Anda di halaman 1dari 7

Kompleksitas Hukum Kewarganegaraan Ganda: Kasus Gloria E Mairering

dan Hak Anak Berkewarganegaraan Ganda

Dosen Pengampu: Ratna Artha Windari, S.H., M.H

Oleh:

Nama: Maya Damai Hati Marpaung

NIM: 2314101147

Kelas: 2 D

Absen : 25

Universitas Pendidikan Ganesha

Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial


2024

Posisi Kasus

Kewarganegaraan Gloria dalam perkawinan campuran menurut Undang-Undang


Kewarganegaraan menjadi perhatian publik ketika dia dicoret dari daftar pasukan
pengibar bendera pusaka (paskibraka) karena masih memegang paspor Perancis,
walaupun dia memiliki kedua kewarganegaraan sebelum usia 18 tahun, sesuai UU
12/2006. Ibunya, Ira Hartini Natapradja Hamel, kemudian mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan yang dianggap bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permohonan ini berawal
dari surat permohonan yang diajukan pada tanggal 29 Agustus 2016 dan diperbaiki
pada tanggal 14 Oktober 2016, yang pada intinya menyatakan bahwa Gloria
Natapradja Hamel, anak dari Pemohon, mengalami kerugian hak konstitusional
karena berlakunya Pasal 41 UU Kewarganegaraan (Pratiwi, 2017).

Identifikasi Masalah

Masalah utama dalam kasus ini adalah ketidaksesuaian antara peraturan hukum
yang mengatur kewarganegaraan ganda anak hasil kawin campur sebelum usia 18
tahun dengan implementasinya dalam kehidupan nyata. Gloria, sebagai contoh
kasus, menghadapi konsekuensi dari memiliki kedua kewarganegaraan namun
dihadapkan pada batasan-batasan hukum yang mempengaruhi hak-haknya sebagai
warga negara Indonesia.

Analisis Kasus
Dalam kasus Gloria E Mairering yang mencuat karena pencoretan namanya dari
daftar pasukan pengibar bendera pusaka (paskibraka) akibat pemegang paspor
Perancisnya, terdapat beberapa pasal yang menjadi sumber hukum yang relevan
untuk dianalisis. Pasal-pasal tersebut antara lain terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Analisis kasus ini akan menyoroti aspek-
aspek hukum terkait kewarganegaraan ganda, pengakuan ganda dari negara terkait,
dan dampak hukumnya terhadap hak konstitusional individu.

1. Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan: Pasal ini mengatur tentang kewarganegaraan ganda
yang dimiliki oleh seseorang sebelum mencapai usia 18 tahun. Pada kasus
Gloria E Mairering, dia memiliki kedua kewarganegaraan (Indonesia dan
Perancis) sebelum usia 18 tahun. Namun, ada ketentuan-ketentuan yang
perlu diperhatikan terkait hak dan kewajiban seseorang yang memiliki
kewarganegaraan ganda sesuai dengan UU tersebut.

2. Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok


Peraturan Dasar Agraria: pasal ini menegaskan batasan usia seorang anak
adalah 18 tahun. Pasal tersebut menyatakan ”Anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya, selama mereka tidak atau
belum dicabut dari kekuasaannya”.

3. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pasal-


pasal yang berkaitan dengan kewarganegaraan, hak asasi manusia,
perlindungan hukum, dan keadilan menjadi dasar hukum penting dalam
analisis kasus ini. Hak konstitusional individu, termasuk hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan setara di depan hukum,
menjadi fokus utama dalam perspektif hukum dasar Indonesia.

Penentuan kewarganegaraan seseorang yang memiliki kewarganegaraan ganda


dapat menggunakan hukum domisili. Dalam Hukum Perdata Internasional, tempat
tinggal seseorang di suatu kota dianggap tidak begitu penting karena yang benar-
benar penting adalah negara di mana orang tersebut berdomisili. Berdasarkan
domisili di negara tersebut, hukum negara tersebut akan berlaku untuk status
pribadinya (Gautama, 1979). Seseorang yang memiliki habitual residence yaitu
orang tersebut secara fakta bertempat tinggal di suatu negara dalam konteks Hukum
Perdata Internasional adalah orang yang secara faktual tinggal di suatu negara.
Faktor yang menentukan habitual residence bisa berupa tempat tinggal atau tempat
kerja di negara tersebut. Namun, untuk anak-anak yang belum dewasa atau belum
menikah, tempat tinggalnya biasanya mengikuti orangtuanya. Jika orangtua berada
di Indonesia, maka habitual residence anak tersebut dianggap berada di Indonesia
(Ayu & Anggraeny, 2019).

Hukum domisili yang terkait dengan salah satu kewarganegaraannya juga menjadi
fokus. Beberapa penulis seperti Koster, Van Brakel, dan Wollf menyatakan bahwa
domisili yang terkait dengan salah satu kewarganegaraan dianggap sebagai bukti
konkret dari nasionalitas yang efektif.

Dari analisis kasus ini, terlihat bahwa kewarganegaraan ganda memunculkan


kompleksitas hukum terutama dalam konteks hak dan kewajiban individu yang
bersangkutan. Indonesia sendiri belum secara eksplisit mengakui kewarganegaraan
ganda, dan hal ini menjadi titik perdebatan penting dalam kasus Gloria E Mairering.

Dalam konteks pencoretan dari daftar paskibraka, perlu dipertimbangkan apakah


tindakan tersebut melanggar hak konstitusional individu, terutama dalam hal hak
untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan setara di depan hukum.
Meskipun kasus ini mencuat pada level publik dan mendapat sorotan media yang
luas, tetapi pertimbangan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang
berlaku secara jelas.

Gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi juga menjadi langkah hukum yang
signifikan, karena Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk menguji
konstitusionalitas suatu undang-undang. Namun, keputusan akhirnya akan
bergantung pada argumentasi hukum yang diajukan dan interpretasi pasal-pasal
terkait dalam UU Kewarganegaraan dan UUD 1945.

Dalam kesimpulan, analisis kasus Gloria E Mairering menyoroti kompleksitas


hukum terkait dengan kewarganegaraan ganda, pengakuan negara terhadap
kewarganegaraan ganda, dan hak konstitusional individu. Pemahaman yang
mendalam terhadap pasal-pasal hukum yang relevan menjadi kunci dalam menilai
kasus ini secara objektif dan memastikan perlindungan hukum yang setara bagi
semua individu tanpa kecuali.

Kesimpulan

Kasus Gloria E Mairering menggambarkan kompleksitas hukum seputar


kewarganegaraan ganda, terutama mengenai pengakuan ganda kewarganegaraan
dan hak konstitusional individu. Diskrepansi antara regulasi hukum tentang
kewarganegaraan ganda dan implementasinya dalam kehidupan nyata telah
menarik perhatian yang signifikan terhadap isu ini, terutama dalam kasus di mana
individu menghadapi pembatasan hak mereka sebagai warga negara Indonesia
karena memiliki kewarganegaraan ganda.

Pasal-pasal hukum kunci seperti Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006


tentang Kewarganegaraan dan ketentuan relevan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi dasar untuk memahami kerangka
hukum seputar kewarganegaraan ganda dan implikasinya bagi individu seperti
Gloria E Mairering.

Analisis ini membahas pertanyaan-pertanyaan penting mengenai pengakuan


kewarganegaraan ganda, hak dan kewajiban individu dengan kewarganegaraan
ganda sebelum usia 18 tahun, dan konsekuensi hukum yang dihadapi individu
dalam situasi nyata, seperti pencoretan Gloria dari daftar pasukan pengibar bendera
pusaka (paskibraka) karena memiliki paspor Perancis.
Rekomendasi

1. Klarifikasi Regulasi Kewarganegaraan Ganda: Diperlukan kejelasan


dan konsistensi dalam regulasi seputar kewarganegaraan ganda, terutama
mengenai hak dan kewajiban individu yang memperoleh kewarganegaraan
ganda sebelum mencapai usia 18 tahun. Pemerintah Indonesia sebaiknya
mempertimbangkan untuk meninjau ulang dan memperbaiki regulasi ini
untuk memastikan keadilan dan konsistensi dalam penerapannya.

2. Perlindungan Hak Konstitusional: Penting untuk menjaga hak


konstitusional individu, termasuk hak untuk perlindungan hukum yang
setara dan proses hukum yang adil. Setiap tindakan atau kebijakan yang
membatasi atau melanggar hak-hak ini harus diperiksa dengan cermat untuk
memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konstitusional.

3. Pemeriksaan Hukum atas Keputusan Pencoretan: Keputusan seperti


pencoretan Gloria dari daftar paskibraka harus menjalani pemeriksaan
hukum untuk menilai kesesuaian dengan hak konstitusional dan ketentuan
hukum. Setiap tindakan yang diambil berdasarkan status kewarganegaraan
harus sesuai dengan kerangka hukum yang telah ditetapkan dan prinsip-
prinsip keadilan.

4. Keterlibatan dengan Standar Internasional: Indonesia dapat


memperoleh manfaat dari keterlibatan dengan standar dan praktik
internasional seputar kewarganegaraan ganda untuk menyelaraskan
kerangka hukumnya dengan norma-norma global sambil mengatasi
kekhawatiran dan pertimbangan domestik.

5. Kepastian Hukum yang Ditingkatkan: Pedoman hukum yang jelas dan


komprehensif mengenai hak dan kewajiban individu dengan
kewarganegaraan ganda, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan
warisan dan hak atas properti, sangat penting. Kepastian ini dapat mencegah
ambiguitas hukum dan memastikan perlakuan yang adil di bawah hukum.
Secara keseluruhan, penanganan kompleksitas kewarganegaraan ganda
membutuhkan pendekatan yang seimbang yang mempertimbangkan kejelasan
hukum, perlindungan hak konstitusional, standar internasional, dan implikasi
praktis bagi individu seperti Gloria E Mairering. Rekomendasi tersebut bertujuan
untuk membentuk kerangka hukum yang mendorong keadilan, kesetaraan, dan
kepastian hukum dalam hal kewarganegaraan ganda.

REFERENSI

Ayu, H., & Anggraeny, P. S. (2019). Kasus Gloria E Mairering Perkara


Kewarganegaraan Ganda Dalam Perkawinan Campuran. Jurnal Ius
Constituendum, 4(1), 1. https://doi.org/10.26623/jic.v4i1.1530

Gautama, S. (1979). Hukum perdata internasional Indonesia. Bandung Alumni


1979.

Pratiwi, P. S. (2017). Cerita Gloria Natapradja soal Kewarganegaraan Ganda.


CNN Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai