Anda di halaman 1dari 111

ANALISIS PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH TERHADAP

PERNIKAHAN SIRRI DI PENGADILAN AGAMA BANTAENG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum

Prodi Hukum Keluarga Islam Jurusan Peradilan

Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Alauddin Makassar

Oleh:

Musfira
NIM: 10100117015

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Mahasiwa yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Musfira

Nim : 10100117015

Jurusan : Hukum Keluarga Islam (HKI)

Fakultas : Syari'ah dan Hukum

Tempat/Tgl Lahir : Bantaeng/ 20 Agustus 1999

Alamat : Bumi Tamalanrea Permai (BTP) Blok H Lama


Nomor 290

Judul Skripsi : Analisis Pelaksanaan Itsbat Nikah Terhadap


Pernikahan Sirri Di Pengadilan Agama Bantaeng

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini


benar hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan
duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya,
maka skripsi dan gelar diperoleh karena batal demi hukum.

Makassar, 4 Agustus 2021


Penyusun,

Musfira
10100117015

ii
PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul, “ANALISIS PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH


TERHADAP PERNIKAHAN SIRRI DI PENGADILAN AGAMA
BANTAENG”, yang disusun oleh Musfira, NIM: 10100117015, mahasiswa Prodi
Hukum Keluarga Islam, pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Alauddin
Makassar, telah diuji dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang
diselenggarakan pada hari Senin, tanggal 26 Juli 2021 M, bertepatan dengan 16
Zulhijjah 1442 H, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) dalam ilmu Syari‟ah dan Hukum,
Jurusan Hukum Keluarga Islam (dengan beberapa perbaikan).
Makassar, 4 Agustus 2021
25 Zulhijjah 1442

DEWAN PENGUJI:

Ketua : Dr. H. Muammar Muhammad Bakry, Lc., M.Ag. (…..………...)

Sekretaris : Dr. H. Rahmatiah HL, M.Pd. (…………….)

Munaqisy I : Prof. Dr. H. Lomba Sultan, MA.. (…….………)

Munaqisy II : Drs. Hadi Daeng Mapuna, M.Ag. (…….………)

Pembimbing I : Drs. H. Muh. Jamal Jamil, M.Ag. (…………….)

Pembimbing II : Istiqamah,S.H,. M.H (…………….)

Disahkan oleh:
Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar,

Dr. H. Muammar Muhammad Bakry, Lc., M.Ag.


NIP. 19731122 200012 1 002

iii
KATA PENGANTAR

Assalamu' Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang


telah melimpahkan karunia dan hidayah-Nya kepada penulis, hanya karena kasih
sayang dan pertolongan-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul "Analisis Pelaksanaan Itsbat Nikah Di Pengadilan Agama
Bantaeng". skripsi ini merupakan persyaratan untuk menempuh ujian akhir strata
satu (S1) Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar. Tidak lupa pula Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta Keluarga, sahabat dan
pengikutnya, pembawa risalah pemberi contoh teladan menjalankan syariat islam.

Dari berbagi doa, dukungan dan perhatian yang penulis dapatkan selama
penyusunan skripsi ini berlangsung, sehingga hambatan yang ada dapat dilalui
dan dihadapi. Dengan penuh kerendahan hati, Penulis menghaturkan ucapan
terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Terkhusus ayahanda Muhammad
Jabir dan Ibu Sari Bulan, yang senantiasa mendoakan kesuksesan anaknya dan
kesabarannya dalam mendidik dan memberi semangat dari setiap langkah penulis.

Pada kesempatan ini, penulis berterima kasih kepada diri penulis sendiri
karena telah menyelesaikan skripsi ini dengan beberapa rintangan, tantangan, dan
ujian yang cukup berat. Tetap semangat walau skripsi ini diselesaikan ditengah
virus Covid-19. Tak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-
besarmya kepada:

1. Bapak Prof. H. Hamdan Juhannis M.A, Ph.D selaku Rektor Universitas


Islam Negeri Alauddin Makassar.

iv
2. Bapak Dr. H. Muammar Muhammad Bakry, Lc., M.Ag selaku Dekan
Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
3. Ibu Dr. Hj. Patimah, M. Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Islam Fakultas Syari'ah dan Hukum Universitar Islam Negeri Alauddin
Makassar.
4. Bapak Drs. Muhammad Jamal Jamil, M.Ag selaku Sekretaris Program
Studi Hukum Keluarga Islam, sekaligus pembimbing 1 penulis yang
senantiasa membimbing dan melayani penulisan skripsi ini hingga selesai.
5. Ibu Istiqamah,S.H.,M.H Selaku Pembimbing II yang telah bersedia
menyediakan waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta
arahan kepada penulis.
6. Bapak Prof. Dr. H. Lomba Sultan,MA sebagai Penguji I dan Bapak Drs.
Hadi Daeng Mappuna, M.Ag. sebagai Penguji II yang senantiasa menguji
penulis dengan baik hingga selesai.
7. Seluruh Dosen, Pejabat dan Staf Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Alauddin Makassar pada umumnya dan Dosen Prodi Hukum Keluarga
Islam yang senantiasa mengajar penulis.
8. Majelis Hakim dan Ketua Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B
Kabupaten Bantaeng beserta seluruh karyawan dan Karyawati yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan
informasi dan data-data yang diperlukan penulis
9. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Hukum Keluarga Islam Angkatan 2017
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu Namanya yang memberikan
semangat dan dukungan selama bangku perkuliahan memberikan
kebersamaan dan keceriaan kepada penulis.
10. Ketiga kakak perempuanku, Latifah Luthfiah, Musdalifah, dan Sri
Muliana, beserta iparku yang selalu memberikan dukungan dan membantu
penulis secara finansial sehingga penulis bisa sampai pada tahap akhir
penulisan skripsi. Terima kasih banyak.

v
11. Teman-Teman Mutiara (Nur Hidayah, Alyah Kusuma Dewi, Rahmawati,
Ira, Marhani, Hikmahwaty,as) yang menjadi sahabat penulis yang selalu
memberikan keceriaan, terima kasih untuk semua dukungannya.
12. Semua rekan diorganisasi IPPS (Ikatan Penggiat Peradilan Semu) terima
kasih sudah menjadi tempat mengembangkan ilmu pengetahuan dan
mendapatkan banyak pengalaman.
13. Agus Rianto, yang memberikan dukungan, motivasi, semangat, dan
banyak membantu penulis selama menyusun skripsi ini hingga
terselesainya skripsi ini.
14. Serta seluruh pihak yang membantu terselesainya tugas akhir ini yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Demikian tugas akhir ini penulis buat, semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya mahasiswa/I Prodi Hukum
Keluarga Islam. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan di
dalamnya. Oleh karna itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca
sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan kedepannya.

Gowa, Juli 2021


Penulis

Musfira
1010011015

vi
DAFTAR ISI

JUDUL ...................................................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................. ii

PENGESAHAN ........................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv

DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. ix

ABSTRAK ................................................................................................................ xvii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1-10

A. Latar Belakang ............................................................................................... 1


B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ........................................................... 6
C. Rumusan Masalah .......................................................................................... 8
D. Kajian Pustaka................................................................................................ 8
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................... 10

BAB II TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN, KAWIN SIRRI DAN

ITSBAT NIKAH ..................................................................................................... 11-45

A. Tinjauan Hukum Perkawinan ......................................................................... 11


1. Pengertian Perkawinan .............................................................................. 11
2. Dasar Hukum Perkawinan ......................................................................... 13
3. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan ........................................................... 15
4. Penghalang Perkawinan ............................................................................ 18
5. Pencatatan Perkawinan .............................................................................. 20
B. Perkawinan Sirri ............................................................................................. 26
1. Pengertian Perkawinan Sirri ...................................................................... 26
2. Sebab Terjadinya Perkawinan Sirri ........................................................... 27

vii
C. Itsbat Nikah .................................................................................................... 29
1. Pengertian Itsbat Nikah ............................................................................. 29
2. Dasar Hukum Itsbat Nikah ........................................................................ 30
3. Prosedur Pelaksanaan Itsbat Nikah ........................................................... 33
4. Akibat Hukum Itsbat Nikah ....................................................................... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 46-49

A. Jenis dan Lokasi Penelitian........................................................................ 46


B. Pendekatan Penelitian ................................................................................ 46
C. Sumber Data .............................................................................................. 47
D. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 47
E. Instrumen Penelitian .................................................................................. 49
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 49

BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH TERHADAP


PERNIKAHAN SIRRI DI PENGADILAN AGAMA BANTAENG KELAS II
B ................................................................................................................................. 50-78

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bantaeng ....................................... 50


B. Analisis Pelaksanaan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama Bantaeng
Kelas II B ................................................................................................... 61
C. Pertimbangan Hakim dalam Penyelesaian Itsbat Nikah di Pengadilan
Agama Bantaeng Kelas II B ...................................................................... 70

BAB V PENUTUP ...................................................................................................79-80

A. Kesimpulan .............................................................................................. 79
B. Implikasi Penelitian .................................................................................. 80

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 81-83

LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Transliterasi Arab-Latin

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat

dilihat pada tabel berikut :

1. Konsonan

Huruf
Nama Huruf Latin Nama
Arab

‫ا‬ Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

‫ب‬ Ba B Be

‫خ‬ Ta T Te

‫ث‬ Sa ṡ es (dengan titik di atas)

‫ج‬ Jim J Je

‫ح‬ Ha ḥ ha (dengan titik di bawah)

‫خ‬ Kha Kh ka dan ha

‫د‬ Dal D De

‫ر‬ Zal Ż zet (dengan titik di atas)

‫س‬ Ra R Er

‫ص‬ Zai Z Zet

‫س‬ Sin S Es

‫ش‬ Syin Sy es dan ye

‫ص‬ Sad ṣ es (dengan titik di bawah)

‫ض‬ Dad ḍ de (dengan titik di bawah)

ix
‫ط‬ Ta ṭ te (dengan titik di bawah)

‫ظ‬ Za ẓ zet (dengan titik di bawah)



‫ع‬ „ain apostrof terbalik

‫غ‬ Gain G Ge

‫ف‬ Fa F Ef

‫ق‬ Qaf Q Qi

‫ن‬ Kaf K Ka

‫ي‬ Lam L El

َ Mim M Em

ْ Nun N En

ٚ Wau W We

ٖ Ha H Ha
,
‫ء‬ hamzah Apostrof

ٞ Ya Y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis

dengan tanda („).

2. Vokal

Vokal bahasa Arab, seperti vocal bahasa Indonesia, terdiri atas vocal

tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong.

Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau

harakat, transliterasinya sebagai berikut:

x
Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ‫َا‬ fatḥah A A

ِ‫ا‬ Kasrah I I

ِ‫ا‬ ḍammah U U

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya gabungan antara

harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu:

Harkat dan Huruf dan


Nama Nama
Huruf Tanda

َٜ
َ fatḥah dan yā‟ Ai a dan i

ََْٛ‫ى‬ fatḥah dan wau au a dan u

Contoh:

ََ‫ْف‬١‫َو‬ : kaifa

َ‫ْ َي‬َٛ٘ : haula

3. Maddah

Maddah atau vocal panjang yang lambangnya berupa harakat dan

huruf transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

Harakat dan Huruf dan


Nama Nama
Huruf Tanda

fatḥah dan alif a dan garis di


َ … |ََ‫…ا‬
َٜ Ā
atau yā‟ atas

ٜ kasrah dan yā‟ I i dan garis di

xi
atas

u dan garis di
ٛ‫ى‬ ḍammah dan wau Ū
atas

Contoh:

ََ‫ َِاخ‬: mata

َِٝ ‫َ َس‬: rama

ًَْْ١ِ‫َل‬: qila

ُ ُّْٛ َ٠َ: yamutu


َ‫خ‬

4. Tā’ Marbūṭah

Transliterasi untuk tā‟ marbūṭah ada dua, yaitu: tā‟ marbūṭah yang

hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, yang

transliterasinya adalah [t]. Sedangkan tā‟ marbūṭah yang mati atau mendapat

harkat sukun transliterasinya adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan tā‟ marbūṭah diikuti oleh kata

yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah,

maka tā‟ marbūṭah itu transliterasinya dengan (h).

Contoh:

ْ َ‫ضحُ َْاأل‬
َ‫طفَ َ ِي‬ َ َٚ ‫َ َس‬: raudal al-at fal

ِ َ‫َٕحَُ ْاٌفَا‬٠ْ َ‫َاَ ٌْ َّ ِذ‬: al-madinah al-fadilah


ُ ‫ضٍَ َح‬

‫اَ ٌْ ِح ْى َّح‬ : al-hikmah

xii
5. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda tasydid (َّّ ), dalam transliterasinya ini dilambangkan

dengan perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah.

Contoh:

‫ َستََّٕا‬: rabbana

‫َٕا‬١ْ ‫َٔ َّج‬: najjainah

6. Kata Sandang

Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan

sesuai dengan bunyi huruf yang ada setelah kata sandang. Huruf "l" (‫)ي‬

diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata

sandang tersebut.

Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah ditransliterasikan

sesuai dengan bunyinya.

Contoh:

ُ ‫اَ ٌْفَ ٍْ َسفَ َح‬: al-falsafah

َ‫اَ ٌْثِالَ ُد‬: al-biladu

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrop hanya berlaku

bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah

terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia

berupa alif.

Contoh:

xiii
a. Hamzah di Awal

ُ ْ‫ اُ ِِش‬: umirtu
َ‫خ‬

b. Hamzah Tengah

َ َْ ُْٚ‫ تَأْ ُِش‬: ta‟muruna

c. Hamzah Akhir

ٌَ‫ء‬ْٟ ‫ َش‬::َSyai‟un

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia

Pada dasarnya setiap kata, baik fi„il, isim maupun huruf, ditulis

terpisah.Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab

yang sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau

harakat yang dihilangkan, maka dalam transliterasinya penulisan kata

tersebut bisa dilakukan dengan dua cara; bisa terpisah per kata dan bisa pula

dirangkaikan.

Contoh:

Fil Zilal al-Qur‟an

Al-Sunnah qabl al-tadwin

9. Lafẓ al-Jalālah (‫)هللا‬

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf

lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frase nominal), ditransliterasi

tanpa huruf hamzah.

Contoh:

َّ ُْٓ٠‫ ِد‬Dinullah ‫ثِا‬ٌٍَّٙ‫ ا‬billah


َ‫ََّلا‬

xiv
Adapun tā‟ marbūṭah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-

Jalālah ditransliterasi dengan huruf [t].

Contoh:

َّ ‫َسحْ َّ ِح‬
َُْ َََُ٘‫ََّلا‬ َ ْٟ ِ‫ ف‬Hum fi rahmatillah

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps),

dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang

penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang

berlaku (EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf

awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan

kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis

dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

kata sandangnya.

Contoh:

Syahru ramadan al-lazi unzila fih al-Qur‟an

Wa ma Muhammadun illa rasul

B. Daftar Singkatan

Beberapa singkatan yang dibakukan adalah:

Swt. = subhānahū wa ta„ālā

Saw. = sallallāhu „alaihi wa sallam

a.s. = „alaihi al-salām

H = Hijrah

M = Masehi

xv
SM = Sebelum Masehi

l. = Lahir tahun (untuk orang yang masih hidup saja)

w. = Wafat tahun

QS .../...:4 = QS al-Baqarah/2:4 atau QS Ali „Imrān/3:4

HR = Hadis Riwayat

xvi
ABSTRAK
Nama : Musfira
NIM : 10100117015
Judul : Pelaksanaan Itsbat Nikah Terhadap Pernikahan Sirri Di
Pengadilan Agama Bantaeng

Skripsi ini membahas tentang Pelaksanaan Itsbat Nikah Terhadap


Pernikahan Sirri Di Pengadilan Agama Bantaeng. Banyaknya permohonan itsbat
nikah di Pengadilan Agama Bantaeng memberikan cerminan bahwa masih
banyaknya masyarakat yang menikah tanpa mencatatnya kepada Pegawai
Pencatat Nikah di Kantor Urusan Agama. Pada tahun 2019 Perkara itsbat nikah
terbanyak kedua setelah dari perkara cerai gugat kemudian pada tahun 2020
perkara itsbat nikah menurun menjadi terbanyak ketiga setelah cerai gugat, dan
cerai talak. Adapun pokok masalah yaitu Bagaimana pelaksanaan itsbat nikah
terhadap pernikahan sirri di Pengadilan Agama Bantaeng. Adapun sub masalah
yaitu: 1) Bagaimana pelaksanaan itsbat nikah terhadap pernikahan sirri di
Pengadilan Agama Bantaeng. 2) Bagaimana pertimbangan hakim dalam
menyelesaikan perkara itsbat nikah.
Jenis penelitian dalam penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif, atau
disebut dengan penelitian lapangan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini ialah pendekatan hukum berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
Undang RI Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam, beserta
peraturan lain yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun
teknik pengumpulan data yang digunakan ialah interview dan dan dokumentasi.
Interview ini dilakukan untuk untuk mendapatkan informasi dengan
mewawancarai Hakim dan Panitera Muda Pengadilan Agama Bantaeng.
Kemudian dokumentasi dilakukan agar mendapatkan data-data dan dokumen yang
berkaitan dengan itsbat nikah.
Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Permohonan itsbat nikah
di Pengadilan Agama Bantaeng yang ditetapkan/dikabulkan adalah pernikahan
memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Kemudian prosedurnya sudah sesuai
berdasarkan buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama Buku II serta Peraturan Perundang-Undangan Nomor 7 Tahun 1989 yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku. Serta
melakukan pengumaman itsbat nikah minimal 14 hari sebelum hari sidang.
Mencermati tingginya permohonan itsbat nikah penulis menyarankan:
agar melakukan sosialisasi mengenai pentingnya pencatatan nikah agar
memberikan pemahaman kepada masyarakat termasuk desa terpencil. Kemudian
menetapkan itsbat nikah dengan tegas berdasarkan dengan ketentuan itsbat nikah
dalam Kompilasi Hukum Islam.

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, setiap masyarakat dalam kehidupan diatur

oleh hukum itu sendiri. Secara kodrati, manusia merupakan makhluk sosial pada

dasarnya selalu ingin berkumpul dengan sesamanya. Kebutuhan untuk hidup

bersama yang paling utama dimulai dari kelompok yang terkecil yang disebut

dengan keluarga. Keluarga terbentuk dengan adanya perkawinan. Perkawinan

adalah akad yang menyatukan dua jiwa yang saling mencintai dan untuk

mempunyai keturunan. Dalam membentuk keluarga terdapat peraturan yang

mengatur terjadinya suatu perkawinan untuk menghindari dari akibat yang buruk

dalam perkawinan.

Adapun tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam pasal 3

Kompilasi Hukum Islam adalah: “perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahma”. Sementara

taqiyuddin menghindarkan diri dari zina , mempunyai anak, dan sebagai ibadah.1

Sebagaimana diketahui bahwa manusia dilahirkan dengan naluri biologis

kecintaan terhadap wanita yang selalu menuntut jalan keluar untuk

memuaskannya, apabila tidak ada jalan lain yang mampu untuk memuaskannya

banyak orang yang mengalami goncangan dan hilang ketenangan, akhirnya akan

1
M. Dahlan R, Fikih Munakahat (Yogyakarta Juni 2015) h. 36

1
melakukannya dengan hal yang dilarang, pernikahan adalah cara alami dan

biologis yang terbaik.2 Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Imran 3:14.

ِ َٛ َٰ َٙ‫اسَحُةُّ َٱٌ َّش‬


َ …َ‫خَ ِِ ََٓٱٌِّٕ َسآ ِء‬ ِ ٌٍَََِِّّٕٓ ٠‫ُص‬

Terjemahan:
Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang
diinginkan, berupa perempuan-perempuan.3
Berdasarkan ayat tersebut diatas bahwa rasa cinta menjadi anugerah yang

telah ditetapkan dan jalan perkawinan harus dirancang sedemikian rupa agar

tercapainya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Sehingga Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang merupakan sumber hukum

materil dari perkawinan di Indonesia. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974

pasal 2 mengatur tentang syarat sah perkawinan sebagai berikut:4

1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan yang

berlaku.

Merujuk pada ketentuan pasal di atas pencatatan perkawinan menjadi

sesuatu yang harus dilakukan dengan tujuan agar tercipta ketertiban perkawinan di

masyarakat. Sesuai yang telah diatur dalam Undang-undang, untuk menjaga

2
M Dahlan R, Fikih Munakahat, h. 37
3
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan terjemahnya (Cet. Ke 18, CV. Darus Sunnah,
Cipinang Mutiara-Jakarta Timur, 2015), h 52.
4
Republik Indonesia, “Undang-Undang No. 1 Tahun 1974” , dalam Undang-Undang RI
Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Cet. 1, Bandung: Citra Umbara, 2020) h.10

2
kehormatan dan kesucian pernikahan, hal ini juga memberikan perlindungan

kepada kaum perempuan dalam rumah tangganya. Dengan adanya pencatatan

perkawinan kedua pihak memiliki bukti autentik, sehingga apabila terjadi

perselisihan diantara mereka yang menjadi kelalaian salah satu pihak agar

terwujudnya tujuan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah,

sehingga bisa melakukan upaya hukum untuk mempertahankan hak masing-

masing.

Namun masih terjadi perkawinan yang tidak dicatat atau disebut juga

dengan perkawinan sirri. Dalam Hukum Islam perkawinan sirri merupakan

perkawinan yang sah jika dilakukan sesuai dengan hukum dan syarat pernikahan,

namun tidak mencatatnya sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan, sehingga

negara tidak mengakui apabila timbul berbagai persoalan rumah tangga sampai

pada akhirnya terjadi perceraian.5

Nikah sirri dilaksanakan karena adanya permasalahan atau tidak

memenuhi syarat yang telah ditentukan. Akibat kebuntuan dalam memenuhi

syarat-syarat nikah, maka mencari solusi yang cepat yaitu nikah sirri, sehingga

nikah sirri adalah nikah yang dilaksanakan karna bermasalah. Pernikahan

dilaksanakan bertentangan dengan Undang-undang perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam. Praktik nikah sirri yang dilaksanakan secara umum tidak

memenuhi syarat perkawinan atau syarat kehendak nikah.6

5
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian hukum perkawinan siri dan
permasalahannya, di tinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 (Yogyakarta Juni 2015) h. 26
6
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian hukum perkawinan siri dan
permasalahannya di tinjau dari UU No. 1 tahun 1974 h. 63

3
Ketentuan itsbat nikah tidak dapat dipisahkan dari ketentuan yang

mengharuskan adanya pencatatan perkawinan, sebagaimana yang telah ditetapkan

dalam undang-undang perkawinan, landasan hukum itsbat nikah jika dianalisis

dibedakan menjadi, pertama, itsbat nikah terhadap perkawinan yang terjadi

sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Landasan hukumnya

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 22 jo

Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 penjelasan pasal 29 huruf a angka 22 jo

Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang kemudian

dipertegas dengan pasal 7 ayat (3) huruf d Kompilasi Hukum Islam. Kedua, itsbat

nikah terhadap perkawinan yang tidak tercatat sebelum atau setelah berlakunya

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974. Landasan hukumnya dari pemahaman pasal

7 ayat (2) dan (3), intruksi presiden nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi

Hukum Islam.7

Peradilan dapat diidentifikasi sebagai bagian dari pranata hukum (legal

institution) untuk memenuhi kebutuhan penegak hukum dan keadilan. Dengan

demikian adanya Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 atas perubahan kedua

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menjadi

tonggak supremasi hukum Peradilan Agama di Indonesia.8

Sedangkan yang menjadi tugas hakim adalah untuk mempertahankan tata

hukum, menetapkan apa yang telah ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara,

7
R. Munthe,Sri Hidayani. "Kajian yuridis permohonan itsbat nikah pada Pengadilan
Agama Medan." JUPIIS: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial” 9.2 (2017)
8
Cahyani, Andi Intan. "Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di
Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 6.1 (2019).

4
maka dari itu tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa dan memutus

perkara. Kebebasan dalam melaksanakan kewenangan yudisial tidak bersifat

mutlak karna menjadi tugas hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat

Indonesia.9

Pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama menjadi proses penetapan

pernikahan yang selama ini pernikahannya belum tercatatkan. Berbagai ketentuan

dalam peraturan yang telah ditentukan untuk mengitsbatkan pernikahan, dengan

adanya itsbat nikah menjadi harapan dalam permasalahan suami istri serta pihak-

pihak yang berkaitan dalam hal ini bisa mendapat hak nya sebagaimana mestinya.

Pada tahun 2019 jumlah perkara yang diputus sebanyak 509 perkara di

Pengadilan Agama Bantaeng kelas II B, dan diantaranya perkara itsbat nikah

sebesar 26,71% dengan jumlah 136 itsbat nikah yang telah diputuskan, yang

diantaranya 126 yang dikabulkan dan 3 ditolak, perkara itsbat nikah terbanyak

kedua setelah perkara cerai gugat sebesar 52,45% dengan jumlah perkara 267, dan

kemudian pada tahun 2020 itsbat nikah berkurang menjadi 12% itsbat nikah

dengan jumlah 61 perkara yang telah diputuskan, permohonan itsbat nikah dengan

beberapa diantaranya dengan alasan karna faktor ketidaktahuan masyarakat

tentang pencatatan perkawinan dan beberapa penyebab lainnya, hal ini

mencerminkan bahwa perbuatan pernikahan sirri dikalangan masyakarat masih

sering terjadi. Sehingga memberikan dampak pada peraturan perundang-undangan

9
Nur Aisyah. "Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam di
Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 5.1 (2018)

5
tentang pencatatan nikah masih kurang efektif. Pelaksanaan itsbat nikah menarik

untuk diteliti karena itsbat nikah merupakan penetapan dari pernikahan yang

sudah terjadi sebelumnya namun tidak dilakukan pencatatan kepada pihak yang

berwenang di Kantor Urusan Agama. Pelaksanaan itsbat nikah memberikan

perlindungan hukum karena mendapatkan kepastian hukum dari ikatan

pernikahannya, sehingga seluruh haknya dapat diakui dan dilindungi, namun

dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 pernikahan yang boleh diitsbatkan

memiliki ketentuan tertentu.

Berdasarkan uraian tersebut peneliti akan menelusuri peranan hakim

dalam proses pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng,

sebagaimana telah menjadi tugas hakim untuk memutuskan perkara. Sehingga

putusannya memberikan dampak kepada pihak pemohon dan masyarakat luas.

Dalam hal ini penulis secara komprehensif melakukan penelitian dan

menuliskannya dalam karya ilmiah berjudul “ANALISIS PELAKSANAAN

ITSBAT NIKAH TERHADAP PERNIKAHAN SIRRI DI PENGADILAN

AGAMA BANTAENG”.

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi fokus

1. Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini penulis akan fokus kepada analisis dari pelaksanaan

itsbat nikah terhadap pernikahan sirri di Pengadilan Agama Bantaeng. Terhadap

putusan hakim beserta pertimbangan hukumnya dalam menerima perkara itsbat

nikah.

6
2. Deskripsi Fokus

Agar memberikan gambaran dan kemudahan pemahaman dan juga dapat

menyampaikan persepsi yang sama antara penulis dan pembaca serta untuk

memperjelas runag lingkup penelitian ini maka penulis akan menjelaskan maksud

dari judul tersebut yaitu:

a. Analisis

Analisis merupakan penyelidikan dari suatu peristiwa terhadap suatu

kejadian untuk mengetahui fakta.10

b. Pelaksanaan

Pelaksanaan merupakan proses, cara, perbuatan melaksanakan ( rancangan

keputusan dan lain sebagainya).11

c. Itsbat Nikah

Itsbat nikah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari itsbat dan nikah.

Kata itsbat berasal dari bahasa arab yaitu penetapan, penyungguhan, penentuan.

Mengitsbat artinya menyungguhkan, menentukan (kebenaran sesuatu). Sedangkan

menurut fiqh nikah secara bahasa artinya bersenggama atau bercampur.12

d. Pernikahan Sirri

Perkawinan sirri dalam hukum Negara merupakan “Perkawinan illegal

karena pengertian pernikahan sirri adalah pernikahan yang tidak tercatat di Kantor

Urusan Agama.13

10
https://kbbi.web.id/analisis
11
https://kbbi.web.id/pelaksanaan
12
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian hukum perkawinan siri dan
permasalannya di tinjau dari UU No. 1 tahun 1974 h. 65
13
Bustami, Memikirkan Kembali Problemitika Perkawinan Poligami Secara Sirri (Cet. 1,
Yogyakarta, 2020) h. 47

7
C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian yang telah

dikemukakan diatas adapun pokok masalah “Bagaimana pelaksanaan itsbat nikah

terhadap pernikahan sirri di Pengadilan Agama Bantaeng?”. Agar tidak terlalu

luas maka dibatasi dalam rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan itsbat nikah terhadap pernikahan sirri di

Pengadilan Agama Bantaeng?

2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara itsbat

nikah?

D. Kajian Pustaka

Agar penyusunan karya tulis ilmiah ini lebih fokus, penulis mengkaji

beberapa referensi literatur yang dibutuhkan sebagai revrensi yang relefan dengan

pembahasan yang diteliti, maka penulis menggunakan beberapa literatur

diantaranya sebagai berikut:

1. Zainuddin, dan Afwan Zainuddin dalam bukunya Kepastian hukum

perkawinan siri dan permasalahannya ditinjau dari Undang-Undang Nomor

1 tahun 1974, tahun 2015, dalam buku ini di jelaskan tentang tata cara

perkawinan, kedudukan istri dan anak, kedudukan harta kekayaan, dan

selanjutnya di bahas tentang perkawinan siri dan permasalahannya. Pada

bagian akhir membahas tentang perkawinan siri pencegahan dan solusi, dan

upaya hukum terhadap pernikahan siri dan perlindungan terhadap istri dan

anak. Namun dalam penelitian skripsi ini membahas tentang efektifitas dan

8
hal hal yang menjadi masalah dalam pelaksanaan itsbat nikah terhadap

pernikahan sirri di Pengadilan Agama Bantaeng.

2. Nurul Fuadi Yunus dalam judul skripsi “Efektivitas itsbat nikah massal

dalam meminimalisir pernikahan tanpa akta nikah di Kecamatan Paleteang

Kabupaten Pinrang ( Studi kasus 2016-2017)”. Dalam skripsi ini di bahas

tentang efektivitas itsbat nikah massal yang menjadi program pemerintah

Kabupaten Pinrang yang bekerja sama dengan Pengadilan Agama, dengan

itsbat nikah ini bertujuan untuk meminimalisir pernikahan yang tidak

memiliki akta nikah. Berbeda dengan skripsi ini membahas tentang proses

dan hal hal yang menjadi masalah dalam pelaksanaan itsbat nikah terhadap

pernikahan sirri di Pengadilan Agama Bantaeng.

3. Muhammad Nurhadi dalam judul skripsi “Pendapat hakim terhadap isbat

nikah bagi orang yang telah meninggal dunia di Pengadilan Agama

Jeneponto” dalam skripsi ini membahas tentang pendapat hakim terhadap

itsbat nikah bagi orang yang telah meninggal dunia. Namun dalam skripsi

ini, berbeda submasalah dan pembahasan, dalam skripsi ini membahas

tentang pelaksanaan itsbat nikah terhadap pelaku pernikahan sirri di

Pengadilan Agama Bantaeng”.

4. H. Abdul Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqh Munakahat, tahun 2019,

dalam buku ini di jelaskan tentang fiqh munakahat secara luas dan

mendalam yang membahas hal yang paling dasar, dimulai dari pengertian

perkawinan, prinsip-prinsip perkawinan, peminangan, larangan perkawinan,

talak, poligami, dan lainnya. membahas tentang efektifitas dan hal hal yang

9
menjadi masalah dalam pelaksanaan itsbat nikah terhadap pernikahan sirri

di Pengadilan Agama Bantaeng.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan

yang akan dicapai yaitu:

a. Untuk mengetahui pelaksanaan itsbat nikah terhadap pernikahan sirri yang

terjadi di Pengadilan Agama Bantaeng.

b. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menyelesaikan itsbat nikah di

Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B.

2. Kegunaan Penelitian

kegunaan penelitian ini yaitu:

a. Kegunaan Ilmiah

Secara teoritis, menjadi diharapkan bisa memberikan gambaran dengan

jelas tentang efektivitas dari pelaksanaan itsbat nikah terhadap pernikahan sirri di

Pengadilan Agama Bantaeng, dan juga mengetahui dari putusan-putusan hakim

dalam menyelesaikan perkara itsbat nikah.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis dapat bahan informasi atau pengetahuan kepada masyarakat

terhadap pelaksanaan itsbat nikah untuk mendapatkan kepastian hukum, dan

menjadi masukan terhadap bagi praktisi di lingkungan peradilan agama maupun

diluar lingkup peradilan agama terkait permasalahan pernikahan.

10
BAB II

TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN, KAWIN SIRRI DAN

ITSBAT NIKAH

A. Tinjauan Hukum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Dalam peraturan negara, Undang-undang perkawinan telah menjelaskan

definisi yaitu “perkawinan adalah ikatan lahir batin dengan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Perkawinan menjadi

suatu ritual kadang tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sosial keduniawian,

melainkan juga dipandang sebagai peristiwa sakral yang dipengaruhi alam pikiran

magis berdasarkan kepercayaan masing-masing. Sudah fitrahnya manusia hidup

berpasang-pasangan.Sejak dilangsungkan perkawinan akan timbul ikatan lahir

bathin antara kedua mempelai dan juga timbul hubungan kekeluargaan di antara

kerabat kedua pihak.1

Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.2

Pengertian perkawinan menurut KHI pada dasarnya tidak mengurangi arti

perkawinan menurut UU No. 1 tahun 1974. Kata dari mitsaqan ghalidzon adalah

1
Istiqamah, Istiqamah. "Tinjauan Yuridis Pembagian Harta Warisan Pasangan Suami
Istri Yang Beda Agama (Perspektif Hukum Islam DAN KUHPerdata)." Jurisprudentie: Jurusan
Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 4.1 (2017).
2
Republik Indonesia, “ Kompilasi Hukum Islam” dalam Undang-Undang RI Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (Cet.1, Bandung: Citra Umbara) h. 319

11
penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir dan batin” yang terdapat dalam susunan

kata undang-undang dan menyiratkan bahwa akad nikah bukan sekedar perjanjian

hukum perdata, ungkapan ketaatan dan menjalankan perintah Allah itu

melambangkan ibadah, yang merupakan penjelasan atas ungkapan “Ketuhanan

yang Maha Esa”di dalam undang-undang. Hal ini lebih lanjut menjelaskan bahwa

bagi umat Islam pernikahan adalah kegiatan keagamaan dan oleh karena itu yang

melaksanakannya telah melaksanakan ibadah.3

Dalam bahasa Indonesia perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh. Perkawinan disebut juga “pernikahan”,

berasal dari kata nikah )َ‫ (َٔىاح‬yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling

memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata “nikah” sendiri

sering digunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.4

Beberapa pendapat dari Ulama Hanafiah “pernikahan yaitu akad yang

menguntungkan (menyebabkan) adanya kepemilikan untuk kesenangan secara

sadar atau sengaja terutama kenikmatan biologis. Sementara itu, menurut

beberapa pendapat dari mazhab maliki pernikahan adalah sebutan (ungkapan) atau

gelar untuk suatu akad yang dijalankan agar memperoleh kesenangan diri

(seksual).

Menurut Ulama Muta‟akhirin mengartikan nikah yaitu akad yang

menawarkan keuntungan hukum dalam hal menjalin hubungan kekeluargaan

3
Zaeni Asyhadie, dkk., Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif Di Indonesia (Cet.
Pertama, Depok:Rajawali Pers, 2020) h. 35
4
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Cet. Ke-VIII Jakarta:Kencana, 2019) h. 5

12
(suami-istri) antara laki-laki dan perempuan, memberi dukungan dan membatasi

hak pemilik dan pemenuhan kewajibannya masing-masing.

Definisi perkawinan dalam fiqh bahwa perempuan dilahirkan sebagai

objek kesenangan bagi laki-laki, apa yang dilihat dari perempuan hanyalah aspek

biologis. Hal ini terlihat dari kata al-wat atau al-istimta yang kesemuanya

berkonotasi seks. Bahkan mahar yang semula diberikan dengan tulus sebagai

tanda cinta seorang laki-laki terhadap seorang perempuan, juga dimaknai sebagai

hadiah yang membujuk laki-laki untuk berhubungan seks dengan perempuan.

Implikasi selanjutnya adalah perempuan pada akhirnya akan menjadi pihak yang

dikuasai laki-laki yang tercermin dalam berbagai kejadian pernikahan.5

2. Dasar Hukum Perkawinan

Dasar pensyariatan nikah adalah al-Qur‟an, al-Sunnah dan Ijma. Namun

Sebagian ulama berpendapat hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah

(boleh). Hukum tersebut bisa berubah menjadi sunah, wajib, halal, makruh

tergantung pada illat hukumnya.6

Perkawinan merupakan sesuatu yang dianjurkan untuk dilaksanakan dalam

agama Islam. Anjuran untuk melaksanakan perkawinan telah di sebutkan dalam

beberapa ayat. Dalam hal ini penulis akan mengemukakan beberapa ayat yang

menjadi landasan dalam melaksanakan perkawinan yaitu:

a. Firman Allah dalam QS. Ar-Rum/30:21

َ َٙ١ْ ٌَِ‫اَإ‬ُٕٛ‫اجًاٌَِّتَ ْس ُى‬َٚ ‫كٌََ ُىَُ ِِّ َْٓأَٔفُ ِس ُى َُْأَ ْص‬


ًَ‫ َّدج‬َٛ َِّ َُ‫َٕ ُى‬١ْ َ‫ َج َع ًََت‬َٚ‫ا‬ َ ٍَ‫َاتِ َِٗأَ َْْ َخ‬٠‫ ِِ َْٓآ‬َٚ
َ ََ)١٢(ََُْٚ َ ‫َتَفَ َّىش‬٠ٍََ ْٛ َ‫خٌَِّم‬ٍ ‫َا‬٠٢ََ ‫ه‬ َ ٌِ‫َ َٰ َر‬ِٟ‫ َسحْ َّ ًۚحًَإِ ََّْف‬َٚ
5
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern ( Cet. Pertama, Yogyakarta,
2011) h. 4-5
6
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 11

13
Terjemahan:
Dan di antara tanda-tanda (kebesarannya)-Nya ialah dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dia jadikan diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.7

b. Firman Allah dalam QS. An-Nur/24:32

َ‫اَفُمَ َشا َء‬ُٛٔٛ‫َ ُى‬٠َِْ‫إِ َِائِ ُى ًۚ ُْ َإ‬َٚ


َ ُْ ‫ٓ َ ِِ ْٓ َ ِعثَا ِد ُو‬١ َ ُْ ‫ َ ِِٕ ُى‬َٰٝ َِ ‫َا‬٠َ‫اَاأل‬ُٛ
َ ‫اٌصَّاٌِ ِح‬َٚ ْ ‫أَٔ ِىح‬َٚ
َ ََ)٢١(ٌََُ ١ٍِ‫ع‬ َّ ُُ ِٙ ِٕ‫ُ ْغ‬٠
َ َُ‫ََّلا‬
Terjemahnya:
Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu,
dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi
kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya dan Allah mahaluas
(pemberian-nya), maha mengetahui.8

c. Firman Allah dalam QS. Adz-Dzariat/51:49

َ ‫ ٌََِْٓ َعٍَّ ُى َُْتَ َز َّوش‬١‫ َج‬ْٚ ‫اَص‬


ََ)٣٤(ََُْٚ َ َٕ‫َخٍَ ْم‬
َ ‫ ٍء‬ْٟ ‫ َِِٓ ُوًِّ َ َش‬َٚ
Terjemahnya:
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu
mengingat (kebesaran Allah).9

Ketiga ayat diatas menjadi anjuran untuk melakukan perkawinan. Selain

dari ke tiga ayat di atas masih terdapat beberapa ayat yang terkait dengan

perkawinan yang dapat dijadikan dasar dalam melangsungkan perkawina.

Hadits Nabi mengajarkan bahwa orang tidak boleh melakukan hal-hal

yang menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain. Imam Qurthubi,

salah satu ulama terkemuka dari Mazhab Maliki berpendapat bahwa calon suami

akan menyadari bahwa dia tidak akan dapat memenuhi kewajibannya yang

7
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemahnya Cet. Ke-18 (CV. Darus Sunnah,
Cipinang Mutiara-Jakarta Timur Tahun 2015) h.407
8
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan terjemahnya h. 355
9
Departemen Agama RI Al-Qur‟an dan Terjemahnya) h. 523

14
menjadi hak istri, tidak halal mengawini seseorang kecuali apabila ia menjelaskan

perikedaannya itu kepada calon istri.10 Para ulama Syafi‟iyah mengatakan bahwa

hukum asal mula nikah diperbolehkan, dan selain itu ada yang sunnah, wajib,

haram juga makruh.

Menurut Hukum Islam, asal mula perkawinan diperbolehkan (mubah),

namun hukum ini dapat berubah dalam sebagai berikut:11

1) Wajib, yaitu bagi orang yang sudah layak dan ingin untuk menikah

serta yang mempunyai perlengkapan untuk menikah karna takut berzina

jika tidak menikah.

2) Sunnah, Yakni kalau dilihat dari segi fisik sudah memungkinkan untuk

menikah, dan dari segi materill yang sudah dimilikinya, maka sunnah

orang yang demikian itu untuk menikah, jika dia menikah maka akan

mendapatkan pahala, sedangkan jika tidak menikah dia tidak akan

berdosa atau tidak mendapatkan apa-apa.

3) Makruh, Yakni bagi orang yang pada dasarnya sudah bisa menikah,

namun belum bisa melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri

dengan baik.

4) Haram bagi orang yang ingin mencelakai perempuan yang dinikahinya.

3. Rukun dan Syarat Pernikahan

Sebelum melaksanakan pernikahan terlebih dahulu penting untuk

memperhatikan rukun dan syarat-syarat pernikahan diantaranya yaitu:

a. Rukun Perkawinan
10
A. Haimid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Cet. Ke 3, Banda Aceh,
2010) h.35
11
Zaeni Asyhadie, dkk., Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia h. 36

15
Rukun dalam perkawinan merupakan hal yang harus dipenuhi dari

pelaksanaan perkawinan, tanpa terpenuhinya salah satu rukunnya maka

perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Adapun yang termasuk dalam rukun

perkawinan, yaitu sebagai berikut:12

1) Calon mempelai laki-laki dan perempuan

2) Wali bagi calon mempelai perempuan.

3) Adanya Dua orang saksi dan;

4) Ijab dan Kabul.

b. Syarat-syarat Perkawinan

Setiap rukun mempunyai syarat-syarat tertentu. Syarat tersebut adalah:13

1) Calon Suami dan Calon Istri, Syarat-Syaratnya:

a) Beragama Islam

b) Calon suami jenis kelamin Laki-laki dan calon istri berjenis kelamin

perempuan

c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan

e) Tidak adanya halangan perkawinan

2) Wali nikah, syarat-syaratnya:

a) Laki-laki

b) Dewasa

c) Mempunyai hak perwalian

d) Tidak terdapat halangan perwaliannya.

12
Zaeni Asyhadie, dkk., Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia h. 78
13
Mardani Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam h. 10

16
3) Saksi nikah, syarat-syaratnya:

a) Minimal dua orang laki-laki

b) Hadir dalam ikjab qabul

c) Dapat mengerti maksud akad

d) Islam

e) Dewasa.

4) Ijab qabul, syarat-syaratnya:

a) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b) Adanya pernyataan menerima dari calon mempelai

c) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

d) Antara ijab dan qabul bersambungan

e) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah

f) Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal empat orang yaitu calon

mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita, dan dua orang saksi.

c. Syarat Sah Perkawinan

Mahar (mas kawin) kedudukannya sebagai kewajiban dalam perkawinan

dan syarat sahnya perkawinan. Jika tidak ada mahar, maka pernikahannya menjadi

tidak sah. Pasal 1 KHI huruf d menyebutkan bahwa mahar adalah pemberian dari

calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang

maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mahar yang diberikan

kepada calon mempelai wanita yang dinikahi akan menjadi miliknya secara

penuh.

17
1) Dasar hukum memberi mahar adalah Al-Qur‟an yang menyebutkan sebagai

berikut:

a) “Berikanlah kepada istri-istri mahar mereka sebagai pemberian”. (QS. An-Nisa

ayat 4).

b) “dan kawinilah wanita-wanita dengan izin keluarganya dan berikan pada

mereka maharnya.”(QS. An-Nisa ayat 24)

Memperhatikan rukun, syarat-syarat dan syarat sah perkawinan, maka

perkawinan tersebut tidak sah jika apabila adanya syarat dan rukun pernikahan

yang telah ditetapkan dalam Hukum Islam harus dipenuhi dan keberadaannya

perlu dilindungi oleh negara.

4. Penghalang Perkawinan

Selain syarat perkawinan di atas terdapat juga halangan perkawinan yang

telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan yang dikutip dalam buku Istiqamah, tentang

larangan perkawinan yaitu sebagai berikut:14

a. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,tentang larangan

perkawinan ditetapkan sebagai berikut: perkawinan dilarang antara (dua) orang

yang:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke

atas.

14
Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 dalam Istiqamah, Hukum Perdata Hukum Orang dan
Keluarga,(Cet. 1 Makassar: Alauddin University Press, 2014), h.107-108

18
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu menantu, mertua, anak tiri, dan ibu atau

bapak tiri.

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, dan

bibi/paman susuan.

5) hubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

istri, dalam hal seorang suami beristri lebi dari seorang.

6) memiliki hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku

dilarang untuk nikah.

b. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, menetapkan apabila

masih mempunyai hubungan perkawinan dengan orang lain tidak bisa menikah

lagi, kecuali yang terdapat pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Peluang Poligami dengan persyaratan ketat.

c. Dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, menjelaskan: Apabila

suami dan istri yang telah cerai kawin lagi 1 (satu) dengan yang lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh

dilangsungkan perkawinan lagi sepanjang hukum masing-masing agama dan

kepercayaanya yaitu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

d. Perempuan yang telah menikah berlaku masa iddah (Masa Tunggu) tertentu,

yang dituangkan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1979,

apabila: (1) perkawinan putus karena kematian=130 hari, (2) Perkawinan putus

19
karena cerai: (a) Bagi wanita masih haid=3 x suci, (b) Bagi wanita sudah tidak

haid=90 hari.a

Dari beberapa penghalang perkawinan yang telah diatur, maka setiap

perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan dengan aturan hukum Islam dan

tidak terdapat halangan perkawinan dari pelaksanaan perkawinan. Isi Pasal

tersebut memberikan kejelasan yang akurat tentang halangan perkawinan.

5. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan merupakan suatu kegiatan administrasi perkawinan

yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berkedudukan di Kantor

Urusan Agama (KUA) di wilayah kedua calon mempelai yang beragama Islam

dan di Kantor Catatan Sipil untuk non muslim .15

Sesuai dengan dinamika perubahan zaman, banyak perubahan yang terjadi.

Peralihan dari budaya lisan ke tulisan adalah ciri masyarakat modern, karna akta

surat digunakan sebagai bukti autentik. Saksi hidup tidak memberikan jaminan

bukan hanya karena kematian bisa membuat mereka hilang, tapi juga bisa

mengalami kelupaan dan kesalahan. Atas dasar ini yang disebut tindakan

diperlukan akta sebagai bukti yang abadi.

Pencatatan nikah merupakan suatu administrasi dalam rangka

penyelenggaraan ketertiban dan kesejahteraan masyarakat. Mencatat artinya

memasukkan perkawinan dalam buku akta nikah untuk masing-masing suami dan

istri. Kutipan akta nikah merupakan bukti autentik yang diberikan oleh pegawai

15
Saifuddin Afief, Notaris Syariah Dalam Praktik Jilid Ke 1 Hukum Keluarga Islam,
(Jakarta:Darunnajah Publishing, 2011), h. 137

20
pencatat nikah, perceraian maupun rujuk. Dan juga di kantor catatan sipil sesuai

dengan hukum yang berlaku tentang pencatatan nikah.

Pencatatan tidak menentukan keabsahan suatu perkawinan, melainkan

menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu ada dan terjadi, sehingga bersifat

administratif murni. Sementara itu tentang keabsahan perkawinan, Pasal 2 ayat (1)

dengan jelas menyebutkan bahwa perkawinan sah apabilah dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.16 Sumber satu-satunya dari

pembentukan hukum demikian juga dengan dan kekuatan mengikatnya adalah

kesadaran hukum masyarakat. Untuk itu dalam Undang-Undang Perkawinan ini

tentang syarat sahnya perkawinan berdasarkan agama dan kepercayaannya.

Undang-Undang Perkawinan ini tidak menafikan sub-sub system hukum yang ada

dimasyarakat (hukum adat dan hukum agama) sehingga tata cara perkawinan

selanjutnya dilaksanakan dengan menggunakan hukum-hukum adatnya atau

hukum-hukum agama.17

Legalitas suatu perkawinan dari segi hukum perdata, ada jika perkawinan

tersebut telah didaftarkan pada kantor administrasi negara yang resmi, meskipun

dari segi agama pencatatan perkawinan hanya berfungsi untuk memenuhi

administrasi bukan untuk menetukan sah atau tidaknya perkawinan. Selama

perkawinan belum didaftarkan maka akan disebut dengan kawin sirri dan

16
Zaeni Asyhadie, dkk, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif Di Indonesia h.104-105
17
Ahkam Jayadi. "Membuka Tabir Kesadaran Hukum." Jurisprudentie: Jurusan Ilmu
Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 4.2 (2017).

21
dianggap tidak sah menurut ketentuan hukum, meskipun suami dan istri telah

mematuhi tata cara nikah yang diatur dalam ketentuan agama.18

Pencatatan perkawinan bertujuan untuk membentuk tatanan perkawinan

dalam masyarakat. Ini adalah upaya yang diatur oleh undang-undang dan

khususnya bagi perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Dengan pencatatan

perkawinan yang dibuktikan dengan akta, salah satu dari mereka dapat mengambil

tindakan hukum jika terjadi perselisihan antara suami dan istri untuk membela

atau mendapatkan haknya. Sebab dengan perbuatan tersebut, suami istri

mempunyai bukti autentik.19

Manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan pencatatan nikah diantaranya:20

a. Adanya bukti autentik terhadap perkawinan.

b. Menjadi kepastian hukum untuk membantu proses terciptanya keluarga yang

sakinah, mawaddah dan rahmah, dengan demikian memberikan kemaslahatan

antara kedua belah pihak antara suami dan istri.

Hukum perkawinan tidak semata-mata hukum keperdataan. Keharusan

mencatatkan perkawinan di kantor catatan sipil (burjelijkestand) sebagai satuan

jabatan administrasi Negara, menunjukkan perkawinan diatur juga (masuk ke

dalam) hukum administrasi Negara. Sekarang bagi yang melangsungkan

perkawinan menurut agama Islam tidak hanya dicatat oleh pejabat Administrasi

Negara (Pegawai Kantor Urusan Agama). Selain hukum-hukum administrasi

negara, hukum perkawinan mengandung pula regim hukum pidana, misalnya

18
Khaeron Sirin, Perkawinan Mazhab Indonesia:Pergulatan antara Negara, Agama, dan
Perempuan, (Cet. 1, Yogyakarta, 2018) h. 79
19
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h.
107
20
Mardani, Hukum keluarga Islam di Indonesia (Cet. Ke-2 Kencana, 2017), h. 58

22
seperti dimuat UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 61, PP No. 9 Tahun 1975 Pasal 45.

Dengan demikian hukum perkawinan sekaligus sebagai regim hukum


21
keperdataan, hukum administrasi, dan hukum pidana.

Sejak berlakunya Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan.

Mewajibkan adanya pencatatan perkawinan, dalam pasal 2 ayat (2) Sehingga

setiap perkawinan yang berlangsung setelah tahun 1974 melaksanakan pencatatan

perkawinan. Begitu pula dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat (1) agar

terjain ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus

dicatat. Dan pasal 5 ayat (2) pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1),

dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-undang nomor 32 tahun 1954.

Kemudian pasal 6 KHI juga menyebutkan tentang perlunya pengawasan Pegawai

Pencatat Nikah ketika pernikahan dilangsungkan.

Secara lebih rinci Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang

pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan Bab II Pasal 2

menjelaskan tentang pencatatan perkawinan pada ayat (1), (2), dan (3), yaitu

pencatat perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut

agama Islam, dilakukan oleh pengawas pencatat, sebagaimana dimaksud dalam

UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, Rujuk. Pencatat

perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan

kepercayaannya itu, selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai

21
Jamal Jamil. "Subtansi Hukum Materil Perkawinan Di Lingkungan Peradilan
Agama." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 2.1 (2015).

23
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak mengurangi

ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan

dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Peraturan Pemenerintah No. 9

tahun 1975.22

ketentuan pencatatan nikah di dalam syariat Islam tidak di wajibkan,

pencatatan perkawinan hanya menjadi masalah adminsitrasi Negara, namun tidak

menjadi kategori sah ataupun tidak sah nya suatu pernikahan. Jika pernikahan

yang tidak dilakukan pencatatan sering dikatakan sebagai perkawinan siri. Ketika

melihat dari segi manfaat pencatatan nikah menjadi penting dan diperlukan

adanya, karena didalam melangsungkan perkawinan tidak hanya memperhatikan

dari aspek hukum fikih saja, namun juga dari aspek-aspek keperdataan. Sehingga

pencatatan perkawinan menjadi satu-satunya yang dapat menjadi bukti autentik

seseorang setiap terjadinya akad pernikahan.

Al-Qur‟an menjelaskan pentingnya melakukan pencatatan di dalam QS.Al-

Baqarah/ 2:282.

َ ُۡ‫َٕ ُى‬١َّۡ ‫َ ۡىتُةَت‬١ٌۡ َٚ َ ًُٖۚ ُٛ‫َفَ ۡٱوتُث‬ّّٝ ّٗ ‫َٰ ٓ َأَ َج ًٖ َ ُِّ َس‬ٌَِٝ‫ ٍٓ َإ‬٠ۡ ‫َٕتَُُتِ َذ‬٠‫ ْا َإِ َراَتَ َذا‬ٛٓ ََُِٕ ‫ٓ َ َءا‬٠ َ ‫َاَٱٌَّ ِز‬ٙ٠ُّ َ ‫َٓأ‬٠َٰ
َٞ‫ُّۡ ٍِ ًِ َٱٌَّ ِز‬١ٌۡ َٚ َ ‫َ ۡىتُ ۡة‬١ٍۡ َ‫َُٱّللُ َف‬
ًۚ َّ َّٗ ٍَّ‫ة َ َو َّاَ َع‬ َ ُ‫َ ۡىت‬٠ََْ‫ب َ َواتِةٌ َأ‬ َ ‫َ ۡأ‬٠َ ‫ ََل‬َٚ َ ‫َواتِ ُۢةُ َتِ ۡٱٌ َع ۡذ ًۚ ِي‬
…َ‫َّۡ ّّٗ ًۚا‬ٟ‫سَ ِِ َُٕۡٗ َش‬ ۡ ‫َ ۡث َخ‬٠َ‫ ََل‬َٚ‫ۥ‬ َّ ‫ك‬
َ َُٗ َّ‫َٱّللََ َست‬ َۡ ‫ك‬
ِ َّ‫َت‬١ٌَٚ ُّ ‫َٱٌ َح‬ ۡ ِٗ ١ۡ ٍَ‫َع‬
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, apabilah kamu melakukan utang
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan
benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannyasebagaimana
Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan.
Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, 23

22
Zaeni Asyhadie, dkk, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia (Cet.
Pertama, Depok, 2020) h. 105
23
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h.49

24
Berdasarkan ayat diatas mengajarkan untuk selalu melakukan pencatatan

dalam segala bentuk muamalah seperti perdagangan, utang usaha dan lainnya,.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa bukti tertulis memiliki status yang lebih adil di

hadapan Allah, yang dapat memperkuat kesaksian dan menghindarkan kita dari

keraguan. Jika telah mendapatkan sumber nash hukum yang menjadi landasan

dalam pencatatan nikah, lalu carilah illat yang keduanya ada dalam akad nikah

dan muamalah, yaitu adanya kerugian atau mudharat yang terjadi jika tidak ada

bukti tertulis. Maka dapat diqiyaskan antara akad nikah dan muamalah. Dengan

adanya bukti tersebut maka calon pengantin dapat terhindar dari mudharat di

kemudian hari karena bukti tertulis ini dapat secara legal menangani berbagai

permasalahan rumah tangga, terutama alat bukti yang paling valid di hadapa

Pengadilan Agama.

Beberapa dampak negatif dari pernikahan yang tidak tercatat yaitu:24

a. Dalam perkawinannya tidak memiliki kekuatan hukum untuk melindungi hak

dan pemenuhan kewajiban dari masing-masing pihak, naik suami maupun istri.

b. Jika terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak di masa

mendatang, pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut hak apapun. Apabila

tidak melaksanakan kewajibannya, secara hukum tidak dapat dituntut untuk

bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan pasangannya. Karena ikatan

yang terjalin dalam perkawinan tidak sesuai dengan ketentuan hukum

perkawinan yang berlaku di Indonesia dan perkawinan tersebut dimata hukum

24
Mardani Hukum Keluarga Islam di Indonesia (Cet. Ke-2, Kencana, 2017) h. 58

25
dianggap tidak sah, maka perkawinan yang tidak dicatat memberikan peluang

akan terjadinya kemudharatan.

B. Perkawinan Sirri

1. Pengertian Perkawinan Sirri

Kata “sirri” secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yang berarti “rahasia”

(Secret marriage). Menurut Imam Maliki, nikah sirri adalah “nikah yang atas

berdasarkan keinginan suami,dan harus di rahasiakan dari orang lain bahkan

keluarganya oleh para saksi nikah.”25

Menurut Mazhab Maliki pernikahan sirri bisa dibatalkan dan pelakunya

bisa dikenai hukuman cambuk atau rajam jika keduanya telah melakukan

hubungan seksual dan diakui oleh empat orang saks lainnya. Demikian juga

Mazhab Syafi‟i dan Hanafi tidak membolehkan pernikahan yang terjadi secara

sirri. Sedangkan menurut Mazhab Hambali nikah sirri dibolehkan jika

dilangsungkan ketentuan syariat islam meskipun dirahasiakan oleh kedua

mempelai, wali, dan para saksinya. Hanya saja hukumnya makruh.

Disamping itu dikenal juga dalam masyarakat nikah sirri adalah

pernikahan yang dilakukan oleh wali dan disaksikan oleh saksi, tetapi nikah tidak

dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah yang merupakan aparat resmi dari

pemerintah sehingga perkawinan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama.

Perkawinan yang demikian dikenal dalam masyarakat dengan perkawinan di

bawah tangan atau perkawinan sirri.26

25
Bustami, Memikirkan Kembali Problematika Perkawinan Poligami Secara Sirri, (Cet.
1, Yogyakarta, 2020) h. 41
26
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya (Cet.1 Yogyakarta, 2015) h. 47

26
Dilihat dari hukum adat Ter Haar memandang perkawinan secara berbeda,

bahwa perkawinan bukan hanya kesepakatan hukum perdata namun juga ikatan

kekerabatan dan ketetanggaan, karena memiliki konsekuensi tidak hanya berdasar

pada hukum perdata seperti hak dan kewajiban suami istri, kepemilikan bersama

antara kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga hukum adat .27

2. Sebab Terjadinya Pernikahan Sirri

Beberapa Faktor penyebab terjadinya perkawinan sirri adalah sebagai

berikut:28

1) Tidak ada isin orang tua

2) Tidak ada isin istri

3) Istri sakit yang tidak bisa disembuhkan

4) Pegawai Negeri Sipil

5) Tentara Nasional Indonesia

6) Ingin menikah sebelum masa iddah

7) Hubungan tidak harmonis dalam rumah tangga.

8) Kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang pencatatan

nikah

9) Faktor ekonomi.

Taufiqorrahman Syahuri dalam bukunya menjelaskan beberapa faktor-

faktor terjadinya nikah sirri di masyarakat antara lain sebagai sarana untuk

27
Nur Aisyah. "Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam di
Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 5.1 (2018): 73-92.
28
Zainuddin, dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan siri dan
Permasalahannya, ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Cet. 1, Yogyakarta,
2015) h.50

27
berpuas-puas, dan untuk menikah dengan wanita lain tanpa sepengetahuan istri

yang sah.29

Perkawinan merupakan perbuatan hukum, sehingga Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 menjadi rujukan dalam pelaksanaan perkawinan, agar

memberikan jaminan terhadap hak suami, istri dan juga anak serta mencegah dari

kemudharatan.

Terdapat beberapa alasan dari pihak perempuan yang menyebabkan

mereka rela dinikahi sirri antara lain:30

1) Terpenting sah di hadapan Allah SWT

2) Adanya seseorang yang dapat melindungi

3) Bisa memberikan semua fasilitas kebutuhan

4) Ingin mencari teman hidup

5) Kebutuhan menyalurkan hasrat ke tempat yang halal

6) Tergoda dengan harta

7) Terlanjur cinta.

Pernikahan yang dilakukan secara sirri padahal mereka (para istri) ada di

pihak yang dirugikan karena sewaktu-waktu bisa diceraikan cukup dengan kata-

kata, tidak ada hak waris untuk istri dan anaknya, dan dampak lain bagi anak. Hal

ini berbeda jauh dengan status pernikahan resmi yang diakui oleh negara dengan

diterbitkannya buku nikah/akta pernikahan, status istri dan anak jelas, bisa

menuntuk cerai jika tidak dinafkahi, mendapatkan hak waris ketika suami

meninggal atau mendapatkan harta gono-gini ketika bercerai. Dalam pasal 31 ayat
29
Bahtiar Tahir, Nikah Siri:Penyebab dan problematika Atas Status Anak Dalam
Perspektif Hukum Islam, (Surabaya, 2016) h. 26
30
Bustami, Memikirkan Kembali Problematika Perkawinan Poligami Secara Sirri, h.46

28
1 undang-undang perkawinan bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang

dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan

hidup bersama dalam masyarakat. Istilah yang digunakan ialah seimbang yang

secara implisit mengadung makna persamaan, begitupula dengan kedudukan anak

baik antara hak dan kewajiban anak, dengan demikian sebenarnya tidak ada

ketentuan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan.31

C. Itsbat Nikah

1. Pengertian Itsbat Nikah

Menurut bahasa, isbat nikah terdiri dari dua kata, yaitu kata isbat yang

merupakan masdar atau asal kata dari atsbata yang memiliki arti “menetapkan”

dan “nikah” yang berasal dari kata nakaha yang memiliki arti “saling menikah”.

Dengan demikian, kata isbat nikah memiliki arti, yaitu “penetapan pernikahan”.32

Sedangkan dalam pandangan fiqh nikah secara bahasa artinya bersenggama atau

bercampur. Para ulama fiqh berbeda pendapat tentang makna nikah, namun secara

keseluruhan dapat disimpulkan bahwa nikah menurut ahli fiqh berarti akad nikah

yang ditetapkan oleh syara‟ bahwa seorang suami dapat memanfaatkan dan

bersenang-senang dengan kehormatan seorang istri serta seluruh tubuhnya.33

Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah merupakan

penetapan tentang kebenaran (keabsahan nikah). Pada prinsipnya itsbat nikah

yaitu pengesahan perkawinan yang telah dilaksanakan menurut syariat agama

31
Hartini, Hartini. "Kedudukan Wanita dalam hukum Islam." Jurnal Al-Qadau:
Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 1.2 (2014).
32
Zaeni Ayhadie,dkk, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia (Cet.1
Depok:Rajawali Pers, 2020) h. 112
33
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya, ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, h. 65

29
Islam, namun tidak tercatat oleh KUA atau PPN yang berwenang (Keputusan

Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan).34

Jadi dapat dipahami itsbat nikah adalah penetapan perkawinan antara laki-

laki dan perempuan sebagai suami istri yang dilaksanakan menurut ketentuan

agama Islam yang memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Namun demikian

perkawinan tersebut terjadi pada masa yang lampau dan belum dilaporkan kepada

petugas yang berwenang Pegawai Pencatat Nikah.

Itsbat nikah dalam kewenangannya di Pengadilan Agama/ Mahkamah

Syar‟iyah merupakan perkara voluntair. Perkataan voluntair adalah jenis perkara

yang hanya ada pihak pemohon saja, tidak ada pihak lawan, dan tidak ada

sengketa. Oleh karena itu, ia tidak disebut sebagai perkara sebab perkara itu

mengharuskan adanya pihak lawan dan objek yang disengketakan. Karena ia

bukan perkara, maka suatu pengadilan tidak berwenang untuk mengadilinya.

Namun demikian, Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman menentukan bahwa suatu pengadilan berwenang menyelesaikan

perkara yang tidak mengandung sengketa apabila ada ketentuan dan penunjukan

oleh Undang-undang.35

2. Dasar Hukum Itsbat Nikah

Bagi umat Islam peradilan agama merupakan bagian implikasi dari

pelaksanaan syariat Islam. Materi hukum perkawinan pada Pengadilan Agama

menjadi substansi dalam pelaksanaan hukum Islam itu sendiri. Sehingga tidak
34
Zaeni Asyhadie, dkk, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia, h. 112
35
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan siri dan
Permasalahannya ditinjau dar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, h. 66

30
mungkin pengambilan putusan oleh Badan Peradilan Agama tanpa mengacu pada

hukum yang diberlakukan oleh sebuah negara.36

Di dalam Undang-undang tentang Peradilan Agama mengalami perubahan

dengan lahirnya Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas

Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dijelaskan dalam

pasal 49 huruf (a) angka 2 Undang-undang tersebut diatur tentang pengesahan

perkawinan terhadap perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 tentang Perkawinan, dan aturan tersebut sama dengan ketentuan yang

diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 diatas berbunyi: Pengadilan

Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan

masalah ditingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang: a.

Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam

atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang

dilakukan menurut syari‟ah, antara lain: Pernyataan tentang sahnya perkawinan

yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang perkawinan

dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Maka dari itu landasan itsbat nikah yaitu berdasarkan ketentuan yang ada

pada Undang-undang No. 3 tahun 2006. :37

a. Perkara permohonan itsbat nikah itu adalah bersifat voluntair murni.

36
Jamal Jamil. "Hukum Materil Perkawinan di Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan
dan Hukum Keluarga Islam 4.2 (2018): 413-428.
37
Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya, ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, h. 66-67

31
b. Perkawinan yang dapat diitsbatkan adalah perkawinan yang terjadi sebelum

berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan perkawinan yang

terjadi sesudahnya.

Itsbat bermakna penetapan tentang adanya suatu perkawinan. Perkawinan

yang dilaksanakan sebelum tahun 1974 tetapi belum dicatatkan diberikan

“dispensasi” dari negara agar mencatatkan pernikahannya yaitu dengan

melakukan itsbat nikah di Pengadilan Agama. Tapi kemudian kewenangan

Pengadilan Agama berkembang dan diperluas. Jika perkawinan tidak dapat

dibuktikan dengan akta nikah maka dapat di ajukan itsbat nikah.38 Pasal 7 KHI

merumuskan mengenai perkawinan yang bisa di itsbatkan yaitu:

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan dengan Akta Nikah yang

dibuat Oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah , dapat

diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai

hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian.

b. Hilangnya akta nikah.

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan.

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 dan;

38
Rahayu, Ninik. "Politik Hukum Itsbat Nikah." Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam
12.2 (2016)

32
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri ,

anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan

perkawinan itu.

Berdasarkan pasal diatas menjadi dasar hukum hakim dalam memutuskan

perkara itsbat nikah, yang memberikan kepastian hukum terhadap perkawinan

yang tidak tercatat, pasal ini menjadi ketentuan yang membolehkan dilakukannya

itsbat nikah dengan beberapa syarat dan batasan yang telah ditentukan. Menurut

Nur Aisyah, dengan mengutip pendapat Atho Mudzhar yang juga mengutip Paul

Scholten yang juga merupakan sarjana Belanda, hakim adalah yang telah

ditakdirkan harus belajar sepanjang hayatnya, kemudian putusan hakim itu adalah

putusan dari akal pikiran dan hati nurani, kalau cacat sedikit saja, maka

putusannya akan menjadi siksaan kepada rasa keadilan masyarakat.39

Maka dari itu berdasarkan pendapat terebut di atas memberikan kejelasan

bahwa tugas hakim dalam mengadili harus mampu memberikan putusan yang

seadil-adilnya sehingga sebagai seorang hakim tidak boleh kurang pemahamannya

dalam banyak hal, sehingga mampu memberikan keadilan kepada masyarakat.

3. Prosedur Pelaksanaan Itsbat Nikah

Pelaksanaan itsbat nikah dilakukan karena adanya sebuah peristiwa

perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan aturan yang ditentukan oleh agama,

namun tidak memenuhi persyaratan yang diatur oleh negara, yaitu tidak dicatat

39
Nur Aisyah. "Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam di
Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 5.1 (2018): 73-92.

33
oleh pegawai pencatat nikah yang berwenang. Perkawinan yang tidak memenuhi

syarat legalitas ini sering disebut juga dengan pernikahan sirri.40

Persyaratan seseorang yang berhak/dapat mengajukan permohonan itsbat

nikah antara lain:41

Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (4) KHI yang

berbunyi “yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau

istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan

perkawinan itu”.

a. Bersifat volunteir (perkara yang pihaknya hanya terdiri dari pemohon saja,

tidak ada pihak termohon).

1) Jika permohonan diajukan oleh suami dan istri secara bersama-sama.

2) Jika permohonan diajukan oleh suami/istri yang ditinggal mati oleh

suami/istrinya, sedangkan pemohon tidak mengetahui ada ahli waris

lainnya selain dia.

b. Bersifat kontensius (perkara yang pihaknya terdiri dari pemohon melawan

termohon atau penggugat melawan tergugat).

1) Jika permohonan diajukan oleh salah seorang suami atau istri, dengan

mendudukkan suami atau istri sebagai pihak termohon.

2) Jika permohonan suami/istri sedang salah satu dari suami istri tersebut

masih ada hubungan perkawinan dengan pihak lain, pihak lain tersebut

juga harus dijadikan pihak dalam permohonan tersebut.

40
Novitasari, Siska Dwi. "Akibat Hukum Itsbat Nikah Dalam Perspektif Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Hukum Islam." Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum
26.4 (2020)
41
Zaeni Asyhadie, dkk, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia, h.119

34
3) Jika permohonan diajukan oleh suami atau istri yang ditinggal mati oleh

suami atau istrinya, tetapi dia tahu ada ahli waris lainnya selain dia.

4) Jika permohonan diajukan oleh wali nikah, ahli waris atau pihak lain yang

berkepentingan.

Prosedur pelaksanaan itsbat nikah adalah sebagai berikut:

a. Pendaftaran di Pengadilan Agama.

Gugatan atau permohonan dapat diajukan dalam bentuk surat atau secara

lisan atau juga dapat dengan menggunakan kuasa yang telah ditunjuk kepada

Ketua Pengadilan Agama dengan membawa surat bukti identitas diri (KTP)

b. Membuat surat permohonan.

c. Surat permohonan atau dengan meminta bantuan kepada Pos Bakum (Pos

Bantuan Hukum) yang ada di pengadilan secara cuma-cuma, di lanjutkan

dengan hal hal antara lain:

1) Foto copy Formulir permohonan itsbat nikah.

2) Melampirkan surat-surat yang diperlukan, antara lain surat keterangan dari

KUA bahwa pernikahannya tidak tercatat.

3) Membayar biaya ongkos perkara.

4) Pendaftaran perkara dalam buku register dilakukan oleh panitera.

5) Meneruskan gugatan/permohonan setelah didaftarkan oleh ketua

Pengadilan Agama, pemberian nomor, tanggal perkara dan ditentukan hari

sidangnya,

6) Penentuan majelis hakim oleh ketua Pengadilan Agama.

d. Menghadiri Persidangan.

35
Menghadiri persidangan maksudnya adalah datang ke pengadilan sesuai

dengan tanggal dan waktu yang tertera dalam surat panggilan.

e. Putusan/Penetapan Pengadilan.

Dalam pemeriksaan itsbat nikah, akan mengeluarkan putusan /penetapan

sebagai berikut:

1) Jika permohonan dikabulkan, pegadilan akan mengeluarkan

putusan/penetapan itsbat nikah.

2) Salinan putusan/penetapan itsbat nikah akan siap diambil dalam jangka

waktu setelah 14 hari dari sidang terakhir.

3) Salinan putusan/penetapan itsbat nikah dapat diambil sendiri ke kantor

pengadilan atau mewakilkan kepada orang lain dengan surat kuasa.

4) Setelah mendapatkan salinan putusan/penetapan tersebut, bisa meminta

KUA setempat untuk mencatatkan pernikahan tersebut dengan

menunjukkan bukti salinan putusan/penetapan pengadilan tersebut.

Dalam mengajukan permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng

Kelas II B mengikuti beberapa prosedur penerimaan perkara berdasarkan dengan

Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama.42

a. Sistem pelayanan perkaradi Pengadilan Agama / Mahkamah Syar‟iyah

menggunakan system meja, yaitu sistem kelompok kerja yang terdiri dari:

Meja I (termasuk di dalamnya Kasir) Meja II, dan Meja III.

42
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, Buku II, 2013, h. 9-12

36
b. Petugas Meja I menerima gugatan, permohonan, verzet, permohonan eksekusi

dan perlawanan pihak ketiga (derden verzet).

c. Perlawanan atas putusan verstek (verzet) tidak didaftar sebagai perkara baru,

akan tetapi menggunakan nomor perkara semula (verstek) dan Pelawan

dibebani biaya untuk pemanggilan dan pemberitahuan pihak-pihak yang

ditaksir oleh petugas Meja I.

d. Perlawanan pihak ketiga (derden verset) didaftar sebagai perkara baru.

e. Dalam pendaftaran perkara, dokumen yang perlu diserahkan kepada petugas

Meja I adalah:

1) Surat gugatan atau surat permohonan yang ditujukan kepada Ketua

Pengadilan / Mahkamah Syar‟iyah yang berwenang.

2) Surat Kuasa Khusus (dalam hal Penggugat atau Pemohon menguasakan

kepada pihak lain).

3) Fotokopi Kartu Anggota Advokat bagi yang menggunakan jasa advokat.

4) Bagi Kuasa Insidentil, harus ada surat keterangan tentang hubungan

keluarga dari Kepala Desa / Lurah/gampong/nagari/ dan/atau surat izin

khusus dari atasan bagi PNS dan Anggota TNI/Polri. (Surat edaran

TUADA ULDILTUN MARI No. MA/KUMDIL/8810/1987).

5) Salinan putusan (untuk permohonan ekseskusi).

6) Salinan surat-surat yang dibuat di luar neger yang disahkan oleh kedutaan

atau perwalian Indonesia di negara tersebut, dan telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah yang disumpah.

37
f. Surat gugatan / permohonan diserahkan kepada petugas Meja I sebanyak

jumlah pihak, ditambah 3 (tiga) rangkap untuk Majelis Hakim.

g. Petugas Meja I menerima dan memeriksa kelengkapan berkas dengan

menggunakan daftar periksa (check list),

h. Dalam menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja I berpedoman pada Surat

Keputusan Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah tentang panjar

Biaya Perkara.

i. Dalam menentukan panjar biaya perkara, Ketua Pengadilan Agama /

Mahkamah Syar‟iyah harus merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun

2008 tentang PNBP, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2009

tentang Biaya Proses Penyelesaian Perkara dan Pengelolaannya pada

Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya serta

peraturan terkait lainnya.

j. Komponen PNBP yang ditaksir meliputi biaya pendaftaran dan hak redaksi

ditaksir sendiri, tidak masuk panjar biaya.

k. Dalam menaksir panjar biaya perkara perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai

berikut:

1) Jumlah pihak yang berperkara

2) Jarak tempat tinggal dan kondisi daerah para pihak (radius).

l. Setelah menaksir panjar biaya perkara, petugas Meja I membuat Surat Kuasa

Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 4 (empat):

1) Lembar pertama warna hujau untuk bank.

2) Lembar kedua warna putih untuk Penggugat/Pemohon.

38
3) Lembar ketiga warna merah untuk Kasir.

4) Lembar keempat warna kuning untuk dimasukkan dalam berkas.

m. Surat Keputusan Ketua Pengadilan / Mahkamah Syar‟iyah tentang Panjar

Biaya Perkara harus ditempel pada papan pengumuman Pengadilan Agama.

n. Petugas Meja I mengembalikan berkas kepada Peggugat/Pemohon untuk

diteruskan kepada Kasir.

o. Penggugat / Pemohon membayar uang panjar biaya perkara yang tercantum

dalam SKUM ke bank.

p. Pemegang Kas menerima bukti setor ke bank dari Penggugat / Pemohon dan

membukukannya dalam Buku Jurnal Keuangan Perkara.

q. Pemegang Kas memberi nomor, membubuhkan tanda tagan dan cap tanda

lunas pada SKUM.

r. Nomor urut perkara adalah adalah nomor urut pada Buku Jurnal Keuangan

Perkara.

s. Pemegang Kas menyerahkan sau rangkap surat gugatan/ permohonan yang

telah diberi nomor perkara berikut SKUM kepada Penggugat / Pemohon agar

didaftarkan di Meja II.

t. Petugas Meja II mencatat perkara tersebut dalam Buku Register Induk

Gugatan / Permohonan sesuai dengan nomor perkara yang tercantum pada

SKUM.

u. Petugas Meja II menyerahkan satu rangkap gugatan / permohonan yang telah

terdaftar berikut SKUM rangkap pertama kepada Penggugat / Pemohon.

39
v. Petugas Meja II memasukkan surat gugatan / permohonan tersebut dalam

map berkas perkara yang telah dilengkapi dengan formulir : PMH, Penujukan

Panitera Pengganti, Penunjukan Jurusita Pegganti, PHS dan Instrumen.

w. Petugas Meja II menyerahkan berkas kepada Panitera melalui Wakil Panitera

untuk disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama / Mahkamah Syar‟iyah.

x. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja berkas perkara sebagaimana

angka (22) di atas harus sudah diterima oleh Ketua Pengadilan Agama /

Mahkamah Syar‟iyah.

Pengesahan nikah atau itsbat nikah harus memperhatikan hal-hal yang

dijelaskan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan

Agama oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktorat Jendral Peradilan

Agama yaitu:43

a. Aturan pengesahan nikah/itsbat nikah, dibuat atas dasar adanya perkawinan

yang dilangsungkan berdasarkan agama atau tidak dicatat oleh PPN yang

berwenang.

b. Pengesahan nikah diatur dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1946 jis Pasal 49 angka (22) penjelasana Undang-Undang Nomor 7

c. Tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun

2009 dan Pasal 7 ayat (2),(3), dan (4) Kompilasi Hukum Islam.

43
Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan
Agama, Buku II, 2013, h. 153-156

40
d. Dalam Pasal 49 angka (22) penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Noor 3 Tahun 2006 dan

Pasal 7 ayat (3) huruf (d) Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang disahkan

hanya perkawinan yang dilangsungkan sebelum berlakunya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974. Akan tetapi, Pasal 7 ayat (3) huruf (a) Kompilasi

Hukum Islam memberikan peluang untuk pengesahan perkawnan yang dicatat

oleh PPN yang dilangsungkan sebelum atau sesudah berlakunya Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 untuk kepentingan perceraian (Pasal 7 ayat (3)

huruf (a) Kompilasi Hukum Islam.

e. Itsbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian tidak dibuat secar tersendiri

melainkan menjadi satu kesatuan dalam putusan perceraian.

f. Untuk menghindari adanya penyelundupan hukum dan poligami tapa prosedur,

Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari‟iyah harus berhati-hati dalam

menangani permohonan itsbat nikah.

g. Proses pengajuan, pemeriksaan, dan penyelesaian permohonan pengesahan

nikah,/itsbat nikah harus memedomani hal-hal sebagai berikut:

1) Permohonan itsbat nikah dapat dilakukan oleh kedua suami isteri atau

salah satu dari suami isteri, anak, wali nikah, dan pihak lain yang

berkepentingan dengan perkawinan tersebut kepada Pengadilan Agama

atau Mahkamah Syar‟iyah dalam wilayah hukum Pemohon bertempat

tinggal dan permohonan itsbat nikah harus dilengkapi dengan alasan dan

kepentingan yang jelas serta konkrit.

41
2) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh kedua

suami isteri bersifat voluntair, produknya berupa penetapan. Jika isi

penetapan tersebut menolak permohonan istbat nikah, maka suami dan

isteri bersama-sama atau suami, isteri masing-masing dapat mengajukan

upaya hukum kasasi.

3) Proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah yang diajukan oleh salah

seorang suami atau isteri bersifat kontensius dangan mendudukkan isteri

atau suami yang tidak mengajukan permohonan sebagai pihak Termohon,

produknya berupa putusan dan terhadap putusan tersebut dapat diajukan

upaya hukum banding dan kasasi.

4) Apabila dalam proses pemeriksaan permohonan itsbat nikah dalam angka

(2) dan (3) tersebut di atas diketahui bahwa suaminya masih terikat

dalam perkawinan yag sah dengan perempuan lain, maka isteri terdahulu

tersebut harus dijadikan pihak dalam perkara. Jika Pemohon tidak mau

merubah permohonannya dengan memasukkan isteri terdahulu sebagai

pihak, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.

5) Permohonan itsbat nikah yang dilakukan oleh anak, wali nikah, dan

pihak lain yang berkepentingan harus bersifat kontensius, dengan

mendudukkan suami dan isteri dan/atau ahli waris lain sebagai

Termohon.

6) Suami atau isteri yang telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya,

dapat mengajukan permohonan itsbat nikah secara kontensius dengan

mendudukkan ahli waris lainnya sebagai pihak Termohon, produknya

42
berupa putusan dan atas putusan tersebut dapat diupayakan banding dan

kasasi.

7) Dalam hal suami atau isteri yang ditinggal mati tidak mengetahui ada ahli

waris lain selain dirinya maka permohonan itsbat nikah diajukan secara

voluntair, produknya berupa penetapan. Apabila permohonan tersebut

ditolak, maka Pemohon dapat mengajukan upaya hukum kasasi.

8) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam

perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (2) dan (6), dapat

melakukan perlawanan kepada Pengadilan Agaa atau Mahkamah

Syar‟iyah yang memutus, setelah mengetahui ada penetapan itsbat nikah.

9) Orang lain yang mempunyai kepentingan dan tidak menjadi pihak dalam

perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3, (4), dan (5),

dapat mengajukan intervensi kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah

Syar‟iyah yang memeriksa perkara itsbat nikah tersebut selama perkara

belum diputus.

10) Pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum dan tidak menjadi pihak

dalam perkara permohonan itsbat nikah tersebut dalam angka (3),(4) dan

(5), sedangkan permohonan tersebut telah diputus oleh Pengadilan

Agama atau Mahkamah Syar‟iyah, dapat mengajukan gugatan

pembatalan perkawinan yang telah disahkan oleh Pengadilan Agama atau

Mahkamah Syar‟iyah tersebut.

11) Ketua Majelis Hakim 3 (tiga) hari setelah menerima PMH, membuat

PHS sekaligus memerintahkan jurusita pengganti untuk mengumumkan

43
permohonan pengesahan nikah tersebut 14 (empat belas) hari terhitung

sejak tanggal pengumuman pada media massa cetak atau elektronik atau

sekurang-kurangnya diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar‟iyah.

12) Majelis Hakim dalam menetapkan hari sidang paling lambat 3 (tiga) hari

setelah berakhirnya pengumuman. Setelah hari pengumuman berakhir,

Majelis Hakim segera menetapkan hari sidang (Hukum Acara).

13) Untuk keseragaman, amar pengesahan nikah berbunyi sebagai berikut

“Menyatakan sah perkawinan antara …. dengan …. yang dilaksanakan

pada tanggal …. di ….”.

4. Akibat Hukum Itsbat Nikah

Pelaksanaan itsbat nikah merupakan peristiwa hukum, sehingga peristiwa

hukum itsbat nikah ini mempunyai akibat hukum terhadap peristiwa pernikahan

tersebut, khususnya yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:44

a. Status Perkawinan

Perkawinan yang sebelumnya hanya sah menurut hukum agama, dengan

adanya atau dilakukannya itsbat nikah, tidak hanya sah menurut hukum agama

namun juga akan sah menurut hukum negara dalam arti kata segala akibat dari

perkawinan tersebut mejadi sah dan tercatat sesuai yang dimaksudkan dalam

hukum negara.

b. Status anak

44
Zaeni Asyhadie, dkk, Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia, h.120

44
Itsbat nikah yang dilaksanakan akan memberikan kepastian hukum terhadap

status anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut. Dalam hal ini

kepastian hukum tentang status anak diantaranya dapat dilihat dari peraturan-

peraturan berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, pada tahun 28-B ayat (1),

yaitu: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan yang sah”.

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 42,

yaitu: “Anak Sah adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat

perkawinan yang sah”.

3) Pasal 2 ayat (1), yaitu: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

4) Pasal 2 ayat (2), yaitu: „Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

5) Pasal 99 KHI, anak yang sah adalah: (1) anak yang dilahirkan dalam atau

akibat perkawinan yang sah; dan (2) hasil perbuatan suami istri yang sah di

luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.

Jadi, dengan pengajuan itsbat nikah bisa untuk “mengesahkan” si anak

sehingga dapat dibuatkan akta kelahiran, dan kemudian memiliki hubungan

hukum dengan kedua orang tua si anak. Selain itu, dapat memberikan jaminan

terhadap hak-hak istri, suami, dan anak-anak mereka, karena hak tersebut dapat

diwujudkan atau dituntut karna memiliki akta otentik.

45
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini yaitu kualitatif deskriptif, atau disebut

dengan penelitian lapangan. Penelitian lapangan merupakan jenis penelitian yang

betujuan untuk menumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, yang diperoleh

dari informan secara langsung. Dengan menggunakan metode kualitatif. Metode

kualitatif adalah metode yang dilakukan melalui wawancara untuk mendapatkan

informasi dengan narasumber yang ditentukan dalam penelitian ini.

2. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian skripsi ini, maka penulis melakukan

penelitian di Kabupaten Bantaeng, dalam hal ini kantor Pengadilan Agama

Bantaeng, karena lokasi ini memudahkan peneliti untuk meneliti dan memperoleh

data serta informasi yang dibutuhkan.

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan adalah cara pandang peneliti dalam memilih spectrum ruang

bahasan yang diharap mampu memberi kejelasan uraian dari suatu substansi karya

ilmiah.1 Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan hukum

berupa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang RI Nomor 16

Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang

1
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Jusifikasi Teori
Hukum, (Cet.1, Jakarta:Kencana, 2016),h. 156

46
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan

Kompilasi Hukum Islam, beserta peraturan lain yang terkait dengan permasalahan

dalam penelitian ini.

C. Sumber Data

Sumber data yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini

adalah:

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang berasal dari lokasi penelitian yaitu

putusan atau penetapan hakim terkait itsbat nikah terhadap pernikahan sirri di

Pengadilan Agama Bantaeng, yang dilakukan dengan wawancara terhadap dua

orang hakim dan satu orang panitera muda permohonan di Pengadilan Agama

Bantaeng.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan dari studi kepustakaan atau library research

yaitu dengan cara mengumpulkan data-data, perturan-peraturan dan buku-buku

maupun jurnal yang berhubungan dengan objek penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapat data yang diinginkan penulis menggunakan metode

penelitian seperti:

1. Metode penelitian kepustakaan (library research)

Metode penelitian kepustkaan atau library research adalah investigasi di

mana berbagai data dikumpulkan dengan membaca dan menelusuri literatur

berupa buku dan jurnal yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

47
2. Metode kualitatif

Metode kualitatif yaitu metode pengumpulan informasi dan dan data

dengan cara mengamati secara langsung di lokasi penelitian dengan mengunakan

teknik-teknik berikut:

a. Observasi

Observasi merupakan observasi langsung oleh peneliti yang menganalisis

dengan pencatatan sistematis dari semua gejala yang akan datang diteliti,

pengamatan tidak hanya terbatas pada manusia tetapi juga pada objek lain. Dalam

proses observasi berbeda yaitu pertama observasi partisipan (peneliti yang terlibat

dalam aktivitas sehari-hari orang yang diamati) kedua observasi non partisipan

(tidak terlibat dan hanya menjadi peneliti yang independen) dalam hal

instrumentasi yang digunakan dapat dibedakan menjadi observasi terstruktur

(didesain secara sistematis) dan observasi (tidak terstruktur secara sistematis).

Teknik observasi nonpartisipan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

pengamatan langsung pada pelaksanaan itsbat nikah juga mengambil data di

Pengadilan Agama Bantaeng yang terkait dengan itsbat nikah.

b. Wawancara (Interview)

Wawancara dengan Ibu Nova Noviana, Ibu Dian Aslamiah selaku Hakim

Pratama dan Bapak Erwin Amir Betha sebagai Panitera Muda Permohonan di

Pengadilan Agama Bantaeng. Wawancara adalah salah satu metode analisis data

melalui komunikasi secara langsung dengan mencari permasalahan yang akan

diteliti dan ketika peneliti menginginkan pertanyaan yang lebih detail dari

responden.

48
c. Dokumentasi

Dokumentasi adalah upaya mengumpulkan data dari catatan yang diarsip

yang sesuai dengan masalah yang yang diteliti.

E. Instrument Penelitian

Instrument penelitian yaitu alat-alat yang digunakan dalam mengumpulkan

data dalam proses penelitian yaitu buku, kamera, pulpen, Flashdisk, perekam

suara dan alat lainnya. Dan juga penelitian ini memiliki tujuan untuk menemukan

data yang akurat tentang bagaimana hakim dalam memutuskan pelaksanaan itsbah

nikah, kepada yang melakukan pernikahan sirri setelah tahun 1974 di Pengadilan

Agama Bantaeng. Adapun instrument pengumpulan data yang digunakan adalah

melalui wawancara, sehingga salah satu instrument yang digunakan adalah daftar

pertanyaan yang diajukan agar memperoleh data dan informasi.

F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data yang didapatkan dari suatu penelitian ini kemudian dianalisis dari

data primer juga data sekunder. Data yang diperoleh dari Pengadilan Agama

Bantaeng juga hal-hal yang dibutuhkan dalam itsbat nikah, dianalisis, dan

disimpulkan secara induktif untuk menjawab permasalahan penelitian. Deskripsi

ini meliputi isi dan struktur hukum positif dan hukum islam yang menjadi rujukan

dalam menyeleseaikan permasalahan hukum yang menjadi dalam objek penelitian

ini.

49
BAB IV

ANALISIS PELAKSANAAN ITSBAT NIKAH TERHADAP

PERNIKAHAN SIRRI DI PENGADILAN AGAMA BANTAENG KELAS

II B

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B

1. Sejarah Terbentuknya Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B

Pada awal berdirinya Pengadilan Agama Bantaeng terletak di Bissampole,

Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng, dan pada saat itu di ketuai oleh KH.

Abd. Djabbar pada tahun (1962-1978) dengan kondisi bangunan berbentuk rumah

panggung, selanjutnya Kantor Pengadilan Agama Bantaeng berpindah alamat ke

Jalan Merpati Baru dan pada waktu itu diketuai oleh Hj. Sitti Hasan pada tahun

(1978-1979), lalu kemudian berpindah kantor lagi disebuah balai sidang yang

terletak di Jalan Andi Manappiang Nomor 1 Bantaeng. Dengan menggunakan

bangunan kecil yang dibiayai oleh Departemen Agama sebagai Departemen Induk

yang membawahi Pengadilan Agama. Saat ini dengan system satu atap semua

lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Maka sejak

tanggal 25 Maret 2010 Pengadilan Agama Bantaeng secara resmi menempati

sebuah kantor dengan luas yang memadai setelah kantor tersebut telah diresmikan

secara simbolis dengan sejumlah Kantor Pengadilan dari empat lingkungan

peradilan yang pembangunannya selesai pada tahun 2009. Dan kemudian

diresmikan langsung ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia pada waktu itu

50
Dr. Harifin A. Tumpa, S.H di Pontianak, Kalimantan Barat. Kantor tersebut tetap

beralamat di Jalan Andi Manappiang Nomor 1 Bantaeng sampai saat ini.1

Sejak resmi berdiri hingga saat ini, Pengadilan Agama Bantaeng telah

dipimpin oleh 12 orang ketua yaitu terdiri dari:

a) KH. Abd. Djabbar (1962-1978)

b) Hj. Sitti Hasan (1978-1979)

c) KH. Zainul Abidin (1979-1982)

d) Drs. M. Thahir Hasan (1983-1991)

e) Drs. Umar Najamuddin (1991-1993)

f) Drs. Tahir. R (1993-1998)

g) Drs. Syarkawi (1998-2005)

h) Drs. H.M Nahiruddin Malle,S.H,.M.H (2005-2006)

i) Drs. Sanusi Rabang,S.H,.M.H (2006-2009)

j) Drs. Hasbi Kawu,MH. (2009-2013)

k) H. Muh. Ramli HT, S.H,.M.H (2013-2014)

l) Drs. Hasbi,M.H (2014-2017)

m) Drs. H. M Amir,S.H (2017-2019)

n) Ruslan Saleh, S.Ag,.M.H (2019-2020)

o) Muhammad Ali, S.Ag (2020- Sekarang)

Pengadilan Agama Bantaeng merupakan salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman pada tingkat pertama bagi para pencari keadilan yang beragama Islam

mengenai perkara perdata khusus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1
Sumber Data: Kantor Pengadilan Agama Bantaeng Tgl 7 April 2021

51
1989 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan kedua

diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

2. Profil Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B

Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang

sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata

Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.2 Pengadilan Agama Bantaeng

yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1975, yang

kemudian menjadi Pengadilan tingkat pertama dalam menerima, memeriksa, dan

memutus perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam. Saat ini

Pengadilan Agama Bantaeng sat ini diketuai oleh Muhammad Ali,S.Ag. Adapun

visi misi pada Pengadilan Agama Bantaeng sebagai Berikut:

VISI

“Terwujudnya Pengadilan Agama Bantaeng yang Agung”

MISI

1. Menjaga Kemandirian Badan Badan Peradilan Agama.

2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada para pencari

keadilan.

3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan Badan Peradilan.

4. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan.

Perlunya struktur dalam lembaga agar dapat mengetahui wilayah kerja

dan wewenang masing-masing dan dapat berjalan dengan efektif dan juga efisien.
2
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Cet. 17, Jakarta:Rajawali Pers,
2016) h.6

52
Berdasarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 tahun 2015 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Kepeniteraan dan Kesekretariatan Peradilan, dan Surat Edaran

Mahkamah Agung RI Nomor 5 tahun 1996 tentang Bagan Susunan Peradilan,

Struktur organisasi Pengadilan Agama Bantaeng Yaitu:

53
3. Dasar Hukum Terbentuknya Pengadilan Agama Bantaeng

Pengadilan Agama Bantaeng dibentuk dengan keadaan/kondisi saat itu

yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45

tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‟iyah di luar

Jawa dan Madura, sehingga untuk melaksanakan ketentuan tersebut, dibentuklah

Pengadilan Agama Bantaeng (saat itu bernama Bonthain) berdasarkan Penetapan

menteri Agama Nomor 5 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Mahkamah

Syar‟iyah di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.3

4. Tugas pokok dan fungsi Pengadilan Agama Bantaeng

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1974

menentukan dalam Pasal 24 ayat (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah

satu salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata

Usaha Negara, dan Peradilan Militer, merupakan salah satu badan peradilan

pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan hukum dan keadilan bagi

rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam.

Pengadilan Agama Bantaeng yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-

perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi

syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

3
https://www.pa-bantaeng.go.id/sejarah/

54
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Di samping tugas pokok yang dimaksud di atas, Pengadilan Agama

Bantaeng mempunyai fungsi, antara lain sebagai berikut:4

a. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, megadili, dan

menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama

dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

b. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk

kepada pejabat structural dan fungsional di bawah jajarannya, baik menyangkut

teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi

umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide: Pasal

53 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 jo. KMA Nomor

KMA/080/VIII/2006).

c. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas pelaksanaan

tugas dan dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera Pengganti,

dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan

diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan

(2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan

administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan (vide: KMA Nomor

KMA/080/VIII/2006).

d. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum

Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide:

Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

4
https://www.pa-bantaeng.go.id/visi-dan-misi/tugas-pokok-dan-fungsi

55
e. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis

dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan

umum/perlengkapan). (vide: KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

f. Fungsi lainnya:

1) Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan

instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-

lain (vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).

2) Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya

serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era

keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam

Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007

tentang keterbukaan informasi di Pengadilan.

5. Wilayah Hukum Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B

Tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hukum tertentu atau

dikatakan mempunyai “yurisdiksi relatif‟ tertentu, dalam hal ini meliputi satu

kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai

pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang, contoh di Kabupaten Riau

Kepulauan terdapat empat buah Pengadilan Agama, karena kondisi transportasi

sulit. Yurisdiksi relatif ini mempunyai arti penting sehubungan dengan ke

Pengadilan Agama mana orang yang akan mengajukan perkaranya dan

sehubungan dengan hak eksepsi tergugat.5

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi:

5
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama h.26

56
Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota

kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi kotamadya atau kabupaten.

Kemudian, Penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi:

Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya

atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah

kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya

pengecualian.

Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Bantaeng yaitu dengan luas daerah

395.85 km2. Secara geografis Kabupaten Bantaeng terletak pada titik 5021‟23” –

5035‟26” Lintang Selatan dan 119051‟42” – 120005‟27” Bujur Timur dengan batas

batas wilayah:6

- Sebelah utara : Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai

- Sebelah Timur : Kabupaten Bulukumba

- Sebelah Selatan : Kabupaten Jeneponto dan Laut Flores

- Sebelah Barat : Kabupaten gowa dan Kabupaten Jeneponto

Pengadilan Agama Bantaeng terletak di Provinsi Sulawesi Selatan yang

merupakan wilayah yuridiksi Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang meliputi 8

kecamatan dan memiliki beberapa desa atau lurah di Kabupaten Bantaeng yaitu:

No Kecamatan Kelurahan/Desa

1 Kecamatan Bantaeng 1. Kelu Tappanjeng


2. Kelurahan Pallantikang
3. Kelurahan Letta
4. Kelurahan Lembang
5. Kelurahan Lamaka
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bantaeng

57
6. Kelurahan Malilingi
7. Kelurahan Karatuang
8. Kelurahan Onto
9. Desa Kayu Loe
2 Kecamatan Eremerasa 1. Desa Ulu Galung
2. Desa Lonrong
3. Desa Barua
4. Desa Kampala
5. Desa Pa‟bentengang
6. Desa Mappilawing
7. Desa Pa‟bumbungang
8. Desa Mamampang
9. Desa Parang Loe
3 Kecamatan Bissappu 1. Kelurahan Bonto Manai
2. Kelurahan Bonto Sunggu
3. Kelurahan Bonto Jaya
4. Desa Bontolangkasa
5. Kelurahan Bonto Lebang
6. Kelurahan Bonto Atu
7. Kelurahan Bonto Rita
8. Desa Bonto Loe
9. Desa Bonto Cinde
10. Desa Bonto Jai
11. Desa Bonto Salluang
4 Kecamatan Tompobulu 1. Kelurahan Banyorang
2. Desa Ereng-Ereng
3. Desa Campaga
4. Kel. Lembang Gantarang keke
5. Desa Labbo
6. Desa Patteneteang
7. Desa Pattallassang
8. Desa Balumbung
9. Desa Bonto Tappalang
10. Desa Bonto-Bonto
5 Kecamatan Pajukukang 1. Desa Biangkeke
2. Desa Biang Loe
3. Desa Batukaraeng
4. Desa Pa‟jukukang
5. Desa Borongloe
6. Desa Baruga
7. Desa Nipa-Nipa
8. Desa Lumpangan
9. Desa Rappoa
10. Desa Papan Loe
6 Kecamatan Uluere 1. Desa Bonto Marannu
2. Desa Bonto Tangnga

58
3. Desa Bonto Tallasa
4. Desa Bonto Lojong
7 Kecamatan Sinoa 1. Desa Bonto Bulaeng
2. Desa Bonto Karaeng
3. Desa Bonto Maccini
4. Desa Bonto Majannang
5. Desa Bonto Matene
6. Desa Bonto Tiro
8 Kecamatan 1. Desa Bajiminasa
Gantarangkeke 2. Kelurahan Gantarangkeke
3. Desa Kaloling
4. Desa Layoa
5. Keluarahan Tanah Loe
6. Desa Tombolo

6. Rekapitulasi Perkara (2019-2020)

Pada tahun 2019 jumlah perkara yang diterima sebanyak 509 perkara dan

yang diputus 509 Perkara, berikut daftar perkara pada Pegadilan Agama Bantaeng

tahun 2019:7

No Jenis Perkara Putus Tahun 2019

1 Izin Poligami 1

2 Pembatalan Perkawinan 5

3 Cerai Talak 56

4 Cerai Gugat 267

5 Harta Bersama 1

6 Penguasaan Anak 1

7 Perwalian 3

8 Asal Usul Anak 0

7
Sumber Data: Kantor Pengadilan Agama Bantaeng Tgl 7 April 2021

59
9 Itsbat Nikah 136

10 Izin Kawin 0

11 Dispensasi Kawin 21

12 Wali Adhol 0

13 Kewarisan 7

14 Wasiat 0

15 Hibah 0

16 Lain-Lain 6

17 P3PH/Penetapan Ahli Waris 5

Jumlah 509

Dari jumlah perkara tersebut di atas diselesaikan pada tahun 2019 adalah

sebanyak 509 perkara, sementara tahun 2020 berjumlah 500 perkara yang diputus,

berikut rinciannya:8

No Jenis Perkara Putus Tahun 2020

1 Izin Poligami 1

2 Pembatalan Perkawinan 5

3 Cerai Talak 70

4 Cerai Gugat 315

5 Harta Bersama 1

6 Penguasaan Anak 1

8
Sumber Data : Kantor Pengadilan Agama Bantaeng Tanggal 7 April 2021

60
7 Perwalian 0

8 Asal Usul Anak 0

9 Itsbat Nikah 61

10 Izin Kawin 0

11 Dispensasi Kawin 32

12 Wali Adhol 0

13 Kewarisan 4

14 Wasiat 1

15 Hibah 0

16 Lain-Lain 4

17 P3PH/Penetapan Ahli Waris 5

Jumlah 500

B. Analisis Pelaksanaan Persidangan Itsbat Nikah di Pengadilan Agama

Bantaeng Kelas II B

Proses penyelesaian perkara pada Pengadilan Agama tidak jauh berbeda

dengan proses berperkara pada Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara

khusus, hal ini disebutkan dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang berbunyi:9 “Hukum acara yang

berlaku pada Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara

9
Republik Indonesia, “Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama” dalam Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Cet. 17,Jakarta: Rajawali
Pers,2016), h.264

61
perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,

kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.

Itsbat nikah atau disebut juga dengan pengesahan nikah merupakan satu-

satunya jalan bagi orang-orang yang telah menikah namun pernikahannya belum

dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama sehingga

pernikahan tersebut tidak diakui oleh negara. Pernikahan yang terjadi sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 biasa diajukan untuk

melakukan itsbat nikah disebabkan belum adanya aturan mengenai pencatatan

nikah.

Dari beberapa prosedur yang telah dijelaskan dalam buku Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, dari hasil wawancara,

informan memberikan penjelasan terkait proses pelaksanaan itsbat nikah di

Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B yaitu:

Dalam Wawancara dengan Bapak H. Erwin Amir Betha,S.H,M.H, sebagai

Panitera Muda menjelaskan proses pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama

Bantaeng Kelas II B:10

“ Itsbat nikah yang sering terjadi di Pengadilan Agama Bantaeng biasanya yang
mendaftar kedua pihak Pemohon I dan Pemohon II, itu 90% terjadi. Dan
selebihnya biasanya adanya permohonan itsbat nikah bagi yang suami atau
istrinya telah meninggal,dan adanya pihak terpelawan yang biasanya anak mereka.
Perkara itsbat nikah biasanya lebih cepat dari perkara Gugatan. Prosedur
pelaksanaanya Melakukan pendaftaran, kemudian membayar biaya panjar
perkara. (perkara baru terdaftar setelah membayar biaya perkara). Lalu perkaranya
dibawa ke Ketua Pengadilan untuk penentuan Majelis, lalu kemudian masuk ke
Ketua Majelis untuk menentukan hakimnya, selanjutnya Ketua Majelis

10
Erwin Amir Betha, Panitera Muda Pengadilan Agama Bantaeng, Wawancara, Di
Pengadilan Agama Bantaeng, ( 7 April 2021).

62
menentukan hari sidang dinamakan Penetapan Hari Sidang (PHS) dengan
mengikuti sesuai dengan jadwal sidang yang ada, disebabkan karna pengaruh
kurangnya Ketua Majelis di Pengadilan Agama Bantaeng. Interpal waktu dari
jadwal sidang minimal waktu 14 hari dari tanggal pendaftaran, setelah Penetapan
Hari Sidang diberikan Panitera untuk menentukan Panitera Pengganti yang
menyidangkan perkara dan Jurusita untuk memanggil Para Pihak. Dengan
berlandaskan Asas cepat, sederhana dan biaya ringan biasanya Pendaftaran,
Penentuan Majelis, dan Penetapan hari sidang dilaksanakan dalam satu hari.
Setelah penetapan hari sidang maka jurusita memberi surat panggilan sidang, dan
sebelum sidang dilakukan pengumuman itsbat nikah agar tidak ada pihak yang
keberatan atas pelaksanaan itsbat nikah tersebut, dan sidanglah pada tanggal yang
telah ditetapkan”.
Dari hasil wawancara dengan Ibu Dian Aslamiah,S.Sy. sebagai Hakim Pratama di

Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B menjelaskan:11

“ Proses pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B,


prosedur pelayanannya sama dengan perkara-perkara lainnya, dengan melakukan
beberapa tahap diantaranya, melakukan pendaftaran dimeja I pendaftaran (PTSP)
kemudian dimeja 1 perkaranya akan diteruskan ke Ketua Pengadilan untuk
menentukan Majelis Hakimnya, setelah ditentukan Majelis Hakim berkasnya akan
kembali ke Meja I kemudian diberikan Ke Ketua Majelis untuk menentukan hari
sidang dan setelah ada hari sidang maka panitera menunjuk Juru sita serta Panitera
Penggantinya, kemudian Jurusita membawa surat panggilan kepada para Pemohon
untuk mengetahui jadwal sidang, dan jurusita menjelaskan untuk membawa dua
orang saksi yang mengetahui persis atau yang hadir dalam pernikahan pada saat
itu, untuk menjadi saksi dalam persidangan. Saat persidangan pemohon ditanya
mengenai apa penyebab pernikahannya tidak tercatat (dalam hal ini hakim sudah
mempelajari disurat permohonan alasan dan memeriksa apakah semua rukun dan
syarat perkawinan terpenuhi), lalu setelah itu kemudian Majelis Hakim
memerintahkan untuk memanggil para saksi dan kemudian disumpah dan
ditanyakan kesaksian mereka terhadap permohonan para pihak yaitu apakah
mereka betul menikah sesuai dengan rukun dan syaratnya. Perkara Permohonan
biasanya satu kali Sidang kalau sudah terpenuhi maka bisa langsung diputus.
Kalau misalnya rukun dan syarat tidak terpenuhi Majelis Hakim tidak mungkin
mengabulkan.”
berdasarkan dari beberapa penjelasan narasumber mengenai dari proses

pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B dengan secara

keseluruhan disimpulkan bahwa prosedur pengajuan itsbat nikah yaitu melakukan

11
Dian Aslamiah, Hakim Pratama Pengadilan Agama Bantaeng, Wawancara, Di
Pengadilan Agama Bantaeng ( 9 April 2021)

63
pendaftaran, membayar biaya perkara, menunggu panggilan sidang, melakukan

pengumuman itsbat nikah, menghadiri persidangan, kemudian putusan

pengadilan.

Terkait dengan pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng

Kelas II B, dalam mengajukan itsbat nikah dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu

itsbat nikah yang bersifat voluntair, jika permohonan itsbat nikah diajukan oleh

suami istri yang pernikahan sirrinya ingin disahkan dengan mereka bertindak

sebagaipemohon I dan pemohon II dan produk hukumnya berbentuk penetapan.

Yang kedua ialah itsbat nikah yang bersifat kontensius, gugatan pengesahan nikah

ini berbentuk putusan. Apabila mempunyai kepentingan hukum dengan pihak

lain.

Berdasarkan pasal 7 ayat 4 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa12:

“Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-

anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu”.

Permohonan yang diajukan di Pengadilan Agama tempat tinggal pemohon dengan

memberikan alasan yang akurat beserta dengan penjelasan yang jelas.

Perkara itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng sebagian besarnya

dengan cara mengajukan permohonan pengesahan nikah atau Voluntair. Adapun

praktek pelaksanaan itsbat nikah yang telah memiliki penetapan dengan nomor

perkara: 33/Pdt.P/2021/PA.Batg:

12
Republik Indonesia, “ Kompilasi Hukum Islam” dalam Undang-Undang RI Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam (Cet.1, Bandung: Citra Umbara) h. 320

64
1. Pengajuan permohonan

Para pemohon mengajukan permohonan itsbat nikahnya, para pemohon

dengan surat permohonannya tertanggal 08 Maret 2021 yang didaftarkan di

Kepaniteraan Pengadilan Agama Bantaeng pada tanggal 10 Maret 2021 dengan

register perkara Nomor 33/Pdt.P/2021/PA.Batg. dalam permohonan ini

menjelaskan bahwa para pihak telah memiliki seorang anak , mereka mengajukan

permohonan itsbat nikah dengan tujuan untuk mendapatkan kepastian hukum

tentang terjadinya perkawinan mereka. Perkawinan yang telah dilangsungkan

pada tahun 2013 di negara Malaysia tepatnya di Sarato. Adapun surat permohonan

itsbat nikah isinya termuat:

1) Nama, umur, pekerjaan, agama, pendidikan, kewarganegaraan, dan

tempat kediaman para pemohon.

2) Posita (fakta kejadian dan fakta hukum).

3) Alasan atau kepentingan yang jelas.

4) Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).

Setelah mengajukan permohonan, Meja 1 membuat Surat Kuasa Untuk

Membayar (SKUM) dalam hal ini para pemohon membayar panjar biaya perkara

sebesar Rp. 510.000,-. setelah melakukan pendaftaran, maka para pemohon

menunggu jadwal sidang dari Pengadilan Agama Bantaeng.

2. Pemanggilan para Pemohon dan pengumuman itsbat nikah

Berdasarkan dari hasil wawancara di Pengadilan Agama bantaeng, setelah

adanya Majelis Hakim yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan, Maka Ketua

65
Majelis melakukan Penetapan Hari Sidang (PTS), Kemudian Panitera menunjuk

Jurusita dan Panitera Pengganti, maka Para Pemohon yang telah mendaftarkan

perkaranya pada tanggal 10 Maret 2021 dengan register perkara Nomor

33/Pdt.P/2021/PA.Batg, maka majelis hakim menentukan pada tanggal 30 Maret

2021 ditetapkan sebagai hari sidang. Bahwa atas perintah Ketua Majelis, untuk itu

jurusita memberikan surat panggilan sidang untuk para pemohon, sekaligus

memerintahkan untuk menghadirkan minimal dua orang saksi yang tahu persis

pernikahan tersebut. Dan Jurusita telah mengumumkan adanya permohonan

itsbat nikah tersebut pada hari rabu, tanggal 11 Maret 2021, untuk masa

pengumuman selama 14 hari sebelum perkara ini disidangkan, untuk memastikan

tidak adanya pihak yang keberatan dalam pelaksanaan itsbat nikah tersebut.

3. Menghadiri Sidang

Para Pemohon menghadiri persidangan berdasarkan panggilan yang

dilaksanakan oleh Jurusita/Jurusita Pengganti di Pengadilan Agama Bantaeng

Kelas II B. adapun proses penyelesaian perkara dengan perkara Nomor:

33/Pdt.P/2021/PA.Batg. yaitu persidangan dibuka dan dinyatakan dibuka untuk

umum oleh Ketua Majelis tanggal 30 Maret 2021 Masehi bertepatan dengan

tanggal 16 Sya‟ban 1442 Hijriah. Selanjutnya dalam pembacaan surat

permohonan para Pemohon yang isi dan maksudnya tetap dipertahankan oleh Para

Pemohon. Untuk menguatkan dalil-dalil perohonannya, para Pemohon

mengajukan saksi-saksi di muka sidang, Saksi merupakan informasi yang

66
diberikan orang yang jujur untuk membuktikan kebenaran dengan lafal kesaksian

di dalam majelis persidangan13. Adapun masing-masing sebagai berikut:

1) Saksi pertama adalah paman Pemohon II

2) Saksi kedua adalah anak kandung Pemohon I

Para saksi dalam persidangan itsbat nikah adalah orang yang mengetahui

pernikahan tersebut, dan membenarkan kejadian pernikahan tersebut pada tahun

2013 di Sarato, Negara Malaysia. Para saksi mengenal para Pemohon, dan para

Pemohon tidak memiliki hubungan darah dan tidak sesusuan serta tidak terdapat

halangan perkawinan. Para Pemohon dengan status sebelum menikah Pemohon 1

duda (cerai mati) dan Pemohon II berstatus janda (cerai mati). Dengan mahar

yang diberikan adalah emas 5 gram dibayar tunai. Para saksi juga membenarkan

bahwa para Pemohon beragama Islam, sejak Pemohon I dan Pemohon II menikah

tidak pernah terjadi perceraian, dan para Pemohon telah dikarunia seorang anak

yang berusia 6 tahun. Bahwa atas keterangan para saksi tersebut yang

membenarkan Para Pemohon, selanjutnya para Pemohon tidak mengajukan

apapun lagi dan mohon penetapan.

4. Penetapan Itsbat nikah

Dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Bantaeng pada hari

Selasa, tanggal 30 Maret 2021 Masehi, penetapan tersebut diucapkan pada hari itu

juga dalam sidang terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis dan para Hakim

Anggota tersebut, yang didampingi oleh Panitera Pengganti dengan dihadiri oleh

13
Nur Aisyah. "Kesaksian Perempuan Perspektif Fikih." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan
Hukum Keluarga Islam 4.1 (2017): 185-196

67
para Pemohon, kemudian Majelis Hakim membacakan putusan yang amarnya

berbunyi:

1) Mengabulkan permohonan Pemohon I dan pemohon II

2) Menyatakan sah pernikahan Pemohon I dengan Pemohon II yang telah

dilaksanakan pada tanggal 13 Maret 2013, di Sararo, Negara Malaysia.

3) Membebankan kepada para Pemohon untuk membayar biaya perkara

sejumlah Rp. 510.000,-

Berdasarkan penetapan pengadilan dalam permohonan itsbat nikah,

peneliti mempertanyakan hal yang dilakukan setelah adanya putusan, dalam

wawancara dengan H. Erwin Amir, S.H,M.H, selaku Panitera Muda Permohonan

Pengadilan Agama Bantang Kelas II B, menjelaskan:14

“ Setelah terbitnya penetapan kemudian digunakan untuk membuat buku nikah di


Kantor Urusan Agama, tetapi bukan berarti penetapan yang telah dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama tidak berlaku, karna melalui proses peradilan tetap terakui dan
memilki kekuatan, namun masyarakat membutuhkan sesuatu ringkas sehingga
setelah adanya penetapan diarahkan ke Kantor Urusan Agama untuk menerbitkan
Buku Nikah.
Penetapan disebut al-Isbat (Arab) atau beschiking (Belanda), yaitu

produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang

diistilahkan jurisdiction Voluntaria. Dikatakan bukan peradilan sesungguhnya

karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang

sesuatu, sedangkan ia tidaka perkara dengan lawan. Putusan mempunyai 3

kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun untuk dunia luar (pihak ketiga)

14
Erwin Amir Betha, Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Bantaeng,
Wawancara, Di Pengadilan Agama Bantaeng, ( 7 April 2021).

68
tetapi penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli warisnya, dan

untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.15

Pencatatan Nikah menjadi hal yang sangat penting, karna dalam

pernikahan bukan hanya hubungan sebagai suami istri dan ikatan lahir bathin,

namun juga memiliki unsur keperdataan untuk menjaga hak-hak mereka. Menurut

hukum Islam akibat hukum dari perkawinan yang sah, baik menurut agama dan

negara adalah: (1) menjadi halal melakukan hubungan seksual dan bersenang-

senang antara suami istri tersebut; (2) mahar yang diberikan menjadi milik istri;

(3) timbulnya hak-hak dan kewajiban suami-istri, suami menjadi kepala ruma

tangga, sedangkan istri menjadi ibu rumah tangga; (4) anak-anak yang dilahirkan

dari perkawinan itu menjadi anak yang sah; (5) timbul kewajban suami untuk

membiayai dan mendidik anak-anak dan istrinya serta mengusahakan tempat

tinggal bersama; (6) berhak saling waris mewarisi antara suami istri dan anak-

anak dengan orang tua; (7) timbulnya larangan perkawinan karna hubungan

semenda; (8) Bapak berhak menjadi wali nikah dalam bagi anak perempuannya;

(9) bila diantara suami istri meninggal salah satunya, maka yang lainnya berhak

menjadi wali pengawas terhadap anak-anak dan hartanya.16

Berdasarkan uraian di atas beserta hasil wawancara tentang proses

pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B dan

menganalisa permohonan yang telah memiliki penetapan, bahwa proses

pelaksanaan itsbat nikah dimulai dari pengajuan permohonan, pemeriksaan

15
Roihan A. Rasyid “Hukum Acara Peradilan Agama” h.215
16
Zainuddin dan afwan zainuddin, Kepastian hukum perkawinan siri dan
permasalahannya ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Cet. 1, Yogyakarta 2017),
h. 74

69
perkara itsbat nikah tersebut secara keseluruhan tahap dan prosedurnya sudah

sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama

dalam Buku II serta Peraturan Perundang-Undangan Nomor 7 Tahun 1989 yang

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku. Secara

keseluruhan pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama Bantaeng dapat

disimpulkan yaitu: melakukan pengajuan permohonan, membayar panjar biaya

perkara, menunggu panggilan sidang dan melakukan pengumuman istbat nikah

selama 14 hari kemudian menghadiri persidangan.

C. Pertimbangan Hakim dalam Penyelesaian Itsbat Nikah di Pengadilan

Agama Bantaeng Kelas II B.

Perkawinan adalah salah satu bentuk perwujudan hak-hak konstitusional

warga negara yang harus dihormati (to respect), dilindungi (to protect) oleh setiap

orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28

B ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam

tertib bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Dalam hal ini Undang-Undang

perkawinan telah sejalan dengan hak konstitusi, UUD 1945, karena UU

perkawinan tidak mengandung materi muatan yang mengurangi dan menghalang-

halangi hak seseorang untuk melakukan perkawinan, akan tetapi Undang-Undang

perkawinan mengatur bagaimana sebuah perkawinan seharusnya dilakukan

70
sehingga hak-hak konstitusional seseorang terpenuhi tanpa merugikan hak-hak

konstitusional orang lain.17

Banyaknya pasangan yang menikah dan tidak melakukan pencatatan.

Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 2019 perkara itsbat nikah terbanyak

kedua setelah dari kasus cerai gugat, jumlah perkara itsbat nikah yang diputus

pada tahun 2019 berjumlah 136, kemudian pada tahun 2020, perkara itsbat nikah

lebih sedikit dari sebelumnya dengan jumlah perkara yang diputus ialah 61.

Melihat dari jumlah perkara itsbat nikah yang ada pada Pengadilan Agama

Bantaeng Kelas II B, kemudian peneliti mempertanyakan penyebab tidak

tercatatnya perkawinan dan alasan-alasan permohonan itsbat nikah.

Menurut ibu Nova Novianta,S.H, Hakim Pratama Pengadilan Agama Bantaeng

Kelas II B, mengatakan bahwa:18

“Sebagian besar permohonan itsbat nikah khususnya di Pengadilan Agama


Bantaeng, yaitu karna faktor ketidakpahaman mereka, mereka awam dengan
hukum, mereka mengira bahwa dinikahkan dengan oleh imam desa tanpa ke KUA
mereka anggap sudah beres dan beberapa juga menyerahkan berkas ke imam Desa
dengan harapan imam desa yang mengurus persuratan ke KUA, dan ternyata
beberapa tahun tidak ada buku nikahnya, hampir 80% perkara itsbat nikah karna
ketidakpahaman mereka”.
Kemudian menurut Ibu Dian Aslamiah,S.Sy, Hakim Pratama Pengadilan Agama

Bantaeng Kelas II B, mengatakan bahwa:19

“ Di Bantaeng kan memiliki banyak desanya ada yang di atas gunung dan lainnya,
jadi sepertinya memang faktor ketidaktahuan itu yang paling besar,pada saat
pernikahan banyak yang hanya melapor dengan imam desa sementara imam desa
terkadang tidak menyampaikan ke KUA setempat, ada juga yang karena kawin
lari kemudian alasan-alasan mengajukan itsbat nikah itu dengan kepentingan yang
berbeda beda dan yang paling banyak untuk pembuatan akta kelahiran anak

17
Faizal, Liky. "Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan." ASAS 8.2 (2016).
18
Nova Novianta, , Hakim Pratama Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B, Wawancara,
di Pengadilan Agama Bantaeng, (14 April 2021)
19
Dian Aslamiah,. Hakim Pratama Pengadilan Agama Bantaeng, Wawancara, di
Pengadilan Agama Bantaeng (9 April 2021)

71
mereka karena untuk administrasi kependudukan, kemudian yang lain juga karna
ingin naik haji”.
Berdasarkan penelitian terkait penyebab pernikahan sirri di kabupaten

Bantaeng yaitu faktor kurangnya pemahaman atau kurangnya kesadaran hukum

masyarakat. Beberapa hal juga menyatakan bahwa imam desa yang tidak memberi

pemahaman dan atau menyampaikan ke pihak KUA dalam pelaksanaan suatu

pernikahan, yang biasa diangkat menjadi imam desa ialah orang yang memiliki

pemahaman agama yang baik dan juga memiliki pengetahuan yang memadai

untuk dipercayai oleh masyarakat.

Dengan demikian, faktor penyebab pernikahan sirri juga menjadi

pertimbangan hakim dalam memutuskan atau menetapkan itsbat nikah. Pengajuan

permohonan itsbat nikah dengan tujuan untuk mengesahkan perkawinan memiliki

duduk perkara dan alasan-alasan yang berbeda. Sehingga penyebab dari

pernikahan yang tidak dicatatkan bisa menentukan diterima ataupun ditolaknya

pengesahan nikah.

Untuk membuat penetapan itsbat nikah terbatas, Pengadilan Agama hanya

dapat mengeluarkan penetapan dengan hal-hal tertentu seperti yang telah

ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 Ayat 3 yaitu: a) adanya

perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian. b) hilangnya akta nikah. c)

adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan. d)

adanya perkawinan yang terjadi dalam sebelum berlakunya Undang-Undang No.

1 Tahun 1974. e). perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kelima

poin tersebut yang dijadikan dasar dala penetapan itsbat nikah di Pengadilan

72
Agama. Adapun pertimbangan hakim dala menyelesaikan itsbat nikah di

Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B yaitu:

Menurut Ibu Nova Noviana,S.H, Hakim Pratama Pengadilan Agama Bantaeng

Kelas II B:20

“memang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang sudah dirubah


dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 itukan tidak ada yang disebutkan
tentang itsbat nikah namun kemudian di dalam KHI Pasal 7 ada persyaratan
khusus yang bisa pihak-pihak mengajukan itsbat nikah. Hakim dalam
memutuskan perkara itu melihat dari sisi pandangnya seperti ini, ada pihak yang
datang mengajukan itsbat nikah, sedangkan setelah dilakukan pemeriksaan tidak
ada halangan, tidak sedarah, tidak sepersusuan, kemudian pernikahan mereka sah
secara agama, ada walinya dan walinya orang tuanya, ada saksi nikahnya, ada
segala macam hanya saja karna kondisi-kondisi tertentu mungkin karena
ketidaktahuan mereka sebagian besar yang datang ialah orang yang awam hukum,
nah dalam masalah seperti ini hakim menilai bahwa ketika kita tidak ada
halangan pernikahan dan betul-betul murni karena ketidaktahuan walaupun
memang hukum itu asasnya apabila ada Undang-Undang dianggap tahu
semuanya, namun kita sebagai umat Islam yang memandang kaidah fikih bahwa
kemaslahatan lebih utama dari pada mereka dengan pernikahan sirinya tanpa
surat-surat yang memiliki dampak dengan keturunannya jadi lebih baik untuk
dikabulkan dengan mengutamakan kaidah fikih kemaslahatan itu, kemudian
apabila ada yang memiliki pandangan nikah sirri saja dulu nanti baru itsbatkan
dan hakim dalam memeriksa bisa terbaca hal-hal seperti itu, misalnya mereka
yang kawin lari, kan yang seperti itu biasanya mereka yang punya masalah,
maksudnya ada halangan pernikahan dan mereka mencari cara untuk kawin sirri,
dan mereka itu kadang tidak direstui, ataukah hamil duluan,atau menikah di
bawah umur. Nah dalam pemeriksaan kita menggali hal-hal seperti itu, waktu
nikah ada walinya tidak, kalau misalnya dikatakan walinya dilimpahkan, maka
dilimpahkan kepada siapa, apakah itu masih nasab dengan ayahnya dan betulkah
ada pelimpahan saat itu, jadi kami menggali dari saksi-saksi yang mengetahui dan
meminta bukti surat pelimpahan, jika tidak hanya secara lisan hadirkan yang betul
melihat, kalau semua saksi tidak ada yang melihat disuruh hadirkan ayahnya tapi
juga tidak bisa maka itu tidak bisa, karena kami menitsbatkan pernikahan yang
betul-betul tidak ada halangan oleh Undang-Undang dan tidak ada halangan
secara agama. Jadi dengan cara seperti itu kami berusaha untuk membangun
paradigma masyarakat bahwa istbat nikah itu tidak gampang”.

20
Nova Noviana, Hakim Pratama Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B, Wawancara,
di Pengadilan Agama Bantaeng ( 14 April 2021)

73
Terkait pertimbangan hakim Pengadilan Agama Bantaeng kelas II B dalam

memberikan putusan atau penetapan itsbat nikah, maka dapat diperhatikan dari

penetapan itsbat nikah yang dikabulkan dan yang ditolak, dapat dilihat dengan

perkara nomor: 33/Pdt.P/2021/PA.Batg. itsbat nikah yang dikabulkan oleh hakim,

sementara perkara nomor: 25/Pdt.P/2021/PA.Batg penetapan itsbat nikah yang

ditolak oleh hakim Pengadilan Agama Bantaeng.

Berikut posisi dan analisis untuk perkara itsbat nikah yang dikabulkan dan

ditolak oleh hakim Pengadilan Agama Bantaeng Kelas II B:

1. Perkara nomor: 33/Pdt.P/2021/PA.Batg. perkara itsbat nikah yang

dikabulkan oleh Hakim Pengadilan Agama Bantaeng

Adapun fakta-fakta hukum ditemukan berdasarkan keterangan para

Pemohon dan saksi sebagai berikut:

- Bahwa telah terjadi pernikahan antara Pemohon I dengan Pemohon II

pada tanggal 13 Maret 2013di Sarato, Negara Malaysia. Dinikahkan oleh

Imam kampung yang bernama Sainuddin, di rumah kediaman Pemohon

II, yang menjadi Wali nikah adalah ayah kandung Pemohon II yang

bernama Muhajeng bin Toa Tamma, disaksikan oleh Abd. Rahman bin

Muhajeng dan Sayripuddin bin Baco, dengan mahar berupa kalung emas

5 gram dibayar tunai.

- Bahwa sebelum menikah Pemohon I berstatus duda cerai mati dan

Pemohon II berstatus janda cerai mati.

74
- Bahwa antara Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan keluarga

atau sesusuan atau hal lain yang menghalangi pernikahan Pemohon I

dengan Pemohon II.

- Bahwa selama ini tidak ada pihak lain yang keberatan atas pernikahan

Pemohon I dan Pemohon II.

- Bahwa Pemohon I dan Pemohon II tidak pernah bercerai.

Adapun pertimbangan hukumnya ialah:

- Adapun tujuan Pemohon I dan Pemohon II mengajukan itsbat nikah ialah

untuk mendapatkan kepastian hukum tentang terjadinya perkawinan.

- Permohonan pengesahan itsbat nikah para Pemohon yang telah

diumumkan pada papan pengumuman Pengadilan Agama Bantaeng

selama 14 hari sebelum perkara disidangkan, dan tidak adanya pihak

yang keberatan atas permohonan itsbat nikah tersebut.

- Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah diuraikan di atas, ternyata

bahwa pernikahan Pemohon I dengan Pemohon II telah sesuai ketentuan

Hukum Islam dan tidak terdapat padanya halangan perkawinan menurut

Hukum Islam, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan

para Pemohon tersebut telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 10 ayat (2) Peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 14 dan 7 ayat (3) huruf (e)

Kompilasi Hukum Islam.

- Menimbang bahwa perlu pula Majelis Hakim mengemukakan dalil Syar‟i

sebagai berikut:

75
Kitab Al Iqna‟ Juz II halaman 123:

‫أركان النكاح وهي مخسة صيغة وزوجة وزوخ وويل ومها العاقدان وشاهدان‬

Terjemahan: “Rukun nika itu ada lima yaitu sighat (ijab kabul), calon
isteri, calon suami, wali, keduanya yang melakukan akad
nikah dan dua orang saksi”.

- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka permohonan

para Pemohon patut dikabulkan dengan menyatakan sah perkawinan

antara Pemohon I dan Pemohon II.

2. Perkara nomor: 25/Pdt.P/2021/PA.Batg. perkara itsbat nikah yang

ditolak oleh Hakim Pengadilan Agama Bantaeng.

Adapun fakta kejadian pernikahan para Pemohon sebagai berikut:

- Bahwa pada tanggal 15 Oktober 2018 para Pemohon telah menikah

secara syariat Agama Islam di Kelurahan Maccini Sombala Kecamatan

Tamalate Kotamadya Makassar.

- Bahwa pernikahan para Pemohon berlangsung tanpa restu dari bapak

kandung Pemohon II sehingga bapak kandung Pemohon II tidak hadir

pada pernikahan tersebut, sedangkan yang menjadi saksi nikah adalah 2

(dua) orang laki-laki dewasa beragama Islam dan mas kawinnya berupa

emas 1 gram dibayar tunai.

- Pernikahan tersebut para Pemohon belum dikaruniai anak dan selama

pernikahan hidup rukun serta tidak ada yang keberatan terhadap

pernikahan mereka.

76
- Pernikahan para Pemohon belum pernah dicatatkan pada Kantor Urusan

Agama setempat.

Pertimbangan hakim dalam penetapan itsbat nikah

- Pernikahan yang terjadi antara Pemohon I dengan Pemohon II

pernikahan tersebut tidak memenuhi syarat sah pernikahan secara syariat

Islam dimana yang menjadi wali nikah Pemohon II bukanlah wali nikah

yang sah sehingga pernikahan para Pemohon dapat digolongkan sebagai

nikah fasid dan oleh karena itu Majelis Hakim menilai bahwa para

Pemohon tidak dapat membuktikan bahwa pernikahan para Pemohon

dilaksanakan secara Syariat Islam.

Berdasarkan perkara itsbat nikah di atas, dapat diketahui bahwa

pernikahan Pemohon I dengan Pemohon II yang dilaksanakan di Makassar

Kelurahan Maccini Sombala Kecamatan Tamalate Kotamadya Makassar adalah

kawin lari, yang dimana Pemohon II tidak memiliki restu dari ayahnya yang juga

seharusnya menjadi wali yang sah pernikahan tersebut. Adapun rukun perkawinan

sebagaimana ketentuan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yaitu: “yang

melaksanakan perkawinan harus ada: a) calon suami, b) calon istri, c) wali nikah,

d) dua orang saksi dan, e) ijab dan kabul. Adapun yang berhak menjadi wali diatur

dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam. Adapun beberapa

kelompok atas kedudukan menjadi wali nikah, kelompok pertama didahulukan

dari kelompok setelahnya sesuai dengan erat tidaknya susunan kekerabatan

dengan calon mempelai wanita. Maka Majelis Hakim menilai bahwa yang

menjadi wali nikah Pemohon II bukanlah wali nasab yang berhak, sehingga

77
tergolong wali nikah yang tidak sah dan telah melanggar ketentuan Pasal 21 ayat

(1) Kompilasi Hukum Islam sehingga rukun nikah pada Pasal 14 huruf (c)

Kompilasi Hukum Islam tidak terpenuhi

Terkait analisis perkara itsbat nikah yang telah diuraikan, dapat

disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus itsbat

nikah yaitu dengan memeriksa legal standing (kedudukan hukum) Pemohon

dalam mengajukan itsbat nikah di Pengadilan Agama dan posita, yaitu

menguraikan kejadian atau peristiwa, alasan dan tujuan pengajuan itsbat nikah di

dalam dasar atau dalil gugatan atau yang lebih dikenal dengan duduk perkara.

Selain itu pertimbangan hakim untuk memeriksa dan memutus perkara itsbat

nikah yaitu adanya bukti-bukti dan keterangan saksi.

78
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan pengesahan nikah/itsbat nikah di Pengadilan Agama

Bantaeng Kelas II B, dalam prosesnya sudah sesuai dengan Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama dalam Buku II serta

Peraturan Perundang-Undangan Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang

Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku.

Secara keseluruhan pelaksanaan itsbat nikah di Pengadilan Agama

Bantaeng dapat disimpulkan yaitu: melakukan pengajuan permohonan,

membayar panjar biaya perkara, menunggu panggilan sidang dan

melakukan pengumuman itsbat nikah selama 14 hari, menghadiri

persidangan sesuai dengan jadwal panggilan dan putusan/penetapan

Pengadilan.

2. Pertimbangan Hakim dalam pelaksanaan putusan atau penetapan itsbat

nikah di Pengadilan Agama Bantaeng yaitu dengan dasar hukum Pasal 7

Ayat (3) yang menjelaskan tentang batasan pengajuan itsbat nikah.

Kemudian hakim dalam memeriksa perkara menggunakan dasar hukum:

Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam tentang rukun perkawinan dan Pasal 19,

20, dan 21 tentang wali nikah, Pasal 30 tentang mahar, dan juga tidak

79
terdapat halangan perkawinan seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 39

s/d Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Selain dari dasar hukum di atas,

hakim juga dalam menetapkan perkara itsbat nikah baik yang diterima

ataupun yang ditolak, hakim memeriksa duduk perkara para Pemohon, dan

mempertimbangkan Kemaslahatannya, kemudian mengemukakan dalil-

dalil syar‟i dalam pertimbangannya melaksanakan itsbat nikah.

B. Implikasi Penelitian

Mencermati dari banyaknya permohonan itsbat nikah yang telah diputus di

Pengadilan Agama Bantaeng menunjukkan masih banyaknya orang yang

melanggar sebuah aturan, maka penulis menyarankan:

1. Dengan mengetahui kurangnya pemahaman hukum masyarakat terkait

dengan pencatatan perkawinan yang menyebabkan masih seringnya terjadi

pernikahan yang tidak tercatat atau nikah sirri, maka perlu Pengadilan

Agama Bantaeng Kelas II B menyebarluaskan atau melakukan sosialisasi

terkait dengan pencatatan perkawinan, sehingga tiap-tiap perkawinan

tercatat dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) tentang

Perkawinan berjalan dengan efektif.

2. Menjadi bahan informasi untuk masyarakat yang pernikahannya belum

tercatat, untuk melakukan itsbat nikah atau pengesahan nikah, dengan

melakukan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Maka hal ini dapat

melindungi hak-hak mereka sebagai suami atau istri maupun anak anak

mereka.

80
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Afief, Saifuddin. Notaris Syariah Dalam Praktik Jilid Ke 1 Hukum Keluarga


Islam, Jakarta: Darunnajah Publishing, 2011.
Asyhadie, Zaeni, Sahruddin, dkk. Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif Di
Indonesia, Depok: Rajawali Pers,2020.
Bustami. Memikirkan Kembali Problemitika Perkawinan Poligami Secara Sirri,
Yogyakarta: Deepublish, CV. Budi Utama, 2020.
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Jakarta Timur: CV Darus
Sunnah, 2015.
Diantha, I Made Pasek. Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Jusifikasi
Teori Hukum,Jakarta: kencana, 2016.
Ghazali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media,2020.
Istiqamah. Hukum Perdata: Hukum Orang dan Keluarga, Makassar: Alauddin
University Press, 2014
Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011.
Mardani. Hukum keluarga Islam di Indonesia, Kencana: Prenata Media, 2017.

Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan


Administrasi Peradilan Agama, (Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, 2013)
Rasyid, Roihan A, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. 17 Jakarta:Rajawali
Pers, 2016
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, Bandung:Cipinang Mutiara, 2020
Sarong, A. Haimid. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Banda Aceh:
Yayasan Pena Banda Aceh, 2010.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003.
R, M. Dahlan. Fikih Munakahat, Yogyakarta: Deepublish, 2015.

Sirin, Khaeron. Perkawinan Mazhab Indonesia:Pergulatan antara Negara,


Agama, dan Perempuan, Yogyakarta: Deepublish, 2018.

81
Tahir, Bahtiar. Nikah Siri:Penyebab dan problematika Atas Status Anak Dalam
Perspektif Hukum Islam, Surabaya: CV. Garuda Mas Sejahtera, 2016.
UIN Alauddin Makassar. Pedoman Pelaksanaan Karya Tulis Ilmiah: Makalah,
Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Laporan Penelitian. Makassar Alauddin
Press, 2013.
Yunus, Ahyuni, Hukum Perkawinan dan Itsbat Nikah Antara Perlindungan dan
Kepastian Hukum,Cet. 1, Makassar:Humanities Genius, 2020
Zainuddin, Zainuddin dan Afwan. Kepastian hukum perkawinan siri dan
permasalahannya, di tinjau dari UU No. 1 Tahun 1974, Yogyakarta:
Deepublish: CV. Budi Utama, 2015

Jurnal

Aisyah, Nur. "Kesaksian Perempuan Perspektif Fikih." Jurnal Al-Qadau:


Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 4.1 (2017): 185-196
Aisyah, Nur. "Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Penerapan Hukum Islam
di Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 5.1
(2018).
Cahyani, Andi Intan. "Peradilan Agama Sebagai Penegak Hukum Islam Di
Indonesia." Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam 6.1
(2019).
Faizal, Liky. "Akibat Hukum Pencatatan Perkawinan." ASAS 8.2 (2016).
Hartini, "Kedudukan Wania Dalam Hukum Islam." Jurnal Al-Qadau: Peradilan
dan Hukum Keluarga Islam 1.2 (2014).
Hidayani, R. Munthe, and Sri. "Kajian yuridis permohonan itsbat nikah pada
Pengadilan Agama Medan." JUPIIS: Jurnal Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial”.
9.2 (2017)
Istiqamah, Istiqamah. "Tinjauan Yuridis Pembagian Harta Warisan Pasangan
Suami Istri Yang Beda Agama (Perspektif Hukum Islam DAN
KUHPerdata)." Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah
dan Hukum 4.1 (2017): 54-67.
Jamil, Jamal. "Subtansi Hukum Materil Perkawinan Di Lingkungan Peradilan
Agama." Jurnal Al-Qadau: Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 2.1
(2015): 119-134.
Jamil, Jamal. "Hukum Materil Perkawinan di Indonesia." Jurnal Al-Qadau:
Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 4.2 (2018): 413-428.
Jayadi, Ahkam. "Membuka Tabir Kesadaran Hukum." Jurisprudentie: Jurusan
Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum 4.2 (2017): 11-23.

82
Nurlaelawati, Euis. "Pernikahan Tanpa Pencatatan: Isbat Nikah Sebuah
Solusi?." Musãwa Jurnal Studi Gender dan Islam 12.2 (2013): 261-277.
Nurhadi, Muhammad. Pendapat Hakim Terhadap Isbat Nikah Bagi Orang Yang
Telah Meninggal Dunia Di Pengadilan Agama Jeneponto. 2019.
Rahayu, Ninik. “Politik Hukum Itsbat Nikah”, Musawa Jurnal Studi Gender dan
Islam, 2016.
Sari, Siska Dwi Novita. Akibat Hukum Itsbat Nikah Dalam Perspektif Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Islam,
Dinamika, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 2020.

Perundang-Undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Republik Indonesia, Kompilasi Hukum Islam (K.H.I)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan


Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 dan kedua diubah dengan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1875 tentang
Pelaksanaan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Website
“Kamus Besar Bahasa Indonesia” https://kbbi.web.id/analisis
“Kamus Besar Bahasa Indonesia” https://kbbi.web.id/pelaksanaan
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Bantaeng
https://www.pa-bantaeng.go.id/sejarah/
https://www.pa-bantaeng.go.id/visi-dan-misi/tugas-pokok-dan-fungsi

Skripsi
Widiawati, Egatuti. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Efektivitas Isbat Nikah
Pada Masyarakat Lalo Bajo Kecamatan Tanete Riattang Timur
Kabupaten Bone. 2018.
Yunus, Nurul Fuadi. Efektivitas Itsbat Nikah Massal Dalam Meminimalisir
Pernikahan Tanpa Akta Nikah Di Kecamatan Paleteang Kabupaten
Pinrang (Studi Kasus 2016-2017), 2018.

83
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Dokumentasi Penelitian

Gambar 1.1 Wawancara dengan Bapak H. Erwin Amir


Betha,S.H,M.H, Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Bantaeng.

Gambar 1.2 Wawancara dengan Bapak H. Erwin Amir Betha,S.H,M.H,


Panitera Muda Permohonan Pengadilan Agama Bantaeng.
Gambar 1.3 Wawancara dengan Ibu Dian Aslamiah,S.Sy. Hakim Pratama
Pengadilan Agama Bantaeng.

Gambar 1.4 Wawancara dengan Ibu Dian Aslamiah,S.Sy. Hakim Pratama


Pengadilan Agama Bantaeng.
Gambar 1.5 Wawancara dengan Ibu Nova Noviana,S.H. Hakim Pratama
Pengadilan Agama Bantaeng.

Gambar 1.6 Wawancara dengan Ibu Nova Noviana,S.H. Hakim Pratama


Pengadilan Agama Bantaeng.
( Gambar 1.7 Surat Isin Penelitian)
(Gambar 1.8 Surat Permohonan Informasi Data dan isin wawancara)
(Gambar 1.9 Surat Bukti Wawancara)
(Gambar 2.1 Surat Bukti Wawancara)
(Gambar 2.2 Surat Bukti Wawancara)
(Gambar 2.3 Surat Bukti Penyelesaian Penelitian)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Musfira, lahir di Bantaeng pada tanggal 20 Agustus

1999, merupakan anak bungsuh dengan tiga

bersaudara dari pasangan suami istri Ayahanda

Muhammad Jabir dan Ibunda Sari Bulan. Penulis

mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 46

Kadang Kunyi dan lulus pada tahun 2011. Kemudian

melanjutkan di SMP Negeri 2 Bantaeng, lulus pada

tahun 2014. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di SMK Negeri 1

Bantaeng dengan jurusan Akuntansi dan lulus pada tahun 2017. Pada tahun yang

sama, penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Universitas Islam

Negeri Alauddin Makassar melalui jalur SPAN-PTKIN pada Fakultas Syariah dan

Hukum Program Studi Hukum Acara Peradilan dan Kekeluargaan yang kemudian

berubah menjadi Hukum Keluarga Islam dan tamat pada tahun 2021 dengan IPK

3,89 (Cumlaude).

Selama menempuh pendidikan pengalaman organisasi penulis yaitu

anggota OSIS SMPN 2 Bantaeng, anggota PMR SMPN 2 Bantaeng, anggota

Pusat Informasi Konselin Remaja (PIK-R) SMKN 1 Bantaeng, Sekretaris Umum

OSIS SMKN 1 Bantaeng, anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Butta Toa

(FKM-BT), Independent Law Student (ILS) Indonesia sebagai Bendahara Bidang

Kaderisasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (KPSDM). dan Sekretaris

Umum Ikatan Penggiat Peradilan Semu (IPPS).

Anda mungkin juga menyukai