MAQASHID SYARIAH
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ADILLAH HALIM
NIM. 11160430000070
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ADILLAH HALIM
NIM. 11160430000070
Dosen Pembimbing :
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
iii
LEMBAR PERNYATAAN
iv
ABSTRAK
v
بسم هللا الرمحن الرحيم
KATA PENGANTAR
1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, S.Ag., S.H., M.A., M.H.,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Hj. Siti Hanna. Lc., M.A. Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Fitiria, S.H., MR., Ph.D. Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Ibu Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik, yang
selalu memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.
5. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A, Dosen Pembimbing Skripsi
penulis
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan yang telah memberi
fasililitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
7. Seluruh Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
8. Orang tua penulis almarhum Bapak Mikail, S.E. dan Ibu Dra. Hj.
vi
Ni’matun yang penulis sayangi dan cintai, yang selalu memberikan
dukungan setiap hari baik moril maupun materil yang tak terhingga
menjadikan penulis menjadi pribadi yang mandiri dan bersemangat
untuk mencapai cita-cita. Juga dukungan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Kakak kandung penulis yaitu Muhammad Nurman Novian, S.Sos.,
M.Kesos., yang memberikan dorongan moril dan materi dalam
mendukung dan mendo’akan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.Sahabat sekaligus seperjungan dalam membangun Rumah belajar
Milenial Cendekia yaitu Mawaddah Kholiqiyah, S.Pd., Nurul Safitri,
A.Md.Farm., Elis, S,Pd., Muhammad Ridho, S.M.., Sulaiman
Ramdhani, S.H., Rafi, S.Pd., dan Aminudin, S.M. Yang memberikan
dorongan moril dan materi dalam mendukung dan mendo’akan penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
11.Teman-teman Prodi Perbandingan Madzhab angkatan 2016.
Wassalamu’alaikum.Wr. Wb.
Adillah Halim
NIM. 11160430000070
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK .................................................................................................................. v
1. Maqashid .............................................................................................17
viii
2. Syariah.................................................................................................18
A. Perkawinan ...........................................................................................31
1. Pengertian Nafkah.............................................................................45
ix
B. Pemenuhan Nafkah Pasangan Usia Lanjut Perspektf Maqashid Syariah59
A. Kesimpulan .............................................................................................66
B. Rekomendasi ...........................................................................................64
LAMPIRAN ..............................................................................................................73
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Huruf Huruf Huruf
Keterangan Keterangan
Arab Latin Arab Latin
tidak te dengan
ا ط t
dilambangkan garis bawah
zet dengan
ب B be ظ z
garis bawah
koma
terbalik di
ت T te ع ‘
atas hadap
kanan
ث ts te dan es غ gh ge dan ha
ج J Je ف f ef
ha dengan
ح H ق q Qo
garis bawah
خ kh ka dan ha ك k ka
د D de ل l el
ذ dz de dan zet م m em
ر R Er ن n en
ز Z zet و w we
س s es هـ h ha
ش sy es dan ye ء ` apostrop
es dengan
ص s ي y Ya
garis bawah
de dengan
ض d
garis bawah
xi
B. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:
ــــــَـــــ a fathah
ـــــــِــــ i kasrah
ــــــُـــــ u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
ــــــَـــــ ي ai a dan i
ــــــَـــــ و au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
xii
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alim
dan lam ( ) ال, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:
= اإلجتهادal-ijtihâd
= الرخصةal-rukhsah, bukan ar-rukhsah
E. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya:
F. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut
1 شريعة syarî‘ah
xiii
G. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun
dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, = البخاري
al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski
akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin
al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Republik Indonesia, Undang-undang Perkawinan (Cetakan: I, Bandung: Focus Media,
2005),1.
2
Khoiruddin Nasution, Hukum Pernikahan 1 [Dilengkapi Perbandingan UU
Negara MuslimKontemporer], (Yogyakarta: ACAdeMIA,2013), hal. 22.
3
Khoiruddin Nasution, Hukum Pernikahan 1 [Dilengkapi Perbandingan UU Negara
MuslimKontemporer], hal. 22.
4
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Edisi Revisi, Cet.2, (Jakarta:
PTRaja Grafindo Persada, 2015), h.7.
2
3
5
Muhammad Asnawi, Nikah Dalam Pembincangan dan Perdebawat, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h.20.
4
6
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presind,
1992), h. 144
7
Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, Cet. Ke-2, (Bandung:
Al Ma’arif, 1983), hlm. 41
8
Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, hlm.31-33
9
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1974-perkawinan
(Diakses pada tanggal 09 Maret 2022)
5
10
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media,
2002), hlm, 107.
11
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Cet. VI,(Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), 60.
12
M.Muaz Dirjowiyoto, Bagaimana Menghadapi Masalah Lanjut Usia. (Nasehat
Perkawinan Keluarga). 1993,.54.
6
yang matang.
Sejalan dengan penurunan kondisi fisik ataupun mental, maka
mereka (lansia) yang berstatus janda dan duda memilih menikah lagi
walaupun dengan umurnya yang sudah tua. Menjadi tua umumnya
dipandang sebagai proses perubahan yang pasti berlangsung di
kehidupan. Sedangkan menurut Undang- Undang Nomer 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lansia, lanjut usia adalah orang yang
mencapai umur 60 tahun keatas.13
Bagi orang usia lanjut kenyamanan dan kebahagiaan sangat
dibutuhkan dalam kehidupannya yang sudah tua. Selain itu sangat
rentan sekali dalam berbagai aspek terutama kesendirian diakhir
hidupnya. Menjadi tua umumnya dipandang sebagai proses
perubahan yang berlangsung sepanjang hidup.14
Thomae menyebutkan perubahan pada orang yang sudah
lanjut usia berbeda antara satu dengan yang lain, perubahan tersebut
seperti berubahnya dari segi sosial misal kehilangan teman hidup,
sahabat dan keluarga lain, dan juga kurang konsisten dalam
perubahan sifat misalnya dalam beraktivitas, kontrol diri, dan suasana
hati.15
Selanjutnya perkembangan kognitif menjadi tua ditandai
dengan kemunduran-kemunduran kognitif diantaranya adalah seperti
mudah lupa, ingatan tidak berfungsi baik, orientasi umum, dan
persepsi terhadap ruang dan waktu, tempat dalam keadaan mundur,
meskipun mempunyai banyak pengalaman yang dicapai dalam tes
menjadi lebih rendah dan tidak mudah menerima ide-ide baru.16
Begitu juga masalah kebutuhan biologis untuk meneruskan
13
Roisul Umam Hamzah, Perkawinan Lansia Dalam Perspektif Maqasid Shari‘ah (Studi
Kasus di Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan), hlm.15
14
F. J. Mons dkk, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagianya, Cet. Ke-16,
(Yogyakarta: Gajah Mada University, 2006), hlm. 352
15
F. J. Mons dkk, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagianya, hlm.334-335
16
Wiji Hidayati dan Sri Purnami, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Teras, 2008),
hlm. 157
7
17
F. J. Mons dkk, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagianya, hlm. 348-349
18
T.O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia,
1999), hlm. 284-301.
19
https://www.infoyunik.com/2015/11/tujuh-hikmah-larangan-berzina-dalam.html
(Diakses pada tanggal 04 Januari 2022)
8
20
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazaly, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut : Dar al
Fikr, tt), hlm. 27-36
21
Gus Arifin. Menikah Untuk Bahagia, (Jakarta: Kompas Gramedia,2013), hal. 13
22
Nurhadi, Maqasid syari’ah hukum perkawinan dalam komplasi hukum islam (KHI) Al-
Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16,No:,Juli-Desember 2017 (203-232).
9
23
Nurhadi, Maqasid syari’ah hukum perkawinan dalam komplasi hukum islam (KHI) Al-
Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16,No:,Juli-Desember 2017, hlm.233-234
10
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,
maka masalah yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1) Penyebab terjadinya perkawinan usia lanjut.
2) Tujuan pernikahan pada pasangan usia lanjut.
3) Tinjauan maqashid syariah terhadap pelaksanaan pernikahan pada
pasangan usia lanjut.
4) Pemenuhan hak dan kewajiban dalam hal nafkah lahir maupun batin
ditinjau dari Maqashid Syariah.
5) Faktor sosial ekonomi dalam perkawinan usia lanjut.
11
2. Rumusan Masalah
Penulis merinci rumusan masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Mengapa terjadi pernikahan pada pasangan usia lanjut?
b. Bagaimana perspektif maqashid syariah terhadap pelaksanaan
pemenuhan nafkah pasangan usia lanjut?
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur dan khasanah
keilmuan di bidang hukum islam khususnya pada maqashid syariah
serta sebagai referensi kepustakaan.
b. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan masyarakat
umum tentang pertimbangan dalam hal pelaksanaan pernikahan
pada pasangan usia lanjut.
12
F.Metode Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang
menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala,
simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multi
14
2. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengumpulan data yaitu
dengan menggunakan studi pustaka (library research). Studi Pustaka
dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi teori-teori tentang
konsep dan pemahaman khususnya terkait dengan tema penelitian yakni
pernikahan pasangan usia lanjut perspektif maqashid syariah. Studi ini
juga dilakukan diberbagai tulisan di internet sebagai bahan pelengkap.
H. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi pembahasan kedalam
(5) lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, hal ini
untuk memudahkan memberi gambaran mengenai topik-topik tertentu
dalam penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan penjelasan secara utuh
dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
16
1
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), h 10
2
Busyro, Maqashid Al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2019), h 6-7.
17
18
2. Syariah
Kata syariah secara bahasa bisa kita awali dari kamus-kamus
bahasa arab bermakna ad-din, al-millah, al-minhaj, at-thariqah, dan as-
sunnah.27
Adapun kata syariah secara bahasa berarti maurid al-maalladzi
tasyra‟u fihi al-dawab tempat air mengalir, di mana hewan-hewan minum
dari sana. Seperti dalam hadis Nabi, fa asyra‟a naqatahu, artinya
adkhalaha fi syariah al-ma’ lalu ia memberi minum untanya, artinya ia
memasukkan unta itu ke dalam tempat air mengalir. Kata ini juga berarti
masyra‟ah al-ma’ tempat tumbuh dan sumber mata air, yaitu mawrid al-
syaribah allati yasyra‟uha al-nas fayasyribuhu minha wa yastaquna
tempat lewatnya orang-orang yang minum, yaitu manusia yang mengambil
minuman dari sana atau tempat mereka mengambil air.28
26
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 7.
27
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, h 14.
28
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 7.
29
tafsirweb.com/9510-surat-al-jatsiyah-ayat-18.html
19
جا ِ ج ع َ ل ْ ن َا ِم ن ْ ك ُ ْم
ً ش ْر ع َ ة ً َو ِم ن ْ ه َ ا َ لِ كُ ل
Artinya: Bagi setiap kami berikan aturan dan jalan yang terang (QS. Al-
maaidah: 48)30
30
https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-48
31
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, h 18.
20
32
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, h 19.
33
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 11.
34
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 13.
21
35
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), 231.
36
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,(Dâr al-
Nafâ’is,2001),194.
37
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,(Dâr al-
Nafâ’is,2001),195.
22
sisi ijma’ dapat dilihat ulama-ulama salaf dan khalaf, dari dahulu sampai
sekarang, menyepakati bahwa syariat islam itu mengandung kemudahan
dan meniadakan taklif yang tidak disanggupi oleh umat. Maqashid al-
syariah yang merupakan penelusuran terhadap tujuan-tujuan Allah SWT
dalam menetapkan hukum, mesti mendapatkan perhatian yang besar. Dari
sisi logika berpikir, ketika tujuan-tujuan tersebut diketahui oleh mujtahid,
atas dasar itulah dilakukan pemahaman hukum islam dan untuk
selanjutnya digunakan dalam pengembangan hukum islam dalam rangka
menjawab permasalahan hukum islam yang baru. Hal ini mengingat
terbatas dalildalil hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi
SAW, sedangkan permasalahan yang dihadapi umat tidak pernah
habishabisnya. Tanpa mengetahui maqashid al-syariah hukum islam akan
mengalami stagnasi dan dikhawatirkan penetapan hukum tidak akan
mencapai sasaran yang diinginkan oleh Allah SWT, dan lebih lanjut tidak
akan mempunyai nilai yang digariskan dalam prinsip-prinsip hukum islam
itu sendiri.
38
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Usul Fiqih Mazhab
Sunni, terj E.Kusnadiningrat dan Abdul haris bin Wahid (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), 248.
24
2. Maslahat Hajiyat
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam
39
Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi Dan Implementasinya Di Indonesia,
(Yogjakarta: Berada Publishing, 2012), 172-173.
40
Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), 224.
25
3. Maslahat Tahsiniyat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam
eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula
menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan
ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi
seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat
menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias
dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak,
dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan
uqubah. Allah telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke
masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan
penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.41
A. Kedudukan Hukum
Pendekatan melalui maqashd syari’ah dalam menetapkan hukum
telah lama berlangsung dalam Islam. Hal demikian tersirat dari beberapa
ketentuan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat, antara lain pada suatu peristiwa
ketika Nabi SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban
41
Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi Dan Implementasinya Di Indonesia,
(Yogjakarta: Berada Publishing, 2012), 174.
26
kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi,
beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad
itu dilanggar oleh beberapa sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada
Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil
menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah
didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri atas orang-orang
miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah).42
Abu Ishaq Al-Syathibi kemudian mengkembangkan Kajian maqashd
syari’ah ini secara luas dan sistematis. Kajian tentang maqashid syari’ah
ini menurut al- Syathibi bertolak dari asumsi bahwa segenap Syariat yang
diturunkan Allah senantiasa selalu mengandung kemaslahatan bagi hamba-
Nya untuk masa sekarang (di dunia) dan sekaligus masa yang akan datang
(di akhirat). Tidak ada satu pun hukum allah di dunia ini yang tidak memilki
tujuan. Dalam Islam hukum allah yang tidak mempunyai tujuan sama dengan
taklif ma la yuthaq (pembebanan suatu yang tidak bisa dilaksanakan)43
Dalam tinjauan global, hukum islam memiliki tujuan untuk kemaslahatan
manusia seluruhnya dalam menetapkan sebuah hukumnya, baik itu
kemaslahatan di dunia ataupun di hari yang kekal (akhirat).44 Hal itu dapat
dilihat dari persoalan pengutusan Rasul oleh Allah, yang tertuang dalam
firman-Nya pada surah An-Nisa’/4:16545
42
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesi‛, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 42.
43
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesi‛, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 43.
44
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: bumi aksara,1992), 65.
45
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta: 26
maret 1996), 151.
27
46
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), 124.
47
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 44.
48
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. 3, h. 223.
49
Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-islamyah, (yordania:dar an-
Nafais,200),hlm.190-192
28
50
Ali Mutakin, Hubungan maqashid al-syariah dengan metodeistinbath hukum, Analisi
Vol.3,No 1, Juni 2017, h. 121-125
29
51
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013, h. 170-172.
30
52
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1,Cet. 3, h. 224.
BAB III
PERNIKAHAN, LANSIA DAN NAFKAH
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dari sudut ilmu bahasa kata perkawinan berasal kata dasar kawin
yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab perkawinan. Disamping
kata perkawinan, dalam bahasa Arab lazim juga dipergunakan kata
Ziwa>j‛. Kata perkawinan mengandung dua pengertian, yaitu : dalam
arti yang sebenarnya (haqiqah) dan dalam arti kiasan (majaz). Dalam
pengertian yang sebenarnya kata perkawinan itu berarti‚ berkumpul.1
Sedangkan perkawinan menurut empat mazhab yaitu:
1. Menurut Hanafi.
Perkawinan adalah akad yang memberi faedah untuk
melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang
laki-laki untuk melakukan hubungan intim dengan seorang
wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya
perkawinan tersebut secara shar’i.
2. Menurut Hanbali.
Perkawinan adalah akad yang menggunakan lafaz inkah
yangbermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang atau perkawinan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafaz inkah>atau tarwi>jun untuk mendapatkan
kepuasan.
3. Ulama Syafi’i
Perkawinan adalah suatu akad yang menggunakan lafaz
perkawinan atau zauj yang menyimpan arti memiliki wat’i.
4. Ulama Maliki
Perkawinan adalah suatu akad yang mengandung arti
1
Lily Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia
,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1991), 2
31
32
2
Abdurchman Al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Al-Maktabah
At-TajiriyyatulKubra), Juz 4, 2.
3
Muhammad Ra’fat ‘utsman, Fikih Khitbah Dan Perkawaninan (Edisi Perempuan),
(Depok: FathanMedia Prima, 2017), 4
33
2. Hukum Perkawinan
Perkawinan telah di syariatkan oleh Allah, sementara hukum
asalnya adalah sunnah para ulama sependapat bahwa perkawinan itu
disyariatkan oleh agama, perselisihan mereka diantaranya dalam hal
hukum perkawinan.5 Hukum perkawinan akan berbeda, tergantung
dengan kadar kemampuan baik lahir ataupun dohir masing-masing
individu, artinya masing-masing individu memilki pertimbangan
hukum perkawinan yang beerbeda untuk dirinya, sesuai dengan kelima
hukum yang ada dalam Syariat, yaitu:
1. Wajib
Perkawinan menjadi wajib bagi orang yang takut akan jatuh
\dalam jurang perzinahan dan ia sudah sanggup secara materiil
maupun moril. Selain itu tidak ada niat untuk menyakiti wanita
yang nantinya menjadi istrinya atau melalaikan kewajiban sebagai
4
Muhammad Ra’fat ‘utsman, Fikih Khitbah Dan Perkawaninan (Edisi Perempuan),
(Depok: FathanMedia Prima, 2017), 5
5
Abd.Shomad,HukumIslam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta:Kencana,2010), 282
34
suami yang lebih penting lagi adalah ia sudah tidak sanggup lagi
menahan hasrat seksualnya, meskipun dengan berpuasa.6 Maka
jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian itu, kecuali
dengan perkawinan, maka perkawinan tersebut hukumnya
adalah wajib bagi yang bersangkutan. Imam al-Qurthubi
mengatakan, ‛orang yang mampu menikah, kemudian khawatir
terhadap diri dan juga agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan
kecuali dengan pernikahan, maka dia harus menikah‛.
Dalam buku lain dijelaskan, seandainya hasratnya untuk
perkawinan sangat kuat namun dia tidak memiliki kemampuan
untuk menafkahi istrinya kelak kemudian dia terpaksa tidak
melakukan perkawinan, hendaklah dia bersabar dan bersungguh-
sungguh dalam upaya menjaga dirinya daripada terjerumus dalam
perzinaan, seraya mengikuti petunjuk firman Allah surah An- Nur
33.7
َّ َو ْل َي ْست َ ْعفِفِ الَّذِينَ َل َي ِجدُونَ نِكَا ًحا َحتَّى يُ ْغنِ َي ُه ُم
ْ َّللاُ مِ ْن ف
ض ِل ِه
2. Sunnah
Perkawinan menjadi sunnah, namun sangat dianjurkan bagi
siapa saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk
perkawinan dan memiliki kemampuan untuk melakukannya,
walaupun merasa yakin akan kemampuannya mengendalikan
dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam
6
Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, Indahnya Perkawaninan Sambil Kuliah,
(Jakarta,Cendekia Sentra Muslim, 2005), hlm.33
7
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008), 4.
8
https://tafsirq.com/24-an-nur/ayat-33
35
3. Makruh
Jika seseorang laki-laki yang tidak mempunyai syahwat
untuk melaksanakan perkawinan dengan seseorang perempuan
atau sebaliknya sehingga tujuan perkawinan yang sebenarnya
tidak akan tercapai, maka yang demikian itu hukumnya makruh.
Misalnya seorang yang impoten. Sebagaimana kita ketahui salah
9
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama’hal.4-5.
10
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2010), 285.
36
4. Haram.
Perkawinan menjadi haram bila dilakukan oleh orang yang
mempunyai niat menzhalimi istrinya.14 Dan bagi orang yang tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai tanggung jawab
11
Pakih Sati, Panduan Lengkap Perkawaninan: Fiqh Munakahat Terkini,
(Jogjakarta: Bening,2011),21.
12
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat
Para Ulama’,(Bandung: Karisma, 2008), 6-7.
13
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2010),286.
14
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 382.
37
5. Mubah.
Perkawinan hukumnya menjadi mubah bagi orang yang
mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi apabila tidak
melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina. Hukum mubah
juga bagi orang yang antara pendorong dan penghambat untuk
menikah adalah sama, sehingga menimbulkan keraguan bagi
orang yang melakukannya seperti orang yang mempunyai
keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, sebaliknya bagi
orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah tetapi belum
mempunyai kemauan yang kuat.
15
Pakih Sati, Panduan Lengkap Perkawaninan: Fiqh Munakahat Terkini,
(Jogjakarta: Bening,2011),22.
38
B. Usia Lanjut
1. Pengertian Usia Lanjut
Lanjut usia merupakan suatu tahap akhir dalam rentang kehidupan
manusia. Para ahli psikologi telah membagi tahap kehidupan manusia
berdasarkan perkembangan fisik dan psikologisnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Chaplin (1989:13) tentang tahap perkembangan manusia
sebagai berikut:
1. Usia 0-1 tahun disebut masa bayi
2. Usia 1-12 tahun disebut masa kanak-kanak
3. Usia 12-21 tahun disebut masa remaja
4. Usia 21-65 tahun disebut masa dewasa
5. Usia 65 tahun ke atas disebut masa tua.
18
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007),21.
19
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), 45-46.
40
20
Lansia (Pengertian, Batasan, Kelompok dan Teori Penuaan) (kajianpustaka.com)
21
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.84
41
22
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.85
42
23
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.86
24
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.87-88
43
memperdulikan orang lain, minat berekreasi yang tetap ada pada usia
lanjut, keinginan sosial, keinginan yang bersifat keagamaan dan minat
terhadap kematian (Hurlock, 1997:386-402).
س ِإ َّل ُو ْس َع َها ُ َّعلَى ٱ ْل َم ْولُو ِد لَ ۥهُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن ِبٱ ْل َم ْع ُروفِ ۚ َل ت ُ َكل
ٌ ف نَ ْف َ ۚ َو
Terjemahnya:
“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya”.28
25
Ahmad Isa Asyur, Fiqh Islam Praktis, h. 261.
26
Proyek Pembinaan Prasarana PTA/IAN , DIRJEN Pembinaan Kelembagaan Agma
Islam,Depag, Ilmu Fiqh, Jakarta, 1984-1985, h. 184
27
Sa’id Thalib Hamdani, Risalatun Nikah, (Jakarta: Pustaka Anami, 1989), h. 123
28
Depag R.I, Al-Qur-an dan Terjemahannya, h. 57
46
2. Macam-Macam Nafkah
Nafkah rumah tangga merupakan kewajiban suami terhadap
29
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedian Hukum Islam, (Jakarta: PT. Intermesa, 2001), h. 1281.
30
Ubaidi, Muhammad Yaqub Thalib,Hukum Menafkahi Istri dalam Perspektif
Islam, (Surabaya: Darus Sunnah, 2007), h. 32
47
Terjemahnya:
“dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
a. Nafkah lahir
Adapun nafkah lahir itu terbagi yaitu: makan dan minum,
pakaian dan tempat tinggal (rumah). Makan minum dalam fiqh
diambil ukurannya di rumah orang tua sang istri. Mengenai pakaian
sang istri menjadi kewajiban suami untuk memberinya pakaian
paling kurang dua stel a tau dua pakaian selamsatu tahun. Mengenai
tempat tinggal bagi istrinya dimana ada tempat untuk tidur dan
tempat makan tersendiri.32 Sesuai dengan firman Allah SWT QS Ath
Thalaaq/65:6
ت َ ُ ث س َ ك َ ن ْ ت ُمْ ِم ْن ُو ْج ِد ك ُ مْ َو َل ت ُضَ ا ُّر و ه ُ َّن ل ِت ُضَ ي ِ ق ُ وا ع َ ل َ ي ْ ِه َّن ۚ َو إ ِ ْن ك ُ َّن أ
ِ ول ُ ْح ي َ أ َسْ ِك ن ُ و ه ُ َّن ِم ْن
ُ َ
ُ ح ْم ل َ ه ُ َّن ۚ ف َ إ ِ ْن أ ْر ضَ ع ْ َن ل َ ك ُ مْ ف َ آ ت ُو ه ُ َّن أ
ۖ ج و َر ه ُ َّن َ ح ت َّ ى ي َ ضَ ع ْ َنَ ح ْم ل ف َ أ َن ْ ف ِ ق ُ وا ع َ ل َ ي ْ ِه َّنَ
ْ ُ َ
ض عُ ل ه ُ أ خ َر ى ُ َ ُ َ ْ ُ َ
ِ َو أ ت ِم ُر وا ب َ ي ْ ن َ ك مْ ب ِ َم ع ْ ُر وف ۖ َو إ ِ ن ت ع َ ا س َ ْر ت مْ ف س َ ت ْر ْ
Terjemahnya:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-
isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.33
31
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-19
32
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indoensia, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1988), CetIII, h. 175.
33
https://tafsirq.com/65-at-talaq/ayat-6
48
b. Nafkah Batin
Nafkah batin ialah apabila suami menggauli istri secara
seksual hingga terpenuhi kebutuhannya.Dalam bahasa ilmiah disebut
hingga istri mencapai orgasme dan hubungan kelamin itu.35
Mengenai nafkah batin, yang dimaksud adalah suami
menggauli istrinya secara seksual hingga terpenuhi hajatnya.Dalam
bahasa ilmiah disebut hingga istrinya mencapai orgasmus dari
hubungan kelamin itu. Dan jika istrinya itu sakit atau rapat lobang
kemaluannya atau lelaki itu impoten, maka ia tetap wajib
34
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2000), h.
30
35
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indoensia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1988),
Cet III, h. 177.
49
36
Hafid Abdullah, Kunsi Fiqh SYafi’i, (Semarang: CV. Any-Syifa, 1992)h. 182
37
Fatihuddin Abul,Risalah Hukum Nikah, h. 182.
38
Said Thalib Al-Hambali, Risalatun Nikah, h. 124.
39
Ahmad Isa Asyur, FIqh Islam, h. 268.
40
Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, h. 186.
50
Terjemahnya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka.
42
Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad
Ibnu Rusyid, JudulTerjemahan: Analisa Fiah Para Mujahid, (Jakarta:
pustaka Amani, 2002), h. 519.
43
Proyek Pembinaan Prasarana PTA/IAIN, DIRJEN Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam,h. 187.
44
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Islam, h. 1873.
52
1
Taufan Nugroho, “Buku Ajar Ginekologi”, (Cet, I; Yogyakarta, 2010), h. 32
53
54
5. Karena mempunyai tanggung jawab keuangan dan waktu kepada orang tua
dan saudara-saudaranya, seseorang yang memiliki keinginan untuk
membantu dan membahagiakan orang tua dan keluarga yang menyebabkan
orang tersebut tidak memikirkan pernikahan dan berkonsentrasi dengan
pekerjaannya. Karena Mempunyai Tanggung Jawab Keuangan dan Waktu
kepada Orang Tua dan Saudara-saudaranya Menurut Hurlock (2010:300)
faktor yang menyebabkan seseorang menunda pernikahan dan baru menikah
di usia lanjut salah satunya yaitu karena memiliki tanggung jawab keuangan
dan waktu kepada orang tua dan saudara-saudaranya.
jodoh yang diharapkan karena individu (calon pasangan) yang datting tidak
sesuai dengan yang ditentukan individu yang bersanggkutan sehingga
individu lebih cendrung lebih berkonsentrasi dengan pekerjaan dan karier
kedepannya. Sehingga, kesibukan dalam berkarir membuat mereka lupa
memikirkan tentang pernikahan hingga tanpa sadar usia sudah tidak
muda lagi.2
8. Menuntut ilmu, terlalu fokus dalam pendidikan ialah salah satu alasan faktor
pasangan melansgungkan pernikahan lansia karena terlalu senang
belajar, terlalu senang mencari ilmu hingga melupakan sunnah Rasulullah
yaitu menikah.3
a. Faktor Biologis
Seorang individu yang dianggap orang memiliki kemampuan
reproduktif tinggi, artinya masih memiliki dorongan kebutuhan biologis
yang cukup kuat dan kemungkinan dapat mempunyai keturunan.
Seorang wanita, secara umum golongan usia reproduktifnya berkisar
sampai usia 50 tahun. Dalam usia reproduktif ini, apabila seseorang
yang tergolong usia lanjut atau seseorang yang kehilangan pasangan
hidupnya dan tetap memenuhi kebutuhan seksualnya, dia dapat
melakukan pernikahan. Menikah dianggap sebagai jalan terbaik karena
dapat menyalurkan kebutuhan seksualnya secara sah dan pasangan
hidupnya yang baru sehingga terhindar dari perbuatan zina dan
pelanggaran asusila.
2
https://adoc.pub/queue/faktor-penyebab-orang-dewasa-awal-menunda-pernikahan-
jurnal-.html
3
http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/jfs/article/view/557/421
56
Berkaitan dengan pernikahan tidak akan lepas dari tujuan, syarat dan
rukun yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan. Mengenai pernikahan
lanjut usia perlu mendapatkan perhatian khusus karena dianggap hal ini adalah
hal yang biasa, oleh sebab itu tidaklah menutup kemungkinan karena faktor
usia yang sudah mulai menua mengakibatkan turunya kondisi fisik yang dapat
mempengaruhi dalam pemenuhan hak dan kewajibannya sebagai pasangan.
Di dalam Bab sebelumnya pernah diungkapkan tentang tujuan
pernikahan, baik tujuan dalam hukum Islam maupun dari pasangan lanjut usia,
yaitu pernikahan dilakukan untuk mencari ketenangan batin dan mencari teman
hidup di hari tua. Dan beberapa alasan yang paling mendasar dilaksanakannya
pernikahan lanjut usia. Alasan tersebut yaitu adanya kecenderungan perbuatan
yang dilarang agama yaitu zina.
4
Downloads/148-Article%20Text-600-1-10-20210703.pdf
5
Dirjen Bimais Dan Penyelenggaraan Haji Depag Ri, Modal Pendidikan Agama Dalam
Keluarga, hlm. 104.
58
sakinah. Dan untuk memenuhi semua kebutuhan manusia agar dapat bahagia
dan tenang salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan biologis.
Pada umumnya tujuan pernikahan lanjut usia berbeda-beda
diantaranya tujuan dari pernikahan tersebut yaitu untuk mencari ketenangan
hati, pendamping hidup, untuk menghilangkan setress, agar ada yang
merawat ketika sakit, kasih sayang dan untuk mencapai tujuan pernikahan itu
terbentuk dari kesetiaan, penerimaan satu sama lain, dukungan dari pasangan,
penyesuaian diri dan pengaruh lingkungan sosial.
6
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: PT. Radar Jaya: 2004), Cet V, h. 9
59
1. Nafkah lahir
Sebelum masuk pada pokok permasalahan, penulis sebutkan
terlebih dahulu beberapa kategori yang termasuk dalam pemenuhan
9
nafkah suami yaitu meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dari
semua kategori nafkah tersebut, istri berhak menuntut kepada suami
untuk memenuhi semua kebutuhannya, karena memang nafkah
7
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 50.
8
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003) Cet. Ke VI,
hlm. 107.
9
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), hlm. 422.
60
merupakan tanggung jawab dari kewajiban suami kepada istri, baik itu
berupa pangan, sandang, tempat tinggal (rumah) sesuai kemampuannya
di dalam KHI pasal 80, 81, yang menerangkan tentang kewajiban-
kewajiban suami dan tentang kediaman suami istri dalam rumah tangga.
Tentang kewajiban suami juga diterangkan dalam Al-Qur’an yang
berbunyi :10
ِعلَى ٱ ْل َم ْولُو ِد لَ ۥهُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن بِٱ ْل َم ْع ُروف
َ َو
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada paraibu dengan cara ma'ruf. (Q.S. Al-
Baqarah/2:233)”.
10
https://tafsirweb.com/924-surat-al-baqarah-ayat-233.html
11
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Midas Surya Grafindo), h. 99
61
2. Nafkah Batin
Suatu pernikahan dapat berjalan dengan harmonis bila suami
istri dapat melaksanakan kewajiban masing-masing. Hasbullah Bakri,
dalam bukunya “Pedoman Islam di Indonesia” menyatakan bahwa
nafkah dalam hal ini adalah pergaulan antara suami dan istri mencapai
orgasme. Mengenai berapa kalinya hubungan tersebut islam tidak
menentukan secara tegas, akan tetapi semuanya dkembalikan pada
kemampuan dan kesepakatan suami dan istri, setidak-tidaknya suami
14
pernahsatu kali berhubungan secara sempurna.
Kalau penulis mengamati pemenuhan nafkah batin, jika dilihat
dari faktor usia pasangan pernikahan, tentunya nafkah batin tersebut
akan mengalami hambatan karena ketika usia sudah diatas 50 tahun
seorang sudah tidak bisa lagi menjalankan aktifitas pergaulan suami
12
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta:
Gamma Media), Cet. I, hlm. 83.
13
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta:
Gamma Media), Cet. I, hlm. 89.
14
Hasbullah Bakri, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia), Cet II,
hlm. 175.
62
15
https://health.detik.com/hidup-sehat-detikhealth/d-2007047/usia-boleh-tua-sperma-
harus-awet-muda
63
suaminya
16
e. Kalau istri di penjara karena melakukan tindak pidana.
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka”. (QS. An-Nisa’/4:34)
16
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), Cet. I, hlm. 122 .
17
Kholillah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Gresik: Bintang Pelajar), hlm.
18
https://tafsirweb.com/1566-surat-an-nisa-ayat-34.html
64
usia dengan pemenuhan nafkah suami kepada istri penulis dapat melihat
adanya pertentangan antara perkawinan lanjut usia dengan pemenuhan
nafkah. Disatu sisi pernikahan harus dilaksanakan untuk mencegah
perzinahan, di sisi lain adanya akibat hukum dari pernikahan tersebut
yang tidak dapat sepenuhnya terpenuhi. Salah satu akibat hukum dari
perkawinan adalah nafkah suami kepada istri baik nafkah lahir ataupun
batin. Meskipun nafkah tidak diatur mengenai berapa batas pemberian
nafkah suami kepada istri akan tetapi nafkah merupakan kewajiban
suami yang harus di penuhi.
Selanjutnya jika dilihat dari manfaat dan mafsadat dari pada
praktek pernikahan lanjut usia kaitannya dengan pemenuhan nafkah,
apabila memang benar-benar dalam pernikahan tersebut ternyata malah
akan membawa kerusakan pada keutuhan, terlebih menelantarkan
terhadap keluarga, yang berupa hak-hak dan kewajiban maka
pernikahan seperti ini sudah tidak dipandang lagi sebagai sebuah
kemaslahatan atas pernikahannya, melainkan sesuatu yang benar-benar
harus di jauhi dan ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul
fiqh:19
درؤالمفاسد مقدم علي جلب المصا لح
19
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: PT. Radar Jaya: 2004), Cet-V,
hlm.10.
20
Wahbah Azzuhaily, Al-Figh Al-Islamy Wa Adillatuhu, (Darul Fikr Suriyah Damsik,
1989), h. 32.
65
A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan lansia antara lainnya yaitu :
Sering gagal dalam mencari pasangan (baru menemukan jodoh), Identikasi
secara ketat terhadap orang tua, Egosentrisme dan narsisme yang
berlebihan, Musim pasang dari kebudayaan invidualisme (faktor ingin
menjalani kehidupan pribadi secara bebas dan menikati masa lajang),
memiliki tanggung jawab keuangan dan waktu kepada orang tua dan
saudara-saudaranya, Trauma perceraian yang dialami oleh keluarga
(trauma), Terlanjur memikirkan karier, Menuntut ilmu (pendidikan)
2. Dalam pemenuhan nafkah pasangan usia lanjut perspektif maqhasid syariah
merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada istri karena nafkah
menjadi hak istri atas suami yang berupa nafka lahir dan batin. Didalam
hukum Islam tidak ada batasan tertentu untuk seseorang yang akan
melangsungkan pernikahan, namun dikatakan usia lanjut adalah seseorang
yang telah mencapai usia 50 tahun keatas, pernikahan itu di katakan sah
apabila telah memenuhi rukun dan syarat dalam pernikahan. Selain itu
pernikahan juga harus dengan persetujuan kedua pasangan pengantin
dengan adanya keridhaan laki-laki dan perempuan serta persesuaian
kesepakatan mereka, untuk mengikat hidup berkeluarga. Nafkah pasangan
lanjut usia tetap diberikan, karena ketika istri lanjut usia yang tidak
menjalankan kewajiban hubungan kelamin tidak dikatakan sebagai alasan
gugurnya pemberian nafkah seperti keterangan diatas, karena memang yang
menjadi faktor utama yang mempengaruhinya adalah faktor usia. Dengan
kata lain nafkah tersebut disesuaikan berdasarkan kemampuan dan kerelaan
dari pasangan tersebut. Meskipun demikian bukan berarti suami dapat lepas
dari tanggung jawab, sehingga penulis berkesimpulan ketika seorang suami
yang tidak memberikan nafkah kepada istri sama sekali, maka bisa
dikatakan telah melanggar kewajiban agama.
66
67
B. Rekomendasi
1. Bagi pasangan yang belum menikah agar jangan sampai menunda atau
sampai terlalu fokus kepada karir.
2. Bagi pasangan yang akan melakukan pernikahan hendaknya menyiapkan
diri dan memahami akan hak dan kewajiban masing-masing.
3. Kepada orang tua agar senantiasa mengingatkan anak-anaknya untuk
melangsungkan pernikahan jika sudah siap dan mampu melaksanakannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedian Hukum Islam. Jakarta: PT. Intermesa, 2001.
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh. Jakarta: PT. Radar Jaya: 2004, Cet V.
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), Cet. I.
Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyid,
Judul Terjemahan: Analisa Fiah Para Mujahid. Jakarta: ustaka Amani,
2002.
68
69
Detik Health. (2012). Usia Boleh Tua, Sperma Harus Awet Muda.
https://health.detik.com/hidup-sehat-detikhealth/d-2007047/usia-boleh-
tua-sperma-harus-awet-muda (Diakses pada 24 Agustus 2022)
Dirjen Bimais Dan Penyelenggaraan Haji Depag Ri, Modal Pendidikan Agama
Dalam Keluarga.
Downloads/148-Article%20Text-600-1-10-20210703.pdf
Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, Indahnya Perkawaninan Sambil
Kuliah,.Jakarta,Cendekia Sentra Muslim, 2005.
Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, Cet. Ke-2
.Bandung:Al Ma’arif, 1983.
Gemala Dewi, Dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia. Jakarta : Kencana, 2005.
https://tafsirweb.com/1566-surat-an-nisa-ayat-34.html
https://www.infoyunik.com/2015/11/tujuh-hikmah-larangan-berzina-dalam.html
(Diakses pada tanggal 04 Januari 2022)
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1974-
perkawinan (Diakses pada tanggal 09 Maret 2022)
https://adoc.pub/queue/faktor-penyebab-orang-dewasa-awal-menunda-
pernikahan-jurnal-.html (Diakses pada tanggal 02 Januari 2023)
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al- Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2
Tahun 2013.
71
Referensi : https://tafsirweb.com/924-surat-al-baqarah-ayat-233.html
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017, Ed. 1,Cet. 3..
T.O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: yayasan Obor Indonesia,
1999.
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Usul Fiqih
Mazhab Sunni, terj E. Kusnadiningrat dan Abdul haris bin Wahid.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
73
LAMPIRAN
Lampiran 1