Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL PENELITIAN

PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE PADA TINGKAT

PENYIDIKAN DI POLRESTA KOTA PADANG

(Studi Putusan Perkara Pasal 56 KUHP )

Diajukan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana hukum

Oleh : Mohammad Syerland Orza

NPM : 1910005600064

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TAMANSISWA

PADANG

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
A. Latar Belakang Masalah.................................................................................................3
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................7
C. Tujuan Penelitian............................................................................................................7
D. Manfaat Penelitian..........................................................................................................8
E. Tinjauan Pustaka.............................................................................................................8
F. Metode Penelitian.............................................................................................................22
G. Sistematika Pembahasan..................................................................................................24

2
PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PROSTITUSI ONLINE PADA TINGKAT

PENYIDIKAN DI TINGKAT POLRESTA

(Studi Putusan Perkara Pasal 56 KUHP)

A. Latar Belakang Masalah


Globalisasi terhadap teknologi dan internet, merupakan sebuah fenomena yang sudah

menyebar luas di seluruh bagian negara. Bagi negara berkembang, khususnya di Indonesia

ini, pemanfaatan teknologi dan internet sudah menjadi media dalam kehidupan sehari-hari

atau lebih dikenal dengan gaya hidup. Kemajuan di bidang teknologi akan berjalan bersama

dengan munculnya perubahan-perubahan di bidang kemasyarakatan. Perubahan-perubahan di

dalam masyarakat dapat mengenai nilai sosial, kaidah-kaidah sosial pola-pola perilaku,

organisasi dan susunan lembaga kemasyarakatan. Pesatnya perkembangan teknologi itu telah

membentuk masyarakat informasi internasional, termasuk di Indonesia. Sehingga, satu sama

lain menjadikan belahan dunia ini sempit dan berjarak pendek1.

Pemanfaatan teknologi dan internet ini bisa menjadi pedang bermata dua. Dimana

memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif. Dalam pengaruh positif, dapat memudahkan

akses ke segala aspek berkehidupan, contohnya ; media komunikasi, media pembayaran

(payment), penyebaran informasi berita, dan lain sebagainya. Sedangkan pengaruh negatif,

teknologi dan internet dapat digunakan sebagai media penipuan kartu kredit, penipuan

perbankan, meretas situs internet, transaksi seks, dan lain-lain yang dapat dikenal sebagai

kejahatan mayantara (cybercrime). Kejahatan dalam bidang teknologi informasi (cybercrime)

merupakan kejahatan yang menggunakan media komputer sebagai sasaran dan sarana

melakukan kejahatan. Kejahatan dalam konteks ini adalah kejahatan dalam pengertian

yuridis, yaitu perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan dan diancam dengan

pidana2
1
Soerdjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta, Rajawali Pers, 1980), hlm. 87-88
2
Widodo dan Wiwik Utami, Hukum Pidana dan Penologi, (Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2014), hlm. 51

3
Cakupan materi UU-ITE secara umum antara lain berisi tentang informasi dan

dokumen elektronik, pengiriman dan penerimaan surat elektronik, tanda tangan elektronik,

sertifikat elektronik, hak atas kekayaan intelektual dan privasi, serta ketentuan pidana yang

berkaitan dengan pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik3

Dari perkembangan zaman ini, gaya hidup pun semakin berubah keadaannya. Gaya

hidup yang bermewah-mewahan, hingga tidak memandang status sosial, sehingga melakukan

segala cara untuk memenuhi keinginan dari gaya hidupnya dan mengesampingkan kebutuhan

hidup yang seharusnya diprioritaskan. Karena gemerlap nafsu duniawi tersebut, untuk

memenuhi keinginannya tidak hanya menggunakan cara-cara yang selayaknya manusia lain

lakukan, sebagai contoh; bekerja keras, menabung, membangun sebuah usaha dan lain lain.

Namun, tidak sedikit juga yang Mengabaikan moralitas untuk memenuhi segala keinginannya

tersebut, sebagai contoh; menjual atau mempertontonkan bentuk tubuh demi mendapatkan

bayaran (menggunakan aplikasi live streaming online atau menggunakan cara video call

menggunakan media sosial) hingga rela bekerja sebagai pekerja seks komersial (prostitusi).

Sebagai bagian dari kejahatan dalam pergeseran pemanfaatan kemajuan teknologi dan

informasi, prostitusi mulai berkembang pesat. Dari yang sebelumnya konvensional dan hanya

dalam bentuk lokalisasi, sebagai langkah awal pemerintah dalam memusatkan dan menekan

angka kegiatan prostitusi dan menjadi tolak ukur atau indeks perkembangan kegiatan

prostitusi di suatu wilayah, hingga sekarang berkembang menjadi praktik prostitusi yang

melibatkan suatu kelompok ataupun pribadi yang menggunakan media elektronik dan internet

sebagai media untuk menyebarkan dan mendapatakan pelanggan atau konsumen guna

memenuhi kebutuhan pribadi dan atau gaya hidup mereka.

3
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cyber Crime, (Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2009), hlm. 222

4
Di Indonesia, praktik prostitusi ini merupakan praktek yang sebelumnya sudah diatur di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam buku Kedua Bab XIV tentang

Kejahatan Kesusilaan di antaranya ada dalam pasal sebagai berikut:

Pasal 281 KUHP, yang berbunyi :

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana

denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah :

1) Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;

2) Barang siapa dengan sengaja dan didepan orang lain yang ada di situ bertentangan

dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan4

Pasal 296 KUHP, yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau

memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai

pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat

bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah5.

Selanjutnya ada dalam Buku Ketiga Bab VI tentang Pelanggaran Kesusilaan dalam

Pasal 506 KUHP, yang berbunyi : “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul

seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan

paling lama satu tahun.”6.

Akan tetapi, dalam praktik prostitusi online (daring) dianggap sebagai kejahatan baru

yang aturannya belum dijelaskan secara jelas dalam kebijakan hukum pidana maupun

perundang-undangan di Indonesia ini sendiri. Sebagai contoh, dalam keterangan yang di

jelaskan oleh petugas reskrim, sebelumnya praktik prostitusi online sudah lama ada di Kota

Padang. Memang praktik prostitusi sekarang mulai dilakukan secara online atau
4
Pasal 281 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
5

6
Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

5
menggunakan media internet dan media sosial sebagai media penyebaran atau tawar

menawar. Dalam tahap penyelidikan oleh pihak satuan reserse kriminal (satreskrim) polresta

Padang, memancing para pelaku(psk dan atau mucikari) menggunakan media online tetapi

ketika dalam tahap pembuktian di tingkat penyidikan mendapatkan kesulitan dan rumitnya

dalam mendatangkan ahli dalam bidang Informasi dan Transaksi Elektronik guna melakukan

pembuktian tindak pidana yang telah di lakukan, karena syarat-syarat yang harus disiapkan

dalam mendatangkan ahli guna membuktikan tuntutan praktik prostitusi online tersebut,

sehingga dalam tahap penuntutan di pengadilan, hanya bisa mengenakan pasal tentang

mucikari yang mempekerjakan para pekerja seks komersial tersebut.

Sedangkan para pekerja seks komersial tersebut tidak dapat dikenakan tindak pidana

yang notabene juga ikut serta melakukan praktek prostitusi secara online menggunakan

media internet atau media sosial tersebut. Pada dasarnya pengaturan mengenai pembuktian

sudah dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana, dalam pasal 183 yang berbunyi;

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya7

Diatur pula ketentuan mengenai alat bukti yang diatur didalam Pasal 184 angka 1 , yang

berbunyi;

“Alat bukti yang sah ialah :

a) Keterangan saksi;

b) Keterangan ahli;

c) Surat;
7
Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

6
d) Petunjuk;

e) Keterangan terdakwa

Bardasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik melakukan penelitian dalam benuk

Skripsi yang berjudul ” Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Online pada Tingkat

Penyidikan Polresta Kota Padang (Studi Putusan Perkara Pasal 56 KUHP)

B. Rumusan Masalah
BerdasarkaMn latar belakang diatas, maka menjadi masalah dalam pembahasan ini

adalah:

1. Bagaimana penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Kota Padang terhadap

tindak pidana prostitusi online di Polresta Kota Padang?

2. Bagaimana pembuktian terhadap tindak pidana prostitusi online pada tingkat

penyidikan Polresta Kota Padang?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian Kota Padang

terhadap tindak pidana prostitusi online di Polresta Kota Padang

2. Untuk mengetahui Bagaimana pembuktian terhadap tindak pidana prostitusi online

pada tingkat penyidikan Polresta Kota Padang

D. Manfaat Penelitian
Ada dua manfaat yang diberikan yakni manfaat secara teoritis dan praktis sebagai

berikut :

1. Manfaat teoritis

7
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi ilmu

pengetahuan dan memberikan masukan bagi ilmu hukum.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi Polresta Kota Padang dan masyarakat

E. Tinjauan Pustaka
1. Teori Pembuktian

Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses, perbuatan, cara

membuktikan, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang

pengadilan. Sedangkan menurut Martiman Prodjohamidjojo yaitu, mengandung maksud dan

usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal

terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah

dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam mencari

kebenaran sejati yaitu melalui :

a. Penyidikan

b. Penuntutan

c. Pemeriksaan di Persidangan

d. Pelaksanaan, Pengamatan dan Pelaksanaan

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam hukum acara

pidana secara keseluruhan8. Sejarah hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa

sistem untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem pembuktian ini bervariasi

menurut waktu dan tempat. Dalam hukum acara pidana ada beberapa sistem pembuktian

yaitu :

8
3Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1983),
hlm.12

8
a. Convection in Time

Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata, dalam menentukan salah atau

tidaknya seseorang terdakwa, semata-mata ditentukan dengan penilaian “keyakinan” hakim.

Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, darimana hakim

menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini.

b. Convction rasionance

Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar keyakinan logis, dalam

sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam

menentukan salah atau tidaknya seseorang terdakwa, akan tetapi dalam sistem pembuktian ini

faktor keyakinan hakim “dibatasi” dan harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas.

c. Positive wettlijk bweijs theorie

Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, dalam sistem atau teori

pembuktian ini juga sering disebut dengan teori pembuktian formal (formele bewijstheorie),

teori pembuktian ini dikatakan secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian

yang berupa undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu

perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim

sudah tidak diperlukan lagi.9

Dalam kaitannya dengan teori ini, penulis bermaksud menggunakannya untuk

mengetahui akan pentingnya “keterangan ahli” dalam pembuktian dalam Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2008 juncto Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dalam

tahap penyidikan guna untuk memberikan dukungan dalam penggunaan undang-undang ini.

Karena demi tercapainya undang-undang ini dalam penegakan hukum tindak pidana

9
Hari sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung, Mandar Maju, 2003),
hlm.15

9
prostitusi online, keterangan ahli sangat berpengaruh dalam pembuktian. Karena menurut

undang-undang sesuai dengan pasal 183 ayat (1) KUHAP diluar alat bukti yang disebutkan

itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa,dan dalam pasal

tersebut yang dimaksud alat bukti yang sah adalah :

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Dari alat bukti diatas hakim memeriksa untuk memperoleh kebenaran materiel dari

kejahatan myang terjadi dan hakim tidak boleh memeriksa selain alat bukti tersebut.

2. Teori Politik Hukum Pidana

Pembahasan mengenai politik hukum pidana tidak terlepas dari politik hukum yang

merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Hukum yang membahas; memahami; dan mengkaji

perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum dalam rangka upaya memenuhi

kebutuhan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan.15 Dalam kajian mengenai

politik hukum pidana, beberapa literatur di Indonesia lebih banyak digunakan istilah

“kebijakan hukum pidana”, “kebijakan kriminal”, “kebijakan legislatif”, dan lain-lain.

Penggunaan istilah ini juga memerlukan kajian lebih lanjut tentang ketepatan dan makna

substansinya, karena kebijakan memiliki padanan dari kata “policy” (Bahasa Inggris) yang

penggunaannya lebih bersifat teknis dan eksekutif/administratif. Oleh karena itu apabila

dirujuk dari asal kata politik hukum berasal dari kata “rechtspolitiek”, istilah politik hukum

10
merupakan terjemahan yang terdiri dari dua kata, yaitu recht yang berarti hukum dan politiek

yang berarti politik.10

Keterkaitan dengan politik hukum pidana tersebut berikut beberapa pendapat dan

pemikiran mengenai pengertian dan konsep politik hukum pidana, sebagai berikut;

Sudarto mengemukakan bahwa politik hukum pidana diartikan sebagai usaha yang

rasional (logis) untuk mencegah dan menghalangi kejahatan dengan sarana hukum pidana

dan sistem peradilan pidana memilih hukum dan undang-undang yang bersesuaian, paling

baik dan memenuhi syarat keadilan dan fungsinya. Hal ini bermakna pula bahwa politik

hukum pidana mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum dan menjangkau masa

depan11

Seterusnya dikemukakan juga oleh Muladi bahwa, politik hukum pidana dan pembaharuan

hukum pidana harus tetap berasaskan kepada tiga inti dan substansi utama undang-undang

pidana;

1. Merumuskan dan menentukan kelakuan atau perbuatan yang disebut sebagai

pidana;

2. Menentukan bentuk unsur tindak pidana dan pertanggungjawabannya; dan

3. Menentukan bentuk atau macam hukum yang dapat diberikan kepada sesiapa

yang melakukan kesalahan tersebut

2.Tindak Pidana Prositusi Online

10
Sabartua Tampubolon, Politik Hukum Iptek di Indonesia, (Yogyakarta, Amara Books, 2013), hlm. 31
11
Mokhammad Najih, Politik Hukum Pidana, (Malang, Setara Press, 2014), hlm. 16

11
a)Pengetian Prostitusi

Prostitusi berasal dari kata latin yaitu “pro-stituere” artinya membiarkan diri berbuat

zina, melakukan persundalan, pencabulan, dan pergendakan. Sedangkan kata “prostitute”

merajuk pada kata keterangan yang berarti WTS atau Wanita Tuna Susila. Prostitusi juga

dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa

kepada umum untuk melakukan perbuatanperbuatan seksual dengan mendapatkan imbalan

sesuatu yang di perjanjikan sebelumnya, yang kini kerap disebut dengan istilah pekerja seks

komersial (PSK).12

Prositusi ( pelacuran) secara umum adalah praktik hubungan seksual sesaat, yang

kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Tiga unsur utama

dalam praktik pelacuran adalah pembayaran, promiskuitaqs dan ketidakacuhan emosional. 13

Namun dalam kasus-kasus tertentu terlibat pula orang lain yang berperan untuk

“memudahkan “ atau memfasilitasi aktifitas pelacuran dalam jaringan (prostitusi online)

tersebut yang mana kita mengenalnya dengan sebutan germo atau mucikari. Berdasarkan

kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di Indonesia, hanya orang yang “memudahkan”

inilah yang dapat diancam dengan pidana. Sebuah definisi pelacuran yang kurang moralitas

diajukan oleh Gagnon J.H (1968) Dalam bukunya Prostitution dalam Internasional

Encyclopedia of social science, sebagaimana yang dikutip oleh Thanh-Dam Turong dalam

bukunya Seks, uang dan kekuasaan, memandang pelacuran sebagai pemberian akses seksual

pada basis yang tidak diskriminatif untuk memperoleh imbalan baik berupa barang atau uang,

tergantung pada kompleksitas system ekonomi. Pembayaran diakui bagi perilaku seksual

yang spesifik. Jadi pelacur didefinisikan sebagai professional berdasarkan pertukaran moneter

12
Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak Prostitusi Berbasis
Masyarakat Adat Dalihan Na Tolu, Perdana Mitra, Handalan, 2015, hlm. 1.
13
Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hlm. 159.

12
dan kelangkaan pelayanan yang disediakan. Pelayanan ini diasumsikan tidak tersedia

didalamlingkup hubungan seksual non komersial14

Menurut masyarakat luas prostitusi atau pelacuran adalah persenggamaan antara pria

dan wanita tanpa terikat piagam pernikahan yang sah. Perbuatan inidipandang rendah dari

sudut moral dan akhlak, dosa menurut agama, tercela dan jijik menurut penilaian masyarakat

di Indonesia. Akan tetapi pelacuran adalah salah satu profesi dan lahan bisnis untuk tujuan

ekonomi15

Hal ini karena tujuan dari Pasal-Pasal dalam KUHP adalah untuk menghukum orang-

orang yang pekerjaannya memudahkan, memfasilitasi dan mendapatkan keuntungan dari

kegiatan pelacuran. Menurut KUHP, PSK dan orang yang menggunakan jasa prostitusi tidak

diancam dengan pidana karena perbuatan ini mas masuk dalam kategori victimless atau

kejahatan tanpa korban.

Dari beberapa definisi tentang pelacuran atau prositusi, maka dapat disimpulkan bahwa

pengertian pelacur secara umum adalah penyerahan diri seorang wanita untuk laki-laki

dengan imbalan benda-benda materi dan uang. Pelacuran ini juga ada pelampiasan nafsu-

nafsu seks secara bebas dengan banyak pria untuk mendapatkan keuntungan kepada kedua

belah pihak atau para pelakunya. Menurut Kartini Kartono, jenis prostitusi dapat dibagi

menurut aktifitas, yaitu yang terdaftar dan terorganisir, dan yang tidak terdaftar dalam

penjabaranya sebagai berikut:

a. Prostitusi yang tidak terdaftar dan terorganisasi


14
Gagnon J H, Prosatitution dalam International Encyclopedi of Science, Macmillanand Free Press, New York,
1968, vol.12
15
Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, LKis, Yogyakarta, 1994, hlm. 95.

13
Pelakunya diawasi oleh bagian vice control dari kepolisian yang dibantu dan bekerja

sama dengan jawatan Sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya mereka melokalisasi

dalam suatu daerah tertentu. Penghuni secara priodik harus memeriksa dari para dokter atau

petugas kesehatan, dan mendapat sutinkan serta pengobatan, sebagai tindakan kesehatan dan

keamanan umum.

b. Prostitusi yang tidak terdaftar

Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-

gelapam dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatan tidak

teroganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Bila disembarang tempat, baik mencari mangsa

sendiri, maupun melalui mucikari dan panggilan secara pribadi. Perbuatannya tidak

terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Bila disembarang tempat, baik mencari mangsa

sendiri, maupun melalui calo-calo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang

berwajib. Sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka itu mau

memeriksakan kesehatannya kepada dokter. PSK di Indonesia beraneka ragam, PSK

mempunyai tingkatan-tingkatan operasional, diantaranya :

1) Segmen kelas rendah.

Dimana PSK tidak terorganisir. Tarif pelayanan seks terendah yang ditawarkan, dan

biaya beroperasi di kawasan kumuh seperti halnya pasar, kuburan,taman-taman kota dan

tempat lain yang sulit dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan

dengan para PSK tersebut

2) Segmen kelas menengah

14
Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa wisma menetapkan tarif harga

pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di booking semalaman.

3) Segmen kelas atas.

Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang relatif tinggi yang

menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan atau

menggunakan kontak khusus hanya untuk menerima pelanggan tersebut

4) Segmen kelas tertinggi

Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita model. Super

germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita kelas atas ini

b) Pengertian Prostitusi Online

Prostitusi online adalah praktik pelacuran yang lewat media sosial dalam

menjajakannya, yang dimana para pelaku melakukan promosi lewat media sosial dalam

menyebarkan lewat media sosial twitter, instragram, aplikasi-aplikasi penguhubung sosial

lainnya., dari berbagai kasus yang ada media sosial sering di salah gunakan dan untuk

melancarkan prositusi agar banyak orang yang tertarik untuk menggunakan jasa PSK

tersebut. Prostitusi online merupakan suatu perbuatan berhubungan seksual dengan orang lain

dengan menggunakan “transaksi” yang mana proses transaksi itu dapat dilakukan dengan

menggunakan media elektronik. Kegiatan ini melibatkan paling tidak dua orang pihak yaitu

orang yang menggunakan jasa layanan seksual dan pemberi layanan seksual atau pekerja seks

komersial (PSK).16

c)Pengaturan Tindak Pidana Prostitusi Online dalam Hukum di Indonesia


16
1 Drs. H. Kondar Siregar, MA, Model Pengaturan Hukum Tentang Pencegahan Tindak

15
Pidana adalah sanksi yang hanya dalam hukum pidana. Jika diartikan dengan sanksi

dalam bidang hukum lain, maka pidana adalah sanksi yang paling keras. 17 Tanpa adanya

sanksi pidana, maka satu perbuatan hanyalah merupakan perbuatan melanggar hukum biasa.

Perkataan tindak pidana merupakan terjemahan dari Bahasa belanda “strafbaar Feit”. Dalam

Bahasa inggris “criminal act”, dama Bahasa latin “actus reus”. Secara harfiah apabila

digabungkan akan mengandung pengertian suatu kenyataan atau perbuatan nyata yang dapat

dihukum18

Menurut Simons, menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam

dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan

dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab” Menurut Moeljatno lebih memilih

kata-kata perbuatan pidana dari pada tindak pidana: Perbuatan pidana adalah perbuatan yang

suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa

larangan ditujkan kepada perbuatan(yaitu suatu keadaan atau kerjadian yang ditimbulkan oleh

kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan

kejadian itu”. Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-

unsur berikut:

a. Subyek

b. Kesalahan

c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

d. Suatu tindakan yang dilarang atau duharuskan oleh undangundang atau perundang dan

terhadap pelangganya diancam dengan pidana

e. Waktu, tgempat dan keadaan(unsur objektif lainnya);

17
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm .139.
18
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Bandung, 1984, hlm. 172.

16
Menurut Moeljatno pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipil,

dikatakan bahwa: Kejahatan adalah “rechtsdeliten”, yaitu perbuatanperbuatan yang meskipun

tidak ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata

hukum, sedangkan pelanggaran adalah “wetsdeliktern”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat

melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, terdapat delapan unsur

tindak pidana yaitu:19

a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum

c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konstitutuf

e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahan untu dapat dituntut tindak pidana

g. Unsur syarat tambahan memperberat pidana

h. Unsur tambahan untuk mendapat dipidana

Sedangkan menurut C.S.T. Kansil, unsur-unsur tindak pidana atau delik sebagai

berikut:20

a. Harus ada suatu kelakuan (gedraging)

b. Kelakuan atau tindak itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang

c. Kelakuan itu adakah kelakuan tanpa hak

d. Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku

e. Kelakuan itu diancam dengan hukuman

19
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 81.
20
C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 290.

17
Menurut Moeljatno, yang merupakan usur atau elemen dari tindak pidana atau unsur

perbuatan pidana adalah:21

a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai pebuatan

c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana ;

d. Unsur melawan hukum yang objektif

e. Unsur melawan hukum yang subjektif ;

Seorang dapat dijatuhi pidana apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak

pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya PasalPasal dalam KUHP

terdiri unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang yaitu 22

“Sesungguh pun demikian setiap tindak pidana yang dapat terdiri di dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan kedalam unsur-unsur yang

pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-

unsur objektif”. Kemudian lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan

unsurunsur objektif sebagai berikut:

a. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalam yaitu segala sesuatu yang

terkandung di dalam hatinya.

b. Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-

keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu

harus dilakukan

d) Prostitusi dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

21
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.63.
22
P.A.F Lamintang, Dasar-dasar hukum pidana Indonesia ,PT.Citra Aditya bakti, Bandung, 1997, hlm. 193.

18
Dalam KUHP tidak terdapat pengertian mengenai tindak pidana, istilah tersebut dikenal

dalam hukum pidana Belanda dengan istilah “straafbar feit”. Salah satu ahli hukum yang

menafsirkan pengertian tindak pidana adalah Teguh Prasetyo. Ia mengartikan tindak pidana

merupakan “Perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana

pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatau yang

sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu

yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).23

Kata prostitusi online disusuan dari 2 kata yang berbeda, yaitu kata prostitusi yang

berasal dari bahasa Inggris “prostitution” yang berarti pelacuran. Menurut pendapat Soejono

Soekamto, pelacuran merupan suatu perbuatan seksual yang dilakukan dengan cara berserah

diri kepada umum guna untuk memperoleh bayaran.24

Berkaitan dengan prostitusi, KUHP mengaturnya dalam dua Pasal, yaitu Pasal 296 dan

Pasal 506. KUHP tindak pidana membuat kesengajaan menyebabkan atau memudahkan

dilakukannya tindakan-tindakan melanggar kesusilaan dengan orang ketiga sebagai mata

pencaharian atau sebagai kebiasaan diatur di dalam Pasal 295 yang berbunyi:45 “Barang

siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain,

dengan menjadikan sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara

paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.25

Undang-undang disebuah negara berfungsi untuk mengatur maupun untuk melindungi

masyarakatnya. Undang-undang itu lahir sebelum permasalahan itu timbul, harapannya untuk

melindungi masyarakat dari permasalahan itu timbul, harapan untuk melindungi masyarakat

23
Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm. 50
24
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengaturaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 74.
25
Gerry Muhamad Fizki, KUHP dan KUHAP, Permata Press, Jakarta, 2008, hlm. 103.

19
dari permasalahan yang terjadi. Pekembangan lingkungan, budaya dan teknologi membuat

membuat atas tata kehidupan masayarakat. Kemajuan teknologi yang menyebabkan

perubahan terberbesar dari tata kehidupan masyarakat tersebut, semua dipermudah karena

kemajuan teknologi.

Pada tahun 2003 pemerintah mengatur tentang kegiatan melalui media internet ini

dengan nama RUU informasi komunikasi dan transaksi elektronik yang sekarang menjadi

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang informasi dan Transaksi Elektronik (UU

ITE). Kementerian Negara Komunikasi Dan Informasi (kominfo). Pada mulanya RUU ITE

diberi nama undang-undang informasi komunikasi dan transaksi elektronik oleh berbagai

universitas di Indonesia. Pada tanggal 5 september 2005 secara resmi Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono menyampaikan RUU ITE kepada DPR melalui surat

No.R/70/Pres/9/2005. Dan menunjuk DR.Sofyan A Djalil (Mentri Komunikasi dan

Informasika) dan mohammad Andi Mattalata ( Mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia)

sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan bersama dengan DPR RI.

Kehadiran undang-undang tersebut menjadi sebuah harapan bagi masyarakat Indonesia

agar mereka dapat perlindung dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan dari media internet salah

satunya yaitu prostitusi melalui media ini. Undang-undang ini mengatur tentang sanksi

tindakan kriminal di dunia maya secara pidana. Dalam undang-undang RI NO.11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak menyebutkan kata prostitusi dalam

semua Pasalnya. Kecuali pada Pasal 27 yang berisikan tentang perbuatan-perbuatan yang

dilarang, menyebutkan kata kesusilaan yang menyangkut kepada hal-hal yang berbau

pornografi. Isi Pasal 27 UU ITE yaitu sebagai berikut:26

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik


26
Undang-undang RI No. 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

20
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar

kesusilaan.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik.

4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau

pengancaman.

Pada Pasal 27 UU ITE, tepatnya pada ayat (1) menyebutkan kata kesusialaan yang di

dimaksudkan menyangkut pada hal-hal yang bersifat kepornoan. Danm pada ayar ini tidak

menyebutkan hal-hal apa sujakah yang dimaksud kesusilaan tersebut. Dan ketentuan Undang-

Undang No. 11 Tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik tersebut dengan

digunakan dalam perkara prostitusi online adalah Pasal 45 ayat (1) juncto Pasal 27 ayat (1)27

F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian empiris atau non doktrinal, yaitu penelitian

untuk menguji data primer. Data primer yaitu keterangan yang didapatkan dari subjek

penelitian.

27
Widodo, Hukum Pidana di Bidang Teknologi Informasi Cybercrim Law, Aswaja Pressindo, Yogyakarta, 2013,
hlm. 137

21
2.Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat normatif-yuridis, yaitu penelitian yang mencakup kegiatan,

mensistematiskan dan mengevaluasi hukum positif yang berlaku di dalam suatu masyarakat,

dan diupayakan untuk menemukan penyelesaian yuridis terhadap masalah hukum. 28Dalam

hal ini dimaksudkan supaya dapat memahami pembuktian didalam hukum positif di

Indonesia, terutama di Kitab Undang-undang Hukum Pidana,

3.Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini dimulai dengan mengumpulkan data-data yang mendukung dan

menjadi bahan rujukan, data-data tersebeut penulis kumpulkan dari buku-buku, perundang-

undangan, jurnal, wawancara, dan lain sebagainya. Adapun teknik pengumpulan data yang

digunakan penulis dalam melakukan penelitian, diantara lain adalah :

a. Data Primer

Data primer merupakan bahan hukum primer yang penulis ambil dari hukum positif

Indonesia, diantaranya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No.

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 juncto

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan

Perundangundangan lainnya yang mendukung penelitian ini.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan bahan hukum yang mendukung sumber data primer yang

berupa buku-buku literatur, makalah, jurnal, penelitianpenelitian terdahulu, dan karya-karya

ilmiah lainnya yang memiliki relevansi dengan obyek penelitian. Dan juga bahan hukum

28
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 41

22
yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan

sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain

c. Data Tersier

Data tersier yang dimaksud oleh penulis adalah pengumpulan data-data diperoleh

dengan observasi lapangan secara langsuMng atau tidak langsung, dengan cara wawancara

pada pihak-pihak yang bersangkutan denMgan subjek penelitian

d. Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan

melalui tatap muka langsung dengan narasumber dengan cara tanya jawab

langsung.

2. Studi Dokumen

Suatu pengumpulan data dengan cara melihat langsung sumber-sumber

dokumen yang terkait. Pengambilan data melalui dokumen tertulis maupun

elektronik, digunakan sebagai kelengkapan data

3. Studi pustaka

Studi kepustakaan merupakan teknik pengumpulan data dengan tinjauan

pustaka ke perpustakaan dan pengumpulan buku-buku, bahan-bahan tertulis

serta referensi-referensi yang relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.

Studi kepustakaan juga menjadi bagian penting dalam kegiatan penelitian

karena dapat memberikan informasi tentang prostitusi online lebih mendalam

e. Teknik Analisa Data

Analisis data yang dilakukan yaitu dengaMn cara deskriptif kualitatif yaitu data yang

diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisa secara kualitatif yaitu data yang diperoleh

23
dikualifikasikan sesuai dengan permasalahan penelitian, kemudian diuraikan dengan cara

menganalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian yang kemudian disusun secara

sistematis sehingga akan diperoleh suatu gambaran yang jelas dan lengkap sehingga

dihasilkan suatu kesimpulan yang dapat dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah

yang ada.

G. Sistematika Pembahasan
Sistematika dalam penulisan adalah:

BAB 1 : Pendahuluan

Pada bab ini penulis mejelaskan mengenai latar belakang masalah,

rumus masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Teori pembuktian, prostitusi online dan hukum acara pidana

BAB III : Hasil Penelitian Dan Pembahasan tentang pembuktian tindak pidana

prostitusi online

BAB IV : Penutup

Memuat tentang kesimpulan dan saran

24

Anda mungkin juga menyukai