Anda di halaman 1dari 10

Gaduh Kewarganegaraan RI

Ada pepatah mengatakan apabila ada 1000 ahli hukum, maka akan ada 1000 pendapat hukum
yang berbeda.

Demikian juga dengan apa yang terjadi saat ini dengan kasus Menteri ESDM, Arcandra Tahar yang
dikatakan memiliki 2 paspor atau 2 kewarganegaraan. Kabar ini menimbulkan berbagai pandangan
hukum dan pendapat hukum yang berbeda.

Salah satu pendapat hukum yang banyak disampaikan adalah menurut UU secara otomatis yang
bersangkutan kehilangan kewarganegaraan RI-nya karena memiliki 2 paspor.

Setelah mendengar kasus ini maka saya tertarik untuk melihat kembali Undang-Undang dan
Peraturan-Peraturan yang berhubungan dengan Kewarganegaraan RI.

Saya tidak kenal Menteri Arcandra Tahar secara pribadi, hanya mengetahui bahwa yang
bersangkutan adalah seorang anak bangsa yang merantau ke luar negeri, mendapatkan
kesempatan belajar di Amerika Serikat (AS), dan kemudian mendapatkan kesempatan untuk
mempraktekkan apa yang dipelajarinya di perusahan-perusahaan di AS, hingga akhirnya menjadi
CEO sebuah perusahaan di AS yang bergerak di bidang oil and gas engineering di Houston, Texas,
AS.

Belum berhenti di situ, karena prestasi, ketekunan dan keberhasilannya di bidang oil and gas
engineering ini,  Arcandra ditawari untuk memiliki Paspor AS oleh Pemerintah AS guna dapat
memperoleh akses lebih baik dalam melakukan riset dan pengembangan dari penemuan-
penemuannya di bidang oil and gas engineering. 

Atas usaha ini Arcandra berhasil memperoleh beberapa hak paten dari penemuan-penemuan, hasil
riset, dan pengembangannya di bidang tersebut.

Undang-Undang (UU) No. 12/Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI, Pasal 23 butir (b),
merupakan suatu tawaran yang diberikan oleh UU untuk WNI yang mempunyai 2 paspor atau
kewarganegaraan untuk ‘memilih’ apakah mau melepaskan kewarganegaraan  lainnya atau tidak.
Pasal ini mengatakan bahwa seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya apabila dia memiliki 2
kewarganegaraan dan menolak kesempatan untuk melepaskan kewarganegaraan lainnya.

Pasal ini mengatakan bahwa seorang WNI kehilangan kewarganegaraannya apabila dia memiliki 2
kewarganegaraan dan menolak kesempatan untuk melepaskan kewarganegaraan lainnya.

Artinya, apabila seorang WNI memiliki paspor/kewarganegaraan kedua selain Indonesia, Undang-
undang ini memberi kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memilih  tetap menjadi
warganegara Indonesia atau warganegara lainnya.

Dan apabila yang bersangkutan memilih untuk tetap menjadi warga negara  Indonesia dan
melepaskan warganegara lainnya, maka UU menyatakan bahwa yang bersangkutan tidak
kehilangan kewarganegaraan RI-nya.

Lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2007 Tentang Tatacara Perolehan,
Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan RI, Pasal 33 mengatur
mengenai proses dan tatacara pelaksanaan UU no 12/2006 Pasal 31(b) tersebut, dimana diatur
mengenai tatacara pelaksanaan dan prosedur pemeriksaan dan klarifikasi kepada yang
bersangkutan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).

Pasal 33 ini mengatakan bahwa Menkumham akan memeriksa dan mengklarifikasi apakah benar
yang bersangkutan memiliki 2 paspor dan apakah benar yang bersangkutan bersedia untuk
melepaskan paspor lainnya selain paspor RI.

Apabila benar, maka Menkumham akan mengeluarkan SK dengan tembusan Presiden RI dan
pejabat-pejabat keimigrasian dan kantor lainnya yg terkait. SK tersebut menerangkan proses
klarifikasi dimana yang bersangkutan mengaku memiliki 2 paspor dan bersedia untuk melepaskan
paspor lainnya untuk tetap mempertahankan Paspor RI-nya, sehingga yang bersangkutan tidak
kehilangan kewarganegaraan RI-nya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gaduh Kewarganegaraan


RI", https://nasional.kompas.com/read/2016/08/16/14242441/gaduh.kewarganegaraan.ri. 
Revisi UU, Solusi Atasi Dwikewarganegaraan
Jakarta, CNN Indonesia -- Silang pendapat membahas kewarganegaraan muncul selama tiga hari
penuh terkait skandal paspor Amerika yang dimiliki Arcandra Tahar. Polemik berkepanjangan
hingga membuat Arcandra melepaskan jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral di Kabinet
Kerja jilid II.

Hampir berbarengan, calon Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, Gloria Natapradja Hamel,
mengalami hal yang sama dengan Arcandra. Paspor Perancis yang dimiliki Gloria, membuatnya
dicoret dari daftar pembawa bendera pusaka dalam perayaan 17 Agustus 2016 di Istana Negara.

Polemik kewarganegaraan yang dihadapi dua anak bangsa ini, memunculkan ide revisi Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. 

Menurut Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, revisi aturan kewarganegaraan ini sebagai solusi,
sehingga negara bisa memanfaatkan kemampuan anak bangsa yang memiliki kewarganegaraan
ganda.

"Sebagai negara yang sedang berkembang kita memerlukan ahli, sementara saya dengar banyak
anak bangsa ini dibeli negara lain. Kalau industri mau bangkit, bisa panggil mereka kembali dan
keterampilannya dimanfaatkan," kata Fahri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Selasa
(16/8).

Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, usulan merevisi aturan kewarganegaraan dapat
ditempuh Presiden dengan menggunakan hak diskresi.

"Bisa dengan mengeluarkan peraturan pemerintah atau revisi terbatas pada satu dua pasal saja,"
kata Refly.

Meski demikian, kata Refly, wacana itu akan menemukan pertentangan, terutama bila dikaitkan
dengan masalah nasionalisme atau loyalitas terhadap negara. 

Menurutnya, di negara seperti Amerika Serikat, aturan tersebut dapat berjalan dengan baik karena
didukung dengan pemberian kewenangan kepada negara untuk memaksa seluruh warga negaranya
menjalankan kewajiban, tanpa terkecuali.

Salah satu tanggapan negatif terhadap usulan itu datang dari pakar hukum tata negara Margarito
Kamis. Ia mengatakan UU Kewarganegaraan yang ada saat ini tidak memerlukan perubahan.

Menurutnya, langkah Indonesia melarang warganya memiliki kewarganegaraan ganda tepat. Ia


berpendapat, aturan tersebut akan membuat setiap warga negara lebih loyal dalam mengabdikan
diri kepada negara.

"Dalam konteks nasionalisme itu tidak tepat. Tidak mungkin seorang membelah diri, loyal di sana
dan loyal di sini," kata Margarito, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com pada Selasa (16/8).

Mengembalikan Kewarganegaraan

Selain berharap ada revisi aturan kewarganegaraan, saat ini masih ada peluang mengembalikan
kewarganegaraan. Menurut UU Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan, syarat yang perlu
dipenuhi adalah tinggal 5 tahun berturut-turut atau minimal 10 tahun tidak berturut-turut.

“Mereka juga telah berusia 18 tahun atau menikah dan tidak pernah terkena pidana penjara satu
tahun dan tidak memiliki kewarganegaraan ganda,” kata pakar hukum tata Negara, Irman Putra
Sidin.

Setelah seluruh syarat yang diatur dalam UU itu dipenuhi, Presiden akan memutuskan apakah
pemohon layak atau tidak mendapat kewarganegaraan.

Jika Presiden memenuhi permohonan, maka pemohon tanpa bisa diwakilkan wajib mengucapkan
sumpah dan janji setia kepada Indonesia.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160816190950-12-151850/revisi-uu-solusi-atasi-
dwikewarganegaraan
Ini SK Menkum HAM Tetapkan Arcandra
Tahar Sebagai WNI
Jakarta - Menkum HAM Yasonna Laoly mengeluarkan Surat Keputusan (SK)
menetapkan Mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar sebagai WNI. Penetapan ini
didasarkan pada asas perlindungan maksimum.

SK Menkum HAM itu bernomor AHU-1 AH.10.01 Tahun 2016 tentang


Kewarganegaraan Republik Indonesia atas nama Arcandra Tahar. Keputusan itu
berdasarkan pemeriksaan dan tindak lanjut atas dwi-kewarganegaraan Arcandra.

"Fakta beliau memiliki dua kewarganegaraan. Pada saat diangkat (menjadi menteri) dia
masih WNA. Kami sama sekali nggak tahu. Saat kami ketahui, langsung proses.
Imigrasi panggil dia untuk buat BAP 23 Agustus 2016," ungkap Yasonna di Gedung
DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (7/9/2016).

Saat pemeriksaan, Arcandra menyerahkan dokumen bahwa dia telah melepaskan


kewarganegaraan AS per tanggal 12 Agustus 2016 dari Kedutaan AS. Itu dikuatkan
dengan persetujuan Kementerian Luar Negeri AS pada tanggal 15 Agustus 2016
dengan penerbitan Certificate of Loss of Nationality dari negara tersebut.

"Maka secara resmi dia sudah kehilangan WNA Amerika sejak 15 Agustus. Kami
verifikasi dan setelah kami periksa, dapat fakta kalau kami teruskan ini kan prosesnya
imigrasi kirimkan ke AHU. Nah ini potensial stateless," jelas Yasonna.

"Kalau proses cabut lewat SK menteri dia akan stateless. Kalau dia tetap tidak cabut
(kewarganegaraan AS-nya), kami akan cabut dia, hilangkan kewarganegaraannya
(sebagai WNI). Akan disampaikan ke presiden," imbuh dia.

Namun karena Arcandra sudah melepas WN AS-nya, pemerintah tidak bisa mencabut
status WNI-nya. Jika itu dilakukan, Arcandra akan stateless (tidak punya warga negara)
dan itu disebut menyalahi undang-undang.

"Untuk memastikan sekali lagi, betul nggak udah hilang kewarganegaraannya. Kami
kirim ke kedubes AS minta pernyataan lebih lanjut. Oleh Kedubes dikatakan sejak 15
Agustus bukan WN Amerika," sebut Yasonna.

Penjelasan tersebut dicantumkan dalam surat keputusan pengukuhan Arcandra


kembali menjadi WNI. Surat keputusan yang dikeluarkan pada tanggal 1 September
2016 itu ditandatangani oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM
Freddy Harris atas nama Menkum HAM.
Keputusannya berbunyi sebagai berikut:

"Arcandra Tahar dilahirkan di Padang, tanggal 10 Oktober 1970, karena pertimbangan


atas perlindungan maksimum, serta bersangkutan akan menjadi tanpa
kewarganegaraan, tetap menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia."
Tiga Solusi Polemik Kewarganegaraan
Arcandra Tahar
JAKARTA – Usai dicopot dari jabatan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), status kewarganegaraan Arcandra Tahar kini tengah diupayakan pemerintah.
Untuk memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia, Arcandra harus melewati "jalur
cepat" karena memiliki keahlian khusus yang direkomendasikan Presiden Joko Widodo
(Jokowi), namun akan dikonsultasikan dahulu dengan DPR.
Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana,
mengatakan paling tidak ada tiga solusi yang bisa diambil untuk menengahi masalah ini.
Ada tiga pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,
yang bisa dijadikan landasan, yakni pasal 31, 20, dan 9.
"Pertama Pasal 31, jika sudah kehilangan kewarganegaraan maka boleh melakukan
naturalisasi, semacam warga negara asing yang menjadi WNI. Atau kedua, Pasal 20, ini
karena ada sesuatu yang luar biasa sebagai penghargaan pemerintah memberikan
kewarganegaraan," kata Hikmahanto di Kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru,
Jakarta Selatan, Jumat (19/8/2016).
Solusi yang tengah digodok pemerintah yakni Pasal 20, artinya presiden harus
berkonsultasi dengan DPR. Masalahnya, lanjut Hikmahanto, karena menteri ESDM
merupakan posisi yang sangat strategis, maka bisa jadi juga banyak partai politik yang
mengincar jabatan ini. Karena itu, proses pemulihan kewarganegaraan Arcandra melalui
solusi ini sangat rentan dijegal di Senayan.
"Ini bisa digoreng lagi. Bagi teman-teman DPR: 'Oh Pak Arcandra mau dijadikan WNI,
kemudian dijadikan menteri lagi.’ Pasti akan ‘digoreng’," katanya.
Hikmahanto lebih menyarankan pemerintah menggunakan Pasal 9 UU Nomor 20 Tahun
2006, karena tak perlu melewati pihak Senayan untuk mengembalikan kewarganegaraan
Indonesia milik Arcandra.
"Kalau pakai Pasal 9 itu harus tinggal lima tahun berturut-turut di Indonesia atau tidak
berturut-turut selama 10 tahun. Nah, ini bisa dua tafsiran, tinggal secara fisik atau
yuridis. Kalau secara yuridis, misalnya Pak Arcandra rumahnya di kampung (secara
yuridis bisa dinyatakan tinggal di Indonesia)," papar dia.
Ini Solusi untuk Status Kewarganegaraan
Eks Menteri ESDM Arcandra
Jakarta - Mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar kini tidak lagi punya status kewarganegaraan
(stateless). Ada sejumlah cara yang bisa dilakukan otoritas Keimigrasian RI untuk membantu
Arcandra mendapatkan kembali status kewarganegaraannya. 

"Status stateless ini diatasi dengan cara, pertama, otoritas Keimigrasian tidak menganggap
Arcandra sebagai WNA yang kehilangan kewarganegaraannya saat berada di Indonesia yang
biasanya akan dilakukan tindakan keimigrasian berupa penempatan di rumah detensi atau
dilakukan deportasi mengingat Arcandra adalah WNA asal Indonesia," papar Guru Besar
Hukum Internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dalam keterangannya,
Selasa (16/8/2016). 

Menurut Hikmahanto, Arcandra dapat disebut sebagai WNA asal Indonesia karena lulusan ITB
dan Texas A&M University, AS, itu punya keterkaitan dengan Indonesia yakni tempat kelahiran
dan kewarganegaraan orang tuanya. 

Solusi kedua, pihak Keimigrasian juga dapat mencari tahu kepemilikan rumah di Indonesia.
Kepemilikan rumah ini menurut Hikmahanto menunjukkan Arcandra bertempat tinggal secara
yuridis di Indonesia meski secara fisik tidak selalu berada di Indonesia. 

"Bila tempat tinggal tersebut sudah dimiliki lebih dari 10 tahun maka otoritas Keimigrasian dapat
mengeluarkan keterangan bahwa Arcandra telah bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut," imbuh Hikmahanto.

Selanjutnya, Arcandra dapat mengikuti tata cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia


kembali, termasuk membuat permohonan kepada Presiden dan mengucap sumpah setia
kepada Negara Republik Indonesia.

Arcandra diberhentikan Presiden Joko Widodo dalam keputusan yang diambil Senin (15/8).
Pengumuman pemberhentian dengan hormat yang berlaku pagi tadi ini disampaikan
Mensesneg Pratikno di Kantor Presiden.

Pihak Istana menyebut Presiden Jokowi mengambil keputusan memberhentikan Arcandra


setelah menerima masukan dan data-data terkait status kewarganegaraan Arcandra. 

Dia kehilangan status WNI secara otomatis karena pernah mengucap janji setiap kepada AS.
Karena itu Arcandra tidak memenuhi syarat seorang menteri yang diatur UU Kementerian
Negara yang mengharuskan status WNI. 

Sementara dalam aturan di Amerika Serikat yang dikutip dari www.newcitizen.us, seorang
warga negara AS kehilangan kewarganegaraannya salah satunya karena holding a policy level
position in a foreign country, atau menjadi pejabat di negara lain.
Kewarganegaraan Ganda, Perlu Solusi
Menyeluruh
JAKARTA, (PR).- Pemerintah menyadari bahwa banyak orang di Indonesia yang
memiliki kewarganagaraan ganda. Masalah ini tak hanya terjadi pada anggota Pasukan
Pengibaran Bendera Pusaka (Paskibraka) asal Jawa Barat Gloria Natapradja Hamel atau
mantan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar.
"Karena masalah ini kan banyak sekali. Kalau harus ada solusi maka solusinya
menyeluruh. Persoalan UU kewarganegaraan ini kan tentunya harus disikapi dengan
jernih. Jangan karena persoalan yang bersifat kasuistis kemudian ini ada kita over
(berlebihan) reaksi," kata Pramono di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu 17 Agustus 2016.
Itu sebabnya, pemerintah perlu mencari solusi agar hak warga negara Indonesia yang
bahkan lahir dan besar di Indonesia tidak diabaikan. Pemerintah pun menyadari hal ini
perlu dipikirkan secara matang dan tidak bisa hanya dijawab sambil lalu.
Bagaimana pun, kata Pramono, persoalan diaspora ini perlu dipikirkan secara dengan
matang. Soalnya, sampai saat ini, Indonesia tidak mengenal dwikewarganegaraan.
Namun, Pramono memastikan, apa yang terjadi pada Gloria jadi pelajaran bagi
pemerintah.
Sekalipun sempat disandung dan tidak dikukuhkan menjadi Paskibraka, Gloria kini
mendapat kesempatan berpartisipasi dalam penurunan bendera di Istana. Berbeda
dengan Arcandra yang kini sudah tidak menjadi menteri lagi. Padahal, Presiden RI Joko
Widodo dan semua pejabat Istana terlihat sangat membangga-banggakan Arcandra
yang berkenan kembali ke Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai