SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H) pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
FAHMI AZIZ
NIM: 11160453000024
iv
khawatir status mereka sebagai eks ISIS hanyalah kedok agar mereka dapat
diterima kembali di negara asalnya. Walaupun memang, banyak penggiat aktivis
HAM, menyayangkan hal tersebut. Nampaknya, aktivis HAM berspekulasi bahwa
sikap pemerintah yang seperti ini karena pemerintah belum siap untuk dapat
membimbing mereka, sehingga dikhawatirkan malah akan menjadi boomerang
bagi bangsa Indonesia. terlebih, aktivis HAM juga berpendapat mayoritas dari 600
eks ISIS asal Indonesia adalah anak-anak dan perempuan.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah swt, yang telah memberi
hidayah, kesehatan, nikmat, dan petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI
EKS ANGGOTA ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SIYASAH DAULIYYAH”. Sebagai
pelengkap guna mencapai gelar sarjana pada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta Salam tak
lupa penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para keluarganya, para
sahabatnya, dan para pengikutnya.
Dalam penyelesaian skripsi ini, tak lepas pula penulis ucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang senantiasa mendoakan, membimbing, serta
membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini. Sehingga dengan segala rasa
hormat, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada ;
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., Rektor
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara
(Siyasah);
4. Ibu Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekretaris Program Studi Hukum
Tata Negara (Siyasah);
5. Bapak Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.Ag., Dosen pembimbing
skripsi, yang begitu sabar dan meluangkan waktunya di tengah
kesibukkannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih banyak untuk waktu dan
tenaga yang bapak luangkan selama bimbingan;
vi
6. Ibu Dr. Ria Safitri, S.H., M.Hum. Dosen penasihat akademik, yang
selama ini telah memberi semangat dan membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
7. Bapak Husen Hasan Basri, M.Si., Peneliti muda Pusat Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama Republik Indonesia. Penulis ucapkan terima kasih
banyak yang telah memberi masukan saran, referensi dan materi dalam
skripsi ini;
8. Kedua orang tua, Ayahanda tercinta, Hasbullah dan Ibunda tersayang,
Yayah Mariatul Qibtiyah, S.Pd.I., yang begitu sabar dalam memberi
dorongan motivasi, moral, dan senantiasa mendoakan penulis untuk
kelancaran dan kesuksesan dalam menyelesaikan studi strata satu (S1)
ini. Tak lupa juga kepada adik penulis, Adinda El Fitrah yang juga
senantiasa mendoakan dan menemani penulis. Terima kasih banyak
kepada kalian, skripsi ini penulis persembahkan untuk Bapak, Ibu,
Dinda, dan juga untuk para pembaca;
9. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, khususnya kepada
Dosen Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) yang telah
memberi ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama perkuliahan
berlangsung dengan sabar dan ikhlas. Dan mohon maaf sedalam-
dalamnya atas segala kekurangan dari penulis selama perkuliahan
berlangsung;
10. Pimpinan dan segenap staf Perpustakaan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta serta Fakultas Syari’ah dan Hukum
telah banyak memberi kontribusi berupa literasi dan pustaka guna
menyelesaikan skripsi ini;
11. Keluarga besar Hukum Tata Negara 2016 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya kepada; Husniyah, S.H, Nur Kholifah, S.H, Ajeng
Dwi Pramesti, S.H, Rendro Prastyan Winanta, Fakhriansyah
Syaefuddin Ilham, Inten Murnia Sari telah banyak memberi motivasi,
kenangan, pengalaman, ilmu yang bermanfaat serta menghibur penulis
vii
dalam menyelesaikan studi strata satu (S1) dan skripsi ini. Pengalaman
yang luar biasa bersama kalian akan jadi moment yang tidak
terlupakan dan sangat dirindukan oleh penulis. Semoga kalian semua
sukses selalu;
12. Firda Maulidina dan Salsabila Caca. Terima kasih sudah menjadi
sahabat terbaik selama menempuh perkuliahan ini dan mengajarkan
banyak hal. Semoga persahabatan kita akan terus berlanjut;
13. Dan seluruh pihak-pihak lain yang senantiasa mendoakan, memotivasi
dan memberi semangat kepada penulis agar dapat menyelesaikan
skripsi ini. Penulis ucapkan terima kasih banyak yang sebesar-
besarnya.
Fahmi Aziz
NIM: 11160453000024
viii
DAFTAR ISI
ix
BAB IV STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI EKS ANGGOTA
ISIS (ISLAMIC STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL
INDONESIA DALAM PERSPEKTIF SIYASAH
DAULIYAH ................................................................................. 53
A. Definisi Siyasah Dauliyyah ............................................................. 53
B. Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia berdasarkan UU No
12 Tahun 2006 ................................................................................ 54
C. Status Kewarganegaraan Bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia Dalam Perspektif
Siyasah Dauliyah ............................................................................. 57
D. Analisis Status Eks Anggota ISIS asal Indonesia dalam Perspektif
UU No 12 Tahun 2006 dan Siyasah Dauliyah ................................. 59
BAB V PENUTUP .................................................................................... 61
A. Kesimpulan ..................................................................................... 61
B. Saran ............................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 63
x
BAB I
PENDAHULUAN
1
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Cet. Ke-3, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2013),
h.4
2
Kurnawa Basyir, dkk. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan), Cet. 1,
(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Presss, 2011), h.53
3
Koeniatmanto Soeprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h.1
4
Agus Salim dan Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2007), h.33
1
2
1
Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
2
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
3
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
4
Winarno Narmoatmojo, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2015), h.30
5
A. Ubaedillah, Abdul Razak, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Cet. Ke-6, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h.93
3
organisasi jihad yang mempunyai tujuan untuk membentuk sebuah Negara Islam
(Kekhalifahan Islam) di wilayah Irak dan Suriah. Pergerakan kelompok ISIS
untuk membentuk Negara Islam yang mengendalikan wilayah Aleppo bagian
utara sampai Baghdad bagian selatan termasuk wilayah Raqqa di Suriah dan
Mosul di Irak menjadi ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan
regional di Timur Tengah. Sejak kemunculannya, pergerakan Negara Islam
memiliki ideologi ekstrim. Hal ini dapat memberikan ancaman atau teror kepada
masyarakat disertai dengan beberapa pelanggaran seperti aksi kekerasan yang
dilakukan oleh kelompok dalam membentuk Negara Islam. 6
Pada beberapa tahun terakhir ini hampir semua negara-negara di dunia
memerangi ISIS, sesuai dengan united nations security council resolution 2249
yang dikeluarkan pada 20 november tahun 2015 mengenai resolusi pada setiap
anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk meningkatkan upaya yang
untuk melawan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). ISIS (Islamic State of Iraq
and Syria) merupakan sekelompok orang yang menganut ideologi Ikhwanul
Muslimin, yaitu ideologi yang menekankan pemahaman pada tafsiran ajaran islam
secara ekstrem yang mendukung terjadinya kekerasan agama serta menganggap
bahwa muslim atau agama lain yang tidak sepaham dengan penafsirannya sebagai
kafir. 7 Adapun keberadaan ideologi ini tidak hanya dianut oleh warga negara Irak
dan Suriah, melainkan dianut berbagai warga negara di dunia yang menyebabkan
banyak warga negara asing yang tergabung di dalam ISIS.
Sebelum ISIS kehilangan wilayah kekuasaanya di Suriah, ia telah
melakukan berbagai extraordinary crime yang membuat keberadaannya
mengancam perdamaian dunia. Segala kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) berat
yang dilakukan anggota ISIS yang tidak hanya berpusat pada Irak dan Suriah,
melainkan di berbagai negara yang menyebabkan banyak negara-negara yang
6
Novie Lucky Andriyani dan Feriana Kushindarti, Respons Pemerintah Indonesia dalam
Menghadapi Perkembangan Gerakan Islamic State di Indonesia, (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI): Jurnal Penelitian Politik, Vol. 14, No. 2 (Desember 2017), h.223
7
Nathania Agatha Lukman dan I Wayan Pharsa, “Hak Atas Kewarganegaraan Bagi
Keluarga Militan ISIS”, Kertha Negara : Journal Ilmu Hukum, [S.l.], Vol.7, (Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2019), h.3
4
8
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200214113641-20-474581/polemik-wni-eks-
isis-dan-aturan-kehilangan-kewarganegaraan diakses Tanggal, 24 Maret 2020. Pukul 15.16 WIB
5
9
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2009), h.119- 122.
6
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu diteliti
untuk dapat menjawab. Akan tetapi, untuk mempermudah pembahasan dan
penelitian skripsi ini, perlu diadakannya pembatasan masalah agar penelitian
skripsi ini hanya akan berfokus untuk menjawab satu permasalahan, yaitu
Status Eks Warga Negara Indonesia (WNI) bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State of Iraq and Syria) Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah.
7
3. Rumusan Masalah
Kewarganegaraan bagi Eks Anggota ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria)
asal Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah.
b. Manfaat Teoritis
Secara teoritis tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan
kemanfaatan secara khusus bagi pengembangan ilmu hukum tata negara dan
secara umum bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum itu sendiri.
c. Manfaat Praktis
skripsi ini dibahas menganalisis dan mengetahui status ISIS dalam dunia
internasional serta untuk menganalisis terkait urgensi dari pencabutan hak
kewarganegaraan Warga Negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS
(Islamic State Of Iraq And Syria).
3. Kajian Jurnal yang ditulis oleh Novie Lucky Andriyani dan Feriana
Kushindarti, yang berjudul Respons Pemerintah Indonesia dalam
Menghadapi Perkembangan Gerakan Islamic State di Indonesia,
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): Jurnal Penelitian Politik
Volume 14 No. 2 Desember 2017). Dalam jurnal ini dibahas Pemerintah
yang khawatir terhadap gerakan ISIS di Indonesia dan cara Pemerintah
menanggapi terhadap gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria).
4. Kajian Jurnal yang ditulis oleh I Gusti Ngurah Surya Adhi Kencana
Putra yang berjudul Status Kewarganegaraan Indonesia Bagi Pendukug
ISIS (Islamic State Of Iraq and Syria). Dalam jurnal ini dibahas mengenai
tata cara hilangnya status kewarganegaraan Indonesia dan status
kewarganegaraan WNI (Warga Negara Idonesia) sebagai pendukung ISIS
(Islamic State Of Iraq and Syria).
5. Kajian Skripsi yang ditulis oleh Reza Adhitya Akbar (2017) yang
berjudul Kewajiban Negara Indonesia Melindungi Warga Negaranya di
Luar Negeri (Studi Kasus: ISIS) dari Fakultas Hukum Universitas
Airlangga. Dalam skripsi ini dibahas mengenai status kewarganegaraan
yang telah menjadi ISIS dan cara pemerintah melindungi warga negaranya
yang dengan sadar menjadi tentara ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria).
Perbedaan dengan peneliti sebelumnya adalah dalam penelitian skripsi ini
akan dibahas mengenai Status Kewarganegaraan bagi Eks Anggota ISIS (Islamic
State Of Iraq And Syria) asal Indonesia Dalam Perspektif Siyasah Dauliyah.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan
tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan
10
14
Ibrahim Johny, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia
Publishing, 2010), h.141
12
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Skripsi ini peneliti membuat sistematika penulisan sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN yang merupakan gambaran umum isi
penelitian yang terdiri dari: latar belakang, identifikasi, pembatasan, dan rumusan
15
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), h.49
16
Moh Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghia Indonesia, 2005), h.35
13
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu, dan
metodologi penelitian, sistematika pembahasan.
BAB II KAJIAN TEORI; TEORI KEWARGANEGARAAN yang akan
membahas teori kewarganegaraan, warga negara dan kewarganegaraan, syarat dan
tata cara memperoleh kewarganegaraan republik indonesia, kehilangan
kewarganegaraan republik indonesia dan syarat dan tata cara memperoleh kembali
kewarganegaraan republik indonesia.
BAB III PEMBAHASAN; ISIS DAN SIYASAH DAULIYYAH yang
berisi tentang definisi ISIS (islamic state of iraq and syria), Keanggotaan ISIS,
sejarah dan perkembangan ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria) di Indonesia,
Faktor Warga Negara Indonesia bergabung dengan ISIS dan Siyasah Dauliyyah.
BAB IV STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI EKS ISIS (ISLAMIC
STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
SIYASAH DAULIYYAH yang akan menganalisis Status Kewarganegaraan Bagi
Eks ISIS (Islamic State Of Iraq And Syria) asal Indonesia berdasarkan UU No 12
Tahun 2006 dan analisis status kewarganegaraan bagi eks ISIS (Islamic State Of
Iraq And Syria) asal Indonesia dalam perspektif siyasah dauliyyah.
BAB V PENUTUP berisi tentang uraian kesimpulan dan saran yang sesuai
dengan pokok permasalahan yang penulis kaji.
BAB II
TEORI KEWARGANEGARAAN
A. Teori Kewarganegaraan
1. Teori Kewarganegaraan Liberal-Individualistik
Teori liberalisme yang dikenal pula sebagai bagian dari libera-individualist
theories memandang warga negara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan
pilihan dan hak.1 Dalam pembedaan hak-hak individu, pilihan ditentukan oleh
pertimbangan warga negara tentang hak-hak yang dimilikinya dalam batas
penghargaannya terhadap hak-hak orang lain. Bagi individu warga negara struktur
hak-hak ini sudah pasti. Hak-hak warga negara ini dapat diperoleh atau mungkin
tidak dapat diperoleh tergantung dari pertimbangan pembuat aturan. Namun
demikian, perlu dicatat bahwa bagi teori liberal-individualistik kedua hak itu
mengakui individu warga negara sesuai dengan hak-hak, pendapat, dan pilihan
tertentu, keduanya pun tidak selalu dalam konteks politik.2 Dinyatakan oleh
Gunsteren bahwa “Citizenship and other political institutions are means that are
accepted only conditionally-that is, a long as they, in the individual’s
calculations, foster the maximization of private benefit.” Dalam hal ini, aspek
politik dari sudut pandang teori liberal-individualis bersifat nisbi dan kondisional.
Prinsip kewarganegaraan dan lembaga politik hanya diakui manakalah prinsip
tersebut dapat memberikan keuntungan pribadi. 3
Sementara itu, dalam rangka penegakan demokrasi menurut Gunsteren,
pola pikir teori liberal-individualistik ini sangatlah tidak relevan, sebab lebih
Mengedepankan keuntungan pribadi daripada kehidupan bersama
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, menurut Gunsteren ada empat hal yang
sangat mempengaruhi keberlangsungan demokrasi, yaitu berpikir
1
Wuryan dan Saifullah, Ilmu Kewarganegaraan (Civics), (Bandung; Laboratorium
Pendidikan Kewarganegaraan UPI, 2006), h.111
2
Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan,
(Bandung; Alfabeta, 2011), h.186
3
Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan,
h.213
14
15
4
Wahab, Abdul Aziz dan Sapriya, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan,
(Bandung; Alfabeta, 2011), h.188-189
5
Wuryan dan Saifullah, Ilmu Kewarganegaraan (Civics), (Bandung; Laboratorium
Pendidikan Kewarganegaraan UPI, 2006), h.112
16
6
Lonto Aples lexi dan Pangalila Theodorus, Etika Kewarganegaraan, (Yogyakarta;
Penerbit Ombak, 2016), h.38
17
dan sebagainya yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai seorang
warga dari negara itu.7
Istilah warga negara ini merupakan terjemahan kata citizen (Inggris). Kata
Citizen secara etimologis berasal masa Romawi yang pada waktu itu berbahasa
Latin, yaitu kata “civis” atau “civitas” yang berarti anggota atau warga dari city-
state. Selanjutnya kata ini dalam bahasa Perancis diistilahkan “Citoyen” yang
bermakna warga dalam “cite” (kota) yang memiliki hak-hak terbatas. Citoyen
atau Citizen dengan demikian bermakna warga atau penghuni kota.8
Warga negara itu sendiri bisa diartikan dengan orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini biasa juga
disebut hamba atau kawula negara. 9 Meskipun demikian istilah warga negara
dirasa lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang-orang merdeka bila
dibandingkan istilah hamba dan kawula negara, karena warga negara
mengandung arti peserta, anggota atau warga yang menjadi bagian dari suatu
negara.
Asumsi ini tidaklah berlebihan dan cukup beralasan. Sebagai anggota dari
persekutuan yakni negara, yang didirikan dengan kekuatan bersama, atas dasar
tanggung jawab bersama, serta untuk kepentingan atau tujuan bersama
pula10, warga negara dituntut untuk aktif terhadap negara. Dengan alasan
tersebut istilah warga negara dirasa lebih sesuai, karena mengandung
pengertian aktif. Sedangkan istilah hamba atau kawula negara mengandung
7
Kamus Besar Bahasa Indonesia
8
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di
Perguruan Tinggi. Ed. Ke-3 Cet. Ke-1, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), h.32
9
Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
(Jakarta : ICCE UIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation dan Prenada Media, 2003),
h.73
10
Pada awalnya, negara atau bangsa merupakan sekumpulan manusia atau gabungan
entitas-entitas yang beragam, lalu disarikan hubungan kesadaran dan diikat oleh asas kemaslahatan
bersama yang dituangkan dalam bentuk sistem legislasi dan hukum perundang-undangan. Sistem
ini diberlakukan pada tanah kehidupan yang dinamakan tanah air (wathan). Pada gilirannya
hubungan tersebut diatur oleh kekuasaan yang dinamakan negara. Lihat Muhammad Syahrur,
Dirasat Islamiyyah Muashirah fi al Daulat wa al Mujtama', terjemah Saifudin Zuhri dan Badrus
Syamsul Fata "Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara", (Yogyakarta : LKIS, cet. ke-1,
2003), h.90
18
pengertian warga yang pasif dan hanya menjadi obyek negara. Untuk itu,
setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua
warga negara mempunyai kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam mendefinisikan bahwa
warga negara (citizenship) adalah anggota dari sebuah komunitas yang
membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik daripada istilah
kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti obyek yang berarti
orang yang dimiliki dan mengabdi kepada negara. Oleh karenanya,
kewarganegaraan menurut AS Hikam harus mencakup tiga dimensi utama:
1) Dimensi keterlibatan aktif dalam komunitas,
2) dimensi pemenuhan hak-hak dasar yaitu hak politik, ekonomi, dan
hak sosial kultural, serta
3) dimensi dialog dan keberadaan ruang publik yang bebas. 11
Istilah warga negara dan rakyat menunjuk pada obyek yang sama12, yakni
sebagai anggota negara13. Meskipun demikian terdapat perbedaan pengertian
antara pengertian warga negara, rakyat dan bangsa. Warga negara adalah
pendukung negara atau dalam arti lain warga sebuah negara yang bersifat
aktif. Sedang rakyat adalah masyarakat yang mempunyai persamaan kedudukan
sebagai obyek pengaturan dan penataan oleh negara dan mempunyai
ikatan kesadaran sebagai kesatuan dalam hubungan keorganisasian negara. Istilah
warga negara tidak menunjuk pada obyek yang sama dengan istilah
penduduk. Warga negara sebuah negara belumlah tentu merupakan penduduk
negara tersebut. Penduduk adalah orang-orang yang bertempat tinggal secara
sah dalam suatu negara berdasarkan peraturan perundangan kependudukan sah
11
Muhammad A.S. Hikam, Politik Kewarganegaraan: Landasan Redemokratisasi di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), h.166.
12
Harsono, Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, Cet Ke-1 (Yogyakarta:
Liberty, 1992), h.1
13
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian Indonesia,
Cet Ke-1 (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), h.1.
19
dari negara yang bersangkutan. Baik status sebagai warga negara maupun
sebagai penduduk mempunyai konsekuensi hukum, yaitu menyangkut hak-hak
dan kewajibannya. Konsekuensi hukum dari status warga negara lebih luas dari
pada status sebagai penduduk. Pembagian penduduk menjadi warga negara dan
orang asing sangatlah penting. Hal ini dikarenakan beberapa hak dan
kewajiban yang dimiliki warga negara dengan orang asing berbeda. Hak dan
kewajiban penduduk yang bukan warga negara adalah terbatas.14
Dalam konteks negara Islam, warga negara mengandung pengertian
penduduk sebuah negara Islam yang memeluk agama Islam. Penduduk yang
bertempat tinggal di wilayah negara Islam namun belum memeluk agama
Islam atau dengan kata lain bahwa masyarakat atau individu non muslim yang
bertempat tinggal diwilayah negara Islam, akan diberi status penduduk
permanen, tetapi tidak dianggap sebagai warga negara dari negara Islam
kecuali jika mereka memeluk Islam atas kemauan mereka sendiri. 15 Meskipun
demikian, ternyata kenyataan diatas bukanlah sebuah statemen yang
bersifat final, hal ini terlihat dari adanya pemikir Islam yang memandang
mereka sebagai warga negara Islam. 16
Di samping warga negara, perlu dijelaskan pula istilah rakyat dan
penduduk. Rakyat lebih merupakan konsep politis dan menunjuk pada orang-
orang yang berada di bawah satu pemerintahan dan tunduk pada pemerintahan itu.
Istilah rakyat umumnya di lawankan dengan penguasa. Penduduk adalah orang-
orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah negara dalam kurun waktu tertentu.
Orang yang berada di suatu wilayah negara dapat dibedakan menjadi penduduk
dan non-penduduk. Sedangkan penduduk dapat dibedakan menjadi warga negara
dan orang asing atau bukan warga negara.
14
Harsono, Perkembangan Pengaturan Kewarganegaraan, h.2
15
Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan Al
Qur'an dan Sunah, Cet Ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.115
16
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Cet Ke-1, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1995), h.241.
20
2. Kewarganegaraan
Cogan dan Derricot mendefinisikan kewarganegaraan sebagai “a set of
characteristics of being a citizen”. Kewarganegaraan menunjuk pada seperangkat
karakteristik dari seorang warga. Karakteristik atau atribut kewarganegaraan
(attribute of citizenship) itu meliputi;
a. Sense of identify (perasaan akan identitas)
b. The enjoyment of certain rights (pemilikan hak-hak tertentu)
c. The fulfilment of corresponding obligations (pemenuhan kewajiban-
kewajiban yang sesuai)
d. A degre of interest and involvement in public affair (tingkat ketertarikan
dan keterlibatan dalam masalah publik) dan,
e. An acceptance of basic social valves (penerimaan terhadap nilai-nilai
sosial dasar).17
Memiliki kewarganegaraan berarti sesorang itu memiliki identitas atau
status dalam lingkup nasional, misalnya ia warga negara Indonesia, ia
berkewarganegaraan Australia, dan sebagainya. Memiliki kewarganegaraan
berarti didapatkannya sejumlah hak dan kewajiban yang berlaku secara timbal
balik dengan negara. Ia berhak dan kewajiban terhadap negara sebaliknya negara
memiliki hak dan kewajiban atas orang itu. Terkait dengan hak dan kewajiban
maka kewarganegaraan seseorang menjadikan ia turut terlibat atau berpartisipasi
dalam kehidupan negaranya. Kewarganegaraan seseorang juga menjadikan orang
tersebut berinteraksi dengan orang lain sebagai warga negara sehingga tumbuh
penerimaan atas nilai-nilai sosial bersama yang ada di negara tersebut. Di
Indonesia, misalnya nilai-nilai kegotong royongan, nilai-nilai religius, atau nilai-
nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan nilai bersama. Oleh karena itu,
nilai-nilai sosial bersama yang diterima ini bisa jadi berbeda dengan warga negara
di negara lain.
Pendapat lain menyatakan kewarganegaraan adalah bentuk identitas yang
memungkinkan individu-individu merasakan makna kepemilikan, hak dan
17
Ahmad Rusdiana, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (UIN Bandung;
Pustaka Tresna Bhakti Bandung, 2012), h.49
21
kewajiban sosial dalam komunitas politik (negara). Hubungan antara rakyat dan
negara berdasarkan asas resiprokalitas hak dan kewajiban. Dalam kamus Maya
Wikipedia dikatakan kewarganegaraan merupakan keanggotaan dalam komunitas
politik (yang dalam sejarah perkembangannya diawali pada negara kota, namun
sekarang ini telah berkembang pada keanggotaan suatu negara) yang membawa
impilkasi pada kepemilikan hak untuk berpastisipasi dalam politik.
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, kewarganegaraan menunjuk bentuk
hubungan antara warga negara dengan komunitasnya sendiri, dalam hal ini
negara, yang melahirkan berbagai akibat antara lain;
a. Memunculkan identitas baru sebagai warga negara,
b. Menghasilkan rasa kepemilikan terhadap komunitas baru (negara)
termasuk kepemilikan akan nilai-nilai bersama komunitas,
c. Memunculkan aneka peran, partisipasi dan bentuk-bentuk keterlibatan lain
pada komunitas negara, dan
d. Timbulnya hak dan kewajiban antara keduanya secara timbal balik.
Menurut hukum Indonesia, yakni dalam Undang-Undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, arti kewarganegaraan adalah
segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara. Hal ikhwal hubungan
antara warga negara dengan negara tersebut pada dasarnya menghasilkan bentuk-
bentuk hubungan sebagaimana di atas.
Jika selama ini dipahami bahwa bentuk-bentuk hubungan tersebut hanya
melahirkan hak dan kewajiban secara timbal balik maka sesungguhnya lebih dari
itu. Seperti telah dikemukakan diatas, kewarganegaraan memunculkan sejumlah
karakteristik, atribut, atau elemen, yakni adanya identitas, hak, kewajiban,
partisipasi dan penerimaan nilai bersama. Hak dan kewajiban lebih merupakan
akibat dari kewarganegaraan sebagai status hukum (legal formal), padahal
kewarganegaraan bukan hanya sebatas legal. Kewarganegaraan dapat dipahami
dalam tiga status. Pertama, status legal, yakni memiliki hak dan perlindungan dari
negara. Kedua, status sebagai agen politikal yang melahirkan aneka partisipasi
dalam berbagai pranata politik. Ketiga, status keanggotaan itu sendiri yang
menghadirkan identitas. Dewasa ini kewarganegaraan sebagai status hukum
22
18
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan Panduan Kuliah di
Perguruan Tinggi. Ed. Ke-4 Cet. Ke-1, (Jakarta; Sinar Grafika, 2013), h.81-83
19
Lihat Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
24
20
Lihat Pasal 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
21
Lihat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
22
Lihat Pasal 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
23
Lihat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
25
24
Lihat Pasal 13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
25
Lihat Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
26
26
Lihat Pasal 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
27
Lihat Pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
28
Lihat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
27
29
Lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
30
Lihat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
31
Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
28
32
Lihat Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
33
Lihat Pasal 22 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
29
34
Lihat Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
30
35
Lihat Pasal 24 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
36
Lihat Pasal 25 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
31
37
Lihat Pasal 26 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
38
Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
39
Lihat Pasal 28 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
40
Lihat Pasal 29 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
41
Lihat Pasal 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
32
42
Lihat Pasal 31 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
43
Lihat Pasal 32 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
44
Lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
33
45
Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
46
Lihat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
34
BAB III
PROFIL ISIS (ISLAMIC STATE OF SYRIA AND IRAQ)
1
Masdar Hilmy, Genealogi dan Pengaruh Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah
(NIIS) di Indonesia (UIN Sunan Ampel Surabaya; Jurnal Teosofi Tasawuf dan Pemikiran Islam
Vol. 04 No. 02 Edisi Desember, 2014), h. 406
2
Ahmad Yanuana Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati, (Jakarta; PT. Ufuk Publishing
House, 2014), h.29-30
35
melarikan diri dari Afghanistan ke Iran dan pada tahun 2002 berpindah dari Iran
ke Irak. Atas permintaan para petinggi al Qaida, Abu Musab al Zarqawi diminta
untuk memfasilitasi masuknya para militan ke Irak untuk berperang melawan
pasukan koalisi pimpinan AS di Irak. Akan tetapi, pada saat itu Abu Musab al
Zarqawi belum secara resmi bersumpah setia dan bergabung dengan al-Qaeda
sampai dengan tahun 2004. Kuatnya hubungan antara Abu Musab al Zarqawi
dengan al-Qaida tercermin dengan adanya perubahan nama organisasi yang
dipimpin Abu Musab Al Zarqawi dari Tanzim Qaidatul Jihad fil Biladur Rafidain
menjadi al- Qaida Cabang Irak (AQI) pada tahun 2004. Dalam aktivitasnya AQI
berkembang dan membentuk Mujahidin Shura Council (MSC) pada tahun 2006
dan pada tahun itu pula Abu Musab al Zarqawi meninggal dunia di tangan AS.
Pasca meninggalnya Abu Musab al Zarqawi nama organisasi kembali di ubah
menjadi Islamic State of Iraq (ISI) dipimpin oleh Abu Umar al-Baghdadi pada
bulan Oktober 2006. Hubungan ISI dengan al Qaida menjadi kurang harmonis
ditandai dengan adanya perpecahan ideologi dimana para pemimpin al-Qaeda
khawatir dengan taktik yang dijalankan secara sembarangan dan brutal oleh ISI
yang akan berakibat kepada pengisolasian ISI dari dukungan publik di Irak. Pada
tahun 2013, Abu Umar al Baghdadi selaku pemimpin ISI mengirim Abu
Muhammad al Jaulani berserta beberapa orang milisi ke Suriah untuk membuka
front perjuangan baru di Suriah, front baru tersebut bernama an-Nusrah. Setelah
itu pada bulan April 2013, Abu Umar al Baghdadi mengumumkan bahwa telah
terjadi ekspansi ISI ke Suriah sekaligus mengumumkan pergantian nama baru
yaitu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pemimpin ISIS yang
mendeklarasikan berdirinya Khilafah Islamiyah adalah Abu Bakar al-Baghdadi
sekaligus dia mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai khalifah baru yang
terpilih. Al- Baghdadi adalah sosok terpelajar yang pernah mengenyam
pendidikan formal setingkat S-3 (doktor) lulusan Universitas Baghdad Jurusan
Peradaban Islam. Berbeda dengan latar belakang pendidikan dari Osama bin
Laden dan Ayman al Zawaihiri yang lulusan S-1 teknik dan S-1 kedokteran.
Kekuasaan ISIS membentang dari Aleppo di Suriah sampai dengan Baghdad di
Irak. Beberapa provinsi di Suriah yang berada dalam kontrol ISIS adalah Aleppo,
36
Raqqah, dan Deir es Zor, sementara di Irak ISIS menguasai provinsi Salahudin,
al-Anbar, Nineveh, dan Diyala. Luas wilayah yang dikuasai ISIS ini sama dengan
luas wilayah negara Inggris. Secara administratif pemerintahan, ISIS menguasai
dan memerintah dua kota secara penuh yaitu Raqqah dan Mosul. Kota Raqqa
berada di Suriah sementara kota Mosul ada di Irak, kedua kota ini dijadikan ibu
kota pemerintahan ISIS. Di dua kota ini berlaku administrasi pemerintahan yang
dijalankan oleh ISIS lengkap dengan institusi kehakiman, polisi, dan fasilitas
pendidikan. Secara penduduk, ada sekitar lebih dari 10 juta orang yang hidup di
bawah kekuasaan dan pemerintahan ISIS. Tujuan ISIS adalah membentuk dan
mempertahankan institusi kekhilafahan yang mereka namakan Daulah Islamiyah.
ISIS memiliki tujuan utama yang berbeda dengan Al-Qaida Pusat pimpinan
Osama bin Laden atau Ayman Al-Zawahiri, meskipun Al-Qaida cabang Irak
merupakan salah satu unsur utama ISIS. Tujuan ISIS ini sudah selangkah lebih
maju dibandingkan tujuan dari Al-Qaida karena ISIS sudah mencita-citakan
adanya institusi formal pemerintahan sementara Al-Qaida masih dalam tataran
gerakan perlawanan terhadap kezaliman barat dan sekutunya. Abu Bakar al-
Baghdadi adalah pemimpin tertinggi dari daulah Islamiyah fil Iraq wa Syam
(ISIS) dan ia mengangkat dirinya sendiri sebagai khalifah. Dalam menjalankan
kekhilafahan, Abu Bakar al-Baghdadi telah membentuk struktur pemerintahan
yang tidak jauh berbeda dengan struktur pemerintahan modern saat ini. Ada
dewan penasihat, menteri dan para panglima militer yang diberi tugas dan
tanggung jawab berdasarkan wilayahnya masing-masing. Langsung di bawah
khalifah ada dua buah wakil khalifah dengan wilayah tugas yang berbeda, satu
wakil bertugas di Suriah dan satu lagi di Irak. Khalifah juga di dukung dengan
adanya staf khalifah dan menteri-menteri yang sudah tertata dengan jelas tugas
pokok dan fungsinya masingmasing berikut dengan gaji yang diberikan. Beberapa
jenis kementerian yang di bentuk yaitu: keuangan, transportasi, keamanan,
tahanan bahkan ada kementerian khusus yang mengurus kebutuhan militan asing.
37
Ada juga kantor khusus perang yang dikelola untuk mengurus logistik dan
kebutuhan teknis perang.3
Menurut Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama RI), ideologi ISIS
adalah Islam radikal yang menganggap Pancasila sebagai thogut (berhala) yang
harus diperangi. Pada dasarnya, ISIS berdiri di atas ideologi ekstrimis garis keras
al-Qaeda dan mematuhi prinsip-prinsip jihad global. Seperti al-Qaeda, ideologi
ISIS pada dasarnya berbasis Salafi-Jihadi yang mengikuti interpretasi anti-Barat
dan demokrasi. Namun, meskipun sejarah ideologinya dari al-Qaeda, sebenarnya
ideologi ISIS jauh lebih ekstrim dan mengerikan dari al-Qaeda (organisasi
terorisme terbesar dan paling mengerikan dunia di zamannya). 4
Yang paling berbahaya dari ISIS adalah ideologi yang mereka pegang
teguh. Mereka meyakini sebuah ideologi yang sangat ekstrem. Bagi mereka,
kelompok Islam di luar dirinya bukanlah Islam, karenanya harus diperangi,
dibunuh, dan dimusnahkan. Sebagaimana Khawarij yang membunuh Sayyidina
Ali, ISIS juga menggunakan cara-cara yang sama dalam penyebaran pahamnya. 5
Sebagaimana bisa disimpulkan dari apa yang dikemukakan sendiri secara lisan
dan tertulis oleh pemimpinnya, Abu Umar al-Baghdadi, beberapa ajaran dalam
ideologi ISIS adalah;
Pertama, takfiri. Ini adalah bentuk pandangan yang mengkafirkan
madzhab atau kelompok mana saja yang berbeda dengan dirinya. Ini sebuah
keyakinan yang dianut oleh kelompok-kelompok ekstrem yang menganggap
dirinya paling benar sementara yang diluar dirinya pasti salah. Keyakinan inilah
yang dianut oleh ISIS. Kelompok ini mengkafirkan kelompok apapun diluar
dirinya. Karena menurut mereka hanya Islam versi mereka saja yang benar. ISIS
bahkan seolah reinkarnasi dari sekte Khawarij “al-Muhakkimah”, sebab jika al-
Muhakkimah berani menuduh kafir Sayyidina Ali, ISIS juga berani menuduh kafir
3
Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, Power Negara Islam Irak dan Suriah
(Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS, (Universitas Padjajaran; Jurnal Ilmu Politik dan
Komunikasi Vol. 6 No. 1 Juni Tahun 2016), h.23-25
4
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
(Jakarta, PT. Zaytuna Ufuk Abadi, 2014), h.116-117
5
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.121
38
6
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.122
7
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini, h.125
8
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
h.127-128
39
B. Keanggotaan ISIS
9
Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, Power Negara Islam Irak dan Suriah
(Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS, h.25
40
10
Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, Power Negara Islam Irak dan Suriah
(Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS, h.26
41
transisi demokrasi hingga saat ini. Banyak studi yang mencoba memahami akar-
akar terorisme dan radikalisme dalam berbagai perspektif, baik dari segi ekonomi,
budaya, politik, psikologi dan keagamaan. Lantas para ahli sepakat bahwa akar
terorisme bersifat kompleks. Namun ada beberapa segi terorisme agama di
Indonesia yang membedakan dengan fenomena serupa di negara-negara Barat
maupun negara Muslim lainnya seperti Malaysia, yakni unsur kesejarahan. Akar
terorisme yang melibatkan banyak kelompok Islam berpandangan radikal di
Indonesia saat ini bisa dilacak dengan baik dengan melihat hubungannya dengan
gerakan-gerakan Islam radikal yang telah ada sebelumnya. Dalam radikalisme
Islam saat ini merupakan “turunan” dari radikalisme Islam yang diawali
sebelumnya oleh Kartosoewirjo dengan Darul Islam-nya sejak 1950-an dan
gerakan Komando Jihad atau Komji yang muncul akhir 1970-an. Hubungan ini
nyata terlihat tidak hanya dari segi kesamaan ideologi, tapi bahkan juga segi
biologis. Beberapa nama terduga teroris, baik yang ditangkap hidup-hidup atau
tertembak mati, tercatat telah memiliki sejarah panjang tersangkut paut dengan
gerakan teror keagamaan sebelumnya. Maka perlu kiranya membagi aksi teror dan
radikalisme agama pasca kemerdekaan ke dalam beberapa fase. Fenomena
radikalisme Islam di era reformasi merupakan fase ketiga yang merupakan evolusi
dua fase-fase sebelumnya. Fase pertama, telah disebut sebelumnya, ditandai
dengan munculnya gerakan DI/TII Kartosoewirjo yang kemudian diikuti oleh
Kahar Muzakkar dan Daud Beureuh. Fase kedua, munculnya gerakan Komando
Jihad 1970-an hingga 1980-an yang beberapa aktor utamanya adalah mantan
anggota DI/TII era Kartosoewirjo. Nama Abdullah Sungkar dan Abu Bakar
Ba’asyir, yang kemudian dikenal luas sebagai amir Jamaah Islamiyah (JI), telah
muncul pada fase itu. Fase ketiga, berbagai gerakan teror dan kekerasan yang
terjadi saat dan pascareformasi, akhir 1990-an hingga saat ini. Fase keempat,
ditandai dengan berkembangnya kelompok-kelompok Islam radikal baru,
terutama dari kelompok muda, yang tidak atau hanya sedikit memiliki keterkaitan
dengan para tokoh generasi sebelumnya. Radikalisasi mereka lebih dipengaruhi
oleh berbagai peristiwa global. Faktor teknologi informasi dan komunikasi
modern menjadi hal penting yang berperan dalam transmisi paham atau sikap
42
radikal kelompok generasi baru ini. Abu Bakar Ba’asyir menjadi sosok yang
paling banyak disebut dan mungkin berperan paling penting dalam perkembangan
gerakan Islam radikal pasca era Kartosoewirjo. Kiprahnya dalam gerakan ekstrem
Islam telah banyak disebut sejak akhir 1970-an, bersama Abdullah Sungkar dalam
serangkaian kasus Komando Jihad. Gerakan yang kemudian disebut oleh
Pangkopkamtib Soedomo sebagai Komando Jihad itu sendiri melibatkan banyak
eksponen NII era Kartosoewirjo, antara lain; Aceng Kurnia (mantan Komandan
ajudan Kartosoewirjo) Haji Ismail Pranoto (HISPRAN), Danu Muhammad
Hassan, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani, Warman dan sebagainya.
Gerakan ini melancarkan teror di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera.
Menurut Solahudin, Ba’asyir dan Sungkar yang sebelumnya aktif di Dewan
Dakwah bergabung ke NII akhir 1970-an melalui Haji Ismail Pranoto. Pada saat
yang hampir bersamaan beberapa kelompok muda juga turut bergabung dalam
NII, antara lain: Irfan Awwas (saat ini menjadi Ketua Majelis Mujahidin
Indonesia) dan saudaranya, Fihiruddin alias Abu Jibril. Abu Jibril awal tahun
2000-an ditangkap pemerintah Malaysia karena diduga terlibat dalam kelompok
teror Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM). Saat ini ia masih aktif di MMI.
Pentingnya faktor kekerabatan atau persaudaraan dalam memjembatani
keterlibatan seseorang dalam organisasi radikal terjadi pada kasus Abu Jibril.
Anaknya yang bernama Muhammad Jibril pada akhir tahun 2000-an dihukum
penjara karena keterlibatannya dalam pendanaan gerakan terorisme di Indonesia.
Peran sentral Ba’asyir dan Abdullah Sungkar dalam pengembangan jejaring
gerakan Islam radikal berlangsung melalui mobilisasi para Mujahidin sebagian
besar terdiri dari para pemuda untuk ber-jihad ke Afghanistan pada akhir 1980-an.
Mereka berangkat dari Malaysia tempat di mana Ba’asyir dan Sungkar
mengembangkan dakwahnya setelah melarikan diri dari vonis pengadilan. Dari
jejaring mujahidin inilah tunas kelompok radikal Islam baru mulai muncul dan
makin berkembang. Hingga sepulangnya dari Afghanistan, mereka yang
kemudian dikenal luas sebagai bagian Jamaah Islamiyah (JI) terlihat dalam
serangkaian aksi teror berdarah di Indonesia pascalengsernya Soeharto. Dari
berbagai laporan yang dikeluarkan oleh International Crisis Group (CGI)
43
11
Muhammad Zakky Mubarak, “Dari NII ke ISIS; Transformasi Ideologi dan Gerakan
dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer”, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Jurnal
Episteme, Vol. 10 No. 1 (Juni 2015), h. 80-83
44
pemaknaan jihad dan hijrah juga semakin meluas. Apabila sebelumnya, jihad
hanya merujuk kepada perjuangan nasional melawan kolonial Belanda, dan
kemudian pada 1950-an menyasar kepada pemerintah yang mendukung komunis,
tetapi dalam beberapa tahun terakhir makna jihad menjadi lebih bersifat
internasional, mencakup perlawanan bagi siapa saja (pemerintahan) yang
dianggap telah mendukung penindasan dunia Islam oleh Amerika Serikat dan
Israel. Sejalan dengan konsep Quthb tentang masyarakat jahiliah, baik Darul
Islam maupun Jamaah Islamiyah (JI) juga memberikan penilaian keagamaan
terhadap pemerintahan Republik Indonesia, yang karena ketidaksediaanya
menjalankan syariah dengan kaffah, sebagai pemerintahan jahiliah. Bagi mereka,
apabila pemerintahan jahiliah seperti itu tidak bersedia melakukan “hijrah” secara
sukarela maka harus diperangi. Abu Bakar Ba’asyir menjelaskan secara eksplisit
beberapa poin penting menyangkut doktrin keagamaan pelaksanaan syariat Islam
dan hukum bagi mereka (pemerintah) yang tidak menjalankannya, antara lain;
Pertama, agama Islam wajib diamalkan secara murni, tidak tercampur
dengan ajaran-ajaran dan hukum-hukum buatan manusia. Kedua, agama Islam
wajib diamalkan secara bedaulat/ berpemerintahan/dengan kekuasaan, bukan
secara sendiri-sendiri atau berkelompok. Praga Adhitama menegaskan bahwa
dengan dasar wajibnya syariah dijalankan secara kaffah, Ba’asyir kemudian
menjatuhkan vonis musyrik kepada mereka yang masuk kategori sesorang atau
kelompok yang membuat undang-undang atau hukum tanpa merujuk kepada al-
Qur’an dan hadis dan siapa pun yang membenarkan dan menaati undang-undang
atau hukum buatan manusia yang tidak merujuk kepada hukum Allah. Dengan
merujuk kepada pendapat Syaikh Abdullah Azzam, kafir juga berlaku bagi
presiden, para sarjana atau kaum intelektual, Dewan Perwakilan Rakyat, serta
masyarakat, yang telah membuat dan melaksanakan undang-undang yang tidak
berdasarkan syariat dari Allah. Bagi Ba’asyir, “Barang siapa yang
menandatangani pelaksanaan undang-undang itu yang idak bersumber dari Allah
maka ia telah menjadi kafir, keluar dari Islam dan golongan kaum Muslimin”.
Meski Indonesia telah mengadopsi beberapa unsur syariat dalam hukum nasional,
bahkan telah memberikan legalitas bagi Provinsi Aceh untuk menerapkan syariat
45
Islam. Bagi Ba’asyir pemerintah Indonesia tetap saja pemerintahan kafir sebab
syariah tidak diberlakukan secara menyeluruh. Ia menegaskan: “Meski pemerintah
melaksanakan sebagian hukum Islam, bahkan menjadikan agama Islam sebagai
agama negara, kalau ia (pemerintah) sengaja pelaksanaan hukum Allah secara
kaffah, dan menolak menjadikan Qur’an dan sunnah sebagai satu-satunya sumber
hukum maka pemerintahan semacam ini masuk dalam golongan thoghut.”12
Dalam risalah yang dibuat di LP Nusakambangan, Ba’asyir mengatakan bahwa
para pejabat pemerintah yang mengelola tidak berdasarkan Islam kaffah maka
tauhidnya dinyatakan batal dan menjadi kafir. 13 Hukuman kafir dan dholim juga
dijatuhkan bagi pemerintahan Indonesia karena menjalin kerjasama dengan
musuh-musuh Islam, seperti Amerika Serikat dan Australia, untuk memerangi
kaum Mujahidin. 14
Gagasan tentang jihad dan takfir seperti di atas juga terlihat betul dalam
keyakinan Imam Samudra sehingga menginspirasi untuk melakukan pengeboman
di Bali 12 Oktober 2002. Menurut Imam Samudra, jihad yang berarti perang
melawan kaum kafir wajib dilakukan kapan saja dan di mana saja hingga
terlaksananya hukum Allah secara sempurna. Jihad ini juga berlaku untuk
memerangi kaum yang disebut sebagai bughot atau mereka, meskipun Muslim,
tetapi menolak Negara Islam. 15 Pemahaman yang radikal tentang jihad hingga
dengan tegaknya hukum Allah di muka bumi juga dapat ditemukan dalam
berbagai testimoni para pelaku aksi bom bunuh diri. Di mata mereka, siapa pun
orang nya yang menolak tegaknya hukum Allah secara kaffah dianggap sebagai
bagian kaum kuffar Salibis-Zionis yang harus diperangi.
12
Muhammad Zakky Mubarak, Dari NII ke ISIS; Transformasi Ideologi dan Gerakan
dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer, h.88-90
13
Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkiroh: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk Para
Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia yang Berpenduduk Matoritas Kaum Muslimin,
(Jakarta: JAT, 2013), h.15
14
Abu Bakar Ba’asyir, Tadzkiroh: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk Para
Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia yang Berpenduduk Matoritas Kaum Muslimin, h.21
15
Imam Samudera, Aku Melawan Teroris, (Solo; Aljazeera, 2004), h.25
46
16
https://nasional.tempo.co/read/598878/gabung-isis-teroris-bom-bali-ini-tewas diakses
pada 29 Oktober 2020 Pukul 08.33 WIB
17
https://liputanislam.com/fokus/lagi-baiat-untuk-isis-dari-indonesia/ diakses Pada 29
Oktober 2020 Pukul 08.38 WIB
47
adalah, “Demi Allah sungguh kami dan seluruh kaum Muslimin berbahagia
dengan Daulah Islam Iraq dan Syam (ISIS) yang insya Allah akan menjadi cikal
bakal Khilafah Islamiyah Ala Minhajin Nibuwwah.”
Setelah ISIS mendeklarasikan khilafah Islamiyah pada 29 Juni 2014 maka
seminggu kemudian ratusan orang dengan bendera FAKSI tangal 6 Juli 2014
menyatakan baiatnya kepada ke-khilafah-an ISIS. Sebagian besar peserta berasal
dari beberapa daerah di Jawa Barat, Banten, Lampung dan Riau. Dalam baiat yang
dipimpin Abu Zakariyya mereka menyatakan: Saya berbaiat kepada amirul
mukminin Abu Bakar al-Baghdadi al Quraysi untuk mendengar dan taat kepada
kondisi susah dan mudah. Pada konsisi diam dan malas. Dan walaupun hak kami
ditelantarkan. Serta saya, tidak akan merampas kekuasaan dari pemiliknya
kecuali saya melihat kekafiran yang nyata, yang saya memiliki dalil yang nyata di
dalamnya dari Allah. Allahu Akbar. Dalam waktu yang tidak berapa lama,
sejumlah ormas Islam di Solo, Jakarta, Bekasi, dan Bima juga menyatakan
baiatnya secara demonstratif. Di Bekasi, deklarasi dilakukan oleh perkumpulan
yang menamakan diri Kongres Umat Islam. Sebenarnya bila dilihat dari aspek
ideologi, adanya dukungan yang cukup massif ini bukanlah hal yang
mengejutkan. Sebab, sejumlah ormas atau kelompok Islam Indonesia yang
memberi dukungan dan baiatnya kepada ISIS memiliki akar ideologis yang tidak
begitu beda, yakni pembentukan ke-khilafah-an Islam. Beberapa aktivis yang
berperan penting dalam aksi dukungan itu berasal dari organisasi Jamaah
Anshorut Tauhid (JAT), Salafi Jihadi Aman Abdurrahman dan beberapa
kelompok kecil yang lain. Beberapa faksi dalam JAT yang lain, menyatakan
menolak memberikan dukungan kepada kekhilafahan ISIS yang menyebabkan
perpecahan dalam organisasi sempalan Majelis Mujahisin Indonesia (MMI). Abu
Bakar Baasyir dari LP Nusakambangan dilaporkan juga memberikan baiatnya
kepada ke-khilafah-an Islamiyah bentukan ISIS. Belakangan pimpinan Gerakan
Reformis Islam (Garis) Cianjur, menyatakan diri sebagai Presiden ISIS Indonesia.
Namun begitu, tidak semua gerakan Islam garis keras memberikan dukungan.
Hizbut Tahrir (HT), misalnya meski sama-sama berjuang bagi pembentukan
khilafah Islam, tetapi menolak mengakui deklarasi khilafah Islam al-Baghdadi. Di
48
18
Muhammad Zakky Mubarak, Dari NII ke ISIS; Transformasi Ideologi dan Gerakan
dalam Islam Radikal di Indonesia Kontemporer, h.92-94
49
19
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, (Jakarta; Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2017), h.47
50
setelah sejak April 2016 menganggur dan lebih banyak tinggal di rumah. Lelaki
berusia 25 tahun sebelumnya pernah bekerja di Karawang. 20
Selain tawaran pekerjaan, tawaran umroh gratis juga memberi daya tarik
bagi mereka yang ingin beribadah, namun memiliki kemampuan ekonomi yang
tidak mendukung. Laporan Imigrasi Kota Depok, yang menolak 929 permohonan
paspor selama 2016 dengan alasan beragam ke negara-negara Timur-Tengah,
sangat diwarnai kekhawatiran akan bergabungnya para calon pemohon paspor
tersebut dengan kelompok radikal ISIS/IS di Suriah, melalui perjalanan luar
negeri secara tidak langsung. Mereka yang akan berangkat ke suriah
menggunakan modus operandi ini kedapatan oleh aparat imigrasi sulit
memberikan keterangan yang jelas tentang tujuan perjalanan mereka, terutama
dalam wawancara. Ada juga yang beralasan hendak menemui saudara mereka,
sementara latar belakang ekonomi tidak mendukung dan pekerjaan mereka tidak
jelas. Dari 929 permohonan paspor warga Depok yang ditolak itu, sebanyak 829
telah ditolak secara otomatis melalui sistem komputer di Kantor Imigrasi Depok,
karena terdapat dupilkasi data sedangkan sisanya 110 permohonan paspor ditolak
dalam proses wawancara. Upaya perekrutan ke dalam, dengan mencari pengikut
dari kalangan keluarga dan teman-teman satu pekerjaan, tetangga dekat, dan
pengajian adalah salah satu bentuk modus perekrutan yang sederhana. 21
Wilayah-wilayah di Indonesia dengan latar belakang kemiskinan, budaya
yang konservatif, sektarianisme, separatisme, dan terisolasi karena kondisi
geografisnya yang memiliki pegunungan dan hutan lebat, rawan dijadikan basis
perekrutan, pelatihan dan aktivitas terorisme. Palu, Poso, dan Bima serta wilayah-
wilayah di Aceh menjadi pilihan para tokoh teroris, karena penduduknya memiliki
ideologi ata konservatisme agama yang sama. Di wilayah-wilayah itu selama ini
mudah mencari simpatisan, pendukung, dan pengikut baru. 22
20
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.48
21
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.49
22
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.50
51
23
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.52-53
52
24
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.54-55
25
Poltak Partogi Nainggolan, Ancaman ISIS di Indonesia, h.63
53
BAB IV
STATUS KEWARGANEGARAAN BAGI EKS ANGGOTA ISIS (ISLAMIC
STATE OF IRAQ AND SYRIA) ASAL INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF SIYASAH DAULIYAH
A. Definisi Siyasah Dauliyah
Fiqh siyasah dauliyah merupakan dalam lingkup kajian Ketatanegaraan islam,
yang mana merupakan kajian akademik mengenai kekuasaan dan keteraturan
masyarakat dalam perspektif agama islam yang mencakup hukum, dogma, tradisi,
sejarah dan pemikiran tokoh. Termasuk juga di dalam ketatanegaraan islam
mengenai perang untuk menjaga kedaulatan wilayah. Istilah perang banyak yang
menyamakannya dengan seruan jihad.1
Sebelum Islam datang kedamaian antar bangsa sudah menjadi cita-cita di
dunia. Untuk mewujudkan keinginan tersebut yang menjadi faktornya adalah
perjanjian antar negara dan adat kebiasaan. Dua hal tersebut mempunyai pengaruh
yang besar terhadap hubungan perdamaiaan pada saat itu. Meskipun hakikatnya
hubungan yang terjadi antar negara adalah peperangan. Yang selalu ada diberikan
tuntutan untuk senantiasa mempersiapkan diri untuk berperang, baik dalam hal
memberikan serangan senjata ataupun membuat benteng perlindungan untuk
melindungi dari serangan musuh. Pada abad ke III sebelum masehi perjanjian
Fir’aun dengan raja asia kecil ini menurut Ameer bahwa perjanjian yang
dilakukan oleh Fir’aun merupakan perjanjian tertua diantara dua negara yakni
berisi penghentian peperangan dan perjanjian ektradisi bagi warga yang lari dari
daerah asalnya. 2
Adapun kata “dauliyah” secara etimologi berasal dari kata daala-yaduulu-
daulah (Negara, kerjaan, dan kekuasaan) memiliki ragam makna, di antaranya
hubungan antarnegara, kedaulatan, kekuasaan, dan kewenangan. Dari ragam
makna kata dauliyah, makna yang relevan dengan kajian ilmu hubungan
internasional dalam Islam adalah hubungan antar negara. Dengan demikian dapat
1
Juhaya S Praja, Pemikiran Ketatanegaraan Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 2010), h.13.
2
Muhammad Ramadhan, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam Dalam Fiqh Siyasah, (Jawa
Tengah; PT. Nasya Expanding Management, 2019), h.238
54
3
Ija Suntana, Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah) Cet Ke-1 (Bandung:
Pustaka Setia, 2015), h. 15
55
pidana. Serta dianutnya asas culpabilitas menjadi suatu konsep bahwa tidaklah
manusiawi jika penjatuhan pidana diberikan terhadap orang yang tidak bersalah. 4
Pengaturan mengenai penghilangan hak kewarganegaraan terdapat dalam
Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Disebutkan
dalam pasal 23 bahwa warga negara Indonesia akan kehilangan
kewarganegaraannya atas beberapa hal mulai dari (orang) yang bersangkutan
memperoleh kewarganegaraan lain, masuk dinas tentara asing, bersumpah setia
terhadap negara asing, ikut serta pemilu negara asing, dan beberapa hal lainnya
yang disebutkan dalam BAB IV undang-undang tersebut. Memang tidak ada
pembahasan dalam pasal tersebut yang menyatakan bahwa seseorang akan
kehilangan kewarganegaraannya sebagai WNI karena telah membakar paspor atau
bergabung dengan kelompok terorisme tersebut. Namun, perlu kita pahami bahwa
ISIS adalah upaya untuk mendirikan negara/pemerintahan di wilayah suatu negara
dengan cara melakukan teror dan memberontak memposisikan status hukum ISIS
sebagai belligerent. Hal ini menjadikan ISIS sebagai suatu subjek hukum
internasional sebagai belligerent, bukan suatu negara yang kedaulatannya diakui
dan melakukan diplomasi dengan negara lain. Meskipun disatu sisi perlu adanya
pengakuan dari negara terkait yakni Irak dan Suriah dan memperlakukannya
sebagai tawanan perang, bukan penjahat.5
Presiden Jokowi secara pribadi menolak dan tidak akan memulangkan
kembali para WNI yang terlibat ISIS, lain halnya jika keputusan musyawarah para
pimpinan negara berbeda dan menyetujui pemulangan tersebut. Mengenai
mekanisme penghilangan kewarganegaaan tersebut diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) nomor 2 tahun 2007 tentang tata cara memperoleh, kehilangan,
pembatalan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan republik indonesia.
disebutkan dalam Pasal 32, ada garis koordinasi masing masing. WNI yang
diduga memenuhi salah satu unsur yang terdapat dalam Pasal 31 dan diketahui
4
Barda Nawawi Arif, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h. 56-58
5
Miftahus Sholehudin, ISIS, Pemberontak, dan Teroris dalam Hukum Internasional,
(Malang: Universitas Negeri Malang, 2018), h. 6.
56
oleh pimpinan instansi tingkat pusat, makan berkoordinasi dengan menteri, jika
yang mengetahui pimpinan tingkat daerah, maka melaporkannya ke pejabat, dan
jika yang mengetahui masyarakati sipil (yang bertempat tinggal diluar wilayah
Indonesia), maka melaporkannya kepada perwakilan (kedutaan) Indonesia di
negara tersebut.
Hasil koordinasi dan laporan tersebut akan di cek kembali kebenarannya oleh
menteri, dan mengklarifikasi langsung kepada pelapor, terlapor, dan instansi
terkait. jika hasil klarifikasi sesuai dengan isi laporan dan isi BAB IV undang-
undang nomor 12 tahun 2006, maka Menteri akan menetapkan (ketetapan
menteri) tentang nama-nama orang yang kehilangan kewarganegaraanya tersebut
dan tembusannya disampaikan kepada presiden, pejabat yang wilayah kerjanya
mencakup tempat tinggal yang bersangkutan (asal/tempat tinggalnya di
Indonesia), perwakilan (kedutaan) Indonesia di negara yang menjadi tempat
tinggal yang bersangkutan, dan instansi terkait (pasal 34). Selanjutnya menteri
akan mengumumkan nama-nama orang yang kehilangan kewarganegaraannya
dalam berita negara Republik Indonesia (pasal 39).
Faktor yang menyebabkan mengapa warga negara Indonesia dapat dengan
lolos pada bagian keimigrasian dan dapat bergabung dengan ISIS adalah karena
adanya indikasi kecurangan oleh pelaku pada saat mengurus perolehan dokumen
keimigrasian serta kelalaian oleh pihak imigrasi sehingga mereka dengan mudah
dapat berangkat ke Turki. Selanjutnya mengenai penghilangan hak
kewarganegaraan, bahwa sesuai dengan isi dari BAB IV Undang-Undang nomor
12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, tidak ada satu alasan yang
menyebabkan para WNI yang bergabung dengan ISIS tersebut akan kehilangan
kewarganegaraannya. Meskipun sudah bersumpah setia kepada ISIS dan
membakar paspornya (paspor negara republik indonesia), itu tidak menjadikannya
kehilangan hak kewarganegaraan sebagai WNI, mengingat posisi ISIS disini
hanya sebagai belligerent, bukan suatu negara yang kedaulatannya diakui oleh
sehingga diperbolehkan melaksanakan diplomasi dengan negara lain. 6
6
Samsul Arifin, Penghilangan Hak Kewarganegraan bagi Eks ISIS, (Surabaya: Universitas
Surabaya Press, 2020), h. 74
57
enter into relations with the other states atau dapat dikatakan adanya pengakuan
dari negara lain terkait berdirinya Islamic State (IS).7
Di satu sisi, perspektif siyasah dauliyah merupakan sebagai kekuasaan kepala
Negara untuk mengatur hubungan Negara dalam hal hubungan internasional,
masalah territorial, nasionalitas, ekstradisi, persaingan, tawanan politik,
pengusiran warga negara asing, selain itu juga mengurusi kaum dzimmi,
perbedaan agama, akad timbale balik dengan kaum dzimmi, hudud dan qisash
yang pada intinya mengatur segala aspek terkait dengan politik hukum
internasional. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan perspektif siyasah dauliyyah,
maka perspektif yang diambil merupakan pendapat Presiden Jokowi sebagai
kepala negara Indonesia. Mengutip dari pendapat Presiden Jokowi yang
mengatakan
“Kalau bertanya kepada saya, saya akan bilang tidak (memulangkan WNI eks
ISIS ke Indonesia). Tapi, masih dirataskan," Jokowi juga mengatakan bahwa
pemerintah akan mengalkulasi dampak baik maupun buruk akibat pemulangan
eks WNI tersebut. Adapun, alasan Presiden Jokowi tidak akan memulangkan eks
ISIS Indonesia ke tanah air adalah karena alasan keaman bangsa dan negara. Hal
yang ditakutkan adalah jika eks ISIS dipulangkan kembali ke tanah air, maka
dikhawatirkan mereka akan menyebarkan paham radikal dan memprovokasi
masyarakat. Senada dengan Presiden Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD menyatakan ketidaksetujuannya dengan
pemulangan eks ISIS ke Indonesia dan statusnya yang tetap menjadi Warga
Negara Indonesia (WNI).
Memang banyak pro-kontra yang terjadi di kalangan pemerintahan. Di satu
sisi, komnas HAM Indonesia mendesak pemerintah untuk memberi kesempatan
bagi para eks ISIS ini untuk kembali ke tanah air dan tidak kehilangan
kewarganegaraannya, mengingat banyak dari mereka merupakan perempuan dan
anak-anak. Terlebih, dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, tidak dijelaskan
secara nyata bahwa kehilangan kewarganegaraan karena membakar paspor dan
7
M. Dzar Azhari, Status Hukum ISIS dalam Hukum Internasional, (Yogyakarta: UII
Press, 2018), h. 36.
59
A. Kesimpulan
Dari pembahasan skripsi ini dapat ditarik dua kesimpulan sebagai berikut:
1. Status Kewarganegaraan eks ISIS menurut UU No. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan memang tidak tertulis dalam peraturan tersebut
penghilangan kewarganegaraan yang disebabkan oleh pembakaran paspor
dan masuk ke dalam organisasi teroris. Di satu sisi, walaupun ISIS
dinyatakan sebagai organisasi namun dampak yang diberikan terhadap dunia
sangatlah besar. Untuk itu, jika hanya mempertimbangkan aspek normatif,
jelas mereka tidak akan kehilangan warga negara dan negara harus siap
menerima mereka kembali.
2. Sedangkan, menurut Siyasah Dauliyyah, dalam hal ini merupakan hak dari
pemerintah untuk menentukan status kewarganegaraan mereka. Namun,
Pemerintah tidak mau menerima mereka kembali walaupun status mereka
adalah sebagai eks ISIS. Faktor utamanya tentu adalah pertahanan dan
stabilitas negara, serta keamanan masyarakat. Selain itu, pemerintah juga
khawatir status mereka sebagai eks ISIS hanyalah kedok agar mereka dapat
diterima kembali di negara asalnya. Walaupun memang, banyak penggiat
aktivis HAM, menyayangkan hal tersebut. Nampaknya, aktivis HAM
berspekulasi bahwa sikap pemerintah yang seperti ini karena pemerintah
belum siap untuk dapat membimbing mereka, sehingga dikhawatirkan
malah akan menjadi boomerang bagi bangsa Indonesia. terlebih, aktivis
HAM juga berpendapat mayoritas dari 600 eks ISIS asal Indonesia adalah
anak-anak dan perempuan.
61
62
B. Saran
Direkomendasikan bagi pemerintah untuk merevisi atas UU No. 12 tahun
2006 tentang Kewarganegaraan karena dianggap telah usang dan tidak relevan
lagi dengan keadaan yang sekarang. Penyalahgunaan kewarganegaraan tidak lagi
bersumber dari penghianatan terhadap negara namun juga organisasi teroris yang
justru akan berdampak besar bagi negara itu sendiri. Selain itu, diperlukan diskusi
untuk antara pemangku negara dengan aktivis HAM agar menemukan solusi
terbaik dan pertimbangan yang matang dari berbagai aspek.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU :
Arif, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group, 2014.
Ba’asyir, Abu Bakar Tadzkiroh: Nasihat dan Peringatan Karena Alloh untuk
Para Penguasa Negara Karunia Allah Indonesia yang Berpenduduk
Matoritas Kaum Muslimin, Jakarta: JAT, 2013.
Djaelani, Abdul Qadir. Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Cet Ke-1,
Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
63
64
Muhammad Haidar Assad, ISIS; Organisasi Teroris Paling Mengerikan Abad Ini,
Jakarta, PT. Zaytuna Ufuk Abadi, 2014.
Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Cet. Ke-3, Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI, 2013.
Rahman, Abdul dan Abdul Kadir Kurdi. Tatanan Sosisal Islam Studi Berdasarkan
Al Qur'an dan Sunah, Cet Ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
65
Salim, Agus dan Andi Gadjong. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan
Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007.
Samantho, Ahmad Yanuana. Sejarah ISIS dan Illuminati, Jakarta; PT. Ufuk
Publishing House, 2014.
Suntana, Ija. Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah) Cet Ke-1
Bandung: Pustaka Setia, 2015.
Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dengan The Asia Foundation dan
Prenada Media, 2003.
66
JURNAL :
Hilmy, Masdar “Genealogi dan Pengaruh Jihadisme Negara Islam Iraq dan Suriah
(NIIS) di Indonesia”,Jurnal Teosofi Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol.
04, No. 02 (Desember, 2014).
Yan Mulyana, Akim, dan Deasy Silvya Sari, “Power Negara Islam Irak dan
Suriah (Islamic State Of Irak and Suriah) ISIS”, Jurnal Ilmu Politik dan
Komunikasi, Vol. 6, No. 1, (Juni, 2016).
67
UNDANG-UNDANG
WEBSITE
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200214113641-20-474581/polemik-
wni-eks-isis-dan-aturan-kehilangan-kewarganegaraan, diakses pada 24
Maret 2020. Pukul 15.16 WIB.
https://nasional.tempo.co/read/598878/gabung-isis-teroris-bom-bali-ini-tewas,
diakses pada 29 Oktober 2020 Pukul 08.33 WIB