Anda di halaman 1dari 15

Nama Gloria Natapradja Hamel menjadi buah bibir masyarakat lantaran dilarang ikut sebagai

Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) saat upacara peringatan 17 Agustus di Istana
Negara. Gloria dinyatakan gugur karena diketahui memiliki paspor Prancis dan dianggap bukan
WNI.

Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan surat yang menyebut Gloria adalah warga
Prancis karena memegang paspor dari negara tersebut. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006
tentang kewarganegaraan, jelas disebutkan seseorang kehilangan status WNI apabila dia
punya paspor dari negara lain.

Siswi SMA Islam Dian Didaktika itu kemudian menulis surat kepada Presiden Joko "Jokowi"
Widodo. Di dalam surat yang disertai dengan materai Rp 6 ribu itu, Gloria secara tegas
menyatakan dia mencintai Indonesia, bahkan siap untuk memilih menjadi WNI. Dia juga
menegaskan sejak dia lahir dan menempuh pendidikan, semuanya dilakukan di Indonesia. Oleh
sebab itu, dia mengatakan tetap memilih Indonesia sebagai Tanah Airnya.
Nama Gloria Natapradja Hamel mendadak santer dibicarakan publik pada peringatan hari
kemerdekaan 17 Agustus setahun lalu.

Tepat dua hari sebelum peringatan kemerdekaan, perempuan keturunan Indonesia-Perancis itu
dicoret dari daftar pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) di Istana Negara.

Alasannya, Gloria masih memegang paspor Perancis yang berlaku sejak Februari 2014 hingga
Februari 2019.

Siswi Sekolah Islam Dian Didaktika Cinere Depok ini sempat kecewa, namun ia mengaku sama
sekali tak menyesal.

"Dari sini saya bisa jadi dewasa. Saya belajar bahwa segala hal yang Anda inginkan belum tentu
terwujud," ujar Gloria dalam konferensi pers di Kemenpora, setahun lalu.

Kemenpora saat itu tetap berupaya memastikan Gloria hadir dalam upacara peringatan hari
kemerdekaan di Istana Negara, dan akhirnya ia hadir sebagai tamu dan duduk di tribun J dalam
upacara pengibaran bendera pagi hari.

Namun belakangan upaya Kemenpora tak sia-sia. Gloria berhasil menemui Presiden Joko Widodo
didampingi Menpora Imam Nahrawi untuk menyampaikan permasalahannya.

Ia akhirnya bergabung dengan tim Bima, paskibraka yang menurunkan bendera pada sore hari.

Gloria mengaku mendapat pesan dari Presiden Jokowi agar tetap semangat. Pertimbangan
melibatkan Gloria sebagai Paskibraka saat itu, adalah karena anak di bawah 18 tahun masih bisa
memilih kewarganegaraan.

Menurut UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan, seorang anak hasil kawin campur bisa memiliki
dua kewarganegaraan sebelum usia 18 tahun.

Selang kejadian itu, ibunda Gloria, Ira Hartini Natapradja Hamel mengajukan gugatan UU 12/2006
Kewarganegaraan soal ketentuan mendaftarkan diri bagi anak hasil kawin campur yang berusia
sebelum 18 tahun ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam pasal 41 UU Kewarganegaraan itu, disebutkan bahwa seseorang yang belum berusia 18
tahun saat UU Kewarganegaraan diberlakukan pada tahun 2006, diberikan waktu paling lambat
empat tahun untuk mendaftarkan diri.

Jika merujuk pada ketentuan tersebut, maka Gloria tak bisa lagi mendaftarkan status
kewarganegaraannya. Perempuan yang lahir pada tahun 2000 ini seharusnya didaftarkan ke
Kemenkumham dalam rentang waktu 1 Agustus 2006 sampai 1 Agustus 2010 apabila hendak
memperoleh kewarganegaraan Indonesia.

Proses persidangan uji materi di MK pun memakan waktu tak sebentar. Sejumlah saksi hingga ahli
dihadirkan.

Dalam persidangan, terungkap, banyak anak hasil kawin campur yang kebingungan menentukan
status warga negara.

Mereka umumnya tak tahu soal ketentuan yang mengatur pendaftaran untuk memperoleh status
sebagai WNI dalam UU Kewarganegaraan.
Dari data Kemenkumham, ada sekitar 12 ribu anak hasil kawin campur yang telah mendaftarkan diri
menjadi WNI sampai tahun 2010. Hanya saja data itu tak memuat anak hasil kawin campur yang
belum mendaftar.

"Banyak orang tua yang lupa mendaftarkan atau bahkan sama sekali tak mengetahui aturan
tersebut. Jadi sangat merugikan," ucap Ira.

Setahun bergulir, MK akhirnya memutus permohonan uji materi tersebut pada 31 Agustus 2017.
Hasilnya lembaga pengawal konstitusi itu menolak seluruh permohonan ibunda Gloria karena tak
beralasan menurut hukum.

Alasan ketidaktahuan anak hasil kawin campur soal aturan mendaftarkan diri menjadi WNI,
dianggap tak bisa menjadi dasar penuntutan apalagi membuat seseorang bebas dari hukum atau
peraturan perundang-undangan.

"Pemerintah harusnya aware tentang ini. Sekarang kalau kami tanya ke pemerintah, apa sudah
disosialisasikan soal mendaftarkan diri? Apa itu sudah sampai ke kuping masyarakat yang kawin
campur?" tutur Ira.

Kandas di MK, Gloria berencana mengikuti proses naturalisasi sesuai syarat yang berlaku dalam UU
Kewarganegaraan. Namun cara ini dinilai menyulitkan karena proses naturalisasi hanya berlaku
untuk pasangan asing dari orang Indonesia, bukan anak hasil kawin campur.

Sesuai prosedur, Gloria akan diproses melalui jalur pewarganegaraan asing murni yang dipandang
tidak punya kaitan apapun dengan Indonesia.

Belum lagi biaya sebesar Rp50 juta untuk mendaftarkan diri sebagai WNI yang dinilai akan semakin
memberatkan.

"Ini yang kami protes ke pemerintah. Enggak fair bayar Rp50 juta satu anak. Daftar terus bayar saat
itu juga. Sudah gitu belum tentu dikabulkan," kata Ira.

Kendati demikian, Ira meyakini, proses naturalisasi bagi anaknya akan lebih mudah karena
mendapat rekomendasi dari pihak Kemenkumham. Namun ia ragu dengan proses naturalisasi anak-
anak hasil kawin campur lainnya.

Sambil menunggu proses tersebut, Gloria kini fokus menjalani aktivitasnya sebagai Duta
Kemenpora. Ia juga aktif mengikuti sejumlah kegiatan kepemudaan di kementerian.

Seperti surat pernyataan yang pernah ia sampaikan pada Presiden Jokowi, Gloria hingga kini masih
memantapkan dirinya sebagai WNI dan tak memilih Perancis sebagai kewarganegaraannya.

"Saya tidak pernah memilih kewarganegaraan Perancis, karena darah dan nafas saya untuk
Indonesia tercinta."
Ira Hartini Natapradja Hamel terus memperjuangkan hak konstitusi anaknya, Gloria Natapraja
Hamel ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam persidangan kali ini dia membawa pakar hukum
tata negara refly Harun dan saksi WNI yang juga pelaku perkawinan campuran, Beatrix Jansen.

Dalam paparannya Refly menjelaskan tujuan dari UU Kewarganegaraan untuk memperoleh


status kewarganegaraan. Di mana anak hasil perkawinan campur harus memilih
kewarganegaraannya sebelum berusia 18 tahun atau belum memperoleh status warga negara.

"Memang dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat karena bertentangan
dengan UUD 1945, tidak sekedar dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara
bersyarat (conditionally unconstitutional)sebagaimana permohonan Pemohon," ujar Reflly
dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa
(22/11/2016).

Sebelum lahirnya UU Nomor 12 Tahun 2006, dijelaskan Refly, Indonesia menganut asas ius
sanguinis secara mutlak yaitu berdasarkan keturunan dari pihak ayah. Sehingga anak dari hasil
perkawinan campur yang lahir dari rahim WNI, maka anaknya otomatis mengikuti
kewarganegaraan ayahnya.

"Namun melalui UU Nomor 12 Tahun 2006 anak yang lahir dari ayah warga negara asing pun
diakui sebagai warga negara Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf d UU Nomor 12
Tahun 2006 bahkan mengakui dua kewarganegaraan anak sekaligus hingga usia 18 tahun
asas kewarganegaraan ganda terbatas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1," beber Refly.

Kembali pada kasus Gloria, Refly mengatakan pada titik ini pasal tersebut bertentangan dengan
UUD 1945. Sehingga tidak ada perlindungan dan kepastian hukum bagi anak-anak hasil
perkawinan campur.

"Pasal 41 tidak memberikan perlindungan hukum yang adil, sekali lagi, tidak memberikan
perlindungan hukum yang adil kepada anak dimaksud, termasuk Gloria Natapradja Hamel.
Seandainya pun orang tua Gloria secara sengaja tidak mendaftarkan Gloria dalam jangka
waktu yang ditentukan sehingga dalam kasus ini Gloria tidak boleh kehilangan hak
kewarganegaraan Indonesianya," papar Refly.

Refly berpandangan dalam kasus Gloria seharusnya status kewarganegaraan ditentukan


setelah dewasa. Status warga negara tidak boleh ditentukan orang lain termasuk orang tuanya
sekalipun.

"Karena Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status
kewarganegaraannya. Sebagaimana telah disinggung di bagian awal, ketentuan Pasal 41
sebaiknya dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tidak perlu
dinyatakan inkonstitusionalitas," paparnya.

Sementara dalam kesaksiannya, Beatrix Jansen menjelaskan kesulitan yang dialaminya.


Wanita itu menikah dengan warga negara Australia dan memperoleh dua anak dari hasil
pernikahan.

"Kami dikaruniai dua orang anak, yang pertama laki-laki pada tahun 1998 dan perempuan yang
lahir pada tahun 2001. Saya dan keluarga memutuskan kembali ke Indonesia pada tahun 2012
dan sekarang tinggal di Jakarta. Akan tetapi saya sama sekali tidak pernah mendapatkan surat
edaran lewat pos atau pun lewat email tentang perubahan UU Kewarganegaraan bagi anak-
anak hasil perkawinan campuran antara WNI dan WNA," papar Betrix

Betrix sendiri mengaku sedih ketika dengar kabar tentang adanya UU Kewarganegaraan Tahun
2006. Ketika menanyakan tentang status kewarganeraan pada konsulat semua sudah
terlambat.

"Saya mendapatkan jawaban bahwa hanya anak-anak yang lahir sesudah bulan Agustus tahun
2006 yang berhak mendapatkan kewarganegaraan ganda terbatas. Pada saat itu saya cukup
sedih dan kecewa karena kedua anak saya lahir sebelum tahun 2006," paparnya.

Betrix mengatakan bahwa ketika pindah ke Indonesia, dirinya dan suami harus direpotkan
dengan urusan izin tinggal. Hampir selama tinggal di Indonesia izin itu harus diperbarui.

"Saya pun harus mengurus izin tinggal terbatas yang diperpanjang setiap tahunnya untuk suami
dan anak-anak," pungkasnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang putusan uji materi terkait
aturan status kewarganegaraan yang diajukan oleh Ira Hartini Natapradja
Hamel, Kamis (31/8/2017).

Gloria mengajukan gugatan ini untuk mendapatkan kejelasan soal status


kewarganegaraan putrinya, Gloria Natapradja Hamel.

Gloria adalah Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) yang bertugas


di upacara peringatan HUT ke-71 RI di Istana Negara, Jakarta, pada 17
Agustus 2016.

Sidang putusan akan digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat,


pukul 10.30 WIB.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, dalam permohonannya, Ira


meminta Majelis Konstitusi membatalkan berlakunya Pasal 41 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU 10/2016).

Baca: Ibunda Gloria Natapradja Ajukan Uji Materi UU Kewarganegaraan


ke MK

Alasannya, pasal tersebut mengharuskan anak yang lahir dari perkawinan


yang sah dari pasangan warga negara Indonesia ( WNI) dan warga negara
asing (WNA) mendaftarkan diri ke Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM
paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan, jika
anak tersebut ingin memeroleh status kewarganegaraan Indonesia.

Aturan tersebut dinilai diskriminatif dan berpotensi merugikan hak


konstitusional anak-anak yang terlahir sebelum 1 Agustus 2006, sebagaimana
undang-undang tersebut secara sah mulai diberlakukan.

"Intinya agar anak Pemohon, si Gloria itu menjadi WNI tanpa harus mendaftar
(ke Imigrasi) paling lambat 4 tahun setelah UU Kewarganegaraan
diundangkan," kata Fajar, saat dihubungi.

"Keberlakuan Pasal 41 UU Kewarganegaraan mengakibatkan kerugian


konstitusional karena anak Pemohon kehilangan kesempatan menjadi WNI
gara-gara setelah berusia 18 tahun orangtuanya tidak mendaftarkan diri
kepada Menteri yang dibatasi 4 tahun setelah UU diundangkan, untuk
memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Karenanya, anak Pemohon
dianggap sebagai WNA," tambah Fajar.

Baca: Gloria Natapradja Harap MK Terima Uji Materi UU


Kewarganegaraan

Dikonfirmasi terpisah, Ira berharap Majelis Konstitusi dalam putusannya


menerima permohonan yang diajukannya tersebut.

"Semoga dikabulkan permohonan kami, karena kalau dikabulkan, otomatis


Gloria membantu banyak anak-anak yang senasib," kata Ira, saat dihubungi,
Kamis.

Ira mengaku akan menghadiri persidangan bersama Gloria.

Tidak mengikat

Sebelumnya, dalam persidangan yang digelar Selasa, 21 November 2016,


pakar hukum tata negara Refly Harun berpendapat bahwa ketentuan Pasal
41 Nomor 10 Tahun 2016 sebaiknya dibatalkan dan dinyatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat.

Hal ini menghindari adanya diskriminasi antara anak-anak yang terlahir


sebelum UU tersebut ditetapkan dan anak-anak yang terlahir setelah UU
tersebut ditetapkan.

Lebih jauh, menurut Refly, ketentuan tersebut juga berpotensi membuat


seorang anak kehilangan kewarganegaraannya.

"Bagaimana bila orangtua tidak mendaftarkan anaknya untuk memiliki


kewarganegaraan Indonesia, baik karena tidak mendaftar, tidak tahu, atau
lupa, sehingga, habis tenggat waktu yang diberikan? Tentunya secara
otomatis, anak tersebut kehilangan kewarganegaran Indonesianya,
sebagaimana dialami Gloria," kata Refly.

Dengan pembatalan aturan tersebut, kata Refly, maka anak-anak pernikahan


pasangan WNI dan WNA yang lahir setelah 1 Agustus (2006) maupun
sebelum 1 Agustus 2006 tetap diakui kewarganegaraan gandanya sebelum
berusia 18 tahun.

Ketika memasuki usia 18 tahun, anak tersebut dapat memilih


kewarganegaraan.
Sosok Gloria menjadi sorotan jelang upacara peringatan hari kemerdekaan RI
tahun lalu.

Sebab, Gloria digugurkan dari angggota Paskibraka di Istana negara lantaran


diketahui memegang paspor Perancis, sebagaimana kewarganegaraan
ayahnya.

Oleh karena itu, Gloria dianggap bukan warga negara Indonesia. Gloria
digugurkan pada Senin (15/8/2016), ketika 67 calon Paskibraka lainnya
dikukuhkan Presiden Joko Widodo di Istana Presiden.

Padahal, untuk sampai pada tahap ini Gloria telah lolos seleksi di tingkat
sekolah, kota, provinsi, dan nasional.

Meskipun tak ikut menjadi anggota Paskibraka saat pengibaran bendera,


namun Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan Gloria ikut serta ketika
uoacara penurunan bendera pada sore harinya.

Update berita:

MK dalam putusannya menolak permohonan uji materi yang diajukan Gloria.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Anwar Usman menyampaikan,


Mahkamah menilai bahwa permohonan Ira tidak beralasan menurut hukum.

Untuk selengkapnya bisa dibaca dalam berita berjudul "MK Tolak Gugatan
Terkait Status Kewarganegaraan Gloria Natapradja".

Adapun Gloria mengaku kecewa atas putusan MK tersebut.

Dengan ditolaknya permohonan tersebut, menurut Gloria, maka banyak anak


hasil perkawinan antara warga negara Indonesia dan warga negara asing
kesulitan mengurus status kewarganegaraan.
Ira Hartini Natapraja Hamel membawa kasus anaknya Gloria Natapraja Hamel ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Ira menggugat UU Kewarganegaraan dengan harapan tidak ada anak lain di
Indonesia yang senasib dengan Gloria.

Ira merasa hak konstitusi anaknya dilanggar dengan adanya Pasal 41 UU Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan. Sebab dalam pasal itu, anak yang lahir dari orang tua yang
salah satunya berkewarganegaraan asing, ketika masih berusia di bawah 18 tahun atau belum
menikah wajib melapor untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban mendaftar
itulah yang dipersoalkan oleh Ibunda Gloria.

"Hanya persoalan mendaftar aja. Ada perbedaan, yang diskrimniasi antara ibu yang punya
anak hasil perkawinan campuran sebelum tahun 2006 dan sesudah. Kalau yang lain sebelum
2006 itu harus mendaftar, sedangkan yang setelah 2006 itu otomatis menjadi warga negara
Indonesia atau bisa jadi akan dwi kewarganegaraan. Persoalannya di mendaftar itu aja," ujar
kuasa hukum Ira Hartini, Fachmi Bachmid di Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka
Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (17/10/2016).

Menurut Fachmi, ada kerancuan dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2006 tersebut. Sebab
pada pasal 6 telah diberikan pembatasan yang berdampak hilang status kewarganegaraan
anak hasil perkawinan campur.

"Seharusnya tidak perlu dibatasi dengan adanya mendaftar, karena sudah dibatasi di pasal 6,
manakala timbul dwi kewarganegaraan, itu tinggal memilih salah satu saja, apakah warga
negara Indonesia atau warga negara orang tua satunya," paparnya.

Menurut Fachmi, bila tidak ada pembatasaan tentu tidak akan timbulkan permasalahan dwi
kewarganegaraan. Sehingga anak-anak hasil perkawinan campur mendapat status jelas
sebagai warga negara Indonesia."Poinnya di situ, otomatis ini bisa menyebabkan orang
kehilangan kewarganegaan. Jika pendaftarannya itu dihilangkan, anak-anak yang lahir sebelum
tahun 2006 itu otomatis warga negara Indonesia," paparnya

Sementara ibunda Gloria, Ira Hartini mengatakan apa yang dilakukannya bukan semata untuk
anaknya. Akan tetapi juga memperjuangkan hak konstitusi anak-anak perkawinan campur
lainnya.

"Ternyata banyak anak-anak dari cerita mereka (para orang tua), anak sampai bisa stateless
karena frasa itu karena luput mendaftarkan atau gak tahu sama sekali, seperti saya," kata Ira.

Ira mengatakan buah hatinya telah menyatakan kesiapan dirinya sebagai WNI. Sebab,
semenjak kecil Gloria telah bersosialiasi dengan teman-temannya di Indonesia.

"Ya iya dong, orang dia udah menyatakan kok, dan ngapain jadi Perancis juga dia enggak
ngerti, lahir di sini sekolah di sini bersosialisasi di sini , nanti kayak orang turis kalau ke sana,"
pungkasnya.
Berikut bunyi Pasal 41 UU nomor 12 tahun 2006:

Anak yang lahir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf l dan
anak yang diakui atau diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum
Undang-undang ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini dengan
mendaftarkan diri kepada Menteri melalui pejabat atau perwakilan Republik Indonesia paling
lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
TANGGAPAN TERHADAP KASUS
Gloria tidak bisa diikut sertakan dalam pengibaran Bendera Pusaka pada tgl 17 Agustus 2016,
karena dianggap bukan warga negara Indonesia dan diketahui memiliki Paspor
Perancis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Saat
ini, anak dari pernikahan 'campur' wajib memilih kewarganegaraan pada saat mereka berusia 18
tahun, setiap anak yang memiliki ayah dan ibu berbeda negara, dari umur 0-17 tahun akan
memiliki kewarganegaraan ganda. Namun, saat umur 18-21 tahun anak tersebut harus
memutuskan untuk memilih salah satu identitas kebangsaan suatu negara, sedangkan Gloria
masih mempunyai waktu dua tahun untuk memutuskan kewarganegaraannya. Gloria mengakui
bahwa sang ayah warga negara Perancis dan ibunya warga negara Indonesia, tetapi dia sudah
‘confirm’ mau pilih (menjadi warga negara) Indonesia. Saat ditemui di Kompleks Istana
Kepresidenan, Jakarta.

Saya mengkritik sikap pemerintah yang mempermasalahkan status kewarganegaraan Gloria


Natapradja Hamel, calon Pasukan Pengibar Bendera Pusaka(Paskibraka) perwakilan Jawa Barat.
Bayangkan saja, dia sudah proses seleksi dari sekolah sampai ke provinsi dan pusat. Selama ini
enggak pernah ada masalah. Tetapi begitu mau dikukuhkan di Istana, dia dilarang ikut. Ia juga
menjalani setiap tahap seleksi mulai dari tingkat bawah sampai dia masuk karantina di asrama,
sehingga tak ada alasan yang kuat melarangnya ikut serta dalam upacara Pengibaran Bendera
Pusaka di hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-71 itu. Gloria lolos seleksi sampai tingkat
nasional mewakili Provinsi Jawa Barat. Pemerintah juga harusnya memberi kesempatan, anak
enggak tahu soal kewarganegaraan, enggak seharusnya anak-anak dikorbankan. Anaknya juga
cuma mau berprestasi kok, kalau begini kan bisa berdampak negatif pada kondisi anak yang
mudah stres lantaran teman-temannya yang menjalani Diklat dilantik sebelum hari H, sementara
dia tetap tinggal di asrama. Inikan enggak adil.

Sebenarnya ini masalah yang mendapatkan pengecualian, hal tersebut lantaran, darah asal Depok
tersebut lahir sebelum Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 diberlakukan, sedangkan
perempuan manis itu memang lahir pada tahun 2000, jadi Gloria dan orangtua bisa mengajukan
permohonan. Harusnya Menteri Sekretaris Negara dapat membaca secara teliti UU
Kewarganegaraan, dan paskibraka bukanlah pejabat negara. Dan ini berbanding terbalik dengan
Archandra yang notabene adalah menyangkut status kewarganegaraan dan pengangkatannya
sebagai Menteri atau pejabat negara yang juga diatur oleh mekanisme perundang-undangan.
Gloria Natapradja Hamel adalah seorang siswi SMA Islam Dian Didaktika Cinere Depok.
Ayahnya Didier Hamel adalah seorang warga negara Prancis sementara ibunya bernama Ira
Natapradja warga negara Indonesia.
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan soal UU Kewarganegaraan yang diajukan Ira Hartini
Natapradja Hamel, orang tua mantan anggota pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka)
Gloria Natapradja Hamel. Ira menggugat setelah Gloria dikeluarkan dari anggota paskibraka karena
terganjal masalah dwikewarganegaraan.

"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Arief Hidayat saat
membacakan amar putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis (31/8).

Hakim konstitusi menyatakan permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dalam
permohonannya, Ira menggugat pasal 41 UU Kewarganegaraan karena dinilai tidak memberikan
kepastian hukum dan bertentangan dengan UUD 1945.
Lihat juga:
Uji Materi UU, Ibu Gloria Paskibraka Ingin Bantu Orang Banyak

Pasal 41 menyebutkan syarat bagi anak yang lahir dengan orang tua berbeda kewarganegaraan
apabila berusia sebelum 18 tahun, dapat menjadi WNI dengan wajib melakukan pendaftaran paling
lambat empat tahun setelah UU Kewarganegaraan berlaku.

"Keberadaan frasa mendaftarkan diri paling lambat empat tahun setelah UU diundangkan, justru
memberi pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil," kata hakim anggota
Anwar Usman.

Sementara pemohon menilai, beleid tersebut justru menyulitkan karena masih ada sejumlah anak
dengan status dwikewargangeraan yang belum mengetahui aturan itu hingga tak sempat
mendaftarkan status kewarganegaraannya.
Lihat juga:
Dirjen Kemkumham Beberkan Untung Rugi Kewarganageraan Ganda

Namun dalam pertimbangannya, hakim menyatakan hilangnya status kewarganegaraan bukan


karena ketentuan dalam UU Kewarganegaraan yang inkonstitusional.

"Melainkan karena kesalahan yang bersangkutan, termasuk apabila terjadi karena kelalaian atau
ketidaktahuan," ucapnya.

Menurut hakim, alasan ketidaktahuan tidak bisa menjadi dasar penuntutan apalagi membuat
seseorang menjadi bebas dari hukum atau peraturan perundang-undangan. Hakim menyatakan,
kesempatan untuk memperoleh status sebagai warga negara Indonesia tetap dapat dilakukan jika
mengikuti prosedur kewarganegaraan sesuai pasal 8 UU Kewarganegaran.
Lihat juga:
Kemenkumham Sebut Gloria Berhak Uji Materi UU Kewarganegaraan

Dalam aturan itu pemerintah mensyaratkan, seseorang yang telah berusia 18 tahun atau sudah
kawin dapat mengajukan permohonan sebagai warga negara Indonesia.

"Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, permohonan pemohon tidak beralasan


menurut hukum," tutur hakim Anwar.

Gloria adalah siswi Sekolah Islam Dian Didaktika Cinere, Depok. Ia dikeluarkan dari anggota
paskibraka karena dianggap memiliki status kewarganegaraan ayahnya, yakni Perancis.

Gloria yang lahir pada tahun 2000 seharusnya didaftarkan ke Kemenkumham dalam rentang waktu
1 Agustus 2006 sampai 1 Agustus 2010 jika hendak memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
Gloria sendiri selama ini hanya tahu dia warga Indonesia.

Gloria Natapradja Hamel digugurkan dari Pasukan Pengibar Bendera Pusaka


(Paskibraka) yang akan bertugas ketika upacara peringatan hari
kemerdekaan Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 17 Agustus
2016. Gloria yang sudah lolos seleksi di Kementerian Pemuda dan Olahraga
digugurkan karena mempunyai paspor Prancis sehingga dianggap bukan
warga negara Indonesia.

Kepala Staf Garnisun 1/Jakarta Joshua Pandit Sembiring mengacu


pada Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia menjawab gugurnya Gloria sebagai bagian dari
Paskibraka.

"Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 jelas disebutkan seseorang kehilangan


warga negara apabila dia punya paspor (negara lain)," ujarnya
dikutip Kompas.com. "Ini Gloria sudah punya paspor. Kami cek, dia punya
paspor Prancis."

Gloria lahir di Jakarta pada 1 Januari 2000 dari pasangan Didier Andre
Aguste Hamel warga negara Prancis dan Ira Hartini warga negara
Indonesia. Surat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian
Hukum dan HAM pada Senin (15/8/2016), menyebutkan bahwa Gloria
Natapradja Hamel adalah warga negara asing (Prancis).

Dalam surat yang ditujukan kepada Asisten Deputi Kepemimpinan dan


Kepeloporan Pemuda Kemenpora itu tertulis, Gloria mempunyai paspor
Prancis Nomor 14AA66042 yang berlaku 20 Februari 2014 sampai 19
Februari 2019, dan pemegang KITAP (Kartu Izin Tinggal Tetap) Nomor
2D21JE0099-Q, yang berlaku sampai 18 Juli 2021.

Surat yang ditandatangani Dirjen Administrasi Hukum Umum Direktur Tata


Negara Tehna Bana Sitepu, dengan tembusan Dirjen Administrasi Hukum
Umum dan Direktur Izin Tinggal Keimigrasian itu juga memaparkan, Gloria
tidak pernah didaftarkan oleh orangtua/walinya untuk memperoleh
kewarganegaraan RI kepada Menteri berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI.

Undang-undang Kewarganegaraan yang menjadi landasan digugurkannya


Gloria sebagai Paskibraka sekaligus pula menjadi dasar kecaman. Ketua
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh
mengatakan Undang- undang Kewarganegaraan menyatakan anak dari orang
tua campuran diberikan pilihan sampai usia 18 tahun.

Asrorun menilai digugurkannya Gloria sebagai Paskibraka telah melanggar


hak anak yang dijamin undang-undang. "Ini artinya Gloria itu diatur oleh
Undang-Undang kewarganegaraan Pasal 4, kita sudah konfirmasi ke Dirjen
Administrasi Hukum dan Umum. Si anak pegang paspor Prancis untuk
kepentingan lalu lalang, cuma Undang- Undang sudah mengatur," kata
Asrorun melalui BeritaSatu.

Bagaimana sebenarnya ketentuan kewarganegaraan ganda itu? UU nomor


12 tahun 2006tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun
tanpa kewarganegaraan (apatride). Orang dewasa atau anak yang bukan dari
pernikahan campuran dilarang memiliki kewarganegaraan ganda.
Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.

Undang-undang mengakui adanya kewarganegaraan ganda terbatas untuk


anak dari pernikahan campuran, warga negara Indonesia dengan asing.
Ketika menginjak usia 18 tahun, anak boleh memilih warga negara yang
diinginkannya. Jika usia 18 tahun belum bisa memilih, maka paling lambat
pada usia 21 tahun wajib memilih salah satu kewarganegaraan orang tuanya.

Sebelum memilih kewarganegaraan, orangtua atau wali wajib mendaftarkan


anak untuk kewarganegaraan ganda melalui kantor imigrasi atau Perwakilan
Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak.
Kewajiban mendaftar ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun
2007. Kantor imigrasi atau Perwakilan Republik Indonesia mencatat dalam
register dan mengeluarkan bukti pendaftaran untuk memperoleh fasilitas
sebagai Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan ganda.
Bagi anak yang memiliki paspor asing, bukti kewarganegaraan ganda
atau affidavitdisertakan dalam paspor. Affidavit diperlukan sebagai syarat
untuk membuat paspor Indonesia dan ketika memilih sebagai warga negara
Indonesia setelah berusia 18 tahun.

Tata cara pendaftaran anak berkewarganegaraan ganda tertuang


dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 tahun
2012 tentang tata cara pendaftaran anak berkewarganegaraan ganda dan
permohonan fasilitas keimigrasian.

Gloria yang berusia 16 tahun telah memegang paspor Prancis. Paspor anak
dari negara ayah atau ibu bukan berarti resmi memiliki kewarganegaraan
ganda. Paspor bisa disebut dokumen perjalanan yang diterbitkan oleh
imigrasi suatu negara berisi identitas seseorang untuk keperluan perjalanan
internasional.

"Karena dia sering bepergian sendiri ke luar negeri. Dia harus pegang
identitas dong. Makanya, dia buatlah paspor Perancis," ujar Ibu Gloria, Ira
Natapradja melalui Kompas.com.

Ira mengatakan, Gloria tercantum dalam kartu keluarga (KK), meski belum
memiliki Kartu Tanda Penduduk karena masih berusia 16 tahun. Gloria lahir,
besar, dan mengenyam pendidikan di Indonesia.

Gloria pun telah membuat surat pernyataan di atas materai Rp6 ribu yang
ditujukan kepada Presiden Joko Widodo pada 13 Agustus 2016. "Saya warga
negara Indonesia dan memilih kewarganegaraan Indonesia serta tetap akan
menjadi warga negara Indonesia karena Indonesia adalah tumpah darah
Saya," tulisnya.

Anda mungkin juga menyukai