Anda di halaman 1dari 8

Analisa Kasus Kewarganegaraan

Gloria Natapradja Hamel dan Arcandra Tahar

Desi Tri Christianti

2010117543

Analisa Kasus Gloria Natapradja Hamel

Latar Belakang

Status kewarganegaraan merupakan hal yang penting dalam kaitannya dengan


hak-hak serta kewajiban seseroang, baik dalam pergaulan nasional maupun
internasional. Bahwa dalam praktiknya, masih banyak dijumpai kejadian empiris
yang
dianggap telah mencederai hak asasi manusia dalam kapasitasnya sebagai
individu. Hal ini juga dapat kita jumpai dalam kasus seorang remaja bernama
Gloria Natapradja Hamel yang saat itu berusia 16 (enam belas) Tahun, lahir di
Jakarta pada tanggal 1 Januari 2000. Ia adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan campuran antara seorang Ayah bernama Didier Hamel
berkewarganegaraan Perancis yang menikah dengan seorang Ibu bernama Ira
Natapradja berkewarganegaraan Indonesia. Kasus ini bermula ketika Gloria
terpilih menjadi salah satu anggota Paskibraka (Pasukan Pengibar Bendera
Pusaka) pada Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) ke-
71 di Istana Kepresidenan yang rencananya akan diselenggarakan pada tanggal
17 Agustus 2016. Namun, beberapa hari sebelum dilantik oleh Presiden Joko
Widodo sebagai Paskibraka terpilih, status kewarganegaraannya dipersoalkan
dan berujung pada diskulifikasi dari Paskibraka yang akan melakukan
pengibaran bendera pada HUT RI ke-71 tersebut, hal ini dikarenakan Gloria
dianggap masih memilki 2 (dua) kewarganegaraan hingga usianya mencapai 18
(delapan belas) tahun, sehingga Pemerintah mengambil sikap untuk
mendiskualifikasi Gloria dari Paskibraka terpilih. Atas hal tersebut pula, Sang
Ibunda Ira Natapradja lantas mengajukan Permohonan Uji Materiil Pasal 41
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia karena dianggap telah merugikan hak konstitusional anaknya serta
dianggap pula bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28G
ayat (1) UUD NRI 1945.

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 200t6 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia.

1. Pasal 1 angka 1 “Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2. Pasal 1 angka 2 “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan
dengan warga negara”
3. Pasal 4 huruf d “Warga Negara Indonesia adalah d. anak yang lahir dari
perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga
Negara Indonesia.
4. Pasal 6 ayat (1) “Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia
terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h,
huruf l, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia
18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan
memilih salah satu kewarganegaraannya”
5. Pasal 6 ayat (2) “Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat
dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan
perundang-undangan”.

Analisa Penyelesaian Masalah

Bahwa mengenai perkawinan campuran di Indonesia pada praktiknya juga


telah menimbulkan berbagai problematika di masyarakat. Sehingga tak ayal banyak
ditemui kasus-kasus hukum terkait permasalahan status kewarganegaraan anak hasil
perkawinan campuran yang dalam hal ini penulis mengangkat kasus Gloria
Natapradja Hamel. Lantas kiranya bagaimana kemudian solosi dalam mengatasi
status kewarganegaraan tersebut?

Bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya mengenai status


kewarganegaraan Gloria Natapradja hamel yang dalam hal paling lambat 4 (empat)
tahun, ia harus mendaftarkan diri kepada Kepala Kementerian Hukum dan Ham RI
atau Kepala Kantor Imigrasi terkait status dan kedudukannya agar juga dapat diakui
memiliki diaspora (kewarganegaraan ganda) secara terbatas hingga berusia 18
(delapan belas) tahun. Namun, oleh karena dalam jangka waktu tersebut tidak
diajukan pendaftaran, maka secara mutatis mutandis statusnya hanya sebatas warga
negara asing yang dalam hal ini berkewarganegaraan Perancis. Jika seseorang telah
berkewarganegaraan asing dan bukan diaspora (kewarganegaraan ganda terbatas),
maka pernyataan kewarganegaraan sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganeharaan Indonesia tidak lagi dapat
dipakai serta merta, melainkan pasal-pasal yang mengatur mengenai permohonan
untuk menjadi WNI lah yang dapat digunakan sebagai langkah penyelesaian tersebut
di atas, disamping melakukan pendaftaran sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 41
UU Kewarganegaraan RI. Hal ini menurut ketentuan Pasal 1 angka (3) UU
Kewarganegaraan RI disebut sebagai “Pewarganegaraan”.
Bahwa ketentuan mengenai permohonan pewarganegaraan diatur secara
umum dalam Pasal 9 UU Kewarganegaran RI yakni sebagai berikut : Permohonan
pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan sebagai
berikut :

a. telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

b. pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara


Republik Indonesia paling singkat 5 (lima ) tahun berturut-turut atau paling singkat
10 (sepuluh) tahun tidak berturutturut;

c. sehat jasmani dan rohani;

d. dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;

f. jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi


berkewarganegaraan ganda;

g. mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan

h. membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Hal mana ketentuan teknis dan spesifik mengenai permohonan tersebut


mengacu kepada Peraturan Menteri Hukum dan Ham RI Nomor 47 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penyampaian Permohonan Kewarganegaraan Republik Indonesia
secara Elektronik

Kesimpulan

Dalam kasus Gloria Natapradja Hamel sebagai Warga Negara Asing yaitu
Warga Negara Perancis sejak ia lahir, oleh karena yang bersangkutan lahir sebelum
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI disahkan,
dimana dalam ketentuan peralihan Pasal 41 UU Kewarganegaraan tersebut yang
lahir sebelum tahun 2006 untuk paling lambat hingga pada tahun 2010. Namun, yang
bersangkutan tidak melakukan pendafataran diri dalam waktu yang telah ditentukan,
sehingga diaspora kewarganegaraan (kewarganegaraan ganda) sementara tidak
berlaku terhadap Gloria Natapradja Hamel, dan yang bersangkutan berstatus sebagai
Warga Negara Perancis.

Analisa Kasus Arcandra Tahar

Latar Belakang

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan


Republik Indonesia, negara Indonesia tidak mengakui adanya dwikewarganegaraan.
Indonesia hanya mengakui warganegaranya yang memiliki satu kewarganegaraan.
Jika ada yang memiliki status dwikewarganegaraan, maka status warga negara
Indonesianya akan hilang. 2) Dwikewarganegaraan itu sendiri merupakan status
warga negara dimana seseorang tercatat sebagai warga negara pada dua negara yang
berbeda, misalkan seseorang yang sudah tercatat di negara Kanada ternyata juga
tercatat sebagai warga negara di Amerika Serikat. Kedua negara ini mengakui status
dwikewarganegaraan, jadi satu orang bisa memiliki dua kewarganegaraan sekaligus.
Negara Indonesia berbeda dengan kedua negara yang mengakui dwikewarganegaarn
tadi. Indonesia dalam undangundangnya dengan jelas mengatakan bahwa jika ada
yang memiliki status dwikewarganegaraan, maka status warga negara Indonesia
miliknya akan hilang.

Pada tahun 2016 Presiden Republik Indonesia melantik Menteri energi dan
sumber daya mineral dengan status warga negara Indonesia namun sudah pernah
mengangkat sumpah setia pada negara Amerika Serikat. Menteri tersebut bernama Ir.
Arcandra Tahar, M. Sc., Ph.D. Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengatur, apabila seseorang
memperoleh kewarganegaan lain karena kemauan sendiri, maka status warga negara
Indonesia yang bersangkutan akan hilang. Arcandra Tahar mengakui memiliki dua
paspor dan telah menjadi warga negara Amerika Serikat, status warga negara
Indonesia yang dimiliki Arcandra Tahar menjadi tidak sah karena UndangUndang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia mengaturnya
demikian.

Analisis Menggunakan Pasal 23 UU No.12 Tahun 2006

Undang-Undang 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengatur bahwa


WNI yang menjadi WNA maka status kewarganegaraanya hilang. Hal ini, tepatnya,
sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-Undang
12/2006 bahwa WNI kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan :

a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri; dan

b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan


yang bersangkutan mendapatkan kesempatan itu.

Bila memang Menteri Arcandra Tahar pernah mendapatkan kewarganegaraan


asing maka secara otomatis ia telah kehilangan WNInya. Bila yang bersangkutan
telah menjadi WNA dan atas ke-WNAannya ia tetap memiliki paspor atau
mengajukan perpanjangan paspor maka perbuatan hukum tersebut dapat diduga
sebagai tindakan pidana kewarganegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 37
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 bahwa setiap orang dilarang memberikan
keterangan palsu, membuat surat/dokumen palsu untuk memperoleh
kewarganegaraan Indonesia. Sebagai akibat kehilangan ke-WNI-an maka segala
dokumen ke-WNI-an seseorang secara otomatis hapus atau tidak berlaku seketika
sejak yang bersangkutan menerima kewarganegaraan asing. Mengingat Indonesia
menganut prinsip kewarganegaraan tunggal.

Terkait dengan pengangkatan Arcandra Tahar sebagai menteri ESDM dengan


status kewarganegaraannya? Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara diatur bahwa untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang
harus memenuni persyaratan sebagai WNI (Pasal 22 ayat (2) huruf a). Artinya bila
Menteri Acandra Tahar terbukti memiliki kewarganegaraan asing maka statusnya
sebagai menteri pun tidak berlaku dan dianggap tidak pernah ada. Akibatnya maka
setiap kebijakan yang dibuatnya harus dianggap tidak pernah ada karena kebijakan itu
dibuat oleh seseorang yang tidak berwenang.

Terkait dengan pengangkatan Arcandra Tahar sebagai menteri ESDM dengan


status kewarganegaraannya? Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara diatur bahwa untuk dapat diangkat menjadi menteri, seseorang
harus memenuni persyaratan sebagai WNI (Pasal 22 ayat (2) huruf a). Artinya bila
Menteri Acandra Tahar terbukti memiliki kewarganegaraan asing maka statusnya
sebagai menteri pun tidak berlaku dan dianggap tidak pernah ada. Akibatnya maka
setiap kebijakan yang dibuatnya harus dianggap tidak pernah ada karena kebijakan itu
dibuat oleh seseorang yang tidak berwenang.

Kemudian untuk menjadi eselon 1 di Kementerian/lembaga, keterlibatan


Badan Intelijen Negara saja ada, lalu apakah dalam pemilihan seorang menteri yang
notabenenya atasan eselon 1 BIN tidak dilibatkan? Mengingat informasi intelijen
tidak hanya menyangkut status kewarganegraan yang bersangkutan, namun lebih dari
itu terakit pula track record yang bersangkutan selama ini. Seharusnya BIN pasti
dilibatkan. Bila akhirnya, ternyata tidak melalui penelusuran intelijen maka ini
merupakan bentuk kelalaian yang semestinya tidak terjadi karena isu kewargangeraan
bukan hanya isu larangan kewarganegaraan ganda bagi WNI namun ini juga
menyangkut isu ketahanan nasional.

Arcandra Tahar ditetapkan menjadi Menteri ESDM yang sesungguhnya


Kementerian ini erat kaitannya dengan isu kepentingan strategis nasional, di
dalamnya ada kepentingan nasionalisme. ESDM erat kaitannya dengan cita hukum
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana ada dalam Pasal 33 ayat (2) dan
ayat (3) UUD 1945. Alasan Arcandra Tahar tidak pernah sah menjadi menteri dan
bahkan tidak dianggap sebagai mantan menteri adalah karena ada kesalahan yang
dilakukan Presiden dalam menjalankan wewenangnya untuk memutuskan siapa yang
menjadi pembantunya dalam menjalankan pemerintahan. Pada saat Arcandra Tahar
dilantik menjadi menteri, dia merupakan warga negara amerika. Sehingga jelas
Arcandra Tahar bukan merupakan warga negara Indonesia.
Kesimpulan

Melihat kembali pasal 23 Undang-Undang nomor 12 Tahun 2006 yang


menegaskan bahwa warga negara Indonesia termasuk Arcandra Tahar bisa
kehilangan status kewarganegaraannya jika memperoleh kewarganegaraan lain atas
kemauannya sendiri dan juga secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan
janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.

Anda mungkin juga menyukai