Anda di halaman 1dari 97

Tindak Pidana Korupsi

oleh
Gandjar Laksmana Banaprapta
Anggota Bidang Studi Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Pendahuluan
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang berciri:
1.Berpotensi dilakukan oleh setiap orang.
2.Random target/victim.
3.Kerugiannya besar dan meluas.
4.Terorganisasi atau oleh organisasi.

+ bersifat lintas negara


“Sumber-sumber potensial terjadinya korupsi dan
penyelewengan:

1. Proyek pembangunan fisik


2. Proyek pengadaan barang
3. Bea dan cukai
4. Perpajakan
5. Pemberian ijin usaha dan kredit perbankan

Korupsi terjadi pada kegiatan yang berkisar pada


kualitas, harga, dan komisi.”
Riwayat Perumusan Delik Korupsi
dalam UU No. 31 tahun 1999
juncto UU No. 20 tahun 2001
1. Rumusan delik yang berasal dari pembuat
undang-undang;
2. Rumusan delik yang berasal dari KUHP;
a) Delik korupsi yang ditarik secara mutlak dari
KUHP, yaitu menyangkut delik korupsi
dalam arti materil dan keuangan. Contoh: Pasal
209, 210, dan 387 KUHP.
b) Delik korupsi yang ditarik tidak secara mutlak
dari KUHP, yaitu yang menjadi delik korupsi
dalam kaitan dengan pemeriksaan tindak
pidana korupsi. Contoh: Pasal 220, 231, dan 421
KUHP.
Delik Korupsi yang Dirumuskan oleh Pembuat
Undang-undang

UU No. 3/1971 UU No. 31/1999


1. Pasal 1 ayat (1) huruf 1. Pasal 2
a, b, dan d 2. Pasal 3
3. Pasal 13
2. Pasal 1 ayat (2) 4. Pasal 15
Perumusan Delik yang Berasal dari KUHP

Ditarik secara mutlak:

UU No. 3/1971 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001

Pasal 1 ayat (1) Ps. 209 (1) ke-1 = Ps. 5 (1) a


huruf c: Pasal Ps. 209 (1) ke-2 = Ps. 5 (1) b
209, 210, 387, Ps. 210 (1) ke-1 = Ps. 6 (1) a
388, 415, 416,
417, 418, 419, Ps. 210 (1) ke-2 = Ps. 6 (1) b
420, 423, 425, Ps. 387 (1) = Ps. 7 (1) a
dan 435 KUHP Ps. 387 (2) = Ps. 7 (1) b
Ps. 388 (1) = Ps. 7 (1) c
Ps. 388 (2) = Ps. 7 (1) d
Ps. 415 = Ps. 8
Ps. 416 = Ps. 9
Ps. 417 = Ps. 10
Ps. 418 = Ps. 11
Ps. 419 ke-1 = Ps. 12 a
Ps. 419 ke-2 = Ps. 12 b
Ps. 420 (1) ke-1 = Ps. 12 c
Ps. 420 (1) ke-2 = Ps. 12 d
Ps. 423 = Ps. 12 e
Ps. 425 ke-1 = Ps. 12 f
Ps. 425 ke- 2 = Ps. 12 g
Ps. 425 ke-3 = Ps. 12 h
Ps. 435 = Ps. 12 i
Ditarik tidak secara mutlak:

UU No. 3/1971 UU No. 31/1999


Jo
UU. No. 20/2001
Ditarik melalui Pasal 32, Ditarik melalui Pasal 23,
yaitu: yaitu:
Pasal 220, 231, 421, 422, Pasal 220, 231, 421, 422,
429, dan 430 KUHP 429, dan 430 KUHP
Tindak Pidana Korupsi dalam UU
- Diatur di dalam 12 Pasal di dalam UU No. 31
tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001;
- Terdiri atas 7 macam perbuatan utama;
- Apabila dijabarkan lebih rinci menjadi 30
(tigapuluh) bentuk perbuatan;
- Hanya 2 (dua) dari 12 Pasal dalam UU tersebut
yang berkaitan dengan kerugian keuangan
negara dan/atau kerugian perekonomian
negara.
7 Perbuatan Utama Korupsi
1. Merugikan keuangan negara.
2. Suap.
3. Penggelapan dalam jabatan.
4. Paksaan mengeluarkan uang (pemerasan).
5. Perbuatan curang.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan.
7. Gratifikasi.
1. Kerugian keuangan negara: a. Pasal 2
b. Pasal 3

2. Suap: a. Pasal 5 ayat (1) huruf a


b. Pasal 5 ayat (1) huruf b
c. Pasal 13
d. Pasal 5 ayat (2)
e. Pasal 12 huruf a
f. Pasal 12 huruf b
g. Pasal 11
h. Pasal 6 ayat (1) huruf a
i. Pasal 6 ayat (1) huruf b
j. Pasal 6 ayat (2)
k. Pasal 12 huruf c
l. Pasal 12 huruf d
3. Penggelapan dalam jabatan: a. Pasal 8
b. Pasal 9
c. Pasal 10 huruf a
d. Pasal 10 huruf b
e. Pasal 10 huruf c
4. Paksaan mengeluarkan uang
(pemerasan): a. Pasal 12 huruf e
b. Pasal 12 huruf g
c. Pasal 12 huruf f

5. Perbuatan curang: a. Pasal 7 ayat (1) huruf a


b. Pasal 7 ayat (1) huruf b
c. Pasal 7 ayat (1) huruf c
d. Pasal 7 ayat (1) huruf d
e. Pasal 7 ayat (2)
f. Pasal 12 huruf h
6. Benturan kepentingan dalam a. Pasal 12 huruf i
pengadaan:

7. Gratifikasi: a. Pasal 12B jo. Pasal 12C


Subyek Hukum
Tindak Pidana Korupsi

Siapa yang berpotensi dijerat?


UU No. 31 tahun 1999
1. “Setiap Orang” (Pasal 1 angka 3) yang meliputi:
a. orang perseorangan: siapa saja, setiap orang, pribadi kodrati;
b. korporasi (Pasal 1 angka 1): kumpulan orang atau kekayaan yang
terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum.
2. “Pegawai Negeri:, yaitu:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam UU tentang
kepegawaian (sekarang UU ASN);
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam KUHP;
c. orang yang menerima gaji/upah dari keuangan negara/daerah;

d. orang yang menerima gaji/upah dari suatu korporasi yang menerima


bantuan dari keuangan negara/daerah;
e. orang yang menerima gaji/upah dari korporasi yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara/masyarakat.
Pengertian Pegawai Negeri menurut KUHP
Pasal 92 ayat (1)

Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang


yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga
orang-orang yang, bukan karena pemilihan, menjadi
anggota badan pembentuk undang-undang badan
pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang
dibentuk oleh Pemerintah atau atas nama
Pemerintah; begitu juga semua anggota dewan
waterschap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli
dan kepala golongan Timur Asing yang menjalankan
kekuasaan yang sah.
Pasal 92 ayat (2)

Yang disebut pejabat dan Hakim termasuk juga


Hakim wasit; yang disebut Hakim termasuk juga
orang-orang yang menjalankan peradilan
administratif, serta ketua-ketua dan anggota-
anggota pengadilan agama.

Pasal 92 ayat (3)

Semua anggota angkatan perang juga dianggap


sebagai pejabat
Subjek Hukum TP Korupsi
3. “Penyelenggara Negara”, yaitu:
Menurut UU No. 28 Tahun 1999, Penyelenggara Negara, meliputi:
a. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
b. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
c. Menteri;
d. Gubernur;
e. Hakim;
f. Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan
g. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Tindak Pidana Korupsi
dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001

Pasal 2
(1)- setiap orang
- melawan hukum
- melakukan perbuatan
- memperkaya diri sendiri atau orang lain
atau korporasi
- yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara
(2) Bila dilakukan dalam keadaan tertentu, …
Unsur Ps. 2
1. Unsur “setiap orang”
Pasal 1: setiap orang adalah orang
perseorangan atau termasuk korporasi.
Orang perseorangan adalah siapa saja, setiap
orang, pribadi kodrati/manusia ciptaan
Tuhan (naturlijk persoon), pengemban hak
dan kewajiban dalam hukum pidana, yang
dapat dimintai pertangggungjawaban di
hadapan hukum pidana.
2. Unsur “melawan hukum”
meliputi pengertian melawan hukum dalam arti
formil maupun materil.

3. Unsur “melakukan perbuatan”


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
melakukan perbuatan berarti melakukan sesuatu
yang diperbuat, berupa tindakan (apapun).
Dalam Hukum Pidana dikenal adanya jenis delik
formil dan delik yang dilakukan secara aktif.
4. Unsur “memperkaya”
Menurut KBBI, memperkaya diartikan sebagai
perbuatan menambah kekayaan.
Memperkaya juga dapat diartikan sebagai
setiap perbuatan/tindakan yang
mengakibatkan bertambahnya aset dan harta
kekayaan.
5. Unsur “dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara”
Kata “dapat” sejalan dengan bagian Penjelasan
Umum yang menyatakan Tindak Pidana
Korupsi yang diatur oleh UU No. 31/1999
sebagai berjenis delik formil, yaitu delik yang
sempurna dengan telah dilakukannya
perbuatan yang dilarang oleh UU.
Kerugian keuangan negara tidak menjadi
syarat.
Pengertian kerugian keuangan negara diatur di dalam
bagian Penjelasan Umum UU No. 31/1999, yaitu:

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh


kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya
segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena :
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga negara,
baik ditingkat pusat maupun di daerah.
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan
pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan,
badan hukum, dan perusahaan yang
menyertakan modal negara atau
perusahaan yang menyertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Demikian pula pengertian “perekonomian negara”,
Penjelasan Umum UU No. 31/1999 menjelaskan
sebagai
kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha
bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun
usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan
pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun di daerah sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Kerugian perekonomian negara tidaklah menjadi syarat
untuk dapat diterapkannya pasal ini.
Keadaan tertentu yang dimaksud dalam Ps. 2 ayat (2)
adalah apabila perbuatan dilakukan terhadap:
1.Dana penanggulangan bencana alam nasional.
2.Dana penanggulangan keadaan darurat/militer.
3.Dana penanggulangan kerusuhan sosial yang meluas.
4.Dana penanggulangan krisis moneter; atau
5.Mengulangi kejahatan korupsi (residiv).
Untuk itu pidana mati dapat diancamkan kepadanya.
Tentang unsur “melawan hukum”
yang tertulis di Ps. 2 ayat (1)
UU No. 31 tahun 1999.
Sifat Melawan Hukum
(Wederrechtelijkheid)
Arti :
- tanpa hak sendiri (zonder eigen recht)
- tanpa hak atau kekuasaan (zonder daartoe gerechtigd te zijn)
- tanpa dihiraukan bentuk-bentuk tertentu yang ditentukan dalam
peraturan-peraturan umum (zonder in acht neming van de bij
algemene verordeningen bepaalde vormen)
- bertentangan dengan hak orang lain (tegen eens anders recht)
- dengan melampaui batas kekuasaannya (met overschrijding van
zijne begoegdheid)
- tanpa ijin (zonder verlof)
- tanpa alasan yang wajar
- bertentangan dengan hukum positif
AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM

• Melawan hukum:

- aliran formil: melawan hukum=melawan


UU, sebab hukum adalah UU.

- aliran materiil: melawan hukum adalah


perbuatan yg oleh masyarakat tidak
dibolehkan.
Perbedaan Ajaran Materiil dan Formil

AJARAN FORMIL AJARAN MATERIIL


 melawan hukum tidak selalu  melawan hukum adalah unsur
menjadi unsur delik, hanya jika mutlak dari tiap-tiap tindak
dalam rumusan delik disebutkan pidana, juga bagi yang dalam
dengan nyata-nyata barulah rumusannya tidak menyebut
menjadi unsur delik unsur tersebut

 hanya mengakui pengecualian  mengakui adanya pengecualian/


yang tersebut dalam undang- penghapusan dari sifat melawan
undang saja/ mis, Ps. 49. hukumnya perbuatan menurut
hukum yang tertulis dan yang
tidak tertulis
Konsekuensi aliran Materiil
• Apakah konsekuensi ajaran bahwa sifat
melawan hukum selalu menjadi unsur
tiap-tiap delik ?
Jika unsur melawan hukum tidak tersebut
dalam rumusan delik, maka unsur itu
dianggap diam-diam telah ada, kecuali jika
dibuktikan sebaliknya oleh pihak
terdakwa.
Pembuktian Unsur Melawan Hukum
• Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu
menjadi unsur delik, ini tidak berarti bahwa karena itu harus
selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut
umum
• Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung
dari rumusan delik. Bila unsur tersebut tercantum dlm
rumusan pasal, maka hrs dibuktikan, sedangkan jika tidak
tercantum maka tidak perlu dibuktikan.
• Akan tetapi bila seorang hakim berpendapat bahwa tidak
ada unsur melawan hukum dalam arti materiil, maka unsur
tersebut harus dibuktikan (dasar penghapus pidana di luar
KUHP)
Alasan Pencantuman unsur Melawan Hukum

• Pada umumnya dalam perundang-undangan,


lebih banyak delik yang tidak memuat unsur
melawan hukum dalam rumusannya
• Alasan pencantuman sifat melawan hukum
dalam perumusan tindak pidana:
- untuk melindungi orang2 yg memiliki hak dari
tuntutan pidana.
H.R. 20 Februari 1933, N.J. 1933, 918, W. 12600.
Barangsiapa melakukan sesuatu perbuatan yang dapat dihukum itu,
tidak selalu dapat dihukum, jika undang-undang sendiri tidak
menunjukkan suatu dasar yang meniadakan hukuman. Lagi pula jika
di dalam rumusan delik itu unsur “wederrechtelijk” tidak dinyatakan
dengan tegas, maka si pelaku tidak dapat dihukum, jika
onrechtmatigheid tersebut ternyata tidak terdapat. Akan tetapi lain
jadinya jika hal tersebut dinyatakan dengan tegas di dalam rumusan
delik. Pasal 82 UU tentang Ternak melarang perbuatan dengan
sengaja membawa sapi yang sehat di antara sapi-sapi yang
berpenyakit mulut dan kuku. Akan tetapi seorang dokter hewan
yang berbuat demikian menurut petunjuk ilmu pengetahuan yang
umumnya dipandang sebagai tepat, dan berkat dibawanya sapi-sapi
tersebut ke dalam keadaan demikian telah memajukan dunia
peternakan, tidaklah dapat dihukum.
H.R. 31 Januari 1919, N.J. 1919 hal. 161, W. 10365
Wederrechtelijk dalam arti luas sama dengan
onrechtmatig (Ps. 1365 KUHPer)!
Yaitu:
1. Melanggar hak orang lain;
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum
(rechtsplicht) dari yang melakukan perbuatan itu;
3. Bertentangan dengan baik kesusilaan maupun
asas-asas pergaulan kemasyarakatan mengenai
penghormatan diri orang lain atau barang orang
lain.
Pasal 3
- Setiap orang
- dengan tujuan
- menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau korporasi
- menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana
- yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan
- yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara
1. Unsur “setiap orang”
Unsur ini telah dijelaskan pada penerapan
unsur Pasal 2.
2. Unsur “dengan tujuan”
Unsur dengan tujuan merupakan
penjabaran dari ajaran kesalahan dan
pertanggungjawaban pidana, yaitu opzet
atau kesengajaan atau dengan sengaja.
Dengan tujuan merupakan bentuk
kesengajaan sebagai tujuan.
3. Unsur “menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau korporasi”
Menurut KBBI menguntungkan berarti
mendapatkan laba atau manfaat.
Keuntungan yang diperoleh harus merupakan
keuntungan materil.
Keuntungan materil tidak harus berupa uang.
4. Unsur “menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana”
Syarat utama diterapkannya unsur ini adalah
bahwa pelaku adalah orang yang sungguh-
sungguh mempunyai kewenangan,
kesempatan, atau sarana.
Orang yang tidak memilikinya tidak dapat
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana, dan oleh karenanya dalam hal
demikian terdapat melawan hukum.
Kewenangan, kesempatan, atau sarana itu
dimiliki sehubungan dengan jabatan dan/atau
kedudukan yang ada pada diri pelaku.

Jika pelaku tidak memiliki kewenangan, disitu


tidak terdapat penyalahgunaan kewenangan
melainkan secara tanpa kewenangan alias
melawan hukum.
Kewenangan
dan Diskresi
Diskresi hanya dapat dibuat oleh pejabat yang
memang berwenang. Diskresi dibuat karena
adanya ketidaktertiban yang diakibatkan oleh:
1.kekosongan hukum;
2.ada hukum tapi tidak berjalan; atau
3.dijalankannya aturan hukum yang ada.
Diskresi bersifat sementara!
5. Unsur “yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan”
Unsur ini harus dikaitkan dengan unsur
sebelumnya, karena terdapat alternatif di
dalam penerapannya berupa
a) penyalahgunaan kewenangan karena
jabatan atau kedudukan;
b) Penyalahgunaan kesempatan karena
jabatan atau kedudukan; dan
c) Penyalahgunaan sarana karena jabatan
atau kedudukan.
6.Unsur “yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara”
Unsur ini telah dijelaskan pada pembahasan
atas unsur yang sama yang terdapat pada
Pasal 2.
Pasal 13
- Setiap orang
- yang memberi hadiah atau janji
- kepada pegawai negeri
- dengan mengingat kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya; atau
- oleh pemberi hadiah atau janji dianggap
melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut.
Unsur Ps. 13
1. Unsur “setiap orang”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
2. Unsur “memberi hadiah atau janji”
Unsur ini mempunyai alternatif: memberi hadiah,
atau memberi janji.
Memberi hadiah adalah menyerahkan sesuatu,
sesuatu itu adalah hadiah.
Menurut KBBI, hadiah adalah pemberian kenang-
kenangan, penghargaan, penghormatan.
Hadiah diberikan bila seseorang memenuhi
prestasi tertentu, karenanya hadiah selalu
diberikan di belakang.
Memberi janji memenuhi juga makna berjanji,
mengikat janji, atau “janjian”.

3. Unsur “Pegawai Negeri”


(lihat subjek hukum)
4. Unsur “dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya”
Unsur ini terkait dengan unsur pegawai negeri
sebagai tujuan pemberian hadiah atau janji.
Pegawai negeri yang dituju memiliki
kekuasaan atau kewenangan, kekuasaan atau
kewenangan mana melekat pada jabatan atau
kedudukannya.
5. Unsur “oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut”
Unsur ini terbukti apabila si pemberi
mengetahui, menduga, atau mengira, bahwa
kekuasaan atau kewenangan tertentu melekat
pada si pejabat sehubungan dengan jabatan
atau kedudukannya.
Pasal 15
- Setiap orang
- Yang melakukan: percobaan, atau
pembantuan, atau permufakatan jahat
- Untuk melakukan tindak pidana korupsi
- Dipidana sama dengan… (TP Korupsinya)
Pasal 5 ayat (1) huruf a:
- Setiap orang
- memberi atau menjanjikan sesuatu
- kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara
- dengan maksud
- supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya
- yang bertentangan dengan kewajibannya
Unsur Ps. 5 ayat (1) huruf a
1. Unsur “setiap orang” telah dijelaskan pada bagian
terdahulu.
2. Unsur “memberi atau menjanjikan sesuatu”
Unsur ini merupakan alternatif perbuatan berupa
memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu.
Serupa dengan Pasal 13, unsur memberi atau
menjanjikan mempunyai pengertian yang sama.
Apa yang diberi atau diperjanjikan itu adalah
“sesuatu” yaitu sangat luas artinya, bukan lagi
benda sebagaimana dimaksud Ps. 209 KUHP.
Yurisprudensi yang berkaitan dengan Pasal 209 KUHP:

1. H.R. 24 Nov. 1890, W.5969


Pasal ini dapat juga diperlakukan seandainya hadiah itu
tidak diterima
2. H.R. 25 April 1916. N.J. 1916, 300, W. 9896.
“memberi hadiah” di sini mempunyai arti yang lain daripada
menghadiahkan sesuatu semata-mata karena kemurahan
hati. Ia meliputi setiap penyerahan dari sesuatu yang bagi
orang lain mempunyai nilai.
3. M.A. 22 Juni 1955 No. 145 K/Kr/1955.
Pasal 209 KUHP tidak mensyaratkan bahwa pemberian itu
diterima dan maksud daripada Pasal 209 KUHP ialah untuk
menetapkan sebagai suatu kejahatan tersendiri, suatu
percobaan yang dapat dihukum menyuap.
3. Unsur “kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara”.
Pengertian pegawai negeri telah dijelaskan pada
bagian terdahulu.

Unsur “Penyelenggara Negara”telah dijelaskan pada


bagian terdahulu.

4. Unsur “dengan maksud”.


Unsur dengan maksud telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya.
5. Unsur “supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya”
Pada waktu memberikan hadiah atau janji, pelaku
menghendaki agar pegawai negeri atau
penyelenggara negara melakukan atau tidak
melakukan sesuatu menurut kehendaknya.
Cukup membuktikan bahwa pada waktu
memberikan hadiah atau janji, pelaku mempunyai
maksud tertentu.
6. Unsur “yang bertentangan dengan
kewajibannya”.
Pelaku harus mengetahui bahwa dengan
melaksanakan kehendaknya itu si pegawai
negeri atau penyelenggara negara telah tidak
memenuhi kewajibannya.
Keterangan: mengingat Pasal 5 merupakan
pasal yang diadopsi dari Ps. 209 KUHP, maka
jurisprudensi yang terdapat pada Ps. 209
KUHP dapat diterapkan dalam Ps. 5!
Pasal 5 ayat (1) huruf b:
- Setiap orang
- memberi sesuatu
- kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara
- karena atau berhubungan dengan sesuatu
- yang bertentangan dengan kewajiban
- dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya
Unsur Ps. 5 ayat (1) huruf b
1. Unsur “setiap orang”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian terdahulu.
2. Unsur “memberi sesuatu”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian terdahulu.
3. Unsur “pegawai negeri atau penyelenggara
negara”
Unsur ini telah dijelaskan pada bagian terdahulu.
Pasal 6
(1)- Setiap orang
- Yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim
- Dengan maksud
- Untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
- Yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang menurut UU ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang
- dengan maksud
- untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan
Pasal 7 ayat (1) huruf a:
- pemborong; atau
ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan; atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan
- melakukan perbuatan curang
- yang dapat membahayakan:
• keamanan orang atau barang, atau
• Keselamatan negara dalam keadaan perang.
Pasal 7 ayat (1) huruf b:
- Setiap orang
- yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan
- sengaja
- membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud huruf a.
Pasal 7 ayat (1) huruf c:
- Setiap orang
- yang pada waktu menyerahkan barang
keperluan TNI dan atau Polri
- melakukan perbuatan curang
- yang dapat membahayakan keselamatan
negara dalam keadaan perang
Pasal 7 ayat (1) huruf d:
- Setiap orang
- yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan TNI dan atau Polri
- sengaja
- membiarkan perbuatan curang sebagaimana
dimaksud huruf c.
Pasal 7 ayat (2):
- (setiap) Orang
- Yang menerima
• penyerahan bahan bangunan; atau
• penyerahan barang keperluan TNI dan atau Polri;
- dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a
atau c.
Pasal 8:
- Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri
- yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum
- secara terus menerus atau untuk sementara waktu
- sengaja:
• menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya; atau
• Membiarkan uang atau surat berharga itu
• diambil atau digelapkan oleh orang lain; atau
• membantu dalam melakukan perbuatan (mengambil atau
menggelapkan uang atau surat berharga) tersebut.
1. H.R. 27 Juli 1938, 1939 No. 123
Bagi seorang pegawai kantor pos, benda-benda pos
seperti perangko, materai, kartu pos dan sebagainya itu
merupakan surat-surat berharga. Berdasarkan undang-
undang Pos, benda-benda tersebut diperuntukkan guna
membayar beberapa hak dan kewajiban tertentu,
sehingga di dalam peredarannya benda-benda tersebut
mempunyai suatu fungsi, yang disebut sebagai kertas
berharga.
2. M.A. 23 Maret 1957 No. 73 K/Kr/1956
Dipergunakannya sejumlah uang oleh pegawai negeri
untuk pos lain daripada yang telah ditentukan,
merupakan kejahatan penggelapan termaksud Pasal 415
KUHP.
Pasal 9
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri
- Yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum:
• secara terus menerus, atau
• untuk sementara waktu
- Dengan sengaja
- Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar
yang khusus untuk pemeriksaan administrasi
Pasal 10 huruf a
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
- yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum
secara terus menerus atau sementara waktu
- menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai
- barang, akta, surat, atau daftar
- yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang
- yang dikuasai karena jabatannya
Pasal 10 huruf b
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri
- yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau sementara
waktu
- membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai,
- Barang, akta, surat, atau daftar
Pasal 10 huruf c
- Pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri
- yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau sementara
waktu
- Membantu orang lain menghancurkan,
menghilangkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai
- Barang, akta, surat, atau daftar
Pasal 11

- Pegawai negeri atau penyelenggara negara


- menerima hadiah atau menerima janji
- diketahui atau patut diduga
- hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan
dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran
orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya”
Yurisprudensi yang berkaitan dengan Pasal 418 KUHP:
1. H.R. 10 April 1893, W. 6333.
Adalah tidak perlu bahwa pemberian itu diterima
oleh si pegawai negeri di dalam sifatnya sebagai
pegawai negeri.
2. M.A. 13 Desember 1960 No. 50 K/Kr/1960.
Undang-undang atau hukum tidak mengenal
ketentuan, bahwa apabila seorang pegawai negeri
dituduh melakukan kejahatan yang dimaksud oleh
Pasal 418 KUHP, maka orang yang memberi
kepada pegawai negeri itu harus dituntut lebih
dahulu atas kejahatan tersebut di dalam Pasal 209
KUHP
3. M.A. 19 November 1974 No. 77 K/Kr/1973
Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi c.q. menerima
hadiah, walaupun menurut anggapannya uang yang diterima itu
dalam hubungannya dengan kematian keluarganya, lagipula
penerima barang-barang itu bukan terdakwa melainkan istri/atau
anak-anak terdakwa.
4. M.A. 23 Desember 1955 No. 1/1955/M.A.Pid.
Seorang menteri adalah “pegawai negeri” dalam arti yang
dimaksudkan di dalam pasal-pasal 418 dan 419 KUHP. Dalam
hal dua orang atau lebih dituduh bersama-sama dan bersekutu
melakukan kejahatan menurut pasal-pasal 418 dan 419 KUHP,
tidaklah perlu masing-masing dari mereka, memenuhi segala
unsur yang oleh pasal itu dirumuskan untuk tindak pidana
tersebut. In casu tidak perlu mereka semua melakukan tindakan
menerima uang.
Pasal 12 huruf a
- pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Yang menerima hadiah atau janji
- Padahal diketahui atau patut diduga
- Hadiah atau janji itu diberikan untuk
menggerakkan
- Agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya
- Yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pasal 12 huruf b
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Yang menerima hadiah
- Padahal diketahui atau patut diduga
- Diberikan sebagai akibat atau disebabkan
- Telah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya
- Yang bertentangan dengan kewajibannya.
H.R. 4 Feb. 1947, 1947, No. 170

- Untuk pengetahuan seperti yang dimaksudkan


di dalam angka 1 hanyalah apakah pegawai
negeri itu menyadari bahwa pemberian itu
dimaksudkan untuk menggerakkan dirinya
untuk melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya di dalam pelaksanaan
tugasnya; tidak menjadi soal apakah yang
memberikan itu mempunyai maksud bahwa
perbuatan itu akan dilakukan atau tidak
Pasal 12 huruf c
- Hakim
- Yang menerima hadiah atau janji
- Padahal diketahui atau patut diduga
- Diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili.
Pasal 12 huruf d
- Advokat
- Menerima hadiah atau janji
- Padahal diketahui atau patut diduga
- Diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan
Pasal 12 huruf e
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Dengan maksud
- Menguntungkan diri sendiri atau orang lain
- Secara melawan hukum
- Dengan menyalahgunakan kekuasaannya
- Memaksa seseorang
- Memberikan sesuatu yang dibayar, atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau
mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Pasal 12 huruf f
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Pada waktu menjalankan tugas
- Meminta, menerima, atau memotong
- Pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara lain atau kepada kas
umum
- Seolah mereka itu mempunyai utang
kepadanya
- Padahal diketahui bukan utang
Yurisprudensi atas Pasal 425 ke-1
MA 23 Januari 1956 No. 25 K/Kr/1955

Salah satu unsur dari Pasal 425 ke-1 KUHP


adalah “menjalankan perbuatan itu di dalam
jabatannya. Karena pembuatan daftar
penerimaan uang dan pembayaran gaji orang-
orang yang dimintai uang oleh terdakwa itu
bukanlah tugas terdakwa sebagai klerek pada
Jawatan Pengajaran Daerah, akan tetapi menjadi
tugas dari Kepala Sekolah Rakyat yang
bersangkutan, sedang terdakwa hanya dimintai
bantuan, maka permintaan uang tersebut tidak
dilakukan terdakwa dalam jabatannya.
Pasal 12 huruf g
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Pada waktu menjalankan tugas
- Meminta atau menerima pekerjaan, atau
penyerahan barang
- Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya
- Padahal diketahui bukan utang.
Pasal 12 huruf h
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Pada waktu menjalankan tugas
- Menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai
- Seolah sesuai per-UU-an
- Telah merugikan orang yang berhak
- Padahal diketahuinya
- Perbuatan tersebut bertentangan dengan per-
UU-an
Pasal 12 huruf g
- Pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Langsung maupun tidak langsung
- Turut serta dalam pemborongan, pengadaan,
atau persewaan
- Yang pada saat perbuatan dilakukan
- Seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
Pasal 12B ayat (1):
- Setiap gratifikasi
- Kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara
- Dianggap pemberian suap
- Apabila berhubungan dengan jabatan
- Dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya.
Pengertian Gratifikasi
adalah pemberian dalam arti luas, meliputi
pemberian uang, rabat (diskon), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.

(Penjelasan Pasal 12B)


Gratifikasi
Dasar Pemikiran:
“Tidak sepantasnya pegawai negeri/pejabat
publik menerima pemberian atas pelayanan
yang mereka berikan”

“Seseorang tidak berhak meminta dan


mendapat sesuatu melebihi haknya sekedar ia
melaksanakan tugas sesuai tanggungjawab
dan kewajibannya”
Gagasan Plato (427 SM – 347 SM)

“Para pelayan bangsa harus memberikan


pelayanan mereka tanpa menerima hadiah-
hadiah. Mereka yang membangkang, kalau
terbukti bersalah, harus dibunuh tanpa
upacara”
Gratifikasi merupakan setiap penerimaan
seseorang dari orang lain yang bukan
tergolong ke dalam tindak pidana suap.

Gratifikasi kepada pegawai


negeri/penyelenggara negara yang
berhubungan dengan jabatan atau
kedudukannya dianggap suap.
Rumus:

Suap = Gratifikasi + Jabatan


Pembuktian Gratifikasi

1. oleh penerima gratifikasi, apabila


nilainya Rp. 10,000,000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih.

2. oleh penuntut umum, apabila nilainya


kurang dari Rp. 10,000,000,00 (sepuluh
juta rupiah)
Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap apabila
penerima menyampaikan laporan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi, selambat-
lambatnya 30 hari sejak menerima gratifikasi
tersebut
Tatacara Pelaporan dan Penentuan Status
Gratifikasi (Pasal 16 UU No. 31/1999 jo. UU No.
20/2001

1. Laporan ditujukan kepada KPK, dibuat secara


tertulis dengan mengisi formulir dan
melampirkan dokumen terkait (bila ada).
2. Laporan setidaknya memuat nama serta
alamat pemberi dan penerima gratifikasi,
jabatan, tempat/waktu/nilai gratifikasi.
3. Dalam kurun waktu 30 hari sejak laporan
diterima, KPK akan menetapkan status
gratifikasi tersebut menjadi milik penerima
atau milik negara.

Gratifikasi yang menjadi milik negara wajib


diserahkan kepada Menteri Keuangan paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.
Ungkapan sehari-hari yang berkaitan erat
dengan perilaku korupsi:
- “ucapan terima kasih”
- “anggap saja sedekah”
- “buang sial”
- “uang lelah”
- “sudah biasa”
- “tidak ada maksud apa-apa”
Apa lagi?
Tidak kenal pemberi dan tahu asal-usul
barang pemberian bukan alasan untuk
menerima, tetapi justru alasan untuk
menolak!
Sekian.
Mohon maaf dan terima kasih...

Gandjar Laksmana Bonaprapta


+628164843422
gandjar_elbe@yahoo.com
gandjar_bondan

Anda mungkin juga menyukai