Anda di halaman 1dari 93

AKIBAT HUKUM PEMALSUAN IDENTITAS PADA WAKTU

BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN TERHADAP SUAMI DAN ISTRI

(Studi Putusan Pengadilan Agama Palembang

Nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Persyaratan Mengikuti Ujian Skripsi/Komprehensif

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Program Kekhususan Hukum

Perdata Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Oleh :

ANDINA ZISKA

02011181823087

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

PALEMBANG

2022
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA

NAMA : ANDINA ZISKA


NIM : 02011181823087
PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PERDATA

JUDUL
AKIBAT HUKUM PEMALSUAN IDENTITAS PADA WAKTU
BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN TERHADAP SUAMI DAN ISTRI
(Studi Putusan Pengadilan Agama Palembang
Nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg)

Telah diuji dan lulus dalam ujian komprehensif pada tanggal 19 Mei 2022 dan
dinyatakan memenuhi syarat memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Program
Studi Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya

Palembang, Mei 2022

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Pembantu,

Muhammad Rasyid, S.H.,M.Hum. Dian Afrilia, S.H.,M.H.


NIP. 196404141990011001 NIP. 198204132015042003

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya

Dr. Febrian, S.H., M.S.


NIP. 196201311989031001

ii
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama Mahasiswa : Andina Ziska
Nomor Induk Mahasiswa : 02011181823087
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 18 Oktober 2000
Fakultas : Hukum
Strata Pendidikan : S1
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan/Bagian : Hukum Perdata

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini tidak memuat bahan-bahan yang
sebelumnya telah diajukan untuk memperoleh gelar di Perguruan Tinggi manapun
tanpa mencantumkan sumbernya. Skripsi ini juga tidak memuat bahan-bahan yang
sebelumnya telah dipublikasikan atau ditulis oleh siapapun tanpa mencantumkan
sumbernya dalam teks.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Apabila terbukti
saya telah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan pernyataan ini, saya
bersedia menanggung segala akibat yang timbul dikemudian hari sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Palembang, Mei 2022


Yang menyatakan,

Andina Ziska
NIM. 02011181823087

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila

kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh

(urusan yang lain)”.

-Q.S Al-Insyirah 6-7

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

1. Orang tua ku

2. Keluargaku

3. Teman-temanku

4. Alamamaterku

iv
KATA PENGANTAR

Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah


memberikan kesempatan, kekuatan dan kesehatan serta atas segala berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul: Akibat
Hukum Pemalsuan Identitas Pada Waktu Berlangsungnya Perkawinan
Terhadap Suami dan Istri (Studi Putusan Pengadilan Agama Palembang
Nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg). Penulisan skripsi ini ditulis dalam rangka
untuk memenuhi syarat ujian skripsi/komprehensif guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada program kekhususan/bagian hukum perdata Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya.
Kelancaran penulisan skripsi ini selain atas limpahan karunia dari Allah
SWT., juga atas dukungan orang tua, pembimbing dan juga teman-teman baik
moril maupun spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini. Penulis berharap skripsi ini nantinya dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya.
Akhir kata semoga Allah SWT. senantiasa memberkahi dan melindungi
serta merahmati kita semua hingga akhir zaman. Aamiin Ya Rabbalalamiin

Wassalam’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Palembang, Mei 2022

Penulis

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul: Akibat Hukum Pemalsuan Identitas Pada Waktu Berlangsungnya

Perkawinan Terhadap Suami dan Istri (Studi Putusan Pengadilan Agama

Palembang Nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg). Dalam penulisan skripsi ini

penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Sehubungan hal tersebut

pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Anis Saggaff, MSCE, selaku Rektor Universitas

Sriwijaya;

2. Bapak Dr. Febrian, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya;

3. Bapak Dr. Mada Apriandi, S.H., M.CL. selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sriwijaya;

4. Bapak Dr. Ridwan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sriwijaya;

5. Bapak Drs. H. Murzal, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sriwijaya;

6. Bapak Muhammad Rasyid, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing

Utama yang banyak membantu dan bersedia membimbing saya tanpa lelah

serta memberikan nasehat yang memotivasi, membangun dan pengarahan

sampai penulisan skripsi ini selesai;

vi
7. Ibu Dian Afrilia, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Pembantu yang

membimbing saya tanpa lelah serta memberikan nasehat, masukan

penulisan, mengingatkan saya selalu dan mengarahkan sampai penulisan

skripsi ini selesai;

8. Bapak Dr. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.Hum. selaku Ketua Jurusan

Studi Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya;

9. Bapak Dr. H. KN. Sofyan Hasan, S.H., M.H. selaku Pembimbing

Akademik penulis yang telah membimbing dan mengarahkan penulis

selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya;

10. Ibu Indah Febriani, S.H., M.H. selaku Pembimbing Kuliah Kerja

Lapangan yang telah membimbing penulis selama KKL;

11. Segala perjuangan saya hingga titik ini saya persembahkan untuk dua

orang paling berharga dalam hidup saya yaitu untuk kedua orang tua saya.

Saya tidak mungkin bisa sekuat dan sejauh ini tanpa doa dan ridho orang

tua saya;

12. Terimakasih untuk kakak-kakak tersayang kak ade, kak ariq, kak ina, kak

ica, kak yugo, yuk dida dan adik terkasih mia yang selama ini sudah

menghibur dan memberikan semangat serta support dikala berjuang

dengan skripsi;

13. Terimakasih juga untuk keluarga besar, terima kasih atas segala doa, ridho

dan dukungan yang telah diberikan;

14. Terimakasih support system orang terdekat yang selalu menemani,

menerima keluh kesah dan memberi saran yaitu mifta, kiky, kemala,

vii
monica, anin. Mereka juga yang menjadi saksi bisu disaat tertawa,

menangis, dan overthinking saat penulisan skripsi ini;

15. Sahabat seperjuangan di masa kuliah, puti, dira, wawa, mirza, kemala,

monica yang menghibur dan sangat membantu dalam melengkapi materi

selama perkuliahan ini sampai penyelesaian skripsi ini;

16. Sahabat- sahabat lama ku, jian, adel, nurul, fahlevi, dandy yang tak henti

memberikan semangat dan dukungan;

17. Seluruh dosen, tenaga pengajar dan staf Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis

selama proses perkuliahan;

18. Teman-teman satu Angkatan 2018 Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberi semangat, doa dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis,

Andina Ziska

NIM. 02011181823087

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN...............................................................................................i

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN...........................................ii

SURAT PERNYATAAN......................................................................................iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN.......................................................................iv

KATA PENGANTAR............................................................................................v

UCAPAN TERIMA KASIH................................................................................vi

DAFTAR ISI.........................................................................................................ix

ABSTRAK.............................................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................2

A. Latar Belakang...........................................................................................2

B. Rumusan Masalah...................................................................................10

C. Tujuan Penelitian.....................................................................................11

D. Manfaat Penelitian...................................................................................11

E. Ruang Lingkup Penelitian......................................................................12

F. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual......................................12


1. Teori Kepastian Hukum......................................................................13
2 . Teori Perlindungan Hukum...............................................................14
3 . Teori Pertimbangan Hakim...............................................................14

G. Metode Penelitian.....................................................................................16
1. Jenis Penelitian...................................................................................16
2. Pendekatan Penelitian.......................................................................17
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum.....................................................17

ix
4. Teknik Analisis Bahan Hukum.........................................................19
5. Teknik Penarikan Kesimpulan.........................................................19

BAB II TINJAU PUSTAKA...............................................................................20

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan...................................................20


1. Pengertian tentang Perkawinan.......................................................20
2. Asas-Asas Perkawinan.......................................................................23
3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan...........................................26
4. Syarat-syarat Perkawinan.................................................................27
5. Akibat Hukum Perkawinan..............................................................29
6. Putusnya Perkawinan........................................................................30

B. Tinjauan Umum Tentang Identitas........................................................31


1. Pengertian Identitas...........................................................................31
2. Dasar Hukum Identitas.....................................................................32
3. Perubahan Identitas...........................................................................34
4. Akibat Hukum Merubah Identitas...................................................35

C. Tinjauan Umum Tentang Pemalsuan Identias.....................................37


1. Pengertian Pemalsuan Identitas.......................................................37
2. Jenis-Jenis Pemalsuan.......................................................................40
3. Akibat Hukum Pemalsuan Identitas................................................42

BAB III PEMBAHASAN....................................................................................46

A. Akibat Hukum Pemalsuan Identitas Terhadap Perkawinan Yang


Telah Berlangsung...................................................................................46

B. Status Hukum Selama Perkawinan Terjadi Dengan Pemalsuan


Identitas....................................................................................................61

BAB IV PENUTUPAN........................................................................................71

A. Kesimpulan...............................................................................................71

B. Saran.........................................................................................................72

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................73

x
ABSTRAK

Penulisan skripsi ini membahas tentang Akibat Hukum Pemalsuan Identitas Pada Waktu
Berlangsungnya Perkawinan Terhadap Suami dan Istri (Studi Putusan Pengadilan Agama
Palembang Nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg)” penelitian ini membahas bagaimana akibat
hukum bagi para pihak yang melalukan tindakan pemalsuan identitas saat berlangsungnya
perkawinan berdasarkan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Studi Putusan
Pengadilan Agama Palembang nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg) , Permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini adalah: 1.Apa akibat hukum dari pemalsuan identitas
terhadap perkawinan yang telah berlangsung . 2.Bagaimana status hukum selama
perkawinan tersebut terjadi dengan pemalsuan identitas tersebut, Adapun metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah metode penelitian hukum
normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Teknik
pengumpulan bahan hukum studi kepustakaan, Adapun analisis dalam penulisan ini 1.
akibat hukum bagi para pihak yang memalsukan identitas saat perkawian maka dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan bagi pihak yang berkepentingan yang
mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan, 2.Status hukum yang
diakibatkan pemalsuan identitas perkawinan berdasarkan putusan nomor
1873/Pdt.G/2020/PA.Plg batal demi hukum dan dianggap tidak pernah terjadi.
Kesimpulan dari penelitian skripsi ini yaitu akibat hukum dari pemalsuan identitas
perkawinan dapat dibatalkan apabila melanggar rukun dan syarat perkawinan berdasarkan
UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan status hukum perkawinan akibat
pemalsuan identitas dapat diajukan pembatalan perkawinan, dengan demikian diperlukan
adanya peraturan perundang-undangan yang lebih rinci terkait untuk melindungi korban
dari pemalsuan identitas dalam perkawinan. Agar terciptnya Kepastian Hukum.

Kata Kunci : Perkawinan , Pemalsuan Identitas, Pembatalan Perkawinan

Pembimbing Utama, Pembimbing Pembantu,

Muhammad Rasyid, S.H.,M.Hum. Dian Afrilia, S.H.,M.H.


NIP. 196404141990011001 NIP. 198204132015042003

Mengetahui,
Ketua Bagian Hukum Perdata

Dr. Muhammad Syaifuddin, S.H.,M.Hum.


NIP. 197307281998021001

xi
xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah suatu lembaga dalam kehidupan sosial yang di

dalamnya mengandung ajaran-ajaran religius, moral, dan hukum. Suatu analisis

dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang

mengutip pendapat dari Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang

suci dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan

seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni,

kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.1

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang amat penting dalam

kehidupa manusia, perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan

yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai

kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Manusia sebagai

makhluk Tuhan yang mempunyai derajat yang paling tinggi dibandingkan

dengan makhluk lainnya dalam kehidupannya memiliki kebutuhan biologis

yang merupakan tuntutan naluriah. Pergaulan hidup rumah tangga di bina

dalam suasana damai, tentram dan rasa kasih sayang antara suami istri.

Perkawinan juga menjadi tujuan untuk mendapatkan keturunan yang

sehat jasmani, rohani dan mampu menjadi generasi penerus yang tangguh.

1
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hlm. 1.
1
Organisasi keluarga yang dibentuk dengan melalui perkawinan adalah

merupakan inti dari organisasi bernegara. Kehidupan yang bahagia tentram dan

damai akan dapat menciptakan ketenangan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.2

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan telah ditentukan pengertian perkawinan yaitu, “ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.” Suatu perkawinan yang dilakukan orang islam adalah sah apabila

mengikuti ajaran islam.

Hilangnya nilai sakral suatu perkawinan dapat dimungkinkan karena

menipisnya moralitas masyarakat ataupun karena tingkat pemahaman dan

pendidikan agama yang masih rendah. Nilai sakral suatu perkawinan dapat

dilihat dari sudut agama maupun sudut adat budaya. Sehingga apabila norma-

norma agama telah dilanggar yang berarti secara baik secara langsung maupun

tidak langsung menurunnya masyarakat terhadap kesucian lembaga

perkawinan. Sedangkan rendahnya tingkat pendidikan terutama pendidikan

agama yang berarti rendah pula tingkat pemahaman akan hakekat suatu

perkawinan tampak dari kenyataan banyaknya perceraian yang terjadi pada

pasangan usia muda.3

Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan adalah

2
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, 1986 hlm. 227.
3
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, 2006, Jakarta. hlm.
51.
2
3

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, maka

perkawinan benar-benar diakui sah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan agamanya dan kepercayaannya. Ketentuan untuk melaksanakan

perkawinan berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya,

sesuai dengan perumusan pada Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang dimaksud

dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk

ketentuan peraturan perundangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain

dalam Undang-Undang ini .

Perkawinan bertujuan bukan saja untuk hidup dalam pergaulan yang

sempurna dalam mengatur rumah tangga yang diliputi oleh rasa kasih sayang

dan rasa saling cinta mencintai, dan yang utama sebagai suatu tali hubungan

yang amat kokoh dalam memperkuat tali persaudaraan antara kaum kerabat si

suami dan kaum kerabat si isteri.Perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci

mengharuskan terpenuhinya berbagai syarat untuk dapat dilaksanakannya.

Syarat-syarat tersebut merupakan suatu batasan-batasan agar perkawinan

dilangsungkan dengan tujuan yang sungguh-sungguh sehingga tidak

disalahgunakan untuk tujuan-tujuan lain yang bisa mengotori hakekat lembaga

perkawinan yang suci. Apabila syarat-syarat perkawinan ternyata tidak

terpenuhi maka suatu perkawinan yang telah terjadi dimohonkan


4

pembatalannya.4

Pada zaman sekarang ini, pembinaan perkawinan sungguh menghadapi

banyak hambatan dan tantangan. Keharmonisan keluarga dituntut untuk

menjamin keutuhan dan kebahagiaan anggotanya serta keberhasilan

pembangunan bangsa dan negara. Budaya asing dan arus informasi teknologi

yang demikian pesat dengan mudah masuk ke rumah-rumah tanpa permisi.

Pengaruh negatif dari keadaan seperti ini akan melanda siapa saja yang lemah

iman dan kurang perhitungan tidak terkecuali seorang suami maupun istri.

Apapun permasalahan dalam perkawinan semuanya memerluka solusi hukum

yang seadil-adilnya. Kehancuran keluarga pada hakekatnya merupakan

kegagalan lembaga-lembaga pembinaan keluarga dalam menjalankan

perannya.5

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 38 sebab-

sebab putusnya perkawinan karena kematian, perceraian, dan karena putusan

Pengadilan. Perceraian pada hakekatnya suatu hal yang sangat tidak disukai

oleh Allah SWT. Namun demikian apabila antara suami istri tidak mungkin lagi

mempertahankan hubungan perkawinan maka salah satu jalan adalah harus

berpisah.

Berdasarkan perspektif Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 70

putusnya tali perkawinandapat dimungkinkan juga karena perkawinan atau

‘batal demi hukum’ hal ini berbeda dengan arti pembatalan perkawinan, dimana

batalnya perkawinan disebabkan karena adanya pelanggaran terhadap larangan


4
Afdol, Legislasi Hukum Islam Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya,
Cet I, 2006, hlm. 83.
5
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 8.
5

perkawinan, sedang larangan itu menunjukkan rusak atau batalnya sesuatu yang

dilarang. Batal yaitu “rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan

seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang

telah ditetapkan oleh syara”. Selain tidak memenuhi syarat dan rukun, juga

perbuatan itu dilarang atau diharamkan oleh agama.

Dimana ‘batal’ menurut Pasal 70 KHI adalah sebagai berikut:

1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad

nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu

dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i.

2. Seseorang yang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya.

3. Seseorang menikahi istri yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya,

kecuali bilabekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang

kemudian cerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis

masa iddahnya.

4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan

darah, semenda, dan susuan sampai derajat tertentu yang menghalangi

perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Jadi, secara umum, batalnya perkawinan yaitu “rusak atau tidak sahnya

perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau salah satu rukunnya,

atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh agama”.6

Pembatalan perkawinan dapat terjadi karena adanya keputusan dari

Pengadilan, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama. Putusnya

6
Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan
Indonesia, Airlangga University Press, 1986, hlm. 38.
6

perkawinan atas dasar putusan Pengadilan ini dapat terjadi karena permohonan

pembatalan perkawinan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan

atau dirugikan akibat adanya perkawinan tersebut. Adanya kerugian yang

diderita oleh salah satu pihak berarti perkawinan yang telah terjalin itu

mengandung kekurangan syarat-syaratnya.7

Dalam melangsungkan suatu perkawinan sebelum akad terjadi menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 22,

seharusnya diteliti dengan cermat terlebih dahulu syarat dan rukun perkawinan,

baik yang ditentukan oleh agama maupun Undang-Undang Perkawinan. Kalau

ternyata syarat dan rukun perkawinan tersebut belum lengkap atau diketahui

ada penghalangperkawinan, maka pelaksanaan akad perkawinan wajib dicegah.

Bahkan apabila perkawinan tersebut sudah terlaksana dapat diajukan

pembatalan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 syarat-syarat

perkawinan adalah8:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai

Persetujuan yang diberikan oleh kedua mempelai adalah merupakan

salah satu syarat yang penting, karena perkawinan merupakan suatu ikatan lahir

dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk

kehidupan rumah tangga yang kekal dan abadi. Apabila perkawinan tidak

didasari atas persetujuan kedua mempelai, maka dapat dikatakan perkawinan

7
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Ctk. Ketiga, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2008, hlm.141.
8
Idha Aprilyana Sembiring, Berbagai Faktor Penyebab Poligami Di Kalangan Pelaku
Poligami Di Kota Medan, Jurnal Equality, 2007, hlm. 51.
7

tersebut berlangsung dengan keterpaksaan. Kondisi keterpaksaan yang ada pada

hati seorang calon mempelai jelas dapat mempengaruhi rasa keikhlasan, rasa

memiliki, dan rasa tanggung jawab pihak tersebut dalam mengarungi bahtera

rumah tangga. Sehingga Undang-Undang Pokok Perkawinan memberikan hak

kepada pihak yang merasa tertekan atas dilangsungkannya perkawinan itu

untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

2. Dipenuhinya batasan umur

Batasan umur yang ditentukan oleh Undang-Undang Pokok Perkawinan

adalah 19 tahun untuk calon mempelai pria dan 16 tahun untuk calon mempelai

wanita.Batasan tersebut pada hakekatnya bertujuan agar suami istri yang

menjalin hubungan rumah tangga tersebut betul-betul telah dewasa baik

fisiknya maupun mentalnya. Jika ternyata calon mempelai yang akan

melangsungkan perkawinan tersebut belum dewasa, maka atas perkawinan

tersebut dapat diajukan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan.

3. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.

Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehedaknya, maka izin cukup

diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu

menyatakan kehendaknya.

4. Tidak melanggar larangan-larangan perkawinan

Larangan-larangan yang ditentukan menurut Undang-Undang adalah

sebagai batasan agar perkawinan tersebut tidak melanggar etika yang ada dalam
8

masyarakat, serta menghormati ajaran agama calon mempelai yang

bersangkutan.

Apabila suami istri yang menjalin hubungan ternyata di kemudian hari

diketahui bahwa syarat-syarat untuk perkawinan yang mengikat mereka

ternyata tidak lengkap maka salah satu pihak ataupun pihak lain yang

berkepentingan dengan perkawinan tersebut dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 23.9

Pembatalan perkawinan akibat tidak dipenuhinya syarat-syarat

perkawinan dapat diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana

perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal suami istri, suami atau istri.

Putusan Pengadilan tentang pembatalan perkawinan harus diusahakan agar

tidak merugikan pihak-pihak yang beritikad baik. Perlindungan tersebut

diberikan kepada anak-anak yang lahir dalam perkawinan itu serta kepada

pihak ketiga yang telah memperoleh hak dari adanya perkawinan.10

Khusus dalam hubungan suami istri, seorang suami atau istri dapat

mengajukan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilangsungkan

dibawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu

berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Tetapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak

adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih

tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk
9
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 92.
10
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung,
2003, hlm. 10.
9

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, maka haknya itu gugur.

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah

hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan atau ditempat tinggal suami

istri.

Saat ini tidak jarang diketahui seorang laki-laki yang telah memiliki istri

dapat menghalalkan segala cara agar dapat menikahi perempuan lain termasuk

melakukan pemalsuan identitas dan terbebas dari pandangan buruk dari

masyarakat tanpa adanya predikat poligami. Hal tersebut disebabkan oleh

adanya pandangan masyarakat tentang negatifnya poligami dan sulitnya

penyelesaian masalah poligami.11

Berdasarkan pra Riset yang penulis temukan, di Palembang terdapat

kasus pembatalan perkawinan dengan alasan pemalsuan identitas yakni di

Pengadilan Agama Palembang. Berdasarkan pada perkara Nomor 1873

/Pdt.G/2020/PA.Plg yang terjadi di Pengadilan Agama Palembang dikarenakan

pihak suami melakukan pemalsuan identitas mengenai pengakuan statusnya

yang belum pernah melakukan perkawinan dan tidak ada izin dari istri pertama

dan izin dari Pengadilan, pihak suami tanpa sepengetahuan telah melakukan

perkawinan untuk kedua kalinya..12

Di dalam perkawinan apabila terjadinya pemalsuan identitas maka itu

akan berdampak pada timbulnya pembatalan perkawinan, ini karena unsur

penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri sebagaimana yang

telah diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
11
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta:
Liberti, 1986, hlm 8.
12
Arso Sastroatmojo, Hukum Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, 2008, hlm 2.
10

pasal 72 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyatakan bahwa

seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah

sangka mengenai diri suami atau isteri.

Tujuan suatu proses di muka pengadilan adalah untuk mendapatkan

penentuan bagaimanakah hukumnya sesuatu kasus, yaitu bagaimanakah hubungan

hukum antara dua pihak yang berperkara itu direalisasi, bila perlu dengan

pelaksanaan (eksekusi) paksa. Dengan demikian, hak-hak dan kewajiban yang

diberikan oleh hukum materiil yang diputuskan atau ditetapkan oleh pengadilan

itu dapat jalan atau diwujudkan. Apabila perkawinan telah dilangsungkan,

sedangkan calon mempelai atau salah satu calon mempelai tidak memenuhi syarat

perkawinan, maka orang tua, keluarga, PPN (Pegawai Pengadilan Negeri) dan

jaksa dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan kepada Pengadilan

Agama. Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih

dalam mengenai perkara pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas

dalam perkawinan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka penulis

mengemukakakan masalah sebagai berikut :

1. Apa akibat hukum dari pemalsuan identitas terhadap perkawinan yang

telah berlangsung ?

2. Bagaimana status hukum selama perkawinan tersebut terjadi dengan

pemalsuan identitas tersebut ? 


11

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilakukannya penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui akibat hukum dari pemalsuan identitas terhadap

perkawinan yang telah berlangsung.

2. Untuk mengetahui status hukum selama perkawinan tersebut terjadi

dengan pemalsuan identitas tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat

yang bersifat teoritis dan praktis yang dapat diambil dalam penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas

mengenai akibat hukum dari pemalsuan identitas terhadap

perkawinan yang telah berlangsung.

b. Penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi peningkatan dan pengembangan Hukum Perdata

pada umumnya dan khususnya di bidang Hukum Perkawinan. Agar

menambah ilmu pengetahuan penulis dan masyarakat serta dapat

dijadikan sebagai sumber kepustakaan dalam penelitian sesuai

dengan kajian penelitian yang bersangkutan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman hukum dan

memberikan kontribusi praktis, sehingga dapat menjadi acuan praktis bagi


12

para akademisi, praktisi-praktisi, serta pihak-pihak yang terkait dalam

menelaah mengenai akibat hukum dari pemalsuan identitas terhadap

perkawinan yang telah berlangsung. Penulis mengharapkan nantinya hasil

dari penelitian ini dapat memberikan informasi serta jawaban dari

permasalahan yang penulis teliti.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penulisan skripsi dengan judul “Akibat Hukum Pemalsuan Identitas

Pada Waktu Berlangsungnya Perkawinan Terhadap Suami Dan Istri” ini

memiliki ruang lingkup akan membatasi ruang lingkup penelitian dengan

menitikberatkan pada permasalahan, yaitu tentang akibat hukum pemalsuan

identitas pada waktu berlangsungnya perkawinan dan status hukum

perkawinan sebelum adanya akibat hukum dari pemalsuan identitas tersebut.

F. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teori adalah salah satu komponen penting dalam sebuah

penulisan karya tulis ilmiah atau skripsi yang berisi kerangka pemikiran, teori

atau definisi-definisi tertentu dalam suatu kasus atau permasalahan hukum

yang dijadikan bahan perbandingan. Adapun tujuan utama dari adanya

kerangka teori ini adalah untuk memperdalam ilmu pengetahuan serta

memperatajam konsep penilitian.


13

Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, untuk menjawab permaslahan

hukum yang penulis angkat, maka penulis menggunakan beberapa teori untuk

menganalisis yaitu antara lain :

1. Teori Kepastian Hukum

Menurut E. Utrecht, kepastian hukum memiliki dua

pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum

membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak

boleh dilakukan dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. 13

Teori Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu

peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur

secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan

keragu-raguan dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem

norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau

menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum menunjuk kepada

pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen

yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-

keadaan yang sifatnya subjektif.

13
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999,
hlm 23.
14

2 . Teori Perlindungan Hukum

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum ialah

memberikan pengayoman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan ini diberikan agar

masyarakat dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum. Hukum juga dapat digunakan dalam mewujudkan

perlindungan yang bersifat prediktif dan antisipatif, tidak hanya

adaptif dan fleksibel. Hukum dibutuhkan bagi mereka yang lemah

dan belum kuat secara sosial, ekonomi serta politik untuk

memperoleh keadilan sosial.14

Sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul

dari penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan

Hukum bisa berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum

agar tidak ditafsirkan berbeda dan tidak cederai oleh aparat

penegak hukum.15

3. Teori Pertimbangan Hakim

Pertimbangan Hakim dalam mewujudkan keadilan dan

mengandung kepastian hukum merupakan hal terpenting bagi para

pihak (ex aquo et bono) . Adapun di dalam perdata, terdapat dua

pertimbangan hakim yaitu sebagai berikut :

i. Pertimbangan tentang hukumnya (rechtsgronden)

14
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. hlm 55.
15
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. Hlm
38.
15

Pertimbangan ini ialah yang menjadi dasar

pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan

berdasar pada teori dan hasil penelitian yang berkaitan.

Untuk mencapai kepastian hukum tersebut, melalui putusan

para penegak hukum kehakiman melalui putusannya dapat

dijadikan tolak ukur keberhasilan tercapainya kepastian

hukum.

Putusan hakim bisa juga diartikan sebagai bentuk akhir

dari persidangan yang diputus oleh Majelis Hakim yang

memiliki kewenangan dalam sidang pengadilan yang terbuka

untuk umum.

ii. Pertimbangan tentang duduk perkara atau peristiwa

(feitlijke gronden)

Pertimbangan ini ialah pertimbangan yang hanya

menyebutkan apa yang terjadi di depan Pengadilan.

Adapun menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan

suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

Sarana dalam perlindungan hukum terbagi atas dua hal

sebagai berikut:

1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah


16

dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya

pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan

perundang-undangan dengan maksud untuk

mencegah suatu pelanggaran serta memberikan

rambu-rambu atau batasan-batasan dalam

melakukan sutu kewajiban.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan

perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda,

penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan

apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan

suatu pelanggaran.16

G. Metode Penelitian

Metode penelitian dalam penulisan karya tulis ilmiah/skripsi ini adalah :

1. Jenis Penelitian

Jenis penilitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini

termasuk penelitian hukum normatif. Penelitian Hukum Normatif atau

juga disebut dengan Penelitian Hukum Kepustakaan adalah suatu

metode atau cara yang digunakan dalam penelitian hukum dengan

meneliti bahan pustaka yang ada.17

16
https://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/.“Pengertian
Perlindungan Hukum Menurut Para Ahli”. diakses tanggal 13 Oktober 2021 Pukul 08.00.
17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan ke-11, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm 13-14.
17

Penelitian hukum normatif mengkaji dari berbagai macam aspek

seperti teori-teori hukum dan menelaah peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia yang berkaitan dalam menjawab

permasalahan dalam penelitian.

2. Pendekatan Penelitian

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, penelitian ini

menggunakan beberapa pendekatan yaitu :

a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan perundang-undangan adalah suatu pendekatan

yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.

b. Pendekatan Analisis (Analytical Approach)

Pendekatan Analisis digunakan untuk mengetahui makna

yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam

peraturan perundang-undangan secara konsepsional. Dalam

pendekatan analisis akan menganalisis pengertian hukum, asas

hukum, kaidah hukum, system hukum dan berbagai konsep yuridis.

3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian skripsi ini terdiri dari :

1). Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki


18

keterkaitan yang erat dengan objek atau permasalahan yang akan

diteliti, meliputi :

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)

b) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

c) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

d) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang terdiri

dari beberapa literatur seperti bahan ajar hukum, buku-buku hukum

yang terkait dengan penulisan karya tulis ilmiah, tesis, putusan

pengadilan dan jurnal hukum. Bahan hukum sekunder berfungsi

untuk memberikan arahan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

Dalam penulisan skrpsi ini penulis menggunakan buku-

buku, jurnal hukum, data dari internet, putusan pengadilan.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan yang digunakan

sebagai petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, yaitu :

a) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


19

b) Kamus Hukum

c) Kamus Bahasa Inggris

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Pada teknis analisis bahan hukum yang penulis gunakan adalah

dengan metode analisis kualitatif, yaitu dengan menguraikan

secara deskriptif dari data-data baik data primer maupun data

sekunder yang telah penulis kumpulkan. Metode deskriptif

kualitatif ini fungsinya agar penulis dapat memahami serta

menginterpretasikan fenomena-fenomena yang terjadi atau yang

sedang berlangsung.

5. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan akan dilakukan setelah penulis selesai

melakukan penelitian dengan cara menyusun data berdasarkan

tujuan dilakukannya penelitian yang nantinya dapat menjawab

permasalahan yang telah diangkat dalam penelitian ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan

1. Pengertian tentang Perkawinan

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut

bahasa berati mem-bentuk keluarga dengan lawan jenis,

melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Berasal dari kata

an-nikah yang menurut bahasa berarti mengumpulkan, saling

memasukkan, dan wathi atau bersetubuh.18 Sedangkan menurut

Sayid Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang

berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan

maupun tumbuhan”.19 Pengaturan mengenai perkawinan ini

diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dan diatur juga dalam Instruksi Presiden Nomor 1

tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Pengertian

perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1

Tahun1974 Tentang Perkawinan adalah sebagai berikut:

“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”

18
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media
Group, 2003 hlm. 8.
19
Ibid, hlm10.
20
21

Menurut pengertian perkawinan diatas, perkawinan

adalah suatu akad yang secara keseluruhan aspeknya dikandung

dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan seremonial

yang sakral.20 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan di atas, Hilman Hadikusumo menguraikan bahwa

sendi-sendi dan unsur-unsur utama dari perkawinan adalah

sebagai berikut:21

a. Perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dengan

seorang wanita. Artinya Undang-Undang Perkawinan menutup

kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antara orang-orang yang

berjenis kelamin sama meskipun dalam Pasal 8 dari Undang-Undang

Perkawinan, yang mengatur mengenai larangan perkawinan, tidak

dicantumkan secara eksplisit tentang larangan perkawinan sesama jenis.

b. Perkawinan harus dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan

yang berlaku di Indonesia. Keabsahan perkawinan hanya terjadi jika

memenuhi syarat formil dan materil berserta prosedur dan tata cara yang

ditentukan oleh Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya.

c. Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama. Agama merupakan

sendi utama kehidupan bernegara di Indonesia.

Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang

Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik.

20
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap),
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 8.
21
Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1990,
hlm. 7.
22

Perkawinan bukan saja terjadi di kalangan manusia, tetapi juga

terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena itu

manusia adalah hewan yang berakal, maka perkawinan

merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti

perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana,

sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern)

budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.22

Untuk memelihara serta melindungi hak dan kewajiban

yang muncul akibat terjadinya perkawinan agar menjadi

keluarga yang kekal dan bahagia maka dibentuklah suatu

peraturan yang dibuat sedemikian rupa agar tercapainya suatu

tujuan dilaksanakannya perkawinan. Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan sebuah Undang-

undang yang mempunyai keistimewaan, ia mengatur seluruh

anggota masyarakat yang telah menginjak dewasa yang akan

melangsungkan perkawinan.23

Pengertian perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi


Hukum Islam, adalah sebagai berikut:

“Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang


sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.”

22
Santoso, Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam
dan Hukum Adat dimuat pada jurnal YUDISIA UNISSULA Semarang Vol. 7, No. 2, Desember
2016, hlm. 76
23
Moh Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan, Jakarta:
Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002, hlm. 21.
23

Makna dari perkawinan menurut Kompilasi Hukum

Islam tersebut menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu

ikrar/perjanjian yang kokoh antara pria dan wanita yang apabila

dilaksanakan sama saja dengan menjalankan ibadah Allah SWT.

Hukum Islam memberikan pengertian perkawinan sebagai suatu

akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin

antara lelaki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta

kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.24

Perkawinan merupakan perbuatan ibadah dalam kategori ibadah

umum, dengan demikian dalam melaksanakan perkawinan harus

diketahui dan dilaksanakan aturan-aturan perkawinan dalam

Hukum Islam.25

2. Asas-Asas Perkawinan

Asas-asas perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 diantaranya sebagai berikut:

a. Asas Sukarela

Menurut Mohammad Daud Ali, tidak hanya harus

terdapat pada kedua calon mempelai, tetapi juga harus terdapat

pada kesukarelaan kedua orang tua masing-masing calon

mempelai.26 Kesukarelaan kedua wali pihak perempuan adalah


24
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia,1978, hlm.11.
25
Abd. Shomad, Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia”,
Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 275.
26
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
24

merupakan unsur penting, karena wali nikah merupakan salah

satu rukun perkawinan yang wajib dipenuhi, sebagaimana

ditentuan dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang

menentukan rukun nikah terdiri atas calon suami, calon istri,

wali nikah, dua orang saksi lelaki, dan ijab kabul, jo. Pasal 19

sampai dengan Pasal 23 KHI yang menentukan tentang wali

nikah. Perkawinan yang akan di laksanakan haruslah

berdasarkan oleh persetujuan kedua calon mempelai. Orang tua

dilarang memaksa anak-anaknya untuk dijodohkan dengan pria

atau wanita pilihan dari orang tuanya tersebut, melainkan orang

tua di harapkan membimbing dan menuntun agar dapat memilih

pasangan yang cocok sesuai dengan agama yang mereka anut.

b. Asas Partisipasi Keluarga

Perkawinan harus seizin dari orang tua, bukan melainkan

perkawinan diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua atau

keluarga. Apabila orang tua telah tiada maka izin untuk

melangsungkan perkawinan dapat di minta oleh wali pengampu

atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis

lurus ke atas.

c. Asas Perceraian dipersulit

Perceraian yang dilakukan tanpa kendali dan sewenang-

wenang akan mengakibatkan kehancuran, bukan saja kepada


Indonesia, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2005, hlm.
25

suami isteri akan tetapi juga kepada anak-anak yang semestinya

harus diasuh dan dipelihara dengan baik. Oleh karena itu

pasangan yang telah menikah harus mempertanggung jawabkan

dan membina keluarga agar perkawinan yang telah di

langsungkan tidak runtuh sampai akhir hayat.27

d. Asas Monogami (poligami dipersulit dan diperketat)

Undang-Undang Perkawinan menganut Asas Monogami,

yakni Asas yang hanya memperbolehkan seseorang laki-laki

mempunyai satu isteri dan seorang wanita boleh mempunyai

seorang suami. Namun pada bagian lain dinyatakan bahwa

dalam keadaan tertentu poligami dibenarkan atau diperbolehkan.

Untuk melangsungkan perkawinan kedua, ketiga dan paling

banyak empat orang istri sebagaimana ditentukan dalam surah

an-Nisaa (4) ayat 3. Kebolehan melakukan poligami bagi suami

adalah “pintu darurat” karena poligami dalam Hukum

Perkawinan Islam bukanlah asas. Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 65 juncto

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Kompilasi

Hukum Islam telah mengatur tentang syarat alternatif dan syarat

komulatif bagi suami yang akan melakukan poligami. Walaupun

tidak dilarang, tetapi dengan syarat yang cukup ketat, baik syarat

27
Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 47.
26

materiil, formil, dan syarat-syarat khusus yang berlaku bagi yang

akan melangsungkan pernikahan lebih dari satu (berpoligami).28

e. Asas Kematangan calon mempelai

Dalam perkawinan yang perlu diperhatikan bukan saja

kematangan fisik dan psikologi saja akan tetapi juga faktor

sosial, khususnya kematangan sosial ekonomi. Seseorang yang

telah berani membentuk rumah tangga berarti berani pula untuk

menghidupi anak dan isterinya.

f. Asas Memperbaiki dan Meningkatkan Derajat Kaum Wanita

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia

dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual

dan material. Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa

sesungguhnya sebuah rumah tangga mencerminkan suasana

tentram, damai, dan penuh kebahagiaan. Namun dalam

kenyataannya terdapat kondisi yang sebaliknya, karena

kebahagiaan dan keharmonisan rumah tagga terkoyak oleh

adanya tindakan kekerasan.

Sebelum adanya Undang-undang yang mengkhususkan tentang perkawinan

banyak para suami yang memperlakukan isterinya dengan sewenang-wenang dari

28
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 26, (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm. 23.
27

mula yang kekerasan dalam rumah tangga, menceraikan, serta beristeri tanpa

sepengetahuan sang isteri terlebih dahulu.29

g. Asas Legalitas

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya

dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kebidupan

seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam

surat-surat keterangan suatu akta yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan. Bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila

dilakukan menurut Hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya yang di anutnya dan perkawinan tersebut dicatat

menurut Undang-undang yang berlaku. Untuk menjamin

kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-

undang ini berlaku menurut hukum yang telah ada adalah sah.

Hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu

termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

golongan agamanya dan kepercayaannya sepanjang tidak

bertentangan atau tidak ditentukan dalam Undang-undang lain.30

3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan

Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu

sendiri, apabila rukun perkawinan tidak terpenuhi maka

29
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, cet. 5,
(Bandung: Alumni, 1986), hlm. 13.
30
Sri Soedewi M. Sofwan, Hukum Badan Pribadi, (Jogjakarta: Yayasan Gajah Mada,
1975), hlm. 55.
28

perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Sedangkan syarat

perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu

perkawinan, tetapi syarat bukanlah inti/hakekat dari perkawinan.

Rukun perkawinan menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam,

adalah sebagai berikut:

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul

Menurut Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, disebutkan

bahwa, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.” Menurut uraian

Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan telah dianggap sah

apabila suatu perkawinan telah dilakukan sesuai dengan Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Adapun

mengenai syarat sah nya perkawinan menurut Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ditegaskan dalam

Pasal 2 ayat (1) dan (2), yang dirumuskan sebagai berikut:31

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu;

31
A. Damanhuri HR, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung
: Mandar Maju, 2007), hlm. 27.
29

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

4. Syarat-syarat Perkawinan

Mengenai syarat-syarat untuk dilangsungkannya suatu

perkawinan menurut Pasal 6 Undang-undang Nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan adalah dirumuskan sebagai berikut:

a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

b. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

c. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

d. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan

dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

e. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara

mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah

hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas


30

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

f. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Syarat-syarat calon suami adalah:32

a. Tidak dalam keadaan ihrom, meskipun diwakilkan.

b. Kehendak sendiri

c. Mengetahui nama, nasab, orang, serta keberadaan wanita yang akan

dinikahi.

d. Jelas laki-laki

Syarat-syarat calon istri:

a. Tidak dalam keadaan ihrom

b. Tidak bersuami

c. Tidak dalam keadaan iddah (masa penantian)

d. Wanita.

5. Akibat Hukum Perkawinan

Akibat Hukum perkawinan dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 diantaranya sebagai berikut:33

32
EM. Yusmar, Wanita dan Nikah Menurut Urgensinya, Kediri: Pustaka Azm, 2006,
hlm. 16.
33
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm. 8.
31

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan

mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

b. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah

sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki

oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama yang bersangkutan

mengizinkannya,seorang suami daat beristri dengan lebih dari seorang

istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan,

hanya dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu

dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri harus telah

masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada

perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluaga yang bahagia

kekal dan sejahtera, maka undnag-undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar terjadinya perceraian.

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan


32

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga

dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.34

6. Putusnya Perkawinan

Perkawinan merupakan penyatuan 2 (dua) jiwa lain jenis

menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menuju kesempurnaan

hidup. Maka perkawinan adalah suatu perjanjian suci untuk

hidup bersama sebagai suami-istri, tetapi kehidupan bersama ini

tidak semudah seperti yang dibayangkan, karena adakalanya

perkawinan yang tadinya berjalan baik, penuh keharmonisan di

dalam suatu rumah tangga, bisa saja tiba-tiba muncul kesuraman

dalam kehidupan berumah tangga tersebut.35

Perceraian pada dasarnya tidak dilarang apabila alasan-

alasan perceraian tersebut berdasarkan atas ketentuan-ketentuan

yang mengatur, yaitu berdasarkan Undang-undang Perkawinan.

Walaupun perceraian tidak dilarang, akan tetapi itu merupakan

sesuatu yang paling dibenci oleh Tuhan. Akibat yang paling

pokok dari putusnya hubungan perkawinan adalah masalah

hubungan suami-istri, pembagian harta bersama, nafkah dan

pemeliharaan bagi kelangsungan hidup anak-anak mereka.

B. Tinjauan Umum Tentang Identitas

34
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), hlm. 89.
35
Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung: PT. Citra Aditya, 1994),
hlm. 9.
33

1. Pengertian Identitas

Identitas adalah ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang

atau jati diri. Secara psikologis, definisi identitas diri secara

umum adalah sebuah kelanjutan menjadi seseorang yang tunggal

dan pribadi yang sama, yang dikenali oleh orang lain. Dalam

perspektif psikologi kepribadian, identitas diri merupakan suatu

konsep yang digunakan untuk membedakan individu satu

dengan individu lainnya. Dengan demikian, identitas diri adalah

suatu pengertian yang mengacu pada identitas spesifik dari

individu. Identitas diri bisa disebut kesadaran diri sendiri yang

bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa

dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang

utuh. Dalam perspektif psikologi sosial, identitas diri merupakan

ide mengenai image yang dimiliki seseorang.

Menurut Erikson, identitas diri berarti perasaan dapat

berfungsi sebagai seseorang yang berdiri sendiri tetapi yang

berhubungan erat dengan orang lain. Ini berarti menjadi seorang

dari kelompok tetapi sekaligus memiliki ciri-ciri yang berbeda

dengan kelompok yang merupakan kekhususan dari individu itu.

Identitas diri yang seseorang berupa usaha untuk menjelaskan

siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat.36

2. Dasar Hukum Identitas

36
H. Abdul Manan, Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama, Mimbar Hukum, No.
33, Tahun VIII, 1997, hlm. 59.
34

Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil adalah

rangkaian kegiatan penataan dan penertiban dalam penerbitan

dokumen dan data kependudukan melalui Pendaftaran

Penduduk, Pencatatan Sipil, pengelolaan informasi Administrasi

Kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan

publik dan pembangunan sektor lain. Pencatatan Sipil adalah

pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh seseorang dalam

register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana (Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan).

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 berkewajiban

memberikan perlindungan dan pengakuan status hukum atas

Peristiwa Kependudukan maupun Peristiwa Penting yang

dialami Penduduk di dalam dan/atau di luar wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Peristiwa Kependudukan antara

lain perubahan alamat, pindah datang untuk menetap, tinggal

terbatas, serta perubahan status orang asing tinggal terbatas

menjadi tinggal tetap. Peristiwa Penting antara lain kelahiran,

lahir mati, kematian, perkawinan, dan perceraian, termasuk

pengangkatan, pengakuan, dan pengesahan anak, serta

perubahan status kewarganegaraan dan ganti nama merupakan


35

kejadian yang harus dilaporkan karena membawa implikasi

perubahan data identitas atau surat keterangan kependudukan.

Untuk itu, setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting

memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian

dan pencatatan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.37

Kependudukan sebenarnya merupakan basis utama dan

fokus dari segala persoalan pembangunan. Hampir semua

kegiatan pembangunan, baik yang bersifat sektoral maupun

lintas sektor, terarah dan terkait dengan Penduduk, atau dengan

kata lain Penduduk harus menjadi subjek sekaligus objek

pembangunan. Kemudahan bagi Penduduk untuk memperoleh

akses pelayanan bidang kependudukan dan Pencatatan Sipil

merupakan salah satu indikator keberhasilan Pemerintah dalam

memberikan perlindungan hukum kepada warganya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2006 Tentang Administrasi Kependudukan, yang merupakan

penjabaran amanat Pasal 26 Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945,

bertujuan untuk mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan

serta keabsahan dan kebenaran atas Dokumen Kependudukan

yang diterbitkan. Dari sisi kepentingan Penduduk, Administrasi

Kependudukan memberikan pemenuhan hak-hak administratif,

seperti pelayanan publik serta perlindungan yang berkenaan

37
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXIX, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001),
hlm. 42.
36

dengan Dokumen Kependudukan untuk semua masyarakat tanpa

kecuali.38

3. Perubahan Identitas

Di Indonesia pergantian identitas disebut juga dengan

peristiwa penting yang mana dasar hukumnya yakni Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Adapun yang dimaksud dengan peristiwa

penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi

kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian,

pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak,

perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan.

Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 17 UU

Administrasi Kependudukan.

Nantinya, Pejabat Pencatatan Sipil-lah melakukan

pencatatan Peristiwa Penting yang dialami seseorang pada

Instansi Pelaksana yang pengangkatannya sesuai dengan

ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka 16 UU

Adminduk). Dalam Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk diatur

bahwa pencatatan peristiwa penting lainnya dilakukan oleh

Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang

bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang

38
P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan,
1999), hlm. 51-54.
37

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.26 Sebagai tindak

lanjut dari aturan dalam UU Adminduk telah diterbitkan

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008

tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan

Pencatatan Sipil.39

4. Akibat Hukum Merubah Identitas

Mendapatkan data diri atau status pribadi merupakan hal

yang sangat penting bagi warga negara. Administrasi

kependudukan diarahkan untuk:40

a. Memenuhi hak asasi setiap orang di bidang administrasi kependudukan

tanpa diskriminasi dengan pelayanan publik yang profesional

b. Meningkatkan kesadaran penduduk akan kewajiban untuk berperan serta

dalam pelaksanaan administrasi kependudukan

c. Memenuhi data statistik secara nasional mengenai peristiwa kependudukan

dan peristiwa penting

d. Mendukung perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan secara

nasional, regional serta lokal

e. Mendukung pembangunan sistem administrasi kependudukan.

Sedangkan penyelenggaraan Administrasi Kependudukan bertujuan untuk:

39
C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata, cet. 1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm.
109.
40
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Centre Publishing, 2002), hlm. 46.
38

a. Memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen

penduduk untuk setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting

yang dialami oleh penduduk.

b. Memberikan perlindungan status hak sipil penduduk

c. Menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil pada berbagai tingkatan secara

akurat, lengkap, mutakhir dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi

perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya.

d. Mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional dan

terpadu

e. Menyediakan data penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor

terkait dalam penyelengaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan,

dan kemasyarakatan.

Administrasi kependudukan setiap warganegara atau

penduduk mempunyai hak untuk memperoleh:41

a. Dokumen kependudukan;

b. Pelayanan yang sama dalam pendaftaran kependudukan danpencatatan

sipil;

c. Perlindungan atas data pribadi;

d. Kepastian hukum atas kepemilikan dokumen;

e. Informasi mengenai data hasil pendaftaran kependudukan dan pencatatan

sipil atas dirinya dan/atau keluarganya;

41
Hazairin., S. H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm. 189.
39

f. Ganti rugi dan pemulihan nama baik sebagai akibat kesalahan dalam

pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil serta penyalahgunaan data

pribadi oleh instansi pelaksana.

Kewajiban yang dimiliki warganegara atau penduduk

dalam sistem administrasi kependudukan adalah setiap

penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan

peristiwa penting yang dialaminya kepada instansi pelaksana.

Sebab, setiap kejadian atau peristiwa penting yang dialaminya

seperti kelahiran, kematian dana perkawinan, akan membawa

akibat terhadap penertiban atau perubahan Kartu Keluarga (KK),

Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan/atau surat keterangan

kependudukan lain yang meliputi pindah datang, perubahan

alamat, atau status.

Dokumen kependudukan adalah dokumen resmi yang

diterbitkan oleh instansi pelaksana yang mempunyai kekuatan

hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari

pelayanan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Menurut

pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Kependudukan,

Dokumen Kependudukan meliputi:

a. Biodata Penduduk

b. Kartu Keluarga

c. Kartu Tanda Penduduk

d. Surat Keterangan Kependudukan, dan


40

e. Akta Pencatatan Sipil

C. Tinjauan Umum Tentang Pemalsuan Identias

1. Pengertian Pemalsuan Identitas

Pemalsuan berasal dari kata palsu yang dalam Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya adalah tiruan.

Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru benda,

statistik, atau dokumen dokumen, dengan maksud menipu.

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran norma

yaitu kebenaran atau kepercayaan dan ketertiban masyarakat.

Kejahatan mengenai pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di

dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu

atas sesuatu (objek) yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-

olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan

yang sebenarnya. Palsu artinya tidak benar atau bertentangan

dengan keadaan yang sebenarnya. Perbuatan pemalsuan

merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar:42

a. Kebenaran (kepercayaan) yang pelanggarannya dapat tergolong dalam

kejahatan penipuan;

b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggarannya tergolong dalam kejahatan

penipuan.

42
Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, (Bandung: Binacipta,
1987), hlm. 6.
41

Pemalsuan adalah salah satu teknik dari kejahatan

penipuan sehingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan.

Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan

apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu atas

barang seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya

atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya. Karena gambaran data

ini orang lain mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan

atas barang/surat/data tersebut adalah benar atau asli. Pemalsuan

tulisan/data terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar.

Salah satu bentuk pemalsuan adalah pemalsuan identitas.

Dimana pengertian identitas dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) adalah ciri-ciri atau keadaan khusus

seorang/jati diri.54 Pemlasuan identitas atau biasa disebut

dengan manipulasi identitas terdiri dari dua suku kata yakni

manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata serapan

yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “manipulation” yang

berarti “penyalahgunaan atau penyelewengan.

Penjelasan mengenai pemalsuan identitas pada bagian

pertama diatas dapat kita simpulkan bahwa pemalsuan identitas

atau manipulasi identitas dalam perkawinan adalah upaya

penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang

untuk memalsukan data-data baik berupa status, tanda-tanda,

ciri-ciri maupun keadaan khusus seseorang atau jati diri yang


42

dinilai sebagai tindak pidana berupa kebohongan kepada pejabat

negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan perkawinan.

Manipulasi dapat terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah

manaipulasi nama, usia, alamat, agama bahkan status.43

Pemalsuan identitas tidak akan terjadi apabila

perkawinan dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang

berlaku. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang

dilakukan antara pria dan wanita yang sama akidah, akhlak dan

tujuannya, disamping cinta dan ketulusan hati. Di bawah

naungan keterpaduan itu , kehidupan suami isteri akan tentram,

penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia dan anak-

anak akan sejahtera. Jika agama keduanya berbeda, maka akan

timbul berbagai kesulitan dalam keluarga dan dalam proses

perizinan penikahannya akan dipersulit. Selain itu pula akan

menemukan kesulitan dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan

anak, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain- lain.

Perkawinan yang dilakukan oleh seorang sehingga

perkawinan itu menjadi tidak sah kerena sengaja melakukan

kesalahan memberikan keterangan palsu, persaksian palsu, surat-

surat palsu atau lain-lain yang tidak sesuai dengan ketentuan

ketentuan yang berlaku, maka perkawinan yang seperti itu wajib

dibatalkan. Jika perkawinan yang dilaksanakan itu belum

43
H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 66-67.
43

menjadi persetubuhan, maka isteri tersebut tidak wajib ber-

iddah, orang melaksanakan perkawinan itu dipandang bersalah

dan berdosa, dapat dikenakan tuntutan pidana, persetubuhan

dianggap perzinahan dan nasib anak yang dilahirkan tidak dapat

dipertalikan kepada ayahnya, hanya dipertalikan kepada

ibunya.44

Pemalsuan identitas atau penyalahgunaan kartu pengenal

ini dapat saja terjadi, karena pada saat ini sudah terlalu banyak

pemohon KTP, Akta Kelahiran, ataupun kartu pengenal lainnya.

Tujuan kejelasan identitas adalah adanya kejelasan hukum

terhadap orang atau individu demi menjaga hak dan

kewajibannya dalam hukum dan juga sebagai perlindungan

terhadap individu maka dibutuhkan identitas yang jelas yang

mana identitas tersebut dicatatkan dalam dokumen

kependudukan. Kompilasi Hukum Islam melalui Pasal 12 ayat

(2) mengemukakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan tidak

hanya salah sangka mengenai diri suami atau istri tetapi juga

termasuk penipuan. Penipuan tidak dilakukan oleh pihak pria

saja, tetapi juga dilakukan oleh pihak wanita.

2. Jenis-Jenis Pemalsuan

Kejahatan mengenai pemalsuan adalah berupa kejahatan

yang didalamnya mengandung unsur ketidak benaran atau palsu


44
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975, (Medan: CV Zahir Trading, 1975),
hlm. 71.
44

atas sesuatu objek yang tampak seolah-olah benar adanya

padahal sesungguhnya tidak benar. Perbuatan pemalsuan dapat

digolongkan pertama-tama dalam kelompok kejahatan

“Penipuan”. Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan

penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang

sesuatu keadaan atas barang (surat) seakan-akan asli atau benar,

sedangkan sesungguhnya keaslian atau kebenaran tersebut tidak

demikian benar. Karena gambaran orang lain terpedaya bahwa

keadaan yang di gambarkan tas barang atau surat tersebut adalah

benar atau asli.45

Kejahatan pemalsuan dikelompokan menjadi 4 golongan,

yaitu :

a. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX)

b. Kejahatan pemalsuan uang (Bab X)

c. Kejahatan pemalsuan materi dan merek (Bab XI)

d. Kejahatan pemalsuan surat (Bab XII)

Perihal tindak pidana pemalsuan diatur dalam bab XII

KUHP dengan titel memalsukan surat-surat. Tindak pidana yang

dirumuskan sebagai membuat surat palsu atau memalsukan surat

yang dapat menerbitkan suatu hak atau suatu perikatan atau surat

suatu pembebasan dari utang atau surat-surat yang diajukan

untuk membuktikan suatu kejadian, dengan tujuan dan maksud

45
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,
Universitas Gajah Mada Tahun 1955, hlm. 13.
45

untuk memakai surat itu asli dan tidak palsu, dan pemakaian itu

dapat menimbulkan kerugian, sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 263 ayat (1) KUHP. Didalam surat terkandung arti atau

makna tertentu dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus

dilindungi.46

Pemalsuan sangat beragam bentuknya, salah satunya

adalah pemalsuan identitas. Dalam hal ini kejahatan pemalsuan

identitas yang dimaksud penulis adalah kejahatan pemalsuan

dalam perkawinan. Pengaturan pemalsuan identitas dalam

perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana

diatur dalam pasal 266 yang merupakan yang mengatur tentang

pemalsuan identitas, walaupu tidak secara tegas dituliskan

bentuk pemalsuannya adalah dalam hal identitas dalam

perkawinan dan pemalsuan, namun demikian identitas yang

dimaksud tersebut di tuliskan dalam suatu akta otentik sehingga

menjadi bagian dari pasal ini. Dalam hal pemalsuan identitas

dalam perkawinan ini, dimana seseorang yang mempunyai

tujuan tertentu yang secara ilegal akan menggunakan segala

macam cara atau membuat identitas palsu.

3. Akibat Hukum Pemalsuan Identitas

Akibat hukum pemalsuan identitas berdasarkan Pasal 72

ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa :


46
Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hlm. 31.
46

“Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan

terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.”

Adapun menurut H. Abdul Manan, pemalsuan identitas

ialah termasuk salah satu bentuk penipuan, contohnya mengaku

bahwa dirinya perjaka namun ternyata telah menikah. Suami

ataupun istri dapat melakukan penipuan tersebut. Pemalsuan

identitas merupakan tindakan yang melawan hukum.47

Pemalsuan yang dilakukan tersebut membuat perkawinan yang

telah dilangsungkan dianggap tidak sah sebagaimana dalam

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 56 KHI.

Hal ini juga tidak sesuai dengan aturan hukum yang telah diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga

perbuatan ini termasuk dalam tindak pidana perkawinan.

Sebagaimana yang tertera pada Pasal 279 KUHP yang

menyatakan :

“(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 5

(lima) tahun :

1. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada

menjadi penghalang yang sah untuk itu;


47
Merdi Aditya Putra, Iga Pricillia, Hika Deriya Putra, “Perlindungan Hukum Akibat
Pembatalan Perkawinan Terhadap Suami Yang Berpoligami Dengan Pemalsuan Identitas”,
Indonesian Notary. Vol. 3 No. 2, 2021, hlm. 238.
47

2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa

perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi

penghalang untuk itu.

(2) Jika yang melakukan perbuatan berdasarkan ayat 1 butir 1

menyembunyikan kepada pihak lain bahwa perkawinan yang telah ada

menjadi panghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara

paling lama 7 tahun.”

R. Soesilo berpendapat bahwa seseorang dapat

dijatuhkan pidana apabila orang tersebut mengetahui bahwa ia

dulu pernah kawin dan perkawinan tersebut masih belum

dilepaskan atau belum terjadi perceraian. 48 Pemalsuan identitas

ini juga dapat dikenakan dengan Pasal 263 KUHP :

“(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang

dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau

yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud

untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-

olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut

dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana

penjara paling lama 6 tahun.

(2)Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja

memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika

pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”49


48
Ibid., hlm. 240.
49
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Moeljatno (Jakarta : Bumi
48

Pemalsuan identitas memang tidak diatur secara khusus

pada Pasal 263 KUHP, akan tetapi karena pemalsuan identitas

tersebut dapat menimbulkan kerugian maka dapat dikenakan

ketentuan dalam Pasal 263 KUHP. Perbuatan pemalsuan

identitas ini merupakan kejahatan dalam lapangan hukum

perdata yang diakhiri dengan hukum pidana. Diatur di dalam

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi

Kependudukan Pasal 94, yaitu :

“Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau

melakukan manipulasi data Kependudukan dan/atau elemen data

Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).

Aksara, 2014), Ps. 279.


BAB III

PEMBAHASAN

A. Akibat Hukum Pemalsuan Identitas Terhadap Perkawinan Yang

Telah Berlangsung

Prinsip yang terkandung di dalam Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 telah diwujudkan pada dasarnya di Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana sudah mencakup segala kenyataan

hidup dan mengiringi perkembangan zaman yang terus bergulir.50 Pada

kenyataannya masyarakat menganggap syarat-syarat dan prinsip yang ada

dalam undang-undang itu mempersulit, sehingga tidak sedikit seorang suami

yang ingin memiliki istri atau kawin lagi dengan cara tidak jujur dan

sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan istri sahnya. Tidak jujur tersebut

dilakukan dengan cara pemalsuan identitas, salah satu pemalsuan identitas

tersebut ialah terkait statusnya.51 Laki-laki atau suami yang ingin memiliki

istri lagi akan mengaku sebagai perjaka kepada petugas pencatat akta nikah,

padahal ia sudah berstatus suami orang dan terikat perkawinan. Hal ini tidak

sesuai dengan pernyataan bahwa seseorang yang masih terikat perkawinan

tidak dapat kawin lagi, kecuali bagi suami mendapat izin dari pengadilan.

50
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung,
2003, hlm. 10.
51
Vika Mega Hardhani dan Mulyadi, Yunanto, Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan
Karena Pemalsuan Identitas (Studi Kasus Putusan Nomor : 615/Pdt.G/2014/PA.SMG, Diponegoro
Law Journal, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Vol. 5, No. 3, 2016, hlm. 7.

46
47

Peristiwa pemalsuan identitas ini membuat salah satu pihak yang dirugikan

dan merusak keharmonisan keluarga.52

Akibat hukum dari adanya pemalsuan identitas pada saat

berlangsungnya perkawinan adalah pembatalan perkawinan sehingga

perkawinan menjadi tidak sah lagi. Hal ini diatur dalam Hukum Perdata

(Burgerlijk Wetboek) pada Bagian 6 Buku I tentang batalnya perkawinan.

Adapun alasan-alasan suatu perkawinan dapat dibatalkan sebagai berikut :

a. Karena adanya perkawinan rangkap (poligami);

b. Karena tidak adanya persetujuan yang bebas diantara para pihak;

c. Karena salah satu pihak dianggap tidak cakap melakukan

perbuatan hukum;

d. Karena salah satu pihak atau masing-masing pihak belum

mencapai umur yang ditentukan menurut Undang-Undang dan

belum mendapat izin;

e. Karena adanya larangan perkawinan;

f. Karena perkawinan yang dilangsungkan akibat dari suatu

hubungan zina;

g. Karena tidak adanya izin dari pihak yang berkepentingan, antara

lain orang tua dan wali.53

Sebagaimana yang diatur pada pasal 22 Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa :

52
Ibid, hlm. 7.
53
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek) dengan tambahan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria,
Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 46.
48

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi


syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”

Syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan itu berdasarkan KUH

Perdata ada 2 (dua) yaitu syarat materiil dan syarat formil. Dimana syarat

materiil dirinci lagi menjadi syarat materiil absolut (syarat inti mutlak) dan

syarat materiil relatif (syarat inti nisbi).

Syarat materiil absolut (syarat inti mutlak), adalah syarat untuk

perkawinan pada umumnya, sebagai berikut :”54

1. Monogami, ialah dimana seorang lelaki hanya boleh terikat

perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan perempuan juga

hanya dengan satu orang lelaki saja [Pasal 27 KUH Perdata].

2. Persetujuan dari kedua mempelai [Pasal 6 ayat (1)].

3. Izin dari kedua orangtua mempelai [Pasal 6 ayat (2)].

4. Minimal batas usia yang diizinkan jika pihak pria dan pihak wanita

sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun[Pasal 7 ayat (1)].55

5. Berlaku jangka waktu tunggu untuk wanita yang putus perkawinannya

[Pasal 11]. Seorang wanita barulah dapat melangsungkan perkawinan

baru setelah melewati jangka waktu yang diatur dalam Pasal 39 PP No.

9 Tahun 1975.”

Syarat materiil relatif, ialah ketentuan larangan bagi seseorang untuk

kawin dengan orang-orang tertentu, yaitu :”56

54
Pasal 6, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
55
Pasal 7 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
56
Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan
49

1. Larangan kawin dengan keluarga sedarah atau sesuai yang diatur

[Pasal 30 dan 31 KUH Perdata];

2. Larangan kawin dengan orang yang pernah menjadi pasangan zina

atau mereka yang melakukan overspel [Pasal 32 KUH Perdata];

3. Larangan memperbaharui perkawinan setelah perceraian sebelum

lewat 1 tahun [Pasal 33 KUH Perdata]”.

Syarat formil, yaitu syarat yang berkaitan dengan prosedur yang

bersifat administratif. Syarat formil untuk hal-hal yang harus dipenuhi

sebelum perkawinan, yaitu :”

1. Kedua mempelai harus memberitahukan kepada Pegawai Catatan

Sipil terkait maksud kawin tersebut [Pasal 50 & 51 KUH Perdata]

baik secara lisan ataupun tertulis.

2. Pengumuman tentang maksud kawin tersebut [Pasal 52 KUH

Perdata].”

Syarat formil yang harus dipenuhi bersamaan atau pada saat proses

perkawinan berlangsung ialah :

1. Akta kelahiran atau akta pengenal;

2. Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari mereka yang harus

memberi izin.

3. Jika untuk kedua kalinya perkawinan, harus ada akta cerai atau akta

kematian atau izin dari Pengadilan dalam hal salah satu pihak

dahulu tidak hadir.

Keluarga di Indonesia, cet. 1, Rizkita, Jakarta, 2002, hlm. 13.


50

4. Bukti telah dilakukan pengumuman tentang maksud kawin dan

tidak ada pencegahan.

5. Diperlukan dispensasi untuk kawin.

Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan Pengadilan yang

menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah,

akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Pasal 22 -

Pasal 28 UU Perkawinan mengatur mengenai batalnya suatu perkawinan. Hal

ini dimaksudkan untuk menjaga kemungkinan disalahgunakannya pembatalan

perkawinan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Jadi instansi

pemerintah atau lembaga lain di luar Pengadilan atau siapapun juga tidak

berwenang untuk menyatakan batalnya suatu perkawinan.57

Adapun Pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan

yaitu Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya

perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri (Pasal 25

Undang-Undang Perkawinan). Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan

Agama bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi yang

lainnya (Pasal 63 ayat (1) Undang-undang Perkawinan). Peradilan agama

adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam yang mencari

keadilan di Pengadilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem

peradilan di Indonesia. Pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan terdapat kata “dapat dibatalkan” , sehingga dalam

Penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dinyatakan bahwa pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan boleh batal atau
57
Muhamad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta: 2017, hlm. 4.
51

tidak boleh batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-

masing tidak menentukan lain. Kata “batal” ini memiliki beberapa definisi

tentang batal (nietig) itu sendiri. Batal itu tidak ada kekuatan (nietig zonder

krach) dan tidak ada nilai (zonder waarde). Dapat dibatalkan itu sendiri ialah

nietig verklaard, serta pembatalan mutlak ialah absolute nietig.58 Dapat

dibatalkan dalam undang-undang ini berarti dapat difasihkan jadi relative

nietig. Adanya perkawinan yang telah dilangsungkan dapat dibatalkan

dikarenakan ada pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.59

Jadi tegasnya Pengadilan dalam memutus permohonan pembatalan

perkawinan ini harus selalu memperhatikan ketentuan agamanya dari mereka

yang perkawinannya dimintakan pembatalannya. Bagaimanapun jika menurut

ketentuan agama perkawinan itu sebagai sah, Pengadilan tidak dapat

membatalkan perkawinan itu.60

Perkawinan dapat dikatakan sah, apabila telah memenuhi syarat dan

rukun perkawinan. Sehubungan dengan sahnya perkawinan, apabila di

kemudian hari ditemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan,

maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan

ikatan perkawinan yang telah ada menjadi putus. Hal ini berarti bahwa

perkawinan tersebut dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah ada, dan suami

58
Khairuddin, Djoko Budiarto,dan Erizal, Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan
Pembatalan Perkawinan (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Yogyakarta), Jurnal Widya Pranata
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram, Vol. 4, No. 1, Februari, 2022, hlm. 87.
59
Ibid
60
Harsanto Nursadi, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta, 2009, hlm.
17.
52

istri yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai

suami istri.

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat dan

rukunnya. Syarat yang dimaksudkan tidak terbatas pada syarat menurut

hukum agama, tetapi juga syarat yang ditentukan oleh undang-undang,

sementara tidak terpenuhinya syarat yang diatur oleh undang-undang tidaklah

berarti perkawinannya tidak sah menurut hukum agama. Apabila ada

penghalang perkawinan maka harus dicegah. Bahkan jika perkawinan

terlanjur telah dilaksanakan dapat diajukan pembatalannya. Jadi, apabila

suami melakukan perkawinan lagi dengan pihak lain tanpa seizin dan

sepengetahuan istri, atau istri melakukan perkawinan karena dipaksa atau

dibawah ancaman, atau suami ternyata telah memalsukan identitasnya, atau

perkawinan tidak memenuhi syarat perkawinan, maka dapat diajukan

permohonan pembatalan perkawinan.61

Sebagai perbandingan, ketentuan dalam Pasal 85 KUH Perdata

menyatakan bahwa :

“Batalnya suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh Hakim.”

Pembatalan perkawinan karena dilanggarnya beberapa ketentuan dalam KUH


Perdata dapat diminta, baik oleh suami istri sendiri, maupun oleh orang tua
mereka atau kaum keluarga sedarah dalam garis ke atas ataupun dari semua
orang yang berkepentingan dengan itu. Pasal 86 jo Pasal 27 KUH Perdata
menjelaskan bahwa pihak yang berhak menuntut kebatalan adalah:”
a. Suami atau isteri dari perkawinan pertama;
61
Faisal Amrullah, Kebijakan Umum dalam Politik Perundang-Undangan di Indonesia,
Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Sriwijaya, Volume VIII, Nomor 2, Juni,
2010, hlm. 41.
53

b. Suami atau isteri dari perkawinan kedua;

c. Sanak keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas;

d. Mereka yang berkepentingan

e. Kejaksaan.”

Salah satu perkara pembatalan perkawinan dalam tingkat pertama

yang terjadi dan sudah memiliki kekuatan hukum tetap adalah perkara pada

putusan nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg. Pengadilan Agama Palembang

memutuskan untuk membatalkan perkawinan yang telah dilangsungkan

karena pihak suami yang telah melakukan pemalsuan identitas statusnya,

yang ternyata masih suami orang. Dimana hal tersebut tidak memenuhi salah

satu syarat-syarat perkawinan. Syarat perkawinan yang dimaksud ialah untuk

melangsungkan perkawinan yaitu tidak terikat perkawinan dengan orang lain.

Oleh sebab itu Pengadilan Agama Palembang memutuskan pembatalan

perkawinan dengan uraian kasus sebagai berikut.

Pengadilan Agama Palembang menerima berkas permohonan

pembatalan perkawinan pada tanggal 10 September 2020 yang diajukan oleh

Pemohon selaku istri sah , umur 45 tahun, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah

Tangga, pendidikan Diploma III dan berkediaman di Kota Palembang.

Dengan Termohon I, umur 49 tahun, agama Islam, pekerjaan swasta,

pendidikan SLTA dan berkediaman di Kota Palembang dan Termohon II,

umur 55 tahun, agama Islam dan bertempat tinggal di Palembang. Berkas

permohonan tersebut terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama dengan


54

Nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.PLG, dengan dalil-dalil pada pokoknya sebagai

berikut :

1. Pemohon dan Termohon I melangsungkan akad nikahnya pada tanggal 14

November 1999 di Kota Palembang dengan Kutipan Akta Nikah Nomor :

sa/19, Tertanggal 15 November 1999 yang dikeluarkan oleh Pegawai

Pencatat Nikah KUA, Kecamatan Sako, Kota Palembang.

2. Setelah pernikahan berlangsung Pemohon dan Termohon I bertempat

tinggal di rumah orangtua Pemohon di alamat yang tertera diatas hingga

saat ini.

3. Pemohon dan Termohon I telah dikaruniai 4 orang anak sebagai berikut :

1) Perempuan berumur 20 tahun;

2) Perempuan berumur 18 tahun;

3) Laki-laki berumur 16 tahun;

4) Laki-laki berumur 7 tahun;

4. Antara Pemohon dan Termohon I selama pernikahan berjalan rukun,

harmonis dan tidak pernah terjadi perceraian.

5. Ternyata Termohon I dan Termohon II telah melangsungkan pernikahan

tanpa sepengetahuan dan seizin Pemohon. Padahal, Termohon I

(Almarhum) masih terikat pernikahan yang sah dengan Pemohon dan

belum ada perceraian diantara keduanya.

6. Termohon I dan Termohon II telah melangsungkan pernikahan pada

tanggal 29 Juli 2018 dan tercatat pada Kantor Urusan Agama Kecamatan
55

Ilir Timur II Kota Palembang dengan Kutipan Akta Nikah Nomor :

0662/128/VII/2018, Tertanggal 29 Juli 2018.

7. Pada bulan November 2018 Pemohon mengetahui pernikahan antara

Termohon I dan Termohon II, namun pada saat itu Pemohon belum

menemukan bukti autentik yang diatur sesuai dengan Undang-undang.

Kemudian, Pemohon menemukan bukti buku nikah pernikahan yang

kedua di Kantor Urusan Agama Ilir Timur II dengan identitas yang sesuai

dengan Termohon I (Almarhum).

8. Oleh karena itu, pernikahan yang dilangsungkan oleh Termohon I

(Almarhum) dan Termohon II telah melanggar sebagaimana ketentuan

pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tentang

Perkawinan. Karena Termohon I dan Termohon II tidak mendapat izin

dari Pengadilan Agama Palembang sehingga pernikahan tersebut tidak

dapat dikatakan Poligami (beristri lebih dari satu orang). Oleh karena itu,

pernikahan antara Termohon I dan Termohon II harus dibatalkan.

9. Bahwa Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat

perkara ini.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon memohon kepada

Pengadilan Agama Palembang, untuk memeriksa dan mengadili perkara ini,

selanjutnya mengeluarkan putusan dengan amarnya sebagai berikut :

1. Mengabulkan permohonan pemohon;

2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Termohon I dan Termohon

II yang dilangsungkan pada tanggal 29 Juli 2018 dengan Kutipan Akta


56

Nikah Nomor : 0662/128/VII/2018 yang dikeluarkan Kantor Urusan

Agama Kecamatan Ilir II Kota Palembang.

3. Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah Nomor :

0662/128/VII/2018, Tertanggal 29 Juli 2018 yang dikeluarkan Kantor

Urusan Agama Kecamatan Ilir II Kota Palembang, tidak berkekuatan

hukum.

4. Atau Apabila Pengadilan berpendapat lain, mohon penetapan yang seadil-

adilnya.

Hakim di Pengadilan Agama dalam memutuskan untuk membatalkan

perkawinan sudah tentu didasarkan pasa pertimbangan-pertimbangan hukum

tertentu. Pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut ada yang secara

eksplisit dan ada pula yang secara implisit tertuang dalam naskah putusan.

Yang menjadi dasar Pertimbangan Hakim dalam memutuskan putusan

perkara tersebut adalah sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam putusan perkara Nomor : 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg

putusnya pembatalan perkawinan tersebut didasarkan atas

beberapa sebab yaitu :

a. Bahwa Termohon I dan Termohon II melangsungkan

perkawinan tanpa ada izin dari Pengadilan dan izin dari

Pemohon.
57

b. Bahwa Termohon I diketahui telah melakukan pemalsuan

identitas yaitu mengenai statusnya, yang ternyata suami orang

atau masih terikat tali perkawinan.

Adapun perkawinan yang dapat dibatalkan atau dapat diajukan

permohonan pembatalan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu dengan dasar sebagai

berikut :

1) Pengadilan bisa memberikan izin kepada seorang suami untuk

memiliki istri lagi apabila hal tersebut dikehendaki oleh pihak

bersangkutan [Pasal 3 ayat (2)].

2) Suami yang hendak memiliki istri lagi wajib mengajukan

permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya

[Pasal 4 ayat (1)].

3) Harus adanya persetujuan dari istri untuk dapat mengajukan

permohonan ke Pengadilan [Pasal 5 ayat (1)].

4) Seseorang yang masih terikat dalam tali perkawinan dengan

orang lain itu tidak bisa kawin lagi, terkecuali sudah memenuhi

yang ditegaskan pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 [Pasal 9].

5) Perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi syarat-syarat

melangsungkan perkawinan [Pasal 22].

6) Salah satu pihak masih terikat dalam satu ikatan perkawinan

[Pasal 24].
58

7) Perkawinan yang dilangsungkan karena adanya salah sangka

mengenai diri suami atau istri [Pasal 27 ayat (2)].

Dalam perkara ini Pemohon tidak pernah mengetahui bahwa

Termohon I akan menikah lagi sehingga Pemohon tidak pernah

memberikan izin ataupun mengadakan perjanjian dengan Termohon I

mengenai izin akan berpoligami. Hal ini lah yang bertentangan dengan

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam putusan perkara Nomor : 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg putusnya

pembatalan perkawinan tersebut didasarkan atas beberapa sebab yaitu :

1) Pemohon berhak mengajukan pembatalan perkawinan terhadap

perkawinan yang telah dilangsungkan antara Termohon I dan

Termohon II. Karena berdasarkan pasal 73 Kompilasi Hukum

Islam, orang-orang yang dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan, antara lain :

a. Para keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah dari

suami atau istri;

b. Suami atau istri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan

perkawinan menurut undang-undang;

d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya

cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut Hukum


59

Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana

tersebut dalam Pasal 67.

Sebagaimana yang tertera diatas, Pemohon selaku istri berhak

untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut.

2) Pemohon bertempat tinggal di wilayah hukum Pengadilan

Agama Palembang, sehingga perkara tersebut merupakan

wewenang Pengadilan Agama Palembang sesuai dengan yang

diatur dalam Pasal 74 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang

menegaskan bahwa permohonan pembatalan perkawinan dapat

diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan.

Berdasarkan pertimbangan Hakim tersebut, Majelis

Hakim memutus :

1. Mengabulkan permohonan pemohon;

2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Termohon I dan

Termohon II yang dilangsungkan pada tanggal 29 Juli 2018

dengan Kutipan Akta Nikah Nomor : 0662/128/VII/2018 yang

dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Ilir II Kota

Palembang.

3. Menyatakan Akta Nikah dan Kutipan Akta Nikah Nomor :

0662/128/VII/2018, Tertanggal 29 Juli 2018 yang dikeluarkan


60

Kantor Urusan Agama Kecamatan Ilir II Kota Palembang,

tidak berkekuatan hukum.

4. Atau Apabila Pengadilan berpendapat lain, Mohon penetapan

yang seadil-adilnya.

Demikian diputuskan dalam Rapat Pemusyawaratan Hakim yang

dilangsungkan pada Hari Rabu tanggal 07 Oktober 2020, oleh Hakim Dra.

Hj. Fadlun, M.H sebagai Ketua Majelis. Drs. H. Raden Achmad Syarnubi,

S.H.,M.H dan Drs. Jamaludin, S.H. masing-masing sebagai Hakim

Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam siding terbuka untuk umum

pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengan didampingi oleh

Hakim Anggota dan dibantu oleh Rohmayani sebagai Panitera Pengganti

serta dihadiri oleh Pemohon dan Termohon II.

Bahwa hasil keputusan dari pertimbangan-pertimbangan oleh

majelis hakim Pengadilan Agama Palembang menyatakan bahwa

perkawinan antara Termohon I (alm.) dan Termohon II secara sah

dibatalkan dan seluruh petitum dalam permohonan yang diajukan

Pemohon dikabulkan oleh majelis hakim. Berdasarkan alasan-alasan yang

telah diajukan oleh Pemohon maka majelis hakim menetapkan perkara

nomor ; 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg adalah sebagai perkara permohonan

pembatalan perkawinan. Sebab alasan yang digunakan pemohon untuk

mengajukan permohonan ini sesuai dengan pasal-pasal yang diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam.


61

Sebagai bukti terkait landasan dan mekanisme yang digunakan

hakim dalam memutus perkara sebagaimana yang diungkapkan di atas,

dapat dilihat dari perkara Nomor : 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg.

B. Status Hukum Selama Perkawinan Terjadi Dengan Pemalsuan

Identitas

Berdasarkan Putusan Perkara Nomor 1873/Pdt.G/2020/PA.Plg

pembatalan perkawinan terhadap pemalsuan identitas yang dilakukan oleh

suami terkait statusnya. Dimana ia melakukan perkawinan keduanya tanpa

sepengetahuan Pengadilan dan istri sahnya. Hal tersebut bertentangan dengan

syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Sebagaimana yang diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 22, yang menyatakan bahwa :

“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi


syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan.”

Syarat untuk melangsungkan perkawinan tersebut ialah syarat formil

dan syarat material, sebagaimana yang telah dijelaskan sebagaimana pada

bahasan sebelumnya. Selanjutnya, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab

VI pasal 37 bahwa:

“hanya Pengadilan yang dapat memutuskan batalnya suatu perkawinan.”

Kata ‘dapat’ pada pasal ini diartikan bisa batal atau tidak bisa batal

atau perkawinannya dapat diteruskan. Apabila adanya pelanggaran terhadap


62

aturan-aturan tertentu, maka perkawinan yang sebelumnya telah

dilangsungkan itu dapat dibatalkan.62 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai akibat hukum

pembatalan perkawinan dan begitu pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor

9 Tahun 1975 tidak mengatur lebih lanjut. 63 Sebagaimana tercantum pada

Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

“batalnya suatu perkawinan setelah adanya keputusan pengadilan yang

memiliki kekuatan hukum tetap.”

Sehingga dapat diambil pengertian, bahwa pembatalannya dari

pembatalan perkawinan ini harus diajukan ke pengadilan dan harus melalui

keputusan Pengadilan. Dengan adanya putusan pengadilan yang membatalkan

perkawinan, maka status hukum selama perkawinan yang telah terjadi dengan

pemalsuan identitas dianggap tidak pernah ada atau menjadi kembali seperti

sebelum kedua belah pihak melakukan perkawinan. Pembatalan perkawinan

ini hanya mendapatkan surat putusan bahwa perkawinannya dibatalkan, ia

tidak akan mendapat akta cerai. Sebab pada hal ini, kedua belah pihak

dianggap tidak melakukan perkawinan.64

Untuk melakukan pembatalan perkawinan, gugatan dapat diajukan ke

salah satu Pengadilan Agama sebagai berikut :

62
Martiman P, Hukum Perkawinan Indonesia, Jurnal Hukum Keluarga dan
Kemanusiaan, Indonesian Research Corner (IRC), Volume 2, Nomor 2, 2020, hlm. 90.
63
Yunesia Pingkanita Pelawi, Pembatalan Perkawinan Disebabkan Pemalsuan Identitas
Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (Studi Kasus Putusan Nomor 435/Pdt.G/2013/PA.Medan), Tesis Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Univ. Sumatera Utara, Medan, 2015, hlm. 114.
64
Yunesia Pingkanita Pelawi, op. cit. hlm 116-117.
63

a. Pengadilan Agama yang wilayahnya sesuai tempat perkawinan

yang dulu dilangsungkan;

b. Pengadilan Agama yang sesuai wilayah tempat tinggal suami istri

yang bersangkutan.

c. Pengadilan Agama yang wilayahnya sesuai kediaman salah satu

dari suami atau istri.65

Sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam,

pihak yang memiliki hak untuk dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan, yaitu :

a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah

dari suami atau istri;

b. Suami atau istri;

c. Pejabat yang berwenang mengenai pelaksanaan perkawinan

menurut undang-undang.66

Adapun tata cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

sesuai yang diatur dalam Bab VI Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 ialah sebagai berikut :

1. Pemohon atau diwakilkan Kuasa Hukum datang ke Pengadilan Agama

apabila beragama Islam dan ke Pengadilan Negeri untuk Non Muslim

(UU No. 7/1989 pasal 73).

65
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011 hlm. 52.
66
Pasal 73, Kompilasi Hukum Islam.
64

2. Pengajuan Gugatan, selanjutnya Pemohon dapat mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan baik secara tertulis atau lisan

kepada Ketua Pengadilan (HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat

(1) serta membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan

Khusus. Surat permohonan yang telah dibuat oleh Pemohon hendak

melampirkan, yaitu :

a. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk;

b. Surat pengantar atau surat keterangan dari kelurahan yang

menyatakan bahwa pemohon merupakan penduduk setempat;

c. Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan

pembatalan perkawinan dengan pihak Pemohon;

d. Kutipan akta nikah.

3. Pemohon, suami atau serta istri barunya sebagai Termohon wajib

menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari

Pengadilan, atau dapat juga memberi kuasa kepada kuasa hukum yang

ditunjuk untuk mewakilkan (PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR

pasal 121,124 dan 125). Panggilan ini selambat-lambatnya diterima

oleh Pemohon 3 (tiga) hari sebelum siding dibuka. Baik diperhatikan

pemanggilan ini harus dilampiri salinan surat permohonan.

4. Secara pribadi atau melalui kuasa hukumnya Pemohon dan Termohon

wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan

pembatalan perkawinan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat


65

bukti (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa

dan memutus perkara tersebut.

5. Kemudian Pemohon atau Termohon masing-masing menerima Salinan

putusan Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang belum

memiliki kekuatan hukum tetap.

6. Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari

Pengadilan.

7. Setelah Pemohon menerima akta pembatalan, Pemohon hendaknya

meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor

Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.67

Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan ini tidak memiliki

batas waktu teruntuk istri yang tanpa sepengetahuannya, suaminya telah

kawin lagi. Kapan saja istri tersebut dapat mengajukan pembatalannya.

Akan tetapi bagi seorang istri yang mengalami suaminya melakukan

pemalsuan identitas atau adanya ancaman dan paksaan itu pengajuan

pembatalan perkawinannya memiliki batas waktu. Waktu pengajuan

pembatalan perkawinan itu dibatasi dalam kurun waktu 6 (enam) bulan

setelah perkawinan dilangsungkan. Jika pengajuan pembatalan perkawinan

diajukan lebih dari 6 (enam) bulan dan masih hidup bersama, maka hak untuk

pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur (Pasal 27

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).68


67
Bab VI Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
68
Desy Indah Kartika, Skripsi: “Implikasi Hukum Terhadap Pembatalan Perkawinan Atas
Pemalsuan Identitas Diri Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 (Studi Kasus Di Mahkamah Syariah Banda Aceh Dengan Register Nomor
66

Meskipun diajukannya pembatalan perkawinan terhadap perkawinan

yang telah berlangsung dan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada,

tidak serta merta menghilangkan akibat hukum dalam perkawinan yang

pernah dilaksanakan. Pembatalan perkawinan yang disebabkan karena adanya

pemalsuan identitas itu termasuk ke dalam bentuk pelanggaran formil bukan

materiil, maka akibatnya juga formil. Adapun akibat hukum yang ada karena

pembatalan perkawinan tersebut yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa putusan tidaklah

berlaku surut terhadap :69

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan,

Sebagaimana yang tertera di dalam pasal 42 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.”

Akibat dari perkawinan yang dibatalkan terhadap kedudukan anak

ialah kedudukan anak tetap sebagai anak yang sah dari perkawinan

orangtuanya yang dibatalkan tersebut. Terhadap anak yang sah hadirlah suatu

kekuasaan dan kewajiban orangtua, yang diatur oleh Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu :

0103/Pdt.G/2016/MS-BNA)”, Medan : USU, 2020, Hlm. 64.


69
Tami Rusli, Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Pranata Hukum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bandar
Lampung, Vol. 8, No. 2, Juli, 2013, hlm. 163.
67

1. Kewajiban orangtua untuk mendidik dan memelihara anak

mereka hingga mereka dapat berdiri sendiri atau sampai

mereka ke jenjang perkawinan walaupun perkawinan

orangtua terputus [Pasal 45];

2. Berada di bawah kekuasaan orangtuanya bagi anak yang

belum kawin dan belum mencapai umur 18 (delapan belas)

tahun [Pasal 47 ayat (1)];

3. Orangtua mewakili anaknya dalam perbuatan hukum baik di

dalam ataupun luar pengadilan [Pasal 47 ayat (2)];

4. Barang-barang yang dimiliki anak yang belum berumur 18

(delapan belas) tahun atau belum kawin itu tidak

diperbolehkan untuk orangtuanya memindahkan hak atau

menggadaikan, kecuali anak itu menghendaki [Pasal 48];

5. Walaupun kekuasaan orangtua telah dicabut, orangtua tetap

wajin untuk memberi biaya pemeliharaan anak [Pasal 49

ayat (2)].

b. Terhadap Harta Bersama dan Harta Bawaan


68

Adapun akibat hukum terhadap harta bersama berdasarkan Pasal

85 Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan bahwa harta bawaan masing-

masing baik suami ataupun istri yang diperoleh masing-masing pula

sebagai bentuk warisan, hadiah, dan hibah adalah dibawah penguasaan

masing-masing. Hal tersebut berlaku sepanjang tidak adanya perjanjian

perkawinan diantara keduanya.70 Harta suami istri digolongkan pada 3

(tiga) golongan ialah sebagai berikut :

1. Harta bawaan suami maupun istri yang dimiliki sebelum

perkawinan berlangsung, dapat berasal dari hibah,

warisan atau hasil kerja keras usaha sendiri.

2. Harta masing-masing yang dimiliki setelah perkawinan,

tetapi bukan diperoleh dari hasil usaha mereka individu

atau bersama, melainkan seperti hibah, wasiat, dan

warisan untuk masing-masing.

3. Harta yang didapat sesudah keduanya di dalam ikatan

perkawinan atas usaha mereka bersama atau atas usaha

salah satunya (harta pencaharian).71

Suami dan istri memliki hak penuh untuk melakukan perbuatan

hukum atas harta masing-masing berupa sedekah, hibah, hadiah, dan

sebagainya. Untuk harta bersama (gono-gini) merupakan milik bersama,

akan tetapi tidak boleh merugikan pihak yang beri’tikad baik. Pihak yang
70
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Ctk. Pertama, Bandung, 2005,
pasal 85.
71
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia, 2009, hlm.
83-84.
69

beri’tikad baik tersebut harus diuntungkan dan pihak yang beri’tikad

buruklah yang harus menanggung segala kerugian ataupun bunga yang

harus ditanggung. Segala perjanjian perkawinan yang memberikan

kerugian atau merugikan pihak yang beri’tikad baik tersebut dianggap

tidak pernah ada.72

Adapun akibat hukum terhadap harta bersama berdasarkan Pasal

85 Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan bahwa harta bawaan masing-

masing baik suami ataupun istri yang diperoleh masing-masing pula

sebagai bentuk warisan, hadiah, dan hibah adalah dibawah penguasaan

masing-masing. Hal tersebut berlaku sepanjang tidak adanya perjanjian

perkawinan diantara keduanya.73 Tetapi apabila ada perjanjian perkawinan,

dimana perjanjian kawin itu berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

Selama perkawinan tersebut berlangsung, maka perjanjian kawin tersebut

tidak dapat diubah kecuali persetujuan dari kedua belah pihak dan

perubahan tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga.

Sehingga pembagian harta kekayaan dengan adanya pembatalan

perkawinan, tetap seperti apa yang telah mereka perjanjikan dalam

perjanjian kawin yang telah dibuat dalam suatu perkawinan.74

Suami dan istri memliki hak penuh untuk melakukan perbuatan

hukum atas harta masing-masing berupa sedekah, hibah, hadiah, dan


72
Ahmad Supandi Patampari, Konsekuensi Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut
Hukum Islam, Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, Indonesian Research Corner
(IRC), Vol. 2, No. 2, Desember, 2020, hlm. 96.
73
Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Ctk. Pertama, Bandung, 2005, pasal
85.
74
70

sebagainya. Untuk harta bersama (gono-gini) merupakan milik bersama,

akan tetapi tidak boleh merugikan pihak yang beri’tikad baik. Pihak yang

beri’tikad baik tersebut harus diuntungkan dan pihak yang beri’tikad

buruklah yang harus menanggung segala kerugian ataupun bunga yang

harus ditanggung. Segala perjanjian perkawinan yang memberikan

kerugian atau merugikan pihak yang beri’tikad baik tersebut dianggap

tidak pernah ada.75

c. Pihak Ketiga

Pihak ketiga ialah orang-orang yang tidak termasuk dalam (1) dan

(2) di atas sepanjang mereka mendapat hak-hak dengan I’tikad baik

sebelum putusan tentang pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan

hukum tetap. Hal tersebut membuat pihak ketiga masih dapat berhubungan

dengan suami istri yang perkawinannya dibatalkan, contohnya : Transaksi

yang dilakukan sebelum pengadilan menjatuhkan putusan pembatalan

perkawinan, maka ia berhak menerima penyerahan barang tersebut dan

contoh lainnya ialah menagih hutang

75
Ahmad Supandi Patampari, Konsekuensi Hukum Pembatalan Perkawinan Menurut
Hukum Islam, Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan, Indonesian Research Corner
(IRC), Vol. 2, No. 2, Desember, 2020, hlm. 96.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari uraian pada bab-bab sebelumnya mengenai akibat

hukum pemalsuan identitas pada saat berlangsungnya perkawinan terhadap

suami dan istri, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Akibat hukum dari pemalsuan identitas pada saat berlangsungnya

perkawinan terhadap suami dan istri ialah perkawinan yang telah

dilangsungkan tersebut dapat dibatalkan. Akibat hukumnya adalah

pembatalan perkawinan. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan

adalah status perkawinannya dianggap tidak pernah terjadi dan tidak

mendapatkan akta cerai. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan

yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh Pengadilan itu tidak berlaku

surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah

b. Harta bersama dan Harta Bawaan Suami dan Istri

c. Pihak Ketiga

2. Status hukum perkawinan terhadap pemalsuan identitas ini ialah

perkawinannya tidak sah, sehingga dapat diajukan pembatalan

perkawinan dimana hal ini berdasarkan ketentuan pada Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dipertegas

71
72

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

B. Saran

Sesuai dengan harapan penulis agar pikiran-pikiran dalam skripsi ini

dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, kiranya penulis menyampaikan

beberapa saran sebagai berikut :

1. Akibat hukum dari pemalsuan identitas terhadap Perkawinan adalah

dapat diajukannya pembatalan perkawinan. Dengan demikian

diperlukan perlindungan hukum terhadap korban pemalsuan identitas

dalam perkawinan.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

mengatur secara rinci mengenai status hukum perkawinan terhadap

pemalsuan identitas yang dilakukan oleh suami atau istri dan begitu

pula dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tidak

mengatur lebih lanjut. Oleh karena itu, dibutuhkannya Undang-

Undang yang mengatur lebih rinci terkait status tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A. Damanhuri HR, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama,


(Bandung : Mandar Maju, 2007), hlm. 27.

Abd. Shomad, Hukum Islam “Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum


Indonesia”, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 275.

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media Group, 2003
hlm. 8

Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung: PT. Citra Aditya,


1994), hlm. 9.

Adami Chazawi, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, Raja Grafindo Persada,


Jakarta, 2005, hlm. 31.

Afdol. 2006, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Airlangga University Press,


Surabaya.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Fakultas Hukum


Universitas Indonesia,1978, hlm.11

Ali, Zainuddin. 2006, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata, cet. 1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991),


hlm. 109.

Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik dalam KUH Perdata, (Bandung: Binacipta,
1987), hlm. 6.

EM. Yusmar, Wanita dan Nikah Menurut Urgensinya, Kediri: Pustaka Azm,


2006, hlm. 16

Faisal Amrullah, Kebijakan Umum dalam Politik Perundang-Undangan di


Indonesia, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas
Sriwijaya, Volume VIII, Nomor 2, Juni, 2010, hlm. 41.

Ghozali, Abdul Rahman. 2008, Fiqh Munakahat, Ctk. Ketiga, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.

73
74

H. Abdul Manan, Beberapa Masalah Tentang Harta Bersama, Mimbar Hukum,


No. 33, Tahun VIII, 1997, hlm. 59.

H. Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


Agama, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 66-67.

Hadikusuma, Hilman. 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju,


Bandung.

Harsanto Nursadi, Sistem Hukum Indonesia, Universitas Terbuka, Jakarta, 2009,


hlm. 17.

Hazairin., S. H., Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1961), hlm.


189.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju,


Bandung, 2003, hlm. 10.

Hilman Hadikusumo, Hukum Perkawinan Indonesia, Bandung: Mandar Maju,


1990, hlm. 7

Kansil, CST. 1986, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Moeljatno (Jakarta :


Bumi Aksara, 2014), Ps. 279.

M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang


Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan

M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah
Lengkap), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 8

Martiman P, Hukum Perkawinan Indonesia, Jurnal Hukum Keluarga dan


Kemanusiaan, Indonesian Research Corner (IRC), Volume 2, Nomor 2,
2020, hlm. 90.

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia


Legal Centre Publishing, 2002), hlm. 46

Mertokusumo, Sudikno. 2009, Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,


Bandung.

Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,


Universitas Gajah Mada Tahun 1955, hlm. 13.
75

Moh Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan UndangUndang Perkawinan,


Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan, 2002, hlm. 21

Muhamad Sadi Is, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta: 2017, hlm. 4.

P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta:


Djambatan, 1999), hlm. 51-54.

Pasal 6, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan

Pasal 7 Ayat (1), Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 73, Kompilasi Hukum Islam.

Pemerintah No 9 tahun 1975, (Medan: CV Zahir Trading, 1975), hlm. 71.

Prawirohamidjojo, Soetojo. 1986, Pluralisme Dalam Perundang-undangan


Perkawinan Indonesia, Airlangga University Press.

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga,


cet. 5, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 13

Raharjo, Satjipto. 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ramulyo, Idris. 1996, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara,
Jakarta.

Rasyid, Roihan A. 2007, Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo


Persada.

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2011 hlm. 52.

Sastroatmojo, Arso. 2008, Hukum Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet. 5, (Jakarta: Universitas


Indonesia, 1986), hlm. 89.

Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia, 2009,


hlm. 83-84.

Sembiring, Idha Aprilyana. 2007, Berbagai Faktor Penyebab Poligami Di


76

Kalangan Pelaku Poligami Di Kota Medan, Jurnal Equality.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2009, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Cetakan ke-11, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Soemiyati. 1986, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,


Yogyakarta: Liberti.

Sri Soedewi M. Sofwan, Hukum Badan Pribadi, (Jogjakarta: Yayasan Gajah


Mada, 1975), hlm. 55.

Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk


Wetboek) dengan tambahan Undang-Undang Perkawinan dan Undang-
Undang Pokok Agraria, Jakarta: Pradnya Paramitha, hlm. 46.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 26, (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm.
23.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. XXIX, (Jakarta: PT. Intermasa,


2001), hlm. 42.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2005, hlm. 8.

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Ctk. Pertama, Bandung,


2005, pasal 85.

Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga
di Indonesia, cet. 1, Rizkita, Jakarta, 2002, hlm. 13.

Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 47.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.


77

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

C. Jurnal

Ahmad Supandi Patampari. 2020. “Konsekuensi Hukum Pembatalan Perkawinan


Menurut Hukum Islam”, Jurnal Hukum Keluarga Islam dan Kemanusiaan,
Indonesian Research Corner (IRC), 2 (2).

Khairuddin, Djoko Budiarto,dan Erizal. 2022. “Pertimbangan Hakim Terhadap


Putusan Pembatalan Perkawinan (Studi Kasus Di Pengadilan Agama
Yogyakarta)”, Jurnal Widya Pranata Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Widya Mataram, 4 (1).

Larasati Putri Dirgantari. 2020. “Tinjauan Yuridis Terhadap Pembatalan


Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas Diri Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Akibat Hukumnya (Studi di Pengadilan
Agama Malang)”. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum. 26 (6).

Merdi Aditya Putra, Iga Pricillia, Hika Deriya Putra. 2021. “Perlindungan Hukum
Akibat Pembatalan Perkawinan Terhadap Suami Yang Berpoligami
Dengan Pemalsuan Identitas”, Indonesian Notary. 3 (2).

Santoso. 2016. “Hakekat Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan,


Hukum Islam dan Hukum Adat “ , Jurnal YUDISIA UNISSULA Semarang
7 (2).

Tami Rusli, Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-undang Nomor 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Pranata Hukum, Dosen Fakultas
Hukum Universitas Bandar Lampung, Vol. 8, No. 2, Juli, 2013, hlm. 163.

Vika Mega Hardhani, Mulyadi dan Yunanto. 2016. “Akibat Hukum Pembatalan
Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas (Studi Kasus Putusan Nomor :
615/PDT.G/2014/PA.SMG)”. Jurnal Hukum Diponegoro. 5 (3).
78

D. Tesis

Desy Indah Kartika, Skripsi: “Implikasi Hukum Terhadap Pembatalan


Perkawinan Atas Pemalsuan Identitas Diri Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di
Mahkamah Syariah Banda Aceh Dengan Register Nomor
0103/Pdt.G/2016/MS-BNA)”, Medan : USU, 2020, Hlm. 64.

Yunesia Pingkanita Pelawi, Pembatalan Perkawinan Disebabkan Pemalsuan


Identitas Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Putusan Nomor
435/Pdt.G/2013/PA.Medan), Tesis Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Univ. Sumatera Utara, Medan, 2015, hlm. 114.

E. Internet

Glosarium. (2014. 13 April). “Pengertian Perlindungan Hukum Menurut Para

Ahli”. https://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-

para-ahli/

Anda mungkin juga menyukai