Anda di halaman 1dari 8

II

KAJIAN KEPUSTAKAAN

2.1 Pedet Sapi Perah

Sapi perah bangsa Frisien Holstein (FH) merupakan sapi yang paling

umum dipelihara di Indonesia. Sapi Frisien Holstein merupakan bangsa sapi perah

yang memiliki produksi susu yang tinggi dengan kadar lemak yang rendah jika

dibandingkan dengan bangsa sapi perah lainnya. Sapi perah FH memiliki ciri-ciri

berwarna hitam pada bulunya dan terdapat bercak putih, ujung ekor memiliki bulu

berwarna putih, tanduknya pendek dan menjurus kedepan (Rustamadji, 2004).

Pedet sapi perah merupakan calon indukan yang akan dijadikan sebagai

produk penghasil daging dan susu. Pedet sapi perah FH betina digunakan sebagai

ternak pengganti (replacement stock) sehingga produksi susu akan meningkat.

Pedet sapi perah perlu dipelihara dengan baik dan benar karena memiliki angka

kematian yang mencapai 20%. Pemeliharaan pedet sapi perah seperti mengontrol

kesehatan, pemberian pakan yang sesuai, kebersihan kandang dan lain-lain (Siti

dan Rondhi, 2019).

Pedet sapi perah memiliki rataan bobot lahir sebesar 30-50 kg (Atabany

dkk., 2013). Pedet sapi umur 4-7 bulan berada di fase lepas sapih. Pedet Sapi

perah yang dipelihara pada umur 4-7 bulan memiliki bobot badan 90-120 kg.

Pertumbuhan pedet setelah lepas sapih memiliki pertumbuhan yang cukup pesat

(Sutomo dkk., 2013).

2.2 Feed Supplement

Feed supplement adalah bahan tambahan yang ditambahkan ke dalam

ransum yaitu zat-zat nutrisi. Feed supplement ialah pakan tambahan yang
11

mengandung protein, mineral dan vitamin (Kunta, 2017). Penambahan feed

supplement dapat melengkapi kandungan nutrisi mikro dalam pakan dan

meningkatkan penyerapan zat nutrisi. Asam amino essensial diperlukan oleh

tubuh ternak tetapi tubuh ternak tidak dapat memproduksi asam amino essensial

sehingga perlu diberikan penambahan feed supplement.

Mineral diperlukan oleh tubuh ternak dalam jumlah sedikit tetapi tidak

dapat diproduksi oleh tubuh ternak. Mineral organik ialah sekumpulan mineral

yang bergabung dengan senyawa-senyawa organik. Mineral perlu dijadikan

sebagai feed supplement karena mineral memiliki jangka waktu simpan dan setiap
mineral memiliki fungsi masing-masing (Kunta, 2017).

2.2.1 Tepung Ikan Terproteksi Tanin

Protein diperlukan oleh tubuh ternak untuk meningkatkan pertumbuhan

ternak. Protein perlu diproteksi pada tubuh ternak supaya protein dapat

mencukupi kebutuhan ternak. Protein memiliki tingkat kelarutan yang berbeda.

Apabila protein didegradasi oleh ternak maka akan menghasilkan amonia sebagai

produk deaminasi dari asam amino.


Ternak ruminansia membutuhkan protein dalam jumlah banyak. Bahan

pakan saat masuk ke dalam saluran pencernaan ternak ruminansia akan dicerna di

dalam rumen oleh mikroorganisme rumen. Protein akan terdegradasi dan hasil

dari degradasi protein berlebih. Tepung ikan akan mengalami degradasi sebanyak

kurang lebih 31% di dalam rumen (Miller, 1973).

Protein perlu diproteksi supaya protein by-pass masuk ke dalam

abomasum supaya dapat dicerna oleh enzim yang ada di lambung abomasum.

Proteksi bertujuan untuk melindungi protein tidak terdegradasi. Tanin memiliki

kemampuan untuk menonaktifkan enzim yang dihasilkan oleh mikroba rumen.


12

Tanin memiki kemampuan mengikat protein dengan ikatan hidrogen dan bersifat

sensitif terhadap perubahan pH. Tanin memiliki ikatan stabil pada pH 4-7 (El-

Wazyri dkk., 2005).

Tepung ikan memiliki kandungan asam amino essensial. Proteksi protein

tepung ikan dapat dilakukan dengan penambahan tanin (Tanuwiria, 2007).

Tepung ikan yang diproteksi oleh tanin akan membentuk ikatan kompleks akan

sulit dicerna pada saluran pencernaan rumen. Ikatan protein dan tanin akan

terlepas pada kondisi pH 3 yaitu di abomasum atau pasca rumen sehingga

menyebabkan protein akan dicerna (Zamsari dkk., 2012).


2.2.2 Ca-PUFA

Polyunsaturated Fattyacid (PUFA) merupakan asam lemak tak jenuh yang

memiliki dua atau lebih ikatan rangkap. Asam lemak tak jenuh sumbernya berasal

dari linoleat, linolenat dan arakhidonat. Asam lemak tak jenuh perlu di

saponifikasi dengan kalsium. Asam lemak tak jenuh perlu diproteksi dengan

kalsium untuk menghindari biohidrogenasi asam lemak di rumen. Asam lemak tak

jenuh dan kalsium akan berikatan stabil pada pH 4-7 (Fernandez, 1999).
Asam lemak tak jenuh bersifat toksik bagi bakteri. Kadar lemak yang

tinggi dalam bahan pakan dapat mengganggu sistem fermentasi dalam rumen.

Asam lemak tak jenuh dapat menyebabkan metabolisme mikroba rumen. Lemak

akan terhidrolisis oleh basa menjadi asam lemak dan gliserol (Tanuwiria dkk.,

2011).

Penambahan asam lemak tak jenuh pada ransum ternak ruminansia dapat

meningkatkan efisiensi dan populasi protozoa dapat terkendali. Protozoa yang

diselimuti oleh lemak tidak memiliki aktivitas lipolitik. Asam lemak tak jenuh

yang diberi dengan mineral kalsium dapat meningkatkan kecernaan ransum,


13

menghilangkan efek asam lemak pada bakteri, meningkatkan kecernaan serat

(Fernandez, 1999). Asam lemak tak jenuh yang diberi dengan mineral kalsium

dapat meningkatkan produktivitas ternak dikarenakan asam lemak esensial dapat

langsung digunakan oleh tubuh ternak. Kekurangan asam lemak dapat

menyebabkan hiperkeratosis (Adawiah dkk., 2006).

Garam yang berasal dari campuran kalsium dengan asam lemak

merupakan penggabungan asam lemak jenuh dengan ion kalsium. Antibakteri dari

asam lemak tak jenuh dapat dikurangi dengan penambahan mineral alkali. Ca-

PUFA dapat memaksimalkan penggunaan ransum tinggi lemak oleh ternak


ruminansia. Proteksi asam lemak yaitu dengan menyisipkan iodium di ikatan

rangkap asam lemak tak jenuh (Tanuwiria dkk., 2011).

2.2.3 Mineral Organik

Mineral seng (Zn) merupakan mineral mikro yang ditemukan pada tubuh

ternak sebesar 2-4 gram. Mineral seng (Zn) terlibat dalam aktivitas enzim dan

menjadi reseptor bagi beberapa protein (Burns, 1990). Defisiensi mineral Zn dapat

menyebabkan parakeratosisi jaringan usus dan metabolisme mikroorganisme


rumen akan terganggu. Suplementasi mineral seng (Zn) organik dapat

meningkatkan kecernaan nutrien, pertumbuhan, efisiensi pakan, produksi dan

reproduks ternak, absorpsi Zn, kualitas dan produksi susu (Suprijati, 2013).

Mineral seng dibutuhkan oleh ternak sapi perah sebesar 33-50 mg/kg (Suprijati,

2013).

Mineral tembaga (Cu) merupakan mineral esensial yang memiliki peranan

penting dalam fermentasi rumen, proses sintesis hemoglobin sehingga akan

mempengaruhi pertumbuhan ternak. Sapi memerlukan Cu untuk kebutuhan

sehari-hari sebesar 50 mg Cu/kg ransum (Zainal, 2007). Penyerapan mineral


14

tembaga dipengaruhi oleh faktor keasaman lambung dan penggunaan kalsium

karbonat Defisiensi mineral tembaga dapat menyebabkan anemia, kerusakan

tulang, pigmentasi rambut, pertumbuhan abnormal (Darmono dan Bahri, 1989).

Mineral selenium (Se) memiliki peranan penting dalam mempertahankan

tubuh ternak. Sapi yang dalam fase pertumbuhan membutuhkan mineral Se

sebanyak 0,10 mg/kg ransum kering. Mineral Se berfungsi sebagai antioksidan

dalam tubuh, menghancurkan radikal bebas, daya tahan tubuh dan reproduksi

ternak. Defisiensi mineral selenium akan mempengaruhi pertumbuhan ternak

(Endang dkk., 2009).


Mineral kromium (Cr) merupakan mineral esensial yang behubungan

dengan insulin, metabolisme lemak dan sintesis protein. Mineral Cr dalam darah

berperan untuk meningkatkan glukosa ke dalam sel darah dengan peningkatan

aktivitas insulin. Pemberian mineral Cr pada saat ternak mengalami cekaman

panas akan mengatasi defisiensi mineral Cr pada tubuh ternak. Mineral Cr

dibutuhkan oleh tubuh ternak sebesar 0,15-0,30 ppm (Muhtarudin dan Liman,

2006).

2.3 Performans

Performa tubuh ternak dapat dilihat dari pertambahan bobot badan,

panjang badan dan tinggi pundak. Sifat-sifat kuantitatif ternak seperti

pertambahan bobot badan, panjang badan dan tinggi pundak dapat diamati

menggunakan alat indra dari tubuh ternak itu sendiri. Ukuran tubuh dapat

digunakan untuk memberi gambaran tubuh hewan atau ciri khas dari suatu bangsa

ternak. Pertumbuhan pedet saat lepas sapih perlu diberikan perhatian yang lebih.

Ukuran-ukuran tubuh ternak ialah sifat-sifat kuantitatif ternak yang digunakan


15

sebagai seleksi ternak, evaluasi pertumbuhan, mengetahui perbedaan jenis ternak

(Agil dkk., 2016).

2.3.1 Pertambahan Bobot Badan

Pertumbuhan dari seekor ternak dapat dilihat melalui pertambahan bobot

badan dan perkembangan dari bagian-bagian tubuh ternak. Pertambahan bobot

sapi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis sapi, jenis kelamin, umur,

ransum, manajemen pemeliharaan. Pertambahan bobot badan dapat dilihat dengan

variabel lingkar dada. Semakin bertambah pertambahan bobot badan ternak

perhari artinya semakin baik (Yasin, 1993). Pengukuran pertambahan bobot badan
menggunakan dimensi tubuh dapat dikatakan sangat baik. Alat ukur yang umum

digunakan adalah pita ukur dan tongkat ukur pada bagian luar tubuh ternak.

Ukuran tubuh ternak perlu diketahui untuk menaksir bobot badan ternak dan dapat

dijadikan sebagai parameter penentuan ternak bibit (Suranjaya dkk., 2009).

Bertambahnya bobot badan ternak artinya tubuh ternak terjadi perubahan

pada komposisinya sehingga terjadi proses perkembangan dan pertumbuhan.

Bertambahnya ukuran lingkar dada maka bobot badan pun akan meningkat.
Menurut Pane (1986) pertumbuhan ialah pertambahan bobot badan maupun

ukuran tubuh ternak sesuai dengan umurnya. Menurut Winter (1961) ternak yang

bertambah 1% lingkar dadanya maka akan terjadi pertambahan bobot hidup ternak

sebanyak 3%. Menurut Kidwell (1965) pendugaan yang paling tepat untuk

menafsirkan bobot hidup ternak sapi ialah dengan mengukur ukuran lingkar dada.

Cepat lambatnya proses pertumbuhan pada ternak dipengaruhi oleh jenis

kelamin, hormon, pakan, gen, iklim, dan kesehatan induk. Laju pertumbuhan

ternak berbentuk sigmoid dikarenakan terjadi pertambahan bobot badan yang

signifikan dari ternak lahir hingga mencapai dewasa kelamin (Widya dan Nisa,
16

2020). Proses pertumbuhan pada ternak terdiri atas pertambahan berat badan

hingga dewasa dan perkembangan bentuk/ konformasi tubuh dan proses

kinerjanya (Soenarjo, 1988). Bobot badan, lingkar dada dipengaruhi oleh

pertumbuhan daging (Djagra dkk., 2002). Pertumbuhan dapat dinyatakan dengan

pengukuran pertambahan bobot badan yaitu dengan cara menimbang berulang-

ulang kali dan dinyatakan dalam pertambahan bobot badan harian, mingguan atau

per satuan waktu lainnya (Tillman dkk., 1998).

2.3.2 Pertambahan Panjang Badan

Panjang badan ialah jarak tepi antara tepi depan sendi bahu (humerus) dan
tepi belakang bungkul tulang duduk (tuber ischiadicum). Pengukuran panjang

badan dapat dilakukan dengan cara membentang mistar ukur dari sendi bahu

(humerus) sampai tulang tapis (tuiber ischii). Pengukuran panjang badan

merupakan pengukuran tubuh yang paling umum karena dapat digunakan dalam

menaksir bobot badan ternak (Erfan, 2004). Cara untuk mengetahui bobot badan

ternak menggunakan panjang badan ialah dengan mengkonversi panjang badan ke

bobot badan ternak menggunakan rumus Lambourne (Disnak Jatim, 2012).


Panjang badan dipengaruhi oleh pertumbuhan tulang (Djagra dkk., 2002).

Pertumbuhan tulang terjadi secara kontinyu dengan pertumbuhan yang relatif

lambat dan rasio pertumbuhan otot dan tulang meningkat selama proses

pertumbuhan (Parakkasi, 1999). Pertumbuhan daging cenderung akan lebih

lambat pada awal pertumbuhan tetapi setelah ternak mencapai dewasa kelamin

pertumbuhan daging akan lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan tulang

(Sonjaya, 2012).
17

2.3.3 Pertambahan Tinggi Pundak

Tinggi pundak merupakan salah satu ukuran linear tubuh yang dapat

dijadikan acuan dalam memprediksi produktivitas sapi (Kadarsih, 2003).

Pengukuran tinggi pundak diukur dari titik tertinggi pundak tegak lurus hingga ke

tanah dengan menggukan tongkat ukur. Tinggi pundak sapi dapat digunakan

sebagai acuan seleksi pada sapi perah dan sapi potong saat terjadinya dewasa

kelamin (Sutomo dkk., 2013). Tinggi pundak ternak dipengaruhi oleh faktor

genetik, perkembangan tubuh, lingkungan, manajemen pemeliharaan (Bugiwati,

2007).
Tinggi pundak dipengaruhi oleh pertumbuhan tulang (Djagra dkk., 2002).

Pertumbuhan tulang terjadi secara kontinyu dengan pertumbuhan yang relatif

lambat dan rasio pertumbuhan otot dan tulang meningkat selama proses

pertumbuhan (Parakkasi, 1999). Pertumbuhan daging cenderung akan lebih

lambat pada awal pertumbuhan tetapi setelah ternak mencapai dewasa kelamin

pertumbuhan daging akan lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan tulang

(Sonjaya, 2012).

Anda mungkin juga menyukai