Anda di halaman 1dari 16

BIOKIMIA NUTRISI

“Kebutuhan Nutrisi Ayam Petelur”

Disusun oleh :

Kelas B

Kelompok 3

Chanigia Hikmat Ramadhan 200110160098

Shofiyya Aulia 200110160242


Wida Nur Aeni 200110180060

Iqbal... 200110160

Haifa farras izdihar 200110160155

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu usaha peternakan yang dapat menanggulangi kekurangan protein hewani

dengan cepat adalah usaha peternakan ayam petelur. Keberhasilan usaha peternakan ayam

petelur dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu bibit, pakan dan manajemen. Ayam ras

sudah sejak lama dikenal dalam masyarakat dan diusahakan sebagai usaha sampingan

maupun usaha peternakan (Susilorini et al, 2009). Ayam ras mempunyai potensi besar dalam

usaha peternakan karena memiliki sifat-sifat dan kemampuan yang menguntungkan yaitu :

telur mempunyai nilai gizi dan rasa yang lezat, ayam ras dapat memproduksi telur sekitar 250

– 300 butir pertahun.

Kendala utama dalam peternakan ayam ras adalah tingginya biaya untuk ransum.

Biaya untuk ransum dapat mencapai 75% dari total biaya produksi. Harga ransum di

Indonesia termasuk mahal karena sebagian besar bahan masih impor, seperti misalnya

jagung, bungkil kedelai, dan tepung ikan. Oleh karena itu ransum perlu mendapatkan

perhatian secara khusus, terutama kualitasnya. Ransum harus sesuai dengan kebutuhan ternak

berdasarkan periode pemeliharaan atau tujuan produksi , untuk meningkatkan keuntungan

ekonomis.
1.2. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana kebutuhan pakan ayam ras petelur pada fase starter?

2. Bagaimana kebutuhan pakan ayam ras petelur pada fase grower?

3. Bagaimana kebutuhan pakan ayam ras petelur pada fase layer?

1.3. Maksud dan Tujuan

1. Mengetahui kebutuhan pakan ayam ras petelur pada fase starter.


2. Mengetahui kebutuhan pakan ayam ras petelur pada fase grower.
3. Mengetahui
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebutuhan Pakan Ayam Ras Petelur Fase Starter

Ayam dan jenis unggas lainnya membutuhkan sejumlah nutrisi yang lengkap untuk

menunjang hidupnya, untuk pertumbuhan dan untuk berproduksi. Pemberian pakan pada

ayam ras broiler dibagi atas 2 fase yaitu fase starter (umur 0-4 minggu) dan fase finisher

(umur 4-6 minggu). Hal inilah yang kemudian menarik untuk dikaji mengenai bagaimana

kebutuhan nutrisi pada ayam broiler baik pada fase starter maupun finisher, oleh karena itu
penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang pertanyaan tersebut dalam makalah ini.

Semoga makalah ini dapat menjadi jawaban dan memberikan pemahaman terkait pertanyaan yang

dikaji. Kualitas dan kuantitas pakan fase starter adalah sebagai berikut:

Kualitas atau kandungan zat gizi pakan terdiri dari :

 protein 22-24%,

 lemak 2,5%,

 serat kasar 4%,


 Kalsium (Ca) 1%,

 Phospor (P) 0,7-0,9%,

 ME 2800-3500 Kcal.

Kuantitas pakan terbagi/digolongkan menjadi 4 (empat) golongan yaitu :

minggu pertama (umur 1-7 hari) 17 gram/hari/ekor;

minggu kedua (umur 8-14 hari) 43 gram/hari/ekor;

minggu ke-3 (umur 15-21 hari) 66 gram/hari/ekor dan

minggu ke-4 (umur 22-29 hari) 91gram/hari/ekor.

Jadi jumlah pakan yang dibutuhkan tiap ekor sampai pada umur 4 minggu sebesar 1.520

gram.
2.1.1 Kebutuhan Nutrisi Ayam Broiler

Ransum diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, mengganti jaringan

yang rusak dan untuk pertumbuhan (Rasyaf, 1993). Konsumsi ransum ayam pedaging

tergantung pada kandungan energi ransum, strain, umur, aktivitas, serta temperatur

lingkungan (Wahju, 1992). Menurut Anggorodi (1985) nutrien yang harus ada dalam ransum

adalah energi, protein, lemak, kalsium, fosfor, dan air.

1. Energi

Energi adalah sumber tenaga untuk aktivitas dan proses produksi dalam tubuh ternak

(Anggorodi, 1985). Ayam tidak mampu mencerna selulosa, hemiselulosa atau lignin. Oleh
karena itu kebutuhan energi harus dipenuhi dari polisakarida yang dapat dicerna (pati),

disakarida (sukrosa dan maltosa), monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa), lemak dan

protein (Wahju, 1997). Suprijatna et al. (2005) menyatakan penentuan kebutuhan energi pada

ternak unggas menggunakan nilai energi metabolis. Nilai energi metabolis ini sudah

memenuhi kebutuhan energi untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi.

Rasyaf (1995) standar energi ransum ayam pedaging untuk periode starter adalah

2800-3200 kkal/kg dan untuk periode akhir atau finisher energi metabolisme sebesar 2800-
3300 kkal/kg. Kandungan energi dalam ransum harus sesuai dengan kebutuhan. Kelebihan

energi dalam ransum akan menurunkan konsumsi, sehingga timbul defisiensi protein, asam-

asam amino, mineral dan vitamin. Apabila ternak kekurangan energi, maka cadangan energi

dalam tubuh akan digunakan. Pertama glikogen yang disimpan dalam tubuh akan dibongkar,

selanjutnya cadangan lemak akan dihabiskan. Apabila masih kurang maka protein digunakan

untuk mempertahankan kadar gula darah dan untuk membantu fungsi-fungsi vital lainnya

(Wahju, 1997).

2. Protein

Protein merupakan persenyawaan organik yang mengandung unsur-unsur karbon,

hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa fungsi dari
protein adalah untuk memproduksi enzim-enzim tertentu, hormon, dan antibodi. Rasyaf
(1995) menyatakan bahwa standar protein untuk periode starter adalah 18-23 % dan periode

finisher adalah 18-22%. Ayam yang lebih tua membutuhkan protein yang lebih rendah

dibandingkan dengan ayam yang muda. Masa awal ransum harus mengandung protein yang

lebih tinggi dibandingkan dengan ransum masa pertumbuhan dan masa akhir (Amrullah,

2003).

3. Serat Kasar

Berdasarkan analisis proksimat, karbohidrat dibagi menjadi dua komponen yaitu serat

kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Anggorodi, 1985). Penggunaan serat kasar dalam

ransum ayam perlu dibatasi karena makin tinggi kandungan serat kasar maka makin rendah
daya cernanya (Soelistyono, 1976). Siregar (1970) yang menyatakan bahwa penggunaan serat

kasar dalam ransum ayam adalah sebesar 5%. Anggorodi (1994) menambahkan bahwa

kesanggupan ternak dalam mencerna serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang

dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula dari mikroorganisme yang terdapat dalam

alat pencernaan.

4. Mineral

Ransum ternak unggas perlu mengandung kalsium dan fosfor. Menurut Wahju (1997)
ransum ternak unggas perlu mengandung mineral dalam jumlah yang cukup terutama kalsium

dan fosfor, karena 70%-80% mineral tubuh terdiri dari kalsium dan fosfor. Kalsium dan

fosfor berfungsi di dalam pembentukan tulang, komponen asam nukleat, keseimbangan asam-

basa, koordinasi otot, metabolisme jaringan syaraf, dan terlibat dalam metabolisme

karbohidrat, lemak dan protein (Rizal, 2006). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebutuhan anak

ayam (starter) akan kalsium (Ca) adalah 1% dan ayam sedang tumbuh adalah 0,6%,

sedangkan kebutuhan ayam akan fosfor (P) bervariasi dari 0,2-0,45%.

Rasyaf (1994) menyatakan bahwa bahan makanan memang sumber pertama kebutuhan

nutrisi broiler untuk keperluan hidup pokok dan produksinya. Sayang tidak ada bahan makanan

yang sempurna, satu bahan mengandung semua nutrisi. Disinilah dasar penggunaan bahan
makanan dengan sistem kombinasi bahan makanan dengan memanfaatkan kelebihan setiap
bahan dan menekan kekurangan bahan-bahan yang dikehendaki.

Tujuan pemberian ransum pada ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok

dan berproduksi. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas

maupun kuantitas. Ransum broiler harus seimbang antara kandungan protein dengan energi

dalam ransum. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan.

Sesuai dengan tujuan pemeliharannya yaitu memproduksi daging sebanyak-banyaknya dalam

waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad-libitum) (Kartadisastra, 1994).

Ransum untuk ayam broiler dibedakan menjadi dua yaitu ransum untuk periode starter

dan ransum untuk periode finisher (Rasyaf, 1993). Menurut Harto (1987) pemberian ransum
pada ternak yang masih berumur sehari atau DOC diletakkan dikertas atau tempat pakan dari

nampan yang kecil. Setelah ayam berumur diatas 1 minggu, tempat pakan harus diganti dengan

tempat pakan khusus yang digantung.

Fadilah (2004) menyatakan bahwa pemberian ransum dilakukan secara adlibitum

dengan pemberian ransum berbentuk: tepung pada periode starter, butiran pecah pada periode

finisher dan terkadang diberikan ransum yang berbentuk pellet. Pemberian ransum bertujuan

menjamin pertambahan bobot badan dan produksi daging. Jenis bahan ransum dan kandungan
gizinya harus diketahui untuk mendapatkan formula ransum yang tepat (Sudaro dan Siriwa,

2007). Alamsyah (2005) menyatakan bahwa pemberian ransum pada ternak disesuaikan

dengan umur, kesukaan terhadap ransum, dan jenis ransum. Ransum untuk ayam yang belum

berumur atau DOC diberikan dalam bentuk all mash. Hal ini bertujuan untuk mempermudah

pencernaan ransum di dalam saluran pencernaan DOC.

Pemberian air minum dilakukan secara terus-menerus atau adlibitum dengan tujuan agar

ayam tidak mengalami dehidrasi sehingga produksi daging dapat optimal. Williamson dan

Payne (1993) menyatakan bahwa air harus selalu tersedia dan sangat baik disediakan dari kran-

kran otomatis. Konsumsi air pada ayam biasanya dua kali lebih banyak dibanding dengan

konsumsi makanannya. Ayam akan mampu hidup lebih lama tanpa makanan dibanding tanpa
air (Rizal, 2006).
Tabel 1. Kebutuhan zat makanan broiler fase starer dan fase finisher

Zat Nutrisi Starter Finisher

Protein Kasar (%) 23 20

Lemak Kasar (%) 4-5 3-4

Serat Kasar (%) 3-5 3-5

Kalsium (%) 1 0,9

Pospor (%) 0,45 0,4

EM (Kkal/kg) 3200 3200

Lisin (%) 1.2 1.0


Metionin (%) 0.50 0.38

Sumber : NRC (1984)

Rasyaf (1997) menyatakan bahwa ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk

memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti

zat makanan itu tidak berlebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan haruslah

mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Tujuan utama pemberian

ransum kepada ayam untuk menjamin pertambahan berat badan yang paling ekonomis selama

pertumbuhan (Anggorodi, 1985).

Bahan-bahan makanan yang biasa dipergunakan dalam ransum unggas di Indonesia

adalah: (1) jagung kuning; (2) dedak halus; (3) bungkil kelapa; (4) bungkil kacang tanah; (5)

bungkil kacang kedelai; (6) tepung ikan; (7) bahan-bahan makanan berupa butir-butiran atau

kacang-kacangan dan hasil ikutan pabrik hasil pertanian lainnya, dan daun-daunan sebangsa

leguminosa (Wahyu, 1992).

Protein merupakan salah satu unsur yang penting bagi pertumbuhan anak broiler. Kebutuhan

protein masa awal untuk anak ayam broiler di daerah tropis sebesar 23%, sedangkan untuk

masa akhir sebesar 20-21% (Rayaf, 2000). Sintesis protein jaringan tubuh dan telur

memerlukan asam amino esensial. Defisiensi asam amino esensial di dalam pakan
menyebabkan pembentukan protein jaringan dan tubuh terhambat atau tidak terbentuk. Asam
amino esensial yang sulit terpenuhi kandungannya di dalam pakan seperti Sistin, Lisin dan

Triptofan disebut sebagai asam amino kritis (Suprijatna et al., 2005).

2.2 Kebutuhan Pakan Ayam Ras Petelur Fase Grower

Pemeliharaan pada periode grower atau developer sebenarnya hampir tidak berbeda.

Periode grower adalah pada saat anak ayam berumur 9—13 minggu sedangkan developer

pada saat umur 14—20 minggu. Pemeliharaan keduafase ini dibedakan dari nutrisi pakan

yang diberikan, yaitu protein fase developer lebih rendah 1%. Akan tetapi, akhirakhir ini

peternak cenderung tidak membedakan pakan kedua fase ini dan tetap meneruskan pemberian

pakan grower ke periode developer. Nutrien yang diperlukan ayam pada dasarnya digunakan

untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur (Cahyono, 2007). Zat-zat kebutuhan

nutrisi ayam terdiri beberapa zat gizi diantaranya protein, energi, lemak, vitamin dan mineral

(Rasyaf, 2009). Zat-zat nutrien dari pakan yang dicerna digunakan untuk sejumlah proses

didalam tubuh ternak, penggunaannya bervariasi tergantung spesies, umur dan produktivitas

ternak. Untuk mencapai pertumbuhan dan produksi maksimal maka zat nutrisi yang

terkandung didalam pakan yang dikonsumsi harus memadai (Suprijatna, 2005). Ransum fase

grower untuk ayam pembibit mengandung energi metabolisme 2.900 kkal/kg dengan protein

15% dan juga memperhatikan keseimbangan asam-asam aminonya (Kartasudjana dan

Suprijatna, 2010). Sudaryani dan Santosa (2003) bahwa kebutuhan nutrisi ayam pembibit

periode bertelur membutuhkan pakan dengan kandungan protein 15,5 - 16% dengan energi

metabolisme sekitar ±2800 kkal/kg.

Kebutuhan protein untuk ayam petelur berumur 6 – 12 minggu dan turun lagi

menjadi 15% untuk ayam petelur berumur 12 – 18 minggu, kemudian naik menjadi 17%

dengan minimum 16% pada umur > 18 minggu atau pada saat ayam telah mulai bertelur.

Pola kenaikan kebutuhan protein ini juga sama dengan kenaikan kebutuhan, lisin, metionin,

asam amino metionin dan sistin, kalsium (Ca), fosfor (P) tersedia dan P total karena

kebutuhan semua nutrisi tersebut meningkat begitu ayam mulai bertelur. Sebaliknya,
kebutuhan energi praktis sama yaitu berkisar dari 2850 – 2900 kkal EM/kg pakan untuk

seluruh umur. Seperti halnya pada kebutuhan gizi ayam pedaging, kebutuhan protein dan

asam amino ayam petelur anjuran SNI (2008) pada umumnya lebih rendah dibandingkan

dengan NRC (1994).

Disamping SNI (2008) menggunakan nilai minimum, NRC (1994) mencantumkan

kebutuhan gizi sesuai konsumsi pakan ayam petelur. Dengan demikian, tingkat konsumsi

pakan menentukan persentase gizi dalam pakan. Persentase gizi dalam pakan menurun pada
ayam petelur yang tingkat konsumsinya naik. Sebagai contoh: kebutuhan asam amino lisin

ayam petelur pada tingkat konsumsi pakan 80 g/ekor/hari = 0,86% dan turun menjadi 0,69%

pada tingkat konsumsi pakan sebanyak 100 g/ekor/hari. Jika dihitung kebutuhan lisin dalam

unit g/ekor/hari, maka nilai kedua tingkat persentase lisin yang berbeda di atas persis sama

yaitu0,69 g lisin/ekor/hari (0,86/100 x 80 = 0,69/100 x 100 = 0,69). Kandungan protein pakan

dapat diturunkan sekitar 10% dari rekomendasi NRC (1994) dengan menggunakan asam

amino sintetis yang tingkat kecernaannya lebih tinggi dari asam amino dalam pakan. Tingkat

protein dalam pakan sebaiknya “cukup”, karena kelebihan kandungan protein dan asam

amino dalam pakan unggas menyebabkan harga pakan naik dan juga mengakibatkan polusi

lingkungan.
2.3 Kebutuhan Pakan Ayam Ras Petelur Fase Layer

Fase layer merupakan masa produktif ayam petelur, yakni umur sekitar 20

minggu hingga afkir (90-100 minggu) (Guntoro, 2018). Kebutuhan nutrisi ayam ras

petelur fase layer dapat dilihat pada Tabel 1. Jika energi pakan saat fase layer terlalu

rendah, komsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan

menurun (Harms et al., 2000). Sebaliknya jika energi pakan meningkat akan terjadi

penurunan komsumsi pakan. Jumlah pakan yang diberikan pada ayam ras petelur fase
layer yakni sebanyak 120/g/ekor/hari.

Tabel 1. Persyaratan Mutu Pakan Ayam Ras Petelur Fase Layer


No. Parameter Satuan Persyaratan
1. Kadar air % Maks. 14,0
2. Protein kasar % Min. 16,0
3. Lemak kasar % Maks. 7,0
4. Serat kasar % Maks. 7,0
5. Abu % Maks. 14,0
6. Kalsium (Ca) % 3,25-4,25
7. Fosfor (P) total % 0,60-1,00
8. Fosfor tersedia % Min. 0,32
9. Energi metabolisme Kkal Min. 2650
10. Total aflatoksin μg/kg Maks. 50,0
11. Asam amino :
Lisin % Min. 0,80
Metionin % Min. 0,35
Metionin + sistin % Min. 0,60

Sumber : Badan Standarisasi Nasional Indonesia, 2006 (SNI 01-3929-2006).

Berdasarkan mutu pakan ayam ras petelur fase layer dari Badan Standarisasi

Nasional Indonesia bahwa bahan baku pakan harus bebas dari residu dan zat kimia

yang membahayakan seperti peptisida dan bahan lain yang tidak diinginkan. Bahan
baku pakan ini menjamin kesehatan masyarakat konsumen hasil peternakan. Didalam

tubuh ayam, nutrisi yang diperlukan mengalami proses penguraian agar mudah

diserap dan digunakan tubuh untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi.

Protein pada ransum berfungsi terutama dalam pertumbuhan, produksi dan

reproduksi. Serat kasar berfungsi untuk merangsang gerak peristaltik saluran

pencernaan, sebagai media mikroba pada usus buntu yang akan menghasilkan vitamin

K dan B12 dan memberikan rasa kenyang. Lemak berfungsi sebagai penghasil energi,

penambah citarasa, mengandung asam lemak essensial yang berperan untuk

pertumbuhan dan produksi, mengandung vitamin utamanya A, D, E dan K


(Kartadisastra, 1994). Ransum untuk ternak membutuhkan lemak dalam jumlah cukup

seperti asam lemak linoleik dan arakhidonik karena tubuh unggas tidak memproduksi

(Murtidjo, 1987). Ransum unggas setidaknya terdapat mineral anorganik dalam

jumlah yang cukup karena unggas tidak dapat membuat mineral. Mineral berfungsi

sebagai pembentuk tulang dan kerabang, bagian dari enzim dan hormon, pengatur

tekanan osmosa darah, pengatur produksi telur dan transportasi energi (Kartadisastra,

1994). Anggorodi (1995) menyatakan bahwa mineral memiliki fungsi utama yaitu
membentuk bagian kerangka dan paruh, mempertahankan keseimbangan asam dan

basa, serta menjaga pertumbuhan secara normal. Kebutuhan mineral ayam petelur

strain Lohmann Brown ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kebutuhan Mineral Ayam Petelur Lohmann Brown


No Parameter Satuan Kebutuhan
1. Calcium (Ca) % 2,5-5,5
2. Phosphor (P) % 0,5
3. NaCl % 0,4
4. Yodium (mg) % 0,5
Sumber : Sudarmono (2003).

Lemak serta kandungn nutrisi lain dalam telur bersumber dari nutrisi dalam
ransum yang dikonsumsi oleh ayam. Komposisi lemak yang ada dalam telur, sebagai
gambaran jumlah lemak dalam ransum sekaligus gambaran konsumsi lemak oleh

ayam. Lemak dalam pakan ternak setelah metabolisme dapat disimpan dalam kuning

telur sebelum sel adiposa. Komposisi kimiawi lemak, komposisi lemak telur pada

bagian yang dapat dikonsumsi dan kandungan zat gizi pada telur ayam ditampilkan

pada Tabel 3.,Tabel 4., dan Tabel 5.

Tabel 3. Komposisi Kimiawi Telur


Komponen Telur Utuh Telur Putih Kuning Telur Kerabang
(100%) (58%) (31%)
Air (%) 65,5 88 48 -
Protein(%) 11,8 11 17,5 -
Lemak (%) 11 0,2 32,5 -
Abu (%) 11,7 0,8 2 96
Total (%) 100 100 100 96
Sumber : Fadilah dan Fatkhuroji (2013)

Tabel 4. Komposisi Lemak Telur pada Bagian yang dapat dikonsumsi (per 100
gram)
Asam Lemak Satuan Telur Utuh Kuning Telur
Jenuh (total) Gram 3,100 9,554
Tidak jenuh tunggal (total) Gram 3,810 11,741
Tidak jenuh ganda (total) Gram 1,364 4,205
Kolesterol Gram 0,426 1,283
Lecithin Gram 2,300 6,687
Cephalin Gram 0,460 1,319
Sumber : Wirakusumah (2005)

Tabel 5. Kandungan Zat Gizi Telur Ayam (per 100 gram)


Zat Gizi Telur Utuh
Energi (Kal) 162
Protein (g) 12,8
Lemak (g) 11,5
Karbohidrat (g) 0,7
Kalsium (mg) 54,0
Fosfor (mg) 180,0
Besi (mg) 2,7
Vitamin A (RE) 309,0
Vitamin C (mg) 0
Vitamin B1 (mg) 1,10
Sumber : Wirakusumah (2005)
Komposisi asam lemak dalam kuning telur dipengaruhi oleh komposisi asam

lemak dalam ransum. Asam lemak dalam ransum yang banyak mengandung asam

lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal atau asam lemak omega-3

maka dalam kuning telur ditemukan banyak asam lemak tersebut. Mangisah et al.

(2002) menyatakan bahwa diet asam lemak akan diserap oleh hewan monogastrik dan

didepositkan ke jaringan tubuhnya tanpa ada perubahan yang signifikan Beberapa

penelitian dengan menggunakan bahan pakan mengandung asam lemak tak jenuh

seperi minyak ikan lemuru dan minyak jagung menunjukkan bahwa penggunan

penggunaan kedua bahan pakan tersebut sebanyak 6% dalam ransum lebih efisien
penggunaan minyak ikan. Penggunaan minyak sawit dalam ransum sebanyak 6%

menghasilkan asam lemak linolenat sebanyak 0,42 mg/g, DHA 3,75 mg/g, dan EPA

0,15 mg/g, dan asam lemak linoleat sebanyak 33,79 mg/g. Penggunaan minyak ikan

sebanyak 6% lebih efisien dengan kandunganasam lemak linolenat sebanyak 0,96

mg/g, DHA 11,47 mg/g, EPA 1,41 mg/g dan asam lemak linoleat sebanyak 25,62

mg/g.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kuantitas pakan ayam ras petelur pada fase starter terdapat 4 golongan yaitu minggu

pertama (umur 1-7 hari) 17 gram/hari/ekor, minggu kedua (umur 8-14 hari) 43

gram/hari/ekor, minggu ke-3 (umur 15-21 hari) 66 gram/hari/ekor dan minggu ke-4

(umur 22-29 hari) 91gram/hari/ekor.

2. Jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah, komsumsi pakan lebih banyak
sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan menurun. Sebaliknya jika energi pakan

meningkat akan terjadi penurunan komsumsi pakan. Jumlah pakan yang diberikan

pada ayam ras petelur fase layer yakni sebanyak 120/g/ekor/hari.


DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.

Anggorodi, H.R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutakhir dalam Ilmu Makanan Ternak Unggas. P. T.


Gramedia, Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-3929-2006. Pakan Ayam Petelur (Layer). Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta
Fadilah, R. 2004. Ayam Broiler Komersial. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Fadilah, R., Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur. AgroMedia
Pustaka. Jakarta

Guntoro,S. 2018. Membuat Pakan Ternak & Unggas dari Limbah Peternakan. Agromedia.
Jakarta

Harms, R. H., V. Olivero and G. B. Russel. 2000. A. Comparison of performance and energy
intake of commercial layer based on body weight or egg weight. J. Appl. Poultry Res.
9:179-184.

Kartadisastra, H. R., 1994. Pengelolaan Pakan Ayam. Kanisius, Yogyakarta.

Kartadisastra, H.R. 1994. Pengelolaan Pakan Ayam. Kanisus. Yogyakarta

Kartasujana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya,


Jakarta.

Mangisah, Istna, dkk. 2002. Evaluasi Nilai Nutrisi Tepung PUPA Ulat Suter dan Pengaruh
Penggunaannya dalam Ransum Ayam Petelur terhadap Performan Produksi. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro. Semarang

Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta.


Murtidjo, B. A. 1987. Pedoman Meramu Pakan Unggas. Kanisius. Yogyakarta

N.R.C; 1984. Nutrient Requirement of poultry. 8 th Ed. National Academy of Science.

Nuroso, 2009. Panen Ayam Pedaging dengan Produksi 2x Lipat. Penebar Swadaya, Jakarta.

Rasyaf, M. 1994. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya, Bogor.


Rasyaf, M. 1996. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius.Yogyakarta.
Saragih, B. 2000. Agribisnis Berbasis Peternakan. Pustaka Wirausaha Muda. PT. Loji
Grafika Griya Sarana, Bogor

Siregar, A.P., dan M. Sabrani. 1970. Teknik Modern Beternak Ayam. C.V. Yasaguna, Jakarta.
Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Penerbit Kanisus. Jakarta

Suprijatna, E., U. Atmomarsono., dan R, Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Wirakusumah, E.S. 2005. Menikmati Telur Bergizi, Lezat dan Ekonomis. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai