Anda di halaman 1dari 3

Usaha beternak babi pada dasar mempunyai dua tujuan yaitu untuk memperoleh hasil produksi

(daging dan nilai ekonomi bagi peternak yang mengusahakannya) serta dalam kepentingan sosial
budaya masyarakat Sumba. Menurut (Kojo dkk, 2014; Sapanca et al, 2015), salah satu jenis ternak
potong nonruminansia sebagai penyumbang protein yang telah diakui seluruh dunia adalah ternak
babi. Selain itu, Menurut (Sihombing, 2006), tujuan pemeliharaan babi adalah untuk melestarikan
tradisi dalam suatu keluarga, untuk memenuhi corak kehidupan desa dimana babi berperansebagai
materi kebudayaan dalam berbagai upacara adat istiadat, dan untuk berpartisipasi aktif dalam
pengadaan pangan nasional maupun internasional. Sedangkan Utomo dan Wahyuningsih, (2010);
Seseray et al., (2012), melaporkan bahwa ternak babi adalah salah satu penghasil daging, pupuk
organik dan biogas.
Dilihat dari peran ternak babi tersebut karena ternak babi memiliki keunggulan lain karena
merupakan jenis ternak mamalia yang menghasilkan anak dalam jumlah banyak (polytocous).
Sedangkan Sondang dan Siagian, (1999) ternak babi memiliki keunggulan sebagai penghasil
daging untuk dikembangkan dalam rangka pemenuhan permintaan akan protein hewani. Ada
beberapa keunggulan ternak babi yakni pertumbuhannya yang cepat, konversi pakan yang sangat
baik dan mudah beradaptasi dengan lingkungan serta persentase karkasnya dapat mencapai 65% -
80%.
Kojo, R.E, Panelewen V.V.J, Manase M.A.V, Santa N. (2014). Efisiensi Penggunaan Input Pakan dan
Keuntungan pada Usaha Ternak Babi di Kecamatan Tateran Kabupaten Minahasa Selatan. Fakultas
Peternakan Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal Zootek (“Zootek” Journal) Vol 34(1): 62-74.

Sapanca, P.L.Y; Wayan, I.C dan Made, I.S. (2015). Peningkatan Manajemen KelompokTernak Babi di
Kabupaten Bangli.Agrimeta Vol. 15 No. 09: 1-69.

Sihombing. (2006). Ilmu Ternak Babi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Utomo, S. dan V. Wahyuningsih. (2010). Dosis Campuran Limbah Sapi dengan Limbah Babi terhadap
Produksi Gasbio. Jurnal AgriSains 1 (8): 7-14.

Seseray, D.Y.S., S. Triatmojo dan A. Pertiwiningrum. (2012). Pemanfaatan Feses Babi (Sus sp.) sebagai
Sumber Gas Bio dengan Penambahan Ampas Sagu (Metroxylon spp.) pada Taraf Rasio C/N Ratio. Buletin
Peternakan 36 (3): 66-74.

Sondang dan P. Siagian, (1999). Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara. Jakarta

Babi adalah salah satu dari sekian banyak jenis ternak yang di kembang biakkan di dunia. Babi
yang dipelihara saat ini nenek moyangnya berasal dari dua jenis babi liar yaitu Sus vitatus dan Sus
sropa. Jenis Sus vitatus ini berrasal dari Benua Asia yang meliputi India Timur, Asia Tenggara,
dan China. Sedangakan Sus scropa berasal dari Benua Eropa. Domestikasi babi liar Sus vitatus di
China di mulai sekitar tahun 4910 sebelum masehi, sedangkan domestikasi babi liar Sus scropa di
Benua Eropa dilaksanakan pada tahun 800 tahun sebelum masehi (Hafez and Dyer 1969). Babi
adalah ternak monogastric dan bersifat prolific (banyak anak tiap kelahiran), pertumbuhannya
cepat dan dalam umur enam bulan sudah dapat dipasarkan. Selain itu ternak babi efisien dalam
mengkonversi berbagai sisa pertanian dan restoran menjadi daging (Ensminger, 1991). Ternak
babi merupakan penghasil sumber daging dan untuk pemenuhan gizi yang sangat efisien di antara
ternak-ternak yang lain karena babi memiliki konversi terhadap pakan yang cukup tinggi, semua
bahan pakan bisa diubah menjadi daging dan lemak dengan sangat efisien (Sudana, 1997). Ternak
babi bersifat peridi (prolific), satu kali beranak bisa 6-12 ekor dan setiap beranak 2 kali di dalam
satu tahun. Persentase karkas babi cukup tinggi, bisa mencapai 65-80%, sedangkan persentase
karkas kambing dan domba 45-55%, kerbau 38%, sapi 50-60%. Dan ternak babi juga sangat efisien
dalam mengubah sisa-sisa makanan serta hasil ikutan pertanian maupun pabrik (Lubis ,1963). Babi
menurut AKK (1883) di bagi menjadi 3 tipe yaitu babi tipe daging (meat type) seperti Hampsire,
Poland Chine, Spotted Polland Chine, Berkshire, Chester White, dan Duroc. Babi tipe lemak (lard
type) seperti babi yang umum di pelihara di Indonesia yang kandungan lemak tubuhnya cukup
tinggi seperti babi Bali. Babi tipe sedang (bacon type) seperti Yorkshire, Landrace, dan Tamworth.
Karena pengaruh domestikasi, babi yang biasanya liar dan di pelihara tanpa kandang berubah
menjadi hewan yang lebih jinak.
Pemeliharaan Babi Landrace
Manajemen pemeliharaan babi pada umumnya dilakukan masyarakat adalah sistem pemeliharaan
intensif. Sistem pemeliharaan intensif adalah sistem pemeliharaan yang dilakukan secara modern,
sistem intensif mengatur segala asfek yang berkaitan dengan ternak sehingga ternak merasa
nyaman dan menghasilkan produk secara maksimal sesuai dengan harapan para peternak. Untuk
memperoleh hasil yang optimal dalam menjalankan usaha ternak babi terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan yaitu ketersediaan bibit yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas
dan tatalaksana pemeliharaan yang meliputi perkandangan, kebersihan kandang, pemeliharaan
induk, anak babi, ternak babi jantan dan babi usia tumbuh serta penanganan hasil produksi. Hal
lain yang dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan dalam suatu usaha peternakan babi adalah
tenaga yang terampil dalam mengelola usaha tersebut (Murtidjo, 1990).
Ternak babi yang telah dipelihara secara intensif diberikan pakan berupa pakan komersil (ransum
yang seimbang) dengan teratur sesuai dengan kebutuhan ternak, sehingga babi akan mempunyai
penampilan yang baik apabila manajemen pemeliharaan yang digunakan juga baik. Ransum yang
diberikan juga disesuaikan dengan pase ternak tersebut, diantaranya ransum starter, grower,
ransum induk menyusui, dan fattening.
Manajemen pemeliharaan babi secara intensif juga disesuaikan dengan periode masa pertumbuhan
babi, dari manajemen pemilihan bibit, pemberian pakan, perkawinan, kesehatan, pengolahan
limbah dan lain-lain. Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam menjalankan usaha ternak babi
secara intensif terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu ketersediaan bibit yang
memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas dan tatalaksana pemeliharaan yang meliputi
perkandangan, kebersihan kandang, pemeliharaan induk, anak babi, ternak babi jantan dan babi
usia tumbuh serta penanganan hasil produksi. Manajamen pemeliharaan sangat menentukan
kuantitas maupun kualitas babi yang dihasilkan (Siagian, 1999).
Rekomendasi dari NRC (1998) menyatakan bahwa konsumsi ransum harian babi periode starter
adalah 950-1425 gr/hari atau dengan rata-rata 1250 gr.
Tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh keseimbangan dari energi dan protein yang tersedia
(North, 1984).
Ternak babi membutuhkan ransum yang imbangan nutrisinya baik atau sempurna, untuk
memperoleh reproduksi dan produksi daging yang optimal. Ternak babi membutuhkan energi,
protein, mineral, vitamin dan air. Setiap zat mempunyai fungsi dan kaitan spesifik di dalam tubuh.
Kekurangan atau ketidakseimbangan zat-zat makanan dapat memperlambat pertumbuhan dan
berdampak pada performans. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum yaitu cara
pemberian pakan, aroma pakan, kondisi lingkungan atau suhu kandang, ketersedian air minum,
jumlah ternak dan kesehatan ternak (Sihombing, 1997).
Pengaruh temperatur lingkungan terhadap performans babi menunjukan bahwa temperatur yang
cocok adalah 20-27°C. Semakin rendah temperatur atau suhu lingkungan, babi akan
mengkonsumsi pakan lebih banyak dan sebagian besar energi pakan dialihkan menjadi produksi
panas tubuh dan akan diubah untuk produksi daging. Bila temperatur atau suhu lingkungan tinggi,
konsumsi pakan babi akan menurun, konsumsi air minum akan meningkat dan terjadi perubahan
tingkah laku mengakibatkan stres atau kematian (Sihombing, 2006).
Hasil fermentasi dapat meningkatkan palatabilitas ransum, sehingga konsumsi ransum dapat
meningkat (Brata, 1997).
Palatabilitas merupakan faktor penting yang menentukan tingkat konsumsi ransum dan tergantung
pada bau, rasa, tekstur dan suhu, faktor umum yang mempengaruhi konsumsi adalah palatabilitas
ternak terhadap ransum yang diberikan, namun semuanya itu tergantung daripada kandungan zat
bahan makanan yang terkandung dalam ransum, salah satunya dengan penambahan zat aditif yang
diharapkan ternak mencapai produktivitas yang tinggi. Feed Additive dapat digunakan untuk
memperbaiki aroma ransum dan meningkatkan konsumsi ransum, selain itu mampu
mengoptimalkan daya serap makanan oleh usus halus akibat rangsangan feed additive terhadap
organ pencernaan tertentu pada ternak. Bentuk feed additive yang dipergunakan dapat berasal dari
bahan kimia sintetis ataupun ekstraksi tanaman seperti curcuminoid dimana tujuannya adalah
untuk memperoleh konsumsi ransum yang optimal (Prasetyo, 2011).
Konversi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi seekor ternak babi dalam waktu tertentu,
guna membentuk pertambahan berat badan dalam satuan tertentu. Angka konversi menunjukkan
tingakat efisiensi pengguanaan pakan artinya jika angka konversi pakan semakin besar maka
penggunaan pakan tersebut kurang ekonomis atau boros (Anonimous, 1988).
Konversi ransum adalah ransum yang habis dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu
dibandingkan dengan pertambahan bobot badan (pada waktu tertentu) semakin baik mutu ransum
semakin kecil konversinya (Rasyaf, 1995). Menurut Tilman et al., (1986), semakin banyak ransum
yang dikonsumsi untuk menghasilkan satu satuan produksi maka semakin buruklah konversi
ransum. Baik buruknya konversi ransum ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya ransum,
temperatur, lingkungan dan tujuan pemeliharaan serta genetik.
Konversi pakan adalah perbandingan antara jumlah yang dikonsumsi pada waktu tertentu
dengan produksi yang dihasilkan (pertambahan bobot badan atau produksi yang dihasilkan) dalam
kurun waktu yang sama. Konversi pakan adalah indikator teknis yang dapat menggambarkan
tingkat efisiensi penggunaan pakan, semakin rendah konversi pakan berarti semakin baik
(Anggorodi, 1985)

Anda mungkin juga menyukai