Anda di halaman 1dari 78

STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI EKS ANGGOTA ISIS (ISLAMIC

STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL INDONESIA DALAM


PERSPEKTIF SIYASAH DAULIYAH

SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

FAHMI AZIZ

NIM: 11160453000024

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M / 1442
i
ii
iii
ABSTRAK

Fahmi Aziz. NIM 11160453000024. STATUS KEWARGANEGARAAN


BAGI EKS ANGGOTA ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DAULIYAH. Program Studi
Hukum Tata Negara, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2020 M.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana penanganan masalah
Status Kewarganegaraan bagi Eks Anggota ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria)
asal Indonesia dalam perspektif siyasah dauliyyah. Dalam penelitian ini
menggunakan jenis penelitian Studi Kepustakaan (Library Research), sehingga
dalam penyelesaiannya harus dilakukan berupa pengumpulan data dengan teori-
teori, dalil dan lain sebagainya supaya hasil kesimpulan sejalan dengan
permasalahan yang penulis teliti. Studi kepustakaan ini juga menelusuri berbagai
literatur, baik dalam al-Qur’an dan Hadits, Undang-Undang, buku-buku, jurnal
ataupun artikel, serta website yang bersangkutan dengan tema yang diangkat
penulis.
Hasil penelitian ini menunjukan Status Kewarganegaraan eks ISIS
menurut UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan memang tidak tertulis
dalam peraturan tersebut penghilangan kewarganegaraan yang disebabkan oleh
pembakaran paspor dan masuk ke dalam organisasi teroris. Di satu sisi, walaupun
ISIS dinyatakan sebagai organisasi namun dampak yang diberikan terhadap dunia
sangatlah besar. Untuk itu, jika hanya mempertimbangkan aspek normatif, jelas
mereka tidak akan kehilangan warga negara dan negara harus siap menerima
mereka kembali. Sedangkan, menurut Siyasah Dauliyyah, dalam hal ini
merupakan hak dari pemerintah untuk menentukan status kewarganegaraan
mereka. Namun, Pemerintah tidak mau menerima mereka kembali walaupun
status mereka adalah sebagai eks ISIS. Faktor utamanya tentu adalah pertahanan
dan stabilitas negara, serta keamanan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga

iv
khawatir status mereka sebagai eks ISIS hanyalah kedok agar mereka dapat
diterima kembali di negara asalnya. Walaupun memang, banyak penggiat aktivis
HAM, menyayangkan hal tersebut. Nampaknya, aktivis HAM berspekulasi bahwa
sikap pemerintah yang seperti ini karena pemerintah belum siap untuk dapat
membimbing mereka, sehingga dikhawatirkan malah akan menjadi boomerang
bagi bangsa Indonesia. terlebih, aktivis HAM juga berpendapat mayoritas dari 600
eks ISIS asal Indonesia adalah anak-anak dan perempuan.

Kata Kunci : Kewarganegaraan, ISIS, Undang-Undang, Siyasah,


Dauliyyah

Pembimbing : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag

Daftar Pustaka : Dari tahun 1994 sampai 2020

v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt, yang telah memberi
hidayah, kesehatan, nikmat, dan petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI
EKS ANGGOTA ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DAULIYYAH”. Sebagai
pelengkap guna mencapai gelar sarjana pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta Salam tak
lupa penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarganya, para
sahabatnya, dan para pengikutnya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tak lepas pula penulis ucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang senantiasa mendoakan, membimbing, serta
membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Sehingga dengan segala rasa
hormat, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada ;
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah);
4. Ibu Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah);
5. Bapak Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag., Dosen pembimbing
skripsi, yang begitu sabar dan meluangkan waktunya di tengah
kesibukkannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih banyak untuk waktu dan
tenaga yang bapak luangkan selama bimbingan;

vi
6. Ibu Dr. Ria Safitri, S.H., M.Hum. Dosen penasihat akademik, yang
selama ini telah memberi semangat dan membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
7. Bapak Husen Hasan Basri, M.Si., Peneliti muda Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama Republik Indonesia. Penulis ucapkan terima kasih
banyak yang telah memberi masukan saran, referensi dan materi dalam
skripsi ini;
8. Kedua orang tua, Ayahanda tercinta, Hasbullah dan Ibunda tersayang,
Yayah Mariatul Qibtiyah, S.Pd.I., yang begitu sabar dalam memberi
dorongan motivasi, moral, dan senantiasa mendoakan penulis untuk
kelancaran dan kesuksesan dalam menyelesaikan studi strata satu (S1)
ini. Tak lupa juga kepada adik penulis, Adinda El Fitrah yang juga
senantiasa mendoakan dan menemani penulis. Terima kasih banyak
kepada kalian, skripsi ini penulis persembahkan untuk Bapak, Ibu,
Dinda, dan juga untuk para pembaca;
9. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, khususnya kepada
Dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) yang telah
memberi ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama perkuliahan
berlangsung dengan sabar dan ikhlas. Dan mohon maaf sedalam-
dalamnya atas segala kekurangan dari penulis selama perkuliahan
berlangsung;
10. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta serta Fakultas Syari’ah dan Hukum
telah banyak memberi kontribusi berupa literasi dan pustaka guna
menyelesaikan skripsi ini;
11. Keluarga besar Hukum Tata Negara 2016 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya kepada; Husniyah, S.H, Nur Kholifah, S.H, Ajeng
Dwi Pramesti, S.H, Rendro Prastyan Winanta, Fakhriansyah
Syaefuddin Ilham, Inten Murnia Sari telah banyak memberi motivasi,
kenangan, pengalaman, ilmu yang bermanfaat serta menghibur penulis

vii
dalam menyelesaikan studi strata satu (S1) dan skripsi ini. Pengalaman
yang luar biasa bersama kalian akan jadi moment yang tidak
terlupakan dan sangat dirindukan oleh penulis. Semoga kalian semua
sukses selalu;
12. Firda Maulidina dan Salsabila Caca. Terima kasih sudah menjadi
sahabat terbaik selama menempuh perkuliahan ini dan mengajarkan
banyak hal. Semoga persahabatan kita akan terus berlanjut;
13. Dan seluruh pihak-pihak lain yang senantiasa mendoakan, memotivasi
dan memberi semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih banyak yang sebesar-
besarnya.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan untuk semuanya, dan semoga


langkah kita diridhai oeh Allah SWT. Akhir kalimat, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan umumnya untuk para pembaca.

Jakarta, 30 November 2020 M / 1442 H

Fahmi Aziz
NIM: 11160453000024

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 7
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .............................................. 8
E. Metode Penelitian........................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 12
BAB II KAJIAN TEORI: TEORI KEWARGANEGARAAN ................ 14
A. Teori Kewarganegaraan .................................................................. 14
B. Warga negara dan Kewarganegaraan ............................................... 17
C. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia ......................................................................................... 23
D. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia .......................... 28
E. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia .......................................................................... 32
BAB III PROFIL ISIS (ISLAMIC STATE OF SYRIA AND IRAQ) ........ 34
A. Definisi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)................................. 34
B. Keanggotaan ISIS ........................................................................... 39
C. Sejarah dan Perkembangan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)
di Indonesia ..................................................................................... 40
D. Faktor Warga Negara Indonesia bergabung dengan ISIS ................. 48

ix
BAB IV STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI EKS ANGGOTA
ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SIYASAH
DAULIYAH ................................................................................. 53
A. Definisi Siyasah Dauliyyah ............................................................. 53
B. Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia berdasarkan UU No
12 Tahun 2006 ................................................................................ 54
C. Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia Dalam Perspektif
Siyasah Dauliyah ............................................................................. 57
D. Analisis Status Eks Anggota ISIS asal Indonesia dalam Perspektif
UU No 12 Tahun 2006 dan Siyasah Dauliyah ................................. 59
BAB V PENUTUP .................................................................................... 61
A. Kesimpulan ..................................................................................... 61
B. Saran ............................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 63

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan
hukum dasar yang terbentuk sebagai hasil dari konsensus Warga Negara
Indonesia mengenai norma dasar (grundnorm) dan aturan dasar (grundgesetze)
dalam kehidupan bernegara.1 Konsensus yang dimaksud yakni menyangkut tujuan
dan cita-cita bersama the rule of law yang kemudian dijadikan sebagai landasan
penyelenggaran negara, serta bentuk konstitusi dan prosedur ketatanegaraan di
Indonesia, termasuk juga mengenai hubungan antara negara dan warga negara.
Diketahui bahwa warga negara merupakan salah satu unsur pokok suatu negara. 2
Warga negara merupakan anggota sah dari suatu masyarakat di suatu negara
sehingga warga negara merupakan salah satu unsur yang hakiki dari sebuah
negara. 3 Indonesia merupakan negara hukum dimana negara hukum adalah negara
atau pemerintah yang berdasarkan hukum. 4 Sehingga perlu adanya pengaturan
hukum mengenai warga negara tersebut.
Sejalan dengan hal tersebut, secara yuridis peraturan mengenai hubungan
antara negara dan warga negara diatur dalam BAB X Pasal 26 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kemudian mengenai
Kewarganegaraan diatur secara rinci dalam Undang-Undang Republik Indonesia

1
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Cet. Ke-3, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2013),
h.4
2
Kurnawa Basyir, dkk. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan), Cet. 1,
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Presss, 2011), h.53
3
Koeniatmanto Soeprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.1
4
Agus Salim dan Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2007), h.33

1
2

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.


Dalam Undang-Undang tersebut yang dimaksud dengan Kewarganegaraan adalah
segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara, 1 sedangkan warga
negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundang-undangan. 2
Selanjutnya, yang dimaksud dengan Warga Negara Indonesia adalah orang-
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
Undang-Undang sebagai warga negara.3
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat diketahui bahwa ada perbedaan
antara warga negara dan kewarganegaraan. Secara ringkas, warga negara
merupakan anggota dari suatu negara yang mengikatkan dirinya kepada negara
tersebut, kemudian kewarganegaraanlah yang menjadi bentuk hubungan (ikatan)
antara warga negara dan negaranya. Hal ihwal yang berhubungan dengan warga
negara sebagaimana yang disebutkan dalam pengertian kewarganegaraan
sebelumnya, yakni berupa identitas, hak, kewajiban, peran serta atau partisipasi,
dan kepemilikan nilai sosial bersama. 4
Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik yang sangat
erat antara warga negara dan negaranya. 5 Hubungan tersebut dapat terlihat dari
adanya kewajiban negara untuk meberikan perlindungan terhadap warga
negaranya, dan adanya hak dan kewajiban yang dimiliki setiap warga negara
terhadap negaranya.
Deklarasi “Khalifah” yang dinyatakan oleh Abu Bakar al Baghdadi pada
bulan Oktober tahun 2014, yang dikenal sebagai Negara Islam (yang sebelumnya
dikenal dengan nama Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS) adalah kelompok

1
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
2
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
3
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
4
Winarno Narmoatmojo, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.30
5
A. Ubaedillah, Abdul Razak, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Cet. Ke-6, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h.93
3

organisasi jihad yang mempunyai tujuan untuk membentuk sebuah Negara Islam
(Kekhalifahan Islam) di wilayah Irak dan Suriah. Pergerakan kelompok ISIS
untuk membentuk Negara Islam yang mengendalikan wilayah Aleppo bagian
utara sampai Baghdad bagian selatan termasuk wilayah Raqqa di Suriah dan
Mosul di Irak menjadi ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan
regional di Timur Tengah. Sejak kemunculannya, pergerakan Negara Islam
memiliki ideologi ekstrim. Hal ini dapat memberikan ancaman atau teror kepada
masyarakat disertai dengan beberapa pelanggaran seperti aksi kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok dalam membentuk Negara Islam. 6
Pada beberapa tahun terakhir ini hampir semua negara-negara di dunia
memerangi ISIS, sesuai dengan united nations security council resolution 2249
yang dikeluarkan pada 20 november tahun 2015 mengenai resolusi pada setiap
anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk meningkatkan upaya yang
untuk melawan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). ISIS (Islamic State of Iraq
and Syria) merupakan sekelompok orang yang menganut ideologi Ikhwanul
Muslimin, yaitu ideologi yang menekankan pemahaman pada tafsiran ajaran islam
secara ekstrem yang mendukung terjadinya kekerasan agama serta menganggap
bahwa muslim atau agama lain yang tidak sepaham dengan penafsirannya sebagai
kafir. 7 Adapun keberadaan ideologi ini tidak hanya dianut oleh warga negara Irak
dan Suriah, melainkan dianut berbagai warga negara di dunia yang menyebabkan
banyak warga negara asing yang tergabung di dalam ISIS.
Sebelum ISIS kehilangan wilayah kekuasaanya di Suriah, ia telah
melakukan berbagai extraordinary crime yang membuat keberadaannya
mengancam perdamaian dunia. Segala kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat
yang dilakukan anggota ISIS yang tidak hanya berpusat pada Irak dan Suriah,
melainkan di berbagai negara yang menyebabkan banyak negara-negara yang

6
Novie Lucky Andriyani dan Feriana Kushindarti, Respons Pemerintah Indonesia dalam
Menghadapi Perkembangan Gerakan Islamic State di Indonesia, (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI): Jurnal Penelitian Politik, Vol. 14, No. 2 (Desember 2017), h.223

7
Nathania Agatha Lukman dan I Wayan Pharsa, “Hak Atas Kewarganegaraan Bagi
Keluarga Militan ISIS”, Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum, [S.l.], Vol.7, (Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2019), h.3
4

mencabut kewarganegaraan/ denasionalisasi warga negaranya yang tergabung ke


dalam ISIS. Pencabutan kewarganegaraan ini tidak hanya dilakukan kepada
militan ISIS, melainkan berlaku juga kepada keluarga militan ISIS yang meliputi
perempuan dan anak yang belum dewasa. Hal ini menyebabkan menjadi apatride
karena tidak memiliki kewarganegaraan/stateless, padahal mereka tidak
bergabung dengan ISIS berdasarkan kehendaknya serta tidak ikut serta dalam
kejahatan HAM berat yang dilakukan ISIS.
Pada beberapa waktu yang lalu telah ramai di media berita terhadap
kewarganegaraan Indonesia yang telah mengikuti Organisasi ISIS di Luar Negeri
sehingga menjadi pembicaraan hangat oleh Pemerintah Indonesia. Polemik
ratusan WNI mantan anggota ISIS yang terlantar di Timur Tengah sudah
memasuki babak baru. Kini, Presiden Joko Widodo tak lagi mengakui mereka
dengan menyebut ISIS eks WNI. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga
menyebut mereka yang bergabung dengan ISIS tak lagi punya kewarganegaraan
atau stateless. Bahkan pemerintah juga ingin menerbitkan keputusan berisi nama-
nama yang kehilangan status WNI akibat bergabung dengan ISIS. Nantinya,
mereka akan dicekal dan tak bisa masuk wilayah Indonesia. "Pencabutan itu
dilakukan oleh presiden harus melalui proses hukum, bukan pengadilan ya. Proses
hukum administrasi diteliti oleh menteri lalu ditetapkan oleh presiden," kata
Menko Polhukam Mahfud MD di Jakarta, Kamis (13/2). Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada, pemerintah Indonesia harus berada dalam posisi
yang pasif mengenai pencabutan dan pemberian status WNI. Tidak proaktif,
karena tak ada kalimat yang menyatakan secara gamblang bahwa pemerintah
mencabut status WNI seseorang.8
Siyasah dalam peradaban kaum muslim mengatur berbagai bentuk tentang
tata cara memimpin, dan membangun pemerintahan. Peradaban Islam tidak akan
dapat tegak sempurna tanpa adanya negara yang cocok baginya, yaitu negara
Khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam yang disebut dengan Siyasah di pandang
sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam

8
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200214113641-20-474581/polemik-wni-eks-
isis-dan-aturan-kehilangan-kewarganegaraan diakses Tanggal, 24 Maret 2020. Pukul 15.16 WIB
5

pergulatan sosial dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan


sejarah umat Islam. Meskipun demikian nilai siyasah tidak serta merta menjadi
relatif karena ia memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk mewujudkan
keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah. Dalam ketatanegaraan islam sendiri
terkait dengan status kewarganegaraan ada dalam pembahasan Siyasah Dauliyyah
pada bidang Nasionalitas. Siyasah dauliyah sudah ada sebelum adanya agama
islam, siyasah dauliyah dimasa itu muncul karena adanya untuk hidup
berdampingan secara damai di antara berbagai bangsa di dunia, keinginan ini
terwujudkan dalam berbagai perjanjian antar negara serta adat kebiasaan. Dari
keduanya perjanjian dan adat kebiasaan internasiaonal, menjadi sumber terpenting
dalam hubungan damai masa itu. Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan,
kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyyah bermakna
sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan
internasional, masalah teritorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan
tawanan politik, dan pengusiran warga negara asing. Dari pengertian berikut dapat
dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah
kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta kedaulatan Negara.9
Berdasarkan fenomena diatas, maka penulis menuangkan dalam bentuk
penelitian skripsi yang berjudul “STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI
EKS ANGGOTA ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DAULIYAH”.

9
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h.119- 122.
6

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Rumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis paparkan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa permasalahan terkait dengan Status
Kewarganegaraan Bagi Anggota Eks ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria)
asal Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah. Adapun identifikasi
masalah yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah sebagai berikut:
a. Terkait dengan permasalahan dengan polemik ratusan WNI (Warga
Negara Indonesia) anggota ISIS yang terlantar di Timur Tengah,
memunculkan isu hukum yang dilontarkan Pemerintah yaitu
pencabutan kewarganegaraan Indonesia terhadap pendukung ISIS.
b. Permasalahan anggota ISIS eks Warga Negara Indonesia (WNI) yang
ingin mendapatkan kembali kewarganegaraan di Indonesia.
c. Dalam Siyasah Dauliyah terkait kewarganegaraan dibahas dalam
bidang Nasionalitas.

2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu diteliti
untuk dapat menjawab. Akan tetapi, untuk mempermudah pembahasan dan
penelitian skripsi ini, perlu diadakannya pembatasan masalah agar penelitian
skripsi ini hanya akan berfokus untuk menjawab satu permasalahan, yaitu
Status Eks Warga Negara Indonesia (WNI) bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State of Iraq and Syria) Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah.
7

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat


ditarik beberapa substansi rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia dalam UU No 12 Tahun 2006?
2. Bagaimana Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia dalam Perspektif Siyasah
Dauliyah?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan tambahan literatur
bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum tata negara dalam penanganan
masalah Status Kewarganegaraan bagi Eks Anggota ISIS (Islamic State Of
Iraq And Syria) asal Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dauliyyah. Selain
itu penelitian skripsi ini juga bertujuan:
a. Untuk mengetahui Bagaimana Status Kewarganegaraan Bagi Eks
Anggota ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) asal Indonesia dalam
UU No 12 Tahun 2006.
b. Untuk mengetahui Bagaimana Status Kewarganegaraan Bagi Eks
Anggota ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) asal Indonesia Dalam
Perspektif Siyasah Dauliyah.
2. Manfaat Penelitian
Didalam setiap penelitian, disamping memiliki tujuan tentunya penulis
juga mengharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca
khususnya penulis pribadi, adapun manfaatnya adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Akademis
Penelitian skripsi ini dapat digunakan sebagai acuan bahan penelitian
lebih lanjut guna untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang Status
8

Kewarganegaraan bagi Eks Anggota ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria)
asal Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah.
b. Manfaat Teoritis
Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan
kemanfaatan secara khusus bagi pengembangan ilmu hukum tata negara dan
secara umum bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum itu sendiri.
c. Manfaat Praktis

1) Tulisan ini diharapkan sebagai pemberian pemahaman yang utuh bagi


Pemerintah atas pemahaman Status Kewarganegaraan bagi Eks
Anggota ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria) asal Indonesia Dalam
Perspektif Siyasah Dauliyah.
2) Agar masyarakat mengetahui terhadap Status Kewarganegaraan bagi
Eks Anggota ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria) asal Indonesia
Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah.

D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu


Untuk membuktikan originalitas dari penelitian ini, penulis perlu untuk
melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa penelitian dan
perbedaan dari penelitian sebelumnya.
1. Kajian Jurnal yang ditulis oleh Nathania Agatha Lukman dan I Wayan
Pharsa, yang berjudul Hak Atas Kewarganegaraan Bagi Keluarga
Militan ISIS, Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum, [S.l.], v. 7 (Bali:
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2019). Dalam jurnal ini dibahas
hak atas kewarganegaraan yang dimiliki keluarga militan ISIS dan
mengetahui solusi untuk mengatasi permasalahan apatride yang timbul
disebabkan runtuhnya ISIS.
2. Kajian Skripsi yang ditulis oleh Meyta Yustianingsih Budhiarjo (2018)
yang berjudul Urgensi Pencabutan Hak Kewarganegaraan Bagi Warga
Negara Indonesia Yang Bergabung Dengan ISIS (Islamic State Of Iraq
And Syria) dari Fakultas Imu Hukum Universitas Brawijaya. Dalam
9

skripsi ini dibahas menganalisis dan mengetahui status ISIS dalam dunia
internasional serta untuk menganalisis terkait urgensi dari pencabutan hak
kewarganegaraan Warga Negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS
(Islamic State Of Iraq And Syria).
3. Kajian Jurnal yang ditulis oleh Novie Lucky Andriyani dan Feriana
Kushindarti, yang berjudul Respons Pemerintah Indonesia dalam
Menghadapi Perkembangan Gerakan Islamic State di Indonesia,
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): Jurnal Penelitian Politik
Volume 14 No. 2 Desember 2017). Dalam jurnal ini dibahas Pemerintah
yang khawatir terhadap gerakan ISIS di Indonesia dan cara Pemerintah
menanggapi terhadap gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
4. Kajian Jurnal yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana
Putra yang berjudul Status Kewarganegaraan Indonesia Bagi Pendukug
ISIS (Islamic State Of Iraq and Syria). Dalam jurnal ini dibahas mengenai
tata cara hilangnya status kewarganegaraan Indonesia dan status
kewarganegaraan WNI (Warga Negara Idonesia) sebagai pendukung ISIS
(Islamic State Of Iraq and Syria).
5. Kajian Skripsi yang ditulis oleh Reza Adhitya Akbar (2017) yang
berjudul Kewajiban Negara Indonesia Melindungi Warga Negaranya di
Luar Negeri (Studi Kasus: ISIS) dari Fakultas Hukum Universitas
Airlangga. Dalam skripsi ini dibahas mengenai status kewarganegaraan
yang telah menjadi ISIS dan cara pemerintah melindungi warga negaranya
yang dengan sadar menjadi tentara ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria).
Perbedaan dengan peneliti sebelumnya adalah dalam penelitian skripsi ini
akan dibahas mengenai Status Kewarganegaraan bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah.

E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan
tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan
10

penelitian. 10 Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan metode yuridis


normatif. Jenis Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk meneliti dengan cara
mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 11 Penelitian Kualitatif
merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian makna,
pengertian, konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun deskripsi tentang
suatu fenomena; fokus dan multimetode, bersifat alami dan holistik;
mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan secara
naratif. 12 Adapun menurut Ronny H Soemitro, metode yuridis normatif
adalah pendekatan yang menggunakan konsep legis positivis yang
menyatakan bahwa hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat
dan diundangkan oleh lembaga-lembaga atau pejabat yang berwenang.
Selain itu konsep ini memandang hukum sebagai sistem normatif yang
bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.13
2. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Pendekatan perundang-undangan (statue-approach). Pendekatan ini
dilakukan dengan cara menelaah Undang-undang (UU No 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan) dan regulasi yang relevan dengan Status
Kewarganegaraan eks ISIS di Indonesia. Tujuan pendekataan ini digunakan
adalah untuk menemukan menemukan solusi secara yuridis bagi status
kewarganegaraan eks ISIS asal Indonesia yang kemudian dikaji dalam
perspektif Siyasah Dauliyyah. Pendekatan ini digunakan untuk penelitian
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1994), h.13
11
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
h.27.
12
Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatf, Kualitatif dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana, 2014), h.329
13
Ronny Hanitijo soemitro, Metode Penelitian Hukum Jurimetri, (Jakarta: Ghia Indonesia,
1998), h.11
11

harmonisasi hukum, sifatnya kajian Undang-undang dan Peraturan saja,


permasalahan penelitian ini berasal dari fakta bukan norma.
3. Sumber Data
Adapun jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder sebagai data utama yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan, catatan-catatan
resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-
putusan hakim;14
b. Bahan hukum sekunder berupa jurnal hukum, surat kabar, dan internet
yang relevan dengan permasalahan penelitian.
c. Bahan hukum tersier berupa indeks, kamus besar bahasa indonesia,
dan kamus hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan dengan pertimbangan masalah yang
hendak diteliti. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Studi Dokumentasi atau Pustaka Library Research,
yaitu dengan membaca, mencatat, mengklasifikasikan dan membuat
kesimpulan dari Buku-buku dan Undang-undang yang relevan dengan
permasalahan penelitian yang hendak diteliti.
5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian diklasifikasikan menurut pokok
bahasan masing-masing, maka selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis
data bertujuan untuk menginterpretasikan data yang sudah disusun secara
sistematis yaitu dengan memberikan penjelasan. Dalam menyusun dan

14
Ibrahim Johny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia
Publishing, 2010), h.141
12

menganalisis data, penulis menggunakan penalaran deduktif15. Penalaran


deduktif merupakan langkah berpikir dengan mengumpulkan pernyataan
yang bersifat umum untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat khusus, dengan metode deskriptif-analitis.16 Metode deskriptif-
analitis adalah metode yang digunakan untuk mempelajari permasalahan
yang ada dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat
sehari-hari serta situasi tertentu. Tujuan dari metode deskriptif ini adalah
untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan yang antar fenomena yang diteliti
untuk mendapatkan suatu pemecahan. Setelah proses analisis, dilakukan
proses sintesis dengan menarik dan menghubungkan rumusan masalah,
tujuan penulisan serta pembahasan yang dilakukan. Berikutnya ditarik
simpulan yang bersifat umum kemudian direkomendasikan beberapa hal
sebagai upaya transfer gagasan yang diakhiri dengan kesimpulan hasil
analisis.

6. Pedoman Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku pedoman


penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Skripsi ini peneliti membuat sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN yang merupakan gambaran umum isi
penelitian yang terdiri dari: latar belakang, identifikasi, pembatasan, dan rumusan

15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), h.49
16
Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghia Indonesia, 2005), h.35
13

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, dan
metodologi penelitian, sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORI; TEORI KEWARGANEGARAAN yang akan
membahas teori kewarganegaraan, warga negara dan kewarganegaraan, syarat dan
tata cara memperoleh kewarganegaraan republik indonesia, kehilangan
kewarganegaraan republik indonesia dan syarat dan tata cara memperoleh kembali
kewarganegaraan republik indonesia.
BAB III PEMBAHASAN; ISIS DAN SIYASAH DAULIYYAH yang
berisi tentang definisi ISIS (islamic state of iraq and syria), Keanggotaan ISIS,
sejarah dan perkembangan ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria) di Indonesia,
Faktor Warga Negara Indonesia bergabung dengan ISIS dan Siyasah Dauliyyah.
BAB IV STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI EKS ISIS (ISLAMIC
STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
SIYASAH DAULIYYAH yang akan menganalisis Status Kewarganegaraan Bagi
Eks ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria) asal Indonesia berdasarkan UU No 12
Tahun 2006 dan analisis status kewarganegaraan bagi eks ISIS (Islamic State Of
Iraq And Syria) asal Indonesia dalam perspektif siyasah dauliyyah.
BAB V PENUTUP berisi tentang uraian kesimpulan dan saran yang sesuai
dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.
BAB II
TEORI KEWARGANEGARAAN

A. Teori Kewarganegaraan
1. Teori Kewarganegaraan Liberal-Individualistik
Teori liberalisme yang dikenal pula sebagai bagian dari libera-individualist
theories memandang warga negara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan
pilihan dan hak.1 Dalam pembedaan hak-hak individu, pilihan ditentukan oleh
pertimbangan warga negara tentang hak-hak yang dimilikinya dalam batas
penghargaannya terhadap hak-hak orang lain. Bagi individu warga negara struktur
hak-hak ini sudah pasti. Hak-hak warga negara ini dapat diperoleh atau mungkin
tidak dapat diperoleh tergantung dari pertimbangan pembuat aturan. Namun
demikian, perlu dicatat bahwa bagi teori liberal-individualistik kedua hak itu
mengakui individu warga negara sesuai dengan hak-hak, pendapat, dan pilihan
tertentu, keduanya pun tidak selalu dalam konteks politik.2 Dinyatakan oleh
Gunsteren bahwa “Citizenship and other political institutions are means that are
accepted only conditionally-that is, a long as they, in the individual’s
calculations, foster the maximization of private benefit.” Dalam hal ini, aspek
politik dari sudut pandang teori liberal-individualis bersifat nisbi dan kondisional.
Prinsip kewarganegaraan dan lembaga politik hanya diakui manakalah prinsip
tersebut dapat memberikan keuntungan pribadi. 3
Sementara itu, dalam rangka penegakan demokrasi menurut Gunsteren,
pola pikir teori liberal-individualistik ini sangatlah tidak relevan, sebab lebih
Mengedepankan keuntungan pribadi daripada kehidupan bersama
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, menurut Gunsteren ada empat hal yang
sangat mempengaruhi keberlangsungan demokrasi, yaitu berpikir

1
Wuryan dan Saifullah, Ilmu Kewarganegaraan (Civics), (Bandung; Laboratorium
Pendidikan Kewarganegaraan UPI, 2006), h.111
2
Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan,
(Bandung; Alfabeta, 2011), h.186
3
Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan,
h.213

14
15

kewarganegaraan (civic mindednes), agama (religion), demokratisasi dalam


pendidikan atau pendidikan yang demokratis (education in democratis rules), dan
pengembangan moralitas masyarakat (the development of a public morality).
Empat atribut pembangunan demokrasi tersebut menentukan ada dan tiada
demokrasi. Manakala keempatnya dimiliki warga negara maka demokrasi akan
ditegakkan dan terjaga kelangsungannya. Sebaliknya, akan terjadi ketiadaan
demokrasi tatkala dalam warga negara tidak memiliki empat hal tersebut diatas.

2. Teori Kewarganegaraan Komunitarian


Teori kewarganegaraan komunitarian (communitarian theories of
citizenship) sangat menekankan pada fakta bahwa setiap orang warga negara perlu
memiliki sejarah perkembangan masyarakat. Individualitas yang dimiliki warga
negara berasal dan dibatasi oleh masyarakat. Dalam pandangan teori ini, warga
negara bertindak secara bertanggung jawab ketika ia memiliki tugas dalam batas-
batas yang diterima oleh masyarakat. Namun demikian, agar masyarakat dan
anggotanya secara individual dapat berkembang maka diperlukan loyalitas dan
pendidikan kewarganegaraan agar menjadi warga negara yang loyal. 4
Kemunculan teori ini dilatar belakangi oleh adanya berbagai kelemahan yang
dimiliki teori liberal-individualistik-individu. Teori ini dibentuk oleh masyarakat,
karena terdapat sistem norma yang disepakati bersama sebagai codes of conduct
yang dijadikan pegangan serta dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat. Atas
dasar itu, tindakan individu sebagai anggota masyarakat haruslah sesuai dan
senafas dengan batas-batas yang diterima masyarakat. Warga negara bertanggung
jawab dalam pandangan teori ini, adalah warga negara yang dalam menentukan
dan melaksanakan tindakannya senantiasa memperhatikan atau
mempertimbangkan masyarakat.5

4
Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan,
(Bandung; Alfabeta, 2011), h.188-189
5
Wuryan dan Saifullah, Ilmu Kewarganegaraan (Civics), (Bandung; Laboratorium
Pendidikan Kewarganegaraan UPI, 2006), h.112
16

3. Teori Kewarganegaraan Republik


Gagasan esensial dua teori kewarganegaraan sebelumnya (teori liberal-
individualistik dan teori komunitarian) menempatkan dua sudut pandang (point of
view) yang sangat kentara perbedaannya; kebebasan individu pada satu sisi serta
keberadaan masyarakat yang membentuk individu pada sisi lain. Teori
kewarganegaraan republikan (republican theories of citizenship) dapat dipandang
sebagai salah satu model khusus dari gagasan teori kewarganegaraan
komunitarian. Teori ini menjadikan suatu masyarakat yang dinamakan komunitas
publik sebagai pusat kehidupan politik. Keunggulan dan sekaligus nilai-nilai
kebaikan yang digunakan oleh teori republikan adalah keberanian, kesetiaan,
disiplin militer, dan kewarganegaraan. Hak-hak individu dijamin dan tiap
individu warga negara dapat berperan aktif sebagi pelayan dalam komunitas
publik dalam mengisi sejarah perjalanan bangsa. Kelemahan dari teori ini adalah
sifatnya yang klasik, yakni tentang konsepsi militer yang dianggap sebagai unsur
membahayakan oleh kelompok tertentu. Konsepsi militer dianggap tidak peduli
terhadap masalah ekonomi perdagangan serta kebutuhan pribadi individu
masyarakat. Pemikiran republikan dipandang hanya ingin menciptakan satu
masyarakat tunggal yang absolut dan kurang memerhatikan pluralisme nilai-nilai
dan kondisi masyarakat yang beragam. Dengan adanya kelemahan yang
disandang oleh masing-masing teori kewarganegaraan, liberal-individualis,
komunitarian, dan republikan, maka dipandang perlu ada alternatif teori
kewarganegaraan lain yang lebih relevan dengan kondisi dan perkembangan
negara bangsa dalam era modern bahkan pasca modern yang dikenal dengan era
informasi dan globalisasi. 6
B. Warga Negara dan Kewarganegaraan
1. Warga Negara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), warga negara adalah
penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran,

6
Lonto Aples lexi dan Pangalila Theodorus, Etika Kewarganegaraan, (Yogyakarta;
Penerbit Ombak, 2016), h.38
17

dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang
warga dari negara itu.7
Istilah warga negara ini merupakan terjemahan kata citizen (Inggris). Kata
Citizen secara etimologis berasal masa Romawi yang pada waktu itu berbahasa
Latin, yaitu kata “civis” atau “civitas” yang berarti anggota atau warga dari city-
state. Selanjutnya kata ini dalam bahasa Perancis diistilahkan “Citoyen” yang
bermakna warga dalam “cite” (kota) yang memiliki hak-hak terbatas. Citoyen
atau Citizen dengan demikian bermakna warga atau penghuni kota.8
Warga negara itu sendiri bisa diartikan dengan orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini biasa juga
disebut hamba atau kawula negara. 9 Meskipun demikian istilah warga negara
dirasa lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang-orang merdeka bila
dibandingkan istilah hamba dan kawula negara, karena warga negara
mengandung arti peserta, anggota atau warga yang menjadi bagian dari suatu
negara.
Asumsi ini tidaklah berlebihan dan cukup beralasan. Sebagai anggota dari
persekutuan yakni negara, yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar
tanggung jawab bersama, serta untuk kepentingan atau tujuan bersama
pula10, warga negara dituntut untuk aktif terhadap negara. Dengan alasan
tersebut istilah warga negara dirasa lebih sesuai, karena mengandung
pengertian aktif. Sedangkan istilah hamba atau kawula negara mengandung

7
Kamus Besar Bahasa Indonesia
8
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di
Perguruan Tinggi. Ed. Ke-3 Cet. Ke-1, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), h.32
9
Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003),
h.73
10
Pada awalnya, negara atau bangsa merupakan sekumpulan manusia atau gabungan
entitas-entitas yang beragam, lalu disarikan hubungan kesadaran dan diikat oleh asas kemaslahatan
bersama yang dituangkan dalam bentuk sistem legislasi dan hukum perundang-undangan. Sistem
ini diberlakukan pada tanah kehidupan yang dinamakan tanah air (wathan). Pada gilirannya
hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan yang dinamakan negara. Lihat Muhammad Syahrur,
Dirasat Islamiyyah Muashirah fi al Daulat wa al Mujtama', terjemah Saifudin Zuhri dan Badrus
Syamsul Fata "Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara", (Yogyakarta : LKIS, cet. ke-1,
2003), h.90
18

pengertian warga yang pasif dan hanya menjadi obyek negara. Untuk itu,
setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua
warga negara mempunyai kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam mendefinisikan bahwa
warga negara (citizenship) adalah anggota dari sebuah komunitas yang
membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik daripada istilah
kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti obyek yang berarti
orang yang dimiliki dan mengabdi kepada negara. Oleh karenanya,
kewarganegaraan menurut AS Hikam harus mencakup tiga dimensi utama:
1) Dimensi keterlibatan aktif dalam komunitas,
2) dimensi pemenuhan hak-hak dasar yaitu hak politik, ekonomi, dan
hak sosial kultural, serta
3) dimensi dialog dan keberadaan ruang publik yang bebas. 11

Istilah warga negara dan rakyat menunjuk pada obyek yang sama12, yakni
sebagai anggota negara13. Meskipun demikian terdapat perbedaan pengertian
antara pengertian warga negara, rakyat dan bangsa. Warga negara adalah
pendukung negara atau dalam arti lain warga sebuah negara yang bersifat
aktif. Sedang rakyat adalah masyarakat yang mempunyai persamaan kedudukan
sebagai obyek pengaturan dan penataan oleh negara dan mempunyai
ikatan kesadaran sebagai kesatuan dalam hubungan keorganisasian negara. Istilah
warga negara tidak menunjuk pada obyek yang sama dengan istilah
penduduk. Warga negara sebuah negara belumlah tentu merupakan penduduk
negara tersebut. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal secara
sah dalam suatu negara berdasarkan peraturan perundangan kependudukan sah

11
Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), h.166.
12
Harsono, Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Cet Ke-1 (Yogyakarta:
Liberty, 1992), h.1
13
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia,
Cet Ke-1 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), h.1.
19

dari negara yang bersangkutan. Baik status sebagai warga negara maupun
sebagai penduduk mempunyai konsekuensi hukum, yaitu menyangkut hak-hak
dan kewajibannya. Konsekuensi hukum dari status warga negara lebih luas dari
pada status sebagai penduduk. Pembagian penduduk menjadi warga negara dan
orang asing sangatlah penting. Hal ini dikarenakan beberapa hak dan
kewajiban yang dimiliki warga negara dengan orang asing berbeda. Hak dan
kewajiban penduduk yang bukan warga negara adalah terbatas.14
Dalam konteks negara Islam, warga negara mengandung pengertian
penduduk sebuah negara Islam yang memeluk agama Islam. Penduduk yang
bertempat tinggal di wilayah negara Islam namun belum memeluk agama
Islam atau dengan kata lain bahwa masyarakat atau individu non muslim yang
bertempat tinggal diwilayah negara Islam, akan diberi status penduduk
permanen, tetapi tidak dianggap sebagai warga negara dari negara Islam
kecuali jika mereka memeluk Islam atas kemauan mereka sendiri. 15 Meskipun
demikian, ternyata kenyataan diatas bukanlah sebuah statemen yang
bersifat final, hal ini terlihat dari adanya pemikir Islam yang memandang
mereka sebagai warga negara Islam. 16
Di samping warga negara, perlu dijelaskan pula istilah rakyat dan
penduduk. Rakyat lebih merupakan konsep politis dan menunjuk pada orang-
orang yang berada di bawah satu pemerintahan dan tunduk pada pemerintahan itu.
Istilah rakyat umumnya di lawankan dengan penguasa. Penduduk adalah orang-
orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah negara dalam kurun waktu tertentu.
Orang yang berada di suatu wilayah negara dapat dibedakan menjadi penduduk
dan non-penduduk. Sedangkan penduduk dapat dibedakan menjadi warga negara
dan orang asing atau bukan warga negara.

14
Harsono, Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, h.2
15
Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan Al
Qur'an dan Sunah, Cet Ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.115
16
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Cet Ke-1, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1995), h.241.
20

2. Kewarganegaraan
Cogan dan Derricot mendefinisikan kewarganegaraan sebagai “a set of
characteristics of being a citizen”. Kewarganegaraan menunjuk pada seperangkat
karakteristik dari seorang warga. Karakteristik atau atribut kewarganegaraan
(attribute of citizenship) itu meliputi;
a. Sense of identify (perasaan akan identitas)
b. The enjoyment of certain rights (pemilikan hak-hak tertentu)
c. The fulfilment of corresponding obligations (pemenuhan kewajiban-
kewajiban yang sesuai)
d. A degre of interest and involvement in public affair (tingkat ketertarikan
dan keterlibatan dalam masalah publik) dan,
e. An acceptance of basic social valves (penerimaan terhadap nilai-nilai
sosial dasar).17
Memiliki kewarganegaraan berarti sesorang itu memiliki identitas atau
status dalam lingkup nasional, misalnya ia warga negara Indonesia, ia
berkewarganegaraan Australia, dan sebagainya. Memiliki kewarganegaraan
berarti didapatkannya sejumlah hak dan kewajiban yang berlaku secara timbal
balik dengan negara. Ia berhak dan kewajiban terhadap negara sebaliknya negara
memiliki hak dan kewajiban atas orang itu. Terkait dengan hak dan kewajiban
maka kewarganegaraan seseorang menjadikan ia turut terlibat atau berpartisipasi
dalam kehidupan negaranya. Kewarganegaraan seseorang juga menjadikan orang
tersebut berinteraksi dengan orang lain sebagai warga negara sehingga tumbuh
penerimaan atas nilai-nilai sosial bersama yang ada di negara tersebut. Di
Indonesia, misalnya nilai-nilai kegotong royongan, nilai-nilai religius, atau nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai bersama. Oleh karena itu,
nilai-nilai sosial bersama yang diterima ini bisa jadi berbeda dengan warga negara
di negara lain.
Pendapat lain menyatakan kewarganegaraan adalah bentuk identitas yang
memungkinkan individu-individu merasakan makna kepemilikan, hak dan

17
Ahmad Rusdiana, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (UIN Bandung;
Pustaka Tresna Bhakti Bandung, 2012), h.49
21

kewajiban sosial dalam komunitas politik (negara). Hubungan antara rakyat dan
negara berdasarkan asas resiprokalitas hak dan kewajiban. Dalam kamus Maya
Wikipedia dikatakan kewarganegaraan merupakan keanggotaan dalam komunitas
politik (yang dalam sejarah perkembangannya diawali pada negara kota, namun
sekarang ini telah berkembang pada keanggotaan suatu negara) yang membawa
impilkasi pada kepemilikan hak untuk berpastisipasi dalam politik.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, kewarganegaraan menunjuk bentuk
hubungan antara warga negara dengan komunitasnya sendiri, dalam hal ini
negara, yang melahirkan berbagai akibat antara lain;
a. Memunculkan identitas baru sebagai warga negara,
b. Menghasilkan rasa kepemilikan terhadap komunitas baru (negara)
termasuk kepemilikan akan nilai-nilai bersama komunitas,
c. Memunculkan aneka peran, partisipasi dan bentuk-bentuk keterlibatan lain
pada komunitas negara, dan
d. Timbulnya hak dan kewajiban antara keduanya secara timbal balik.
Menurut hukum Indonesia, yakni dalam Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, arti kewarganegaraan adalah
segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara. Hal ikhwal hubungan
antara warga negara dengan negara tersebut pada dasarnya menghasilkan bentuk-
bentuk hubungan sebagaimana di atas.
Jika selama ini dipahami bahwa bentuk-bentuk hubungan tersebut hanya
melahirkan hak dan kewajiban secara timbal balik maka sesungguhnya lebih dari
itu. Seperti telah dikemukakan diatas, kewarganegaraan memunculkan sejumlah
karakteristik, atribut, atau elemen, yakni adanya identitas, hak, kewajiban,
partisipasi dan penerimaan nilai bersama. Hak dan kewajiban lebih merupakan
akibat dari kewarganegaraan sebagai status hukum (legal formal), padahal
kewarganegaraan bukan hanya sebatas legal. Kewarganegaraan dapat dipahami
dalam tiga status. Pertama, status legal, yakni memiliki hak dan perlindungan dari
negara. Kedua, status sebagai agen politikal yang melahirkan aneka partisipasi
dalam berbagai pranata politik. Ketiga, status keanggotaan itu sendiri yang
menghadirkan identitas. Dewasa ini kewarganegaraan sebagai status hukum
22

(legal) tampaknya lebih mengemukaka, sejalan dengan menguatnya entitas negara


sebagai organisasi ilegal.
Pengertian kewarganegaraan dibedakan menjadi dua,yaitu;
a. Kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis
1) Kewarganegaraan dalam arti yurudis dan sosiologis ditandai dengan
adanya ikatan hukum antara orang-orang dengan negara atau
kewarganegaraan sebagai status legal. Dengan adanya ikatan hukum
itu menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Bahwa orang
tersebut berada di bawah kekuasaan negara yang bersangkutan.
Tanda dari adanya ikatan hukum seperti akta kelahiran,surat
pernyataan, bukti kewarganegaraan,dan lain-lain.
2) Kewarganegaran dalam arti sosiologis tidak ditandai dengan ikatan
hukum, tetapi ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, ikatan
keturunan, ikatan nasib, ikatan sejarah dan ikatan tanah air. Dengan
kata lain, ikatan ini lahir dari penghayatan orang yang bersangkutan.
Orang yang memiliki ikatan demikian merupakan kewaranegaraan
dalam arti sosiologis.
Dari sudut kewarganegaraan sosiologis, seseorang dapat di pandang
negara sebagai warga negaranya sebab ikatan emosional, tingkah laku, dan
penghayatan hidup yang dilakukan menunjukkan bahwa orang tersebut
seharusnya menjadi anggota negara itu. Akan tetapi, dari sudut kewarganegaraan
yuridis orang tersebut tidak memenuhi sebab tidak memiliki bukti ikatan hukum
dengan negara. Jadi, dari sisi kewarganegaraan sosiologis ada hal yang belum
terpenuhi yaitu persyaratan yuridis yang merupakan ikatan formal orang tersebut
dengan negara. Di sisi lain, terdapat orang yang memiliki kewarganegaraan dalam
arti yuridis, namun tidak memiliki kewarganegaraan dalam sosiologis. Ia memiliki
tanda ikatan hukum dengan negara, tetapi ikatan emosional dan penghayatan
hidupnya sebagai warga negara tidak ada. Jadi ada kalanya terdapat seseorang
warga negara hanya secara yuridis saja, sedangkan secara sosiologis belum
memenuhi. Adalah sangat ideal apabila seorang warga negara memenuhi
persyaratan yuridis dan sosiologis sebagai anggota negara.
23

b. Kewarganegaraan dalam arti formal dan material


1) Kewarganegaraan dalam arti formal menunjuk pada tempat
kewarganegaraan dalam sistematika hukum. Masalah
kewarganegaraan atau hal ikhwal mengenai warga negara berada
dalam hukum publik. Hal ini karena kaidah-kaidah mengenai negara
dan warga negara semata-mata bersifat publik.
2) Kewarganegaraan dalam arti materil menunjuk pada akibat dari
status kewarganegaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban serta
partisipasi warga negara. Kedudukan seseorang sebagai warga
negara akan berada dengan kedudukan seseorang sebagai orang
asing.
Kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut memiliki
pertalian hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersangkutan. Orang yang
sudah memiliki kewarganegaraan tidak jatuh pada kekuasaan atau kewenangan
negara lain. Negara lain tidak berhak memperlakukan kaidah-kaidah hukum pada
orang yang bukan warga negaranya. 18

C. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik


Indonesia
Untuk syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kewarganegaraan Republik Indonesia
dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan. 19
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin;

18
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di
Perguruan Tinggi. Ed. Ke-4 Cet. Ke-1, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), h.81-83
19
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
24

b. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di


wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-
turut;
c. Sehat jasmani dan rohani;
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih;
f. Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
menjadi berkewarganegaraan ganda;
g. Mempunyai pekerjaan dan berpenghasilan tetap; dan
h. Membayar uang perwarganegaraan ke Kas Negara 20
Berikut ini tata cara mengurus memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia;
(1) Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia oleh pemohon secara
tertulis dalam bahasa indonesia di atas kertas bermaterai cukup kepada
presiden melalui menteri
(2) Berkas permohonan pewarganegaraan disampaikan kepada pejabat.21

Kemudian Menteri meneruskan permohonan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 10 disertai dengan pertimbangan kepada Presiden dalam waktu paling
lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima. 22 Permohonan
pewarganegaraan dikenai biaya, dengan biaya sebagaimana dimaksud telah diatur
oleh Peraturan Pemerintah. 23 Di dalam Pasal 13,14, dan 15 telah menyatakan;
(1) Presiden mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan.

20
Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
21
Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
22
Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
23
Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
25

(2) Pengabulan permohonan pewarganegaraan ditetapkan dengan Keputusan


Presiden.
(3) Keputusan Presiden ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
permohonan diterima oleh Menteri dan diberitahukan kepada pemohon
paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak Keputusan Presiden
ditetapkan.
(4) Penolakan permohonan pewarganegaraan harus disertai alasan dan
diberitahukan oleh Menteri kepada yang bersangkutan paling lambat 3
(tiga) bulan terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh Menteri. 24
(5) Keputusan Presiden mengenai pengabulan terhadap permohonan
pewarganegaraan berlaku efektif terhitung sejak tanggal pemohon
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.
(6) Paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak Keputusan Presiden dikirim
kepada pemohon, Pejabat memanggil pemohon untuk mengucapkan
sumpah atau menyatakan janji setia.
(7) Dalam hal setelah dipanggil secara tertulis oleh Pejabat untuk
mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia pada waktu yang telah
ditentukan ternyata pemohon tidak hadir tanpa alasan yang sah, Keputusan
Presiden tersebut batal demi hukum.
(8) Dalam hal pemohon tidak dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan
janji setia pada waktu yang telah ditentukan sebagai akibat kelalaian
Pejabat, pemohon dapat mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia
di hadapan Pejabat lain yang ditunjuk Menteri. 25
Pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia di hadapan Pejabat
kemudian pejabat membuat berita acara pelaksanaan pengucapan sumpah atau
pernyataan janji setia. Dengan waktu paling lambat 14 (empat belas) hari
terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia, Pejabat

24
Lihat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
25
Lihat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
26

menyampaikan berita acara pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia


kepada Menteri. 26
Berikut ini lafal sumpah atau pernyataan janji setia bagi para pemohon
yang ingin memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia :
Yang mengucapkan sumpah, lafal sumpahnya sebagai berikut:
“Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah melepaskan
seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia
kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan
sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara
kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.”
Yang menyatakan janji setia, lafal janji setianya sebagai berikut:
“Saya berjanji melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan
asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan
kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara
Indonesia dengan tulus dan ikhlas.”27
Setelah mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia, pemohon wajib
menyerahkan dokumen atau surat-surat keimigrasian atas namanya kepada kantor
imigrasi dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak
tanggal pengucapan sumpah atau pernyataan janji setia.28 Salinan Keputusan
Presiden tentang pewarganegaraan dan berita acara pengucapan sumpah atau
pernyataan janji setia dari Pejabat menjadi bukti sah Kewarganegaraan Republik
Indonesia seseorang yang memperoleh kewarganegaraan. Setelah itu, Menteri

26
Lihat Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
27
Lihat Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
28
Lihat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
27

mengumumkan nama orang yang telah memperoleh kewarganegaraan dalam


Berita Negara Republik Indonesia.29
Berikut ini syarat dan tata cara meperoleh Kewarganagaraan Republik
Indonesia bagi yang telah menikah dengan warga negara asing;
(1) Warga negara asing yang kawin secara sah dengan Warga Negara
Indonesia dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan
Pejabat.
(2) Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila yang
bersangkutan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat
10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan
kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda.
(3) Dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat diberi izin
tinggal tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara menyampaikan pernyataan
untuk menjadi Warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. 30
Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau
dengan alasan kepentingan negara dapat diberi Kewarganegaraan Republik
Indonesia oleh Presiden setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda. 31

29
Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
30
Lihat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
31
Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
28

Berikut ini syarat dan tata cara meperoleh Kewarganagaraan Republik


Indonesia bagi anak-anak;
(1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin,
berada dan tempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah
atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan
sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia.
(2) Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat
secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara
Indonesia memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia.
(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus menyatakan
memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6. 32
Untuk ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengajukan dan
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah.33

D. Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia


Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia telah diatur dalam
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Untuk Warga Negara Indonesia Kehilangan kewarganegaraannya jika
yang bersangkutan;
a. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewaranegaraan lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk
itu;
c. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar

32
Lihat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
33
Lihat Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
29

negeri, dan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik


Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan;
d. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari
Presiden;
e. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan
dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh Warga
Negara Indonesia;
f. Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
g. Tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
h. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara
asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda
kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas
namanya; atau
i. Bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia
selama 5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas
negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak
menyatakan keingininannya untuk tetap menjadi Warga Negara
Indonesia sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu berakhir dan
setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak
mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga Negara
Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia tersebut telah
memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan,
sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa
kewaranegaraan.34

34
Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
30

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf d tidak berlaku


bagi mereka yang mengikuti program pendidikan di negara lain yang
mengharuskan mengikuti wajib militer. 35
Berikut ini proses kehilangan Kewarganagaraan Republik Indonesia bagi
anak-anak;
(1) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ayah tidak
dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang mempunyai hubungan
hukum dengan anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah
kawin.
(2) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi seorang ibu tidak
dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya yang tidak mempunyai
hubungan hukum dengan ayahnya sampai dengan anak tersebut berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(3) Kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia karena memperoleh
kewarganegaraan lain bagi seorang ibu yang putus perkawinannya, tidak
dengan sendirinya berlaku terhadap anaknya sampai dengan anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
(4) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. 36
Berikut ini kehilangan Kewarganagaraan Republik Indonesia bagi yang
telah menikah dengan warga negara asing
(1) Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga
negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika
menurut hukum negara asal suaminya sebagai akibat perkawinan tersebut
(2) Laki-laki Warga Negara Indonesia yang kawin dengan perempuan warga
negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika

35
Lihat Pasal 24 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
36
Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
31

menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mengikuti


kewarganegaraan istri sebagai akibat perkawinan tersebut
(3) Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga
Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai
keinginannya kepada Pejabat atau Pewarkilan Republik Indonesia yang
wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut,
kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda.
(4) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan oleh
perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah 3 (tiga) tahun sejak tanggal
perkawinannya berlangsung. 37

Kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan


yang sah tidak menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dari istri atau
suami. 38 Bagi setiap orang yang memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia berdasarkan keterangan yang kemudian hari dinyatakan palsu atau
dipalsukan, tidak benar, atau terjadi kekeliruan mengenai orangnya oleh instansi
yang berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya.39 Menteri
mengumumkan nama orang yang kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia. 40 Ketentuan lebih lanjut
mengenai persyaratan dan tata cara kehilangan dan pembatalan kewarganegaraan
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah. 41

37
Lihat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
38
Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
39
Lihat Pasal 28 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
40
Lihat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
41
Lihat Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
32

E. Syarat dan Tata Cara Memperoleh Kembali Kewarganegaraan


Republik Indonesia
Untuk syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Seseorang yang kehilangan
Kewarganegaraan Republik Indonesia dapat memperoleh kembali
kewarganegaraannya melalui prosedur pewarganegaraan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18 dan Pasal 22.42
Berikut ini syarat dan tata cara memperoleh kembali Kewarganegaraan
Republik Indonesia;
(1) Warga Negara Indonesia yang kehilangan Kewarganegaraan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf i dan Pasal 26 ayat
(1) dan ayat (2) dapat memperoleh kembali Kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri tapa
melalui prosedur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan
Pasal 17.
(2) Dalam hal pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia, permohonan
disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal pemohon.
(3) Kepala Perwakilan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari setelah menerima permohonan. 43
Persetujuan atau penolakan permohonan memperoleh kembai
Kewarganegaraan Republik Indonesia diberikan paling lambat 3 (tiga) bulan oleh
Menteri atau Pejabat terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. 44
Kemudian Menteri mengumumkan nama orang yang memperoleh kembali

42
Lihat Pasal 31 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
43
Lihat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
44
Lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
33

Kewarganegaraan Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia. 45


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah. 46

45
Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
46
Lihat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
34

BAB III
PROFIL ISIS (ISLAMIC STATE OF SYRIA AND IRAQ)

A. Definisi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)


Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and the
Levant (ISIL) dalam bahasa Indonesia mereka disebut Negara Islam Iraq dan
Suriah (NIIS), merupakan sebuah organisasi yang berasaskan Islam. Sekarang
berubah menjadi Islamic State (IS) atau Negara Islam. 1 Islamic State Of Syiria
and Iraq (ISIS) adalah sebuah kelompok dengan cita-cita membuat sebuah negara
yang berlandaskan Syariat Islam. Kelompok ini awalnya adalah binaan atau
ciptaan Al Qaeda untuk wilayah Irak. Akan tetapi dengan terjadinya konflik di
Suriah, ISIS pun terlibat. Dengan bantuan dana dari sejumlah negara teluk
memang menghendaki runtuhnya rezim Assad di Suriah, kelompok ini semakin
hari semakin besar dan kuat. Dengan dalih syariat, ISIS membujuk dan menghasut
para pemuda islam di seantero negeri untuk bergabung dalam kurun waktu 3
tahun, kelompok ini telah menguasai sebagian daerah utara dan timur Suriah.
Lokasi-lokasi yang penghasil minyak pemerintah Suriah kini sudah telah di kuasai
dan bisa di pastikan kelompok ini layaknya sebuah negara dengan penghasilan
jutaan dollar setiap bulannya. Bekerjasama dengan berbagai perwira militer Irak
yang dianggap berkhianat, hampir 50% wilayah utara Irak yang juga menjadi
wilayah penghasil minyak negara tersebut telah ditaklukkan. 2
Akar sejarah berdirinya ISIS tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan
hidup Abu Musab al-Zarqawi. Ceritanya pada tahun 2000, Abu Musab al-Zarqawi
pergi ke Afghanistan untuk mencari dan menemui Osama bin Ladin guna
meminta bantuan Osama bin Ladin dalam membentuk organisasi yang bernama
Tauhid wal Jihad untuk menggulingkan pemerintahan Yordania. Pasca peristiwa
11 September 2001 ketika AS menyerang Afghanistan, Abu Musab al-Zarqawi

1
Masdar Hilmy, Genealogi dan Pengaruh Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah
(NIIS) di Indonesia (UIN Sunan Ampel Surabaya; Jurnal Teosofi Tasawuf dan Pemikiran Islam
Vol. 04 No. 02 Edisi Desember, 2014), h. 406
2
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati, (Jakarta; PT. Ufuk Publishing
House, 2014), h.29-30
35

melarikan diri dari Afghanistan ke Iran dan pada tahun 2002 berpindah dari Iran
ke Irak. Atas permintaan para petinggi al Qaida, Abu Musab al Zarqawi diminta
untuk memfasilitasi masuknya para militan ke Irak untuk berperang melawan
pasukan koalisi pimpinan AS di Irak. Akan tetapi, pada saat itu Abu Musab al
Zarqawi belum secara resmi bersumpah setia dan bergabung dengan al-Qaeda
sampai dengan tahun 2004. Kuatnya hubungan antara Abu Musab al Zarqawi
dengan al-Qaida tercermin dengan adanya perubahan nama organisasi yang
dipimpin Abu Musab Al Zarqawi dari Tanzim Qaidatul Jihad fil Biladur Rafidain
menjadi al- Qaida Cabang Irak (AQI) pada tahun 2004. Dalam aktivitasnya AQI
berkembang dan membentuk Mujahidin Shura Council (MSC) pada tahun 2006
dan pada tahun itu pula Abu Musab al Zarqawi meninggal dunia di tangan AS.
Pasca meninggalnya Abu Musab al Zarqawi nama organisasi kembali di ubah
menjadi Islamic State of Iraq (ISI) dipimpin oleh Abu Umar al-Baghdadi pada
bulan Oktober 2006. Hubungan ISI dengan al Qaida menjadi kurang harmonis
ditandai dengan adanya perpecahan ideologi dimana para pemimpin al-Qaeda
khawatir dengan taktik yang dijalankan secara sembarangan dan brutal oleh ISI
yang akan berakibat kepada pengisolasian ISI dari dukungan publik di Irak. Pada
tahun 2013, Abu Umar al Baghdadi selaku pemimpin ISI mengirim Abu
Muhammad al Jaulani berserta beberapa orang milisi ke Suriah untuk membuka
front perjuangan baru di Suriah, front baru tersebut bernama an-Nusrah. Setelah
itu pada bulan April 2013, Abu Umar al Baghdadi mengumumkan bahwa telah
terjadi ekspansi ISI ke Suriah sekaligus mengumumkan pergantian nama baru
yaitu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pemimpin ISIS yang
mendeklarasikan berdirinya Khilafah Islamiyah adalah Abu Bakar al-Baghdadi
sekaligus dia mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai khalifah baru yang
terpilih. Al- Baghdadi adalah sosok terpelajar yang pernah mengenyam
pendidikan formal setingkat S-3 (doktor) lulusan Universitas Baghdad Jurusan
Peradaban Islam. Berbeda dengan latar belakang pendidikan dari Osama bin
Laden dan Ayman al Zawaihiri yang lulusan S-1 teknik dan S-1 kedokteran.
Kekuasaan ISIS membentang dari Aleppo di Suriah sampai dengan Baghdad di
Irak. Beberapa provinsi di Suriah yang berada dalam kontrol ISIS adalah Aleppo,
36

Raqqah, dan Deir es Zor, sementara di Irak ISIS menguasai provinsi Salahudin,
al-Anbar, Nineveh, dan Diyala. Luas wilayah yang dikuasai ISIS ini sama dengan
luas wilayah negara Inggris. Secara administratif pemerintahan, ISIS menguasai
dan memerintah dua kota secara penuh yaitu Raqqah dan Mosul. Kota Raqqa
berada di Suriah sementara kota Mosul ada di Irak, kedua kota ini dijadikan ibu
kota pemerintahan ISIS. Di dua kota ini berlaku administrasi pemerintahan yang
dijalankan oleh ISIS lengkap dengan institusi kehakiman, polisi, dan fasilitas
pendidikan. Secara penduduk, ada sekitar lebih dari 10 juta orang yang hidup di
bawah kekuasaan dan pemerintahan ISIS. Tujuan ISIS adalah membentuk dan
mempertahankan institusi kekhilafahan yang mereka namakan Daulah Islamiyah.
ISIS memiliki tujuan utama yang berbeda dengan Al-Qaida Pusat pimpinan
Osama bin Laden atau Ayman Al-Zawahiri, meskipun Al-Qaida cabang Irak
merupakan salah satu unsur utama ISIS. Tujuan ISIS ini sudah selangkah lebih
maju dibandingkan tujuan dari Al-Qaida karena ISIS sudah mencita-citakan
adanya institusi formal pemerintahan sementara Al-Qaida masih dalam tataran
gerakan perlawanan terhadap kezaliman barat dan sekutunya. Abu Bakar al-
Baghdadi adalah pemimpin tertinggi dari daulah Islamiyah fil Iraq wa Syam
(ISIS) dan ia mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah. Dalam menjalankan
kekhilafahan, Abu Bakar al-Baghdadi telah membentuk struktur pemerintahan
yang tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan modern saat ini. Ada
dewan penasihat, menteri dan para panglima militer yang diberi tugas dan
tanggung jawab berdasarkan wilayahnya masing-masing. Langsung di bawah
khalifah ada dua buah wakil khalifah dengan wilayah tugas yang berbeda, satu
wakil bertugas di Suriah dan satu lagi di Irak. Khalifah juga di dukung dengan
adanya staf khalifah dan menteri-menteri yang sudah tertata dengan jelas tugas
pokok dan fungsinya masingmasing berikut dengan gaji yang diberikan. Beberapa
jenis kementerian yang di bentuk yaitu: keuangan, transportasi, keamanan,
tahanan bahkan ada kementerian khusus yang mengurus kebutuhan militan asing.
37

Ada juga kantor khusus perang yang dikelola untuk mengurus logistik dan
kebutuhan teknis perang.3
Menurut Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI), ideologi ISIS
adalah Islam radikal yang menganggap Pancasila sebagai thogut (berhala) yang
harus diperangi. Pada dasarnya, ISIS berdiri di atas ideologi ekstrimis garis keras
al-Qaeda dan mematuhi prinsip-prinsip jihad global. Seperti al-Qaeda, ideologi
ISIS pada dasarnya berbasis Salafi-Jihadi yang mengikuti interpretasi anti-Barat
dan demokrasi. Namun, meskipun sejarah ideologinya dari al-Qaeda, sebenarnya
ideologi ISIS jauh lebih ekstrim dan mengerikan dari al-Qaeda (organisasi
terorisme terbesar dan paling mengerikan dunia di zamannya). 4
Yang paling berbahaya dari ISIS adalah ideologi yang mereka pegang
teguh. Mereka meyakini sebuah ideologi yang sangat ekstrem. Bagi mereka,
kelompok Islam di luar dirinya bukanlah Islam, karenanya harus diperangi,
dibunuh, dan dimusnahkan. Sebagaimana Khawarij yang membunuh Sayyidina
Ali, ISIS juga menggunakan cara-cara yang sama dalam penyebaran pahamnya. 5
Sebagaimana bisa disimpulkan dari apa yang dikemukakan sendiri secara lisan
dan tertulis oleh pemimpinnya, Abu Umar al-Baghdadi, beberapa ajaran dalam
ideologi ISIS adalah;
Pertama, takfiri. Ini adalah bentuk pandangan yang mengkafirkan
madzhab atau kelompok mana saja yang berbeda dengan dirinya. Ini sebuah
keyakinan yang dianut oleh kelompok-kelompok ekstrem yang menganggap
dirinya paling benar sementara yang diluar dirinya pasti salah. Keyakinan inilah
yang dianut oleh ISIS. Kelompok ini mengkafirkan kelompok apapun diluar
dirinya. Karena menurut mereka hanya Islam versi mereka saja yang benar. ISIS
bahkan seolah reinkarnasi dari sekte Khawarij “al-Muhakkimah”, sebab jika al-
Muhakkimah berani menuduh kafir Sayyidina Ali, ISIS juga berani menuduh kafir

3
Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, Power Negara Islam Irak dan Suriah
(Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS, (Universitas Padjajaran; Jurnal Ilmu Politik dan
Komunikasi Vol. 6 No. 1 Juni Tahun 2016), h.23-25

4
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
(Jakarta, PT. Zaytuna Ufuk Abadi, 2014), h.116-117
5
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.121
38

ulama-ulama Islam terkemuka abad ini. Bahkan, mereka berani mengeksekusi


belasan ulama besar Sunni di Mossul dan Imam Masjid Mossul hanya tak mau
ber-baiat pada Abu Bakar al-Baghdadi. 6
Kedua, anti pada nilai-nilai cinta-kasih dan rahmat sekaligus mendukung
dan menjunjung tinggi nilai-nilai kekerasan dan kekejaman. Inilah nilai-nilai yang
dianut dan diterapkan oleh ISIS. Mereka melakukan kekerasan terhadap umat
Islam dan diluar kelompoknya. Dalam ideloginya, ISIS tidak mengenal prinsip
kasih sayang maupun perdamaian. Paham yang mereka anut dalam ideologinya
adalah kekerasan dan perang.7
Ketiga, menuduh bid’ah (sesat) segala bentuk akulturasi ajaran Islam
dengan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal, serta penghormatan terhadap
berbagai peninggalan sejarah Islam. ISIS mengklaim membawa ajaran Islam yang
murni dan menuduh seluruh kelompok Islam yang diluar dirinya membawa ajaran
bid’ah. ISIS menafsirkan makna bid’ah secara serampangan. Kelompok ini
menjustifikasi aksi kekerasan yang dilakukannya dengan dalih memberantas
bid’ah yang ada di kalangan umat Islam.
Keempat, memaksakan ideologi “Negara Islam’ di bawah kekhalifahan
mereka (Khalifah Abu Bakar al-Baghdadi) untuk seluruh negara di dunia,
khususnya negara-negara Timur Tengah dan negara-negara berkomunitas Muslim
seperti Indonesia dan Malaysia. Mereka menganggap ideologi selain “Negara
Muslim” ala mereka dan kepemimpinan selain kekhalifahan Abu Bakar al-
Baghdadi sebagai ideologi dan kepemimpinan thogut (berhala). Kelima, salah
kaprah memaknai konsep jihad. Seperti dikemukakan Syaikh Hasan bin Farhan al-
Maliky (ulama moderat Arab Saudi), ISIS tenggelam dalam lautan keutamaan
jihad, sementara mereka tak memahami sedikitpun tentang prinsip-prinsip jihad
paling dasar.8

6
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.122
7
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.125
8
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
h.127-128
39

B. Keanggotaan ISIS

Sebagai organisasi terorisme global tentunya membuat gerakan ini


memerlukan anggota sebanyak-banyaknya demi untuk melancarkan misinya yakni
untuk membentuk negara Islam. Tercatat bahwa keanggotaan ISIS berasal dari
berbagai negara di belahan dunia, aksinya dalam perekrutan anggota termasuk
yang paling berhasil dibandingkan dengan gerakan-gerakan terorisme lainnya.
Kelebihan gerakan ini dengan gerakan yang lain ialah dalam pemanfaatan
fenomena globalisasi saat ini dengan cara yakni menggunakan teknologi informasi
dan komunikasi dengan cara menggunakan sosial media. Keberhasilan gerakan ini
untuk mampu mempengaruhi para warga negara asing untuk bergabung menjadi
anggotanya ialah karena gerakan ini meganut sistem perekrutan secara modern.
Seperti yang telah dijelaskan diatas yakni menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi selain itu juga terdapat cara lain yang digunakan oleh gerakan ini
untuk penyebaran ideologi dan juga perekrutan anggota.
Pola rekruitmen secara online dilakukan dengan menggunakan akun-akun
di media social untuk menyebarkan pamflet, pernyataan ajakan, dan video.
Mereka menyasar pengguna internet di mana semua orang dapat mengaksesnya
bahkan di dalam kamarnya sendiri. Selain dari segi media, teknik pendekatan pada
para calon mereka juga lebih komprehensif. Melalui komunikasi online, para
perekrut melakukan pendekatan yang sangat intensif dengan para calon. Upaya
rekruitmen yang dilakukan oleh ISIS menggunakan media online dinilai cukup
efektif. 9 Pelatihan yang dilakukan ISIS terhadap anggota baru dilakukan setelah
rekrutan baru setuju untuk bergabung ke Suriah dan Irak. Sebelum memasuki fase
latihan, dilakukan wawancara untuk mengetahui pengetahuan dasar para calon
anggota. Masing-masing perekrut diberikan waktu untuk memberikan nasihat
pada rekrutan mereka. Nasihat ini diberikan sebagai pengantar latihan dan apa
yang akan mereka alami ke depan setelah bergabung dengan ISIS. Latihan yang

9
Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, Power Negara Islam Irak dan Suriah
(Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS, h.25
40

paling dasar adalah mempelajari doktrin agama Islam. Pendidik di bidang


keagamaan terdiri dari guru dan imam. Masing-masing merupakan bagian dari
pangkat struktur militer. Para guru dibutuhkan untuk mendukung kerja imam
dalam pengajaran ulang materi ideologi keagamaan karena cakupan kerja imam
yang luas meliputi 20 masjid. Latihan teknis berikutnya meliputi latihan militer,
kemampuan teknologi informasi dan bisnis. Bentuk kaderisasi dilakukan melalu
latihan atau pendidikan sehari-sehari dalam tempat pelatihan. Setiap harinya,
anak-anak ini melakukan olahraga pagi seperti sepakbola. Setelahnya agenda
dilanjutkan dengan sarapan pagi bersama. Lalu, dilanjutkan dengan latihan
menggunakan senjata. Ditambah dengan pendidikan mengenai gerakan ISIS yang
menilai Barat sebagai setan.10

C. Sejarah dan Perkembangan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di


Indonesia

Berbicara mengenai aspek sejarah, sebagai organisasi yang bergerak


dengan menggunakan aksi teror sebagai ladasan utama gerakannya, ISIS
merupakan organisasi yang memiliki beragam dinamika baik dari internal maupun
eksternal. Dinamika tersebutlah yang menyebabkan perubahan baik dalam
struktur, komando, pemimpin, hingga penamaan organisasinya. Bila kita
menengok sejarah bisa dicatat bahwa aksi terorisme atau pengeboman pertama
kali terjadi di Cikini pada 30 November 1957. Kemudian disusul dengan
munculnya kekerasan oleh gerakan Darul Islam (DI) pimpinan Kartosoewirjo
(1950-an hingga awal 1960-an). Lalu, masa Orde Baru muncul juga serangkaian
kekerasan dan pengeboman yang dikaitkan dengan gerakan Komando Jihad,
pembajakan pesawat terbang Woyla oleh sekelompok fundamentalis jamaah
Imron bin Muhammad Zein tahun 1981 dan peledakan candi Borobudur oleh
kelompok Syiah yang dipimpin Hussein al Habsy tahun 1985. Aksi teror sporadis
dan berkala massif, juga dengan berlatar keagamaan, kembali hadir seiring dengan

10
Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, Power Negara Islam Irak dan Suriah
(Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS, h.26
41

transisi demokrasi hingga saat ini. Banyak studi yang mencoba memahami akar-
akar terorisme dan radikalisme dalam berbagai perspektif, baik dari segi ekonomi,
budaya, politik, psikologi dan keagamaan. Lantas para ahli sepakat bahwa akar
terorisme bersifat kompleks. Namun ada beberapa segi terorisme agama di
Indonesia yang membedakan dengan fenomena serupa di negara-negara Barat
maupun negara Muslim lainnya seperti Malaysia, yakni unsur kesejarahan. Akar
terorisme yang melibatkan banyak kelompok Islam berpandangan radikal di
Indonesia saat ini bisa dilacak dengan baik dengan melihat hubungannya dengan
gerakan-gerakan Islam radikal yang telah ada sebelumnya. Dalam radikalisme
Islam saat ini merupakan “turunan” dari radikalisme Islam yang diawali
sebelumnya oleh Kartosoewirjo dengan Darul Islam-nya sejak 1950-an dan
gerakan Komando Jihad atau Komji yang muncul akhir 1970-an. Hubungan ini
nyata terlihat tidak hanya dari segi kesamaan ideologi, tapi bahkan juga segi
biologis. Beberapa nama terduga teroris, baik yang ditangkap hidup-hidup atau
tertembak mati, tercatat telah memiliki sejarah panjang tersangkut paut dengan
gerakan teror keagamaan sebelumnya. Maka perlu kiranya membagi aksi teror dan
radikalisme agama pasca kemerdekaan ke dalam beberapa fase. Fenomena
radikalisme Islam di era reformasi merupakan fase ketiga yang merupakan evolusi
dua fase-fase sebelumnya. Fase pertama, telah disebut sebelumnya, ditandai
dengan munculnya gerakan DI/TII Kartosoewirjo yang kemudian diikuti oleh
Kahar Muzakkar dan Daud Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan Komando
Jihad 1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah mantan
anggota DI/TII era Kartosoewirjo. Nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba’asyir, yang kemudian dikenal luas sebagai amir Jamaah Islamiyah (JI), telah
muncul pada fase itu. Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang
terjadi saat dan pascareformasi, akhir 1990-an hingga saat ini. Fase keempat,
ditandai dengan berkembangnya kelompok-kelompok Islam radikal baru,
terutama dari kelompok muda, yang tidak atau hanya sedikit memiliki keterkaitan
dengan para tokoh generasi sebelumnya. Radikalisasi mereka lebih dipengaruhi
oleh berbagai peristiwa global. Faktor teknologi informasi dan komunikasi
modern menjadi hal penting yang berperan dalam transmisi paham atau sikap
42

radikal kelompok generasi baru ini. Abu Bakar Ba’asyir menjadi sosok yang
paling banyak disebut dan mungkin berperan paling penting dalam perkembangan
gerakan Islam radikal pasca era Kartosoewirjo. Kiprahnya dalam gerakan ekstrem
Islam telah banyak disebut sejak akhir 1970-an, bersama Abdullah Sungkar dalam
serangkaian kasus Komando Jihad. Gerakan yang kemudian disebut oleh
Pangkopkamtib Soedomo sebagai Komando Jihad itu sendiri melibatkan banyak
eksponen NII era Kartosoewirjo, antara lain; Aceng Kurnia (mantan Komandan
ajudan Kartosoewirjo) Haji Ismail Pranoto (HISPRAN), Danu Muhammad
Hassan, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani, Warman dan sebagainya.
Gerakan ini melancarkan teror di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera.
Menurut Solahudin, Ba’asyir dan Sungkar yang sebelumnya aktif di Dewan
Dakwah bergabung ke NII akhir 1970-an melalui Haji Ismail Pranoto. Pada saat
yang hampir bersamaan beberapa kelompok muda juga turut bergabung dalam
NII, antara lain: Irfan Awwas (saat ini menjadi Ketua Majelis Mujahidin
Indonesia) dan saudaranya, Fihiruddin alias Abu Jibril. Abu Jibril awal tahun
2000-an ditangkap pemerintah Malaysia karena diduga terlibat dalam kelompok
teror Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM). Saat ini ia masih aktif di MMI.
Pentingnya faktor kekerabatan atau persaudaraan dalam memjembatani
keterlibatan seseorang dalam organisasi radikal terjadi pada kasus Abu Jibril.
Anaknya yang bernama Muhammad Jibril pada akhir tahun 2000-an dihukum
penjara karena keterlibatannya dalam pendanaan gerakan terorisme di Indonesia.
Peran sentral Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dalam pengembangan jejaring
gerakan Islam radikal berlangsung melalui mobilisasi para Mujahidin sebagian
besar terdiri dari para pemuda untuk ber-jihad ke Afghanistan pada akhir 1980-an.
Mereka berangkat dari Malaysia tempat di mana Ba’asyir dan Sungkar
mengembangkan dakwahnya setelah melarikan diri dari vonis pengadilan. Dari
jejaring mujahidin inilah tunas kelompok radikal Islam baru mulai muncul dan
makin berkembang. Hingga sepulangnya dari Afghanistan, mereka yang
kemudian dikenal luas sebagai bagian Jamaah Islamiyah (JI) terlihat dalam
serangkaian aksi teror berdarah di Indonesia pascalengsernya Soeharto. Dari
berbagai laporan yang dikeluarkan oleh International Crisis Group (CGI)
43

Indonesia ditemukan data-data penting terkait dengan latar belakang para


mujahidin baru ini. Sebagian dari mereka ternyata memiliki kaitan, baik langsung
atau tidak langsung hubungan kesejarahan dengan saudara atau anggota keluarga
lain yang telah terlibat dalam perjuangan mendirikan Negara Islam, baik yang
melalui gerakan DI masa Kartosoewirjo, Komando Jihad, maupun gerakan lain
dengan ideologi dan motif yang hampir sama. Farihin, misalnya salah satu pelaku
aksi pengeboman di Kedubes Filipina 1 Agustus 2000, ternyata masih memiliki
hubungan kekerabatan dengan pelaku teror pelemparan bom di Cikini tahun
1957.11
Pemikiran dan ideologi gerakan Islam radikal dalam sejarah perjalanan
Indonesia, mulai dari gerakan Darul Islam (DI) hingga Jamaah Islamiyah (JI),
memegang teguh ketiga doktrin di atas. Dalam teks proklamasi DI, misalnya
dengan jelas disebutkan kewajiban umat untuk membentuk sebuah kekuasaan
Islam karena hanya model kekuasaan itulah yang “diridhoi” Allah. DI juga
memperkenalkan konsep hijrah, yang berisikan seruan kepada warga Republik
Indonesia RI agar berpindah ke Negara Islam bentukan Kartosoewirjo. Tindakan
pembunuhan dan serangan DI di daerah Muslim yang tidak mendukung tujuan
politiknya, juga didasarkan atas keyakinan bahwa meski mereka Muslim tetapi
dapat dihakimi sebagai kufur karena tidak mendukung jihad pendirian Negara
Islam. Pembunuhan terhadap Muslim yang bukan pendukung NII karenanya juga
dijustifikasi sebagai bagian dari Perang Sabil. Gagasan tentang jihad sendiri telah
ditulis Kartosuwirjo pada 1930, yang dilanjutkan kemudian dengan melahirkan
konsep hijrah, dari “Mekkah-Indonesia” menuju “Madinah-Indonesia”, pada
1940. Baru kemudian, seiring dengan konfrontasi yang makin keras antara
gerakan DI dan pemerintah Indonesia pada 1950-an, konsep ini ditafsirkan dan
diterapkan dalam bentuknya yang paling radikal. Konsep tentang jihad dan hijrah
ini kemudian juga dapat ditemukan dalam retorika gerakan-gerakan Islam radikal
yang muncul setelahnya, misalnya dalam diri gerakan Komando Jihad era Orde
Baru dan Jamaah Islamiyah (JI) pasca reformasi. Semakin kebelakang,

11
Muhammad Zakky Mubarak, “Dari NII ke ISIS; Transformasi Ideologi dan Gerakan
dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Jurnal
Episteme, Vol. 10 No. 1 (Juni 2015), h. 80-83
44

pemaknaan jihad dan hijrah juga semakin meluas. Apabila sebelumnya, jihad
hanya merujuk kepada perjuangan nasional melawan kolonial Belanda, dan
kemudian pada 1950-an menyasar kepada pemerintah yang mendukung komunis,
tetapi dalam beberapa tahun terakhir makna jihad menjadi lebih bersifat
internasional, mencakup perlawanan bagi siapa saja (pemerintahan) yang
dianggap telah mendukung penindasan dunia Islam oleh Amerika Serikat dan
Israel. Sejalan dengan konsep Quthb tentang masyarakat jahiliah, baik Darul
Islam maupun Jamaah Islamiyah (JI) juga memberikan penilaian keagamaan
terhadap pemerintahan Republik Indonesia, yang karena ketidaksediaanya
menjalankan syariah dengan kaffah, sebagai pemerintahan jahiliah. Bagi mereka,
apabila pemerintahan jahiliah seperti itu tidak bersedia melakukan “hijrah” secara
sukarela maka harus diperangi. Abu Bakar Ba’asyir menjelaskan secara eksplisit
beberapa poin penting menyangkut doktrin keagamaan pelaksanaan syariat Islam
dan hukum bagi mereka (pemerintah) yang tidak menjalankannya, antara lain;
Pertama, agama Islam wajib diamalkan secara murni, tidak tercampur
dengan ajaran-ajaran dan hukum-hukum buatan manusia. Kedua, agama Islam
wajib diamalkan secara bedaulat/ berpemerintahan/dengan kekuasaan, bukan
secara sendiri-sendiri atau berkelompok. Praga Adhitama menegaskan bahwa
dengan dasar wajibnya syariah dijalankan secara kaffah, Ba’asyir kemudian
menjatuhkan vonis musyrik kepada mereka yang masuk kategori sesorang atau
kelompok yang membuat undang-undang atau hukum tanpa merujuk kepada al-
Qur’an dan hadis dan siapa pun yang membenarkan dan menaati undang-undang
atau hukum buatan manusia yang tidak merujuk kepada hukum Allah. Dengan
merujuk kepada pendapat Syaikh Abdullah Azzam, kafir juga berlaku bagi
presiden, para sarjana atau kaum intelektual, Dewan Perwakilan Rakyat, serta
masyarakat, yang telah membuat dan melaksanakan undang-undang yang tidak
berdasarkan syariat dari Allah. Bagi Ba’asyir, “Barang siapa yang
menandatangani pelaksanaan undang-undang itu yang idak bersumber dari Allah
maka ia telah menjadi kafir, keluar dari Islam dan golongan kaum Muslimin”.
Meski Indonesia telah mengadopsi beberapa unsur syariat dalam hukum nasional,
bahkan telah memberikan legalitas bagi Provinsi Aceh untuk menerapkan syariat
45

Islam. Bagi Ba’asyir pemerintah Indonesia tetap saja pemerintahan kafir sebab
syariah tidak diberlakukan secara menyeluruh. Ia menegaskan: “Meski pemerintah
melaksanakan sebagian hukum Islam, bahkan menjadikan agama Islam sebagai
agama negara, kalau ia (pemerintah) sengaja pelaksanaan hukum Allah secara
kaffah, dan menolak menjadikan Qur’an dan sunnah sebagai satu-satunya sumber
hukum maka pemerintahan semacam ini masuk dalam golongan thoghut.”12
Dalam risalah yang dibuat di LP Nusakambangan, Ba’asyir mengatakan bahwa
para pejabat pemerintah yang mengelola tidak berdasarkan Islam kaffah maka
tauhidnya dinyatakan batal dan menjadi kafir. 13 Hukuman kafir dan dholim juga
dijatuhkan bagi pemerintahan Indonesia karena menjalin kerjasama dengan
musuh-musuh Islam, seperti Amerika Serikat dan Australia, untuk memerangi
kaum Mujahidin. 14
Gagasan tentang jihad dan takfir seperti di atas juga terlihat betul dalam
keyakinan Imam Samudra sehingga menginspirasi untuk melakukan pengeboman
di Bali 12 Oktober 2002. Menurut Imam Samudra, jihad yang berarti perang
melawan kaum kafir wajib dilakukan kapan saja dan di mana saja hingga
terlaksananya hukum Allah secara sempurna. Jihad ini juga berlaku untuk
memerangi kaum yang disebut sebagai bughot atau mereka, meskipun Muslim,
tetapi menolak Negara Islam. 15 Pemahaman yang radikal tentang jihad hingga
dengan tegaknya hukum Allah di muka bumi juga dapat ditemukan dalam
berbagai testimoni para pelaku aksi bom bunuh diri. Di mata mereka, siapa pun
orang nya yang menolak tegaknya hukum Allah secara kaffah dianggap sebagai
bagian kaum kuffar Salibis-Zionis yang harus diperangi.

12
Muhammad Zakky Mubarak, Dari NII ke ISIS; Transformasi Ideologi dan Gerakan
dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer, h.88-90
13
Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkiroh: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk Para
Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia yang Berpenduduk Matoritas Kaum Muslimin,
(Jakarta: JAT, 2013), h.15
14
Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkiroh: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk Para
Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia yang Berpenduduk Matoritas Kaum Muslimin, h.21
15
Imam Samudera, Aku Melawan Teroris, (Solo; Aljazeera, 2004), h.25
46

Fenomena ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) di Indonesia menjadi


salah satu perkembangan penting yang menandai semakin menguatnya faktor
global dalam memberikan pengaruh pada dinamika gerakan Islam di tanah air.
Relasi global (dunia Islam) nasional ini bisa dilihat semenjak revolusi Iran 1979,
kemudian perang Afghanistan 1980 hingga 1990-an, perang di Chechnya, serta
yang belakangan konflik dan perang di Irak, Syiria dan beberapa wilayah lain di
Timur Tengah. BNPT mencatat ada sejumlah orang Indonesia terlibat dalam
perang di Syiria tersebut yang kurang lebih berkisar antara 30-50 orang. Di
antaranya langsung berangkat dari Indonesia dan sebagian lain adalah para pelajar
yang ada di Sudan, Yaman dan Mesir. Sekurangnya 2 orang dilaporkan
meninggal, satu bernama Reza Fardi alias Abu Muhammahad al Indunisy (alumni
Pondok Al Islam Ngruki) dan satu yang terakhir Wildan Mukhollad alias Abu
Bakar al Muhajir setelah melakukan aksi bom bunuh diri (istismata) di Irak
sebagai martir ISIS, sebuah gerakan radikal baru pecahan dari al Qaidah. 16
ISIS terbentuk pada 3 Januari 2014 dan mendeklarasikan ke-khalifah-an
pada 29 Juni 2014. Ideologi ISIS dicirikan sebagai Salafy Jihadi, Wahhabism, ke-
khalifah-an, serta sikap anti Syiah yang kuat. Saat ini sebagai khalifah bentukan
ISIS adalah Abu Bakr al-Baghdadi. Tidak mau kalah dengan ISIS, faksi al Qaidah
Jabath Nusroh beberapa waktu kemudian mengumumkan kekuasaan “Emirat
Islam” di wilayah yang mereka kuasai. Pun demikian, gerakan Boko Haram di
Somalia pada Agustus 2014 juga mendeklarasikan ke-khalifah-an Islam dengan
pimpinan mereka sebagai khalifah-nya.
Di Indonesia sendiri, beberapa kelompok Islam garis keras cukup antusias
memberikan dukungan kepada ISIS dan ke khilafah-an yang mereka bentuk. Pada
Februari, sejumlah kelompok Islam yang berjumlah ratusan yang menamakan diri
sebagai Forum Aktivis Syariat Islam (FAKSI) menyatakan baiatnya kepada amir
ISIS.17 Salah atu bunyi bai’at yang dibacakan ustaz Abu Sholih at-Tamorowi

16
https://nasional.tempo.co/read/598878/gabung-isis-teroris-bom-bali-ini-tewas diakses
pada 29 Oktober 2020 Pukul 08.33 WIB
17
https://liputanislam.com/fokus/lagi-baiat-untuk-isis-dari-indonesia/ diakses Pada 29
Oktober 2020 Pukul 08.38 WIB
47

adalah, “Demi Allah sungguh kami dan seluruh kaum Muslimin berbahagia
dengan Daulah Islam Iraq dan Syam (ISIS) yang insya Allah akan menjadi cikal
bakal Khilafah Islamiyah Ala Minhajin Nibuwwah.”
Setelah ISIS mendeklarasikan khilafah Islamiyah pada 29 Juni 2014 maka
seminggu kemudian ratusan orang dengan bendera FAKSI tangal 6 Juli 2014
menyatakan baiatnya kepada ke-khilafah-an ISIS. Sebagian besar peserta berasal
dari beberapa daerah di Jawa Barat, Banten, Lampung dan Riau. Dalam baiat yang
dipimpin Abu Zakariyya mereka menyatakan: Saya berbaiat kepada amirul
mukminin Abu Bakar al-Baghdadi al Quraysi untuk mendengar dan taat kepada
kondisi susah dan mudah. Pada konsisi diam dan malas. Dan walaupun hak kami
ditelantarkan. Serta saya, tidak akan merampas kekuasaan dari pemiliknya
kecuali saya melihat kekafiran yang nyata, yang saya memiliki dalil yang nyata di
dalamnya dari Allah. Allahu Akbar. Dalam waktu yang tidak berapa lama,
sejumlah ormas Islam di Solo, Jakarta, Bekasi, dan Bima juga menyatakan
baiatnya secara demonstratif. Di Bekasi, deklarasi dilakukan oleh perkumpulan
yang menamakan diri Kongres Umat Islam. Sebenarnya bila dilihat dari aspek
ideologi, adanya dukungan yang cukup massif ini bukanlah hal yang
mengejutkan. Sebab, sejumlah ormas atau kelompok Islam Indonesia yang
memberi dukungan dan baiatnya kepada ISIS memiliki akar ideologis yang tidak
begitu beda, yakni pembentukan ke-khilafah-an Islam. Beberapa aktivis yang
berperan penting dalam aksi dukungan itu berasal dari organisasi Jamaah
Anshorut Tauhid (JAT), Salafi Jihadi Aman Abdurrahman dan beberapa
kelompok kecil yang lain. Beberapa faksi dalam JAT yang lain, menyatakan
menolak memberikan dukungan kepada kekhilafahan ISIS yang menyebabkan
perpecahan dalam organisasi sempalan Majelis Mujahisin Indonesia (MMI). Abu
Bakar Baasyir dari LP Nusakambangan dilaporkan juga memberikan baiatnya
kepada ke-khilafah-an Islamiyah bentukan ISIS. Belakangan pimpinan Gerakan
Reformis Islam (Garis) Cianjur, menyatakan diri sebagai Presiden ISIS Indonesia.
Namun begitu, tidak semua gerakan Islam garis keras memberikan dukungan.
Hizbut Tahrir (HT), misalnya meski sama-sama berjuang bagi pembentukan
khilafah Islam, tetapi menolak mengakui deklarasi khilafah Islam al-Baghdadi. Di
48

Indonesia, HTI mengampanyekan bahwa ISIS adalah organisasi besutan Amerika


Serikat dan Israel untuk menghancurkan gerakan Islam. Beberapa aktivis JAT
juga menyatakan penolakan dengan memisahkan diri dan membentuk organisasi
baru bernama Jamaah Anshorus Syariah (JAS) yang dipimpin oleh Syawal Yasin,
menantu Abdullah Sungkar (alm). Penolakan untuk mengakui khilafah ISIS juga
dikemukakan pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Tampak jelas bahwa
meskipun pada awalnya demonstrasi dukungan untuk ISIS cukup massif, tetapi
tidak cukup menggambarkan adanya dukungan yang benar-benar kuat dari
mayoritas kelompok-kelompok militan di tanah air. Ekspose media yang sangat
gencar telah menjadikan seolah-olah raksasa ISIS sedang terbangun di negeri ini,
padahal kenyataannya mereka yang mendukung tak lebih dari ranting kecil
gerakan radikal Islam. Meski, secara nominal tidak banyak bukan berarti tidak
membawa ancaman yang serius. Sebab bila beberapa orang mujahidin al- Indunisi
pendukung ISIS ini kembali ke tanah air bukan tidak mungkin efek radikalisasi
dan terorisme yang jauh lebih dahsyat bakal terjadi.18

D. Faktor Warga Negara Indonesia bergabung dengan ISIS


Sekolah-sekolah tradisional Islam (pesantren) yang jauh dari kontak, kerja
sama pengawasan atau pembinaan institusi pendidikan pemerintah amat rawan
sebagai basis pendidikan Islam yang konservatif, tertutup, sektarian, radikal, dan
pro-kekerasan yang menjadi sumber perekrutan atau penyedia pengikut atau
aktivis militan Islam dalam berbagai bentuk organisasi pendukung dan pelaksana
aksi-aksi terorisme di dalam dan luar negeri, termasuk ISIS/IS. Seperti dalam
organisasi Jamaah Islamiyah, dalam ISIS/IS pun ditemukan, para pengikut yang
merupakan alumni pesantren seperti Al-Mukmin Ngruki dan Darusyahadah atau
Al Amanah Boyolali di Provinsi Jawa Tengah, dan Al Islam di Lamongan
Provinsi Jawa Timur. Tokoh seperti Santoso yang menjadi pemimpin MIT, paling
sedikit pernah berinteraksi dengan ulama asal sekolah-sekolah tradisional Islam
semacam itu, seperti Siswanto dan Zaenal Arifin yang telah menyerang Markas

18
Muhammad Zakky Mubarak, Dari NII ke ISIS; Transformasi Ideologi dan Gerakan
dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer, h.92-94
49

Polisi di Poso. Ketua BNPT, Saud Usman Nasution mengungkapkan terdapat 19


pondok pesantren (ponpes) yang (pengajaran atau kegiatannya) mengarah ke
radikalisme. Namun di luar itu, para pelaku aksi-aksi terorisme di Indonesia yang
pro-JI, Al-Qaeda atau ISIS/IS juga ada yang pernah mengecap pendidikan di
lembaga pendidikan modern Islam, seperti UIN dan LIPIA yang menerima dana
hibah pendidikan dari Arab Saudi19 ber-latar belakang wahabi. Hubungan yang
tercipta dan interaksi sosial dalam media sosial membuat mereka kemudian
terkoneksi dalam jaringan organisasi seperti Al-Qaeda, JI, dan ISIS/IS.
Upaya mencari pengikut baru dalam ISIS/IS tidak banyak berbeda dengan
yang dilakukan dalam Al-Qaeda dan JI, dengan sasaran ke berbagai lapisan dan
kelas sosial masyarakat. Sasaran yang amat rapuh dan mudah di pengaruhi adalah
dari kalangan yang tidak terdidik dan memiliki latar belakang ekonomi yang
buruk, hidup dalam kondisi miskin dan tanpa pekerjaan (tetap). Terhadap lapisan
masyarakat dari kalangan ini, perekrutan dilakukan dengan penyaluran bantuan
kemanusiaan untuk pemenuhan kebutuhan bahan pokok hidup sehari-hari.
Selanjutnya, ditawarkan kegiatan ibadah umroh gratis dengan lanjutan kegiatan
wisata ke kota-kota suci Islam di sekitarnya melalui agen perjalanan. Iming-iming
gaji dan pemenuhan kebutuhan pokok lain secara teratur kemudian disampaikan
kepada calon yang akan di rekrut. Untuk kalangan bawah yang tanpa pekerjaan
ataupun dengan pekerjaan tidak tetap dan penghasilan sangat kecil, gaji sebesar
US$ 300-400 memberi daya tarik bagi yang besar. Kasus bergabungnya Ahmad
Junaedi alias Abu Salman, pedagang bakso yang sempat bergabung dengan
ISIS/IS di Suriah adalah salah satu contohnya.
Hal yang sama tampak dalam kasus perekrutan Jang Johana seorang warga
Padalarang Kabupaten Bandung Barat yang di deportasi dari Turki, karena hendak
menyebrang ke Suriah bergabung dengan ISIS/IS. Semula ia mengatakan kepada
keluarganya mau bekerja sebagai pedagang atau buruh bangunan di Malaysia,

19
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, (Jakarta; Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2017), h.47
50

setelah sejak April 2016 menganggur dan lebih banyak tinggal di rumah. Lelaki
berusia 25 tahun sebelumnya pernah bekerja di Karawang. 20
Selain tawaran pekerjaan, tawaran umroh gratis juga memberi daya tarik
bagi mereka yang ingin beribadah, namun memiliki kemampuan ekonomi yang
tidak mendukung. Laporan Imigrasi Kota Depok, yang menolak 929 permohonan
paspor selama 2016 dengan alasan beragam ke negara-negara Timur-Tengah,
sangat diwarnai kekhawatiran akan bergabungnya para calon pemohon paspor
tersebut dengan kelompok radikal ISIS/IS di Suriah, melalui perjalanan luar
negeri secara tidak langsung. Mereka yang akan berangkat ke suriah
menggunakan modus operandi ini kedapatan oleh aparat imigrasi sulit
memberikan keterangan yang jelas tentang tujuan perjalanan mereka, terutama
dalam wawancara. Ada juga yang beralasan hendak menemui saudara mereka,
sementara latar belakang ekonomi tidak mendukung dan pekerjaan mereka tidak
jelas. Dari 929 permohonan paspor warga Depok yang ditolak itu, sebanyak 829
telah ditolak secara otomatis melalui sistem komputer di Kantor Imigrasi Depok,
karena terdapat dupilkasi data sedangkan sisanya 110 permohonan paspor ditolak
dalam proses wawancara. Upaya perekrutan ke dalam, dengan mencari pengikut
dari kalangan keluarga dan teman-teman satu pekerjaan, tetangga dekat, dan
pengajian adalah salah satu bentuk modus perekrutan yang sederhana. 21
Wilayah-wilayah di Indonesia dengan latar belakang kemiskinan, budaya
yang konservatif, sektarianisme, separatisme, dan terisolasi karena kondisi
geografisnya yang memiliki pegunungan dan hutan lebat, rawan dijadikan basis
perekrutan, pelatihan dan aktivitas terorisme. Palu, Poso, dan Bima serta wilayah-
wilayah di Aceh menjadi pilihan para tokoh teroris, karena penduduknya memiliki
ideologi ata konservatisme agama yang sama. Di wilayah-wilayah itu selama ini
mudah mencari simpatisan, pendukung, dan pengikut baru. 22

20
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.48
21
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.49
22
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.50
51

Dengan kata lain, kondisi yang berkembang belakangan ini di beberapa


wilayah Indonesia yang disebutkan di atas mudah dimanfaatkan oleh para
inspirator, tokoh atau aktor utama gerakan terorisme untuk melakukan propaganda
serta mencari pengikut dan pendukung bagi gerakan atau aktivitas mereka. Akibat
datangnya para pelaku terorisme lama asal Jawa untuk menanamkan pengaruh
mereka, wilayah-wilayah itu berkembang kembali sebagai tempat kegiatan dan
sekaligus persembunyian yang ideal bagi para pengikut atau aktivis ISIS/IS,
termasuk yang datang dari mancanegara (Asia Tengah, Malaysia, Pakistan dan
lain-lain terutama Timur Tengah). Sementara Jawa Barat, Tangerang, Jawa Timur,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara adalah Provinsi-
provinsi di Indonesia yang selama ini menjadi sumber perekrutan atau pensuplai
para pengikut baru ISIS/IS, yang berangkat berjihad ke Suriah. Kemudian,
lantong-kantong kemiskinan di berbagai Kota dan Kabupaten seperti Tangerang,
Tangerang Selatan, Bekasi, Depok, Ciamis, Bandung, Solo, Yogyakarta,
Situbondo, Banyuwangi, Lamongan, Makassar, dan Poso menjadi pusat kegiatan
dan penyuplai gerakan. Selain terkait dengan pertumbuhan penduduk yang pesat
kemiskinan, Provinsi Jawa Barat telah dijadikan basis perekrutan ISIS/IS dan
sekaligus mandala perang mereka, karena ada kaitannya dengan sejarah masa lalu
wilayah Provinsi itu merupakan basis kampanye/perjuangan DI/TII di bawah
pimpinan Kartusowiryo. Untuk calon pengikut dari lapisan menengah ke atas,
perekrutan dilakukan dengan modus pendekatan secara pribadi dan melalui
kelompok-kelompok sosial, terutama pengajian dan propaganda mendia sosial,
misalnya lewat situs Al-Mustaqbal.net dan Arrahmah.com demi memenuhi
panggilan jihad sebagai fardhu’ain, untuk hidup di bawah naungan khilafah.
Propaganda Daulah Khilafah Nubuwwah yang di siarkan melalui media sosial,
dalam kenyataannya dapat menarik pengikut ISIS/IS dari kalangan menengah ke
atas, termasuk kaum intelektual dengan pekerjaan yang sudah mapan. Data
Intelijen mengungkap, paling sedikit terdapat 11 situs radikal media propaganda
kelompok pro ISIS/IS telah di blokir. Kalangan menengah ke atas yang berhasil di
rekrut adalah juga dari kalangan birokrasi atau kantor-kantor pemerintah. 23

23
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.52-53
52

Kombinasi kemampuan ekonomi dan idealisme mencari nubuwwah


memberi daya tarik yang besar bagi mereka. Ini termasuk bagi mereka yang hidup
rasional dengan ekonomi pekerjaan dan kehidupan ekonomi mapan di negara
maju untuk mau bergabung mewujudkan Daulah Khilafah menjadi jihadists di
Suriah dan belakangan di negaranya masing-masing mengikuti perubahan strategi
perjuangan pemimpin ISIS/IS di Suriah. 24
Di akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017, perkembangan menunjukkan
terdapatnya kecenderungan peningkatan pengiriman Warga Negara Indonesia
(WNI) yang baru direkrut di Indonesia untuk memperkuat ISIS di Suriah. Dengan
doktrin jihad, para Warga Negara Indonesia (WNI) direkrut ISIS/IS untuk
berangkat ke Suriah dengan janji memperoleh pekerjaan seperti juru masak,
tenaga bagian kesehatan, ataupun menjadi kombatan dengan upah besar. Bahkan
ada yang tidak mengetahui kalau mereka akan dipekerjakan sebagai kombatan
untuk bertempur di Suriah, kecuali untuk ditawarkan bekerja di negara dengan
Khilafah Islamiyah. 25

24
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.54-55
25
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.63
53

BAB IV
STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI EKS ANGGOTA ISIS (ISLAMIC
STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF SIYASAH DAULIYAH
A. Definisi Siyasah Dauliyah
Fiqh siyasah dauliyah merupakan dalam lingkup kajian Ketatanegaraan islam,
yang mana merupakan kajian akademik mengenai kekuasaan dan keteraturan
masyarakat dalam perspektif agama islam yang mencakup hukum, dogma, tradisi,
sejarah dan pemikiran tokoh. Termasuk juga di dalam ketatanegaraan islam
mengenai perang untuk menjaga kedaulatan wilayah. Istilah perang banyak yang
menyamakannya dengan seruan jihad.1
Sebelum Islam datang kedamaian antar bangsa sudah menjadi cita-cita di
dunia. Untuk mewujudkan keinginan tersebut yang menjadi faktornya adalah
perjanjian antar negara dan adat kebiasaan. Dua hal tersebut mempunyai pengaruh
yang besar terhadap hubungan perdamaiaan pada saat itu. Meskipun hakikatnya
hubungan yang terjadi antar negara adalah peperangan. Yang selalu ada diberikan
tuntutan untuk senantiasa mempersiapkan diri untuk berperang, baik dalam hal
memberikan serangan senjata ataupun membuat benteng perlindungan untuk
melindungi dari serangan musuh. Pada abad ke III sebelum masehi perjanjian
Fir’aun dengan raja asia kecil ini menurut Ameer bahwa perjanjian yang
dilakukan oleh Fir’aun merupakan perjanjian tertua diantara dua negara yakni
berisi penghentian peperangan dan perjanjian ektradisi bagi warga yang lari dari
daerah asalnya. 2
Adapun kata “dauliyah” secara etimologi berasal dari kata daala-yaduulu-
daulah (Negara, kerjaan, dan kekuasaan) memiliki ragam makna, di antaranya
hubungan antarnegara, kedaulatan, kekuasaan, dan kewenangan. Dari ragam
makna kata dauliyah, makna yang relevan dengan kajian ilmu hubungan
internasional dalam Islam adalah hubungan antar negara. Dengan demikian dapat

1
Juhaya S Praja, Pemikiran Ketatanegaraan Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2010), h.13.
2
Muhammad Ramadhan, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam Dalam Fiqh Siyasah, (Jawa
Tengah; PT. Nasya Expanding Management, 2019), h.238
54

disimpulkan bahwa dauliyah mengandung arti daulat. Sedangkan siyasah dauliyah


berarti sebagai kekuasaan kepala Negara untuk mengatur hubungan Negara dalam
hal hubungan internasional, masalah territorial, nasionalitas, ekstradisi,
persaingan, tawanan politik, pengusiran warga negara asing, selain itu juga
mengurusi kaum dzimmi, perbedaan agama, akad timbale balik dengan kaum
dzimmi, hudud dan qisash. Yang pada intinya mengatur segala aspek terkait
dengan politik hukum internasional.
Secara garis besar menurut Muhammad Iqbal siyasah dauliyah terbagi
menjadi dua bagian, bagian pertama yaitu (al-siyasah al-duali al khasash) atau
disebut juga hukum perdata internasional yang mengatur dalam aspek keperdataan
tentang hubungan antara warga Negara yang Muslim dengan warga Negara non-
Muslim. Bagian yang kedua yaitu (al-siyasah al duali al-amm) atau disebut juga
hubungan internasional yang mengatur politik kebijaksanaan Negara Islam dalam
masa damai dan perang. Hubungan dalam masa damai menyangkut tentang
kebijaksanaan Negara mengangkat duta dan konsul, hak-hak istimewa mereka,
tugas dan kewajiban-kewajibannya. Sedangkan dalam masa perang menyangkut
antara lain tentang dasar-dasar diizinkannya berperang, pengumuman perang,
etika berperang, tawanan perang, dan gencatan senjata. 3

B. Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic State Of Iraq


And Syria) asal Indonesia berdasarkan UU No 12 Tahun 2006
Penghilangan hak kewarganegaraan oleh suatu Negara merupakan tindakan
yang tidak serta merta dilakukan begitu saja, prinsip perlindungan HAM menjadi
hal yang sangat fundamental dalam mengambil keputusan tersebut. Karena HAM
memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan nilai-nilai kemanusiaan
(humanistis), maka penghilangan kewarganegaraan yang berorientasi pada
perlindungan HAM dapat dipahami sebagai tindakan pada ide individualisasi

3
Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah) Cet Ke-1 (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), h. 15
55

pidana. Serta dianutnya asas culpabilitas menjadi suatu konsep bahwa tidaklah
manusiawi jika penjatuhan pidana diberikan terhadap orang yang tidak bersalah. 4
Pengaturan mengenai penghilangan hak kewarganegaraan terdapat dalam
Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Disebutkan
dalam pasal 23 bahwa warga negara Indonesia akan kehilangan
kewarganegaraannya atas beberapa hal mulai dari (orang) yang bersangkutan
memperoleh kewarganegaraan lain, masuk dinas tentara asing, bersumpah setia
terhadap negara asing, ikut serta pemilu negara asing, dan beberapa hal lainnya
yang disebutkan dalam BAB IV undang-undang tersebut. Memang tidak ada
pembahasan dalam pasal tersebut yang menyatakan bahwa seseorang akan
kehilangan kewarganegaraannya sebagai WNI karena telah membakar paspor atau
bergabung dengan kelompok terorisme tersebut. Namun, perlu kita pahami bahwa
ISIS adalah upaya untuk mendirikan negara/pemerintahan di wilayah suatu negara
dengan cara melakukan teror dan memberontak memposisikan status hukum ISIS
sebagai belligerent. Hal ini menjadikan ISIS sebagai suatu subjek hukum
internasional sebagai belligerent, bukan suatu negara yang kedaulatannya diakui
dan melakukan diplomasi dengan negara lain. Meskipun disatu sisi perlu adanya
pengakuan dari negara terkait yakni Irak dan Suriah dan memperlakukannya
sebagai tawanan perang, bukan penjahat.5
Presiden Jokowi secara pribadi menolak dan tidak akan memulangkan
kembali para WNI yang terlibat ISIS, lain halnya jika keputusan musyawarah para
pimpinan negara berbeda dan menyetujui pemulangan tersebut. Mengenai
mekanisme penghilangan kewarganegaaan tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 2 tahun 2007 tentang tata cara memperoleh, kehilangan,
pembatalan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan republik indonesia.
disebutkan dalam Pasal 32, ada garis koordinasi masing masing. WNI yang
diduga memenuhi salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 31 dan diketahui

4
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 56-58
5
Miftahus Sholehudin, ISIS, Pemberontak, dan Teroris dalam Hukum Internasional,
(Malang: Universitas Negeri Malang, 2018), h. 6.
56

oleh pimpinan instansi tingkat pusat, makan berkoordinasi dengan menteri, jika
yang mengetahui pimpinan tingkat daerah, maka melaporkannya ke pejabat, dan
jika yang mengetahui masyarakati sipil (yang bertempat tinggal diluar wilayah
Indonesia), maka melaporkannya kepada perwakilan (kedutaan) Indonesia di
negara tersebut.
Hasil koordinasi dan laporan tersebut akan di cek kembali kebenarannya oleh
menteri, dan mengklarifikasi langsung kepada pelapor, terlapor, dan instansi
terkait. jika hasil klarifikasi sesuai dengan isi laporan dan isi BAB IV undang-
undang nomor 12 tahun 2006, maka Menteri akan menetapkan (ketetapan
menteri) tentang nama-nama orang yang kehilangan kewarganegaraanya tersebut
dan tembusannya disampaikan kepada presiden, pejabat yang wilayah kerjanya
mencakup tempat tinggal yang bersangkutan (asal/tempat tinggalnya di
Indonesia), perwakilan (kedutaan) Indonesia di negara yang menjadi tempat
tinggal yang bersangkutan, dan instansi terkait (pasal 34). Selanjutnya menteri
akan mengumumkan nama-nama orang yang kehilangan kewarganegaraannya
dalam berita negara Republik Indonesia (pasal 39).
Faktor yang menyebabkan mengapa warga negara Indonesia dapat dengan
lolos pada bagian keimigrasian dan dapat bergabung dengan ISIS adalah karena
adanya indikasi kecurangan oleh pelaku pada saat mengurus perolehan dokumen
keimigrasian serta kelalaian oleh pihak imigrasi sehingga mereka dengan mudah
dapat berangkat ke Turki. Selanjutnya mengenai penghilangan hak
kewarganegaraan, bahwa sesuai dengan isi dari BAB IV Undang-Undang nomor
12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, tidak ada satu alasan yang
menyebabkan para WNI yang bergabung dengan ISIS tersebut akan kehilangan
kewarganegaraannya. Meskipun sudah bersumpah setia kepada ISIS dan
membakar paspornya (paspor negara republik indonesia), itu tidak menjadikannya
kehilangan hak kewarganegaraan sebagai WNI, mengingat posisi ISIS disini
hanya sebagai belligerent, bukan suatu negara yang kedaulatannya diakui oleh
sehingga diperbolehkan melaksanakan diplomasi dengan negara lain. 6

6
Samsul Arifin, Penghilangan Hak Kewarganegraan bagi Eks ISIS, (Surabaya: Universitas
Surabaya Press, 2020), h. 74
57

Mengenai mekanisme kehilangan kewarganegaraan telah dalam Undang-


Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan diperjelas dalam
peraturan pemerintah (PP) nomor 2 tahun 2007 tentang tata cara memperoleh,
kehilangan, pembatalan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik
Indonesia. hambatan mengenai klarifikasi status kewarganegaraan eks ISIS ini
dibilang cukup besar, karena tidaklah mudah bagi menteri atau diplomat untuk
bertemu langsung ataupun menghubungi melalui telepon dengan warga negara
Indonesia eks ISIS ini, mengingat ancaman keselamatan pada saat berkunjung
untuk melakukan klarifikasi dan batasan akses terhadap telepon dan internet yang
dilaukan oleh ISIS, karena sampai pada saat tulisan ini dibuat suriah masih dalam
kondisi yang tidak aman pasca berita atas kematian pemimpin ISIS. Meskipun
posisi WNI sudah dalam camp pengungsian, hal ini tetap akan menjadi
kekhawatiran kedepannya jika terjadi hal serupa. maka perlu adanya
penyederhanaan tata-cara klarifikasi tersebut, bisa saja pembuktian kebenaran atas
laporan itu cukup diklarifikasi kepada pelapor dan perwakilan (kedutaan)
Indonesia di Suriah.

C. Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic State Of Iraq


And Syria) asal Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah
Sebelumnya, penulis ingin menjelaskan tujuan dari ISIS adalah untuk
menyatakan keinginannya membentuk negara. Hal ini di implemantasikan dengan
usaha-usaha ISIS untuk membentuk pemerintahaan dengan membetuk struktur
pemerintahan, upaya untuk melakukan kegiatan pemerintahan seperti
pemberlakuaan dan penerapan hukum, pemungutan pajak, dsb. Penguasaan atas
wilayah dan upaya untuk mempertahankannya juga ditunjukan oleh ISIS.
Menyatakan ISIS sebagai calon Negara baru adalah hal yang memungkinkan, jika
merujuk pada syarat pendirian negara berdasarkan Konvensi Montevideo ISIS
sudah memenuhi 3 syarat dari 4 syarat yang tercantum, wilayah, penduduk, dan
pemerintahan sudah dimiliki oleh ISIS. Upaya yang dilakukan oleh ISIS dalam
tujuan pendirian negara hanya terganjal pada syarat ke-empat yaitu capacity to
58

enter into relations with the other states atau dapat dikatakan adanya pengakuan
dari negara lain terkait berdirinya Islamic State (IS).7
Di satu sisi, perspektif siyasah dauliyah merupakan sebagai kekuasaan kepala
Negara untuk mengatur hubungan Negara dalam hal hubungan internasional,
masalah territorial, nasionalitas, ekstradisi, persaingan, tawanan politik,
pengusiran warga negara asing, selain itu juga mengurusi kaum dzimmi,
perbedaan agama, akad timbale balik dengan kaum dzimmi, hudud dan qisash
yang pada intinya mengatur segala aspek terkait dengan politik hukum
internasional. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan perspektif siyasah dauliyyah,
maka perspektif yang diambil merupakan pendapat Presiden Jokowi sebagai
kepala negara Indonesia. Mengutip dari pendapat Presiden Jokowi yang
mengatakan
“Kalau bertanya kepada saya, saya akan bilang tidak (memulangkan WNI eks
ISIS ke Indonesia). Tapi, masih dirataskan," Jokowi juga mengatakan bahwa
pemerintah akan mengalkulasi dampak baik maupun buruk akibat pemulangan
eks WNI tersebut. Adapun, alasan Presiden Jokowi tidak akan memulangkan eks
ISIS Indonesia ke tanah air adalah karena alasan keaman bangsa dan negara. Hal
yang ditakutkan adalah jika eks ISIS dipulangkan kembali ke tanah air, maka
dikhawatirkan mereka akan menyebarkan paham radikal dan memprovokasi
masyarakat. Senada dengan Presiden Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menyatakan ketidaksetujuannya dengan
pemulangan eks ISIS ke Indonesia dan statusnya yang tetap menjadi Warga
Negara Indonesia (WNI).
Memang banyak pro-kontra yang terjadi di kalangan pemerintahan. Di satu
sisi, komnas HAM Indonesia mendesak pemerintah untuk memberi kesempatan
bagi para eks ISIS ini untuk kembali ke tanah air dan tidak kehilangan
kewarganegaraannya, mengingat banyak dari mereka merupakan perempuan dan
anak-anak. Terlebih, dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, tidak dijelaskan
secara nyata bahwa kehilangan kewarganegaraan karena membakar paspor dan

7
M. Dzar Azhari, Status Hukum ISIS dalam Hukum Internasional, (Yogyakarta: UII
Press, 2018), h. 36.
59

ISIS telah diakui secara hukum internasional merupakan organisasi teroris,


bukanlah sebuah negara.

D. Analisis Status Eks Anggota ISIS asal Indonesia dalam Perspektif UU No


12 Tahun 2006 dan Siyasah Dauliyah
Memang sudah jelas tertulis dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan bahwa Warga Negara Indonesia kehilangan
kewarganegaraannya jika yang bersangkutan: huruf e : “Secara sukarela masuk
dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dapat dijabat oleh
Warga Negara Indonesia” huruf f : “Secara sukarela mengangkat sumpah atau
menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut”
Berdasarkan ketentuan Pasal diatas hal-hal yang dapat mengakibatkan seseorang
kehilangan kewarganegaraannya secara garis besar berhubungan dengan apa yang
dilakukan orang tersebut yang ada kaitannya dengan negara lain.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa, status kewarganegaraan eks ISIS
harusnya dinalisis lebih mendalam, mengingat ISIS bukanlah sebuah negara
melainkan organisasi teroris. Penulis berpendapat, secara harfiah memang anggota
eks ISIS warga negara Indonesia tidak bisa kehilangan kewarganegraannya karena
mengikuti organisasi teroris, terlebih mereka yang dipermasalahkan ini adalah eks
ISIS yang notabennya sudah tidak mau lagi terlibat dengan ISIS dalam bentuk
apapun. Kesimpulannya, mereka menyadari bahwa apa yang mereka lakukan
adalah sebuah kesalahan dan ingin kembali menjadi Warga Negara Indonesia
seperti dahulu.
Lebih lanjut, menjadikan warga negaranya stateless dirasa amat kejam
terlebih eks ISIS ini mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Jika memang
dikhawatirkan membawa dampak buruk bagi negara dan negara belum siap untuk
menerima mereka kembali dengan pertimbangan salah satunya adalah anggaran,
setidaknya status kewarganegaraan mereka tidak digantungkan dan direnggut.
Di satu sisi, dalam perspektif siyasah dauliyah, memang pemerintah memiliki
hak untuk menentukan apakah menerima mereka kembali atau tidak. Seperti yang
60

sudah dijelaskan sebelumnya, namun pemerintah enggan menerima mereka


kembali dan membiarkannya menjadi stateless. Memang, pernyataan yang
dikeluarkan Presiden Jokowi belum menjadi keputusan final, namun sampai
dengan saat ini pemerintah Indonesia masih menyatakan sikap untuk menolak
warga negara Indonesia eks ISIS untuk kembali ke tanah air dan tetap diakui
sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk
memulangkan warga negara Indonesia eks ISIS didasari oleh pertimbangan yang
kuat dan mendalam. Walaupun memang dari segi HAM, terkesan agak kejam dan
jika menafsirkan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan secara harfiah
tidak akan ditemukan kehilangan kewarganegaraan jika bergabung dengan
organisasi teroris. Ada baiknya, jika memang pemerintah pada akhirnya setuju
untuk tidak menerima mereka kembali dan membiarkannya stateless, diperlukan
revisi terhadap peraturan tersebut, mengingat jumlah warga negara Indonesia eks
ISIS adalah 600 orang. Lebih lanjut, penulis berpendapat bahwa ada baiknya jika
pemerintah mempertimbangkan dari segala aspek, termasuk bagaimana nasib
Warga Negara Indonesia eks ISIS tersebut, karena bagaimana pun negara
berkewajiban melindungi warga negaranya dan memperlakukannya sama di depa
hukum, terlebih mereka yang menyatakan keluar dari ISIS, bisa dipastikan
memang sudah tidak percaya dengan ISIS. Bahkan, jika pemerintah dapat
membimbing mereka, ada kemungkinan mereka akan menjadi benteng negara
dalam mencegah dan membantu negara memerangi teroris.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan skripsi ini dapat ditarik dua kesimpulan sebagai berikut:
1. Status Kewarganegaraan eks ISIS menurut UU No. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan memang tidak tertulis dalam peraturan tersebut
penghilangan kewarganegaraan yang disebabkan oleh pembakaran paspor
dan masuk ke dalam organisasi teroris. Di satu sisi, walaupun ISIS
dinyatakan sebagai organisasi namun dampak yang diberikan terhadap dunia
sangatlah besar. Untuk itu, jika hanya mempertimbangkan aspek normatif,
jelas mereka tidak akan kehilangan warga negara dan negara harus siap
menerima mereka kembali.
2. Sedangkan, menurut Siyasah Dauliyyah, dalam hal ini merupakan hak dari
pemerintah untuk menentukan status kewarganegaraan mereka. Namun,
Pemerintah tidak mau menerima mereka kembali walaupun status mereka
adalah sebagai eks ISIS. Faktor utamanya tentu adalah pertahanan dan
stabilitas negara, serta keamanan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga
khawatir status mereka sebagai eks ISIS hanyalah kedok agar mereka dapat
diterima kembali di negara asalnya. Walaupun memang, banyak penggiat
aktivis HAM, menyayangkan hal tersebut. Nampaknya, aktivis HAM
berspekulasi bahwa sikap pemerintah yang seperti ini karena pemerintah
belum siap untuk dapat membimbing mereka, sehingga dikhawatirkan
malah akan menjadi boomerang bagi bangsa Indonesia. terlebih, aktivis
HAM juga berpendapat mayoritas dari 600 eks ISIS asal Indonesia adalah
anak-anak dan perempuan.

61
62

B. Saran
Direkomendasikan bagi pemerintah untuk merevisi atas UU No. 12 tahun
2006 tentang Kewarganegaraan karena dianggap telah usang dan tidak relevan
lagi dengan keadaan yang sekarang. Penyalahgunaan kewarganegaraan tidak lagi
bersumber dari penghianatan terhadap negara namun juga organisasi teroris yang
justru akan berdampak besar bagi negara itu sendiri. Selain itu, diperlukan diskusi
untuk antara pemangku negara dengan aktivis HAM agar menemukan solusi
terbaik dan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Arif, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2014.

Arifin, Samsul. Penghilangan Hak Kewarganegraan bagi Eks ISIS, Surabaya:


Universitas Surabaya Press, 2020.

Azhari, M. Dzar. Status Hukum ISIS dalam Hukum Internasional, Yogyakarta:


UII Press, 2018.

Bambang, Sunggono. Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2006.

Basyir, Kurnawa, dkk. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan), Cet. 1,


Surabaya: IAIN Sunan Ampel Presss, 2011.

Ba’asyir, Abu Bakar Tadzkiroh: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk
Para Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia yang Berpenduduk
Matoritas Kaum Muslimin, Jakarta: JAT, 2013.

Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Cet Ke-1,
Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

63
64

Djazuli, Ahmad, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-


rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2009.

Harsono, Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Cet Ke-1 (Yogyakarta:


Liberty, 1992.

Hikam, Muhammad A.S. Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi


di Indonesia, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999.

Ibrahim, Johny. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:


Bayumedia Publishing, 2010.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Lexi, Lonto Aples dan Pangalila Theodorus, Etika Kewarganegaraan,


Yogyakarta; Penerbit Ombak, 2016.

Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
Jakarta, PT. Zaytuna Ufuk Abadi, 2014.

Muhammad Ramadhan, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam Dalam Fiqh


Siyasah, Jawa Tengah: PT. Nasya Expanding Management, 2019.

Nainggolan, Poltak Partogi Ancaman ISIS di Indonesia, (Jakarta; Yayasan Pustaka


Obor Indonesia, 2017.

Narmoatmojo, Winarno dkk. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi,


Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015.

Nazir, Moh. Metode Penelitian, Jakarta: Ghia Indonesia, 2005.

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Cet. Ke-3, Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2013.

Praja, Juhaya S. Pemikiran Ketatanegaraan Islam, Bandung; Pustaka Setia, 2010.

Rahman, Abdul dan Abdul Kadir Kurdi. Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan
Al Qur'an dan Sunah, Cet Ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
65

Rusdiana, Ahmad. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), UIN


Bandung; Pustaka Tresna Bhakti Bandung, 2012.

Salim, Agus dan Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan
Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.

Samantho, Ahmad Yanuana. Sejarah ISIS dan Illuminati, Jakarta; PT. Ufuk
Publishing House, 2014.

Samudera, Imam. Aku Melawan Teroris, Solo; Aljazeera, 2004.

Sholehudin, Miftahus. ISIS, Pemberontak, dan Teroris dalam Hukum


Internasional, Malang: Universitas Negeri Malang, 2018.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia


Press, 1994

Soemitro, Ronny Hanitijo Metode Penelitian Hukum Jurimetri, Jakarta: Ghia


Indonesia, 1998.

Soeprawiro, Koeniatmanto. Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian


Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Suntana, Ija. Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah) Cet Ke-1
Bandung: Pustaka Setia, 2015.

Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan, 2001.

Syahrur, Muhammad. Dirasat Islamiyyah Muashirah fi al Daulat wa al Mujtama',


terjemah Saifudin Zuhri dan Badrus Syamsul Fata "Tirani Islam,
Genealogi Masyarakat dan Negara" Cet. ke-1, Yogyakarta : LKIS, 2003.

Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation dan
Prenada Media, 2003.
66

Ubaedillah, Ahmad, Abdul Razak, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic


Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Cet.
Ke-6, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Wuryan dan Saifullah, Ilmu Kewarganegaraan (Civics), Bandung: Laboratorium


Pendidikan Kewarganegaraan UPI, 2006.

Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya, Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan, Bandung; Alfabeta, 2011.

Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di


Perguruan Tinggi. Ed. Ke-3 Cet. Ke-1, Jakarta; Sinar Grafika, 2013.

Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di


Perguruan Tinggi. Ed. Ke-4 Cet. Ke-1, Jakarta; Sinar Grafika, 2013.

Yusuf, Muri. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,


Jakarta: Kencana, 2014.

JURNAL :

Andriyani, Novie Lucky dan Feriana Kushindarti. “Respons Pemerintah Indonesia


dalam Menghadapi Perkembangan Gerakan Islamic State di Indonesia,”
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): Jurnal Penelitian Politik,
Vol. 14, No. 2, (Desember 2017).

Hilmy, Masdar “Genealogi dan Pengaruh Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah
(NIIS) di Indonesia”,Jurnal Teosofi Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol.
04, No. 02 (Desember, 2014).

Lukman, Nathania Agatha dan I Wayan Pharsa, “Hak Atas Kewarganegaraan


Bagi Keluarga Militan ISIS,” Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum,
[S.l.], v.7, (2019).

Mubarak, Muhammad Zakky. Dari NII ke ISIS; Transformasi Ideologi dan


Gerakan dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer, Jurnal
Episteme, Vol. 10, No. 1, (Juni, 2015).

Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, “Power Negara Islam Irak dan
Suriah (Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS”, Jurnal Ilmu Politik dan
Komunikasi, Vol. 6, No. 1, (Juni, 2016).
67

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

WEBSITE

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200214113641-20-474581/polemik-
wni-eks-isis-dan-aturan-kehilangan-kewarganegaraan, diakses pada 24
Maret 2020. Pukul 15.16 WIB.

https://nasional.tempo.co/read/598878/gabung-isis-teroris-bom-bali-ini-tewas,
diakses pada 29 Oktober 2020 Pukul 08.33 WIB

https://liputanislam.com/fokus/lagi-baiat-untuk-isis-dari-indonesia/, diakses Pada


29 Oktober 2020 Pukul 08.38 WIB

Anda mungkin juga menyukai