin dan Nitrofuran.
Secara umum antimikroba yang mempengaruhi pembentukan dinding sel atau
permeabilitas membrane sel bekerja sebagai bakterisid, sedangkan yang
mempengaruhi sintesis protein bekerja sebagai bakteriostatik. Bakterisid adalah zat
yang dapat membunuh bakteri dan bakteriostatik adalah zat yang dapat mencegah
pertumbuhan bakteri, sehingga populasi bakteri tetap. Beberapa senyawa kimia
antimikroba, antara lain fenol, alkohol, halogen, logam berat, zat warna, deterjen,
senyawa ammonium kuartener, asam dan basa.
Berdasarkan atas sifat bakteri yang peka, antibiotik dibedakan dalam 3
kelompok, yaitu :
a. Antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram-positif, misalnya Penicillin,
Basitrasin, Novobiosin, Sefalosporin, Eritromisin, Tilosin dan Oleandomisin
b. Antibiotik yang peka terhadap bakteri Gram-negatif, misalnya Streptomisin
dan Dehidrostreptomisin, Neomisin, Polimiksin, Colistin, Kanamisin dan Gentamisin
c.      Antibiotik spektrum luas, seperti Ampisillin, Amoksisillin, Tetrasiklin,
Khloramfenikol, sediaan Sulfa, Nitrofurans dan Sefalosporin.
 Tetrasiklin
Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotika yang dihasilkan oleh
jamur Streptomyces aureofaciens atau S. rimosus. Tetrasiklin merupakan derivat dari
senyawa hidronaftalen, dan berwarna kuning (Subronto, 2001). Tetrasiklin
merupakan antibiotika berspektrum luas yang aktif terhadap bakteri gram-positif
maupun gram-negatif yang bekerja merintangi sintesa protein (Tan dan Rahardja,
2008).
 Pemakaian Tetrasiklin pada Ternak
Pada unggas (ayam, kalkun), untuk pencegahan CRD tetrasiklin diberikan
dengan dosis 100-200 mg/gallon air minum, sedangkan untuk pengobatan CRD dan
air sacculitis, hexamitiasis dan bleucomb, sinusitis, dan sinivovitis, tetrasiklin
diberikan dengan dosis 200-400 mg/gallon air minum (Subronto, 2001).
Di bidang peternakan, selain untuk tujuan terapetik, antibiotik juga dipakai
sebagai imbuhan pakan untuk merangsang pertumbuhan pada ternak (Bahri, 2008).
Beberapa antibiotika yang banyak dipakai sebagai perangsang pertumbuhan antara
lain dari golongan tetrasiklin, penisilin, macrolida, dan lincomisin. Pengaruh
pemberian antibiotik yang menguntungkan disebabkan oleh adanya faktor pengendali
infeksi subklinis. Antibiotik juga mampu meningkatkan digesti pati dengan jalan
menekan aktivitas mikroba yang bertanggung jawab terhadap produksi gas di
lambung (Soeparno, 1998).
Namun akhir-akhir ini penggunaan senyawa antibiotik dalam pakan ternak
telah menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuwan akibat efek buruk yang
ditimbulkan melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu maupun telur.
Larangan penggunaan antibiotik dalam pakan ternak bukan merupakan hal yang baru
bagi sebagian negara Eropa. Beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan
zat aditif tersebut dalam pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun
1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss tahun 1999. Akan tetapi pelarangan tersebut
tidak menyeluruh dan hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu misalnya avoparcin
(Denmark), vancomisin (Jerman), spiramisin, tilosin, dan virginiamicin (Uni Eropa).
Hingga kini hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan penggunaannya
dalam pakan ternak pada masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol, avilamycin,
monensin-Na dan salinomycin-Na. Sementara di Indonesia larangan penggunaan
beberapa antibiotik dalam imbuhan pakan tercantum dalam revisi UU no 6 tahun
1967 (masih dalam tahap penyelesaian). Hanya saja ada sedikit kerancuan karena
tidak mencantumkan jenis antibiotik apa saja yang dilarang penggunaannya dalam
pakan ternak (Sjofjan, 2011).

 Residu Tetrasiklin pada Ternak


Residu obat atau bahan kimia adalah akumulasi obat atau bahan kimia dan
atau metabolitnya dalam jaringan atau organ hewan setelah pemakaian obat atau
bahan kimia untuk tujuan pencegahan/pengobatan atau sebagai imbuhan pakan untuk
pemacu pertumbuhan. Residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya
dengan penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit serta
penggunaannya sebagai imbuhan pakan. Sebagai imbuhan pakan, antibiotika dapat
memacu pertumbuhan ternak agar dapat tumbuh lebih besar dan lebih cepat serta
dapat mencegah terjadinya infeksi bakteri. Penggunaan antibiotik yang berlebihan
serta tidak dipatuhinya waktu henti obat menyebabkan timbulnya residu di dalam
daging ternak, telur, susu atau produk ternak lainnya. Waktu henti adalah kurun
waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya
dapat dikonsumsi (Bahri, 2008). Waktu henti pemakaian antibiotik golongan
tetrasiklin adalah 5 hari menjelang ternak dipotong (Lastari, dkk., 1987).
Dampak Negatif Penggunaan Antibiotik di Bidang Peternakan
 Residu Antibiotik
Tiap senyawa anorganik atau organik, baik yang berupa obat-obatan, mineral
atau hormon yang masuk atau dimasukkan ke dalam tubuh individu, akan mengalami
berbagai proses yang terdiri dari : penyerapan (absorbsi), distribusi, metabolisme
(biotransformasi) dan eliminasi.
Kecepatan proses biologik tersebut di atas tergantung kepada jenis dan bentuk
senyawa, cara masuknya dan kondisi jaringan yang memprosesnya. Apabila bahan
tersebut dimasukkan melalui mulut, penyerapan terjadi di dalam saluran pencernaan
yang sebagian besar dilakukan oleh usus. Setelah terjadi penyerapan , senyawa yang
berbentuk asli maupun metabolitnya akan dibawa oleh darah dan akan didistribusikan
ke seluruh bagian tubuh. Metabolisme akan terjadi di dalam alat-alat tubuh yang
memang berfungsi untuk hal tersebut dan pada sel-sel serta jaringan yang mampu
melakukannya. Eliminasi akan dilakukan oleh alat-alat ekskresi, terutama ginjal,
dalam bentuk kemih dan lewat usus dalam bentuk tinja.
Senyawa-senyawa dalam bentuk asli maupun metabolitnya akan tertinggal
atau tertahan di dalam jaringan untuk waktu tertentu tergantung pada waktu paruh
senyawa tersebut atau metabolitnya. Pada kondisi ternak yang sehat kecepatan
eliminasi akan jauh lebih cepat daripada ternak sakit. Dalam keadaan tubuh lemah
atau terdapat gangguan alat metabolisme, maka eliminasi obat akan terganggu.
Apabila senyawa-senyawa tersebut diberikan dalam waktu yang lama, maka akan
terjadi timbunan senyawa atau metabolitnya di dalam tubuh, itulah yang disebut
dengan residu. Jadi residu obat adalah akumulasi dari obat atau metabolitnya dalam
jaringan atau organ hewan/ternak setelah pemakaian obat hewan.
Pada usaha peternakan, residu dapat ditemukan pada bahan-bahan yang
berasal dari ternak sebagai akibat penggunaan obat-obatan, termasuk antibiotik,
pemberian feed additive, ataupun hormon yang digunakan untuk memacu
pertumbuhan hewan. Semakin intensif suatu usaha peternakan maka kemungkinan
untuk tertimbunnya residu semakin besar dan bahkan tidak terhindarkan lagi. Residu
juga bisa berasal dari obat-obatan yang digunakan untuk mencegah kerusakan bahan
pakan, yang mungkin bisa berupa pestisida, herbisida, fungisida dan antiparasitika
Terdapat lebih dari 40 jenis antibiotik (termasuk senyawa sulfa) telah
digunakan dalam upaya peningkatan hasil usaha di bidang peternakan. Penggunaan
antibiotik untuk tujuan pengobatan penyakit atau untuk memacu pertumbuhan pada
ternak harus dilandasi dengan pengetahuan farmakokinetik dan farmakodinamik serta
patofisiologi, jika tidak maka akan timbul kerugian yang besar, baik berupa bahaya
terhadap ternak itu sendiri maupun terhadap manusia yang mengkonsumsinya.
Seringkali peternak tidak memperhatikan aturan pakai pemberian antibiotik,
sehingga antibiotik yang diberikan sering di bawah dosis sehingga tidak
manghasilkan kesembuhan pada ternak. Antibodi yang dibentuk di dalam tubuh tidak
dapat pulih kembali, agen penyakit terus berkembang dalam kondisi yang lebih
resisten. Selanjutnya penyakit akan kembali lagi dengan serangan yang lebih hebat
dan tidak peka lagi terhadap jenis antibiotik yang sama dalam dosis yang sama.
Keadaan tersebut memaksa petermak mempertinggi dosis pemakaian antibiotik.
Akibat selanjutnya akan timbul shock pada ternak dan akan membunuh flora yang
berada di usus ternak, sehingga sintesis vitamin oleh tubuh ternak terganggu serta
terjadi super infeksi (infeksi baru).
Hal lain yang perlu untuk dipelajari adalah bahwa antibiotik tidak dapat
seluruhnya diekskresi dari jaringan tubuh ternak, seperti : daging, air susu dan telur.
Hal ini berarti sebagian antibiotik masih tertahan dalam jaringan tubuh sebagai
bentuk residu.
Terdapat beberapa residu obat yang terdapat dalam produk ternak setelah
pengolahan. Residu obat yang sering ditemukan antara lain adalah tetrasiklin,
streptomisin, khloramfenikol dan benzyl-penicillin.
Tetrasiklin yang terdapat pada produk ternak sebanyak 5 ppm sampai dengan
10 ppm akan didegradasi dan hanya tersisa 1 ppm. Toksisitas produk degradasi
tersebut belum diketahui. Streptomisin tidak terpengaruh oleh pemanasan pada
temperatur 1000C selama 2 jam. Khloramfenikol stabil terhadap panas. Pemanasan
pata temperatur 1000C selama 30 menit akan menurunkan kadar menjadi 80%.
Khloramfenikol hanya boleh digunakan oleh ternak bukan produksi.
Pemanasan pada temperatur 600C sampai 850C akan menyebabkan benzyl-
penicillin yang terdapat dalam daging terdegradasi dan dengan pemanasan yang lebih
tinggi lagi meyebabkan terjadinya isomerisasi dari produk degradasi tersebut.
Toksisitas produk degradasi tersebut belum diketahui.
Problem kesehatan manusia akan timbul jika manusia mengkonsumsi hasil
ternak yang mengandung residu antibiotik. Beberapa efek yang mungkin timbul pada
manusia akibat residu antibiotik, antara lain Penicillin seringkali menyebabkan alergi
bagi manusia yang mengkonsumsinya dan menyebabkan gangguan kulit,
kardiovaskuler, traktus gastrointestinalis, berupa diare dan sakit perut serta urtikaria
dan hipotensi. Tetracyclin menyebabkan gangguan kulit, fotosensitifitas, muntah,
diare, shock anafilaksis yang diikuti kematian. Streptomycin menimbulkan gangguan
pada susunan syaraf pusat dan tepi, pusing-pusing, gangguan alat pendengaran,
gangguan keseimbangan, vertigo dan ketulian. Chloramfenikol menimbulkan anemia
dan leukopenia.
Selain pengaruh-pengaruh di atas, antibiotik juga berdampak negatif terhadap
ternak, antara lain berupa hambatan pertumbuhan, penurunan daya tetas, toksisitas
dan residunya dalam telur, daging maupun susu. Furaltadone bersifat menghambat
pertumbuhan, Furazalidone menyebabkan penurunan daya tetas dan kelompok Sulfa
sering menyebabkan toksisitas apabila kelebihan dosis. Chlorampenicol, Doxycyclin,
Spyramycin, Tylosin, ditemukan :sebagai residu dalam telur dan daging.
Tetracyclin,:Chloramphenicol dan Neomycin (TCN), mengganggu kehidupan
mikroflora usus.
 Resistensi Bakteri
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik dapat terjadi karena beberapa
hal, antara lain (1) adanya mikroorganisme yang menghasilkan enzim yang dapat
merusak aktivitas obat (2) adanya perubahan permeabilitas dari mikroorganisme (3)
adanya modifikasi reseptor site pada bakteri sehingga menyebabkan afinitas obat
berkurang (4) adanya mutasi dan transfer genetik.
Transfer genetik antara strain Shigella telah ditemukan oleh Watanebe (1963),
antara strain Gram negatif ditemukan oleh Falkow et al. (1966). Transfer resistensi
bisa terjadi dari satu penderita ke penderita dan dari pangan asal ternak ke manusia.
Ransum ternak dan ikan pada awalnya tidak diberi tambahan antibakteri,
tetapi dalam dekade terakhir antibakteri banyak digunakan dengan alasan untuk
memperbaiki pertumbuhan dan produksi. Di Denmark, penggunaan antibakteri untuk
kepentingan pakan tambahan jauh lebih besar daripada untuk tujuan pengobatan. Di
Indonesia, penggunaan antibakteri sebagai pakan tambahan sudah digunakan dalam
waktu yang cukup lama, namun sampai saat ini belum ada monitoring untuk
mengetahui dampak negatif dari antibakteri tersebut. Di Negara-negara Eropa,
monitoring tersebut sudah dilakukan secara rutin, dan karena terbukti memberikan
dampak negatif, maka muncul larangan terhadap penggunaan antibiotik sebagai
imbuhan pakan. Larangan tersebut berawal dari diketahuinya bakteri yang resisten
terhadap tetrasiklin, dimana tetrasiklin merupakan antibakteri yang paling banyak
digunakan di Eropa.
Resistensi bakteri terhadap antibakteri sebagian besar terjadi karena perubahan
genetik dan dilanjutkan serangkaian proses seleksi oleh antibakteri. Seleksi
antibakteri adalah mekanisme selektif antibakteri untuk membunuh bakteri yang peka
dan membiarkan bakteri yang resisten tetap tumbuh. Proses seleksi ini terjadi karena
penggunaan antibakteri yang sama yang tidak terkendali. 
Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat ditekan melalui cara-cara, antara lain (1)
mempertahankan kadar antibiotik yang cukup dalam jaringan untuk menghambat
populasi bakteri asli dan yang mengalami mutasi tingkat rendah (2) memberi dua obat
yang tidak memberi resisten silang secara simultan, masing-masing menunda
timbulnya mutan resisten terhadap obat yang lain.
Pada awalnya masalah resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa diatasi
dengan penemuan golongan baru antibiotik dan modifikasi kimiawi antibiotik yang
sudah ada, namun tidak ada jaminan bahwa pengembangan antibiotik baru dapat
mencegah kemampuan bakteri pathogen untuk menjadi resisten. Bakteri memiliki
seperangkat cara beradaptasi terhadap lingkungan yang mengandung antibiotik.
Problem yang cukup penting adalah kemampuan bakteri untuk mendapatkan materi
genetik eksogenous yang bisa menimbulkan terjadinya resistensi. Spesies
pneumokokki dan meningokokki dapat mengambil materi DNA dari luar sel
(eksogenous) dan mengkombinasikannya ke dalam kromosom.
Dampak Positif Penggunaan Antibiotik Sebagai Imbuhan Pakan Ternak

Pada usaha peternakan modern, imbuhan pakan (feed additive) sudah umum
digunakan oleh peternak. Suplemen ini dimaksudkan untuk memacu pertumbuhan
dan meningkatkan efisiensi pakan dengan mengurangi mikroorganisme pengganggu
(patogen) atau meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan yang ada di
dalam saluran pencernaan.
Penggunaan preparat antibiotik sebagai imbuhan pakan bertujuan untuk
memperbaiki tampilan produksi ternak, seperti : peningkatan laju pertumbuhan,
sehingga mendekati pertumbuhan yang ideal sesuai dengan potensi genetik yang
dimiliki ternak. Perbaikan konversi pakan dan perbaikan kondisi tubuh ternak,
sehingga antibiotik sebagai imbuhan pakan disebut sebagai Antibiotic Growth
Promotors (AGP).
Penggunaan AGP dalam pakan telah terbukti menguntungkan. Keuntungan
yang bisa diperoleh antara lain (1) kondisi sel-sel epitel usus akan jauh lebih baik,
termasuk perkembangan jaringan limfoid yang ada di usus. Keadaan ini akan
menciptakan kesehatan ternak yang lebih optimal dengan respon pertahanan tubuh
serta reaksi imunologis yang lebih baik. Dan selanjutnya akan menurunkan angha
kematian ternak dan menekan biaya pengobatan (2) reruntuhan sel-sel yang
dikeluarkan lewat feses pada ternak yang mengkonsumsi AGP lebih sedikit, dengan
demikian jumlah feses secara total juga sedikit, sehingga hal ini akan mengurangi
kontaminasi lingkungan dan menekan biaya penanganan limbah (3) kadar amoniak
dalam feses pada ternak pengkonsumsi AGP jauh lebih rendah (4) tidak mengganggu
fungsi biologis flora di dalam usus dan tidak bertujuan membunuh bakteri yang
bersifat patogen, karena jumlah antibiotik yang digunakan sebagai AGP jauh di
bawah dosis terapeutik (pengobatan) ataupun kadar hambat minimal (MIC: Minimal
Inhibitory Concentration) dan tidak menyebabkan resistensi terhadap bakteri.
 Batas Toleransi Antibiotik
Sebagai konsekuensi keadaan di atas, maka mengharuskan pemerintah
menetapkan batas-batas keamanan residu dalam pakan dan produk-produk ternak
yang diperdagangkan.
Produk daging, telur dan susu yang mengandung residu obat masih layak
untuk dikonsumsi, jika kadar residu masih berada di bawah batas toleransi. Batas
toleransi adalah kadar residu obat maksimal yang masih diperkenankan terdapat
dalam daging ayam yang dikonsumsi. Obat yang sangat toksik yang mempunyai
potensi karsinogenik (dapat menyebabkan kanker), toleransi kadar residunya di dalam
daging ayam harus nol.
Diperlukan perangkat-perangkat lunak dalam bentuk aturan-aturan untuk
melindungi konsumen dari akibat negatif di atas. Aturan-aturan tersebut ditujukan
terutama untuk produsen pakan ternak, pabrik obat-obatan hewan, semua orang
termasuk Dokter Hewan dan peternak yang terlibat dengan penggunaan obat-obatan
hewan.Batas-batas toleransi residu pada spesies ternak dan jaringan tubuh ternak
ditentukan melalui uji coba atau penelitian dengan menggunakan hewan-hewan
percobaan yang peka terhadap jenis obat yang digunakan dalam praktek. Keputusan
batas-batas toleransi dan pemberian izin produksi obat-obatan setiap saat dapat
berubah apabila hasil penelitian mengharuskannya. 
9. Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang ditambahkan dalam ransum mencegah terjadinya
oksidasi lemak. Ada beberapa bentuk antioksidan, di antaranya vitamin, mineral,
dan fitokimia, seperti ethoxyquin (6-ethoxy-1,2-dihydro-2,2,4-trimethyl-quinolin)
atau BHT (Butylated hydroxytoluen), Diphenyl-p-phenylenediamin (DPPD), namun
penggunaannya sekarang sudah dilarang karena berpengaruh buruk terhadap proses-
proses reproduksi mamalia. Vitamin E dan antioksidan lain seperti BHT atau Endox
dapat menahan peroksidasi dengan mengubahnya kembali menjadi asam lemak
semula. Jika peroksida dibiarkan berlanjut akan terjadi pemecahan menjadi aldehid
dan keton. Berbagai tipe antioksidan berkerja bersama dalam melindungi sel normal
dan menetralisir radikal bebas.
Pada umumnya formula pakan terdiri 60 - 65 % bahan bijian seperti gandum,
beras, sorghum, dan jagung dikombinasikan dengan beberapa bungkil kaya lemak.
Bahan baku dengan kandungan lemak yang tinggi seringkali menyebabkan
ketengikan pada bahan baku maupun pakan. Nilai peroksida di atas 10 dianggap tidak
aman dan mengindikasikan terjadinya ketengikan pakan. Kondisi iklim yang panas
dan lembab meningkatkan gejala ketengikan oksidatif yang terdiri atas 2 jenis yaitu :
1. Ketengikan hidrolitik
Ketengikan hidrolitik dihasilkan dari aktivitas mikro organisma terhadap
lemak menyebabkan proses hidrolisis sederhana lemak menjadi asam lemak, di-
gliserida, mono-gliserida dan gliserol. Ketengikan hidrolitik tidak mempengaruhi
nilai nutrisi.
2. Peroksidasi lemak
Peroksidasi lemak menyebabkan pembentukan radikal bebas pada ikatan tak
jenuh akibat pemisahan hidrogen dari asam lemak tak jenuh, yang menurunkan nilai
energi lemak. Reaksi dipercepat dengan kehadiran mineral-mineral jarang yang
terdapat dalam oksigen.
Ketengikan oksidatif dari lemak yang tidak jenuh dalam pakan dapat
menyebabkan kerusakan vitamin E, A dan D. Hasil perombakan dari ketengikan
dapat bereaksi dengan epsilon kelompok amino dari lisin karena dapat menurunkan
nilai biologis dan energy pakan. Untuk mencegah terjadinya pengaruh ini dapat
ditambahkan antioksidan ke dalam pakan.
Di banyak negara berkembang yang beriklim panas dan kelembaban tinggi,
masalah ketengikan oksidatif meningkatkan morbiditas dan mortilitas, serta
memperburuk konversi pakan yang mengurangi pendapatan peternak. Pemanenan dan
penyimpanan bahan baku pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap stabilitas
vitamin dan mineral. Penambahan antioksidan ke dalam pakan maupun bahan
bakunya dapat secara efektif mengurangi kasus ketengikan oksidatif. Pada umumnya
produsen bahan baku tidak menambahkan atas dasar pertimbangan biaya dan
penyimpanan dalam waktu lama di bawah kondisi yang buruk seringkali
menyebabkan ketengikan oksidatif pada kandungan lemaknya. Dalam kasus yang
sama, banyak vitamin dan mineral premix impor disimpan dalam kurun waktu lama.
Hanya vitamin yang stabil yang mampu bertahan terhadap kondisi yang buruk.
Langkah-langkah untuk meminimalisir tejadinya ketengikan pada pakan :
1. Perbaiki kondisi penyimpanan misalnya ventilasi yang membantu menyediakan
udara kering dan dingin,
2. Vitamin dan mineral premiks harus disimpan terpisah dan hanya dicampur sewaktu
proses produksi pakan
3. Pakan tidak boleh disimpan lebih dari seminggu
4. Rotasi stok pakan sehingga pakan berumur tua selalu dikonsumsi terlebih dahulu
5. Gunakan antioksidan misalnya vitamin E, BHT dan Endox. Penambahan sodium
bikarbonat dan kaolin cukup membantu. Tingkat penggunaan dari kebanyakan
antioksidan berkisar 200 - 300 g/ton untuk bahan baku mengandung lebih dari 10 %
lemak. Pakan yang ditambahkan antioksidan bisa tahan disimpan selama 3 - 6 minggu
bahkan jika disimpan pada suhu tinggi.

Anda mungkin juga menyukai