Anda di halaman 1dari 151

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ATAS KELALAIAN PEMILIK

HEWAN PELIHARAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN


HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd)
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Aji Pendowo

NIM: 11150430000070

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020
i
ii
iii
ABSTRAK

Aji Pendowo. NIM 11150430000070. PERTANGGUNGJAWABAN


HUKUM ATAS KELALAIAN PEMILIK HEWAN PELIHARAAN DALAM
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Analisis Kasus
Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd). Konsentrasi Perbandingan Hukum, Program
Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Viii + 67 + 4 halaman Daftar Pustaka.
Studi penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk
pertanggungjawaban mengenai tindak pidana atas kelalaian kepemilikan hewan
sesuai dengan peraturan doktrin hukum positif dan hukum Islam dalam putusan
Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd .
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang berarti
penulis tidak menggunakan sample. Pengumpulan data dilakukan dengan metode
kepustakaan, dengan objek kajian. Setelah data yang diperoleh terhadap objek
kajian (Putusan Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd).
Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa Haryanto Christian dalam doktrin
hukum positif memenuhi tindak kelalaian dalam Pasal 1366, 1368 KUHPerdata dan
Pasal 490, 360 ayat (1) KUHP. Hukum Islam dalam pendapat mazhab Syafi’I yaitu
Sayyid Abu Bakar Ibnu Syatha dalam kitabnya Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi
Syarh Fathi al-Mu’in, yaitu unsur pertanggungjawaban hukum jika terjadi pelukaan
atas binatang tergantung pada keadaan waktu dan tabiat atau sifat binatang.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Kelalaian Pemilik Hewan.
Pembimbing : 1. Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si
2. Fitriyani Zein, S. Ag., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1967 sampai Tahun 2019

iv
KATA PENGANTAR
‫الرحِ ي ِْم‬
َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ‫هللا‬
ِ ‫ِبس ِْم‬

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang telah


melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya serta rahmat shalawat dan salam
untuk junjungan besar Nabi Muhammad SAW. Karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan penelitian skripsi ini yang berjudul:
“PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ATAS KELALAIAN PEMILIK
HEWAN PELIHARAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN
HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd)”.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para


pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas
pencapaian yang telah dicapai peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ibu Siti Hanna, M.A Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hidayatulloh, M.H Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab
Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si dan Ibu Fitriyani Zein, S. Ag.,
M. H Dosen Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bantuan
kepada penliti dalam menyelesaikan penlitian.
4. Bapak dan Ibu dosen Faklutas Syari’ah dan Hukum yang telah ikhlas
memberikan ilmu-ilmunya dan motivasi dalam menyelesaikan studi di
Fakultas Syari’ah dan Hukum Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

v
5. Pimpinan Perpustakaan yang telah memberikan fasilitas yang baik
untuk mengadakan studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh
bahan referensi untuk melengkapi penlitian ini.
6. Segenap staf dan karyawan Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang berkenan memberikan bantuan kepada
peneliti.
7. Teristimewa untuk keluarga peneliti ayah , mama dan adik tercinta,
Bapak Sunarto, Ibu Sri Yuliani dan Fika Baraka yang selalu
mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta dukungan moril dan
materil kepada peneliti.
8. Seluruh teman-teman Program Studi Perbandingan Mazhab angkatan
2015 yang senantiasa mengisi hari-hari peneliti menjadi sangat
menyenangkan saat dikelas.
9. Seluruh teman-teman dari berbagai macam jurusan Univeristas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.yang telah sama-sama berbagi
ilmu dan pengalaman.
10. Untuk dirimu disana, ini merupakan sebuah bagian dari prosesku untuk
menantang dunia di fase selanjutnya. Semoga tulisan ini kelak bisa kita
baca berdua atau menjadi cerita yang bisa kita saling ceritakan di suatu
waktu nanti baik pagi, sore ataupun malam yang gembira.

Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya


selalu menyertai kita. Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun
demi adanya perbaikan dalam penulisan di masa yang akan datang. Semoga skripsi
ini dapar berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umunya.

Jakarta, 23 Desember 2020

Penulis
Aji Pendowo

vi
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... i


LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .............................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI.................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah ..................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 5
D. Tinjauan Kajian Terdahulu .......................................................................... 5
E. Metode Penelitian......................................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ................................................................................ 10
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS
KELALIAN KEPEMILIKAN HEWAN ...................................................................... 12
A. Fenomena Kepemilikan Hewan Peliharaan ............................................... 12
B. Kelalaian .................................................................................................... 13
C. Teori Pertanggungjawaban Pidana ............................................................. 26
D. Teori Perbuatan Melawan Hukum ............................................................. 32
BAB III KELALAIAN KEPEMILIKAN HEWAN DALAM (Putusan Nomor
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd.) .............................................................................................. 37
A. Duduk Perkara............................................................................................ 37
B. Pertimbangan Hakim .................................................................................. 40
C. Putusan Hakim ........................................................................................... 46
BAB IV PERBANDINGAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM KELALAIAN
DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Putusan Nomor:
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd) ............................................................................................... 47
A. Unsur Pertanggungjawaban Perdata Kelalaian Pemilik Hewan pada Putusan
Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd ..................................................................... 47
B. Unsur Pertanggungjawaban Pidana atas Kelalaian Kepemilikan Hewan
(Berdasarkan Fakta Hukum dan Pertimbangan Hakim Putusan Nomor
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd) ................................................................................. 55

vii
C. Perbandingan Pertanggungjawaban Hukum Unsur Kelalaian Dalam Hukum
Positif dan Hukum Islam (Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd) ............. 60
BAB V PENUTUP........................................................................................................... 68
A. Kesimpulan ................................................................................................ 68
B. Saran ........................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hewan peliharaan adalah hewan yang dipelihara oleh manusia yang harus
dirawat, dijaga dan dipenuhi kebutuhan hidupnya serta memiliki tempat yang layak.
Hewan peliharaan yang umum dipelihara adalah hewan-hewan yang bersifat jinak
yang banyak dipilih oleh manusia untuk menemani mereka. seperti hewan yang
umum adalah kucing, kelinci, ikan, ayam, burung, kuda dan anjing. Tetapi, dalam
beberapa fakta yang menunjukkan bahwa hewan yang memiliki sifat jinak tidak
dapat menutup kemungkinan juga dapat menyerang atau melukai manusia,
sehingga pada dasarnya tidak dapat ditebak apa yang akan dilakukan hewan
kemudian.

Dalam membahas pemeliharaan hewan sering dijumpai kasus-kasus yang tidak


diinginkan, seperti penyerangan hewan terhadap majikannya atau orang lain.
Penyerangan ini biasanya dikarenakan kelalaian dari si pemilik hewan peliharaan
atau kurangnya kehati-hatian si pemilik hewan dalam memperhatikan lingkungan
sekitarnya dan pengawasan terhadap hewan peliharaannya yang dimana apakah
hewan peliharaannya tersebut dapat saja membahayakan masyarakat disekitar
lingkunganya.

Penyerangan hewan peliharaan ini tidak lepas dari unsur kelalaian si pemilik
hewan peliharaan itu sendiri, semisal karena telat memberikan makanan,
terbiasanya perlakuan kasar terhadap hewan peliharaan, kurangnya perhatian
terhadap hewan peliharaannya, dan kurangnya pengawasan khusus terhadap hewan
peliharaannya yang dimana sejatinya setiap hewan tetap memiliki sifat liarnya. Di
Indonesia sendiri memiliki beberapa contoh terjadinya kasus penyerangan hewan
yang terdapat dibeberapa daerah, dalam kasus penyerangan hewan beberapa
diantaranya berakibat jatuhnya korban baik luka-luka hingga sampai meninggal
dunia. berikut adalah beberapa contoh kasus yang terjadi karena penyerangan
hewan:

1
2

1. Pada tanggal 5 November 2014, ditemui seorang wanita di daerah Manado


yang diserang oleh anjing ketika ingin membeli makanan hewan peliharaan
di toko hewan. Wanita tersebut diserang oleh anjing pemilik toko tersebut
hingga terjatuh dan mengalami luka-luka yang cukup serius di bagian
wajah, bibir, dan lengan yang harus dioperasi. Kasus ini diselesaikan
melalui Pengadilan Negeri dan telah diputus oleh hakim sebagaimana
tertuang dalam Putusan No. 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd. Adapun isi putusan
tersebut pada intinya adalah menghukum bagi si pemilik anjing untuk
membayar ganti kerugian materiil dan immaterial kepada korban
penyerangan.1
2. Pada tanggal 22 Januari 2019 di Kediri, Jawa Timur, terdapat dua ekor
anjing jenis pitbull menyerang seorang kakek yang tengah sendiri sibuk
mencari kayu bakar di sebuah lahan kosong di desanya. Tidak ada yang
mengetahui asal mula peristiwa itu karena warga baru tahu saat kakek itu
sudah dalam posisi terlentang bersimbah darah dengan kedua anjing itu
masih menyerangnya. Warga telah membantu membawa kakek itu ke
rumah sakit terdekat namun karena luka yang cukup serius nyawa kakek
tersebut tidak dapat tertolong.2
3. Pada tanggal 30 Agustus 2019 di Cipayung, Jakarta Timur, terjadi kembali
kasus penyerangan anjing milik artis ternama Bima Aryo kepada ART
barunya yang menyebabkan korban meninggal dunia. Diperkirakan korban
diserang saat hendak ingin memberikan makanan kepada anjing tersebut
dan juga ada yang menjelaskan bahwa korban diserang saat anjing tersebut
di ajak jalan-jalan diperkarangan rumahnya. Kasus ini masih didalami oleh
pihak kepolisian cipayung dan menunggu keterangan ahli mengenai jenis

1
http://manado.tribunnews.com/2014/11/05/kronologi-digigit-anjing-dan-alasan-wanita-
manado-ini-tuntut-rp-1-miliar, Di akses pada Hari Sabtu 8 september 2019, Pukul 07.25.
2
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/21/p2wtha438-polisi-selidiki-
kakek-yang-tewas-digigit-dua-anjing-pitbull, Di akses pada Hari Sabtu 28 September 2019, Pukul
07.48.
3

anjing yang dipelihara artis Bima Aryo ini, dugaan yang diberikan adalah
pasal 359 tentang kelalaian.3

Dalam memelihara hewan sebaiknya pemilik atau individu yang baru saja ingin
memelihara hewan juga harus memperhatikan beberapa regulasi yang ada
mengenai hewan peliharaan, dimana dengan tujuan untuk terhindar dari
kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi kedepannya atau kelalaian sehingga
tidak menimbulkan kerugian baik bagi sipemilik hewan peliharaan dan juga
masyarakat sekitar lingkungan tersebut. Seperti yang terdapat dalam Pasal 490
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana terdapat pasal yang
mengatur mengenai pelanggaran dalam menjaga hewan peliharaan yang
menyebabkan mengganggu atau merugikan keamanan umum bagi orang atau
barang yang mengatur “Diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari,
atau pidana paling banyak tiga ratus rupiah”.

Kaitannya mengenai Pasal 490 KUHP dengan penyerangan hewan peliharaan


terhadap manusia adalah apabila hewan peliharaan menyerang manusia hingga
meninggal atau luka-luka berat, maka apakah pemilik hewan dapat dimintai
pertanggungjawaban atas penyerangan yang dilakukan oleh hewan peliharaan
miliknya. Dengan kata lain, apakah si pemilik hewan juga ikut bertanggungjawab
atas kelalaian tersebut dan bagaimana bentuk pertanggungjawabannya ditinjau dari
KUHP apabila seekor hewan peliharaan atau anjing menyerang seseorang hingga
menyebabkan kerugian dimana korban mengalami luka-luka bahkan sampai
dengan kematian. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa
lebih lanjut mengenai topik ini ke dalam sebuah bentuk karya ilmiah yaitu skripsi
dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ATAS KELALAIAN
PEMILIK HEWAN PELIHARAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd)”.

3
https://www.tribunnews.com/metropolitan/2019/09/08/kronologi-sebenarnya-kasus-
anjing-bima-aryo-terkam-art-hingga-tewas-6-saksi-diperiksa, Di akses pada Hari Sabtu 28
September 2019, Pukul 08.00.
4

B. Identifikasi, Perumusan, dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka terdapat


beberapa masalah yang dapat di identifikasikan, antara lain:

1. Apakah kelalaian atas kepemilikan hewan peliharaan dapat dikenakan


pertanggungjawaban hukum baik pidana dan perdata apabila penyerangan
yang dilakukan oleh hewan peliharaannya menyebabkan korban luka-luka?
2. Apakah pasal 490 KUHP tentang aturan kepemilikan hewan peliharaan
yang mengganggu atau merugikan orang lain dapat menjadi dasar hukum
yang mengatur tentang tindak pidana yang berhubungan dengan hewan
peliharaan?
3. Bagaimana konsep pertanggungjawaban hukum atas tindak kelalaian
dalam hukum positif dan hukum Islam?
2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis


membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan
terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Maka dalam penelitian ini penulis
membatasi permasalahan hanya pada pembahasan mengenai pertanggungjawaban
hukum atas kelalaian pemilik hewan peliharaan terhadap putusan Pengadilan
Negeri Manado Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd dalam perspektif hukum positif
dan hukum Islam.

3. Perumusan Masalah
Adapun pokok rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana tinjaun hukum positif dan hukum Islam terhadap putusan
Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd Pengadilan Negeri Manado tentang
kelalaian dalam memelihara hewan?
5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini selain bertujuan untuk memenuhi tugas akademik guna


memperoleh gelar Sarjana Hukum Strata 1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, juga didorong oleh tujuan
yang berkaitan dengan isi pembahasan didalamnya, yaitu untuk mengetahui
bagaimana bentuk kerugian dan pertanggungjawaban pidana atas kelalaian pemilik
hewan peliharaan dalam prespektif hukum positif dan hukum Islam terhadap
putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd.

2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah
wawasan dan pengetahuan penulis dalam memahami hukum ganti kerugian
dan pertanggungjawaban pidana yang ada di indonesia dalam pandangan
hukum positif dan hukum Islam, kemudian menambah literatur
perpustakaan khususnya dalam bidang Perbandingan Mazhab.
b. Manfaat Praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
penjelasan yang lengkap mengenai kacamata hukum positif dan hukum
Islam terhadap hukum pertanggungjawaban terhadap kelalaian pemilik
hewan peliharaan.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas oleh
penulis lainnya, maka penulis sedikit mengkaji beberapa skripsi dan karya tulis
terdahulu yang pembahasannya memiliki kesamaan dengan pembahasan yang
penulis angkat. Sejauh pengamatan dan pengetahuan penyusun, sudah terdapat
beberapa sebuah penelitian atau tulisan (skripsi) mengenai bentuk ganti kerugian
dan pertanggungjawaban pidana atas tindak kelalaian, diantaranya:

Penelitian (Skripsi) yang disusun oleh Vincent Andreas Limanto yang berjudul
Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Hewan Yang Menyebabkan Korban
Meninggal Dunia Kesimpulannya bahwa permasalahan yang diambil adalah
6

mengenai apakah pemilik hewan yang menyebabkan korban meninggal dunia dapat
diberikan pertanggungjawaban pidana, pada skripsi ini penulis memfokuskan
hanya pada regulasi hukum positif yang ada di indonesia terkait permasalahan.

Penelitian (Skripsi) yang disusun oleh Andika Bachtiar yang berjudul


Pertanggungjawaban Pidana Atas Kelalaian Lalu Lintas Yang Menyebabkan
Hilangnya Nyawa Orang Lain (Analisis Putusan Nomor:
27/Pid.Sus/2016/PT.PAL) tujuan peneltian ini adalah menjelaskan pertimbangan
hukum hakim terhadap penerapan pasal 310 dalam putusan No.
27/Pid.Sus/2016/PT.PAL perihal tindak pidana kelalaian yang menyebabkan
hilangnya nyawa orang lain.

Penelitian (Skripsi) yang disusun oleh Fachriatul Fuadiah yang berjudul


Tindak Pidana Kelalaian Dokter Dalam Operasi Caesar Ditinjau Dalam
Hukum Positif Dan Hukum Islam (Analisis Putusan PTUN
No.121/G/2013/PTUN Jakarta) tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberi
gambaran umum mengenai tindak pidana kelalaian seorang dokter dalam saat
melakukan tugas ditinjau dari hukum positif dan hukum Islam berdasarkan analisis
putusan PTUN yang telah disebutkan diatas.

Penelitian (Skripsi) yang disusun oleh Reza Alfatah yang berjudul Tinjauan
Hukum Pidana Islam Terhadap Kelalaian Pengemudi Yang Menyebabkan
Orang Lain Meninggal Dunia, Luka Berat, Luka Ringan Dan Kerusakan
Barang (Analisis Putusan Nomor: 589/Pid.Sus/ 2015/ Pn.Bil tujuan dari
penelitian ini adalah membahas bagaimana penerapan pasal 310 dalam UU No. 22
tahun 2009 terhadap kelalain dalam berkendara yang merugikan orang lain, dan
bagaimana tinjaun dari hukum pidana Islam mengenai permasalahan tersebut.

Penelitian (Jurnal) yang disusun oleh Gratianus Prikasetya Putra yang berjudul
Kajian Atas Pertanggungjawaban Perbuatan Melawan Hukum Yang
Dilakukan Oleh Hewan Berdasarkan Hukum Indonesia Dan Hukum Jerman
tujuan dari penelitian ini adalah membahas mengenai bagaimana teori Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) dan pertanggungjawabannya berdasarkan sebuah kasus
7

yang dibahas dalam sistem Hukum Perdata di Indonesia maupun di Jerman dengan
melakukan komprasi diantara keduanya.

Berdasarkan literatur di atas, penulis melihat hingga saat ini belum ditemukan
karya ilmiah yang membahas secara khusus tinjauan dalam dua aspek hukum baik
hukum positif dan hukum Islam terkait ganti kerugian dan pertanggungjawaban
pidana atas kelalaian yang dimana objeknya adalah mengenai kepemilikan hewan
peliharaan yang merugikan orang lain. Adapun juga pentingnya peninjauan dari dua
aspek hukum ini sangat dibutuhkan melihat mayoritas masyarakat indonesia adalah
umat islam dan melalui pendekatan agama memungkinkan lebih mudahnya
diterima sebuah hukum.

E. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-masalah yang ada pada penyusunan skripsi ini,


diperlukan suatu penelitian untuk memperoleh data yang berhubungan dengan
masalah yang akan diteliti dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas dan
akurat. Pencarian yang dimaksud dalam hal ini tentunya pencarian yang akan
dipakai untuk menjawab permasalahan tertentu.4 Terdapat beberapa metode yang
penulis gunakan diantaranya:

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis metode penelitian Kualitatif


adalah metode penelitian yang menekankan pada aspek suatu pemahaman secara
mendalam terhadap masalah yang diteliti.5 di mana penelitian ini dilakukan dengan
cara mempelajari dan meneliti bahan kepustakaan seperti Undang-Undang, fatwa
dan kitab-kitab fikih yang terkait dengan masalah yang dibahas. Maka penelitian
ini penulis mengkaji mengenai ganti kerugian dan pertanggungjawaban pidana atas

4
Faisal Ananda Arfa dan Watni Marpaung, Metode Penelitian Hukum Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 12.
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Persada Group, 2008), h.,
23.
8

pemilik hewan yang lalai dan menyebabkan korban luka-luka dengan


menghubungkan undang-undang dan hukum Islam yang mengaturnya.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis


normatif. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian yang meletakan
hukum sebagai sebuah bagunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas, norma, kaidah dan peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, perjanjian serta doktrin-doktrin (ajaran). Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Fahmi Ahmadi dan Jaenal Aripin dalam bukunya yang berjudul “Metode
Penelitian Hukum” bahwa pada penelitian hukum normatif, peraturan perundang-
undangan yang menjadi objek penelitian menjadi sumber data primer dalam
penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengumpulan
bahan-bahan baik yang terpublikasikan atau tidak, yang berkenaan dengan bahan
hukum positif yang dikaji.6

3. Sumber Data

Data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi tiga


bagian, yaitu7:

a. Bahan Hukum Primer yaitu ketentuan undang-undang dan hukum Islam


yang mengatur terkait masalah pembahasan mengenai ganti kerugian dan
pertanggungjawaban pidana atas kelalaian kepemilikan hewan terhadap
putusan nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini yang menjadi bahan hukum
sekunder antara lain: seperti buku-buku, jurnal dan majalah, maupun

6
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 38.
7
Soerjono Soekanto, Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali,
1986), h. 14.
9

catatan pribadi8 yaitu yang berhubungan dengan pertanggungjawaban


pidana.
c. Bahan Tersier, yaitu data penunjang yang dapat memberi petunjuk dan
penjelasan terhadap sumber data primer dan sekunder, diantaranya kamus
dan ensiklopedia.9
4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data


penelitian studi kepustakaan (library research) dan literatur yang ada relevansinya
dengan judul.10 Teknik pengambilan studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan
guna mengeksplorasi teori-teori mengenai pertanggungjawaban pidana bagi
pemilik hewan yang melakukan penyerangan dan menyebabkan korban luka-luka
sampai dengan korban jiwa.

5. Analisis Data

Metode analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan di interpretasikan, atau mudah dipahami dan di
informasikan kepada orang lain.11 Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analisis komparatif, yaitu melakukan komparasi antara
hukum positif dan hukum Islam mengenai pertanggungjawaban pidana.

6. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.

8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), h. 12.
9
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h., 114.
10
Jaenal aripin, dkk. Penelitian Hukum. (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010), h 17.
11
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h., 244.
10

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah memahami isi skripsi dan mencapai sasaran seperti yang
diharapkan, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab yang masing-
masing bab terdiri dari sub bab. Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”. Adapun sistematika peembahasannya sebagai
berikut:

BAB I: Berupa pendahuluan, di dalam bab ini akan diuraikan pokok-pokok


pikiran yang melatar belakangi penelitian ini, yang diorganisir
menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II: Berjudul “Pertanggungjawaban Perbuatan Melawan Hukum Atas
Kelalaian Kepemilikan Hewan Peliharaan” yang Terdiri dari 4
(empat) sub pembahasan, yaitu: Kepemilikan Hewan Peliharaan,
Tinda Pidana Kelalaian, Teori Pertanggungjawaban, dan Teori
Perbuatan Melawan Hukum
BAB III: Berjudul “Kelalaian Kepemilikan Hewan dalam Putusan Nomor
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd” bab ini menjelaskan kepada pembaca
mengenai kasus fenomena kelalaian kepemilikan hewan peliharaan
pada putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd yang terdiri dari:
Duduk Perkara, Pertimbangan Hakim, dan Putusan Hakim.
BAB IV. Penulis memberikan pemaparan hasil penelitian penulis mengenai
analisis pertanggungjawaban perdata dan pidana kelalaian bagi
pemilik hewan peliharaan yang melakukan penyerangan dan
menyebabkan korban luka berat dalam persepketif hukum positif
dan hukum Islam. Dalam Bab ini akan dibagi menjadi tiga sub bab
yaitu merupakan analisis dalam hukum perdata, analisis dalam
hukum pidana, dan analisis dalam perspektif hukum Islam.
11

BAB V. Merupakan penutup yang memuat kesimpulan dan saran, pada


bagian bab ini menguraikan tentang jawaban ringkas pokok
permasalahan yang dihasilkan yang terangkum dalam suatu
kesimpulan dan dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas temuan
penelitian.
BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS


KELALIAN KEPEMILIKAN HEWAN

A. Fenomena Kepemilikan Hewan Peliharaan

Memiliki hewan peliharaan di zaman modern seperti ini, sudah jamak ditemui.
Selain sebagai hiburan pelepas penat, hewan peliharaan juga bisa dijadikan teman
untuk bercengkrama bahkan diajak bicara, sehingga pemiliknya tidak merasa
sendirian. Peneliti dari Universitas Miami mengatakan, memiliki hewan peliharaan
bisa membuat anda lebih percaya diri, lebih fit, tidak merasa sendiri, lebih teliti,
dan tidak mudah takut ketimbang orang yang tidak memiliki hewan peliharaan.12

Hewan Peliharaan adalah makhluk hidup yang masih memerlukan perhatian


khusus dari sang pemilik baik itu secara tempat tinggal, makanan, atau pengajaran.
Kita sebagai pemilik hewan peliharaan tersebut pasti memiliki rasa cemas serta
takut apabila sewaktu-waktu peliharaan kita tersebut mencelakai orang lain.13

Ketentuan mengenai kewajiban atau tanggung jawab pidana pemilik hewan


peliharaan jika hewan yang peliharanya merugikan orang lain yang diatur didalam
Pasal 490 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi “Diancam dengan
pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus
rupiah”:

1. Barang siapa menghasut hewan terhadap orang atau terhadap hewan yang
sedang ditunggangi, atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau
sedang memikul muatan;
2. Barang siapa tidak mencegah hewan yang ada di bawah penjagaannya,
bilamana hewan itu menyerang orang atau hewan yang lagi ditunggangi,
atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan;

12
https://www.validnews.id/Hewan-Peliharan-Makin-Marak--Bisnis-Sampingan-
Merebak-uXD Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 09.30.
13
https://yuridis.id/akibat-hukum-terhadap-kelalaian-menjaga-hewan-peliharaan-yang-
mengotori-halaman-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 10.00.

12
13

3. Barang siapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada di bawah
penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian;
4. Barang siapa memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan
kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati
peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.

Kewajiban pemilik hewan peliharaan untuk bertanggung jawab atas kerugian


yang disebabkan oleh hewan peliharaannya itu juga diatur dalam Pasal 1368 KUHP
Perdata yang berbunyi:14 Pemilik binatang, atau siapa yang memakainya, selama
binatang itu dipakainya, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya maupun binatang
tersebut tersesat atau terlepas dari pengawasannya. Penggunaan pasal-pasal ini
dapat digunakan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang
lain dalam bentuk serangan yang dilakukan oleh hewan peliharaan.

B. Kelalaian
a. Ketentuan Tindak Kelalaian Dalam Hukum Positif
Kelalaian adalah bentuk yang masih dapat dibilang ringan dari bentuk tindakan
yang dilakukan dengan unsur kesengajaan. Itulah sebabnya tindakan atau pekerjaan
seseorang yang melangggar norma yang dimana dilakukan dengan dasar kelalaian
dalam sanksi dan ancaman hukum yang diberikan terhadap seseorang tersebut lebih
ringan.15
Moeljatno menjelaskan mengenai kelalaian ialah suatu struktur yang sangat
geocompliceerd, dimana yang satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan
seseorang secara lahiriah, dan sisi yang lain mengarah kepada keadaan batin
seseorang. Dengan demikian, maka di dalam kelalaian terkandung makna kesalahan
dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara
kesengajaan dan kelalaian, dimana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat positif,

14
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52c72fff1e4d6/langkah-hukum-
jika-diserang-anjing-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 16.30.
15
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
cet, Ke-IV, h., 25.
14

yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan
yang dilarang, dan dalam kelalaian sifat positif ini tidak ditemukan.16
Sedangkan menurut Menurut D. Simons menerangkan bahwa kelalaian
terdapat dalam dua bagian, yaitu adalah tidak berhati-hatinya seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan atau terjadi kealpaan padahal si pelaku tersebut sudah
mengetahui terlebih dahulu bahwa perbuatan itu mungkin akan ada timbulnya suatu
dampak yang dimana dilarang oleh Undang-undang. Kelalaian akan ada jika
seseorang tetap melakukan perbuatan tersebut meskipun ia telah menduga
dampaknya. Dan menduganya itu adalah suatu syarat mutlak ia telah melakukan
kelalaian, lain halnya dengan suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu
tidak dapat di pertanggungjawabakan kepadanya sebagai kelalaian.17
Kelalaian (culpa) menurut Mahrus Ali di bagi atas dua jenis, yaitu:
1. Kelalaian dengan kesadaran (beuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku telah
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat dari
tindakannya, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegahnya, tetap saja
akibat tersebut terjadi.
2. Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku
tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia
seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.

Sedangkan, menurut Frans Maramis membagi kelalaian dalam dua bentuk,


yaitu:

1. Kelalaian Berat (Culpa Lata) Dalam kelalaian berat ini ilmu hukum pidana
maupun yurisprudensi menerangkan bahwa hanya kelalaian berat yang
dapat dipidana karena sebagai kejahatan.

16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2008). h., 217.
17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2003), h., 72.
15

2. Kelalaian Ringan (Culpa Levis) Dalam kealpaan ini karena sifatnya ringan
dan terdapat pandangan bahwa Culpa Levis oleh Undang-undang tidak
diperhatikan sehingga tidak diancam pidana.

Pada permasalahan yang penulis angkat ini yang dihukum itu bukan caranya
orang tersebut berbuat, akan tetapi kelalaiannya yang menyebabkan bahwa akibat
itu (delik culpa). Jadi termasuk apa yang disebut “materieel delict” yaitu bahwa
tindak pidana itu baru lengkap apabila terjadi akibatnya.18 Yang merupakan
materinya ialah kematian atau orang mendapat luka berat, yang menyebabkan ia
menjadi sakit atau tidak dapat bekerja lagi.

Membahas mengenai tindakan yang menyebabkan mati atau luka-luka karena


kealpaan. Hal ini diatur pada bab XXI KUHP hanya berisi tiga pasal, yaitu pasal
359, 360, dan 361. Akan tetapi, yang berisi rumusan delik hanya dua pasal, yaitu
pasal 359 dan 360. Pertama, karena kelalaian (kesalahan) menyebabkan orang lain
mati dan yang kedua karena kelalaian menyebabkan orang luka-luka. Pasal 361
hanya berisi mengenai pemberatan pidana jika perbuatan itu dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian dan pidana tambahan berupa
pencabutan hak dan pengumuman putusan hakim.19

Dalam pembahasan ini penulis lebih memusatkan mengenai ketentuan kepada


tindak pidana kelalaian yang menyebabkan korban luka-luka yaitu hanya ada satu
ketentuan mengenai kejahatan terhadap tubuh dengan tidak sengaja yaitu dimuat
dalam pasal 360 KUHP:

1. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya), menyebabkan orang lain


mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
2. Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya), menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian sehingga timbul penyakit atau halangan menjalakan

18
Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, h., 141.
19
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di di dalam KUHP (Jakarta:
Sinar Grafika, 2016, Cet. Kedua) h., 198.
16

pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu diancam dengan


pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama
enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Berdasarkan pada pasal 360 KUHP Dalam rumusannya tersebut pada ayat (1)
terdapa unsur-unsur yakni: Adanya perbuatan, karena kesalahannya (kelalaiannya),
dan menimbulkan akibat dengan adanya korban luka-luka berat. Sedangkan, dalam
ayat ke (2), terdapat unsur-unsur yang kurang lebihnya sama seperti dengan ayat ke
(1) ialah sebagai berikut: Adanya perbuatan, karena kesalahannya (kelalaiannya),
dan menimbulkan akibat dimana korban mengalami luka-luka tetapi lebih
khususnya pada ayat ke (2) yang dimana menimbulkan penyakit halangan sehingga
dimana korban tidak dapat menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama
waktu tertentu.20

Rumusan delik ini sama dengan yang tercantum dalam pasal 359 KUHP, yaitu
ada kelalaian (kesalahan) yang harus dibuktikan. Perbedaannya, ialah akibat yang
terjadi bukan sampai menyebabkan kematian orang lain, tetapi luka-luka berat.
Luka berat diinterpretasi secara otentik dalam pasal 90 KUHP. Luka berat yang
berarti:21 dimana orang tersebut atau korban mengalami jatuh sakit atau mendapat
luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan
bahaya, seseorang tidak mampu terus-menerus untuk mejalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian, seseorang kehilangan salah satu pancaindera, mendapat cacat
berat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih,
dan gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Kesimpulannya, yang menjadi subjek dalam pasal ini adalah “barangsiapa”,


yaitu dimaksud kepada setiap individu atau seseorang yang melakukan suatu
perbuatan tertentu. Bagian dari inti deliknya adalah karena kelalaian (kesalahan)
seseorang dari perbuatannya tersebut menyebabkan orang lain luka berat. Ancaman
pidana ataupun sanksi yang diberikan kepada seseorang tersebut adalah pidana

20
Ismu Gunandi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (Jakarta:
Kencana, 2014), h., 104.
21
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di di dalam KUHP (Jakarta:
Sinar Grafika, 2016, Cet. Kedua) h., 200.
17

penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun pada ayat (1),
dan pidana paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah jika sampai menyebabkan orang
yang menjadi korban jadi terhalang menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian
selama waktu tertentu pada ayat (2).

b. Kentuan Tindak Kelalaian Dalam Hukum Islam


Kelalaian dalam hukum Islam disebut dengan kesalahan (Khata). Kelalaian
menurut Abdul Qadir Audah adalah seseorang yang melakukan sesuatu perbuatan
tanpa adanya maksud untuk melakukan penghilangan nyawa terhadap seseorang,
akan tetapi dengan sebab perbuatannya mengakibatkan matinya atau luka-lukanya
orang lain. Sedangkan, Imam Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyah
mengartikan kata khata sebagai seuatu perbuatan yang menyebabkan kematian
seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan.
Sedangkan kelalaian dalam hukum pidana Islam dalam penelitian ini penulis
kaitkan dengan niat pelaku dalam melakukan tindak pidana. Dilihat dari niatnya
tindak pidana terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Tindak pidana disengaja (Jara’im maqsudah) artinya si pelaku dengan
sengaja melakukan perbuatannya serta mengetahui perbuatan itu dilarang.
2. Tidak sengaja (Jara’im gair maqsudah) artinya si pelaku tidak sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatannya tersebut terjadi
akibat kekeliruan. Dan dalam kekeliruan ini ada dua macam:
a. Pelaku dengan sengaja melakukan suatu tindakan yang berpotensi
terjadinya tindak pidana, tetapi ia tidak berniat melakuak tindak pidana
tersebut. Kekeliruan juga terdapat pada dugaan pelaku, pelaku
bermaksud melakukan sebuah perbuatan, tetapi sama sekali tidak
berniat melakukan tindak pidana. Kekeliruan pada perbuatan dan
sangkaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana.
b. Pelaku tidak bermaksud melakukan suatu perbuatan dan tidak berniat
melakukan suatu tindak pidana, tetapi perbuatan tindak pidana yang
terjadi diakibatkan oleh kelalauan atau kekurang hati-hatiannya. Seperti
orang yang sedang tidur disebuah kasur dan terjatuh mengenai orang
18

lain yang tidur dibawahnya sehingga orang tersebut tertimpa kemudian


meninggal dunia.

Sangat penting adanya pembagian tindak pidana seperti di atas, dimana untuk
membedakan sanksi pada pelaku tindak pidana yang dilakukan secara sengaja dan
tidak sengaja. Dalam tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja menunjukan
adanya unsur kesengajaan untuk melakukan tindak pidana dan sedangkan pada
tindak pidana tidak sengaja, kecenderungan berbuat salah tidak ada. Inilah yang
menyebabkan hukumannya berbeda dimana tindak pidana dengan usnur sengaja
hukumannya lebih berat daripada tindak pidana yang dilakukan dengan usnur
ketidaksengajaan, hukuman tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku jika unsur
kesengajaan tidak terbukti, sedangkan pada tindak pidana tidak sengaja, hukuman
yang diberikan hanya karena kelalaian dan ketidak hati-hatiannya saja.22

Menghubungkan dari permasalahan yang penulis teliti mengenai tindak pidana


kelalaian pemilik hewan yang menyebabkan korban luka-luka dan setelah
mengamatinya, dalam konteks ketentuan hukum Islam penulis menghubungkannya
kepada tindak pindana atas selain jiwa yang dilakukan karna unsur ketidak
sengajaan. Sebelum itu, penulis akan membahas terlebih dahulu apa itu tindak
pidana selain jiwa dan seperti apa ketentuan hukum dari tindak pidana atas selain
jiwa karna usur ketidak sengajaan atau kelalaian tersebut.

1. Pengertian Tindak Pidana Atas Selain Jiwa

ْ َّ َ ُ َ َ َ ُ َ َ
Istilah tindak pidana atas selain jiwa )‫س‬ِ ‫انلف‬ ‫جنا ية لَع ما د و ن‬
ِ ( Adapun

yang dimaksud mengenai tindak pidana atas selain jiwa menurut Abdul Qadir
Audah adalah bahwa setiap perbuatan yang menyakiti orang lain dan mengenai
badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya orang tersebut. Pengertian
ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, menurutnya
bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap perbuatan atau tindakan yang

22
Abdul Qadir Audah, At-Tassyri’ al-Jina’i al-Islamy, juz I (t.tp: Muassasah Ar-Risalah,
t.t), Hal. 105.
19

melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan,
pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih
tetap tidak terganggu.23

Dengan demikian yang termasuk dalam pengertian perbuatan menyakiti adalah


setiap jenis pelanggaran yang bersifat menyakiti atau merusak anggota badan
manusia, seperti pelukaan, pemukulan, pencekikan, pemotongan dan
penempelengan. Oleh karena sasaran tindak pidana ini adalah badan atau jasmani
maka perbuatan yang menyakiti perasaan orang tidak termasuk dalam definisi di
atas, karena bukan jasmani dan sifatnya abstrak, tidak konkret.

2. Pembagian Tindak Pidana Atas Selain Jiwa


Ada dua klasifikasi dalam menentukan pembagian tindak pidana atas selain
jiwa ini, yaitu:
a. Ditinjau dari segi niatnya

Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana dalam kategori ini dapat dibagi
kepada dua bagian:

1) Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Pengertian tindak pidana
atas selain jiwa dengan sengaja, seperti dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah adalah di mana pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan
dengan maksud melawan hukum. Dalam artian pelaku dengan sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya
perbuatannya itu mengenai atau menyakiti orang lain. Sebagai contoh,
seperti seseorang yang dengan sengaja melempar orang lain dengan
batu, dengan maksud supaya batu itu mengenai badan atau kepalanya.
2) Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja. Pengertian tindak
pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau karena kesalahan
adalah suatu perbuatan di mana pelaku sengaja melakukan suatu
perbuatan, tetapi tidak ada maksud melawan hukum. Dalam artian
pelaku memang sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan

23
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 179.
20

tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengenai atau menyakiti


orang lain. Namun kenyataannya memang adanya korban yang terkena
oleh perbuatannya tersebut. Sebagai contoh, seseorang yang
melemparkan batu dengan maksud untuk membuangnya, namun karena
kurang hati-hati batu tersebut mengenai orang yang lewat dan
melukainya.24

Pembagian sengaja dan tidak sengaja (al-khata) dalam tindak pidana atas
selain jiwa, masih dipersilisihkan oleh para fuqaha. Seperti halnya dalam
tindak pidana atas jiwa, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam
tindak pidana atas selain jiwa juga ada pembagian yang ketiga, yaitu syibhul
‘amd atau menyerupai sengaja. Contohnya, seperti seseorang yang
menempeleng muka orang lain dengan tempelengan yang ringan, tetapi
kemudian terjadi pelukaan dan pendarahan. Contoh kasus semacam ini
menurut mereka tidak termasuk sengaja, melainkan menyerupai sengaja,
karena alat yang digunakan, yaitu tempelengan ringan, pada galibnya tidak
akan menimbulkan pelukaan atau pendarahan. Namun dalam segi hukumnya
mereka menyamakan dengan tidak sengaja (al-khata).

Walaupun perbuatan sengaja dengan kekeliruan, baik dalam subtansi


perbuatannya maupun dalam hukumnya, namun dalam kebanyakan hukum dan
ketentuannya, keduanya kadang-kadang sama. Oleh karena itu, dalam
pembahasannya, para fuqaha menggabungkannya sekaligus. Hal ini karena
dalam tindak pidana atas selain jiwa, yang dilihat adalah objek atau sasarannya,
serta akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.

b. Ditinjau dari segi objek/sasarannya


Ditinjau dari objek atau sasarannya, tindak pidana atas selain jiwa, baik
sengaja maupun tidak sengaja dapat dibagi kepada lima bagian:
1) Penganiayaan atas anggota badan dan semacamnya. sebuah tindakan
perusakan terhadap anggota badan dan anggota lain yang disertakan

24
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 180.
21

dengan anggota badan, baik berupa pemotongan maupun pelukaan.


Dalam kelompok ini termasuk pemotongan tangan, kaki, jari, kuku,
hidung, zakar, biji pelir, telinga, bibir, pencongkelan mata, merontokkan
gigi, pemotongan rambut, alis, bulu mata, jenggot, kumis, bibir
kemaluan perempuanm dan lidah.25
2) Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih tetap
utuh. tindakan yang merusak manfaat dari anggota badan, sedangkan
jenis anggota badannya masih utuh. Dengan demikian, apabila anggota
badannya hilang atau rusak, sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka
perbuatannya termasuk dalam kelompok pertama, yaitu perusakan
anggota badan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah
menghilangkan daya pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan
lidah, kemampuan berbicara, bersetubuh, dan lain-lain.
3) Asy-Syajjaj, ialah pelukaan khusus pada bagian muka dan kepala. Imam
Abu Hanifah berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada bagian
muka dan kepala, tetapi khusus di bagian-bagian tulang saja, seperti
dahi. Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk syajjaj,
tetapi ulama yang lain berpendapat bahwa syajjaj adalah pelukaan pada
bagian muka dan kepala secara mutlak.
4) Al-Jirah Merupakan pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala,
dan athraf. Anggota badan yang pelukaannya termasuk jirah ini
meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul.
5) Tindakan selain yang telah disebutkan di atas. Merupakan setiap
tindakan pelangaran, atau menyakiti yang tidak sampai merusak athraf
atau menghilangkan manfaatnya, dan tidak pula menimbulkan luka
syajjaj atau jirah. Contohnya, seperti pemukullan pada bagian muka,
tangan, kaki, atau badan, tetapi tidak sampai menimbulkan atau
mengakibatkan luka, melainkan hanya memar atau terasa sakit. Namun
Hanafiyah pada bagian kelima ini tidak memasukan ini kedalam

25
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 181.
22

pendapatnya, karena menurut mereka ini adalah tindakan yang tidak


menyebabkan seseorang luka parah dan menghilangkan manfaatnya,
sehingga oleh karenanya mungkin lebih tepat untuk dimasukkan pada
ta’zir.26
3. Hukuman Atau Sanksi Tindak Pidana Atas Selain Jiwa Prespektif Hukum
Islam

Hukuman untuk pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada tiga bagian,
pengelompokan hukuman dengan sengaja, menyerupai sengaja, dan kesalahan.
sebenarnya tidak begitu penting, karena dalam tindak pidana atas selain jiwa ini
realisasi dan penerepan hukuman didasarkan atas berat ringannya akibat yang
menimpa sasaran atau objek tindak pidana, bukan kepada niat pelaku. Hukuman
untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang ditimbulkan,
baik perbuatannya dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.27

Perbedaan yang mecolok dalam tindak pidana atas selain jiwa ini adalah dalam
hukuman pokoknya. Dalam tindak pidana atas selain jiwa dalam unsur kesengajaan
hukumannya adalah qishash atau hukuman pengganti irsy. Sedangkan dalam tindak
yang dengan unsur menyerupai sengaja dan kekeliruan, hukuman pokoknya adalah
diat atau irsy.

a. Qishash

Secara literal, qishash merupakan kata turunan dari qashsha-yaqushshu-


qashshan wa qashashan yang berarti menggunting, mendekati, meceritakan,
mengikuti (jejaknya), dan membalas (Munawwir 1984, hlm. 1210).

Dalam Al-Qur’an terdapat makna qishash sebagai “mengintai atau mengikuti


jejak arah yang tidak diketahui oleh yang diikuti”. Seperti dalam firman Allah:

َ ُُ َۡ َ ۡ َُ ُُ َ ۡ َ ُ ََ ُ ُۡ ۡ َ ََ
)١١( ‫ب وهم َل يشعرون‬ٖ ‫وقالت ِِلختِهِۦ ق ِصيهِِۖ فبُصت بِهِۦ عن جن‬

26
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 183.
27
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 184.
23

Artinya: “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan:
"Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak
mengetahuinya.” (Qs. Al- Qasash: 11)

Adapun menurut istilah sebagaimana menurut Ibnu Manzur di dalam Lisan al-
Arab yang dimaksud qishash adalah suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara
mengikuti bentul tindak pidana yang dilakukan seperti membunuh dibalas dengan
membunuh. Sedangkan al-Dhahar mengartikan bahwa qishash adalah menghukum
tindak kriminal yang melakukannya dengan sengaja, seperti pembunuhan, melukai
atau memotong anggota tubuh dan semisalnya, dengan hukuman yang sama dengan
tindak kriminalnya.28

Dasar hukum qishash:

ۡ ۡ ُ ۡ ‫ٱۡل ُّر ب‬
ُ ۡ ِۖ ‫اص ِِف ۡٱل َق ۡت ََل‬
ُ ‫ك ُم ۡٱلق َص‬ُ ۡ َ َ َ ُ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
‫ٱۡل ِر َوٱل َع ۡب ُد بِٱل َع ۡب ِد‬ ِ ِ ‫يأيها ٱَّلِين ءامنوا كتِب علي‬
ٰ َ ۡ ۡ َ ٌَََٓ ُ ۡ َ ۡ ُۢ ُ َ َ ٞ ۡ َ َ ۡ َُ ُ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ُ ۡ َ
‫وف وأداء إَِلهِ بِإِحس ٖن‬ ِ ‫ِف َلۥ مِن أخِيهِ َشء فٱت ِباع بِٱلمعر‬ َ ِ ‫نَث ٰۚ فمن ع‬
ٰ ‫نَث بِٱِل‬
ٰ ‫وٱِل‬
َ ٌ َ َ ََُ َ َ َ َۡ ََۡ ٞ ۡ َ َ َٰ
ٞ
)١٧٨( ‫ى بعد ذٰل ِك فلهۥ عذاب أ َِلم‬ ٰ ‫ َف َمن ٱعتد‬ٞۗ ٞ‫ۡحة‬
َ ۡ ‫ك ۡم َو َر‬ُ َّ
‫ب‬ ‫ر‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫يف‬ ِ‫ذل ِك َتف‬
ِ ِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-
Baqarah 178 dalam Al-Qurtuby 2006, hlm. 89).

Menurut Al-Jazairi, Surat Al-Baqarah ayat 178 ini mengandung dua fungsi:

28
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 28-29.
24

1) Fungsi sosial, yaitu usaha membasmi kembalinya penjahat kepada


kejahatannya, ancaman, memperbaiki, dan mencegah orang lain ke dalam
perbuatan pembunuhan tersebut.
2) Fungsi moral, yaitu kepuasan perasaan orang banyak untuk menjamin rasa
ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat. (Al-Jazairi 1964, hlm.
443).29

Hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan atau gugur karena beberapa sebab
dan sebab itu dibagi dalam dua bagian yaitu bersifat umum dan bersifat khusus.

1) Sebab terhalangnya qishash yang bersifat umum


a) Korban merupakan bagian dari pelaku
b) Tidak ada keseimbangan antara korban dengan pelaku
c) Perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang menyerupai
sengaja (Syibhul ‘amd)
d) Tindak pidana terjadi di Dar Al-Harb
e) Perbuatan dilakukan secara tidak langsung (Tasabub)
f) Qishash tidak mungkin dilaksanakan
2) Sebab terhalangnya qishash yang khusus
a) Qishash tidak mungkin dilaksanakan tanpa kelebihan
b) Tidak ada kesepadanan (mumatsalah) dalam objek qishash.
c) Tidak sama dalam kesehatan (kualitas) dan kesempurnaan.

Pelaksanaan Hukuman Qishash:

1) Mustahik Qishash, Orang yang berhak terhadap qishash dalam tindak


pidana atas selain jiwa adalah korban itu sendiri, bukan orang lain.
2) Eksekusi Qishash, Dilakukan pelaksanaan di hadapan penguasa atau
dibawah pengawasannya. Eksekusi harus dilakukan dengan cara yang
paling mudah dan ringan, sehingga seolah-olah terhukum tidak merasa sakit
dan tersiksa.30

29
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 34.
30
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 192.
25

b. Diyat

Kata diyat secara terminologi berasal dari kata wada-yadi-wadayan-diyatan


yang berarti mengalir. Akan tetapi, jika yang digunakan adalah masdar (diyat)
berarti membayar harta tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan
sebab tindak pidana penganiayaan (jinayat).

Sedangkan diyat secara terminolgi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan
diberikan oleh pelaku jinayat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi,
disebabkan jinayat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban.31

Dasar hukum diyat adalah

ٞ َۡ َ َ َٰ ۡ َ ََٓ ۡ ۡ ُ َ ۡ َ َ َ ُ ۡ ََ
‫س ٖن ذٰل ِك َتفِيف‬ ِ ‫ فٱت َِباع ُۢ بِٱل َمع ُر‬ٞ ‫َشء‬
‫وف َوأدا ٌء إ ِ َۡلهِ بِإِح‬ ِ‫ِف َُلۥ م ِۡن أخِيه‬
َ ِ ‫ فمن ع‬....
َ ٌ َ َ ََُ َ َ َ َۡ ََۡ
ٞ ٰ ‫ َف َمن ٱعتد‬ٞۗ ٞ‫ۡحة‬
)١٧٨( ‫ى بعد ذٰل ِك فلهۥ عذاب أ َِلم‬ َ ۡ ‫ك ۡم َو َر‬
ُ َّ
ِ ِ ‫مِن رب‬

Artinya: “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,


hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah 178 dalam Al-Qurtuby 2006, hlm. 89).

Ayat ini menerangkan bahwa jika dimaafkan oleh karena keluarga korban,
pembunuh hendak membayar diyat dengan cara yang baik sebagaimana telah
dimaafkan dengan baik.32

31
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 54-55.
32
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 56.
26

َ‫ير َر َق َبة ُّم ۡؤمِنة‬


ُ ۡ َ َ َ َ ً ۡ ُ َ َ َ َ َ َ َ َّ ً ۡ ُ َ ُ ۡ َ َ ۡ ُ َ َ َ َ
ٖ ٖ ‫وما َكن ل ِمؤم ٍِن أن يقتل مؤمِنا إَِل خطٔاۚ ومن قتل مؤمِنا خطٔا فتح ِر‬

ُ َّ ُ َ ۡ َ
ُ ‫ِن َف َت ۡحر‬ٞ ‫ك ۡم َو ُه َو ُم ۡؤم‬ َ َ َ ْ ُ َّ َّ َ َ ٓ َّ ٓ ۡ َ َٰٓ َ ٌ َ َّ َ ُّ ٞ َ َ
‫ير‬ ِ ‫ل‬ ٖ ‫و‬‫د‬‫ع‬ ‫م‬
ٍ ‫و‬ ‫ق‬ ‫ِن‬
‫م‬ ‫ن‬ ‫ودِية مسلمة إَِل أهلِهِۦ إَِل أن يصدق ۚوا فإِن َك‬
َ َ ٌ َ َّ َ ُّ ٞ َ َ ٞ َ
ُ‫َل أ ۡهلِهِۦ َو ََتۡرير‬
َٰٓ ِ ‫إ‬ ‫ة‬‫م‬‫ل‬ ‫س‬ ‫م‬ ‫ة‬‫ِي‬
‫د‬ ‫ف‬ ‫ق‬ٰ ‫ِيث‬
‫م‬ ‫م‬ ‫ه‬
ُ ََۡ َۡ
ُ ‫ك ۡم َوبَيۡ َن‬ ‫ن‬ ‫ي‬‫ب‬ ‫ِۢم‬‫و‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫م‬
ِ
َ َ
‫ن‬ ‫َك‬ ‫ِإَون‬ ‫ة‬
ِۖ
ٖ
َ ‫َر َق َبة ُّم ۡؤم‬
‫ِن‬ ٖ
ِ
َّ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ َ َ ۡ َ ۡ َّ َ َ َ ۡ ُّ َ َ َ
ُ َّ ‫ َو ََك َن‬ِٞۗ‫ٱّلل‬
ً ‫ٱّلل َعل‬
‫ِيما َحكِيما‬ ‫ۡي توبة مِن‬
ِ ‫َيد ف ِصيام شهري ِن متتابِع‬
ِ ‫رقبةٖ مؤمِنةِٖۖ فمن لم‬

)٩٢(
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An- Nisa : 92)

C. Teori Pertanggungjawaban Pidana


a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana dalam hukum positif

Pertanggungjawaban pidana atau dalam istilah lainnya disebut dengan


teorokenbaardheid atau criminal responsibility sebuah bentuk yang menjurus
kepada pemidanaan pelaku yang melakukan tindak pidana dimana dengan
mengetahui apakah seorang terdakwa atau tersangka itu dapat di mintai
pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang terjadi ataupun tidak.33 Atau

33
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangka Education Yogyakarta &
PuKAP Indonesia, 2012, Cet Pertama), h.,71.
27

menurut Romli Atmasasmita mengenai pertanggungjawaban pidana diartikan


sebagai kewajiban kepada seorang pelaku yang melakukan sebuah tindak pidana
untuk membayar pembalasan dari sebuah tindakannya yang telah menyebabkan
kerugian.34

Pertanggungjawaban pidana tidak bisa dilepaskan dari perbuatan pidana atau


tindakan yang melawan hukum, dikarenakan seseorang tidak bisa untuk dimintai
pertanggungjawaban pidana tanpa seseorang tersebut terlebih dulu melakukan
ataupun adanya keterlibatan dalam bentuk perbuatan tindak pidana. Oleh karena itu
sangat dirasa tidak adil jika terdapat seseorang yang dimintai pertanggungjawaban
pindana atas suatu tindakannya tanpa seseorang itu melakukan tindakan atau
perbuatan pidana tersebut.35

Dalam tindak pidana, pelaku dapat diberikan pidana jika telah memenuhi
unsur-unsur delik yang telah di tentukan dalam Undang-Undang. Pada pendapat
Mahrus Ali bahwa dijatuhinya pidana seseorang tidaklah cukup apabila orang itu
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Oleh karena itu meskipun perbuatan tersebut telah memenuhi dari rumusan
delik dalam Undang-Undang yang ada, tetapi hal tersebut belum bisa dalam
memenuhi penjatuhan pidana. Oleh karena itu dalam pemidanaan masih perlunya
syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan
pidana itu harus memenuhi unsur kesalahan atau dinyatakan bersalah. Seorang itu
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya jika dilihat dari sudut perbuatannya
dapat dimintai pertanggungjawaban kepada seorang tersebut.36

Dalam pertanggungjawaban pidana diperlukan adanya syarat bahwa pelaku


telah mampu untuk dimintai pertanggungjawaban. Dikatakan telah mampu dimintai
pertanggungjawabannya ialah bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tindak

34
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung Mandar Maju 2000, Cet
Keuda), h., 65.
35
Moeljatmo, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Bima Aksara,
1983), h., 25.
36
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet Pertama),
h., 155-156.
28

pidana itu mampu menilai dengan pemikirannya atau dengan perasaannya bahwa
perbuatan yang telah dilakukannya adalah perbuatan yang dilarang artinya tidak
dikehendaki oleh Undang-Undang yang berlaku karena pada dasarnya seorang
terdakwa telah dianggap mampu dimintai pertanggungjawaban kecuali dinyatakan
bahwa sebaliknya seseorang terdakwa itu tidak mampu dimintai
pertanggungjawaban.37

Menurut pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai


unsur-unsur sebagai berikut:38

1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia


menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
2. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
pendapatnya.
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.
b. Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana
Unsur-unsur yang ada di dalam sebuah pertanggungjawaban pidana terbagi
menjadi 2, yaitu:
1. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai kondisi batin
yang normal atau sehat dan mampunya akal seseorang dalam membeda-
bedakan hal-hal yang baik dan buruk, atau dengan kata lain kemampuan untuk
sadar diri apa yang telah diperbuatnya dan dengan kesalahan yang diperbuat
sifat melawan hukumnya ini seseorang ini mengetahui kehendak atau tindakan
apa yang harus dilakukannya. Dengan demikian, paling tidak ada dua faktor
yang menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan
faktor kehendak. Akal, ialah yang dapat membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang tidak, sedangkan kehendak, ialah dapat

37
Elfa Murdiana, “Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Hukum Islam dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, AL-Mawardi, XII, 1, (Februari-
Agustus 2012), h., 3.
38
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Eresko,
1986), h., 55
29

menyesuaikannya tingkah lakunya mengenai yang diperbolehkan dan yang


tidak diperbolehkan.39
Syarat-syarat pertanggungjawaban pidana menurut G.A Van Hamel adalah
sebagai berikut:40
a) Jiwa orang harus sedemikian rupa sehinga dia mengerti atau
menginsyafi nilai dari perbuatannya.
b) Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara
kemasyarakatan adalah dilarang.
c) Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.

Dari pengertian yang telah dikutip diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan bertanggungjawab adalah salah satu unsur penting dalam sebuah
pertanggungjawaban pidana.

2. Adanya Kesalahan

Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat


dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin
melakukan perbuatan tersebut.41 Seseorang dapat dikatakan mempunyai
kesalahan jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi
masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu dengan kenapa melakukan perbuatan
yang merugikan masyarakat padahal dia mampu mengetahui dari makna
perbuatan tersebut dan dapat menghindari perbuatan tersebut.42

Istilah kesalahan dapat digunakan dalam arti psikologis dan normatif.


Kesalahan psikologis adalah kesalahan dari sudut keadaan psikologis yang
sesungguhnya dari seseorang. Bagaimana keadaan psikologis sesungguhnya
dari seseorang atau apa yang sesungguhnya dipikirkannya, amat sukar untuk
diketahui, karena itu untuk penerapan hukum pidana yanh digunakan bukanlah

39
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h., 171.
40
P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya,
1997), h., 397.
41
Roelan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara
Baru, 1983, Cet. Ketiga), h., 77.
42
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kesatu),
h., 157.
30

sebuah kesalahan dalam arti psikologis, melainkan kesalahan dalam arti


normatif.

Kesalahan normatif adalah kesalahan dari sudut pandang orang lain


terhadap pelaku. Kesalahan normatif merupakan kesalahan dari sudut pandang
norma-norma hukum pidana, yaitu kesalahan dalam arti kesengajaan dan
kealpaan. Dari peristiwa konkret yang terjadi, orang lain menilai menurut
ukuran pada umumnya apakah pada pelaku terdapat kesalahan dalam arti
kesengajaan atau kealpaan.

c. Pertanggungjawaban pidana dalam hukum Islam


Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam sering disebut dengan istilah
al-masuliyah al jinayah adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan
yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui
maksud dan akibat dari perbuatannya.43 Dalam artian pembebenan itu dikarenakan
tindakan atau perbuatan yang dilakukan itu telah menimbulkan hal yang
bertentangan dalam hukum, dengan artian tindakan atau perbuatan yang dilarang
secara syariat, baik dilarang untuk melakukannya atau meninggalkannya.
Pembebanan juga dapat diberikan karena dari tindakan atau perbuatan yang
dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak dalam dirinya sendiri dan bukan
dorongan yang ditimbulkan oleh orang lain dengan secara paksa.
Hukum Islam sebagai salah satu hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat memberikan pengertian tentang pertanggungjawaban pidana, dimana
seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab:
1. Melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan perbuatan yang
diwajibkan.
2. Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri artinya ada pilihan dari
perilaku untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan perbuatan tersebut.
3. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukan.44

43
Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulang Bintang, 1967),
h., 154.
44
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam,
(Jakarta, PT Bulan Bintang, 1967, Cet. Ketiga), h., 165.
31

Maka dengan itu dapat disimpulkan bahwa dalam syariat (hukum) Islam
pertanggungjawaban itu dapat didasarkan pada tiga hal:

1. Adanya perbuatan yang dilarang


2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri
3. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan itu.

Apabila dalam ketiga hal diatas ditemukan, maka seseorang itu dapat dimintai
pertanggungjawaban karena telah melakukan perbuatan pidana, jika sebaliknya
tidak ditemukan maka tidak ada perbuatan yang dipertanggungjawabkan.45 Karena
itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak- anak
yang belum mencapai umur balig atau orang yang dipaksakan untuk melakukan
perbuatan kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya. Hal ini diterangkan
dalam dalil hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yaitu dihapuskan ketentuan
dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai
ia sembuh, dan dari anak kecil sampai dewasa.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya membebankan


kepada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum Islam juga mengampuni
anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali
jika ia telah baligh.

Prinsip dasar yang ditetapkan dalam hukum Islam adalah sesuatu yang tidak
diharamkan berarti dibolehkan, akan tetapi jika suatu perbuatan diharamkan,
hukumannya dijatuhi sejak pengharamannya diketahui. Adapun perbuatan yang
terjadi sebelum pengharaman maka ia termasuk dalam kategori pemaafan.46

45
Elfa Murdiana, “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, AL-MAWARDI, XII, 1,
(Februari-Agustus 2012), h., 8.
46
Elfa Murdiana, “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Al-Mawarid, Vol. XII, No.
1, 2012, h. 9.
32

D. Teori Perbuatan Melawan Hukum


a. Pengertian perbuatan melawan hukum

Perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum


ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca
keseimbangan dari masyarakat. Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa istilah
“onrechtmatige daad” ditafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga suatu
hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas
dalam pergaulan hidup masyarakat.47

Perbuatan melawan hukum (Onrechmatige daad) diatur dalam Pasal 1365


B.W. Pasal ini menetapkan bahwa perbuatan yang melawan hukum mewajibkan
orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul
kerugian, untuk membayar kerugian itu. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1366
KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja
untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya”.

Ketentuan pasal 1365 tersebut di atas mengatur pertanggungjawaban yang


diakibatkan oleh adanya perbuatan melanggar hukum baik karena berbuat atau
karena tidak berbuat. Sedangkan pasal 1366 KUH Perdata lebih mengarah pada
tuntutan pertanggungjawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian.
Dalam putusan Hoge Raad 1919, pengertian perbuatan melanggar hukum adalah
dalam arti luas karena tidak hanya melanggar Undang-Undang, tetapi juga
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, kesusilaan, dan kecermatan yang
harus diindahkan dalam masyarakat.48 Berdasarkan pengertian dari onrechtmatige
daad, maka “daad” (perbuatan) barulah merupakan perbuatan melawan hukum
apabila:

1. Melanggar hak orang lain


2. Bertentangan dengan dengan kewajiban hukum pelaku.

47
R. Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur 1994), hal.13
48
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 170.
33

3. Bertentangan dengan kesusilaan


4. Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam
masyarakat.
b. Unsur-unsur perbuatan melawan hukum

Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari istilah


Belanda yaitu “onrechtmatige daad”. Menurut M.A Moegni Djojodirdjo, dalam
istilah “melawan” melekat sifat aktif dan pasif, sifat aktif dapat dilihat apabila
dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada
orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas sifat
aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan sengaja diam
saja atau dengan lain perkataan apabila ia dengan sifat pasif saja sehingga
menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa harus
menggerakkan badannya. Sejalan dengan Hoffmann, Mariam Darus Badrulzaman
mengatakan bahwa syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan suatu perbuatan
melawan hukum adalah sebagai berikut:49

1. Adanya suatu perbuatan. Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh


suatu perbuatan dari si pelakunya. Perbuatan di sini meliputi perbuatan
aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif (tidak berbuat sesuatu), padahal
secara hukum orang tersebut diwajibkan untuk patuh terhadap perintah
Undang-Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.
2. Perbuatan tersebut melanggar hukum. Manakala pelaku tidak
melaksanakan apa yang diwajibkan oleh Undang-Undang, ketertiban
umum dan kesusilaan, maka perbuatan pelaku dalam hal ini dianggap
telah melanggar hukum, sehingga mempunyai konsekuensi tersendiri yang
dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan.
3. Adanya kerugian bagi korban. Akibat suatu perbuatan melanggar hukum
harus timbul adanya kerugian di pihak korban, sehingga membuktikan

49
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana Fakultas Universitas
Indonesia, 2003), hal. 53-56.
34

adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum secara luas. Kerugian


terdiri dari kerugian materiil dan immateriil.
a. Kerugian materiil adalah kerugian yang nyata-nyata diderita dan
keuntungan yang seharusnya diperoleh. Hoge Raad memutuskan,
bahwa pasal 1246 - 1248 KUH Perdata tidak langsung dapat diterapkan
untuk kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan melawan hukum, akan
tetapi penerapan secara analogis diperbolehkan. Pada umumnya si
pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian, tidak
hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, tetapi juga mengganti
keuntungan yang seharusnya diperoleh.
b. Kerugian immateriil adalah kerugian yang bersifat idiil, misalnya
ketakutan, sakit, dan kehilangan kesenangan hidup. Untuk menentukan
luasnya kerugian idiil yang diganti, pada asasnya yang dirugikan harus
sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan, jika
tidak terjadi perbuatan melawan hukum. Pihak yang dirugikan berhak
menuntut ganti rugi, tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada
waktu diajukan tuntutan, akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada
waktu yang akan datang. Namun Pihak yang dirugikan juga
berkewajiban untuk membatasi kerugian, selama hal tersebut
dimungkinkan dan selayaknya dapat diharapkan dari padanya.50
4. Adanya kesalahan. Dengan mensyaratkan adanya kesalahan dalam pasal
1365 KUH Perdata, bahwa si pelaku perbuatan melawan hukum hanya
bertanggung gugat atas kerugian yang ditimbulkannya, bilamana perbuatan
dari kerugian tersebut dapat dipersalahkan padanya. Istilah kesalahan juga
digunakan dalam arti kealpaan sebagai lawan dari kesengajaan. Untuk itu
pembuat Undang- Undang menerapkan istilah “schuld” dalam beberapa
arti yakni: 1) Pertanggungan jawab si pelaku atas perbuatan dan atas
kerugian, yang ditimbulkan atas perbuatan tersebut. kalau seseorang dapat
dipersalahkan atas kerugian yang ditimbulkannya, maka dikatakan bahwa

50
Sakkirang Sriwaty, Hukum Perdata, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal 135.
35

ia salah atau bahwa akibat yang merugikan adalah disebabkan karena


kesalahannya, 2) Kealpaan sebagai lawan dari kesengajaan. menurut pasal 1365
KUH Perdata maka apakah sesuatu perbuatan dilakukan dengan sengaja atau
dilakukan karena kealpaan, akibat hukumnya adalah sama, yakni bahwa si pelaku
tetap bertanggung jawab untuk membayar ganti kerugian atas kerugian yang
diderita oleh orang lain, yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum yang
dilakukan karena kesalahan si pelaku, dan 3) Schuld dalam arti sifat melawan
hukum. Seseorang yang telah melakukan sesuatu secara keliru sudah tentu
melakukannya karena salahnya. Maka kesalahan memperkirakan adanya
tindak tanduk yang keliru. Pasal 1365 KUH Perdata telah membedakan
secara tegas pengertian kesalahan dari pengertian perbuatan melawan
hukum. Perbuatannya adalah melawan hukum, sedangkan kesalahan hanya
pada pelakunya.51
5. Adanya hubungan kausal dapat disimpulkan dari kalimat Pasal 1365 yang
menyatakan bahwa “... perbuatan yang karena kesalahannya menimbulkan
kerugian.” Kerugian itu harus timbul sebagai akibat dari perbuatan orang
itu. Jika tidak ada perbuatan, tidak ada akibat yaitu kerugian. Untuk
mengetahui apakah suatu perbuatan adalah sebab dari suatu kerugian, perlu
diikuti teori “adequate veroorzaking” dari Von Kries. Menurut teori ini,
yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman
manusia normal menimbulkan akibat, dalam hal ini kerugian. Jadi, antara
perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan langsung.52

51
M.A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya 1982), hal 25-
26.
52
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2008), hal. 125.
BAB III

KELALAIAN KEPEMILIKAN HEWAN DALAM


(Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd.)

A. Duduk Perkara

Pada tanggal 30 Maret 2014 telah terjadi suatu peristiwa di Toko Central
Aquarium dan Petshop Manado, dimana semua bermula dari pengunjung Petshop
bernama Engelin Sumendap bersama suami bernama Steven Moniaga sedang
mencari kebutuhan binatang peliharaannya di toko yang menjual hewan peliharaan
seperti anjing dan aneka kebutuhan makanan serta keperluan hewan lainnya milik
Haryanto Christian Yang beralamat di jalan Wolter Mongisidi Nomor 28,
Kelurahan Malalayang I, Kecamatan Malalayang, Kota Manado.

Dalam proses pencarian kebutuhan tersebut Engeline melihat dan berpaspasan


dengan seekor anjing berjenis Alaskan Husky yang berkeliaran bebas tanpa diikat
atau dikarantina padahal anjing tersebut dapat dikategorikan sebagai anjing yang
berbahaya dan tidak seharusnya dilepas secara bebas tanpa pengawasan apalagi di
dalam tempat jual beli seperti toko milik Haryanto yang merupakan tempat bertemu
masyarakat umum. Pada saat Engelin mencoba mendekati anjing tersebut yang
mungkin pada saat itu akan makan namun dengan secara tiba-tiba berjenis anjing
Alaskan Husky tersebut kemudian menyerang Engelin secara tiba-tiba dikarenakan
terkejut dan merasa terganggu akan kehadirannya hingga menyebabkan dirinya
terjatuh dan bersimbah darah dan mengalami luka serius dibagian wajah, bibir dan
bagian lengan.53

Setelah peristiwa itu Engelin menjalani perawatan di Rumah Sakit Siloam


Hospital Manado, sudah seharusnya dan berhak Engelin mengklaim atau menuntut
penggantian kerugian kepada Haryanto Christian selaku pemilik toko tersebut yang
membiarkan peristiwa tersebut terjadi, padahal sudah seharusnya tergugat
mengetahui atau patut menduga bahwa anjing tersebut merupakan anjing yang

53
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 3.

37
38

berbahaya dan tidak seharusnya dilepas bebas berkeliaran di area umum, dan
ternyata sebelumnya anjing tersebut pernah mengigit orang lain juga hari sebelum
serangan terhadap Engelin sehingga sudah sepatutnya selaku pemilik Haryanto
selaku pemilik toko mengkarantina hewan tersebut.

Mengetahui bahwa adanya serangan tersebut, maka yang pada awalnya


Haryanto selaku pemilik toko mempunyai itikad baik dan menyatakan kesanggupan
untuk menaggung semua biaya pengobatan, perawatan, dan tindakan medis lainnya
di rumah sakit sampai benar-benar sembuh total.54 Namun, setelah mengetahui
perkiraan biaya tindak medik yang dikeluarkan oleh rumah sakit, maka Haryanto
secara tegas dan terang-terangan menolak untuk mengganti kerugian tersebut dan
selalu menghindar dari kewajibannya karena alasan biaya terlalu mahal dan
berdalih penyebab anjing menyerang adalah diganggu terlebih dahulu. Sehingga
korban yang harus membayar dengan biaya sendiri untuk biaya rumah sakit dan
biaya tindakan medik lainnya hingga biaya rawat jalan / biaya perawatan yang
masih harus dijalani korban untuk benar-benar pulih akibat serangan hewan
tersebut.

Suami korban yaitu Steven Moniaga yang dimana sudah berusaha dengan niat
baik untuk bertemu Haryanto selalu pemilik toko, namun niat baik suami korban
untuk bertemu dengan pemilik toko tidak disambut dengan baik, dimana Haryanto
selaku pemilik toko selalu menghindar dan tidak mau bertemu dengan suami
korban. Bahkan sampai dengan jangka waktu dimana korban telah keluar dari
rumah sakit Siloam Hospital Manado bahkan sampai akhirnya pihak korban
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Manado ternyata tidak juga
melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran ganti rugi kepada korban.

Kerugian yang dialami oleh Engelin untuk membayar biaya tindak medik
selama dirawat di Rumah Sakit SILOAM HOSPITALS MANADO akibat serangan
hewan ini total jumlahnya setelah di kalkulasi sebesar Rp. 49. 714. 455,- (Empat

54
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 4.
39

puluh sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh lima
rupiah).55

Sudah seharusnya dan sesuai berdaasarkan isi pasal 1365KUHPerdata yang


berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut” dan juga pada isi pasal 1366
KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang bertanggungjawab, bukan hanya atas
kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”.56 Dengan dasar itu Engelin
berhaknya untuk mengklaim/ menuntut ganti kerugian, karena tidak mendapat
pertanggungjawaban dari Haryanto lalu kemudian Engelin membawa perkara ini
ke Pengadilan Negeri setempat. Pengadilan menerima perkara ini dan menetapkan
para pihak sebagai Penggugat dan Tergugat dalam Putusan Pengadilan Nomor
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd.

Dalam isi utama tuntutan yang diajukan oleh Engelin selaku peggugat dan
terhadap Haryanto selaku tergugat kepada Majelis Hakim diantara lain yang berisi
adalah memohon untuk Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk
seluruhnya dengan menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan tergugat yang
menolak membayar ganti kerugian yang diderita penggugat adalah perbuatan
melawan hukum dan merugikan penggugat. Menghukum tergugat untuk membayar
ganti kerugian materiil kepada penggugat sejumlah Rp. 49. 714. 455,- (Empat puluh
sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh lima rupiah) dan
kerugian immaterial sejumlah Rp. 1.000.000.000,- (Satu milyar rupiah), dengan
total jumlah keseluruhannya adalah sebesar Rp. 1.049.714.455,- (Satu milyar empat
puluh sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh lima
rupiah)57 secara tunai setelah putusan ini diucapkan. Menghukum tergugat untuk
membayar uang paksa sebesar Rp 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) setiap harinya

55
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 6.
56
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 7.
57
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 10.
40

yang harus dibayar tergugat apabila lalai melaksanakan isi putusan dalam perkara
ini.

B. Pertimbangan Hakim

Terkait mengenai dari isi gugatan yang diajukan oleh Engelin yang selanjutnya
disebut sebagai Penggugat, terhadap Haryanto yang selanjutnya dinyatakan sebagai
Tergugat dalam gugatan yang diajukan kepada Majelis Hakim di Pengadilan Negeri
Manado. Dalam gugatannya Majelis hakim menimbang bahwa terhadap
permasalahan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum/pelanggaran hukum
yang terjadi Majelis Hakim akan mempertimbangkan berdasarkan alat bukti yang
diajukan pengggugat.58

Berdasarkan dari fakta hukum yang telah dibuktikan yang terdapat dalam
putusan tersebut dan dari keterangan dibawah sumpah sanksi-sanksi yang diajukan
penggugat maupun tergugat dipersidangan diperoleh fakta hukum yang tidak
dibantah oleh kedua belah pihak yang dimana bahwa benar pada tanggal 30 Maret
2014, Engelin (Penggugat) dan ditemani oleh suaminya datang ke Toko Aquarium
& Petshop milik Haryanto (Tergugat) yang dimana menjual hewan peliharaan
seperti anjing dan aneka kebutuhan lainnya untuk hewan peliharaan. Dimana
merupakan bahwa benar Tergugat adalah sebagai pemilik sekaligus adalah
penanggungjawab dari Toko Central Aquarium & Petshop, membenarkan juga
bahwa sewaktu Engelin ditemani suami hendak masuk kedalam toko saat itu
Engelin serta beberapa orang lainnya yang merupakan juga pengunjung melihat
adanya seekor anjing dengan ukuran cukup besar berjenis Alaskan Husky dilepas
dengan bebas berkeliaran dan tanpa diikat (dirantai dan atau dikarantina) dalam
toko milik Tergugat.

Membenarkan ketika Penggugat hendak mencari kebutuhan Penggugat,


Penggugat berpaspasan dengan anjing tersebut dan anjing Alaskan Husky milik
Tergugat tersebut menyerang Penggugat, hingga menyebabkan Penggugat terjatuh
dan bersimbah darah dan mengalami luka serius dibagian wajah, bibir dan luka pada

58
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 52.
41

bagian lengan. Bahwa benar akibat luka serius yang dialami Penggugat tersebut,
Penggugat ditemani suaminya berobat ke Rumah Sakit SILOAM HOSPITAL
Mando dan harus ditangani dengan serius sehingga menjalani rawat inap dan
operasi sejak tanggal 30 Maret 2014 sampai dengan tanggal 5 April 2014 dan
dibenarkan dengan kesaksian saksi oleh dr. Mendy Juniaty Hatibie.59

Berdarkan dari fakta yang terdapat, menurut Majelis Hakim bahwa Tergugat
yang sudah mengetahui bahwa anjing akan bersifat agresif ketika diganggu,
disentuh atau sedang makan, dimana seharusnya ketika memberi makan anjing
miliknya Tergugat seharusnya dilakukan diruangan lain yang terpisah, sehingga
tidak memungkinkan untuk bertemu/ bersentuhan dengan orang lain yang tidak
dikenalinya, supaya anjing tersebut tidak terganggung ketika sedang makan.oleh
karenanya dimana telah terbukti adanya peristiwa tersebut telah terlihat nyata
adanya ketidak hati-hatian (kelalaian) dari Tergugat yang memberi makan ditempat
yakni didalam ruangan toko milik Tergugat yang pasti dikunjungi dan dilewati oleh
pembeli atau pengunjung toko milik Tergugat, dimana hal ini, terbukti dengan ada
persitiwa Penggugat diserang oleh anjing jenis Alaskan Husky/ malamute milik
Tergugat yang ketika itu sedang atau akan makan, sehingga telah terbukti adanya
kelalaian dam kesembronoan dari Tergugat.

Tergugat konvensi bahwasannya telah terbukti melakukan kelalaian dan


kesembronoan, yang bila dihubungkan dengan ketentuan pasal 1368 KUHPerdata
yang menyatakan “bahwa pemilik binatang, atau siapa yang memakainya, selama
binatang itu dipakainya, bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh
binatang tersebut tersesat atau terlepas dari pengawasannya” dan juga pada isi
pasal 1366 KUHPerdata yang berbunyi “Setiap orang bertanggungjawab, bukan
hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya”60 maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa Tegugat konvensi selaku pemilik anjing tersebut harus
bertanggungjawab atas peristiwa tersebut, sebagaimana ketentuan pasal 1365

59
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 53.
60
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 54.
42

KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut, dengan
demikian beralasan hukum untuk mewajibkan Tergugat konvensi mengganti
kerugian berupa biaya perawatan dan pengobatan akibat serangan anjing milik
Tergugat terhadap Penggugat konvensi.Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
penolakan dari Tergugat konvensi untuk bertanggungjawab atas peristiwa tersebut
sebagaimana dalil jawabannya haruslah ditolak, sehingga beralasan hukum bagi
Majelis Hakim untuk mengabulkan petitum gugatan Penggugat konvensi pada point
4 dan 5.61

Selanjutnya mengenai kerugian yang telah terjadi dari persitiwa ini Majelis
Hakim telah menimbang bahwa apakah Tergugat konvensi berkewajiban untuk
membayar seluruh kerugian Penggugat konvensi berupa biaya perawatan dan
pengobatan yang diderita Penggugat konvensi yaitu sebesar Rp. 49.714.455,-
(Empat puluh sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh
lima rupiah), dimana Tergugat konvensi menolak untuk membayar seluruh biaya
perawatan dan pengobatan Penggugat sejumlah tersebut, menurut Majelis Hakim
undang-undang tidak membedakan antara kewajiban mengganti kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan melawan hukum karena kesengajaan atau kelalaian/
kesembronoan, sehingga Tergugat konvensi haruslah dihukum untuk membayar
seluruh biaya perawatan dan pengobatan Penggugat konvensi.62

Berdasarkan bukti surat yang telah dilampirkan dan dikonfrimasi


kebenarannya yang terdiri dari P.1 sampai P.11, maka Tergugat konvensi haruslah
dihukum untuk membayar ganti kerugian materil kepada Penggugat konvensi
sebesar RP. 42.988.645,- (Empat puluh dua juta sembilan ratus delapan puluh
delapan ribu enam ratus empat puluh lima rupiah) terhitung sejak putusan ini
berkekuatan hukum tetap.63

61
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 54.
62
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 55.
63
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 57.
43

Penggugat konvensi dalam posita gugatannya telah pula mendalilkan adanya


kerugian immateriil yang diderita Penggugat konvensi akibat perbuatan Tergugat
konvensi sebagaimana didalilkan dalam gugatan a quo sesungguhnya tidak dapat
dinilai dengan uang, namun untuk keperluan gugatan a quo dan dengan
mempertimbangkan persyaratan yuridis ganti rugi immateriil, maka adalah sangat
pantas dan beralasan apabila Penggugat konvensi yang telah dirugikan karena
waktu dan konsentrasi kerja Penggugat konvensi terbuang begitu saja karena
pengurusan masalah ini, maka Penggugat konvensi, menuntut ganti rugi immateriil
sebesar Rp. 1.000.000.000,- (Satu milyar rupiah) dan mewajibkan Tergugat
konvensi mengajukan permintaan maaf lewat media cetak lokal dan nasional.

Berdasarkan terhadap permintaan ganti rugi imateriil tersebut, telah diatur


dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) pasal 1371 bahwa
“Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau
karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut
penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga pengganti kerugian ini dinilai
menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan.
Ketentuan ini pada umumnya berlaku dalam hal menilai kerugian yang ditimbulkan
oleh suatu kejahatan terhadap prbadi seseorang”, sehingga selain kerugian materiil
yang dibebankan kepada Tergugat konvensi,Tergugat konvensi harus pula dihukum
untuk membayar kerugian imateril.64

Dalam tuntutan yang diajukan Majelis Hakim telah menimbang mengenai


besar ganti rugi imateril yang diajukan oleh Penggugat konvensi, menurut Majelis
Hakim adalah terlalu besar jika dihubungkan dengan kelayakan, kemampuan dan
kedudukan kedua belah pihak, dimana baik Penggugat konvensi maupun Tergugat
konvensi adalah mempunyai pekerjaan sebagai wiraswatawan serta adanya
perbuatan melawan hukum dalam perkara ini disebabkan karena ketidak hati-
hatian/ kesembronoan dari Tergugat konvensi, maka menurut Majelis Hakim besar
ganti rugi imaateril yang pantas dibebankan kepada Tergugat konvensi untuk

64
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 59.
44

dibayarkan kepada Penggugat konvensi adalah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah) setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.65

Penggugat konvensi mendalilkan pula dalam gugatannya pada poin 15 bahwa


agar gugatan inti tidak Ilusionir, kabur dan tidak bernilai, dan demi menghindari
usaha Tergugat konvensi untuk mengalihkan harta kekayaannya kepada pihak lain,
maka Penggugat konvensi mohon agar dapat diletakkan sita jaminan (Conservatior
Beslag) atas harta milik Tergugat konvensi, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak. Dengan menimbang terhadap dalil gugatan penggugat tersebut, ternyata
selama persidangan perkara ini tidak pernah diletakkan sita jaminan atas harta
benda milik Tergugat konvensi, maka adalah tidak beralasan hukum untuk
mengabulkan petitum gugatan Penggugat konvensi berkaitan dengan sita jaminan,
oleh karenanya Majelis Hakim harus menolak.66

Pada gugatannya Penggugat konvensi mendalilkan pada poin 16 yang


menyatakan bahwa oleh karena gugatan ini diajukan berdasarkan bukti-bukti
otentik, maka Penggugat konvensi juga mohon agar putusan perkara ini dapat
dijalankan lebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad), meskipun ada upaya banding,
kasasi, maupun verzet. Majelis Hakim menimbang menurutnya ternyata selama
persidangan perkara ini tidak ditemukan adanya hal-hal yang cukup untuk menjadi
dasar bagi Majelis Hakim untuk menyatakan agar putusan perkara ini dapat
dijalankan lebih dahulu (uit voerbaar bij voorraad), meskipun adanya upaya
banding, kasasi, maupun verzet, oleh karenanya posita dan potitum gugatan
Penggugat konvensi berkaitan dengan dalil gugatan poin 16 tersebut haruslah
ditolak.67

Dalam tuntutan menimbang bahwa Penggugat konvensi mendalilkan pula


dalam gugatannya bahwa untuk menjamin pelaksanaan, maka wajar jika Penggugat
konvensi mohon kepada ketua Pengadilan Negeri Manado untuk menetapkan uang
paksa (dwangsom) sebesar Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) perhari yang

65
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 60.
66
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 60.
67
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 61.
45

harus dibayar Tergugat konvensi bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang
telah berkekuatan hukum tetep. Namun pada tuntutannya tersebut telah dibantah
Tergugat konvensi dalam jawabannya.68

Terhadap posita gugatan menurut Majelis Hakim, pokok posita dan petitum
gugatan Penggugat konvensi adalah meminta agar Tergugat konvensi dihukum
untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi akibat perbuatan melawan
hukum yang dilakukan Tergugat konvensi, maka sesuai dengan ketentuan
Reglemen acara perdata (reglement op de rechtsvordering/ staatblad 1847-52 Jo.
1849-63) pasal 606, yang menyatakan bahwa “sepanjang suatu keputusan hakim
mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang,
maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi
hukum tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan
dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”, oleh karenanya
posita dan petitum gugatan Penggugat konvensi mengenai uang paksa (dwangsom)
tersebut haruslah dinyatakan tidak beralasan hukum dan haruslah ditolak.69

Dalam Rekonvensi:

Dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat rekonvensi dalam gugatan


rekonvensinya menurut Majelis Hakim didasarkan pada peristiwa hukum yang
telah dipertimbangkan dalam gugatan konvensi, dimana Peggugat rekonvensi/
Tergugat konvensi telah dinyatakan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum
dan dihukum untuk membayar ganti rugi baik kerugian materil maupun imateril
kepada Penggugat konvensi/ Tergugat konvensi, oleh karenanya gugatan
Penggugat rekonvensi haruslah dikesampingkan dan dinyatakan ditolak untuk
seluruhnya.

Menimbang bahwa oleh karena pokok gugatan Penggugat konvensi Tergugat


rekonvensi dikabulkan sebagian, sedangkan gugatan rekonvensi/ Tergugat
konvensi ditolak untuk seluruhnya, maka Tergugat konvensi/ Penggugat

68
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 61.
69
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 62.
46

rekonvensi adalah pihak yang kalah, sehingga Tergugat konvensi/ Penggugat


rekonvensi haruslah dihukum untuk membayar biaya perkara yang besarnya
sebagaimana tersebut dalam amar putusan.70

C. Putusan Hakim

Berdasarkan atas kronologi, bukti-bukti dan pertimbangan hakim, maka


Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado dalam putusan nomor:
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd telah membuat keputusan yang dimana telah mengadili
dan memutuskan:

Bahwasannya berdasarkan gugatan yang telah diajukan kepada Pengadilan


Negeri Manado oleh Engelin Sumenap selaku pihak yang telah dirugikan dan
menuntut pertanggungjawaban atas akibat penyerangan hew yang telah terjadi pada
dirinya dengan seterusnya disebut sebagai Pengguat konvensi terhadap Haryanto
Christian selaku pemilik Toko Central Aquarium dan Petshop yang seterusnya
disebut dengan Tergugat Konvensi. Majelis Hakim telah menerima dan
mengabulkan gugatan untuk sebagian. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado
juga telah menyatakan sah dan berharga alat bukti yang telah diajukan selaku
Penggugat konvensi dalam perkara ini. Menyatakan menurut hukum bahwa
perbuatan Tergugat konvensi yang menolak untuk membayar ganti kerugian yang
diderita Penggugat konvensi adalah perbuatan melawan hukum dan merugikan
Penggugat konvensi.

Majelis Hakim Menghukum Tergugat konvensi untuk membayar ganti


kerugian materil kepada Penggugat konvensi sejumlah RP. 42.988.645,- (Empat
puluh dua juta sembilan ratus delapan puluh delapan ribu enam ratus empat
puluh lima rupiah) dan kerugian immaterial sejumlah Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah), total jumlah keseluruhannya sebesar Rp. 47.988.645,- (Empat puluh
tujuh juta sembilan ratus delapan puluh delapan ribu enam ratus empat puluh
lima rupiah) kepada Penggugat konvensi secara tunai setelah putusan ini berkuatan

70
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 63.
47

hukum tetap.71 Majelis Hakim menolak gugatan Penggugat konvensi untuk selain
dan selebihnya. Dan Terakhir dalam gugatan rekonvensi Majelis Hakim telah
menolak gugatan Penggugat rekonvensi untuk seluruhnya.

71
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 63.
BAB IV

PERBANDINGAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM KELALAIAN


DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Putusan Nomor:
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd)

A. Unsur Pertanggungjawaban Perdata Kelalaian Pemilik Hewan pada


Putusan Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd

Pertanggungjawaban lahir dalam konteks perdata, umumnya karena adanya


suatu perjanjian yang sah secara hukum. Hal ini dikarenakan terdapat suatu hak-
hak yang akan diterima salah satu pihak dan di pihak lain, terdapat suatu kewajiban
untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1314 KUHPerdata. Konteks ini di latar
belakangi oleh adanya suatu konsep hubungan hukum akibat perikatan yang
menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat
perjanjian ataupun kontrak.72Munculnya hak kewajiban dalam perjanjian juga di
afirmasi secara yuridis-formal sebagai undang-undang73, namun hanya dalam
koridor hukum privat. Karena bagaimanapun yang memuat suatu hak dan
kewajiban hanyalah undang-undang (dan perda) jika dalam ranah hukum publik
dan perjanjian jika dalam ranah hukum perdata.

Pertanggungjawaban hukum dalam konsepsi perdata tidak hanya lahir karena


adanya suatu perjanjian yang mengikat. Pertanggungjawaban hukum perdata, juga
lahir karena adanya suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan orang
lain mengalami kerugian baik materil ataupun immateril. Pasal 1365 KUHPerdata
menegaskan secara expressis verbis bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum
dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang melanggar
hukum tersebut karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.

72
Totok Dwinur Haryanto, “Hubungan Hukum Yang Menimbulkan Hak dan Kewajiban
Dalam Kontrak Bisnis”, (Wacana Hukum, Volume IX, Nomor 1, April, 2010), h. 85.
73
Lihat Pasal 1338 KUHPerdata.

47
48

Dalam konsepsi ini, timbulnya hak dimaknai dalam kerugian yang diderita oleh
seseorang dan kewajiban yang di maknai sebagai mengganti kerugian atas kerugian
yang dialami oleh orang lain. Hak dan kewajiban tersebut pada dasarnya muncul
bukan karena perikatan atau sebuah perjanjian, tapi karena adanya suatu hak yang
dilanggar sehingga timbul hubungan hukum yang mengharuskan orang yang
melanggar mengganti kerugian. Namun, terdapat beberapa hal yang harus dijadikan
acuan bahwa memang telah terjadi perbuatan melawan hukum dan keharusan
adanya ganti kerugian yaitu 1). Adanya unsur perbuatan; 2). Perbuatan tersebut
melawan hukum; 3). Adanya unsur kesalahan; 4). Adanya suatu kerugian; 5).
Adanya hubungan kausal (sebab akibat) antara perbuatan yang dilakukan dengan
kerugian yang ditimbulkan.74

Perbuatan melawan hukum itu sendiri juga harus memenuhi setidak-tidaknya


perbuatan yang dikategorikan sebagai berikut yaitu 1). bertentangan dengan
kewajiban hukum Tergugat; 2). Adanya pelanggaran atas hak subjektif yang
dilanggar (kelalaian dan kesembronoan yang menyebabakan adanya serangan
fisik); 3). Bertentangan dengan prinsip kehati-hatian serta ketelitian atas hubungan
terhadap masyarakat atau harta milik orang lain (prinsip kehati2an tidak dijalankan
yg menyebakan serangan fisik).

Pada Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd sebagaimana dalam putusan


akhirnya menyatakan bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pemilik hewan peliharaan (anjing) sekaligus pemilik toko hewan
peliharaan (Tergugat) terhadap pelanggan toko hewan peliharaan (Penggugat).
Gugatan ini didasari karena Penggugat mengalami serangan fisik dari hewan
peliharaan yang dimiliki oleh Tergugat karena tidak diawasi atau dijaganya hewan
peliharaan tersebut oleh Tergugat yang menyebabkan luka-luka berat dan harus
menjalani perawatan medis di Rumah Sakit. Penggugat meminta kepada pengadilan
untuk memenuhi tuntutan ganti rugi kepada Tergugat akan biaya-biaya yang
dikeluarkan selama perawatan medis dilakukan dan pada putusan tersebut

74
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003), h. 10.
49

pengadilan menyatakan bahwa Tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan


hukum dan harus mengganti kerugian materil berupa biaya perawatan medis dan
immateril.

Terdapat fakta-fakta hukum yang telah ditemukan oleh hakim guna


memutuskan bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum dan sesuai dengan
konsepsi serta teoritik akan tercapainya suatu peristiwa perbuatan melawan hukum
yang berada dalam ranah perdata. Unsur pertama yaitu adanya unsur perbuatan.
Majelis hakim dalam perkara a quo membenarkan adanya suatu perbuatan yaitu
kelalaian atau kesembronoan dari pemilik anjing yang mengakibatkan luka-luka
yang selanjutnya hakim uraikan dalam pertimbangannya yang berbunyi,

“…menurut Majelis Hakim Tergugat yang sudah mengetahui bahwa anjing akan
bersifat agresif ketika diganggu, disentuh atau sedang makan, dimana seharusnya
ketika memberi makan anjing milik Tergugat tersebut seharusnya dilakukan
diruangan lain yang terpisah, sehingga tidak memungkinkan untuk
bertemu/bersentuhan langsung dengan orang lain yang tidak dikenalinya, supaya
anjing tersebut tidak terganggung ketika sedang makan. 75

Dalam makna lain, sebuah perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaknai
dengan adanya sebuah perbuatan konkrit guna melakukan sesuatu, namun tidak
melakukan sesuatu dengan situasi kelalaian dan kelalaian tersebut justru
menimbulkan kerugian. juga dapat dikategorikan sebagai sebuah perbuatan
melawan hukum. Pasal 1366 KUHPerdata menegaskan bahwa setiap orang
bertanggungjawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-
perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kesembronoannya. Artinya, unsur pertama perbuatan melawan hukum yaitu adanya
perbuatan baik itu aktif ataupun pasif telah terpenuhi.

Unsur kedua ialah perbuatan tersebut secara nyata bertentangan atau melawan
hukum. Perbuatan yang melawan hukum tersebut secara nyata, genus nya berdasar
pada Pasal 1365 KUHPerdata sebagai pintu utama bahwa perbuatan melawan

75
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 53.
50

hukum dapat dimintakan pertanggungjawaban berupa pemenuhan kerugian baik


secara materil ataupun immateril. Awalnya, konsepsi perbuatan melawan hukum
hanya diasumsikan bahwa perbuatan yang melanggar undang-undang saja, namun
perkembangan selanjutnya perbuatan melawan hukum pada akhirnya dimaknai
sebagai perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kesusilaan dalam
hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda orang lain atau dalam
koridor perdata.76

Perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena kelalaian atas dasar


kepemilikan hewan yang mengakibatkan kerugian berupa serangan fisik dari hewan
peliharaan juga dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut.
Selanjutnya Majelis Hakim berpendapat,

“…bahwa dari pertimbangan tersebut diatas dimana Tergugat konvensi terbukti


melakukan kelalaian dan kesembronoan, yang bila dihubungkan dengan ketentuan
Pasal 1368 KUHPerdata yang menyatakan “bahwa Pemilik Binatang, atau siapa
yang memakainya, selama binatang itu dipakainya, bertanggungjawab atas
kerugian yang disebabkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah
pengawasannya maupun binatang tersebut tersesat atau terlepas dari
pengawasannya”.77

Pada ratio decidendi Majelis Hakim yang menguraikan adanya perbuatan


melawan hukum, perbuatan tersebut sebagaimana disebutkan sebelumnya harus
memuat beberapa kategori guna mendeterminasi perbuatan tersebut adalah
perbuatan melawan hukum. Pertama, perbuatan tersebut bertentangan dengan
kewajiban hukum Tergugat yang memiliki orientasi bahwa kendati Tergugat atau
siapapun yang memliki hewan peliharaan, kerugian-kerugian yang timbul karena
hewan peliharaannya adalah tanggungjawabnya.

Keadaan berupa fakta hukum yaitu anjing Alaskan husky/malamute yang


dilepas secara bebas berkeliaran dan tanpa diikat (dirantai dan/atau dikarantina)

76
Evalina Yessica, “Karakteristik dan Kaitan Antara Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi”, (Jurnal Repertorium, Volume 1, Nomor 2, November 2014), h. 51.
77
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 54.
51

dalam toko milik Tergugat, dan anjing Alaskan Husky milik Tergugat tersebut
menyerang Penggugat hingga menyebabkan Penggugat terjatuh dan bersimbah
darah dan mengalami luka serius di bagian wajah, bibir, dan luka bagian lengan.78
Hal ini adalah bentuk dari tindakan Tergugat berupa kelalaian yang bertentangan
dengan kewajiban hukum Tergugat guna menkarantina hewan peliharaan dan pada
dasarnya Tergugat telah mengetahui bahwa jika anjing akan bersifat agresif jika
diganggu, disentuh, atau sedang makan dan seharusnya sudah menjadi kewajiban
Tergugat tatkala memberi makan anjing diruang yang terpisah, kecuali tindakan
tersebut di akibatkan karena keadaan-keadaan Tergugat yang bersifat force
majeure. 79

Berdasarkan fakta hukum tersebut, kewajiban Tergugat yang memiliki anjing


guna menjaganya agar tidak menimbulkan kerugian baik terhadap orang lain atau
harta benda tidak terpenuhi justru bertentangan. Kedua, adanya pelanggaran atas
hak subjektif yang dilanggar. Pelanggaran atas hak subjektif seseorang tersebut
terbukti tatkala perbuatan yang lalai tersebut menimbulkan kerugian bersifat materil
ketika Penggugat melakukan perawatan medis akibat serangan anjing tesebut. Oleh
karenanya, berkaitan dengan kategori kedua telah terpenuhi yaitu adanya
pelanggaran hak subjektif yang menimbulkan kerugian.

Ketiga, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan ketelitian atas hubungan


terhadap masyarkat atau harta benda milik orang lain. Pada Putusan a quo, terdapat
fakta hukum berupa kelalaian Tergugat sebagaimana diuraikan oleh Majelis Hakim,
selanjutnya dalam pertimbangan hakim disebutkan,

“bahwa fakta hukum tersebut, telah terbukti adanya peristiwa tersebut telah
terlihat nyata adanya ketidak hati-hatian (kelalaian) dari Tergugat yang
memberi makan ditempat yakni didalam ruangan toko milik Tergugat yang pasti
dikunjungi dan dilewati oleh pembeli atau pengunjung toko milik Tergugat, dimana

78
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 53.
79
Force Majeure adalah keadaan memaksa dan lazimnya ditujukan terhadap suatu
peristiwa yang berada di luar jangkauan manusia untuk menghindar dari peristiwa tersebut. Lihat
pada Agni Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak
(Perjanjian) Indonesia, (Veritas et Justitia, Volume 1, Nomor 1, 2015), h. 139.
52

hal ini, terbukti dengan ada peristiwa Penggugat di serang oleh anjing jenis
alaskan hesky/malmute milik Tergugat yang ketika itu sedang atau akan makan,
sehingga terbukti adanya kelalaian dan kesembronoan dari Tergugat.”

Dari fakta hukum tersebut kelalaian terjadi tatkala Tergugat memberi makan
anjing tersebut di toko yang sering dilewati pengunjung yang menyebabkan adanya
serangan fisik oleh anjing Tergugat kepada Penggugat. Keadaan alpa tersebut yang
membuat terpenuhi nya unsur perbuatan melawan hukum yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban oleh Tergugat selaku pemilik hewan. Sementara pada unsur
ketiga terjadinya perbuatan melawan hukum adalah adanya suatu kerugian yang
diderita akibat suatu tindakan tertentu. Konsepsi ini berakar dari doktri hak asasi
manusia yaitu jika adanya hak yang dilanggar maka menimbulkan suatu kewajiban.
Dalam konteks ini pelanggaran hak seseorang, negara wajib melakukan pemulihan
hak (to fulfill) dengan melindungi (to protect) dan menghormati (to respect).80

Dalam konteks pidana, pemulihan hak seseorang yang dilanggar dilakukan


oleh negara dengan sebuah pemidanaan baik itu berupa pidana mati, pidana pidana
penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan (tahana politik).
81
Namun, dalam konteks perdata, negara juga melakukan pemulihan melalui
pengadilan dengan mewajibkan seseorang pelanggar jika terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum, diharuskan untuk mengganti kerugian secara materil
ataupun immateril.

Pada perkara a quo, kerugian materil disebabkan karena adanya serangan fisik
anjing yang menyebabkan Penggugat luka-luka. Kendati hal tersebut adalah berupa
kelalaian dari Tergugat, menurut Majelis Hakim tidak ada pembedaan
pertanggungjawaban yang disebabkan oleh kelalaian ataupun kesengajaan. Biaya
perawatan medis guna menyembuhkan luka-luka yang diderita Penggugat yang
menjadi dasar adanya kerugian secara materil sebagaimana diuraikan oleh Majelis
Hakim dalam ratio decidendi nya yaitu,

80
Rhona K.M. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), 2008), h. 69.
81
Lihat Pasal 10 KUHP.
53

“…bahwa selanjutnya apakah Tergugat konvensi berkewajiban untuk


membayar seluruh kerugian Pemohon konvensi berupa biaya perawatan dan
pengobatan yang diderita Penggugat konvensi sebesar Rp. 49.714.455,. …menurut
Majelis Hakim undang-undang tidak membedakan antara kewajiban mengganti
kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
atau kelalaian/kesembronoan, sehingga Tergugat konvensi haruslah di hukum
untuk membayar seluruh biaya perawatan dan pengobatan Penggugat Konvensi”82

Pada kerugian immateril, Penggugat meminta kepada pengadilan untuk


meminta ganti kerugian immateril sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
kepada Tergugat. Namun, Majelis Hakim dalam pertimbangannya tidak
mengabulkan ganti kerugian immateril yang dimintakan oleh Penggugat. Majelis
Hakim berpendapat,

“…Menurut Majelis Hakim adalah terlalu besar jika di hubungkan dengan


kelayakan, kemampuan, dan kedudukan kedua belah pihak, dimana baik Penggugat
Konvensi maupun Tergugat Konvensi adalah mempunyai pekerjaan sebagai
wiraswastawan serta adanya perbuatan melawan hukum dalam perkara ini
disebabkan karena ketidak hati-hatian/ kesembronoan dari Tergugat Konvensi,
maka menurut Majelis Hakim besar ganti rugi immateril yang pantas dibebankak
kepada Tergugat Konvensi untuk dibayarkan kepada Penggugat Konvensi adalah
sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah)”.83

Bahwa ukuran besarnya suatu ganti kerugian immateril sebagaimana Majelis


Hakim katakan ialah harus dikorelasikan dengan kelayakan, kemampuan, dan
kedudukan kedua belah pihak dalam artian profesi dan penghasilan yang diterima
oleh Penggugat maupun Tergugat. Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal
tersebut dengan merujuk Pasal 1371 KUHPerdata yang menyatakan

“…bahwa terhadap permintaan ganti rugi imateriil tersebut telah diatur oleh
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) pasal 1371 bahwa

82
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 55.
83
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 60
54

“Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau
karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut
penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini
dinilai menurut kedudukann dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut
keadaan…”84

Kerugian imateriil dalam hukum perdata pada adalah kerugian yang


disebabkan karena akibat dari perbuatan melawan hukum. Pada hakikatnya,
kerugian imateriil bersumber dari kebijaksanaan hakim yang mengukur jumlah
ganti kerugian tersebut didasarkan pada kewajaran yang mengacu pada rasa
ketakutan, terkejut, sakit dan hilangnya kebahagiaan hidup.85 Terlebih, Mahkamah
Agu`ng dalam yurisprudensinya ketika memutus perkara Peninjauan Kembali pada
Putusan Nomor 650/PK/Pdt/1994 telah menafsirkan bahwa kerugian imateriil
terbatas pada perkara tertentu seperti halnya kematian, luka berat, dan
penghinaan.86

Unsur kelima ialah telah adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan yang
dilakukan dengan kerugian yang diderita. Dalam konteks ini, penting untuk
ditekankan bahwa perbuatan melawan hukum akan terjadi tatkala menimbulkan
kerugian baik secara materil ataupun immateril. Kendati suatu perbuatan lalai,
sebagaimana dilakukan oleh Tergugat dengan tidak menjaga anjingnya, dan tidak
menimbulkan suatu serangan fisik kepada Penggugat yang menyebabkan luka-luka,
maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan
hukum.

Dalam konsepsi ini, teori hubungan faktual menjelaskan bahwa hubungan


sebab akibat secara faktual adalah masalah fakta atau apa yang secara faktual telah
terjadi. Kerugian tersebut timbul secara faktual karena adanya sebuah tindakan

84
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 59.
85
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum,…, h. 55
86
Lihat Putusan Peninjauan Kembali Nomor 650/PK/Pdt/1994.
55

yang dapat disebut dengan tindakan atau perbuatan melawan hukum. Pada konteks
ini sering disebut dengan terminologi kausalitas atau sine qua non.87

Berdasarkan uraian diatas, pertanggungjawaban perdata dalam perkara


kelalaian atas kepemilikan hewan dapat disimpulkan, kendati pemilik hewan tidak
melakukan suatu tindakan konkrit berupa perintah kepada hewan yang
mengakibatkan luka-luka, kelalaian tersebut juga dapat dikategorikan sebagai
bentuk perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pemilik hewan harus
mengganti kerugian dari –sebab– hewan tersebut karena kurangnya pengawasan
yang dilakukan pemilik hewan, sehingga pada unsur pertanggungjawaban perdata
kesalahan atas lalainya pemilik hewan dapat dijadikan dasar guna meminta
pertanggungjawaban secara perdata.

B. Unsur Pertanggungjawaban Pidana atas Kelalaian Kepemilikan Hewan


(Berdasarkan Fakta Hukum dan Pertimbangan Hakim Putusan Nomor
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd)

Filsafat hukum pidana Indonesia menggariskan, bahwa konsepsi dualistik


digunakan dalam menilai suatu perbuatan layak untuk dipertanggungjawabkan atau
tidak. Konsep dualistis memiliki pengertian bahwa untuk adanya penjatuhan pidana
diperlukan terlebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana, lalu
dibuktikannya kesalahan subjektif pembuat.88 Oleh karenanya, perbuatan yang
sesuai dengan unsur delik pasal belum tentu hal demikian dapat
dipertanggungjawabkan jika perbuatan tersebut karena sebab-sebab seperti halnya,
keadaan jiwa yang cacat (gila), anak dibawah pengampuan, pembelaan terpaksa,
daya paksa, perintah undang-undang, atau perintah jabatan.89

Dalam istilah lain, pemenuhan pertanggungjawaban pidana juga berkelindan


dengan prinsip actus reus dan mens rea. Actus reus didefinisikan sebagai perbuatan

87
Prihati Yuniarlin, “Penerapan Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum Terhadap
Kreditur Yang Tidak Mendaftarkan Jaminan Fiducia”, (Jurnal Media Hukum, Volume 19, Nomor
1, Juni 2012), h. 9.
88
Septa Chandra, “Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang”, (Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Nomor 1,
Juni 2013), h. 42.
89
Lihat Pasal 44, 45, 48, 49, 50, dan 51 KUHP.
56

terlarang yang telah dikodifikasikan dalam undang-undang dan mens rea ialah
berkaitan dengan apakah si pelaku mempunyai kesalahan berdasarkan niatnya
melakukan perbuatan yang terlarang.90Actus reus dalam penerapannya
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada konsep dualistis yaitu mencocokan
perbuatan dengan rumusan delik. Namun, unsur yang menentukan seseorang
dipidana tersebut juga bergantung pada mens rea.

Pada konsepsi yang lebih khusus, mens rea juga memiliki kategori jika
dikontekstualisasikan terbuktinya seseorang atau dader (kesalahan) melakukan
tindak pidana yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Kesengajaan
sebagaimana dinukilkan oleh Moeljanto ialah suatu pengetahuan adanya hubungan
batin atau pikiran dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang91. Dalam artian,
kesengajaan (dolus) terjadi tatkala seseorang melakukan tindak pidana dengan
keadaan sadar bahwa tindakannya akan mengakibatkan seseorang mengalami
kerugian secara nyata.

Sementara, kelalaian (culpa) ialah merujuk pada kapasitas psikis seseorang dan
kurang menduga secara nyata akibat fatal dari tindakan tersebut. Wirjono
Prodjodikoro juga mendefinisikan hal serupa, yaitu kesalahan dalam konteks pada
umumnya yang memiliki makna lain dari kesalahan yang berasal dari ‘niat’. Dalam
arti lain, kurangnya kehati-hatian sehingga akibat yang tidak disengaja
terjadi.92Afirmasi yuridis atas tindak pidana yang disebabkan oleh kelalaian tertulis
dalam Pasal 359, 360 ayat (1) dan (2) KUHP.

Kendati aturan mengenai penyerangan hewan diatur dalam Pasal 490 KUHP,
namun kelalaian atau culpa tidak diatur dalam Pasal a quo. Unsur-unsur yang
terdapat dalam Pasal 490 KUHP ialah terdiri dari, Pertama, “menghasut hewan”,
Kedua “tidak mencegah hewan yang ada dibawah penjagaannya jika hewan

90
Kristian, “Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Volume 44, Nomor 4, Oktober-Desember 2013), h. 604.
91
Gede Agastia Erlandi, “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Terkait Penghinaan
Agama”, (Juris-Diction, Volume 1, Nomor 2, November 2018), h. 543.
92
Tisa Windayani, “Proporsionalitas Pasal 79 Huruf C Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran Dan Pasal 360 KUHP Dikaitkan Dengan Unsur Kesalahan
Terdakwa”, (Jurnal Panorama Hukum, Volume 4, Nomor 2, Desember 2019), h. 150.
57

tersebut menyerang orang atau hewan”, Ketiga “tidak menjaga secukupnya


binatang buas”, dan Keempat, “memelihara binatang buas tanpa melaporkan
kepada pihak berwajib”.93

Kendati pada unsur ketiga terdapat unsur kelalaian yaitu berupa “tidak menjaga
secukupnya”, namun hal tersebut terbatas pada binatang buas yang berbahaya
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 490 angka 4 KUHP. Oleh karenanya,
kelalaian dari pemilik hewan peliharaan yang menyebabkan luka-luka atau
kerugian dalam konteks pidana, tidak hanya dapat dikenakan Pasal 490 berkaitan
dengan penyerangan hewan terhadap orang ataupun hewan, unsur kelalaian yang
terdapat dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP juga dapat dikategorikan sebagai
delik yang dikenakan kepada pemilik hewan karena kelalaiannya.

Dalam konteks kelalaian, secara teoritik terdapat beberapa unsur yang


mendasari terjadinya sebuah tindak kelalaian yaitu, Pertama, pelaku kurang berhati-
hati, ceroboh dan tanpa berpikir futuristik. Kedua, pelaku berbuat lain dari apa yang
seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga
sebenarnya pelaku telah melakukan perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang
melawan hukum. Ketiga, perbuatan pelaku dapat dicela dan akibatnya pelaku harus
mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat.94

Pada Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd terdapat beberapa fakta hukum


dan pertimbangan hakim yang dapat menjadi alasan mendasar dikenakannya
pertanggungjawaban pidana. Unsur Pertama yaitu pelaku kurang berhati-hati,
ceroboh, dan tanpa berpikir futuristik. Pada fakta hukum dan pertimbangan hakim,
terdapat tindakan pasif Tergugat yang menyadari bahwa anjing (hewan peliharaan)
Tergugat berpotensi bersifat agresif ketika diganggu yang menyebabkan kerugian
bagi Penggugat, selanjutnya dijelaskan oleh hakim dalam pertimbangannya,

93
Lihat pada Pasal 490 angka 1, 2, 3, dan 4 KUHP.
94
Yoppuy Kurniawan Situmorang, Yuliati, Nurini Aprilianda, “Kriminalisasi Kelalaian
Dalam Perbuatan Persiapan Tindak Pidana Terorisme Indonesia”, (Al-Jinayah: Jurnal Hukum
Pidana Islam, Volume 5, Nomor 1, Juni 2019), h. 88-89.
58

“Bahwa dari fakta tersebut, menurut Majelis Hakim Tergugat yang sudah
mengetahui bahwa anjing akan bersifat agresi ketika diganggu, disentuh, atau
sedang makan, dimana seharusnya ketika memberi makan anjing milik Tergugat
tersebut seharusnya dilakukan diruangan yang terpisah, sehingga tidak
memungkinkan untuk bertemu/ bersentuhan dengan orang lain yang tidak
dikenalinya, supaya anjing tersebut tidak terganggu ketika sedang makan.”95

Bahwa pada dasarnya, Tergugat telah ceroboh dan tidak hati-hati dalam
memberi makan anjing milik Tergugat yang menempatkan makanan anjing tersebut
didalam toko bersamaan dengan pelanggan toko sehingga menyebabkan adanya
serangan fisik dari anjing Tergugat yang menyebabkan luka-lukanya Penggugat.
Perbuatan lalai tersebut yang menyebabkan kerugian, juga sebenarnya disadari oleh
pemohon tatkala mengetahui bahwa anjing akan bersifat agresi ketika diganggu saat
makan. Oleh karenanya memberi makan di toko bersamaan dengan adanya
pelanggan toko in casu Penggugat, adalah bukti dari ceroboh, tidak hati-hati, dan
tidak berpikir secara futurisik atas terjadinya suatu kelalaian.

Unsur kedua yaitu pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat
menurut hukum tertulis ataupun tidak tertulis yang mengakibatkan adanya
perbuatan yang sesuai dengan unsur-unsur pidana. Pada unsur ini, Tergugat terbukti
adanya kelalaian atas kepemilikan hewan (anjing) yang menyebabkan penggugat
mengalami luka-luka akibat serangan fisik sebagaimana disampaikan pada ratio
decidendi hakim,

“bahwa dari fakta hukum tersebut, telah terbukti adanya peristiwa tersebut telah
terlihat nyata adanya ketidak hati-hatian (kelalaian) dari Tergugat yang memberi
makan ditempat yakni didalam ruangan toko milik Tergugat yang pasti dikunjungi
dan dilewati oleh pembeli atau pengunjung toko milik Tergugat, dimana hal ini,
terbukti dengan ada peristiwa Penggugat diserang oleh anjing jenis alaskan
hesky/malamute milik Tergugat yang ketika itu sedang makan atau akan makan,
sehingga telah terbukti adanya kelalaian dan kesembronoan dari Tergugat.”96

95
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 53.
96
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/Pn.Mnd, h. 53
59

Kelalaian dari Tergugat terbukti secara hukum memenuhi unsur-unsur


sebagaimana dijelaskan secara expressis verbsi dalam Pasal 360 ayat (1) KUHP
yang berbunyi “barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapatk luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”. Unsur pertama yaitu kealpaan atau
lalai telah terpenuhi dan luka-luka berat sebagaimana dinyatakan dalam fakta
hukum bahwa Penggugat melakukan operasi di Rumah Sakit, membuktikan unsur
kedua. Oleh karenanya, tindakan (atau tidak melakukan apapun) yang
mengakibatkan adanya perbuatan yang sesuai dengan unsur pidana yang
mengakibatkan perbuatan tersebut adalah delik, telah memenuhi unsur kealpaan
kedua secara teoritik.

Unsur yang ketiga ialah perbuatan pelaku dapat dicela dan akibatnya perbuatan
pelaku harus dipertanggungjawabkan. Pada konteks ini, perbuatan tersebut terlepas
dari alasan pemaaf seperti halnya cacat kejiwaan, anak dibawah umur, daya paksa,
pembelaan terpaksa, perintah undang-undang ataupun perintah jabatan.97 Fakta
hukum yang diuraikan oleh Tergugat dalam jawabannya atas gugatan Penggugat
sebagaimana dalam Putusan a quo membuktikan bahwa telah terjadi kelalaian,

“bahwa anjing tersebut tidak akan menyerang jika tidak ada sebeb, perlu
dijelaskan bahwa sumber penyebab mengapa terjadi serangan dari anjing milik
Tergugat karena Penggugat yang menggangu terlebih dahulu terhadap anjing
yang sedang makan.”

Fakta hkum yang diuraikan oleh Tergugat membuktikan, bahwa tidak ada
alasan pemaaf bagi Tergugat dan Tergugat telah menyadari adanya keadaan dimana
jika anjing akan menyerang orang lain jika diganggu, dan Tergugat tidak
menganitisipasinya dengan memberi makan ditempat yang terpisah. Oleh
karenanya, keadaan yang tidak berada pada konsepsi alasan pemaaf dan Tergugat
menyadari hal tersebut. Sehingga perbuatan Tergugat yang lepas dari alasan pemaaf
dapat dipersalahkan atau dicela karena memang dalam keadaan normal ketika

97
Lihat Pasal 44, 45, 48, 49, 50, dan 51 KUHP.
60

kelalaian tersebut terjadi dan pertanggungjawaban tersebut dapat dilakukan oleh


Tergugat karena telah memenuhi konsepsi utama pertanggungjawaban pidana
sebagaimana disebutkan sebelumnya, yaitu actus reus dan mens rea.

C. Perbandingan Pertanggungjawaban Hukum Unsur Kelalaian Dalam


Hukum Positif dan Hukum Islam (Putusan Nomor
236/Pdt.G/2014/PN.Mnd)

Konsepsi pertanggungjawaban kelalaian pemilik hewan dalam hukum positif


baik secara pidana maupun perdata, menganut prinsip kelalaian secara mutlak
dengan pengecualian force majeure. Hal ini dibuktikan dengan Pasal 1366
KUHPerdata dan berdasarkan fakta hukum serta pertimbangan hakim Putusan
Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Bahwa,
kendati hewan peliharaan tersebut adalah hewan jinak dan keadaan dimana hewan
tersebut terganggu keadaannya karena Penggugat, pertanggungjawabannya tetap
dilimpahkan kepada pemilik hewan sebagaimana ditegaskan dalam ratio decidendi
hakim.98

Dalam sumber utama hukum Islam, Al-Qur’an, disebutkan bahwa anjing pada
dasarnya adalah hewan yang hanya diperbolehkan dipelihara guna untuk memburu
sebagaimana disebutkan dalam Surah Al Maidah ayat 4;

‫ت ۙ َومَ ا عَ لَّ ْم تُ ْم ِم َن‬ ِ ‫ُح لَّ ََل م ۖ قُل أ‬


ُ ‫ُح لَّ لَ ُك مُ ال طَّيِبَا‬ ْ ُْ
ِ ‫ك م ا ذَ ا أ‬
َ َ َ‫س أَلُون‬
ْ َ‫ي‬
ِ َّ ُ‫ني تُ عَ لِ ُم ونَ ُه َّن ِِمَّا عَ لَّ َم ُك م‬ ِ
َ ‫اَّللُ ۖ فَ ُك لُوا ِمَّا أ َْم‬
‫س ْك َن عَ لَيْ كُ ْم‬ َ ِ‫ا ْْلَ َوا رِ ِح مُ َك ل ب‬
ِ ‫اَّللَ َس رِيعُ ا ْْلِس‬
)٤( ‫اب‬ َ َّ ‫اَّللِ عَ لَيْ هِ ۖ َواتَّ قُ وا‬
َّ ‫اَّللَ ۚ إِ َّن‬ َّ َ‫اس م‬
ْ ‫َوا ذْ ُك ُروا‬

Surah ini memiliki arti yaitu, “Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan

98
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 53.
61

melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”.

Berdasarkan surah ini, dapat ditafsirkan bahwa kepemilikan hewan peliharaan


binatang buas (anjing) adalah halal selama hal tersebut dilakukan guna untuk
melakukan perburuan. Hal demikian juga diikuti dengan hadist dari Rasulullah,

ِ ٍ ِ ‫ أو َزر ٍع انْ ت ِقص ِمن‬، ‫ أو صي ٍد‬، ‫اشي ٍة‬


ِ َّ
َ ‫أج ِره ُك َّل يَ ْوم ق‬
‫رياط‬ ْ ْ َ ُ ْ ْ ْ َ ْ َ ‫ْب َم‬ َ ‫َم ِن اَّتَ َذ َكلْباً إِالَّ َكل‬

“Siapa yang memlihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga hewan ternak,
berburu, dan menjaga tanaman, maka akan dikurangi pahalanya setiap hari
sebanyak satu qirath” (HR. Muslim, no. 1575). Namun, terlepas dari unsur halal
atau haram, yang menjadi fokus dalam pembahasan ialah mencari unsur
pertanggungjawaban jika terjadi kelalaian dalam kepemilikan hewan yang berujung
merugikan seseorang dalam hukum Islam.

Unsur pertanggungjawaban dalam hukum positif yaitu hukum perdata dan


pidana pada dasarnya mempersyaratkan adanya konsep perbuatan melawan hukum,
baik adanya suatu tindakan ataupun alpanya suatu tindakan (lalai) yang
menyebabkan adanya kerugian baik secara materil ataupun immateril. Aksioma
tersebut diafirmatif secara yuridis melalui Pasal 360 KUHP yang menggariskan,
jika terjadi kelalaian (kealpaan) yang menyebabkan orang lain luka-luka berat,
dapat diancam pidana paling lama lima tahun dan kurungan paling lama satu tahun
dan Pasal 1366 KUHPerdata yaitu setiap orang bertanggungjawab bukan hanya atas
perbuatannya, melainkan juga atas kelalaian dan kesembronoannya.

Namun, dalam hukum Islam pada dasarnya kesalahan yang dilakukan


seseorang karena kelalaiannya atau karena dipaksa guna melakukan suatu
perbuatan atau karena lupa, ia tidak berdosa. Namun, jika akibat dari perbuatan
tersebut merugikan orang lain baik mengakibatkan rusaknya barang atau sampai
meninggalnya orang lain, maka dirinya wajib mengganti kerugian dengan diyat.
62

Hal demikian diafirmasi melalui kaidah yang berbunyi “tidak berdosa tapi wajib
ganti rugi99”,

‫ لكن مع اإلتالف يثبت البدل و ينتفي‬, ‫اخلطء و اإلكراه و النسيان أسقطه معبودان الرمحان‬

‫التأثيم عنه و الزلل‬

Kaidah tersebut dipertegas lebih lanjut oleh Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami
dalam kitabnya Tuhfatu al-Muhtaj, 100

ِ ‫فص‬
ِ َ‫احبُهُ َمنْ َعهُ ِِبَْب ِس ِه أ َْو ق‬ ِ ِ ِ
ٍ َ‫ص َجن‬
ُ‫اح لَه‬ َ َ ‫ول َعلَى ج َدا ِر غَ ِْريه َو َش َّق َم ْن عُهُ ُكل‬ُ ‫اد الطَّائُِر الن‬
َ ‫ُّز‬ َ َ‫ل َْو ا ْعت‬
ِ ‫َن ِمن َشأ‬
‫ْن الطَّ ِْري تَ َولُّ َد‬ ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫ وإِ ْن ََل ي تَ ولَّ ْد َعن الطَّائِ ِر‬، ‫ك‬ِ
ْ َّ ‫ض َرر ِبُلُوسه َعلَى ا ْْل َدا ِر ؛ ِل‬ ْ َ َ ْ َ َ ‫أ َْو ََْن ِو ذَل‬

‫اع بِ ِه‬ َ ‫ب ا ْْلِ َدا ِر ِم ْنهُ ل َْو أ ََر‬


َ ‫اد ِاالنْتِ َف‬
ِ ‫وس ِه م ْنع ص‬
ِ ‫اح‬ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫النَّج‬
ُ َّ‫اسة م ْنهُ ب َرْوثه َويَتَ َرت‬
َ ُ َ ُ‫ب َعلَى ُجل‬ َ َ

Artinya, Andai berlaku kebiasaan seekor unggas terbang dan hinggap pada
dinding orang lain dan susah untuk mencegahnya, maka pemilik unggas dibebani
tugas mengurungnya atau memotong sayapnya atau tindakan semisal, meskipun
hinggapnya unggas diatas tembok tersebut tidak membawa akibat langsung pada
timbulnya kerugian. Karena bagaimanapun, tingkat polah seekor unggas dapat
menularkan terjadinya najis sebab kotorannya, dan terkadang sebab hinggapnya ia
di atas tembok, dapat berakibat pada tercegahnya pemilik tembok dari
memanfaatkan tembok yang dimilikinya. Pendapat ini pada dasarnya, kendati yang
disebutkan ialah unggas, namun makna pentingnya ialah terdapat
pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pemilik hewan baik itu karena

99
Abd Salam, Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam, diakses melalui
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/ganti-rugi-menurut-hukum-perdata-
dan-hukum-islam-oleh-drs-h-abd-salam-s-h-m-h-28-8.
100
Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj ‘ala Syahri al-Minhaj,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt.: 23/202). Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--wajib-ganti-
rugi-
63

menimbulkan kerugian yang mengakibatkan ruginya harta benda orang lain


ataupun nyawa orang lain.

Tafsir atas kaidah tersebut juga diperinci oleh Sayyid Abu Bakar ibn Syatha’
ulama yang bermazhab Syafi’i dalam kitabnya Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi
Syarh Fathi al-Mu’in

‫وإن كانت وحدها فأتلفت زرعا أو غريه هنارا َل يضمن صاحبها أو ليال ضمن إال أن ال يفرط‬

‫ضم َن مال َكها ليال وهنارا إن قصر يف ربطه‬


َّ ‫يف ربطها وإتالف َنو هرة طريا أو طعاما عهد إتالفها‬
Artinya, Jika tabiat hewan tersebut dengan sendirinya merusak tanaman orang
lain atau yang semisal tanaman, dan khususnya bila kejadian itu terjadi di siang
hari, maka tidak ada pertanggungan risiko yang dibayarkan oleh pemilik ternak.
Akan tetapi, bila perusakan itu terjadi pada malam hari, maka wajib tempuh risiko
bagi pemiliknya. Semua ini khususnya bila tidak ada unsur keteledoran dari pemilik
hewan dalam mengikatnya (mengendalikannya). Namun, bila perusakan itu
dilakukan seumpama oleh seekor kucing piaraan yang memakan burung atau
makanan tetangga maka dalam kondisi ini, wajib berlaku tempuh risiko (dlaman)
bagi pemiliknya, baik perusakan itu dilakukan di siang hari atau malam hari,
khususnya jika ia sembrono untuk tidak mengikatnya.” 101
Pendapat ini menegaskan terdapat dua kebiasaan hewan (perusak dan tidak
perusak) serta dua waktu yang mengharuskan pemilik menjaganya dengan ketat
yaitu siang dan malam. Pada hewan yang memiliki watak atau tabiat merusak, maka
penjagaan pemilik hewan atas hewan peliharaanya tersebut, berlaku semaksimal
mungkin dan bila kerusakan tetap terjadi, maka pemilik hewan wajib mengganti
kerugian yang disebabkan atas kerusakan oleh hewan tersebut.102 Namun, bila
watak atau kebiasaan hewan tersebut tidak merusak, maka dua waktu yaitu siang

101
Sayyid Abu Bakar ibn Syatha, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-Mu’in,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179), Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--wajib-ganti-
rugi-
102
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--
wajib-ganti-rugi-
64

atau malam, mempengaruhi pertanggungjawaban pemilik hewan atas hewan


tersebut.
Hal demikian ditegaskan dalam Sayyid Abu Bakar ibn Syatha dalam kitab yang
sama, Artinya, Namun kadang kejadian terjadi di siang hari, maka dalam hal ini
diperlukan tindakan memerinci. Bila tandangnya adalah akibat pengabaian dari
sang pemilik (menggampangkan) dalam urusan penjagaannya, maka wajib baginya
tempuh risiko. Akan tetapi, bila sudah dijaga, tapi tanpa disadari ternyata lepas juga
dari penjagaan sehingga lari ke ladang orang lain, maka tidak ada tempuh risiko
baginya. Karena umumnya di siang hari adalah waktu bagi pemilik lahan untuk
menjaga lahan dan tanaman yang dimilikinya.103
Oleh karenanya, bila kerusakan tersebut yang dilakukan oleh hewan peliharaan
dengan tabiat tidak merusak atau merugikan orang lain dilakukan pada siang hari
dan telah dilakukan penjagaan secara ketat namun tetap lepas, maka hilang
pertanggungjawaban pemilik hewan, karena menurut Sayyid Abu Bakar ibn
Syatha, siang hari adalah waktu bagi pemilik lahan untuk menjaga lahan dan
tanaman yang dimilikinya.
Konteks tersebut jika diimplementasikan pada Putusan
Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, pemilik hewan tetap berada pada posisi lalai,
karena tidak menjaga ketat hewannya sehingga menyebabkan kerugian
sebagaimana diuraikan dalam fakta hukum yang disebutkan oleh majelis hakim
yang menyatakan bahwa anjing akan bersifat agresif ketika diganggu, disentuh,
atau sedang makan, sehingga kerusakan atau kerugian yang terjadi karena pemilik
hewan tidak menjaganya dengan memberinya makan tidak diruangan makan adalah
salah satu bentuk perbuatan kelalaian.
Namun, sebagaimana dikonsepsikan dalam KUHPerdata ataupun KUHPidana,
pertanggungjawaban akan hilang jika konsepsi tersebut tercampur oleh adanya
alasan pemaaf dalam pidana dan force majeure dalam hukum perdata yang
menyebabkan hilangnya pertanggungjawaban hukum. Namun, menurut pendapat

103
Sayyid Abu Bakar ibn Syatha, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-Mu’in,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179), Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--wajib-ganti-
rugi-
65

Sayyid Abu Bakar ibn Syatha, pertanggungjawaban tersebut tidak hanya


disebabkan oleh kedua hal tersebut, melainkan jika pada siang hari penjaga lahan
atau dalam hal ini orang lain yang menerima kerusakan akibat hewan dan pemilik
hewan telah melakukan penjagaan secara ketat, maka hilang
pertanggungjawabannya guna mengganti kerugian.
Bahkan Ulama Hanafiyah juga menyatakan bahwa jika terjadi penyerangan atau
kerusakan yang diakibatkan oleh binatang dan sudah dilakukan penjagaan secara
maksimal baik siang atau malam hari, hal demikian membebaskan
pertanggungjawaban kepada pemilik hewan berdasarkan hadist yang berbunyi
“Kerusakan yang dilakukan oleh binatang (yang terlepas dan melarikan diri tanpa
ada unsur keteledoran dari si pemilik binatang) adalah sia-sia (tidak ada denda ganti
rugi atas si pemilik binatang tersebut).104 Hal demikian merefleksikan adanya
hubungan transendental antara manusia dengan Allah SWT, bahwa kendati ikhtiar
untuk penjagaan tersebut telah dilakukan secara maksimal, selebihnya adalah
bertawakal agar hal tersebut tidak terjadi pengrusakan ataupun penyerangan yang
dilakukan oleh hewan.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat diatas, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa
apabila binatang yang melakukan perusakan ditempat penggembalaan umum atau
ketika sedang brejalan di jalanan umum atau di tempat yang memang dikhususkan
untuk mengikat binatang, tidak ada dendan apa-apa didalamnya. Pendapat ini
menegaskan bahwa kendati binatang tersebut memiliki pemilik dan telah dijaga
dengan adanya tempat khusus, kerusakan yang terjadi bukan tanggungjawab
pemilik dan pemilik dibebaskan dari segala tuduhan.105
Hal demikian juga selaras dengan kaidah fikh yang dikemukakan oleh Ahli
Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Abdul Rahman Dahlan yang
menyatakan bahwa “keridhaan dengan sesuatu adalah ridha dengan akibat yang

104
HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmindzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad
dari Abu Hurairah r.a. dalam Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Sistem Ekonomi
Islam, Pasar Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf, Pencurian), (Jakarta: Penerbit Gema Insani &
Darul Fikir, 2011), h. 699.
105
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Sistem Ekonomi Islam, Pasar
Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf, Pencurian), (Jakarta: Penerbit Gema Insani & Darul Fikir,
2011), h. 700.
66

terjadi padanya”. Instrumen kaidah fikh ini merefleksikan bahwa pada hakikatnya
dasar interaksi manusia terhadap Allah SWT.106 Hal demikian selaras dengan
keridhaan atas penjagaan binatang yang telah dilaksanakan secara maksimal pada
siang hari namun tetap terdapat sebuah kerusakan yang dilakukan oleh binatang
tersebut ialah terdapat sebuah usaha (ikhtiar) yang telah dilakukan dan selebihnya
diserahkan kepada Allah SWT (tawakal).
Relevansi dari kaidah tersebut dengan konteks kelalaian dalam kepemilikan
hewan dalam perspektif Islam ialah pada konteks hukum pidana Islam
menghilangkan pertanggungjawaban pemilik hewan jika telah dilakukan secara
maksimal penjagaan pada siang hari, karena pada hakikatnya kaidah fikh tersebut
mempertegas bahwa keridhaan dengan sesuatu (usaha menjaga binatang
semaksimal mungkin) adalah ridha dengan akibat yang terjadi padanya (kuasa
Allah dalam menentukan sikap binatang). Sehingga tawakal berbentuk ridha
dengan akibat yang terjadi padanya menghilangkan pertanggungjawaban terhadap
pemilik binatang karena diluar kuasanya (Kuasa Allah SWT).
Berbeda halnya dengan konsepsi kelalaian kepemilikan hewan dalam konteks
hukum positif di Indonesia. Ahli hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Alfitra, menegaskan bahwa kelalaian dalam kepemilikan hewan adalah mutlak
menjadi tanggungjawab pemilik hewan karena masuk dalam keadaan lalai (culpa)
yang tidak mengenal adanya konteks siang atau malam maupun binatang buas atau
tidak107. Keadaan seperti halnya untuk menyerahkan seluruhnya kepada Allah SWT
ketika telah menjaganya secara ketat dan maksimum tidak dapat menjadi
pertanggungjawaban. Sehingga, disparitas mendasar dari hal tersebut adalah
kejadian yang diluar dugaan tidak termasuk menghilangkan pertanggungjawaban
pidana.
Oleh karenanya, dapat ditarik benang emas terdapat perbedaan mendasar dalam
menyikapi ganti kerugian atas kerusakan yang dialami oleh seseorang akibat hewan
peliharaan antara unsur hukum positif di Indonesia dan hukum Islam, yaitu hukum

106
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. H. Abdul Rahman Dahlan, M.A., Pada tanggal 1 Desember 2020 pukul 10:00 WIB.
107
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Pidana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Alfitra, S.H, M.H. Pada tanggal 2 Desember 2020 pukul 08:00 WIB.
67

positif memberlakukan secara mutlak kelalaian dengan pengecualian alasan pemaaf


untuk hukum pidana dan force majeure untuk hukum perdata. Sedangkan tafsir
ulama madzhab Syafi’i atas pertanggungjawaban dalam kepemilikan hewan
memberlakukan syarat hilangnya pertanggungjawaban pemilik hewan atas
serangan hewan yang menimbulkan kerusakan, yaitu telah dilakukan penjagaan
atas hewan secara ketat, hewan tidak memiliki tabiat merusak, dilakukan siang hari,
dan ketiadaan tindakan atas penjaga lahan atau orang yang mengalami kerugian.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian skripsi yang telah peneliti jelaskan


secara rinci dalam bab-bab sebelumnya, maka peneliti sampai pada kesimpulan
sebagai berikut:

1. Pada dasarnya unsur pertanggungjawaban dalam hukum pidana dan


perdata sebagaimana fakta hukum dan pertimbangan hakim, telah
memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata
sebagaimana dijelaskan secara expressis verbis dalam Pasal 1366
KUHPerdata dan Pasal 360 ayat (1) KUHP.
2. Terdapat perbedaan unsur pertanggungjawaban pidana dan perdata yang
tedapat dalam hukum positif dengan pendapat mazhab syafi’I yang
menafsirkan adanya pelukaan atas binatang peliharaan yaitu dalam
hukum positif pemidanaan hanya bisa dilakukan jika tanpa adanya alasan
pemaaf dan hukum perdata tanpa adanya alasan force majeure,
sementara dalam pendapat mazhab syafi’I yaitu Sayyid Abu Bakar ibn
Syatha dalam kitabnya Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-
Mu’in, yaitu unsur pertanggungjawaban hukum jika terjadi pelukaan atas
binatang tergantung pada keadaan waktu dan tabiat atau sifat binatang.
Pada madzhab Ulama Hanafiyah, bahkan, tidak terdapat klasifikasi
seperti halnya tabiat binatang ataupun keadaan siang dan malam hari,
melainkan jika telah dilakukan penjagaan secara ketat tanpa keteledoran,
maka unsur pertanggungjawaban tersebut menjadi hilang.
3. Konsep penting yang mendasari disparitas penanganan kelalaian dalam
kepemilikan hewan dalam hukum positif ataupun hukum islam adalah
keadaan manusia yang diluar dugaan terhadap binatang adalah bentuk
hubungan interaksi manusia dengan Allah SWT yang bersifat
transendental. Sehingga, keadaan ketika binatang telah lepas dari kontrol

68
69

manusia (pemilik binatang), kendati telah dijaga ketat, maka


pertanggungjawaban tersebut hilang.
B. Saran
1. Kepada penegak hukum dan pemerintah agar bisa memberikan
hukuman yang bijaksana bagi pelaku kelalaian kepemilikan hewan
yang menyebabkan luka-lukanya ataupun meninggalnya orang lain
supaya dapat memberikan efek jera dan memenuhi rasa keadilan.
Pemerintah bersamaan aparat penegak hukum harus juga
memperhatikan lankah-langkah preventif untuk kedepannya, sehingga
tidak akan ada lagi pelaku yang melakukan kelaian kepemilikan hewan
yang merugikan orang lain.
2. Kepada masyarakat luas, agar lebih hati-hati dalam menjaga atau
memperhatikan hewan peliharaannya serta menta’ati peraturan-
peraturan dalam menjaga atau merawat hewat peliharaan sesuai
ketentuan yang berlaku sebagaimana mestinya. Misalnya, dengan
mengikatkan atau memberi ruangan khusus bagi hewan peliharaannya
untuk bermain dan beraktivitas. Banyak hikmah yang bisa diambil dari
beberapa kasus yang sudah terjadi, setidaknya penting untuk menta’ati
ketentuan yang berlaku mengenai kepemilikan hewan peliharaan agar
tidak tejadi hal-hal yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA

Alquranul Karim

Hadist Rasulullah Saw

Buku dan Jurnal:

Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Program Pascasarjana


Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Ahmadi, Fahmi Muhammad, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, Cet Pertama,
2011
Arfa, Faisal Ananda, Watni Marpaung, Metode Penelitian Hukum Islam, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016.
Aripin, Jaenal dkk, Penelitian Hukum. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010.
Atmasasmita, Romli, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung Mandar Maju, Cet
Kedua, 2000.
Audah, Abdul Qadir, At-Tassyri’ al-Jina’i al-Islamy, juz I, t.tp: Muassasah Ar
Risalah, t.t., 1988.
Az-Zuhaili, Wahbah Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Sistem Ekonomi Islam, Pasar
Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf, Pencurian), Jakarta: Penerbit Gema
Insani & Darul Fikir, 2011.

Bassar, Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang


Hukum Pidana, Bandung: Remadja Rosda Karya, Cet kedua, 1986.
Chandra, Septa, Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban
Pidana Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang, Jurnal Cita
Hukum, Volume 1, Nomor 1, Juni 2013.
Djazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah: Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Hukum
Islam, Jakarta, PT Bulan Bintang, Cet. Ketiga, 1967.
Djojodirjo, M.A. Moegni, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya 1982.

70
71

Erlandi, Gede Agastia, Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Terkait Penghinaan


Agama, Juris-Diction, Volume 1, Nomor 2, November 2018.
Gunandi, Ismu, Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana
Jakarta: Kencana, 2014
Hamzah, Andi, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di di dalam KUHP
Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kedua. 2016.
Hanafi, Ahmad, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulang Bintang,
1967.
Haryanto, Totok Dwinur, Hubungan Hukum Yang Menimbulkan Hak dan
Kewajiban Dalam Kontrak Bisnis, Wacana Hukum, Volume IX, Nomor 1,
April, 2010.
Ilyas, Amir, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Sebagai Syarat Pemidanaan, Yogyakarta: Rangka
Education Yogyakarta & PuKAP Indonesia, Cet Pertama, 2012.
Isradjuningtias, Agni Chairunisa, Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum
Kontrak (Perjanjian) Indonesia, Veritas et Justitia, Volume 1, Nomor 1,
2015.
Kristian, Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Volume 44, Nomor 4, Oktober-Desember 2013.
Lamitang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya,
1997.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rineka Cipta, 2008.

Moeljatmo, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Bima


Aksara, 1983.
Marpaung, Leden, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, cet
Ke-IV, 2008.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Persada Group,
2008
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2008.
72

Murdiana, Elfa, Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Hukum Islam dan


Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, AL-
Mawardi, XII, 1, Februari-Agustus 2012.
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT


Refika Aditama, 2003.
Saleh, Roelan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:
Aksara Baru, Cet. Ketiga, 1983.
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Smith, Rhona K.M, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), 2008.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2005.

Soekanto, Soerjono, Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali,


1986.
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantatif, Bandung: Alfabeta, 2004.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2005.
Situmorang, Yoppuy Kurniawan, Yuliati, Nurini Aprilianda, Kriminalisasi
Kelalaian Dalam Perbuatan Persiapan Tindak Pidana Terorisme
Indonesia, AlJinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam, Volume 5, Nomor 1,
Juni 2019.
Windayani, Tisa, Proporsionalitas Pasal 79 Huruf C Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Dan Pasal 360 KUHP Dikaitkan
Dengan Unsur Kesalahan Terdakwa, Jurnal Panorama Hukum, Volume 4,
Nomor 2, Desember 2019.

Yessica, Evalina, Karakteristik dan Kaitan Antara Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi, Jurnal Repertorium, Volume 1, Nomor 2, November 2014.
73

Yuniarlin, Prihati, Penerapan Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum Terhadap


Kreditur Yang Tidak Mendaftarkan Jaminan Fiducia, Jurnal MediaHukum,
Volume 19, Nomor 1, Juni 2012.
Undang-Undang:
Pasal 44, 45, 48, 49, 50, dan 51 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 490 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 1338, 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Putusan Pengadilan:

Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor: 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd

Internet:

Abd Salam, Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam, diakses melalui
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/ganti-rugi-
menurut-hukum-perdata-dan-hukum-islam-oleh-drs-h-abd-salam-s-h-m-h-
28-8. Di akses pada Hari Sabtu 5 September 2020, Pukul 17.45.
Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj ‘ala Syahri al-Minhaj,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt.: 23/202). Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-
orang-lain--wajib-ganti-rugi- Di akses pada Hari Minggu 13 September,
Pukul 15.55.
Sayyid Abu Bakar ibn Syatha, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-
Mu’in, (Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179), Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-
orang-lain--wajib-ganti-rugi- Di akses pada Hari Senin 14 September 2020,
Pukul 13.30.
http://manado.tribunnews.com/2014/11/05/kronologi-digigit-anjing-dan-alasan wanita-
manado-ini-tuntut-rp-1-miliar, Di akses pada Hari Sabtu 8 september 2019,
Pukul 07.25.

https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/21/p2wtha438-polisi-
selidiki-kakek-yang-tewas-digigit-dua-anjing-pitbull, Di akses pada Hari
Sabtu 28 September 2019, Pukul 07.48.
https://www.tribunnews.com/metropolitan/2019/09/08/kronologi-sebenarnya-
kasus-anjing-bima-aryo-terkam-art-hingga-tewas-6-saksi-diperiksa, Di
akses pada Hari Sabtu 28 September 2019, Pukul 08.00.
https://www.validnews.id/Hewan-Peliharan-Makin-Marak--Bisnis-Sampingan-
Merebak-uXD Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 09.30.
74

https://yuridis.id/akibat-hukum-terhadap-kelalaian-menjaga-hewan-peliharaan-
yang-mengotori-halaman-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari
2020, pukul 10.00.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52c72fff1e4d6/langkah-
hukum-jika-diserang-anjing-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5
Februari 2020, pukul 16.30.

Wawancara:

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. H. Abdul Rahman Dahlan, M.A., Pada tanggal 1 Desember
2020 pukul 10:00 WIB.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Pidana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Alfitra, S.H, M.H. Pada tanggal 2 Desember 2020 pukul 08:00
WIB.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai