Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam usaha peternakan babi

adalah faktor pakan. Untuk mengoptimalkan pertumbuhannya maka proporsi dan

komposisi zat-zat makanan harus seimbang dan mampu memenuhi kebutuhan

ternak babi dalam setiap masa pertumbuhannya. Kandungan nutrisi pakan tidak

menjamin seluruhnya dapat dimanfaatkan oleh ternak, tetapi tergantung

kemampuan sistem pencernaan dalam mencerna dan menyerap nutrisi yang

terkonsumsi. Perbaikan proses pencernaan zat nutrisi dalam saluran cerna dapat

dilakukan dengan berbagai cara diantaranya penambahan zat yang dapat

meningkatkan kinerja organ cerna, meningkatkan efisiensi penggunaan zat nutrisi

dengan menekan mikroba pathogen. Penambahan antibiotic dalam pakan ternak

dikhawatirkan adanya residu berbahaya dalam daging, yang dapat membahayakan

konsumen. Beberapa tanaman obat yang bersifat antibakteri dan antioksidan

dapat disarankan sebagai pengganti antibiotika (Liu dkk, 2006).

Upaya yang telah banyak dilakukan adalah penggunaan bahan alami

mengandung zat yang berfungsi meningkatkan proses pencernaan dan penyerapan

nutrisi tersebut. Salah satu bahan yang diketahui memiliki fungsi tersebut adalah

daun katuk (Sauropus androgynus L. Merr). Daun katuk merupakan tanaman

obat-obatan tradisional yang mempunyai nutrisi cukup tinggi yakni 23,13%

protein, 8,91% abu, 26,32 % lemak, 29,64% karbohidrat, 372,42 mg/100 g

karoten, 447,96 kal energy/100 g dan 12 % air (Yuliani dan Marwati, 1997),

1
mengandung zat fitokimia yaitu : saponin, flavonoid, tanin, isoflavonoid,

berfungsi sebagai anti mikroba, antikanker, dan meningkatkan sistem imun, dan

ternyata mampu memperlambat berkurangnya massa tulang (osteomalasia)

(Santoso, 2009 ). Daun katuk selain sebagai anti bakteri, juga sebagai

antioksidan, meningkatkan imunitas, pencernaan dan peningkatan zat karsinogen

dalam usus halus (Zuhra dkk, 2008).

Beberapa hasil penelitian pada ternak unggas dan non ruminansia,

diantaranya Santoso (2012) pemberian ekstrak daun katuk dalam air panas sampai

9 g/kg ransum dan etanol 1,8 g/kg dapat meningkatkan konsumsi pakan,

pertambahan bobot badan dan menurunkan konversi pakan ayam broiler umur 21

hari. Pemberian daun katuk memberi efek positif pada pertambahan bobot badan

dan konversi ransum ayam broiler (Nasution dkk, 2014), memperbaiki kualitas

telur (warna, rasa, bau) itik (Simanjuntak dkk, 2013) . Saragih (2016) menyatakan

bahwa tepung daun katuk diketahui dapat menurunkan akumulasi lemak pada

ayam broiler serta meningkatkan rasio konversi pakan tanpa menurunkan berat

badan. Menurut Tillman (1998) untuk mencegah lemak yang berlebihan, maka

ransum yang dikonsumsi oleh ternak harus memiliki kandungan energi yang tepat.

Tingkat protein ransum sangat berpengaruh terhadap pencapaian bobot badan

ternak, kandungan protein dalam ransum diperlukan untuk pertumbuhan jaringan,

perbaikan jaringan serta pengelolaan produksi.

Adanya nutrisi dan zat fitokimia yang dimiliki daun katuk, menyebabkan

peningkatan kinerja organ cerna, sehingga mempengaruhi kecernaan zat makanan

termasuk energi dan protein. Penelitian daun katuk pada ternak babi belum

2
banyak tersedia. Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian

dengan judul ”Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Katuk (Sauropus

androgynus L. Merr) Dalam Ransum Terhadap Kecernaan Energi Dan

Protein Babi Peranakan Landrace Fase Pertumbuhan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka permasalahan yang dapat dirumuskan

adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh penggunaan tepung daun katuk (Sauropus

androgynus L. Merr) dalam ransum terhadap konsumsi dan kecernaan

energi dan protein babi peranakan landrace fase pertumbuhan?

2. Pada level berapakah penggunaan daun katuk memberikan pengaruh yang

terbaik?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui pengaruh penggunaan tepung daun katuk dalam ransum

ternak babi terhadap konsumsi dan kecernaan energi dan protein ternak

babi peranakan landrace fase pertumbuhan.

2. Untuk mengetahui level penggunaan tepung daun katuk yang terbaik

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai informasi bagi petani peternak dalam upaya pemanfaatan daun

katuk sebagai komponen pakan ternak dalam peningkatan produksi

ternak.

3
2. Memberi informasi ilmiah dalam meningkatkan ilmu pengetahuan di

bidang peternakan.

1.5. Hipotesis Penelitian

H0 : Penggunaan tepung daun katuk berpengaruh terhadap kecernaan energi dan

protein ternak babi

H1 : Penggunaan tepung daun katuk tidak berpengaruh terhadap kecernaan energi

dan protein ternak babi

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pakan Babi

Pakan mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan baik untuk

produksi, pertumbuhan, reproduksi maupun maintenance (Tillman dkk, 1998).

Selanjutnya Sihombing (1997) menyatakan bahwa ternak babi membutuhkan

pakan yang nutrisinya seimbang agar mampu mencapai tingkat reproduksi dan

produksi daging yang optimal. Ranj han (1980) menyatakan bahwa ternak babi

membutuhkan zat-zat makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin,

mineral, dan air untuk kelangsungan hidupnya.

Pakan adalah segala bahan yang dapat disiapkan untuk diberikan dan dapat

dikonsumsi oleh ternak serta berguna bagi tubuhnya (Mahmud, 2013). Sedangkan

menurut Mangisah (2003) pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan

(edible), dapat dicerna (digestible), dan tidak mengganggu kesehatan ternak yang

mengkonsumsinya. Sedangkan ransum adalah campuran dari berbagai bahan

pakan yang dikonsumsi ternak secara baik dan juga dapat mensuplai zat-zat nutrisi

dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi fisiologisnya yang

ada didalam tubuh dapat berjalan dengan normal (Anggorodi, 2001).

Kombinasi bahan pakan yang bilamana dikonsumsi secara normal dapat

mensuplai zat-zat pakan dalam tubuh ternak dengan perbandingan jumlah dan

bentuk sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi fisiologis tubuh dapat tumbuh dan

berkembang dengan baik. Ternak babi sangat membutuhkan pakan untuk hidup

pokok, pertumbuhan, produksi, dan reproduksi (Parakkasi, 2006). Bahan pakan

5
yang diberikan pada ternak babi harus memenuhi zat-zat pakan yang dibutuhkan

oleh ternak yakni karbohidrat, protein, vitamin, mineral, lemak, asam-asam

amino, air dan serat kasar yang rendah.

Babi periode grower memiliki bobot rata-rata 35 kg hingga mencapai bobot

badan 60 kg, membutuhkan jumlah makanan yang banyak dan zat makanan yang

cukup. Pakan yang bermutu tinggi dan disusun memenuhi kebutuhan zat-zat

makanan dan dicampur baik adalah syarat untuk memperoleh performans yang

optimal (Sihombing, 1997). Selanjutnya Parakkasi (2006) menyatakan bahwa

pada waktu babi masih muda, pertumbuhannya terutama terdiri dari protein dan

air akan tetapi setelah babi tersebut mempunyai berat badan sekitar 40 kg, energi

yang disimpan berupa protein telah konstan dan mulailah energi tersebut dipakai

untuk pembentukan jaringan lemak yang semakin meningkat dengan

bertambahnya umur.

2.2. Kandungan Zat dalam Daun Katuk (Sauropus androgynus L. Merr)

Katuk (Sauropus andogynus L. Merr) merupakan tumbuhan sayuran yang

banyak terdapat di Asia Tenggara. Tinggi tanaman katuk mencapai dua sampai

tiga meter, tumbuh didataran rendah hingga 1.300 di atas permukaan laut. Daun

kecil, berwarna hijau gelap dengan panjang 5-6 cm. Bunganya berwarna merah

gelap atau kuning dengan bercak merah gelap dan berbunga sepanjang tahun,

tumbuhan ini termasuk dalam suku menir-meniran (phyllanthaceae).

6
Tanaman katuk bernilai gizi tinggi dan daunnya mengandung protein,

lemak, karbohidrat dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh (Yuliani dkk. 2001).

Komposisi nutrient daun katuk disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nutrient tepung daun katuk


Komposisi Kandungan
Kadar Air % 13,79
Protein % 22,14
Lemak % 10,13
Serat kasar % 5,95
Abu % 10,32
Kalsium % 1,93
Fosfor % 1,17
Energi Bruto (Kkal/ kg) 3.842
Sumber: Subekti (2007)

Tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) juga merupakan tanaman

obat yang selain mempunyai zat gizi tinggi, mengandung zat antibakteri, serta

tidak berbahaya bagi kesehatan manusia dan mengandung beta-karoten. Katuk

sebagai sayuran mengandung zat gizi yang baik, vitamin A dalam bentuk karotin

terkandung didalamnya sebanyak 10020 mikrogram, vitamin C 164 mg, mineral

334,5 mg, protein kasar 6,4%, dan energi 59 kalori dalam 100 gram daun katuk

Menurut Agustal dkk. (1997) daun katuk kaya akan besi, provitamin A

dalam bentuk β-carotene, vitamin C, minyak sayur, protein, dan mineral lainnya.

Dalam 100 gr daun katuk mengandung 72 kalori, 70 gr air, 4,8 gr protein, 2 gr

lemak, 11 gr karbohidrat, 2,2 gr mineral, 2,4 mg kalsium, 83 mg fosfor, 2,7 mg

besi, 31,11 µg vitamin D, 0,10 mg vitamin B6 dan 200 mg vitamin C.

Selain zat-zat gizi tersebut di atas, daun katuk juga mengandung senyawa

metabolik sekunder yaitu monomethyl succinatedan cis – 2 – methyl

cyclopentanol asetat (ester), asam benzoat, dan asam fenil malonat (asam

7
karboksilat), 2 - pyrolodinon dan metyl pyroglutamate (alkaloid), saponin,

flavonoid dan tanin.

Daun katuk mengandung tanin dan saponin yang patut mendapat

perhatian. Secara umum, tanin menyebabkan gangguan pada proses pencernaan

dalam saluran pencernaan sehingga dapat menurunkan pertumbuhan. Selain itu,

saponin menurunkan permeabilitas sel mukosa usus halus, yang berakibat pada

penghambatan transport nutrisi aktif dan menyebabkan pengambilan/penyerapan

zat-zat gizi dalam saluran pencernaan menjadi terganggu (Nathanael, 2015).

2.3. Efek Penggunaan Daun Katuk pada Ternak Unggas dan Babi

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan produksi ternak babi, salah

satunya dengan memodifikasi ransum melalui bahan – bahan yang memberikan

pengaruh positif terhadap ternak babi. Penggunaan bahan alami seperti daun

katuk diharapkan dapat meningkatkan performan ternak babi sehingga berdampak

pada peningkatan produksi daging ternak babi. Zuhra dkk. (2008) menyatakan

bahwa daun katuk mengandung saponin, flafonoid dan tanin yang dapat

meningkatkan imunitas, pencernaan dan peningkatan zat karsinogen dalam usus

halus, antibakteri dan antioksidan. Daun katuk mengandung tanin dan saponin

yang patut mendapat perhatian. Secara umum, tanin menyebabkan gangguan pada

proses pencernaan dalam saluran pencernaan sehingga dapat menurunkan

pertumbuhan. Selain itu, saponin menurunkan permeabilitas sel mukosa usus

halus, yang berakibat pada penghambatan transport nutrisi aktif dan menyebabkan

8
pengambilan/penyerapan zat-zat gizi dalam saluran pencernaan menjadi terganggu

(Sutedja, 1997). Tanaman katuk bernilai gizi tinggi dan daunnya mengandung

protein, lemak, karbohidrat dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh (Yuliani dkk,

2001). Santoso dan Sartini. (2001) menemukan bahwa pemberian tepung daun

katuk mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ransum dan menurunkan

akumulasi lemak pada abdomen, hati dan karkas. Selanjutnya dinyatakan bahwa

ekstrak daun katuk (EDK) menurunkan jumlah Salmonella sp. dan Escherichia

coli dalam feses, tetapi menaikkan mikroba efektif seperti Lactobacillus sp. dan

Bacillus subtilis. Senyawa dalam daun katuk yang berperan dalam peningkatan

penampilan dan kualitas karkas diduga antara lain monomethyl succinate, cis-2-

methyl cyclopentanol acetate (ester), benzoic acid, phenyl malonic acid

(carboxilic acid), 2-pyrrolidione, methylpyroglutamate (alkaloid) (Agusta dkk.

1997). Padmavathi (1990) menemukan bahwa daun katuk mengandung alkaloid

papaverin yang dapat menimbulkan rasa pusing, mabuk dan konstipasi. Prayogo

(1997) menemukan bahwa daun katuk mengandung banyak kristal kalsium

oksalat bentuk roset, sehingga bagi penderita penyakit batu ginjal daun katuk

berbahaya dikonsumsi sebagai sayuran.

Simanjuntak dkk, (2013) menambahkan tepung daun katuk 0, 2,5%, 5%

dan 7,5% dapat memperbaiki kualitas telur itik. Santoso (2012) pemberian

ekstrak daun katuk dalam air panas sampai 9 g/kg ransum dan etanol 1,8 g/kg

dapat meningkatkan konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan menurunkan

konversi pakan ayam broiler umur 21 hari.

9
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Ransum

Ransum dapat diartikan sebagai makanan yang diberikan pada ternak

tertentu selama 24 jam, dimana pemberiannya dapat dilakukan sekali atau

beberapa kali selama waktu tersebut (Anggorodi, 1994). Hal ini sependapat

dengan Kamal, (1992) menyatakan bahwa pakan yang imbang nutrisinya bagus

biasanya tersusun dari berbagai macam bahan pakan dan suplemen pakan.

Penggunaan beberapa macam bahan pakan akan memperbaiki imbangan nutrisi di

dalam pakan dan selanjutnya dapat mencegah defisiensi. Untuk menyusun

ransum yang baik, diperlukan pengertian yang baik tentang nutrisi yang

dibutuhkan oleh ternak babi dan bahan-bahan sumber nutrisi yang baik sehingga

nilai nutrisinya terpenuhi, palatabel dan ekonomis.

Pelealu (2009) menyatakan bahwa semakin rendah kandungan protein

pakan, diperlukan macam asam-asam amino esensial sebagai bahan suplementasi

sehingga tercapai keseimbangan dalam tubuh ternak. Konsumsi merupakan faktor

esensial yang merupakan dasar untuk hidup pokok dan produksi. Ada hubungan

antara kecernaan dan konsumsi pakan, semakin banyak bahan makanan yang

dicerna, maka ruang yang tersedia untuk penambahan makanan akan lebih banyak

pula (Tillman dkk. 1998). Kecernaan pakan sangat dipengaruhi oleh komposisi

dari pakan, jumlah pakan, penyimpanan dan jenis ternak. NRC (1998) faktor yang

berpengaruh terhadap konsumsi pakan adalah palatabilitas pakan, temperatur,

kelembaban, kesehatan ternak, genetik, pengolahan pakan dan ketersediaan air.

10
2.5. Peran Energi Bagi Ternak

Energi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi produktivitas

ternak. Tidak semua energi dalam makanan/ransum (energi bruto) dapat

dimanfaatkan oleh tubuh. Sebagian energi ransum dikeluarkan dalam feses,

sebagian lagi akan dicerna hilang lewat urin, gas methan dan panas metabolis

(heat increament) selama proses pencernaan. Bila suplai energi pakan tidak

memenuhi kebutuhan energi untuk melaksanakan fungsi normal tubuh seperti

aktifitas kerja mekanik, kerja otot dan proses-proses kimia dalam tubuh, maka

kekurangan tersebut akan diperoleh dari hasil katabolisme cadangan energi dalam

tubuh, misalnya glikogen, lemak dan protein (Tillman dkk. 1998).

Tillman dkk. (1998) mengemukakan bahwa makanan yang tercerna adalah

bagian dari zat-zat makanan yang dimakan, yang tidak disekresikan melalui feses

dan biasanya dinyatakan dalam presentase yang disebut koefisien cerna.

Parakkasi (2006) membagi daya cerna menjadi dua jenis yaitu daya cerna semu

dan daya cerna sesungguhnya. Daya cerna semu adalah banyaknya zat-zat

terkonsumsi dan tidak didapatkan dalam feses. Oleh karena zat-zat yang

didapatkan tidak semua ransum berasal dari zat-zat makanan yang dikonsumsi,

maka angka yang didapatkan lebih kecil dari sesungguhnya lebih sukar lagi

mengukurnya dan sangat jarang dilakukan. Lebih lanjut dikatakan bahwa tinggi

rendahnya kualitas bahan pakan dapat ditentukan berdasarkan koefisien cernanya,

dimana makin tinggi koefisien cerna berarti semakin tinggi kualitas bahan pakan

tersebut. Selanjutnya Tillman dkk. (1998), menyebutkan bahwa daya cerna juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti:

11
Komposisi pakan, daya cerna pakan berhubungan erat dengan komposisi

kimiawi dan serat kasar mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya cerna,

oleh karena itu penambahan 1 % dalam ransum akan menyebabkan penurunan

daya cerna bahan organik sebesar 1,4-2,4%.

Komposisi dari ransum dimana daya cerna dari campuran bahan makanan

tidak selalu sama dengan rata-rata daya cerna bahan-bahan yang menyusun

apabila ditentukan secara tersendiri. Penyimpanan bahan pakan, dimana

perlakuan terhadap beberapa jenis makanan seperti pemotongan, penggilingan dan

pemasakan akan mempengaruhi daya cerna. Faktor ternak, dimana bahan

makanan yang berserat kasar rendah mampu dicerna secara baik oleh ternak

ruminansia dan non ruminansia sedangkan yang berserat kasar tinggi akan dicerna

lebih baik oleh ternak ruminansia. Faktor jumlah pakan, dimana penambahan

jumlah pakan yang dikonsumsi mempercepat arus pakan dalam usus sehingga

mengurangi daya cerna.

Sihombing, (1997) mengemukakan bahwa serat kasar dalam ransum

berefek besar terhadap kecernaan energi, dimana makin tinggi serat kasar makin

rendah energi yang dapat dicerna, penyebabnya adalah karena tinggi kandungan

serat kasar, berarti semakin rendah kandungan pati, gula dan lemak. Sebaliknya

makin tinggi protein maka makin tinggi energi yang dapat dicerna.

2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecernaan Protein Bagi Ternak Babi

Anggorodi, (2001) menyatakan bahwa protein merupakan unsur penyusun

protoplasma terbesar setelah air. Protein adalah ikatan organik yang sangat

kompleks yang terdiri dari asam-asam amino selanjutnya dinyatakan bahwa

12
protein tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dan nitrogen. Kualitas

protein dalam bahan makanan tergantung dari asam-asam amino esensial yang

terkandung dalam bahan makanan tersebut, 10 macam asam amino esensial yang

dibutuhkan oleh ternak babi yang sangat vital yaitu lysine, methionine, trytophan,

histidine, arginine, valine, leucyne, isoleucyne, phenylalanine, dan threonine.

Sebagai asam amino pembatas adalah lysine, trytophan, dan methionine.

Parakkasi (2006) membagi protein menjadi 3 jenis menurut sifat-sifat

protein, yaitu a) Protein sederhana (simple protein), b) protein (sederhana) yang

berkaitan dengan molekul-molekul lainnnya (conjugated proteins), c) protein yang

diperoleh (derived proteins) dari suatu proses.

Tulung dkk, (2015) menyatakan bahwa protein sebagai komponen utama

jaringan tubuh yaitu untuk pertumbuhan sel, penyusun struktur sel, mengatur

keseimbangan air dalam jaringan, penyusun antibodi, hormon dan enzim.

Adesehinwa (2008) menyatakan bahwa protein merupakan zat makanan yang

kritis yang dibutuhkan secara terus menerus oleh semua kelas dari ternak babi,

terutama untuk babi-babi muda, babi yang sedang bertumbuh serta induk babi

yang sedang bunting dan laktasi dalam proses fisiologisnya.

Kecernaan protein tergantung pada kandungan protein di dalam ransum.

Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan

yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung

pada kandungan protein bahan pakan dan kandungan protein yang masuk dalam

saluran pencernaan (Tillman dkk. 1991). Faktor lain yang mempengaruhi

kecernaan protein adalah serat kasar. Kadar serat kasar yang terlalu tinggi,

13
menyebabkan pencernaan nutrient akan semakin lama dan nilai energi produktif

semakin rendah. Serat kasar yang tinggi menyebabkan ternak merasa cepat

kenyang sehingga dapat menurunkan konsumsi dan menurunkan kecernaan

protein (Sumadi 2016). Ransum yang kandungan serat kasar yang tinggi juga

menyebabkan ransum kurang palatabel, sehingga menghasilkan konsumsi yang

rendah (North dan Bell, 1990).

14
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Desa Baumata Timur, Kecamatan Taebenu,

Kabupaten Kupang menggunakan kandang babi milik Bapak Ir. I Made S.

Aryanta, MP. Waktu penelitian ini berlangsung selama 8 minggu yang terdiri dari

2 minggu masa penyusuaian dan 6 minggu pengambilan data. Terhitung dari

tanggal 23 Juni sampai dengan 18 Agustus 2018.

3.2. Materi Penelitian

3.2.1. Ternak dan kandang penelitan

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah ternak babi peranakan

landrace jantan kastrasi fase pertumbuhan (umur 4-5 bulan) sebanyak 12 ekor.

Kandang yang digunakan adalah kandang individu, beratap seng enternit,

berlantai, dan berdinding semen sebanyak 12 petak dengan ukuran masing-masing

petak 2 m x 1,8 m dengan kemiringan lantai 2 ° dilengkapi tempat pakan dan

minum.

3.2.2 Peralatan

Peralatan yang digunakan saat penelitian ini terdiri dari: timbangan ternak

dengan kapasitas 110000 g, timbangan pakan dengan kapasitas 15000 g, ,

ember,sapu lidi, karung dan peralatan analisis.

3.2.3. Ransum Penelitian

Bahan pakan penyusun ransum babi penelitian terdiri dari dedak padi,

tepung jagung kuning, konsentrat KGP709C (buatan PT. Sierad Product Tbk) dan

15
tepung daun katuk. Penyusunan ransum penelitian didasarkan pada kebutuhan

zat-zat makanan ternak babi fase pertumbuhan yaitu protein 18-20 % dan energi

metabolisme 3160-3400 kkal/kg (NRC, 1998).

Pembuatan Tepung Daun Katuk

Prosedur pembuatan tepung daun katuk sebagai berikut

1. Daun katuk dipisahkan dari batang dan tangkainya

2. Daun katuk dikeringkan dibawah panas matahari hingga kering.

3. Setelah kering daun katuk digiling menjadi tepung

4. Daun katuk yang telah menjadi tepung siap dicampurkan dalam ransum

babi.

Kandungan nutrisi bahan pakan terlihat pada Tabel 1 dan komposisi dan

kandungan nutrisi ransum perlakuan terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan pakan penyusun ransum penelitian


Kandungan Nutrisi
EM PK SK BK LK Ca P
Bahan Pakan
(kkal/kg) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
a)
Tepung Jagung 3.420 9,4 2,5 89 3,8 0,03 0,28
Dedak Padia) 3.100 12 12,9 91 1,5 0,11 1,37
konsentrat KGP 709b) 2.700 36 7 90 3 4 1,6
c)
Mineral 10 0 0 0 0 0 43 10
Minyak Kelapa 9.000,00 0 0 0 100 0 0
Sumber: a). NRC (1998) b). Label pada karung pakan konsentrat KGP 709 c.).Nugroho (2014)

16
Tabel 3. Komposisi dan kandungan nutrisi ransum basal *
Kandungan Nutrisi
Bahan EM PK SK BK LK Ca P
(%)
Pakan (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
Tepung 37 1265,4 3,478 0,925 32,93 1,406 0,0111 0,1036
Jagung
Dedak 30 930 3,6 3,87 27,3 0,45 0,03 0,4
Padi
Konsentr
at KGP 31 837 11,16 2,17 27,9 0,93 1,24 0,496
709
Mineral 0,5 0 0 0 0 0 0,215 0,05

Minyak 1,5 135 0 0 0 100 0 0


kelapa
Total 100 3167,4 18,238 6,965 88,13 2,786 1,4961 1,0496

Keterangan:*Kandungan nutrisi dihitung berdasarkan Tabel 1

3.3. Metode penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode percobaan

menggunakan metode Rancanagan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 4

perlakuan dan 3 ulangan sehingga terdapat 12 unit percobaan.

Ransum perlakuan yang diuji adalah sebagai berikut:

R0:100% Ransum basal tanpa tepung daun katuk

R1:97% Ransum basal + 3% tepung daun katuk

R2: 94% Ransum basal + 6% tepung daun katuk

R3: 91% Ransum basal + 9% tepung daun katuk

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Pengacakan ternak

Sebelum memulai pengacakan terlebih dahulu ternak penelitian ditimbang

agar diketahui variasi berat badan awal, kemudian dilakukan penomoran dari berat

17
badan terkecil sampai berat badan terbesar. Karena rancangan acak kelompok

yang digunakan maka ternak dikelompokkan menjadi tiga kelompok menurut

berat badan awal dengan empat ekor ternak perkelompok. Pengacakan perlakuan

dilakukan didalam tiap kelompok.

Tabel 4. Rataan bobot awal ternak babi hasil pengacakan (kg)


Kelompok R0 R1 R2 R3
I 26,5 29 39 40
II 45 44 43 42
III 55,5 51 50 42,5
Total 127 124 123 124,5
Rataan 42,3 41,3 44 41,5

3.4.2. Cara pemberian ransum dan air minum

Ransum diberi berdasarkan kebutuhan perhari yaitu 5% secara adlibitum

dengan frekuensi pemberian 2 kali yaitu pada pagi dan sore hari. Ransum diberi

dalam bentuk kering sedangkan air minum selalu ditambahkan atau diganti

dengan air bersih apabila air minum habis atau kotor. Pembersihan kandang

dilaksanakan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, dan ternak dimandikan.

3.5. Cara Pengambilan Feses

Pengambilan feses dilakukan sebelum pemberian makanan, dimana feses

tersebut ditimbang dan dicatat beratnya. Selanjutnya feses tersebut dijemur

hingga kering. Pengambilan feses dilakukan selama 7 hari. Setelah penelitian

selesai, feses dicampur secara merata dan diambil selama seminggu hingga

diperoleh sampel sebanyak 12 sampel untuk dianalisis.

18
3.6. Variabel yang diamati adalah:

1. Konsumsi Energi

Menghitung konsumsi energi harian (kkal/kg/hari) dilakukan menurut

petunjuk Parakkasi (1999), yakni: konsumsi energi (kkal/kg/hari) = jumlah

konsumsi ransum x % bahan kering ransum x kandungan energi ransum.

2. Kecernaan Energi

Perhitungan kecernaan Energi dengan menggunakan rumus:

X 100% Tillman dkk. (1998)

Keterangan:

DE (Digestible Energi) = Jumlah energi yang tercerna

EI (Energi Intake) = energi intake (Jumlah energi yang dikonsumsi)

EF (Energi Feses) = energi dalam feses

3. Konsumsi protein

Jumlah protein kasar dihitung dengan cara : menghitung jumlah ransum

yang dikonsumsi x % bahan kering ransum x kandungan protein kasar

ransum.

4. Kecernaan protein

Kecernaan protein kasar adalah:

Tillman dkk. (1998)

19
Keterangan :

Kec.PK = Kecernan protein kasar

CPI = Protein kasar intake (jumlah protein kasar yang

dikonsumsi)

CPF = Protein kasar feses

3.8. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis (ANOVA) menggunakan Rancangan Acak

Kelompok, sementara untuk menguji perbedaan antara perlakuan digunakan uji

jarak berganda Duncan (Gaspersz 1991). Adapun model linear Rancangan Acak

Kelompok (RAK) adalah:

Yij = µ + βj + τi+ ∑ij

Dimana:

Yij = Nilai pengamatan kelompok ke- j yang mendapatkan perlakuan n ke- i

µ = Nilai rata-rata sebenarnya atau nilai tenggah umum

βj = Pengaruh kelompok ke – j

τi = Pengaruh perlakuan ke – i

∑ij = Pengaruh acak pada peta ke – j dari perlakuan ke – I atau galat

percobaan pada perlakuan ke – i kelompok ke – j

20
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadan Umum Ternak Penelitian

Pada masa awal penyesuaian semua ternak babi memperlihatkan kondisi

yang sehat ditandai dengan tingkah laku yang lincah, bersemangat dan nafsu

makan yang tinggi. Akan tetapi pada pertengahan minggu masa penyesuaian

ternak dengan nomor kandang 4 dan 8 yang mendapat perlakuan R 0 dan R1

mengalami gangguan pencernaan (scours) yang ditandai dengan feses yang encer,

hal ini diduga karena ternak babi belum mampu menyesuaikan diri dengan

perlakuan ransum yang diberikan. Pada minggu kedua, semua babi telah mampu

beradaptasi dengan pakan, yang ditunjukkan oleh konsumsi ransum yang baik.

Keadaan ini berlangsung sampai akhir penelitian. Semua ternak memperlihatkan

keadaan yang baik dengan kondisi fisik yang sehat secara klinis, tidak

menunjukkan gejala-gejala penyakit hingga akhir penelitian. Keadaan ini

menunjukkan bahwa semua ternak babi mampu beradaptasi dengan semua pakan

perlakuan yang diberikan.

4.2. Hasil Analisis Laboratorium Ransum Perlakuan

Kandungan nutrisi ransum perlakuan hasil analisis Laboratorium terlihat

pada Tabel 5. Kandungan bahan kering, bahan organik dan fosfor yang terdapat

pada ransum perlakuan semakin menurun dengan meningkatnya penggunaan

tepung daun katuk dalam ransum basal, namun kandungan protein kasar, serat

21
kasar, lemak kasar dan kalsium semakin meningkat. Perbedaan kandungan nutrisi

tersebut disebabkan perbedaan nutrisi antara ransum basal dan tepung daun katuk.

Protein daun katuk lebih tinggi ( 22-23%) sedangkan ransum basal 18,23%,

sehingga semakin meningkatnya penggunaan tepung daun katuk menyebabkan

protein ransum perlakuan meningkat. Namun kandungan nutrisi semua ransum

perlakuan masih berkisar pada kebutuhan nutrisi untuk babi fase pertumbuhan

yaitu protein 18-20% dan 3160-3400 Kkal/kg energi (NRC, 1998).


Tabel 5. Kandungan nutrisi ransum perlakuan hasil analisis laboratorium1)

Perlakuan
Kandungan Nutrisi (%)
R0 R1 R2 R3
Bahan Kering (%) 90,13 90,07 90,02 89,96
Bahan Organik (%BK) 83,79 83,28 82,76 82,25
Protein Kasar (%BK) 17,54 17,89 18,24 18,58
Serat Kasar(%BK) 7,12 7,16 7,18 7,23
Lemak Kasar (%BK) 2,44 2,53 2,59 2,64
Kalsium (%BK) 1,58 1,59 1,61 1,62
Forfor (%BK) 1,11 1,09 1,07 1,05
Gross Energi (Kkal/Kg)2) 4338,96 4279,68 4296,05 4312,89
Metabolisme Energi
3423,44 3376,67 3389,58 3402,87
(kkal/kg)3)
1)
Keterangan: Hasil Analisis Proksimat Laboratorium Kimia Tanah Faperta Undana (2018)
2)
Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi Pakan Politani (2018)
3)
Hasil perhitungan menurut Sihombing (1997); ME=78,9% GE

4.3. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum ternak babi penelitian terlihat pada tabel. 6

Tabel 6. Rataan konsumsi ransum ternak penelitian (gram/ekor/hari).

Perlakuan
Kelompok
R0 R1 R2 R3
I 2600 3025 3950 4625
II 4325 4475 3800 4375
III 5250 4700 4575 4175
Total 12175 12200 12325 13175
Rataan 4058,33a 4066,67 4108,33a
a
4391,67a
Nilai rataan dengan superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan
tidak nyata (P>0,05).

22
Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata konsumsi pakan tertinggi

diperoleh pada ternak yang mendapat perlakuan R 3 (4391,67 gram/ekor/hari)

kemudian diikuti berturut-turut oleh ternak yang mendapat perlakuan R 2 (4108,33

gram/ekor/hari), perlakuan R1 (4066,67 gram/ekor/hari) dan rataan konsumsi

terendah adalah ternak yang mendapat perlakuan R 0 (4058,33 gram/ekor/hari).

Secara numerik terjadi peningkatan konsumsi ransum babi penelitian dengan

semakin meningkatnya penggunaan tepung daun katuk. Peningkatan konsumsi ini

didukung penelitian Santoso (2012), bahwa supplemen ekstrak daun katuk dapat

meningkatkan konsumsi dan menurunkan konversi ransum.

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan

berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum. Efek daun katuk

tergantung pada jumlah, dan cara penggunaannya. Pemberian daun katuk dalam

bentuk tepung, ekstrak air panas dan ekstrak dalam etanol akan memberikan efek

yang berbeda (Santoso, 2012). Dalam penelitian ini, daun katuk dibuat menjadi

tepung dan mensubstitusi ransum basal, sehingga kemungkinan efek daun katuk

lebih rendah dibandingkan secara suplemen. Dengan demikian konsumsi ransum

dalam penelitian ini sama secara statistik (P>0,05). Konsumsi ransum yang sama

ini disebabkan kandungan energi dan palatabilitas ransum perlakuan hampir sama.

Hal ini didukung Permana dkk. (2014) bahwa tidak adanya perbedaan yang nyata

pada konsumsi ransum salah satunya disebabkan oleh kandungan energi dan

palatabilitas pada ransum relatif sama. Didukung pula oleh Garnida, (2002); dan

Sinaga, (2012), bahwa kesetaraan tingkat energi pada ransum menyebabkan

23
jumlah ransum yang dikonsumsi pada setiap perlakuan hampir sama. Tidak

adanya perbedaan yang nyata disebabkan karena ketersedian energi ransum

hampir sama atau perbedaannya kurang dari 100 kkal/kg sehingga menyebabkan

konsumsi ransum palatabilitas ransum yang sama, disebabkan oleh aroma, rasa

tidak mempengaruhi tingkat kesukaan babi. Konsumsi ransum yang sama

disebabkan bentuk atau struktur bahan penyusun ransum yang sama dimana daun

katuk dibuat menjadi tepung dengan tujuan memperkecil ukuran partikelnya agar

lebih mudah dicerna oleh ternak babi penelitian. Hal ini didukung oleh Piliang,

(2000) bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh bentuk fisik ransum, bobot

badan, jenis kelamin, temperature lingkungan dan keseimbangan hormonal. Di

dukung pula oleh Sihombing, (2006) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

konsumsi ransum adalah aroma pakan, pemberian pakan, kondisi lingkungan atau

suhu kandang, ketersediaan air minum, jumlah ternak dan kesehatan ternak.

4.4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Energi


Rataan konsumsi energi ternak penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Konsumsi energi ternak babi penelitian (Kkal/hari)
Perlakuan
Kelompok R0 R1 R2 R3
I 10167,84 11660,50 14889,11 16974,48
II 17109,34 17249,83 14695,75 16974,48
III 20531,21 18117,14 17692,90 16198,50
Jumlah 47808,39 47027,47 47277,76 50147,46
Rataan 15936,13a 15675,82a 15759,25a 16715,82a
Keterangan: Nilai rataan dengan superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05)

Berdasarkan pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa rataan konsumsi energi

tertinggi adalah pada ternak yang mendapatkan perlakuan R 3 yaitu sebesar

16715,82 Kkal/ekor/hari, selanjutnya diikuti berturut-turut oleh ternak yang

24
mendapat perlakuan R2 sebesar 15759,25 Kkal/ekor/hari, R1 sebesar 15675,82

Kkal/ekor/hari dan rataan konsumsi energi terendah adalah pada ternak yang

mendapat perlakuan R0 yaitu sebesar 15936,13 Kkal/ekor/hari.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata

(P>0,05) terhadap konsumsi energi. Hal ini berarti pemberian tepung daun katuk

tidak memberikan pengaruh terhadap konsumsi energy, hal tersebut dikarenakan

konsumsi ransum yang relatif sama akibat energi ransum dan bentuk fisik bahan

pakan sama pada setiap perlakuan. Poluan dkk. (2017) menyatakan bahwa tidak

berbeda nyata konsumsi ransum disebabkan karena kandungan zat-zat makanan

dari ransum percobaan relatif sama disamping itu umur, lingkungan juga sama.

Wahju, (1985) menyatakan bahwa tingkat energi dalam ransum mempengaruhi

banyaknya makanan yang dikonsumsi ransum.

Kaligis dkk. (2016) semakin tinggi konsumsi energi dalam ransum akan

menekan konsumsi zat-zat makanan lainnya, sebaliknya semakin rendah konsumsi

energi semakin tinggi konsumsi zat-zat makan lainnya termasuk konsumsi energi.

Tidak nyatanya pengaruh perlakuan terhadap konsumsi energi dapat

disebabkan karena kandungan energi didalam pakan yang relatif sama dan

konsumsi ransum juga sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Adesehinwa (2008)

menyatakan bahwa pakan yang mempunyai kandungan nutrien yang relatif sama

maka konsumsi pakannya juga relatif sama. Didukung pula oleh Wahju (1985)

menyatakan bahwa tingkat energi dalam ransum mempengaruhi banyaknya

makanan yang dikonsumsi. Sedangkan menurut Sinaga dkk. (2011) faktor-faktor

yang mempengaruhi konsumsi ransum yaitu palatabilitas ransum, bentuk fisik

25
ransum, bobot badan, jenis kelamin, temperatur lingkungan dan keseimbangan

hormonal.

4.5. Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Energi


Rataan kecernaan energi ternak penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kecernaan energi ternak babi penelitian (%)
Perlakuan
Kelompok
R0 R1 R2 R3

I 52,14 69,37 71,94 74,37

II 74,87 81,58 75,47 74,91

III 67,93 61,87 70,71 75,92

Jumlah 194,95 212,82 218,12 225,20


Rataan 64,98a 70,939a 72,71a 75,07a
Keterangan: Nilai rataan dengan superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05)

Rataan kecernaan energi ternak penelitian dapat dilihat pada Tabel 8.


Tabel 8. tampak bahwa rataan kecernaan energi tertinggi pada ternak perlakuan R 3

yaitu sebesar 75,07% selanjutnya diikuti berturut-turut oleh ternak yang mendapat

perlakuan R2 72,71%, R1 70,94% dan rataan kecernaan energi terendah adalah

pada ternak yang mendapat perlakuan R 0 yaitu sebesar 65,92%. Hasil analisis

ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak nyata (P<0,05) terhadap

kecernaan energi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan tepung daun katuk

pada level 3%, 6%, 9% secara tidak nyata meningkatkan energi tercerna pada

ternak babi penelitian. Kecernaan energi pada setiap level pemberian cenderung

meningkat dari ransum kontrol (R0) disebabkan karena jumlah konsumsi energi

pada setiap perlakuan meningkat. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan nilai

26
kecernaan energi antar perlakuan adalah bahan kering ransum sedikit menurun

karena konsumsi ransum sama akibat tepung daun katuk. Ternak dengan berat

badan lebih tinggi akan mengkonsumsi nutrisi yang lebih tinggi dari pada ternak

yang berat badannya lebih rendah. Marisa dkk. (2016) melaporkan bahwa jumlah

energi tercerna (DE) seekor ternak dipengaruhi langsung dari jumlah konsumsi

ransum yang diikuti oleh konsumsi energi serta bobot badan ternak. Hal ini

didukung oleh Sihombing (2006) yang menyatakan bahwa kecernaan energi

dipengaruhi oleh komposisi karbohidrat, seperti selulosa dan hemiselulosa . Daya

cerna merupakan bagian zat-zat makanan yang dimakan yang tidak dieksresikan

melalui feses yang dinyatakan dalam kecernaan (Tillman dkk, 1998). Menurut

Anggorodi (2001) menyatakan bahwa proses pencernaan adalah proses hidrolisis

untuk membebaskan zat-zat makanan dalam suatu bentuk sehingga dapat diserap

dalam usus halus. Sedangkan pengukuran pencernaan merupakan suatu usaha

menentukan nilai nutrisi yang dapat diserap oleh saluran pencernaan. Dalam

sumber tersebut dinyatakan pula bahwa tinggi rendahnya kualitas bahan makanan

ditentukan oleh tingkat koefisien cerna dari bahan pakan.

Kecernaan meningkat sehingga penerapanpun meningkat disebabkan oleh

fungsi dalam daun katuk yang memperbaiki imunitas pencernaan dan anti bakteri

(Zuhra, 2008). Hal ini didukungkung oleh Anggorodi (2001) menyatakan bahwa

faktor yang dapat mempengaruhi Kecernaan energi yang berbeda disebabkan

karena kecernaan energi juga dipengaruhi oleh komponen karbohidrat seperti

selulosa.

27
4.6. Pengaruh Perlakuan terhadap Konsumsi Protein.

Konsumsi protein kasar adalah jumlah ransum yang dikonsumsi dikalikan

dengan persentase bahan kering ransum dan dikalikan persentase protein kasar

ransum. Rataan konsumsi protein ternak babi penelitian dapat dilihat pada

Tabel 9. Rataan konsumsi protein ternak babi penelitian (gram/ekor/hari)


Perlakuan
Kelompok
R0 R1 R2 R3
I 411,03 487,43 632,16 731,26
II 691,64 721,08 623,95 731,26
III 829,96 757,34 751,20 697,83
Jumlah 1932,63 1965,85 2007,30 2160,36
Rataan 644,21a 655,28a 669,10a 720,12a
Keterangan: Nilai rataan dengan superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05)

Tabel 9 menunjukkan bahwa rataan konsumsi protein tertinggi adalah

pada ternak yang mendapat perlakuan R 3 yaitu sebesar 720,12 gram/ekor/hari,

selanjutnya diikuti berturut-turut oleh ternak yang mendapat perlakuan R 2 sebesar

669,10 gram/ekor/hari, R1 sebesar 655,28 gram/ekor/hari, dan rataan konsumsi

protein terendah adalah pada ternak yang mendapat perlakuan R 0 yaitu sebesar

623,13 gram/ekor/hari.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak

nyata (P>0,05) terhadap konsumsi protein kasar atau dengan kata lain bahwa

penggunaan tepung daun katuk dalam ransum berpengaruh tidak nyata terhadap

konsumsi protein kasar ternak babi percobaan.

28
Konsumsi protein yang tidak nyata disebabkan konsumsi ransum yang

hampir sama selanjutnya konsumsi ransum yang sama disebabkan palatabilitas

dan kandungan energi dalam ransum penelitian relatif sama. Hal ini sesuai

dengan pendapat Muladno dkk. (2003) bahwa faktor umum yang mempengaruhi

konsumsi adalah palatabilitas ransum yang diberikan. Church (1998) menyatakan

bahwa konsumsi protein tidak berbeda karena konsumsi ransum sama, walau

kandungan protein kasar meningkat kandungan bahan kering menurun sehingga

menyebabkan konsumsi protein kasar sama (tidak berbeda). Selain itu perlakuan

berpengaruh tidak nyata terhadap konsumsi protein disebabkan oleh kandungan

energi ransum penelitian yang hampir sama pada semua perlakuan.

4.7. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein

Rataan kecernaan protein ternak penelitian dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Kecernaan Protein Ternak Babi Penelitian (%)


Perlakuan
Kelompok
R0 R1 R2 R3
I 61,04 74,26 71,61 70,40
II 76,84 80,89 79,18 77,92
III 68,00 66,68 73,10 76,83
Jumlah 205,88 221,83 223,89 225,15
a
Rataan 68,63 73,94a 74,63a 75,05a
Keterangan: Nilai rataan dengan superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan
perbedaan tidak nyata (P>0,05)

Tabel 10 menunjukkan bahwa kecernaan protein kasar tertinggi adalah

pada ternak yang mendapat perlakuan R3 yaitu sebesar 75.05%, selanjutnya diikuti

berturut-turut oleh ternak yang mendapat perlakuan R 2 sebesar 74,63%, dan R1

sebesar 73,94 %, dan rataan protein terendah adalah pada ternak yang mendapat

perlakuan R0 yaitu sebesar 69,04 %.

29
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh tidak

nyata (P>0,05) terhadap kecernaan protein kasar. Hal ini disebabkan karena

meningkatnya konsumsi protein sehingga mengakibatkan peningkatan kinerja

organ pencernaan sehingga pertambahan bobot badan pada ternak babi relatif

sama dan mempengaruhi proses pencernaan. Hal ini didukung oleh Tulung dkk.

(2015) menyatakan bahwa angka konsumsi ransum yang hampir sama juga

memberikan tidak berbedanya kecernaan protein dalam penelitian.

Data pada tabel 5 memperlihatkan bahwa kecernaan protein berkisar antara

77,50–84,53%. Kisaran tersebut masih berada dalam kisaran standar kecernaan

yang dinyatakan oleh Sihombing (1997), bahwa kecernaan protein ternak babi

grower berkisar 75-90%. Angka kecernaan protein dalam penelitian ini juga

berada pada kisaran sebagaimana dinyatakan yaitu 70-90% (Tillman dkk,, 1991;

Backer., 1997; dan Pelealu, 2009).

Prawitasari dkk. (2012) menyatakan bahwa salah satu faktor yang

mempengaruhi kecernaan protein kasar adalah kandungan protein dalam ransum

yang dikonsumsi ternak. Ransum dengan kandungan protein rendah, umumnya

mempunyai kecernaan yang rendah pula. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan

bahwa perlakuan pada ransum R3-R2, R2-R1, R1-R0 berbeda tidak nyata (P>0,05);

terjadi peningkatan kecernaan disebabkan karena kandungan protein dalam tepung

daun katuk cukup tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (2001)

menyatakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi kecernaan adalah laju

perjalanan makanan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik atau ukuran bahan

30
penyusun ransum, komposisi kimiawi ransum dan pengaruh dari perbandingan zat

makanan lainya.

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah penggunaan tepung daun katuk

(Sauropus androgynus L. Merr) dalam ransum basal sampai 9% menunjukkan

konsumsi, kecernaan energy dan protein relatif sama.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan penggunaan tepung daun katuk

(Sauropus androgynus L.Merr) pada level yang lebih tinggi.

31
32
DAFTAR PUSTAKA

Adesehinwa AOK. 2008 “Energi and Protein requirements of pigs and


Theutilization of fibrous feedstuffs in Nigeria”: A riview. African Journal
of Biotechnology 7 (25): 4798-4806

Agustal, A., M. Harapini dan Chairul. 1997. Analisis kandungan kimia ekstrat
daun katuk (Sauropus andrigynuss L. Merr) dengan GCMS. Warta
Tumbuhan Obat. 3 (3): 31-33

Anggorodi. R. 2001. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia


Pustaka Utama.Jakarta.

Aritonang, D. 1993. Babi Perencanaan dan Pengelolaan Usaha. Bogor: Penebar


Swadaya.

Backer. D.H., R.A. Easter., M. Ellis., J.L. Beverly, and G.R. Hollis. 1997.
Nutrient Allowances For Swine. Dept. Of Animal Sciences, Univ. Of
Illionois, Urban, IL

Church. DC. 1998. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant. Vol. 1.


Digestive Physoligy. 2nd Edition. Metropolitan Point. Co, Portland.

Ekstander, R. Hidayat, K. 2013. Pemberian Tepung Daun Katuk (Sauropus


androgynus L. Merr) Dalam Ransum Itik Mojosari (anas javanica) Untuk
Meningkatkan Produksi Telur. Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8
No 1.

Garnida, D. 2002 Pengaruh Imbangan Energi Protein Ransum Dan Tingkat


Kepadatan Dalam Kandang Terhadap Performans Puyuh (Coturnix
coturnix japonica) Periode Pertumbuhan.Jurnal Bionatura, Vol. 4, No. 1

Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan: CV Armico. Bandung.

Hardyastuti, S. 2011. Kajian Biaya Produksi Pada Usaha Peternakan Babi. Jurnal
Sosek Peternakan Unibraw Malang. Volume 12 No. 1

Kaligis F. S. J. F. Umboh, Ch. J. Pontoh, C. A. Rahasia. 2016. Pengaruh subtitusi


Kecernaan Energi Dan Protein Pada Ternak Babi Fase Grower. Jurnal
Zootek (“Zootek’’) Vol.37 No.2: 199-206. Fakultas Peternakan
Universitas Sam Menado.

Kamal. 1992. Pakan Ternak Non Ruminansia. Diktat Fapet Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta

33
Liu, B. W. Li, Y. Chang, W. Dong, and L. Ni. 2006. Extraction of berbine from
rhizome of Coptis chinensis Franch using supercritical fluid extraction. J.
Pharm. Biomed. Anal. 41 :1056-1060.

Mahmud. 2013 “Palma Sebangai Bahan Pangan, Pakan dan Konsevasi”. Buletin
Balitka. Balai Penelitian Lontar.Manado.

Marisa, v. Ango, Mien Th. R. Lapian, Jeanette M. E. Soputan, Surtijono E.


Siswosubroto. 2016. Tebal Lemak Punggung dan Luas Daging Mata
Rusuk Babi Grower yang Diberi Gula Aren (Arenga pinnata Merr) Dalam
Air Minum. Jurnal Zootek Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi,
Manado 95115.

Muladno, S. H. P. dan Gurmilang, A. A. 2003. Pengaruh Zeolit Dan Tepung


Darah Sebagai Sumber Protein Dalam Ransum Terhadap Kualitas Karkas
Babi. Jurnal Zeolit Indonesia Vol. 2 No. 1

Nasution, dkk, (2014) Pengaruh Penggunaan Tepung Daun Katuk (Sauropus


Androgynus L. Merr) Dalam Ransum Terhadap Performans Ayam Broiler.
Jurnal Program Studi S-1 Peternakan Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro Semarang.

Nathanael, A. Sunarti, D. Sarengat, W. 2015. Pengaruh Penggunaan Tepung Daun


Katuk (Sauropus androgynus L. Merr) Dalam Ransum Terhadap
Persentase Potongan Komersial, Karkas, Kulit Dan Meat Bone Ratio
Ayam Broiler. Animal Agriculture Journal 5(1).

NRC 1998. Nutrient Requirement of Swine. 10thed: National Academy Press.


Washington, D.C.

Nugroho, 2014.Offal Internal Itik Bali Jantan yang Diberi Ransum Komersial
dengan Suplementasi Tepung Daun Pepaya (Carica Papaya L.). Skripsi
Fakultas Peternakan. Universitas Udayana.

Parakkasi A. 2006. Ilmu gizi dan makanan ternak monogastrik. Penerbit Angkasa.
Bandung.

Pelealu, I. 2009. Efek Pemberian Konsentrat Pabrik dan Buatan Sendiri terhadap
Kecernaan Protein dan Energi Ternak Babi Fase Grower (Skripsi).
Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado.

Permana A. P. Yudianto D. V. Amomarsono U. 2014. Pengaruh Taraf Protein


Dan Lisin Ransum Terhadap Performans Produksi Ayam Kampung.
Animal Agriculture Journal 3(2)

Piliang W.G. 2000. Fisiologi Nutrisi. Volume I. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

34
Poluan,W. R., Petrus R.R.I. Montong , Jantje. Paath, Vonny R.W Rawung. 2017
Pertambahan Berat Badan, Jumlah Konsumsi Dan Efisiensi Penggunaan
Pakan Babi Fase Growersampai Finisher Yang Diberi Gula Aren(Arenga
pinnata merr) Dalam Air Minum.Jurnal Zootek(“Zootek” Journal)
Vol. 37 No 1: 50-61( Januari 2017) ISSN 085-2626. Fakultas Universitas
Sam Ratulangi, Menado.

Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismadi, I.Estiningdriati. 2012. Kecernaan Protein


Kasar Dan Serat Kasar serta laju Digesta Pada Ayam Arab Yang diberi
Ransum dengan berbagai level Azolla microphylla.Animal Agriculturre
Journal Vol. I. No I. 2012, P 471- 483. Fakultas Peternakan Dan Pertanian
Universitas Diponegoro, Semarang.

Santoso, U. 2009. Manfaat Daun Katuk Bagi Kesehatan Manusia Dan


Produktivitas Ternak. Http// Uripsantoso./Manfaat Daun Katuk Bagi
Kesehatan Manusia Dan Produktivitas Ternak/Wordpreess.Com. (23
Februari 2018)

Santoso, U. 2012. Pengaruh ekstrak daun katuk sebagai feed supplement


terhadap performan ayam broiler. Prosiding: Menuju Pertanian Berdaulat.
Semnas Fakultas Peternakan Universitas Bengkulu. ISBN:9786029071078
Hal. 182-187.

Saragih, R. T. Desni. 2016. Peranaan Daun Katuk Dalam Ransum Terhadap


Produksi Dan Kualitas Telur Ayam Petelur. Jurnal ITP Vol.5 No. 1

Sihombing, D.T.H. 2006. Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta.

Sihombing, D.T.H. 1997. Ilmu Makanan Ternak Babi. Universitas Gadjah Mada:
Yogyakarta.

Simanjuntak, R., U. Santoso dan T. Akbarillah. 2013. Pengaruh pemberian


tepung daun katuk (Sauropus androgynus) dalam ransum terhadap kualitas
telur itik (Anas javanica). Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 8 (1):65-
76.

Sinaga, Ernawati. 2012. Biokimia Dasar. Jakarta Barat: PT. ISFI Penerbitan.

Sinaga, S. 2011. PerformansProduksi Babi Akibat Tingkat Pemberian Manure


Ayam Petelur dan Asam Amino L-Lisin Sebagai Bahan Pakan Alternatif.
Tesis. Unpad. Bandung.

Subekti, S. 2007. Komponen sterol dalam ekstrak daun katuk (Sauropus


androgynus L Merr) dan hubungannya dengan system reproduksi puyuh.
Disertasi S3. IPB. Bogor.

35
Tillman, A. D. H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, S.
Lebdosoekojo. 1991 Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. PT
Gramedia. Jakarta.

Tillman, A. D., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo.


1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

Tulung, C J. F. Umboh, F. N. Sompie, Ch. J. Pontoh. 2015. Pengaruh Penggunaan


Virgin Coconut Oil (VCO) Dalam Ransum Terhadap Kecernaan energi
Dan Protein Ternak babi Peranakan. Journal Zootek (“Zootek” Journal)
Vol. 35 No 2: 319-327. Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi
Manado.

Wahju, J. 1985. Ilmu Nutrisi Unggas. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Yuliani, S. dan T. Marwati. 1997. Tinjauan katuk sebagai bahan makanan


tambahan yang bergizi. Warta Tumbuhan Obat. 3(3):55-56

Zuhra, C. F., J. Br. Tariga, DanH. Sitohang. 2008. Aktivitas Anti oksidan
Senyawa Flavonoid DariDaunKatuk (Sauropus androgunusL. Merr).
Jurnal Biologi Sumatera, 3(1): 7-10.

36
LAMPIRAN

Lampiran 1. Data berat badan ( Kg/ekor)

Minggu
Perlakuan
Awal I II III IV V VI VII VIII
R0.1 26,5 29 32 36 39 42 46 50 54
R0.2 45 50 55 61 66 72 78 84 91
R0.3 55,5 62 65 72 79 86 93 101 109
R1.1 29 32 36 39 43 47 52 57 64
R1.2 44 50 56 61 67 73 79 86 93
R1.3 51 56 61 66 71 77 83 90 98
R2.1 39 43 47 51 55,5 62 67 74 80
R2.2 43 45 47 52 57 62 67 73 79
R2.3 50 55,5 57 62 69 75 81 88 95
R3.1 42 45 51 56 62 68 75 84 91
R3.2 42,5 46,5 53,5 59 65 70 76 84 91
R3.3 40 47 49 54 60 65 72 80 87

Lampiran 2. Data rataan konsumsi ransum (gram/ekor/hari)

P/K V VI Total Rataan

R0.1 2500 2700 5200 2600


R0.2 4200 4450 8650 4325
R0.3 5050 5450 10500 5250
R1.1 2850 3200 6050 3025
R1.2 4300 4650 8950 4475
R1.3 4500 4900 9400 4700
R2.1 3900 4000 7900 3950
R2.2 3650 3950 7600 3800
R2.3 4400 4750 9150 4575
R3.1 4700 4550 9250 4625
R3.2 4200 4550 8750 4375
R3.3 4000 4350 8350 4175

37
Lampiran 3: ANOVA dan uji Duncan Konsumsi Energi (kkal/kg/ekor/hari)

Perlakuan Jumlah Rataan


Kelompok
R0 R1 R2 R3
I 10167.84 11660,50 14889,11 16974,48 53691,93 13422,98
II 17109,34 17249,83 14695,75 16974,48 66029,40 16507,35
III 20531,21 18117,14 17692,90 16198,50 72539,76 18134,94
Jumlah 47808,39 47027,47 47277,76 50147,46 192261,08
Rataan 15936,13a 15675,82a 15759,25a 16715,82a 16021,76

FK =

= 30803602406,95

JK Total =

= (10167,84)2 + (11660,50)2 +……………… + (16974,45)2 –


30803602406,95

= 883862746,99

JK Kelompok =

= (53691,93)2+(66029,40)2+(72539,76)2 – 30803602406,95
4
= 458198902,72

JK Perlakuan =

38
= (47808,39)2 + 47027,47)2 + … + (50147,46)2 – 30803602406,95
3

= 20329056,95

JK Galat = JK Total – JK Kelompok – JK Perlakuan

= 883862746,99- 458198902,72- 20329056,95

= 405334787,31

KT Kelompok =

= 458198902,72
2

= 229099451,36

KT Perlakuan =

= 20329056,95
3

= 6776352,32

KT Galat =

= 405334787,31
6

= 67555797,89

ANOVA

Ftab
SK dB JK KT Fhit
0,05 0,01
Kelompok 2 458198902,72 229099451,36 3,39 5,14 10,92
Perlakuan 3 20329056,95 6776352,32 0,10tn 4,76 9,78

39
Galat 6 405334787,31 67555797,89
Total 11 883862746,99
Keterangan: tnberpengaruh tidak nyata (P>0,05)

Simpangan Baku =

= 1500,62

Rataan perlakuan

R3 R2 R1 R0
16715,82 15936,13 15759,25 15675,82

P 2 3 4
3,46 3,58 3,64
SSR
5,24 5,43 5,54
5192,15 5372,22 5462,26
LSR
7863,25 8148,37 8313,43

R3-R2 779,69 Berbeda tidak nyata (P>0,05)


R3-R1 956,57 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R3-R0 1040 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R1 177,13 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R0 260,31 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R1-R0 83,43 Berbeda tidak nyata (P>0,05)

Lampiran 4: ANOVA dan uji Duncan Kecernaan Energi (%)


Perlakuan Jumlah Rataan
Kelompok
R0 R1 R2 R3
I 52,14 69,37 71,94 74,37 267,82 66,96
II 74,87 81,58 75,47 74,91 306,83 76,71
III 67,93 61,87 70,71 75,92 276,43 69,11

40
Jumlah 194,95 212,82 218,12 225,20 851,09
Rataan 64,98a 70,939a 72,71a 75,07a 70,92

FK =

= 60362,55

JK Total =

= (52,14)2 + (69,37)2 + … + (75,92)2 - 60362,55


= 649,47

JK Kelompok =

= (267,82)2 + (306,83)2 + (276,43)2–60362,55


4
= 209,97

JK Perlakuan =

= (194,95)2 + (212,82)2 + … + (225,20)2 - 60362,55


3
= 166,91

JK Galat = JK Total – JK Kelompok – JK Perlakuan


= 649,47- 209,97 – 166,91

= 272,58

41
KT Kelompok =

= 209,97
2

= 104,98

KT Perlakuan =

=166,91
3
= 55,64

KT Galat =

=272,58
6
= 45,43

ANOVA

Ftab
SK Db JK KT Fhit
0,05 0,01
Kelompok 2 209,97 104,98 2,31 5,14 10,92
Perlakuan 3 166,91 55,64 1,22tn 4,76 9,78
Galat 6 272,58 45,43
Total 11 649,47
tn
Keterangan: berpengaruh tidak nyata (P>0,05)

Simpangan Baku =

= 3,89

Rataan Perlakuan

42
R3 R2 R1 R0
75,07 72,71 70,94 64,98

P 2 3 4
3,46 3,58 3,64
SSR
5,24 5,43 5,54
13,46 13,93 14,16
LSR
20,39 21,13 21,56

R3-R2 2,36 Berbeda tidak nyata (P>0,05)


R3-R1 4,13 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R3-R0 10,08 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R1 1,77 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R0 7,72 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R1-R0 5,96 Berbeda tidak nyata (P>0,05)

Lampiran 5: ANOVA dan uji Duncan Konsumsi Protein (gr/ekor/hari)

43
Perlakuan Jumlah Rataan
Kelompok
R0 R1 R2 R3
I 411,03 487,43 632,16 731,26 2261,88 565,47
II 691,64 721,08 623,95 731,26 2767,92 691,98
III 829,96 757,34 751,20 697,83 3036,33 759,08
Jumlah 1932,63 1965,85 2007,30 2160,36 8066,14
Rataan 644,21a 655,28a 669,10a 720,12a 672,18

FK =

= 5421878,80

JK Total =

= (411,03)2 + (487,43)2 + … + (697,83)2 - 5421878,80

= 155059,24

JK Kelompok =

= (2261,88)2 + (2767,92)2 + (3036,33)2 - 5421878,80


4
= 77324,20

JK Perlakuan =
= (1932,63)2 + (1965,85)2 + … + (2160,36)2 - 5421878,80
3

= 10126,66

JK Galat = JK Total – JK Kelompok – JK Perlakuan

44
= 155059,24– 77324,20– 10126,66

= 67608,38

KT Kelompok =

= 77324,20
2

= 38662,10

KT Perlakuan =

= 10126,66
3

= 3375,55

KT Galat =

= 67608,38
6

= 11268,06

45
ANOVA

Ftab
SK dB JK KT Fhit
0,05 0,01
Kelompok 2 77324,20 38662,10 3,43 5,14 10,92
Perlakuan 3 10126,66 3375,55 0,30tn 4,76 9,78
Galat 6 67608,38 11268,06
Total 11 155059,24
tn
Keterangan: berpengaruh tidak nyata (P>0,05)

Simpangan Baku =

= 61,29
Rataan Perlakuan

R3 R2 R1 R0
720.12 669,10 655,28 644,21
P 2 3 4
3,46 3,58 3,64
SSR
5,24 5,43 5,54
212,06 219,41 223,08
LSR
321,15 332,79 339,53

R3-R2 51,02 Berbeda tidak nyata (P>0,05)


R3-R1 64,84 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R3-R0 75,91 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R1 13,82 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R0 24,89 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R1-R0 11,07 Berbeda tidak nyata (P>0,05)

46
Lampiran 6: ANOVA dan uji Duncan Kecernaan Protein (%)

Perlakuan
Kelompok Total Rataan
R0 R1 R2 R3,
1 61,04 74,26 71,61 70,40 277,31 69,33
2 76,84 80,89 79,18 77,92 314,83 78,71
3 68,00 66,68 73,10 76,83 284,61 71,15
Total 205,88 221,83 223,89 225,15 876,75
Rataan 68,63a 73,94a 74,63a 75,05a 73,06
FK =

= 64057,48

JKTotal =

= (61,04)2 + (74,26)2 + … + (76,83)2- 64057,48

= 372,23
JKKelompok =

= (277,31)2 + (314,83)2 + (284,61)2 - 64057,48


4
= 179,92

JK Perlakuan =

= (205,88)2 + (221,83)2 + … + (225,15)2 - 64057,48


3
= 80,55

JK Galat = JK Total – JK Kelompok – JK Perlakuan

= 372,23– 179,92– 80,55


= 93,76

47
KT Kelompok =

= 179,92
2
= 98,96

KT Perlakuan =

= 70,01
3
= 26,83

KT Galat =

= 93,76
6
= 15,63

ANOVA

Ftab
SK Db JK KT Fhit
0,05 0,01
Kelompok 2 197,92 98,96 6,33 5,14 10,92
Perlakuan 3 80,55 26,85 1,72tn 4,76 9,78
Galat 6 93,76 15,63
Total 11 372,23
Keterangan: tnberpengaruh tidak nyata (P>0,05)

Simpangan Baku =

= 2,28

Rataan Perlakuan

R3 R2 R1 R0

48
75,05 74,63 73,94 68,69

P 2 3 4
3.46 3.58 3.64
SSR
5.24 5.43 5.54
7.90 8.17 8.31
LSR
11.96 12.39 12.64

R3-R2 0,42 Berbeda tidak nyata (P>0,05)


R3-R1 1,11 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R3-R0 6,42 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R1 0,69 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R2-R0 6,00 Berbeda tidak nyata (P>0,05)
R1-R0 5,31 Berbeda tidak nyata (P>0,05)

RIWAYAT HIDUP

49
Penulis merupakan anak pertama dari tiga

bersaudara, buah kasih sayang dari bapak Godlif Babis

dan mama Zanci Babis Nenot’ek. Penulis lahir pada

tanggal 26 Maret 1997 di Kelle. Pada Tahun 2003

penulis mulai mengenyam pendidikan formal pada

Sekolah Dasar Inpres Kelle, tamat berijazah pada tahun

2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan pada SMP Negeri 2

Amanuban Selatan dan tamat berijazah pada tahun 2012. Selanjutnya pada tahun

yang sama penulis melanjutkan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri

Kuanfatu dan tamat berijazah pada Tahun 2015.

Pada Tahun 2015 melalui jalur Mandiri, penulis diterima sebagai mahasiswa

pada Jurusan Peternakan, Fakultas Peternakan Universtas Nusa Cendana Kupang,

Nusa Tenggara Timur, hingga menyelesaikan SKRIPSI yang berjudul “Pengaruh

Penggunaan Tepung Daun Katuk ( Sauropus androgynus L. Meer) dalam Ransum

Terhadap Kecernaan Energi dan Protein Babi Peranakan Landrace Fase

Pertumbuhan”

Kupang , 12 April 2019

Penulis

50

Anda mungkin juga menyukai