Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KELOMPOK 5

HUKUM PIDANA KHUSUS


PERKEMBANGAN UU ITE

Disusun Oleh :

M.RIDHO WAHYUDI (21) (207810192)

M.ABDUH ALGERYA S (22) (207810160)

M.SALADIN (23) (207810161)

MOCH ANGGA BAGUS S (24) (207810140)

M.HADI KURNIAWAN (25) (207810214)

S1 ILMU KEPOLISIAN ANGKATAN 78 / WPG

STIK – PTIK
1. Megapa ada Perubahan dari Undang-Undang ITE ?

Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berlaku
mulai hari ini memang menjadi perhatian banyak pengguna internet di
Indonesia. Menurut kelompok kami Pangerapan, pemerintah merevisi UU ITE
karena Indonesia sedang berusaha mengelola internet di Indonesia. Kami menilai,
saat ini tengah terjadi transformasi digital. Karena itu, pergerakan internet di Indonesia
sangat cepat. Hal ini terbukti dari jumlah pengguna internet pada 2010 yang
jumlahnya 42 juta, meningkat tajam menjadi 132 juta pada tahun ini. Kehadiran 132
juta orang di dunia maya memunculkan keragaman yang sangat luas. Maka, ada
tantangan tersendiri untuk mewujudkan tata kelola internet di Indonesia.

"Kehadiran internet tidak dimungkiri memberikan manfaat bagi dunia usaha. Namun
ada kompleksitas masalah, seperti masalah teknis, masalah legal misalnya transaksi
online apakah sah secara hukum, sosial budaya misalnya perilaku yang disalurkan
melalui media sosial," tutur Semuel.

Revisi UU ITE sebenarnya sudah dilakukan sejak 2012, namun baru terlaksana pada
2016. Pemerintah menegaskan, revisi UU ITE diharapkan bisa memberikan arah
mengenai pembangunan internet di Indonesia.

Maka itu, dalam prosesnya pemerintah berdiskusi dan mendengarkan masukan serta
perspektif dari pemangku kepentingan dan masyarakat. "Manfaat TIK harus
melindungi kepentingan nasional, jangan sampai kepentingan nasional malah
dikorbankan,"

Menurut kami, revisi UU ITE berusaha membuat internet menjadi bermanfaat sebesar-
besarnya bagi masyarakat sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Selanjutnya,
dengan revisi ini pemerintah berupaya memastikan kehadiran TIK bakal memperkuat
integritas sosial dan mencerdaskan masyarakat, serta memajukan ekonomi digital
berbasis kreativitas.

Tak hanya itu, internet pada mulanya hadir dengan tujuan positif, yakni membangun
layanan internet berintegritas. "Karena itu, untuk menjamin keamanan dalam
berinternet diperlukan payung hukum. Itu awalnya kenapa UU ITE dibentuk yaitu
mengatur tata penggunaan internet agar tidak chaos.
Oleh karena itu, pemerintah merevisi UU ITE dengan tujuan membentuk dunia siber
yang bermanfaat dan mampu meningkatkan peradaban.

2. Mengapa ada Perkuatan PPNS bidang ITE ?

Menurut kelompok kami dibentuknya PPNS di bidang ITE salah satunya untuk
memudahkan pengungkapan tindak pidana khusus serta pengawalan undang-undang
di lingkungan Kementerian dan Lembaga. Mereka juga dituntut untuk bisa
menempatkan diri dan fokus pada tugas menjadi penegak hukum bidang penyidikan
bersama dengan polisi dan jaksa. Agar dalam pelaksanaan tugas penyidikan tidak
menimbulkan permasalahan, ketidakharmonisan atau ego sektoral, Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil harus mendudukkan diri sebagaimana sudah diatur dalam
berbagai ketentuan

Pemerintah juga meminta para PPNS aktif dan kreatif mengikuti dinamika
perkembangan global dan perubahan teknologi informasi, beserta jenis dan modus
kejahatan yang mengikutinya. Cara-cara penyidikan konvensional kurang relevan
menghadapi kejahatan lintas negara (transnational) atau kejahatan dunia maya (cyber
crime) yang mungkin saja terjadi di Kementerian/Lembaga tempat mereka
ditugaskan.

Seiring dengan perkembangan jaman dan dinamika masyarakat maka kriminalitas


pun semakin canggih dan berkembang kualitas dan kuantitas modus operandinya,
Untuk mengantisipasi hal tersebut maka pemerintah melalui criminal policy membuat
kriminalisasi dan menuangkannya kedalam berbagai Undang undang sehingga
terdapat begitu banyak Undang-undang yang berlaku dan yang harus mampu
ditegakkan oleh para aparatur Negara. Perlu dipahami bahwa perkuatan PPNS sudah
mengalami perkembangan dimana hal tersebut juga mengikuti perkembangan zaman
ke arah era 4.0. Pada perkembangan zaman sekarang ini lebih kepada
perkembangan teknologi dan ini juga menjadi sebuah celah dalam timbulnya
kejahatan. PPNS juga dibutuhkan dalam penyidikan kasus ITE sesuai dengan pasal
43 ayat (1) Undang-Undang no. 19 tahun 2016 yang berbunyi “Selain Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang tentang Hukum Acara
Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan
Transaksi Elektronik”. Selain Polri.

3. Perbedaan Tindak Pidana Konvensional dan Tindak Pidana ITE ?

Kejahatan konvensional merupakan kejahatan yang umum terjadi di lingkungan


masyarakat, baik terhadap jiwa, harta benda, dan kehormatan yang menimbulkan
kerugian baik fisik maupun psikis yang dilakukan dengan cara- cara biasa maupun
baru yang terjadi di dalam negeri.

Cybercrime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi


informasi. Berbagai definisi pernah dikemukakan oleh para ahli, namun belum
terdapat keseragaman terhadap definisi tersebut. Secara teknis tindak pidana
tersebut dapat dibedakan menjadi offline crime, semi online crime, cyber crime.
Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri, namun perbedaan utama diantara
ketiganya adalah keterhubungan dengan jaringan informasi publik (baca: internet).
Cybercrime merupakan perkembangan lebih lanjut dari kejahatan atau tindak pidana
yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komputer.

KEJAHATAN KONVENSIONAL KEJAHATAN SIBER

Tidak ada penggunaan TI Terdapat penggunaan


secara langsung teknologi informasi

Alat bukti : bukti fisik (terbatas Alat bukti digital


menurut pasal 184 KUHAP)

Pelaku dan korban biasanya Pelaksanaan kejahatan : non


berada dalam satu tempat fisik (cyberspace)

Pelaksanaan penyidikan Proses penyidikan


melibatkan laboratorium komputer melibatkan laboratorium forensic
komputer
Proses penyidikan dilakukan Sebagai proses penyidikan
didunia nyata dilakukan : virtual undercover

Tidak ada penanganan Penanganan komputer sebagai


komputer sebagai TKP TKP (crime scane)

Dalam proses Dalam proses persidangan,


persidangan,keterangan ahli tidak keterangan ahli menggunakan ahli
menggunakan ahli TI TI

4. Presiden Perintahkan TB 1 untuk selektif menggunakan prinsif kehati-hatian ?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan arahan soal Undang-undang Informasi


dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ada beberapa arahan Jokowi soal UU ITE agar
memenuhi rasa keadilan rakyat Indonesia. Arahan Jokowi tersebut disampaikan
dalam rapat dengan pimpinan dari TNI dan Polri. Jokowi mengingatkan kepada TNI
dan Polri untuk menjunjung tinggi demokrasi. Jokowi ingin jajarannya benar-benar
mewujudkan keadilan.

Beliau menjelasakan :
"Negara kita adalah negara demokrasi, yang menghormati kebebasan
berpendapat dan berorganisasi, negara kita adalah negara hukum yang harus
menjalankan hukum seadil-adilnya, melindungi kepentingan lebih luas dan
menjamin rasa keadilan masyarakat,"

UU ITE memiliki semangat awal untuk menjaga agar ruang digital Indonesia berada
dalam kondisi bersih, sehat, beretika, dan produktif. Namun, implementasi terhadap
undang-undang tersebut jangan sampai menimbulkan rasa ketidakadilan.

Kepala Negara menuturkan belakangan ini banyak masyarakat yang saling membuat
laporan dengan menjadikan UU ITE sebagai salah satu rujukan hukumnya. Hal ini
seringkali menjadikan proses hukum dianggap kurang memenuhi rasa keadilan.

Cara Polri menerapkan prinsip kehati-hatian :


Sebagai seorang penyidik Polri yang mengemban fungsi pemerintahan dalam hal
penegakan hukum sesuai dalam Pasal 2 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri. Maka
sudah sepatutnya para penyidik Polri selain wajib memahami tentang aturan dalam
beracara pidana seperti yang diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang
KUHAP, maupun Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang penyidikan tindak
pidana, penyidik Polri juga wajib memahami tujuan dari hukum pidana yaitu tercantum
dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) yang menyebutkan bahwa hukum menjadi
keharusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena hukum dapat
menciptakan ketertiban serta keadilan pada masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan
pendapat menurut Gustav Radbruch, bahwa 3 nilai dasar hukum yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum. Sehingga, berdasrakan penyataan di atas maka
dipandang perlu bagi Polri untuk memberikan pendidikan dan pelatihan yang
mendalam dan berkesinambungan dalam hal penydikan tindak pidana yang
menjunjung tinggi nilai-nilai dasar hukum. Artinya dalam melakukan upaya pengakan
hukum, penyidik tidak hanya menegakkan hukum secara tekstual saja
(kepastian hukum), namun tetap mempertimbangkan aspek nilai keadilan dan
kemanfaatan
hukum. Sehingga benar-benar menghasilkan keputusan yang tepat dan dirasakan
manfaatnya oleh masyarakat.
Kemudian untuk bisa menerapkan prinsip kehati-hatian khususnya dalam
hal penanganan kasus UU ITE. Perlu diberikan pemahaman dan pelatihan
kepada jajaran penyidik Polri untuk bisa benar-benar memahami pasal-pasal
yang dianggap multitafsir dan bisa dinterpretasikan secara subyketif, baik
oleh penyidik maupun pihak-pihak lain yang memilik kewenangan dalam UU
ITE. Seperi pasal 27 ayat (3) misalnya tentang pencemaran nama baik, dimana
hal tersebut juga diatur di dalam KUHP pada pasal 310 dan 311 KUHP.
Penyidik harus benar-benar memahami unsur pasal baik secara tekstual
maupun kontekstual. Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITE tersebut dapat
diuraikan unsur- unsurnya ialah sebagai berikut:

a) Unsur subjektif, meliputi kesalahan dengan sengaja;


Agar dapat dikatakan dengan sengaja harus memenuhi syarat
menghendaki dan mengetahui suatu perbuatan atau akibat yang
dilakukannya. Pertama, adanya “niat kesengajaan untuk menghina” atau
animus injuriandi. Kedua, perbuatan penghinaan itu dilakukan di muka umum.
Syarat animus injuriandi ini menjadi penting, agar dapat menilai mana yang
merupakan kritik terhadap pejabat publik dan mana yang merupakan tindakan
untuk menghina atau mencemarkan nama baik seseorang. Tentunya animus
injuriandi dapat dilihat dari kalimat penghinaan maupun motif dibalik tindakan
tersebut.

b) Unsur-unsur objektif, meliputi:


i. Melawan hukum: tanpa hak;
Pertama unsur melawan hukum meliputi unsur tanpa hak, sehingga esensinya
sama antara unsur melawan hukum dan unsur tanpa hak. Kedua, tanpa hak
tersebut melekat pada isi informasi yang mengandung muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik, bukan pada subjek hukumnya. Ketiga,
secara contrario terdapat orang yang berhak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasinya tersebut
apabila informasi tersebut digunakan untuk kepentingan umum dan terpaksa
membela diri sesuai dengan Pasal 310 ayat (3) KUHP. Keempat, unsur tanpa
hak sebenarnya tidak mempunyai konsekuensi yuridis esensial dalam
pembuktian karena ada Pasal 310 ayat (3) KUHP sebagai alasan penghapus
pidana khusus. Kecuali, konsekuensi yuridis dalam pembuktian mucul yaitu
penuntut Umum harus membuktikan unsur tanpa hak tersebut.
ii. Perbuatan, yang terbagi lagi menjadi: Mendistribusikan,
dan/atau Menstransmisikan dan/atau Membuat dapat diaksesnya;
Pertama, terdapat inkonsistensi unsur mendisitribusikan dan
mentransmisikan sebagai tindak pidana formil dan terdapat unsur membuat dapat
diaksesnya sebagai tindak pidana materil. Kedua, seharusnya kalau
mengandung unsur membuat dapat diaksesnya tersebut meliputi unsur
mendisitribusikan dan mentransmisikan maka kedua unsur tersebut seharusnya
ditiadakan karena sudah terdapat unsur rmembuat dapat diaksesnya. Selama
terdapat unsur membuat dapat diaksesnya menjadi rumusan unsur dalam Pasal
27 ayat (3) Undang-Undang ITE, maka unsur mendistribusikan dan
mentransmisikan menjadi tidak ada gunanya untuk dicantumkan. Karena tidak
mungkin ada tindak pidana pencemaran nama baik tanpa diakses oleh orang
lain/ masyarakat umum. Sifat pencemaran ialah karena tersebarnya
ungkapan ekspresi atau pendapat tersebut kepada khalayak umum. Secara
acontrario
tidak mungkin terdapat pencemaran nama baik apabila tidak diketahui
oleh umum.

iii. Objek yang meliputi: Informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik


yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Jadi sesuai
dengan prinsip legality dan siracusa principle perumusan rancangan tindak
pidana pencemaran nama baik dan fitnah di atas diatur secara lebih ketat, jelas
dan tegas. Apalagi untuk mencapai keseimbangan antara kebebasan
berpendapat atau berekspresi dan perlindungan terhadap kehormatan dan dan
nama baik seseorang dibuatlah tindak pidana dalam rancangan tersebut sebagai
tindak pidana materil.

Anda mungkin juga menyukai