Anda di halaman 1dari 10

LATAR BELAKANG

Seiring dengan perkembangan zaman, manusia berhasil menemukan berbagai


macam teknologi yang berguna untuk kehidupan sehari-hari. Telah banyak inovasi
teknologi yang kini hadir di tengah masyarakat. Hal ini diciptakan semata-mata
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia.
Hadirnya teknologi juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari
manusia. Hampir dapat dipastikan setiap orang kini juga telah bergantung dengan
teknologi. Pasalnya, setiap hari kita memerlukan teknologi untuk menjalani
aktivitas sehari-hari.

Salah satu perkembangan teknologi yang sangat membantu dalam memenuhi


kebutuhan sehari-hari ialah internet. Adanya teknologi ini telah berhasil
memudahkan manusia untuk mengetahui beragam informasi dan
menghubungkan dengan manusia lainnya di berbagai belahan dunia. Meski
begitu, tidak jarang ada oknum yang memanfaatkan perkembangan teknologi
untuk melakukan tindak kejahatan atau yang biasa disebut dengan cyber crime.
Belakangan ini, istilah cyber crime kerap terdengar seiring semakin pesatnya
perkembangan digital. Cyber crime adalah tindak kejahatan di dunia maya yang
memanfaatkan teknologi komputer dan jaringan internet sebagai sasaran.

 Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan masyarakat lebih cenderung terjadi perubahan yang
cepat di masyarakat.

            Berkenaan dengan pembangunan teknologi, kemajuan dan perkembangan teknologi informasi melalui
internet, peradaban manusia dihadapkan pada fenomena-fenomena baru yang mampu mengubah hampir setiap
aspek kehidupan manusia. [1]

            Perkembangan pesat internet telah menimbulkan berbagai sengketa dan konflik hukum yang cukup
serius bagi pemakainya, banyak berbagai persoalan yang tidak terduga sebelumnya makin bermunculan.

            Maraknya penggunaan internet di berbagai bidang kehidupan sering menimbulkan persoalan-persoalan
hukum seperti penipuan, pencurian, pembobolan dan merusak data dengan penyebaran virus, dll.
            Para Pengguna jasa internet kerap mengalami berbagai permasalahan, hal ini karena aturan main di
dunia maya belum jelas, selain itu juga akibat kurang amannya sistem dalam pengaturan internet.

            Kenyataannya perkembangan dunia maya tak mungkin dapat dicegah, bukan saja lintas wilayah, tapi
batas negara pun ditembusnya. Transaksi-transaksi yang dilakukan melalui media internet belum dapat
dijangkau hukum[2], salah satu contohnya adalah E-mail Wakil Ketua MPR dibajak penipu untuk kepentingan
sejumlah uang. (Jawa Pos, Selasa 28 Mei 2013) ;

            Pemberitaan di media massa tentang kasus-kasus tersebut begitu maraknya, sebab hal itu merupakan
hal baru yang belum ada landasan hukumnya. Bila disimak, persoalannya justru terletak pada vakumnya
regulasi hukum di bidang siber (cyber) atau internet. Ketiadaan aturan hukum internet membuat suburnya
kejahatan atau pelanggaran.

ANALISA KASUS

contoh kasus yang dialami oleh Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin yang e-mail nya telah
dibajak penipu untuk mendapatkan kepentingan dengan sejumlah uang dengan mengirimkan surat kepada
kontak-kontak yang ada di e-mail milik Lukman Hakim Saifuddin (Jawa Pos, Selasa 28 Mei 2013)
sebagaimana terlampir.

Berdasarkan pasal 26 ayat 2 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 yang berbunyi “setiap orang yang
dilanggar haknya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan atas kerugian yang ditimbulkan
berdasarkan Undang-Undang ini,” dalam hal ini, Lukman Hakim Saifuddin mempunyai hak untuk
mendapatkan keadilan, dengan penerapan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang
perbuatan yang dilarang, yang berbunyi :”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.” Dalam pasal
ini pelaku yang membajak e-mail Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin telah menyebarkan berita
bohong dengan unsur penipuan untuk mendapatkan kepentingan dengan sejumlah uang dengan mengirimkan
surat kepada kontak-kontak yang ada di e-mail milik Lukman Hakim Saifuddin, sehingga pelaku dapat
dikenakan pidana sebagaimana tertera dalam pasal 45 ayat 2 tentang ketentuan pidana Undang-Undang nomor
11 tahun 2008 yang berbunyi “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat
(1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu milyard rupiah).”
Dalam kasus yang menimpa Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin tersebut, pelaku kejahatan
dunia maya yang membajak e-mail Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin juga dapat diterapkan dengan
pelanggaran pasal 378 KUHP tentang penipuan yang berbunyi “Barangsiapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat
(hoendanigheid) palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk
menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam
karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”[6]

Ketentuan pidana yang terdapat dalam KUHP pasal 378 tersebut disebutkan pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun, akan tetapi dalam pasal 45 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 disebutkan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun.

1. Apakah undang-undang pidana kita mampu menjerat pelaku pidana yang dilakukan di dunia maya
(cybercrime) ?
Sehubungan dengan perangkat perundang-undangan dalam mengantisipasi maraknya kejahatan
dengan menggunakan internet (cybercrime), undang-undang pidana kita belum mampu menjerat pelaku tindak
pidana yang dilakukan di dunia maya (cybercrime).
Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimiliki
Indonesia, namun peraturan itu masih belum cukup mampu menjerat pelaku tindak pidana di internet, apalagi
dalam pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu
ketentuan Undang-Undang.” Asas legalitas (nullum delictum nulla poena sine praevia lege).

Dari segi kepastian hukum, memang asas nullum delictum seyogyanya dipegang teguh, tetapi dari sisi
rasa keadilan tampaknya asas ini sering mengundang silang pendapat, apalagi bila dalam hal ini hakim dalam
memeriksa perkara tidak menggunakan kewajibannya untuk menggali hukum (rechtsvinding) lantaran
berpatokan pada asas pidana yang menekankan perlunya perumusan delik (kriminalisasi) terlebih dahulu.         

Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu :

a). Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP.

b). Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi
diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.

c). Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.[7]

Selain pasal 1 KUHP tersebut, kesulitan hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan
di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian, karena hukum positif Indonesia mengharuskan adanya
alat bukti, saksi, keterangan ahli serta terdakwa dalam pembuktian, sedangkan dalam hal kejahatan terkait
dengan teknologi informasi sulit dilakukan pembuktiannya.[8]
Dalam hal pembuktian terhadap kejahatan dunia maya, telah disebutkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2
Undang-Undang nomer 11 tahun 2008.
Mengenai hal ini Soedjono Dirdjosisworo menyatakan :”Perubahan dan penyesuaian soal serta
perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (Undang-Undang nomor 73 tahun 1958) demikian
pesatnya, dan kepesatan perkembangan social dan teknologi serta semakin berpengaruhnya globalisasi yang
terus didorong oleh teknologi informasi dan komunikasi sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana sudah sejak lama tidak mampu secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi
kriminalitas yang meningkat, baik kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan modus operandi yang
tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (contoh menonjol adalah cybercrime).”[9]
Ketiadaan Undang-Undang yang menjadi penyebab tidak dapat dihukumnya pelaku kejahatan tidak
dapat dibiarkan berlarut-larut, karena apabila hal ini tidak segera diselesaikan akan menimbulkan keresahan di
masyarakat dan pada akhirnya hukum akan kehilangan wibawanya.

            Dengan memperhatikan hal-hal sebagaimana dikemukakan diatas nampak jelas bahwa kebutuhan
perundang-undangan baru yang mengatur mengenai kejahatan di dunia maya (cybercrime) sudah tidak dapat
ditunda-ditunda lagi, dimana dibutuhkan perubahan terhadap hukum pidana Indonesia berkaitan dengan
munculnya kemajuan teknologi informasi (pengkajian dari aspek politik hukum).

            Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan penyesuaian materi hukum sebagai
konsekuensi terhadap perubahan perundang-undangan, yaitu ius constitutum (hukum yang berlaku), perubahan
masyarakat dan ius constituendum (hukum yang harus ditetapkan).[10]

1. Bagimana tindakan pemerintah untuk mengantisipasi hal tersebut?

Guna menindaklanjuti tuntutan globalisasi serta kemajuan teknologi informasi yang menghendaki
segala aktivitas manusia berlangsung dengan cepat, transparan serta tanpa dibatasi oleh wilayah (bordeless),
maka dewasa ini pembaharuan hukum pidana sebagai bagian kebijakan hukum pidana telah diupayakan oleh
berbagai pihak, baik dari kalangan praktisi hukum, akademisi maupun pemerintah melalui Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang masih terus diolah.

   Pembaharuan hukum pidana (penal reform) harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, oleh karena
pada hakikatnya pembaharuan hukum pidana merupakan bagian dari suatu kebijakan. Pendekatan kebijakan
sebagai bagian dari kebijakan sosial, kebijakan penegakan hukum (substansi hukum), pendekatan nilai-nilai
social politik dan kebijakan kriminal.

Berkenaan dengan peran Hukum Pidana terhadap perkembangan teknologi informasi, maka perlu
diperhatikan beberapa hal penting sebagai upaya penyempurnaan terhadap ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Nasional, antara lain daya berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus diperluas,
sehingga tidak hanya mengacu pada asas/prinsip yang selama ini dianut dalam pasal 2- pasal 9 KUHP yaitu
asas personal, asas territorial dan asas universal. Untuk merumuskan dan menentukan perbuatan-perbuatan
mana yang dapat dikenai sanksi pidana dan untuk menjerat pelaku tindak pidana yang melakukan kejahatan di
dunia maya (cybercrime) dapat digunakan lembaga penafsiran hukum (interpretasi) Hal ini dimaksudkan untuk
menghindarkan kekosongan hukum.

A. KESIMPULAN

                 Era globalisasi dan teknologi informasi membawa pengaruh terhadap munculnya berbagai bentuk
kejahatan yang sifatnya baru (cybercrime), merupakan suatu fenomena yang memerlukan penanggulangan
secara cepat dan akurat.
                   Perubahan terhadap beberapa ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
merupakan salah satu cara yang dapat dipergunakan untuk mengatasi jenis kejahatan baru (cybercrime).

                   Dengan diperlakukannya berbagai perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional
diharapkan sebagai akibat dari timbulnya berbagai perubahan dalam masyarakat akan berdampak pada
pulihnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Berbagai kasus pelanggaran hukum melalui media internet kini kerap terjadi di Indonesia, negeri yang
merupakan negara hukum (recht-staats). Kelemahan hukum sering dijadikan kambing hitam, sehingga banyak
perbuatan pidana terlepas dari jerat hukum.

Hukum itu sangat dinamis, hukum bukan barang mati dan tidak matematis. Soal kebenaran dalam
hukum tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi kelompok, karena hukum itu pada hakekatnya harus dapat
merespons rasa keadilan yang tumbuh di tengah masyarakat. Hukum bukan hanya sekedar permainan pasal-
pasal secara legalitas, akan tetapi hukum harus mengikat secara sosiologis.

Bila suatu aturan hukum belum ada peran hakim harus diutamakan, hakim tidak boleh bersikap pasif,
tetapi hakim harus menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana terkandung dalam pasal 27 (1) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman nomor 14 tahun
1970.

A. DAFTAR PUSTAKA
1. Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT.Bumi Aksara, Jakarta, cetakan kedua
puluh dua, 2003 ;
2. Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ;
3. Iman Sjahputra, Problematika Hukum Internet Indonesia, PT. Prenhallindo, Jakarta, Juni
2002 ;

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi,
PT.Refika Aditama, Bandung, 2005.

PENGERTIAN

Cyber crime adalah kejahatan dunia maya yang dilakukan individu atau
sekelompok orang yang menyerang sistem keamanan komputer atau data-data
yang ada di dalam komputer. Kejahatan tersebut dilakukan dengan beragam
motif, mulai dari kepuasan diri hingga kejahatan yang dapat merugikan ekonomi
atau politik.
Kejahatan dunia maya secara luas didefinisikan sebagai aktivitas ilegal apa pun
yang melibatkan komputer, perangkat digital lain, atau jaringan komputer.
Adapun contoh cyber crime di antaranya, yaitu ancaman keamanan cyber seperti
rekayasa sosial, eksploitasi kerentanan perangkat lunak, dan serangan jaringan.

Secara umum, cyber crime adalah tindak kriminal yang dilakukan dengan
menggunakan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utama. Dengan kata
lain, seseorang memanfaatkan perkembangan teknologi untuk melakukan
kejahatan.

JENIS JENIS CYBER CRIME

Semakin hari, semakin banyak cyber crime yang merugikan pengguna komputer
atau internet. Ada beberapa jenis cyber crime yang perlu di waspadai, di antaranya
sebagai berikut:

Peretasan
Peretasan adalah tindakan yang dilakukan oleh penyusup dengan mengakses
sistem komputer tanpa izin. Biasanya, peretas memiliki kemampuan atau
pemahaman yang baik dengan komputer, namun hal ini sering disalahgunakan
untuk melakukan aksi kejahatan.

Hacking
Hacking adalah tindakan berbahaya yang sering kali dilakukan oleh para
programer profesional untuk mengincar kelemahan atau celah dari sistem
keamanan. Biasanya, para hacker akan mendapatkan keuntungan berupa materi
atau kepuasan pribadi dari tindakan tersebut.

Meski begitu, hacker tidak selamanya berkonotasi buruk. Banyak sekali hacker
yang diberi tugas pihak berwenang untuk melacak keberadaan seorang buronan.

Carding
Carding adalah istilah yang kerap digunakan untuk menyebut penyalahgunaan
informasi kartu kredit milik orang lain. Biasanya, para pelaku carding akan
menggunakan akses kartu kredit milik orang lain untuk membeli barang belanjaan
secara online. Setelah itu, barang gratisan tersebut akan dijual kembali dengan
harga murah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak.

Menyebarkan Konten Ilegal


Menyebarkan konten illegal merupakan kejahatan yang melanggar undang-
undang. Biasanya, aktivitas ini biasanya melibatkan tokoh terkenal atau konten
yang mampu memancing kontroversi. Adapun beberapa contoh konten iligal di
antaranya yaitu jual beli narkotika, penjualan senjata api, menyebarkan video
porno, dan konten ilegal lainnya.

Phishing
Phishing adalah kejahatan dunia maya dengan cara penggalian informasi rahasia
seperti nomor kartu kredit dan melihat kata sandi nama pengguna sebuah akun.
Biasanya, penjahat dunia maya ini akan menyamar sebagai perusahaan yang sah
dan dilakukan dengan spoofing email.

Defacing
Salah satu tindak kejahatan dunia maya yang masih tergolong ringan adalah
defacing. Umumnya, jenis cyber crime satu ini menyasar website-website non-
profit seperti situs sekolah, universitas, atau pemerintahan.

CYBER CRIME DALAM HUKUM INDONESIA

Secara garis besar, Cyber Crime terdiri dari dua jenis, yaitu;


1. kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (“TI”) sebagai fasilitas; dan
2. kejahatan yang menjadikan sistem dan fasilitas TI sebagai sasaran.
BerdasarkanUU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”),
hukum Indonesia telah mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang
sah di pengadilan. Dalam acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184
KUHAP mengenai alat bukti yang sah.

Pasal 5

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya


merupakan alat bukti hukum yang sah.
2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah
sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila
menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang- Undang ini.
4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
1. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis.
dan
2. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat
akta.

Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum
di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Menurut keterangan Kepala Unit V Information dan Cyber Crime Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri, Kombespol Dr. Petrus Golose dalam wawancara penelitian Ahmad Zakaria,
S.H., pada 16 April 2007, menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”),
khususnya Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam
menangani kasus terkait Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada
standar internasional yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal
Bureau of Investigation (“FBI”) di Amerika Serikat.

Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional,


maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga
melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar
Polri. Rubi Alamsyah, seorang pakar digital forensik Indonesia, dalam wawancara
dengan Jaleswari Pramodhawardani dalam situs perspektifbaru.com, memaparkan
mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain :

1. Proses Acquiring dan Imaging,  Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka


harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi
(mengkloning/menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah
maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak
boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan
mengubah barang bukti.
2. Melakukan Analisis, Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat
dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus,
disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis
barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan
untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.

Dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakan cyber crime,


penulis tidak mengetahui secara pasti metode yang diterapkan oleh penyidik khususnya di
Indonesia. Namun untuk Darrel Menthe dalam bukunya Jurisdiction in Cyberspace : A
Theory of International Space, menerangkan teori yang berlaku di Amerika Serikat yaitu :
1. Theory of The Uploader and the Downloader,  Teori ini menekankan bahwa dalam
dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberikan
informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang mengakses informasi).
2. Theory of Law of the Server,  Dalam pendekatan ini, penyidik
memperlakukan server di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka
dicatat atau disimpan sebagai data elektronik.
3. Theory of International Space,  Menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai suatu
lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana setiap negara
memiliki kedaulatan yang sama.

Sedangkan pada kolom “Tanya Jawab UU ITE” dalam laman http://www.batan.go.id/sjk/uu-


ite dijelaskan bahwa dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu
tindakan cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file,  yaitu sebuah file yang
berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem
komputer.

Anda mungkin juga menyukai