Anda di halaman 1dari 15

MASALAH KEWARGANEGARAAN GANDA GLORIA NATAPRADJA

Oleh :
Diana Febrina Lumbantoruan (1805102071)
Greis Lestari Sinaga (18051020)
Immanuel Limbong (18051020)
Program Studi D3 Manajemen Informatika POLMED

Abstrak
Dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945, dengan tegas dinyatakan bahwa, Setiap orang berhak atas
status kewarganegaraan”. Pada ketentuan tersebut tidak dinyatakan bahwa setiap orang juga
berhak atas satu atau dua kewarganegaraan. Hal yang penting bagi UUD 1945 adalah tidak boleh
terjadi keadaan apatride, sedangkan kemungkinan terjadinya bipatride, tidak diharuskan dan juga
tidak dilarang. Hal yang penting bagi negara ialah bahwa warga negaranya itu memenuhi hak
dan kewajiban sebagai warga negara. Sehingga jelas dan tegas hak dan kewajiban setiap warga
negara dalam UUD 1945, hal inilah yang membedakan dengan orang asing. Keberadaan
penelitian ini dimaksudkan untuk mencari jawaban terhadap permasalahan: (a) Apakah asas
kewarganegaraan yang dianut oleh Negara Indonesia? (b) Bagaimana implikasi kewarganegaraan
ganda bagi warga Negara Indonesia?. Untuk menemukan jawaban permasalahan tersebut
ditempuh melalui metode Penelitian Hukum Normatif Empiris, yaitu penelitian yang
memperhatikan bahwa hukum bekerja pada segi kaidah/norma/normwissenschaft yaitu
perundang-undangan yang berkaitan dengan kewarganegaraan Republik Indonesia, yang tidak
terlepas dari unsur sosial/empiris. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Indonesia menganut
asas kewarganegaraan, yaitu Ius soli, ius sanguinis, asas kewarganegaraan tunggal dan asas
kewarganegaraan rangkap terbatas. (2) Hak dan kewajiban warga negara tercantum dalam UUD
1945, hal tersebut menimbulkan implikasi bahwa warga negara Indonesia yang memiliki status
kewarganegaraan ganda juga mempunyai hak, kewajiban dan partisipasi dalam negara yang
sama dengan warga negara asli Indonesia, asalkan mereka ketika berusia 18 tahun harus memilih
kewarganegaraan Indonesia.
Kata Kunci : Kewarganegaraan ganda, Gloria Natapradja.

Abstract
In Article 28D paragraph (4) of the 1945 Constitution, it is expressly stated that, Everyone has
the right to citizenship status ". In this provision it is not stated that every person is also entitled
to one or two nationalities. The important thing for the 1945 Constitution is that there should not
be a state of apatride, while the possibility of a bipatride is not required nor prohibited. The
important thing for the country is that its citizens fulfill their rights and obligations as citizens.
So that the rights and obligations of every citizen are clear and clear in the 1945 Constitution,
this is what distinguishes foreigners. The existence of this research is intended to find answers to
problems: (a) What is the principle of citizenship adopted by the State of Indonesia? (b) What are
the implications of dual citizenship for Indonesian citizens? To find the answers to these
problems, it was pursued through the Empirical Normative Law Research method, namely
research that considers that the law works in terms of norms / norms / norms, namely legislation
relating to the citizenship of the Republic of Indonesia, which is inseparable from social /
empirical elements. The results of the study show that: (1) Indonesia adheres to the principle of
citizenship, namely Ius soli, ius sanguinis, the principle of single citizenship and the principle of
limited dual citizenship. (2) The rights and obligations of citizens are included in the 1945
Constitution, this implies the implication that Indonesian citizens who have dual citizenship
status also have rights, obligations and participation in the same country as Indonesian native
citizens, provided they are choose Indonesian citizenship.
Keywords : Dual citizenship, Gloria Natapradja.

LATAR BELAKANG MASALAH


Pada umumnya bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka harus dipenuhi beberapa
unsur pembentuk. Unsur-unsur pembentuk tersebut bersifat mutlak atau konstitutif dan bersifat
tambahan atau deklaratif. Unsur yang pertama merupakan syarat multak sehingga apabila salah
satu unsur tidak terpenuhi maka sebuah Negara tidak akan ada. Adapun unsur-unsur negara yang
termasuk kategori ini terdiri atas tiga unsur penting, yakni rakyat, wilayah, dan pemerintah yang
berdaulat. Sementara unsur tambahan adalah pengakuan dari negara-negara lain.
Pemerintahan yang berdaulat berarti pemerintahan yang memiliki keuasaan tertinggi
dalam suatu negara yang berlaku terhadap seluruh wilayah dna rakyat Negara tersebut. Meski
demikian, kekuasaan yang dimiliki oleh suatu Negara akan terbatas pada wilayah Negara
tersebut atau bisa juga dikatakan bahwa dalam kedaulatan suatu Negara terbatas pada kedaulatan
Negara lain.
Kemudian yang kedua yaitu wilayah. Tanpa adanya wilayah yang pasti, tidak mungkin
suatu negara dapat berdiri, dan begitu pula adalah mustahil untuk menyatakan adanya Negara
tanpa rakyat yang tetap. Di samping itu, meskipun kedua syarat wilayah (territory) dan rakyat
telah dipenuhi, apabila pemerintahannya bukan pemerintahan yang berdaulat yang bersifat
nasional, belumlah dapat dinamakan negara tersebut suatu negara yang merdeka.
Rakyat sebagai sekumpulan manusia yang hidup di suatu tempat yang dilawankan
dengan makhluk-makhluk lain yang hidup di dunia. Beberapa istilah yang erat pengertiannya
dengan rakyat ialah, rumpun (ras), bangsa (volks), dan nazi (natie). Rakyat (people) yang
menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara
(citizen). Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang
menyandang hakhak dan sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara. setiap warga
negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati
(respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled), oleh
negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajibankewajiban kepada negara
yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan
ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara.
Warga negara dari suatu negara merupakan pendukung dan penanggung jawab kemajuan
dan kemunduran suatu negara. oleh sebab itu, seseorang yang menjadi anggota atau warga suatu
negara haruslah ditentukan oleh Undang-Undang yang dibuat oleh negara tersebut. Sebelum
negara menentukan siapasiapa yang menjadi warga negara, terlebih dahulu negara harus
mengakui bahwa setiap orang berhak memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali sebagaimana dinyatakan oleh Pasal
28E ayat (1) UUD 1945. Pernyataan ini mengandung makna bahwa orang-orang yang tinggal
dalam wilayah negara dapat diklasifikasikan menjadi:
1) Penduduk, yaitu orang-orang yang memiliki domisili atau tempat tinggal tetap di
wilayah negara itu, yang dapat dibedakan warga negara dan Warga Negara Asing (WNA).
2) Bukan penduduk, yaitu orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat
sementara sesuai dengan visa yang diberikan oleh negara (kantor imigrasi) yang bersangkutan,
seperti turis.
Persoalan kewarganegaraan ini juga penting dipandang dari sudut hukum Internasional.
Seperti dikatakan oleh A.W. Bradley dan K.D. Ewing, nasionalitas dan status kewarganegaraan
itu menghubungkan seseorang dengan orang lain dalam pergaulan di dunia Internasional. Istilah
kewarganegaraan memiliki arti yang menunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dan
warga negara. Kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara yang
mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang yang bersangkutan.
Adapun menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, Kewarganegaraan adalah segala hal-ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
Pada praktiknya ada kecenderungan yang memungkinkan seseorang memiliki
kewarganegaraan rangkap (bipatride) atau sebaliknya, tidak memiliki kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan rangkap ini disebabkan dianutnya asas yang berbeda di atara dua
negara dalam menentukan kewarganegaraannya. Negara yang satu menggunakan asas ius
sanguinis dan yang lain menggunakan asas ius soli. Bahkan dalam perkembangannya di
kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan pengalaman di berbagai negara bahwa
kedua asas tersebut harus diubah dengan asas yang lain atau harus diterapkan secara bersamaan
untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan double-citizenship atau dwikewarganegaraan
(bipatride) atau sebaliknya sama sekali berstatus tanpa kewarganegaraan (apatride). Namun
demikian, dalam praktik, ada pula negara yang justru menganut keduaduanya karena
pertimbangan lebih menguntungkan bagi kepentingan negara yang bersangkutan. Sistem inilah
yang biasa dinamakn sebagai asas campuran. Asas yang dipakai bersifat campuran sehingga
dapat menyebabkan apatride atau bipatride. Dalam hal demikian, yang ditoleransi biasanya
adalah keadaan bipatride, yaitu dwikewarganegaraan.
Di dunia dewasa ini cenderung semakin menyatu dan dengan dinamika pergaulan
antarumat manusia yang semakin longgar dan dinamis, gejala kewarganegaraan ganda ini sangat
mungkin akan terus berkembang di masa-masa yang akan datang. Bahkan, boleh jadi, yang akan
muncul dalam praktik, tidak saja masalah dwikewarganegaraan, tetapi mungkin juga-multi
kewarganegaraan, terutama di kalangan kelompok orang yang kaya dan dapat hidup berpindah-
pindah dengan sekehendak hatinya. Bagi mereka itu, tidak juga kerugian apa-apa bagi negara
mana pun untuk membiarkan mereka memiliki status kewarganegaraan lebih dari satu, asalkan
yang bersangkutan tetap menjalankan kewajibannya untuk membayar pajak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, semua negara
modern di dunia dewasa ini dihadapkan pada persoalan kewarganegaraan ganda ini sebagai
masalah yang riel. Hal yang penting bagi negara ialah bahwa warga negaranya itu memenuhi
kewajibannya sebagai warga negara. Bahwa ia tetap ingin bertahan dengan dua
kewarganegaraan, dapat saja tidak dipandang sebagai kerugian negara.
Dengan adanya uraian tersebut di atas maka kami penulis mengadakan penelitian yang
hasilnya dituangkan dalam laporan penelitian dengan judul : “Masalah Kewarganegaraan Ganda
Gloria Natapradja”.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat rumusan masalah, yaitu :
a. Asas apakah yang dianut oleh Negara Indonesia?
b. Bagaimana dengan Status Kewarganegaraan di Indonesia?
c. Bagaiman dengan Hukum Kewarganegaraan di Indonesia?
d. Bagaimana tentang Masalah Kewarganegaraan Ganda Gloria Natapradja?

METODE PENELITIAN
Penelitian mengenai “Masalah Kewarganegaraan Ganda Gloria Natapradja” merupakan
penelitian yang memperhatikan tentang hukum di Indonesia yaitu perundang-undangan yang
berkaitan dengan kewarganegaraan Republik Indonesia, dimana disetiap terjadi sebuah
penetapan hukum pasti terdapat penyimpangan contoh nya seperti kewarganegaraan ganda yang
dimiliki oleh Gloria Natapradja yang merupakan seorang calon Paskibra Nasional dalam
upacara perayaan 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan Indonesia.
Adapun pendekatan dalam penelitian yaitu mengenai berlakunya hukum positif.2 Yaitu
berlakunya perundang-undangan Kewarganegaraan Republik Indonesia yang relevan dengan
permasalahan kewarganegaraan ganda di Indonesia dengan cara melakukan analisa/analisis
terhadap data hukum dan hasil yang diperoleh dalam penelitian dengan cara mengetahui makna
yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan perundangundangan secara
konsepsional, sekaligus mengetahui masalah-masalah yang terjadi
dalam penerapan/pelaksanaan serta pendaftaran kewarganegaraan.
Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data yang diambil dari sumber
internet dan buku. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara melihat sumber tentang
Gloria Natapradja, kemudian mecocokkan yang sesuai dengan judul makalah , dan kemudian
mencari lebih dalam tentang jurnal kewarganegaraan ganda. Data yang diperoleh melalui
internet, ataupun makalah dijadikan sebagai data penunjang untuk menjawab permasalahan yang
sesuai dengan judul. Keseluruhan data yang relevan dengan penelitian yakni dengan mengacu
pada teori-teori yang membangun kerangka pemirikan permasalahan tersebut. Setiap proses ini
dilakukan supaya mengacu pada tujuan penelitian. Seluruh data ini menghasilkan rumusan yang
tersusun dalam bentuk uraian yang deskriptif.

LANDASAN TEORI
Asas kewarganegaraan diperlukan untuk mengatur status kewarganegaraan seseorang.
Hal ini penting agar seseorang mendapatkan perlindungan hukum dari negara, serta menerima
hak dan kewajibannya. Ketentuan tentang status kewarganegaraan penting diatur dalam
peraturan perundangan dari negara. Peraturan perundangan inilah yang kemudian dijadikan asas
untuk penentuan status kewarganegaraan seseorang. Dalam asas kewarganegaraan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dikenal
dua pedoman yaitu: (1) asas kewarganegaraan umum, dan (2) asas kewarganegaraan khusus
Setiap negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas
kewarganegaraan. Dalam asas kewarganegaraan dikenal dua pedoman, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kelahiran (Ius Soli) adalah penentuan status kewarganegraan berdasarkan tempat
atau daerah kelahiran seseorang. Pada awalnya asas kewarganegaraan hanyalah ius soli saja. Hal
tersebut sebagai suatu anggapan bahwa jika seseorang lahir di suatu wilayah negara, otomatis
dan logis ia menjadi warga negara tersebut.
2. Asas keturunan (Ius Sanguinis) adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan
pertalian darah atau keturunan.
Mengenai soal kewarganegaraan, masing-masing negara menganut asas yang
menguntungkan, dan lainnya adalah campuran dari kedua asas itu. Asas campuran adalah asas
yang menentukan kewarganegaraan lebih dari satu atau asas tersebut sekaligus diperlakukan.
Karena masing-masing menganut asas yang menguntungkan bagi kepentingan politiknya, maka
perbedaaan asas ini tidak jarang membawa kesulitan-kesulitan dalam hubungan Internasional.
Kesulitan-kesulitan ini dapat membawa akibat seorang memperoleh kewarganegaraan lebih dari
satu (dwikewarganegaraan) dan seorang menjadi tidak berkewenangan sama sekali (apatride).
Dalam problem status kewarganegaraan seseorang terjadi apabila asas kewarganegaraan
di atas diterapkan secara tegas dalam sebuah negara, akan mengakibatkan status
kewarganegaraan seseorang menjadi sebagai berikut:
a. Apatride, yaitu seseorang tidak mendapat kewarganegaraan disebabkan oleh orang
tersebut lahir di sebuah negara yang menganut ius sanguinis.
b. Bipatride, yaitu seseorang akan mendapatkan dua kewarganegaraan, apabila orang
tersebut berasal dari orang tua yang mana negaranya menganut ius sanguinis, sedangkan dia lahir
di suatu negara yang menganut ius soli.
c. Multipatride, yaitu seseorang yang memiliki lebih dari dua kewarganegaraan, yaitu
seseorang (penduduk) yang tinggal di perbatasan antara dua negara.
Untuk memecahkan problem kewarganegaraan di atas, setiap negara memiliki peraturan
sendiri-sendiri yang prinsip-prinsipnya bersifat universal, sebagaimana dinyatakan dalam UUD
1945 pasal 28D ayat (4), bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Oleh karena
itu negara Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Indonesia dinyatakan bahwa cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia adalah; 1) karena
kelahiran, 2) karena pengangkatan, 3) karena dikabulkan permohonan, 4) karena
pewarganegaraan, 5) karena perkawinan, 6) karena turut ayah dan ibu, dan 7) karena pernyataan.
Untuk mengatasi masalah kewarganegaraan, maka Indonesia mengatur tata cara
memperoleh kewarganegaraan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 dan
diperbaharui dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006, dimana ada delapan cara
memperoleh kewarganegaraan yang tercantum dalam Pasal 9 UndangUndang Nomor 12 Tahun
2006, meliputi: a). telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin; b). pada waktu
mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling
singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut;
c). sehat jasmani dan rohani; d). dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e). tidak pernah
dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu)
tahun atau lebih; f). jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
menjadi berkewarganegaraan ganda; g). mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap;
dan h). membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia adalah: a). setiap orang
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah
Republik Indonesia dengan negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi
Warga Negara Indonesia; b). anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan
ibu Warga Negara Indonesia; c). anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; d). anak yang lahir dari perkawinan yang
sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; e). anak yang lahir
dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak
mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut; f). anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga
ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga
Negara Indonesia; g). anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia; h). anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin; i). anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
belas status kewarganegaraan ayah dan ibunya; j). anak yang baru lahir yang ditemukan di
wilayah negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui; k). anak yang lahir
di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya; l). anak yang dilahirkan di luar wilayah
negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena
ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada
anak yang bersangkutan; 2). anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan
sumpah atau menyatakan janji setia.
Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status
kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya.
Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya, negara
mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap, warga negaranya. Sementara itu
warga negara menurut UUD 1945 pasal 26 ayat (1) ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara, sedangkan
menurut UndangUndang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
menyatakan bahwa warga Negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan
perundang-undangan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga
negara Republik Indonesia.

PEMBAHASAN
Berdasarkan pertimbangan, perlu dibentuk undang-undang kewarganegaraan yang baru
sebagai pelaksanaan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan
undang-undang. Untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat Undang-
Undang Dasar 1945 sebagaimana tersebut di atas, UndangUndang Kewarganegaraan Republik
Indonesia ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal, yaitu asas ius
sanguinis, ius soli, dan campuran. Adapun asas-asas yang dianut dalam UndangUndang
Kewarganegaraan Republik Indonesia ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara. tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas
bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan
bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pada dasarnya Negara Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Adapun kewarganegaraan ganda yang diberikan
kepada anak dalam Undang-Undang kewarganegaraan Republik Indonesia ini merupakan suatu
pengecualian. Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan
Undang-Undang tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan
kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad
mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya
sendiri.
2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib
memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun
baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan
bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan.
4. Asas kebenaran substantif adalah prosedur. pewarganegaraan seseorang tidak hanya
bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
5. Asas nondiskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal
ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis
kelamin dan gender.
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah alas yang dalam
segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan
memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga negara pada khususnya.
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang
berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.
8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau
kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.
Dalam literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya tiga asas kewarganegaraan,
yaitu asa ius soli, ius sanguinis, dan asas campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai
asas yang utama ialah asas ius soli dan ius sanguinis. Sehubungan dengan kedua asas tersebut,
setiap negara bebas memilih asas yang hendak dipakai dalam rangka kebijakan
kewarganegaraannya untuk menentukan siapa saja yang diterima sebagai warga negara dan siapa
yang bukan warga negara. Oleh karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola
pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu dengan negara lain
dapat timbul pertentangan atau conflict of law atau pertentangan hukum. Dalam hal itu akan
menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau sebaliknya menyebabkan
apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan sama sekali. Bipatride atau dwi-kewarganegaraan
timbul ketika menurut peraturan-peraturan tentang kewarganegaraan dari berbagai negara,
seseorang sama-sama dianggap sebagai warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan.
Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan yang tidak disukai baik
oleh negara di mana orang tersebut berdomisili, maupun oleh yang bersangkutan sendiri.
Keadaan bipatride membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja
merugikan negara tertentu ataupun bagi yang bersangkutan itu sendiri. Ada juga negara yang
tidak menganggap hal ini sebagai persoalan sehingga menyerahkan saja kebutuhan untuk
memilih kewarganegaraan itu kepada orang yang bersangkutan. Di kalangan negara-negar yang
sudah makmur, dan rakyatnya sudah rata-rata berpenghasilan tinggi, tidak dirasakan adanya
kerugian apapun bagi negara untuk mengakui statusdwi kewarganegaraan itu. Akan tetapi, di
negara-negara yang sedang berkembang, yang penduduknya masih terbelakang, keadaan bipatrie
iu sering dianggap lebih banyak merugikan. Sebaliknya keadaan apatride juga membawa akibat
bahwa orang tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga.
Baik bipatride maupun apatride tersebut tentu harus dihindarkan dengan cara menutup
kemungkinan terjadinya kedua keadaan itu dengan Undang-Undang Kewarganegaraan. Dalam
Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, siapa saja yang termasuk orang-orang
dengan status kewarganegaraan ganda, yaitu, dijelaskan dalam Pasal 6 ayat 1, bahwa terhadap
anak berakibat memiliki kewarganegaraan ganda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf (c)
anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu
warga negara asing; huruf (d). anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah
warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; huruf h). anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga
Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia
18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; huruf i). anak yang lahir di wilayah negara Republik
Indonesia yang pada waktu lahir tidak belas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.

Apabila seseorang menjadi warga negara suatu negara, maka orang tersebut mempunyai
hak dan kewajiban. Hak adalah suatu yang seharusnya diperoleh oleh warga negara setelah
melaksanakan segala sesuatu yang menjadi kewajibannya sebagai warga negara. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memberikan perlindungan baik kepada
setiap peduduk maupun setiap warga negara Republik Indonesia. Artinya, UUD 1945 juga
menjamin perlindungan bagi setiap penduduk tanpa melihat apakah dia warga negara atau orang
asing. Misalnya, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini menunjukkan bahwa negara memang menjamin akan
memberikan perlindungan dalam masalah agama terhadap setiap penduduk atau setiap orang
yang ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan tidak melihat
apakah ia warga negara atau orang asing.
Di bagian lain dari UUD 1945 ditentukan pula adanya hak-hak yang secara khusus
dijamin untuk warga negara (the citizens’ rights). Ini berarti bahwa setiap warga negaralah yang
berhak penuh atas halhal yang berkaitan dengan kesempatan yang diberikan negara kepada
warga negaranya, hak mana kemudian dapat dituntut oleh warga negara. Hak warga negara
Indonesia dalam UUD 1945 adalah:
a. Pasal 6 ayat (1): Calon Presiden dan calon wakil Presiden harus seorang warga negara
indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena
kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan wakil Presiden.
b. Pasal 27 ayat (2): Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
c. Pasal 28D ayat (3): Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
d. Pasal 31 ayat (1): Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Ketentuan hak-hak tersebut di atas khusus bagi warga negara Indonesia baik sejak lahir
maupun anak yang memiliki kewarganegaraan ganda, dan pada akhirnya setelah berusia, 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya, yaitu menjadi warga negara Indonesia. Adapun kewajiban warga negara
Indonesia dalam UUD 1945 ialah:

a. Pasal 27 ayat (1): Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

b. Pasal 27 ayat (3): Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
pembelaan Negara.

c. Pasal 30 ayat (1): Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.

d. Pasal 31 ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.

KESIMPULAN

a) Asas-asas yang dianut dalam UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan Republik Indonesia, untuk menentukan kewarganegaran seseorang
warga negara Indonesia dikenal beberapa asas yang dianut oleh Indonesia, yaitu: asas ius
soli, ius sanguinis, asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda
terbatas.
Isi UU no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Menurut UU
ini, orang yang menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) adalah :

1. setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI

2. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI

3. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga
negara asing (WNA), atau sebaliknya

4. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI dan ayah yang
tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara asal sang ayah tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut

5. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal dunia
dari perkawinan yang sah, dan ayahnya itu seorang WNI

6. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNI

7. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari ibu WNA yang diakui oleh
seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak
tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin

8. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak
jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.

9. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui

10. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya
tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya

11. anak yang dilahirkan di luar wilayah Republik Indonesia dari ayah dan ibu WNI,
yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan

12. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Selain itu, diakui pula sebagai WNI bagi :

1. anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 tahun dan
belum kawin, diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing

2. anak WNI yang belum berusia lima tahun, yang diangkat secara sah sebagai anak
oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan
3. anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat
tinggal di wilayah RI, yang ayah atau ibunya memperoleh kewarganegaraan
Indonesia

4. anak WNA yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak secara sah menurut
penetapan pengadilan sebagai anak oleh WNI.

Kewarganegaraan Indonesia juga diperoleh bagi seseorang yang termasuk dalam


situasi sebagai berikut:

1. Anak yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin, berada dan bertempat
tinggal di wilayah Republik Indonesia, yang ayah atau ibunya memperoleh
kewarganegaraan Indonesia

2. Anak warga negara asing yang belum berusia lima tahun yang diangkat anak
secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara
Indonesia

Di samping perolehan status kewarganegaraan seperti tersebut di atas, dimungkinkan pula


perolehan kewarganegaraan Republik Indonesia melalui proses pewarganegaraan. Warga
negara asing yang kawin secara sah dengan warga negara Indonesia dan telah tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia sedikitnya lima tahun berturut-turut atau sepuluh
tahun tidak berturut-turut dapat menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di
hadapan pejabat yang berwenang, asalkan tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda.

Berbeda dari UU Kewarganegaraan terdahulu, UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini


memperbolehkan dwikewarganegaraan secara terbatas, yaitu untuk anak yang berusia
sampai 18 tahun dan belum kawin sampai usia tersebut. Pengaturan lebih lanjut mengenai
hal ini dicantumkan pada Peraturan Pemerintah no. 2 tahun 2007.

Dari UU ini terlihat bahwa secara prinsip Republik Indonesia menganut asas
kewarganegaraan ius sanguinis; ditambah dengan ius soli terbatas (poin 8-10) dan
kewarganegaraan ganda terbatas (poin 11).

b) Status hukum kewarganegaraan yang dimaksud disini adalah status seseorang terkait
dengan kewarganegaraannya dalam suatu negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Konsep status hukum kewarganegaraan menunjuk pada konsep
hubungan hukum antara individu dengan negara, di samping menunjuk pada ada tidaknya
pengakuan dan perlindungan secara yuridik hak-hak dan kewajiban yang melekat, baik
pada individu maupun pada negara yang bersangkutan.
Status hukum kewarganegaraan seseorang dalam banyak hal dapat menggambarkan
bagaimana hubungan seseorang (individu) di satu sisi dengan negara di sisi lain. Dalam
hal seseorang tidak memiliki status hukum kewarganegaraan atau tak
berkewarganegaraan, maka hubungan hukum tersebut tidak diatur oleh hukum
(perundang-undangan) nasional negara yang bersangkutan, akan tetapi tunduk pada
ketentuan-ketentuan hukum internasional (international law). Ketentuan-ketentuan
hukum nasional, oleh karena itu dapat juga dibuat dengan bersumber pada ketentuan-
ketentuan hukum internasional. Dengan demikian, kita dapat melihat, bahwa hubungan
hukum individu dengan negara menyangkut masalah status hukum kewarganegaraan itu
baru diatur oleh hukum internasional, apabila status hukum kewarganegaraan dimaksud
tidak dimiliki oleh individu atau seseorang tersebut, dan hukum nasional negara yang
bersangkutan tidak mengaturnya.
Status hukum kewarganegaraan dalam suatu negara lazimnya diatur dalam dalam
konstitusi atau peraturan peraturan perundangundangan nasional suatu negara. Konstitusi
atau peraturan perundangundangan nasional tersebut terkait dengan masalah status
hukum kewarganegaraan, pada umumnya mengatur siapa yang dapat dikualifikasikan
secara yuridis sebagai warga negaranya, dan siapa pula yang tidak. Biasanya, diatur pula
tentang siapa saja, yang oleh karena status hukum kewarganegaraannya itu memperoleh
hak-hak dan menyandang kewajiban-kewajiban kewarganegaraan, atau tidak.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, maka konsep status hukum kewarganegaraan
pada umumnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
(1) Status hukum kewarganegaraan merupakan identitas personal yang melekat
pada diri seseorang terkait dengan hal ikhwal kewarganegaraannya;
(2) Status hukum kewarganegaraan dapat memberikan gambaran tentang kondisi
hubungan hukum antara individu atau seseorang dengan negara;
(3) Status hukum kewarganegaraan menunjuk pada ada tidaknya tanggungjawab
negara atas kondisi kewarganegaraan atau tak berkewarganegaraannya seseorang;
(4) Status hukum kewarganegaraan menunjuk pada bekerja tidaknya rezim hukum
nasional dan/atau hukum internasional.
c) Hukum kewarganegaraan adalah seperangkat aturan yang berkenaan dengan segala hal
ikhwal yang berhubungan dengan warga negara (staatsburgers). Hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara itu misalnya mengenai pengaturan tentang kualifikasi
atau kriteria warga negara, pengaturan tentang prinsip-prinsip kewarganegaraan,
pengaturan tentang syarat dan tata cara bagi seseorang untuk memperoleh
kewarganegaraan, pengaturan tentang hilangnya status hukum kewarganegaraan
seseorang, pengaturan tentang syarat dan tata cara memperoleh kembali
kewarganegaraan, pengaturan tentang hak dan kewajiban kewarganegaraan, dan
sebagainya.
Ketentuan tentang hukum kewarganegaraan Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan peraturan-
peraturan pelaksanaannya.
Paling tidak ada 3 (tiga) hal pokok yang menjadi objek pengaturan hukum
kewarganegaraan :
1. Status hukum kewarganegaraan seseorang;
2. Fungsi negara (pemerintah) berkaitan dengan pengaturan pewarganegaraan;
3. Pengaturan dan perlindungan hak-hak dan kewajiban kewarganegaraan.
Hukum kewarganegaraan memiliki sumber hukum yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua)
macam, yaitu : (1) sumber hukum formil; dan (2) sumber hukum materiil. Sumber hukum
formil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya. Karena bentuknya itu
menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui dan ditaati. Sumber-sumber hukum formil
itu meliputi :
1) peraturan perundang-undangan;
2) kebiasaan (custom) dan adat;
3) traktat atau perjanjian antar negara (teraty);
4) yurisprudensi; dan
5) doktrin atau pendapat ahli hukum.
Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi atau materi kaidah
hukum. Termasuk dalam sumber hukum materiil ini misalnya :
1) dasar dan pandangan hidup bernegara;
2) kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-
kaidah hukum kewarganegaraan.
Sumber hukum formil maupun materiil ini kedua-duanya penting. Namun untuk
mempelajari ilmu hukum positif, sumber-sumber hukum dalam arti formil itu lebih dapat
membantu dimana saja kita bisa mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan
hukum atau kaidahkaidah hukum yang perlu diketahui.
Hukum kewarganegaraan sebagai ilmu hukum positif (positiefrecht wetenschap)
merupakan kajian hukum positif yang bersifat nasional. Tulisan ini membahas Hukum
Kewarganegaraan terkait dengan masalah kewarganegaraan dan tidak
berkewarganegaraan.

d) Masalah kewarganegaraan Gloria Natapradja yang digugurkan dari Pasukan Pengibar


Bendera Pusaka (Paskibraka) yang akan bertugas ketika upacara peringatan hari
kemerdekaan Indonesia di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada 17 Agustus 2016. Gloria
yang sudah lolos seleksi di Kementerian Pemuda dan Olahraga digugurkan karena
mempunyai paspor Prancis sehingga dianggap bukan warga Negara Indonesia, dan Gloria
juga berkewarganegaraan ganda dimana Ibu nya merupakan WNI dan ayah nya
merupakan WNA Prancis.
Kemudian bagaimana sebenarnya hubungan ketentuan kewarganegaraan ganda itu? UU
nomor 12 tahun 2006 tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa
kewarganegaraan (apatride). Orang dewasa atau anak yang bukan dari pernikahan
campuran dilarang memiliki kewarganegaraan ganda. Kewarganegaraan ganda terbatas
yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Undang-undang mengakui adanya kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak dari
pernikahan campuran, warga negara Indonesia dengan asing. Ketika menginjak usia 18
tahun, anak boleh memilih warga negara yang diinginkannya. Jika usia 18 tahun belum
bisa memilih, maka paling lambat pada usia 21 tahun wajib memilih salah satu
kewarganegaraan orang tuanya.
Sebelum memilih kewarganegaraan, orangtua atau wali wajib mendaftarkan anak untuk
kewarganegaraan ganda melalui kantor imigrasi atau Perwakilan Republik Indonesia
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Kewajiban mendaftar ini tertuang
dalam Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 2007. Kantor imigrasi atau Perwakilan
Republik Indonesia mencatat dalam register dan mengeluarkan bukti pendaftaran untuk
memperoleh fasilitas sebagai Warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan ganda.
Bagi anak yang memiliki paspor asing, bukti kewarganegaraan ganda atau affidavit
disertakan dalam paspor. Affidavit diperlukan sebagai syarat untuk membuat paspor
Indonesia dan ketika memilih sebagai warga negara Indonesia setelah berusia 18 tahun.
Dalam pasal 41 UU Kewarganegaraan itu, disebutkan bahwa seseorang yang belum
berusia 18 tahun saat UU Kewarganegaraan diberlakukan pada tahun 2006, diberikan
waktu paling lambat empat tahun untuk mendaftarkan diri. Jika merujuk pada ketentuan
tersebut, maka Gloria tak bisa lagi mendaftarkan status kewarganegaraannya. Perempuan
yang lahir pada tahun 2000 ini seharusnya didaftarkan ke Kemenkumham dalam rentang
waktu 1 Agustus 2006 sampai 1 Agustus 2010 apabila hendak memperoleh
kewarganegaraan Indonesia.
Gloria berkeinginan untuk menjadi WNI tapi sayangnya lembaga pengawal konstitusi
menolak seluruh permohonan supaya Gloria menjadi WNI karena tak beralasan menurut
hukum. Alasan ketidaktahuan anak hasil kawin campur soal aturan mendaftarkan diri
menjadi WNI, dianggap tak bisa menjadi dasar penuntutan ditambah lagi dengan
membuat seseorang bebas dari hukum atau peraturan perundang-undangan.
Dan ternyata, tidak sedikit seperti Gloria yang merupakan anak hasil perkawinan
campuran. Pada awalnya Gloria berencana akan mengikuti proses naturalisasi sesuai
syarat yang berlaku dalam UU Kewarganegaraan. Namun ternyata cara ini dinilai
menyulitkan karena proses naturalisasi hanya berlaku untuk pasangan asing dari orang
Indonesia, bukan anak hasil kawin campur. Dan banyak yang belum mengetahui
peraturan ini khususnya bagi yang memiliki anak dari hasil perkawinan campuran. Itulah
mengapa orangtua Gloria tidak mendaftarkan Gloria untuk menjadi WNI karena
orangtuanya belum mengetahui aturan tersebut dan Pemerintah Indonesia tidak tegas dan
tidak memberi penjelasan mengenai kewarganegaraan ganda ataupun anak dari hasil
perkawinan campuran.
Dan kesalahan tersebut tidak lah sepenuhnya kesalahan orangtua Gloria, melainkan ini
juga merupakan kesalahan pemerintah Indonesia. Seharusnya pemerintah lebih
memahami masyarakat nya bahwa tidak semua masyarakat yang merupakan perkawinan
campuran sedikit yang mengetahui tentang mengenai pengesahan UU 10 12/2006. Itula
yang membuat orangtua yang anaknya merupakan hasil perkawinan campuran tidak
mendaftarkan anaknya dengan cepat. Dari undang-undang tersebut tertera bahwa paling
lambat pemprosesan untuk menjadi WNI adalah empat tahun setelah UU diterbitkan atau
tahun 2014. Artinya, jika setelah tahun 2014 anak dari pernikahan WNI dan WNA tidak
mendaftar ke Imigrasi, maka dianggap sebagai WNA murni. Jika terlambat mendaftar ke
Imigrasi, mereka yang ingin menjadi WNI harus melewati proses naturalisasi yang
biayanya mencapai Rp 50 juta sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Kemenkumham.

DAFTAR PUSTAKA
Buku

Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. , Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2005. Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. , Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2005. Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. , Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2003. Modul Pancasila
dan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Pradnya Paramita
Budi Juliardi, S.H., M.Pd. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi.
Jakarta: PT Rajawali Pers
Muhammad A.S Hikam. 2002. Politik Kewarganegaraan. Bandung: Milenium Baru
Rosalie Targonski. 1989. Pemerintahan Amerika Serikat. Jakarta: DeptLu AS

Internet
https://beritagar.id/artikel/berita/gloria-natapradja-dan-aturan-warga-negara-ganda-bagi-anak
http://www.femina.co.id/trending-topic/kisruh-dwikewarganegaraan-di-kasus-arcandra-tahar-
gloria-natapradja-hamel-
https://id.wikipedia.org/wiki/Warga_Negara_Indonesia
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170901062211-20-238810/cerita-gloria-natapradja-
soal-kewarganegaraan-ganda
https://www.researchgate.net/publication/324254466_Implikasi_Kewarganegaraan_Ganda_bagi_
Warga_Negara_Indonesia
http://wow.tribunnews.com/2017/08/31/masih-ingat-gloria-kini-ia-berjuang-jadi-wni-berikut-
fakta-faktanya?page=4

Anda mungkin juga menyukai