Disusun oleh :
Kelas B
Kelompok 3
Iqbal... 200110160
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu usaha peternakan yang dapat menanggulangi kekurangan protein hewani
dengan cepat adalah usaha peternakan ayam petelur. Keberhasilan usaha peternakan ayam
petelur dipengaruhi oleh tiga faktor penting, yaitu bibit, pakan dan manajemen. Ayam ras
sudah sejak lama dikenal dalam masyarakat dan diusahakan sebagai usaha sampingan
maupun usaha peternakan (Susilorini et al, 2009). Ayam ras mempunyai potensi besar dalam
usaha peternakan karena memiliki sifat-sifat dan kemampuan yang menguntungkan yaitu :
telur mempunyai nilai gizi dan rasa yang lezat, ayam ras dapat memproduksi telur sekitar 250
Kendala utama dalam peternakan ayam ras adalah tingginya biaya untuk ransum.
Biaya untuk ransum dapat mencapai 75% dari total biaya produksi. Harga ransum di
Indonesia termasuk mahal karena sebagian besar bahan masih impor, seperti misalnya
jagung, bungkil kedelai, dan tepung ikan. Oleh karena itu ransum perlu mendapatkan
perhatian secara khusus, terutama kualitasnya. Ransum harus sesuai dengan kebutuhan ternak
ekonomis.
1.2. Identifikasi Masalah
PEMBAHASAN
Ayam dan jenis unggas lainnya membutuhkan sejumlah nutrisi yang lengkap untuk
menunjang hidupnya, untuk pertumbuhan dan untuk berproduksi. Pemberian pakan pada
ayam ras broiler dibagi atas 2 fase yaitu fase starter (umur 0-4 minggu) dan fase finisher
(umur 4-6 minggu). Hal inilah yang kemudian menarik untuk dikaji mengenai bagaimana
kebutuhan nutrisi pada ayam broiler baik pada fase starter maupun finisher, oleh karena itu
penulis berusaha untuk memberikan pemahaman tentang pertanyaan tersebut dalam makalah ini.
Semoga makalah ini dapat menjadi jawaban dan memberikan pemahaman terkait pertanyaan yang
dikaji. Kualitas dan kuantitas pakan fase starter adalah sebagai berikut:
protein 22-24%,
lemak 2,5%,
ME 2800-3500 Kcal.
Jadi jumlah pakan yang dibutuhkan tiap ekor sampai pada umur 4 minggu sebesar 1.520
gram.
2.1.1 Kebutuhan Nutrisi Ayam Broiler
yang rusak dan untuk pertumbuhan (Rasyaf, 1993). Konsumsi ransum ayam pedaging
tergantung pada kandungan energi ransum, strain, umur, aktivitas, serta temperatur
lingkungan (Wahju, 1992). Menurut Anggorodi (1985) nutrien yang harus ada dalam ransum
1. Energi
Energi adalah sumber tenaga untuk aktivitas dan proses produksi dalam tubuh ternak
(Anggorodi, 1985). Ayam tidak mampu mencerna selulosa, hemiselulosa atau lignin. Oleh
karena itu kebutuhan energi harus dipenuhi dari polisakarida yang dapat dicerna (pati),
disakarida (sukrosa dan maltosa), monosakarida (glukosa, galaktosa, fruktosa), lemak dan
protein (Wahju, 1997). Suprijatna et al. (2005) menyatakan penentuan kebutuhan energi pada
ternak unggas menggunakan nilai energi metabolis. Nilai energi metabolis ini sudah
Rasyaf (1995) standar energi ransum ayam pedaging untuk periode starter adalah
2800-3200 kkal/kg dan untuk periode akhir atau finisher energi metabolisme sebesar 2800-
3300 kkal/kg. Kandungan energi dalam ransum harus sesuai dengan kebutuhan. Kelebihan
energi dalam ransum akan menurunkan konsumsi, sehingga timbul defisiensi protein, asam-
asam amino, mineral dan vitamin. Apabila ternak kekurangan energi, maka cadangan energi
dalam tubuh akan digunakan. Pertama glikogen yang disimpan dalam tubuh akan dibongkar,
selanjutnya cadangan lemak akan dihabiskan. Apabila masih kurang maka protein digunakan
untuk mempertahankan kadar gula darah dan untuk membantu fungsi-fungsi vital lainnya
(Wahju, 1997).
2. Protein
hidrogen, oksigen, dan nitrogen. Siregar dan Sabrani (1970) menyatakan bahwa fungsi dari
protein adalah untuk memproduksi enzim-enzim tertentu, hormon, dan antibodi. Rasyaf
(1995) menyatakan bahwa standar protein untuk periode starter adalah 18-23 % dan periode
finisher adalah 18-22%. Ayam yang lebih tua membutuhkan protein yang lebih rendah
dibandingkan dengan ayam yang muda. Masa awal ransum harus mengandung protein yang
lebih tinggi dibandingkan dengan ransum masa pertumbuhan dan masa akhir (Amrullah,
2003).
3. Serat Kasar
Berdasarkan analisis proksimat, karbohidrat dibagi menjadi dua komponen yaitu serat
kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Anggorodi, 1985). Penggunaan serat kasar dalam
ransum ayam perlu dibatasi karena makin tinggi kandungan serat kasar maka makin rendah
daya cernanya (Soelistyono, 1976). Siregar (1970) yang menyatakan bahwa penggunaan serat
kasar dalam ransum ayam adalah sebesar 5%. Anggorodi (1994) menambahkan bahwa
kesanggupan ternak dalam mencerna serat kasar tergantung dari jenis alat pencernaan yang
dimiliki oleh ternak tersebut dan tergantung pula dari mikroorganisme yang terdapat dalam
alat pencernaan.
4. Mineral
Ransum ternak unggas perlu mengandung kalsium dan fosfor. Menurut Wahju (1997)
ransum ternak unggas perlu mengandung mineral dalam jumlah yang cukup terutama kalsium
dan fosfor, karena 70%-80% mineral tubuh terdiri dari kalsium dan fosfor. Kalsium dan
fosfor berfungsi di dalam pembentukan tulang, komponen asam nukleat, keseimbangan asam-
basa, koordinasi otot, metabolisme jaringan syaraf, dan terlibat dalam metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein (Rizal, 2006). Dijelaskan lebih lanjut bahwa kebutuhan anak
ayam (starter) akan kalsium (Ca) adalah 1% dan ayam sedang tumbuh adalah 0,6%,
Rasyaf (1994) menyatakan bahwa bahan makanan memang sumber pertama kebutuhan
nutrisi broiler untuk keperluan hidup pokok dan produksinya. Sayang tidak ada bahan makanan
yang sempurna, satu bahan mengandung semua nutrisi. Disinilah dasar penggunaan bahan
makanan dengan sistem kombinasi bahan makanan dengan memanfaatkan kelebihan setiap
bahan dan menekan kekurangan bahan-bahan yang dikehendaki.
Tujuan pemberian ransum pada ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok
dan berproduksi. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas
maupun kuantitas. Ransum broiler harus seimbang antara kandungan protein dengan energi
dalam ransum. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan.
waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad-libitum) (Kartadisastra, 1994).
Ransum untuk ayam broiler dibedakan menjadi dua yaitu ransum untuk periode starter
dan ransum untuk periode finisher (Rasyaf, 1993). Menurut Harto (1987) pemberian ransum
pada ternak yang masih berumur sehari atau DOC diletakkan dikertas atau tempat pakan dari
nampan yang kecil. Setelah ayam berumur diatas 1 minggu, tempat pakan harus diganti dengan
dengan pemberian ransum berbentuk: tepung pada periode starter, butiran pecah pada periode
finisher dan terkadang diberikan ransum yang berbentuk pellet. Pemberian ransum bertujuan
menjamin pertambahan bobot badan dan produksi daging. Jenis bahan ransum dan kandungan
gizinya harus diketahui untuk mendapatkan formula ransum yang tepat (Sudaro dan Siriwa,
2007). Alamsyah (2005) menyatakan bahwa pemberian ransum pada ternak disesuaikan
dengan umur, kesukaan terhadap ransum, dan jenis ransum. Ransum untuk ayam yang belum
berumur atau DOC diberikan dalam bentuk all mash. Hal ini bertujuan untuk mempermudah
Pemberian air minum dilakukan secara terus-menerus atau adlibitum dengan tujuan agar
ayam tidak mengalami dehidrasi sehingga produksi daging dapat optimal. Williamson dan
Payne (1993) menyatakan bahwa air harus selalu tersedia dan sangat baik disediakan dari kran-
kran otomatis. Konsumsi air pada ayam biasanya dua kali lebih banyak dibanding dengan
konsumsi makanannya. Ayam akan mampu hidup lebih lama tanpa makanan dibanding tanpa
air (Rizal, 2006).
Tabel 1. Kebutuhan zat makanan broiler fase starer dan fase finisher
Rasyaf (1997) menyatakan bahwa ransum adalah campuran bahan-bahan pakan untuk
memenuhi kebutuhan akan zat-zat pakan yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti
zat makanan itu tidak berlebihan dan tidak kurang. Ransum yang diberikan haruslah
mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Tujuan utama pemberian
ransum kepada ayam untuk menjamin pertambahan berat badan yang paling ekonomis selama
adalah: (1) jagung kuning; (2) dedak halus; (3) bungkil kelapa; (4) bungkil kacang tanah; (5)
bungkil kacang kedelai; (6) tepung ikan; (7) bahan-bahan makanan berupa butir-butiran atau
kacang-kacangan dan hasil ikutan pabrik hasil pertanian lainnya, dan daun-daunan sebangsa
Protein merupakan salah satu unsur yang penting bagi pertumbuhan anak broiler. Kebutuhan
protein masa awal untuk anak ayam broiler di daerah tropis sebesar 23%, sedangkan untuk
masa akhir sebesar 20-21% (Rayaf, 2000). Sintesis protein jaringan tubuh dan telur
memerlukan asam amino esensial. Defisiensi asam amino esensial di dalam pakan
menyebabkan pembentukan protein jaringan dan tubuh terhambat atau tidak terbentuk. Asam
amino esensial yang sulit terpenuhi kandungannya di dalam pakan seperti Sistin, Lisin dan
Pemeliharaan pada periode grower atau developer sebenarnya hampir tidak berbeda.
Periode grower adalah pada saat anak ayam berumur 9—13 minggu sedangkan developer
pada saat umur 14—20 minggu. Pemeliharaan keduafase ini dibedakan dari nutrisi pakan
yang diberikan, yaitu protein fase developer lebih rendah 1%. Akan tetapi, akhirakhir ini
peternak cenderung tidak membedakan pakan kedua fase ini dan tetap meneruskan pemberian
pakan grower ke periode developer. Nutrien yang diperlukan ayam pada dasarnya digunakan
untuk hidup pokok, pertumbuhan dan produksi telur (Cahyono, 2007). Zat-zat kebutuhan
nutrisi ayam terdiri beberapa zat gizi diantaranya protein, energi, lemak, vitamin dan mineral
(Rasyaf, 2009). Zat-zat nutrien dari pakan yang dicerna digunakan untuk sejumlah proses
didalam tubuh ternak, penggunaannya bervariasi tergantung spesies, umur dan produktivitas
ternak. Untuk mencapai pertumbuhan dan produksi maksimal maka zat nutrisi yang
terkandung didalam pakan yang dikonsumsi harus memadai (Suprijatna, 2005). Ransum fase
grower untuk ayam pembibit mengandung energi metabolisme 2.900 kkal/kg dengan protein
Suprijatna, 2010). Sudaryani dan Santosa (2003) bahwa kebutuhan nutrisi ayam pembibit
periode bertelur membutuhkan pakan dengan kandungan protein 15,5 - 16% dengan energi
Kebutuhan protein untuk ayam petelur berumur 6 – 12 minggu dan turun lagi
menjadi 15% untuk ayam petelur berumur 12 – 18 minggu, kemudian naik menjadi 17%
dengan minimum 16% pada umur > 18 minggu atau pada saat ayam telah mulai bertelur.
Pola kenaikan kebutuhan protein ini juga sama dengan kenaikan kebutuhan, lisin, metionin,
asam amino metionin dan sistin, kalsium (Ca), fosfor (P) tersedia dan P total karena
kebutuhan semua nutrisi tersebut meningkat begitu ayam mulai bertelur. Sebaliknya,
kebutuhan energi praktis sama yaitu berkisar dari 2850 – 2900 kkal EM/kg pakan untuk
seluruh umur. Seperti halnya pada kebutuhan gizi ayam pedaging, kebutuhan protein dan
asam amino ayam petelur anjuran SNI (2008) pada umumnya lebih rendah dibandingkan
kebutuhan gizi sesuai konsumsi pakan ayam petelur. Dengan demikian, tingkat konsumsi
pakan menentukan persentase gizi dalam pakan. Persentase gizi dalam pakan menurun pada
ayam petelur yang tingkat konsumsinya naik. Sebagai contoh: kebutuhan asam amino lisin
ayam petelur pada tingkat konsumsi pakan 80 g/ekor/hari = 0,86% dan turun menjadi 0,69%
pada tingkat konsumsi pakan sebanyak 100 g/ekor/hari. Jika dihitung kebutuhan lisin dalam
unit g/ekor/hari, maka nilai kedua tingkat persentase lisin yang berbeda di atas persis sama
dapat diturunkan sekitar 10% dari rekomendasi NRC (1994) dengan menggunakan asam
amino sintetis yang tingkat kecernaannya lebih tinggi dari asam amino dalam pakan. Tingkat
protein dalam pakan sebaiknya “cukup”, karena kelebihan kandungan protein dan asam
amino dalam pakan unggas menyebabkan harga pakan naik dan juga mengakibatkan polusi
lingkungan.
2.3 Kebutuhan Pakan Ayam Ras Petelur Fase Layer
Fase layer merupakan masa produktif ayam petelur, yakni umur sekitar 20
minggu hingga afkir (90-100 minggu) (Guntoro, 2018). Kebutuhan nutrisi ayam ras
petelur fase layer dapat dilihat pada Tabel 1. Jika energi pakan saat fase layer terlalu
rendah, komsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan
menurun (Harms et al., 2000). Sebaliknya jika energi pakan meningkat akan terjadi
penurunan komsumsi pakan. Jumlah pakan yang diberikan pada ayam ras petelur fase
layer yakni sebanyak 120/g/ekor/hari.
Berdasarkan mutu pakan ayam ras petelur fase layer dari Badan Standarisasi
Nasional Indonesia bahwa bahan baku pakan harus bebas dari residu dan zat kimia
yang membahayakan seperti peptisida dan bahan lain yang tidak diinginkan. Bahan
baku pakan ini menjamin kesehatan masyarakat konsumen hasil peternakan. Didalam
tubuh ayam, nutrisi yang diperlukan mengalami proses penguraian agar mudah
diserap dan digunakan tubuh untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan produksi.
pencernaan, sebagai media mikroba pada usus buntu yang akan menghasilkan vitamin
K dan B12 dan memberikan rasa kenyang. Lemak berfungsi sebagai penghasil energi,
seperti asam lemak linoleik dan arakhidonik karena tubuh unggas tidak memproduksi
jumlah yang cukup karena unggas tidak dapat membuat mineral. Mineral berfungsi
sebagai pembentuk tulang dan kerabang, bagian dari enzim dan hormon, pengatur
tekanan osmosa darah, pengatur produksi telur dan transportasi energi (Kartadisastra,
1994). Anggorodi (1995) menyatakan bahwa mineral memiliki fungsi utama yaitu
membentuk bagian kerangka dan paruh, mempertahankan keseimbangan asam dan
basa, serta menjaga pertumbuhan secara normal. Kebutuhan mineral ayam petelur
Lemak serta kandungn nutrisi lain dalam telur bersumber dari nutrisi dalam
ransum yang dikonsumsi oleh ayam. Komposisi lemak yang ada dalam telur, sebagai
gambaran jumlah lemak dalam ransum sekaligus gambaran konsumsi lemak oleh
ayam. Lemak dalam pakan ternak setelah metabolisme dapat disimpan dalam kuning
telur sebelum sel adiposa. Komposisi kimiawi lemak, komposisi lemak telur pada
bagian yang dapat dikonsumsi dan kandungan zat gizi pada telur ayam ditampilkan
Tabel 4. Komposisi Lemak Telur pada Bagian yang dapat dikonsumsi (per 100
gram)
Asam Lemak Satuan Telur Utuh Kuning Telur
Jenuh (total) Gram 3,100 9,554
Tidak jenuh tunggal (total) Gram 3,810 11,741
Tidak jenuh ganda (total) Gram 1,364 4,205
Kolesterol Gram 0,426 1,283
Lecithin Gram 2,300 6,687
Cephalin Gram 0,460 1,319
Sumber : Wirakusumah (2005)
lemak dalam ransum. Asam lemak dalam ransum yang banyak mengandung asam
lemak jenuh, asam lemak tidak jenuh rangkap tunggal atau asam lemak omega-3
maka dalam kuning telur ditemukan banyak asam lemak tersebut. Mangisah et al.
(2002) menyatakan bahwa diet asam lemak akan diserap oleh hewan monogastrik dan
penelitian dengan menggunakan bahan pakan mengandung asam lemak tak jenuh
seperi minyak ikan lemuru dan minyak jagung menunjukkan bahwa penggunan
penggunaan kedua bahan pakan tersebut sebanyak 6% dalam ransum lebih efisien
penggunaan minyak ikan. Penggunaan minyak sawit dalam ransum sebanyak 6%
menghasilkan asam lemak linolenat sebanyak 0,42 mg/g, DHA 3,75 mg/g, dan EPA
0,15 mg/g, dan asam lemak linoleat sebanyak 33,79 mg/g. Penggunaan minyak ikan
mg/g, DHA 11,47 mg/g, EPA 1,41 mg/g dan asam lemak linoleat sebanyak 25,62
mg/g.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kuantitas pakan ayam ras petelur pada fase starter terdapat 4 golongan yaitu minggu
pertama (umur 1-7 hari) 17 gram/hari/ekor, minggu kedua (umur 8-14 hari) 43
gram/hari/ekor, minggu ke-3 (umur 15-21 hari) 66 gram/hari/ekor dan minggu ke-4
2. Jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah, komsumsi pakan lebih banyak
sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan menurun. Sebaliknya jika energi pakan
meningkat akan terjadi penurunan komsumsi pakan. Jumlah pakan yang diberikan
Amrullah, I. K. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Lembaga Satu Gunung Budi. Bogor.
Anggorodi, H.R. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Guntoro,S. 2018. Membuat Pakan Ternak & Unggas dari Limbah Peternakan. Agromedia.
Jakarta
Harms, R. H., V. Olivero and G. B. Russel. 2000. A. Comparison of performance and energy
intake of commercial layer based on body weight or egg weight. J. Appl. Poultry Res.
9:179-184.
Mangisah, Istna, dkk. 2002. Evaluasi Nilai Nutrisi Tepung PUPA Ulat Suter dan Pengaruh
Penggunaannya dalam Ransum Ayam Petelur terhadap Performan Produksi. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Diponogoro. Semarang
Nuroso, 2009. Panen Ayam Pedaging dengan Produksi 2x Lipat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, A.P., dan M. Sabrani. 1970. Teknik Modern Beternak Ayam. C.V. Yasaguna, Jakarta.
Sudarmono, A.S. 2003. Pedoman Pemeliharaan Ayam Ras Petelur. Penerbit Kanisus. Jakarta
Suprijatna, E., U. Atmomarsono., dan R, Kartasudjana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Keempat. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Wirakusumah, E.S. 2005. Menikmati Telur Bergizi, Lezat dan Ekonomis. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta