Anda di halaman 1dari 5

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau merupakan salah satu hasil perikanan pantai yang banyak disenangi masyarakat
karena rasa dagingnya yang enak, terutama daging kepiting yang sedang bertelur, serta kandungan
proteinnya yang tinggi (Kasry 1991). Bagian tubuh kepiting yang bisa dimakan mengandung 65,72%
protein, 7,5% mineral, dan 0,88% lemak. Bahkan, kandungan protein telurnya lebih tinggi yaitu
88,55%, mineral 3,2% dan lemak 8,16% (Soim 1994). Kemudian menurut Afrianto dan Liviawaty
(1992), setiap 100 gram daging kepiting mengandung protein sebesar 13,6 gram, lemak 3,8 gram,
hidrat arang 14,1 gram dan air sebanyak 68,1 gram.
Permintaan akan komoditas kepiting yang terus meningkat, baik di pasaran dalam maupun luar
negeri, sehingga menjadikan organisme ini termasuk salah satu komoditas andalan untuk ekspor
mendampingi komoditas udang windu (Bulanin dan Rusdi 2007). Namun, penangkapan di alam
semakin intensif pula, akibatnya terjadi penurunan populasi kepiting di alam. Oleh karena itu, perlu
dilakukan usaha pelestarian, dengan budidaya kepiting bakau di tambak.
Pakan merupakan unsur terpenting dalam proses budidaya yang dapat menunjang pertumbuhan
kepiting. Ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, berkesinambungan, memenuhi
syarat gizi, mudah dicerna dan disukai ikan merupakan faktor yang sangat penting dalam budidaya
ikan secara intensif (Mudjiman 2008). Penggunaan ikan-ikan rucah atau makanan segar dan segar-
beku lainnya yang belum mengalami proses untuk makanan kepiting telah banyak dilaporkan dan
umumnya digunakan pada budidaya kepiting di tambak (Herlinah et al. 2010). Penggunaan ikan
rucah dihadapkan pada masalah yang memerlukan penyimpanan khusus. Hasil dengan kandungan
bahan yang sesuai dapat menjadi sebuah alternatif. Salah satu bahan pakan alternatif sebagai bahan
pakan sumber protein hewani yang perlu diteliti adalah limbah kepiting bakau. 2
Cangkang kepiting merupakan limbah potensial yang kurang dimanfaatkan. Limbah kepiting dapat
dihasilkan dari budidaya kepiting cangkang lunak dan proses pembekuan kepiting. Pada budidaya
kepiting cangkang lunak seperti di Desa Mojo Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang Jawa
Tengah hasil produksi rata-rata 2000 kg/bulan/petak (Agus 2008). Kemudian menurut Harianingsih
(2010), produksi kepiting beku yang diekspor sebanyak 442,724 ton pada tahun 1993, dalam bentuk
tanpa kepala dan kulit. Sehingga limbah berupa kulit, ekor maupun kaki kepiting yang umumnya 25-
50% dari berat, sangat berlimpah. Meningkatnya limbah cangkang kepiting akan berdampak terhadap
pencemaran lingkungan apabila tidak ditangani. Pemanfaatan limbah cangkang kepiting merupakan
solusi dalam menanggulangi masalah pencemaran lingkungan dan salah satu upaya untuk
mengurangi volume limbah yang terus meningkat. Pengolahan limbah cangkang kepiting selain
meningkatkan pendapatan pabrik juga menekan biaya dan menghasilkan output limbah yang lebih
sedikit serta minim tingkat pencemaran dengan pengolahan ramah lingkungan. Hasil pengolahan
limbah perikanan seperti kepiting mempunyai nilai gizi, dimana mengandung kadar protein sebesar
37,9%, lemak 4,1%, BETN 8,9%, serat kasar 10,7%, abu 38,4%, dan air 4,2% (Millamena et al.
2002)
Penelitian tentang pemanfaatan cangkang kepiting untuk dijadikan bahan pakan diberikan pada
ternak contohnya ayam. Selain itu, cangkang kepiting juga sering digunakan pembudidaya ikan
untuk dijadikan pakan, tetapi dalam penggunaannya para pembudidaya hanya mencampur tepung
cangkang tanpa dilakukan perlakuan sebelumnya. Maka dari itu, dilakukan penelitian tentang
pemanfaatan cangkang kepiting dalam pakan buatan terhadap pertumbuhan kepiting bakau.
1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang dapat diidentifikasi adalah sejauh mana pengaruh
penambahan tepung cangkang kepiting dalam pakan buatan terhadap pertumbuhan kepiting bakau. 3
1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat penambahan tepung cangkang kepiting bakau dalam
pakan buatan yang dapat menghasilkan pertumbuhan tertinggi pada kepiting bakau.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi pakan alternatif yang dapat menekan
angka biaya produksi dan berguna bagi masyarakat serta mudah diaplikasikan yang dapat
memberikan pertumbuhan tertinggi pada kepiting bakau.
1.5 Kerangka Pemikiran

Salah satu masalah yang dihadapi dalam budidaya kepiting adalah kontinuitas suplai pakan segar dan
harga ikan sebagai pakan kepiting yang sangat fluktuatif. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian
pakan buatan. Upaya ini sudah dilakukan oleh para pembudidaya kepiting dengan menggunakan
pakan buatan untuk udang. Pakan buatan untuk udang selain harganya yang mahal umumnya
mempunyai stabilitas dalam air yang rendah sehingga mudah hancur dan terdispersi (Dwinhoven
2012), akibatnya pakan tidak dapat dipegang dan dikonsumsi oleh kepiting. Hal inilah yang memberi
dampak rendahnya efisiensi pakan dan pertumbuhan kepiting bakau (Aslamyah dan Fujaya 2009).
Kontribusi pakan dalam budi daya kepiting memerlukan biaya yang tinggi, sekitar 60% dari total
biaya produksi (Soim 1994). Tingginya biaya produksi dari pakan disebabkan antara lain harga pakan
yang mahal karena sebagian besar komponen utama dalam pakan kepiting masih diimpor. Selain itu,
ikan lebih mudah mencerna protein untuk memenuhi kebutuhan energinya daripada mencerna lemak
atau karbohidrat (Afrianto dan Liviawaty 2005). Dengan demikian, sumber energi yang utama adalah
protein, sumber energi kedua yang digunakan adalah lemak, sedangkan karbohidrat menjadi sumber
energi yang ketiga (Mudjiman 2008). Faktor lain yang menyebabkan tingginya biaya produksi ini
adalah penggunaan pakan yang memiliki kualitas rendah sehingga 4
menyebabkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting serta tingkat efisiensi pakan cukup
rendah (Dwinhoven 2012).
Pakan buatan adalah pakan yang kita ramu dari beberapa macam bahan, yang kemudian kita olah
menjadi bentuk khusus sebagai mana yang kita kehendaki (Mujiman 2008). Pemanfaatan limbah
sebagai bahan pakan kepiting merupakan suatu alternatif bijaksana dalam upaya memenuhi
kebutuhan nutrisi bagi kepiting. Dua aspek terkait dengan pemanfaatan limbah sebagai pakan
kepiting adalah ketersediaan bahan baku penyusun ransum dengan nilai ekonomis yang tinggi dan
membantu mengurangi pencemaran lingkungan (Dwinhoven 2012). Selain itu, pemanfaatan
cangkang kepiting sebagai salah satu bahan penyusun ransum pakan ikan dapat dilakukan,
disebabkan limbah tersebut mempunyai kandungan zat-zat makanan yang cukup tinggi, terutama
kandungan proteinnya, murah, dan tidak bersaing dengan bahan makanan manusia serta tersedia
secara kontinu. Disamping itu, cangkang kepiting juga mengandung serat kasar yang tinggi, yaitu
berupa kitin. Menurut Agusnar (2006) cangkang kepiting mengandung 15-35% kitin. Adanya kitin
ini mengakibatkan adanya keterbatasan atau faktor pembatas dalam penggunaan cangkang kepiting
untuk dijadikan bahan penyusun ransum pakan ikan jika digunakan secara langsung tanpa dilakukan
pengolahan.
Faktor pembatas berupa kitin yang terikat dalam serat kasar cangkang kepiting dapat dilakukan
dengan pengolahan terhadap cangkang tersebut. Menurut Palupi (2007) salah satu cara pengolahan
adalah dengan cara pengukusan selama 45 menit, dimana sebelum dilakukan pengukusan limbah
cangkang kepiting direndam terlebih dahulu dalam air abu sekam 10% selama 48 jam untuk
merenggangkan ikatan kitin pada limbah tersebut, kemudian setelah pengukusan dilanjutkan dengan
proses pengeringan serta proses penggilingan.
Kepiting bakau dewasa bersifat pemakan segala, termasuk pemakan bangkai, sedangkan larva
kepiting lebih bersifat pemakan plankton, khususnya larva tingkat awal (Kasry 1991). Menurut
Anderson et al. (2004) kemampuan kepiting mencerna serat dan semua bahan baku pakan sumber
nabati sangat tinggi, yaitu berkisar 94,4-96,1%. Hal ini mengindikasikan bahwa kepiting mempunyai
5
kapasitas untuk mencerna serat atau bahan baku pakan sumber nabati sebagai sumber energi,
sehingga memungkinkan untuk memproduksi pakan buatan yang lebih murah (Aslamyah dan Fujaya
2010).
Penelitian Herlinah et al. (2010) menyebutkan bahwa pemberian pakan pada pembesaran kepiting di
tambak dengan perlakuan pemberian pelet udang dengan kadar protein 27,43% dan ikan rucah segar
dengan kadar protein 26,31% memberikan pertumbuhan bobot yang lebih baik dibandingkan dengan
pelet saja. Kemudian menurut Aslamyah dan Fujaya (2010) menyebutkan bahwa pemberian pakan
dengan perlakuan pelet kadar protein 30,62% dan karbohidrat 49,13% serta diperkaya dengan
(0,4166 mg ekstrak bayam/g kepiting) dapat memberikan pertumbuhan terbaik pada kepiting, dimana
pada ransum pakannya menggunakan bahan baku tepung cangkang kepiting sebanyak 10%. Menurut
Serang (2005) pemberian pakan pada benih rajungan (Portunus pelagicus) dengan perlakuan pakan
dengan kadar protein 35% dan imbangan rasio energi protein 9,5 kkal DE/g memberikan
pertumbuhan yang terbaik. Kemudian menurut Karim (2005) bahwa kadar protein pakan 35%
meningkatkan laju pertumbuhan bobot harian, produksi biomassa, dan retensi nutrien tubuh (protein,
lemak, energi, kalsium, dan fosfor) kepiting bakau betina.
1.6 Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik hipotesis bahwa penggunaan tepung cangkang kepiting
sebanyak 10% dalam formulasi pakan dapat memberikan pertumbuhan yang terbaik bagi kepiting
bakau.

Anda mungkin juga menyukai