Anda di halaman 1dari 151

RESTORATIVE JUSTICE PADA KASUS TINDAK PIDANA

KEKERASAN DALAM KELUARGA PERSPEKTIF HUKUM


PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF
Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
(S.H.)

Disusun Oleh:

RIZA PRIYADI
NIM : 11150450000015

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM (JINAYAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIAYATULLAH JAKARTA

2019 M/ 1440 H
ABSTRAK

Riza Priyadi (11150450000015) “RESTORATIVE JUSTICE PADA


KASUS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA
POSITIF” Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2019 M/
1440 H. xi+ 119 halaman + 1 lampiran.

Masalah utama dalam skripsi ini adalah tentang tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga dengan objek analisis pada kasus putusan Nomor
06/Pid.Sus/2018/Pn.Tgl. Dimana terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo
dianggap telah secara sah dan meyakinkan telah melakukan penganiayaan
terhadap istrinya yang bernama Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus.
Sehingga Majelis Hakim dalam putusan tersebut memvonis terdakwa Ade Agung
Setiawan Bin H Kasmo dengan sanksi pidana berupa pidana penjara selama 2
tahun 6 bulan. Sesuai dengan tututan Jaksa Penuntut Umum. Sekripsi ini
bertujuan untuk mengetahui tentang tindak pidana, tindak pidana kekeraan dalam
rumah tangga, konsep restorative justice dalam menyelesaikan kasus tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga baik secara hukum pidan Islam maupun
secara hukum pidana positif, kemudian mengetahui tentang penerapan hukum
yang dilakukan Oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut terdakwa dan
pertimbangan Hakim dalam memutus perkara tersebut.

Penulis menggunakan metode kualitatif dalam melakukan penelitian ini.


pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan dimana penulis
melakukan identifikasi secara Sistematis dari sumber yang berkaitan dengan
obejek kajian yang penulis lakukan. Setelah memperoleh dan mengumpulkan data
tersebut kemudian menganalisis secara yuridis-normatif data yang diperoleh
dengan objek kajian penulis yaitu putusan nomor 06/Pid.Sus/2018/Pn.Tgl.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor


06/Pid.Sus/2018/Pn.Tgl Jaksa Penuntut Umum dalam menerapkan hukum pada
peristiwa tersebut sudah sesuai dengan ketentuan yang ada. Dimana dasar-dasar
penuntutan yang dilakukan Jaksa didasarkan pada fakta hukum yang ada. Fakta-
fakta tersebut diperoleh dari keterangan saksi-saksi dalam persidangan dan alat
bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Kemudian dari penelitian ini penulis
menemukan bahwa vonis putusan yang dilakuan Majelis Hakim berupa sanksi
pidana penjara 2 bulan 6 bulan tidaklah menunjukan adanya konsep restorative
justice. Dimana dalam memutus perkara majelis hakim haya melihat aspek
hukumnya saja yaitu rumusan dalam UU 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga pasal 44 ayat (1), tidak kemudian melihat aspek
kedilan bagi kedua belah pihak (pelaku dan korban).

iv
Pembimbing: Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum.

Daftar Pustaka: 1989 s.d 2017

v
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillahirabbil a l m n, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat


Allah u h n hu la yang telah melimpahkan rahmat, taufiknya dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh
studi di program studi Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syari’ah dan
Hukum Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sholawat serta salam terlimpahkan kepada jujungan kita baginda Nabi


Muhammad Shallallhu „Al ihi s l m yang telah membawa risalah kebenaran
untuk umat manusia.

Selanjutnya dalam proses peyusunan skripsi ini, penyusun mengucapkan


banyak terimakasih kepada yang telah banyak membantu dan yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H. selaku Dekan Fakultas
Syari’ah Dan Hukum Univesitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam (Jinayah)
3. M. Mujibur Rohman, M.A. selaku Sekretaris Program Studi Hukum
Pidana Islam (Jinayah)
4. Dr. Burhanudin, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing dalam
penulisan skripsi yang telah memberikan masukan dan arahan serta
banyak meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
5. Dr. Abdurrahman Dahlan, M.A., selaku Dosen Pembimbing Akademik
yang telah member masukan-masukan dalam menunjang akademik
penulis.

vi
6. Seluruh dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terkhusus pada bapak
Nurohim Yunus, LL.M.
7. Kepada kedua orang tua, ayahanda Soetasro dan ibunda Komariah yang
selalu mendoakan dan menggembleng mental anak laki-lakinya. Semoga
Allah memberkati dan menyayangi mereka seperti halnya mereka
menyayangi penulis. Kepada kakak dan adik, Mba Evi Khulasoh, S.Pd ,
Mba Nurul Hidayah, M.Pd , Mba Khalimatus Sa’diah, S.Pd dan adinda
Zaki Yudin, semoga terus diberi keberkahan oleh Allah Subahanahu Wa
Taala. Kepada seluruh keluarga besar Nahrudin di Tegal dan kepada
keluarga besar Mukhroni di Pemalang, terimakasih atas doa dan nasihat-
nasihatnya.
8. Kepada Para dewan Asatidz PP. Darul khaer Khususnya Ust. Mahdi
Zaida, Ust. Miftahurahmah Zaida dan Ust. Abd. Muqsit Zaida terimakasih
atas bimbingannya selama menempa ilmu agama jenjang Madrasah
Tsanawiah dan kepada dewan Asatidz PP. Ma’hadut Tholabah, khususnya
Romo Kyai Muhammad Syafi’i Baidlowi, Kyai Nasikhun Isa Mufti dan
Kyai Saifullah Mathori yang telah memberikan limpahan ilmu dan doanya
dari jenjang Madrasah Aliah hingga sekarang.
9. Kepada Para kawan-kawan Hukum Pidana Islam angkatan 2015, Kepada 5
sekawan Gerakan Mahasiswa Polos, yaitu Wapres Acmad Mansyur,
Abangda Hariz Rizwan, Ketum IMT Andi Aprianto dan Ketum RIAK
Juliansyah yang telah banyak membantu dalam Gerakan. Kepada
pengurus Crimial law and justice community angkatan 2016 khususnya
kepada para wakli direktur. Kepada kawan-kawan Himpunan Mahasiswa
Islam Komisariat Fakultas Syrah dan Hukum. Kepada Lembaga Kajian
dan Bantuan Hukum Cabang Ciputat Khususnya kepada Direktur Hariri
Lubis, Direktur Onggi Sigma dan Master Dhika Amal. Kepada Sedulur
primodial Ikatan Mahasiswa Tegal Ciputat dan kepada teman-teman KKN
Pelita 200 terkhusus anak-anak Bambang yaitu Nabilah, Ari, Faruh, Listi,

vii
Hafsah, Nurul, Risky dan Husain, terimakasih atas berbagi kisah
pembelajaran hidupnya.
10. Kepada Bala Beskem Ikatan Mahasiswa Tegal, Dede H, Hamdan H,
Robichul B, Abdul M, Zain M. dan Tomi F. yang telah mengisi hari-hari
penulis dengan penuh tawa. Kepada teman-teman Komunitas Backpacker
Langkah katulistiwa dan kepada kawan literasi Putri humayra.
11. Kepada semua pihak yang telah berperan membantu dalam penulisan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis dengan rasa penuh syukur atas keberhasilan penyusunan


skripsi ini mengucapkan Puji syukur Alhamdulillahirobil Alamiin. Semoga
penulisan skripsi ini dapat bermanfaat khusunya bagi penulis dan bagi
pembacanya. Aamiin. Sekian dan terimakasih.

Jakarta, 13 Mei 2019 M


8 Ramadhan 1440 H

Riza Priyadi

viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................................... iii

ABSTRAK .............................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................1

A.Latar Belakang .................................................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah .......................................................................................................... 9

C. Pembatasan Masalah ....................................................................................................... 10

D.Perumusan Masalah ........................................................................................................ 10

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ...................................................................................... 10

F. Studi Terdahulu............................................................................................................... 11

G.Metode Penelitian ........................................................................................................... 13

H.Sistematika Penulisan ..................................................................................................... 15

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, TINDAK PIDANA


KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGGA DAN RESTORATIVE JUSTICE ................17

A.Tindak pidana ................................................................................................................. 17

1. Pengertian Tindak Pidana ....................................................................................... 17

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana ....................................................................................... 21

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana ................................................................................... 28

B. Restorative Justice .......................................................................................................... 31

1. Pengertian Restorative Justice ................................................................................ 31

ix
2. Tujuan Restorative Justice ...................................................................................... 35

3. Prinsip Restorative Justice ...................................................................................... 37

4. Mekanisme Retorative Justice ................................................................................ 39

5. Korban Tindak Pidana ............................................................................................ 40

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga .................................................................................. 42

1. Pengertian Rumah Tangga ...................................................................................... 42

2. Pengertian kekerasan .............................................................................................. 45

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga .......................................................................... 46

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE PADA TINDAK


PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT HUKUM PIDANA
POSITIF DAN PIDANA ISLAM ..........................................................................................50

A.Restorative justice dalam KDRT .................................................................................... 50

1. Persepektif Hukum Pidana Positif Terhadap Penyelesaian KDRT Melalui


Restorative Justice .......................................................................................................... 50

2. Restorative justice dalam Hukum pidana Islam...................................................... 64

B. Posisi Kasus Pada Putusan Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl Tentang Tindak Pidana


Kekerasan Dalam Rumah Tangga. ................................................................................. 78

BAB IV ANALISIS EMPIRIS TERHADAP PENERAPAN HUKUM JAKSA


PENUNTUT UMUM DAN PERTIMBAGAN HAKIM DALAM MEMUTUS
PERKARA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA NOMOR 06/Pid.Sus/PN. Tgl....83

A.Penerapan Hukum Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Kasus Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl ................................................ 83

1. Dakawan Jaksa Penuntut Umum ............................................................................ 83

2. Saksi-Saksi Yang Di Hadirkan Oleh Jaksa Penuntut Umum .................................. 91

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Pada Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl. .................................................................................... 99

B. Analisis Penulis............................................................................................................ 101

C. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl . ................................................................................. 102

x
D.Amar Putusan Pengadilan Negeri Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl ............................. 109

E. Analisis Penulis............................................................................................................. 110

BAB V PENUTUP ...............................................................................................................114

A.Kesimpulan ................................................................................................................... 114

B. Saran ............................................................................................................................. 115

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 117

LAMPIRAN

xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat dan ketertiban adalah dua dimensi yang saling melekat
satu sama lain. Masyarakat sebagai manusia sosial tentu akan membutuhkan
manusia lainya. Hubungan erat antar indiviu dan individu menunjukan bahwa
manusia tidak dapat hidup sendiri (individual) artinya dalam memenuhi segala
kebutuhan primer ataupun kebutuhan sekunder mereka akan saling
melengkapi satu dan lainya. Dalam menjalankan proses pemenuhan
kebutuhan, manusia akan sangat rentan untuk bergesekan dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut. Untuk itu manusia menciptakan suatu peraturan untuk
menjaga ketertiban dalam masyarakat. Sepertihalnya yang dikatakan oleh
Satjipto Rahardjo bahwa kehidupan didalam masyarakat yang sedikit banyak
berjalan dengan tertib dan teratur ini didukung oleh adanya suatu tatanan.
Karena adanya tatanan inilah kehiupan ini menjadi tertib.1 Tatanan yang
disepakati oleh masyarakat untuk menangani konflik atau untuk menjaga
ketertiban dituangkan dalam pembuatan peraturan yang mengikat seluruh
anggota masyarakatnya (kontrak sosial).

Kesadaran masyarakat akan perlunya sebuah kontruksi untuk menjaga


ketertiban dipandang sebagai awal terbentuknya hukum. Akan tetapi menurut
Sajipto Raharjdo bahwa untuk mencitkan suatu ketertiban dalam masyrakat
tidak hanya ditimbulkan oleh adanya hukum akantetapi munculnya norma
ataupun kaedah yang ada pada masyarakat juga dipanang sebagai sarana untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat.2 Menurut Hans Kelsen, hukum
termasuk dalam Sistem norma yang dinamik (nomodynamics). Artinya bahwa
hukum muncul dan terbentuk dari diri seseorang sedangkan norma bersifat
otonom yakni datang dari diri seseorang itu.3 Sedangkan menurut Soerjono

1
Satjipta Rahardjo, Ilmu hukum, (Bandung: Citra Aditia Bakti,2014),h., 13.
2
Ibid,h., 13
3
Maman Rahman Hakim, Hukum Perbankan Syariah, (Tangerang selatan: faza media,
2017), h., 1.

1
2

Soekanto bahwa kaedah adalah patokan atau ukuran atau pedoman untuk
berperilaku atau bersikap tindak dalam bersikap.4 Walaupun ada faktor lain
yang menunjang untuk terbinanya ketertiban diluar hukum, akantetapi hukum
mempunyai andil yang besar dalam menciptakan ketertiban itu. Hal terseut
terjadi karena hukum mempunyai kekuatan yang mengikat bagi seluruh
masyarakat, baik mereka yang setuju dengan hukum tertentu ataupun yang
tidak. Sehingga bagi individu atau anggota masyarakat yang melanggar akan
tetapi dihukum atau diberikan sanksi. Hal serupa itu tidak ditemui dalam
norma ataupun dalam kaedah. Dialam sitem norma dan kaeah mereka yang
melakukan pelanggaran hanya akan diberikan sanksi sosial berupa pengucilan
dari kelompok masyarakat. Menurut Sudikno Mertokusumo daerah
berlakunaya kaidah itu sempit, terbatas secara lokal atau pribadi. Kaidah
dalam suatu daerah tertentu tidak sama dengan kaidah di daerah lain. Berbeda
lapisan masyarakat berbea pula kaidah yang diterapkanya. Sehingga bagi
pelanggar kaidah akan diberikan sanksi sebagai konsekuensi pelanggaran
kaidah sosial menutut kaidah yang berlaku di daerah dimana seseorang
tinggal.5

Hans Kelsen menyebutkan bahwa setiap tatanan sosial adalah untuk


menciptakan perilaku mutual tertentu daripada individu, untuk mengarahkan
mereka pada perilaku yang positif atau negatif tertentu, dalam kesetaraan atau
ketidak setaraan dalam perbuatan tertentu. Menurut Has Kelsen, bagi individu
peraturan tampak seperti sebuah kumpulan peratuaran yang kompleks yang
menentukan individu bagaimana harus berperilaku dalam kaitanya dengan
para individu lainya.6

Hukum dalam tatanan masyarakat sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan


hukum tersebut dikarenakan dengan adanya hukum akan menjamin hak-hak

4
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung: Citra
Aditia Bakti, 1989),h., 6.
5
Sudikno Moertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,2000),
h., 12.
6
Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron (Bandung:
Nusa Media, 2009),h., 275.
3

pribadi seseorang seperti halnya hak untuk hidup, memperoleh informasi


ataupun hak untuk beribadah. Sehingga dimata hukum semua subjek hukum
sama derajatnya (equality before the law). Menurut Mokhamad Najih
setiaknya ada empat hal yang menjadikan hukum sangat dibutuhkan, Yaitu:

1. Menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan


masyarakat, terutama mengenai pelaksanaan dan pemenuhan hak-
hak pribadi.
2. Menjaga agar tidak terjadinya konflik antara angota masyarakat,
sehingga keseimbangan hidup masyarakat dapat tercapai.
3. Hukum diciptakan untuk menyelesaikan konfilik-konflik yan
terjadi agar kondisi sosial yang tiak seimbang dapat seimbang
dapat dipulihkan kembali seperti sebelum terjainya konflik.
4. Menjamin terciptanya suasana aman, tertib dan damai, agar untuk
mendukung tercapainya tujuan hidup bersama yaitu keadilan dan
kesejahteraan.7

Pemidanaan adalah salah satu bentuk hukum yang diterapkan dalam


masyarakat untuk memberikan sanksi bagi masyarakat yang melakukan tindak
penyimpangan terhadap tatanan sosial ataupun melakukan sebuah kejahatan.
Pidana dipandang sebagai nastapa yang dikenakan kepada pembuat karena
melakukan suatu delik. Ini bukan tujuan terakhir tapi tujuan terdekat. Inilah
perbedaan antara pidana dan tindakan. Karena tindakan dapat berupa nestapa
juga tetapi bukan tujuan. Tujuan ahir pidana dan tindakan dapat menjadi satu,
yaitu memperbaiki pembuat.8

Negara Indonesia dengan sistem negara demokrasinya meniscayakan


adanya sebuah hukum untuk mengatur tatakelola kenegaraanya. Bahkan
sebuah negara demokrasi tidak akan terwujud jika tidak ada konstitusi yang

7
Mokhama Najih, Soimin, Pengantar Hukum Indonesia (Malang: Setara Press, 2014),h.,
3.
8
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h., 27.
4

menjadi landasannya. Sebaliknya hukum akan menjadi gumerang jika tidak


dibentuk secara demokratis.

Undang-undang dasar 1945 adalah sebuah konstitusi tertinggi negara


Indonesia. pada perubanan yang ke tiga tahun 2001, Majelis Pemusyawaratan
Rakyat (MPR) yang diketuai oleh Prof. Dr. H. M. Amien Rais menambahkan
dan merubah beberapa pasal dan ayat. Salah satu ayat yang ditambah adalah
ayat (3) pasal 1. Dalam pasal menerangkan bahwa negara Indonesia adalah
negara hukum.9 Dengan adanya ketentuan itu maka pemerintah dalam
melaksanakan aktifitas pemerintahan harus berelandaskan dengan hukum atau
konstitusi negara Indonesia.

Pemidanaan di Indonesia sebagaimana dalam ketentuan pasal satu


yang menyatakan sebagai negara hukum telah mengatur hukum yang bersifat
privat ataupun hukum yang bersifat publik. Sehingga semua kebutuhan
masyarakat akan ketentaraman yang diwujukan oleh hukum dapat terakomodir
dengan baik. Dalam hukum privat maupun publik, negara Indonesia masih
menerapkan Sistem hukum warisan Belanda. Kitab Undang-Udang Hukum
Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Perata (KUHP) yang
diterapkan di Indonesia masih menggunakan prodak Belanda ketika masa
penjajahan.

Sejarah mencatat bahwa sebelum adanya universalisai hukum pidana


oleh pemerintah Belanda, masyarakat Indonesia sudah mengenal pemberian
sanksi badan bagi para pelaku kejahatan. Misalnya hukuman mati dengan cara
ditengelamkan dilaut, ataupun dipasung dan tidak diberi makan ataupun
minum sampai pelaku mati, hal itu dilakukan oleh masyarakat kerajaan di
Indonesia dahulu kala.

Jika kita melihat konsep pemidanaan khususnya pidana mati atau


pidana lain yang diterapkan yang dilakukan oleh Kerajaan di Indonesia bawa
tujuan dari pemidanaan itu adalah sebuah upaya pembalasan yang terkesan

9
Lihat Undang-undang Dasar Perubahan Ketiga Pada Tahun 2001
5

sangat sadis dan sangat tidak manusiawi. Bangbang Poernomo mengatakan


bahwa dalam kepustakaan hukum pidana, menurut alam pikiran yang murni,
maka pembicaraan tentang pidana akan selalu terbentur pada pertentangan
paradoxal, yaitu dalam suatu pihak diadakan untuk melindungi kepentinan
seseorang, akantetapi dilain pihak ternyata memperkosa kepentingan
seseorang terhadap orang lain yang memberikan hukuman berupa penderitaan
kepada orang yang tersebut terakhir. Sedangkan menurut Soedarto,
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pidana ialah pengeritaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-sayarat tertentu.10

Barda Nawawi mengatakan bahwa pidana mengadung unsur-unsur


atau ciri-ciri sebagi berikut;

1) Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan


penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak
menyenangkan.
2) Pidana itu sengaja diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan
yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwanang)
3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum
(korporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-
undang.11

Pemidanaan dalam praktiknnya berfugnsi sebagai kontol bagi


masyarakat, sehingga kedamian bagi masyarakat tidak terganggu. Dalam
filasaf pemidanaan menurut Solehudian terdapat dua deminsi.

Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif


atau pedoman yang memberikan kaidah, kriteria atau pradigma terhadap
masalah pidana dan pemidanaan. Funsgsi ini secara fomal dan instrinsik
bersifat primer dan terkandung didalam setiap ajaran Sistem filsafat.
10
Dwija Priatno, Sistem Pelaksanan Pidana Penjara Di Indonesia (Bandung: Refika
Aditama, 2006),h., 6.
11
Muladi, Barda Nawawi, Teori-Teori Kebijakan Pidana, (Bandung:Alumni, 1984), h., 2.
6

Maksudnya, setiap asas diterapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang
diakui sebagai kebenaran atau norma yang wajib digerakan. Dikembangkan
dan diaplikasikan. Kedua, funsi teori dalam hal ini sebagai meteteory.
Maksudnya filsafat pemidanan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan
melatar belakangi seriap teori pemidanaan. Berdasarka kedua fungsi diatas
dalam proses implementasinya, penetapan sanksi pidana dan tindakan
merupakan aktifitas program legislasi dan/atau yuridiksi untuk menormatifkan
jenis dan bentuk sanksi (pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan
hukum melalui penerapan sanksi.12

Persoalan sanksi dalam hukum pidana erat kaitanya dengan pemikiran-


pemikiran yang tumbuh dalam filasafat pemidanaan. Dalam filsafat dan
pemidanaan mempunyai dua dimensi pendekatan dari hal filasafat dan
pemidanaan itu tersendiri. Pada dimensi filasafat akan berbicara mengapa kita
memidana. Dalam dimensi pemidanaan atau ahli penologi bericara tentang
apakah pengenaan sanksi itu berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi.
Masalah yang ada pada dimensi pemidanaan atau penologi terkait dengan
kerberhasilan, efsiensi, pencegahan, atau upaya rehabilitasi maka dapat
terjawab dengan sudut tujuan yang menjadi pembahasan ahli filasafat.
Keadilan bagi yang terpidana atau bagi masyarakat dalam upaya pemberian
sangsi itu sudah dimuat atau tidak. Sehingga fokus utama adalah keadilan
dalam pemidanaan.

Ada dua hal yang menjadi fokus dalam keadilan filasafat, pertama
adalah pembalasan (retributive justice). Kedua, keadilan yang berbasis dengan
restorasi atau pemulihan (restorative justice).13 Dalam konteks hukum pidana
di Indonesia, KUHP yang diterapkan tergolong dalam filasafat pembalasan.

Dalam restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam


keterlibatanya secara lansung. Korban akan mengembalikannya unsur kontrol.

12
Dwija Priatno, Sistem Pelaksanan Pidana Penjara di Indonesia (Bandung: Refika
Aditama, 2006),h., 13.
13
Ibid,h., 14.
7

Sementara pelaku didorong untuk memiliki tangungjawab sebagai sebuah


langkah dalam memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan
dan dalam membangun Sistem nilai sosialnya. Dalam restorative justice
membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintahan
untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat
merekonsilisasi konflik mereka dan memperbaiki permasalahan yang mereka
perkarakan. Sehingga nilai keadilan bagi kedua belah pihak dapat terakomodir
secara baik. Menurut Romli Atsmasasmita, ukuran untuk menentukan ada
tiaknya kepastian hukum dan keadilan khususnya dalam penegakan hak asasi
manusia dapat dilihat melalui formula sebagai berikut: 14

a. Nilai keadilan tidak diperoleh dari tingginya nilai kepastian hukum


melainkan dari keseimbangan perlindunan hukum atas korban an
pelaku kejahatan
b. Semakin serius suatu kejahatan, maka semakin besar nilai keadilan
yang harus dipertahankan lebih dari nilai kepastian hukum.

Sistem pemidanaan yang ada di Indonesia yang lebih mengunakan


filsafat pembalasan dapat dikatakan tidak atau kurang berpihak pada keadilan.
Pemidanaan yang lebih memusatkan pemberian sanksi pada pelaku kejahatan.
Sehingga keadilan bagi korban kejahatan terabaikan.

Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam


rumah tangga (KDRT) yang diatur dalam Undang-undang No 23 tahun 2004
tantang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Cerminan keadilan jika
melihat sistem yang diterapkan bagi pelaku tindak kekeraan dalam rumah
tangga tidaklah restoratif. Artinya dari sanksi yang diterapkan buakan
menimbulkan suatu kemaslahatan bagi masyarakat, korban maupun pelaku,
akan tetapi malah menjadikan kerugian. Bagi korban kejahatan dengan
dipidanaya pelaku kejahatan tidak berdampak pada tergantinya kerugian yang
ia alami, artinya jika misalnya kejahatan yang dilakuakan adalah kerasan

14
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum
(Bandung: Mandar Maju, 2001),h., 147.
8

berupa tidak pemaksaan dalam hubungan badan maka suami/pelaku tersebut


hanya perlu untuk mengembalikan kerugian yang dialami sang istri (korban).
Dengan seperti itu keadilan bagi korban yang merasa dirugikan dapat
dikembalikan. Demikian juga dengan pelaku kejahatan tersebut, ia dapat
terlepas dari jeratan hukuman pemenjaraan dengan hukuman lain. Tentu
keadilan restoratif berupa pengembalian kerugian tidak dilakuan, dan
kemudian yang ingin dituju adalah pembalasan berupa pemenjaran semata.

Dengan dipidanakanya seorang suami dimana dia adalah tulang


punggung perekonomian dalam keluarganya sendiri. Tentu dengan di
penjarakanya ia akan berdapak kepada perkonomian keluaranya baik itu untuk
pembiayaan kehidupan istrinya atau anak-anaknya dalam menjalankan
kebutuhan hidupnya. Bahkan terkadang permasalahannyapun masih bisa
diselesikan secara musyawarah kekeluargaan.

Peradilan yang berdasarkan pada pengembalian keadilan bagi semua


pihak tentu akan sangat perlu dilakukan. Restorative justice pada kalangan
ahli hukum modern dianggap sebagai upaya yang harus di terapkan dalam
sistem penegakan hukum pidana di Indonesia. Dalam restorative justice akan
mencari solusi terbaik yang antara kedua belah pihak yang berperkara dengan
serupa itu maka keadilan bagi pelaku dan korban dapat di wujudkan. Hal
tersebut kiranya akan sulit diwujudkan apabila peradilan pidana masih melulu
melakukan pemidanaan tampa melihat lebih jauh dampak yang ditimbulkan
dari pemidanaan tersebut.

Seperti halnya yang terjadi pada kasus KDRT yang terjadi di


perumahan Jatinegara Indah, atas nama terpidana Ade Agung Setiawan Bin H
Kasmo yang di jatuhi pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan berdasarkan
keputusan majelis hakim Pengailan Negeri Tegal dengan nomor
06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl . Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum
menerangkan bahwa terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo telah
terbukti secara meyakinkan telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga
9

dengan korbannya adalah istri dari terakawa yaitu saudara Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus. Dari keputusan nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl
itulah penulis akan meneliti tentang apakah dalam keputusan tersebut majelis
hakim mempertimbangkan aspek restorative justice. Sehingga penulis akan
mengulas kajian terhadap restorative justice dalam kasus KDRT baik itu
secara hukum positif maupun secara hukum Isalam dan penulis akan
menganalisa putusan tersebut berasarkan perspektif restorative justice.

Dalam penelitian tersebut penulis mengangkat judul penelitian:


“RESTORATIVE JUSTICE PADA KASUS TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF”

B. Identifikasi Masalah
Dari urayan diatas, dapat diidentifikasikan permasalahan pada pemberian
hukuman pada pelaku tindak pidana penganiyayan sebagai berikut:

1. Upaya restorative jutice dengan melihat kemanfaatan dari Hukum


kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
2. Masih jarang aparat penegak hukum yang menggunakan Sistem
restorative justis dalam kasus KDRT
3. Pemberian sanksi pidana berupa pemenjaraan terhadap pelaku tindak
pidana KDRT dirasa belum memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan.
4. Konsep dalam restorative justice dalam upaya meningkatkan keadilan
dalam masyarakat yang dimotori dengan PERMA No.1 Tahun 2016
tentang Mediasi dan PERMA No.2 Tahun 2012 tentang batasan
minimal kerugian pada kasus pencurian yang hanya diterapkan pada
pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP.
5. Masih banyaknya perkara pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
dikateorikan sebagai kekeraan ringan, akan tetapi diselesaikan dalam
ranah peradilan.
10

6. Kurangnya partisipasi masyarakat terhadap penyelesaian kasus KDRT


melalui jalur restorative justice burupa mediasi antara pihak-pihak
yang berperkara.

C. Pembatasan Masalah
Sebagaimana uraian yang telah penulis paparkan diatas dalam latar
belakang masalah, supaya pembahasan tidak melebar dan keluar dari inti
pembahasan ini serta untuk memfokuskan pembahasan agar lebih spesifik.
Maka penulis dengan segenap keterbatasanya membatasi ruanglinkup
pembahasan dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Pembahasan pada penelitian ini hanya tentang proses penyelesaian


perkara KDRT dengan konsep restorative justice baik secara
hukum positif maupun melalui hukum Islam.
2. Penelitian ini hanya membahas tentang tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga dengan melihat pada ketentuan pada UU No.
23 Tahun 2004.
3. Pembahasan analisa kasus akan difokuskan pada Putusan Majelis
Hakim No 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl.

D. Perumusan Masalah
Dari urayan yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah
diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan hukum Jaksa Penuntut Umum dalam


putusan No 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl.?

2. Bagaimana pertimbangan Majelis Hakim yang memutus perkara


kasus KDRT dalam putusan No 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl.?

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian


1. Adapun Tujuan dari diadakanya penelitian ini adalah sebagai berikut:
11

a. Untuk mengetahui tentang penyelesaian tindak pidana KDRT melalui


proses restorative justice dalam Hukum Pidana Positif.
b. Untuk mengetahui tentang penyelesaian perkara tindak pidana KDRT
dalam Hukum Pidana Islam secara restorative justice.
c. Untuk mengetahui apakah dalam putusan Penailan Nergri Tegal
nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl sudah memuat tentang restorative
justice.
2. Peneliti berharap penelitian ini dapat digunakan dan bermanfaat dalam
penegakan hukum, sehingga memberikan kemanfaatan dan keadilan begi
masyarakat, antara lain:
a. Manfaat secara teoritis yang bisa didapat adalah menambahnya
khazanah keilmuan dalam memahami pengertian secara definitif dari
restorative justice dalam dunia hukum pidana di Indonesia dan dalam
hukum pidana Islam, sehingga penelitian ini sangat akan bermanfaat
bagi kelangan yang memang sedang mendalami bidang hukum pidana.
b. Manfaat praktis yang dapat diperoleh para pembaca adalah hasil
penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pelajar, mahasisa bahkan
para praktisi hukum sebagai bahan pertimbanan dalam penyelesaian
suatu perkara tindak pidana KDRT secara restoratif.
c. Manfaat umum yang dapat diperoleh oleh masyarakat adalah sebagai
tolok ukur dalam menyelesaikan perkara tindak pidana KDRT melalui
jalur restorative justice berupa mediasi pihak yang berperkara.

F. Studi Terdahulu
Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menemukan beberapa skripsi
yang telah ada sebagai bahan kajian awal bagi penulis untuk menulis pada
skipsi ini, diantaranya adalah:
1. Skripsi yang disusun oleh Helmi Arisandi, dengan judul
“(KONSEP MEDIASI PENAL UNTUK RESTORATIVE
JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
12

(PERPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM


POSITIF)”. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Jakarta 2016. Dalam skripsinya ia membahas tentang (1) pandangan
dari hukum positif dan hukum pidana Islam mengenai restorative
justice dalam sebuah tindak pidana, (2) mediasi penal dapat diterapkan
sebaggai sarana yang menerapkan nilai-nilai restorative justice.
Namun pada skripsi ini tidak memfokuskan pada tindak pidana KDRT
sepertihalnya yang penulis fokuskan pada skripsi ini.
2. Skripsi yang disusun oleh Arsy Nuril, dengan judul “(PERANAN
MEDIASI PADA TINDAK PIDANA RINGAN SEBAGAI
PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE MENURUT
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA
ISLAM)” fakultas syariah dan hukum Univesitas Islam Negeri Jakarta
2017. Dalam sekripsinya membahas tentang peranan mediasi dalam
tindak pidana ringan berdasarkan hukum positif dan hukum pidana
Islam. Namun dalam skripsi ini tidak memfokuskan pada kasus KDRT
sebagaimana penulisan pada skripsi ini, danjuga tidak memberikan
contoh kaus seperti dalam skripsi ini.
3. Skripsi yang disusun oleh Novena Christi, dengan judul
“IMPLEMENTASI MEDIASI PENAL SEBAGAI
PERWUJUDAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA”. fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta 2014. Dalam skripsinya ia membahas tentang
eksistensi perUndang-undangan sebagai landasan yuridis dalam
implementasi mediasi penal. Implementasi mediasi dalam setiap
tingkatan baik dari penyidikan, penuntutan, hingga persidangan.
Dalam sekripsi ini tidak membahas tentang restorative justice dalam
Hukum Pidana Islam akan tetapi dalam skripsi penulis membahas
tentang Hukum Pidana Islam juga.
13

Dari ketiga skripsi diatas berbeda dengan skripsi yang dibahas oleh
penulis dalam skripsi ini yang akan membahas tentang, “RESTORATIVE
JUTICE PADA KASUS TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” dalam skripi yang
penulisi susun akan membahas tentang penyelesian tindak pidana KDRT
positif maupun hukum pidana Islam.

G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan skiripsi ini adalah metode
penelitian kualitatif yang berupa kajian kepustakaan (library research) yang
mengguanakan bahan pustaka, artinya sumber yang penulis cantumkan adalah
bahan kepustakaan. Data-data tersebut adalah: buku-buku, kitab-kita, hasil
penelitian-penelitian, jurnal-jurnal yang bersankut paut dengan objek kajian
penelitian.15 Dari sumber tersebut dilakukan penelitian dengan mekanisme
menganalisis bahan-bahan kepustakaan yang memuat berbagai hal yang
bekaitan dangan Sistem restoratve justice dalam tindak pidana penganiyaan
ringan baik itu perspektif hukum pidana positif ataupun dalam hukum pidana
Islam.

1. Jenis Penelitian

Sebuah penelitian dapat diklasifikasi dari berbagai cara atau


sudut pandang, yaitu terapat dua metode yang digunakan dalam sebuah
penelitian yaitu, yang pertama adalah metode penelitian kualitatif,
yang kedua adalah metode penelitian kuantitatif. Pada penulisan
penelitian skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Dimana dalam metode ini mempunyai karakter deskriptif
analisis untuk memberi gambaran mengenai restorative justice dalam
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan perspektif hukum

15
G.R. Raco, Metode Peneitian Kualitatf Jenis, Karakteristik Dan Kaunggulan (Jakarta :
Grasindo, 2010),h., 46.
14

pidana positif dan hukum pidana Islam, sedangkan dilihat dari segi
jenis penelitian hukum, penelitian ini termasuk dalam kategori jenis
penelitian normatif atau doktrinal.

2. Teknik Pengumpulan Data

Pendapat parah ahli menyatakan bahwa data dalam sebuah


penelitian diolongkan atas dua macam, yaitu data primer dan data
sekunder.16dalam penulisan skripsi ini, teknik pengumpulan data yang
digunakan oleh peneliti adalah berupa studi kepustakaan, data yang
digunakan pada skripsi ini adalah data sekunder. Metode penataan
skuner ini akan mencakup bahan hukum primer, skunder dan tersier.
Bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah Undang-undang yang
diterapkan di Indonesia, sepertihalnya KUHP, KUHAP, UU No. 23
Tahun 2004, PERMA No.1 Tahun 2016 tentang mediasi. Sedangkan
data skundernya adalah buku-buku penelitian, kitab-kitab hukum
Islam, jurnal ilmiah, dan karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan
skripsi yang penulis susun. Sedangakan data tersiernya adalah kamus
hukum, kamus bahasa arab, kamus bahasa Inggris, dan kamus bahasa
Indonesia.

3. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data yang diperoleh baik bahan hukum


primer maupun sekunder dan membahas permasalahannya yang
membahas secara normatif. Analisis normatif ini dilakukan secara
deskritif karena penelitian ini tidak hanya bemaksud menungkapkan
atau atau menggambarkan data kebijakan hukum pidana sebagaimana
adanya, tetepi juga bermaksud menggambarkan tentang kebijakan
hukum pidana yang diharapkan dalam Undang-undang yang akan
datang. Sehingga nantinya semua bahan baik dalam hal data

16
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013),h., 5.
15

kepustakaan dan data hasil penelitian keduanya senantiasa


dipertahankan.

H. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini akan susun dalam 5 (lima) bab yang saling
keterkaitan. Lima bab tersebut terdiri dari bab I yang akan memahas tentang
pendahuluan. Pada bab ini dikemukakan secara Sistematis mengenai latar
belakan masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, pembatasan
masalah, tujuan dan manfaat, studi review, metodologi penelitian dan
Sistematika penulisan.

Kemudian pada bab II yang membahas tinjauan umum tentang tindak


pidana, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dan restorative justice.
Pada bab II ini akan menguaikan tentang pengertian-pengertian tentang
pembahsan pada skripsi penulis. Pada bab ini akan terdiri dari sub-sub
bahasan tentang pengertian dan penjelasan terhadap restorative justice,
pengertian tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, unsur-unsur dalam tindak
pidana dan penjelasan mengenai tidak pidana KDRT.

Bab III membahas tinjauan hukum tentang restoratif justice pada


tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga menurut hukum positif dan
hukum Islam. Dalam bab III ini akan menguraikan tentang landasan dalam
penerapan restorative justice baik dalam hukum pidana positif dan hukum
pidana Islam dalam hal tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga. Pada
bab ini akan membahas sub bahasan tentang restorative justice dalam tindak
pidana KDRT perspektif hukum positif dan hukum Islam, dan dalam sub bab
ini akan memahas posisi kasus KDRT pada Putusan Nomor
06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl.

Bab IV membahas tentang analisis penerapan hukum dan putusan


dalam perkara tindak pidana KDRT putusan nomor 06/pid.sus/2018/pn.tgl.
Dalam bab ini akan menguraikan tentang analisis penulis terhadap penerapan
16

hukum jaksa penuntut umum dan pada putusan Pengadilan Negeri Tegal
Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl.

Yang terakhir adalah Bab V yaitu penutup. Pada bab ini akan memuat
tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari jawaban-jawaban singkat dari
hasil dari penelitian dan serta saran-saran. .
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN
RESTORATIVE JUSTICE

A. Tindak pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Tidak pidana merupakan tindakan dimana tindakan seseorang


termasuk dalam unsur-unsur yang terdapat dalam peraturan hukum pidana.
Akan tetapi terkait dengan pengertian bagi masyarakat umum pengerian
tindak pidana kadang sukar untuk difahami. Misalnya menurut literatur
tentang hukum pidana oleh Muoeljatno bahwa istilah tidak pidana
hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemah kata strafbaarfeit
dalam bahasa Belanda, kemudian kata strafbaarfeit diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia.17 Dikalangan penulis di Indonesia
menggunakan istilah tindak pidana antara lain Wirjono Projodikoro,
sebagaimana yang dilihat dari judul bukunya, “Tindak-Tindak Pidana
Tertentu di Indonesia”. Istilah pengertian dari tindak pidana yang mereka
kemukakan adalah bentuk terjemah dari kata strafbaarfeit dalam bahasa
Belanda.

Selain istilah tindak pidana, ada pula beberapa istilah lain seperti:18

a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam


Undang-undang dasar sementara (UUDS) tahun 1950 khusunya
dalam pasal 14.

17
Ismu gunadi, Joenadi Effendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014), h., 36.
18
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Depok: Raja
Grafinfo Persada, 2014, cet. Ke.2), h.56.

17
18

b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-undang


nomor 1 tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk
menyelesiakna kesatuan susunan, kekuasaan, dan cara
pengadilan-pengadilan sipil.
c. Perbuatan perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan
dalam Undang-undang darurat nomor 2 tahun 1951 tentang
perubahan ordonentie tijdelijke byzondere strafbepaligen.
d. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam
Undang-undang darurat nomor 16 tahun 1951 tentang
penyelesaian perselisihan perburuhan.
e. Tindak pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai Undang-
undang, misalnya:
1) Undang-undang darurat nomor 7 tahun 1953 tentang
pemilihan umum.
2) Undang-undang darurat nomor 7 tahun 1953 tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana
ekonomi.
3) Penetapan presiden nomor 4 tahun 1953 tentang kewajiban
kerja bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana
karena melakukan tindak pidana yang merupakan
kejahatan.

Menurut Tongat, penggunaan berbagai istilah tersebut pada


hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya
disesuaikan dengan konteksnya dan difahami konteksnya dan difahami
maknanya, karena dalam tulisanya pengguanaan istilah itu digunakan
secara bergantian bahkan dalam konteks yang lain juga digunakan istilah
kejahatan untuk menunjukan maksud yang sama.19 Para penulis seperti
Profesor Van Hamel telah merumuskan strafbaarfeit itu sebagai suatu
serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain sedangkan
19
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan (Malang:
Univeritas Muhammadiah,cet.2012),h., 92.
19

menurut Pomple perkatan strafbaar feit itu secara teoritis dapat


dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminya kepentingan umum.20

Menurut Moeljatno menggunakan istilah pidana sebagai penggati


dari istilah strafbaarfeit tanpa ada penjelasan apapun, ia mengatakan
bahwa untuk melihat bahwa apakah istilah perbuatan pidana dapat
disamakan dengan istilah straafbaarfeit perlu diketahui terleh dahulu apa
itu straafbaarfeit itu sendiri. Menurut Simons straafbaarfeit dapat
diartikan sebagai kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat
melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sementara menurut Van
Hammel, strafbaarfeit adalah kelakuan yang dirumuskan dalam Wet, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan
kesalahan.21

Melihat kedua pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa


strafbaaefeit pada dasarnya mengandung pengertian sebagai berikut:22

a) Bahwa kata feit dalam istilah strafbaarfeit mengandung arti


kelakuan atau tingkah laku.
b) Bahwa pengertian starfbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan
orang yang mengadakan kelakuan tersebut.

Apa yang disebut dalam butir a diatas, menurut Moeljatno


pengertiannya berbeda dengan perbuatan dalam istilah perbutan pidana.
Sebab menurut beliau perbuatan mengandung makna kelakuan+akibat,
20
Lamintang, Franciscus Theojunior laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di
Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2014),h., 180.
21
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan (Malang:
Univeritas Muhammadiah,cet.2012),h., 92.
22
Ibid,h., 93.
20

bukan berarti kelakuan saja. Sementara apa yang di sebutkan dalam butir
b, maknanya juga berbeda dengan perbuatan pidana, sebab dalam istilah
pidana tidak dihubungkan dengan keikhlasan yang merupakan
pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbutan
pidana.23

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya menunjuk pada


sifatnya perbuatanya saja, yaitu sifat dilarang dengan perbuatan pidana
apabila dilanggar. Persoalan apakah yang melanggar itu kemudian benar-
benar dipidana atau tidak, hal ini akan tergantung pada keadaan batinnya
dan hubungan antara batin antara pembuat atau pelaku dengan
pembuatnya. Dengan demikian menurut Moeljatno, perbuatan pidana
dipisahkan dengan perbuatan pidana. Dalam perbuatan pidana tidak
memuat unsur perbuatan pidana. Hal ini berbeda menurut Molejatno,
berbeda dengan pengertian strafbaarfeit yang selain memuat atau
mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian
kesalahan. Dalam pandangan Molejatno, istilah perbuatan pidana sama
pengertiannya dengan istilah criminal act dalam bahasa Inggris. Sebab,
criminal act juga mengandung arti kelakuan+akibat. Selain itu criminal
act juga dipisahkan dari criminal responsibility (pertanggungjawaban
pidana). Pandangan Moeljatno merupakan pandangan dualistis tentang
perbuatan pidana. Dengan pemahaman seperti tersebut, maka menurut
Molejano, untuk adanya perbuatan pidana tidak cukup dengan
dilakuakannya perbuatan pidana saja, tetapi disamping itu juga harus ada
kesalahan.24

Pendapat dari Molejatno ini kemudian di kritisi oleh Tongat, ia


mengatakan bahwa tentang istilah perbuatan pidana tersebut cukup
relevan, tetapi juga bukan tanpa kelemahan. Kelemahan mendasar
penjelasan Moeljatno tentang istilah perbuatan pidana adalah karena beliau

23
ibid,h., 93.
24
Ibid, h. 94.
21

memberikan makna terhadap istilah perbuatan sebagai kelakuan+akibat,


sementara apa yang dimaksud akibat dalam konteks itu tidak pernah
dijelaskan. Padahal, perbuatan pidana tidak hanya bisa menunjuk pada
perbuatan atau tindak pidana materil saja yang memang mempersyaratkan
timbulnya akibat untuk terjadinya tetapi juga dapat menunjuk pada tindak
pidana formil. Jenis perbuatan pidana ini dianggap telah terjadi dengan
telah dilakukan tindakannya yang dilarang. Dengan demikian menurut
Tongat, istilah perbuatan dalam perbuatan pidana yang memberi makna
sebagai kelakuan+akibat oleh Moeljatno, tidak selamanya relevan. Sebab
ada perbauatan pidana yang hanya mempersyaratkan kelakuan (yang
dilarang) tanpa mempersyaratkan akibat untuk terjadinya, yaitu perbuatan
atau tidak pidana formil.25

Maka dari pengertian tindak pidana menurut para ahli di atas maka
kita dapat mengetahui bahwa tindak pidana adalah suatu tindakan
seseorang yang diancam dengan sanksi pidana.

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Secara umum tindak pidana menurut doktrin terdapat beberapa


pembagian, diantaranya sebagai berikut:26
a. Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas pelanggaran dan
kejahatan
Pembagian perbuatan pidana atas kejahatan dan pelanggaran
ini disebutkan oleh Undang-undang. KUHP buku II memuat tentang
delik-delik yang disebut pelanggaran tetapi tidak ada kriteria yang
menyebutkan tentang penjelasannya. Ia hanya menyebutkan bahwa
kelompok pertama disebut dengan kejahatan dan kelompok kedua di
sebut dengan pelanggaran. Ada 2 pendapat yang mencoba untuk
25
Lamintang, Franciscus Theojunior Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h., 181
26
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:
Univeritas Muhammadiah,.2012), h., 105.
22

mencari perbedaan dari kedua hal tersebut, sekaligus membahas


tentang kriteria dari kejahatan dan pelanggaran.

Pendapat pertama, menyatakan bahwa antara kedua jenis delik


itu ada perbedaan yang besifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu
didapati dua jenis delik: 27

1) Rechtdelicten adalah perbuatan yang bertentangan dengan


keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana
dalam suatu Undang-undang atau tidak. Jadi yang benar-
benar dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang
bertentangan dengan keadilan misal; pembunuhan,
pencurian. Delik-delik seperti ini disebut dengan kejahatan.
2) Wetgdelicten adalah yang oleh masyarakat umum disadari
sebagai tindak pidana karena Undang-undang menyebutnya
sebagai delik. Sehingga karena ada Undang-undang yang
mengancamnya dengan pidana misal: memarkir mobil di
sebelah kanan jalan. Delik-delik seperti ini disebut dengan
delik pelanggaran.

Meskipun demikian perbedaan secara kualitatif ini tidak dapat


diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena
tercantum dalam KUHP. Jadi sebenarnya tidak segera dirasakan
sebagai hal yang bertentangan dengan keadilan. Sebaliknya dengan
pelanggaran yang benar-benar bertentangan dengan keadilan. Oleh
karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari
ukuran lain.

Pendapat kedua, mengatakan bahwa pada delik kejahatan dan


delik pelanggaran ada berpedaan yang bersifat kuantitatif. Pendapat ini

27
Ismu Gunadi, Joenadi Effendi, Cepat Dan Mudah Memahami Hukum Pidana (Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2014), h., 45.
23

hanya menentukan kriteria pada perbedaan yang dilihat dari segi


kriminlogi adalah pelanggaran itu lebih ringan daripada
kejahatan.Tetapi tindak pidana tidaklah hanya semata-mata membahas
tentang perbuatan, pelaku, dan pidana saja melaikan juga mengatur
hal-hal yang lainya yang berkaitan dengan itu. Antara lain alasan-
alasan yang menghapus, mengurangi, atau memberatkan hukuman
dalam pasal pasal 44-52 a, Percobaan melakukan tindak pidana pasal
53 dan 54, Penyertaan dalam tindak pidana yakni beberapa orang
melakukan suatu tindak pidana pasal 55-62, Berbarengan tindak
pidana yakni seseorang melakukan beberapa tindak pidana pasal 63-
71. Pembagian tindak pidana menjadi tindak pidana kejahatan dan
tindak pidana pelanggaran itu lebih mendapat pengaruh dari berbagai
tindak pidana yang disebut recnts delicten (yakni delik-delik yang
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis). Dan wetsdelicten
(delik-delik yang memperoleh sifatnya sebagai tindakan-tindakan yang
pantas untuk dihukum, karena dinyatakan demikian didalam peraturan-
peraturan Undang-undang). Pembagian dari tindakan pidana menjadi
kejahatan dan pelanggaran itu bukan hanya merupakan dasar bagi
pembagian kitab Undang-undang hukum pidana kita menjadi buku ke
2 dan buku ke 3 melainkan juga menjadi dasar bagi seluruh Sistem
hukum pidana didalam perUndang-undangan pidana secara
keseluruhan. 28

b. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan tindak
pidana materil 29
1) Tindak Pidana Formil
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang.

28
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013, cet.ke dua), h., 5.
29
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan ( Malang:
Univeritas Muhammadiah,cet.2012), h., 106.
24

Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa tindak pidana formil


adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi atau selesai
dengan telah dilakukanya perbuatan yang dilarang dalam Undang-
undang, tanpa mempersoalkan akibat. Tindak pidana yang
diklasifikasikan sebagai tindak pidana formil dapat disebut
misalnya pencurian sebagaimana diatur dalam pasal 362 KUHP,
penghasutan sebagaimana diatur dalam pasal 160 KUHP, dan
sebagainya.
2) Tindak Pidana Materil
Tindak pidana materil adalah tindak pidana yang
perumusanya dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa tindak pidana materil adalah
tindak pidana yang baru dianggap telah terjadi, atau dianggap telah
selesai apabila akibat dari hal yang dilarang itu telah terjadi. Jadi,
jenis tindak pidana materil ini mempersyaratkan terjadinya akibat
untuk selesainya. Apabila belum terjadi akibat yang terjadi akibat
yang dilarang, maka belum bisa dikatakan selesai tindak pidana ini,
yang terjadi baru percobaannya. Sebagai contoh dapat disebut
misalnya tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam pasal 338
KUHP, penipuan dalam pasal 378 KUHP, dan sebagainya.

c. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana atau delik


comissionis, delik omisionis dan delik comisionis per omissionis
commis.30
1) Delik comissionis: adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang misalnya melakuakn
pencurian, penipuan, pembunuhan, dan sebagainya.
2) Delik omissionis: delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah,
yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah misalnya tidak

30
Ibid, h., 108.
25

menghadap sebagai saksi dimuka pengadilan sebagaimana diatur


dalam pasal 522 KUHP.
3) Delik comissionis per omissionis commissa: delik yang berupa
pelanggaran terhadap larangan akantetapi dilakukan dengan cara
tidak berbuat.

Contoh: seorang ibu yang membunuh anaknya dengan cara tidak


memberi air susu (pelanggaran terhadap larangan untuk membunuh
sebagaimana diatur dalam pasal 338 atau 340 KUHP).

d. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana kesengajaan (dolus)


dan tindak pidana kealpaan (culpa)
1) Tindak pidana kesengajaan atau delik dolus adalah yang membuat
unsur kesengajaan. Misalaya tindak pidana pembunuhan dalam pasal
338 KUHP, tindak pidana memalsukan mata uang sebagaimana
diatur dalam pasal 245 KUHP, dan sebagainya.
2) Tindak pidana kealpaan atau delik culpa adalah delik-delik yang
memuat unsure kealpaan. Misalnya delik yang diatur dalam pasal
359 KUHP, yaitu karena kealpaanya mengakibatkan matinya
seseorang, delik yang diatur dalam pasal 360 KUHP, yaitu kerena
kealpaannya mengakibatkan orang luka, dan sebagainya.

e. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana atau delik tunggal dan
delik berganda.
1) Delik tunggal adalah delik yang cukup dilakuakan dengan satu kali
perbuatan. Artinya, delik ini telah dianggap telah terjadi dengan
hanya sekali perbuatan. Misalnya pencurian, penipuan,
pembunuhan.
2) Delik berganda adalah delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi
apabila dilakuan beberapakali perbautan. Misalnya: untuk
dijadikan kualifikasi sebagai tidak pidana atau delik dalam pasal
26

481 KUHP, maka penadah itu harus terjadi dalam beberapa kali.
Apabila terjadi hanya satu kali, maka masuk kualifikasi pasal 480
KUHP (penadahan biasa)

f. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana yang berlangsung


terus dan tidak pidana yang tidak berlangsung terus.
1) Tindak pidana yang berlangsung terus adalah tindak pidana yang
mempunyai ciri, bahwa atau keadaan yang dilakuakan itu
dilakukan secara terus menerus. Dengan demikian, tindak
pidananya berlangsung terus menerus. Contoh tindak pidana ini
adalah tindak pidana yang terdapat dalam pasal 333 KUHP yaitu
tindak pidana merampas kemerdekaan orang. Dalam tindak pidana
ini, selama orang yang dirampas kemerdekaanya itu belum dilepas
(masih disekap didalam kamar, misalnya), maka selama itu pula
tindak pidana itu masih berlangsung terus.
2) Tindak pidana yang tidak berlangsung terus adalah tindak pidana
yang mempunyai ciri, bahwa keadaan yang terlarang itu tidak
berlangsung terus. Jenis tindak pidana ini akan selesai dengan telah
dilakukanya perbuatan yang dilarang atau telah timbulnya akibat.
Contoh: tindak pidana pencurian, pembunuhan, penganiayaan dan
sebagainya.

g. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana aduan atau tindak
pidana bukan aduan.
1) Tindak pidana aduan adalah tindak pidana penuntutanya hanya
dilakuakan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena atau yang
dirugikan. Dengan seperti itu dengan tidak adanya pengaduan,
terhadap tindak pidana itu tidak boleh dilakukan penuntutan. Tindak
pidana aduan terdapat dua pembagian, yaitu;
a) Tindak pidana aduan absolut, yaitu tindak pidana yang
mempersyaratkan secara absolute adanya aduan dalam
27

penuntutuannya. Contohnya: tindak pidana perzinaan dalam


pasal 284 KUHP, tindak pidana pencemaran nama baik dalam
pasal 310 KUHP, dan sebagainya. Jenis tindak pidana ini
menjadi adua, karena sifat dari tindak pidananya sendiri.
b) Tindak pidana aduan relatif, yaitu pada prinsipnya jenis tindak
pidana ini bukanlah merupakan tindak pidana aduan. Jadi pada
dasarnya tindak pidana aduan relatif merupakan tindak pidana
laporan (tindak pidana biasa) yang karena dilakukan dalam
lingkungan keluarga, kemudian menjadi tindak pidana aduan.
Contoh dari tindak pidana ini adalah pencurian dalam keluarga
yang diatur dalam pasal 367 KUHP, tindak pidana penggelapan
dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP, tindak pidana
penggelapan dalam keluarga dalam pasal 367 KUHP, dan
sebagainya.

2) Tindak pidana bukan aduan, yaitu tindak pindana-tindak pidana yang


tidak mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutanya.
Misalnya: tindak pidana pembunuhan, tindak pidana pencurian,
tindak pidana penggelapan, dan sebagainya.

h. Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana bisa (dalam bentuk
pokok) dan tindak pidana yang dikualifikasi.
1) Tindak pidana dalam bentuk pokok adalah bentuk tindak pidana
yang paling sederhana, tanpa adanya unsure yang bersifat
memberatkan.
2) Tindak pidana yang dikualifikasi yaitu tindak pidana dalam bentuk
pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat, sehingga
ancaman pidananya menjadi lebih berat. Sebagi contoh dapat
dikemukakan Tindak pidana dalam pasal 362 KUHP merupakan
bentuk pokok dari pencurian, sedang tindak pidana dalam pasal 363
dan 365 KUHP merupakan bentuk kualifikasi atau pemberatan dari
28

tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok (362 KUHP).


Sedangkan tindak pidana dalam pasal 372 KUHP merupakan bentuk
pokok dari penggelapan, sedang tindak pidana dalam pasal 374 dan
375 KUHP merupakan bentuk kualifikasi atau pemberatan dari
tindak pidana penggelapan dalam bentuk pokok (372 KUHP).

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pembahasan unsur-unsur tindak pidana dilakukan dengan dasar


pikiran bahwa antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana
(kesalahan) merupakan dua hal tidak dapat dipisahkan secara ketat. D.
Simons memberi definisi perbuatan (handeling) sebagai setiap gerakan
otot yang dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat.
Dalam definisi ini, ada atau tidaknya perbuatan dalam arti hukum pidana,
tergantung pada ada atau tidaknya syarat “dikehendaki” yang merupakan
unsur kesalahan. Jika gerakan otot itu tidak dikehendaki, misalnya hanya
gerakan refleks, maka sejak semula juga tidak ada perbuatan (dalam arti
hukum pidana). Bukannya ada perbuatan tetapi orangnya tidak dapat
dipidana karena tidak ada kesalahan. Tetapi, pada umumnya, antara
perbuatan dan kesalahan dapat dibedakan, malahan pembedaan perlu
dilakukan untuk pembahasan yang lebih cermat, sehingga Sistematika
pembahasan ini juga menyediakan tempat-tempat tersendiri bagi perbuatan
dan kesalahan.31

Dalam mengemukakan apa yang merupakan unsur-unsur tindak


pidana, umumnya dikemukakan terlebih dahulu pembedaan dasar antara
unsur (bagian) perbuatan dan unsur (bagian) kesalahan
(pertanggungjawaban pidana). Unsur (bagian) perbuatan ini sering juga
disebut unsur (bagian) objektif sedangkan unsur (bagian) kesalahan sering
juga disebut unsur (bagian) subjektif. Selanjutnya dikemukakan unsur-

31
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum Dan Tertulis Di Indonesia, (Jakarta:Raja
Garafindo Persada, 2013, cet.2), h., 65.
29

unsur (sub-sub unsur) yang lebih terinci dari masing-masing unsur


(bagian) dasar tersebut.32
Jacob Marten Van Bemmelen yang menulis bahwa pembuat
Undang-undang, misalnya membuat perbedaan antara kejahatan yang
dilakukan dengan sengaja dan karena kealpaan. Bagian yang berkaitan
dengan si pelaku itu dinamakan “bagian subjektif”. Bagian yang
bersangkutan dengan tingkah laku itu sendiri dan dengan keadaan di dunia
luas pada waktu perbuatan itu dilakukan, dinamakan “bagian objektif”.33
Demikian juga Bambang Poernomo yang menulis bahwa:
pembagian secara mendasar didalam melihat elemen perumusan delik
hanya mempunyai dua elemen dasar yang terdiri atas:34
a. Bagian yang objektif yang menunjuk bahwa delict/strafbaar feit
terdiri dari suatu perbuatan (een doen of nalaten) dan akibat
yanga bertentangan dengan hukum positif sebagai perbuatan
yang melawan hukum (onrechtmatig) yang menyebabkan
diancam dengan pidana oleh peraturan hukum, dan
b. Bagian yang subjektif yang merupakan anasir kesalahan dari
pada delict/ strafbaarfeit. Dengan perkataan lain dapat dikatakan
bahwa elemen delict/strafbaar feit itu terdiri dari elemen objektif
yang berupa adanya suatu kelakuan bertentangan dengan hukum
(onrechtmatig atau wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang
berupa adanya seorang pembuat/dader yang mampu bertanggung
jawab atau dapat dipersalahkan (toerekeningsvatbaarheid)
kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.

Ahli hukum yang langsung melakukan pembagian secara terinci,


misalnya Derkeje Hazewinkel Suringa, sebagaimana yang dikutip oleh

32
Ibid, h., 66.
33
Ibid, h., 66.
34
Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Ghalia Indoesia, 1978), h., 98.
30

Bambang Poernomo, mengemukakan unsur-unsur tindak pidana yang


lebih rinci, yaitu:35

1) Tiap delik berkenaan dengan tingkah laku manusia (menselijke


gedraging), berupa berbuat atau tidak berbuat (een doen of
nalaten). Hukum pidana kita adalah hukum pidana perbuatan
(daadstrafrecht). Cogitationis poenam nemo patitur (tidak
seorang pun dapat dipidana hanya atas apa yang dipikirkannya).
2) Beberapa delik mengharuskan adanya akibat tertentu. Ini terdapat
pada delik materil.
3) Pada banyak delik dirumuskan keadaan psikis, seperti maksud
(oogmerk), sengaja (opzet), dan kealpaan (onach-zaamheid atau
culpa).
4) Sejumlah besar delik mengharuskan adanya keadaan-keadaan
objektif (objectieveomstandigheden), misalnya penghasutan
(pasal 160) dan pengemisan (pasal 504 ayat 1) hanya dapat
dipidana jika dilakukan didepan umum (in het openbaar).
5) Beberapa delik meliputi apa yang dinamakan syarat tambahan
untuk dapat dipidana. Misalnya dalam pasal 123: “jika pecah
perang”, pasal 164 dan 165: “jika kejahatan itu jadi dilakukan”
pasal 345 jika orang itu jadi bunuh diri pasal 531 jika kemudian
orang itu meningal.
6) Juga bisa dipandang sebagai suatu kelompok unsur tertulis yang
khusus yakni apa yang dirumuskan sebagai melawan hukum
(wederrechtelejik) tanpa wewenang (zonder daartoe gerchtigd te
zijn) dengan melampaui wewenang (overschrijving der
bevoegheid).
7) Umumnya waktu dan tempat tidak merupakan unsur tertulis.
Hanya dalam hal-hal khusus pembentuk Undang-undang

35
Ibid, h., 90.
31

mencantumkannya dalam rumuan delik, misalnya dalam pasal


122: dalam waktu perang (tijd van oorlog).

H.B Vos, sebagaimana ditulis oleh Bambang Poernomo, bahwa


dalam tindak pidana dimungkinkan ada beberapa unsur (elemen) yaitu:36
a) Elemen perbuatan yang dilakukan orang dalam hal berbuat atau
tidak berbuat (een doen of nalaten).
b) Elemen akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai.
Elemen akibat ini dapat diangap telah ternyata pada suatu
perbutan. Rumusan Undang-undang kadang-kadang elemen
akibat tidak diperhitungkan di dalam delik formil, akan tetapi
kadang-kadang elemen akibat dinyatakan dengan tegas yang
terpisah dari perbuatanya seperti didalam delik formal.
c) Elemen subjektif yaitu kesalahan, yang di wujudkan dengan kata-
kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa).
d) Elemen melawan hukum (wedrrechtelijkheid).
e) Dan sedertan elemen-elemen lain menurut rumusan Undang-
undang, dan dibedakan dari segi objektif misalnya dalam pasal
160 diperlukan elemen dimuka umum (in het openbaar) dan segi
subjektifnya misalnya pasal 340 diperlukan unsur direncanakan
terlebih dahulu (voorbedachteraad).

B. Restorative Justice

1. Pengertian Restorative Justice

Pengertian restorative jutice dalam, terminologi hukum pidana,


adalah penyelesaian perkara diluar pengadilan dengan perdamaian antara
korban dan tersangka. Dimana biasanya dilakukan dengan memberikan
ganti kerugian yang dialami korbannya. Akan tetapi penerapan pengadilan
restoratife ini diperuntukan dalam kasus pidana delik ringan.37 Dalam

36
Ibid, h., 99.
37
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),h.,5.
32

KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) tidak dijelaskan tentang


definisi delik ringan, akan tetapi dalam KUHAP (Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana) terdapat ketentuan tentang tatacara dalam
pengadilan tipiring (tindak pidana ringan). Dalam pasal 205 ayat (1)
KUHAP menyatakan bahwa tindak pindana ringan di periksa dengan acara
pemeriksaan cepat, pasal tersebut berbunyi, “yang dipeiksa menurut acara
pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan
penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-
banyaknya tujuh ribu limaratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang
ditentukan dalam paragrap ke 2 bagian ini”.38

Sedangakan pengertian restorative justice secara praktis tidak


dapat ditemukan kata sepakat diantara para ahli. Hal ini didukung dengan
pendapat Crawford yang mengatakan, ”the diversity in the types of
practices used in restorative justice make it difficult to define clearly. The
term is currently being used to describe practices which are in place
across a broad spectrum of societal conditions, including those accurring
within the criminal justice Sistem”.39 Jika diartikan dalam bahasa
Indonesia berarti, Keragaman dalam jenis praktik yang digunakan dalam
restoratif justice membuatnya sulit untuk didefinisikan dengan jelas.
Istilah ini saat ini digunakan untuk menggambarkan praktik-praktik yang
berlaku di berbagai spektrum kondisi masyarakat, termasuk yang terjadi
dalam Sistem peradilan pidana.

Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Miller dan Blacker yang
menyatakan “most practices which are not defined as retributive are often
included in the realm of restorative justice and it has been argued that the
scope of restorative justice has become so wide that it has been used to

38
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana pasal 205 ayat (1)
39
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, (Jakarta:Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010),h.,119.
33

address virtually any harmful or morally reprehensible ction”.40 Mereka


megatakan bahwa sebagian besar praktik yang tidak didefinisikan sebagai
retributif sering dimasukkan dalam ranah keadilan restoratif dan telah
diperdebatkan bahwa ruang lingkup keadilan restoratif telah menjadi
begitu luas sehingga telah digunakan untuk menangani tindakan yang
berbahaya atau tercela secara moral.

Pengertian umum yang dapat dipakai dalam memahami restorative


jutice dikemukakan oleh Tony Marshall sebagai berikut, ”A gener lly
accepted definition of restorative justice is that of a process whereby the
parties whit a stake in a particular offence come together to resolve
collectively ho to deal with the aftermath of the offence and its
implic tions for the future”. Tony menatakan bahwa, keadilan restoratif
yang diterima secara umum adalah proses dimana para pihak
mempertaruhkan suatu saham dalam suatu pelanggaran tertentu bersama-
sama untuk menyelesaikan secara kolektif untuk berurusan dengan akibat
dari pelanggaran dan implikasinya bagi masa depan. Dalam pengertian
tersebut restorative justce adalah proses dimana para pihak yang terlibat
dalam kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan permaslahan yang
berkitan dengan bagai mana cara menghadapi permasalahan pasca
kejahatan serta akibat-akibatnya dimasa depan. Definisi yang
dikemukakan oleh Tony Marshall ini kemudian diadopsi oleh kelompok
kerja peradilan anak dalam PBB.41

Berdasarkan definisi mengenai restorative jutice yang


dikemukakan oleh Tony Marshall tersebut, Braithwaite menyatakan
bahawa definisi tersebut terlalu dibatasi mengingat didalam definisi yang
dimaksud tidak terdapat inti dari restorasi dibandingkan dengan
kompetensinya. Menurut Braithwiate, ”M rsh ll‟s definision does not
define the core falues of restorative justice, which are about healing rather
40
Ibid,h.,119.
41
Waiati Soetejoe, Hukum Pidana Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. 4), h.,
136.
34

than hurting, moral learning, community participation and community


caring, respectful dialogue, forgiveness, responsiblility, apologi, and
m king mends”.42 Braithwiate mengatakan bahwa, Definisi Marshall
tidak mendefinisikan nilai-nilai inti dari keadilan restoratif, yaitu tentang
penyembuhan daripada menyakiti, pembelajaran moral, partisipasi
masyarakat dan kepedulian masyarakat, dialog penuh hormat,
pengampunan, tanggung jawab, apologi, dan menebus kesalahan.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Roche, yang mengatakan


bahwa, “these re the v lues whith should guide the restor tive process
and that they are probably a batter indication of what restorative justice is
out then re ny of the v il le definitions”.43 Pendapat Roche
mengatakan bahawa, ini adalah nilai-nilai yang harus dipandu melalui
proses restoratif dan bahwa mereka mungkin merupakan indikasi tentang
pengertian keadilan restoratif maka hal tersebut merupakan salah satu dari
definisi yang tersedia.

Dengan demikian inti dari restoative justice adalah penyembuhan,


pembelajaran moral, partisipasi, dan perhatian masyarakat, dialog, rasa
memaafkan, tanggung jawab dan membuat perubahan, yang semuanya itu
merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam persepektif restorative
justice.

Sedangkan menurut Agustinus Pohan, apa yang disebut dengan


retorative justice merupakan konsep keadilan yang sangat berbeda dengan
apa yang kita kenal saat ini. dalam Sistem hukum pidana Indonesia yang
bersifat restibutif. 44

Dalam pendapat yang lain dikemukakan dalam jurnal


www.restorativejutice.org, sebagai mana yang telah dikutip oleh Ridwan
42
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, (Jakarta: Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010), h., 121.
43
Ibid, h., 121.
44
Waiati soetejoe, Hukum pidana anak, (Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. 4), h.,
134.
35

Mansyur, dalam bukunya Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, bahwa


restorative justice adalah respon yang Sistematis atas tindak
penyimpangan yang ditekankan pada pemulihan atas kerugian yang
dialami korban dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan
kriminal. Bilamana melihat definisi yang disampaikan maka jelas bahwa
restorative justice lebih menekankan pada upaya pemulihan dan bukan
untuk menghukum. Dalam pelaksanaannya, restorative justice akan
merespon tindak pidana dengan ciri-ciri sebagai berikut:45

a. Melakukan identifikasi dan mengambil langkah untuk


memperbaiki kerugian yang diciptakan
b. Melibatkan seluruh pihak yang terkait (stake holder)
c. Adanya upaya untuk melakukan transformasi hubungan yang
ada selama ini antara mayarakat dengan pemerintah dalam
merespon tindak pidana.

Maka melihat dari pendapat para ahli diatas tentang keadilan


restoratif, kita bisa menyimpulkan bahwa restorative justice adalah upaya
untuk menyelesaikan masalah dengan meminimalisir untuk terulanginya
kerugian baik yang dialami oleh korban. Artinya kedua belah pihak
(pelaku dan korban) berperan aktif untuk mencari win win solution untuk
menyelesaikan permasalahan mereka. Hukum yang menetur akan menjadi
pilihan terakhir bila mana tidak ditemukanya kesepakatan perdamaian
kedua belah pihak yang berperkara.

2. Tujuan Restorative Justice

Tujuan dari restorative justice itu sendiri adalah pencapaian


keadilan yang seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat
didalamnya, dan tidak sekedar mengedepankan penghukuman. Keadilan
yang saat ini dianut oleh kaum Abolisionis disebut sebagai keadilan

45
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, (Jakarta:Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010), h., 121.
36

restributif, sangat berbeda dengan keadilan restoratif. Menurut keadilan


retributif kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap negara,
sedangkan menurut keadilan restoratif kejahatan dipandang sebagai
pelanggaran seseorang terhadap orang lain. Selain itu, keadilan restributif
berpandangan bahwa pertanggungjawaban si pelaku tindak pidana
dirumuskan dalam rangka pemidanaan, sedangkan keadilan retoratif
berpandangan bahwa pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai
dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu
memutuskan mana yang paling baik. Dilihat dari sisi penerapannya,
keadilan retributif lebih cenderung menerapkan penderitaan penjeraan dan
pencegahan, sedangkan keadilan restoratif menerapkan restitusi sebagai
sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan retorasi sebagai tujuan
utama.46

Implementasi restorative jucice dalam Sistem peradilan pidana


sejalan dengan deklarasi PBB tahun 2000 tentang prinsip-prinsip pokok
dalam penggunaan program-program keadilan restoratif dalam
permasalahan-permasalahan pidana (unite national declaration on the
basic prinsiples on the use of restoratife justice programmes in criminal
matters) telah menganjurkan untuk mendaya gunakan konsep retorative
justice secara lebih luas pada suatu Sistem peradilan pidana. Hal ini juga
dipertegas oleh deklarasi WINA tentang tindak pidana dan keadilan
(vienn decl r tion on crime nd justice: “meeting the ch llenges of the
twenty first century”) dalam butir 27 dan butir 28”. Hal tersebut dibahas
kembali dalam kongres perserikatan bangsa-bangsa (PBB) ke-XI tentang
pencegahan kejahatan dan peradilan pidana (eleventh united nations
congress on crime prevention and criminal justice) yang di selenggarakan
di Bangkok tahun 2005, dimana didalam kongres tersebut ditegaskan
kembali perihal keadilan restoratif. Hal ini dapat dilihat pada butir 32

46
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Bandung: Universitas Diponegoro,
1995), h., 15.
37

deklarasi bangkok tersebut dibawahi judul, “synergies nd responsess:


str tegic lli nces in crime prevention nd crimin l justice”.47

3. Prinsip Restorative Justice

PBB mempunyai prinsip-prinsip dalam menjalakan Sistem


peradilan yang menekaknkan pada restorative justice :48

a. That the response to crime shoul repair as much as possible the


harm suffered by the victim.
Prinsip ini menyebutkan bahwa prinsip dari penanganan
kerugian atas tindak pidana harus dilakukan semaksimal
mungkin. Hal ini lah yang menjadi salah satu tujuan utama dari
keadilan restoratif. Dengan memaksimalkan kerugian dari tindak
pidana, korban mempunyai akses untuk berperan dalam
penyelesaian perkara pidana.
b. That offener should be brought to undestend that their behavior
is not acceptable and that it had some real consequences for the
victim and communitiy.
Pendekatan keadilan restoratif dapat dilakukan jika pelaku
menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan
perbuatan yang tidak dibenarkan yang merugikan orang lain.
Dengan kesadaran yang timbul dari pelaku, akan menimbulkan
kesukarelaan dari pelaku, kesukarelan yang timbul dari pelaku
merupakan suatu tanda bahwa pelaku telah mengerti bahwa ia
telah berbuat salah, sehingga akan timbul rasa untuk
bertanggungjawab atas perbuatanya.
c. That offenders can and should accept responsibility for their
action.
47
Dokumen: A/Res/55/59 yang didistribusikan pada umum pada tanggal 17 januari
2001
48
Arsy Nuril, “Peranan Mediasi Pada Tindak Pidana Ringan Sebagai Perwujudan
Restorative Justice Menurut Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam” (Fakultas
Syariah Dan Hukum : Skripsi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 30.
38

Prinsip ini adalah prinsip yang mengharuskan pelaku harus


menerima atas perbuatanya, pelaku dituntut untuk rela
bertanggungjawab atas akibat yang timbul atas tindak pidana
yang dilakukannya. Kesadaran dari pelaku merupakan salah satu
bentuk tujuan dari keadilan restoratif.
d. That victims should have an opportunity to express their needs
and participle in determining the best way for the offender to
make reparation.
Prinsip ini adalah prinsip yang mana korban diberikan
kesempatan untuk mengekspresikan pendapatnya tentang
kebutuhanya berpartisipasi dalam menentukan cara yang terbaik
untuk menyelesaikan perkara dengan meminta ganti kerugian
pada pelaku.
e. That the common has a responsibility to contribte to this proces.
Dalam peristiwa pidana, masyarakat juga memiliki
tanggungjawab untuk berkontribusi dalam proses restoratif ini.

Secara umum pelaksanaan restorative justice memiliki prinip-


prinip dasar sebagai berikut: 49

1) Keadilan yang dianut adalah adanya upaya pemulihan bagi


pihak yang dirugikan.
2) Siapapun yang terlibat dan terkena dampak dari tindak pidana
harus mendapat kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam
menindaklanjutinya.
3) Pemerintah berperan dalam menciptakan ketertiban umum,
sementra masyarakat membangun dan memelihara perdamaian.

Mengacu pada prinsip-prinsip tersebut diatas terdapat empat nilai


utama, yaitu:

49
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT (Jakarta:Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010) ,h., 125.
39

a) Encounter (bertemu satu sama lain) yaitu menciptakan


kesempatan kepada pihak-pihak yang terlibat dan mempunyai
niat untuk melakukan pertemuan untuk membahas permaslahan
yang telah terjadi dan pasca terjadi kejadian.
b) Amends (perbaikan) dimana sangat diperlukan pelaku mengambil
langkah dalam memperbaiki kerugian yang terjadi akibat
perbuatanya.
c) Reintegration (bergabung kembali kepada masyarakat) yaitu
mencari langkah pemulihan para pihak secara keseluruhan untuk
memberi kontribusi kepada masyarakat.
d) Inclusion (terbuka) dimana membuka kesempatan kepada semua
pihak yang terkait untuk berpartisipasi dalam penanganannya.

4. Mekanisme Retorative Justice

Proses restoratif jutice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme


tergantung situasi dan kondisi yang ada bahkan ada yang
mengkombinasikan satu mekanisme dengan yang lain. Adapun beberapa
mekanisme yang umum diterapkan dalam restorative justice adalah
sebagai berikut:50

a. Victim offender mediation (mediasi antara korban dan pelaku)


b. Conferecing (pertemuan atau diskusi)
c. Circles (bernegosiasi)
d. Victim assistance (pendamping korban)
e. Ex-offender assistance (pendamping mantan pelaku)
f. Restitution (ganti rugi)
g. Community service (layanan masyarakat)

Menurut Adrianus Meliala, model hukuman restoratif


diperkenalkan karena Sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang
sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam Sistem kepenjaraan

50
Ibid, h., 126.
40

sekarang bertujuan memberikan tujuan pemberian hukuman adalah


penjeraan, pembalasan dendam, dan pemberian derita sebagai
konsekwensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh
mana Narapidana tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatanya lebih
ke keamanan (security approach). Selain pemenjaraaan yang berdampak
pada keluarga Napi, sitem yang sekarang dinilai tidak melegakan atau
menyembuhkan korban. Apalagi, proses hukumnya memakan waktu lama.
Sebaliknya, pada model restoratif yang ditekankan adalah restorasi
konflik. Pemidanaan restoratif melibatkan korban, keluarga dan pihak
pihak lain dalam menyelesaikan masalah. Disamping itu, menjadikan
pelaku tindak pidana bertanggungjawab untuk memperbaiki kerugian yang
ditimbulkan perbuatannya. Penerapanya tidak mudah. Kalau hanya
dilakukan dilingkungan lapas, hasilnya akan maksimal. Jadi model
restoratif harus berawal dari kepolisian, saat pertamakali perkara disidik.
Dikejaksaan dan dipengadilan pun seperti demikian. Yang sangat mungkin
adalah memulihkan derita korban, baik psikis dan fisik. Kerugian material
mugkin bisa digantikan pelaku, yang menjai permasalahan adalah tentang
derita psikis, misalnya akibat pemerkosaan. 51

5. Korban Tindak Pidana

Dalam Viktimologi terapat dua definisi korban tindak pidana, yaitu


korban secara langsung (direct victim of crime) dan korban tindak pidana
secara tidak langsung. Mereka adalah individu atau secara kolektif yang
mengalami penderitaan, baik fisik, mental ataupun material, serta
mencakup korban dari penyalahgunaan kekerasan.

51
Ibid, h., 127.
41

Korban langsung (direct victims) yaitu korban yang langsung


mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana
kejahatan. Korban langsung memiliki karakteristik, yaitu:52

a. Korban adalah orang, baik secara individu maupun secara


kolektif.
b. Menderita kerugian, termasuk: luka fisik, luka mental,
penderitaan emosial, kehilangan pendapatan, penindasan
terhadap hak dasar manusia.
c. Disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalayan yang
terumuskan dalam hukum pidana, baik dalam taraf nasional,
maupun lokal level.
d. Disebabkan oleh penyalah gunaan kekuasaan.

Korban tidak langsung (indirect victime) yaitu korban dari turut


campurnya seseorang dalam membentuk korban langsung (direct victims)
atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi ia sendiri
menjadi korban tindak kejahatan, dalam hal ini pihak ketiga, dan atau
mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung (direct
victims) seperti istri atau suami, anak, dan keluarga terdekat.53

Melihat pembagian korban diatas bahwa ada korban tidak langsung


(indirect victime) dimana korban bukan hanya mereka yang secara lansung
mengalami kerugian. Akan tetapi mereka yang hidup disekitar baik dari
korban ataupun pelaku akan menjadi korban pula. Keluarga dari korban
akan merasakan kerugian jika memang kerugian yang dialami korban
utama berdampak pada kehidupan mereka. Sepertihalnya ketika korban
adalah seorang kepala keluarga yang mempunyai tanggungajawab
perekonomian tentu kelurga korban akan ikut serta menjadi korban tatkala

52
Maya Indah, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014), h., 30.
53
Ibid, h., 31.
42

korban tidak bisa memenuhi kebutuhan perekonomian keluaraga


dikarenakan korban tidak bisa menjalankan kegiatan perekonomianya.

Begitu pula dengan keluarga pelaku, mereka akan mengalami


dampak kerugian pula dengan perbuatan pelaku. Pelaku yang kemudian
diproses hukum dengan sanksi pidana penjara tentu tidak bisa beraktifitas
sepeti biasanya. Hal ini jika ia adalah seorang kepala keluarga maka tentu
keluarganya akan menjadi korban karena dengan di penjaranya pelaku
tentu akan berpengaruh pada perekonomian keluarga mereka. Belum lagi
kemudian keluarga korban akan mendapat labeling negatif dari
mesyarakat karena perbautan pelaku. Tentu hal itu akan berpenaruh pada
psikologi keluarga pelaku.

Peradilan restoratif sebagai solusi alternatif dalam pengembalian


keadilan tentu harus di upayakan. Pendekatan dengan pemberian
keleluasan keduabelah pihak untuk berperan aktif dalam mencari solusi
terbaik bagi mereka tentu akan berampak baik terhadap perkembangan
metode pemidanaan yang selama ini dipandang belum bisa memberikan
keadilan bagi masyarakat.

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Rumah Tangga

Pengertian rumah tangga secara umum bahwa rumah tangga adalah


merupakan organisasi kecil dalam masyarakat yang terbentuk karena
adanya ikatan perkawinan. Biasanya rumah tangga terdiri dari ayah, ibu
dan anak. akan tetapi di Indonesia kerap kali dalam sebuah rumah tangga
tidak hanya di huni oleh tiga aktor tadi akan tetapi saudara baik itu saudara
kandung ataupun saudara tiri. Disamping itu juga terdapat pembantu
rumah tangga yang bekerja dan tinggal bersama rumah tangga tersebut.54

54
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, (Jakarta: sinar grafika, 2012, cet.2), h., 61.
43

Pengertian rumah tangga tidak tercantum dalam ketentuan khusus


tetapi yang dapat kita jumpai adalah pengertian keluarga yang tercantum
dalam pasal 1 ke 30 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana berunyi, “keluarga adalah mereka
yang mempunyai hubungan darah sampai derajat tertentu atau hubungan
perkawinan.55

Pengertian dalam hukum Indonesia terdapat dalam pasal 1


Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah,56 ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami sitri
dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan
perkawinan menurut pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebutkan bahwa, perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mustqan ghalizan untuk
menaati perintah Allah dan melaksanakanya merupakan ibadah. Dalam
pasal 3 menyebutkan bahwa, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah.57

Dalam fiqh sebagai mana di catat Al-jaza’iri, kebanyakan ulama


madzab fiqh mendefinisikan “pernikahan sebagai kontrak kepemilikan atas
seksualitas perempuan atau kontrak laki-laki untuk memperoleh manfaat
seks dari perempuan.58

Pengertian rumah tangga atau keluarga hanya dimaksudkan untuk


memberikan gambaran tentang apa yang menjadi objek pembicaraan
tenteng kekerasan terhadap perempuan. Karena terjadinya kekerasan

55
Ibid, h., 62.
56
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1
57
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 dan 3
58
Fikihudin Abdul Kodir Dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi Bagi Hakim
Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Komnas Perempuan,
2008), h., 30.
44

dalam rumah tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun
selama ini selalu dirahasiakan oleh keluarga, maupun oleh korban sendiri.
Budaya masyarakat ikut berperan dalam hal ini, karena tindak kekerasan
apapun dalam sebuah rumah tangga atau keluarga adalah merupakan
masalah keluarga, dimana orang luar tidak beleh mengetahuinya, apalagi
ada anggapan bahwa hal tersebut merupakan aib keluarga dan harus di
tutupi.59

Jika melihat definisi dari sebuah perkawinan maka kita bisa


mengambil sebuah pemahaman bahwa, tujuan dari sebuah perkawinan
adalah untuk membentuk dan membina keluarga yang bahagia baik secara
lahiriah dan maupun batiniah. Perkawinan merupakan ikatan yang sakral
dan harus dihormati oleh suami dan istri. Oleh karena itu harus dijaga
terus keharmonisannya dan di upayakan tetap keutuhannya. Antara semua
anggota rumah tangga kiranya akan harus berperan aktif dalam menjaga
keharmonisan dalam rumah tangga mereka.

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan


kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga, maupun dalam
pergaulan masyarakat. Dengan demikian, segala sesuatu dalam rumah
tangga (keluarga) dapat di rundingkan dan diputuskan bersama antara
suami dan istri. Namun dalam kenyataanya mengandung paradoks, artinya
dalam kehidupan rumah tangga yang kelihatanya sersasi dan bahagia,
tindakan kekerasan kerap kali terjadi. Cukup banyak kesaksian yang
meunjukan kepada perilaku, baik yang sifatnya menyayangi, maupun yang
bersifat kekerasan, terjadi bersama-sama dalam sebuah rumah tangga.60

Dalam pasal 31 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 disebutkan


bahwa:

59
Moerti Hadiati Soeroso, kekerasan dalam rumah tangga dalam perspektif yuridis-
viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012, cet.2), h., 61.
60
Ibid, h., 63.
45

a. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan


kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
b. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
c. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.

Namun dalam pasal ini tidak menjelaskan tentang apa yang


dimaksud dengan, “ ibu rumah tangga”. Pencantuman istilah tersebut
seakan-akan membatasi ruang gerak istri (perempuan) hanya di ranah
domestik saja. Padahal kenyataanya banyak kaum istri yang merambah ke
ranah publik, serta menjalankan aktiftifitas berdasarkan
keintelektualitasanya.61

2. Pengertian kekerasan

Maraknya kekerasan erat hubungannya dengan sifat agresif mahluk


hidup termasuk manusia untuk memperhatikan diri agar survive.
Disamping itu terjadinya kekerasan berakar yang kuat dari pada pola pikir
materialisme dan sikap egois, sehingga kekerasan telah menjadi sebuah
fenomena sosial yang terjadi dimana-mana, baik didalam masyarakat
perkotaan atau pedesaan.62
Kekerasan sederhana diartikan sebagai ketidak nyamanan yang
dialami seseorang. Sedangkan definisi kekeraan secara terminologi sangat
beragam artinya salah satunya adalah suatu tingkah laku agresif yang
dilakukan seseorang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara
sengaja agar untuk menyebabkan korban mengalami penderitaan lahir atau
batin. Pada umumnya tindakan agresif dapat digambarkan sebagai
pelampiasan dorongan naluri untuk berhasil menyepakati atau menciderai
pihak lain yang dijadikan sasaranya. Keberhasilan dari tindakan itu dengan
61
Ibid, h., 63.
62
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, ( Jakarta: Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010, cet.pertama),h., 58.
46

sendirinya berakibat pada meredanya daya dorongan itu. Dari sinilah


muncul suatu teori kekerasan, yaitu teori agresif frustasi (frustation-
aggression theory) yang menerangkan,”adanya pertautan langsung antara
derajat frustrasi tertentu yang dialami seseorang dengan timbulnya
kecenderungan bertingkah laku agresif”. Jika tingkat agresivitas dikaitan
langsung dengan derajat frustasi, maka tingkah laku yang dapat di
kalasisfikasi menjadi sangat luas karena bukan saja menimbulkan korban
manusia, melaikan juga mengakibatkan korban harta benda seperti seorang
suami yang marah dan kemudian membanting laptop. Sedangkan teori
kekerasan lainnya dikenal dengan nama teori kekerasan pembelajaran
sosial (sosial learning theory), dimana menurut teori ini tindakan
kekerasan pada umumnya adalah hasil proses pembelajaran dari interaksi
individu dengan lingkungannya dalam hal ini lingkungan sosialnya,
termasuk lingkungan keluarga. Sedangkan dalam kehidupan seorang anak
untuk bergaul adalah kehidupanya dalam keluaranya. Peraulan
kekeluagaan bagi seorang anak adalah sebuah pergaulan yang pertama dan
menjadi hal yang harus di prioritaskan.63
Kekerasan juga dapat diartikan sebagai segala tindakan yang
mengakibtkan kesakitan. Selama ini memang kesakitan belum pernah
didefinisikan. Jika kesakitan di artikan sebagai kebalikan dari sebuah
kesehatan, maka kita dapat mengambil definisi kesehatan dari Undang-
undang No. 23 Tahun 1992 yang telah dirubah dalam Undang-undang No.
36 tahun 2009 tentang Kesehantan. Dalm pasal 1 butir 1 menyebutkan
bahwa kesehatan adalah, ” keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. 64

3. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

63
Ibid, h., 59.
64
Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
47

KDRT merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender,


yakni kekerasan yang terjadi karena adanya asumsi gender dalam relasi
laki-laki dan perempuan yang dikontruksikan dalam masyarakat. KDRT
bukan sekedar percekcokan atau perselisihan antara suami dan istri.
Perselisihan antara suami dan istri dalam rumah tangga adalah hal biasa,
karena pertemuan dua individu yang berbeda dalam satu rumah pasti akan
menghadirkan perbedaan keinginan dan harapan. Keadaan ini
memungkinkan terjadinya perselisihan dan percekcokan. KDRT
bersumber pada cara pandang yang merendahkan martabat kemanusiaan
dan relasi yang timpang, serta pembakuan peranan gender pada seseorang.
Dengan demikian, KDRT bisa menimpa dan terjadi pada siapa saja yang
hidup dalam rumah tangga. Bisa terjadi pada istri atau suami, anak,
saudara ataupun pekerja rumah tangga yang hidup dalam satu rumah.
Akan tetapi dalam beberapa kasus memang wanita banyak yang menjadi
korban KDRT karena memang budaya patriaki yang masih ada di
masyarakat Indonesia.65
Kekerasan dalam rumah tangga, sebagamana disebutkan dalam UU
No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,66
adalah.” eti p per u t n terhd p seseor ng terut m perempu n, y ng
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
mel w n hukum d l m lingkup rum h t ngg ”.
Kekerasan terhadap anggota keluarga di Indonesia lebih dikenal
dengan istilah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan yang
sering terjadi di dalam keluarga berupa:67

65
Fikihudin Abdul Kodir Dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi Bagi Hakim
Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Komnas Perempuan,
2008), h., 30.
66
Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
67
Ridwan Mansyur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, ( Jakarta: Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010, cet. pertama), h.,61 .
48

a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik merujuk pada serangan terhadap
kondisi fisik seseorang, misalnya pemukulan, penganiayaan,
pembunuhan.
b. Kekerasan psikis
Kekerasan ini merujuk pada serangan terhadap kondisi
mental seseorang, misalnya merendahkan, menghina,
memojokan, menciptakan ketergantungan, pembatasan
aktivitas, ancaman termasuk yang sangat substansial
melakukan rayuan yang membuat perempuan tidak berdaya.
c. Kekerasan seksual
Kekerasan ini mengarah pada serangan atas alat-alat
kelamin/atau sekual atau produksi misalnya pelecehan sekual,
pemaksaan hubungan seksual tertentu, pemerkosaan (termasuk
menggunakan alat/bukan alat kelamin), perbudakan sekual,
pemukulan dan lain-lain yang menyertai hubungan intim, bisa
sesudah atau setelah hubungan intim dan lain sebagainya.
Kekeraan yang dilakukan biasanya disertai dengan kekerasan-
kekerasan lain, baik kekerasan fisik, pesikis atau kekerasan
ekonomi. Yang pasti tidak saja berdampak pada organ seks/
reproduksi secara fisik, namun juga berdampak pada kondisi
psikis atau mental.
d. Kekerasan penelantaran dalam rumah tangga atau kekerasan
ekonomi.
Kekerasan berdimensi ekonomi yang dialami
perempuan, termasuk yang banyak terjadi pada kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga. Meskipun dalam kontruksi
masyarakat di Indonesia, laki-laki ditempatkan sebagai kepala
rumah tangga yang berkewajiban untuk mencari dan memberi
nafkah kepada istri tetapi tidak sedikit dari merka yang
menelantarkan istri dan anak-anaknya. Bahkan ada yang
49

sengaja mengontrol pendapatan istri, melarang istri bekerja


akan tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang
cukup untuk keluarga.

Sesungguhnya kekerasan yang dialami seorang istri memilki


dimensi yang tidak tunggal. Seseorang yang menjadi korban kekerasan
fisik, biasanya ia telah mengalami kekrasan psikis sebelumnya dan
sesudahnya. Tidak juga sedikit yang mengalami kekerasan dan
penelantaran ekonomi. Kekerasan fisik terjadi dalam berbagai rupa. Dari
mulai menampar, menempeleng, memukul, membanting, menendang, dan
beberapa kekerasan yang menggunakan benda-benda yang mematikan
ataupun tidak. Dalam beberapa kasus yang terjadi banya wanita yang
menjadi korban kekerasan mengalami luka berat hingga mengakibatkan
cacat, bahkan sampai pada kematian. Bisa jadi, kekerasan fisik itu tidak
memiliki dampak, atau hilang bekas fisiknya, akan tetapi hampir selalu
memiliki implikasi psikologis dan sosial pada korbanya.68

68
Ibid, h., 68.
BAB III
TINJAUAN HUKUM TETANG RESTORATIVE JUSTICE
PADA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM

A. Restorative justice dalam KDRT

1. Persepektif Hukum Pidana Positif Terhadap Penyelesaian KDRT


Melalui Restorative Justice

Dalam hal penanggulangan terhadap tindak pidana KDRT telah


banyak diatur dialam Undang-undang. Tetapi penanggulangan terhadap
tindak pidana KDRT dalam mewujudkan pemulihan (restorative) secara
hakiki yang melindungi hak asasi manusia tidak secara ekspilist di atur
lengkap oleh Undang-undang tersebut. Chambliss dan Seidman yang
didukung oleh Satjipto Raharjo menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua
unsur yang merupakan faktor yang turut menentukan dalam perwujudan
pemulihan (restorative) dalam penanggulangan tindak pidana KDRT
tersebut yaitu:69

a. Tujuan yang hendak dicapai dengan penyelesaian sengketa itu.


Apabila tujuan yang hendak dicapai oleh pranata adalah untuk
merukunkan para pihak sehingga selanjutnya dapat hidup
bersama kembali setelah sengketa itu, maka orang dapat
mengharapkan bahwa tekanan disitu akan lebih ditekankan
pada cara-cara mediasi dan kompromi, sebaliknya apabila
tujuan dari pranata itu adalah untuk melakukan penerapan
peraturan-peraturan (rule enfocement) maka cara penyelesaian

69
Ridwan Mansur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, (Jakarta: Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010),h.,73.

50
51

birokrasi mungkin akan lebih banyak digunakan, dimana


sasaranya adalah untuk menetapkan secara tegas apa yang
sesungguhnya menjadi isi dari suatu peraturan itu serta
selanjutnya menentukan apakah peraturan itu telah dilanggar.
b. Tingkat perlampiasan yang terdapat dalam masyarakat.
Semakin tinggi tingkat perlampiasan yang terdapat disitu.
Dalam keadaan demikian maka lapisan atau golongan yang
dominan akan mencoba untuk mempertahankan kelebihannya
dengan cara memaksa berlakunya peraturan-peratuan disitu
yang menjamin kedudukan berbeda dengan keadaan pada
masyarakat sederhana dimana tingkat pemakaian teknologi
masih rendah, kesepakatan nilai masih mudah dicapai dimana
kerukunan merupakan pola penyelesaian sengketa maka
didalam masyarakat yang mempunyai pelapisan yang tinggi
dengan susunan masyarakat-masyarakat yang mendorong
timbulnya ketidak samaan (inequality) penerapan peraturan
dengan pembedaan sanksi merupakan pola kerja yang cocok
untuk masyarakanya.

Sedangkan berkaitan dengan penegakan hukum tentang KDRT,


Rukmana Amanwinata berpandangan bahwa pada kasus KDRT setra
perkara yang pelaku maupun korbanya anak-anak yang masih dalam
lingkup domestik saat ini penyelesaianya dilakukan melalui peradilan
umum yang memiliki Sistem hukum acara pidana yang berlaku bagi tindak
pidana umum, padahal apabila dikaji perkara kekerasan dalam rumah
tangga memiliki karakteristik tersendiri yang tentunya memiliki
kekhususan pula dalam hukum acara, lembaga, pola penangangannya,
pembuktiannya, dan lain sebagainya, oleh karena itu sebagaimana pula
tujuan yang hendak dicapai oleh negara Indonesia adalah terwujudanya
masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun materil
52

berdasarkan pancasila, sehingga disebut juga sebagai negara hukum yang


memiliki karakteristik mandiri.70

Tujuan yang di cita-citakan oleh Undang-undang No.23 Tahun


2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidaklah
tercapai apabila secara empiris sistem yang ada justru tidak dapat
menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumahtangga secara holistic.
Studi empiris diatas merupakan kajian nyata dilapangan yang menunjukan
adanya kelemahan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang berlandaskan Sistem
Peradilah Pidana yang saat ini ada. Apalagi adanya studi perlindungan
hukum yang tentu saja membuka pandangan KUHAP untuk merubah
dirinya, dengan modifikasi yang tepat dan sesuai, terutama dalam perkara
kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu perlu dibutuhkan suatu
media di dalam sistem yang dapat mengakomodasi penyelesaian perkara
tersebut, yang salah satunya adalah menggunakan sitem restrorative
justisce, yang berbasis pada hak azasi manusia menurut masyarakat
Indonesia. pandangan Romli Atmasasmita mengenai perlindungan hak
asasi manusia dalam konteks masyarakat Indonesia yang perlu ditekankan
hubungan antara warga masyarakat dan antara warga masyarakat dengan
negara dengan ansumsi yang bersifat Normatif-Tradisional dengan pola
serasi selaras dan seimbang (asumsi positif) yang menurut Ridwan
Mansyur bahwa sudah seharusnya pengaturan hukum yang berifat
restorative justice berdasrakan hak asasi manusia mulai banyak
dikembangkan. 71

Bahkan penegak hukum dibidang kekerasan rumah tangga telah


mempunyai persepektif lain, dengan mendasarkan pada hak-hak korban
dan pelaku, yang hanya dapat dicapai melalui dialog. Ridwan Mansyur
mengatakan bahawa ketika ia mewawancarai penegak hukum yang

70
Ibid,h.,75.
71
Ibid,h.,237.
53

mengani kasus kekerasan dalam rumah tangga hal yang serupa itu
dibenarkan. Dengan demikian, hasil akhir yang dicapai secara empiris
dengan memberlakuakan Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tidaklah hanya sekedar
memberikan hukuman bagi pelaku tindak pidana, tetapi juga memikirkan
kesejahteraan keluarga sehingga tidak terkesan di telantarkan oleh Sistem
Peradilan Pidana.72

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa apabila Sistem


Peradilan Pidana Indonesia di berlakukan secara kaku terhadap parkara-
perkara kekerasan dalam rumah tangga, maka tidak pernah tercapai tujuan
konsolidatif dari Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan rumah tangga tersebut. Oleh karena itu, perlu dibutuhkan
pembaharuan hukum yang tidak hanya merubah Undang-undang semata
tetapi juga merubah Sistem peradilan pidana yang ada, sehingga semua
tujuan yang dikehendaki oleh hukumpun tercapai. Hal ini juga merupakan
cita-cita yang ingin dicapai oleh suatu negara hukum. Untuk mendapatkan
kepastian hukum dan perlindungan hak asasi manusia, hukumpun harus
melakukan peruahan bentuk dan isi, sejalan dengan perkembangan
masyarakat secara sosiologis. Hukum dalam konteks pembaharuan hukum
digunakan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam hukum itu
sendiri mengingat perkembangan sosiologis yang menuntut kebutuhan-
kebutuhan baru. Hal ini sesuai dengan fungsi hukum itu sendiri mengingat
perkembangan sosiologis yang memuat kebutuhan baru. Hal ini sesuai
dengan fungsi hukum itu sendiri, sehingga selain memerlihara apa yang
telah dicapai, hukum seharusnya juga dapat mengakomodir segala
kebutuhan yang muncul dari masyarakat.73

Salah satu aplikasi untuk adanya pembaharuan hukum didalam


penyelesian perkara kekerasan dalam rumah tangga adalah dengan

72
Ibid,h.,238
73
Ibid,h.,239.
54

pendekatan restorative justice. Secara harfiah, restorative justice dapat


diartikan sebagai pemulihan keadilan bagi korban dan pelaku. Namun
pengertian itu berkembang, ketika persepektif restorative justice
dimasukan didalam suatu Sistem peradilan, sehingga pengertian retoraive
justice adalah penyelesaian secara sistematis atas tindak pidana, dimana
proses ini menekankan pada pemulihan atas kerugian yang dialami korban
dan atau masyarakat sebagai akibat dari perbuatan pelaku, serta
melibatkan pelaku dan korban secara aktif dan langsung didalam
penyelesaiannya.74

Sifat konsolidatif dari penyelesaian melalui pendekatan restorative


justice diwujudkan didalam dialog antara pihak terkait, yang dikalangan
masyarakat Indonesia lebih dikenal dengan sebutan “musyawarah untuk
mufakat” mufakat merupakan bentuk dari nilai kebisaan yang tumbuh dan
mengakar pada masyarakat Indonesia, oleh karenanya tidak lah heran
apabila pendiri negara Indonesia menjadikan musyawarah sebagai dari
nilai-nilai luhur Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila sebagai
cerminan dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dimasyarakat, yang kemudian
dituangkan dalam suatu bentuk negara. Demikian juga halnya dengan
kebiasaan masyarakat Indonesia dari berbagai penyelesaian segala
sengketa diantara mereka. Mereka secara kultural, dikalangan masyarakat
Indonesia, seharusnya musyawarah dapat dimaksudkan kedalam bagian
dari Sitem Peradilan Pidana Indonesia, terutama dalam penyelesaian
perkara kekerasan rumah tangga yang membutuhkan perspektif privat
dalam penyelesaiannya.75

Secara teori, terdapat berbagai macam bentuk musyawarah yang


dapat diterapkan dalam konteks ini, antara lain negosiasi, dan konsolidasi.
Dari tiga bentuk musyawarah ini, tampaknya negosiasi merupakan jalan
yang paling baik, dipandang dari sisi penyelesaian internal kekeluargaan,

74
Ibid,h.,239.
75
Ibid,h., 241.
55

karena perkara kekerasan rumah tangga tentu akan membuka peluang


untuk mengungkapkan hal-hal yang dianggap aib di dalam keluarga.
Secara kultural dalam masyarakat Indonesia pun, hal-hal yang dianggap
aib oleh keluarga masih merupakan hal tabu untuk ditemukan di hadapan
hukum. Akan tetapi metode yang akan diterapkan disini tentu saja harus
disesuaikan dengan Sistem peradilan yang ada, sehingga tidak terbentuk
penyimpangan yang besar antara pemberlakuan metode penyelesaian
dengan sitem peradilan yang eksis.76

Belajar dari sitem peradilan pidana di negara lain yang telah lama
menerapkan basis hak asasi manusia dengan tujuan mencapai keadilan,
musyawarah sebagai proses dalam penyelesaian perkara pidana tampaknya
bukanlah hal yang baru diberlakukan. Model Plea Bargaining Sistem yang
di terapkan oleh Amerika Serikat adalah salah satu contohnya. Model ini
mengedepankan pada suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan
tertuduh atau pembelanya. Motivasi dari negosiasi tersebut yang paling
utama adalah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana.
Sedangkan sifat negosiasi harus dilandaskan pada kesuka relaan tertuduh
untuk mengakui kesalahanya dan kesediaan penuntut umum memberikan
ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya. Selain
Amerika Serikat, negara Jepang juga telah menggunakan Sistem
pengedepanan pada kesepakatan atau musyawarah dalam menyeleaikan
perkara pidana. Konsep tersebut dikenal sebagai istilah konesp abolisme.
Bahkan Sistem ini menekankan pada penyelesaian musyawarah telebih
dahulu, daripada penggunaan litigasi. Konsep ini dilandasi oleh pandangan
bahwa Sistem pemidanaan bukan hanya satu-satunya cara terbaik untuk
mengahadapi kejahatan dan kejahatan bukanlah sesuatu yang terjadi
mendahului Sistem Hukum Pidana, melainkan merupakan hasil dari
pelaksanan Sistem dalam hukum pidana tersebut, serta pandangan bahwa
pelaku kejahatan bukanlah mahluk terasing dan berbeda dengan warga

76
Ibid,h.,242.
56

masyarakat lain. Hal ini menunjukan bahwa wawancara musyawarah


didalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) dapat dimungkin kan terjadi,
tergantung dari konsep yang bagaimana yang sesuai diterapkan dalam
Sistem Peradilan Pidana yang ekisis tersebut. 77

Meskipun demikian di dalam praktiknya tidak semua pihak yang


sedang berperkara mau untuk melakukan musyawarah, banyak mereka
yang menolak untuk melakukan musyawarah. Pihak yang mempunyai
kemungkinan terbesar untuk menolak diadakanya upaya musyawarah. Hal
ini menjadi gambaran untuk kita bahwa dalam menyelesaikan sebuah
perkara pidana tidak hanya dengan pembuatan Undang-undang yang baik.
Akan tetapi kemauan kedua belah pihak untuk saling berperan aktif dala
menyelesaikan sengketa diantara keduabelah pihak akan menjadi salah
satu bentuk upaya restorative justice.

Penolakan yang dilakuakan oleh Korban untuk dilakukanya sebuah


muyawarah diantara keduanya adalah pertimbangan mereka terhadap
kerugian yang dialami. Tidak dapat dipungkiri dalam setiap tindak pidana,
korban akan mengalami sebuah kerugian berupa kerugian materil dan
immateril. Kerugian material berupa kehiangan barang-barang yang
menjadi milik Koran. Kerugian ini lebih bersifat ekonomis/ mempunyai
nilai ekonomis sedangkan kerugian immaterial bersifat psikis/mental. Hal
ini berkaitan kondisi kejiwaan korban. Kalau korban tidak dapat segera
melakukan perbuatan pidana yang menimpanya, akan menyebabkan
gangguan kejiwaan, dimana untuk menyembuhkannya membutuhkan
waktu yang cukup lama.78

Selain kerugian meteril dan immateril, korban juga mengalami


penderitaan. Terbagi atas 2 (dua) macam yaitu penderitan jangka pendek
dan penderitaan jangka panjang. Penderitaan jangka pendek artinya suatu

77
Ibid,h.,243.
78
Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-
Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012, Cet.Ketiga),h.,123.
57

penderitaan yang akan segera hilang dalam waktu yang relatif singkat.
Korban segera bisa melupakan peristiwa yang dialaminya. Hal ini berbeda
dengan penderitaan jangka panjang. Penderitaan korban akan berlangsung
lama dan berkepanjangan. Bahkan sampai mengganggu kesehatan dan
aktivitasnya. Kesehatan yang dialami berupa fisik maupun psikis.79

Kemungkinan untuk mengadakan musyawarah antara korban dan


pelaku untuk bernegosiasi juga akan sukar dilakukan apabila memang
perbuatan yang dilakukan mengakibatkan kerugian yang luar biasa,
sepertihalnya kematian pada korban. Dalam hal kematian yang dialami
korban tentu harus di kenakan penal terhadap pelaku. Ataupun sebaliknya,
pelaku penganiayaan mati setelah melakukan kejahatanya, sepertihalnya
yang terjadi pada beberapa tempat dimana pelaku menghabisi hidupnya
sendiri setelah melakukan penganianyan.

Penyelesaian tindak pidana KDRT baik menggunakan hukum yang


terdapat dalam KUHP ataupun yang ada dalam Undang-undang No.23
Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dipandang masih belum memberikan rasa keadilan bagi para pihak,
terutama bagi para sub korinat dalam lingkup rumah tangga bersangkutan.
Sedangkan tujuan dari hukum itu sendiri seharusnya mencapai keadilan
yang berbeda-beda, yang di dasarkan pada kebutuhan masyarakat pada
saat tersebut. perlu adanya hukum yang baru untuk memberikan rasa
keadilan kepada masyarakat.

Untuk melakukan modifikasi bentuk penyelesaian perkara dengan


menggunakan mekanisme restorative justice tersebut, maka perlu dilihat
model yang sesuai dengan Sistem peradilan pidana Indonesia terlebih
dahulu. Model didalam restorative jutice terdiri dari beragam pandangan,
baik itu pandangan dari Jim Dignan yang menyatakan bahwa model
restorative justice harus berkaitan dengan konsep restorative justice itu

79
Ibid,h.,124.
58

sendiri, fokus pada praktek restorative justice dilapangan, dan hubungan


antara inisiatif restorative justice dengan Sistem hukum pidana, maupun
pandangan dari Jhon Braithwaite yang mempunyai dua pandangan model
restorative justice, yaitu p rti lly integr ted „twin-tr ck‟ model of
restorative justice dan a Sistemic model of restorative jutice. Jim Dignan
tidak secara aplikatif menjelaskan model apa yang sesuai dalam penerapan
restorative justice itu sendiri, sehingga pandangan Jim Dignan dapat
dipakai sebagai pelengkap dari model-model yang lainya. Sedangkan
model yang ditawarkan oleh Jhon Braithwaute, terdiri dari model twin
track dan Sistemic. Model twin track diperuntukan bagi pelaku yang
menginginkan adanya musyawarah tanpa adanya daya paksa untuk
berdialog, meskipun apabila musyawarah tidak tercapai mufakat, maka
penahanan dapat tetap dilakukan terhadap pelaku. Sedangkan mode
Sistemic justru diarahkan oleh hukum untuk adanya proses musyawarah
terlebih dahulu, tanpa menunggu ada ataupun tidaknya keinginan
bermusyawah dari pelaku.80

Sitem Peradilan Pidana Indonesia yang dituangkan di dalam KUHP


diawali dengan adanya proses penyelidikan setelah terjadi kekerasan
dalam rumah tangga. Berdasarkan ketentuan di dalamn KUHAP pada
pasal 5 dan pasal 7, kewenangan penyidik dan penyelidik pada intinya
adalah mencari keterangan dan barang bukti atas kejadian kekerasan
dalam rumah tangga tersebut. Didalam proses penyelidikan dan
penyidikan ini, penegak hukum tidak diberi wewenang untuk memutuskan
ataupun kewengan bertindak sebagai mediator/ fasilitatorr jika terjadi
dimungkinkan musyawarah diantara pelaku tidak pidana dan korbanya,
meskipun pada kenyataanya diluar konteks hukum telah banyak dilakukan
musyawarah antara pelaku tindak pidana dan korbannya yang di fasilitasi
oleh penyidik didalam perkara-perkara pidana, pada kususunya perkara
kekerasan dalam rumah tangga. Walaupun demikian penyidik dan

80
Ridwan Mansur, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, (Jakarta: Yayasan Gema
Yustisia Indonesia, 2010),h., 249.
59

penyelidik dari kepolisian bisa melakukan mediasi tehadap pelaku dan


korban sebagaimana diatur dalam surat Kapolri No Pol :
B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang
Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolusion (ADR).
Walaupun dalam ketentuannya hanya bersifat parsial (sebagian) saja dari
tindak-tindak pidana.

Seperti halnya dalam pengaturan tentang tindak pidana ringan. Dimana


dalam peraturan PERMA No 2 tahun 2012 tentang batasan tindak pidana
ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Bahwa dalam tindak pidana ringan
yang nilai kerugianya kurang dari Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah) terhadap terdakwa tidak dikenakan pidana pemenjaraan.81
Dari ketentuan surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS maka
penyelidik bisa melakukan mediasi antara pelaku dan korban.

Tahap selanjutnya adalah penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa


Penuntut Umum. Wewenang penuntup umum dalam KUHAP diatur di
dalam pasal 14 dan pasal 15.82 Dalam wewenangnya tersebut tidak
ditemukan wewenang bahwa Jaksa Penuntut Umum bisa melakukan hal
lain seperti menjadi fasilitator dalam sebuah mediasi antara pelaku dan
korban, ataupun menjadi seorang negosiator dalam perka tersebut.

Berbeda dengan seorang Hakim yang ia mempunyai keistimewaan


untuk memeriksa, dan memutuskan suatu perkara dengan,”demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Justru kewenangan untuk
menentukan hasil akhir dari satu perkara kekerasan dalam rumah tangga
seperti yang diinginkan oleh Hakim, yang dapat memberikan jalan tehadap
terjadinya musyawarah antara pelaku tindak pidana dan korbanya. Secara
logika hukum, gugatan perdata dapat dimungkinkan adanya mediasi pada
awal peradilan yang dilakukan dengan pemberlakuan peraturan

81
PERMA N0. 2 tahun 2012 tentang batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda
dalam KUHP pasal 2 butir 2.
82
KUHAP pasal 14 dan pasal 15.
60

Mahkamah Agung (PERMA). Hal ini tampak juga terdapat diberlakukan


didalam perkara kekerasan dalam rumah tangga, hanya saja tinggal
memikirkan bentuk mekanisme restorative justice yang tepat di dalam
Sistem peradilan pidana Indonesia tersebut.83

Dengan menentukan model restorative justice yang sesuai dengan


Sistem Peradilan Pidana Indonesia, selanjutnya mekanisme yang sesuai
harus ditentukan sebagai bagian implementasi dari model tersebut. proses
restorative justice dapat dilakuan dalam beberapa mekanisme tergantung
situasi dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang mengkombinasikan satu
mekanisme dengan yang lain. Proses restorative justice dapat dilakukan
dalam beberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada dan
bahkan suatu mekanisme yang lain. Adapun beberapa mekanisme yang
bisa diterapkan dalam restorative justice adalah mediasi antra korban dan
pelaku, pertemuan atau diskusi, negosiasi, pendampingan korban,
pendampingan mantan pelaku, ganti rugi, dan layanan masyarakat.84

Dari pilihan mekanisme diatas, berdasarkan analisa kultural dan


filosofis, sebenarnya Sistem Peradilan Pidana Indonesia tepat jika
menerapkan mekanisme mediasi. Legal kultur, khususnya secara perdata,
menunjukan semua perkara perdata harus melaui proses mediasi terlebih
dahulu, meskipun tidak menutup kemungkinan mediator dapat membuka
jalanya adanya dialog bagi para pihak. Jadi dengan berlandaskan hal
tersebut, sebenarnya mekanisme mediasi adalah hal yang tepat
diberlakukan di dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. hal ini
khususnya dapat dilakukan pada awal proses persidangan pidana dalam
perkara kekerasan dalam rumah tangga, tepatnya sebelum surat dakwaan
dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

83
Ibid,h.,251.
84
Ibid,h.,252.
61

Secara garis besar, proses mediasi penal tersebut dapat


85
digambarkan sebagi berikut :

1) Pada awal persidangan sebelum adanya pembacaan surat dakwaan


dari jaksa penuntut umum, hakim diwajibkan untuk menawarkan
kepada pelaku dan korban mengenai mekanisme penyelesaian
kekerasan dalam rumah tangga, dengan metode mediasi. Tentu
saja, diawal persidangan ini, korban dan pelaku tindak pidana
wajib dihadirkan di hadapan sidang.
2) Selanjutnya, korban dan pelaku tindak pidana diberikan waktu oleh
hakim untuk melakukan dialog dengan mekanisme mediasi selama
waktu tertentu, dan hakim wajib menunjuk hakim mediator atau
mediator hasil dari penunjukan para pihak yang dilakukan oleh
hakim dalam persidangan. Tugas mediator inilah yang selanjutnya
akan menyelesaikan perkara kekerasan dalam rumah tangga
tersebut secara holistik dan komperehensif, atau setidak-tidaknya
dapat memberikan rekomendasi terhadap pesidangan nantinya
tentang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh Sistem peradilan
pidana Indonesia, seperti nafkah keluarga kedepanya serta melihat
hak-hak suborinat dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga
tersebut.
3) Apabila sampai dengan waktu tertentu tersebut didalam proses
mediasi terebut tetap tidak tercapai perdamaian, maka proses
selanjutnya adalah melanjutkan persidangan sesuai dengan
KUHAP maupun Sistem peradilan pidana Indonesia, dengan tetap
memperhatikan hasil dari mediasi diatas.
4) Apabila proses mediasi berhasil, dengan kata lain tercapai
kesepakatan maka hakim dapat memutuskan berdasarkan
pertimbangan dari hasil mediasi tersebut. dengan seperti itu
perkara dianggap selesai.

85
Ibid,h.,253.
62

Melihat gambaran diatas, untuk melakukan perubahan pada


KUHAP demi melakukan perubahan untuk menyelesaikan perkara dengan
menggunakan mekanime restorative justice dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia adalah hal yang dapat dimungkinkan, akan tetapi akan
membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tinggi, mengingat struktur
KUHAP mempunyai kesetaraan Undang-undang beserta mekanisme
perubahannya. Sedangkan pencapaian keadilan bagi semua pihak
merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunggu-tunggu lagi. Alasanya
adalah karena secara historis KUHAP merupakan bagian yang dipisah dari
HIR, yang berarti sebelum KUHAP, prosedur berbicara baik pidana
ataupun pidana menggunakan HIR. Berdasarkan hal diatas, dengan
menggunakan logika historical, sebenarnya ada satu cara yang dapat di
tempuh, yaitu dengan menggunakan peraturan Mahkamah Agung
mengenai mediasi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Sebagaimana
telah di paparkan sebelumnya, peraturan Mahkamah Agung yang sejenis
telah berhasil diberlakukan ke dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia
dengan dasar pasal 130 HIR dan 154 RBg, yang berisi tentang dorongan
untuk melakukan proses perdamaian yang dapat di infestasikan dengan
cara menginterasikan proses mediasi kedalam prosedur berperkara di
Pengadilan Negeri, sebagaimana terjiwai di dalam pertimbangan fakta
huruf c pada peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2016 perubahan
dari PERMA No. 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di dalam
pengadilan, tampa Merubah Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata,
baik HIR, RBg, maupun Rv. Meskipun demikian, berdasarkan teori
perancangan perUndang-undangan semestinya perubahan peraturan
perUndang-undangan tersebut segera dibuat dengan peraturan yang setara
atau lebih tinggi.86 Hal ini tampak didalam pertimbangan fakta Mahkamah
Agung No. 1 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa:87 “sambil menunggu
peraturan perUndang-undangan dan memperhatikan wewenang

86
Ibid,h.,254.
87
Perma No. 1 tahun 2008 pada pertimbangan huruf d.
63

Mahkamah Agung dalam mengatur acara peradilan yang belum cukup


diatur oleh peraturan perUndang-undangan, maka demi kepastian,
ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk
menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu menetapkan suatu
peraturan Mahkamah Agung”.

Sebagaimana di paparkan sebelumnya, bahwa urgenitas


pemenuhan kebutuhan keadilan, khususnya dalam kasus kekerasan dalam
rumah tangga, yang dalam bahasa peraturan Mahkamah Agung diatas
disebut sebagai “demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran”, maka
memang diperlukan suatu aturan yang dapat diberlakukan di dalam Sistem
peradilan.

Berdasarkan hal diatas, Ridwan Mansyur mengatakan bahwa mediasi


dalam Sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya dalam kasus tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang terbaik untuk di
terapkan. Apabila dilihat dari tujuan penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga sebagaimana dimaksud didalam Undang-undang No. 23 Tahun
2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, maka
eksistensi mediasi sebagai bentuk penyelesaian perkara kekerasan dalam
rumah tangga menjadi cara dalam mencapai ke empat tujuan tersebut,
terutama dalam mencapai tujuan preventif dan konsolidatif. Untuk itu,
sudah seharusnya apabila Sistem Peradilan Pidana Indonesia sudah
menghidupkan mediasi di dalam setiap penanganan perkara, terutama
dalam perkara kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang disebut
sebagai pembaharuan hukum yang mencapai keadilan yang diharapkan
oleh semua pihak dalam kaitannya dengan lingkup rumah tangga, terutama
perkara kekerasan dalam rumah tangga.88

Tentu hal ini akan menjadi penjiwaan terhadap Undang-undang


No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, terutama dalam pasal 4

88
Ibid.
64

ayat (2) yang memberikan mandat secara tegas bahwa “pengadilan


membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan
biaya ringan”.89

2. Restorative justice dalam Hukum Pidana Islam

Hukum Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad Solallahu a‟laihi


wasalam pada umat Islam mempuyai dimenisi nilai keaadilan yang sangat
tinggi. Dalam hukum syariat isalam tidak hanya berbicara tentang
kewajiban umat manusia kepada tuhanya melalui penggunaan hukum yang
diperintahkanya akan tetapi dimensi kemanusiaan yang ada dalam hukum
syariat Islam sangatlah kental. Kita dapat melihat dimensi hukum syariat
Islam dari tujuan diterapkanya hukum Islam sendiri. Tidak hanya melihat
aspek bentuk hukumanya saja. Sepertihalnya ketika kita melihhat pada
hukuman mati bagi pelaku pembunuan (qishas), sebagian orang
mengatakaan bahwa hukuman mati yang diterapkan oleh agama Islam
tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia untuk hidup. Pendapat
yang serupa itu adalah pendapat yang keliru karena mereka tidak
mempertimbagkan aspek tujuan yang ingin dituju dalam pemberian
hukuman mati tersebut. Jika mereka mempertimbangkan bahwa
pengenaan hukuman mati bagi pelaku pembuuhan sengaja adalah bentuk
penjagaan terhadap kehidupan masyarakat luas maka kemungkinan besar
mereka akan tidak memandang hukum Islam sebagai hukum yang
melanggar hak asasi manusia.

Sehingga terhadap semua permasalahan keIsalaman yang tidak


kondusif terhadap semua prmasalahan keIslaman yang tidak kondusif
terhadap pemenuhan hak-hak dasar terebut perlu dikaji ulang. Bahkan
harus dilakukan dekotruksi ajaran. Hal ini karena permasalahan agama
sangat ditentukan oleh persepektif penafsirannya yang serigkali tidak

89
Undang-undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
65

memposisikan diri dari pengaruh sosial–kultural dan sosial-politik yang


berkembang dimasanya. Akantetapi merubah interpretasi agama bukanlah
suatu hal yang mudah karena agama selalu diidentikan dengan kebenaran
mutlak, sakral dan bersifat ilahiyah. Bahkkan lebih sering lagi dikailm
sebagai agama ternyata hanya penafsiran dari pemilik otoritas agama.
Bukan agama itu sendiri.90

Secara umum hukum Allah SWT dalam penciptaan dan penetapan


hukumnya adalah untuk kepentingan, kemaslahatan dan kebahagiaan
manusia seluruhnya, surah Al-Baqoroh (2) ayat 201-202. Menurut Ibnul
Qoyyim berpendapat bahwa dasar syariat ialah kemaslahatan hamba di
dunia dan akhirat. Semua bentuk syariat memenuhi rasa ke adilan, rahmat
dan mendukung hikmat. Setiap masalah yang menyimpang dari aspek
keadilan. Tidak terpenuhinya unsur rahmat dan merebaknya bentuk-bentuk
mafsadat dan kesiasiaan buakan bentuk dari syariat. Syariat itu adalah
keadilan Allah diantara hamba-Nya, rahmat Allah diantara mahluk-Nya,
bayangan Allah di bumi-Nya dan hikmah-Nya yang menjukan kepada-Nya
dan kebenaran Rasul-Nya. 91

Abu Ishak As-Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam,


yakni memelihara (1) Agama, (2) Jiwa, (3) Akal, (4) Keturunan, dan (5)
Harta, yang (kemudian) di sepakati ilmuan hukum Islam lainnya. Kelima
tujuan hukum Islam itu didalam kepustakaan disebut Al-Magosid Al-
Khamsah. Adapun pejelasan dari kelima tujuan tersebut adalah:92

a. Pemeliharaan agama merupakan tujuan pertama hukum Islam.


Sebabnya karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan
didalam agama Islam selain komponen-komponen akidah yang
merupakan pegangan hidup setiap muslim serta akhlak yang

90
Al-Ahkam, Konsorsium Sarjana Syariah Indonesia (KSSI) bekerja sama dengan
fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, Volume 203 No. 1, (April 2013). h., 47.
91
Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV. INDHILL
CO, 2008),h., 85.
92
Ibid,h., 88.
66

merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat juga syariah yang


merupakan jalan hidup seorang muslim baik dalam hubungan
dengan Tuhannya maupun dalam hubungan dengan manusia lain
dan benda dalam masyarakat. Tiga komponen tersebut, dalam
agama Islam, berjalan keadilan. Karena itulah maka hukum Islam
wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin
kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakian
(agama)nya.
b. Pemeliharaan jiwa merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena
hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan
mempertahankan kehidupanya. Untuk itu hukum Islam melarang
pembunuhan (Q.S. 17:33) sebagai upaya melindungi jiwa manusia
dan melindungi berbagai sarana yang diperguanakan oleh manusia
untuk dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
c. Pemelihraan akal sangat diperhitungkan oleh hukum Islam karena
dengan mempergunaka akalnya, manusia dapat berpikir tentang
Allah, alam semesta dan dirinya sendiri. Dengan mempergunakan
akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
tekhnologi. Tampa akal pula manusia tidak akan dapat melakukan
hukum Islam. Oleh karena itu, pemeliharan akal menjadi pelaku
dan pelaksana hukum Islam. Oleh karena itu, pemeliharaan akal
menjadi salah satu tujuan hukum Islam. Penggunaan akal itu harus
diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat bagi
kepentingan manusia, tidak untuk hal-hal yang merugikan
kehiupan. Dan untuk memelihara akal itulah maka hukum Islam
melarang setiap orang untuk meminum yang memabukan yang
disebut dengan istilah khamar dalam al-Quran (Q.S. 5:90) dan
menghukum setiap perbuatan yang dapat merusak akal manusia.
d. Pemeliharaan keturunan, agar kemurnian darah dapat di jaga dan
kelanjutan ummat manusia dapat di teruskan, merupakan tujuan
keempat hukum Islam. Hal ini tercermin dalam hubungan darah
67

yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi (Q.S. 4:11)


larangan perkawinan yang disebut secara merinci dalam al-Quran
(4:23) dan larangan berzina (Q.S. 17:32). Hukum keluraga dan
kewarisan Islam dalam hukum-hukum yang secara khusus
diciptakan Allah untuk memelihara kemurnian darah dan
kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa
dalam al-Quran, ayat-ayat hukum mengenai kedua bagian hukum
Islam ini di atur lebih rinci dan pasti dibandingkan dengan ayat-
ayat hukum lainya. Maksudnya adalah agar pemelihara dan
kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya.
e. Pemeliharaan harta adalah tujuan kelima hukum Islam, menurut
ajaran Islam, harta adalah pemberian Tuhan kepada manusia, agar
manusia dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan
kehidupanya. Oleh karena itu, hukum Islam melindungi hak
manusia untuk memperoleh harta dengan cara-cara yang halal dan
sah serta melindungi kepentingan harta seseorang, masyarakat dan
negara, misalnya dari penipuan (Q.S. An-Nisa: 29), penggelapan
(Q.S. An-Nisa: 58) perampasan (Q.S. Al- Maaidah: 33), pencurian
(Q.S. Al-Maaidah: 38) dan kejahatan lain terhadap harta orang lain.
Pemeliharan harta seseorang setelah ia meninggal dunia pun diatur
secara rinci oleh hukum Islam agar peralihan itu dapat berlangsung
dengan baik dan adil berdasarkan fungsi dan tanggung jawab
seorang dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat.

Konsep al-huquq al-khmzah ini selanjunya memberikan keda


pentingnya melihat manusia sebagai sasaran. Sekaligus menjadi hukum
syariat Islam oleh karena itu tidak berlebihan apabila Al- qayim alhli fikih
dari kalangan madzhab Hambali merumuskan sebagai berikut: syariat
Islam sesungguhnya dibentuk oleh kepentingan manusia dan tujuan
kemanusiaan yang universal, seperti kemaslahatan, keadil, kerahmatan,
kebijaksanaan. Prinsip-prinsip yang serupa ini yang seharusnya menjadi
68

acuan dalam pembentukan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi
setiap pembentuk hukum. Penyimpangan terhadap prisip-prinsip ini berarti
menjadi cita-cita hukum Islam itu sendiri. Pernyataan ini tidak kurang
tegas dinyatakan oleh Ibn Rushd bahwa kemaslahatan itu merupakan akar
dari setiap berbagai syariat yang ditentukan Tuhan. Bahkan Izzudin Ibn
Abdussalam sapai pada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan syariat Islam
diwahyukan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.93

Dalam pelaksanaan syariat Islam, pemberian sanksi atau hukuman


bagi pelaku mempunyai bentuk-bentuk hukuman dan bentuk dari tujuan
penerapan hukuman bagi pelaku tindak pidana maupun tujuan untuk
kemaslahatan bagi umat diantaranya adalah: 94

1) Hukuman (U q bah) dalam pidana Islam


Dalam hukum pidana Islam, hukum dapat dibagi menjadi
beberapa penggolongan menurut segi tinjauannya.

Penggolongan pertama didasarkan atas pertalian suatu


hukuman dengan lainya, dalam hal ini ada 4 (empat) macam
hukuman, yaitu:

a) Hukuman pokok (U q bah aslyah) seperti hukuman Qishas


untuk tindak pidana pembunuhan, potong tangan untuk tindak
pidana pencurian, jilid dan rajam bagi pelaku tindak pidana
perzinaan, jilid untuk tindak pidana Khamar dan Qodzaf dan
hukuman mati untuk tindak pidana begal dan murtad.
b) Hukuman pengganti (U q bah badalyah) yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok, bila hukuman pokok tidak
dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti hukuman

93
Sebagaimana dikutip dalam junal Al-Ahkam, Konsorsium Sarjana Syariah Indonesia
(KSSI) bekerja sama dengan fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, volume 203 No. 1
(April 2013). h., 47.
94
Ibid,h.,49.
69

Diyat (denda) sebagai hukuman qishas atau hukuman t ‟zir


sebagai pengganti hukuman had atau hukuman Qishas yang
tidak bisa dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri
adalah hukuman pokok, yaitu hukuman semi sengaja, akan
tetapi menjadi pengganti pula dalam hukuman Qishas.
Demikian juga hukuman t ‟zir merupakan hukuman untuk
jarimah-jarimah t ‟zir sendiri. Tetapi menjadi hukuman
pengganti pula bagi jarimah-jarimah hudud atau qishash-diat
yang tidak mendapatkan hukuman karena adanya alasan-alasan
tertentu.
c) Hukuman tambahan (U q bah tab iyah) yaitu hukuman yang
menikuti hukuman pokok tanpa memerlukan memerlukan
keputusan secara tersendiri larangan penerima warisan bagi
orang yang melakukan pembunuhan dalam keluarga, sebagai
tambahan dalam hukuman Qishas (mati), atau hukuman
dicabutnya hak sebagai saksi yang diberlakukan kepada orang
yang melakukan Qodzaf (memfitnah orang lain berzina)
disamping hukuman pokoknya, yaitu jilid delapan puluh kali.
d) Hukuman pelengkap ( q bat takm liyah) yaitu hukuman
yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan
tersendiri dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri
pemisah dengan hukuman tambahan. Contoh hukuman
pelengkap adalah mengalungkan tangan pencuri yang telah
dipotong di lehernya.

Penggolongan ke dua ditinjau dari segi kekuasaan hakim


dalam menentukan berat ringannya hukuman, yaitu:

(1) Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada


batasan tertinggi dan rendah, seperti hukuman jilid sebagai
hukuman had (80 kali atau 100 kali).
70

(2) Hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas


terendah, yaitu hakim diberi kebebasan untuk memilih
hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut, seperti
hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah t ‟zir.

Penggolongan ke tiga ditinjau dari besarnya hukuman yang


telah ditentukan, yaitu:

(a) Hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya,


yaitu hakim harus melaksanakan tampa dikurangi atau
ditambah, atau diganti dengan hukuman lain. Hukuman
ini disebut hukuman keharusan (U q bah l zimah)
(b) Hukuman yang diterapkan kepada hakim untuk
dipintanya dari kesimpulan hukuman-hukuman yang
ditetapkan oleh syara agar bisa disesuaikan dengan
keadaan pembuat dan perbuatanya. Hukuman ini
disebut hukuman pilihan (U q bah mukhirah)

Penggolongan keempat ditinjau dari segi tempat


dilakukannya hukuman, yaitu;

(1) Hukuman badan, yaitu hukuman yang dijauhkan atas


badan seperti hukuman mati, jilid dan penjara.
(2) Hukuman jiwa, yaitu hukuman yang dikenakan atas
jiwa seorang, buka badanya seperti ancaman, peringatan
dan teguran.
(3) Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan
terhadap harta seseorang seperti diyat, denda, dan
perampasan harta.

Penggolongan kelima ditinjau dari segi macam-macam


jarimah yang diancam dengan hukuman yaitu;
71

(a) Hukuman Hudud, yaitu hukuman yang ditetapkan atas


jarimah-jarimah hudud.
(b) Hukuman qishas-diyat, yaitu hukuman yang ditetapkan
atas jarimah-jarimah qishash-diyat.
(c) Hukuman kifarat, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk
sebagian jarimah qishash dan diyat dan beberapa
j rim h t ‟zir.
(d) Hukuman t ‟zir, yaitu hukuman yang ditetapkan untuk
jarimah-j rim h t ‟zir

1) Tujuan hukuman dalam pidana Islam


Hukum syariat diidentikan degan hukum yang tegas. Diman
dalam pelaksaanannya tujuan dai pemberian hukuman itulah yng
haru dicapai. Dalam penerapan hukuman (U q bat) dalam hukum
pidana Islam mempunyai tujuan dari penerapan hukuman tersebut,
menurut Imam Hanafi, tujuan pokok adanya penghukuman dalam
syariat Islam adalah untuk: 95

a) Pencegahan (al-r d wa al-jazr)


b) Perbaikan (al-islah)
c) Pendidikan (al-ta‟dib)

Sedangkan menurut Abdul Qodir Audah, sebagaimaan


dikutip oleh mardani dalam bukunya yang berjudul kejahatan
pencurian dalam hukum pidana Isalam, menyatakan bahwa tujuan
penghukuman dalam syariat Islam adalah untuk memperbaiki
kondisi manusia, menjaga mereka dari kerusakan, mengeluarkan
mereka dari kebodohan, menunjukan mereka dari kesesatan,
menghindarkan mereka dari berbuat maksiat dan mengarahkan
mereka agar menjadi manusia yang ta’at.96

95
Ibid,h.,52.
96
Ibid,h.,53.
72

Berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Abdul Qodir


Audah, sebagaimana dikuti dlam buku yang berjudul kejhatan
pencurian dalam hukum pidana Islam karangan Mardani, Ibnu
Taimiyah menyatakan bahwa tujuan dari menjalankan hukuman itu
adalah karena adanya rasa tali kasih sayang Allah Su h n hu
t l kepada makhluk dengan cara mencegah manusia dari
melakukan yang munkar bukan untuk menimbulkan kebencian
manusia dan berlaku sombong atas sesama makhluk. Tak ubahnya
seperti seorang ayah, bila ia mau mendidik anaknya, maka
sekiranya ia mengelakan diri dari memberikan teguran (lecut) atas
anaknya itu- sebagaimana di ketahui, oleh sementra itu karena
sayang kepada si anak untuk kebaikan anaknya sendiri.97

Aspek tujun dari penerapan hukum Islam harunya menjadi


olok ukur pertama kali dalam melaksanakanya. Sehingga
pemberian hukuman bagi pelaku tindak kejaahatan dapat
berdampak positif pada semua pihak. Tidak kemudian hanya
melihat secara leterlek dalam pandangan materil hukum aja. Akan
tetapi melihat kendisi sosial yang ada yang kemudian mejadi bahan
pertimbangan dalam menerapkan hukum. Dengan seperti itu maka
hukum yang diharapkan dapat berjaan efektif.

2) Penyelesaian tindak pidana melalui rertorative justice dalam


hukum pidana Islam.
Restorative justice jika dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia belum teratur dengan baik. Berbeda dengan hukum
pidana Islam (jinayat) yang lebih awal berbicara tentang
restorative justice dalam Sistem penegakan hukumnya. Hal
tersebut tergambar dalam ketentuan hukuman-hukuman yang telah

97
Ibid,h.,53.
73

di jelaskan diatas, dan tergambar jelas bahwa tujuan utama dari


penegakan hukum pidana Islam adalah penegakan keadilan.

Restorative justice dalam hukum pidana Islam terlihat pada


ketentuan pada konsep diyat. dimana dalam qishsah-diyat ada
upaya musyawah antara pelaku dan korban, pengalihan dari
hukuman badan berupa qishash bisa berubah ketika pihak korban
memaafkan pelaku, perubahan hukuman tersebut adalah dengan
digantinya hukuman badan menjadi hukuman denda yang telah
ditentukan dalam hukum Islam.

Dalam qishash sendiri, seorang yang melakukan tindakan


pembunuhan dan mendapat permaafan dari pihak keluarga korban
secara Cuma-Cuma, artinya tidak meminta untuk adanya ganti
rugi dengan diyat maka pihak pelaku pembunuhan tersebut tidak
berkewajiban untuk memberikan diyat tersebut. Hal tersebut
dinyatakan dalam pendapat Imam Hanafi, Maliki, dan Imam
Syafi’i, bahwa jika mustahiq al qishash memaafkan dengan tanpa
diyat maka tidak wajib bagi pelaku pembunuhan tadi membayar
diyat secara paksa. Hanya saja ia boleh memberinya sebagai ganti
rugi pemaafan. Secara hukum, mustahiq al-qishash berhak untuk
memaafkan secara Cuma-Cuma tampa tuntutan diyat.98

Penyelesaian secara damai dalam masalah diyat, baik


dengan menggugurkan keseluruhan atau mengurangi dari jumlah
yang diwajibkan adalah yang dibolehkan berdasarkan nash al-
Quran. Syariat telah memberikan hak kepada keluarga korban
untuk menggugurkan keseluruhan atau menggugurkan
sebagiannnya guna meringankan beban pelaku jika dia tidak
mampu membayar kewajiban diyat itu sama sekali atau ia hanya
mampu membayar sebagian saja. Menerima diyat adalah sebuah

98
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015),h.,46.
74

hal yang dibolehkan dalam syariat, Karena itu merupakan hak bagi
keluarga korban, sehingga mereka boleh saja menerima,
menggugurkan atau sepakat dalam nilai tertentu, Allah SWT
berfirman dalam Q.S Al- Baqarah:178

َََ‫صاصُ فَِ ْٱلقَ ْتلََ ۖ ْٱلحُشُّ تِ ْٱل ُح ِّش ًَٱلْ َع ْث ُذ تِ ْٱل َع ْث ِذ ًَ ْٱُْث‬ َ ِ‫ة َعلَ ْي ُك ُن ْٱلق‬
َ ِ‫ٌا ُكت‬ ۟ ُ‫يََٰٓأَيُّيَا ٱلَّ ِزينَ َءاهن‬
َ
ٌ ِ‫ك ت َْخف‬
‫يف ِّهن‬ َ ِ‫ًُف ًَأَ َد َٰٓا ٌء إِلَ ْي ِو تِإِحْ َس ٍن ۗ َرل‬
ِ ‫ع تِ ْٱل َو ْعش‬ ٌ ٌۢ ‫ََ ٌء فَٱتِّثَا‬ْ ‫تِ ْٱُْثَََ ۚ فَ َو ْن ُعفِ ََ لَ ۥو ُ ِه ْن أَ ِخي ِو ش‬
‫ك فَلَ ۥو ُ َع َزابٌ أَلِي ٌن‬ َ ِ‫َّستِّ ُك ْن ًَ َسحْ َوةٌ ۗ فَ َو ِن ٱ ْعتَذٍَ تَ ْع َذ َرل‬

Artinya: ”H i or ng-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu


qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita.Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendakah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
uh n k mu d n su tu r hm t.”

Restorative justice dalam Qishash juga dapat ditempuh


dengan jalur t ‟zir. Sebagaimana kita ketahui bahwa t ‟zir adalah
sanksi yang di berlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan
pelanggaran baik yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak
manusia-dan tidak termasuk kedalam kategori hukuman hudud dan
kafarat. Karena t ‟zir tidak ditentukan oleh Al-Quaran dan Hadist,
maka ini menjadi kopetensi penguasa setempat. Dalam
memutuskan jenis dan ukkuran sanksi t ‟zir, harus tetap
mempehatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut
kemaslahatan umat.99Dalam pemberian t ‟zir ini hanya diserahkan
kepada kebijakan Imam dalam melakuakan apa yang dianggap
sesuai dengan kemaslahatan. Maka Imam dapat melakukan

99
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, (Jakarta: Amzah,2016, cet.4),h., 139.
75

pemenjaraan, pemukulan atau al-t ‟di (tindakan untuk


100
mendidik).

Pelukaan ataupun penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang


dalam hukum pidana Islam hukumanya adalah Qishash.
Penganiayaan terhadap anggota badan yaitu pengenaan terhadap
kedua belah tangan, keua belah kaki dan yang mengikuti seperti
jari, hidung, mata telinga, bibir, gigi, rambut, pelupuk mata, dan
sesamanya yaitu cedera yang mengakibatkan terputusnya anggota
bedan tersebut ataupun penceranaan dengan menghilangkan
manfaat anggota badan tersebut. pemeberian hukuman Qishash
bisa berubah seperti pada hukuman bagi pelaku pembunuhan yaitu
dengan diyat atau dengan hukuman t ‟zir, dengan ketentuan
adanya pemaafan dari mustahiqul qishash.101

Jika memang dari pihak Mustahiqul qishash memberikan


maaf kepada pelaku maka pelaku tersebut tidak dikenakan
hukuman qishas sepertihalnya yang telah diatur dalam Q.s Al-
Baqorah ayat 178.

Bahkan baginda nabi Muhammad Solallahu A laihi Waslam


pernah memberikan harta yang sangat banyak kepada orang-orang
Laits agar mereka mau memaafkan, dan tidak menuntut qishash.
Namun hal ini tanpa mengesampingkan hak keluarga korban.
Tentu hak korban juga harus diperhatikan, mereka orang yang telah
dirugikan dalam hal ini, salah seorang anggota keluarga mereka
telah wafat dengan cara dibunuh, dan membunuh adalah perbuatan
yang berdosa besar (Q.S. An-Nisa:39). Seandainya mereka
memaafkan, itu adalah keutamaan yang sangat tinggi nilainya,

100
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015),h., 51.
101
Ibid,h.,53.
76

tetapi kalau mereka tetap menuntut hak, itu merupakan hak


mereka, bukan sikap yang adil kalau hak mereka dihambat.102

Jika pada tindak pidana pencurian restorative justice yang


dapat kita temui adalah faktor-faktor yang menyebabkan gugurnya
hukuman potong tangan bagi pelakunya. Dimana dalam hal yang
dapat memberikan ampunan adalah ada pemberian maaf dari pihak
yang dirugikannya. Hal ini hanya difatwakan oleh kalangan Syiah
Zaidiyah, dengan adanya permaafan oleh pihak korban maka
dalam pandangan kalangan ini maka pemberian hukuman potong
tangan dapat ditiadakan.103

Hal lain yang dapat menjadikan hilangnya hukuman pokok


berupa potong tangan pada tindak pidana pencurian, adalah dengan
mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan kesidang
pendapat ini disampaikan oleh Imam Abu Hanifah sedangkan
menurut Imam Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad dalam buku yang
berjudul kejahatan pencurian dalam hukum pidana Islam yang
dikarang oleh Mardani, mengemukakan bahwa mengembalikan
harta yang dicuri bagi pelaku tindak pencurian tidak menyebabkan
hapusnya hukuman pencurian karena ancaman had itu terwujud
ketika terjadinya pengembalian harta.104

Dari beberapa ketentuan dalam hukum pidana Islam yang


telah dijabarkan diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa dala
hukum pidana Islam penggunaan konsep restorative justice sudah
berjalan dan terkonsep dengan baik. Bahkan upaya pencapaian
keadilan bagi kedua belah pihak sangat di utamakan. Kehadiran
pemerintah sebagai fasilitator dalam upaya musyawarah kedua

102
Ibid,h.,73.
103
A.jazuli, Fiqih Jinayah Upaya Menggulangi Kejahatan Dalam Islam, ( :Raja
Grafindo, 1997),h.,78.
104
Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV. INDHILL
CO, 2008),h.,131.
77

belah pihak juga sangat diperlihatkan, bahakan dalam proses


Sistem pidana Islam adanya perdamaian sangat di utamakan bagi
kedua belah pihak yang berperkara. Tampa kemudian
mengkesampingkan keadilan bagi pihak korban.

Restorative justice dalam tindak pidana yang dilakukan


dalam ranah lingkungan mempunyai dimensi tersendiri. Diama
dimensi restorative justice sangat diutamakan. Sebagaimana
argumentasi yang dikatakan oleh Abu Hanifah yang dikutip oleh
Mardani dalam buku kejahatan pencurian dalam hukum pidana
Islam, menyatakan bahwa:105

‫ًإر لن خذهكن الضًج فاصًج ىزه الشخصة‬

Artinya: “Apabila pembantu suami tidak divonis potong tangan,


m k su mi le ih ut m d l m rukhs h (kering n n) ini”.

Argumentasi yang lain yang dikemukan oleh Imam Abu


Hanafiah adalah bahwa seandainya hukuman potong tangan
diberlakukan kepada pencurian lingkup keluarga, maka ini dapat
memutuskan tali kekeluargaa. Maka yang demikian itu hukumnya
haram, berdasarkan kaidah usul fiqih, yaitu:

‫ها أفضَ إلَ الحشام فيٌ حشام‬

Artinya: “Sesuatu hal yang membawa kepada haram, maka


hukumny h r m”.106

Dari urayan diatas tampaklah jelas bahwa dalam hukum


pidana Islam mempunyai karakteristik tersendiri dimana pemberian
hukuman terhadap pelaku tindak pidana dalam lingkup rumah
tangga sangat diperhitungkan. Tentu perhitungkan yang paling

105
Sebagaimana dikutip oleh Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: CV. INDHILL CO, 2008),h., 141.
106
Ibid, h., 141.
78

diutamakan adalah keutuhan dari rumah tangga tersebut. bila mana


terjadi sebuah pemberian hukuman sama seperti ketentuan umum
maka akan dikhawatirkan ada kerusakan dan permusuhan yang
membesar pada rumah tangga tersebut.

Dalam permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga


(KDRT) upaya restorative justice tentu dalam Islam sangat di
utamakan. Melihat dari tujuan hukuman pidana dalam Islam yang
telah diuraikan diatas maka kita bisa melihat bahwa restorative
justice adalah jalan yang dapat dilaksnakan untuk mencapai tujuan
tersebut.

Upaya musyawarah dan perdamaian yang dilakuakan dalam


pidana Islam apabila terjadi sebuah tindak pidana tentu menjadi
sebuah upaya yang sama dalam menyelesaikan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga, pemulihan perdamaian dan rasa
kasih sayang dalam kelurga tentu harus menjadi prioritas pertama.
Walaupun kemudian tidak mengabaikan tehadap tindakan yang
melampaui batas, dimana ketika memang korban mengalami
kerugian yang besar, dan juga tidak ada iktikad baik dari pihak
pelaku, maka hal-hal yang menjadi ketentuan terhadap kejahatan
itu tetap harus dijalankan dengan koridor yang berlaku.

B. Posisi Kasus Pada Putusan Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl Tentang


Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kasus tindak pidana KDRT ini terjadi di daerah Tegal, dengan


terpidana bernama Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo kejadian KDRT
terjadi pada hari Sabtu tanggal 9 September 2017 sekira pukul 07.00 Wib,
pada hari Jumat tanggal 15 September 2017 sekira 21.00 Wib, pada hari Jumat
tanggal 17 Nopember 2017 sekira pukul 07.00 Wib, pada hari Senin tanggal
20 Nopember 2017 sekira pukul 07.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu
79

waktu antara bulan September 2017 sampai dengan bulan Nopember 2017
atau setidak-tidaknya pada tahun 2017 bertempat didalam rumah Jl. Perintis
Kemerdekaan Gang 22 No. 4 Rt.007 Rw.006 Kelurahan Panggung Kecamatan
Tegal Timur Kota atau setidak–tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Tegal “ telah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a , jika
beberapa perbuatan ada hubungannya sedemikianrupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut .yang dilakukan dengan cara-cara
antara lain sebagai berikut : 107
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana seperti tersebut diatas saat
terdakwa hidup bersama dengan saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
sebagai pasangan suami istri yang sah menurut hukum sesuai Kutipan Akte
nikah No. 275/06/VI//2010 tanggal 4 Juni 2010 yang hidup serumah sejak
pernikahannya tinggal bersama dan telah dikaruniai 2 orang anak bernama
Azzahwa Bari Afifah umur 6 (enam) tahun dan Maulana Abimannah umum 4
(empat) tahun.108
Terpidana melakukan kekerasan fisik terhadap isterinya bernama saksi
Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus hanya karena permasalahan sepele
ketika saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus melakukan kesalahan
sedikit saja terdakwa langsung melakukan kekerasan fisik terhadap saksi Siti
Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus dengan cara memukul menggunakan
tangan kosong, dengan menggunakan alat potongan kayu, mengancam dengan
menggunakan pisau dan palu, perbuatan tersebut dilakukan pada hari Sabtu
tangal 9 September 2017 sekira pukul 07.00 Wib saat saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus diantar untuk berangkat kerja oleh terdakwa posisi
saksi sudah duduk berboncengan sepeda motor dengan terdakwa yang sudah
menggunakan helm tanpa sebab mulut saksi disundul dengan kepala terdakwa

107
Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl, h., 3.
108
Ibid, h., 3.
80

yang sudah menggunakan helm hingga mengenai bibir saksi sampai luka
mengeluarkan darah.109
Selanjutnya pada hari Jumat tanggal 15 September 2017 sekira pukul
21 Wib. terdakwa menanyakan laptop Lenovo warna merah muda, karena
Laptop tersebut inventaris kantor tempat saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus bekerja sehingga ditinggal dikantor oleh saksi Siti Ibnu
Hajar Binti Mohammad Yunus selanjutnya saksi menyarankan agar
menggunakan laptop lain yang punya sendiri namun terdakwa marah langsung
melakukan kekerasan fisik saat posisi saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad
Yunus sedang merapikan kasur lantai jongkok dibawah, terdakwa dengan
berdiri menginjak injak paha kanan dan selangka berulang kali hingga saksi
menangis dan terdakwa baru menghentikan perbuatannya. 110
Bahwa pada hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017 sekira pukul 07.00
Wib saat terdakwa menanyakan kepada saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus “kapan raport anak - anak diganti oleh gurunya?” (buku
raport anak sekolah yang disobek oleh terdakwa) , selanjutnya dijawab oleh
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus “buku raport tersebut belum ada
. saat itu terdakwa langsung berdiri dibelakang saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus memukul bagian belakang dipunggung bertubi-tubi
dengan menggunakan tangan kosong, selanjutnya terdakwa mengambil
potongan kayu yang dipukulkan kelengan kiri beberapa kali hingga saksi Siti
Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus mengalami luka lebam dipunggung dan
dilengan tangan kiri. 111
Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul 07.15
Wib saat terdakwa akan mengantar saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad
Yunus untuk berangkat kerja terdakwa mencari helm ternyata helmnya
dijemur dan lupa tidak diambil ketika hujan, sehingga helm terdakwa basah,
mengetahui hal tersebut terdakwa langsung marah - marah dan memukul
kepala bagian kiri dengan menggunakan tangan kosong yang mengepal
109
Ibid, h., 4.
110
Ibid, h., 4.
111
Ibid, h., 4.
81

dengan keras selanjutnya memukul lengan tangan kanan berulang kali, saksi
berusaha menangkis dengan tangan kanan pukulan terdakwa yang berusaha
mengarah kekepala saksi ketika kejadian tersebut ada tetangga yang melihat
yaitu diantaranya saksi Dias Fitriani bin Abdullah mubarok, karena saksi
merasa sudah tidak tahan lagi atas perbuatan suaminya yaitu terdakwa
selanjutnya saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus melaporkankejadian
tersebut kepihak yang berwajib karena perbuatan kekerasan fisik sering
dilakukan oleh terdakwa terhadap isterinya yaitu saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus. terdakwa juga mengancam dengan menggunakan pisau
diarahkan diperut saksi.112
Bahwa selanjutnya pada tanggal 21 Nopember 2017 saksi Siti Ibnu
Hajar Binti Mohammad Yunus baru memeriksakan kesehatannya kerumah
sakit Umum Islam Harapan Anda Tegal. sesuai hasil Visum Et Repertum
Nomor 25/VS/MR/RSUI-HA/XI/2017/263692 tanggal 26 Nopember 2017.
Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dr. Lulu Mukhlisoh dokter rumah sakit
Umum Islam Harapan Anda Tegal dengan hasil pemeriksaan :113

a. Bengkak pada Bagian selangka kanan ukuran ± 1,5 cm


b. Lebam pada lengan kanan ukuran ± 4 cm
c. Lebam pada lengan kiri ukuran ± 2 – 3 cm
d. Lebam pada punggung kaanan ukuran ± 03 cm

Kesimpulan Luka dan lebam oleh karena benda tumpul. karena itu
yang bersangkutan Rawat jalan. Akibat dari perbuatan terdakwa saksi Siti
Ibnu Hajar bin Muhammad Yunus tidak dapat melakukan aktifitas sehari hari
seperti biasanya Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 44 ayat(1) UU RI No.23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam Rumah Tangga jo pasal 64 ayat(1) KUHP.114

112
Ibid, h., 4.
113
Ibid, h., 5.
114
Ibid, h., 5.
82
BAB IV
ANALISIS EMPIRIS TERHADAP PENERAPAN HUKUM
JAKSA PENUNTU UMUM DAN PERTIMBANGAN HAKIM
DALAM MEMUTUS PERKARA KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA NOMOR 06/PID.SUS/2018/PN.Tgl

A. Penerapan Hukum Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Kasus Tindak


Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl
Kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga Nomor
06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl. Sebagaimana telah di jelaskan mengenai posisis
kasusnya di bab III. Kemudian Jaksa Penuntut Umum melakukan penuntutan
kepada Terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo dengan No. Surat
dakwaan115 Reg.Perk: PDM-04/TGL/Euh.2/1/2018 tertanggal 23 Januari
2018, sebagai berikut:116

1. Dakawan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah menghadapkan


terdakwa dengan dakwaan primer dan dakwaan subsideir sebagai
berikut:117

a. Primer Jaksa Penuntut Umum

Bahwa ia Terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo


pada hari Sabtu tanggal 9 September 2017 sekira pukul 07.00 Wib,
pada hari Jumat tanggal 15 September 2017 sekira 21.00 Wib, pada
hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017 sekira pukul 07.00 Wib,
pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul 07.00 Wib

115
Dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana karena berdasarkan hal yang
dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan didasarkan kepada surat
dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas dilampaui, namun
putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu. Lihat Andi
Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006, cet. 5), h., 163.
116
Putusan Pengadilan Negeri Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl, h., 2-3.
117
Putusan Pengadilan Negeri…,h., 3-5

83
84

atau setidak-tidaknya pada suatu waktu antara bulan September


2017 sampai dengan bulan Nopember 2017 atau setidak-tidaknya
pada tahun 2017 bertempat didalam rumah Jl. Perintis
Kemerdekaan Gang 22 No. 4 Rt.007Rw.006 Kelurahan Panggung
Kecamatan Tegal Timur Kota atau setidak-tidaknya di suatu
tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tegal “telah
melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, jika beberapa
perbuatan ada hubungannya sedemikianrupa sehingga harus
dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut yang dilakukan dengan
cara-cara antara lain sebagai berikut :
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana seperti tersebut
diatas saat terdakwa hidup bersama dengan saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus sebagai pasangan suami istri yang sah
menurut hukum sesuai Kutipan Akte nikah No. 275/06/VI//2010
tanggal 4 Juni 2010 yang hidup serumah sejak pernikahannya
tinggal bersama dan telah dikaruniai 2 orang anak bernama
Azzahwa Bari Afifah umur 6 (enam) tahun dan Maulana
Abimannah umum 4(empat) tahun, terdakwa melakukan kekerasan
fisik terhadap isterinya bernama saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus hanya karena permasalahan sepele ketika saksi
Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus melakukan kesalahan
sedikit saja terdakwa langsung melakukan kekerasan fisik terhadap
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus dengan cara
memukul menggunakan tangan kosong, dengan menggunakan alat
potongan kayu, mengancam dengan menggunakan pisau dan palu,
perbuatan tersebut dilakukan pada hari Sabtu tangal 9 September
2017 sekira pukul 07.00 Wib saat saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus diantar untuk berangkat kerja oleh terdakwa
posisi saksi sudah duduk berboncengan sepeda motor dengan
terdakwa yang sudah menggunakan helm tanpa sebab mulut saksi
85

disundul dengan kepala terdakwa yang sudah menggunakan helm


hingga mengenai bibir saksi sampai luka mengeluarkan darah.
selanjutnya pada hari Jumat tanggal 15 September 2017 sekira
pukul 21 Wib. terdakwa menanyakan laptop Lenovo warna merah
muda, karena Laptop tersebut inventaris kantor tempat saksi Siti
Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus bekerja sehingga ditinggal
dikantor oleh saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
selanjutnya saksi menyarankan agar menggunakan laptop lain yang
punya sendiri namun terdakwa marah langsung melakukan
kekerasan fisik saat posisi saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad
Yunus sedang merapikan kasur lantai jongkok dibawah, terdakwa
dengan berdiri menginjak injak paha kanan dan selangka berulang
kali hingga saksi menangis dan terdakwa baru menghentikan
perbuatannya. Bahwa pada hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017
sekira pukul 07.00 Wib saat terdakwa menanyakan kepada saksi
Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus “ kapan raport anak-anak
diganti oleh gurunya? (buku raport anak sekolah yang disobek oleh
terdakwa), selanjutnya dijawab oleh saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus “buku raport tersebut belum ada. Saat itu
terdakwa langsung berdiri dibelakang saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus memukul bagian belakang dipunggung bertubi-
tubi dengan menggunakan tangan kosong, selanjutnya terdakwa
mengambil potongan kayu yang dipukulkan kelengan kiri beberapa
kali hingga saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
mengalami luka lebam dipunggung dan dilengan tangan kiri.
Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul
07.15 Wib saat terdakwa akan mengantar saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus untuk berangkat kerja terdakwa mencari
helm ternyata helmnya dijemur dan lupa tidak diambil ketika
hujan, sehingga helm terdakwa basah, mengetahui hal tersebut
terdakwa langsung marah - marah dan memukul kepala bagian kiri
86

dengan menggunakan tangan kosong yang mengepal dengan keras


selanjutnya memukul lengan tangan kanan berulang kali, saksi
berusaha menangkis dengan tangan kanan pukulan terdakwa yang
berusaha mengarah kekepala saksi ketika kejadian tersebut ada
tetangga yang melihat yaitu diantaranya saksi Dias Fitriani bin
Abdullah Mubarok, karena saksi merasa sudah tidak tahan lagi atas
perbuatan suaminya yaitu terdakwa selanjutnya saksi Siti Ibnu
Hajar Binti Mohammad Yunus melaporkan kejadian tersebut
kepihak yang berwajib karena perbuatan kekerasan fisik sering
dilakukan oleh terdakwa terhadap isterinya yaitu saksi Siti Ibnu
Hajar Binti Mohammad Yunus. terdakwa juga mengancam dengan
menggunakan pisau diarahkan diperut saksi. Bahwa selanjutnya
pada tanggal 21 Nopember 2017 saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus baru memeriksakan kesehatannya kerumah
sakit Umum Islam Harapan Anda Tegal. sesuai hasil Visum Et
Repertum Nomor 25/VS/MR/RSUI-HA/XI/2017/263692 tanggal
26 Nopember 2017. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dr. Lulu
Mukhlisoh dokter rumah sakit Umum Islam Harapan Anda Tegal
dengan hasil pemeriksaan:
1) Bengkak pada Bagian selangka kanan ukuran ± 1,5 cm
2) Lebam pada lengan kanan ukuran ± 4 cm
3) Lebam pada lengan kiri ukuran ± 2-3 cm
4) Lebam pada punggung kaanan ukuran ± 03 cm
Kesimpulan Luka dan lebam oleh karena benda tumpul.
Karena itu yang bersangkutan Rawat jalan. Akibat dari perbuatan
terdakwa saksi Siti Ibnu Hajar bin Muhammad Yunus tidak dapat
melakukan aktifitas sehari hari seperti biasanya.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 44 ayat(1) UU RI No.23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga Jo pasal 64 ayat(1)
KUHP.
87

b. Subsidir Jaksa Penuntut Umum


Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum, mencantumkan
dakwan subsidir dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga
tersebut. berikut dakwaan subsidir yang dilakukan oleh Jaksa
Penuntut Umum:118
Bahwa ia terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H. Kasmo
pada hari Sabtu tanggal 9 September 2017 sekira pukul 07.00 Wib,
pada hari Jumat tanggal 15 September 2017 sekira 21.00 Wib, pada
hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017 sekira pukul 07.00 Wib,
pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul 07.00 Wib
atau setidak-tidaknya pada suatu waktu antara bulan September
2017 sampai dengan bulan Nopember 2017 atau setidak-tidaknya
pada tahun 2017 bertempat didalam rumah Jl. Perintis
Kemerdekaan Gang 22 No. 4 Rt.007 Rw.006 Kelurahan Panggung
Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal atau setidak-tidaknya di suatu
tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tegal “Tegal atau
setidak-tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri Tegal “telah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga yang dilakukan terhadap isteri atau
sebaliknyn yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau
kegiatan sehari hari, jika beberapa perbuatan ada hubungannya
sedemikianrupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan
berlanjut . yang dilakukan dengan cara-cara antara lain sebagai
berikut :
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana seperti tersebut
diatas saat terdakwa hidup bersama dengan saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus sebagai pasangan suami istri yang sah
menurut hukum sesuai Kutipan Akte nikah No. 275/06/VI//2010
tanggal 4 Juni 2010 yang hidup serumah sejak pernikahannya
118
Putusan Pengadilan Negeri…,h., 5-7.
88

tinggal bersama dan telah dikaruniai 2 orang anak bernama


Azzahwa Bari Afifah umur 6 (enam) tahun dan Maulana
Abimannah umum 4 (empat) tahun, terdakwa melakukan
kekerasan fisik terhadap isterinya bernama saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus hanya karena permasalahan sepele ketika
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus melakukan
kesalahan sedikit saja terdakwa langsung melakukan kekerasan
fisik terhadap saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
dengan cara memukul menggunakan tangan kosong, dengan
menggunakan alat potongan kayu, mengancam dengan
menggunakan pisau dan palu, perbuatan tersebut dilakukan pada
hari Sabtu tangal 9 September 2017 sekira pukul 07.00 Wib saat
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus diantar untuk
berangkat kerja oleh terdakwa posisi saksi sudah duduk
berboncengan sepeda motor dengan terdakwa yang sudah
menggunakan helm tanpa sebab mulut saksi disundul dengan
kepala terdakwa yang sudah menggunakan helm hingga mengenai
bibir saksi sampai luka mengeluarkan darah. selanjutnya pada hari
Jumat tanggal 15 September 2017 sekira pukul 21 Wib. terdakwa
menanyakan lap top Lenovo warna merah muda, karena Laptop
tersebut inventaris kantor tempat saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus bekerja sehingga ditinggal dikantor oleh saksi
Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus selanjutnya saksi
menyarankan agar menggunakan Laptop lain yang punya sendiri
namun terdakwa marah langsung melakukan kekerasan fisik saat
posisi saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus sedang
merapikan kasur lantai jongkok dibawah, terdakwa dengan berdiri
menginjak injak paha kanan dan selangka berulang kali hingga
saksi menangis dan terdakwa baru menghentikan perbuatannya.
Bahwa pada hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017 sekira pukul
07.00 Wib saat terdakwa menanyakan kepada saksi Siti Ibnu Hajar
89

Binti Mohammad Yunus “ kapan raport anak–anak diganti oleh


gurunya? (buku raport anak sekolah yang disobek oleh terdakwa),
selanjutnya dijawab oleh saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad
Yunus “buku raport tersebut belum ada. saat itu terdakwa langsung
berdiri dibelakang saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
memukul bagian belakang dipunggung bertubi-tubi dengan
menggunakan tangan kosong, selanjutnya terdakwa mengambil
potongan kayu yang dipukulkan kelengan kiri beberapa kali hingga
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus mengalami luka
lebam dipunggung dan dilengan tangan kiri. Bahwa pada hari
Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul 07.15 Wib saat
terdakwa akan mengantar saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad
Yunus untuk berangkat kerja terdakwa mencari helm ternyata
helmnya dijemur dan lupa tidak diambil ketika hujan, sehingga
helm terdakwa basah, mengetahui hal tersebut terdakwa langsung
marah-marah dan memukul kepala bagian kiri dengan
menggunakan tangan kosong yang mengepal dengan keras
selanjutnya memukul lengan tangan kanan berulang kali, saksi
berusaha menangkis dengan tangan kanan pukulan terdakwa yang
berusaha mengarah kekepala saksi ketika kejadian tersebut ada
tetangga yang melihat, karena saksi merasa sudah tidak tahan lagi
atas perbuatan suaminya yaitu terdakwa selanjutnya saksi Siti Ibnu
Hajar Binti Mohammad Yunus melaporkan kejadian tersebut
kepihak yang berwajib karena perbuatan kekerasan fisik sering
dilakukan oleh terdakwa terhadap isterinya yaitu saksi Siti Ibnu
Hajar Binti Mohammad Yunus. terdakwa juga mengancam dengan
menggunakan pisau diarahkan diperut saksi. Bahwa selanjutnya
pada tanggal 21 Nopember 2017 saksi Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus baru memeriksakan kesehatannya kerumah
sakit Umum Islam Harapan Anda Tegal. sesuai hasil Visum Et
Repertum Nomor 25/VS/MR/RSUI-HA/XI/2017/263692 tanggal
90

26 Nopember 2017. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh dr. Lulu


Mukhlisoh dokter rumah sakit Umum Islam Harapan Anda Tegal
dengan hasil pemeriksaan :
1) Bengkak pada Bagian selangka kanan ukuran ± 1,5 cm
2) Lebam pada lengan kanan ukuran ± 4 cm
3) Lebam pada lengan kiri ukuran ± 2-3 cm
4) Lebam pada punggung kaanan ukuran ± 03 cm
Kesimpulan Luka dan lebam oleh karena benda tumpul.
karena itu yangbersangkutan Rawat jalan.
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 44 ayat(4) UU RI No.23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga jo pasal 64 ayat(1)
KUHP.
Bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah
menghadapakan terdakwa dengan dakwaan yang berbentuk
subsideritas yakni Primair melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Subsidair
melanggar Pasal 44 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga jo pasal 64 ayat (1) KUHP. Bahwa dalam dakwaan
Primair terdakwa telah disangkakan oleh Penuntut Umum
melanggar pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64
ayat (1) KUHP yang memuat unsure-unsur sebagai berikut :
a) Setiap orang
b) Melakukan perbuatan kekerasa fisik dalam lingkungan
rumah tangga
c) Perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan
berlanjut
91

2. Saksi-Saksi Yang Di Hadirkan Oleh Jaksa Penuntut Umum

Dalam persidangan untuk membuktikan terhadap dakwaan, maka


Jaksa Peuntut Umum menghadirkan saksi-saksi. Sebagaimana diatur
dalam KUHAP pasal 1 angka 26 menyebutkan bahwa “Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendir”,119 sehingga dengan
keterangan saksi akan menjadi satu alat bukti dalam pembuktian terhadap
peristiwa pidana. Maka Jaksa Penuntut Umum menghadirkan keterangan
saksi-saksi (achcard)120 sebagai berikut:
a. Siti Ibnu Hajar Binti Muhamad Yunus
Dalam persidangan saudara Siti Ibu Hajar Binti
Muhamad Yunus dihadirkan sebagai saksi korban. Dalam
keterangan saksi di hadapan Majelis Hakim saksi memberikan
kesaksian sebagai berikut: 121
1) Bahwa saksi pernah memberikan keterangan dihadapan
penyidik dan saat diperiksa pihak penyidik tidak pernah
melakukan pemaksaan pada saksi.
2) Bahwa setelah diperiksa penyidik lalu berita acara
dibaca yang setelah dibaca berita acara ditandatangani
saksi.
3) Bahwa saksi diperiksa terkait dengan ada tindakan
kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan
terdakwa.
4) Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa dimana Terdakwa
adalah suami saksi sendiri.

119
Undang-undang No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana pasal 1 angka 26.
120
Saksi Acharge adalah saksi-saksi yang memberikan keterangan yang menguatkan
pihak Jaksa (melemahkan pihak terdakwa). Lihat, alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara
Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014, cet. 4), h., 63.
121
Putusan Pengadilan Negeri…h., 8-9.
92

5) Bahwa saksi dengan Terdakwa menikah tanggal 4 Juni


2010 yang setelah menikah saksi dan terdakwa tinggal
dijalan Perintis Kemerdekaan Gang 28 No 14 Rt 007
Rw 006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur
Kota Tegal.
6) Bahwa dari pernikahan saksi dengan Terdakwa telah
dikaruniakan 2 (dua) orang anak masing-masing
bernama Azzahwa Bahari Afifah dan Maulana
Abimannah.
7) Bahwa awal kehidupan rumah tangga saksi dengan
Terdakwa sangat harmonis namun 2 (dua) tahun
belakangan ini Terdakwa sering marah–marah hingga
melakukan kekerasan fisik terhadap saksi.
8) Bahwa kekerasan fisik yang dilakukan terdakwa pada
saksi terjadi pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017
sekitar pukul 07.15 Wib bertempat didalam rumah di
jalan Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 4 Rt 007 Rw
006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota
Tegal.
9) Bahwa alasan terdakwa memukul saksi karena saat itu
terdakwa sedang mencari helm akan tetapi helm
tersebut basah hingga akhirnya terdakwa marah dan
memukul saksi.
10) Bahwa terdakwa memukul bagian kepala saksi
sebanyak 1 (satu) kali dan selain memukul bagian
kepala terdakwa juga ada melakukan pemukulan pada
bagian tangan kanan saksi secara berulangkali.
11) Bahwa saat pemukulan terjadi tidak ada orang yang
melihat kejadian itu akan tetapi tetangga disekitar
tempat tinggal saksi dan terdakwa ada mendengar suara
keributan antara terdakwa dengan saksi.
93

12) Bahwa sepengetahuan saksi tetangga yang melihat


keributan adalah ibu Dias dan Irfan.
13) Bahwa selain Dias dan Irfan ada juga Lilis Sumiati,
Teguh Dwiarto dan Bamabang Riswantoro yang
mengetahui kalau terdakwa dan saksi sedang rebut-
rebut.
Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan
dan membenarkan keterangan saksi tersebut.
b. Dias Fitriyani Binti Abdullah Mubarok
Sebagaimana ketentuan dalam KUHAP pasal 168
dimana syarat seorang dapat diambil kesaksinya adalah mereka
yang tidak ada hubungan darah atau hubungan kekeluargaan.122
Saudara saksi Dias Fitriyani Binti Abdullah Mubarok
dihadirkan dalam persidangan karena memenuhi syarat sebagai
saksi. Dalam persaksianya didepan Majelis Hakim, saksi
memberikan keterangan sebagai berikut:123
1) Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa akan tetapi antara
saksi dengan Terdakwa tidak ada hubungan keluarga.
2) Bahwa terdakwa dengan Ibnu Hajar adalah pasangan
suami isteri.
3) Bahwa saksi pernah memberikan keterangan dihadapan
penyidik dan saat memberikan keterangan pihak
penyidik tidak pernah melakukan pemaksaan.
4) Bahwa setelah selesai memberikan keterangan
kemudian berita acara dibaca untuk selanjutnya
ditandangani saksi.

122
Yang dimaksud dengan keluarga dalam KUHAP pada pasal 1 angka 30 menyebutkan
bahwa keluarga adalah mereka yang mempunyi hubungan darah sampai derajat tertentu atau
hubungan perkawinan dengan mereka yang terlibat dalam suatu proses pidana sebagaimana diatur
dalam Undang-undang ini.
123
Keputusan Pengadilan Negeri…,h., 9.
94

5) Bahwa saksi dengan Terdakwa sudah bertetangga


sekitar 7 (tujuh) tahun.
6) Bahwa saksi melihat dan mendengar Terdakwa dengan
Ibnu Hajra ada bertengkar yang disertai suara jeritan
seorang wanita yang kedengarannya jeritan kesakitan.
7) Bahwa sepengetahuan saksi keribuatan terjadi pada hari
Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15
Wib bertempat di rumah terdakwa di jalan Perintis
Kemerdekaan Gangg 22 No 4 Rt 007 Rw 006
Kelurahan PanggungKecamatan Tegal Timur Kota
Tegal.
8) Bahwa isteri Terdakwa yang bernama Ibnu Hajar
pernah mengadu pada saksi sambil korban
menunjukkan luka memar yang terdapat dibagian
tubuhnya sambil berkata luka memar tersebut akibat
pemukulan yang dilakukan Terdakwa bahkan korban
menerangkan pula terdakwa sudah sering melakukan
pemukulan.
9) Bahwa saksi dan Suami pernah menegur Terdakwa agar
tidak bertengkar serta memperingatkan agar jangan
melakukan kekeran fisik pada isterinya akan tetapi
terdakwa justru mengancam saksi dengan mengatakan
jangan ikut campur sehingga dengan keadaan itu saksi
merasa ketakutan.
10) Bahwa sepengetahuan saksi diawal kehidupan rumah
tangga Terdakwa dan isterinya sangat baik–baik saja
namun 2 (dua) tahun belakang ini saksi sering
mendengar terdakwa dan isterinya sering bertengkar
hingga berujung dengan pemukulan yang dilakukan
terdakwa.
95

Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan


dan membenarkan keterangan saksi tersebut.

c. Lilis Sumiati Binti Yayan Suherman


Sebagai mana saksi Dias Fitriyani Binti Abdullah
Mubarok, saksi Lilis Sumiati Binti Yayan Suherman dihadirkan
di hadapan pengadilan untuk dimintai keterangannya. Dari
persakisian saksi Lilis Sumiati Binti Yayan Suherman majelis
hakim memperoleh keterangan sebagai berikut:124
1) Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa dan isterinya akan
tetapi saksi tidak ada hubungan keluarga dengan
Terdakwa maupun dengan isteri terdakwa.
2) Bahwa rumah saksi dengan rumah terdakwa sangat
berdekatan.
3) Bahwa terdakwa dengan Ibnu Hajar adalah pasangan
suami isteri.
4) Bahwa terdakwa dengan Ibnu Hajar tinggal di Jalan
Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 0 Rt 007 Rw 006
Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota
Tegal.
5) Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017
sekitar pukul 07.15 Wib saksi mendengar Terdakwa dan
Ibnu Hajar ada rebut-ribut namun saksi tidak melihat
apakah terdakwa ada memukul Ibnu Hajar ataupun
tidak.
6) Bahwa saksi sudah sering mendengar terdakwa dan
Ibnu Hajar sering rebut-ribut di dalam rumah dan saksi
juga pernah melihat tubuh Ibnu Hajar ada bekas lebam
yang menurut Ibnu Hajar bekas lebam karena terdakwa
selalu memukul Ibnu Hajar.

124
Putusan Pengadian Negeri…,h., 10.
96

7) Bahwa isteri Terdakwa yang bernama Ibnu Hajar


pernah melaporkan pada saksi sambil menunjukan
bagian Tubuh yang lebam dengan mengatakan terdakwa
sering melakukan pemukulan.
8) Sepengetahuan saksi selama bertetangga dengan
Terdakwa kehidupan keluarga Terdakwa dengan Ibnu
Hajar awalnya sangat harmonis namun 2 (dua) tahun
belakang saksi sering mendengar Terdakwa dan
isterinya sering ribut–ribut yang disertai dengan jeritan
seorang wanita.
9) Bahwa tetangga disekitar tempat tinggal terdakwa tidak
berani menegur terdakwa karena orangnya sangat
gampang tersinggung bahkan terdakwa cenderung
bersikap tertutup pada lingkungan tetangga.
Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan
dan membenarkan keterangan saksi tersebut.
d. Bambang Kriswantoro
Saksi Bambang Kriswantoro dihadirkan di hadapan
pengadilan, sepertihalnya saksi Lilis Sumiati Binti Yayan
Suherman dan saksi Dias Fitriyani Binti Abdullah Mubarok.
Kesaksian saksi Bambang Kriswantoro diperlukan untuk
memperkuat keterangan saksi sebelumnya. Dalam persaksianya
saudara saksi Bambang Kriswantoro meberikan keterangan
sebagai berikut:125
1) Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa namun antara
saksi dengan terdakwa tidak ada hubungan keluarga.
2) Bahwa saksi dan Terdakwa sama–sama tinggal di jalan
Perintis Kemerdekaan Gangg 22 Kelurahan Panggung
Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal.

125
Putusan Pengadilan Negeri…,h., 10-11.
97

3) Bahwa dilingkungan tempat tinggal saksi adalah selaku


Ketua RT.
4) Bahwa saksi pernah dimintakan keterangannya
dihadapan penyidik dan saat diperiksa pihak penyidik
tidak pernah melakukan pemaksaan.
5) Bahwa setelah saksi selesai memberikan keterangan
kemudian berita acara dibaca yang selanjutnya berita
acara ditandatangani saksi.
6) Bahwa isteri terdakwa yang bernama Ibnu Hajar pernah
mendatangi rumah saksi akan tetapi saat itu saksi tidak
ada dirumah sehingga Ibnu Hajar hanya bertemu
dengan isteri saksi dan saat dirumah saksi Ibnu Hajar
pernah melaporkan kelakukan terdakwa yang sering
melakukan pemukulan.
7) Setelah Ibnu Hajar bercerita pada isteri saksi kemudian
isteri saksi menceritakan hal tersebut pada saksi dengan
mengatakan terdakwa sering melakukan pemukulan
pada Ibnu Hajar.
8) Bahwa setelah Ibnu Hajar melaporkan pemukulan yang
sering dilakukan terdakwa lalu saksi selaku Ketua
Rukun Tetangga (RT) pernah mendatangin tempat
tinggal terdakwa namun saat datang terdakwa tidak
membuka pintu rumahnya.
9) Bahwa saksi mengetahui saat mendatangi rumah
terdakwa didalam rumah ada terdakwa namun terdakwa
tidak membuka pintu rumahnya meskipun saksi telah
berulangkali mengetuk pintu rumahnya.
10) Bahwa tujuan saksi mendatangi rumah terdakwa adalah
untuk mengkorfirmasi laporan ibnu Hajar yang sering
dipukuli terdakwa.
98

11) Bahwa saksi pernah juga memberitahukan pada ibunya


terdakwa mengenai pemukulan yang sering dilakukan
pada isterinya namun ibu terdakwa mengatakan dirinya
tidak mencampurin lagi.
Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan
danmembenarkan keterangan saksi tersebut.
e. Keterangan Terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H. Kasmo
Sebagaimana ketentuan dalam KUHAP pasal 183 yang
menyatakan bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kuranganya dua alat
bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakuakanya”.126 Maka menurut pasal 184 KUHAP
ayat (1) hurf e bahwa salah satu alat bukti yang sah adalah
keterangan terdakwa127.
Terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H. Kasmo dalam
keterangannya di hadapan pengadilan memberikan keterangan
sebagai berikut:128
1) Bahwa Terdakwa mengerti dihadapkan kedepan
Persidangan karena terdakwa telah melakukan
kekerasan dalam lingkungan keluarga.
2) Bahwa sebelum memberikan keterangan dipersidangan
terdakwa telah terlebih dahulu memberikan keterangan
dihadapan penyidik.
3) Bahwa dihadapan penyidik terdakwa memberikan
keterangan tanpa ada tekanan dari pihak penyidik.
4) Bahwa terdakwa dengan korban Siti Ibnu Hajar adalah
pasangan suami isteri yang telah menikah tanggal 4 Juni
2010.
126
KUHAP pasal 183
127
KUHAP pasal 184 ayat (1) huruf e.
128
Putusan Pengadilan Negeri…,h., 11-12.
99

5) Bahwa pernikahan Terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar


telah dicacat di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Tegal Timur Kota Tegal.
6) Bahwa dari pernikahan Terdakwa dengan Siti Ibnu
Hajar telah dikaruniakan 2 (dua) orang anak masing-
masing bernama Azzahwa Bari Afifah dan Maulana
Abimanannan.
7) Bahwa pada hari senin tanggal 20 Nopember 2017
sekitar pukul 07:15 Wib bertempat di dalam rumah di
jalan Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 4 RT 007 RW
006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota
Tegal terdakwa telah melakukan pemukulan pada
isterinya yang bernama Siti Ibnu Hajar.
8) Bahwa terdakwa memukul isterinya pada bagian kepala
sebelah kiri dengan mempergunakan tangan kosong
secara mengepal dan pemukulan itu dilakukan secara
berulang-ulang.
9) Bahwa alasan terdakwa memukul Siti Ibnu Hajar
karena helm yang biasa dipergunakan terdakwa basah
karena hujan dan helm tersebut basah karena isterinya
tidak mengambil helm yang dijemur.
10) Bahwa setelah mengetahui helm yang biasa
digunakannya basah kemudian terdakwa marah-marah
hingga melakukan pemukul pada Siti Ibnu Hajar.
11) Bahwa Terdakwa sudah sering melakukan pemukulan
pada Siti Ibnu Hajar bahkan terdakwa pernah memukul
Siti Ibnu Hajar dihadapan anak-anaknya.

3. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Pada Kasus Kekerasan Dalam


Rumah Tangga Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl.
100

Jakasa penuntut umum dalam persidangan melakukan penuntutan


dengan pembacaan surat Tuntutan Penuntut Umum yang pada pokoknya
Penuntut Umum memohon kepada Majelis Hakim agar kiranya
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dengan amar putusan sebagai
berikut:129
1. Menyatakan Terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo
telah terbukti secara sah dan meyakinkan “telah melakukan
tindak pidana kekerasan fisik dalam lingkungan rumah tangga
secara berlanjut” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 44 ayat (1) Undang–undang Republik Indonesia
Nomor 23 tahun 2004 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada dakwaan
primair.
2. Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa Ade Agung Setiawan
Bin H Kasmo berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan
6 (enam) bulan dikurangi terdakwa berada dalam tahanan
dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa kemudian dirampas untuk
dimusnahkan:
a. 2 (dau) buku nikah, buku Nikah Isteri dan buku Nikah
Suami dengan nomor 275/06/VI/2010 tanggal 4 Juni 2010
yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Tegal Timur Kota Tegal dikembalikan kepada saksi Siti
Ibnu Hajar Bin Muhamad Yunus.
b. 1 (satu) buah palu besi bergagang kayu panjang 27 cm.
c. 1 (satu) buah pisau daging merek Vicenza panjang mata
pisau 15 cm dan panjang gagang pisau 12 cm.
d. 2 (dua) buah pisau dapur panjang mata pisau 8,5 cm dan
panjang gagang pisau 10,5 cm.

129
Putusan Pengadilan Negeri...,h., 2.
101

e. 2 (dua) buah potongan kayu panjang masing-masing 45 cm


.
4. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp5.000,- (lima ribu rupiah).
Terhadap Tuntutan Penuntut Umum tersebut terdakwa
dipersidangan menyatakan tidak akan mengajukan pembelaan namun
secara lisan terdakwa menyatakan menerima dengan tuntutan tersebut
akan tetapi menyerahkan segalanya pada Majelis Hakim demikian juga
Penuntut umum terhadap tanggapan terdakwa menyatakan tetap pada surat
tuntutannya

B. Analisis Penulis
Pada analisa penulis terhadap penerapan hukum Jaksa Penuntut Umum
pada perkara kekerasan dalam rumah tangga Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl,
dengan nama terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo, penulis tidak
sependapat dengan tututan Jaksa Penuntut Umum akan tetapi penulis
sependapat dengan penerapan hukum yang dilakukan Jaksa Penuntu Umum
tersebut. ketidak sependapatan penulis terhadap putusan tersebut terurai
sebagai berikut:
Kasus kekerasan dalam rumah tangga Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl
sebagaimana dibahas diatas adalah kasus tindak pidana yang diatur dengan
Undang-undang khusus (lex specialis) yaitu UU No. 23 tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga mempunyai tujuan tersendiri
dalam penerapanya salah satu tujuan itu adalah untuk memelihara keutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Pada penerapan hukum yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum,
penulis berpendapat bahwa secara yuridis tututan tersebut sudah sesuai dengan
aturan yang ada. Dimana jaksa penuntut umum menggunakan pasal 44 ayat
(1) UU RI No.23 tahun 2004 dalam menjerat perbuatan terdakwa. Unsur-
unsur yang ada pada pasal tersebut sudah sesuai dengan perbuatan Terdakwa.
Dalam pembuktiannya, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan saksi-saksi dan
102

bukti-bukti. Dari semua keterangan yang diberikan oleh saksi dan korban
memperkuat dakwaan penuntut umum. Di dalam persidangan Terdakwa Ade
Agung Setiawan Bin H Kasmo pun tidak mempermasalahkan dengan
keterangan yang diberikan saksi artinya dengan keterangan saksi itu, terakwa
Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo membenarkanya.
Mengamati kronologi dari peristiwa tersebut, baik yang disampaikan
oleh Korban, saki-saksi maupun terdakwa dalam persidangan dimana
terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo telah jelas-jelas secara
meyakinkn telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap istrinya.
Dimana dari perbuatan tersebut tidak ada hal-hal yang menjadikan sebagai
alasan pemenar yaitu alasan yang menghapus sifat melawan hukumnya
perbuatan terdakwa sehingga perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa adalah
perbuatan yang patut dan benar. Kemudian tidak adanya alasan pemaaf yaitu
alasan yang menghapus kesalahan terdakwa. Yakni peruatan yang dilakukan
oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum dan merupakan tindak pidana
akan tetapi terdakwa tidak dipidana karena tidak ada kesalahan. Dan terdakwa
dipandang mampu untuk memepertanggung jawabkan perbuatannya.Oleh
sebab itu maka penulis sependapat terhadap dakwaan yang dilakukan oleh
Jaksa Penuntut Umum.

C. Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Kekerasan Dalam


Rumah Tangga Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl .
Tugas Hakim secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara melalui tiga tindakan secara bertahap. Pertama, mengkonstalasir yaitu
menetapkan atau merumuskan peristiwa konkret. Kedua, mengkualifikasir
yaitu merumuskan hukumnya. Ketiga, mengkostituir yaitu menetapkan
hukumnya dan memberikan keadilan bagi pihak yang bersankutan.130
Sehingga dalam proses keputusan yang dilakukan oleh majelis hakim dalam
kasus ini majelis hakim melakuakan ketiga proses tersebut.

130
Syafrudin Makmur, Hukum Acara Pidana, (Tangerang Selatan: UIN FSH Press, 2016,
cet.2), h., 61.
103

Proses sebagaimana tugas Hakim diatas maka Hakim akan


membuktikan terhadap pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah menghadapakan Terdakwa
dengan dakwaan yang berbentuk subsideritas yakni Primair melanggar pasal
44 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Subsidair
melanggar Pasal 44 ayat (4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga Jo pasal 64
ayat (1) KUHP ; bahwa karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara
Subsideritas maka terhadap dakwaan tersebut terlebih dahulu Majelis Hakim
akan mempertimbangkan dakwaan Primair dimana jika dakwaan primair tidak
terbukti maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair dan
selanjutnya akan dipertimbangkan dakwaan subsidair atau sebaliknya apabila
dakwaan primair telah terbukti maka dakwaan subsidair tidak perlu
dipertimbangkan lagi.
Sebagaimana dengan yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut
Umum kepada terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo bahwa dalam
dakwaan Primair terdakwa telah disangkakan oleh Penuntut Umum melanggar
pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Ketentuan pasal 44 ayat (1) UU 23 tahun 2014 tentang PKDRT
disebutkan,”Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam
lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)”.131 Kekerasan fisik yang disebutkan
dalam pasal tersebut merujuk pada pasal 5 huruf a yaitu “Setiap orang dilarang
melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup
rumah tangganya, dengan cara : a. kekerasan fisik”.132

131
UU No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pasal 44 ayat (1)
132
UU No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pasal 5 huruf a
104

Sedangkan pasal yang menjadi Jo dalam tuntutan Jaksa Penuntut


Umum Pasal 64 KUHP menyebutkan bahwa, “Jika antara beberapa perbuatan,
meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada
hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-
beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling
berat”.133

Maka Majelis Hakim mepertimbangkan dengan melihat muatan


unsur-unsur yang terkandung dalam pasal tersebut. Unsur-unsur tersebut yang
termuat sebagai berikut:134

1. Unsur Barangsiapa
Menimbang, bahwa unsur setiap orang dalam perkara ini
mempunyai pengertian yang sama dengan barangsiapa dimana
Undang-undang tidak memberikan pengertian secara tegas apa yang
dimaksud dengan barangsiapa akan pengertian yang sebenarnya dapat
dijumpai didalam doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia.
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur "setiap
orang" disini adalah seseorang baik itu laki-laki maupun perempuan
tanpa membeda-bedakan jenis kelamin yang kepadanya dapat
dimintakan segala pertanggungjawaban yang telah dilakukannya
dimana dalam hal ini saat awal persidangan berlangsung Penuntut
Umum telah menghadapkan seorang laki-laki yang bernama Ade
Agung Setiawan Bin H Kasmo dimana identitas lengkapnya
sebagaimana yang diuraikan Penuntut Umum dalam surat dakwaannya
bahkan saat Majelis Hakim menanyakan identitasnya Terdakwa telah
membenarkan kalau nama yang termuat dalam surat dakwaan adalah

133
KUHP pasal 64 ayat (1)
134
Putusan Pengadilan Negeri…,h., 15-18.
105

benar namanya terdakwa sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut


maka unsur setiap orang dalam hal ini telah terpenuhi.

2. Unsur Melakukan Perbuatan Kekerasa Fisik Dalam Lingkungan


RumahTangga
Menimbang, bahwa yang utama dalam unsur ini adalah adanya
suatu perbuatan tindak pidana dalam lingkup rumah tangga dan tindak
pidana yang dilakukan berupa tindakan kekerasan Fisik sehingga untuk
mengetahui apakah benar terdakwa telah melakukan perbuatan
sebagaimana yang disangkakan penuntut umum dalam surat
dakwaannya maka akan dipertimbangkan sebagai berikut.
Bahwa pasal 1 Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan,
“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan
atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga”. Selanjutnya Pasal 6
menyebutkan, “kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan
rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat”.
Menimbang, bahwa telah didengar keterangan Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus menerangkan saksi dan terdakwa adalah
pasangan suami isteri yang telah melangsungkan pernikahan tanggal 4
Juni 2010 bahkan pernikahannya telah dicacat dalam kutipan akta
nikah yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Tegal
Timur Kota Tegal yang setelah pernikah saksi dan Terdakwa tinggal di
Jalan Perintis kemerdekaan Gang 22 No 4 RT 007 RW 006 Kelurahan
Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal.
Menimbang, bahwa dari pernikahan saksi dan Terdakwa telah
dikaruniakan 2 (dua) orang anak masing-masing bernama Azzahwa
106

Bari Afifah dan Maulana Abimannah bahkan pada awal pernikahan


kehidupan rumah tangganya baik-baik saja akan tetapi dalam 2 (dua)
tahun belakang ini Terdakwa sering marah-marah bahkan hingga
melakukan kekerasan berupa pemukulan dimana puncaknya pada hari
senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib bertempat
didalam rumahnya di jalan Perintis kemerdekaan Gang 22 No 4 RT
007 RW 006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur, Kota
Tegal terdakwa telah memukul bagian kepala dan tangan saksi dengan
menggunakan tangan kosong dan pemukulan tersebut dilakukan
terdakwa secara berulang ulang.
Bahwa alasan terdakwa memukul saksi karena helm yang biasa
dipergunakan basah disebabkan helm yang sebelumnya dijemur tidak
diambil korban sehingga ketika hujan turun helm menjadi basah yang
mengakibatkan terdakwa marah hingga melakukan pemukulan pada
saksi dan saat pemukulan itu terjadi tidak ada seorangpun melihat
pemukulan tersebut akan tetapi tetangga disekitar rumah saksi tinggal
yakni Dias Fitriani dan Lilis Sumiati ada mendengar saksi dan
Terdakwa rebut-ribut bahkan ada pula didengar suara teriakan seorang
wanita yang mengerang kesakitan.
Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengarkan
keterangan Dias dan Lilis Sumiati yang menerangkan pada hari Senin
tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib dimana saat itu
saksi sedang berada dihalaman rumahnya tiba-tiba mendengar dari
dalam rumah terdakwa ada suara rebut-ribut yang disertai suara
teriakan wanita yang mengerang kesakitan bahkan isteri terdakwa Siti
Ibnu Hajar pernah datang kerumah saksi dan saat bertemu saksi ada
melihat pada bagian tangan korban ada luka lebam lalu Siti Ibnu Hajar
menerangkan luka lebam dikarenakan terdakwa telah memukul Siti
Ibnu Hajar.
Menimbang, bahwa dalam berkas perkara A Quo turut
dilampirkan bukti surat berupa Visum Et Repertum Nomor
107

25/VS/MR/RSUI-HA/XI/2017/263692 yang dikeluarkan Rumah sakit


Umum Islam Harapan Anda menerangkan terdapat luka lebam pada
lengan kanan dan lengan kiri, luka lebam pada punggung dan bengkak
pada bagian kepala dengan kesimpulan luka dan lebam dikarenakan
benda tumpul dan penderita masih dalam perawatan.
Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengarkan pula
keterangan saksi Riswantoro Bin Soemarto yang menerangkan saksi
selaku ketua RT pernah mendatangi rumah terdakwa dengan tujuan
untuk mengkonfirmasi laporan istri terdakwa yang bernama Siti Ibnu
Hajar kalau terdakwa sering melakukan pemukulan akan tetapi saat
pintu rumah diketuk terdakwa tidak membuka pintu rumahnya
sedangkan diketahui terdakwa ada didalam rumahnya bahkan saksi
juga pernah bertemu dengan ibu terdakwa untuk memberi tahukan
perbuatan terdakwa yang sering memukul isterinya akan tetapi ibu
terdakwa mengatakan tidak mau ikut campur karena terdakwa sudah
berumah tangga.
Bahwa terhadap keterangan saksi-saksi tersebut pada terdakwa
ada dimintakan tanggapannya dimana dalam tanggapannya terdakwa
telah membenarkan jika dirinya sudah sering memukul isterinya Siti
Ibnu Hajar sehingga berdasarkan pertimbangan hukum diatas maka
unsur ini telah terpenuhi.

3. Unsur Perbuatan Yang Harus Dipandang Sebagai Perbuatan


Berlanjut
Menimbang, bahwa Undang-undang tidak memberikan
penjelasan mengenai perbuatan yang berlanjut akan tetapi Hoge Raad
memberikan pengertian “perbuatan berlanjut” atau “tindakan” atau
voortgezette handeling sebagai perbuatan perbuatan yang sejenis dan
sekaligus merupakan pelaksanaan dari suatu maksud yang sama dan
perbuatan itu disebut sejenis jika secara yuridis perbuatan-perbuatan
itu mempunyai kualitas yang sama.
108

Meimbang, bahwa berangkat dari pengertian perbuatan


berlanjut sebagaimana yang diuraikan diatas maka akan
dipertimbangkan sebagai berikut : Bahwa Siti Ibnu Hajar Binti
Mohamad Yunus selaku isteri terdakwa menerangkan pada hari senin
tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib terdakwa ada
memukul saksi dengan kepalan tangan kosong dan pemukulan
dilakukan pada bagian tangan dan kepala bahkan sebelum kejadian
tersebut terdakwa sudah sering memukul saksi dan terdakwa pernah
juga memukul saksi dihadapan anak-anaknya. Bahwa terhadap
keterangan saksi tersebut pada terdakwa ada dimintakan tanggapannya
yang menerangkan benar terdakwa telah memukul isterinya bahkan
terdakwa juga menerangkan sudah sering memukul isterinya.
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi sebagaimana
yang diuraikan diatas dapat diketahui terdakwa sudah sering
melakukan pemukulan pada isterinya Siti Ibnu Hajar sehingga
berdasarkan pertimbangan hukum diatas maka unsur ini telah
terpenuhi
Menimbang bahwa dalam persidanan majelis hakim
memperhatikan Hal-hal yang memberatkan :
a) Perbuatan Terdakwa mengakibatkan luka pada korban
b) Terdakwa tidak ada rasa penyesalan
c) Terdakwa selaku bapak bagi anak-anak seharusnya
memberikan contoh bagi keluarga sebaliknya membuat
ketakutan bagi keluarganya
Hal-hal yang meringankan:
a) Terdakwa belum pernah dihukum.
b) Terdakwa memiliki tanggungan keluarga.
Mengingat ketentuan perUndang-undangan yang berlaku
khususnya Pasal 44 ayat (1) Undang-undang 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64 ayat (1)
109

KUHP serta peraturan perundang undangan lainnya yang


bersangkutan.

D. Amar Putusan Pengadilan Negeri Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl


Secara yuridis pengertian putusan terdapat dalam Pasal 1 butir 11
KUHAP. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan
dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau
bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menuntut
cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”135Dalam putusan Nomor
06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl dengan terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H.
Kasmo Majelis Hakim telah memutus bahwa terdakwa telah terbukti
melakukan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana
yang telah didakwakan Jaksa Penuntut Umum. Adapun isi dari amar
putusan tersebut adalah sebagai berikut:136
1. Menyatakan terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H. Kasmo telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Kekerasan Fisik dalam lingkup rumah tangga
perbuatan secara berlanjut”.
2. Menghukum terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H. Kasmo
dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam)
bulan dengan perintah Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4. Menyatakan barang bukti berupa :
a. 2 (dau) buku nikah, buku Nikah Isteri dan buku Nikah Suami
dengan nomor 275/06/VI/2010 tanggal 4 Juni 2010 yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tegal
Timur Kota Tegal dikembalikan kepada saksi Siti Ibnu
Hajar Bin Muhamad Yunus.

135
Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pasal 1 butir 11
136
Putusan Pengadilan Negeri…,h., 19.
110

b. 1 (satu) buah palu besi bergagang kayu panjang 27 cm.


c. 1 (satu) buah pisau daging merek Vicenza panjang mata
pisau 15 cm dan panjang gagang pisau 12 cm.
d. 2 (dua) buah pisau dapur panjang mata pisau 8,5 cm dan
panjang gagang pisau 10,5 cm.
e. 2 (dua) buah potongan kayu panjang masing–masing 45
cm.
Semua dirampas untuk dimusnahkan.
4. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp
5.000,- (lima ribu rupiah).

E. Analisis Penulis
Dalam analisa penulis terhsadap putusan perkara kekerasan dalam
rumah tangga Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl tidak sependapat dengan
keputusan tersebut. ketidak sependapatan penulis terhadap putusan
tersebut terurai sebagai berikut.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga Nomor
06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl. dengan nama terakwa Ade Agung Setiawan Bin
H. Kasmo sebagaimana diurai diatas adalah kasus tindak pidana yang
diatur dengan Undang-undang khusus (lex specialis) yaitu UU No. 23
tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Kasus ini merupakan contoh kasus yang membuktikan bahwa
pengadilan di dalam memberikan pertimbangan dan pertimbangannya
hanya melihat dari sisi materil kasus semata. Tentu saja hal serupa ini
tidak ada salahnya, artinya dapat dibenarkan dimana memang didalam
Sistem peradilan pidana Indonesia yang dicari faktanya adalah kebenaran
meteril. Akan tetapi dampak dari pemberian hukuman terhadap terdakwa
dengan melihat kebenaran materil belum tentu memberikan kebaikan
kepada korban maupun pelaku (dalam hal ini kasus KDRT).
111

Tujuan pemberian hukuman dalam hukum pidana tentu bertujuan


untuk memberikan efek jera terhadap pelaku. Sehingga dengan
diberlakukanya hukuman tersebut diharapkan pelaku tidak akan
melakukanya kembali dikemudian hari. Maka menurut penulis pemberian
hukuman berupa pemenjaraan sepertihalnya yang terjadi pada kasus ini,
dengan pidana penjara 2 tahun 6 bulan tentu belum tentu akan
memberikan dampak positif seperti yang diinginkan. Sehingga kemudian
permasalahan yang terjadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga ini
tidak akan tidak terselesaikan. Bahkan akan memicu permasalahan yang
lainya. Tidak seperti halnya pada kasus kekerasan dalam ranah umum,
yang mungkin dengan diterapkanya hukuman sedemikian rupa akan
berdampak positif pada perilaku pelaku pada kemudian hari.
Kasus kekerasan dalam rumah tangga mempunyai khasanah
tersendiri. Diamana tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga terjadi
disebabkan dengan permasalahan dalam lingkup rumah tangga itu terlebih
dahulu, sedangkan penghukuman disini hanya menyelesaikan
permasalahan kekerasan dalam rumah tangga, dengans mengesampingkan
fakta permasalahan lain yang terjadi dalam rumah tangga pelaku dan
korban. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa dalam memutus perkara
tersebut, hakim tidak menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh.
Sehingga dengan putusan tersebut tidak akan memberikan dampak yang
positif terhadap rumah tangga pelaku dan korban.
Dengan melakukan pendekatan lebih tepat terhadap kasus
kekerasan dalam rumah tangga dengan mengedepankan musyawarah
ataupun negosiasi menurut penulis akan lebih menunjukan kepada arah
perbaikan kepada permasalahan kekerasan dalam rumah tangga. Dengan
memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang berperkara untuk
bermusyaarah dengan jalan mediasi dan menemukan keduanya dalam
forum kekelurgaan dengan diawasi oleh petugas pengadilan menurut
penulis akan membuka kembali suasana arif antara keduanya. Walaupun
kemudian dalam perjalanannya pemidanaan tetap terjadi, akan tetapi
112

setidaknya dengan pendekatan tersebut dapat ditemui sebuah kesepakatan


penyelesaian permasalahan hubungan perkawinan antara pelaku dan
korban dan kesepakatan dalam hal urusan anak-anak mereka.
Sebagai pertibangan pula bagi hakim bahwa dalam hukum Islam
dikenal adanya pemaafan dalam tindak pidana. Sepertihalnya dalam
ketentuan qishas, diama pelaku dapat tidak dikenakan hukuman qishas
apabila korban atau ahli waris korban memberikan maaf kepada pelaku.
Apabila pelaku mendapatkan maaf dari korban atau ahli waris korban
maka pelaku bias dikenakan hukuman diat atau jika memang pemaafan
dari korban atau ahli waris korban tidak menghendaki adanya hukuman
bagi pelaku maka pelaku bebas dari pemberian hukuma. Sebagaimana
firman Allah subahanah wuataala dalam Q.s Al- Baqorah: 178

‫صاصُ فَِ ْٱلقَ ْتلََ ۖ ْٱلحُشُّ تِ ْٱل ُح ِّش ًَٱلْ َع ْث ُذ تِ ْٱل َع ْث ِذ ًَ ْٱُْثَََ تِ ْٱُْثَََ ۚ فَ َو ْن‬ َ ِ‫ة َعلَ ْي ُك ُن ْٱلق‬ ۟ ُ‫يََٰٓأَيُّيَا ٱلَّ ِزينَ َءاهن‬
َ ِ‫ٌا ُكت‬ َ
‫يف ِّهن‬ ٌ ِ‫ك ت َْخف‬ َ ِ‫ًُف ًَأَ َد َٰٓا ٌء إِلَ ْي ِو تِإِحْ َس ٍن ۗ َرل‬ ٌ ٌۢ ‫ََ ٌء فَٱتِّثَا‬
ِ ‫ع تِ ْٱل َو ْعش‬ ْ ‫ُعفِ ََ لَ ۥو ُ ِه ْن أَ ِخي ِو ش‬

‫ك فَلَ ۥو ُ َع َزابٌ أَلِي ٌن‬


َ ِ‫َّستِّ ُك ْن ًَ َسحْ َوةٌ ۗ فَ َو ِن ٱ ْعتَذٍَ تَ ْع َذ َرل‬

Artinya: “H i or ng-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash


berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
m k giny siks y ng s ng t pedih”.(Q.S. Al-Baqarah:178)

Majelis Hakim seharusnya juga mempertimbangkan bagaimana


nasip dua anak terdakwa dengan istrinya Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad
Yunus (korban) yaitu Azzahwa Bari Afifah umur 6 (enam) tahun dan
Maulana Abimannah umum 4 (empat) tahun, dimana anak tersebut masih
113

dalam tanggungan bapaknya (terdakwa) dalam hal pembiayaan


kehidupanya. Apakah dengan diberikan tututan sebesar itu tidak akan
merugikan korban juga apabila nantinya terdakwa Ade Agung Setiawan
Bin H Kasmo dihukum oleh Majelis Hakim sesuai dengan tuntutan Jaksa
Penuntut Umum. Oleh sebab itu penulis berpendapat bahwa tutuntan
Penuntut Umum yang hanya melihat aspek hukumnya saja bukan akan
menimbukan keadilan pada para pihak yang berperkara melainkan akan
menambah timbulnya Korban baru.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada putusan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl dengan nama terdakwa Ade Agung
Setiawan Bin H Kasmo. Dalam penerapan hukum Jaksa Penuntut
Umum tehadap terdakwa maka terdaka di dakwa telah melakukan
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga kepad istrinya yang
bernama Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus adapun pasal
penjeratnya adalah pasal 44 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 jo pasal 64
ayat (1) KUHP dalam dakwaan primer dan dalam dakwan subsider
dijerat dengan pasal 44 ayat (4) UU No. 23 tahun 2004 jo pasal 64 ayat
(1) KUHP. Dari semua keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti yang
dihadirkan di depan Majelis Hakim semua unsur yang terdapat dalam
pasal dakwaan terpenuhi. Sehingga didalam persidangan Jaksa
Penuntut Umum melakukan penuntutan tehadap terdakwa berupa
pidana penjara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan, pemusnahan
terhadap barang bukti dan pembiaayan biaya perkar untuk ditanggung
terdakwa.
2. Dalam amar putusan Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl. Majelis Hakim
memutuskan bahwa semua unsur yang ada pada pasal 44 ayat (1) jo
pasal 64 ayat (1) pada dakwan primer telah terpenuhi. Sehingga untuk
dakwan subsider tidak perlu untuk dibuktikan. Maka dari itu Majelis
Hakim menghukum terdakwa saudara Ade Agung Setiawan Bin H
Kasmo yang telah terbukti melakukan kekerasan terhada istrinya yang
bernama Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus. Dalam ketentuan
yang ada pada pasal dakwaan primer hukuman bagi pelaku adalah 5
tahun penjara atau dengan denda 15 juta rupiah. Dengan meihat fakta-
fakta hukum dan dengan mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan meringankan terdakwa. Bahwa dalam pesidangan

114
115

terdakwa telah mengakui perbuatanya akan tetapi tidak merasa


bersalah dan mepertimbangkan bahwa pelaku tidak pernah dijerat
hukum dan kondisi terdakwa yang masih mempunyai tanggungjawab
sebagai kepala rumah tangga maka majelis hakim memutuskan bahwa
pelaku dihukum pidana penjara salama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan
dan dengan pembiayaan terhadap biaya perkara.

B. Saran
Berdasarkan pembahasan diatas maka penulis memberikan saran
tehadap lebaga legislative untuk membuat hukum acara sendiri dalam
perkara kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga metode restorative
justice yang diinginkan dapat dilaksanakan. Ataupun jika memang dalam
pembuatan hukum melalui lembaga legislative terlalu memakan waktu.
Maka dapat menggunakan peraturan yang diterapkan melalui PERMA.
Sehingga upaya restorative justice dapat dengan cepat dilakukan.

Pada lembaga kepolisian dalalam menerima kasus tindak pidana


kekerasan dalam rumah tangga kiranya mampu memediasi antara pelaku
dan korban sebelum kemudian kasus tersebut berlanjut pada proses
selajutnya. Dan menawarkan metode restorative justice dalam
menyelesaika perkara tersebut. Salah satunya dengan musyawarah antara
pelaku dan korban dengan melihat kepentingan korban dalam upaya
mengembalikam kerugian. Tujuanya adalah untuk mencari jalan keluar
terbaik antara kedua belah pihak sehingga tidak sampai melajutkan
perkaranya. Dengan demikian jika berhasil diselesaikan dalam jalur
musyawarah maka perkara tersebut bias diselesaikan denga cepat.

Apabila proses mediasi atau musyawarah yang dilakukan oleh


pihak kepolisian gagal dan berlanjut pada tahap selajutnya. Maka Jaksa
Penuntut Umum dalam proses penuntutan harus memperhatikan
kepentingan dari korban dan pelaku. Tidak hanya memperhatikan
ketentuan yang ada pada Undang-undang saja. Jika yang diinginkan
116

korban adalah ganti rugi maka penuntutan hanya seperti apa yang di
harapkan oleh korban. Dengan ketentuan tidak mengesampingkan
ketentuan dalam Undang-undang.

Dalam proses persidangan, Majelis Hakim kiranya melakuan


mediasi sepertihalnya yang dilakuan dalam kasus perceraian. Dimana pada
setiap poses persidangan, Hakim menawarkan kepada pihak yang
berperkara untuk berdamai. Akan tetapi upaya musyawarah atau mediasi
yang dilakukan tidak kemudian mengesampingkan hak-hak korban.
Dengan melakukan mediasi tetap saja upaya untuk memberikan penjeraan
terhadap pelaku harus dilakukan, mengingat bahwa tujuan dari pemberian
hukuaman adalah untuk terciptanya upaya reprasif terhadap pelaku.
Apabila memang korban tidak menghendaki adanya perdamaian maka
dalam putusan hakim perlu mempertimbangkan hak-hak anggota keluarga
dalam hal perekonomian. Dimana dalam bentuk putusanya, hakim
memberikan hukuman pemberian denda untuk diberikan kepada anggota
keluarganya untuk pembiayaan kehidupan anggota keluarga selama pelaku
menjalani hukumannya.

Maka dengan demikianlah penulis menyusun penelitian ini. banyak


hal yang masih kurang jika akan menatakan kesempurnaan dalam
penelitian penulis. Oleh karenanya dengan segala kekurangan yang
dimiliki penulis, maka penulis berharap akan kritikan dan saran yang
membangun demi kemajuan khazanah keilmuan dalam hukum pidana
Islam amaupuh hukum pidana positif.

Penulis berharap semoga penelitian ini diberkahi Allah


Suhanahuwataala, dan senantiasa diberi syafaat oleh nabi sayidina
Muhammad SAW. Sehingga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri maupun bagi pembaca penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fakihuin Kodir Dan Ummu Azizah Mukarnawati, Referensi Bagi Hakim
Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta:
Komnas Perempuan, 2008.

Al Quranul Karim

Al-Ahkam, Konsorsium Sarjana Syariah Indonesia (KSSI) bekerja sama dengan


fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, Volume 203 No. 1, april
2013.

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di


Indonesia, Jakarta: Raih Asa sukses, 2014.

Arsy Nuril, “Peranan Mediasi Pada Tindak Pidana Ringan Sebagai Perwujudan
Restorative Justice Menurut Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Pidana
Islam” Fakultas Syariah Dan Hukum : Skripsi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Atmasasmita, Romli, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan


Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2001.

Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013.

Burlian, Paisol, Implementasi Konsep Hukuman Qishah Di Indonesia, Jakarta:


Sinar Grafika, 2015.

Dokumen: A/Res/55/59 yang didistribusikan pada umum pada tanggal 17 januari


2001

Dwija Prianto, Sistem Pelaksanan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung: Refika


Aditama, 2006.

Gunaidi, Ismu , Joenadi Effendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana ,
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014.

Hadiati Soeroso Moerti, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif


Yuridis-Viktimologis, Jakarta: sinar grafika, 2012, cet.2.

Hadist yang dikutip oleh Paisol Burlian dalam kitab Al-Asqalany 1997 jilid 4,
hadis No.6880,h.,188.

117
118

Hakim, Maman Rahman, Hukum Perbankan Syariah, Tangerang selatan: faza


media, 2017.

Hamzah Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006.

Hamzah Andi, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008.

Hans, Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron,


Bandung: Nusa Media, 2009.

Indah Maya, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan


Kriminologi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.

Jazuli A, Fiqih Jinayah Upaya Menggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta:


Raja Grafindo, 1997.

Kompilasi Hukum Islam

Lamintang, Franciscus Theojunior laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana di


Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta: Amzah,2016, cet.4.

Makmur, Syafrudin, Hukum Acara Pidana, Tangerang Selatan: UIN FSH Press,
2016.

Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara KDRT, Jakarta:Yayasan


Gema Yustisia Indonesia, 2010.

Marami Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Depok: Raja
Grafinfo Persada, 2014.

Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: CV.


INDHILL CO, 2008.

Moertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yonyakarta: Cahaya Atma


Pustaka,2000.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Universitas


Diponegoro, 1995.

Muladi, dan Barda Nawawi, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Bandung; Alumni,


1984.
119

Najih, Mokhama, dan Soimin, Pengantar Hukum Indonesia, Malang: Setara


Press, 2014.

Poernomo Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia Indoesia, 1978.

Putusan Pengadilan Negeri Tegal Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl,

Raco G.R, Metode Peneitian Kualitatf Jenis, Karakteristik Dan Kaunggulan,


Jakarta: Grasindo, 2010.

Raharja, Satjipta , Ilmu hukum, Bandung: Citra Aditia Bakti, 2014.

Soekanto, Soerjono, dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Bandung:


Citra Aditia Bakti, 1989

Soetjoe, Waiati, Hukum Pidana Anak, Bandung: Refika Aditama, 2007.

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang:


Univeritas Muhammadiah,2012.
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
PUTUSAN

R
Nomor 06/Pid.Sus/2018/PN.Tgl

si
ne
ng
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Negeri Tegal yang mengadili perkara pidana pada tingkat
pertama dengan acara biasa telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam

do
gu perkara Terdakwa :
Nama : Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo ;

In
A
Tempat lahir : Tegal ;
Umur / Tanggal lahir : 33 Tahun/19 September 1984 ;
ah

Jenis kelamin : Laki – laki ;

lik
Kebangsaan / Kewarganegaraan : Indonesia ;
Tempat tinggal : Jln Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 4 Rt
m

ub
007/Rw006 Kelurahan Panggung Kecamatan
Tegal Timur, Kota Tegal ;
ka

ep
Agama : Islam ;
Pekerjaan : Karyawan Swasta ;
ah

Pendidikan : S.1 ;
R

si
Terdakwa ditahan berdasarkan surat perintah penahan :

ne
ng

1. Penyidik sejak tanggal 21 Nopember 2017 sampai dengan tanggal 10


Desember 2017 ;

do
gu

2. Perpanjangan Penuntut Umum sejak tanggal 11 Desember 2017 sampai


dengan tanggal 19 Januari 2018 ;
3. Penuntut Umum sejak tanggal 18 Januari 2018 sampai dengan tanggal 6
In
A

Februari 2018 ;
4. Hakim Pengadilan Negeri Tegal sejak tanggal 29 Januari 2018 sampai dengan
ah

lik

tanggal 27 Februari 2018 ;


5. Perpanjangan penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri Tegal sejak tanggal
m

ub

28 Februari 2018 sampai dengan tanggal 28 April 2018 ;


ka

Menimbang, bahwa pada awal persidangan Majelis Hakim telah


ep

memberitahukan hak hukum dari Terdakwa dimana dalam menghadapi


ah

perkaranya Terdakwa dapat didamping Penasehat Hukum akan tetapi secara


R

Tegas terdakwa menyatakan dirinya tidak akan mempergunakan hak hukumnya


s
untuk didampingi Penasehat hukum ;
M

ne
ng

Pengadilan Negeri tersebut ;


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Setelah membaca Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tegal Nomor

R
06/Pid. Sus/2018/PN. Tgl tertanggal 29 Januari 2018 tentang penunjukan Majelis

si
Hakim yang mengadili perkara tersebut ;

ne
ng
Setelah membaca Penetapan Majelis Hakim Nomor 06/Pid. Sus/2018/PN.
Tgl tertanggal 29 Januari 2018 tentang penetapan hari sidang ;
Setelah membaca surat – surat yang berkaitan dengan perkara tersebut ;

do
gu Setelah mendengarkan keterangan saksi – saksi maupun keterangan
terdakwa dipersidangan ;

In
A
Setelah memperhatikan sejumlah barang bukti yang telah diajukan
kedepan persidangan barang bukti tersebut telah dilakukan penyitaan
ah

sebagaimana ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan

lik
barang bukti itu ada kaitannya dengan perkara tersebut ;
Setelah memperhatikan surat dakwaan Penuntut Umum dengan No. Reg.
m

ub
Perk : PDM – 04/TGL/Euh.2/1/2018 tertanggal 23 Januari 2018 ;
Menimbang, bahwa telah pula didengarkan pembacaan surat Tuntutan
ka

ep
Penuntut Umum yang pada pokoknya Penuntut Umum memohon kepada Majelis
Hakim agar kiranya menjatuhkan putusan terhadap terdakwa dengan amar
ah

putusan sebagai berikut :


R

si
1. Menyatakan Terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo telah terbukti
secara sah dan meyakinkan “telah melakukan tindak pidana kekerasan fisik

ne
ng

dalam lingkungan rumah tangga secara berlanjut” sebagaimana diatur dan


diancam pidana dalam pasal 44 ayat (1) Undang – undang Republik Indonesia

do
gu

Nomor 23 tahun 2004 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP tentang Penghapusan


Kekerasan dalam Rumah Tangga pada dakwaan primair ;
2. Menjatuhkan Pidana terhadap Terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo
In
A

berupa pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi
terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan;
ah

lik

3. Menyatakan barang bukti berupa :


- 2 (dau) buku nikah, buku Nikah Isteri dan buku Nikah Suami dengan nomor
m

ub

275/06/VI/2010 tanggal 4 Juni 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan


Agama Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal dikembalikan kepada saksi Siti
ka

Ibnu Hajar Bin Muhamad Yunus ;


ep

- 1 (satu) buah palu besi bergagang kayu panjang 27 cm ;


ah

- 1 (satu) buah pisau daging merek Vicenza panjang mata pisau 15 cm dan
R

panjang gagang pisau 12 cm ;


s
- 2 (dua) buah pisau dapur panjang mata pisau 8,5 cm dan panjang gagang
M

ne
ng

pisau 10,5 cm ;
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- 2 (dua) buah potongan kayu panjang masing – masing 45 cm

R
Semua dirampas untuk dimusnahkan ;

si
4. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp

ne
ng
5.000,- (lima ribu rupiah) ;

Menimbang, bahwa terhadap Tuntutan Penuntut Umum tersebut terdakwa

do
gu dipersidangan menyatakan tidak akan mengajukan pembelaan namun secara
lisan terdakwa menyatakan menerima dengan tuntutan tersebut akan tetapi

In
A
menyerahkan segalanya pada Majelis Hakim demikian juga Penuntut umum
terhadap tanggapan terdakwa menyatakan tetap pada surat tuntutannya ;
ah

Menimbang, bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah menghadapkan

lik
terdakwa dengan dakwaan sebagai berikut :
Primair
m

ub
Bahwa ia terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo pada hari Sabtu
tanggal 9 September 2017 sekira pukul 07.00 Wib, pada hari Jumat tanggal 15
ka

ep
September 2017 sekira 21.00 Wib, pada hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017
sekira pukul 07.00 Wib, pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul
ah

07.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu antara bulan September
R

si
2017 sampai dengan bulan Nopember 2017 atau setidak - tidaknya pada tahun
2017 bertempat didalam rumah Jl. Perintis Kemerdekaan Gang 22 No. 4 Rt.007

ne
ng

Rw.006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota atau setidak - tidaknya
di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tegal “ telah melakukan

do
gu

perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud


dalam pasal 5 huruf a , jika beberapa perbuatan ada hubungannya
sedemikianrupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut .
In
A

yang dilakukan dengan cara-cara antara lain sebagai berikut :


Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana seperti tersebut diatas saat
ah

lik

terdakwa hidup bersama dengan saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
sebagai pasangan suami istri yang sah menurut hukum sesuai Kutipan Akte nikah
m

ub

No. 275/06/VI//2010 tanggal 4 Juni 2010 yang hidup serumah sejak


pernikahannya tinggal bersama dan telah dikaruniai 2 orang anak bernama
ka

Azzahwa Bari Afifah umur 6 (enam) tahun dan Maulana Abimannah umum 4
ep

(empat) tahun, terdakwa melakukan kekerasan fisik terhadap isterinya bernama


ah

saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus hanya karena permasalahan sepele
R

ketika saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus melakukan kesalahan sedikit
s
saja terdakwa langsung melakukan kekerasan fisik terhadap saksi Siti Ibnu Hajar
M

ne
ng

Binti Mohammad Yunus dengan cara memukul menggunakan tangan kosong,


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dengan menggunakan alat potongan kayu, mengancam dengan menggunakan

R
pisau dan palu, perbuatan tersebut dilakukan pada hari Sabtu tangal 9 September

si
2017 sekira pukul 07.00 Wib saat saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus

ne
ng
diantar untuk berangkat kerja oleh terdakwa posisi saksi sudah duduk
berboncengan sepeda motor dengan terdakwa yang sudah menggunakan helm
tanpa sebab mulut saksi disundul dengan kepala terdakwa yang sudah

do
gu menggunakan helm hingga mengenai bibir saksi sampai luka mengeluarkan
darah. selanjutnya pada hari Jumat tanggal 15 September 2017 sekira pukul 21

In
A
Wib. terdakwa menanyakan lap top Lenovo warna merah muda, karena Laptop
tersebut inventaris kantor tempat saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
ah

bekerja sehingga ditinggal dikantor oleh saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad

lik
Yunus selanjutnya saksi menyarankan agar menggunakan laptop lain yang punya
sendiri namun terdakwa marah langsung melakukan kekerasan fisik saat posisi
m

ub
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus sedang merapikan kasur lantai
jongkok dibawah, terdakwa dengan berdiri menginjak injak paha kanan dan
ka

ep
selangka berulang kali hingga saksi menangis dan terdakwa baru menghentikan
perbuatannya. Bahwa pada hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017 sekira pukul
ah

07.00 Wib saat terdakwa menanyakan kepada saksi Siti Ibnu Hajar Binti
R

si
Mohammad Yunus “ kapan raport anak - anak diganti oleh gurunya? (buku raport
anak sekolah yang disobek oleh terdakwa) , selanjutnya dijawab oleh saksi Siti

ne
ng

Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus “buku raport tersebut belum ada . saat itu
terdakwa langsung berdiri dibelakang saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus

do
gu

memukul bagian belakang dipunggung bertubi-tubi dengan menggunakan tangan


kosong, selanjutnya terdakwa mengambil potongan kayu yang dipukulkan
kelengan kiri beberapa kali hingga saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
In
A

mengalami luka lebam dipunggung dan dilengan tangan kiri. Bahwa pada hari
Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul 07.15 Wib saat terdakwa akan
ah

lik

mengantar saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus untuk berangkat kerja
terdakwa mencari helm ternyata helmnya dijemur dan lupa tidak diambil ketika
m

ub

hujan, sehingga helm terdakwa basah, mengetahui hal tersebut terdakwa


langsung marah - marah dan memukul kepala bagian kiri dengan menggunakan
ka

tangan kosong yang mengepal dengan keras selanjutnya memukul lengan tangan
ep

kanan berulang kali, saksi berusaha menangkis dengan tangan kanan pukulan
ah

terdakwa yang berusaha mengarah kekepala saksi ketika kejadian tersebut ada
R

tetangga yang melihat yaitu diantaranya saksi Dias Fitriani bin Abdullah mubarok,
s
karena saksi merasa sudah tidak tahan lagi atas perbuatan suaminya yaitu
M

ne
ng

terdakwa selanjutnya saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus melaporkan
do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
kejadian tersebut kepihak yang berwajib karena perbuatan kekerasan fisik sering

R
dilakukan oleh terdakwa terhadap isterinya yaitu saksi Siti Ibnu Hajar Binti

si
Mohammad Yunus. terdakwa juga mengancam dengan menggunakan pisau

ne
ng
diarahkan diperut saksi.
Bahwa selanjutnya pada tanggal 21 Nopember 2017 saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus baru memeriksakan kesehatannya kerumah sakit Umum

do
gu Islam Harapan Anda Tegal. sesuai hasil Visum Et Repertum Nomor
25/VS/MR/RSUI-HA/XI/2017/263692 tanggal 26 Nopember 2017. setelah

In
A
dilakukan pemeriksaan oleh dr. Lulu Mukhlisoh dokter rumah sakit Umum Islam
Harapan Anda Tegal dengan hasil pemeriksaan :
ah

- Bengkak pada Bagian selangka kanan ukuran ± 1,5 cm

lik
- Lebam pada lengan kanan ukuran ± 4 cm
- Lebam pada lengan kiri ukuran ± 2 – 3 cm
m

ub
- Lebam pada punggung kaanan ukuran ± 03 cm
Kesimpulan Luka dan lebam oleh karena benda tumpul. karena itu yang
ka

ep
bersangkutan Rawat jalan. Akibat dari perbuatan terdakwa saksi Siti Ibnu Hajar
bin Muhammad Yunus tidak dapat melakukan aktifitas sehari hari seperti biasanya
ah

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal


R

si
44 ayat(1) UU RI No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
Rumah Tangga jo pasal 64 ayat(1) KUHP.

ne
ng

Subsidiair

do
gu

Bahwa ia terdakwa ADE AGUNG SETIAWAN BIN H. KASMO pada hari


Sabtu tanggal 9 September 2017 sekira pukul 07.00 Wib, pada hari Jumat tanggal
15 September 2017 sekira 21.00 Wib, pada hari Jumat tanggal 17 Nopember
In
A

2017 sekira pukul 07.00 Wib, pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira
pukul 07.00 Wib atau setidak - tidaknya pada suatu waktu antara bulan
ah

lik

September 2017 sampai dengan bulan Nopember 2017 atau setidak - tidaknya
pada tahun 2017 bertempat didalam rumah Jl. Perintis Kemerdekaan Gang 22
m

ub

No. 4 Rt.007 Rw.006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal
atau setidak - tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri
ka

Tegal “Tegal atau setidak - tidaknya di suatu tempat dalam daerah hukum
ep

Pengadilan Negeri Tegal “telah melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam


ah

lingkup rumah tangga yang dilakukan terhadap isteri atau sebaliknyn yang tidak
R

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau


s
mata pencaharian atau kegiatan sehari hari, jika beberapa perbuatan ada
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
hubungannya sedemikianrupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan

R
berlanjut . yang dilakukan dengan cara-cara antara lain sebagai berikut :

si
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana seperti tersebut diatas saat

ne
ng
terdakwa hidup bersama dengan saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
sebagai pasangan suami istri yang sah menurut hukum sesuai Kutipan Akte nikah
No. 275/06/VI//2010 tanggal 4 Juni 2010 yang hidup serumah sejak

do
gu pernikahannya tinggal bersama dan telah dikaruniai 2 orang anak bernama
Azzahwa Bari Afifah umur 6 (enam) tahun dan Maulana Abimannah umum 4

In
A
(empat) tahun, terdakwa melakukan kekerasan fisik terhadap isterinya bernama
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus hanya karena permasalahan sepele
ah

ketika saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus melakukan kesalahan sedikit

lik
saja terdakwa langsung melakukan kekerasan fisik terhadap saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus dengan cara memukul menggunakan tangan kosong,
m

ub
dengan menggunakan alat potongan kayu, mengancam dengan menggunakan
pisau dan palu, perbuatan tersebut dilakukan pada hari Sabtu tangal 9 September
ka

ep
2017 sekira pukul 07.00 Wib saat saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
diantar untuk berangkat kerja oleh terdakwa posisi saksi sudah duduk
ah

berboncengan sepeda motor dengan terdakwa yang sudah menggunakan helm


R

si
tanpa sebab mulut saksi disundul dengan kepala terdakwa yang sudah
menggunakan helm hingga mengenai bibir saksi sampai luka mengeluarkan

ne
ng

darah. selanjutnya pada hari Jumat tanggal 15 September 2017 sekira pukul 21
Wib. terdakwa menanyakan lap top Lenovo warna merah muda, karena Laptop

do
gu

tersebut inventaris kantor tempat saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
bekerja sehingga ditinggal dikantor oleh saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad
Yunus selanjutnya saksi menyarankan agar menggunakan laptop lain yang punya
In
A

sendiri namun terdakwa marah langsung melakukan kekerasan fisik saat posisi
saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus sedang merapikan kasur lantai
ah

lik

jongkok dibawah, terdakwa dengan berdiri menginjak injak paha kanan dan
selangka berulang kali hingga saksi menangis dan terdakwa baru menghentikan
m

ub

perbuatannya. Bahwa pada hari Jumat tanggal 17 Nopember 2017 sekira pukul
07.00 Wib saat terdakwa menanyakan kepada saksi Siti Ibnu Hajar Binti
ka

Mohammad Yunus “ kapan raport anak –anak diganti oleh gurunya? (buku raport
ep

anak sekolah yang disobek oleh terdakwa), selanjutnya dijawab oleh saksi Siti
ah

Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus “buku raport tersebut belum ada. saat itu
R

terdakwa langsung berdiri dibelakang saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
s
memukul bagian belakang dipunggung bertubi - tubi dengan menggunakan
M

ne
ng

tangan kosong, selanjutnya terdakwa mengambil potongan kayu yang dipukulkan


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
kelengan kiri beberapa kali hingga saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus

R
mengalami luka lebam dipunggung dan dilengan tangan kiri. Bahwa pada hari

si
Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekira pukul 07.15 Wib saat terdakwa akan

ne
ng
mengantar saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus untuk berangkat kerja
terdakwa mencari helm ternyata helmnya dijemur dan lupa tidak diambil ketika
hujan, sehingga helm terdakwa basah, mengetahui hal tersebut terdakwa

do
gu langsung marah-marah dan memukul kepala bagian kiri dengan menggunakan
tangan kosong yang mengepal dengan keras selanjutnya memukul lengan tangan

In
A
kanan berulang kali, saksi berusaha menangkis dengan tangan kanan pukulan
terdakwa yang berusaha mengarah kekepala saksi ketika kejadian tersebut ada
ah

tetangga yang melihat, karena saksi merasa sudah tidak tahan lagi atas perbuatan

lik
suaminya yaitu terdakwa selanjutnya saksi Siti Ibnu Hajar Binti Mohammad Yunus
melaporkan kejadian tersebut kepihak yang berwajib karena perbuatan kekerasan
m

ub
fisik sering dilakukan oleh terdakwa terhadap isterinya yaitu saksi Siti Ibnu Hajar
Binti Mohammad Yunus. terdakwa juga mengancam dengan menggunakan pisau
ka

ep
diarahkan diperut saksi.
Bahwa selanjutnya pada tanggal 21 Nopember 2017 saksi Siti Ibnu Hajar
ah

Binti Mohammad Yunus baru memeriksakan kesehatannya kerumah sakit Umum


R

si
Islam Harapan Anda Tegal. sesuai hasil Visum Et Repertum Nomor
25/VS/MR/RSUI-HA/XI/2017/263692 tanggal 26 Nopember 2017. setelah

ne
ng

dilakukan pemeriksaan oleh dr. Lulu Mukhlisoh dokter rumah sakit Umum Islam
Harapan Anda Tegal dengan hasil pemeriksaan :

do
gu

- Bengkak pada Bagian selangka kanan ukuran ± 1,5 cm


- Lebam pada lengan kanan ukuran ± 4 cm
- Lebam pada lengan kiri ukuran ± 2 – 3 cm
In
A

- Lebam pada punggung kaanan ukuran ± 03 cm


Kesimpulan Luka dan lebam oleh karena benda tumpul. karena itu yang
ah

lik

bersangkutan Rawat jalan.


Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
m

ub

44 ayat(4) UU RI No.23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam


Rumah Tangga jo pasal 64 ayat(1) KUHP
ka

ep

Menimbang, bahwa atas Surat Dakwaan tersebut Terdakwa tidak


mengajukan keberatan ataupun Eksepsi ;
ah

Menimbang, bahwa untuk membuktikan dakwaannya dipersidangan


s
Penuntut Umum telah menghadirkan saksi untuk didengarkan keterangannya
M

ne

dipersidangan yang sebelum memberikan keterangan saksi - saksi telah


ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
disumpah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing - masing yang pada

R
pokoknya saksi telah menerangkan sebagai berikut :

si
Siti Ibnu Hajar Binti Muhamad Yunus

ne
ng
 Bahwa saksi pernah memberikan keterangan dihadapan penyidik dan saat
diperiksa pihak penyidik tidak pernah melakukan pemaksaan pada saksi ;
 Bahwa setelah diperiksa penyidik lalu berita acara dibaca yang setelah dibaca

do
gu berita acara ditandatangani saksi ;
 Bahwa saksi diperiksa terkait dengan ada tindakan kekerasan dalam rumah

In
A
tangga yang dilakukan terdakwa ;
 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa dimana Terdakwa adalah suami saksi
ah

sendiri ;

lik
 Bahwa saksi dengan Terdakwa menikah tanggal 4 Juni 2010 yang setelah
menikah saksi dan terdakwa tinggal dijalan Perintis Kemerdekaan Gang 28
m

ub
No 14 Rt 007 Rw 006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota
Tegal ;
ka

ep
 Bahwa dari pernikahan saksi dengan Terdakwa telah dikaruniakan 2 (dua)
orang anak masing – masing bernama Azzahwa Bahari Afifah dan Maulana
ah

Abimannah ;
R

si
 Bahwa awal kehidupan rumah tangga saksi dengan Terdakwa sangat
harmonis namun 2 (dua) tahun belakangan ini Terdakwa sering marah –

ne
ng

marah hingga melakukan kekerasan fisik terhadap saksi ;


 Bahwa kekerasan fisik yang dilakukan terdakwa pada saksi terjadi pada hari

do
gu

Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib bertempat didalam
rumah di jalan Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 4 Rt 007 Rw 006
In
Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal ;
A

 Bahwa alasan terdakwa memukul saksi karena saat itu terdakwa sedang
mencari helm akan tetapi helm tersebut basah hingga akhirnya terdakwa
ah

lik

marah dan memukul saksi ;


 Bahwa terdakwa memukul bagian kepala saksi sebanyak 1 (satu) kali dan
m

ub

selain memukul bagian kepala terdakwa juga ada melakukan pemukulan


pada bagian tangan kanan saksi secara berulangkali ;
ka

 Bahwa saat pemukulan terjadi tidak ada orang yang melihat kejadian itu akan
ep

tetapi tetangga disekitar tempat tinggal saksi dan terdakwa ada mendengar
ah

suara keributan antara terdakwa dengan saksi ;


R

 Bahwa sepengetahuan saksi tetangga yang melihat keributan adalah ibu Dias
s
dan Irfan ;
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
 Bahwa selain Dias dan Irfan ada juga Lilis Sumiati, Teguh Dwiarto dan

R
Bamabang Riswantoro yang mengetahui kalau terdakwa dan saksi sedang

si
rebut – rebut ;

ne
ng
Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan dan
membenarkan keterangan saksi tersebut ;

do
gu Dias Fitriyani Binti Abdullah Mubarok
 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa akan tetapi antara saksi dengan

In
A
Terdakwa tidak ada hubungan keluarga ;
 Bahwa terdakwa dengan Ibnu Hajar adalah pasangan suami isteri ;
ah

 Bahwa saksi pernah memberikan keterangan dihadapan penyidik dan saat

lik
memberikan keterangan pihak penyidik tidak pernah melakukan pemaksaan ;
 Bahwa setelah selesai memberikan keterangan kemudian berita acara dibaca
m

ub
untuk selanjutnya ditandangani saksi ;
 Bahwa saksi dengan Terdakwa sudah bertetangga sekitar 7 (tujuh) tahun ;
ka

ep
 Bahwa saksi melihat dan mendengar Terdakwa dengan Ibnu Hajra ada
bertengkar yang disertai suara jeritan seorang wanita yang kedengarannya
ah

jeritan kesakitan ;
R

si
 Bahwa sepengetahuan saksi keribuatan terjadi pada hari Senin tanggal 20
Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib bertempat di rumah terdakwa di jalan

ne
ng

Perintis Kemerdekaan Gangg 22 No 4 Rt 007 Rw 006 Kelurahan Panggung


Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal ;

do
gu

 Bahwa isteri Terdakwa yang bernama Ibnu Hajar pernah mengadu pada saksi
sambil korban menunjukkan luka memar yang terdapat dibagian tubuhnya
In
sambil berkata luka memar tersebut akibat pemukulan yang dilakukan
A

Terdakwa bahkan korban menerangkan pula terdakwa sudah sering


melakukan pemukulan ;
ah

lik

 Bahwa saksi dan Suami pernah menegur Terdakwa agar tidak bertengkar
serta memperingatkan agar jangan melakukan kekeran fisik pada isterinya
m

ub

akan tetapi terdakwa justru mengancam saksi dengan mengatakan jangan


ikut campur sehingga dengan keadaan itu saksi merasa ketakutan ;
ka

 Bahwa sepengetahuan saksi diawal kehidupan rumah tangga Terdakwa dan


ep

isterinya sangat baik – baik saja namun 2 (dua) tahun belakang ini saksi
ah

sering mendengar terdakwa dan isterinya sering bertengkar hingga berujung


R

dengan pemukulan yang dilakukan terdakwa ;


s
Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan dan
M

ne
ng

membenarkan keterangan saksi tersebut ;


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
R
Lilis Sumiati Binti Yayan Suherman

si
 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa dan isterinya akan tetapi saksi tidak ada

ne
ng
hubungan keluarga dengan Terdakwa maupun dengan isteri terdakwa ;
 Bahwa rumah saksi dengan rumah terdakwa sangat berdekatan ;
 Bahwa terdakwa dengan Ibnu Hajar adalah pasangan suami isteri ;

do
gu  Bahwa terdakwa dengan Ibnu Hajar tinggal di Jalan Perintis Kemerdekaan
Gang 22 No 0 Rt 007 Rw 006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur

In
A
Kota Tegal ;
 Bahwa pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib
ah

lik
saksi mendengar Terdakwa dan Ibnu Hajar ada ribut - ribut namun saksi tidak
melihat apakah terdakwa ada memukul Ibnu Hajar ataupun tidak ;
 Bahwa saksi sudah sering mendengar terdakwa dan Ibnu Hajar sering ribut –
m

ub
ribut di dalam rumah dan saksi juga pernah melihat tubuh Ibnu Hajar ada
bekas lebam yang menurut Ibnu Hajar bekas lebam karena terdakwa selalu
ka

ep
memukul Ibnu Hajar ;
 Bahwa isteri Terdakwa yang bernama Ibnu Hajar pernah melaporkan pada
ah

saksi sambil menunjukan bagian Tubuh yang lebam dengan mengatakan


R

si
terdakwa sering melakukan pemukulan ;
 Sepengetahuan saksi selama bertetangga dengan Terdakwa kehidupan

ne
ng

keluarga Terdakwa dengan Ibnu Hajar awalnya sangat harmonis namun 2


(dua) tahun belakang saksi sering mendengar Terdakwa dan isterinya sering

do
gu

ribut – ribut yang disertai dengan jeritan seorang wanita ;


 Bahwa tetangga disekitar tempat tinggal terdakwa tidak berani menegur
In
terdakwa karena orangnya sangat gampang tersinggung bahkan terdakwa
A

cenderung bersikap tertutup pada lingkungan tetangga ;


Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan dan
ah

lik

membenarkan keterangan saksi tersebut ;


m

ub

Bambang Kriswantoro
 Bahwa saksi kenal dengan Terdakwa namun antara saksi dengan terdakwa
ka

tidak ada hubungan keluarga ;


ep

 Bahwa saksi dan Terdakwa sama – sama tinggal di jalan Perintis


ah

Kemerdekaan Gangg 22 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota


R

Tegal ;
s
 Bahwa dilingkungan tempat tinggal saksi adalah selaku Ketua RT ;
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
 Bahwa saksi pernah dimintakan keterangannya dihadapan penyidik dan saat

R
diperiksa pihak penyidik tidak pernah melakukan pemaksaan ;

si
 Bahwa setelah saksi selesai memberikan keterangan kemudian berita acara

ne
ng
dibaca yang selanjutnya berita acara ditandatangani saksi ;
 Bahwa isteri terdakwa yang bernama Ibnu Hajar pernah mendatangi rumah
saksi akan tetapi saat itu saksi tidak ada dirumah sehingga Ibnu Hajar hanya

do
gu bertemu dengan isteri saksi dan saat dirumah saksi Ibnu Hajar pernah
melaporkan kelakukan terdakwa yang sering melakukan pemukulan ;

In
A
 Setelah Ibnu Hajar bercerita pada isteri saksi kemudian isteri saksi
menceritakan hal tersebut pada saksi dengan mengatakan terdakwa sering
ah

melakukan pemukulan pada Ibnu Hajar ;

lik
 Bahwa setelah Ibnu Hajar melaporkan pemukulan yang sering dilakukan
terdakwa lalu saksi selaku Ketua Rukun Tetangga (RT) pernah mendatangin
m

ub
tempat tinggal terdakwa namun saat datang terdakwa tidak membuka pintu
rumahnya ;
ka

ep
 Bahwa saksi mengetahui saat mendatangi rumah terdakwa didalam rumah
ada terdakwa namun terdakwa tidak membuka pintu rumahnya meskipun
ah

saksi telah berulangkali mengetuk pintu rumahnya ;


R

si
 Bahwa tujuan saksi mendatangi rumah terdakwa adalah untuk
mengkorfirmasi laporan ibnu Hajar yang sering dipukuli terdakwa ;

ne
ng

 Bahwa saksi pernah juga memberitahukan pada ibunya terdakwa mengenai


pemukulan yang sering dilakukan pada isterinya namun ibu terdakwa

do
gu

mengatakan dirinya tidak mencampurin lagi ;


Atas keterangan saksi diatas Terdakwa tidak keberatan dan
In
membenarkan keterangan saksi tersebut ;
A

Menimbang, bahwa dipersidangan Terdakwa telah pula memberikan


keterangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
ah

lik

 Bahwa Terdakwa mengerti dihadapkan kedepan Persidangan karena


terdakwa telah melakukan kekerasan dalam lingkungan keluarga ;
m

ub

 Bahwa sebelum memberikan keterangan dipersidangan terdakwa telah


terlebih dahulu memberikan keterangan dihadapan penyidik ;
ka

 Bahwa dihadapan penyidik terdakwa memberikan keterangan tanpa ada


ep

tekanan dari pihak penyidik ;


ah

 Bahwa terdakwa dengan korban Siti Ibnu Hajar adalah pasangan suami isteri
R

yang telah menikah tanggal 4 Juni 2010 ;


s
 Bahwa pernikahan Terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar telah dicacat di Kantor
M

ne
ng

Urusan Agama Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal ;


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
 Bahwa dari pernikahan Terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar telah dikaruniakan 2

R
(dua) orang anak masing – masing bernama Azzahwa Bari Afifah dan

si
Maulana Abimanannan ;

ne
ng
 Bahwa pada hari senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib
bertempat di dalam rumah di jalan Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 4 RT
007 RW 006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal

do
gu terdakwa telah melakukan pemukulan pada isterinya yang bernama Siti Ibnu
Hajar ;

In
A
 Bahwa terdakwa memukul isterinya pada bagian kepala sebelah kiri dengan
mempergunakan tangan kosong secara mengepal dan pemukulan itu
ah

dilakukan secara berulang – ulang ;

lik
 Bahwa alasan terdakwa memukul Siti Ibnu Hajar karena helm yang biasa
dipergunakan terdakwa basah karena hujan dan helm tersebut basah karena
m

ub
isterinya tidak mengambil helm yang dijemur ;
 Bahwa setelah mengetahui helm yang biasa digunakannya basah kemudian
ka

ep
terdakwa marah – marah hingga melakukan pemukul pada Siti Ibnu Hajar ;
 Bahwa Terdakwa sudah sering melakukan pemukulan pada Siti Ibnu Hajar
ah

bahkan terdakwa pernah memukul Siti Ibnu Hajar dihadapan anak – anaknya
R

si
;
Menimbang, bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah mengajukan

ne
ng

bukti surat berupa :


- 2 (dau) buku nikah, buku Nikah Isteri dan buku Nikah Suami dengan nomor

do
gu

275/06/VI/2010 tanggal 4 Juni 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan


Agama Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal dikembalikan kepada saksi Siti
Ibnu Hajar Bin Muhamad Yunus ;
In
A

- 1 (satu) buah palu besi bergagang kayu panjang 27 cm ;


- 1 (satu) buah pisau daging merek Vicenza panjang mata pisau 15 cm dan
ah

lik

panjang gagang pisau 12 cm ;


- 2 (dua) buah pisau dapur panjang mata pisau 8,5 cm dan panjang gagang
m

ub

pisau 10,5 cm ;
- 2 (dua) buah potongan kayu panjang masing – masing 45 cm ;
ka

Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi maupun keterangan


ep

terdakwa dipersidangan serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan


ah

kepersidangan, telah terungkap fakta hukum sebagai berikut ;


R

 Bahwa terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar adalah pasangan suami isteri ;
s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
 Bahwa Terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar telah menikah tanggal 4 Juni

R
tahun 2010 dimana pernikah tersebut telah dicacat di Kantor Urusan

si
Agama Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal ;

ne
ng
 Bahwa dari pernikahan Terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar telah
dikaruniakan 2 (dua) orang anak masing – masing bernama Azzahwa
Bani Afifah dan Maulana Abimannan ;

do
gu  Bahwa terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar tinggal satu rumah di jalan
Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 4 RT 007 RW 006 Kelurahan

In
A
Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal ;
 Bahwa Pada hari senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15
ah

Wib dimana saat itu hanya ada terdakwa dengan Siti Ibnu Hajar,

lik
terdakwa telah melakukan pemukulan dengan menggunakan tangan
kosong pada Siti Ibnu Hajar dan pemukulan itu dilakukan secara
m

ub
berulang – ulang ;
 Bahwa terdakwa memukul Siti Ibnu Hajar pada bagian kepala sebelah
ka

ep
kiri dan pada bagian lengan tangan sebelah kanan ;
 Bahwa terdakwa memukul isteri dikarenakan helm yang biasa
ah

digunaka basah terkenah hujan dimana saat helm dijemur helm Siti
R

si
Ibnu Hajar tidak mengambil dari jemuran yang mengakibatkan helm
menjadi basah dan terdakwa emosi hingga akhirnya melakukan

ne
ng

pemukulan pada Siti Ibnu Hajar ;


 Bahwa saat terdakwa memukul Siti Ibnu Hajar tidak ada orang lain

do
gu

yang melihat pemukulan tersebut akan tetapi tetangga disekitar


terdakwa bertempat tinggal ada mendengar jeritan Siti Ibnu Hajar yang
merasa kesakitan ;
In
A

 Bahwa terdakwa sudah sering melakukan pemukulan pada Siti Ibnu


Hajar bahkan terdakwa pernah melakukan pemukulan pada Siti Ibnu
ah

lik

Hajar dihadapan anak – anaknya ;


 Bahwa saksi Dias Fitriani dan Lilis Sumiati pernah melihat tubuh
m

ub

korban ada bekas luka lalu saksi ada menanyakan mengenai luka
tersebut pada Siti Ibnu Hajar yang kemudian Siti Ibnu Hajar
ka

menerangkan luka tersebut disebabkan terdakwa melakukan


ep

pemukulan ;
ah

 Bahwa Siti Ibnu Hajar pernah mendatangi rumah Babang Riswanto


R

selaku ketua RT akan tetapi saat itu Siti Ibnu Hajar hanya bertemu
s
dengan isteri dari Bambang Riswanto ;
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
 Bahwa tujuan Siti Ibnu Hajar mendatangi rumah Bambang Riswanto

R
adalah untuk melaporkan pemukulan yang telah dilakukan terdakwa ;

si
 Bahwa Bambang Riswanto pernah mendatangi rumah Terdakwa di

ne
ng
jalan Perintis Kemerdekaan Gang 22 No 4 RT 007 RW 006 yang saat
itu diketahui terdakwa ada didalam rumah akan tetapi saat pintu rumah
diketok terdakwa tidak membuka pintu rumahnya ;

do
gu  Bahwa tujuan Bambang Riswanto mendatangi rumah terdakwa adalah
untuk menanyakan mengenai laporan isterinya yang mengatakan

In
A
terdakwa sering melakukan pemukulan ;
 Bahwa Bambang Riswanto pernah bertemu dengan ibu terdakwa dan
ah

mengatakan mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa akan tetapi

lik
ibu terdakwa mengatakan tidak ikut campur karena terdakwa sudah
berumah tangga ;
m

ub
Menimbang, bahwa segala sesuatu yang termuat dan tercatat dalam
Berita Acara Persidangan dianggap dimuat telah termuat serta menjadi satu
ka

ep
kesatuan dengan putusan ini yang tidak bisa terpisahkan ;
Menimbang, bahwa selanjutnya yang menjadi pertanyaan Majelis Hakim
ah

apakah dengan adanya fakta hukum yang telah terungkap di depan Persidangan
R

si
sebagaimana yang diuraikan dalam putusan ini sudah dapat dinyatakan bahwa
Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan

ne
ng

Penuntut Umum kepada diri terdakwa ;


Menimbang, bahwa dipersidangan Penuntut Umum telah menghadapakan

do
gu

Terdakwa dengan dakwaan yang berbentuk subsideritas yakni Primair melanggar


pasal 44 ayat (1) Undang – undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP Subsidair melanggar
In
A

Pasal 44 ayat (4) Undang – undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga jo pasal 64 ayat (1) KUHP ;
ah

lik

Menimbang, bahwa karena dakwaan Penuntut Umum disusun secara


Subsideritas maka terhadap dakwaan tersebut terlebih dahulu Majelis Hakim akan
m

ub

mempertimbangkan dakwaan Primair dimana jika dakwaan primair tidak terbukti


maka terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan primair dan selanjutnya akan
ka

dipertimbangkan dakwaan subsidair atau sebaliknya apabila dakwaan primair


ep

telah terbukti maka dakwaan subsidair tidak perlu dipertimbangkan lagi ;


ah

Menimbang, bahwa dalam dakwaan Primair terdakwa telah disangkakan


R

oleh Penuntut Umum melanggar pasal 44 ayat (1) Undang – undang Nomor 23
s
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64
M

ne
ng

ayat (1) KUHP yang memuat unsur – unsur sebagai berikut :


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. Setiap orang;

R
2. Melakukan perbuatan kekerasa fisik dalam lingkungan rumah tangga

si
3. Perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut ;

ne
ng
Ad. 1 Unsur “ Barangsiapa”
Menimbang, bahwa unsur setiap orang dalam perkara ini

do
gu mempunyai pengertian yang sama dengan barangsiapa dimana undang –
undang tidak memberikan pengertian secara tegas apa yang dimaksud

In
A
dengan barangsiapa akan pengertian yang sebenarnya dapat dijumpai
didalam doktrin dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia ;
ah

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan unsur "setiap orang" disini

lik
adalah seseorang baik itu laki – laki maupun perempuan tanpa membeda –
bedakan jenis kelamin yang kepadanya dapat dimintakan segala
m

ub
pertanggungjawaban yang telah dilakukannya dimana dalam hal ini saat
awal persidangan berlangsung Penuntut Umum telah menghadapkan
ka

ep
seorang laki – laki yang bernama Ade Agung Setiawan Bin H Kasmo
dimana identitas lengkapnya sebagaimana yang diuraikan Penuntut Umum
ah

dalam surat dakwaannya bahkan saat Majelis Hakim menanyakan


R

si
identitasnya Terdakwa telah membenarkan kalau nama yang termuat
dalam surat dakwaan adalah benar namanya terdakwa sehingga

ne
ng

berdasarkan pertimbangan tersebut maka unsur setiap orang dalam hal ini
telah terpenuhi ;

do
gu

Ad.2 unsur “Melakukan perbuatan kekerasa fisik dalam lingkungan rumah


tangga ;
In
A

Menimbang, bahwa yang utama dalam unsur ini adalah adanya suatu
perbuatan tindak pidana dalam lingkup rumah tangga dan tindak pidana yang
ah

lik

dilakukan berupa tindakan kekerasan Fisik sehingga untuk mengetahui apakah


benar terdakwa telah melakukan perbuatan sebagaimana yang disangkakan
m

ub

penuntut umum dalam surat dakwaannya maka akan dipertimbangkan sebagai


berikut ;
ka

Bahwa pasal 1 Undang – undang Nomor 23 tahun 2004 tentang


ep

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan “Kekerasan dalam


ah

rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,


R

yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,


s
psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
M

ne
ng

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan

R
“ kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit

si
atau luka berat ;

ne
ng
Menimbang, bahwa telah didengar keterangan Siti Ibnu Hajar Binti
Mohammad Yunus menerangkan saksi dan terdakwa adalah pasangan suami
isteri yang telah melangsungkan pernikahan tanggal 4 Juni 2010 bahkan

do
gu pernikahannya telah dicacat dalam kutipan akta nikah yang dikeluarkan Kantor
Urusan Agama Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal yang setelah pernikah saksi

In
A
dan Terdakwa tinggal di Jalan Perintis kemerdekaan Gang 22 No 4 RT 007 RW
006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal ;
ah

Menimbang, bahwa dari pernikahan saksi dan Terdakwa telah

lik
dikaruniakan 2 (dua) orang anak masing – masing bernama Azzahwa Bari Afifah
dan Maulana Abimannah bahkan pada awal pernikahan kehidupan rumah
m

ub
tangganya baik – baik saja akan tetapi dalam 2 (dua) tahun belakang ini Terdakwa
sering marah – marah bahkan hingga melakukan kekerasan berupa pemukulan
ka

ep
dimana puncaknya pada hari senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15
Wib bertempat didalam rumahnya di jalan Perintis kemerdekaan Gang 22 No 4 RT
ah

007 RW 006 Kelurahan Panggung Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal terdakwa
R

si
telah memukul bagian kepala dan tangan saksi dengan menggunakan tangan
kosong dan pemukulan tersebut dilakukan terdakwa secara berulang ulang.

ne
ng

Bahwa alasan terdakwa memukul saksi karena helm yang biasa dipergunakan
basah disebabkan helm yang sebelumnya dijemur tidak diambil korban sehingga

do
gu

ketika hujan turun helm menjadi basah yang mengakibatkan terdakwa marah
hingga melakukan pemukulan pada saksi dan saat pemukulan itu terjadi tidak ada
seorangpun melihat pemukulan tersebut akan tetapi tetangga disekitar rumah
In
A

saksi tinggal yakni Dias Fitriani dan Lilis Sumiati ada mendengar saksi dan
Terdakwa ribut – ribut bahkan ada pula didengar suara teriakan seorang wanita
ah

lik

yang mengerang kesakitan ;


Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengarkan keterangan Dias dan
m

ub

Lilis Sumiati yang menerangkan pada hari Senin tanggal 20 Nopember 2017
sekitar pukul 07.15 Wib dimana saat itu saksi sedang berada dihalaman rumahnya
ka

tiba - tiba mendengar dari dalam rumah terdakwa ada suara ribut – ribut yang
ep

disertai suara teriakan wanita yang mengerang kesakitan bahkan isteri terdakwa
ah

Siti Ibnu Hajar pernah datang kerumah saksi dan saat bertemu saksi ada melihat
R

pada bagian tangan korban ada luka lebam lalu Siti Ibnu Hajar menerangkan luka
s
lebam dikarenakan terdakwa telah memukul Siti Ibnu Hajar ;
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Menimbang, bahwa dalam berkas perkara A Quo turut dilampirkan bukti

R
surat berupa Visum Et Repertum Nomor 25/VS/MR/RSUI-HA/XI/2017/263692

si
yang dikeluarkan Rumah sakit Umum Islam Harapan Anda menerangkan terdapat

ne
ng
luka lebam pada lengan kanan dan lengan kiri, luka lebam pada punggung dan
bengkak pada bagian kepala dengan kesimpulan luka dan lebam dikarenakan
benda tumpul dan penderita masih dalam perawatan. ;

do
gu Menimbang, bahwa dipersidangan telah didengarkan pula keterangan
saksi Riswantoro Bin Soemarto yang menerangkan saksi selaku ketua RT pernah

In
A
mendatangi rumah terdakwa dengan tujuan untuk mengkonfirmasi laporan istri
terdakwa yang bernama Siti Ibnu Hajar kalau terdakwa sering melakukan
ah

pemukulan akan tetapi saat pintu rumah diketuk terdakwa tidak membuka pintu

lik
rumahnya sedangkan diketahui terdakwa ada didalam rumahnya bahkan saksi
juga pernah bertemu dengan ibu erdakwa untuk memberitahukan perbuatan
m

ub
terdakwa yang sering memukul isterinya akan tetapi ibu terdakwa mengatakan
tidak mau ikut campur karena terdakwa sudah berumah tangga. Bahwa terhadap
ka

ep
keterangan saksi – saksi tersebut pada terdakwa ada dimintakan tanggapannya
dimana dalam tanggapannya terdakwa telah membenarkan jika dirinya sudah
ah

sering memukul isterinya Siti Ibnu Hajar sehingga berdasarkan pertimbangan


R

si
hukum diatas maka unsur ini telah terpenuhi ;

ne
ng

Ad.3. unsur “Perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut”


Menimbang, bahwa undang – undang tidak memberikan penjelasan

do
gu

mengenai perbuatan yang berlanjut akan tetapi Hoge Raad memberikan


pengertian “perbuatan berlanjut” atau “tindakan” atau voortgezette handeling
In
A

sebagai perbuatan perbuatan yang sejenis dan sekaligus merupakan pelaksanaan


dari suatu maksud yang sama dan perbuatan itu disebut sejenis jika secara yuridis
ah

lik

perbuatan – perbuatan itu mempunyai kualitas yang sama ;


Meimbang, bahwa berangkat dari pengertian perbuatan berlanjut
sebagaimana yang diuraikan diatas maka akan dipertimbangkan sebagai berikut :
m

ub

Bahwa Siti Ibnu Hajar Binti Mohamad Yunus selaku isteri terdakwa menerangkan
ka

pada hari senin tanggal 20 Nopember 2017 sekitar pukul 07.15 Wib terdakwa ada
ep

memukul saksi dengan kepalan tangan kosong dan pemukulan dilakukan pada
bagian tangan dan kepala bahkan sebelum kejadian tersebut terdakwa sudah
ah

sering memukul saksi dan terdakwa pernah juga memukul saksi dihadapan anak –
R

s
anaknya. Bahwa terhadap keterangan saksi tersebut pada terdakwa ada
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dimintakan tanggapannya yang menerangkan benar terdakwa telah memukul

R
isterinya bahkan terdakwa juga menerangkan sudah sering memukul isterinya ;

si
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi sebagaimana yang

ne
ng
diuraikan diatas dapat diketahui terdakwa sudah sering melakukan pemukulan
pada isterinya Siti Ibnu Hajar sehingga berdasarkan pertimbangan hukum diatas
maka unsur ini telah terpenuhi ;

do
gu Menimbang, bahwa selama pemeriksaan ini berlangsung Majelis tidak
menemukan adanya alasan pembenar maupun alasan pemaaf yang dapat

In
A
meniadakan ataupun menghapuskan perbuatan pidana yang dilakukan oleh
Terdakwa, maka kepada Terdakwa haruslah dijatuhi pidana yang setimpal dengan
ah

kesalahannya ;

lik
Menimbang, bahwa selama proses perkara ini berlangsung dimana
Terdakwa telah ditahan maka berdasarkan Pasal 22 ayat (4) KUHAP masa
m

ub
penangkapan dan penahan yang telah dijalani oleh Terdakwa akan dikurangkan
seluruhnya dari lamanya pidanan yang akan dijatuhkan ;
ka

ep
Menimbang, bahwa tentang barang berupa : 2 (dau) buku nikah yakni
buku Nikah Isteri dan buku Nikah Suami dengan nomor 275/06/VI/2010 tanggal 4
ah

Juni 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tegal Timur
R

si
Kota Tegal, 1 (satu) buah palu besi bergagang kayu panjang 27 cm, 1 (satu) buah
pisau daging merek Vicenza panjang mata pisau 15 cm dan panjang gagang

ne
ng

pisau 12 cm, 2 (dua) buah pisau dapur panjang mata pisau 8,5 cm dan panjang
gagang pisau 10,5 cm dan 2 (dua) buah potongan kayu panjang masing – masing

do
gu

45 cm yang keseluruhan barang bukti tersebut statusnya akan ditentukan


sebagaimana amar putusan dibawah ini ;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa harus dijatuhi hukuman pidana
In
A

maka terhadap Terdakwa dihukum juga untuk membayar biaya perkara yang
besarnya akan ditentukan sebagaimana dalam amar putusan dibawah ini ;
ah

lik

Menimbang, bahwa sebelum Pengadilan menjatuhkan hukuman pidana


dan berapa lama yang dipandang tepat dan adil terhadap diri Terdakwa, perlu
m

ub

dipertimbangkan hal - hal yang memberatkan maupun yang meringankan ;


ka

ep
ah

Hal - hal yang memberatkan :


R

- Perbuatan Terdakwa mengakibatkan luka pada korban ;


s
- Terdakwa tidak ada rasa penyesalan ;
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- Terdakwa selaku bapak bagi anak – anak seharusnya memberikan contoh

R
bagi keluarga sebaliknya membuat ketakutan bagi keluarganya ;

si
ne
ng
Hal - hal yang meringankan :
- Terdakwa belum pernah dihukum ;
- Terdakwa memiliki tanggungan keluarga ;

do
gu
Mengingat ketentuan perundang – undangan yang berlaku khususnya

In
A
Pasal 44 ayat (1) Undang – undang 23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP serta peraturan
ah

lik
perundang undangan lainnya yang bersangkutan ;

MENGADILI:
m

ub
1. Menyatakan terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H. Kasmo telah terbukti secara
ka

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Kekerasan Fisik


ep
dalam lingkup rumah tangga perbuatan secara berlanjut” ;
2. Menghukum terdakwa Ade Agung Setiawan Bin H. Kasmo dengan pidana
ah

penjara selama 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dengan perintah Terdakwa
R

si
tetap berada dalam tahanan ;

ne
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan
ng

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;


4. Menyatakan barang bukti berupa :

do
gu

- 2 (dau) buku nikah, buku Nikah Isteri dan buku Nikah Suami dengan nomor
275/06/VI/2010 tanggal 4 Juni 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan
In
Agama Kecamatan Tegal Timur Kota Tegal dikembalikan kepada saksi Siti
A

Ibnu Hajar Bin Muhamad Yunus ;


- 1 (satu) buah palu besi bergagang kayu panjang 27 cm ;
ah

lik

- 1 (satu) buah pisau daging merek Vicenza panjang mata pisau 15 cm dan
panjang gagang pisau 12 cm ;
m

ub

- 2 (dua) buah pisau dapur panjang mata pisau 8,5 cm dan panjang gagang
pisau 10,5 cm ;
ka

- 2 (dua) buah potongan kayu panjang masing – masing 45 cm


ep

Semua dirampas untuk dimusnahkan ;


ah

5. Membebani Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,- (lima ribu


R

rupiah) ;
s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Demikian diputus dalam Rapat Musyawarah Majelis Hakim Pengadilan

R
Negeri Tegal pada hari Selasa tanggal 6 Maret 2018, oleh kami FRANS EFFENDI

si
MANURUNG, SH.,MH sebagai Ketua Majelis ARDHIANTI PRIHASTUTI, SH dan

ne
ng
FATARONY, SH masing – masing sebagai Hakim Anggota, Putusan tersebut
diucapkan pada hari dan tanggal itu juga dalam persidangan yang terbuka untuk
umum oleh Hakim Ketua dengan didampingi Hakim Anggota dibantu WAHONO,

do
gu SH Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Tegal dihadiri SITI CHODIJAH,
SH Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Tegal serta di hadapan

In
A
Terdakwa ;
ah

HAKIM ANGGOTA HAKIM KETUA MAJELIS

lik
m

ub
ARDHIANTI PRIHASTUTI, SH FRANS EFFENDI MANURUNG, SH., MH
ka

ep
FATARONY, SH.
ah

PANITERA PENGGANTI
R

si
ne
ng

WAHONO, SH

do
gu

In
A
ah

lik
m

ub
ka

ep
ah

s
M

ne
ng

do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20

Anda mungkin juga menyukai