Anda di halaman 1dari 86

PERNIKAHAN PASANGAN USIA LANJUT PERSPEKTIF

MAQASHID SYARIAH

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ADILLAH HALIM

NIM. 11160430000070

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022 M / 1443 H
PERNIKAHAN PASANGAN USIA LANJUT PERSPEKTIF
MAQASHID SYARIAH

SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

ADILLAH HALIM
NIM. 11160430000070

Dosen Pembimbing :

Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A


NIP : 19581128 199403 1001

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022 M / 1443 H

ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi Yang Berjudul “Pernikahan Pasangan Usia Lanjut Perspektif


Maqashid” Telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Perbandingan Madzhab Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 3 Desember 2022 skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Studi Strata (S-1) pada
Program Studi Perbandingan Madzhab.

Jakarta,30 Desember 2022


Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. Ahmad Tholabi, S.Ag., S.H., M.H., M.A.


NIP. 197608072003121001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua Prodi : Siti Hanna, S.Ag, Lc., M.A.


NIP. 197402162008012013

2. Sekretaris : Fitria, S.H., MR., Ph.D. (.…………………...)


NIP. 197403212002122005

3. Pembimbing : Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A. ( )


NIP. 195811281994031001

4. Penguji I : Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag.


NIP. 196804082000022001

5. Penguji II : Dr. Fuad Thohari, M.A.


NIP. 197003232000031001

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:


Nama : Adillah Halim
NIM : 11160430000070
Tempat, Tanggal Lahir : Tangerang, 7 Mei 1997
Program Studi/Fakultas : Perbandingan Mazhab/ Syariah dan Hukum
Alamat Rumah : Perumahan Bumi Citra Lestari Blok D6 No.21
Nomor HP : 087751441059(WA)/085697763426

Dengan ini saya menyatakan bahwa:


1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat untuk memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan kenyataan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti hasil karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 22 Desember 2022

iv
ABSTRAK

PERNIKAHAN PASANGAN USIA LANJUT PERSPEKTIF


MAQHASID SYARIAH adalah skripsi hasil karya Adillah Halim, NIM
11160430000070, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2022 M / 1443 H.
Skripsi ini merupakan upaya untuk memaparkan mengenai pernikahan
pasangan usia lanjut pada perspektif hukum Islam, yaitu adanya pernikahan pada
pasangan usia lanjut perlu adanya tinjauan terhadap fenomena tersebut karena
tidak menutup kemungkinan adanya penurunan fisik sehingga berdampak pada
setelah pelaksanaan pernikahan, hakikatnya ada beberapa faktor yang menjadi
pertimbangan di antaranya memenuhi hak-hak dan kewajiban sebagai suami dan
istri seperti halnya dalam pemenuhan nafkah, baik itu nafkah lahir dan batin, atau
bahkan dalam tujuan terlaksananya pernikahan tersebut, serta dilihat dari aspek
maqashid syariah, sebab di dalam islam terdapat maksud disyariatkannya yang
berdasarkan 5 hal yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga
keturunan dan menjaga harta.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui factor-faktor yang
melatarbelakangi terjadinya pernikahan pasangan usia lanjut. Dan untuk
mengetahui Pemenuhan hak dan kewajiban dalam hal nafkah lahir maupun batin
ditinjau dari Maqasid Syariah.
Berdasarkan hasil penelitian ini, bahwa nafkah pasangan lanjut usia tetap
diberikan, karena ketika istri lanjut usia yang tidak menjalankan kewajiban
hubungan kelamin tidak dikatakan sebagai alasan gugurnya pemberian nafkah
seperti keterangan diatas, karena memang yang menjadi faktor utama yang
mempengaruhinya adalah faktor usia. Dengan kata lain nafkah tersebut
disesuaikan berdasarkan kemampuan dan kerelaan dari pasangan tersebut.
Meskipun demikian bukan berarti suami dapat lepas dari tanggung jawab,
sehingga penulis berkesimpulan ketika seorang suami yang tidak memberikan
nafkah kepada istri sama sekali, maka bisa dikatakan telah melanggar kewajiban
agama.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan menggunakan jenis
penelitian strategi deskripsi analisis, yakni bertujuan untuk menggambarkan
keadaan sementara dengan memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber
dari data, yaitu buku-buku fiqh, dan buku-buku lain yang mendukung pembahasan
ini.

Kata kunci : Pernikahan pasangan usia lanjut, maqhosid syari’ah

v
‫بسم هللا الرمحن الرحيم‬
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji dan syukur bagi Allah


SWT atas Rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, beserta keluarganya, dan sahabatnya serta kita sebagai pengikutnya. Skripsi
ini berjudul

Dalam penyelesaian skripsi ini tentunya penulis tidak terlepas dari


bantuan dan motivasi dari berbagai pihak, baik secara personal maupun
kelembagaan. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar- besarnya kepada semua pihak, baik yang secara langsung maupun tidak
langsung, yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini terutama
kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ahmad Tholabi Karlie, S.Ag., S.H., M.A., M.H.,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Hj. Siti Hanna. Lc., M.A. Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Fitiria, S.H., MR., Ph.D. Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Ibu Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag. Dosen Pembimbing Akademik, yang
selalu memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.
5. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A, Dosen Pembimbing Skripsi
penulis
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan yang telah memberi
fasililitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
7. Seluruh Bapak Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
8. Orang tua penulis almarhum Bapak Mikail, S.E. dan Ibu Dra. Hj.

vi
Ni’matun yang penulis sayangi dan cintai, yang selalu memberikan
dukungan setiap hari baik moril maupun materil yang tak terhingga
menjadikan penulis menjadi pribadi yang mandiri dan bersemangat
untuk mencapai cita-cita. Juga dukungan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Kakak kandung penulis yaitu Muhammad Nurman Novian, S.Sos.,
M.Kesos., yang memberikan dorongan moril dan materi dalam
mendukung dan mendo’akan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.Sahabat sekaligus seperjungan dalam membangun Rumah belajar
Milenial Cendekia yaitu Mawaddah Kholiqiyah, S.Pd., Nurul Safitri,
A.Md.Farm., Elis, S,Pd., Muhammad Ridho, S.M.., Sulaiman
Ramdhani, S.H., Rafi, S.Pd., dan Aminudin, S.M. Yang memberikan
dorongan moril dan materi dalam mendukung dan mendo’akan penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini.
11.Teman-teman Prodi Perbandingan Madzhab angkatan 2016.

Akhir kalam, penulis menyadari akan kekurangan dan tiada yang


sempurna di muka bumi ini, tak terkecuali dengan skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kepada pembaca agar berkenan memberikan kritik dan
saran pada skripsi ini agar dapat diperbaiki untuk penulis berikutnya.

Wassalamu’alaikum.Wr. Wb.

Jakarta, 23 November 2022


Penulis,

Adillah Halim
NIM. 11160430000070

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iv

ABSTRAK .................................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ................................................................................................ vi

DAFTAR ISI .............................................................................................................viii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................................10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................................11

E. Kajian Studi Terdahulu............................................................................12

F. Metode Penelitian ....................................................................................13

G. Jenis dan Sumber Data ............................................................................14

H. Sistematika Penulisan .............................................................................15

BAB II LANDASAN TEORETIS TENTANG MAQASHID SYARIAH ............17

A. Pengertian Maqashid Shari’ah ................................................................17

1. Maqashid .............................................................................................17

viii
2. Syariah.................................................................................................18

B. Tingkatan dalam Maqashid Syari’ah .....................................................22

1. Maqashid Dharuriyah (Tujuan primer)................................................22

2. Maslahat Hajiyat .................................................................................24

3. Maslahat Tahsiniyat ............................................................................25

C. Metode Penetapan Maqashid al-Syariah ................................................27

BAB III PERNIKAHAN, USIA LANJUT DAN NAFKAH ................................31

A. Perkawinan ...........................................................................................31

1. Pengertian Perkawinan .....................................................................31

2. Hukum Perkawinan ...........................................................................33

B. Usia Lanjut ............................................................................................39

1. Pengertian Usia Lanjut......................................................................39

2. Ciri-ciri Usia Lanjut .........................................................................42

C. Nafkah dalam Islam ..............................................................................45

1. Pengertian Nafkah.............................................................................45

2. Macam-Macam Nafkah ....................................................................46

a. Nafkah lahir ..................................................................................47

b. Nafkah Batin ................................................................................48

3. Sebab Mendapatkan Nafkah .............................................................49

4. Sebab yang Meruntuhkan Hak Nafkah .............................................51

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN PADA PASANGAN USIA LANJUT .....Error! Bookmark

A. Latar Belakang Pernikahan Usia Lanjut .............................................53

ix
B. Pemenuhan Nafkah Pasangan Usia Lanjut Perspektf Maqashid Syariah59

BAB V PENUTUP ...................................................................................................66

A. Kesimpulan .............................................................................................66

B. Rekomendasi ...........................................................................................64

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................68

LAMPIRAN ..............................................................................................................73

x
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.

A. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Huruf Huruf Huruf
Keterangan Keterangan
Arab Latin Arab Latin
tidak te dengan
‫ا‬ ‫ط‬ t
dilambangkan garis bawah
zet dengan
‫ب‬ B be ‫ظ‬ z
garis bawah
koma
terbalik di
‫ت‬ T te ‫ع‬ ‘
atas hadap
kanan
‫ث‬ ts te dan es ‫غ‬ gh ge dan ha
‫ج‬ J Je ‫ف‬ f ef
ha dengan
‫ح‬ H ‫ق‬ q Qo
garis bawah
‫خ‬ kh ka dan ha ‫ك‬ k ka
‫د‬ D de ‫ل‬ l el
‫ذ‬ dz de dan zet ‫م‬ m em
‫ر‬ R Er ‫ن‬ n en
‫ز‬ Z zet ‫و‬ w we
‫س‬ s es ‫هـ‬ h ha
‫ش‬ sy es dan ye ‫ء‬ ` apostrop
es dengan
‫ص‬ s ‫ي‬ y Ya
garis bawah
de dengan
‫ض‬ d
garis bawah

xi
B. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai
berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal


Keterangan
Latin

‫ــــــَـــــ‬ a fathah

‫ـــــــِــــ‬ i kasrah

‫ــــــُـــــ‬ u dammah
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Keterangan


Latin

‫ــــــَـــــ ي‬ ai a dan i

‫ــــــَـــــ و‬ au a dan u

C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ـــــَـا‬ â a dengan topi di atas

‫ــــــِــي‬ î i dengan topi di atas

‫ـــــُــو‬ û u dengan topi di atas

xii
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alim
dan lam ( ‫) ال‬, dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf
syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:

‫ = اإلجتهاد‬al-ijtihâd
‫ = الرخصة‬al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

E. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya:

‫ = الشفعة‬al-syuf‘ah, tidak ditulis asy-syuf‘ah.

F. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta
marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta
marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫شريعة‬ syarî‘ah

2 ‫الشريعة اإلسالمية‬ al-syarî‘ah al-islâmiyyah

3 ‫مقارنة المذاهب‬ muqâranat al-madzâhib


dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

xiii
G. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun
dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu
diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka
huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya, ‫= البخاري‬
al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak
tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski
akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin
al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

H. Cara Penulisan Kata


Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (harf),
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 ‫الضرورة تبيح المحظورات‬ al-darûrah tubîhu almahzûrât

2 ‫اإلقتصاد اإلسالمي‬ al-iqtisâd al-islâmî

3 ‫أصول الفقه‬ usûl al-fiqh

al-‘asl fî al-asyyâ’ al-


4 ‫األصل في األشياء اإلباحة‬
ibâhah

5 ‫المصلحة المرسلة‬ al-maslahah al-mursalah

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Keluarga merupakan satuan sosial yang sederhana dalam masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat ini tergantung pada kesejahteraan keluarga.
Adapun keluarga terbentuk melalui sebuah pernikahan. Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1
Sudah merupakan naluri manusia untuk memiliki rasa cinta dan
sayang kepada lawan jenisnya, karena memang manusia diciptakan untuk
hidup berpasang-pasangan.
Secara harfiah semua makhluk hidup didunia ini diciptakan untuk
berpasang-pasangan. Semua yang hidup di alam ini diciptakan dengan
berpasang-pasangan. Baik itu binatang, tanam-tanaman, tumbuh- tumbuhan,
pepohonan dan tidak terkecuali manusia pasti mempunyai pasangannya
masing-masing.2 Terkhusus untuk manusia, dalam berpasang- pasangannya
ditandai dengan adanya pernikahan atau ‘aqad yang membolehkan atau
menghalalkan dalam hubungan seksual.3
Pada hakikatnya, manusia ditakdirkan oleh Allah SWT dan diamanati
sebagai khalifah, karena didasari tabiat sebagai makhluk sosial. Ia tidak bisa
hidup sendiri, sejak lahir dan berkembang dewasa, dan sampai saatnya mati
pun, membutuhkan bantuan orang lain. Tidak ada manusia normal yang bisa
dan mampu hidup menyendiri secara terus-menerus. Oleh karena itu, agar
hubungan sosialnya berjalan dengan baik, maka perlu diatur.4

1
Republik Indonesia, Undang-undang Perkawinan (Cetakan: I, Bandung: Focus Media,
2005),1.
2
Khoiruddin Nasution, Hukum Pernikahan 1 [Dilengkapi Perbandingan UU
Negara MuslimKontemporer], (Yogyakarta: ACAdeMIA,2013), hal. 22.
3
Khoiruddin Nasution, Hukum Pernikahan 1 [Dilengkapi Perbandingan UU Negara
MuslimKontemporer], hal. 22.
4
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Edisi Revisi, Cet.2, (Jakarta:
PTRaja Grafindo Persada, 2015), h.7.

2
3

Menikah menjadi salah satu ibadah yang dianjurkan dalam agama


islam dan menjadi sunnah Rasulullah SAW. Pernikahan yang merupakan
perbuatan mulia tersebut pada prinsipnya dimaksudkan untuk menjalin
ikatan lahir batin yang sifatnya abadi dan bukan hanya untuk sementara
waktu. Atas dasar sifat ikatan pernikahan tersebut, maka dimungkinkan
dapat didirikan rumah tangga yang damai dan teratur, serta memperoleh
keturunan yang baik dalam masyarakat. Setiap makhluk hidup memiliki
hak asasi untuk melanjutkan keturunannya melalui pernikahan, yakni
melalui budaya dalam melaksanakan suatu pernikahan yang dilakukan di
Indonesia. Setiap orang atau pasangan (pria dan wanita) jika sudah
melakukan pernikahan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak
diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari pernikahan
tersebut.
Pernikahan adalah suatu yang sangat sakral dan mempunyai tujuan
yang sakral pula dan tidak terlepas dari aturan-aturan agama, pernikahan
bukan semata-mata memuaskan nafsu, melainkan meraih ketenangan,
kebahagiaan, dan saling mengayomi diantara suami istri dan dilandasi
cinta dan kasih sayang yang mendalam.5
Allah SWT telah memberikan batasan dengan peraturan-Nya, yaitu
dengan syari’at yang terdapat dalam kitab-Nya dengan hukum-hukum
perkawinan dan hukum-hukum lainnya yang saling terkait dengan
perkawinan, seperti kewajiban suami tehadap istri yaitu memberikan
nafkah.
Agar tujuan dan keinginan dalam pernikahan tercapai dan mampu
mewujudkan rumah tangga yang diinginkan dan sesuai harapan setiap
pasangan suami istri maka harus diperhatikan tentang syarat-syarat
tertentu agar tujuan perkawinanya dapat tercapai dan tidak menyalahi
aturan yang telah ditetapkan agama.
Dalam kompilasi hukum Islam BAB II Pasal 3 menyatakan

5
Muhammad Asnawi, Nikah Dalam Pembincangan dan Perdebawat, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h.20.
4

perkawinan merupakan akad yang paling sakral dan agung dalam


sejarah perjalanan hidup manusia dan dalam Islam disebut mistsaqan
ghalidan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah yang umum dan berlaku pada
semua makhuk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan.6
Pernikahan adalah dasar pertama untuk membangun rumah
tangga dalam masyarakat.7 Pernikahan bagi setiap umat Islam sangat
dianjurkan karena dapat memberikan ketentraman, kedamaian, dan
kebahagiaan dalam kehidupan sehari- hari. Anjuran ini disarankan
untuk proses kesetabilan jiwa karena problematika kehidupan semakin
hari semakin kompleks, dengan maksud agar terhindar dari hal-hal yang
negatif dan menyimpang agama.8
Dengan adanya ikatan pernikahan, akan menimbulkan suatu
tanggung jawab serta kewajiban bagi suami kepada istri. Karena
keluarga ada dan lahir karena suatu pernikahan. Mengenai pernikahan
telah di atur dalam Undang- undang No. 16 tahun 2019 yang berbunyi:.
"Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa." (UU No.
16 Tahun 2019).9
Selain itu pelaksanaan perkawinan perlu adanya suatu pencatatan
untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini
merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan yang
bertujuan untuk melindungi martabat dan kesucian (misaq al-galid)
suatu perkawinan, dan lebih khusus lagi melindungi perempuan dalam

6
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presind,
1992), h. 144
7
Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, Cet. Ke-2, (Bandung:
Al Ma’arif, 1983), hlm. 41
8
Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, hlm.31-33
9
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1974-perkawinan
(Diakses pada tanggal 09 Maret 2022)
5

kehidupan rumah tangga. Karena perkawinan selain merupakan akad


10
suci, perkawinan juga mengandung hubungan keperdataan.
Laki-laki dan wanita terlihat sangat berbeda, seorang laki-laki
lebih menonjol dengan badaniah dan wanita dengan batiniah. Hak
yang seimbang wajib disesuaikan dengan adanya perbedaan antara
pria dan wanita. Mempersamakan berarti menimbulkan
ketidakseimbangan. Berdasarkan pengamatan itu menimbulkan
tanggung jawab yang berbeda pula. Pria sebagai pelindung dan
wanita yang dilindungi. Pria sebagai pencari nafkah dan wanita
pemelihara nafkah. Sehingga tampak adanya suatu perbedaan
tanggung jawab antara suami dan istri. Allah SWT telah menakdirkan
adanya suatu perbedaan antara kedua makhluk yang diciptakan (laki-
laki dan perempuan), baik dari segi badaniah, maupun batiniah. Oleh
karena itu timbul adanya suatu beban dan perlindungan berbeda
antara suami dan istri.11
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupan
memang sering terjadi dalam pelaksanaan pernikahan misalnya,
adanya pernikahan pada pasangan usia lanjut. Pernikahan tidak hanya
terjadi di waktu muda saja, fase dimana manusia sudah menginjak
masa tua masih banyak diantara mereka yang mencari pasangan
hidup.12
Adanya berita yang cukup viral di media sosial dan televisi
tentang adanya pernikahan usia lanjut, baik antara lansia dengan
lansia atau lansia dengan remaja. Pernikahan lanjut usia di atas 60
tahun ada faktor seperti fisik yang mengalami penurunan, sehingga
sulit memenuhi nafkah baik itu secara nafkah lahir maupun nafkah
batin. Mereka menikah di usia lanjut penuh dengan pertimbangan

10
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media,
2002), hlm, 107.
11
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Cet. VI,(Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), 60.
12
M.Muaz Dirjowiyoto, Bagaimana Menghadapi Masalah Lanjut Usia. (Nasehat
Perkawinan Keluarga). 1993,.54.
6

yang matang.
Sejalan dengan penurunan kondisi fisik ataupun mental, maka
mereka (lansia) yang berstatus janda dan duda memilih menikah lagi
walaupun dengan umurnya yang sudah tua. Menjadi tua umumnya
dipandang sebagai proses perubahan yang pasti berlangsung di
kehidupan. Sedangkan menurut Undang- Undang Nomer 13 tahun
1998 tentang kesejahteraan lansia, lanjut usia adalah orang yang
mencapai umur 60 tahun keatas.13
Bagi orang usia lanjut kenyamanan dan kebahagiaan sangat
dibutuhkan dalam kehidupannya yang sudah tua. Selain itu sangat
rentan sekali dalam berbagai aspek terutama kesendirian diakhir
hidupnya. Menjadi tua umumnya dipandang sebagai proses
perubahan yang berlangsung sepanjang hidup.14
Thomae menyebutkan perubahan pada orang yang sudah
lanjut usia berbeda antara satu dengan yang lain, perubahan tersebut
seperti berubahnya dari segi sosial misal kehilangan teman hidup,
sahabat dan keluarga lain, dan juga kurang konsisten dalam
perubahan sifat misalnya dalam beraktivitas, kontrol diri, dan suasana
hati.15
Selanjutnya perkembangan kognitif menjadi tua ditandai
dengan kemunduran-kemunduran kognitif diantaranya adalah seperti
mudah lupa, ingatan tidak berfungsi baik, orientasi umum, dan
persepsi terhadap ruang dan waktu, tempat dalam keadaan mundur,
meskipun mempunyai banyak pengalaman yang dicapai dalam tes
menjadi lebih rendah dan tidak mudah menerima ide-ide baru.16
Begitu juga masalah kebutuhan biologis untuk meneruskan

13
Roisul Umam Hamzah, Perkawinan Lansia Dalam Perspektif Maqasid Shari‘ah (Studi
Kasus di Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan), hlm.15
14
F. J. Mons dkk, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagianya, Cet. Ke-16,
(Yogyakarta: Gajah Mada University, 2006), hlm. 352
15
F. J. Mons dkk, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagianya, hlm.334-335
16
Wiji Hidayati dan Sri Purnami, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Teras, 2008),
hlm. 157
7

keturunan. Jika diketahui pada lanjut usia untuk bereproduksi perlu


melihat faktor kesehatan karena ditakutkan membahayakan bagi
keselamatan calon bayi dan isteri. Namun hal tersebut belum pasti
terjadi pada lansia karena kemungkinan untuk berhubungan seks
menurun bahkan mungkin sudah tidak ada.17
Pada zaman modern sekarang ini, seiring dengan
perkembangan zaman mengantarkan manusia pada era baru, sehingga
godaan demi godaan yang datang sebagai ujian dan kadang
malapetaka bagi pelaku pernikahan. Sehingga tujuan pernikahan
dalam Islam saat sekarang adalah sebagai upaya prefentif agar
terpelihara dari perbuatan melanggar hukum (zina dan perbuatan
keji).18
Hikmah pengharaman zina diantaranya untuk menjaga
kehormatan, mencegah percampuran nasab, mencegah banyaknya
anak yang ditelantarkan orang tua, menjaga keutuhan dan
ketenteraman dalam rumah tangga, pengharaman zina sesuai dengan
fitrah manusia, mencegah menyebarnya kejahatan, khususnya
pembunuhan dan mencegah penyebaran penyakit menular.19
Menurut Imam al Ghazali, tujuan perkawinan antara lain
untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan, memenuhi hajat
manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih
sayangnya, memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari
kejahatan dan kerusakan, menumbuhkan kesungguhan untuk
bertanggung-jawab menjalankan kewajiban dan menerima hak, juga
bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang kekal,
membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat tenteram

17
F. J. Mons dkk, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagianya, hlm. 348-349
18
T.O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: yayasan Obor Indonesia,
1999), hlm. 284-301.
19
https://www.infoyunik.com/2015/11/tujuh-hikmah-larangan-berzina-dalam.html
(Diakses pada tanggal 04 Januari 2022)
8

atas dasar cinta dan kasih sayang.20


Banyak hal yang menghalangi sesorang untuk menikah, yaitu
perasaan takut menikah karena merasa belum siap. Ada yang belum
mau menikah karena takut kecewa atau dikecewakan. Ada yang
trauma karena ditolak atau gagal mencintai seseorang. Ada juga yang
tidak menikah dulu karena takut profesi, karier atau pekerjaannya
terhambat. Bahkan ada yang belum menikah karena lebih suka
menyendiri karena hobi atau kebiasaannya yang tidak ingin diganggu,
atau karena lebih senang berganti-ganti pasangan dan banyak lagi
alasan seseorang untuk tidak menikah.21
Nikah merupakan sebahagian dari akhlak yang mulia, akhlak
yang terpuji, ahklak adalah hal yang mendasar dalam ajaran Islam,
baik ahklak kepada Allah, sesama juga alam sekitarnya, dalam hal ini
hablu min Allah dan habbul min an-nas, melaksanakan perintah dan
menjauhi larangannya, serta peduli terhadap orang sekitar dan alam.
Wahbah al- Zuhaili, seorang ulama fikih kontemporer kenamaan
menyebutkan beberapa hikmah nikah, diantaranya untuk menjaga
manusia laki-laki dan perempuan dari perbuatan yang terlarang
(zina), menjaga kelangsungan hidup manusia, menjaga keturunan
dan nasab, membentuk keluarga yang merupakan bagian dari
masyarakat, untuk mengadakan tolong-menolong di antara
pasangan suami istri, menciptakan kecintaan di antara masyarakat
dan menguatkan ikatan tali kekeluargaan dan dengan pernikahan
pula akan membawa kemaslahatan dan menimbulkan rasa
tanggung jawab. Hikmah-hikmah tersebut juga dapat ditemukan
dalam banyak literatur fikih klasik (Fiqhus Sunnah, Said Sabiq,
Hikmah Tasyri’ wa Falsafatuhu, Ali Ahmad al-Jurjawi).22

20
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazaly, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut : Dar al
Fikr, tt), hlm. 27-36
21
Gus Arifin. Menikah Untuk Bahagia, (Jakarta: Kompas Gramedia,2013), hal. 13
22
Nurhadi, Maqasid syari’ah hukum perkawinan dalam komplasi hukum islam (KHI) Al-
Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16,No:,Juli-Desember 2017 (203-232).
9

Kemudian, dalam pembaharuan hukum perkawinan Indonesia


berbasis Maqashid Syari’ah, prinsip-prinsip demokrasi dalam hukum
perkawinan Indonesia menjadi legitimasi yang mempunyai nilai-nilai
yang dianggap sebagai prasyarat suatu demokrasi itu sendiri, yaitu:
pertama prinsip keadilan, di mana nilai keadilan itu sendiri
merupakan nilai universal yang diterima semua kalangan, di manapun
suatu sistem politik dan mekanisme demokrasi, nilai keadilan tidak
boleh dihilangkan. Kedua, prinsip kesetaraan dan persamaan hak
dalam masyarakat demokratis, seluruh warga negara memiliki hak
yang sama, baik itu individu maupun hak publik, latar belakang suku,
etnis, kelamin, agama dengan tidak membedakan hak-haknya. Ketiga,
prinsip kebebasan dan kemerdekaan, di mana warga negara berhak
untuk mendapatkan kebebasan dan kemerdekaan dalam berpikir dan
berekspresi atau mengungkapkan pendapat. Hal itu juga sama
sebagaimana yang terdapat dalam maqasid al-Syari’ah yang di
dalamnya ingin menjaga Hifdz ad-din,nafs, nasl, aql, maal, jika kita
sandingkan dengan konsep itu maka terlihat bahwa Maqasid Syari’ah
adalah landasan yang legal kontitusional dalam penegakan hukum
perkawinan di Indonesia.23

Tujuan pernikahan dalam Islam bukan semata-semata untuk


kesenangan lahiriyah melainkan juga membentuk suatu lembaga yang
dengannya kaum pria dan wanita dapat melihara diri dalam kesesatan atau
berbuat zina, melahirkan dan merawat anak-anak untuk melanjutkan
keturunan, manusia serta memenuhi kebutuhan seksual yang wajar dan
diperlukan untuk menciptakan kenyamanan dan kebahagiaan.

Setelah menjelaskan tentang tujuan dan hikmah dilaksanakan nya


perkawinan diatas. Menurut Penulis dalam tujuan perkawinan di atas
terkandung aspek maqasid syariah yang tidak bisa dilepaskan, tujuan
perkawinan dan maqasid syariah harus berjalan selaras karena di dalam

23
Nurhadi, Maqasid syari’ah hukum perkawinan dalam komplasi hukum islam (KHI) Al-
Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16,No:,Juli-Desember 2017, hlm.233-234
10

maqasid syariah terdapat aspek- aspek yang dapat mewujudkan


keluarga dengan tujuan menurut hukum Islam yang telah di paparkan di
atas.

Memperhatikan fenomena yang terjadi pada saat ini, khususnya di


indoneisa mengenai adanya pernikahan pada pasangan usia lanjut perlu
adanya tinjauan terhadap fenomena tersebut karena tidak menutup
kemungkinan adanya penurunan fisik sehingga berdampak pada setelah
pelaksanaan pernikahan, hakikatnya ada beberapa faktor yang menjadi
pertimbangan diantaranya memenuhi hak-hak dan kewajiban sebagai suami
dan istri seperti halnya dalam pemenuhan nafkah, baik itu nafkah lahir dan
batin, atau bahkan dalam tujuan terlaksananya pernikahan tersebut, serta
dilihat dari aspek maqashid syariah, sebab di dalam islam terdapat maksud
disyariatkannya yang berdasarkan 5 hal yaitu menjaga agama, menjaga
jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan menjaga harta oleh karena itu
berawal dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menulis dan
membahas lebih dalam melalui sebuah skripsi dengan judul
“PERNIKAHAN PASANGAN USIA LANJUT PERSPEKTIF
MAQASHID SYARIAH”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,
maka masalah yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1) Penyebab terjadinya perkawinan usia lanjut.
2) Tujuan pernikahan pada pasangan usia lanjut.
3) Tinjauan maqashid syariah terhadap pelaksanaan pernikahan pada
pasangan usia lanjut.
4) Pemenuhan hak dan kewajiban dalam hal nafkah lahir maupun batin
ditinjau dari Maqashid Syariah.
5) Faktor sosial ekonomi dalam perkawinan usia lanjut.
11

C. Batasan dan Rumusan Masalah


1. Batasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam skripsi ini maka penulis
membatasi masalah yang akan dibahas agar sesuai dengan yang
diharapkan. Di sini penulis hanya akan membahas mengenai tinjauan
maqashid syariah terhadap pernikahan pada pasangan usia lanjut.

2. Rumusan Masalah
Penulis merinci rumusan masalah tersebut dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Mengapa terjadi pernikahan pada pasangan usia lanjut?
b. Bagaimana perspektif maqashid syariah terhadap pelaksanaan
pemenuhan nafkah pasangan usia lanjut?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui sebab terjadinya pernikahan pada pasangan usia
lanjut.
b. Untuk mengetahui perspektif maqashid syariah terhadap
pelaksanaan pemenuhan nafkah pasangan usia lanjut.

2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur dan khasanah
keilmuan di bidang hukum islam khususnya pada maqashid syariah
serta sebagai referensi kepustakaan.
b. Memberikan informasi dan menambah pengetahuan masyarakat
umum tentang pertimbangan dalam hal pelaksanaan pernikahan
pada pasangan usia lanjut.
12

c. Untuk memenuhi perbendaharaan isi perpustakaan Fakultas


Syariah dan Hukum dan perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

E. Kajian Studi Terdahulu


Penulis melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian yang telah
ada sebelumnya. Untuk menghindari kesamaan atau plagiasi terhadap hasil
penelitian sebelumnya yang telah ada. Dengan ini penulis menyatakan
bahwa skripsi ini merupakan karya asli penulis. Hasil penelitian yang telah
penulis telusuri diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Jurnal yang ditulis oleh Holilur Rohman Jurusan Hukum Keluarga


Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya (2016) dengan judul Batas Usia Ideal
Pernikahan Perspektif Maqashid Shariah. Jurnal ini membahas
tentang batasan minimal umur pernikahan dalam teks al-qur’an dan
hadits kemudian dalam UU No.1 tahun 1974 dan dalam program
pendewasaan usia oleh BKKBN dan dalam pandangan maqashid
syariah.

2. Skripsi yang ditulis oleh Kholilutfi Zainurohman Nim:1223201024


Program Studi hukum keluarga Fakultas Syariah Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Purwokerto 2019 Dengan judul Tinjauan
hukum islam terhadap pemenuhan nafkah suami kepada istri dalam
pernikahan lanjut usia.(Studi Kasus Pernikahan Lanjut Usia di
Desa Purbasari Kecamatan Karangjambu Purbalingga) membahas
tentang pemenuhan nafkah lahir suami terhadap istri pada
pernikahan lanjut usia. Subjek penelitian bersumber dari empat
pasangan yang menikah kembali pada usia lanjut di desa Purbasari
kecamatan Karangjambu Purbalingga. Menggunakan metode
13

penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang


dispesifikasikan melalui riwayat hidup, wawancara mendalam, dan
observasi.

3. Skripsi yang disusun oleh Roisul Umam Hamzah NIM. C01214022


Jurusan hukum keluarga universitas islam negeri sunan ampel
suarabaya 2018 yang berjudul: Perkawinan lansia dalam perspektif
maqashid syariah. (Studi Kasus di Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan). Yang membahas tentang bagaimana deskripsi
terlaksananya perkawinan lansia di Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan Madura dan Bagaimana perspektif maqashid syariah
terhadap perkawinan lansia di Kecamatan Socah Kabupaten
Bangkalan Madura.

Pada tiap penelitian tersebut memiliki tujuan dan pendekatan


yang berbeda-beda namun masih berada dalam ruang lingkup yang
sama, yaitu mengenai pernikahan lansia, mulai dari latarbelakang
atau penyebabnya, pemenuhan nafkah dan dalam perspektif
maqashid syariah. Perbedaan antara ketiga penelitian tersebut
dengan skripsi ini adalah penulis melalui metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif analisis serta disajikan secara naratif yaitu
lebih kepada hal yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan usia
lanjut dan pemenuhan nafkah baik secara lahir dan batin. dalam hal
ini studi pustaka.

F.Metode Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang
menekankan pencarian makna, pengertian, konsep, karakteristik, gejala,
simbol, maupun deskripsi tentang suatu fenomena; fokus dan multi
14

metode, bersifat alami dan holistik, mengutamakan kualitas, menggunakan


beberapa cara, serta disajikan secara naratif.

G. Jenis dan Sumber Data


1. JenisPenelitian
Dalam penghimpunan bahan yang dijadikan skripsi dalam penelitian ini
penulis menggunakan jenis penelitian komparatif dengan pendekatan
kualitatif, yaitu penelitian yang membandingkan keberadaan satu variable
atau lebih pada dua atau lebih pada sempel yang berbeda. Kemudian
penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan Pustaka atau data sekunder belaka.

2. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengumpulan data yaitu
dengan menggunakan studi pustaka (library research). Studi Pustaka
dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi teori-teori tentang
konsep dan pemahaman khususnya terkait dengan tema penelitian yakni
pernikahan pasangan usia lanjut perspektif maqashid syariah. Studi ini
juga dilakukan diberbagai tulisan di internet sebagai bahan pelengkap.

3. Metode Pengumpulan Data


Data-data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu:

1). Data Primer, yaitu data dalam bentuk peraturan perundangan,


antara lain:
a. Al-Qur’an al-karim dan al-hadits
b. Kompilasi Hukum Islam
c. Kitab-Kitab Fiqih
15

2). Data Sekunder yaitu bahan-bahan tertulis yang dipergunakan untuk


memberikan penjelasan mengenai data pimer seperti buku-buku
tentang Pernikahan, Hukum Keluarga Islam mengenai nafkah, serta
buku-buku tentang Maqashid Syariah.

3). Data tersier, yaitu data non-hukum yang diharapkan mendukung


dalam penulisan skripsi ini, seperti kamus, media elektronik, serta
ensiklopedia yang berkaitan dengan pembahasan.

4. Metode Analisis Data


Setelah data-data diperoleh dari hasil penelitian kemudian diklasifikasi.
Penulis menganalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu
menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi
rasional serta studi dokumentasi. Kemudian data tersebut penulis paparkan
dalam bentuk narasi sehingga menjadi kalimat yang jelas dan dapat
dipahami. Analisa ini juga melakukan pendekatan aspek filosofis, historis,
dan sosiologis tinjauan maqashid syariah terhadap pernikahan pasangan
usia lanjut dalam hal pemenuhan nafkah.

5. Teknik Penulisan Skripsi


Penulisan Skripsi ini berpedoman pada “ Buku pedoman skrpsi Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Neger Syarf Hdayatullah Jakarta
yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta Tahun 2017”.

H. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi pembahasan kedalam
(5) lima bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, hal ini
untuk memudahkan memberi gambaran mengenai topik-topik tertentu
dalam penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan penjelasan secara utuh
dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
16

BAB I merupakan pendahuluan yang berisi mengenai latar


belakang, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian studi terdahulu, metode penelitian dan
sistematika penulisan.

BAB II penjelasan mengenai tinjauan umum tentang pengertian,


konsep, urgensi dan kedudukan maqashid syariah dalam pembentukan
hukum.

BAB III menjelaskan tentang pengertian, rukun, syarat, hak-hak


dan kewajiban bagi pasangan suami istri pada pernikahan dalam islam,
pengertian usia lanjut ciri-ciri dan tentang nafkah.

BAB IV membahas analisis pernikahan pada pasangan usia lanjut,


mencakup latarbelakang dan pemenuhan nafkah pasangan usia lanjut.

BAB V membahas penutup yang berisi mengenai kesimpulan dan


saran yang ditarik dari keseluruhan pembahasan berdasarkan data dan
informasi. Kemudian berdasarkan kesimpulan ini yang bersifat reflektif
diharapkan dapat sebagai masukan atau saran dari semua pihak dalam
pernikahan usia lanjut serta pemenuhan nafkah lahir maupun batin.
BAB II
LANDASAN TEORITIS MAQASHID SYARIAH

A. Pengertian Maqashid Shari’ah


1. Maqashid
Kata maqashid adalah bentuk jamak dari bentuk tunggal maqshid
dan maqshad, keduanya berupa masdar mimi yang punya bentuk fi’il
madhi qashada. Secara bahasa maqashid ini punya beberapa arti
di antaranya al-i‟timad, al-um, ityan asy-syai’, dan juga istiqamatu at-
tariq. 1
Selain dari makna di atas, ibn al-Manzur (w. 711 H) menambahkan
dengan al-kasr fi ayy wajhin kana memecahkan masalah dengan cara
apapun, misalnya pernyataan seseorang qashadtu al-„ud qashdan
kasartuhu aku telah menyelesaikan sebuah masalah, artinya aku sudah
pecahkan masalah itu dengan tuntas.2
Berdasarkan makna-makna di atas dapat disimpulkan, bahwa kata
al-qashd, dipakaikan untuk pencarian jalan yang lurus dan keharusan
berpegang kepada jalan itu.
Kata al-qashd itu juga dipakaikan untuk menyatakan bahwa suatu
perbuatan atau perkataan mestillah dilakukan dengan memakai timbangan
keadilan, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula selalu sedikit, tetapi
diharapkan mengambil jalan tengah. Pemakaian makna tidak berlebih-
lebihan dan tidak terlalu longgar dalam memaknai nash. Dengan demikian,
maqashid adalah sesuatu yang dilakukan dengan penuh pertimbangan dan
ditujukan untuk mencapai sesuatu yang dapat mengantarkan seseorang
kepada jalan yang lurus (kebenaran), dan k ebenaran yang didapatkan itu
mestilah diyakininya serta diamalkannya secara teguh. Selanjutnya dengan

1
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019), h 10
2
Busyro, Maqashid Al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2019), h 6-7.

17
18

melakukan sesuatu itu diharapkan dapat menyelesaikan masalah


yang dihadapinya dalam kondisi apapun.26

2. Syariah
Kata syariah secara bahasa bisa kita awali dari kamus-kamus
bahasa arab bermakna ad-din, al-millah, al-minhaj, at-thariqah, dan as-
sunnah.27
Adapun kata syariah secara bahasa berarti maurid al-maalladzi
tasyra‟u fihi al-dawab tempat air mengalir, di mana hewan-hewan minum
dari sana. Seperti dalam hadis Nabi, fa asyra‟a naqatahu, artinya
adkhalaha fi syariah al-ma’ lalu ia memberi minum untanya, artinya ia
memasukkan unta itu ke dalam tempat air mengalir. Kata ini juga berarti
masyra‟ah al-ma’ tempat tumbuh dan sumber mata air, yaitu mawrid al-
syaribah allati yasyra‟uha al-nas fayasyribuhu minha wa yastaquna
tempat lewatnya orang-orang yang minum, yaitu manusia yang mengambil
minuman dari sana atau tempat mereka mengambil air.28

Pemakaian kata al-syariah dengan pengertian di atas diantaranya


berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-jaatsiyah [45]; 18 yang
berbunyi:

َ َ‫ث ُ َّم َج َع ْلنَك‬


َ‫علَى ش َِري َعة ِمنَ ْٱْل َ ْم ِر فَٱت َّ ِب ْع َها َو َل تَت َّ ِب ْع أ َ ْه َوآ َء ٱ َّلذِينَ َل يَ ْعلَ ُمون‬

Artinya: Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat


(peraturan dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
(QS. Jaatsiyah; 18) 29

Selain itu juga berdasarkan QS. Al-maaidah [5]: 48:

26
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 7.
27
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, h 14.
28
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 7.
29
tafsirweb.com/9510-surat-al-jatsiyah-ayat-18.html
19

‫جا‬ ِ ‫ج ع َ ل ْ ن َا ِم ن ْ ك ُ ْم‬
ً ‫ش ْر ع َ ة ً َو ِم ن ْ ه َ ا‬ َ ‫لِ كُ ل‬
Artinya: Bagi setiap kami berikan aturan dan jalan yang terang (QS. Al-
maaidah: 48)30

Pemakaian kata al-syariah dengan arti tempat tumbuh dan sumber


mata air bermakna bahwa sesungguhnya air merupakan sumber kehidupan
manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Demikian pula halnya dengan
agama islam merupakan sumber kehidupan setiap muslim,
kemaslahatannya, kemajuannya, dan keselamatannya, baik di dunia
maupun di akhirat. Tanpa syariah manusia tidak akan mendapatkan
kebaikan, sebagaimana ia tidak mendapatkan air untuk diminum. Oleh
karena itu, syariat islam merupakan sumber setiap kebaikan, pengharapan,
kebahagiaan, baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat
nanti. Dengan demikian, maqashid al-syariah artinya adalah upaya
manusia untuk mendapatkan solusi yang sempurna dan jalan yang benar
berdasarkan sumber utama ajaran islam, al-quran dan Hadis Nabi SAW.
Secara terminologi, Al-Ghazali misalnya, di dalam AlMustashfa
hanya menyebutkan ada lima maqashid syariah, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta. Namun tidak menyebutkan definisinya,
namun belum mencakup keseluruhannya.31
Namun demikian, definisi maqashid syariah hanya akan kita
temukan hanya akan kita temukan pada karya ulama modern.
a. Ibnu Asyur Di antara ulama modern adalah Ibnu Asyur (w. 1393 H).
Maqashid syariah beliau di definisikan ada dua macam, yaitu
umum dan khusus. Definisi Maqashid Syariah yang umum menurut Ibnu
Asyur: Sejumlah makna dan hikmah yang disimpulkan bagi pembuat
syariah pada semua syariah atau sebagian besarnya.
Hal-hal yang dikehendaki syar‟i (Allah) untuk merealisasikan
tujuan-tujuan manusia yang bermanfaat, atau untuk memlihara

30
https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-48
31
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, h 18.
20

kemaslahatan umum mereka dalam tindakan-tindakan mereka secara


khusus.32
b. ‘Allal Al-Fasi
’Allal Al-Fasi (w. 1974 M) membuat definisi maqashid syariah
adalah: Maqashid syariah adalah tujuan syariah dan rahasia yang
ditetapkan oleh Syari‟ yaitu Allah SWT pada setiap hukum dari
hukumhukumnya.
c. Ar-Raisuni
Tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh syariah demi untuk
kemaslahatan hamba.
d. Wahbah Az-Zuhaili
Makna-makna serta sasaran-sasaran yang disimpulkan pada semua
hukum atau pada kebanyakannya, atau tujuan dari syariat serta rahasia-
rahasia yang ditetapkan Syari‟ (Allah SWT) pada setiap hukum dari
hukum-hukumnya.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
maqashid al-syariah itu adalah rahasia-rahasia dan tujuan akhir yang
hendak diwujudkan oleh Syar‟i dalam setiap hukum yang
ditetapkanNya.33
Dengan demikian, maqashid al-syariah itu merupakan tujuan dan
kiblat dari hukum syara‟, dimana semua mujtahid harus menghadapakan
perhatiannya ke sana. Salah satu prinsip yang dikedepankan dalam
maqashid al-syariah adalah mengambil jalan tengah dan tidak berlebih-
lebihan dalam mengaplikasikannya, karena maslahah yang akan
diwujudkan itu harus mengacu kepada wahyu, tidak semata-mata hasil
pemikiran semata.34
Maqashid s y a ri ’ a h terdiri dari dua kata yaitu Maqashid dan
s y a r i ’ a h yang berhubungan antara satu dan lainnya dalam bentuk
mudhaf dan mudhafun ilaih. Kata Maqashid adalah jamak dari kata

32
Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, h 19.
33
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 11.
34
Busyro, Maqashid Al-Syariah, h 13.
21

maqa’ad yang berarti adalah maksud dan tujuan. Kata syari’ah


yang sejatinya berarti hukum Allah baik yang ditetapkan sendiri
oleh Allah, maupun ditetapkan Nabi sebagai penjelasan atas hukum yang
ditetapkan Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang
ditetapkan Allah atau dijelaskan oleh Nabi. Karena yang dihubungkan
kepada kata Syariat itu adalah kata maksud, maka kata s y a r i ’ a h
berarti pembuat hukum atau shar’i, bukan hukum itu sendiri. Dengan
demikian, kata maqashid al- syari‘ah berarti apa yang dimaksud oleh
Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam
menetapkan hukum atau apa yang ingin di capai oleh Allah dalam
menetapkan suatu hukum. 35
Dari pengertian Maqashid dan s y a ri ’ a h di atas, dapat dipahami
bahwa Maqashid s y ari ’ a h yaitu tujuan atau maksud
ditetapkannya hukum- hukum Allah. Sedangkan pencetusnya sendiri
Imam Asy- Syatibi beliau tidak mengemukakan definisi secara spesifik
tentang Maqashid s y ar i ’ a h disebabkan karena masyarakat umum
sudah memahaminya baik langsung maupun tidak langsung36
Sedangkan menurut ulama lain yaitu Menurut Ibnu ‘Asyur:
Maqashid s y a r i ’ ah adalah segala pengertian yang dapat dilihat pada
hukum-hukum yang disyariatkan, baik secara keseluruhan atau sebagian,
menurut beliau maqashid terbagi menjadi dua yaitu; maqashid umum dan
maqashid khusus. Maqashid umum dapat dilihat dari hukum-hukum
yang melibatkan semua individu secara umum, sedangkan maqashid
khusus cara yang dilakukan oleh syariat untuk merealisasikan
kepentingan umum melalui tindakan seseorang.37
Keberadaan maqashid al-syariah, sebagai sebuah teori hukum,
juga berawal dari kesepakatan mayoritas ulama dan mujtahid (ijma’). Dari

35
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008), 231.
36
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,(Dâr al-
Nafâ’is,2001),194.
37
Muhammad Thâhir bin ‘Asyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah,(Dâr al-
Nafâ’is,2001),195.
22

sisi ijma’ dapat dilihat ulama-ulama salaf dan khalaf, dari dahulu sampai
sekarang, menyepakati bahwa syariat islam itu mengandung kemudahan
dan meniadakan taklif yang tidak disanggupi oleh umat. Maqashid al-
syariah yang merupakan penelusuran terhadap tujuan-tujuan Allah SWT
dalam menetapkan hukum, mesti mendapatkan perhatian yang besar. Dari
sisi logika berpikir, ketika tujuan-tujuan tersebut diketahui oleh mujtahid,
atas dasar itulah dilakukan pemahaman hukum islam dan untuk
selanjutnya digunakan dalam pengembangan hukum islam dalam rangka
menjawab permasalahan hukum islam yang baru. Hal ini mengingat
terbatas dalildalil hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi
SAW, sedangkan permasalahan yang dihadapi umat tidak pernah
habishabisnya. Tanpa mengetahui maqashid al-syariah hukum islam akan
mengalami stagnasi dan dikhawatirkan penetapan hukum tidak akan
mencapai sasaran yang diinginkan oleh Allah SWT, dan lebih lanjut tidak
akan mempunyai nilai yang digariskan dalam prinsip-prinsip hukum islam
itu sendiri.

B. Tingkatan dalam Maqashid Syari’ah


Hakikat dari Maqashid adalah kemaslahatan. Maqashid
s y a r i ’ a h dibagi menjadi tiga tingkatan pembagian ini berkaitan dengan
usaha menjaga kelima unsur pokok kehidupan dalam usaha mencapai tujuan
persyariatan hukum yang utama yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia. Ketiga tingkatan tersebut yaitu:

1. Maqashid Dharuriyah (Tujuan primer)


Dharuriyah, (secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak), yaitu
dimaksudkan untuk memelihara lima unsur pokok ensensial,
merupakan tujuan yang harus mutlak ada, sehingga jika tujuan ini nihil
(tidak ada), maka akan berakibat fatal karena terjadinya kehancuran
dan kekacauan secara menyeluruh. Bagi Wael B. Hallaq, dharuriyah
diwujudkan dalam dua pengertian: Pada satu sisi, kebutuhan itu harus
23

diwujudkan dan diperjuangkan. Sementara disisi lain, segala hal yang


dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus
disingkirkan.38 Menurut Imam Abu ishaq asy-Syatibi (w. 790H), ada
lima perkara (hal) yang harus mendapat prioritas perlindngan. Sehinga
dharuriyah dalam syariat dikenal dengan lima hal yang sangat penting
diantaranya adalah:
1. Agama (hifz ad-din).
2. Jiwa (hifz an-nafs)
3. Akal (hifz al-aql)
4. Keturunan (hifz an-nasl)
5. Harta (hifz al-maal)

Adapun penjelasannya adalah :


a) Memelihara agama (hifz ad-din)
Menjaga agama adalah merupakan persatuan akidah, ibadah,
hukum dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan tuhannya dan hubungan antara
sesamamanusia. Islam lantaran mewujudkan dan mendirikan agama telah
mensyariatkan kewajiban dan lima hukum fundamental yang merupkan
sendi Islam dan juga akidah- akidah lain dan pokok-pokok ibadah yang
disyariatkan dengan tujuan menegakkan agama dan meneguhkannya
dalam hati dan mengikuti hukum, yang manusia tidak bisa baik kecuali
lantaran hukum-hukum itu.
b) Menjaga jiwa (hifz an-nafs)
Memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara
jiwa agar terhindar dari tindakan penganiayaan, berupa pembunuhan,
pemotongan anggota badan maupun tindakan melukai. Termasuk juga
memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah

38
Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Usul Fiqih Mazhab
Sunni, terj E.Kusnadiningrat dan Abdul haris bin Wahid (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), 248.
24

perbuatan qadhaf, mencaci maki serta perbuatan- perbuatan serupa.39


c) Memelihara akal (hifz al-aql)
Menjaga agar terpeliharanya akal yang diciptakan Allah khusus
bagi manusia, dengan akal manusia dapat mebedakan man yang baik dan
mana yang buruk maka pertimbangan akan pemeliharaan akal sangatlah
diperlukan. Bagi manusia diharuskan berbuat segala sesuatu untuk
menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara
menuntut ilmu. Dalam hal ini manusia dituntut untuk menimba ilmu tanpa
batas usiadan tidak memperhitungkan jarak atau tempat.40
d) Memelihara keturunan (hifz an-nasl)
Memelihara keturunan termasuk bagian dari kebutuhan primer.
Keturunan inilah yang akanmelanjutkan generasi manusia di muka bumi.
Oleh karena itu Islam mengatur masalah perkawinan dengan berbagai
persyaratan didalamnya. Islam melarang berzina karena dianggap
mengotori kemuliaan manusia. Dari sinilah bisa dipahami mengapa
perkawinan itu diperintahkan sedangkan perzinaan itu dilarang dalam
Islam.
e) Memelihara Harta (hifz al-maal)
Untuk memelihara hidup, manusia memerlukan sesuatu yang
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti makan, minum, dan
pakaian untuk itu diperlukan harta dan manusia harus berupanya
mendapatkannya secara halal dan baik. Pencarian harta yang halal dan
baik adalah perbuatan yang diwajibkan oleh allah sehingga pemeliharaan
harta adalah salah satu bentuk kebutuhan manusia yang tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan.

2. Maslahat Hajiyat
Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika
kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam

39
Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi Dan Implementasinya Di Indonesia,
(Yogjakarta: Berada Publishing, 2012), 172-173.
40
Amir syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II (jakarta: kencana 2011), 224.
25

namun ia akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala


kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhsah (kemudahan) yang
memberi kelapangan dalam kehidupan manusia. Sebenarnya rukhsah pun
tidak akan mehilangkan salah satu dari dharuriyat itu, tetapi
manusia akan berada dalam kesulitan. Kemudahan ini, berlaku
pada Musafir pembolehan tidak berpuasa, hukuman diyat (denda) bagi
seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman
potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk
menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.

3. Maslahat Tahsiniyat
Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam
eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula
menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan
ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi
seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat
menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias
dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak,
dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan
uqubah. Allah telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan
kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke
masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan
penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.41

A. Kedudukan Hukum
Pendekatan melalui maqashd syari’ah dalam menetapkan hukum
telah lama berlangsung dalam Islam. Hal demikian tersirat dari beberapa
ketentuan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat, antara lain pada suatu peristiwa
ketika Nabi SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban

41
Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi Dan Implementasinya Di Indonesia,
(Yogjakarta: Berada Publishing, 2012), 174.
26

kecuali dalam batas tertentu, sekedar bekal untuk tiga hari. Akan tetapi,
beberapa tahun kemudian peraturan yang ditetapkan oleh Nabi Muhammad
itu dilanggar oleh beberapa sahabat. Permasalahan itu disampaikan kepada
Nabi Muhammad. Beliau membenarkan tindakan para sahabat itu sambil
menerangkan bahwa larangan menyimpan daging kurban adalah
didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri atas orang-orang
miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah).42
Abu Ishaq Al-Syathibi kemudian mengkembangkan Kajian maqashd
syari’ah ini secara luas dan sistematis. Kajian tentang maqashid syari’ah
ini menurut al- Syathibi bertolak dari asumsi bahwa segenap Syariat yang
diturunkan Allah senantiasa selalu mengandung kemaslahatan bagi hamba-
Nya untuk masa sekarang (di dunia) dan sekaligus masa yang akan datang
(di akhirat). Tidak ada satu pun hukum allah di dunia ini yang tidak memilki
tujuan. Dalam Islam hukum allah yang tidak mempunyai tujuan sama dengan
taklif ma la yuthaq (pembebanan suatu yang tidak bisa dilaksanakan)43
Dalam tinjauan global, hukum islam memiliki tujuan untuk kemaslahatan
manusia seluruhnya dalam menetapkan sebuah hukumnya, baik itu
kemaslahatan di dunia ataupun di hari yang kekal (akhirat).44 Hal itu dapat
dilihat dari persoalan pengutusan Rasul oleh Allah, yang tertuang dalam
firman-Nya pada surah An-Nisa’/4:16545

‫ع ِزي اْزا َح ِك ْي اما‬ ‫س ِل َۗو َكانَ ه‬


َ ُ‫ّٰللا‬ ُّ َ‫ّٰللا ُح اجةٌ ۢ َب ْعد‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫علَى ه‬ ِ ‫س اال ُّم َبش ِِريْنَ َو ُم ْنذ ِِريْنَ ِلئ اَال َي ُك ْونَ لِلنا‬
َ ‫اس‬ ُ ‫ُر‬

Artinya:(mereka Kami utus) selaku Rasul-rasul pembawa berita gembira


dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. dan adalah Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

42
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesi‛, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 42.
43
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesi‛, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 43.
44
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: bumi aksara,1992), 65.
45
Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta: 26
maret 1996), 151.
27

Tujuan hukum (maqashid syari’ah) harus diketahui oleh mujtahid


dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum
dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak
diatur secara eksplisit oleh Alquran dan Hadis. Lebih dari itu tujuan hukum
harus diketahui dalam rangka mengetahui, apakah suatu kasus masih dapat
diterapkan berdasarkan ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur
sosial, hukum tersebut tidak dapat diterapkan.46 Dengan demikian, hukum
Islam akan tetap dinamis dalam menjawab berbagai fenomena sosial yang
senantiasa berubah dan berkembang.47

C. Metode Penetapan Maqashid al-Syariah


Dari pakar hukum untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi
bisa melalui dan memakai konsep Maqashid al-Syariah untuk menjawab
persoalan-persoalan suatu permasalahan. Yang terjadi pada hukum islam
kontemporer yang belum terjawab dalam kandungan Al-qur’an dan hadis
maupun dalil-dalil yang ada pada hukum islam yaitu seperti ijma, qiyas,
istihsan, maslahah mursalah, urf, istishab, syar’u man qablana, dan sadd az-
zariah.48
Menurut tahir bin asyur metode penetapan Maqashid al-
Syari’ah ada tiga macam cara yaitu.49
1. Meneliti kebijakan suatu perbuatan hukum (tassarrufat al- Syari’ah). Dan
juga terdiri dari dua bentuk yaitu: Meneliti hukum-hukum yang sudah
diketahui ilatnya melalui metode masalik al-illah yang berguna
sebagian mempermudah suatu pemahaman manusia dalam mengetahui
hikmah dibalik suatu perintah ataupun larangan syariat islam. Meneliti
suatu hal secara induktif pada dalil-dalil hukum yang memiliki ilat yang

46
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), 124.
47
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum
Islam Di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 44.
48
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Ed. 1, Cet. 3, h. 223.
49
Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-islamyah, (yordania:dar an-
Nafais,200),hlm.190-192
28

sama, sehingga memiliki keyakinan bahwa ilat tersebutlah yang


dikehendaki Maqashid al- syariah.
2. Mengetahui dan memahami suatu dalil al-qur’an yang dalalah- nya jelas
dan tanpa keraguan, walaupun akan adanya suatu kemungkinan adanya
maksud lain selain yang tampak dari dalil-dalil qur’an tersebut.
3. Memahami sunnah mutawatiroh, yang terdiri dari tawatir ma’nawi dan
tawatir amali.
Terdapat dua metode ijtihad yang dikembangkan oleh para mujtahid
dalam menggali ataupun menetapkan suatu perkara dan menetapkan
maslahat. Kedua metode tersebut yaitu adalah metode Ta’lili (metode
analisis subtantif) dan metode Istislahi (Metode Analisis Kemaslahatan).50
Untuk melihat lebih jauh tentang hubungan antara Maqashid al-Syariah
dengan bebrapa metode penetapan suatu hukum akan dijelankan metode satu
persatu metodetersebut.

1) Metode Ta’lili (metode analisis Substansif)


Metode ini pengalihan hukum yaitu metode Ta’lili analisis hukum
melihat dari segi kesamaan illat atau nilai-nilai subtansi dariperorangan dan
kejadian yang harus diunkapkan dalam nas. Metode ini telah dikembangkan
oleh para mujtahid yang dikemukankan olehqiyas dan istihsan.

2) Metode Istislahi (Metode analisis kemaslahatan)


Merupakan metode yang merupakan pendekatan istinbath atau
penetapan hukum yang permasalhannya tidak di atur secara eksplisit
dalam al-qur’an dan sunnah.hanya saja metode ini lebih menekankan pada
aspek maslahat secara langsung, metode analisis kemaslahatan yang
dikembangkan oleh para mujtahid ada dua yaitu al-maslahah al-mursalah
dan sadd al-zari’ah maupun fath alzari’ah.

50
Ali Mutakin, Hubungan maqashid al-syariah dengan metodeistinbath hukum, Analisi
Vol.3,No 1, Juni 2017, h. 121-125
29

Sementara menurut Imam al-Syatibi terdapat empat metode penetapan


Maqashid al-Syariah yaitu sebagai berikut:51

a. Mujarrad al’amr an nahy al ibtida’i tarsihi maksud dari ini yaitu


sebuah metode dengan berupaya menganalisis suatu ungkapan,maksud
ataupun rahasia eksplit suatu perintah ataupun larangan dari suatu nash yang
eksitensi atau berdiri sendiri(ibtida’i) penetapan dengan metode ini bisa
di kategorikan sebagai suatu penetapan yang berdasarkan literal
nas.yang di dasari dari penahaman mendasar bahwa dalam perintah syari’at
pasti akan terdapat unsur maslahat dan setiap larangan pasti akan ada unsur
mafsadat.

b. Menelaah konteks ilat dari setiap larangan ataupun perintah


bermaksud sebagai metode yang melakukan pelacakan ilat dibalik perintah
dan larangan pada tataran ini yang dijelaskan bahwasnnya suatu ilat ada
kalanya tertulis secara jelas dalam nas. Dan ada juga yang tidak tertulis.
Apabila ilatnya tertulis maka harus mengikuti yang tertulis, jika ilatnya
tidak tertulis maka harus dilakukannya tawaqquf terlebih dahulu agar tidak
gegabah dalam menyimpulkan maksud dalam nas.

c. Memperhatikan maqhasid turunan (at-tabi’ah) maksudnya adalah


mendalami syari’at dengan berbagai cara dan mempertimbangkan
tujuan-tujuan yang bersifat pokok (maqshud al-aslih). Lalu bersifat
turunan (maqashid at-tabi’ah) pokok maksud dalam syariat pernikahan
misalnya, maksud dari maqshud al aslih iyalah kelestarian manusia melalui
perkembang-biakan (at-tanasul) setelah itu adalah terdapat beberapa
maqashid turunan (tabiah) yaitu seperti mendapatkan ketenangan (al-
sakinah), tolong menolong dalam kemaslahatan duniawi dan ukhrawi,
membentengi diri dari berbagai fitnah dan masih banyak lagi, semua itu

51
Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al-Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2 Tahun 2013, h. 170-172.
30

iyalah merupakan perhimpunan dari maqasid at atbi’ah dalam syariat


nikah.

d. Sikap diam terhadap syariat, maksudnya yaitu tidak adanya


keterangan yang nasnya mengenai sebab hukum ataupun disyariatkannya
perkara-perkara yang terjadi pada kasus, baik yang memiliki dimensi
ubudiyah maupun muamalah. Maka menurut al-Syatibi, sesuatu yang di
diamkan oleh syariat maka akan otomatis bertentangan oleh syariat maka
makna dari seseorang yang akan menjernikah permasalahan ini ialah
menelaah dimensi maslahat dan mudaratnya. Jika nanti adanya maslahat.
Maka hal itu akan bisa diterima, begitupula sebaliknya jika hal ini menjadi
mudarat terindikasi didalamnya maka secaraotamatis hal ini tertolak.

Maka akan tercapai tujuan inti dari syariat sebagaimana yang


diutarakan oleh syeikh Muhammad Abu Zahra dalam kitabnya, yaitu Ushul
Fiqh memakai tiga tujuan atas kehadiran syariat yaitu sebagai berikut:
mencoba memperbaiki dari setiap individu untuk menjadi lebih baik dan
menjadi sumber kebaikan untuk orang lain, menegakkan suatu keadilan dan
kesamaan masyarakat baik sesama muslim ataupun non-muslim untuk
mencapai kemaslahatan umat.52

52
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Ed. 1,Cet. 3, h. 224.
BAB III
PERNIKAHAN, LANSIA DAN NAFKAH

A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Dari sudut ilmu bahasa kata perkawinan berasal kata dasar kawin
yang merupakan terjemahan dari bahasa Arab perkawinan. Disamping
kata perkawinan, dalam bahasa Arab lazim juga dipergunakan kata
Ziwa>j‛. Kata perkawinan mengandung dua pengertian, yaitu : dalam
arti yang sebenarnya (haqiqah) dan dalam arti kiasan (majaz). Dalam
pengertian yang sebenarnya kata perkawinan itu berarti‚ berkumpul.1
Sedangkan perkawinan menurut empat mazhab yaitu:
1. Menurut Hanafi.
Perkawinan adalah akad yang memberi faedah untuk
melakukan mut’ah secara sengaja artinya kehalalan seorang
laki-laki untuk melakukan hubungan intim dengan seorang
wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya
perkawinan tersebut secara shar’i.

2. Menurut Hanbali.
Perkawinan adalah akad yang menggunakan lafaz inkah
yangbermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang atau perkawinan adalah suatu akad dengan
menggunakan lafaz inkah>atau tarwi>jun untuk mendapatkan
kepuasan.
3. Ulama Syafi’i
Perkawinan adalah suatu akad yang menggunakan lafaz
perkawinan atau zauj yang menyimpan arti memiliki wat’i.
4. Ulama Maliki
Perkawinan adalah suatu akad yang mengandung arti

1
Lily Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia
,(Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1991), 2

31
32

mut}ah untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya


harga.2
Dalam Undang- Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang di amandemen menjadi undang-undang no. 16 tahun
2019 juga menjelaskan tentang definisi perkawinan yaitu: “ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ada beberapa rumusan
penting yang harus diperhatikan dalam defenisi yang di tulis dalam UU
Nomor 1 Tahun 1974 tersebut yaitu:
i. Dipergunakan kata: seorang pria dengan seorang wanita,
maksudnya perkawinan hanyalah antara dua jenis kelamin
yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan beda jenis suami
istri
ii. Dipergunakan kata; sebagai suami istri maksudnya bahwa
dengan perkawinan itu bertemu dengan dua jenis kelamin
yang berbeda dalam suatu rumah tangga bukan hanya dalam
istilah hidup bersama.
iii. Disebutkan juga tujuan perkawinan yaitu: membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal maksudnya
menafikan suatu perkawinan yang hanya untuk waktu
tertentu (temporal) seperti kawin mut’ah atau kawin tahlil
iv. Disebut pula dalam desinisi tersebut: berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa maksudnya perkawinan dalam
Islam adalah suatu peristiwa agama dan dilakukannya untuk
mentaati perintah Allah.3

2
Abdurchman Al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Al-Maktabah
At-TajiriyyatulKubra), Juz 4, 2.

3
Muhammad Ra’fat ‘utsman, Fikih Khitbah Dan Perkawaninan (Edisi Perempuan),
(Depok: FathanMedia Prima, 2017), 4
33

Sedangkan definisi perkawinan menurut Kompilasi Hukum


Islam (KHI) pasal 2 merumuskan sebagai berikut: Perkawinan menurut
hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Adapun rumusan penting yang
harus diperhatikan dalam defenisi yang di tulis dalam kitab undang-
undang kompilasi hukum Islam ini Digunakan kata: mitsaqan
ghalidzan maksudnya akad perkawinan itu suatu akad yang sangat
kuat, religius, menghalalkan hubungan kelamin seorang pria dengan
seorang wanita dan yang melakukannya hanya semata- mata karena
beribadah kepada Allah.4

2. Hukum Perkawinan
Perkawinan telah di syariatkan oleh Allah, sementara hukum
asalnya adalah sunnah para ulama sependapat bahwa perkawinan itu
disyariatkan oleh agama, perselisihan mereka diantaranya dalam hal
hukum perkawinan.5 Hukum perkawinan akan berbeda, tergantung
dengan kadar kemampuan baik lahir ataupun dohir masing-masing
individu, artinya masing-masing individu memilki pertimbangan
hukum perkawinan yang beerbeda untuk dirinya, sesuai dengan kelima
hukum yang ada dalam Syariat, yaitu:
1. Wajib
Perkawinan menjadi wajib bagi orang yang takut akan jatuh
\dalam jurang perzinahan dan ia sudah sanggup secara materiil
maupun moril. Selain itu tidak ada niat untuk menyakiti wanita
yang nantinya menjadi istrinya atau melalaikan kewajiban sebagai

4
Muhammad Ra’fat ‘utsman, Fikih Khitbah Dan Perkawaninan (Edisi Perempuan),
(Depok: FathanMedia Prima, 2017), 5
5
Abd.Shomad,HukumIslam Penormaan Prinsip Syari’ah dalam Hukum Indonesia,
(Jakarta:Kencana,2010), 282
34

suami yang lebih penting lagi adalah ia sudah tidak sanggup lagi
menahan hasrat seksualnya, meskipun dengan berpuasa.6 Maka
jika tidak ada jalan lain untuk meraih kesucian itu, kecuali
dengan perkawinan, maka perkawinan tersebut hukumnya
adalah wajib bagi yang bersangkutan. Imam al-Qurthubi
mengatakan, ‛orang yang mampu menikah, kemudian khawatir
terhadap diri dan juga agamanya, dan itu tidak dapat dihilangkan
kecuali dengan pernikahan, maka dia harus menikah‛.
Dalam buku lain dijelaskan, seandainya hasratnya untuk
perkawinan sangat kuat namun dia tidak memiliki kemampuan
untuk menafkahi istrinya kelak kemudian dia terpaksa tidak
melakukan perkawinan, hendaklah dia bersabar dan bersungguh-
sungguh dalam upaya menjaga dirinya daripada terjerumus dalam
perzinaan, seraya mengikuti petunjuk firman Allah surah An- Nur
33.7
َّ ‫َو ْل َي ْست َ ْعفِفِ الَّذِينَ َل َي ِجدُونَ نِكَا ًحا َحتَّى يُ ْغنِ َي ُه ُم‬
ْ َ‫ّللاُ مِ ْن ف‬
‫ض ِل ِه‬

Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah


menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka
dengan karunia-Nya.8

2. Sunnah
Perkawinan menjadi sunnah, namun sangat dianjurkan bagi
siapa saja yang memiliki hasrat atau dorongan seksual untuk
perkawinan dan memiliki kemampuan untuk melakukannya,
walaupun merasa yakin akan kemampuannya mengendalikan
dirinya sendiri, sehingga tidak khawatir akan terjerumus dalam

6
Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, Indahnya Perkawaninan Sambil Kuliah,
(Jakarta,Cendekia Sentra Muslim, 2005), hlm.33
7
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama’, (Bandung: Karisma, 2008), 4.
8
https://tafsirq.com/24-an-nur/ayat-33
35

perbuatan yang diharamkan Allah. Orang seperti ini, tetap


dianjurkan untuk menikah, sebab bagaimanapun perkawinan
adalah tetap lebih utama daripada mengkontrasikan diri secara
total untuk beribadah.9
Perkawinan disunahkan jika seseorang sudah mampu secara
materi dan sehat jasmani, namun tidak ada kekhawatiran akan
terjerumus ke dalam perzinaan ia masih memiliki filter untuk
melindungi dirinya dari terjerembah ke dalam lembah
kemaksiatan.
Jika dia mempunyai keinginan untuk perkawinan dengan
niat memelihara diri atau mendapat keturunan, maka hukum
perkawinan baginya adalah sunnah. Tetapi kalau dia tidak
berkeinginan untuk perkawinan sedang dia ahli ibadah, maka
lebih utama untuk tidak melaksanakan perkawinan. Jika dia bukan
ahli ibadah, maka lebih utama baginya untuk melaksanakan
perkawinan.
Menurut Imam Ahmad dari suatu riwayat, sunah
perkawinan bagi yang tidak berkeinginan untuk kawin walaupun
tidak khawatir jatuh ke dalam perzinaan yang oleh karenanya
perkawinan lebih utama dari ibadah- ibadah sunnah.10

3. Makruh
Jika seseorang laki-laki yang tidak mempunyai syahwat
untuk melaksanakan perkawinan dengan seseorang perempuan
atau sebaliknya sehingga tujuan perkawinan yang sebenarnya
tidak akan tercapai, maka yang demikian itu hukumnya makruh.
Misalnya seorang yang impoten. Sebagaimana kita ketahui salah

9
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para
Ulama’hal.4-5.
10
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2010), 285.
36

satu tujuan dari perkawinan adalah menjaga diri sehingga ketika


tujuan ini tidak tercapai maka ada faedahnya segera
perkawinan.11 Juga pada laki-laki yang sebetulnya tidak
membutuhkan perkawinan, baik disebabkan tidak mampu
memenuhi hak calon istri yang bersifat nafkah lahir maupun yang
tidah memiliki hasrat seksual, sementara perempuan tidak
terganggu dengan ketidakmampuan sang calon suami. Misalnya,
karena perempuan itu kebetulan seorang yang kaya raya dan juga
tidak memiliki hasrat kuat untuk melakukan hubungan seksual.
Kurang disukainya perkawinan ini terutama apabila dapat
mengakibatkan si laki-laki seperti itu meninggalkan kegiatannya
dalam beribadah ataupun dalam menuntut ilmu yang biasanya
dilakukan sebelum itu.12
Begitu pula makruh bagi orang yang kalau dia menikah, dia
khawatir istrinya akan teraniaya, akan tetapi kalau dia tidak
menikah dia khawatir akan jatuh kepada perzinaan, karena
manakala bertentangan antara hak Allah dan hak manusia,
maka hak manusia diutamakan dan orang ini wajib mengekang
nafsunya supaya tidak berzina.13

4. Haram.
Perkawinan menjadi haram bila dilakukan oleh orang yang
mempunyai niat menzhalimi istrinya.14 Dan bagi orang yang tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai tanggung jawab

11
Pakih Sati, Panduan Lengkap Perkawaninan: Fiqh Munakahat Terkini,
(Jogjakarta: Bening,2011),21.
12
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat
Para Ulama’,(Bandung: Karisma, 2008), 6-7.
13
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum
Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2010),286.
14
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 382.
37

untuk melaksanakan kewajiban- kewajiban dalam rumah tangga,


sehingga apabila ia melangsungkan perkawinan dirinya dan
istrinya akan terlantar.
Demikian juga apabila seseorang baik pria maupun wanita
yang mengetahui bahwa dirinya mempunyai penyakit atau
kelemahan yang mengakibatkan tidak bias melaksanakan
tugasnya sebagai suami/istri dalam perkawinan, sehingga
mengakibatkan salah satu pihak menjadi menderita atau karena
penyakitnya itu tidak bias mencapai. termasuk hal- hal yang
menyebabkan haram adalah penyakit gila, orang yang suka
membunuh, atau mempunyai sifat- sifat yang dapat
membahayakan pihak yang lain dan sebagainya.

Imam Qurthubi melanjutkan, ‛jika sesorang perempuan


mengetahui bahwa dia tidak mampu menunaikan hak suami,
atau memiliki penyakit yang akan menghalanginya berhubungan
badan, maka dia tidak boleh menipunya dan harus
menjelaskannya.15

5. Mubah.
Perkawinan hukumnya menjadi mubah bagi orang yang
mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi apabila tidak
melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina. Hukum mubah
juga bagi orang yang antara pendorong dan penghambat untuk
menikah adalah sama, sehingga menimbulkan keraguan bagi
orang yang melakukannya seperti orang yang mempunyai
keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, sebaliknya bagi
orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah tetapi belum
mempunyai kemauan yang kuat.

15
Pakih Sati, Panduan Lengkap Perkawaninan: Fiqh Munakahat Terkini,
(Jogjakarta: Bening,2011),22.
38

Menurut Imam Hanafi perbedaannya dengan perkawinan yang


dihukumi sunnah adalah tergantung pada niatnya, jika menikahnyanya
hanya untuk melepas nafsu seksual saja maka hukumnya menjadi
mubah, akan tetapi kalau niatnya untuk menghindarkan diri dari zina
dan untuk mendapatkan keturunan maka hukumnya menjadi sunnah.16

a. Syarat dan rukun


Secara istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang
menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dan ada atau
tidaknya sesuatu itu. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung
padanya keberadaan hukum shar’i dan ia berada diluar hukum itu
sendiri yang ketiadaanya menyebabkan hukum itupun tidak ada.
Dalam syariat rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau
tidaknya suatu transaksi. Perbedaan rukun dan syarat menurut ulama
ushul fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di dalam hukum itu
sendiri. Sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung
keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri, sah yaitu
sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.17

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai


tersebut adalah:
1) Syarat bagi calon mempelai pria antara lain beragama Islam,
laki laki, jelas orangnya, cakap bertindak hukum untuk hidup
berumah tangga, tidak terdapat halangan perkawinan.
2) Bagi calon mempelai wanita antara lain beragama Islam,
perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak
16
Abdurchman Al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Al-Maktabah
At-Tajiriyyatul Kubra), Juz 4, 12.
17
Gemala Dewi, Dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia. (Jakarta : Kencana, 2005).50.
39

terdapat halangan perkawinan.


3) Bagi wali dari calon mempelai wanita antara lain: laki-laki,
beragama Islam, mempunyai hak perwaliannya, tidak terdapat
halangan untuk menjadi wali.
4) Syarat saksi perkawinan antara lain minimal dua orang saksi,
menghadiri ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, beragama
Islam dan baligh.18

Sedangkan jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri


atas:
1) Adanya calon suami dan isteri yang akan melakukan
perkawinan.
2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
3) Adanya dua orang saksi.
4) Sighat akad perkawinan, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh
wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon
pengantin laki-laki.19

B. Usia Lanjut
1. Pengertian Usia Lanjut
Lanjut usia merupakan suatu tahap akhir dalam rentang kehidupan
manusia. Para ahli psikologi telah membagi tahap kehidupan manusia
berdasarkan perkembangan fisik dan psikologisnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Chaplin (1989:13) tentang tahap perkembangan manusia
sebagai berikut:
1. Usia 0-1 tahun disebut masa bayi
2. Usia 1-12 tahun disebut masa kanak-kanak
3. Usia 12-21 tahun disebut masa remaja
4. Usia 21-65 tahun disebut masa dewasa
5. Usia 65 tahun ke atas disebut masa tua.

18
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007),21.
19
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), 45-46.
40

Lansia (lanjut usia) adalah proses alamiah yang terjadi pada


seseorang karena telah memasuki tahap akhir dari fase kehidupan, proses
ini terjadi secara berkesinambungan dimana ketika seseorang mengalami
beberapa perubahan yang mempengaruhi fungsi dan kemampuan seluruh
tubuh yang disebut dengan proses penuaan atau aging process.
Menurut undang-undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan,
lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan
biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Perubahan ini akan memberikan
pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Oleh
karena itu, kesehatan usia lanjut perlu mendapatkan perhatian khusus
dengan tetap dipelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup
secara produktif sesuai dengan kemampuan sehingga dapat ikut serta
berperan aktif dalam pembangunan.20

Perkembangan merupakan suatu proses yang berkesinambungan


yang berlangsung sepanjang hayat manusia, mulai dari manusia baru lahir
sampai berakhir pada masa lanjut usia. Tentang pengertian lanjut usia, para
ahli psikologi berbeda-beda dalam menggambarkannya, karena tidak ada
pengertian yang tetap dalam mendefinisikannya. Akan tetapi secara umum
ukuran ketuaan seseorang dapat dilihat dari 3 segi (Wauran, 1981:13):21
1. Tua berdasarkan umur
2. Tua berdasarkan emosional, perasaan dan tingkah laku
3. Tua berdasarkan intelektual dan pola pikirnya.

Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) membagi lanjut usia


berdasarkan batas umur sebagai berikut (Suparto, 2000:11):
1. Usia 45-60 tahun (middle age) disebut dengan setengah baya
2. Usia 60-75 tahun (elderly) disebut dengan lanjut usia wreda
utama
3. Usia 75-90 tahun (old) disebut tua/wreda prawasana

20
Lansia (Pengertian, Batasan, Kelompok dan Teori Penuaan) (kajianpustaka.com)
21
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.84
41

4. Usia 90 tahun (very old) disebut wreda wasana.

Sesuai dengan beberapa ukuran ketuaan di atas, Hawari (1997:233-


234) mengemukakan suatu pengertian tentang manusia lanjut usia, yaitu
“Orang yang telah menjalani siklus hidup di atas 65 tahun”. Ketuaan
seseorang dilihat dari segi panjang usianya.
Sedangkan pemerintahan Indonesia memberikan pengertian manusia
lanjut usia secara umum sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang
Republik Indonesia tentang Kesejahteraan Manusia Lanjut Usia, yaitu pada
pasal 1 ayat (2): “Bahwa yang dimaksud dengan manusia lanjut usia adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas” (Hardywinoto dan
Setibudy, 1999:237). Apabila melihat ketuaan seseorang dari segi
emosional, perasaan dan tingkah lakunya, maka pengertian manusia lanjut
usia sebagaimana yang diungkapkan Hurlock (1997:380) dapat disimpulkan
sebagai manusia lanjut usia, yaitu seseorang yang telah beranjak jauh dari
beberapa periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak jauh
dari periode yang penuh dengan manfaat.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa umur seseorang belum tentu bisa
menentukan lanjut usia seseorang karena kondisi kehidupan dan perawatan
turut mendukung terjadinya proses penuaan, kadangkala orang pada usia
lima puluhan belum menampakkan tanda-tanda ketuaan tetapi bahkan
sebaliknya. Hal ini tergantung pada laju pertumbuhan dan kemunduran fisik
maupun mentalnya. Tetapi, walaupun begitu, ada kecenderungan
masyarakat umum menggunakan usia 65 tahun sebagai usia pensiun dalam
berbagai urusan sebagai tanda masuknya usia lanjut. 22
Walaupun tidak ada kepastian para ahli dalam menetapkan batas
umur untuk mendefenisikan lanjut usia, tetapi para ahli mencoba
mengemukakan hal tersebut dengan memperhatikan perubahan-perubahan
yang menyertai manusia lanjut usia dari segi fisik, mental dan lingkungan

22
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.85
42

sosialnya. Perubahan tersebut sesuai dengan kodrat manusia yang pada


umumnya disebut dengan proses “menua”.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan, yang dimaksud
dengan manusia lanjut usia secara umum adalah manusia yang telah
memasuki umur yang lanjut, sedangkan definisi yang lebih khusus
memberikan suatu penjelasan bahwa tua yang dimaksud dari pengertian
tersebut dapat dinilai dari beberapa segi antara lain dari segi umurnya, dari
segi emosi dan intelektualnya. Dan penyebab dari ketuaan tersebut sejalan
dengan tahaptahap perkembangan manusia yang menjadikan usia tua
sebagai tahap terakhir dari kehidupan manusia, dimana ia telah melewati
tahap perkembangan sebelumnya.

2. Ciri-ciri Usia Lanjut Usia


Sama seperti pada periode perkembangan manusia sebelumnya, usia
lanjut juga mempunyai ciri-ciri sebagai tanda dari proses menusia. Hal ini
dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang menyertai lanjut usia dari segi
fisik, mental dan keberadaannya di tengahtengah lingkungan sosialnya.
Sebagaimana dikatakan Hurlock (1997:380) tentang manusia lanjut usia
bahwa “Ciri-ciri dari perubahan lanjut usia cenderung menuju dan
membawa pada penyesuaian yang buruk daripada yang baik dan menuju
kesengsaraan daripada kebahagiaan”.23
Kemudian lebih lanjut, Hurlock mengelompokkan ciri-ciri manusia
lanjut usia:24
1. Adanya perubahan fisik pada usia lanjut
Perubahan fisik pada lanjut usia berbeda pada masing-masing
individu walaupun usianya sama, tetapi pada umumnya perubahan fisik
tersebut dapat digambarkan dengan beberapa perubahan antara lain:
a. Perubahan pada penampilan.

23
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.86
24
https://pbpp.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPB/article/download/3651/3557 hal.87-88
43

Perubahan penampilan pada manusia lanjut usia tidak muncul


secara serempak, namun tanda-tanda seperti pada daerah kepala,
dan tanda-tanda ketuaan pada wajah, perubahan-perubahan pada
daerah tubuh dan perubahan pada persendian, perubahan-
perubahan tersebut membawa ke arah kemunduran fisik pada lanjut
usia.
b. Perubahan pada bagian tubuh.
Perubahan pada bagian ini terlihat dengan adanya perubahan
sistem syaraf yaitu pada bagian otak, sehingga perubahan ini
mengakibatkan menurunnya kecepatan belajar dan menurunnya
kemampuan intelektual.

c. Perubahan pada fungsi fisiologis.


Dengan munculnya perubahan pada fungsi fisiologis ini, pada
umumnya tingkat denyut nadi dan konsumsi oksigen lebih
beragam, meningkatnya tekanan darah, berkurangnya kandungan
creatine dan terjadinya penurunan jumlah waktu tidur. Karena
beberapa perubahan tersebut, maka manusia lanjut usia mengalami
kemunduran dari segi fisiknya.
d. Perubahan pada panca indra.
Pada usia lanjut, fungsi seluruh organ pengindraan kurang
mempunyai sensitivitas dan efisiensi kerja seperti kemunduran
kemampuan kerja pada penglihatan, pendengaran, perasa,
penciuman, perabaan dan sensitivitas pada rasa sakit.
e. Perubahan seksual.
Perubahan lanjut usia terlihat setelah berhentinya reproduksi,
pada umumnya hal ini terjadi bila wanita memasuki usia lanjut
dengan terjadinya monopause, dan klimaterik pada laki-laki.

2. Perubahan kemampuan motorik pada usia lanjut


44

Orang berusia lanjut pada umumnya menyadari bahwa mereka


berubah lebih lambat dan koordinasinya dalam beraktivitas kurang baik
dibanding pada waktu muda. Perubahan pada kemampuan motorik ini
disebabkan oleh pengaruh fisik dan fisiologis, sehingga mengakibatkan
merosotnya kekuatan dan tenaga dan dari segi psikologis munculnya
perasaan rendah diri, kurangnya motivasi dan lainnya. Perubahan
kemampuan motorik ini mempunyai pengaruh besar terhadap penyesuaian
pribadi dan sosial pada manusia usia lanjut (Manula).

3. Perubahan kemampuan mental pada usia lanjut


Perubahan kemampuan mental pada Manula berbeda pada tiap
individu, walaupun berbeda pola pikir dan pengalaman intelektualnya.
Secara umum, mereka yang mempunyai pengalaman intelektual lebih
tinggi, secara relatif penurunan dalam efisiensi mental kurang dibanding
mereka yang pengalaman intelektualnya rendah, hal ini disebabkan adanya
tingkat penurunan mental yang bervariasi.

4. Perubahan minat pada usia lanjut


Perubahan minat pada seseorang juga merupakan ciri-ciri
memasuki usia lanjut, karena perubahan minat orang pada seluruh tingkat
usia berhubungan dengan keberhasilan penyesuaian mereka. Demikian
juga penyesuaian pada usia lanjut, sangat dipengaruhi oleh perubahan
minat dan keinginan yang dilakukan secara sukarela atau terpaksa. Bila
Manula mengadakan perubahan minat dan keinginannya yang dilakukan
secara sukarela dengan harapan ia akan mendapat kebahagiaan tersendiri
dari perubahan itu.
Seperti minat dan keinginan seseorang dari semua tingkat usia, hal
ini juga sangat berbeda pada mereka yang sangat tua, bagaimanapun juga
keinginan tertentu mungkin dianggap sebagai tipe keinginan orang berusia
lanjut pada umumnya antara lain: perubahan dan minat pribadi, yang
cenderung bersikap berorientasi pada diri sendiri dan egois tanpa
45

memperdulikan orang lain, minat berekreasi yang tetap ada pada usia
lanjut, keinginan sosial, keinginan yang bersifat keagamaan dan minat
terhadap kematian (Hurlock, 1997:386-402).

C. Nafkah dalam Islam


1. Pengertian Nafkah
Nafkah berasal dari kata “infaq”, artinya berderma.25 Dan nafkah
bisa juga diartikan sebagai “belanja”.Maksudnya ialah sesuatu yang
diberikan oleh seseorang kepada istri, kerabat, dan miliknya sebagai
keperluan pokok bagi mereka.26

Memberi nafkah kepada istri yaitu menyediakan


segala keperluan istri seperti: makan, pakaian,tempat tinggal,
mencarikan pembantu dan obat-obatan.27 Sesuai dengan QS
Al Baqarah/2:233 yang berbuyi:

‫س ِإ َّل ُو ْس َع َها‬ ُ َّ‫علَى ٱ ْل َم ْولُو ِد لَ ۥهُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن ِبٱ ْل َم ْع ُروفِ ۚ َل ت ُ َكل‬
ٌ ‫ف نَ ْف‬ َ ‫ۚ َو‬

Terjemahnya:
“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada
Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya”.28

Ulama Fikih membagi nafkah atas dua bagian yaitu


nafkah diri sendiri. Dalam hal ini seorang harus
mendahulukan nafkah untuk dirinya dari nafkah kepada
orang lain, sesuai dengan sabda Rasulullah

25
Ahmad Isa Asyur, Fiqh Islam Praktis, h. 261.
26
Proyek Pembinaan Prasarana PTA/IAN , DIRJEN Pembinaan Kelembagaan Agma
Islam,Depag, Ilmu Fiqh, Jakarta, 1984-1985, h. 184
27
Sa’id Thalib Hamdani, Risalatun Nikah, (Jakarta: Pustaka Anami, 1989), h. 123
28
Depag R.I, Al-Qur-an dan Terjemahannya, h. 57
46

“Mulailah dengan engkau, kemudian bagi orang yang


berada di bawah tanggung jawabmu (HR. Muslim, Ahmad
bin Hanbal, Abu Dawud dan an- Nasa’I dari Jabir bin
Abdullah)”

Nafkah seseorang kepada orang lain menurut


kesepakatan ahli fikih terjadi disebabkan tiga hal yaitu
hubungan perkawinan, hubungan kekerabatan, dan
hubungan kepemilikan (tuan terhadap hambanya)29.
Seorang suami mempunyai kewajiban memberikan
nafkah terhadap istrinya dalam segala kondisi, baik sang istri
dalam keadaan masih kecil, miskin atau kaya, tua atau
mudah, muslimah atau dzimmi, sampai walau seorang istri
mempunyai sebuah cacat fisik yang mengakibatkan seorang
suami tidak bisa bercampur dengan istrinya.
Menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, dan
Hanabilah, kewajiban nafkah belum jatuh kepada suami
hanya dengan akad nikah, kewajiban nafkah itu berawal
ketika sang istri telah mecampurinya, atau ketika sang istri
telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, atau ketika sang
suami menolak membawa istrinya ke rumah sang suami
padahal sang istri telah meminta hal itu darinya, sedangkan
ulama Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban member
nafkah, bermula setelah berlangsungnya akad nikah yang sah
meskipun sang istri belum berpindah ke rumah suaminya.30

2. Macam-Macam Nafkah
Nafkah rumah tangga merupakan kewajiban suami terhadap

29
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedian Hukum Islam, (Jakarta: PT. Intermesa, 2001), h. 1281.
30
Ubaidi, Muhammad Yaqub Thalib,Hukum Menafkahi Istri dalam Perspektif
Islam, (Surabaya: Darus Sunnah, 2007), h. 32
47

istri, kewajiban rumah tangga sesuai dengan perintah agama


yang dituangkan dalam QS An- Nisa/4:19 yang berbunyi:31
ِ ‫ش ُر و ه ُ َّن ب ِ ال ْ َم ع ْ ُر و‬
‫ف‬ ِ ‫َو ع َ ا‬

Terjemahnya:
“dan bergaullah dengan mereka secara patut.”

a. Nafkah lahir
Adapun nafkah lahir itu terbagi yaitu: makan dan minum,
pakaian dan tempat tinggal (rumah). Makan minum dalam fiqh
diambil ukurannya di rumah orang tua sang istri. Mengenai pakaian
sang istri menjadi kewajiban suami untuk memberinya pakaian
paling kurang dua stel a tau dua pakaian selamsatu tahun. Mengenai
tempat tinggal bagi istrinya dimana ada tempat untuk tidur dan
tempat makan tersendiri.32 Sesuai dengan firman Allah SWT QS Ath
Thalaaq/65:6
‫ت‬ َ ُ ‫ث س َ ك َ ن ْ ت ُمْ ِم ْن ُو ْج ِد ك ُ مْ َو َل ت ُضَ ا ُّر و ه ُ َّن ل ِت ُضَ ي ِ ق ُ وا ع َ ل َ ي ْ ِه َّن ۚ َو إ ِ ْن ك ُ َّن أ‬
ِ ‫ول‬ ُ ْ‫ح ي‬ َ ‫أ َسْ ِك ن ُ و ه ُ َّن ِم ْن‬
ُ َ
ُ ‫ح ْم ل َ ه ُ َّن ۚ ف َ إ ِ ْن أ ْر ضَ ع ْ َن ل َ ك ُ مْ ف َ آ ت ُو ه ُ َّن أ‬
ۖ ‫ج و َر ه ُ َّن‬ َ ‫ح ت َّ ى ي َ ضَ ع ْ َن‬َ ‫ح ْم ل ف َ أ َن ْ ف ِ ق ُ وا ع َ ل َ ي ْ ِه َّن‬َ
ْ ُ َ
‫ض عُ ل ه ُ أ خ َر ى‬ ُ َ ُ َ ْ ُ َ
ِ ‫َو أ ت ِم ُر وا ب َ ي ْ ن َ ك مْ ب ِ َم ع ْ ُر وف ۖ َو إ ِ ن ت ع َ ا س َ ْر ت مْ ف س َ ت ْر‬ ْ
Terjemahnya:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-
isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah
kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan
Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.33

31
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-19
32
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indoensia, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1988), CetIII, h. 175.
33
https://tafsirq.com/65-at-talaq/ayat-6
48

Tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat tinggal,


Kompilasi Hukum Islam telah mengatur tersendiri dalam pasal 81
sebagai berikut:
1. Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan
anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam masa
iddah.
2. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk
istri selamadalam Iddah talak atau iddah wafat.
3. Tempat kediaman dsediakan untuk melindungi istri dan
anak-anaknya dan gangguan pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tentram. Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat
menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.
4. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan
kemampuan serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan
tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah
tangga maupun sarana penunjang lainnya.34

b. Nafkah Batin
Nafkah batin ialah apabila suami menggauli istri secara
seksual hingga terpenuhi kebutuhannya.Dalam bahasa ilmiah disebut
hingga istri mencapai orgasme dan hubungan kelamin itu.35
Mengenai nafkah batin, yang dimaksud adalah suami
menggauli istrinya secara seksual hingga terpenuhi hajatnya.Dalam
bahasa ilmiah disebut hingga istrinya mencapai orgasmus dari
hubungan kelamin itu. Dan jika istrinya itu sakit atau rapat lobang
kemaluannya atau lelaki itu impoten, maka ia tetap wajib

34
Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2000), h.
30
35
Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indoensia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1988),
Cet III, h. 177.
49

memberikan nafkah kepada istrinya itu.36

Dalam suatu perkawinan dan rumah tangga sakinah, maka


faktor pergaulan seksualitas ini juga sangat mempengaruhi, harta
kekayaan yang melimpah ruah serta sikap yang demikian memukau
dan wajah yang elok bukanlah berarti apabila salah seorang dari
suami istri tidak mampu memenuhi kebutuhan biologis.

Pergaulan suami istri termasuk kebutuhan istri yang wajib


dipenuhi suami istridapat bertahan tidak digauli suami berkisar 6 atau
5 bulan dari itu istri bisa saja sudahtidak tahan.37
3. Sebab Mendapatkan Nafkah
Sebab-sebab wajibnya nafkah adalah adanya akad nikah antara
suami danistri, berada dalam kekuasaanya suaminya, dan suami berhak
penuh untuk dirinya, serta istri wajib taat kepada suaminya tinggal di rumah
suaminya, mengatur rumah tangga suaminya, mengasuh anak suaminya dan
sebagainya.
Maka agama menetapkan suami untuk memberikan nafkah kepada
istrinya selama pernikahan berlangsung dan selama istri tidak nusyuz dan
tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah
berdasarkan kaidah umum, yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik
orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan
orang yang menguasainya.38
Nafkah untuk istri merupakan salah satu sebab wajibnya pembentukan
nafkah.39 Di dalam pasal 80 (1, 2, 3, 4) kompilasi mengatur kewajiban
suami terhadap istri dan keluarga berbunyi:40
a. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan
rumah tangganya yang tetapi mengenai hal-hal

36
Hafid Abdullah, Kunsi Fiqh SYafi’i, (Semarang: CV. Any-Syifa, 1992)h. 182
37
Fatihuddin Abul,Risalah Hukum Nikah, h. 182.
38
Said Thalib Al-Hambali, Risalatun Nikah, h. 124.
39
Ahmad Isa Asyur, FIqh Islam, h. 268.
40
Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, h. 186.
50

rumah tangganya yang penting-penting


diputuskan olehsuami istri bersama.

b. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan


segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.
c. Suami wajib member pendidikan agama kepada
istrinya dan member kesempatan belajar
pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi
agama, nusa dan bangsa.
d. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
1) Nikah, kswah dan tempat kediaman bagi istri
2) Biaya rumah tangga, perawatan dan pengobatan
bagi istri dan anak.
3) Biaya pendidikan anak

Dasar hukum agama dari ketentuan pasal tersebut diatas


adalah seuai dengan QS An-Nisa: 34, yang berbunyi:41
ْ‫ج ا ُل ق َ َّو ا مُ و َن ع َ ل َ ى الن ِ س َ ا ِء ب ِ َم ا ف َ ضَّ َل ّللاَّ ُ ب َ ع ْ ضَ ه ُ مْ ع َ ل َ ى ب َ ع ْ ض َو ب ِ مَ ا أ َ ن ْ ف َ ق ُ وا ِم ْن أ َ ْم َو ا ل ِ ِه م‬
َ ‫الر‬
ِ

Terjemahnya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang
lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka.

Menurut pendapat Imam Malik, bahwa nafkah baru menjadi wajib


atas suami apabila ia telah menggauli atau mengajak bergaul, sedang istri
tersebut termasuk orang yang dapat digauli, dan suamipun telah dewasa.
Sedangkan menurut Abu Hanigah dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa
suami yang belum dewasa wajib member nafkah apabila istri telah
dewasa.Tetapi jika suami telah dewasa dan istri berhak memperoleh nafkah
41
https://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-34
51

betapapun juga keadaanya.42


Keharusan suami member nafkah istrinya ialah apabila suami istri
sudah tinggal sekamar dan watha’,jadi bukan hanya karena sudah terjadi
akad nikah saja dan kewajiban tersebut bisa menjadi gugur dari suami
apabila istrinya nuzyus (durhaka) kepadanya.
Berdasarkan keterangan diatas maka ada beberapa syarat-syarat
bagi istri agarberhak menerima nafkah dari suaminya diantaranya adalah:43
a) Telah terjadi akad yang sah antara suami dan istri
b) Istri telah sanggup melakukan hubungan sebagai
suami istri dengan suaminya
c) Istri telah terikat atau telah bersedia melaksanakan
semua hak-hak suami.

4. Sebab yang Meruntuhkan Hak Nafkah


Nafkah yang seharusnya menjadi hak istri atas suaminya dapat runtuh
(hilang) apabila:44

1. Istri melakukan perbuatan yang secara nyata menentang


kehendak suami dengan alasan yang tidak bisa dibenarkan
secara syara’ (nusyuz). Hal ini tentu selayaknya menjadi
perhatian bagi kaum hawa khususnya dan kaum adam pada
umumnya untuk dapat menjaga keharmonisan dalam rumah
tangga,menjalin komunikasi yang baik, dan menjaga diri untuk
tidak saling menyakiti yang akan berdampak pada tindakan
yang tidak diinginkan. Sedikit saja kesalahan yang dilakukan
maka akan berakibat fatal misalnya saja, talak, atau jauh dari

42
Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad
Ibnu Rusyid, JudulTerjemahan: Analisa Fiah Para Mujahid, (Jakarta:
pustaka Amani, 2002), h. 519.
43
Proyek Pembinaan Prasarana PTA/IAIN, DIRJEN Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam,h. 187.
44
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedia Islam, h. 1873.
52

itupun berujung pada perceraian.


2. Istri sudah tidak lagi mempunyai hubungan perkawinan
dengan suami (cerai).
Adanya hak nafkah bagi istri atas suaminya berdasarkan
adanya ikatan perkawinan antara keduanya. Maka tatkala
ikatan ini tidak lagi terjalin runtuhlah hak nafkah istri atas
suaminya.
BAB IV
ANALISIS PERNIKAHAN PADA PASANGAN USIA LANJUT

A. Latar Belakang Pernikahan Usia Lanjut


Pada pasangan lanjut usia, penyesuaian pernikahan kembali yang
menyangkut dengan anak sudah dimulai sebelum pernikahan itu sendiri.
Masing-masing memberikan pengertian mengenai keputusan yang diambil
kepada anak-anaknya, sehingga ketika pernikahan sudah terjadi penyesuaian
lebih kepada bagiamana anak-anak mendukung pernikahan itu, karena melihat
kondisi lanjut usia yang sudah mengalami penurunan dan membutuhkan
dukungan dari orang yang lebih muda.1
Ada berbagai macam faktor yang melatar belakangi pernikahan
pada pasangan lanjut usia diantaranya yaitu:
1. Sering gagal dalam mencari pasangan (baru menemukan jodoh), orang yang
cenderung sering mengalami kegagalan dalam mencari pasangan yang
membuat orang belum mempersiapkan diri untuk menikah dan bahkan
menunda sehingga baru melaksanakan pernikahan di usia lanjut. Menurut
Hurlock (2010:301) faktor yang mempengaruhi menunda pernikahan dan
menikah di usia lanjut karena sering gagal dalam mencari pasangan.

2. Identikasi secara ketat terhadap orang tua, seseorang yang terlalu


mengagumi sosok ayah dan ibu yang menyebabkan menginginkan pasangan
seperti ibu maupun ayahnya. Sehingga sulit baginya untuk menemukan
pasangan seperti orang tuanya.

3. Egosentrisme dan narsisme yang berlebihan, seseorang yang memiliki


egosentrisme yang tinggi dan menganggap dirinya baik yang menyebabkan
orang tersebut sulit untuk berinteraksi dan bersosialisi dengan lawan jenis
sehingga belum menemukan pasangan yang cocok. Egosentrisme dan
narsisme yang berlebihan menurut Kartono (2006:213) Egosentrisme dan
narsisme yang berlebih-lebihan, maka sifat tersebut pasti akan mempersukar

1
Taufan Nugroho, “Buku Ajar Ginekologi”, (Cet, I; Yogyakarta, 2010), h. 32

53
54

daya penyesuaian diri seseorang terhadap orang lain. Terlalu perfeksionis


sehingga mengakibatkan sulit mendapatkan pasangan dan baru memutuskan
menikah pada usia lanjut.

4. Musim pasang dari kebudayaan invidualisme, seseorang yang memiliki sifat


individual akan membuat lebih suka dan nyaman hidup sendiri sehingga
belum mempersiapkan diri untuk menikah. yaitu faktor ingin menjalani
kehidupan pribadi secara bebas dan menikati masa lajang, sehingga lupa dan
baru terpikirkan untuk melaksanakan pernikahan pada usia lanjut.

5. Karena mempunyai tanggung jawab keuangan dan waktu kepada orang tua
dan saudara-saudaranya, seseorang yang memiliki keinginan untuk
membantu dan membahagiakan orang tua dan keluarga yang menyebabkan
orang tersebut tidak memikirkan pernikahan dan berkonsentrasi dengan
pekerjaannya. Karena Mempunyai Tanggung Jawab Keuangan dan Waktu
kepada Orang Tua dan Saudara-saudaranya Menurut Hurlock (2010:300)
faktor yang menyebabkan seseorang menunda pernikahan dan baru menikah
di usia lanjut salah satunya yaitu karena memiliki tanggung jawab keuangan
dan waktu kepada orang tua dan saudara-saudaranya.

6. Trauma perceraian yang dialami oleh keluarga, banyaknya kasus perceraian


yang terjadi pada saat ini yang membuat seseorang perlu kesiapan mental
dan materi yang matang untuk menikah sehingga menunda pernikahan dan
baru menikah di usia lanjut. Trauma Perceraian yang dialami oleh Keluarga.
Orang yang berada di sekitar orang yang bercerai akan mengalami perasaan
cemas dan merasa takut untuk membina rumah tangga.

7. Terlanjur memikirkan karier, orang dewasa awal yang sibuk dengan


pekerjaan dan karier yang sedang ditekuni membuat orang dewasa awal
belum memikirkan pernikahan. jarang memiliki kesempatan untuk mencari
pasangan yang dianggap cocok dan sepadan. Terlanjur Memikirkan Karier
Dariyo (2003:143) menjelaskan tidak menutup kemungkinan, individu yang
mencapai jenjang karier yang tinggi akan merasa kesulitan memperoleh
55

jodoh yang diharapkan karena individu (calon pasangan) yang datting tidak
sesuai dengan yang ditentukan individu yang bersanggkutan sehingga
individu lebih cendrung lebih berkonsentrasi dengan pekerjaan dan karier
kedepannya. Sehingga, kesibukan dalam berkarir membuat mereka lupa
memikirkan tentang pernikahan hingga tanpa sadar usia sudah tidak
muda lagi.2

8. Menuntut ilmu, terlalu fokus dalam pendidikan ialah salah satu alasan faktor
pasangan melansgungkan pernikahan lansia karena terlalu senang
belajar, terlalu senang mencari ilmu hingga melupakan sunnah Rasulullah
yaitu menikah.3

Adapun pengaruh dari pernikahan usia lanjut antara lain:

a. Faktor Biologis
Seorang individu yang dianggap orang memiliki kemampuan
reproduktif tinggi, artinya masih memiliki dorongan kebutuhan biologis
yang cukup kuat dan kemungkinan dapat mempunyai keturunan.
Seorang wanita, secara umum golongan usia reproduktifnya berkisar
sampai usia 50 tahun. Dalam usia reproduktif ini, apabila seseorang
yang tergolong usia lanjut atau seseorang yang kehilangan pasangan
hidupnya dan tetap memenuhi kebutuhan seksualnya, dia dapat
melakukan pernikahan. Menikah dianggap sebagai jalan terbaik karena
dapat menyalurkan kebutuhan seksualnya secara sah dan pasangan
hidupnya yang baru sehingga terhindar dari perbuatan zina dan
pelanggaran asusila.

b. Faktor Etika, Moralitas dan Norma sosial

2
https://adoc.pub/queue/faktor-penyebab-orang-dewasa-awal-menunda-pernikahan-
jurnal-.html

3
http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/jfs/article/view/557/421
56

Seseorang hanya dapat diperkenankan untuk kebutuhan biologis


(seksual) dengan lawan jenisnya apabila telah memenuhi persyaratan
normatif sosiologis yaitu sesuai dengan kaidah-kaidah hukum
kemasyarakatan yang berlaku. Bagi seseorang yang memiliki status
janda dan duda, baik itu akibat kematian maupun perceraian, mau tidak
mau harus bersedia dan dituntut untuk memenuhi normasosial tersebut.
Oleh karena itu menikah kembali merupakan jalan terbaik agar
seseorang dapat memenuhi kebutuhan seksual secara beradab dan etis.

c. Faktor Kebutuhan Ekonomi-Keuangan


Individu pada usia lanjut berusaha menikah karena memang
manusia tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan ekonomi yang
diperlukan bagi dirinya maupun anak-anaknya. Untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi tersebut seseorang pada usia lanjut menyegerakan
menikah. Dengan menikah, beban kebutuhan ekonomi untuk diri
sendiri maupun anak-anaknya dapat diatasi dengan baik, bila
dibandingkan kalau hidup sendiri.

d. Faktor Status Sosial


Individu yang usia lanjut, secara status sosial akan berubah. Status baru
biasanya akan menimbulkan tekanan sosial (Social Stressor) dari
lingkungannya seperti kerabat atau anggota keluarga terdekat, tetangga
atau lingkungan kerja. Tekanan ini dapat menimbulkan konflik internal
pada individu tersebut. Dalam masalah ini, individu berusaha mencari
pasangan hidup untuk dapat menemani dan sebagai pelengkap dalam
kehidupannya yang baru.

e. Faktor Pemeliharaan dan Pendidikan Anak


Seseorang lanjut usia baik perawan atau perjaka tua, maupun janda
atau duda yang mempunyai keturunan dari pernikahan sebelumnya,
sehingga ketika kehilangan dengan pasangan merasa bahwa tidak
mampu untuk membesarkan, mengajar ataupun mendidik anak-
57

anaknya. Oleh karena itu, untuk membantu mengurus, memelihara


ataupun mendidik anak-anaknya, seseorang perlu menikah kembali baik
dengan wanita yang tergolong masih muda atau dengan usia lanjut.4

Berkaitan dengan pernikahan tidak akan lepas dari tujuan, syarat dan
rukun yang menentukan sah tidaknya suatu pernikahan. Mengenai pernikahan
lanjut usia perlu mendapatkan perhatian khusus karena dianggap hal ini adalah
hal yang biasa, oleh sebab itu tidaklah menutup kemungkinan karena faktor
usia yang sudah mulai menua mengakibatkan turunya kondisi fisik yang dapat
mempengaruhi dalam pemenuhan hak dan kewajibannya sebagai pasangan.
Di dalam Bab sebelumnya pernah diungkapkan tentang tujuan
pernikahan, baik tujuan dalam hukum Islam maupun dari pasangan lanjut usia,
yaitu pernikahan dilakukan untuk mencari ketenangan batin dan mencari teman
hidup di hari tua. Dan beberapa alasan yang paling mendasar dilaksanakannya
pernikahan lanjut usia. Alasan tersebut yaitu adanya kecenderungan perbuatan
yang dilarang agama yaitu zina.

Pernikahan merupakan sunah yang mengikat pria dan wanita dengan


jalan aqad nikah yaitu ijab dan qabul dengan tata cara yang sesuai dengan
ajaran agama islam. Dalam suatu pernikahan terdapat tujuan, antar lain:
membina kehidupan keluarga yang tenang dan bahagia, hidup cinta mencintai
5
dan kasih mengasihi serta melanjutkan dan memelihara keturunan.
Tanpa adanya satu kesatuan tujuan dalam keluarga dan tanpa adanya
kesadaran bahwa tujuan itu harus dicapai bersama-sama, maka dapat
dibayangkan bahwa keluarga itu akan mudah mengalami hambatan-hambatan
dalam mengarungi rumah tangganya, karena itu tujuan merupakan titik temu
bersama yang harus diusahakan secara bersama-sama.
Menurut ajaran Islam mencapai ketenangan batin dan kehidupan yang
damai adalah hakikat pernikahan muslim yang disebut dengan keluarga

4
Downloads/148-Article%20Text-600-1-10-20210703.pdf
5
Dirjen Bimais Dan Penyelenggaraan Haji Depag Ri, Modal Pendidikan Agama Dalam
Keluarga, hlm. 104.
58

sakinah. Dan untuk memenuhi semua kebutuhan manusia agar dapat bahagia
dan tenang salah satunya adalah terpenuhinya kebutuhan biologis.
Pada umumnya tujuan pernikahan lanjut usia berbeda-beda
diantaranya tujuan dari pernikahan tersebut yaitu untuk mencari ketenangan
hati, pendamping hidup, untuk menghilangkan setress, agar ada yang
merawat ketika sakit, kasih sayang dan untuk mencapai tujuan pernikahan itu
terbentuk dari kesetiaan, penerimaan satu sama lain, dukungan dari pasangan,
penyesuaian diri dan pengaruh lingkungan sosial.

Jika melihat lebih jauh lagi tentang pernikahan pasangan lanjut


usia, penulis melihat sebenarnya pernikahan lanjut usia tidak hanya mencari
ketenangan batin, dan mencari teman di hari tua saja ataupun menghilangkan
pikiran stress saja, akan tetapi lebih dari pada itu untuk sebagai pencegahan
terhadap perbuatan zina dengan jalan dilaksanakannya pernikahan yang
dianggap telah mengatasi sebuah masalah yang bertentangan dengan agama.
Penulis sepakat apabila perbuatan (pernikahan) tersebut dilaksanakan dengan
tujuan untuk menghindarkan perbuatan yang dilarang agama. Dengan
ketentuan apabila semua rukun dan syarat dalam pernikahan terpenuhi.
Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh :6
‫اْلمور بمقاصدها‬

Artinya: “Segala sesuatu (perbuatan) tergantung pada tujuannya”.


Selain itu pernikahan juga harus dengan persetujuan kedua pasangan
pengantin, yang dikuatkan pendapat Muhammad Amin Suma dalam bukunya
“Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam” menerangkan bahwa unsur hakiki
dalam pernikahan adalah adanya keridhaan laki-laki dan perempuan serta
persesuaian kesepakatan mereka, untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena
sifat ridha dan kesesuaian bersifat kejiwaan yang tidak dapat dilihat
dengan kasat mata, maka harus ada simbolisasi yang tegas untuk

6
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: PT. Radar Jaya: 2004), Cet V, h. 9
59

menunjukkan keamanan mengadakan ikatan suami istri. 7


Seperti yang diungkapkan oleh Ahmad Rafiq dalam bukunya “Hukum
Islam di Indonesia” mengatakan bahwa untuk melindungi martabat dan
kesucian (misaq al-galid) perkawinan, dan lebih khusus lagi melindungi
perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Dilakukan pencatatan pernikahan
sebagai upaya untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat,
yang diatur melalui perundang-undangan8

B. Pemenuhan Nafkah Pasangan Usia Lanjut Perspektf Maqashid Syariah


Dalam suatu pernikahan mempunyai dampak di dalam kehidupan
rumah tangganya (di dalam pernikahan), seorang suami mendapatkan
tanggungjawab finansial dalam rumah tangga. Segala kebutuhan ekonomi
(nafkah) yang muncul setelah terjadinya pernikahan menjadi tanggungjawab
suami untuk memenuhinya serta tanggungjawab terhadap kebutuhan biologis
terhadap istri.
Setelah penulis deskripsikan tentang pernikahan sampai dengan
pemenuhan nafkah pasangan lanjut usia, tentu Semuanya tidak bisa lepas dari
hukum dan bagaimana bila pemenuhan nafkah ditinjau dari perspektif maqashid
syariah. Analisis hukum Islam mengenai pemenuhan nafkah pasangan lanjut
usia meliputi:

1. Nafkah lahir
Sebelum masuk pada pokok permasalahan, penulis sebutkan
terlebih dahulu beberapa kategori yang termasuk dalam pemenuhan
9
nafkah suami yaitu meliputi makanan, pakaian dan tempat tinggal. Dari
semua kategori nafkah tersebut, istri berhak menuntut kepada suami
untuk memenuhi semua kebutuhannya, karena memang nafkah

7
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 50.
8
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2003) Cet. Ke VI,
hlm. 107.
9
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), hlm. 422.
60

merupakan tanggung jawab dari kewajiban suami kepada istri, baik itu
berupa pangan, sandang, tempat tinggal (rumah) sesuai kemampuannya
di dalam KHI pasal 80, 81, yang menerangkan tentang kewajiban-
kewajiban suami dan tentang kediaman suami istri dalam rumah tangga.
Tentang kewajiban suami juga diterangkan dalam Al-Qur’an yang
berbunyi :10
ِ‫علَى ٱ ْل َم ْولُو ِد لَ ۥهُ ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن بِٱ ْل َم ْع ُروف‬
َ ‫َو‬
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada paraibu dengan cara ma'ruf. (Q.S. Al-
Baqarah/2:233)”.

Menurut penulis dari ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang


suami (ayah) mempunyai kewajiban yaitu harus memberikan makan dan
pakaian kepada ibu (istri) dengan cara yang baik (pantas), dan juga
pemenuhan nafkah suami kepada istri tidak hanya sebatas makan dan
minum saja melainkan semua kebutuhan istri.
Hal ini juga dikuatkan pendapat jumhur fuqaha yang sependapat
terhadap adanya pelaksanaan nafkah. Dalam bukunya Peunoh Daly
“Hukum Perkawinan Islam” mengatakan suami harus memberikan
nafkah kepada istrinya apabila keduanya telah tinggal satu kamar dan
telah watha’, jadi pemberian nafkah bukan hanya karena sudah terjadi
akad nikah saja. Dan kewajiban tersebut dapat dikatakan gugur apabila
11
istrinya nusyuz (durhaka) kepadanya.
Suami mempunyai kewajiban memberikan nafkah kepada istri
berupa pakaian dan tempat tinggal, dan suami tidak boleh mengabaikan
semua kewajiban tersebut. Dalam bukunya Sri Suhandjati “Islam
Menentang Kekerasan Terhadap Istri” menyebutkan bahwa
menelantarkan istri yang menjadi tanggung jawab suami dengan tidak
memberikan kebutuhan hidupnya, seperti makan, pakaian, tempat

10
https://tafsirweb.com/924-surat-al-baqarah-ayat-233.html
11
Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Midas Surya Grafindo), h. 99
61

tinggal, ataupun jaminan kesehatan, termasuk telah melakukan


12
kekerasan terhadap istri. Karena Islam melarang terjadinya hal seperti
ini terhadap istri, bahkan suami yang telah menceraikan istrinya, masih
13
diharuskan memberikan nafkah.
Penulis sepakat ketika nafkah menjadi tanggungjawab suami
dengan syarat apabila sudah terjadi aqad, karena setiap hubungan terjadi
antar manusia dibangun berdasarkan akad atau suatu perjanjian yang
didalamnya terkandung unsur hak dan kewajiban yang melibatkan pihak
terkait (suami dan istri). Jadi tidaklah harus dengan adanya watha’ akan
tetapi dengan adanya aqad nafkah sudah menjadi tanggung jawab suami.
Dan istri baru tidak mendapatkan nafkah ketika istri nuzyus terhadap
suami.

2. Nafkah Batin
Suatu pernikahan dapat berjalan dengan harmonis bila suami
istri dapat melaksanakan kewajiban masing-masing. Hasbullah Bakri,
dalam bukunya “Pedoman Islam di Indonesia” menyatakan bahwa
nafkah dalam hal ini adalah pergaulan antara suami dan istri mencapai
orgasme. Mengenai berapa kalinya hubungan tersebut islam tidak
menentukan secara tegas, akan tetapi semuanya dkembalikan pada
kemampuan dan kesepakatan suami dan istri, setidak-tidaknya suami
14
pernahsatu kali berhubungan secara sempurna.
Kalau penulis mengamati pemenuhan nafkah batin, jika dilihat
dari faktor usia pasangan pernikahan, tentunya nafkah batin tersebut
akan mengalami hambatan karena ketika usia sudah diatas 50 tahun
seorang sudah tidak bisa lagi menjalankan aktifitas pergaulan suami

12
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta:
Gamma Media), Cet. I, hlm. 83.
13
Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri, (Yogyakarta:
Gamma Media), Cet. I, hlm. 89.
14
Hasbullah Bakri, Pedoman Islam di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia), Cet II,
hlm. 175.
62

istri secara sempurna.


Seperti halnya dengan kesuburan wanita yang menurun seiring
bertambahnya usia, kualitas sperma pria juga tidak kebal dengan proses
penuaan. Pria perlu menyetel ulang jam biologisnya agar memiliki
sperma yang awet muda meski usia telah cukup tua.
Anak-anak yang lahir dari sperma pria berusia lebih dari 40
tahun memiliki risiko yang besar terhadap autisme dan skizofrenia
dibandingkan dengan pria yang lebih muda. Bahkan, wanita yang hamil
dari pria yang lebih tua juga memiliki risiko keguguran dan cacat lahir
yang lebih besar.
Alasan sperma kehilangan sebagian besar kekuatannya mungkin
karena kesalahan dalam pengkodean genetik meningkat seiring dengan
bertambahnya usia.
Setelah ejakulasi, tubuh harus menghasilkan jutaan sel sperma
baru lagi. Sehingga wajar jika terjadi kesalahan dalam mutasi genetik
karena tubuh yang terus menerus mengalami penuaan.
Yang dibutuhkan oleh pria agar memiliki sperma dengan
kualitas yang bagus meski sudah tua adalah dengan menyetel ulang jam
biologisnya. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan
gaya hidup sehat dan makan makanan bernutrisi yang baik untuk
sperma.15
Abdurrahman I, menyebutkan dalam bukunya “Perkawinan
Dalam Syari’at Islam” bahwa seorang dapat menggugurkan kewajiban
dalam memberikan nafkah kepada istri apabila dalam keadaan istri:
a. Kalau dia kabur dan pindah dari rumah suaminya ke tempat
lain tanpaizin suami ataupun yang dibenarkan agama
b. Kalau dia pergi tanpa izin suami,
c. Kalau dia sedang ihram pada waktu haji tanpa izin suami
d. Kalau dia menolak melakukan hubungan kelamin dengan

15
https://health.detik.com/hidup-sehat-detikhealth/d-2007047/usia-boleh-tua-sperma-
harus-awet-muda
63

suaminya
16
e. Kalau istri di penjara karena melakukan tindak pidana.

Bergaul atau mencampuri istri menurut sebagian ulama memang


hukumnya wajib. Seorang suami dilarang menelantarkan istri dengan tidak
memberikan nafkah dalam waktu yang lama. Baik itu nafkah lahir yang
berupa kebutuhan sehari-hari maupun nafkah batin yang berupa hubungan
17
seksualitas.
Penulis cenderung mengatakan bahwa nafkah pasangan lanjut usia tetap
diberikan, karena ketika istri lanjut usia yang tidak menjalankan kewajiban
hubungan kelamin tidak dikatakan sebagai alasan gugurnya pemberian nafkah
seperti keterangan diatas, karena memang yang menjadi faktor utama yang
mempengaruhinya adalah faktor usia. Dengan kata lain nafkah tersebut
disesuaikan berdasarkan kemampuan dan kerelaan dari pasangan tersebut.
Meskipun demikian bukan berarti suami dapat lepas dari tanggung jawab,
sehingga penulis berkesimpulan ketika seorang suami yang tidak memberikan
nafkah kepada istri sama sekali, maka bisa dikatakan telah melanggar kewajiban
agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :18
‫ض َو ب ِ َم ا أ َ ن ْ ف َ ق ُ وا ِم ْن‬ ٍ ْ ‫ج ا ُل ق َ او ا مُ و َن ع َ ل َ ى الن ِ س َ ا ِء ب ِ َم ا ف َ ضا َل ّٰللاا ُ ب َ ع ْ ضَ ه ُ ْم ع َ ل َ ٰى ب َ ع‬ َ ‫الر‬
ِ
‫خ ا ف ُ و َن ن ُ ش ُ و َز ه ُ ان‬ َ َ ‫الال ت ِي ت‬ ‫ح ف ِ ظ َ ّٰللاا ُ ۚ َو ا‬ َ ‫ت ل ِل ْ غ َ ي ْ ب ِ ب ِ َم ا‬
ٌ ‫ح افِظَ ا‬ ٌ ‫ت ق َ ا ن ِ ت َا‬
َ ‫ت‬ ُ ‫حا‬ َ ِ ‫أ َ ْم َو ا ل ِ ِه ْم ۚ ف َ ال صا ا ل‬
ۗ ‫يال‬‫ض ِر ب ُو ه ُ ان ۖ ف َ إ ِ ْن أ َط َ ع ْ ن َ ك ُ ْم ف َ َال ت َ ب ْ غ ُ وا ع َ ل َ ي ْ ِه ان س َ ب ِ ا‬ ِ َ‫ج ُر و ه ُ ان ف ِي ال ْ َم ض‬
ْ ‫اج ع ِ َو ا‬ ُ ْ‫ف َ ِع ظ ُ و ه ُ ان َو ا ه‬
‫إ ِ ان ّٰللاا َ ك َا َن ع َ ل ِ ي ًّا ك َ ب ِ ي ار ا‬

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka”. (QS. An-Nisa’/4:34)

Jika dikomparasikan, antara pelaksanaan pernikahan lanjut

16
Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), Cet. I, hlm. 122 .
17
Kholillah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Gresik: Bintang Pelajar), hlm.
18
https://tafsirweb.com/1566-surat-an-nisa-ayat-34.html
64

usia dengan pemenuhan nafkah suami kepada istri penulis dapat melihat
adanya pertentangan antara perkawinan lanjut usia dengan pemenuhan
nafkah. Disatu sisi pernikahan harus dilaksanakan untuk mencegah
perzinahan, di sisi lain adanya akibat hukum dari pernikahan tersebut
yang tidak dapat sepenuhnya terpenuhi. Salah satu akibat hukum dari
perkawinan adalah nafkah suami kepada istri baik nafkah lahir ataupun
batin. Meskipun nafkah tidak diatur mengenai berapa batas pemberian
nafkah suami kepada istri akan tetapi nafkah merupakan kewajiban
suami yang harus di penuhi.
Selanjutnya jika dilihat dari manfaat dan mafsadat dari pada
praktek pernikahan lanjut usia kaitannya dengan pemenuhan nafkah,
apabila memang benar-benar dalam pernikahan tersebut ternyata malah
akan membawa kerusakan pada keutuhan, terlebih menelantarkan
terhadap keluarga, yang berupa hak-hak dan kewajiban maka
pernikahan seperti ini sudah tidak dipandang lagi sebagai sebuah
kemaslahatan atas pernikahannya, melainkan sesuatu yang benar-benar
harus di jauhi dan ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul
fiqh:19
‫درؤالمفاسد مقدم علي جلب المصا لح‬

Artinya: “Menghindari kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan”


Di dalam kaidah hukum Islam, istilah maslahah (maslahah
mursalah) berarti manfaat, kemanfaatan atau pekerjaan yang
mengandung manfaat. Kemaslahatan manusia akan senantiasa
dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu, serta subyek hukum.

Menurut Mazhab Syafi’i dalam Al-Figh Al-Islamy Wa


Adillatuhu. VIIhalaman 32 menerangkan:20

19
Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh, (Jakarta: PT. Radar Jaya: 2004), Cet-V,
hlm.10.
20
Wahbah Azzuhaily, Al-Figh Al-Islamy Wa Adillatuhu, (Darul Fikr Suriyah Damsik,
1989), h. 32.
65

Artinya: “Dan dimakruhkan menikah menurut Madzhab Syafi’i bagi


arang yang mempunyai Illat’ (penyakit) seperti lanjut usia atau sakit
kronis atau impoten yang tidak sembuh atau hilang zakar dan buahnya
sehingga tidak mempunyai nafsu birahi lagi”.
Berdasarkan keterangan tersebut penulis berpandangan suatu
pernikahan akan mempunyai ketentuan hukum yang berbeda
disesuaikan dengan kondisi. Namun penulis setuju dengan
dilaksankannya pernikahan lanjut usia meskipun makruh menurut
madzhab Safi’iyah, dengan alasan untuk menghindari dari perbuatan
yang diharamkan agama, sesuai dengan ushul fiqh yang pernah
dijelaskan di atas. Mengingat hukum nikah yang diakui syari’at bersifat
relatif yang disesuaikan dengan keadaan pihak yang memerlukannya.
Menurut penulis praktek pernikahan lanjut usia ini mengajarkan
betapa pentingnya suatu pernikahan, yaitu adanya saling mengerti
diantara pasangannya. Selain pernikahan bertujuan untuk mencegah
terjadinya perzinahan juga untuk membentuk keluarga yang diridhai
Allah dengan tidak mengesampingkan tanggung jawab suami terhadap
istri yaitu nafkah. Karena bagaimanapun pernikahan adalah sebuah
ikatan lahir batin antara pria dan wanita, baik berdasarkan hukum Islam
maupun hukum Negara, karena sahnya suatu nikah akan berakibat
hukum bagi keduanya.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi pernikahan lansia antara lainnya yaitu :
Sering gagal dalam mencari pasangan (baru menemukan jodoh), Identikasi
secara ketat terhadap orang tua, Egosentrisme dan narsisme yang
berlebihan, Musim pasang dari kebudayaan invidualisme (faktor ingin
menjalani kehidupan pribadi secara bebas dan menikati masa lajang),
memiliki tanggung jawab keuangan dan waktu kepada orang tua dan
saudara-saudaranya, Trauma perceraian yang dialami oleh keluarga
(trauma), Terlanjur memikirkan karier, Menuntut ilmu (pendidikan)
2. Dalam pemenuhan nafkah pasangan usia lanjut perspektif maqhasid syariah
merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada istri karena nafkah
menjadi hak istri atas suami yang berupa nafka lahir dan batin. Didalam
hukum Islam tidak ada batasan tertentu untuk seseorang yang akan
melangsungkan pernikahan, namun dikatakan usia lanjut adalah seseorang
yang telah mencapai usia 50 tahun keatas, pernikahan itu di katakan sah
apabila telah memenuhi rukun dan syarat dalam pernikahan. Selain itu
pernikahan juga harus dengan persetujuan kedua pasangan pengantin
dengan adanya keridhaan laki-laki dan perempuan serta persesuaian
kesepakatan mereka, untuk mengikat hidup berkeluarga. Nafkah pasangan
lanjut usia tetap diberikan, karena ketika istri lanjut usia yang tidak
menjalankan kewajiban hubungan kelamin tidak dikatakan sebagai alasan
gugurnya pemberian nafkah seperti keterangan diatas, karena memang yang
menjadi faktor utama yang mempengaruhinya adalah faktor usia. Dengan
kata lain nafkah tersebut disesuaikan berdasarkan kemampuan dan kerelaan
dari pasangan tersebut. Meskipun demikian bukan berarti suami dapat lepas
dari tanggung jawab, sehingga penulis berkesimpulan ketika seorang suami
yang tidak memberikan nafkah kepada istri sama sekali, maka bisa
dikatakan telah melanggar kewajiban agama.

66
67

B. Rekomendasi
1. Bagi pasangan yang belum menikah agar jangan sampai menunda atau
sampai terlalu fokus kepada karir.
2. Bagi pasangan yang akan melakukan pernikahan hendaknya menyiapkan
diri dan memahami akan hak dan kewajiban masing-masing.
3. Kepada orang tua agar senantiasa mengingatkan anak-anaknya untuk
melangsungkan pernikahan jika sudah siap dan mampu melaksanakannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,. Jakarta: Kencana, 2006.

Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syari’ah Dalam Hukum


Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.

Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedian Hukum Islam. Jakarta: PT. Intermesa, 2001.

Abdul Mudjib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqh. Jakarta: PT. Radar Jaya: 2004, Cet V.

Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992), Cet. I.

Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika


Presind, 1992).

Abdurchman Al-Jaziri, Kitabul Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mesir: Al-


Maktabah At-Tajiriyyatul Kubra), Juz 4.

Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazaly, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut :


Dar al Fikr, tt).

Ahmad Isa Asyur, Fiqh Islam Praktis.

Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo, Cet. Ke


VI,2003.

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Edisi Revisi, Cet.2.,


Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015.

Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia.Yogyakarta : Gama


Media, 2002.

Ahmad Sarwat, Maqashid Syariah, (Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019).

Al-Faqih Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibnu Rusyid,
Judul Terjemahan: Analisa Fiah Para Mujahid. Jakarta: ustaka Amani,
2002.

Ali Mutakin, Hubungan maqashid al-syariah dengan metode istinbath hukum,


Analisi Vol.3,No 1, Juni 2017.

Ali Sodiqin, Fiqh Usul Fiqh: Sejarah, Metodologi Dan Implementasinya Di


Indonesia. Yogjakarta: Berada Publishing, 2012.

68
69

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008).

Amir Syarifuddin, Usul Fiqh Jilid II .Jakarta: kencana 2011.

Busyro, Maqashid Al-Syariah, (Jakarta: Kencana, 2019).

Depag R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Jakarta:


26 maret 1996).

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung:


Diponegero, 2006.

Detik Health. (2012). Usia Boleh Tua, Sperma Harus Awet Muda.
https://health.detik.com/hidup-sehat-detikhealth/d-2007047/usia-boleh-
tua-sperma-harus-awet-muda (Diakses pada 24 Agustus 2022)

Dirjen Bimais Dan Penyelenggaraan Haji Depag Ri, Modal Pendidikan Agama
Dalam Keluarga.

Downloads/148-Article%20Text-600-1-10-20210703.pdf

F. J. Mons dkk, Psikologi Perkembangan Dalam Berbagai Bagianya, Cet. Ke-16.


Yogyakarta: Gajah Mada University, 2006.

Fahd bin Abdul Karim bin Rasyid As-Sanidy, Indahnya Perkawaninan Sambil
Kuliah,.Jakarta,Cendekia Sentra Muslim, 2005.

Faried Ma’ruf Noor, Menuju Keluarga Sejahtera Dan Bahagia, Cet. Ke-2
.Bandung:Al Ma’arif, 1983.

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.

Fatihuddin Abul,Risalah Hukum Nikah.

Gemala Dewi, Dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia. Jakarta : Kencana, 2005.

Gus Arifin. Menikah Untuk Bahagia. Jakarta: Kompas Gramedia,2013.

Hafid Abdullah, Kunsi Fiqh SYafi’i .Semarang: CV. Any-Syifa, 1992.

Hasbullah Bakri, Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, Cet


II.
70

https://tafsirweb.com/1566-surat-an-nisa-ayat-34.html

https://tafsirweb.com/4420-surat-an-nahl-ayat-72.html (Diakses pada tanggal 04


Januari 2022)

https://tafsirweb.com/7385-surat-ar-rum-ayat-21.html (Diakses pada Tanggal 04


Januari 2022)

https://tafsirweb.com/869-surat-al-baqarah-ayat-228.html (Diakses pada tanggal


04 Januari 2022)

https://www.infoyunik.com/2015/11/tujuh-hikmah-larangan-berzina-dalam.html
(Diakses pada tanggal 04 Januari 2022)

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-16-2019-perubahan-uu-1-1974-
perkawinan (Diakses pada tanggal 09 Maret 2022)

https://adoc.pub/queue/faktor-penyebab-orang-dewasa-awal-menunda-
pernikahan-jurnal-.html (Diakses pada tanggal 02 Januari 2023)

http://urj.uin-malang.ac.id/index.php/jfs/article/view/557/421 (Diakses pada


tanggal 02 Januari 2023)

Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: bumi aksara,1992.

Khoiruddin Nasution, Hukum Pernikahan 1 [Dilengkapi Perbandingan UU


Negara Muslim Kontemporer], Yogyakarta: ACAdeMIA,2013.

Kholillah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah. Gresik: Bintang Pelajar.

Lily Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia .


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991.

M.Muaz Dirjowiyoto, Bagaimana Menghadapi Masalah Lanjut Usia. (Nasehat


Perkawinan Keluarga).

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005.

Muhammad Asnawi, Nikah Dalam Pembincangan dan Perdebawat. Yogyakarta:


Darussalam, 2004.

Muhammad Aziz dan Sholikah, Metode Penetapan Maqashid al- Syariah: Studi
Pemikiran Abu Ishaq al Syatibi, Jurnal Ulul Albab Volume 14 No.2
Tahun 2013.
71

Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan


Pendapat Para Ulama’. Bandung: Karisma, 2008.

Muhammad Ra’fat ‘utsman, Fikih Khitbah Dan Perkawaninan (Edisi


Perempuan). Depok: Fathan Media Prima, 2017.

Muhammad Tahir ibn Asyur, Maqashid al-Syari‟ah al-islamyah. yordania:dar


an-Nafais,2001.

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani Relevansinya Bagi Pembaharuan


Hukum Islam Di Indonesia‛. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Nurhadi, Maqasid syari’ah hukum perkawinan dalam komplasi hukum islam


(KHI) Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol.16,No:,Juli-Desember
(2017).

Pakih Sati, Panduan Lengkap Perkawaninan: Fiqh Munakahat Terkini


.Jogjakarta: Bening, 2011.

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Midas Surya Grafindo.

Proyek Pembinaan Prasarana PTA/IAN , DIRJEN Pembinaan Kelembagaan


Agma Islam, Depag, Ilmu Fiqh, Jakarta, 1984-1985.

Referensi : https://tafsirweb.com/924-surat-al-baqarah-ayat-233.html

Republik Indonesia, Undang-undang Perkawinan. Cetakan: I, Bandung: Focus


Media, 2005.

Roisul Umam Hamzah, Perkawinan Lansia Dalam Perspektif Maqasid Shari‘ah.


Studi Kasus di Kecamatan Socah Kabupaten Bangkalan.

Sa’id Thalib Hamdani, Risalatun Nikah. Jakarta: Pustaka Anami.

Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017, Ed. 1,Cet. 3..

Sri Suhandjati Sukri, Islam Menentang Kekerasan Terhadap Istri. Yogyakarta


:Gamma Media, Cet. I.

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam. (Bandung: Sinar Baru Algensindo.

T.O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: yayasan Obor Indonesia,
1999.

Taufan Nugroho, Buku Ajar Ginekologi. Cet, I; Yogyakarta, 2010.


72

Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusmedia,


2000.

Ubaidi, Muhammad Yaqub Thalib,Hukum Menafkahi Istri dalam Perspektif


Islam, (Surabaya: Darus Sunnah, 2007).

Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, Pengantar untuk Usul Fiqih
Mazhab Sunni, terj E. Kusnadiningrat dan Abdul haris bin Wahid.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

Wahbah Azzuhaily, Al-Figh Al-Islamy Wa Adillatuhu. Darul Fikr Suriyah


Damsik, 1989.

Wiji Hidayati dan Sri Purnami, Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Teras,


2008.

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
73

LAMPIRAN

Lampiran 1

Anda mungkin juga menyukai