Anda di halaman 1dari 22

TUGAS METODOLOGI PENELITIAN

PEMANFAATAN LIMBAH IKAN TERI (STOLEPHORUS SP) SEBAGAI SUMBER


PROTEIN RANSUM ITIK PECKING FASE STARTER
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Upaya pemanfaatan hasil samping sebagai bahan baku formulasi pakan ikan terus

berkembang (Adéyèmi et al., 2020; Zulfahmi et al., 2019). Hal ini disebabkan karena

tepung ikan yang masih menjadi bahan baku utama pembuatan pakan ikan mulai

dianggap tidak lagi ekonomis, susah diperoleh dan tidak ramah lingkungan (Arriaga-

Hernández et al., 2021; Amer et al., 2020). Limbah ikan teri jengki (Stolephorus sp.)

merupakan salah satu hasil samping yang berpotensi dijadikan sebagai bahan baku

formulasi pakan ikan.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki sumber daya laut termasuk teri yang

melimpah (Irnawati et al., 2018; Mulya et al., 2021). Selain dijual dalam keadaan

segar, ikan ini juga ikut diasinkan dalam rangka memperpanjang waktu simpan.

Bagian utama yang dikonsumsi adalah badan ikan, sedangkan kepala ikan cenderung

menjadi hasil samping yang kurang dimanfaatkan (Ali et al., 2015; Ali et al., 2018).

Sebanyak 15% dari total sumberdaya ikan teri diperkirakan menjadi hasil samping

dan limbah perikanan (Ali et al., 2015). Hasil samping olahan ikan teri mengandung

protein sebesar 44,43%, karbohidrat sebesar 13,68% dan kadar abu sebesar 6,62%

(Ali et al., 2018). Selain itu, Gormaz and Fry (2014) melaporkan bahwa ikan teri juga

kaya asam amino, asam lemak, dan yodium. Sejauh ini, pemanfaatan hasil samping

ikan teri sebagai bahan baku pakan telah diujicobakan pada beberapa ikan yaitu ikan

nila (Oreochromis niloticus) dan ikan lele (Clarias batracus) (Ali et al., 2015).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung ikan teri dalam formulasi

pakan mampu menghasilkan pertumbuhan ikan yang setara dengan pakan

kontrol/komersial.
Menurut Perius (2011), pakan merupakan sumber energi dan materi untuk menopang

kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan. Namun di sisi lain pakan merupakan

komponen terbesar (50-70%) dari biaya produksi. Meningkatnya harga pakan ikan

tanpa disertai kenaikan harga jual ikan hasil budidaya adalah permasalahan yang

harus dihadapi setiap pembudidaya ikan. Kurangnya pemberian pakan akan

menyebabkan kematian dan laju pertumbuhan ikan yang lambat. Salah satu jenis ikan

yang memiliki laju pertumbuhan yang lambat yaitu ikan peres (Osteochillus vitttatus).

Itik merupakan ternak yang bisa menghasilkan daging dan telur untuk dikonsumsi.

Itik Pegagan sebagai itik lokal Sumatera Selatan adalah itik dwiguna yang dapat

menghasilkan telur dan daging. Itik Pegagan memiliki bobot badan 1,5-1,9 kg, dan

produksi telur 170-200 butir/tahun (Kepmentan, 2013). Produktifitas itik Pegagan

yang tinggi menjadikan peternakan itik sebagai usaha yang potensial untuk memenuhi

kebutuhan protein hewani.

Salah satu jenis itik pedaging yang mempunyai produktivitas tinggi yaitu itik Peking.

Itik Peking merupakan itik yang berasal dari China, itik ini tergolong itik pedaging

yang memiliki daya produktivitas tinggi, yaitu mampu mengkonversi ransum dengan

baik sehingga menghasilkan bobot badan yang tinggi dengan waktu yang relatif

singkat (Assad dkk., 2016). Itik Peking memiliki postur lebar, kekar, berdaging

dengan bagian dada besar, bundar dan membusung (Andoko dan Sartono, 2013). Itik

Peking memiliki badan yang lebih kompak dibandingkan dengan beberapa jenis itik

lainnya (Rostika dkk., 2014). Karkas itik Peking berwarna kuning dan kelihatan

sangat menarik (Srigandono, 2000). Bobot itik Peking jantan dewasa berkisar 4 – 5

kg/ekor, sedangkan bobot itik Peking betina berkisar 2,5 – 3 kg/ekor (Setioko dan

Rohaeni, 2004).
Proses pembesaran itik Peking pedaging pada dasarnya dibagi menjadi tiga periode

yakni fase starter, fase grower dan fase finisher. Fase starter dimulai sejak umur 0-2

minggu, fase grower sejak umur 3-5 dan untuk pada fase finisher dimulai sejak umur

5-10 minggu (Susanti dkk., 2012). Fase starter pada umur 0-2 minggu itik

memerlukan asupan protein sebanyak 22%, pada fase grower umur 3-5 minggu itik

memerlukan asupan protein sekitar 16% dan pada fase finisher asupan protein yang

diperlukan menurun, yakni sebanyak 15% sedangkan tingkat energi metabolisme

antara 2900-3000Kkal/kg (NRC, 1994).

Salah satu faktor penting dalam meningkatkan produksi ternak adalah ransum, tetapi

ransum menghabiskan biaya yang tinggi dalam usaha peternakan itik, hal ini sesuai

dengan Supriyati et al. (2003) bahwa total biaya produksi yang dihabiskan untuk

kebutuhan ransum sebesar 70%. Alternatif yang digunakan untuk menurunkan biaya

ransum yaitu dengan memanfaatkan bahan baku loka

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu

bagaimana pemanfaatn limbah ikan teri (Stilephorus Sp) sebagai sumber protein ransum

itik pecking fase starter?

1.3 Tujuan Penulisan

Bedasarkan rumusan masalah diatas tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimana pemanfaatn limbah ikan teri (Stilephorus Sp) sebagai sumber protein ransum

itik pecking fase starter?

1.4 Manfaat Penulisan

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka diperoleh manfaat yaitu :


1. Peneliti dapat mengetahui bagaimana cara untuk mengelolah limbah ikan teri menjadi

pakan itik, sehingga peneliti dapat pengalaman baru tentang pemeliharaan dan

pertumbuhan itik.

2. Dapat dijadikan sebagai referensi jika ingin dikembangkan kembali tentang pakan itik

di kemudian hari.

3. Sebagai bahan literasi dan informasi mengenai pengolahan limbah sebagai pakan, dan

pemeliharaan serta pertumbuhan itik

1.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

H0 = σi = 0 : tidak ada pengaruh proporsi tepung limbah perebusan ikan teri

dan tepung ikan pada pakan buatan terhadap laju pertumbuhan, tingkat kelangsungan

hidup, rasio konversi pakan, dan retensi protein pada itik pecking

H1 = σi ≠ 0 : minimal ada satu proporsi tepung limbah perebusan ikan teri dan tepung

ikan pada pakan buatan yang berpengaruh terhadap laju pertumbuhan, tingkat

kelangsungan hidup, rasio konversi pakan, dan retensi protein pada itik pecking.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Itik Pecking

Gambar 2.1 Itik Peking

Filum : Chordata

Kingdom : Animalia
Spesies : Anas domesticus

Subkingdom : Bilateria

Ordo : Anseriformes

Famili : Anatidae

Subfilum : Vertebrata

Kelas : Aves

Genus : Anas

Itik adalah salah satu jenis unggas air (water fowls) yang termasuk dalam kelas aves,

ordo anseriformes, famili anatidae sub famili anatinae, tribus anatinae dan genus anas

(Srigandono, 1997). Itik merupakan ternak penghasil daging dan telur. Itik pedaging

merupakan ternak unggas penghasil daging yang sangat potensial di samping ayam.

Daging itik merupakan sumber protein yang bermutu tinggi dan itik mampu

berproduksi dengan baik, oleh karena itu pengembangannya diarahkan kepada

produksi yang cepat dan tinggi sehingga mampu memenuhi permintaan konsumen

(Ali dan Febrianti, 2009).

Tujuan pokok pemeliharaan itik pedaging adalah untuk menghasilkan daging bagi

konsumsi manusia. Itik pedaging adalah itik yang mampu tumbuh cepat dan dapat

mengubah pakan secara efisien menjadi daging yang bernilai gizi tinggi. Di samping

itu, itik pedaging memiliki bentuk tubuh dan struktur perdagingan yang baik

(Srigandono, 1998).

Kebutuhan nutrien untuk itik periode starter terdiri dari energi metabolisme 2900

Kkal/kg, protein kasar 22 persen, kalsium 0,65 persen, fosfor 0,45 persen dan periode

grower energi metabolisme 3000 Kkal/kg, protein kasar 16 persen, kalsium 0,60
pesen dan fosfor 0,30 persen (NRC, 1994). Dalam pemeliharaan Itik Peking tidak

begitu membutuhkan air walapun secara mendasar itik tersebut tergolong sebagai

unggas air, Itik Peking hanya butuh air sebagai air minum saja (Andoko dan Sartono,

2013).

2.2 Konsumsi Ransum

Bley dan Bessei (2008) mengemukakan bahwa peningkatan konsumsi pakan pada itik

dipengaruhi oleh umur dan bentuk pakan, sedangkan lama dan kecepatan konsumsi

pakan seiring dengan peningkatan umur itik. Menurut Wilson (1973) dalam

Srigandono (1997), konsumsi pakan itik Peking umur 3-7 minggu dalam bentuk mash

dan pellet yaitu 6,84 kg dan 5,97 kg. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pakan

dalam bentuk pellet lebih sedikit dibandingkan dalam bentuk mash.

Ransum adalah susunan beberapa pakan ternak unggas yang di dalamnya harus

mengandung zat nutrisi yang lain sebagai satu kesatuan, dalam jumlah, waktu, dan

proporsi yang dapat mencukupi semua kebutuhan (Rasyaf, 2005). Menurut Jull

(1982), konsumsi ransum dipengaruhi oleh bentuk fisik pakan, bobot badan,

kandungan nutrisi pakan, lingkungan tempat pemeliharaan, strain, dan jenis kelamin.

Selain itu, konsumsi ransum juga dipengaruhi oleh kandungan energi ransum,

kesehatan lingkungan, zat - zat makanan, dan kecepatan pertumbuhan (Wahju, 1992).

Konsumsi ransum yang relatif banyak akan menyebabkan konsumsi zat - zat

makanan seperti asam amino, vitamin, dan protein juga menjadi lebih banyak

sehingga kebutuhan hidup pokok, produksi telur dan pertumbuhan akan terpenuhi.

Selanjutnya, dengan terpenuhinya kebutuhan zat - zat makanan tersebut diharapkan

akan menghasilkan performa yang baik (Wahju, 1992).

2.3 Konsumsi Pakan dan Pertambahan Bobot Badan


Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang telah diberikan kepada ternak dan

akan dikurangi oleh sisa pakan yang telah dikonsumsi. Pemberian pakan bertujuan

untuk mencukupi kebutuhan tenaga dan nutrisi lain dalam upaya untuk memenuhi

keperluan produksi hewan (Irma H. 2014).

Konsumsi pakan itik Peking merupakan hal yang harus diperhatikan ketika pada masa

pemeliharaan, sebab dengan mengetahui konsumsi pakan itik peking maka peternak

dapat menentukan jumlah pakan yang sesuai standart. Untuk mengetahui konsumsi

pakan pada itik Peking dapat kita ketahui dengan cara menghitung jumlah pakan yang

telah diberikan dan dikurangi dengan jumlah pakan yang masih tersisor.

Tabel 2.1 Standart Konsumsi Pakan Itik Peking dan Pertambahan Bobot Badan

itik Peking
Dari data pada tabel diatas menunjukkan bahwa semakin bertambahnya umur itik,

maka jumlah konsumsi pakannya juga akan bertambah. Pada umur 7 dan 8 minggu

didapati sebanyak 1,68 kg/ekor/minggu pada pemenuhan konsumsi pakannya.

Menurut Sukirmansyah et al, (2016), itik Peking merupakan jenis itik pedaging yang

berasal dari daratan Cina, jenis itik ini merupakan itik yang sangat populer diseluruh

Asia dikarenakan memiliki pertambahan bobot badan yang baik dan juga dikenal

sebagai itik penghasil daging.

Dari Tabel 2.2 dibawah ini dapat disimpulkan bahwasannya semakin bertambahnya

umur maka semakin berbeda pula kebutuhan gizi pada setiap fase itik peking

Tabel 2.2 Kebutuhan gizi itik Peking pada berbagai umur


2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap aktifitas

pertumbuhan ikan. Pakan memberikan energi untuk tubuh itik dan memacu

pertumbuhan serta mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pertumbuhan terjadi

apabila energi digunakan untuk metabolisme, pencernaan, dan aktivitas. Pertumbuhan

juga akan mengalami peningkatan dengan cara meningkatkan jumlah pemberian

pakan pada itik, sehingga dapat memberikan hasil pertumbuhan yang optimum.

Pemberian pakan tepat waktu dengan jumlah yang cukup akan mempercepat

pertumbuhan ikan. Apabila pemberian pakan terlalu berlebihan juga dapat

menurunkan efesiensi penggunaan pakan. Begitu juga sebaliknya, apabila pakan yang

diberikan kurang maka pertumbuhan itik juga kurang optimum (Pratiwi et al., 2011).

2.5 Kebutuhan Nutrisi dan jumlah pakan pada itik pecking fase starter

Bebek peking, sebagai salah satu alternatif pemenuhan kebutuhan protein hewani asal

unggas, dagingnya cukup digemari oleh masyarakat Indonesia. Secara genetik, bebek

peking merupakan sebuah keberhasilan peningkatan genetik dari bebek pedaging.

Dapat menghasilkan daging yang tinggi serta rendah lemak pada daging karkasnya.

Protein dan energi merupakan nutrisi utama yang dibutuhkan bebek dalam formulasi

pakan. Komponen protein dan energi menempati jajaran atas penyumbang biaya

formula pakan. Protein dan energi yang terkandung dalam pakan sangat berpengaruh
terhadap performa produksi maupun reproduksi. Fan et al. (2008) menyatakan bahwa

berdasarkan pertumbuhan performa, rekomendasi untuk kandungan energi 3000 kcal

AME/kg dengan protein 18%. Sementara itu, Xie et al. (2010) yang melakukan

penelitian menggunakan bebek peking putih jantan menyatakan kebutuhan energi dan

protein untuk bebek peking, yaitu sebesar 2900 kcal AME/kg dan 20,5%.

Kebutuhan Asam Amino

Sementara itu, kebutuhan asam amino yang diperlukan bagi pertumbuhan dibutuhkan

methionin sebesar 0,337%, dimana ini masih bisa ditingkatkan hingga 0,339% untuk

mendapatkan proporsi otot dada yang lebih baik. Peran methionin sangat berpengaruh

terhadap pembentukan jaringan otot. Lisin, sebagai asam amino pembatas lainnya,

dibutuhkan sebesar 1,06% untuk tiga minggu awal, lalu sebesar 1,02% dibutuhkan

untuk umur 3-7 minggu.

Selain asam amino, mineral juga sangat penting untuk pertumbuhan bebek peking.

Mineral Ca sangat diperlukan untuk pertumbuhan tulang maupun otot. Kebutuhan tiga

minggu pertama sebesar 0,806% Ca plus 0.403% non-phytate phosphorus dan 0,720%

Ca plus 0,37% non-phytate phosphorus untuk bebek umur 3-7 minggu. Kurangnya

mineral Ca dan fosfor bisa berdampak terhadap meningkatnya kejadian riketsia,

pertumbuhan lambat, rendahnya penggunaan pakan, dan mortalitas yang tinggi.

Kebutuhan Vitamin dalam Pakan

Kebutuhan lainnya, yaitu kandungan vitamin dalam pakan. Vitamin A (retinol) sangat

berperan terhadap pertumbuhan, reproduksi dan fungsi kekebalan tubuh. Pada bebek

peking, pemberian vitamin A sebanyak 2500 IU/kg dapat meningkatkan performa

produksi. Pemberian ini dapat dilakukan mulai dari DOD hingga umur 21 hari.
Berikutnya, vitamin D juga sangat dibutuhkan oleh bebek peking. Vitamin D berperan

dalam pembentukan tulang bekerjasama dengan Ca dan P.

Kekurangan vitamin D selain akan terganggungya pertumbuhan tulang juga akan

menyebabkan lambatnya perkembangan organ kekebalan tubuh, sehingga jumlah

makrofag yang dihasilkan akan sedikit dan tentunya bila ada serangan penyakit dari

luar, bebek akan mudah terserang. Kandungan vitamin D sebesar 1000 IU/kg di dalam

pakan dapat memenuhi kebutuhan bebek peking

2.6 Nutrisi dan Pemanfaatan Ikan Teri

Klasifikasi

Phylum : Chordata

Sub Phylum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub kelas : Teleostei


Ordo : Malacopterygii

Famili : Clopeidae

Sub Famili : Engraulidae

Genus : Stolephorus

Spesies : Stolephorus Insularis

Salah satu jenis ikan yang banyak digemari oleh masyarakat adalah ikan teri, jenis

ikan teri tersebut salah satunya adalah ikan teri jengki (Stolephorus sp.) yang

memiliki sumberdaya perikanan yang sangat berpotensi untuk perekonomian

masyarakat Indonesia (Sehabudin et al., 2017). Menurut Lestari et al. (2013), protein

pakan ikan sangat bertumpu pada tepung ikan. Tingginya jumlah impor dapat

menyebabkan harga tepung semakin mahal, sehingga menjadi salah satu kendala bagi

para pembudidaya. Oleh karena itu diperlukan alternatif lain untuk mengganti sumber

protein hewani yang tersedia setiap waktu, dengan harga yang murah dan kualitas

yang baik. Sumber bahan baku lainnya seperti ikan teri dan ikan rucah (Utomo et al.,

2013).

Tepung limbah ikan teri salah satu bahan baku pengganti tepung ikan yang belum

tergantikan, dengan kandungan protein yang tinggi dan diperoleh dengan harga yang

terjangkau. Berikut adalah kandungan nutrien ikan teri kering.

Berdasarkan uji proksimat, bahan baku yang diolah menjadi tepung limbah teri yang

dilakukan di Laboratorium Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung, memiliki

kandungan protein sebesar 54,4%, lemak 6,9%, kadar air 6,9%, kadar abu 11,2%,

serat kasar 13,9% dan karbohidrat 6,4% (Stefanny, 2010)

2.7 Formulasi Pakan Alternatif


Selain limbah ikan teri, bahan lainnya dapat digunakan sebagai bahan untuk

pembuatan pakan ikan peres adalah dedak padi, tepung kedelai, tepung terigu, dan

minyak jagung. Dedak padi yang memiliki kualitas tinggi biasanya memiliki tekstur

halus, tidak bau tengik, dan kadar sekamnya rendah (Bakri, 2017). Kandungan

karbohidrat pada dedak sebanyak 58-72%, lemak sebanyak, 2,52- 5,05%, protein

sebanyak 11-17% dan serat kasar mencapai 11% (Pernata, 2012). Menurut Rasyaf

(2011), dedak padi memiliki peranan yang cukup baik untuk digunakan sebagai bahan

baku campuran pakan unggas, yaitu sekitar 25-30% dari seluruh komponen pakan.

Karena dedak padi memiliki kandungan serat kasar yang dapat menurunkan produksi

serta kandungan asam fitrat yang terdapat pada dedak padi dapat mengikat beberapa

mineral yang ada dalam pakan (Lina et al., 2012).

Kedelai memiliki komposisi kandungan protein 35 % lebih tinggi dibanding dengan

jagung dan beras. Kedelai digunakan untuk keperluan lainnya seperti, bahan industi,

makanan ternak dan juga dikonsumsi oleh manusia sebagai bahan pangan. Selain itu

kedelai dapat dijadikan sebagai tepung dengan cara direbus, dikeringkan dan

dihaluskan hingga memberi tekstur yang halus (Trisnawati, 2015).

Komponen formulasi dalam pakan sebagai perekat sangat penting. Karena dapat

berfungsi sebagai penguat ikatan penyusun dari suatu pakan, sehingga pakan yang

terbentuk akan kuat dan tidak mudah hancur. Salah satu bahan perekat yang sering

digunakan untuk pembuatan pakan adalah tepung terigu. Selain harganya murah dan

mudah didapat, tepung terigu juga memiliki kualitas yang tinggi dari segi kandungan

nutrisinya, dengan kandungan amilopektin mencapai 38%, amilosa sebanyak 17%

serta mengandung karbohidrat yang cukup tinggi (Sari, 2016).

2.8 Uji Pakan


Pengujian pakan dilakukan dengan uji analisis proksimat, analisis proksimat

merupakan uji analisis nutrisi yang terkandung dalam pakan terdiri dari uji komposisi

protein, lemak, karbohidrat, kadar abu, dan kadar air. Analisis kadar protein dapat

dilakukan dengan menggunakan metode makro Kjedahl, uji kadar lemak

menggunakan metode Soxhlet, uji kadar air dan kadar abu menggunakan metode

Thermogravimetri, uji kadar serat dilakukan dengan menggunakan metode Soxhlet-

Gravimetri (Ofori et al., 2019).

Protein merupakan makromolekul yang tersusun terbentuk seperti rantai panjang

asam amino dan dihubungkan dengan ikatan peptida. Menurut Probosari (2019)

unsur-unsur asam amino terdiri dari oksigen, karbon, hidrogen, dan nitrogen. Menurut

SNI-8509-2018 kandungan protein yang baik untuk kebutuhan pakan hewan

peliharaan adalah >16.00%. Lemak adalah senyawa organik yang tidak dapat larut

dalam air, lemak yang baik menurut SNI-8509-2018 yaitu sebesar >2%. Analisis

terhadap kadar lemak memiliki tujuan untuk mengetahui daya simpan produk, karena

lemak berpengaruh terhadap perubahan mutu selama penyimpanan (Setyaji et al.,

2012).

Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi tubuh makhluk hidup, biasanya

karbohidrat banyak terdapat pada bahan pangan nabati seperti biji-bijian serealia dan

umbi-umbian (Thaha et al., 2018). Uji karbohidrat bertujuan untuk memecahkan

ikatan lignin. Kadar abu didefinisikan sebagai proses pembakaran organik berupa

senyawa anorganik dalam bentuk oksida, garam dan juga mineral. Uji kadar abu

dilakukan agar sisa pembakaran sempurna dari suatu bahan yang mengandung banyak

mineral tidak terbakar sehingga menjadi zat yang dapat menguap (Herman et al.,

2011). Kadar air sangat penting untuk pembuatan bahan pakan, karena air dapat

mempengaruhi wujud, citra rasa dan tekstur. Menurut Aventi (2015) kadar air dalam
bahan pakan menentukan daya tahan pakan dan kesegaran pakan tersebut.

Berdasarkan SNI-8509-2018 untuk kebutuhan kadar abu <14%, sedangkan kadar air

<12%.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2023. Tahap

pembuatan dan pengujian pakan dilakukan di Batang Kapas Kabupaten Pesisir

Selatan, Sumatera Barat.

3.2 Objek Penelitian

Itik yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berasal dari peternakan 3 saudara

yang berada di Jl. Prof. Dr. Hamka No.30, RT.01/RW.02, Napar, Kec.

Payakumbuh Utara, Kota Payakumbuh, Sumatera Barat.

3.3 Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian meliputi alat-alat pendukung formulasi

dan pencetakan pakan, alat uji proximat, alat pengukur kualitas air dan

pemeliharaan itik serta alat-alat pendukung preparasi dan pengamatan

histologi. Alat untuk pendukung formulasi yaitu, pencetak, oven, timbangan

analitik dan gelas ukur. Alat yang digunakan untuk uji proksimat yaitu,

pemanas, gelas piala 300 ml, labu ukur, kertas saring, soxtec, tanur listrik,

buret, destilator, aluminium cup lengkap dengan erlenmayer.

2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian meliputi bahan-bahan pendukung

formulasi, bahan uji proksimat, bahan pemeliharaan itik, dan bahan untuk

pengamatan histologi. Bahan formulasi yaitu, limbah kepala ikan teri jengki

tepung kedelai, dedak padi, tepung terigu, minyak ikan, dan vitamin mineral

premix. Bahan yang digunakan untuk uji proksimat yaitu aquades, asam

klorida (HCL), kalsium sulfat (K3SO4), magnesium sulfat (MgSO4), natrium


hidroksida (NaOH), asam benzoat (H3BO4), eter, benzena, metilen red, brom

kresol green dan aceton.

3.4 Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan

Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan pakan yang berbeda. Setiap perlakuan

diikuti oleh tiga kali ulangan. Perlakuan kontrol menggunakan pakan komersial

CPP888-2 (protein 28%, lemak 6%, dan kadar air 12%). Sementara itu perlakuan

P1, P2 dan P3 menggunakan tepung ikan teri dengan konsentrasi yang berbeda

masing masing yaitu 50 %, 35 % dan 20 % tepung ikan teri.

3.5 Uji Proksimat

Komposisi proksimat yang diuji dalam penelitian ini adalah protein, kadar lemak,

kadar abu, kadar air, dan karbohidrat. Protein diuji dengan menggunakan metode

makro Kjedahl. Metode makro Kjedahl terdiri dari proses destruksi, destilasi, dan

titrasi dengan menganalisis kandungan nitrogen yang terdapat dalam pakan,

kemudian hasil tersebut dikalikan dengan faktor koreksi 6,25 karena pada protein

terdapat sekitar 16% nitrogen (Ofori et al., 2019).

Menurut Ofori et al. (2019), untuk uji kadar lemak dilakukan dengan cara

ekstraksi menggunakan pelarut N-heksana sebanyak 250 ml. Uji kadar lemak

mengunakan metode Soxhlet dengan perhitungan:

% Lemak = Wf + U – (Wef x 100)/W

Keterangan: Wf = Berat cawan

U = Ekstrak lemak

Wef= Berat cawan kosong

W = Berat sampel yang diambil.

3.6 Prosedur Kerja


Pembuatan Pakan

Hasil samping olahan ikan teri jengki diperoleh dari Pasar Batang Kapas

Kabupaten Pesisisr Selatan,Sumatera Barat. Bahan tersebut kemudian dihaluskan

hingga menjadi tepung dan dicampurkan dengan berbagai komponen formulasi

pakan lainnya. Jenis dan persentase komponen pakan lain yang digunakan .

Adonan pakan yang terbentuk kemudian dicetak menyerupai pelet berukuran 1–2

mm menggunakan suntikkan sebagai alat pencetak.

DAFTAR PUSTAKA
Adéyèmi, A. D., Kayodé, A. P. P., Chabi, I. B., Odouaro, O. B. O., Nout, M. J., &

Linnemann,

A. R., (2020). Screening Local Feed Ingredients of Benin, West Africa, For Fish Feed

Formulation. Aquaculture Reports

Affandi, R., & U. M. Tang. (2017). Fisiologi Hewan Air. Intimedia, Malang.ISBN:

978-602-1507-54-4

Ali, M., Efendi, E., Noor, N. M., No, J. P. S. B., Gedongmeneng, B. L., & No, J.

S. H., (2018). Products Processing of Anchovies (Stolephorus sp.) and its Waste

Potential as Raw Material for Feed in Implementing Zero Waste Concept. Jurnal

Perikanan, 8(1) https://doi.org/10.29303/jp.v8i1.78.

Ali, M., L. Santoso & D. Fransisca, (2015). The Substitution of Fish Meal by Using

Anchovies Head Waste to Increase the Growth of Tilapia. Maspari, 7(1), pp.63-70.

https://core.ac.uk/download/pdf/267821958.pdf

Amer, S. A., Ahmed, S. A., Ibrahim, R. E., Al-Gabri, N. A., Osman, A., & Sitohy, M.,

(2020). Impact of Partial Substitution of Fish Meal by Methylated Soy Protein

Isolates on The Nutritional, Immunological, And Health Aspects of Nile Tilapia,

Oreochromis niloticus fingerlings. Aquaculture, 518.

Budi DS, Alimuddin, dan Suprayudi M.A., (2015). Growth Reesponse and Feed

Utilization of Giant Gourami (Osphronemus goramy) Juve-Nile Feeding Different

Protein Levels of the Diets Supplemented with Recombinant Growth Hormone.

Hayati Journal of Bio-science, 22(1), pp.12-19. ISSN: 2086-4094

https://doi.org/10.4308/hjb.22.1.12.
Eriani, K., Syahrin, A., & Muchlisin, Z.A., (2017). Effect of Temperature Shock on

The Triploidization Success of Seurukan Fish (Osteochilus vittatus). Biosaintifika:

Journal of Biology & Biology Education, 9(2), pp.298-303.

https://doi.org/10.15294/biosaintifika.v9i2.8680.

Anda mungkin juga menyukai