Anda di halaman 1dari 34

ANALISIS YURIDIS TINDAK PIDANA PENGGELAPAN DAN

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(Studi Putusan Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016)

BAB I

PENDAHULUAN

Kejahatan di dalam masyarakat berkembang seiring dengan perkembangan


masyarakat itu sendiri, karena kejahatan merupakan produk dari masyarakat dan
ini perlu ditanggulangi.1 Hal ini mengingat bahwa kejahatan tidak akan dapat
hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus pidana semakin sering terjadi dan
yang paling dominan adalah jenis tindak pidana terhadap harta kekayaan,
khususnya yang termasuk didalamnya adalah tindak pidana penggelapan. Bahwa
kejahatan terhadap harta benda akan tampak meningkat di negara-negara sedang
berkembang. Kenaikan ini sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi.2

Tindak pidana penggelapan merupakan salah satu jenis kejahatan terhadap


kekayaan manusia yang diatur didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut KUHP). Tindak pidana penggelapan itu sendiri diatur di
dalam buku kedua tentang kejahatan dalam Pasal 372 – Pasal 377 KUHP, yang
merupakan kejahatan yang sering sekali terjadi dan dapat terjadi di segala bidang
bahkan pelakunya di berbagai lapisan masyarakat, baik dari lapisan bawah sampai
masyarakat lapisan atas pun dapat melakukan tindak pidana penggelapan yang
merupakan kejahatan yang berawal dari adanya suatu kepercayaan pada orang
lain, dan kepercayaan tersebut hilang, karena lemahnya suatu kejujuran. Pasal 374
KUHP pada dasarnya hanyalah pemberatan dari Pasal 372 KUHP, yaitu apabila
dilakukan dalam hubungan jabatan, sehingga kalau Pasal 374 KUHP dapat
dibuktikan, maka Pasal 372 KUHP dengan sendirinya dapat dibuktikan juga.

1
Kumanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Akademika Presindo, 2000), h 187
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), h 2.
Dewasa ini berbagai jenis kejahatan baik dilakukan oleh perorangan maupun
oleh korporasi yang dapat dilakukan dengan mudah serta menghasilkan harta
kekayaan dalam jumlah yang cukup besar, seperti korupsi, penyelundupan,
kejahatan perbankan, narkotika, penipuan, penggelapan, terorisme, kejahatan
kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam batas wilayah suatu negara,
namun meluas melintasi batas wilayah negara, yang dikenal dengan kejahatan
transnasional, (transnasional organized crime).3

Pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang berdimensi internasional


merupakan hal baru di banyak negara termasuk Indonesia.Sebegitu besarnya
dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap perekonomian suatu negara,
sehingga negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan
termotivasi untuk menaruh perhatian yang lebih serius terhadap pencegahan dan
pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain, karena kejahatan
pencucian uang (money laundering) tersebut baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi sistem perekonomian, dan pengaruhnya tersebut
merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.4

Penerapan Undang-Undang No. 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana


Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU No.8 tahun 2010) merupakan hal yang
sering berkorelasi dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya yang
berkualifikasi predicate crime dalam undang-undang pencucian uang. Hasil tindak
pidana yang merupakan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana yang
menjadi tindak pidana asal (predicate crimes) dalam UU No. 8 Tahun 2010
terdapat tidak kurang dari 26 (dua puluh enam) macam yang menjadi predicate
crimes.5 Adapun tindak pidana tersebut antara lain adalah korupsi, penyuapan,
narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, di
bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan,
cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan,
pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di
3
Mabes Polri, Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta:Mabes Polri
2003), h.1
4
Ramelan, Annotated Money Laundering: Case Reports, (Jakarta: Pustaka Juanda
Tigalima & Elsda Institute, 2008), h 23
5
Artidjo Alkostar, Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam
Hubungannya Dengan Predicate Crimes, JurnalMMH, Jilid 42 No. 1 Januari 2013, h 45
bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang
kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana 4
(empat) tahun atau lebih. Pasal 99 UU No. 8 Tahun 2010 menentukan bahwa pada
saat undang-undang ini mulai berlaku, Undang-Undang No. 15 tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.6

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016 tentang tindak pidana


penggelapan dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Terdakwa Joni
Wijaya, pada tanggal 8 Januari 2013 sampai dengan tanggal 1 Juli 2013,
Terdakwa mentransfer atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang dilakukan oleh Terdakwa.7

Di dalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan perbuatan Terdakwa


Joni Wijaya sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum telah
terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Penuntut
Umum mendakwakan Terdakwa dengan dakwaan kumulatif yaitu tindak pidana
Penggelapan (dakwaan Kesatu) sebagaimana dalam Pasal 372 KUHP dan
dakwaan Kedua yaitu Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dengan demikian maka jika
mengacu pada bunyi amar putusan tersebut, maka semua unsur tindak pidana baik
yang didakwakan kepada Terdakwa baik dakwaan kesatu dan dakwaan kedua
semuanya terpenuhi, namun hal tersebut bukanlah merupakan tindak pidana tetapi
perdata.

Di dalam pertimbangan hukumnya judex facti langsung menyimpulkan bahwa


apa yang dilakukan oleh Terdakwa Joni Wijaya merupakan masuk dalam ruang
lingkup perdata terhadap alasan yang ada di dalam pertimbangan hukum tersebut
Penuntut Umum tidak sependapat dengan Majelis Hakim dalam surat dakwaannya
khususnya dakwaan kesatu adalah penggelapan terhadap saham yang dijaminkan
(saham yang terpisah) dan bukan saham yang di-REPO-kan. Di dalam perjanjian
REPO antara korban (Gupta Yamin) dengan Terdakwa Joni Wijaya disebutkan
6
Ibid
7
Putusan Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016, h 6
bahwa saham yang di REPO-kan adalah bukan 45.977.012 lembar saham CNKO,
Tbk tetapi 22.988.506 lembar saham dengan nilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah), sedangkan yang 22.988.506 lembar saham hanya sebagai jaminan,
jika terjadi penurunan nilai atas harga saham CNKO tersebut. Dengan demikian,
maka Penuntut Umum berpendapat bahwa Terdakwa telah memiliki niat tidak
baik/niat jahat, karena perjanjian REPO tersebut hanyalah sebagai modus untuk
mendapatkan keuntungan, karena Terdakwa telah menjual seluruh saham baik
yang di REPO-kan maupun yang hanya sebagai jaminan saja dengan nilai uang
yang ia terima dari hasil penjualan tersebut adalah Rp17.066.365.018 ,00
sebagaimana dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim, dengan demikian, maka
Terdakwa mendapat keuntungan dalam waktu kurang dari seminggu, sehingga
tidaklah cukup beralasan kalau harga saham mengalami penurunan dan Terdakwa
dirugikan.8

Di dalam pertimbangan hukumnya judex facti langsung menyimpulkan bahwa


apa yang dilakukan oleh Terdakwa Joni Wijaya adalah masuk dalam ruang
lingkup perdata, terhadap alasan yang ada di dalam pertimbangan hukum tersebut,
Penuntut Umum tidak sependapat mengingat apa yang dipersoalkan oleh Penuntut
Umum di dalam surat dakwaannya khususnya dakwaan kesatu adalah
penggelapan terhadap saham yang dijaminkan (saham yang terpisah) dan bukan
saham yang di-REPO-kan. Di dalam perjanjian REPO antara korban (Gupta
Yamin) dengan Terdakwa Joni Wijaya disebutkan bahwa saham yang di REPO
kan adalah bukan 45.977.012 lembar saham CNKO Tbk, tetapi 22.988.506 lembar
saham dengan nilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), sedangkan yang
22.988.506 lembar saham hanya sebagai jaminan jika terjadi penurunan nilai atas
harga saham CNKO tersebut.9

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil dengan
judul Analisis Yuridis Tindak Pidana Penggelapan dan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Studi Putusan Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016).

8
Ibid
9
Ibid
RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum tindak pidana penggelapan ?

2. Bagaimanakah pengaturan hukum tindak pidana pencucian uang?

3. Bagaimanakah penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana penggelapan


dan tindak pidana pencucian uang (analisis putusan Nomor 1491
K/Pid.Sus/2016) ?

Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan ini pada pokoknya dibagi
menjadi :

1. Untuk mengetaihui pengaturan hukum tindak pidana penggelapan.

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum tindak pidana pencucian uang.

3. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana


penggelapan dan tindak pidana pencucian uang (analisis putusan Nomor 1491
K/Pid.Sus/2016).

4. Untuk mengetahui secara observative berdasarkan subjek dan objek mengapa


bisa dikeluarkan putusan Hakim yang sudah dikeluarkan oleh pihak Majelis
Hakim.
BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PENGGELAPAN

A. Tindak Pidana dan Jenis-Jenis Tindak Pidana Penggelapan


Menurut Lamintang dan Djisman Samosir adalah lebih tepat kiranya apabila
orang memakai perkataan "penyalagunaan hak" atau "penyalahgunaan
kepercayaan" untuk memberikan nama kepada jenis-jenis kejahatan seperti yang
diatur di dalam Buku ke II Bab Ke XXIV KUHP tersebut, dengan alasan bahwa
setiap orang akan segera dapat mengetahui perbuatan apa yang sebenarnya
dilarang dan diancam dengan hukuman menurut pasal-pasal yang terdapat di
dalam Bab ke XXIV itu, tanpa harus menafsirkannya terlebih dahulu.10

Adami Chazawi, menyatakan bahwa tindak pidana penggelapan berdasarkan


Pasal 372 KUHP yaitu perkataan verduistering yang kedalam bahasa
diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda
diberikan secara arti luas (figurlikj), bukan diartikan seperti arti kata yang
sebenarnya sebagai membuat sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. Lebih
mendekati pengertian bahwa petindak menyalahgunakan haknya sebagai yang
menguasai suatu benda (memiliki), hak mana tidak boleh melampaui dari haknya
sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan
karena kejahatan.11

Tongat menyatakan bahwa penggelapan merupakan apabila suatu benda


berada dalam kekuasaan orang bukan, karena tindak pidana, akan tetapi karena
suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan
barang, dan sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk
menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri sendiri
10
P.A.F Lamintang-C. Djisman Samosir, Op.Cit. h 110
11
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, (Jakarta: Bayu Media, 2006), h70
secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan Penggelapan”. 12
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penggelapan adalah
suatu perbuatan menyimpang yang menyalahgunakan kepercayaan orang lain
yang diberikan padanya dan awal barang itu berada ditangannya bukan karena
dari hasil kejahatan. Objek dari pencucian uang menurut Sarah N. Welling,
sebagaimana dikutip Sutan Remy Sjahdeidi, Money Laundering dimulai dengan
adanya Dirty money atau “uang kotor” atau “uang haram”. Menurut Welling,
uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, cara pertama ialah melalui pengelakan
pajak (tax evasion). Yang dimaksud dengan “pengelakan pajak” ialah
memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada
pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit daripada yang
sebenarnya diperoleh.Cara yang kedua ialah memperoleh uang melalui cara-cara
yang melanggar hukum.13

P.A.F. Lamintang-Theo Lamintang jenis-jenis tindak pidana penggelapan


berdasarkan BAB XXIV Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP adalah
sebagai berikut:

a. Penggelapan biasa yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan


yang diatur dalam Pasal 372 KUHP "Barang siapa dengan sengaja melawan
hukum mengaku sebagai milik sendiri (zichtoeegenen) barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagiaan adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam
kekuasaannya bukan, karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.

b. Penggelapan ringan. Penggelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang


digelapakan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari duapuluh lima rupiah,
diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah. Diatur dalam
Pasal 373 KUHP

12
Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang,: UMM Press,2006), h. 60
13
Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang,: UMM Press,2006), h. 60
c. Penggelapan dengan Pemberatan Penggelapan dengan pemberatan yakni
penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan
dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena mendapat upah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun. Diatur dalam Pasal 374 KUHP.

d. Penggelapan di lingkungan keluarga. Penggelapan dalam lingkungan keluarga


yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang karena terpaksa diberi barang untuk
disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus, atau pelaksana
surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang
dikuasainya diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun diatur dalam
Pasal 375 KUHP.14

Berdasarkan Pasal tersebut di atas, maka tindak pidana penggelapan dapat

digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu :

1) Pasal 372 KUHP Tindak Pidana Penggelapan dalam bentuk pokok Kejahatan
penggelapan dalam bentuk pokok dalam Pasal 372 KUHP yaitu kejahatan yang
dilakukan sesorang yang dengan sengaja menguasai secara melawan hukum suatu
benda yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain, akan
tetapi orang tersebut dalam mendapatkan barang dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan.

2) Pasal 373 KUHP Tindak Pidana Penggelapan Ringan

Penggelapan ringan adalah seperti diatur dalam Pasal 373 KUHP yaitu suatu
kejahatan penggelapan yang dilakukan oleh seseorang yang mana jika
penggelapan tidak terhadap ternak ataupun nilainya tidak lebih dari dua ratus lima
puluh ribu rupiah. Mengapa disebutkan bahwa yang digelapkan itu haruslah
bukan ternak, karena perlu diingat bahwa ternak merupakan unsur yang
memberatkan, sehingga ternak dianggap barang khusus.

3) Pasal 374 KUHP Tindak Pidana Penggelapan dengan unsur memberatan


Kejahatan penggelapan dengan pemberatan atau disebut juga ”gequalifierde
verduistering” tersebut diatur dalam Pasal 374 KUHP. Dalam Pasal 374 KUHP

14
P.A.F. Lamintang-Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta
Kekayaan, (Bandung: Sinar Grafika, 2009) h 42
menyatakan bahwa penggelapan dengan pemberatan adalah penggelapan yang
dilakukan oleh mereka yang menguasai suatu benda karena jabatannya atau
karena pekerjaannya atau karena mendapatkan uang sebagai imbalannya.

4) Pasal 375 KUHP Tindak Pidana Penggelapan oleh Wali dan lain-lain Tindak
pidana yang memberatkan merupakan tindak pidana penggelapan yang diatur
dalam Pasal 374 KUHP. Penggelapan dilakukan oleh orang atas benda yang
berada padanya karena hubungan kerja pribadinya atau karena pekerjaannya atau
karena mendapat imbalan uang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya
5 (lima) tahun.

5) Penggelapan sebagai delik aduan. Kejahatan sebagai delik aduan ini tersimpul
dalam Pasal 376 KUHP yang mengacu pada Pasal 367 ayat (2) KUHP. Dengan
adanya ketentuan ini berarti seseorang yang mempunyai hubungan keluarga
melakukan penggelapan atau membantu melakukan penggelapan terhadap milik
anggota keluarga lainnya yang tinggal dalam satu rumah hanya dapat dituntut
terhadap mereka itu hanya dapat dilakukan apabila ada atau terdapat pengaduan
dari pihak-pihak yang telah dirugikan karena kejahatan penggelapan

6) Pasal 376 KUHP Tindak Pidana Penggelapan dalam keluarga Tindak pidana
penggelapan dalam keluarga oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam
Pasal 376 KUHP. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 367 KUHP berlaku bagi
kejahatan-kejahatan yang diatur dalam bab ini.15

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penggelapan

Rumusan tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP


merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok, yang rumusannya
Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda
yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada
padanya bukan karena, kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan pidana
denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.16

15
Ibid., Op. Cit., h. 111-151
16
Ibid., h.112
Tindak pidana penggelapan (veruistering) dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal
372 KUHP mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur subjektif : apzettelijk atau dengan sengaja.

b. Unsur-unsur objektif :

1. Barang siapa.

2. Zich wederrechtelijk toeeigenen atau menguasai secara melawan hukum.

3. Suatu benda.

4. Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.

5. Berada padanya bukan karena kejahatan.17

Unsur opzettelijk atau dengan sengaja merupakan satu-satunya unsur


subjektif di dalam tindak pidana penggelapan, yakni unsur yang melekat pada
subjek tindak pidana, ataupun yang melakat pada pribadi pelakunya, karena unsur
opzettelijk atau dengan sengaja merupakan unsur dari tindak pidana penggelapan,
dengan sendirinya unsur tersebut harus didakwakan oleh jaksa di dalam surat
dakwaannya, dan karena unsur tersebut didakwakan terhadap seorang terdakwa,
dengan sendirinya juga harus dibuktikan di sidang pengadilan yang memeriksa
perkara terdakwa.

Agar seseorang dapat dinyatakan sebagai terdakwa karena telah memenuhi


unsur kesengajaan seperti yang disyaratkan dalam rumusan Pasal 372
KUHPidana, maka disidang pengadilan yang memeriksa perkara terdakwa harus
dapat membuktikan bahwa pelaku memang benar-benar :

1. Menghendaki atau bermaksud untuk menguasai suatu benda secara melawan


hukum, suatu perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya atau
bertentangan dengan hak orang lain

2. Mengetahui bahwa yang ia kuasai adalah sebuah benda.

3. Mengetahui bahwa sebagian atau seluruh benda yang ingin dikuasainya adalah
milik orang lain.
17
Ibid., h. 112
4. Mengetahui bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.18

Tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok diatur dalam Pasal 372 KUHP
itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :

a. Unsur subjektif :

1) Dengan sengaja (opzettelijk)

Unsur ini merupakan unsur kesalahan dalam penggelapan.Sebagaimana dalam


doktrin, kesalahan (schuld) terdiri dari dua bentuk, yakni kesengajaan (opzettelijk
atau dolus) dan kelalaian (culpos).Undang-undang sendiri tidak memberikan
keterangan mengenai arti dari kesengajaan. Dalam M.v.T. (Memorie van
Toelichting), ada sedikit keterangan tentang opzettelijk, yaitu sebagai willens en
wetens, yang dalam arti harfiah dapat disebut sebagai menghendaki dan
mengetahui. Willens en wetens ini dapat diterangkan lebih lanjut ialah, bahwa
orang yang melakukan sesuatu perbuatan dengan sengaja, berarti ia menghendaki
mewujudkan perbuatan dan ia mengetahui, mengerti nilai perbuatan serta sadar
(bahkan bisa menghendaki) akan akibat yang timbul dari perbuatannya itu.19

Apabila dihubungkan dengan kesengajaan yang terdapat dalam suatu rumusan


tindak pidana seperti pada penggelapan, maka kesengajaan dikatakan ada apabila
adanya suatu kehendak atau adanya suatu pengetahuan atas suatu perbuatan atau
hal-hal/unsur-unsur tertentu (disebut dalam rumusan) serta menghendaki dan atau
mengetahui atau menyadari akan akibat yang timbul dari perbuatan. Bahwa
menurut keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa setiap unsur
kesengajaan (opzettelijk) dalam rumusan suatu tindak pidana selalu ditujukan
pada semua unsur yang ada di belakangnya, atau dengan kata lain semua

18
Ibid., h114
19
Muhari Supa’at, Proses Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penggelapan
Mobil Di Polres Pati (Studi Kasus Nomor BP/05/VIII/2017/Reskrim), Jurnal Hukum Khaira
Ummah, Vol. 13. No. 1 Maret 2018, h 209-211
unsurunsur yang ada di belakang perkataan sengaja selalu diliputi oleh unsur
kesengajaan oleh pelaku tindak pidana.

2) Melawan hukum (wederrechttelijik).

Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari
suatu perbuatan tertentu. Dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum
yaitu melawan hukum formil (bertentangan dengan hukum tertulis) dan melawan
hukum materiil (bertentangan dengan asas-asas hukum masyarakat). Dalam
hubungannya dengan kesengajaan, penting diketahui bahwa kesengajaan petindak
juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum ini, yang pengertiannya sudah
diterangkan di atas.

b. Unsur-unsur objektif :

1) Perbuatan memiliki (zicht toe.igenen) Perbuatan memiliki (zicht toe.igenen)


diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menganggap sebagai milik, atau ada
kalanya menguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah
Agung dalam putusannya tanggal 25 Februari 1958 Nomor 308 K/Kr/1957
menyatakan bahwa perkataan zicht toe.igenenn dalam bahasa Indonesia belum
ada terjemahannya resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjemahkan dengan
perkataan mengambil atau memiliki. Pengertian “memiliki” pada penggelapan ini
ada perbedaannya dengan memiliki pada pencurian.20 Perbedaan ini, ialah dalam
hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk
memiliki (benda objek kejahatan itu), tetapi pada penggelapan, memiliki berupa
unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam
penggelapan.Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari
unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan
sebagai maksud saja.Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur
tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada
bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat

20
Ibid
untuk menjadi selesainya penggelapan.Bentuk-bentuk perbuatan memiliki,
misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya.

2) Suatu benda (eenig goed).

Benda yang menjadi objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai
benda yang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang
ada dalam kekuasaannya sebagaimana yang telah diterangkan di atas, tidak
mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud seperti dalam
pencurian (benda yang menjadi objek pencurian adalah benda-benda bergerak dan
berwujud, yang dalam perkembangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam
berbagai putusan pengadilan telah ditafsirkan sedemikian luasnya, sehingga telah
menyimpang dari pengertian semula). Seperti gas dan energi listrik juga akhirnya
dapat menjadi objek pencurian.

3) Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.

Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak
miliknya tidak dapat menjadi objek penggelapan. Benda milik suatu badan
hukum, seperti milik negara adalah berupa benda yang tidak/bukan dimiliki oleh
orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik
petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun
pencurian. Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek
penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang
tertentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri.

4) Berada padanya bukan karena kejahatan.

Di sini terdapat dua unsur, yang pertama berada dalam kekuasaannya, dan kedua
bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah
disinggung di atas dengan jelas. Suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang
apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan yang sedemikian
eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam perbuatan terhadap
benda tersebut ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu
harus melakukan perbuatan yang lain. Misalnya ia langsung dapat melakukan
perbuatan seperti menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya,
menyewakannya dan lain sebagainya. Untuk melakukan perbuatan tersebut, ia
dapat melaksanakannya tanpa harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu
(perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat
secara langsung).21

BAB III

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Tindak Pidana Pencucian Uang

Istilah pencucian uang (money laundering) telah dikenal sejak tahun 1930 di
Amerika Serikat, yaitu ketika Al Capone, penjahat terbesar di Amerika masa lalu,
mencuci uang itam dari usaha kejahatannya dengan memakai Meyer Lansky,
orang Polandia, yaitu seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Capone
melalui usaha binatu (laundry).22 Tindak pidana pencucian uang (money
laundering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan,
menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana
yang kerap dilakukan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) maupun
individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika dan tindak
pidana lainnya.23Hal ini bertujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul
uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan
seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal
dari kegiatan ilegal.24

Pencucian uang (money laundering) sebagai suatu tindak pidana telah menjadi
pusat perhatian sejak tahun 1980-an, terutama dalam konteks kejahatan peredaran
obat-obat terlarang (psikotropika dan narkotika).25 Munir Fuady mengatakan
kegiatan TPPUsecara universal dewasa ini telah digolongkan sebagai suatu tindak

21
Ibid., h.213
22
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi,
dan Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 17.
23
Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang, dan Peranannya Dalam Memberantas
Tindak Pidana Pencucuian Uang”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 Nomor 3, 2003, h. 26
24
Ibid
25
Yunus Husein, Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, (Bandung:Books Terrace &Library,
2007), h. 4.
pidana yang tergolong dalam white collar crime. Dalam kasus TPPU ini untuk
dapat melakukan pemutihan uang dilakukan secara jelas dengan cara illegal.TPPU
dapat ditinjau dari kaidah hukumnya dan dapat ditinjau pula dari segi yuridisnya
yaitu dengan memakai KUHP dan UU No. 8 Tahun 2010.26 Kejahatan pencucian
uang adalah suatu kejahatan yang berdimensi internasional sehingga
penanggulangannya harus dilakukan secara kerja sama internasional, prinsip dasar
pencucian uang adalah menyembunyikan sumber dari segala pencucian uang dari
aktivitas ilegal dengan melegalkan uang tersebut. Untuk melaksanakan hal
tersebut uang diisyaratkan disalurkan melalui suatu penyesatan (imaze) guna
menghapus jejak peredarannya dan orang-orang yang mempunyai uang tersebut
menyalurkan bisnis yang fiktif yang tampaknya sebagai sumber penghasilan.
Ketentuan pasal-pasal dalam UU No. 8 Tahun 2010, yang termasuk unsurunsur
tindak pidana pencucian uang adalah :

a. Setiap orang baik orang perseorangan maupun korporasi dan personil


pengendali korporasi.

b. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan,


menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,
menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.8 Tahun 2010.

c. Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,


sembangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak-tindak pidana
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.8 Tahun 2010.

d. Bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi,


peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindaktindak
pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.8 Tahun 2010.

26
Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, (Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001), h 167
Tindak pidana pencucian uang sudah menjadi sebuah kejahatan bisnis yang
tidak hanya terjadi dalam lembaga keuangan, apakah itu perbankan maupun
lembaga keuangan nonbank dalam lingkup kecil saja ataupun dimungkinkan
dilakukan oleh perorangan maupun korporasi melalui lintas negara (crossborder)
atau tanpa batas tertentu lagi.Hal ini yang menyebabkan betapa sulitnya bagi
negara-negara untuk dilakukan pemeberantasan terhadap hasil kejahatan
pencucian uang ini secara optimal. Secara umum ada beberapa alasan mengapa
money laundering diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu :

1) Pengaruh money laundering pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini


berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Fluktuasi yang tajam pada nilai
tukar dan suku bunga merupakan bagian dari akibat negatif dari pencucian uang.
Dengan adanya berbagai dampak negatif itu diyakini, bahwa money laundering
dapat mempengaruhi perekonomian dunia;

2) Dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana akan lebih


memudahkan bagi aparat hukum untuk menyita hasil tindak pidana yang kadang
kala sulit untuk disita, misalnya aset yang susah dilacak atau sudah dipindah
tangankan kepada pihak ketiga. Dengan ini, maka pemberantasan tindak pidana
sudah beralih orientasinya dari “menindak pelakunya” ke arah menyita “hasil
tindak pidana”;

3) Dengan dinyatakan money laundering sebagai tindak pidana dan dengan


adanya sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu dan transaksi yang
mencurigakan, maka hal ini lebih memudahkan bagi para penegak hukum untuk
menyelidiki kasus pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.

B. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang


Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang

TPPU di Indonesia dewasa ini mengalami perkembangan yang begitu


mengkhawatirkan dan memerlukan penanganan serius oleh aparat penegak hukum
baik di tingkat kepolisian maupun lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No. 8
Tahun 2010, yakni Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (selanjutnya disebut
PPATK).27 Pencucian uang sebagian besar mengandalkan sarana lembaga
keuangan, terutama perbankan dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
Bila dipahami semua tindak pidana ekonomi (kejahatan keuangan) akan bermuara
pada perbuatan pencucian uang, maka seharusnya penerapan undang-undang
tindak pidana pencucian uang terhadap perkara kejahatan ekonomi juga banyak,
tetapi pada kenyataannya putusan pengadilan terhadap kejahatan keuangan yang
dikaitkan dengan UU No. 8 Tahun 2010, ada 20 (dua puluh) putusan Hasil tindak
pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi,
penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan
imigran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian,
kepabeanan, cukai, perdagangan rang, perdagangan senjata gelap, terorisme,
penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian,
prostitusi, bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di
bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan
pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) atau diluar wilayah
NKRI dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.28

27
Nurmalawaty,“Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang (money
laundering) dan Upaya Pencegahannya”, Jurnal Equality,Volume 11 No.1 Februari 2006, h.99.
28
Yenti Garnasih, “Kebijakan Kriminalisasi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, Mimbar Hukum”, Vol. 19, Yogyakarta: 2007, hlm. 166.`
BAB IV

PENERAPAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENGGELAPAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(Analisis Putusan Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016)

Kasus Posisi

Gupta Yamin pada pertengahan bulan Desember 2012 datang ke Kantor Andri
Cahyadi di Wisma Metropolitan I lantai XVI Jalan Jenderal Sudirman Jakarta
Selatan, dalam pertemuan tersebut Andri Cahyadi menyampaikan keinginannya
memperluas usaha di bidang batubara, akan tetapi kekurangan dana, sehingga
membutuhkan dana tambahan, atas keinginan Andri Cahyadi tersebut Gupta
Yamin berkeinginan untuk berinvestasi dan menawarkan kepada Andri Cahyadi
dana tambahan dengan cara melakukan transaksi REPO (repurchase agreement)
atas saham CNKO milik Gupta Yamin yaitu perjanjian jual beli dengan kewajiban
membeli kembali dimana pihak penjual saham berkewajiban untuk membeli
kembali saham yang sudah dijual, dan pihak pembeli berjanji akan menjual
kembali kepada pihak penjual saham selama periode yang telah ditentukan, tidak
boleh dilakukan jual beli saham tersebut kepada orang lain di luar pihak penjual
dan pembeli. Gupta Yamin selang beberapa hari bertemu kembali dengan Andri
Cahyadi di Wisma Metropolitan I lantai XVI Jalan Jenderal Sudirman Jakarta
Selatan yang dihadiri oleh Willy Herlambang yang merupakan rekan Andri
Cahyadi, di dalam pertemuan tersebut Andri Cahyadi menyampaikan kepada
Gupta Yamin bahwa Willy Herlambang memiliki teman yang bernama Hatta
Wijaya alias Alex dan dapat mencarikan Broker untuk melaksanakan penjualan
saham CNKO dengan mekanisme transaksi repurchase Agreement (REPO).
REPO merupakan transaksi jual beli instrumen efek antara dua belah pihak yang
didasari dengan perjanjian dimana pada tanggal yang telah ditentukan di
kemudian hari akan dilaksanakan pembelian kembali atas efek yang sama dengan
harga tertentu yang telah disepakati.

B. Analisis Putusan

Pada umumnya surat dakwaan diartikan oleh para ahli hukum berupa
pengertian surat akta yang memuat perumusan maupun ditarik atau disimpulkan
dari hasil pemeriksaan penyidik dihubungkan dengan pasal tindak pidana yang
dilanggar dan didakwakan kepada terdakwa, dan surat dakwaan tersebutlah yang
menjadi dasar pemeriksaan bagi hakim dalam sidang pengadilan. 29 Dakwaan
secara kumulatif, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 141 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), bahwa” penuntut
umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat
dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima
beberapa berkas perkara dalam hal :

1) Beberapa tindak pidana yang dilakukan seseorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya .

2) Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut dengan yang lain.

3) Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain,
akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. 30 Pada dasarnya,
dalam praktik peradilan terminologi bentuk dakwaan kumulatif lazim disebut
sebagai dakwaan berangkat atau “Cumulatieve ten laste Legging” dan sebagainya.
Dengan titik tolak teoritis, sebenarnya hakikat dakwaan kumulatif diatur dalam
ketentuan Pasal 141 KUHAP yang ditentukan bahwa Penuntut Umum dapat
melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu dakwaan, apabila
29
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2007, hlm 83
30
Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2007, hlm 83
pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas
perkara dalam hal :

1. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan
kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya.;

2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain.

3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain,
tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini
penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.31

Pengaturan dakwaan kumulatif ini selain terdapat dalam hukum pidana


formal, juga diatur pada hukum pidana materil sebagaimana tersurat ketentuan
Bab VI KUHP tentang Gabungan Tindak Pidana/Pembarengan Tindak Pidana
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63, 64, 65, 66 dan 70 KUHP. Pada dasarnya,
secara konkret bentuk dakwaan kumulatif dibuat penuntut umum apabila dalam
atau surat dakwaan ada beberapa tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan
tidak berhubungan antara tindak pidana satu dengan lainnya, tetapi didakwakan
secara sekaligus, yang penting dalam hal ini bahwa subjek pelaku tindak pidana
penggelapan dan pencucian uang adalah terdakwa yang sama. Dengan bentuk
dakwaan seperti ini, konsekuensi pembuktiannya bahwa masing-masing dakwaan
harus dibuktikan dan bila terbukti, tuntutan pidananya sesuai dengan ketentuan
Pasal 65 dan 66 KUHP dan mengenai pidananya hakim bertitik tolak kepada
ketentuan Pasal 63 sampai ketentuan Pasal 71 KUHP, yakni dijatuhi hukuman
dengan ancaman terberat ditambah sepertiga.

Adapun ciri utama dakwaan kumulatif adalah dengan mempergunakan istilah


dakwaan Kesatu, Kedua, Ketiga, dan seterusnya.32 Jadi dalam dakwaan secara
kumulatif, maka tiap-tiap perbuatan (delik) itu harus dibuktikan sendiri, walaupun
pidananya disesuaikan dengan peraturan tentang delik gabungan dalam Pasal 63
dengan Pasal 71 KUHP. Putusan Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016 Terdakwa Joni
Wijaya didakwa dengan dakwaan kumulatif yaitu tindak pidana Penggelapan

31
Yessy Paramita Samadi, Kajian Yuridis Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi.Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015, h.11.
32
Ibid
(dakwaan kesatu) sebagaimana dalam Pasal 372 KUHP dan dakwaan Kedua yaitu
Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dengan demikian, maka jika mengacu pada bunyi
amar putusan tersebut, maka semua unsur tindak pidana yang didakwakan kepada
Terdakwa dakwaan kesatu dan dakwaan kedua semuanya terpenuhi.

Di dalam pertimbangan hukumnya judex facti langsung menyimpulkan bahwa apa


yang dilakukan oleh Terdakwa Joni Wijaya merupakan masuk dalam ruang
lingkup perdata, terhadap alasan yang ada di dalam pertimbangan hakim tersebut
Penuntut Umum tidak sependapat mengingat apa yang dipersoalkan oleh Penuntut
Umum di dalam surat dakwaannya khususnya dakwaan Kesatu adalah
penggelapan terhadap saham yang dijaminkan (saham yang terpisah) dan bukan
saham yang di-REPO-kan. Di dalam perjanjian REPO antara korban (Gupta
Yamin) dengan Terdakwa Joni Wijaya disebutkan bahwa saham yang di REPO
kan adalah bukan 45.977.012 lembar saham CNKO Tbk, tetapi 22.988.506 lembar
saham dengan nilai sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
sedangkan yang 22.988.506 lembar saham hanya sebagai jaminan jika terjadi
penurunan nilai atas harga saham CNKO tersebut.

Penuntut Umum berpendapat bahwa Terdakwa Joni Wijaya telah memiliki


niat jahat, karena perjanjian REPO tersebut hanyalah sebagai modus untuk
mendapatkan keuntungan, karena Terdakwa Joni Wijaya telah menjual seluruh
saham baik yang di REPO-kan maupun yang hanya sebagai jaminan saja dengan
nilai uang yang Terdakwa Joni Wijaya terima dari hasil penjualan tersebut sebesar
Rp17.066.365.018,00 sebagaimana dalam pertimbangan Majelis Hakim, dengan
demikian, maka Terdakwa Joni Wijaya mendapat keuntungan dalam waktu
kurang dari seminggu, sehingga tidaklah cukup beralasan kalau harga saham
mengalami penurunan dan terdakwa dirugikan. Terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh
Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Pasal 372 KUHP dan dakwaan Kedua
Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, oleh karena itu Terdakwa tersebut haruslah
dijatuhi pidana. Menurut hemat penulis, dasar pertimbangan yang digunakan
hakim dalam menjatuhkan putusan perkara tindak pidana penggelapan dan
pencucian uang adalah bukti di dalam persidangan, yaitu berupa adanya tanda
tangan Terdakwa di dalam perjanjian REPO No. 0022/REPO.CNKO/XII/ 2012
tanggal 26 Desember 2012.Barang bukti berupa uang sejumlah Rp.117.414.316
(seratus tujuh belas juta empat ratus empat belas ribu tiga ratus enam belas
rupiah).Dikembalikan kepada Antonius Gunawan GHO, faktor yang meringankan
terdakwa dan paling menentukan yaitu pengakuan terdakwa.

B. Analisis Tuntutan

Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, bahwa Jaksa penuntut
umum harus berusaha membuktikan bahwa Terdakwa Joni Wijaya bersalah dan
melakukan suatu tindak pidana penggelapan dan pencucian uang. Dalam
penyidikan harus ditemukan 2 (dua) dari 5 (lima) alat-alat bukti yang sah.
Perbuatan Terdakwa Joni Wijaya sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum telah terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak
pidana.Melepaskan Terdakwa tersebut dari segala tuntutan hukum.Jaksa Penuntut
Umum karena tidak terbukti dan salah dalam menerapkan hukum. Bahwa dengan
tidak terbuktinya unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 372 KUHP
tersebut, maka perbuatan terdakwa adalah bukan merupakan tindak pidana
melainkan perbuatan yang tunduk pada hukum keperdataan sebagai perbuatan
wanprestasi.

Alasan-alasan kasasi Penuntut Umum pada pokoknya tidak sependapat Judex


Facti dalam hal menyatakan perbuatan Terdakwa Joni Wijaya sebagaimana dalam
dakwaan telah terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak
pidana.Penuntut Umum berpendapat Terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 372 KUHP idana
dan Pasal 3 UU No. 8 tahun 2010. Alasan keberatan Penuntut Umum pada
pokoknya keberatan dengan alasan pertimbangan Judex Facti dalam melepaskan
Terdakwa dari segala tuntutan dengan menyatakan bahwa hubungan hukum
Terdakwa Joni Wijaya selaku Direktur PT. GIory Mitra Investex (selaku pembeli)
dengan saksi korban Gupta Yamin selaku penjual atas saham Exploitasi Energy
Indonesia, Tbk adalah hubungan hukum perdata yaitu perjanjian jual beli saham
secara REPO (Repurchase Agreement tertanggal 26 Desember 2016 keberatan ini
tidak dapat dibenarkan dengan alasan perbuatan yang dilakukan Terdakwa adalah
perbuatan pidana, sehingga dapat dibebani tanggung jawab pidana dan perdata.
Terdakwa Joni Wijaya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “ Penggelapan” dan tindak pidana “Pencucian Uang”.
Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Menetapkan masa
penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan. Berdasarkan tuntutan di atas penulis tidak setuju dengan tuntutan
yang diberikan Jaksa Penuntut Umum yaitu selama 8 tahun dan denda sebesar Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

C. Analisis Putusan

Leden Marpaung menyebutkan pengertian putusan pengadilan adalah hasil


atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan
semasak-masaknya yang berbentuk tertulis.

Seberat ataupun seringan apapun pidana yang dijatuhkan majelis hakim tidak
akan menjadi masalah selama tidak melibihi batas maksimum dan minimum
pemidanaan yang diancam oleh pasal dalam undang-undang tersebut.

Kemudian juga hakim harus mempertimbangkan dampak yang terjadi


terhadap yang Putusan hakim merupakan hasil dari kewenangan mengadili setiap
perkara yang ditangani dan didasari pada surat dakwaan dan fakta-fakta yang
terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang
jelas, termasuk didalmanya berat ringannya penerapan pidana penjara. Hal ini
sesuai dengan asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur pada Pasal 1
ayat (1) KUHP, yaitu hukum pidana harus bersumber pada undang-undang.
Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus mencerminkan rasa
keadilan dan dituntut untuk mempunyai keyakinan berdasarkan alat bukti yang
sah dan berdasarkan keadilan yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan
undang-undang yang mengatur dan menjadi dasar dari semua peraturan yang ada
dalam Republik Indonesia.
dilakukan oleh terdakwa, akan tetapi tidak mengenyampingkan prinsip keadilan
bagi terdakwa Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1491
K/Pid.Sus/2016, Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan kasasi dari
Penuntut Umum sudah tepat, karena dapat dilihat dalam pertimbangan sebagai
berikut:

1. Majelis Hakim dalam amar putusannya menyatakan perbuatan Terdakwa Joni


Wijaya sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum telah terbukti,
tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, namun di dalam
pertimbangan hukumnya Majelis Hakim tidak menguraikan unsurunsur tindak
pidana yang mana yang dijadikan dasar bahwa perkara tersebut adalah perkara
perdata dan bukan perkara pidana, lazimnya dalam sebuah pembuktian seharusnya
Majelis Hakim menguraikan unsur-unsur mana yang terpenuhi dan yang tidak
terpenuhi. Di dalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan perbuatan
Terdakwa Joni Wijaya sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum
telah terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Terdakwa
dengan dakwaan kumulatif yaitu tindak pidana Penggelapan (dakwaan Kesatu)
sebagaimana dalam Pasal 372 KUHP idana dan dakwaan Kedua yaitu Pasal 3 UU
No.8 Tahun 2010, dengan demikian maka jika mengacu pada bunyi amar putusan
tersebut, maka semua unsur tindak pidana baik yang didakwakan kepada
Terdakwa baik dakwaan Kesatu dan Dakwaan Kedua semuanya terpenuhi, namun
hal tersebut bukanlah merupakan tindak pidana tetapi perdata.

2. Majelis Hakim telah menyimpulkan di dalam pertimbangan hukumnya bahwa


perbuatan Terdakwa merupakan ruang lingkup perdata; Hal tersebut menurut
Penuntut Umum adalah keliru mengingat jangka waktu perjanjian tersebut belum
habis (360 hari), sehingga apa yang dilakukan oleh Terdakwa tidak dapat
dipersamakan dengan melanggar dalam konteks perbuatan melawan hukum
kontraktuil, namun menurut Penuntut Umum hal tersebut adalah perbuatan
melawan hukum dalam konteks pidana, karena Terdakwa tidak pernah meminta
izin terlebih dahulu terkait dengan isi perjanjian, sehingga hal tersebut adalah
pelanggaran hukum pidana.
3. Majelis Hakim dalam amar putusannya menyatakan perbuatan Terdakwa Joni
Wijaya sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum telah terbukti,
tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, namun di dalam
pertimbangan hukumnya Majelis Hakim tidak menguraikan unsurunsur tindak
pidana yang mana yang dijadikan dasar bahwa perkara tersebut adalah perkara
perdata dan bukan perkara pidana, lazimnya dalam sebuah pembuktian seharusnya
Majelis Hakim menguraikan unsur-unsur mana yang terpenuhi dan yang tidak
terpenuhi. Alasan-alasan kasasi Penuntut Umum pada pokoknya tidak sependapat
Majelis Hakim dalam hal menyatakan perbuatan Terdakwa Joni Wijaya
sebagaimana dalam dakwaan telah terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan
merupakan tindak pidana. Penuntut Umum berpendapat Terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 372
KUHP dan melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 2 ayat (1) huruf a UU No 8 tahun 2010
subsidair Pasal 4 Jo. Pasal 2 ayat (1) Huruf a UU No 8 tahun 2010 tentang
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

4. Majelis hakim telah keliru mengesampingkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum


yang telah disertai dengan bukti-bukti yang sah, dan menetapkan perbuatan
tersebut bukan merupakan tindak pidana, namun di dalam pertimbangan
hukumnya Majelis Hakim tidak menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang
mana yang dijadikan dasar bahwa perkara tersebut adalah perkara perdata dan
bukan perkara pidana, lazimnya dalam sebuah pembuktian seharusnya Majelis
Hakim menguraikan unsur-unsur mana yang terpenuhi dan yang tidak terpenuhi.

5. Majelis Hakim langsung menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh


Terdakwa masuk dalam ruang lingkup perdata, terhadap alasan yang ada di dalam
pertimbangan hukum tersebut Penuntut Umum tidak sependapat mengingat apa
yang dipersoalkan oleh Penuntut Umum di dalam surat dakwaannya khususnya
dakwaan Kesatu adalah penggelapan terhadap saham yang di jaminkan (saham
yang terpisah) dan bukan saham yang di-REPO-kan; Di dalam perjanjian REPO
antara korban (Gupta Yamin) dengan Terdakwa Joni Wijaya disebutkan bahwa
saham yang di REPO kan adalah bukan 45.977.012 lembar saham CNKO tbk
tetapi 22.988.506 lembar saham dengan nilai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) sedangkan yang 22.988.506 lembar saham hanya sebagai jaminan
jika terjadi penurunan nilai atas harga saham CNKO tersebut; Dengan demikian
maka Penuntut Umum berpendapat bahwa Terdakwa telah memiliki niat tidak
baik/niat jahat karena perjanjian REPO tersebut hanyalah sebagai modus untuk
mendapatkan keuntungan karena Terdakwa telah menjual seluruh saham baik
yang di REPO kan maupun yang hanya sebagai jaminan saja dengan nilai uang
yang ia terima dari hasil penjualan tersebut adalah Rp17.066.365.018 ,00
sebagaimana dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim, dengan demikian maka
Terdakwa mendapat keuntungan dalam waktu kurang dari seminggu, sehingga
tidaklah cukup beralasan kalau harga saham mengalami penurunan dan Terdakwa
dirugikan. Berdasarkan pertimbangan di atas majelis hakim Mahkamah Agung
berpendapat bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
673/Pid.B/2015/PN Jkt. Sel., tanggal 21 Januari 2016 tersebut, yang mengubah
putusan Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi /Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan tersebut. Membatalkan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 673/Pid.B/2015/PN Jkt. Sel., tanggal 21 Januari
2016 tersebut, dengan amar putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa Joni Wijaya telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “ Penggelapan” dan tindak pidana “Pencucian
Uang”;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan


seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Barang bukti berupa 1 (satu) bendel asli Surat Perjanjian Jual Beli dengan
kewajiban pembelian kembali (REPO) atas saham antara Gupta Yamin dan Joni
Wijaya PT. Glory Mitra Investex dengan No. 022/REPOCNKO/XII/2012 yang
ditandatangani sdr. Gupta Yamin selaku penjual dengan sdr. Joni Wijaya/PT.
Glory Mitra Investex selaku pembeli. 1 (satu) lembar asli Surat Transaksi REPO
Saham CNKO dengan Nomor 0022/REPO-CNKO/XII/2012 dengan nominal
Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) Gupta Yamin selaku penjual dengan
Joni Wijaya selaku pembeli,……dst.

Putusan Mahkamah Agung ini adalah sebuah putusan yang sangat bijaksana
dan mencerminkan keadilan, karena pertimbangan hukumnya tidak hanya
didasarkan pemenuhan unsur-unsur yuridis tetapi sekaligus memperhatikan fakta-
fakta yang menjadi kausalitas tindak pidana yang terjadi.Tampak disini bahwa
Mahkamah Agung telah melompat dari paradigma supremasi hukum (law
supremacy) kepada supremasi keadilan (justice supremacy) sebagai tujuan dari
hukum. Tidak ada alasan untuk menyatakan perbuatan Terdakwa wanprestasi
dalam pelaksanaan perjanjian REPO Saham Terdakwa mempunyai niat jahat dan
perbuatan melawan hak atau melawan hukum dilakukan dengan cara
mengalihkan, memindahtangankan atau menjual saham milik saksi korban Gupta
Yamin dari PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) tanpa persetujuan atau izin
dari Gupta Yamin, Terdakwa mempunyai kesalahan dengan sengaja sebagai niat
untuk menjual saham milik saksi korban yang telah di REPO Saham kepada
Terdakwa guna Putusan nomor 1491 K/Pid.Sus/2016, penulis sependapat dengan
Putusan Majelis Hakim yang menilai bahwa di antara dua dakwaan yang
didakwakan kepada Terdakwa, maka yang terbukti di depan persidangan adalah
Dakwaan Pertama yakni melanggar Pasal 372 KUHP, oleh karena unsur-unsur
dalam pasal inilah yang terbukti sebagai fakta di depan persidangan pengadilan,
sehingga tepatlah Amar/ Isi Putusan Majelis Hakim yang menyatakan Terdakwa
Joni Wijaya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “ Penggelapan” dan tindak pidana “Pencucian Uang”; Putusan nomor 1491
K/Pid.Sus/2016, proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Majelis
Hakim menurut penulis telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan
sesuai berdasarkan dengan alat bukti yang sah, dimana dalam kasus ini, alat bukti
yang digunakan oleh Hakim adalah keterangan terdakwa, keterangan saksi, dan
bukti berupa uang sejumlah Rp117.414.316 (seratus tujuh belas juta empat ratus
empat belas ribu tiga ratus enam belas rupiah); Dikembalikan kepada Antonius
Gunawan GHO. Kemudian mempertimbangkan tentang pertanggungjawaban atas
perbuatan yang dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada saat melakukan
perbuatannya itu, Terdakwa sadar akan akibat yang ditimbulkannya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam
dakwaan Kesatu Pasal 372 KUHP dan dakwaan Kedua Pasal 3 UU No. 8 Tahun
2010, oleh karena itu Terdakwa tersebut haruslah dijatuhi pidana; Menimbang,
bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penuntut Umum dan
membatalkan putusan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
673/Pid.B/2015/PN Jkt Sel , tanggal 21 Januari 2016. Disamping itu, Majelis
Hakim tidak melihat adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk menjadi
alasan penghapusan pidana terhadap perbuatan yang dilakukan terdakwa.Hal-hal
yang memberatkan yaitu perbuatan Terdakwa telah menimbulkan kerugian
finansial yang cukup besar terhadap saksi korban Gupta Yamin, hal-hal yang
meringankan Terdakwa Joni Wijaya belum pernah dihukum. Berkaitan dengan
perkara yang penulis bahas, maka penulis setuju dengan Putusan Majelis Hakim
yang menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa Joni Wijaya selama 8
(delapan) tahun dan denda Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsidair
kurungan selama 3 (tiga) bulan dengan perintah supaya Terdakwa segera ditahan,
hal ini mengacu pada hal-hal yang meringankan terdakwa seperti, terdakwa belum
pernah dihukum.

Berdasarkan putusan hakim tersebut di atas penulis setuju dengan putusan


majelis hakim tersebut, karena Terdakwa Joni Wijaya telah melanggar Pasal 372
KUHP dan Pasal 3 UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Putusan Mahkamah Agung ini adalah sebuah putusan yang sangat bijaksana
dan mencerminkan keadilan, karena pertimbangan hukumnya tidak hanya
didasarkan pemenuhan unsur-unsur yuridis tetapi sekaligus memperhatikan fakta-
fakta yang menjadi kausalitas tindak pidana yang terjadi.Tampak disini bahwa
Mahkamah Agung telah melompat dari paradigma supremasi hukum kepada
supremasi keadilan sebagai tujuan dari hukum.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, baik penelitian kepustakaan maupun penelitian


lapangan, serta analisis dan pembahasan yang telah penulis lakukan pada bab-bab
terdahulu, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap
permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Tindak pidana penggelapan diatur dalam BAB XXIV (Buku II) KUHP, yaitu
Pasal 372 yang berbunyi barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang
lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena
penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling
banyak sembilan ratus rupiah.

2. Tindak pidana pencucian uang diatur dalam Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 yang
berbunyi Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar
negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau
perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).

3. Penerapan hukum terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dan tindak


pidana pencucian uang (analisis putusan Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016), Terdakwa
Joni Wijaya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “ Penggelapan” dan tindak pidana “Pencucian Uang”, oleh karena itu
Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, dengan pidana penjara
selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Penulis setuju dengan
putusan yang diberikan oleh hakim hakim, karena Perbuatan Terdakwa Joni
Wijaya tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP
dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diancam pidana dalam Pasal 3 UU
No.8 Tahun 2010

B. Saran Setelah melakukan pembahasan dan memperoleh kesimpulan dalam


skripsi ini, maka saran-saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

1. Dengan adanya pengaturan hukum tindak pidana penggelapan diharapkan


kepada segenap aparat penegak hukum agar setiap pelaku kejahatan (khususnya
tindak pidana penggelapan) sekiranya ditindak dengan tegas dan dijatuhi sanksi
yang mampu membuat para pelaku kejahatan jera. Pemberiaan efek jera dan daya
cegah, dengan maksud bahwa melalui pemberian sanksi pidana yang tajam
diharapkan dapat memberikan efek prevensi general yaitu masyarakat akan
berusaha mentaati hukum karena takut akan sanksi pidananya, disamping adanya
efek jera bagi para terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi.

2. Diharapkan adanya pengaturan yang tegas di dalam undang-undang pencucian


uang bahwa apabila harta kekayaan tidak dapat dibuktikan hartanya tersebut
sebagai harta kekayaan yang diperoleh bukan berasal dari kejahatan ekonomi
sebagai tindak pidana asal, maka langsung dapat disita dan/atau langsung
dianggap terbukti berasal dari kejahatan.
3. Perlu ditetapkan suatu standar minimum pidana (standar pemidanaan) bagi
hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penggelapan dan
pencucian uang jika terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana itu,
sehingga didapat putusan pidana yang tepat dan adil, serasi/sesuai serta memenuhi
rasa keadilan bagi semua pihak, baik pelaku, korban, maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.

Amrullah, M. Arief. Tindak Pidana Money Laundering, Malang, Banyumedia

Publishing.,2010.

Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta, Raja Grafindo

Persada.2014.

Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, (Jakarta: Rineka Cipta,
1994

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2012

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.

Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,

Jilid 1, Jakarta, Pustaka Prestasi, 2011.

Hamzah, Andi.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2001
Husein, Yunus. Bunga Rampai Anti Pencucian Uang, Bandung, Books
Terrace&Library, 2007.

Lamintang P.A.F dan C.Djisman Samosir,Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang


Ditujukan Terhadap Hak Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik,
Bandung, Nuansa Aulia, 2010

Lamintang P.A.F dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan,


Bandung, Sinar Grafika, Cetakan ke-2, 2013.

Marpaung,.Laden, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Kedua, Jakarta,


Sinar Grafika, 1995.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Rineka Cipta, 2008

Muhammad, Rusli. Hukum Acara Pidana Kontenporer, Bandung, Citra Aditya

Bakti, 2007.

Nasution, Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia


Bandung,

BooksTerrace & Library, 2008.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung,

Aditama, 2012

Rameln, Annotated Money Laundering: Case Reports, Jakarta, Pustaka Juanda

T igalima & ELSDA Institute, 2008

Rusli, Effendy. Asas-asas Hukum Pidana, Ujung Pandang, LEPPEN-UMI, 2000

Siahaan, N.H.T. Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, cetakan pertama,

Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2002.

Soerodibroto, R. Soenarto. KUHP dan KUHAP, Edisi Kelima, Jakarta,

RajaGrafindo Persada, 2003

Sunarto, Kumanto. Pengantar Sosiologi, Jakarta, Akademika Presindo, 2000


Sunarto, Soerodibroto. KUHP dan KUHAP, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 200

Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger,

Likuidasi, Dan Kepailitan, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan


Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara


Pidana

Putusan Nomor 1491 K/Pid.Sus/2016.

Jurnal

Alkostar, Artidjo. Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam Hubungannya Dengan Predicate Crimes, JurnalMMH, Jilid 42 No. 1

Januari 2013.

Aprillani Arsyad, Analisis Yuridis Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencucian

Uang, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Jambi, Vol. 1 No. 1, 2014.

Garnasih, Yenti “Kebijakan Kriminalisasi dalam Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang, MIMBAR Hukum”, Vol. 19, Yogyakarta: 2007.

Haris.Budi Saiful Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),

Jurnal Integritas.Volume 2 Nomor 1 – Agustus 2016.

Massie, Mahendri. Tindak Pidana Penggelapan Dalam Menggunakan Jabatan

Berdasarkan Pasal 415 KUHP Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

Nurmalawaty, “Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang


(Money Laundering) dan Upaya Pencegahannya”, Jurnal Equality,
Volume

11 Nomor 1 Februari 2006

Anda mungkin juga menyukai