Oleh:
Aji Pendowo
NIM: 11150430000070
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020
i
ii
iii
ABSTRAK
iv
KATA PENGANTAR
الرحِ ي ِْم
َّ الرحْ َم ِن
َّ هللا
ِ ِبس ِْم
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung.
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ibu Siti Hanna, M.A Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hidayatulloh, M.H Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab
Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M. Si dan Ibu Fitriyani Zein, S. Ag.,
M. H Dosen Pembimbing yang selalu memberikan arahan dan bantuan
kepada penliti dalam menyelesaikan penlitian.
4. Bapak dan Ibu dosen Faklutas Syari’ah dan Hukum yang telah ikhlas
memberikan ilmu-ilmunya dan motivasi dalam menyelesaikan studi di
Fakultas Syari’ah dan Hukum Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
v
5. Pimpinan Perpustakaan yang telah memberikan fasilitas yang baik
untuk mengadakan studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh
bahan referensi untuk melengkapi penlitian ini.
6. Segenap staf dan karyawan Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang berkenan memberikan bantuan kepada
peneliti.
7. Teristimewa untuk keluarga peneliti ayah , mama dan adik tercinta,
Bapak Sunarto, Ibu Sri Yuliani dan Fika Baraka yang selalu
mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta dukungan moril dan
materil kepada peneliti.
8. Seluruh teman-teman Program Studi Perbandingan Mazhab angkatan
2015 yang senantiasa mengisi hari-hari peneliti menjadi sangat
menyenangkan saat dikelas.
9. Seluruh teman-teman dari berbagai macam jurusan Univeristas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.yang telah sama-sama berbagi
ilmu dan pengalaman.
10. Untuk dirimu disana, ini merupakan sebuah bagian dari prosesku untuk
menantang dunia di fase selanjutnya. Semoga tulisan ini kelak bisa kita
baca berdua atau menjadi cerita yang bisa kita saling ceritakan di suatu
waktu nanti baik pagi, sore ataupun malam yang gembira.
Penulis
Aji Pendowo
vi
DAFTAR ISI
vii
C. Perbandingan Pertanggungjawaban Hukum Unsur Kelalaian Dalam Hukum
Positif dan Hukum Islam (Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd) ............. 60
BAB V PENUTUP........................................................................................................... 68
A. Kesimpulan ................................................................................................ 68
B. Saran ........................................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 70
LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hewan peliharaan adalah hewan yang dipelihara oleh manusia yang harus
dirawat, dijaga dan dipenuhi kebutuhan hidupnya serta memiliki tempat yang layak.
Hewan peliharaan yang umum dipelihara adalah hewan-hewan yang bersifat jinak
yang banyak dipilih oleh manusia untuk menemani mereka. seperti hewan yang
umum adalah kucing, kelinci, ikan, ayam, burung, kuda dan anjing. Tetapi, dalam
beberapa fakta yang menunjukkan bahwa hewan yang memiliki sifat jinak tidak
dapat menutup kemungkinan juga dapat menyerang atau melukai manusia,
sehingga pada dasarnya tidak dapat ditebak apa yang akan dilakukan hewan
kemudian.
Penyerangan hewan peliharaan ini tidak lepas dari unsur kelalaian si pemilik
hewan peliharaan itu sendiri, semisal karena telat memberikan makanan,
terbiasanya perlakuan kasar terhadap hewan peliharaan, kurangnya perhatian
terhadap hewan peliharaannya, dan kurangnya pengawasan khusus terhadap hewan
peliharaannya yang dimana sejatinya setiap hewan tetap memiliki sifat liarnya. Di
Indonesia sendiri memiliki beberapa contoh terjadinya kasus penyerangan hewan
yang terdapat dibeberapa daerah, dalam kasus penyerangan hewan beberapa
diantaranya berakibat jatuhnya korban baik luka-luka hingga sampai meninggal
dunia. berikut adalah beberapa contoh kasus yang terjadi karena penyerangan
hewan:
1
2
1
http://manado.tribunnews.com/2014/11/05/kronologi-digigit-anjing-dan-alasan-wanita-
manado-ini-tuntut-rp-1-miliar, Di akses pada Hari Sabtu 8 september 2019, Pukul 07.25.
2
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/21/p2wtha438-polisi-selidiki-
kakek-yang-tewas-digigit-dua-anjing-pitbull, Di akses pada Hari Sabtu 28 September 2019, Pukul
07.48.
3
anjing yang dipelihara artis Bima Aryo ini, dugaan yang diberikan adalah
pasal 359 tentang kelalaian.3
Dalam memelihara hewan sebaiknya pemilik atau individu yang baru saja ingin
memelihara hewan juga harus memperhatikan beberapa regulasi yang ada
mengenai hewan peliharaan, dimana dengan tujuan untuk terhindar dari
kemungkinan-kemungkinan buruk yang terjadi kedepannya atau kelalaian sehingga
tidak menimbulkan kerugian baik bagi sipemilik hewan peliharaan dan juga
masyarakat sekitar lingkungan tersebut. Seperti yang terdapat dalam Pasal 490
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dimana terdapat pasal yang
mengatur mengenai pelanggaran dalam menjaga hewan peliharaan yang
menyebabkan mengganggu atau merugikan keamanan umum bagi orang atau
barang yang mengatur “Diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari,
atau pidana paling banyak tiga ratus rupiah”.
3
https://www.tribunnews.com/metropolitan/2019/09/08/kronologi-sebenarnya-kasus-
anjing-bima-aryo-terkam-art-hingga-tewas-6-saksi-diperiksa, Di akses pada Hari Sabtu 28
September 2019, Pukul 08.00.
4
1. Identifikasi Masalah
3. Perumusan Masalah
Adapun pokok rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana tinjaun hukum positif dan hukum Islam terhadap putusan
Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd Pengadilan Negeri Manado tentang
kelalaian dalam memelihara hewan?
5
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam menambah
wawasan dan pengetahuan penulis dalam memahami hukum ganti kerugian
dan pertanggungjawaban pidana yang ada di indonesia dalam pandangan
hukum positif dan hukum Islam, kemudian menambah literatur
perpustakaan khususnya dalam bidang Perbandingan Mazhab.
b. Manfaat Praktis, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
penjelasan yang lengkap mengenai kacamata hukum positif dan hukum
Islam terhadap hukum pertanggungjawaban terhadap kelalaian pemilik
hewan peliharaan.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang sudah pernah ditulis dan dibahas oleh
penulis lainnya, maka penulis sedikit mengkaji beberapa skripsi dan karya tulis
terdahulu yang pembahasannya memiliki kesamaan dengan pembahasan yang
penulis angkat. Sejauh pengamatan dan pengetahuan penyusun, sudah terdapat
beberapa sebuah penelitian atau tulisan (skripsi) mengenai bentuk ganti kerugian
dan pertanggungjawaban pidana atas tindak kelalaian, diantaranya:
Penelitian (Skripsi) yang disusun oleh Vincent Andreas Limanto yang berjudul
Pertanggungjawaban Pidana Pemilik Hewan Yang Menyebabkan Korban
Meninggal Dunia Kesimpulannya bahwa permasalahan yang diambil adalah
6
mengenai apakah pemilik hewan yang menyebabkan korban meninggal dunia dapat
diberikan pertanggungjawaban pidana, pada skripsi ini penulis memfokuskan
hanya pada regulasi hukum positif yang ada di indonesia terkait permasalahan.
Penelitian (Skripsi) yang disusun oleh Reza Alfatah yang berjudul Tinjauan
Hukum Pidana Islam Terhadap Kelalaian Pengemudi Yang Menyebabkan
Orang Lain Meninggal Dunia, Luka Berat, Luka Ringan Dan Kerusakan
Barang (Analisis Putusan Nomor: 589/Pid.Sus/ 2015/ Pn.Bil tujuan dari
penelitian ini adalah membahas bagaimana penerapan pasal 310 dalam UU No. 22
tahun 2009 terhadap kelalain dalam berkendara yang merugikan orang lain, dan
bagaimana tinjaun dari hukum pidana Islam mengenai permasalahan tersebut.
Penelitian (Jurnal) yang disusun oleh Gratianus Prikasetya Putra yang berjudul
Kajian Atas Pertanggungjawaban Perbuatan Melawan Hukum Yang
Dilakukan Oleh Hewan Berdasarkan Hukum Indonesia Dan Hukum Jerman
tujuan dari penelitian ini adalah membahas mengenai bagaimana teori Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) dan pertanggungjawabannya berdasarkan sebuah kasus
7
yang dibahas dalam sistem Hukum Perdata di Indonesia maupun di Jerman dengan
melakukan komprasi diantara keduanya.
Berdasarkan literatur di atas, penulis melihat hingga saat ini belum ditemukan
karya ilmiah yang membahas secara khusus tinjauan dalam dua aspek hukum baik
hukum positif dan hukum Islam terkait ganti kerugian dan pertanggungjawaban
pidana atas kelalaian yang dimana objeknya adalah mengenai kepemilikan hewan
peliharaan yang merugikan orang lain. Adapun juga pentingnya peninjauan dari dua
aspek hukum ini sangat dibutuhkan melihat mayoritas masyarakat indonesia adalah
umat islam dan melalui pendekatan agama memungkinkan lebih mudahnya
diterima sebuah hukum.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
4
Faisal Ananda Arfa dan Watni Marpaung, Metode Penelitian Hukum Islam, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), h. 12.
5
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Persada Group, 2008), h.,
23.
8
2. Pendekatan Penelitian
3. Sumber Data
6
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 38.
7
Soerjono Soekanto, Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali,
1986), h. 14.
9
5. Analisis Data
Metode analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan di interpretasikan, atau mudah dipahami dan di
informasikan kepada orang lain.11 Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analisis komparatif, yaitu melakukan komparasi antara
hukum positif dan hukum Islam mengenai pertanggungjawaban pidana.
6. Teknik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2017.
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), h. 12.
9
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h., 114.
10
Jaenal aripin, dkk. Penelitian Hukum. (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010), h 17.
11
Sugiono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantatif, (Bandung: Alfabeta, 2004), h., 244.
10
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah memahami isi skripsi dan mencapai sasaran seperti yang
diharapkan, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima bab yang masing-
masing bab terdiri dari sub bab. Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”. Adapun sistematika peembahasannya sebagai
berikut:
Memiliki hewan peliharaan di zaman modern seperti ini, sudah jamak ditemui.
Selain sebagai hiburan pelepas penat, hewan peliharaan juga bisa dijadikan teman
untuk bercengkrama bahkan diajak bicara, sehingga pemiliknya tidak merasa
sendirian. Peneliti dari Universitas Miami mengatakan, memiliki hewan peliharaan
bisa membuat anda lebih percaya diri, lebih fit, tidak merasa sendiri, lebih teliti,
dan tidak mudah takut ketimbang orang yang tidak memiliki hewan peliharaan.12
1. Barang siapa menghasut hewan terhadap orang atau terhadap hewan yang
sedang ditunggangi, atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau
sedang memikul muatan;
2. Barang siapa tidak mencegah hewan yang ada di bawah penjagaannya,
bilamana hewan itu menyerang orang atau hewan yang lagi ditunggangi,
atau dipasang di muka kereta atau kendaraan, atau sedang memikul muatan;
12
https://www.validnews.id/Hewan-Peliharan-Makin-Marak--Bisnis-Sampingan-
Merebak-uXD Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 09.30.
13
https://yuridis.id/akibat-hukum-terhadap-kelalaian-menjaga-hewan-peliharaan-yang-
mengotori-halaman-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 10.00.
12
13
3. Barang siapa tidak menjaga secukupnya binatang buas yang ada di bawah
penjagaannya, supaya tidak menimbulkan kerugian;
4. Barang siapa memelihara binatang buas yang berbahaya tanpa melaporkan
kepada polisi atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu, atau tidak menaati
peraturan yang diberikan oleh pejabat tersebut tentang hal itu.
B. Kelalaian
a. Ketentuan Tindak Kelalaian Dalam Hukum Positif
Kelalaian adalah bentuk yang masih dapat dibilang ringan dari bentuk tindakan
yang dilakukan dengan unsur kesengajaan. Itulah sebabnya tindakan atau pekerjaan
seseorang yang melangggar norma yang dimana dilakukan dengan dasar kelalaian
dalam sanksi dan ancaman hukum yang diberikan terhadap seseorang tersebut lebih
ringan.15
Moeljatno menjelaskan mengenai kelalaian ialah suatu struktur yang sangat
geocompliceerd, dimana yang satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan
seseorang secara lahiriah, dan sisi yang lain mengarah kepada keadaan batin
seseorang. Dengan demikian, maka di dalam kelalaian terkandung makna kesalahan
dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara
kesengajaan dan kelalaian, dimana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat positif,
14
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52c72fff1e4d6/langkah-hukum-
jika-diserang-anjing-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 16.30.
15
Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
cet, Ke-IV, h., 25.
14
yaitu adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan
yang dilarang, dan dalam kelalaian sifat positif ini tidak ditemukan.16
Sedangkan menurut Menurut D. Simons menerangkan bahwa kelalaian
terdapat dalam dua bagian, yaitu adalah tidak berhati-hatinya seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan atau terjadi kealpaan padahal si pelaku tersebut sudah
mengetahui terlebih dahulu bahwa perbuatan itu mungkin akan ada timbulnya suatu
dampak yang dimana dilarang oleh Undang-undang. Kelalaian akan ada jika
seseorang tetap melakukan perbuatan tersebut meskipun ia telah menduga
dampaknya. Dan menduganya itu adalah suatu syarat mutlak ia telah melakukan
kelalaian, lain halnya dengan suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu
tidak dapat di pertanggungjawabakan kepadanya sebagai kelalaian.17
Kelalaian (culpa) menurut Mahrus Ali di bagi atas dua jenis, yaitu:
1. Kelalaian dengan kesadaran (beuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku telah
membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat dari
tindakannya, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegahnya, tetap saja
akibat tersebut terjadi.
2. Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld). Dalam hal ini, si pelaku
tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang
dilarang atau diancam hukuman oleh undang-undang, sedangkan ia
seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu akibat.
1. Kelalaian Berat (Culpa Lata) Dalam kelalaian berat ini ilmu hukum pidana
maupun yurisprudensi menerangkan bahwa hanya kelalaian berat yang
dapat dipidana karena sebagai kejahatan.
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 2008). h., 217.
17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2003), h., 72.
15
2. Kelalaian Ringan (Culpa Levis) Dalam kealpaan ini karena sifatnya ringan
dan terdapat pandangan bahwa Culpa Levis oleh Undang-undang tidak
diperhatikan sehingga tidak diancam pidana.
Pada permasalahan yang penulis angkat ini yang dihukum itu bukan caranya
orang tersebut berbuat, akan tetapi kelalaiannya yang menyebabkan bahwa akibat
itu (delik culpa). Jadi termasuk apa yang disebut “materieel delict” yaitu bahwa
tindak pidana itu baru lengkap apabila terjadi akibatnya.18 Yang merupakan
materinya ialah kematian atau orang mendapat luka berat, yang menyebabkan ia
menjadi sakit atau tidak dapat bekerja lagi.
18
Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, h., 141.
19
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di di dalam KUHP (Jakarta:
Sinar Grafika, 2016, Cet. Kedua) h., 198.
16
Berdasarkan pada pasal 360 KUHP Dalam rumusannya tersebut pada ayat (1)
terdapa unsur-unsur yakni: Adanya perbuatan, karena kesalahannya (kelalaiannya),
dan menimbulkan akibat dengan adanya korban luka-luka berat. Sedangkan, dalam
ayat ke (2), terdapat unsur-unsur yang kurang lebihnya sama seperti dengan ayat ke
(1) ialah sebagai berikut: Adanya perbuatan, karena kesalahannya (kelalaiannya),
dan menimbulkan akibat dimana korban mengalami luka-luka tetapi lebih
khususnya pada ayat ke (2) yang dimana menimbulkan penyakit halangan sehingga
dimana korban tidak dapat menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama
waktu tertentu.20
Rumusan delik ini sama dengan yang tercantum dalam pasal 359 KUHP, yaitu
ada kelalaian (kesalahan) yang harus dibuktikan. Perbedaannya, ialah akibat yang
terjadi bukan sampai menyebabkan kematian orang lain, tetapi luka-luka berat.
Luka berat diinterpretasi secara otentik dalam pasal 90 KUHP. Luka berat yang
berarti:21 dimana orang tersebut atau korban mengalami jatuh sakit atau mendapat
luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang menimbulkan
bahaya, seseorang tidak mampu terus-menerus untuk mejalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian, seseorang kehilangan salah satu pancaindera, mendapat cacat
berat, menderita sakit lumpuh, terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih,
dan gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
20
Ismu Gunandi dan Jonaedi Efendi, Cepat & Mudah Memahami Hukum Pidana (Jakarta:
Kencana, 2014), h., 104.
21
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) di di dalam KUHP (Jakarta:
Sinar Grafika, 2016, Cet. Kedua) h., 200.
17
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun pada ayat (1),
dan pidana paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah jika sampai menyebabkan orang
yang menjadi korban jadi terhalang menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian
selama waktu tertentu pada ayat (2).
Sangat penting adanya pembagian tindak pidana seperti di atas, dimana untuk
membedakan sanksi pada pelaku tindak pidana yang dilakukan secara sengaja dan
tidak sengaja. Dalam tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja menunjukan
adanya unsur kesengajaan untuk melakukan tindak pidana dan sedangkan pada
tindak pidana tidak sengaja, kecenderungan berbuat salah tidak ada. Inilah yang
menyebabkan hukumannya berbeda dimana tindak pidana dengan usnur sengaja
hukumannya lebih berat daripada tindak pidana yang dilakukan dengan usnur
ketidaksengajaan, hukuman tidak dapat dijatuhkan kepada pelaku jika unsur
kesengajaan tidak terbukti, sedangkan pada tindak pidana tidak sengaja, hukuman
yang diberikan hanya karena kelalaian dan ketidak hati-hatiannya saja.22
ْ َّ َ ُ َ َ َ ُ َ َ
Istilah tindak pidana atas selain jiwa )سِ انلف جنا ية لَع ما د و ن
ِ ( Adapun
yang dimaksud mengenai tindak pidana atas selain jiwa menurut Abdul Qadir
Audah adalah bahwa setiap perbuatan yang menyakiti orang lain dan mengenai
badannya, tetapi tidak sampai menghilangkan nyawanya orang tersebut. Pengertian
ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, menurutnya
bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah setiap perbuatan atau tindakan yang
22
Abdul Qadir Audah, At-Tassyri’ al-Jina’i al-Islamy, juz I (t.tp: Muassasah Ar-Risalah,
t.t), Hal. 105.
19
melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan anggota badan,
pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan hidupnya masih
tetap tidak terganggu.23
Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana dalam kategori ini dapat dibagi
kepada dua bagian:
1) Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Pengertian tindak pidana
atas selain jiwa dengan sengaja, seperti dikemukakan oleh Abdul Qadir
Audah adalah di mana pelaku dengan sengaja melakukan perbuatan
dengan maksud melawan hukum. Dalam artian pelaku dengan sengaja
melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud supaya
perbuatannya itu mengenai atau menyakiti orang lain. Sebagai contoh,
seperti seseorang yang dengan sengaja melempar orang lain dengan
batu, dengan maksud supaya batu itu mengenai badan atau kepalanya.
2) Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja. Pengertian tindak
pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau karena kesalahan
adalah suatu perbuatan di mana pelaku sengaja melakukan suatu
perbuatan, tetapi tidak ada maksud melawan hukum. Dalam artian
pelaku memang sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi perbuatan
23
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 179.
20
Pembagian sengaja dan tidak sengaja (al-khata) dalam tindak pidana atas
selain jiwa, masih dipersilisihkan oleh para fuqaha. Seperti halnya dalam
tindak pidana atas jiwa, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa dalam
tindak pidana atas selain jiwa juga ada pembagian yang ketiga, yaitu syibhul
‘amd atau menyerupai sengaja. Contohnya, seperti seseorang yang
menempeleng muka orang lain dengan tempelengan yang ringan, tetapi
kemudian terjadi pelukaan dan pendarahan. Contoh kasus semacam ini
menurut mereka tidak termasuk sengaja, melainkan menyerupai sengaja,
karena alat yang digunakan, yaitu tempelengan ringan, pada galibnya tidak
akan menimbulkan pelukaan atau pendarahan. Namun dalam segi hukumnya
mereka menyamakan dengan tidak sengaja (al-khata).
24
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 180.
21
25
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 181.
22
Hukuman untuk pidana atas selain jiwa dapat dibagi kepada tiga bagian,
pengelompokan hukuman dengan sengaja, menyerupai sengaja, dan kesalahan.
sebenarnya tidak begitu penting, karena dalam tindak pidana atas selain jiwa ini
realisasi dan penerepan hukuman didasarkan atas berat ringannya akibat yang
menimpa sasaran atau objek tindak pidana, bukan kepada niat pelaku. Hukuman
untuk tindak pidana atas selain jiwa tergantung kepada akibat yang ditimbulkan,
baik perbuatannya dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.27
Perbedaan yang mecolok dalam tindak pidana atas selain jiwa ini adalah dalam
hukuman pokoknya. Dalam tindak pidana atas selain jiwa dalam unsur kesengajaan
hukumannya adalah qishash atau hukuman pengganti irsy. Sedangkan dalam tindak
yang dengan unsur menyerupai sengaja dan kekeliruan, hukuman pokoknya adalah
diat atau irsy.
a. Qishash
َ ُُ َۡ َ ۡ َُ ُُ َ ۡ َ ُ ََ ُ ُۡ ۡ َ ََ
)١١( ب وهم َل يشعرونٖ وقالت ِِلختِهِۦ ق ِصيهِِۖ فبُصت بِهِۦ عن جن
26
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 183.
27
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 184.
23
Artinya: “Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan:
"Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang mereka tidak
mengetahuinya.” (Qs. Al- Qasash: 11)
Adapun menurut istilah sebagaimana menurut Ibnu Manzur di dalam Lisan al-
Arab yang dimaksud qishash adalah suatu hukuman yang ditetapkan dengan cara
mengikuti bentul tindak pidana yang dilakukan seperti membunuh dibalas dengan
membunuh. Sedangkan al-Dhahar mengartikan bahwa qishash adalah menghukum
tindak kriminal yang melakukannya dengan sengaja, seperti pembunuhan, melukai
atau memotong anggota tubuh dan semisalnya, dengan hukuman yang sama dengan
tindak kriminalnya.28
ۡ ۡ ُ ۡ ٱۡل ُّر ب
ُ ۡ ِۖ اص ِِف ۡٱل َق ۡت ََل
ُ ك ُم ۡٱلق َصُ ۡ َ َ َ ُ ْ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
ٱۡل ِر َوٱل َع ۡب ُد بِٱل َع ۡب ِد ِ ِ يأيها ٱَّلِين ءامنوا كتِب علي
ٰ َ ۡ ۡ َ ٌَََٓ ُ ۡ َ ۡ ُۢ ُ َ َ ٞ ۡ َ َ ۡ َُ ُ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ُ ۡ َ
وف وأداء إَِلهِ بِإِحس ٖن ِ ِف َلۥ مِن أخِيهِ َشء فٱت ِباع بِٱلمعر َ ِ نَث ٰۚ فمن ع
ٰ نَث بِٱِل
ٰ وٱِل
َ ٌ َ َ ََُ َ َ َ َۡ ََۡ ٞ ۡ َ َ َٰ
ٞ
)١٧٨( ى بعد ذٰل ِك فلهۥ عذاب أ َِلم ٰ َف َمن ٱعتدٞۗ ٞۡحة
َ ۡ ك ۡم َو َرُ َّ
ب ر ِن
م يف ِذل ِك َتف
ِ ِ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang
mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu
adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS. Al-
Baqarah 178 dalam Al-Qurtuby 2006, hlm. 89).
Menurut Al-Jazairi, Surat Al-Baqarah ayat 178 ini mengandung dua fungsi:
28
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 28-29.
24
Hukuman qishash tidak dapat dilaksanakan atau gugur karena beberapa sebab
dan sebab itu dibagi dalam dua bagian yaitu bersifat umum dan bersifat khusus.
29
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 34.
30
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h., 192.
25
b. Diyat
Sedangkan diyat secara terminolgi syariat adalah harta yang wajib dibayar dan
diberikan oleh pelaku jinayat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi,
disebabkan jinayat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban.31
ٞ َۡ َ َ َٰ ۡ َ ََٓ ۡ ۡ ُ َ ۡ َ َ َ ُ ۡ ََ
س ٖن ذٰل ِك َتفِيف ِ فٱت َِباع ُۢ بِٱل َمع ُرٞ َشء
وف َوأدا ٌء إ ِ َۡلهِ بِإِح ِِف َُلۥ م ِۡن أخِيه
َ ِ فمن ع....
َ ٌ َ َ ََُ َ َ َ َۡ ََۡ
ٞ ٰ َف َمن ٱعتدٞۗ ٞۡحة
)١٧٨( ى بعد ذٰل ِك فلهۥ عذاب أ َِلم َ ۡ ك ۡم َو َر
ُ َّ
ِ ِ مِن رب
Ayat ini menerangkan bahwa jika dimaafkan oleh karena keluarga korban,
pembunuh hendak membayar diyat dengan cara yang baik sebagaimana telah
dimaafkan dengan baik.32
31
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 54-55.
32
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukuman Qishash di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), h., 56.
26
ُ َّ ُ َ ۡ َ
ُ ِن َف َت ۡحرٞ ك ۡم َو ُه َو ُم ۡؤم َ َ َ ْ ُ َّ َّ َ َ ٓ َّ ٓ ۡ َ َٰٓ َ ٌ َ َّ َ ُّ ٞ َ َ
ير ِ ل ٖ ودع م
ٍ و ق ِن
م ن ودِية مسلمة إَِل أهلِهِۦ إَِل أن يصدق ۚوا فإِن َك
َ َ ٌ َ َّ َ ُّ ٞ َ َ ٞ َ
َُل أ ۡهلِهِۦ َو ََتۡرير
َٰٓ ِ إ ةمل س م ةِي
د ف قٰ ِيث
م م ه
ُ ََۡ َۡ
ُ ك ۡم َوبَيۡ َن ن يب ِۢمو ق ن م
ِ
َ َ
ن َك ِإَون ة
ِۖ
ٖ
َ َر َق َبة ُّم ۡؤم
ِن ٖ
ِ
َّ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ۡ َ ُ َ َ ۡ َ ۡ َّ َ َ َ ۡ ُّ َ َ َ
ُ َّ َو ََك َنِٞۗٱّلل
ً ٱّلل َعل
ِيما َحكِيما ۡي توبة مِن
ِ َيد ف ِصيام شهري ِن متتابِع
ِ رقبةٖ مؤمِنةِٖۖ فمن لم
)٩٢(
Artinya: “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin
(yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh
seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba
sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan
kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada
keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh)
berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An- Nisa : 92)
33
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Sebagai Syarat Pemidanaan, (Yogyakarta: Rangka Education Yogyakarta &
PuKAP Indonesia, 2012, Cet Pertama), h.,71.
27
Dalam tindak pidana, pelaku dapat diberikan pidana jika telah memenuhi
unsur-unsur delik yang telah di tentukan dalam Undang-Undang. Pada pendapat
Mahrus Ali bahwa dijatuhinya pidana seseorang tidaklah cukup apabila orang itu
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan
hukum. Oleh karena itu meskipun perbuatan tersebut telah memenuhi dari rumusan
delik dalam Undang-Undang yang ada, tetapi hal tersebut belum bisa dalam
memenuhi penjatuhan pidana. Oleh karena itu dalam pemidanaan masih perlunya
syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan
pidana itu harus memenuhi unsur kesalahan atau dinyatakan bersalah. Seorang itu
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya jika dilihat dari sudut perbuatannya
dapat dimintai pertanggungjawaban kepada seorang tersebut.36
34
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung Mandar Maju 2000, Cet
Keuda), h., 65.
35
Moeljatmo, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Bima Aksara,
1983), h., 25.
36
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet Pertama),
h., 155-156.
28
pidana itu mampu menilai dengan pemikirannya atau dengan perasaannya bahwa
perbuatan yang telah dilakukannya adalah perbuatan yang dilarang artinya tidak
dikehendaki oleh Undang-Undang yang berlaku karena pada dasarnya seorang
terdakwa telah dianggap mampu dimintai pertanggungjawaban kecuali dinyatakan
bahwa sebaliknya seseorang terdakwa itu tidak mampu dimintai
pertanggungjawaban.37
37
Elfa Murdiana, “Pertanggungjawaban Pidana dalam Perspektif Hukum Islam dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, AL-Mawardi, XII, 1, (Februari-
Agustus 2012), h., 3.
38
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Eresko,
1986), h., 55
29
Dari pengertian yang telah dikutip diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan bertanggungjawab adalah salah satu unsur penting dalam sebuah
pertanggungjawaban pidana.
2. Adanya Kesalahan
39
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, h., 171.
40
P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya,
1997), h., 397.
41
Roelan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara
Baru, 1983, Cet. Ketiga), h., 77.
42
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kesatu),
h., 157.
30
43
Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulang Bintang, 1967),
h., 154.
44
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menaggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam,
(Jakarta, PT Bulan Bintang, 1967, Cet. Ketiga), h., 165.
31
Maka dengan itu dapat disimpulkan bahwa dalam syariat (hukum) Islam
pertanggungjawaban itu dapat didasarkan pada tiga hal:
Apabila dalam ketiga hal diatas ditemukan, maka seseorang itu dapat dimintai
pertanggungjawaban karena telah melakukan perbuatan pidana, jika sebaliknya
tidak ditemukan maka tidak ada perbuatan yang dipertanggungjawabkan.45 Karena
itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak- anak
yang belum mencapai umur balig atau orang yang dipaksakan untuk melakukan
perbuatan kejahatan, yang mengakibatkan terancam jiwanya. Hal ini diterangkan
dalam dalil hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud, yaitu dihapuskan ketentuan
dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai
ia sembuh, dan dari anak kecil sampai dewasa.
Prinsip dasar yang ditetapkan dalam hukum Islam adalah sesuatu yang tidak
diharamkan berarti dibolehkan, akan tetapi jika suatu perbuatan diharamkan,
hukumannya dijatuhi sejak pengharamannya diketahui. Adapun perbuatan yang
terjadi sebelum pengharaman maka ia termasuk dalam kategori pemaafan.46
45
Elfa Murdiana, “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, AL-MAWARDI, XII, 1,
(Februari-Agustus 2012), h., 8.
46
Elfa Murdiana, “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Relevansinya Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia”, Jurnal Al-Mawarid, Vol. XII, No.
1, 2012, h. 9.
32
47
R. Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur 1994), hal.13
48
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 170.
33
49
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pasca Sarjana Fakultas Universitas
Indonesia, 2003), hal. 53-56.
34
50
Sakkirang Sriwaty, Hukum Perdata, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal 135.
35
51
M.A. Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pradnya 1982), hal 25-
26.
52
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2008), hal. 125.
BAB III
A. Duduk Perkara
Pada tanggal 30 Maret 2014 telah terjadi suatu peristiwa di Toko Central
Aquarium dan Petshop Manado, dimana semua bermula dari pengunjung Petshop
bernama Engelin Sumendap bersama suami bernama Steven Moniaga sedang
mencari kebutuhan binatang peliharaannya di toko yang menjual hewan peliharaan
seperti anjing dan aneka kebutuhan makanan serta keperluan hewan lainnya milik
Haryanto Christian Yang beralamat di jalan Wolter Mongisidi Nomor 28,
Kelurahan Malalayang I, Kecamatan Malalayang, Kota Manado.
53
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 3.
37
38
berbahaya dan tidak seharusnya dilepas bebas berkeliaran di area umum, dan
ternyata sebelumnya anjing tersebut pernah mengigit orang lain juga hari sebelum
serangan terhadap Engelin sehingga sudah sepatutnya selaku pemilik Haryanto
selaku pemilik toko mengkarantina hewan tersebut.
Suami korban yaitu Steven Moniaga yang dimana sudah berusaha dengan niat
baik untuk bertemu Haryanto selalu pemilik toko, namun niat baik suami korban
untuk bertemu dengan pemilik toko tidak disambut dengan baik, dimana Haryanto
selaku pemilik toko selalu menghindar dan tidak mau bertemu dengan suami
korban. Bahkan sampai dengan jangka waktu dimana korban telah keluar dari
rumah sakit Siloam Hospital Manado bahkan sampai akhirnya pihak korban
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Manado ternyata tidak juga
melaksanakan kewajibannya melakukan pembayaran ganti rugi kepada korban.
Kerugian yang dialami oleh Engelin untuk membayar biaya tindak medik
selama dirawat di Rumah Sakit SILOAM HOSPITALS MANADO akibat serangan
hewan ini total jumlahnya setelah di kalkulasi sebesar Rp. 49. 714. 455,- (Empat
54
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 4.
39
puluh sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh lima
rupiah).55
Dalam isi utama tuntutan yang diajukan oleh Engelin selaku peggugat dan
terhadap Haryanto selaku tergugat kepada Majelis Hakim diantara lain yang berisi
adalah memohon untuk Majelis Hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk
seluruhnya dengan menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan tergugat yang
menolak membayar ganti kerugian yang diderita penggugat adalah perbuatan
melawan hukum dan merugikan penggugat. Menghukum tergugat untuk membayar
ganti kerugian materiil kepada penggugat sejumlah Rp. 49. 714. 455,- (Empat puluh
sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh lima rupiah) dan
kerugian immaterial sejumlah Rp. 1.000.000.000,- (Satu milyar rupiah), dengan
total jumlah keseluruhannya adalah sebesar Rp. 1.049.714.455,- (Satu milyar empat
puluh sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh lima
rupiah)57 secara tunai setelah putusan ini diucapkan. Menghukum tergugat untuk
membayar uang paksa sebesar Rp 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah) setiap harinya
55
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 6.
56
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 7.
57
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 10.
40
yang harus dibayar tergugat apabila lalai melaksanakan isi putusan dalam perkara
ini.
B. Pertimbangan Hakim
Terkait mengenai dari isi gugatan yang diajukan oleh Engelin yang selanjutnya
disebut sebagai Penggugat, terhadap Haryanto yang selanjutnya dinyatakan sebagai
Tergugat dalam gugatan yang diajukan kepada Majelis Hakim di Pengadilan Negeri
Manado. Dalam gugatannya Majelis hakim menimbang bahwa terhadap
permasalahan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum/pelanggaran hukum
yang terjadi Majelis Hakim akan mempertimbangkan berdasarkan alat bukti yang
diajukan pengggugat.58
Berdasarkan dari fakta hukum yang telah dibuktikan yang terdapat dalam
putusan tersebut dan dari keterangan dibawah sumpah sanksi-sanksi yang diajukan
penggugat maupun tergugat dipersidangan diperoleh fakta hukum yang tidak
dibantah oleh kedua belah pihak yang dimana bahwa benar pada tanggal 30 Maret
2014, Engelin (Penggugat) dan ditemani oleh suaminya datang ke Toko Aquarium
& Petshop milik Haryanto (Tergugat) yang dimana menjual hewan peliharaan
seperti anjing dan aneka kebutuhan lainnya untuk hewan peliharaan. Dimana
merupakan bahwa benar Tergugat adalah sebagai pemilik sekaligus adalah
penanggungjawab dari Toko Central Aquarium & Petshop, membenarkan juga
bahwa sewaktu Engelin ditemani suami hendak masuk kedalam toko saat itu
Engelin serta beberapa orang lainnya yang merupakan juga pengunjung melihat
adanya seekor anjing dengan ukuran cukup besar berjenis Alaskan Husky dilepas
dengan bebas berkeliaran dan tanpa diikat (dirantai dan atau dikarantina) dalam
toko milik Tergugat.
58
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 52.
41
bagian lengan. Bahwa benar akibat luka serius yang dialami Penggugat tersebut,
Penggugat ditemani suaminya berobat ke Rumah Sakit SILOAM HOSPITAL
Mando dan harus ditangani dengan serius sehingga menjalani rawat inap dan
operasi sejak tanggal 30 Maret 2014 sampai dengan tanggal 5 April 2014 dan
dibenarkan dengan kesaksian saksi oleh dr. Mendy Juniaty Hatibie.59
Berdarkan dari fakta yang terdapat, menurut Majelis Hakim bahwa Tergugat
yang sudah mengetahui bahwa anjing akan bersifat agresif ketika diganggu,
disentuh atau sedang makan, dimana seharusnya ketika memberi makan anjing
miliknya Tergugat seharusnya dilakukan diruangan lain yang terpisah, sehingga
tidak memungkinkan untuk bertemu/ bersentuhan dengan orang lain yang tidak
dikenalinya, supaya anjing tersebut tidak terganggung ketika sedang makan.oleh
karenanya dimana telah terbukti adanya peristiwa tersebut telah terlihat nyata
adanya ketidak hati-hatian (kelalaian) dari Tergugat yang memberi makan ditempat
yakni didalam ruangan toko milik Tergugat yang pasti dikunjungi dan dilewati oleh
pembeli atau pengunjung toko milik Tergugat, dimana hal ini, terbukti dengan ada
persitiwa Penggugat diserang oleh anjing jenis Alaskan Husky/ malamute milik
Tergugat yang ketika itu sedang atau akan makan, sehingga telah terbukti adanya
kelalaian dam kesembronoan dari Tergugat.
59
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 53.
60
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 54.
42
KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut, dengan
demikian beralasan hukum untuk mewajibkan Tergugat konvensi mengganti
kerugian berupa biaya perawatan dan pengobatan akibat serangan anjing milik
Tergugat terhadap Penggugat konvensi.Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
penolakan dari Tergugat konvensi untuk bertanggungjawab atas peristiwa tersebut
sebagaimana dalil jawabannya haruslah ditolak, sehingga beralasan hukum bagi
Majelis Hakim untuk mengabulkan petitum gugatan Penggugat konvensi pada point
4 dan 5.61
Selanjutnya mengenai kerugian yang telah terjadi dari persitiwa ini Majelis
Hakim telah menimbang bahwa apakah Tergugat konvensi berkewajiban untuk
membayar seluruh kerugian Penggugat konvensi berupa biaya perawatan dan
pengobatan yang diderita Penggugat konvensi yaitu sebesar Rp. 49.714.455,-
(Empat puluh sembilan juta tujuh ratus empat belas ribu empat ratus lima puluh
lima rupiah), dimana Tergugat konvensi menolak untuk membayar seluruh biaya
perawatan dan pengobatan Penggugat sejumlah tersebut, menurut Majelis Hakim
undang-undang tidak membedakan antara kewajiban mengganti kerugian yang
disebabkan oleh perbuatan melawan hukum karena kesengajaan atau kelalaian/
kesembronoan, sehingga Tergugat konvensi haruslah dihukum untuk membayar
seluruh biaya perawatan dan pengobatan Penggugat konvensi.62
61
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 54.
62
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 55.
63
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 57.
43
64
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 59.
44
dibayarkan kepada Penggugat konvensi adalah sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah) setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap.65
65
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 60.
66
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 60.
67
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 61.
45
harus dibayar Tergugat konvensi bila lalai dalam melaksanakan putusan ini yang
telah berkekuatan hukum tetep. Namun pada tuntutannya tersebut telah dibantah
Tergugat konvensi dalam jawabannya.68
Terhadap posita gugatan menurut Majelis Hakim, pokok posita dan petitum
gugatan Penggugat konvensi adalah meminta agar Tergugat konvensi dihukum
untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi akibat perbuatan melawan
hukum yang dilakukan Tergugat konvensi, maka sesuai dengan ketentuan
Reglemen acara perdata (reglement op de rechtsvordering/ staatblad 1847-52 Jo.
1849-63) pasal 606, yang menyatakan bahwa “sepanjang suatu keputusan hakim
mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang,
maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi
hukum tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan
dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa”, oleh karenanya
posita dan petitum gugatan Penggugat konvensi mengenai uang paksa (dwangsom)
tersebut haruslah dinyatakan tidak beralasan hukum dan haruslah ditolak.69
Dalam Rekonvensi:
68
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 61.
69
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 62.
46
C. Putusan Hakim
70
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 63.
47
hukum tetap.71 Majelis Hakim menolak gugatan Penggugat konvensi untuk selain
dan selebihnya. Dan Terakhir dalam gugatan rekonvensi Majelis Hakim telah
menolak gugatan Penggugat rekonvensi untuk seluruhnya.
71
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 63.
BAB IV
72
Totok Dwinur Haryanto, “Hubungan Hukum Yang Menimbulkan Hak dan Kewajiban
Dalam Kontrak Bisnis”, (Wacana Hukum, Volume IX, Nomor 1, April, 2010), h. 85.
73
Lihat Pasal 1338 KUHPerdata.
47
48
Dalam konsepsi ini, timbulnya hak dimaknai dalam kerugian yang diderita oleh
seseorang dan kewajiban yang di maknai sebagai mengganti kerugian atas kerugian
yang dialami oleh orang lain. Hak dan kewajiban tersebut pada dasarnya muncul
bukan karena perikatan atau sebuah perjanjian, tapi karena adanya suatu hak yang
dilanggar sehingga timbul hubungan hukum yang mengharuskan orang yang
melanggar mengganti kerugian. Namun, terdapat beberapa hal yang harus dijadikan
acuan bahwa memang telah terjadi perbuatan melawan hukum dan keharusan
adanya ganti kerugian yaitu 1). Adanya unsur perbuatan; 2). Perbuatan tersebut
melawan hukum; 3). Adanya unsur kesalahan; 4). Adanya suatu kerugian; 5).
Adanya hubungan kausal (sebab akibat) antara perbuatan yang dilakukan dengan
kerugian yang ditimbulkan.74
74
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2003), h. 10.
49
“…menurut Majelis Hakim Tergugat yang sudah mengetahui bahwa anjing akan
bersifat agresif ketika diganggu, disentuh atau sedang makan, dimana seharusnya
ketika memberi makan anjing milik Tergugat tersebut seharusnya dilakukan
diruangan lain yang terpisah, sehingga tidak memungkinkan untuk
bertemu/bersentuhan langsung dengan orang lain yang tidak dikenalinya, supaya
anjing tersebut tidak terganggung ketika sedang makan. 75
Dalam makna lain, sebuah perbuatan melawan hukum tidak hanya dimaknai
dengan adanya sebuah perbuatan konkrit guna melakukan sesuatu, namun tidak
melakukan sesuatu dengan situasi kelalaian dan kelalaian tersebut justru
menimbulkan kerugian. juga dapat dikategorikan sebagai sebuah perbuatan
melawan hukum. Pasal 1366 KUHPerdata menegaskan bahwa setiap orang
bertanggungjawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-
perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau
kesembronoannya. Artinya, unsur pertama perbuatan melawan hukum yaitu adanya
perbuatan baik itu aktif ataupun pasif telah terpenuhi.
Unsur kedua ialah perbuatan tersebut secara nyata bertentangan atau melawan
hukum. Perbuatan yang melawan hukum tersebut secara nyata, genus nya berdasar
pada Pasal 1365 KUHPerdata sebagai pintu utama bahwa perbuatan melawan
75
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 53.
50
76
Evalina Yessica, “Karakteristik dan Kaitan Antara Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi”, (Jurnal Repertorium, Volume 1, Nomor 2, November 2014), h. 51.
77
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 54.
51
dalam toko milik Tergugat, dan anjing Alaskan Husky milik Tergugat tersebut
menyerang Penggugat hingga menyebabkan Penggugat terjatuh dan bersimbah
darah dan mengalami luka serius di bagian wajah, bibir, dan luka bagian lengan.78
Hal ini adalah bentuk dari tindakan Tergugat berupa kelalaian yang bertentangan
dengan kewajiban hukum Tergugat guna menkarantina hewan peliharaan dan pada
dasarnya Tergugat telah mengetahui bahwa jika anjing akan bersifat agresif jika
diganggu, disentuh, atau sedang makan dan seharusnya sudah menjadi kewajiban
Tergugat tatkala memberi makan anjing diruang yang terpisah, kecuali tindakan
tersebut di akibatkan karena keadaan-keadaan Tergugat yang bersifat force
majeure. 79
“bahwa fakta hukum tersebut, telah terbukti adanya peristiwa tersebut telah
terlihat nyata adanya ketidak hati-hatian (kelalaian) dari Tergugat yang
memberi makan ditempat yakni didalam ruangan toko milik Tergugat yang pasti
dikunjungi dan dilewati oleh pembeli atau pengunjung toko milik Tergugat, dimana
78
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 53.
79
Force Majeure adalah keadaan memaksa dan lazimnya ditujukan terhadap suatu
peristiwa yang berada di luar jangkauan manusia untuk menghindar dari peristiwa tersebut. Lihat
pada Agni Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak
(Perjanjian) Indonesia, (Veritas et Justitia, Volume 1, Nomor 1, 2015), h. 139.
52
hal ini, terbukti dengan ada peristiwa Penggugat di serang oleh anjing jenis
alaskan hesky/malmute milik Tergugat yang ketika itu sedang atau akan makan,
sehingga terbukti adanya kelalaian dan kesembronoan dari Tergugat.”
Dari fakta hukum tersebut kelalaian terjadi tatkala Tergugat memberi makan
anjing tersebut di toko yang sering dilewati pengunjung yang menyebabkan adanya
serangan fisik oleh anjing Tergugat kepada Penggugat. Keadaan alpa tersebut yang
membuat terpenuhi nya unsur perbuatan melawan hukum yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban oleh Tergugat selaku pemilik hewan. Sementara pada unsur
ketiga terjadinya perbuatan melawan hukum adalah adanya suatu kerugian yang
diderita akibat suatu tindakan tertentu. Konsepsi ini berakar dari doktri hak asasi
manusia yaitu jika adanya hak yang dilanggar maka menimbulkan suatu kewajiban.
Dalam konteks ini pelanggaran hak seseorang, negara wajib melakukan pemulihan
hak (to fulfill) dengan melindungi (to protect) dan menghormati (to respect).80
Pada perkara a quo, kerugian materil disebabkan karena adanya serangan fisik
anjing yang menyebabkan Penggugat luka-luka. Kendati hal tersebut adalah berupa
kelalaian dari Tergugat, menurut Majelis Hakim tidak ada pembedaan
pertanggungjawaban yang disebabkan oleh kelalaian ataupun kesengajaan. Biaya
perawatan medis guna menyembuhkan luka-luka yang diderita Penggugat yang
menjadi dasar adanya kerugian secara materil sebagaimana diuraikan oleh Majelis
Hakim dalam ratio decidendi nya yaitu,
80
Rhona K.M. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), 2008), h. 69.
81
Lihat Pasal 10 KUHP.
53
“…bahwa terhadap permintaan ganti rugi imateriil tersebut telah diatur oleh
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) pasal 1371 bahwa
82
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 55.
83
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 60
54
“Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja atau
karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk menuntut
penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian kerugian yang
disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut. Juga penggantian kerugian ini
dinilai menurut kedudukann dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut
keadaan…”84
Unsur kelima ialah telah adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan yang
dilakukan dengan kerugian yang diderita. Dalam konteks ini, penting untuk
ditekankan bahwa perbuatan melawan hukum akan terjadi tatkala menimbulkan
kerugian baik secara materil ataupun immateril. Kendati suatu perbuatan lalai,
sebagaimana dilakukan oleh Tergugat dengan tidak menjaga anjingnya, dan tidak
menimbulkan suatu serangan fisik kepada Penggugat yang menyebabkan luka-luka,
maka perbuatan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan
hukum.
84
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 59.
85
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum,…, h. 55
86
Lihat Putusan Peninjauan Kembali Nomor 650/PK/Pdt/1994.
55
yang dapat disebut dengan tindakan atau perbuatan melawan hukum. Pada konteks
ini sering disebut dengan terminologi kausalitas atau sine qua non.87
87
Prihati Yuniarlin, “Penerapan Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum Terhadap
Kreditur Yang Tidak Mendaftarkan Jaminan Fiducia”, (Jurnal Media Hukum, Volume 19, Nomor
1, Juni 2012), h. 9.
88
Septa Chandra, “Pembaharuan Hukum Pidana; Konsep Pertanggungjawaban Pidana
Dalam Hukum Pidana Nasional Yang Akan Datang”, (Jurnal Cita Hukum, Volume 1, Nomor 1,
Juni 2013), h. 42.
89
Lihat Pasal 44, 45, 48, 49, 50, dan 51 KUHP.
56
terlarang yang telah dikodifikasikan dalam undang-undang dan mens rea ialah
berkaitan dengan apakah si pelaku mempunyai kesalahan berdasarkan niatnya
melakukan perbuatan yang terlarang.90Actus reus dalam penerapannya
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada konsep dualistis yaitu mencocokan
perbuatan dengan rumusan delik. Namun, unsur yang menentukan seseorang
dipidana tersebut juga bergantung pada mens rea.
Pada konsepsi yang lebih khusus, mens rea juga memiliki kategori jika
dikontekstualisasikan terbuktinya seseorang atau dader (kesalahan) melakukan
tindak pidana yaitu kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Kesengajaan
sebagaimana dinukilkan oleh Moeljanto ialah suatu pengetahuan adanya hubungan
batin atau pikiran dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang91. Dalam artian,
kesengajaan (dolus) terjadi tatkala seseorang melakukan tindak pidana dengan
keadaan sadar bahwa tindakannya akan mengakibatkan seseorang mengalami
kerugian secara nyata.
Sementara, kelalaian (culpa) ialah merujuk pada kapasitas psikis seseorang dan
kurang menduga secara nyata akibat fatal dari tindakan tersebut. Wirjono
Prodjodikoro juga mendefinisikan hal serupa, yaitu kesalahan dalam konteks pada
umumnya yang memiliki makna lain dari kesalahan yang berasal dari ‘niat’. Dalam
arti lain, kurangnya kehati-hatian sehingga akibat yang tidak disengaja
terjadi.92Afirmasi yuridis atas tindak pidana yang disebabkan oleh kelalaian tertulis
dalam Pasal 359, 360 ayat (1) dan (2) KUHP.
Kendati aturan mengenai penyerangan hewan diatur dalam Pasal 490 KUHP,
namun kelalaian atau culpa tidak diatur dalam Pasal a quo. Unsur-unsur yang
terdapat dalam Pasal 490 KUHP ialah terdiri dari, Pertama, “menghasut hewan”,
Kedua “tidak mencegah hewan yang ada dibawah penjagaannya jika hewan
90
Kristian, “Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, (Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Volume 44, Nomor 4, Oktober-Desember 2013), h. 604.
91
Gede Agastia Erlandi, “Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Terkait Penghinaan
Agama”, (Juris-Diction, Volume 1, Nomor 2, November 2018), h. 543.
92
Tisa Windayani, “Proporsionalitas Pasal 79 Huruf C Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 Tentang Praktek Kedokteran Dan Pasal 360 KUHP Dikaitkan Dengan Unsur Kesalahan
Terdakwa”, (Jurnal Panorama Hukum, Volume 4, Nomor 2, Desember 2019), h. 150.
57
Kendati pada unsur ketiga terdapat unsur kelalaian yaitu berupa “tidak menjaga
secukupnya”, namun hal tersebut terbatas pada binatang buas yang berbahaya
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 490 angka 4 KUHP. Oleh karenanya,
kelalaian dari pemilik hewan peliharaan yang menyebabkan luka-luka atau
kerugian dalam konteks pidana, tidak hanya dapat dikenakan Pasal 490 berkaitan
dengan penyerangan hewan terhadap orang ataupun hewan, unsur kelalaian yang
terdapat dalam Pasal 359, 360, dan 361 KUHP juga dapat dikategorikan sebagai
delik yang dikenakan kepada pemilik hewan karena kelalaiannya.
93
Lihat pada Pasal 490 angka 1, 2, 3, dan 4 KUHP.
94
Yoppuy Kurniawan Situmorang, Yuliati, Nurini Aprilianda, “Kriminalisasi Kelalaian
Dalam Perbuatan Persiapan Tindak Pidana Terorisme Indonesia”, (Al-Jinayah: Jurnal Hukum
Pidana Islam, Volume 5, Nomor 1, Juni 2019), h. 88-89.
58
“Bahwa dari fakta tersebut, menurut Majelis Hakim Tergugat yang sudah
mengetahui bahwa anjing akan bersifat agresi ketika diganggu, disentuh, atau
sedang makan, dimana seharusnya ketika memberi makan anjing milik Tergugat
tersebut seharusnya dilakukan diruangan yang terpisah, sehingga tidak
memungkinkan untuk bertemu/ bersentuhan dengan orang lain yang tidak
dikenalinya, supaya anjing tersebut tidak terganggu ketika sedang makan.”95
Bahwa pada dasarnya, Tergugat telah ceroboh dan tidak hati-hati dalam
memberi makan anjing milik Tergugat yang menempatkan makanan anjing tersebut
didalam toko bersamaan dengan pelanggan toko sehingga menyebabkan adanya
serangan fisik dari anjing Tergugat yang menyebabkan luka-lukanya Penggugat.
Perbuatan lalai tersebut yang menyebabkan kerugian, juga sebenarnya disadari oleh
pemohon tatkala mengetahui bahwa anjing akan bersifat agresi ketika diganggu saat
makan. Oleh karenanya memberi makan di toko bersamaan dengan adanya
pelanggan toko in casu Penggugat, adalah bukti dari ceroboh, tidak hati-hati, dan
tidak berpikir secara futurisik atas terjadinya suatu kelalaian.
Unsur kedua yaitu pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat
menurut hukum tertulis ataupun tidak tertulis yang mengakibatkan adanya
perbuatan yang sesuai dengan unsur-unsur pidana. Pada unsur ini, Tergugat terbukti
adanya kelalaian atas kepemilikan hewan (anjing) yang menyebabkan penggugat
mengalami luka-luka akibat serangan fisik sebagaimana disampaikan pada ratio
decidendi hakim,
“bahwa dari fakta hukum tersebut, telah terbukti adanya peristiwa tersebut telah
terlihat nyata adanya ketidak hati-hatian (kelalaian) dari Tergugat yang memberi
makan ditempat yakni didalam ruangan toko milik Tergugat yang pasti dikunjungi
dan dilewati oleh pembeli atau pengunjung toko milik Tergugat, dimana hal ini,
terbukti dengan ada peristiwa Penggugat diserang oleh anjing jenis alaskan
hesky/malamute milik Tergugat yang ketika itu sedang makan atau akan makan,
sehingga telah terbukti adanya kelalaian dan kesembronoan dari Tergugat.”96
95
Lihat Putusan Nomor 236/G.Pdt/2014/Pn.Mnd, h. 53.
96
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/Pn.Mnd, h. 53
59
Unsur yang ketiga ialah perbuatan pelaku dapat dicela dan akibatnya perbuatan
pelaku harus dipertanggungjawabkan. Pada konteks ini, perbuatan tersebut terlepas
dari alasan pemaaf seperti halnya cacat kejiwaan, anak dibawah umur, daya paksa,
pembelaan terpaksa, perintah undang-undang ataupun perintah jabatan.97 Fakta
hukum yang diuraikan oleh Tergugat dalam jawabannya atas gugatan Penggugat
sebagaimana dalam Putusan a quo membuktikan bahwa telah terjadi kelalaian,
“bahwa anjing tersebut tidak akan menyerang jika tidak ada sebeb, perlu
dijelaskan bahwa sumber penyebab mengapa terjadi serangan dari anjing milik
Tergugat karena Penggugat yang menggangu terlebih dahulu terhadap anjing
yang sedang makan.”
Fakta hkum yang diuraikan oleh Tergugat membuktikan, bahwa tidak ada
alasan pemaaf bagi Tergugat dan Tergugat telah menyadari adanya keadaan dimana
jika anjing akan menyerang orang lain jika diganggu, dan Tergugat tidak
menganitisipasinya dengan memberi makan ditempat yang terpisah. Oleh
karenanya, keadaan yang tidak berada pada konsepsi alasan pemaaf dan Tergugat
menyadari hal tersebut. Sehingga perbuatan Tergugat yang lepas dari alasan pemaaf
dapat dipersalahkan atau dicela karena memang dalam keadaan normal ketika
97
Lihat Pasal 44, 45, 48, 49, 50, dan 51 KUHP.
60
Dalam sumber utama hukum Islam, Al-Qur’an, disebutkan bahwa anjing pada
dasarnya adalah hewan yang hanya diperbolehkan dipelihara guna untuk memburu
sebagaimana disebutkan dalam Surah Al Maidah ayat 4;
Surah ini memiliki arti yaitu, “Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang
dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan
(buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan
98
Lihat Putusan Nomor 236/Pdt.G/2014/PN.Mnd, h. 53.
61
melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”.
“Siapa yang memlihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga hewan ternak,
berburu, dan menjaga tanaman, maka akan dikurangi pahalanya setiap hari
sebanyak satu qirath” (HR. Muslim, no. 1575). Namun, terlepas dari unsur halal
atau haram, yang menjadi fokus dalam pembahasan ialah mencari unsur
pertanggungjawaban jika terjadi kelalaian dalam kepemilikan hewan yang berujung
merugikan seseorang dalam hukum Islam.
Hal demikian diafirmasi melalui kaidah yang berbunyi “tidak berdosa tapi wajib
ganti rugi99”,
لكن مع اإلتالف يثبت البدل و ينتفي, اخلطء و اإلكراه و النسيان أسقطه معبودان الرمحان
Kaidah tersebut dipertegas lebih lanjut oleh Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami
dalam kitabnya Tuhfatu al-Muhtaj, 100
ِ فص
ِ َاحبُهُ َمنْ َعهُ ِِبَْب ِس ِه أ َْو ق ِ ِ ِ
ٍ َص َجن
ُاح لَه َ َ ول َعلَى ج َدا ِر غَ ِْريه َو َش َّق َم ْن عُهُ ُكلُ اد الطَّائُِر الن
َ ُّز َ َل َْو ا ْعت
ِ َن ِمن َشأ
ْن الطَّ ِْري تَ َولُّ َد ِ ِ ِ ِ ِ َ وإِ ْن ََل ي تَ ولَّ ْد َعن الطَّائِ ِر، كِ
ْ َّ ض َرر ِبُلُوسه َعلَى ا ْْل َدا ِر ؛ ِل ْ َ َ ْ َ َ أ َْو ََْن ِو ذَل
Artinya, Andai berlaku kebiasaan seekor unggas terbang dan hinggap pada
dinding orang lain dan susah untuk mencegahnya, maka pemilik unggas dibebani
tugas mengurungnya atau memotong sayapnya atau tindakan semisal, meskipun
hinggapnya unggas diatas tembok tersebut tidak membawa akibat langsung pada
timbulnya kerugian. Karena bagaimanapun, tingkat polah seekor unggas dapat
menularkan terjadinya najis sebab kotorannya, dan terkadang sebab hinggapnya ia
di atas tembok, dapat berakibat pada tercegahnya pemilik tembok dari
memanfaatkan tembok yang dimilikinya. Pendapat ini pada dasarnya, kendati yang
disebutkan ialah unggas, namun makna pentingnya ialah terdapat
pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pemilik hewan baik itu karena
99
Abd Salam, Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam, diakses melalui
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/ganti-rugi-menurut-hukum-perdata-
dan-hukum-islam-oleh-drs-h-abd-salam-s-h-m-h-28-8.
100
Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj ‘ala Syahri al-Minhaj,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt.: 23/202). Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--wajib-ganti-
rugi-
63
Tafsir atas kaidah tersebut juga diperinci oleh Sayyid Abu Bakar ibn Syatha’
ulama yang bermazhab Syafi’i dalam kitabnya Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi
Syarh Fathi al-Mu’in
وإن كانت وحدها فأتلفت زرعا أو غريه هنارا َل يضمن صاحبها أو ليال ضمن إال أن ال يفرط
101
Sayyid Abu Bakar ibn Syatha, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-Mu’in,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179), Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--wajib-ganti-
rugi-
102
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--
wajib-ganti-rugi-
64
103
Sayyid Abu Bakar ibn Syatha, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-Mu’in,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179), Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-orang-lain--wajib-ganti-
rugi-
65
104
HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmindzi, an-Nasa’I, Ibnu Majah dan Ahmad
dari Abu Hurairah r.a. dalam Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Sistem Ekonomi
Islam, Pasar Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf, Pencurian), (Jakarta: Penerbit Gema Insani &
Darul Fikir, 2011), h. 699.
105
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu (Sistem Ekonomi Islam, Pasar
Keuangan, Hukum Hadd Zina, Qadzf, Pencurian), (Jakarta: Penerbit Gema Insani & Darul Fikir,
2011), h. 700.
66
terjadi padanya”. Instrumen kaidah fikh ini merefleksikan bahwa pada hakikatnya
dasar interaksi manusia terhadap Allah SWT.106 Hal demikian selaras dengan
keridhaan atas penjagaan binatang yang telah dilaksanakan secara maksimal pada
siang hari namun tetap terdapat sebuah kerusakan yang dilakukan oleh binatang
tersebut ialah terdapat sebuah usaha (ikhtiar) yang telah dilakukan dan selebihnya
diserahkan kepada Allah SWT (tawakal).
Relevansi dari kaidah tersebut dengan konteks kelalaian dalam kepemilikan
hewan dalam perspektif Islam ialah pada konteks hukum pidana Islam
menghilangkan pertanggungjawaban pemilik hewan jika telah dilakukan secara
maksimal penjagaan pada siang hari, karena pada hakikatnya kaidah fikh tersebut
mempertegas bahwa keridhaan dengan sesuatu (usaha menjaga binatang
semaksimal mungkin) adalah ridha dengan akibat yang terjadi padanya (kuasa
Allah dalam menentukan sikap binatang). Sehingga tawakal berbentuk ridha
dengan akibat yang terjadi padanya menghilangkan pertanggungjawaban terhadap
pemilik binatang karena diluar kuasanya (Kuasa Allah SWT).
Berbeda halnya dengan konsepsi kelalaian kepemilikan hewan dalam konteks
hukum positif di Indonesia. Ahli hukum pidana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Alfitra, menegaskan bahwa kelalaian dalam kepemilikan hewan adalah mutlak
menjadi tanggungjawab pemilik hewan karena masuk dalam keadaan lalai (culpa)
yang tidak mengenal adanya konteks siang atau malam maupun binatang buas atau
tidak107. Keadaan seperti halnya untuk menyerahkan seluruhnya kepada Allah SWT
ketika telah menjaganya secara ketat dan maksimum tidak dapat menjadi
pertanggungjawaban. Sehingga, disparitas mendasar dari hal tersebut adalah
kejadian yang diluar dugaan tidak termasuk menghilangkan pertanggungjawaban
pidana.
Oleh karenanya, dapat ditarik benang emas terdapat perbedaan mendasar dalam
menyikapi ganti kerugian atas kerusakan yang dialami oleh seseorang akibat hewan
peliharaan antara unsur hukum positif di Indonesia dan hukum Islam, yaitu hukum
106
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. H. Abdul Rahman Dahlan, M.A., Pada tanggal 1 Desember 2020 pukul 10:00 WIB.
107
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Pidana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Alfitra, S.H, M.H. Pada tanggal 2 Desember 2020 pukul 08:00 WIB.
67
68
69
Alquranul Karim
70
71
Smith, Rhona K.M, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII), 2008.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Press, 2005.
Yessica, Evalina, Karakteristik dan Kaitan Antara Perbuatan Melawan Hukum dan
Wanprestasi, Jurnal Repertorium, Volume 1, Nomor 2, November 2014.
73
Pasal 1338, 1365 dan 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Putusan Pengadilan:
Internet:
Abd Salam, Ganti Rugi Menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam, diakses melalui
https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/ganti-rugi-
menurut-hukum-perdata-dan-hukum-islam-oleh-drs-h-abd-salam-s-h-m-h-
28-8. Di akses pada Hari Sabtu 5 September 2020, Pukul 17.45.
Syihabuddin Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfatu al-Muhtaj ‘ala Syahri al-Minhaj,
(Damaskus: Daru al-Fikr, tt.: 23/202). Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-
orang-lain--wajib-ganti-rugi- Di akses pada Hari Minggu 13 September,
Pukul 15.55.
Sayyid Abu Bakar ibn Syatha, Hasyiyah I’anatu al-Thalibin bi Syarh Fathi al-
Mu’in, (Damaskus: Daru al-Fikr, tt., 4/179), Diakses melalui
https://islam.nu.or.id/post/read/111548/hewan-ternak-merusak-ladang-
orang-lain--wajib-ganti-rugi- Di akses pada Hari Senin 14 September 2020,
Pukul 13.30.
http://manado.tribunnews.com/2014/11/05/kronologi-digigit-anjing-dan-alasan wanita-
manado-ini-tuntut-rp-1-miliar, Di akses pada Hari Sabtu 8 september 2019,
Pukul 07.25.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/21/p2wtha438-polisi-
selidiki-kakek-yang-tewas-digigit-dua-anjing-pitbull, Di akses pada Hari
Sabtu 28 September 2019, Pukul 07.48.
https://www.tribunnews.com/metropolitan/2019/09/08/kronologi-sebenarnya-
kasus-anjing-bima-aryo-terkam-art-hingga-tewas-6-saksi-diperiksa, Di
akses pada Hari Sabtu 28 September 2019, Pukul 08.00.
https://www.validnews.id/Hewan-Peliharan-Makin-Marak--Bisnis-Sampingan-
Merebak-uXD Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari 2020, pukul 09.30.
74
https://yuridis.id/akibat-hukum-terhadap-kelalaian-menjaga-hewan-peliharaan-
yang-mengotori-halaman-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5 Februari
2020, pukul 10.00.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt52c72fff1e4d6/langkah-
hukum-jika-diserang-anjing-tetangga/ Di akses pada hari Hari Rabu 5
Februari 2020, pukul 16.30.
Wawancara:
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. H. Abdul Rahman Dahlan, M.A., Pada tanggal 1 Desember
2020 pukul 10:00 WIB.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ahli Hukum Pidana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Dr. Alfitra, S.H, M.H. Pada tanggal 2 Desember 2020 pukul 08:00
WIB.
LAMPIRAN-LAMPIRAN