Anda di halaman 1dari 23

ANALISIS STATUS KEWARGANEGARAAN ASING & KEDUDUKAN

ANAK DARI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENJADI WARGA

NEGARA INDONESIA (STUDI KASUS GLORIA NATAPRADJA

HAMEL)

DIBUAT OLEH :

ANDRE WAHYU HIDAYAT

02011382126358

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

PALEMBANG

2023
ANALISIS STATUS KEWARGANEGARAAN ASING & KEDUDUKAN
ANAK DARI HASIL PERKAWINAN CAMPURAN MENJADI WARGA
NEGARA INDONESIA (STUDI KASUS GLORIA NATAPRADJA
HAMEL)
ANDRE WAHYU HIDAYAT

ABSTRAK

Status kewarganegaraan seseorang mengalami permasalahan ketika individu


tersebut tinggal di negara tertentu selama 5 tahun berturut-turut, hubungan
campuran, status kewarganegaraan anak, masalah hukum, sosial, politik dan
keuangan dan status kematian warga, peraturan no. 12 Tahun 2006 tentang
kewarganegaraan belum secara jelas masuk akal sehubungan dengan status
kewarganegaraan yang tidak diketahui, di mana situasi dengan kewarganegaraan
asing mengalami pergeseran karena perubahan lingkungan, ketebalan populasi
dan globalisasi. Strategi eksplorasi menggunakan pemeriksaan yuridis mengatur
dengan metodologi yang mencerahkan, kajian menulis. Hasil wawancara
langsung, laporan penelitian, dan artikel ilmiah relevan tentang perkawinan
campuran dan status kewarganegaraan asing menjadi sumber data primer. Sumber
data sekunder meliputi buku-buku yang relevan, artikel ilmiah, makalah, undang-
undang, peraturan presiden, peraturan menteri, dan lain-lain. Pemeriksaan
informasi yang digunakan adalah penyelidikan model intuitif penyelidikan yang
diperhitungkan terhadap pedoman hukum. Mengingat hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa peraturan no. Termasuk dalam pasal 14 sampai dengan 18,
pasal 7 sampai dengan 10, dan pasal 18 sampai dengan 21 Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2006 yang menjelaskan tentang status orang asing yang
memperoleh kewarganegaraan Indonesia. 2 Tahun 2007. Peraturan ini
menonjolkan status tersebut kewarganegaraan asing karena bercampur dengan
menjadi penduduk Indonesia menganut standar kewarganegaraan yang memuat
standar apatride dan bipatride. Oleh karena itu, hukum tidak berlaku. 12 Tahun
2006 menjadi sarana bagi siapa pun yang mematuhi peraturan Indonesia dapat
menjadi warga negara Indonesia.
Kata Kunci : Anak, Perkawinan Campuran, Kewarganegaraan Ganda

ABSTRACT

A person's citizenship status experiences problems when the individual lives in a


certain country for 5 consecutive years, mixed relationships, children's citizenship
status, legal, social, political and financial problems and the death status of
citizens, regulation no. 12 of 2006 concerning citizenship does not yet clearly
make sense in relation to unknown citizenship status, where the situation with
foreign citizenship is shifting due to environmental changes, population density
and globalization. An exploratory strategy using juridical examination regulates
an enlightening methodology, writing studies. The results of direct interviews,
research reports, and relevant scientific articles about mixed marriages and
foreign citizenship status are the primary data sources. Secondary data sources
include relevant books, scientific articles, papers, laws, presidential regulations,
ministerial regulations, and others. The examination of the information used is an
intuitive model of investigation that is calculated against legal guidelines.
Considering that the inspection results show that regulation no. This includes
articles 14 to 18, articles 7 to 10, and articles 18 to 21 of Government Regulation
Number 12 of 2006 which explains the status of foreigners who obtain Indonesian
citizenship. 2 of 2007. This regulation emphasizes the status of foreign citizenship
because it is mixed with being a resident of Indonesia, adhering to citizenship
standards which include apatride and bipatride standards. Therefore, the law
does not apply. 12 of 2006 provides a means for anyone who complies with
Indonesian regulations to become an Indonesian citizen.
Keywords : Child, Mix Marriage, Dual Citizen

I. PENDAHULUAN

Bahwa dalam suatu negara diperlukan keputusan-keputusan yang

mengarahkan kegiatan permintaan di negara dan negara tersebut, agar sesuai

dengan kesesuaian yang sah, diperlukan kepolisian dalam penggunaan suatu

standar.1 Dalam hal ini Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” 2 Artinya,

setiap perbuatan seluruh unsur negara, baik rakyat, pemerintah, dan seluruh rakyat

unsur-unsur yang ada di dalamnya, harus didasarkan pada hukum yang berlaku

sebagai konsekuensi logis dari supremasi hukum. Penerapan hukum dalam

masyarakat juga sangat dipengaruhi oleh aparat penegak hukumnya. Sebagai

pemegang kualitas yang tiada tara, peraturan mempunyai sifat administratif dan

memaksa. Pengarahan mengandung arti bahwa hukum mempunyai kemampuan

untuk mengatur setiap orang sesuai dengan pilihannya, sedangkan mengemudi

mengandung makna bahwa hukum menyebabkan setiap orang tunduk dan patuh

1
“Sanyoto, Penegakan Hukum di Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.8 No.3, Edisi
September, 2008. hlm. 200.”
2
“Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
pada kekuasaannya. Dalam pembangunan hukum dan ketertiban, negara

kemudian hadir kepada seluruh komponen negara untuk memahami hal-hal yang

diharapkannya, termasuk terjaminnya setiap kebebasan dasar.

Setiap manusia berhak atas hak-hak yang paling mendasar dalam kapasitasnya

sebagai individu. Hak ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, sekalipun

penjaminnya, sepanjang tidak merugikan hak orang lain. Negara harus melindungi

penjaminnya. Hak ini timbul dengan tujuan untuk melindungi manusia sebagai

individu seutuhnya.3 Terkait dengan bagian dari kebebasan dasar, Indonesia

secara tegas telah melalui konstitusinya, khususnya UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, mewajibkan terjaminnya keamanan dan pengakuan

kebebasan bersama sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 s.d. UU HAM yang

fokus pada HAM pada Pasal 34 dan UU No. 39 Tahun 1999 biasa disebut dengan

UU HAM.4 Dalam undang-undang ini, selain mengatur hak asasi manusia dan

kebebasan dasar, juga ditekankan beberapa aspek kewajiban dasar manusia.5

semua kebebasan bersama sebagaimana dijamin oleh Konstitusi dan

Peraturan, pilihan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan adalah kebebasan dasar yang disucikan (Vide Pasal 28B ayat (1)

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945). karena pada dasarnya pernikahan

dapat membantu manusia, baik pria maupun wanita, membangun kehidupan

bersama. Landasan atau kaidah hukum yang berlaku—baik hukum agama, hukum

adat, maupun hukum nasional—menandakan awal mula kehidupan berumah

3
“Nurhidayatuloh, Leni Marlina, Perkawinan di Bawah Umur Perspektif HAM, Al-
Mawarid, Vol. XI, No.2, September- Januari, hlm. 211”
4
“Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara, 2018), hlm. 16”
5
“Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39
Tahun 1999, LN Tahun 1999 Nomor 165, TLN Nomor 3886”
tangga.6 Sebaliknya, Indonesia mempunyai ketentuan yang mengatur

kewarganegaraan dalam Peraturan Perundang-undangan, seperti “Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dan

beberapa peraturan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah sebagai peraturan

pelaksanaannya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata

Cara Perolehan, Kehilangan, Pembatalan, dan Perolehan Kembali

Kewarganegaraan Republik Indonesia. Hal ini tidak lain hanyalah sebuah konsep

pengakuan terhadap hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat

(1) UUD 1945”.7

Konsep “kewarganegaraan” dan “kewarganegaraan” merupakan konsep

hukum yang mengacu pada pemahaman topik hukum dalam konteks kegiatan

organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Gagasan tentang penduduk dan

kewarganegaraan sebagai subjek yang sah merupakan gagasan yang dibuat

melalui peraturan mengenai subjek yang diberi situasi dengan kebebasan dan

komitmen tertentu dalam pelaksanaan hierarki, yang harus diakui dan diisolasi

dari statusnya sebagai individu konvensional, atau sehubungan dengan hal

tersebut. kepada subyek-subyek yang berada di tengah kemacetan hubungan

hukum di luar wilayah otoritatif yang penting. Akibatnya, status kewarganegaraan

seseorang harus dibedakan dengan status kewarganegaraannya bahkan dipandang

terpisah.8 Baik dalam hubungan domestik maupun internasional, status

6
“Atun Wardatun, et.al., Jejak Jender Pada Budaya Mbojo, Samawa dan Sasak di Nusa
Tenggara Barat, (Mataram: Pusat Studi Wanita, 2009), hlm. 71-72”
7
“Lihat Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”
8
“Jimmly Asshiddiqie, Mahakah Kewarganegaraan : Konstruksi Hukum
Keindonesiaan”
kewarganegaraan seseorang mempunyai peranan penting dalam menentukan hak

dan tanggung jawabnya.

Dalam praktiknya, “banyak kejadian empiris yang terus dianggap melanggar

hak asasi manusia dalam kapasitas individu. Begitu pula dengan Gloria

Natapradja Hamel, remaja yang saat itu berusia 16 (enam belas) tahun dan lahir

pada tanggal 1 Januari 2000 di Jakarta. Ia merupakan anak dari hasil perkawinan

campuran antara ayah berkewarganegaraan Perancis bernama Didier Hamel. yang

menikah dengan seorang ibu bernama Ira Natapradja yang merupakan warga

negara Indonesia. Gloria terpilih menjadi Paskibraka atau Pasukan Pengibar

Bendera Pusaka pada Hari Kemerdekaan Republik Indonesia (HUT RI) ke-71

yang dijadwalkan pada 17 Agustus di Istana Kepresidenan. Namun, Paskibraka

yang akan mengibarkan bendera di HUT RI ke-71 itu didiskualifikasi beberapa

hari sebelum dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Paskibraka terpilih. Hal

ini disebabkan karena Gloria dianggap masih mempunyai dua (dua)

kewarganegaraan hingga mencapai usia 18 (delapan belas tahun), sehingga

Pemerintah mengambil sikap untuk mendiskualifikasi Gloria dari Paskibraka

terpilih. Oleh karena itu, ibu Ira Natapradja kemudian mengajukan permohonan

pemeriksaan hukum terhadap Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia karena dianggap merugikan hak-

hak perlindungan anaknya dan juga dianggap merugikan. sebagaimana

bertentangan dengan pengaturan Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28G ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” .


II. Rumusan Masalah

A. Bagaimana Kedudukan Perkawinan Campuran berdasarkan Hukum yang

berlaku di Indonesia ?

B. Bagaimana Status dan Kedudukan Anak Hukum Anak yang terlahir dari

Perkawinan Campuran Pada Kasus Gloria Natapradja ?

III. Metode Penelitian

Dalam penyelesaian Makalah ini maka penulis Menyusun Penyelesaiannya

secara Yuridis Normatif dengan melakukan Pendekatan berdasarkan Undang-

Undang yang akan penulis peroleh melalui Data Primer, Sekunder, Tersier

Data Primer :

- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 200t6 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia

- Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-19.AH.10.01 Tahun

2011 tentang Tata Cara Penyampaian Pernyataan Memilih Kewarganegaraan

Bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda

Data Sekunder :

Penelitian Terdahulu yang masih memiliki relevansi dengan penulisan

Makalah ini termasuk kedalam Jurnal, Thesis, Ataupun Buku.

IV. Pembahasan
A. Kedudukan Perkawinan Campuran di Indonesia

Bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa telah menjadikan manusia menjadi 2 (dua)

jenis, yaitu laki-laki dan perempuan, yang mana sebagian dari mereka diciptakan

atau ditakdirkan untuk saling berkoordinasi. Hal ini sesuai dengan banyaknya

nikmat yang Allah anugerahkan kepada setiap manusia, khususnya limpahan akal

dan nafsu sebagai individu yang berbudi luhur. Dengan demikian, masyarakat

yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa mampu melaksanakan hak asasi

manusia secara beradab dan bermoral. Hak untuk bereproduksi melalui proses

sakral yang dikenal sebagai pernikahan adalah salah satu cara untuk mencapai

pemenuhan hak-hak dasar tersebut—yang juga dikenal sebagai hak asasi manusia.

Di Indonesia, aspek pernikahan ini lebih dari sekedar pemuasan hasrat seksual

antara pria dan wanita. Selain itu, undang-undang perkawinan di Indonesia sejalan

dengan falsafah negara yang menjunjung tinggi aspek spiritual pada sila pertama,

yaitu keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahakuasa. Artinya ketika dua

insan menikah, maka keduanya perlu mengetahui bahwa perkawinannya itu bukan

hanya tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat (suami-istri), tetapi juga

tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.9 Di Indonesia, pernikahan

dipandang dari sudut pandang ini. Sebagaimana tercantum dalam UU Perkawinan

“Vide Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, sangat kuat dan erat kaitannya dengan aspek keagamaan sebagai

cerminan sila pertama Pancasila”.

9
“Sulastri, Satino dan Yuliana Yuli W., “Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Sebagai
Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, Jurnal Yuridis, Vol. 6, No. 2, (Desember 2019), hlm.
84”
Perkawinan campur yang merupakan suatu jenis perkawinan antara dua orang

juga diakui secara sah dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia bahwa

“dua orang perseorangan yang berbeda kewarganegaraan, dengan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia (lihat Pasal 57 UU Perkawinan). Dalam hal ini,

penting untuk ditegaskan bahwa Undang-undang Perkawinan di Indonesia tidak

mengenal perkawinan campuran antara orang yang berbeda agama. Sebaliknya,

undang-undang ini mengakui perkawinan antara orang-orang yang menganut

agama yang sama namun tunduk pada hukum yang berbeda karena mereka

berbeda kewarganegaraan. Hal ini mempertimbangkan persyaratan hukum untuk

sebuah pernikahan. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, suatu perkawinan

hanya sah jika didasarkan pada keyakinan agama dan filosofi kedua belah pihak”.

Pada praktiknya, Perkawinan campuran banyak terjadi dalam budaya

Indonesia. didorong oleh globalisasi ekonomi, pendidikan, informasi, transportasi,

dan bidang lainnya. Telah menyebabkan dunia tampak tanpa batas. Oleh karena

itu, sebenarnya interaksi sosial menjadi lebih sederhana. Status kewarganegaraan

seseorang juga erat kaitannya dengan hubungan perkawinan campuran. Secara

umum, “pedoman kewarganegaraan dalam hubungan campuran di Indonesia pada

mulanya mengacu pada Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang

Kewarganegaraan. Namun seiring berjalannya waktu, Undang-undang Nomor 62

Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan dinilai saat ini belum mampu memenuhi

kepentingan perkumpulan dalam hubungan campuran di Indonesia. Hingga pada

tanggal 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Peraturan Kewarganegaraan yang baru,

khususnya Peraturan Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia”.
Padahal kemudian, tata cara Perkawinan campuran diatur dalam Pasal 59 ayat

(2) sampai dengan Pasal 61 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

memutuskan sebagai berikut :10

1. UU Perkawinan ini mengatur tentang perkawinan campuran yang terjadi di

Indonesia;

2. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa

syarat-syarat hukum perkawinan itu telah dipenuhi secara adil, sehingga tidak

perlu diadakan perkawinan campuran; mereka yang menurut undang-undang

yang berlaku bagi masing-masing pihak mempunyai wewenang untuk

mencatatkan perkawinannya, diberikan akta yang menyatakan bahwa syarat-

syarat itu telah dipenuhi;

3. Apabila instansi yang bersangkutan tidak memberikan keterangan, menurut

yang bersangkutan. Tidak ada hak untuk mengajukan banding ketika

pengadilan memutuskan apakah penolakan untuk menerbitkan sertifikat itu

beralasan atau tidak;

4. Akta atau putusan pengganti keterangan menjadi tidak sah apabila perkawinan

tidak dilangsungkan dalam jangka waktu enam (enam) bulan sejak pernyataan

diberikan, apabila menurut Pengadilan penolakan tersebut tidak beralasan.

5. Akta atau surat keputusan pengganti keterangan menjadi tidak sah apabila

perkawinan tidak dilangsungkan dalam jangka waktu enam (enam) bulan

sejak pernyataan diberikan.

6. Panitera yang berwenang mencatat perkawinan campuran.

10
“Hanan, Suciati, dan Anindya Bidasari, “Status dan Kedudukan Anak dari Perkawinan
Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006”, Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, Vol.
1 No. 1, Januari Tahun 2021, hlm. 22”
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan campuran diperbolehkan

dan warga negara Indonesia dan warga negara asing boleh menikah sepanjang

persyaratan perkawinan dalam UU Perkawinan telah dipenuhi.

B. Status dan Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran

Seperti yang diuraikan diatas, dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia, Perkawinan campuran adalah sah dan dapat dilakukan sepanjang

hubungan tersebut memenuhi perkawinan yang tidak seluruhnya ditetapkan secara

perkawinan. Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana status

hukum dan status anak hasil perkawinan campuran. Dari sudut pandang peraturan

perundang-undangan di Indonesia, apakah anak tersebut mempunyai

kewarganegaraan ganda?

Sedangkan dalam kenyataan hukum yang terjadi di hadapan publik,

permasalahan yang sering muncul dalam hubungan campuran adalah mengenai

masalah kewarganegaraan anak. Anak hasil perkawinan campuran hanya dapat

mempunyai satu kewarganegaraan berdasarkan undang-undang kewarganegaraan

Indonesia sebelumnya yang mengatur bahwa kewarganegaraan ayah harus diikuti

“Vide Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan”.

Bahwa mengakui dan melindungi perkawinan antara orang-orang yang berbeda

kewarganegaraan mutlak diperlukan agar masyarakat dapat mengakomodasi

segala realitas yang ada. Perlindungan hukum ini dimaksudkan agar orang yang

menikah dengan orang yang berbeda kewarganegaraan dapat merasakan kepastian


hukum sehingga dapat merasa tenang dan tenteram dalam membina rumah

tangga.11

Bahwa status kewarganegaraan dan kedudukan hukum anak pada

prinsipnya bukan hanya sekedar bentuk perlindungan hukum tetapi juga

merupakan bentuk perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Menurut

Pasal 7 Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, 20

November 1989), dinyatakan Bahwa :12

1. “Anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan mempunyai hak

sejak lahir atas nama, hak untuk memperoleh kewarganegaraan, dan

sedapat mungkin hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya”

2. “Negara-Negara Pihak harus menjamin pelaksanaan hak-hak ini sesuai

dengan hukum nasional mereka dan kewajiban mereka berdasarkan

instrumen internasional yang relevan di bidang ini, khususnya jika anak

tersebut tidak mempunyai kewarganegaraan”

Bahwa Konvensi Hak Anak menetapkan hak atas nama, hak atas

kewarganegaraan, bahkan hak untuk mengetahui orang tuanya. Menurut Chandra

Gautama, Konvensi Hak Anak menguraikan empat prinsip umum, yaitu:13

1. “Nondiskriminasi

2. Yang terbaik bagi anak (best interest of the child);

3. Hak hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan anak; dan

11
“Andi Syahputra, Aries Harianto, dan Jayus, “Hak Konstitusional Anak Hasil
Perkawinan Campuran di Indonesia”, Fakultas Hukum Universitas Jember, Jurnal Ilmiah Ilmu
Hukum, Vol. 16 No. 1, 2018, hlm. 20”
12
“Lihat Convention on the Rights of The Child (Pasal 7)”
13
“Candra Gautama, Konvensi Hak Anak. Panduang bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers
& Pembangunan, The Asia Foundation, Jakarta, 2000, hlm. 22-26”
4. Menghargai pandangan anak”

Oleh karena itu Indonesia sendiri telah menyetujui Pertunjukan Kebebasan

Remaja berdasarkan Pengumuman Resmi Nomor 36 Tahun 1990, Undang-

Undang tentang Perlindungan Anak. Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia diundangkan dengan tujuan untuk

menjaga kepastian dan jaminan hukum. Undang-undang tersebut salah satunya

mengatur tentang kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran.

Berikut ini asas-asas kewarganegaraan umum atau universal yang didasarkan

pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia

:14

1. Ius Sanguinis (Law Of the Blood)

Sebuah prinsip menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan

oleh keturunan, bukan tempat lahir.

2. Pedoman ius soli (Law of the soil) bersifat terbatas

Ini adalah peraturan yang menentukan kewarganegaraan seseorang

berdasarkan negara kelahirannya, yang dibatasi pada anak-anak sesuai

dengan pengaturan yang diatur dalam Peraturan ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal Merupakan asas yang menentukan

kewarganegaraan tunggal setiap orang.

4. Standar kewarganegaraan ganda yang dibatasi

Aturan inilah yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak sesuai

dengan pengaturan yang diatur dalam Peraturan ini. Kewarganegaraan

14
“Latifah Ratnawaty, Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran Berdasarkan
Hukum Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Jurnal Yustisi, Vol. 1 No. 1,
Oktober 2014, hlm. 60”
ganda (bipatride) dan kurangnya kewarganegaraan (apatride) pada

dasarnya tidak diakui oleh undang-undang ini. Undang-undang ini

membuat pengecualian terhadap kewarganegaraan ganda yang diberikan

kepada anak-anak. Terkait penghilangan paksa, ada prinsip yang

menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh

keturunan, bukan tempat lahir.

Bahwa mengingat “pengaturan Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Nomor 16

Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan membatasi makna perkawinan campuran dengan perkawinan

antara seorang penduduk Indonesia dengan seseorang”. siapa Jika Anda bukan

penduduk Indonesia, maka untuk melangsungkan pernikahan harus memenuhi

syarat dan kebutuhan materiil. Petugas pencatatan perkawinan pada Kantor

Catatan Sipil bertugas mencatatkan perkawinan bagi seseorang yang menikah

menurut agama atau kepercayaan selain Islam.15 Hal ini juga sesuai dengan

permasalahan yang menyertainya: “hal-hal yang diatur dalam Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia”, bahwa kedudukan

dan kedudukan anak-anak yang lahir karena perkawinan dalam rangka

kewarganegaraan telah diatur dan ditegaskan secara tegas dalam pengaturan-

pengaturan. Pasal 4 huruf d Jo. Undang-Undang Kewarganegaraan Republik

Indonesia, Pasal 6 (1). Dimana “anak-anak yang lahir dari ayah penduduk asing

dan ibu penduduk Indonesia juga dapat dianggap sebagai penduduk Indonesia,

dan dalam kasus tersebut tidak menutup kemungkinan bagi anak-anak yang lahir

15
“D Surya Yudhi, “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarganegaraan Anak Dari Hasil
Perkawinan Campuran Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974”, Fakultas Hukum
Universitas Dipoegoro, Diponegoro Law Journal, 2012, hlm. 9”
dari perkawinan tersebut dengan memiliki kewarganegaraan ganda hingga mereka

berusia 18 tahun. (delapan belas) tahun atau paling lambat pada saat ia berumur

21 (21) tahun atau pada saat yang bersangkutan telah menikah. Selama jangka

waktu ini, dia kemudian diberikan pilihan untuk memilih salah satu identitasnya”.

Bahwa persyaratan undang-undang untuk pernyataan kewarganegaraan dalam

hal ini telah dipenuhi. Menurut Pasal 6 ayat 2 “Peraturan Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.HH-19.AH.10.01 Tahun 2011

Tentang Tata Cara Pengajuan Surat Pernyataan Memilih Kewarganegaraan Bagi

Anak Berkewarganegaraan Ganda, pernyataan tersebut pilihannya dapat

dikirimkan kepada Kepala Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau

Kepala Kantor Imigrasi di tempat tinggal anak”. 16 Peraturan ini juga menjelaskan

bahwa “anak berkewarganegaraan ganda dapat mengajukan pernyataan memilih

kewarganegaraan—baik memilih kewarganegaraan Indonesia maupun memilih

kewarganegaraan asing—melalui Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar

negeri yang disebut juga Kedutaan Besar Republik Indonesia. Hal ini sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

kewarganegaraan Indonesia. Sekalipun Negara Republik Indonesia tidak

mempunyai Kantor Perwakilan atau Kedutaan Besar di negara lain, Menteri telah

memilih lokasi atau kantor lain yang dipilih atau ditunjuknya”.17

Bahwa Gloria Natapradja Hamel lahir sebelum berlakunya Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 yang mengatur tentang kewarganegaraan. Maka berlakulah

16
“Lihat Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-19.AH.10.01 Tahun
2011 tentang Tata Cara Penyampaian Pernyataan Memilih Kewarganegaraan Bagi Anak
Berkewarganegaraan Ganda”
17
“Muzayanah, “Pernyataan Memilih Terhadap Kewarganegaraan Ganda Terbatas Bagi
Anak Dalam Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan”, Fakultas
Hukum Universitas Stikubank Semarang, Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha Vol. 8,
No. 2, Mei 2020, hlm. 121”
Pasal 41 Pengaturan Sementara Peraturan Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Indonesia yang menyatakan bahwa “Anak-anak yang

dilahirkan sebagaimana yang diharapkan dalam Pasal 4 huruf c, d, h, l dan anak-

anak yang dianggap atau secara sah dilahirkan menurut rencana dalam Pasal 5

berdasarkan ketentuan Peraturan ini baru menyatakan diri dan belum berumur 18

(delapan belas) tahun atau belum kawin, memperoleh Kewarganegaraan Republik

Indonesia berdasarkan Peraturan ini dengan mendaftar pada Imam melalui Kuasa

atau Utusan Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-

Undang ini diundangkan.”18 Sedangkan agar Gloria Natapradja Hamel juga

memperoleh kewarganegaraan Indonesia, ia harus mendaftar pada pejabat yang

bersangkutan (Kepala Kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau

Kepala Kantor Imigrasi setempat) paling lambat 2010 berdasarkan ketentuan

peralihan ini. Gloria Natapradja Hamel, seperti ayahnya, berstatus sama dengan

warga negara Prancis karena yang bersangkutan tidak bisa menyandang status

warga negara Indonesia jika tidak dilakukan. Atas keadaan tersebut, ibunda Gloria

Natapradja Hamel sendiri mengaku tidak mengetahui tentang pengaturan

pendaftaran mandiri dalam peraturan dan pedoman yang berlaku di Indonesia,

sehingga Gloria Natapradja Hamel kehilangan hak istimewanya sebagai penduduk

Indonesia dan dalam hal ini Badan Regulasi dan Pelayanan Indonesia. Kebebasan

Dasar juga memberikan surat yang menyatakan bahwa yang pasti status

kewarganegaraan Gloria Natapradja Hamel adalah sebagai penduduk asing, yaitu

penduduk Perancis sejak ia dilahirkan.19

18
“Lihat Pasal 41 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia”
19
“Andi Syahputra, Aries Harianto, dan Jayus, Op.Cit, hlm. 23”
Sebagaimana telah diketahui sebelumnya sehubungan dengan status

kewarganegaraan Gloria Natapradja Hamel, apabila selambat-lambatnya 4

(empat) tahun, ia harus mendaftarkan diri pada Pimpinan Dinas Regulasi dan

Kebebasan Umum Indonesia atau Pimpinan Kantor Migrasi berkenaan dengan

dirinya. status dan kedudukannya sehingga ia dapat pula dianggap berdiaspora

(kewarganegaraan ganda) secara terbatas sampai dengan umur 18 (delapan belas)

tahun. Namun, status tersebut dibatasi hanya untuk warga negara asing—dalam

hal ini warga negara Perancis—karena pendaftarannya tidak diajukan dalam

jangka waktu tersebut. Apabila seseorang mempunyai kewarganegaraan asing dan

bukan merupakan diaspora (kewarganegaraan ganda terbatas), maka pernyataan

kewarganegaraannya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia saat ini tidak dapat

langsung digunakan, namun pasal-pasal yang mengatur tentang permohonan

menjadi penduduk Indonesia dapat dijadikan sebagai langkah tujuan sebagaimana

dimaksud di atas, serta menyelesaikan pendaftaran sebagaimana diperintahkan

dalam Pasal 41 Undang-undang. Peraturan Kewarganegaraan Indonesia. Hal ini

disebut dengan “Kewarganegaraan” sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-

Undang Kewarganegaraan Indonesia.

Bahwa pengaturan mengenai permohonan kewarganegaraan pada umumnya

diatur dalam Pasal 9 Peraturan Kewarganegaraan Republik Indonesia, khususnya

sebagai berikut :

1. Sudah menikah atau berumur 18 (delapan belas) tahun;


2. Telah tinggal di Negara Republik Indonesia sekurang-kurangnya lima

(lima) tahun berturut-turut atau sepuluh (sepuluh) tahun tidak berturut-

turut pada saat mengajukan permohonan;

3. Sehat Jasmani dan Rohani dan secara aktual dan intelektual;

4. Mampu berbahasa Indonesia dan memahami standar negara Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

5. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang ancaman

pidananya paling lama satu tahun penjara;

6. Apabila Anda tidak menjadi warga negara ganda setelah menerima

kewarganegaraan Republik Indonesia;

7. Mempunyai pekerjaan atau penghasilan tetap; Lebih-lebih lagi,

8. Membayar biaya kewarganegaraan kepada Lembaga Penyimpanan

Negara.

Ketentuan teknis dan khusus permohonan mengacu pada “Peraturan Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2016

Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Kewarganegaraan Secara Elektronik”.

V. Penutup

A. Kesimpulan
Perkawinan campuran diperbolehkan di Indonesia berdasarkan Pasal 57

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sepanjang syarat-syarat yang diperlukan

agar perkawinan itu dapat dilaksanakan. sah telah dipenuhi dan dilaksanakan.

dengan identitas yang berbeda-beda, dimana salah satu pelakunya adalah warga

negara Indonesia.

Padahal karena Gloria Natapradja Hamel, ia merupakan penduduk asing,

apalagi penduduk Perancis sejak ia dilahirkan, karena yang bersangkutan lahir di

bawah pengawasan Peraturan Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Indonesia disahkan, dimana pengaturan sementara Pasal 41 Peraturan

Kewarganegaraan mewajibkan pendaftaran mandiri bagi generasi muda yang

dilahirkan sebelum tahun 2006 sampai dengan paling lambat tahun 2010. Namun

Gloria Natapradja Hamel tidak lolos diaspora kewarganegaraan sementara

(kewarganegaraan ganda) karena yang bersangkutan tidak mendaftar dalam waktu

yang ditentukan, sehingga yang dimaksud adalah warga negara. Perancis.

Bahwa Gloria Natapradja Hamel dapat mengajukan permohonan

kewarganegaraan kepada Kepala Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

atau Kepala Kantor Imigrasi setempat untuk mendapatkan kembali

kewarganegaraan Indonesia karena yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai

warga negara asing oleh Kementerian RI. Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 47

Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Kewarganegaraan


Republik Indonesia Secara Elektronik mengatur ketentuan teknis dan khusus tata

cara tersebut.

B. Saran

Kegagalan orang tua Gloria Natapradja Hamel untuk mendaftar sebagaimana

disyaratkan Pasal 41 UU Kewarganegaraan Indonesia terlihat dalam kasus di atas.

Meskipun terdapat standar fiksi yang sah dari " Ignorantia Jurist Non-Escusat ",

akan lebih baik jika Otoritas Publik, dalam situasi ini, memberikan pelatihan dan

sosialisasi tentang hal-hal sah yang dikeluarkannya, hal ini dapat dilakukan

melalui saluran atau jalur pemerintahan yang melengkapi pemerintahan di bidang

terkait (Peraturan Negara Republik Indonesia dan Kebebasan Umum). Oleh

karena itu, diharapkan hal ini tidak lagi menjadi sumber perselisihan di kemudian

hari.
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Arinanto Satya. 2018. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia.
Jakarta: PusaStudi Hukum Tata Negara.

Gautama Candra. 2000. Konvensi Hak Anak. Panduang bagi Jurnalis, Lembaga
Studi Pers & Pembangunan. Jakarta: The Asia Foundation

Wardatun, Atun. 2009. Jejak Jender Pada Budaya Mbojo, Samawa dan Sasak di
Nusa Tenggara Barat. Mataram: Pusat Studi Wanita

B. JURNAL

Bidasari, A. (2021). Status dan Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran


Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006. Nomos: Jurnal
Penelitian Ilmu Hukum, 1(1), 20-25.

Muzayanah, M. (2020). PERNYATAAN MEMILIH TERHADAP


KEWARGANEGARAAN GANDA TERBATAS BAGI ANAK
DALAM PERKAWINAN CAMPURAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG KEWARGANEGARAAN. JurnaL Pendidikan
Kewarganegaraan Undiksha, 8(2), 114-137.

Nurhidayatuloh, N., & Marlina, L. (2011). Perkawinan di Bawah Umur Perspektif

HAM- Studi Kasus di Desa Bulungihit, Labuhan Batu, Sumatra Utara.


Al-
Mawarid Journal of Islamic Law, 11(2), 26066.

Ratnawaty, L. (2016). Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran


Berdasarkan Hukum Indonesia. YUSTISI, 1(1). Sanyoto, S. (2008).
Penegakan Hukum Di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 8(3), 199-
204.

Sulastri, S., & Satino, S. (2019). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


ISTERI SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA. Jurnal Yuridis, 6(2), 73-92.
Surya Yudhi, D. (2012). TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
KEWARGANEGARAAN ANAK DARI HASIL PERKAWINAN
CAMPURAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG- UNDANG NO.
1 TAHUN 1974 (Doctoral dissertation, Universitas Diponegoro).

Syahputra, A., Harianto, A., & Jayus, J. (2018). HAK KONSTITUSIONAL


ANAK
HASIL PERKAWINAN CAMPURAN DI INDONESIA. Fairness and
Justice: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 16(1), 16-30.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Convention on the Rights of The Child

Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-19.AH.10.01 Tahun 2011


tentang Tata Cara Penyampaian Pernyataan Memilih
Kewarganegaraan bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik


Indonesia

Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999, LN


Tahun 1999 Nomor 165, TLN Nomor 3886

Anda mungkin juga menyukai