Anda di halaman 1dari 100

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

PEMALSUAN MEREK
(Kajian Hukum Positif dan Hukum Islam atas Putusan
Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah


Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

NUR RIZA SEPTIANI

111404500000044

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
iv

ABSTRAK

Nur Riza Septiani Nim 11140450000044. PERTANGGUNG


JAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU PEMALSUAN MEREK
CARDINAL (Analisis Putusan Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst).
Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017M/
1438H.
Perlindungan terhadap merek sebelumnya telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis karena Undang-Undang sebelumnya dalam Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek dianggap masih terdapat
kekurangan. Pemalsuan merek dianggap salah satu perbuatan pidana
yang mana perbuatan tersebut merugikan orang lain dan pelaku yang
memalsukan merek tersebut harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut dengan memperhatikan beberapa unsur dari
pertanggungjawaban tersebut agar dapat dijatuhi pidana atau hukuman
atas perbuatannya. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku
yang memalsukan merek pihak lain yang sudah terdaftar secara resmi
dalam kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor : 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan normatif empiris dan
menggunakan pendekatan penelitian yaitu pendekatan kasus (approach
kasus), pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang
telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap
dalam hal ini yaitu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst. Dan mengacu kepada perundang-undangan
yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
Hasil penelitian ini adalah seseorang akan dimintai
pertanggungjawaban apabila telah melakukan kesalahan yang dilarang
oleh aturan atau syara’ dan apabila telah memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana Hukum Islam tidak menjelaskan secara
rinci mengenai pemalsuan merek maka perbuatan tersebut dikenakan
hukuman ta’zir karena tidak termasuk dalam jarimah hudud dan dalam
hukum positif yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek
dan Indikasi Geografis dapat dikenakan hukuman pokok atau hukuman
tambahan .
Kata kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Pemalsuan, Merek
Pembimbing : Indra Rahmatullah,S.HI,M,H
Daftar Pustaka : Dari Tahun 1982 Sampai Tahun 2016
v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT, Karena atas nikmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sholawat beriringan salam
penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang.
Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA TERHADAP PELAKU PEMALSUAN MEREK
CARDINAL (Analisis Putusan Nomor :
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst), disusun sebagai salah satu syarat
akademis untuk menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Djahar, M.A, Ph.D, Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak Dr.M.Nurul Irfan, M.Ag, Ketua Program Studi Hukum
Pidana Islam dan Bpk Nur Rohim Yunus, LLM, Sekretaris
Program Studi Hukum Pidana Islam, yang telah memberikan
arahan, bimbingan dan dorongan kepada Penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
vi

4. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI, M.H, sebagai dosen


pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu
memberikan masukan, arahan dan kritikan yang konstruktif
pada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan kepustakaan berupa buku dan literatur lainnya
sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua
pengetahuan yang telah diberikan kepada Penulis selam masa
pendidikannya berlangsung.
7. Terimakasih kepada Ayahanda Abdul Muhit dan Umi
Salbiyah, yang tidak pernah lelah mendidik dan selalu
menjaga setiap harinya, terlebih dengan do’a dan selalu
memberikan penulis semangat yang tidak pernah putus hingga
selesainya skripsi ini.
8. Terimakasih untuk kakak Millah Maulidiyatul Hikmah dan
adik penulis Nadia Sevilla Azzahra yang terus menerus
menemani dan selalu memberikan semangat selama penulis
mengerjakan skripsi ini.
9. Rekan-rekan seperjuangan Hukum Pidana Islam angkatan
2014, yang telah menemani penulis selama proses belajar di
kelas maupun di luar kelas, terlebih untuk Agsel Siqitsa, Ijal
Syafawi, Imam Fahmi, Mujib, Khusnus , Fahri, Nopal, Encek,
Amin Hatuala, Adlan, Awang, serta Nabil, Fizkri, Defal dan
Elah yang selalu menemani di kampus.
10. Terimakasih juga untuk Mauriska, Harfina, Habibi, Abu Rizal
dan Fahmi Kurniawan yang telah memberikan semangat
kepada Penulis.
11. Terimakasih untuk Angga Tristhanaya Hadi, Bella Putri Dwi
Anggraeni, Zulisa Maulida, Rara Janah, Miftah dan Ocha yang
vii

selalu memberikan motivasi dan menemani penulis


mengerjakan skripsi ini hingga selesai.
12. Terimakasih untuk keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam
Jinayah Siyasah yang sudah mengijinkan saya berjuang dan
menikmati manisnya hasil dan paitnya proses, terlebih untuk
ka Fawwaz yang sudah membimbing penulis dalam berproses.

Semoga segala do’a, dukungan dan bantuan yang telah


diberikan menjadi lading pahala kelak di yaumul akhir, dan skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis pribadi serta kita semua, Amin Ya Robbal
Aalamin.

Jakarta, 23 Maret 2018 M


06 Rajab 1439 H

( NUR RIZA SEPTIANI)


viii

DAFTAR ISI

LEMBARAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………….........i


LEMBARAN PENGESAHAN PENGUJI.……………...…………..ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………..…………………...iii
ABSTRAK………………………………………..…………………...iv
KATA PENGANTAR……………………......……………………….v
DAFTAR ISI……......……………………………………………...…vi

BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang .................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................8
D. Kajian Review Terdahulu ...................................................9
E. Metode Penelitian ..............................................................11
F. Sistematika Penulisan...…………………………………..13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNG


JAWABAN PIDANA
A. Pengertian Tindak Pidana ..................................................14
B. Teori Pemidanaan ..............................................................18
C. Unsur-unsur Perbuatan Pidana ..........................................25
D. Jenis-jenis Sanksi Pidana .................................................. 27
E. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana ................31
F. Pertanggungjawaban Pidana ............................................. 35

BAB III MEREK SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL


A. Pengertian dan Sejarah Hak Merek .................................. 42
B. Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual ....................... 47
C. Merek Cardinal Sebagai Jenis Hak Kekayaan
Intelektual.......................................................................…52
ix

D. Tindak Pidana Pemalsuan Merek Menurut Hukum


Positif..................................................................................54
E. Tindak Pidana Pemalsuan Merek Menurut Hukum
Islam……......…….........................................................…57

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI


JAKARTA PUSAT
A.Kronologi Perkara….......................................................... 69
` B. Dakwaan, Tuntutan dan Putusan Hakim .......................... 71
C. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindah Pidana
Pemalsuan Merek ……..............................……………... 74
D. Analisis Putusan Hakim dalam Tinjauan Hukum Positif dan
Islam.................................................................................. 76

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 83
B. Saran ..................................................................................85

DAFTAR PUSTAKA ………………………………….....................86


LAMPIRAN ………………………………………………………....92
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Merek merupakan bagian paling penting dalam dunia
perdagangan diseluruh belahan dunia. Dengan merek, produk yang
dihasilkan oleh produsen kemudian dikenal oleh konsumen. Merek
merupakan tanda pengenal asal barang yang dihasilkan.1 Merek juga
merupakan salah satu bagian dari hak atas kekayaan intelektual
manusia yang sangat penting terutama dalam menjaga persaingan
yang sehat dalam perdagangan. Para pedagang menggunakan merek
untuk mempromosikan barang-barang dagangannya dan untuk
memperluas pemasaran. Bagi konsumen, merek diperlukan untuk
melakukan pilihan produk yang akan dibeli. Tidak dibayangkan
apabila suatu produk tidak memiliki merek, tentu produk yang
bersangkutan tidak akan dikenal oleh konsumen. Oleh karena itu,
suatu produk tersebut baik atau tidak, tentu akan memiliki merek.
Bahkan tidak mustahil merek yang sudah dikenal luas oleh konsumen
karena mutu dan harganya, akan selalu diikuti, ditiru, dibajak, dan
bahkan mungkin dipalsukan oleh produsen yang melakukan
persaingan curang. Pemalsuan yang dimaksud adalah perbuatan
mengubah atau meniru dengan menggunakan tipu muslihat sehingga
menyerupai asli.2
Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat
dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa
produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk
menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek yang
ditempelkan atau dilekatkan pada suatu produk, seringkali setelah
barang dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek
mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembelinya. Benda

1
Ruslan Renggong, Hukum Pidana Khusus, (Jakarta : Kencana, 2016), h., 312.
2
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h,. 112.

1
2

materilnyalah yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya


benda immateril yang tak dapat memberikan apa pun secara fisik.
Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan
immateril. Ada suatu benda tak berwujud yang terdapat pada hak
merek itu, jadi bukan seperti apa yang terlihat atau yang terjelma
dalam setiap produk. Yang terlihat atau yang terjelma itu adalah,
perwujudan dari hak merek itu sendiri yang ditempelkan pada produk
barang atau jasa.3
Begitu pentingnya suatu merek atau label dari suatu produk
tersebut, maka tidak sedikit terjadi tindak kejahatan pemalsuan merek
atau label baik dilakukan oleh seorang atau kelompok orang tertentu.
Ini dipicu oleh keinginan dari pelaku tindak kejahatan untuk
mendapatkan keuntungan yang berlebihan dimana pelaku kejahatan
menggunakan nama merek atau label terkenal yang bisa mendongkrak
nilai jual dari produk-produk yang dihasilkannya. Para pelaku usaha
mempunya banyak kepentingan dalam melindungi merek ketika
bersaing dipasar global. Persaingan usaha semakin kuat para pelaku
usaha wajib melindungi mereknya melalui pendaftaran merek
sehingga mereknya mempunyai perlindungan hukum terhadap
pelanggaran merek yang dapat merugikan pelaku usaha.Oleh sebab
itu, kebutuhan adanya perlindungan hukum atas merek semakin
berkembang dengan pesatnya orang-orang yang melakukan peniruan.
Berbicara mengenai tindak pidana pemalsuan merek salah
satu kasus yang terkait adalah pemalsuan merek yang dilakukan oleh
Afrizal kelahiran Padang 36 tahun, selaku pemilik atau penanggung
jawab di Toko X-Four di Pasar Regional Tanah Abang Lantai III
Blok F2 LOS Bks Nomor : 177 Jakarta Pusat, dengan sengaja dan
tanpa hak telah menggunakan merek Cardinal pada celana yang
diperdagangkan yang mana merek tersebut sama pada pokoknya

3
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), h,.329.
3

dengan merek Cardinal + Logo milik PT. Multi Garmen Jaya sebagai
pemilik merek yang sah yang terdaftar di Kantor Direktorat Jendral
Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Ham RI. Bahwa
merek Cardinal adalah milik PT. Multi Garmen Jaya untuk
diperdagangkan, maka akibat dari perbuatan Afrizal tersebut PT.
Multi Garmen Jaya mengalami kerugian kurang lebih Rp.
1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah).
Perbuatan tersebut dianggap telah merugikan produsen aslinya
karena perbuatan tersebut menyimpang dari Undang-Undang Nomor
dalam 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Pasal 100
ayat (1) setiap orang yang tanpa hak menggunakan Merek yang sama
pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan /atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
Pasal 100 ayat (2) setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan
merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi dan/ atau diperdagangkan, maka dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah), kemudian dalam
Pasal 100 ayat (3) setiap orang yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dan ayat (2), yang sejenis
barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan
hidup dan/atau kematian manusia dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).4

4
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
4

Merek merupakan bagian dari hak atas intelektual, mengenai hak


merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam
konsiderans Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis pada bagian menimbang butir a, yang
berbunyi:
“Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan
konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia,
peranan Merek dan Indikasi Geografis menjadi sangat
penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang
sehat,berkeadilan,perlindungan konsumen, serta perlindungan
Usaha Mikro,Kecil,dan Menengah (UMKM) dan industri
dalam negeri.”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tidak menyebutkan
bahwa merek merupakan salah satu wujud dari karya intelektual.
Sebuah karya yang didasarkan kepada olah pikir manusia, yang
kemudian terjelma dalam bentuk benda immateril. Suatu hal yang
perlu dipahami dalam setiap kali menempatkan hak merek dalam
kerangka hak atas kekayaan intelektual adalah bahwa, kelahiran hak
atas merek itu diawali dari temuan-temuan dalam bidang hak atas
kekayaan intelektual lainnya. Pada merek ada unsur-unsur ciptaan,
misalnya desain logo, atau desain huruf. Ada hak cipta dalam bidang
seni. Oleh karena itu, dalam hak merek bukan hak cipta dalam bidang
seni itu yang dilindungi, tetapi mereknya itu sendiri sebagai tanda
pembeda.5
Pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk
tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), karena pemalsuan sendiri akan mengakibatkan
kerugian kepada seseorang atau pihak lain yang berkepentingan. Hal
inilah yang membuat kejahatan pemalsuan diatur dan termasuk suatu
5
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013),
h,. 330.
5

tindak pidana. Dalam KUHP Bab XI mengenai Pemalsuan Materai


dan Merek dapat dipidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dalam
Pasal 254 ayat (1) memalsu merek atau tanda yang asli dengan
maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai seolah-
olah merek atau tanda itu asli dan tidak palsu.
Pidana penjara paling lama 4(empat) tahun dalam Pasal 255
ayat (2) barang siapa dengan maksud yang sama membubuhi merek
pada barang tersebut dengan menggunakan cap yang asli secara
melawan hukum. pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dalam
Pasal 256 ayat (1) barang siapa yang membubuhi merek lain dalam
pasal 254-255 menurut ketentuan undang-undang harus atau boleh
dibubuhi pada barang atau bungkusnya secara palsu pada barang atau
bungkus tersebut, seolah-olah mereknya asli dan tidak palsu dan
dalam Pasal 257 barang siapa dengan sengaja memakai, menjual,
menawarkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukan ke
Indonesia, materai tanda atau merek yang tidak asli, dipalsu atau
dibikin secara melawan hukum atau benda- benda dimana merek itu
dibubuhkannya secara melawan hukum tidak dipalsu dan tidak dibikin
secara melawan hukum ataupun tidak dibubuhkan secara melawan
hukum pada benda itu maka diancam pidana dengan yang ditentukan
Pasal 253-256 menurut perbedaaan yang ditentukan dalam pasal itu.6
Islam melarang keras perbuatan memalsukan merek karena
merek menjadi hak milik seseorang dan dianggap sebagai harta yang
harus dijaga. Islam menganggap harta sebagai anugerah dari Allah,
sedangkan manusia hanya menjadi perantara untuk memanfaatkan
harta. Namun manusia harus menjaga harta tersebut begitu juga
dengan merek yang merupakan suatu kekayaan intelektual sehingga
merek tersebut dalam Islam juga dianggap sebagai kekayaan atau
harta yang harus dilindungi dan tidak boleh dicuri oleh siapapun.
Karena harta merupakan sesuatu yang menyenangkan manusia dan

6
Bab XI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai Pemalsuan Materai dan Merek
6

mereka pelihara, baik dalam bentuk materi maupun manfaat. Menurut


jumhur ulama harta itu tidak saja bersifat materi melainkan juga
termasuk manfaat dari suatu benda.7Sebutan harta kekayaan menurut
para ulama juga mencangkup kekayaan intelektual, kerena
mendatangkan banyak manfaat dan memiliki suatu nilai. Maka
merekpun dapat dikategorikan sebagai harta kekayaan, sesuatu yang
asalnya belum merupakan harta apabila kemudian hari tampak
manfaatnya, ia akan menjadi harta selama memberikan manfaat secara
umum.
Dalam kasus sebagai salah satu contohnya adalah
kejahatannya dengan cara pemalsuan/peniruan merek Cardinal pada
celana yang diperdagangkan yang mana merek tersebut sama pada
pokoknya dengan merek Cardinal + Logo milik PT. Multi Garmen
Jaya sebagai pemilik merek yang sah yang terdaftar di Kantor
Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan
Ham RI sehingga pemilik merek asli mengalami kerugian yang sangat
besar karena pelaku pemalsuan merek tersebut menjual dengan harga
yang cukup murah, dan barang yang dijual kualitasnya rendah
sehingga omset penjualan dari merek Cardinal yang asli menurun dan
juga menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas merek
tersebut. Kemudian pelaku mendapat barang dagangan berupa celana
formal merek Cardinal dari seseorang sales yang tidak dikenal dengan
menjual barang tersebut dengan harga yang murah kemudian
terdakwa menjualnya kembali dan terdakwa mengetahui bahwa
barang yang dijual merupakan hasil dari pelanggaran merek.8
Dalam kasus tersebut Jaksa Penuntut Umum menuntut Pasal
94 Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek yaitu
diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Namun

7
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat,(Jakarta : Kencana, 2013), h,.17.
8
Putusan Pengadilan Nomor :734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst
7

hakim tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum hakim


menjatuhkan hukuman pidana kurungan selama enam bulan dan
menetapkan hukuman tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa
sesuai dengan Pasal 14 huruf a KUHP , kecuali sebelum lewat masa
percobaan 1 (satu) tahun terdakwa melakukan tidak pidana.Penjatuhan
pidana kurungan tersebut yang diberikan hakim tidak sesuai dengan
Pasal yang terdapat dalam undang-undang nomor 15 tahun 2001
tentang merek tersebut dengan pertimbangan bahwa perbuatan
tersebut berpotensi merugikan orang lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk
melakukan analisis lebih mendalam mengenai tindak pidana pemalsuan
merek untuk diangkat sebagai sebuah skripsi dengan judul :
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
PEMALSUAN MEREK CARDINAL (Analisis Putusan Nomor:
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah


1. Pembatasan Masalah
Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada tentang pemalsuan
merek, terlebih pemalsuan merek jasa atau barang, agar tidak
melebar dan keluar dari pokok pembahasan, maka penulis
membatasi ruang lingkup penulisan skripsi ini, penulis merasa
perlu membuat pembatasan masalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini hanya membahas mengenai kasus pemalsuan
merek dalam hukum positif dan hukum islam serta
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana bagi
pelaku pemalsuan merek tersebut.
b. Hukum pidana positif yang penulis dimaksud adalah pasal-
pasal yang terkait kasus tersebut yang ada didalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor
20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
8

perubahan atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2001 tentang


Merek.

2. Rumusan Masalah
Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi beberapa sub
masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research
question), yaitu :
a. Bagaimana pandangan hukum positif dan hukum Islam terkait
pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pemalsuan merek?
b. Bagaimana pandangan hakim terhadap perkara tindak pidana
pemalsuan merek dalam putusan nomor :
734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah :
a. Untuk menjelaskan pandangan hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam mengenai pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan merek.
b. Untuk mengetahui pandangan hakim terhadap perkara
tindak pidana pemalsuan merek dalam putusan nomor :
734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst

2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan
dalam mengetahui pandangan hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam mengenai tindak pidana pemalsuan
9

merek, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan


pelajar, mahasiswa dan akademisi lainnya.
b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi kalangan pelajar, mahasiswa, dan akademisi lainnya.
Manfaat kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat kepada penegak hukum dalam penerapan
hukum tentang tindak pidana pemalsuan merek.

D. Review Kajian Terdahulu


Penulis telah menemukan beberapa judul penelitian yang
sebelumnya pernah ditulis dan berkaitan dengan judul skripsi yang
akan diteliti saat ini. Dari beberapa penelitian yang telah ada
sebelumnya penelitian tersebut memiliki berbagai perbedaan antara
judul, pokok permasalahan serta sudut pandang dengan skripsi yang
akan diteliti. Sehingga,tidak ada unsur-unsur kesamaan dalam
penulisan skripsi ini. Adapun penelitian terdahulu yang telah ada
sebagai berikut:

No Nama Judul Penelitian Hasil


Penelitian

1. Trezal Kajian Hukum Pidana Islam melarang


Mohammad Islam atas Putusan perbuatan pemalsuan
Pengadilan Negeri Jakarta merek dan pelaku
Pusat Tentang Perkara
Pemalsuan Merek

2. Clara Fenty Persamaan Merek Cardinal penulis berpendapat


Zahara Dengan Cardinar ( Analisis tampaknya undang-
Putusan MA.Nomor 892 undang merek yang
K/Pdt.Sus/2012 dalam melandaskan prinsip
kasus PT.Multi Garmenjaya dasar penolakan
10

dengan PT.Gisha Cahaya hukum terhadap


Mandiri). permintaan
pendaftaran merek
didasarkan pada
adanya persamaan
pada pokoknya
adalah tidak tegas
atau tidak
memberikan
kepastian hukum

3. Dwi Cahyo Kajian Hukum Pidana jika dilihat dari


Nugroho Islam Terhadap Putusan hukum pidana Islam
Hakim Tentang Pemalsuan terdakwa dapat
Akta Oleh Notaris (Analisis dikenakan hukuman
Putusan Mahkamah Agung ta‟zir atas perbuatan
Nomor:1568K/Pid/2008) pemalsuan akta
otentik berupa
hukuman penjara dan
kurungan

Berdasarkan pemaparan penulis di atas yang terkait dengan


hukuman atau sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan
pemalsuan merek mengasumsikan bahwa perbuatan ini sangat
merugikan pihak yang terkait dan sangat dilarang di dalam hukum
positif dan hukum Islam. Karena didalam hukum Islam Al-Qur‟an dan
Hadits tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai pemalsuan merek
tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
ini lebih dalam.
11

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian dibagi menjadi dua, yaitu penelitian
kualitatif dan kuantitatif.9 Penelitian kualitatif berati tidak
membutuhkan populasi dan sample, penelitian kuantitatif berarti
10
menggunakan populasi dan sample dalam mengumpulkan data.
Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, dengan pendekatan normatif
empiris. Dengan objek penelitian peraturan perundang-undangan yang
dikaitkan dengan teori-teori hukum. demikian juga hukum dalam
pelaksanaannya di dalam masyarakat, yang berkenaan dengan objek
penelitian.

2. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Studi Dokumentasi / pustaka library research, dan Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat alat ini dipergunakan untuk
melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat
buku-buku dan undang-undang yang terkait dengan pokok masalah
yang akan diteliti.

3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan
kasus (approach kasus). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara
melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu

9
Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1999)
Cet.1, h,.56.
10
Zainudin Alli, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h,. 98.
12

yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang memiliki


kekuatan hukum tetap.11

4. Sumber Data
Data Primer yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan
jawaban terhadap masalah penelitian.12 Data primer tersebut berupa
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:734/Pid.B/2003/PN
Jkt.Pst dan Undang -Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
tahun 2001 tentang Merek. Serta data sekunder yaitu berupa data
tambahan yang menjadi acuan terhadap masalah penelitian ini berupa
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Al-qur‟an dan Hadits
serta buku-buku lain yang terkait dengan penelitian penulis.

5. Teknik Analisis
Adapun cara yang digunakan dalam menganalisa datanya
adalah analisis kualitatif yaitu penelitian yang menggambarkan
secermat mungkin tentang hal yang diteliti dengan jalan
mengumpulkan data-data atau informasi berkaitan dengan masalah
yang akan diteliti. Dalam hal ini materi pokoknya adalah tindak
pidana pemalsuan merek ditinjau hukum pidana positif dan hukum
pidana Islam serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman
pidana terhadap pelaku tindak pidana.

6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”

11
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang : Bayu
Media Publishing, 2007), h,.57.
12
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2008),
h,.158.
13

F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari
sub bahasan, ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan
dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai materi pokok
penulisan serta memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan ini secara sistematis sebagai berikut:
Bab I memuat pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan hasil penelitian, studi review terdahulu, metode penelitian
dan sistematika pembahasan.
Bab II berisi tentang pengertian tindak pidana pemalsuan
merek, dasar hukum tindak pidana pemalsuan merek, teori
pemidanaan, unsur-unsur tindak pidana, macam-macam sanksi
pidana, hal-hal yang menghapuskan tindak pidana, dan pertanggung
jawaban pidana.
Bab III berisi tentang pengertian hak merek, merek sebagai
hak kekayaan intelektual, pemalsuan merek dalam hukum positif dan
hukum Islam.
Bab IV berisi tentang kronologi perkara, dakwaan, tuntutan
dan putusan hakim, pandangan hukum positif dan hukum Islam terkait
pertanggungjawaban pidana tindak pidana pemalsuan merek, dan
pandangan hakim dalam putusan nomor 734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst
dalam tinjauan hukum positif dan hukum Islam.
Bab V bab ini merupakan penutup, berisi kesimpulan yang
berisikan urutan jawaban akhir dari permasalahan yang ada dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA

A. Pengertian Tindak Pidana


Hukum pidana merupakan salah satu kaidah atau norma
hukum yang berisi perintah atau larangan dan mengandung ancaman
sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya, maka dapat dipahami
bahwa hukum pidana merupakan salah satu hukum yang berlaku
disuatu negara seperti halnya Indonesia yang mengatur tindakan yang
dilarang dengan disertai sanksi. Hukum pidana di Indonesia
menggunakan hukum tertulis, dimana tindak pidana harus memenuhi
aturan hukum yang telah ada yaitu peraturan perundang-undangan.
Seperti yang dituangkan dalam asas dasar hukum pidana yaitu asas
legalitas tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang dikenal dalam
bahasa latin sebagai “Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia
Lege Poenali”. Artinya “Tidak ada suatu perbuatan yang dapat
dihukum kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya”.13
Hukum pidana pada dasarnya adalah hukum yang mengatur
tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi hukum yang
dapat dijatuhkan apabila larangan tersebut dilanggar. Perbuatan-
perbuatan yang dilarang tesebut dikenal dengan sebutan tindak pidana
atau delik, sedangkan sanksi hukumnya dikenal dengan istilah pidana
(straaf). Pidana sendiri didefinisikan sebagai hukuman berupa derita
atau nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pelaku
tindak pidana.14

13
Novita Candra Buana ,”Pertanggungjawaban Pidana yangMenganjurkan Tindak Pidana
Pemalsuan Merek Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001: CalyPutra.Vol.4 No.2,
(2015), h.,5.
14
Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT. RajaGrafindo persada,2002),
h.,1.

14
15

Secara sosiologis, hukum merupakan salah satu norma


perilaku (behavioral norms) yang ada dalam suatu masyarakat
terdapat norma-norma perilaku yang lain seperti norma kesopanan,
norma kesusilaan dan norma agama. Kelebihan yang dimiliki oleh
hukum sebagai norma perilaku jika dibandingkan dengan norma-
norma perilaku lainnya adalah bahwa norma hukum dapat dipaksakan
berlakunya oleh negara. Norma-norma hukum tersebut dipaksakan
berlakunya oleh negara dengan cara memberikan ancaman hukuman
kepada setiap warga negara atau anggota masyarakat yang ingin
melanggarnya. Melalui ancaman hukuman tersebut anggota
masyarakat dipaksa untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang. Untuk menegakan norma hukum tersebut, negara memiliki
aparatur khusus yang dikenal dengan nama aparat penegak hukum
(legal enforcement officier). Dalam konteks hukum pidana, penegak
hukumnya dilakukan oleh Polisi, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim.15
Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan
dan pelanggaran.
1. Kejahatan adalah perbuatan yang tidak hanya bertentangan
dengan perundang-undangan tetapi juga bertentangan dengan
nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku
pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa
pemidanaan contohnya mencuri, membunuh, berzina,
pemalsuan,dll.
2. Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan
perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak
berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tindak
menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam
berkendaraan dan sebagaimana.

15
H.Muchammad Ichsan, Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta:
LabHukum FHUMY,2008), h.,.3.
16

Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab


Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan
peninggalan zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama
Wetboek van Straafrecht. KUHP merupakan lex generalis bagi
pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum
terkuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di
luar KUHP (lex spesialis).
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung
suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang
dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada
peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang
abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum
pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat
ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. Jadi,
berdasarkan pendapat di atas, pengertian dari tindak pidana yang
dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana senantiasa merupakan suatu
perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau
perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan
sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan
sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang
yang melakukan atau orang menimbulkan kejadian tersebut.16
Sedangkan dalam Islam hukum pidana mempunyai pengertian
sendiri, dimana hukum pidana tersebut berisi ketentuan-ketentuan
tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan serta ancaman
sanksinya apabila perbuatan itu dilanggar. Jadi pada prinsipnya
hukum pidana itu mengatur tentang tindak pidana dan pidana.
Berdasarkan prinsip ini, maka hukum pidana Islam dapat
didefinisikan sebagai hukum yang mengatur persoalan tindak pidana

16
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa,
h.,62.
17

(jarimah) dan sanksi („uqubah).17 Jarimah menurut bahasa adalah


melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak
baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan,
kebenaran dan jalan yang sesuai dengan agama.
Perbuatan yang dilarang adakalanya berupa mengerjakan
perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan
yang diperintahkan. Sedangkan suatu perbuatan baru dianggap
sebagai jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh syara‟ dan
diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu
tidak ada larangannya dalam syara‟ maka perbuatan tersebut
hukumnya mubah, sesuai dengan kaidah Qaidah ushul mengatakan :

ِِ ‫ﺍﻟﺘَّﺤْﺮِﻳْﻢ‬ ‫ﺍَﻷَطْﻞُ ﻓِﻰ ﺍْﻷَﺷْﻴَﺎﺀِ ﺍْﻹِ ﺑَﺎ ﺣَﺔ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺪُ ﻝَّ ﺍْﻟﺪَّﻟِﻴْﻞُ ﻋَﻠَﻰ‬
“ Hukum asal dari sesuatu adalah mubah sampai ada dalil
yang melarangnya ( memakruhkannya atau
mengharamkannya)” (Imam As Suyuti)
Jika pengelompokkan hukum-hukum Islam sebagaimana
dikemukakan diatas, bahwa hukum pidana itu termasuk bagian dari
hukum Islam (syari‟at Islam) yang dipelajari dalam ilmu fiqih (Fiqih
Jinayah). Jadi dengan demikian bisa dikatakan di sini bahwa hukum
pidana Islam itu adalah hukum Islam yang berkaitan dengan masalah
pidana, atau dengan kata lain hukum pidana Islam adalah hukum yang
berkaitan dengan tindak pidana dan sanksinya menurut syari‟at Islam.
Membicarakan tujuan hukum pidana Islam tidak dapat
dilepaskan dari membicarakan tujuan syari‟ah Islam secara umum,
karena hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam.
Syari‟at Islam ketika menetapkan hukum-hukum dalam masalah
kepidanaan mempunyai tujuan umum, yaitu mendatangkan mashlahat
kepada umat dan menghindarkan mereka dari mara bahaya.

17
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Sinar
Grafika : Jakarta,2004),h.,.9
18

Syari‟ah Islam secara umum bertujuan untuk mengamankan


lima hal-hal mendasar dalam kehidupan umat manusia. Lima hal itu
adalah aspek agama, aspek akal, aspek jiwa, aspek harta benda, dan
aspek keturunan. Lima hal ini merupakan perkara yang sangat penting
dalam pandangan Islam bagi umat manusia.18

B. Teori Pemidanaan
Kejahatan (crime) merupakan tingkah laku yang melanggar
hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat
menentangnya. Kejahatan merupakan fenomena sosial yang terjadi
pada setiap tempat dan waktu. Dengan demikian, kejahatan bukan saja
masalah bagi suatu kelompok atau masyarakat tertentu yang berskala
lokal maupun nasional, tetapi juga menjadi masalah yang dihadapi
oleh seluruh masyarakat di dunia pada masa lalu, sekarang dan pada
masa yang akan datang, sehingga dapat dikatakan bahwa kejahatan
sebagai a universal phenomenon.19
Penggunaan pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan
dilakukan melalui kebijakan hukum pidana. Kebijakan huskum pidana
merupakan persoalan yang lazim dilakukan oleh banyak negara.
Namun, tidak berarti persoalan tersebut sebagai suatu hal yang dapat
dilakukan tanpa pertimbangan yang mendasar. Istilah pidana
merupakan istilah yang lebih khusus, yaitu menunjukan sanksi dalam
hukum pidana.20

18
H.Muchammad Ichsan dan M.Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif,
(Yogyakarta : Lab Hukum FHUMY,2008) ,h.,.19.
19
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Hukum Pidana,
(Semarang: Ananta, 1994), h,.2.
20
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks
Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), h,. 23.
19

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dikelompokkan


dalam tiga golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan
(vergeldings theorien), teori tujuan atau teori relatif (preventie
theory), teori gabungan (vereningings theorien).

1. Teori Pembalasan (Teori Absolut / Retributif)


Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang
melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana
mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana.21 Teori
absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan kesalahan atas
kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan
terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena
pelaku harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori
ini, dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena
kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain. Sebagai
imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.22 Teori ini
menjelaskan setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh
tidak tanpa adanya tawar menawar. Artinya seseorang mendapat
pidana karena telah melakukan kejahatan. Maka pemberian pidana
disini ditunjukan sebagai bentuk pembalasan terhadap orang yang
telah melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenarannya terletak pada
adanya kejahatan itu sendiri.23
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana tidak boleh tidak
tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena
melakukan kejahatan tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul
dengan dijatuhkannya pidana, tidak peduli apakah masyarakat
mungkin akan dirugikan atau tidak. Pembalasan sebagai alasan untuk

21
S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya,(Jakarta : Alumni
Petehaem, 1996),h.,58.
22
Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
h,.105.
23
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT Refika
Aditama, 2008), h,. 23.
20

memidanakan suatu kejahatan, penjatuhan pidana pada dasarnya


penderitaan pada penjahat itu dibenarkan karena penjahat telah
membuat penderitaan bagi orang lain.24
Teori pembalasan di dalam hukum pidana Islam adalah qisash,
َ َ‫ قَضَّ – ﻳُقَضُّ – ق‬yang
secara etimologi qisash berasal dari kata ‫ظظًﺎ‬
berarti ُ‫ تَﺘَبَّ َعه‬mengikuti, menelusuri jejak atau langkah. Adapun qisash
secara terminologi yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum)
kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku
tersebut kepada korban.25 Qisash juga diartikan dengan menjatuhkan
sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak
pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh
dibalas dengan anggota tubuh. Menurut istilah syara‟, qisash adalah
‫الجانِى بِ ِم ْث ِل فِ ْعلِه‬
َ ُ‫ ُم َجا َزاة‬yang artinya memberikan balasan kepada pelaku,
sesuai dengan perbuatannya.26 Jadi, didalam hukum Islam pada
hukuman qisash menerapkan teori pembalasan juga.

Ciri pokok atau karakteristik teori absolut/retributif, yaitu27 :


a. Tujuan pidana adalah tujuan utama untuk pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak
mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk
kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana ;
d. Pidana disesuaikan dengan dengan kesalahan pelaku pidana;
e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang
murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau
memasyarakatkan kembali si pelanggar.

24
Dwidja Priyanto, Asas Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h., 90.
25
M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta, Amzah, 2015), h,. 4.
26
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), h,. 149.
27
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I,( Jakarta : PT Raja Grafindo,2010), h.,
162.
21

2. Teori Tujuan ( Teori Relatif/Preventie theory)


Teori relatif dapat disebut juga dengan teori utilitarian. Secara
umum teori ini menjelaskan bahwa tujuan dari pidana bukanlah
sekedar pembalasan, akan tetapi mewujudkan ketertiban pada
masyarakat. Teori ini memandang pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan atas kesalahan si pelaku tetapi sebagai
sarana mencapai tujuan bermanfaat untuk melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan
sebagai sarana pencegahan, yaitu pencegahan umum yang ditujukan
pada masyarakat. Berdasarkan teori ini, hukuman yang dijatuhkan
untuk melaksanakan maksud atau tujuan dari hukuman itu yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat akibat dari kejahatan itu.
Tujuan hukuman harus dipandang secara ideal, selain dari itu tujuan
hukuman adalah untuk (prevensi) kejahatan. Jadi, dasar pembenaran
adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan
supaya orang tidak melakukan kejahatan. Tujuan pidana pada teori
relatif ini adalah untuk mencegah agar ketertiban di masyarakat tetap
kondusif dan tidak terganggu.28
Menurut Leonard teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah
dan mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk
mengubah tingkah laku penjahat dan orang lain yang berpotensi atau
cenderung melakukan kejahatan. Tujuan pidana adalah tertib
masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib masyarakat itu
diperlukan pidana. Pidana bukanlah hanya sekedar untuk melakukan
pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
sesuatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang
bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi
hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.

28
Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2009),
h,. 107.
22

Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk


mengurangi frekuensi kejahatan dan supaya orang jangan melakukan
kejahatan maka teori ini disebut teori tujuan/utilitarian theory.
Dalam hukum pidana dilihat aspek tujuannya, teori
pemidanaan relatif dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1) Prevensi Umum (generale preventie)
2) Prevensi Khusus (speciale preventie)
Ernst Utrech mengemukakan bahwa prevensi umum
mempunyai tujuan untuk menghindari orang melakukan pelanggaran
(tindak pidana) sedangkan prevensi khusus mempunyai tujuan
menghindarkan supaya pelaku tindak pidana tidak melanggar (tindak
pidana). Perbedaan prevensi umum dan prevensi khusus adalah
prevensi umum lebih menekankan bahwa tujuan dari pidana adalah
mempertahankan ketertiban pada masyarakat lainnya tidak akan
melakukan tindak pidana. Sedangkan prevensi khusus lebih
menekankan bahwa tujuan dari pidana itu dimaksudkan agar pelaku
pidana tidak mengulangi perbuatannya kembali. Dalam konteks ini,
pidana difungsikan sebagai alat atau sarana untuk mendidik dan
memperbaiki pelaku pidana supaya menjadi masyarakat yang baik.
Didalam hukum pidana Islam juga terdapat teori tujuan atau
teori relatif yaitu dalam sanksi ta‟zir, ta‟zir merupakan bentuk masdar
ِ ‫ َﻋ َز َر – ﻳُع‬yang secara etimologis berarti ‫ ال َّر ُّد َواال َم ْن ُع‬yaitu
dari kata ‫ْز ُر‬
menolak atau mencegah.29 Tujuan dan syarat sanksi ta‟zir diantaranya
sebagai berikut :
a. Preventif (pencegahan) yang ditujukan kepada orang lain
yang belum melakukan perbuatan yang dilarang tersebut.
b. Represif (membuat pelaku jera) yang dimaksudkan agar
pelaku tidak mengulangi perbuatan jarimah dikemudian
hari.

29
M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta, Amzah, 2015), h,. 136.
23

c. Kuratif (islāh) ta‟zir mampu membawa perbaikan perilaku


terpidana dikemudian hari.
d. Edukatif (pendidikan), ta‟zir diharapkan dapat mengubah
pola hidupnya ke arah yang lebih baik.
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif/ utilitarian,yaitu:30
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
c. Hanya pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan
kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa)
yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.
d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat
untuk pencegahan kejahatan;

3. Teori Gabungan/Integratif (verenigings theorien)


Teori gabungan memandang bahwa tujuan pemidanaan
bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif
(tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori
gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas
tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan
itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori
gabungan adalah gabungan teori absolut dan teori relatif, gabungan
kedua teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk
mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan
memperbaiki pribadi penjahat.31

30
Muladi dan Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana,(Bandung : Alumni,1992),
h., 12.
31
Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidanaa (kajian kebijakan kriminalisasi),
(Jakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h., 163.
24

Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar,


yaitu;
a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, akan tetapi
pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu
dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib
masyarakat;
b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan
yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana.
c. Teori gabungan yang menganggap harus ada keseimbangan
antara kedua hal diatas.
Dengan demikian, pidana juga merupakan perlindungan
terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar
hukum. pidana juga mengandung hal-hal lain yaitu pidana diharapkan
sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah
suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima
kembali dalam masyarakat.32
Melihat dari tujuan pemidanaan tersebut bahwa tujuan
pemidanaan sangat penting karena hakim harus merenungkan dalam
aspek pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut
dengan memperhatikan bukan hanya rasa keadilan dalam masyarakat,
melainkan harus mempu menganalisis hubungan timbal balik antara
pelaku dan korban.33

32
Muladi dan Barda Nawawi,Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana ,(Bandung :
Alumni,1992),
h., 14.
33
Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), h,. 45.
25

C. Unsur-unsur Perbuatan Pidana


Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan
tersebut disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu
bagi pelanggarnya. Sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana,
maka harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan
disertai dengan sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan
beberapa unsur-unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari
larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan
lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat
perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau
dilanggar.
Simon menyebutkan dalam bukunya Ismu Gunadi dan Jonaedi
Efendi bahwa adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak
pidana (strafbaar feit). Unsur objektif diantaranya perbuatan orang,
akibat yang kelihatan dari perbuatan itu, mungkin ada keadaan
tertentu yang menyertai perbuatan itu, mungkin ada keadaan tertentu
yang menyertai perbuatan itu.34 Sedangkan unsur subjektif yaitu orang
yang mampu bertanggungjawab, adanya kesalahan (dollus atau
culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini
dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Ketika seorang terbukti melakukan suatu perbuatan yang
dilarang oleh hukum pidana, tidak secara otomatis orang itu harus
terdapat kesalahan pada orang itu dan telah dibuktikan dalam proses
peradilan. Dalam praktik peradilan, yang pertama kali dilakukan
hakim ketika memeriksa perkara pidana yang diajukan kepadanya
adalah orang yang dihadapkan kepadanya memang terbukti
melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana atau tidak.

34
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana,( Jakarta: Kencana, 2015), h,. 39.
26

Setelah hal itu terbukti, hakim kemudian membuktikan ada tidaknya


kesalahan pada diri orang itu.35
Berdasarkan uraian di atas bahwa unsur-unsur perbuatan
pidana adalah unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian perbuatan
yang dipisahkan dengan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu,
unsur-unsur perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Simons yang
mengikuti pandangan Moeljanto dan Roeslan Saleh dalam bukunya
Mahrus Ali mengenai perbuatan pidana sehingga unsur-unsurnya pun
harus konsisten dengan pandangan kedua ahli hukum pidana itu.
Ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang
melakukannya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa
hal. Pertama, perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif
maupun pasif yang berakibat pada timbulnya suatu hal atau keadaan
yang dilarang oleh hukum. Kedua, kelakuan dan akibat yang timbul
tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam pengertiannya
yang formil maupun materil. Ketiga, adanya hal-hal atau keadaan
tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang
oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait dengan beberapa hal
yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum
pidana yang ada dalam undang-undang.36
Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek
kajian fiqih jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
1. al-rukn al-syar‟i atau unsur formil, bahwa seseorang dapat
dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang
secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku
tindak pidana.37

35
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.110.
36
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif
Pembaharuan,(Malang: Press,2008), h,.117.
37
M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah,2015), h,. 2.
27

2. al-rukn al-madi atau unsur materil, bahwa seseorang dapat


dijatuhi pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah
jarimah.
3. al-rukn al-adabi atau unsur moril, bahwa seseorang dapat
dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau
sedang berada di bawah ancaman.

D. Jenis-Jenis Sanksi Pidana


Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang
keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan
sanksi tindakan. Kedua sanksi tersebut berbeda baik dari ide dasar,
landasan filosofis yang melatarbelakanginya dan tujuannya. Sanksi
pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di
dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan
bersalah melakukan perbuatan pidana.38
Hukum itu mengerikan karena adanya hukuman, hukum itu
menakutkan karena orang yang melakukan suatu perbuatan yang
dianggap suatu tindak pidana akan dincam dengan hukum. Hukuman
adalah ancaman yang bersifat penderitaan karena hukuman itu
dimaksudkan sebagai hukuman terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi hukum
pidana.39
Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-
jenis pidana ini berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP,
kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang.40 Jenis-jenisnya
dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok
terdari dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda.Sedangkan pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak
tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan
38
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), h,. 78.
39
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2015), h,. 65.
40
Pasal 103 KUHP
28

hakim. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok


dijatuhkan, kecuali dalam hal tertentu.41
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
Pidana mati adalah satu-satunya bentuk hukuman yang
menjadi diskursus masyarakat. Sebab hukuman mati merampas
kehidupan seseorang, padahal hak hidup adalah salah satu hak yang
dijamin oleh UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pidana mati
dibenarkan dalam hal-hal tertentu yaitu, apabila si pelaku telah
memperlihatkan dengan perbuatannya bahwa dia adalah orang yang
sangat membahayakan kepentingan umum, dan oleh karena itu untuk
menghentikan kejahatannya dibutuhkan suatu hukum yang tegas yaitu
dengan hukuman mati.42
b. Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang,
yaitu dengan menempatkan terpidana dalam suatu tempat (lembaga
pemasyarakatan) dimana terpidana tidak bisa bebas untuk keluar
masuk dan di dalamnya diwajibkan untuk tunduk dan taat serta
menjalankan semua peraturan dan tata tertib yang berlaku. Hukuman
penjara minimun 1 hari dan maksimum 15 tahun (Pasal 12 ayat(2))
KUHP, dan dapat melebihi batas maksimum yakni dalam hal yang
ditentukan dalam Pasal 12 (3) KUHP.
c. Pidana Kurungan
Pidana kurungan hakikatnya lebih ringan dari pada pidana
penjara dalam hal penentuan masa hukuman kepada seseorang. Hal ini
sesuai dengan stelsel pidana dalam Pasal 10 KUHP, dimana pidana
kurungan menempati urutan ketiga di bawah pidana mati dan pidana
penjara. Stelsel tersebut menggambarkan bahwa pidana yang

41
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.195.
42
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h,. 23.
29

urutannya lebih tinggi memiliki hukuman yang lebih berat


dibandingkan dengan stelsel pidana yang berada di bawahnya.
d. Pidana Denda
Pidana denda diancamkan pada banyak jenis pelanggaran
terhadap jenis kejahatan-kejahatan ringan maupun kejahatan
culpa,pidana denda sering dijadikan sebagai alternatif dari pidana
kurungan. Apabila terpidana tidak membayarkan uang denda yang
telah diputuskan maka konsekuensi yang harus diterimanya adalah ia
harus menjalani kurungan (kurungan pengganti denda, Pasal 30 ayat
(2) KUHP sebagai pengganti dari pidana denda).

2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan Hak-hak Tertentu, meliputi pencabutan hak-hak
kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak
ketenagakerjaan.
b. Perampasan barang-barang tertentu, berupa barang-barang
yang didapat dari hasil kejahatan dan barang-barang yang
dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
c. Pengumuman Putusan Hakim, di dalam Pasal 43 KUHP
ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya
diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini aturan
umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah atas biaya terpidana.

Dalam hukum pidana Islam terdapat jarimah atau tindah


pidana yang terdapat uqubah atau hukuman bagi pelaku tindak pidana.
Menurut Abdul Qadir Audah macam-macam hukuman dilihat dari
pertalian antara satu hukuman dengan hukuman lainnya adalah
sebagai berikut :
30

1. Hukuman Pokok („Uqubah Ashliyah),yaitu hukuman yang


ditetapkan untuk jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman
yang asli, seperti jarimah qisash untuk pembunuhan, atau
hukuman potong tangan untuk pencurian.
2. Hukuman Pengganti(„Uqubah Badaliyah),yaitu hukuman yang
menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokok tidak
dapat dilaksanakan karena alasan yang sah, seperti diyat sebagai
pengganti hukuman qisash.
3. Hukuman Tambahan („Uqubah Taba‟iyah),yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan sendiri
seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan
pembunuhan terhadap keluarganya.
4. Hukuman Pelengkap („Uqubah Takmiliyah),yaitu hukuman yang
mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri
dari hakim, dan syarat inilah yang menjadi ciri pemisahnya
dengan hukuman tambahan. Contohnya mengalungkan tangan
pencuri yang telah dipotongnya ke leher.

Kemudian penggolongan hukuman ditinjau dari tempat dilakukannya


hukuman, yaitu :
a. Hukuman badan, yaitu dijatuhkan atas badan seperti hukuman
mati,dera, dan penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang bukan
badannya, seperti ancaman, peringatan atau teguran.
c. Hukuman harta, yaitu dikenakan terhadap harta seseorang seperti
diyat, denda dan perampasan harta.
31

E. Hal-hal yang Menghapuskan Perbuatan Pidana


1. Pengertian Dasar Penghapus Pidana
Pada dasarnya, apa yang diatur dalam aturan perundang-
undangan adalah hal-hal yang umum sifatnya. Utrech menyatakan
dalam bukunya Eva Achjani Zulfa bahwa sifat umum tersebut
membuka kemungkinan peluang akan kemungkinan dijatuhkannya
pidana yang tidak adil. Dengan kata lain, kemungkinan bahwa
dijatuhkannya hukuman kepada seseorang yang tidak bersalah. Para
pembentuk undang-undang melihat bahwa perlunya suatu pengaturan
tentang kondisi-kondisi atau keadaan-keadaan tertentu untuk
meniadakan pemidanaan bagi seseorang. Kondisi-kondisi atau
keadaan tertentu ini untuk meniadakan pemidanaan bagi seseorang.
kondisi-kondisi atau keadaan tertentu ini merupakan suatu kondisi
atau keadaan yang berkaitan dengan perbuatan yang dinyatakan
sebagai tindak pidana ataupun kesalahan yang melekat pada diri
seseorang pelaku tindak pidana.43
Alasan penghapusan pidana adalah peraturan yang terutama
ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan berbagai keadaan
pelaku yang telah memenuhi rumusan delik sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-undang yang seharusnya dipidana, akan tetapi
tidak dipidana. Dalam hal ini sebenarnya pelaku atau terdakwa sudah
memenuhi semua unsur tindak pidana yang dirumuskan dalam
peraturan hukum pidana. Akan tetapi, ada beberapa alasan yang dapat
menyebabkan pelaku tindak pidana atau dikecualikan dari penjatuhan
sanksi pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut. Dengan demikian alasan-alasan
penghapusan pidana ini, adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi

43
Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapus, Peringan dan
Pemberat Pidana,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h,. 45.
32

rumusan delik untuk tidak dipidana, dan ini merupakan kewenangan


yang diberikan undang-undang kepada hakim.44
Di dalam KUHP meskipun mengatur tentang alasan
penghapusan pidana, akan tetapi KUHP tidak memberikan pengertian
yang jelas tentang makna alasan penghapusan pidana tersebut.
Menurut doktrin alasan penghapusan pidana dapat dibagi menjadi dua
yaitu alasan pemaaf dan alasan pembenar.
Mengenai dasar penghapusan pidana, KUHP merumuskan
beberapa keadaan yang dapat menjadi dasar penghapus pidana,
sebagai berikut:
a. Pasal 44 KUHP tentang Kemampuan Bertanggungjawab.
b. Pasal 48 KUHP tentang Daya Paksa dan Keadaan Terpaksa.
c. Pasal 49 KUHP tentang Bela Paksa.
d. Pasal 50 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Undang-
undang.
e. Pasal 51 KUHP tentang Melaksanakan Perintah Atasan.
Faktor yang berasal dari luar dirinya itulah yang menyebabkan
pembuat tindak pidana tidak dapat berbuat lain mengakibatkan
kesalahannya menjadi terhapus. Artinya, pada diri pembuat tindak
pidana terdapat alasan penghapus kesalahan. Dalam hubungan ini
pertanggungjawaban pidana masih ditunggukan sampai dapat
dipastikan tidak ada alasan yang menghapuskan kesalahan pembuat
tindak pidana. Sekalipun pembuatnya dapat dicela, tetapi dalam hal-
hal tertentu celaan tersebut menjadi hilang atau celaan tidak dapat
diteruskan kepadanya, karena pembuat tindak pidana tidak dapat
berbuat lain selain melakukan tindak pidana itu.45

44
M. Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi Kasus,(Bogor: Ghalia
Indonesia, 2010),
h,. 27.
45
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,(Jakarta: Kencana, 2006), h,.118.
33

2. Dasar Pembenar dan Dasar Pemaaf


Dalam doktrin hukum pidana dibedakan antara alasan yang
menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan atau dikenal
dengan alasan pembenar dengan alasan penghapus kesalahan atau
dikenal dengan alasan pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dari
pemaaf karena keduanya mempunyai fungsi yang berbeda. Adanya
alasan pembenar berujung pada pembenaran atas tindak pidana yang
sepintas lalu melawan hukum, sedangkan adanya alasan pemaaf
berdampak pada pemaafan perbuatannya sekalipun telah melakukan
tindak pidana yang melawan hukum.46
Menurut doktrin hukum pidana, penyebab tidak dipidananya si
pelaku tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar
yaitu alasan pemaaf (schuiduitsluitingsgronden) yang bersifat
subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenal sikap
batin sebelum atau pada saat akan berbuat, kemudian alasan pembenar
(rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objektif dan melekat pada
perbuatannya atau hal-hal yang diluar batin si pelaku.47
Dalam hukum pidana yang termasuk ke dalam alasan
penghapus kesalahan atau pemaaf antara lain, daya paksa
(overmacht), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (nooodweer
ekses), dan pelaksanaan perintah jabatan tanpa wewenang yang
didasari oleh i‟tikad baik.
Pertama, daya paksa (overmacht). Dalam KUHP daya paksa
diatur di dalam Pasal 48 yang menyatakan bahwa barangsiapa
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak pidana.
Secara teoretis terdapat dua bentuk daya paksa, yaitu vis absoluuta
dan vis compulsiva. Vis absoluuta adalah paksaan yang pada
umumnya dilakukan dengan kekuasaan tenaga manusia (fisik) oleh

46
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana,(Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h,.181.
47
Adami Chazawi, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan dan
Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas,(Jakarta: PT Raja Grafindo,
2009), h,. 18.
34

orang lain, sedangkan vis compulsiva adalah paksaan yang


kemungkinan dapat dielakkan walaupun secara perhitungan yang
layak, sulit diharapkan bahwa yang mengalami keadaan memaksa
tersebut akan mengadakan perlawanan dalam vis compulsiva yang
terjadi adalah paksaan psikis, dalam arti sekalipun tidak memaksa
secara mutlak, tetapi hal demikian tetap disebut dengan memaksa.48
Kategori daya paksa sebagai alasan pemaaf adalah daya paksa
psikis atau vis compulsiva terbagi menjadi dua yaitu daya paksa dalam
arti sempit (overmacht in enge zin) dan keadaan darurat
(noodtoestand). Pengertian daya paksa dalam arti sempit adalah
sumber datangnya paksaan itu berasal dari luar diri orang yang
dipaksa, sehingga orang tersebut tidak memiliki pilihan lain kecuali
mengikuti kemauan orang yang memaksanya itu. Sedangkan dalam
keadaan darurat orang yang terkena daya paksa itu sebenarnya masih
memiliki kebebasan untuk memilih perbuatan mana yang akan
dilakukan.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer ekses)
diartikan sebagai dilampauinya batas-batas dari suatu pembelaan
seperlunya itu haruslah disebabkan karena pengaruh dari suatu
kegoncangan jiwa yang demikian hebat, yang bukan semata-mata
disebabkan karena adanya perasaan takut atau ketidaktahuan tentang
apa yang harus dilakukan, melainkan juga yang disebabkan oleh hal-
hal lain seperti kemarahan atau perasaan kasihan. Dengan demikian,
pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah perbuatan pidana
yang dilakukan sebagai pembelaan pada seseorang mengalami suatu
serangan atau ancaman serangan dapat membebaskan pelakunya dari
ancaman hukum jika sifat pembelaan tersebut sebanding dengan bobot
serangan atau ancaman serangan itu sendiri.49

48
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,2008), h,.182.
49
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar
Baru,1984), h,.475.
35

Noodweer ekses diatur di dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang


menyatakan bahwa pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang
langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.Pasal ini
menjelaskan bahwa dalam noodweer ekses perbuatan seseorang
hakikatnya merupakan perbuatan melawan hukum, karena memang
serangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang
disebabkan oleh kegonjangan jiwa yang hebat adalah melawan
hukum. Serangan itu juga disebabkan secara langsung oleh
kegoncangan jiwa yang hebat. Hal demikian inilah yang
menyebabkan dalam diri orang itu terdapat alasan pemaaf.

F. Pertanggungjawaban Pidana
Pengertian perbuatan pidana sebagaimana yang telah
dipaparkan pada sub bab sebelumnya bahwa istilah tersebut tidak
termasuk pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjukan
kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.
Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian juga dijatuhi
pidana, sebagaimana telah diancamkan? ini tergantung dari persoalan
apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan?
Sebab asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah
“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”. Menurut Moeljatno, orang
tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia
tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun melakukan
perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana.50
Para ahli hukum pidana mengartikan kesalahan secara
beragam, kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana
karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain

50
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h,. 153.
36

jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.51 Orang dapat


dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan
perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya,
yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat
padahal maupun mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut,
dan karenanya dapat bahkan harus menghindari perbuatan demikian.
Pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana adalah
merupakan kelanjutan dari hukum perbuatan pidana. Jika orang telah
melakukan perbuatan pidana, belum tentu dapat dijatuhi pidana sebab
masih harus masih dilihat apakah orang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Jika ternyata tidak dapat
dibuktikan kesalahannya, maka berlakulah asas Gen Straf Zonder
Schuld yang artinya tidak ada pidana tanpa kesalahan. Dengan
demikian bahwa untuk dapatnya seseorang dijatuhi pidana harus
memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
dalam hukum pidana (mempunyai kesalahan).52
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada
waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat
dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan
masyarakat padahal mampu mengetahui makna jelek perbuatan
tersebut, dan karena itu harus menghindari untuk melakukan
perbuatan demikian. Jika begitu, tentunya perbuatan tersebut memang
sengaja dilakukan dan celaannya berupa kenapa melakukan perbuatan
yang dia mengerti bahwa perbuatan itu merugikan masyarakat.53
Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut
sebagai “toereken baarheid” atau “criminal responsibilty”,criminal
liability. Telah diutarakan bahwa pertanggungjawaban pidana

51
Ruslan Saleh, Masih Saja Tentang Kesalahan, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994),
h,.77.
52
Sutrisna, I Gusti Bagus, “Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana (Tinjauan
terhadap pasal 44 KUHP),”dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara
Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,198), h,. 78.
53
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h,. 157.
37

dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau


terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime)
yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan
dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus nyata bahwa
tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa
mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan
kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.
Artinya tindakan tersebut tercela dan terdakwa menyadari tindakan
yang dilakukan tersebut.
Seseorang dimintai pertanggungjawaban karena adanya
kesalahan, dalam pengertian kesalahan yaitu keadaan batin si pembuat
(kemampuan bertanggung-jawab) hubungan batin si pembuat dengan
perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan maupun kealpaan dan
tidak adanya alasan penghapusan kesalahan (alasan pemaaf).
Sebagaimana telah disinggung, bahwa prinsip pertanggungjawaban
pidana didasarkan pada asas kesalahan (asas culpabilitas) yang secara
tegas menyatakan, bahwa tiada pidana tanpa kesalahan. Salah satu
syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam hukum pidana
adanya kemampuan bertanggungjawab. Artinya manakala orang itu
dianggap mampu bertanggungjawab.54
Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Simon dalam buku Muladi bahwa
pertanggungjawaban adalah strafbaar feit atau suatu perbuatan yang
oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,
dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap
bertanggung jawab atas perbuatannya.
Oleh karena itu, strafbaar feit atau criminal act berpendapat,
bahwa unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yang menyangkut
pembuat delik yang meliputi :

54
Tongkat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,(Malang: UMM Press, 2012), h,. 202.
38

1. Kemampuan bertanggung jawab;


2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan;
3. Tidak ada alasan pemaaf; 55
Sementara itu, menurut Sutrisna dalam bukunya Zainal Abidin
Farid bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab maka harus
ada dua unsur yaitu :
a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang
baik dan buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum.
b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsafan tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.56
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan
petindak jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi
unsur-unsurnya yang telah ditentukan didalam undang-undang. Dilihat
dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan),
seseorang akan dipertanggungjawab pidanakan atas tindakan-tindakan
tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak
ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu.
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya
seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung
jawab pidanakan. Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP secara
umum tersimpulkan dalam BAB III buku ke-I dan terdapat pula secara
tersebar dalam pasal-pasal Undang-undang.57
Seseorang mampu bertanggungjawab apabila:
a. Keadaan jiwa
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.
2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu,idiot dll)

55
Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,(Jakarta: Kencana, 2010), h,.65.
56
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h,.266.
57
S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya,(Jakarta : Alumni
Petehaem, 1996),
h,. 244.
39

3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah, melindur


dalam perkataan lain dia dalam keadaan standar.
b. Kemampuan jiwa
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya.
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut apakah
akan dilaksanakan atau tidak.
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.

Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah


pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya
perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang
tersebut mengetahui maksud dan akibat perbuatannya itu.58 Hukum
Islam sebagai salah satu hukum yang tidak tertulis yang hidup dan
berkembang, dalam masyarakat memberikan pengertian tentang
pertanggung-jawaban pidana, dimana seseorang dikatakan mampu
bertanggungjawab :
a. Adanya perbuatan yang dilarang.
b. Perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, artinya ada
pilihan dari pelaku untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan
perbuatan tersebut.
c. Pelaku mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukan.59
Berdasarkan uraian tersebut sekilas bahwa tidak ada perbedaan
jauh antara konsep hukum pidana di Indonesia dengan konsep hukum
Islam mengenai pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban
pidana dalam Islam (syari‟at) adalah pembebanan seseorang dengan
akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya
(Unsur Objektif) dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut

58
A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta:PT Bulan Bintang, 1967),h,.121.
59
A.Dzajuli, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Hukum
Islam,(Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1967), h,. 165.
40

mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya (Unsur Subjektif).60


Pembebanan tersebut dikenakan perbuatan yang dilakukan itu adalah
telah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam
arti perbuatan yang dilarang secara syar‟i, baik dilarang melakukan
atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga dikarenakan perbuatan
itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang
timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang
lain secara paksa (dipaksakan).
Apabila adanya ketiga hal tersebut di atas, maka
pertanggungjawaban itu ada pada seseorang yang melakukan
perbuatan pidana (kejahatan). Jika sebaliknya maka tidak ada
perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana pada orang gila, anak-anak
yang belum mencapai umur baligh atau orang yang dipaksakan untuk
melakukan perbuatan kejahatan yang mengakibatkan terancam
jiwanya. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, hukum Islam hanya
membebankan hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf.
Hukum Islam juga mengampuni anak-anak dari hukuman yang
semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali jika ia telah baligh.
Seperti dalam surah An-Nahl ayat 106 disebutkan tentang orang yang
dipaksa.

“106. Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia


beriman (dia mendapatkan kemurkaan Allah), kecuali
orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa). Akan tetapi orang

60
Ahmad Hanafi, Azaz-azaz Hukum Pidana Islam,(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1967), h,.
154.
41

yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka


kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar.”
Pertanggungjawaban pidana dapat dilakukan manakala
perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan terlarang (criminal
conduct) yang mencangkup unsur-unsur dari kejahatan tersebut.
Tanpa unsur tersebut pertanggungjawaban tidak dapat dilakukan
karena pertanggungjawaban mensyaratkan dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang. Salah satu prinsip dasar dalam hukum Islam,
bahwa pertanggungjawaban pidana itu bersifat personal artinya
seseorang tidak mempertanggungjawabankan selain apa yang telah
dilakukannya. Oleh karena adanya suatu faktor yang semestinya
menjadi alasan untuk dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak
pidana.
Adapun unsur yang mengakibatkan terjadinya
pertanggungjawaban pidana antara lain :
1. Adanya unsur melawan hukum, yaitu melakukan perbuatan yang
dilarang oleh syara‟ setelah diketahui bahwa syar‟i melarang atau
mewajibkan perbuatan tersebut. Perbuatan melawan hukum
merupakan unsur pokok yang harus terdapat pada setiap tindak
pidana.61
2. Adanya kesalahan, yaitu faktor yang menyebabkan adanya
pertanggung- jawaban pidana adalah mengerjakan perbuatan yang
dilarang syara‟. Dimaksudkan disini adalah kesalahan seseorang
terhadap perbuatan yang telah ditentukan tidak boleh dilakukan.
Hal itu menyangkut seseorang itu telah meninggalkan kewajiban
atau perintah, sehingga kepadanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban.

61
A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta:PT Bulan Bintang, 1967),h,.121
BAB III
MEREK SEBAGAI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

A. Pengertian dan Sejarah Hak Merek


Setiap orang atau organisasi perusahaan yang ada, akan sangat
peduli akan pentingnya sebuah nama dan simbol yang digunakan
dalam menjalankan bisnis dan pemasaran barang dan jasa. Simbol-
simbol ini akan membantu untuk menunjukan asal barang dan/atau
jasa, serta barang dan jasa. Dalam pasar, nama-nama dan simbol-
simbol tersebut dikenali sebagai merek (trademark), nama usaha
(business name), dan nama perusahaan (company name).perbedaan
ketiganya kadang-kadang membuat bingung baik bagi pengusaha itu
sendiri maupun masyarakat.
Merek (trademark) sebagai Hak Kekayaan Intelektual pada
dasarnya ialah tanda untuk mengidentifikasi asal barang dan jasa (an
indication of origin) dari suatu perusahaan dengan barang dan/atau
jasa perusahaan lain. Merek merupakan ujung tombak perdagangan
barang dan jasa. Melalui merek, pengusaha dapat menjaga dan
memberikan jaminan akan kualitas barang yang dihasilkan dan
mencegah tindakan persaingan yang tidak jujur dari pengusaha lain
yang beritikad buruk yang bermaksud membonceng reputasinya.62
Merek selalu diidentikan dengan identitas bagi suatu produk
yang dihasilkan oleh produsen, yang kemudian menjadi aset bagi
produsen. Identitas sebuah produk juga menjelaskan kualitas suatu
barang, hal tersebut juga menandakan barang tersebut memiliki ciri
khas tersendiri. Dalam kehidupan sehari-hari disekitar kita banyak
sekali terjadi pembajakan terhadap sesuatu yang dilakukan dengan
kualitas barang yang berbeda, sehingga akan berdampak kepada dua

62
Rahmi Jened, Hukum Merek (Trademark Law),(Jakarta: Prenadamedia Group,2015),
h,.3.

42
43

hal, yaitu pertama akan mengganggu stabilitas ekonomi, dan kedua


terkait jaminan perlindungan konsumen terhadap barang tersebut.63
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merek diberi
pengertian merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha
(pabrik,produsen dan sebagainya) pada barang yang dihasilkan
sebagai tanda pengenal cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk
menyatakan nama dan sebagainya.
Selain dari kamus, pengertian merek juga diberikan dalam
Undang-Undang Merek yang pernah berlaku dimasa lalu. Namun
Undang-Undang Merek 1961 ternyata merupakan salah satu Undang-
Undang yang tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian
merek. Berbeda dengan Undang-Undang 1992 jo. Undang-Undang
Merek 1997 yang memberikan pengertian merek yaitu tanda yang
berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna,
atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya
pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa.64
Pengertian merek yang diatur dalam Undang-Undang tersebut
ternyata tidak berbeda dengan pengertian merek yang ada di dalam
Undang-Undang Merek 2001 bahkan pengertiannya sama persis.
Dengan pengertian tersebut tampaknya pembentukan Undang-Undang
mengambil alih pengertian merek yang telah diatur di dalam Undang-
Undang sebelumnya.
Dari pengertian merek di atas baik menurut kamus maupun
Undang-Undang, dapat diketahui bahwa pada pokoknya pengertian
merek menunjukan kepada tanda dan tanda tersebut sengaja dibuat
untuk kepentingan perdagangan. Tampak terdapat hubungan erat
antara tanda dengan produk yang diperdagangkan, yaitu sebagai tanda

63
Hery Firmansyah, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, (Yogyakarta: Pustaka
Yustisia, 2011),
h,. 29.
64
Hery Firmansyah, Perlindungan Hukum Terhadap Merek......, h,. 31.
44

pengenal produk yang berfungsi untuk membedakan antara produk


yang satu dengan yang lain.
Dalam Undang-Undang Merek di atas ditekankan bahwa
merek perlu memiliki daya pembeda. Maksudnya adalah tanda yang
digunakan sebagai merek tidak boleh terlalu sederhana dan tidak
boleh terlalu rumit sehingga menjadi tidak jelas. Merek yang
bentuknya sederhana dan terlalu rumit akan membingungkan
masyarakat apakah tanda itu sebagai merek atau bukan.65
Selain dari pengertian yang berasal dari batasan yuridis beberapa
sarjana juga memberikan definisi tentang merek, yaitu:
1. R. Soekardono, menyatakan bahwa merek adalah suatu tanda,
dengan mana dipribadikanlah sebuah barang tertentu, dimana
perlu juga untuk mempribadikan asalnya barang atau menjamin
kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang
sejenis yang dibuat atau diperniagakan oleh orang-orang atau
badan-badan perusahaan lain. Merek adalah suatu tanda yang
pada dirinya terkandung daya pembeda yang cukup (capable of
distrugling) dengan barang-barang lain yang sejeni. Kalau tidak
ada pembedaan, maka tidak mungkin disebut merek.
2. OK.Saidin, S.H,M.Hum, menyatakan bahwa merek adalah suatu
tanda untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis
yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang
sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya
pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.66

65
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara No. 4131, Penjelasan Undang-
Undang No.15 Tahun 2001, Tentang Merek, Jakarta, 3 Februari 2018, Pasal 5 huruf b.
66
OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013),
h,. 345.
45

3. Prof. Molengraaf, menyatakan bahwa merek yaitu dengan nama


dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk menunjukan asal
barang dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan
dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan
oleh orang atau perusahaan lain.67
Mengenai sejarah perkembangan merek, sejarah merek dapat
ditelusuri bahkan mungkin berabad-abad sebelum Masehi. Sejak
zaman kuno, orang sudah memberikan tanda untuk barang-barang
miliknya. Perundang-undangan tentang merek dimulai dari Statute of
Parma yang sudah mulai memfungsikan merek sebagai pembeda
untuk produk berupa pisau, pedang, atau barang dari produk tembaga
lainnya. Penggunaan merek dagang dalam pengertian yang kita kenal
sekarang ini mulai dikenal tidak lama setelah Revolusi Industri pada
pertengahan abad XVIII. Pada saat itu sistem produksi yang berasal
dari abad pertengahan yang lebih mengutamakan keterampilan kerja
tangan, kemudian berubah akibat digunakannya mesin-mesin dengan
kapasitas produksi yang tinggi. Akibatnya terkumpulah hasil produksi
dalam unit-unit yang besar dan membutuhkan sistem distribusi baru
guna penyaluran barang-barang tersebut dalam masyarakat.68
Bersamaan dengan berkembangnya industri, berkembang pula
perkembangan iklan untuk memperkenalkan produk. Sejalan dengan
berkembang dan meningkatnya penggunaan iklan, maka meningkat
pula penggunaan merek dalam fungsinya yang modern, yaitu sebagai
tanda pengenal akan asal atau sumber produsen dari barang-barang
yang bersangkutan. Dari sejarah perkembangannya, diketahui bahwa
hukum merek yang berkembang pada pertengahan abad XIX sebagai
bagian dari hukum yang mengatur masalah persaingan curang dan
pemalsuan barang. Norma dasar perlindungan merek bahwa tidak ada

67
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan
Prakteknya di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h,. 164.
68
Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, ( Surabaya:
Airlangga University Press, 2007), h,. 159.
46

seorang berhak menawarkan barangnya kepada masyarakat seolah-


olah sebagai barang pengusaha lainnya, yaitu dengan menggunakan
merek yang sama yang dikenal oleh masyarakat sebagai merek
pengusaha lainnya. Lambat laun perlindungan diberikan sebagai suatu
pengakuan bahwa merek tersebut sebagai milik dari orang yang telah
memakainya sebagai tanda pengenal dari barang-barangnya dan untuk
membedakannya dari barang-barangnya dan untuk membedakannya
dari barang-barang lain yang tidak menggunakan merek tersebut.
Pengaturan hukum merek di Indonesia selalu mengalami
perubahan, pada era pemerintahan Hindia Belanda terdapat dalam
“Reglement Industriale Eigendom” (Reglemen Milik Perindustrian)
yang diundangkan dalam Staatsblad tahun 1912 yang merupakan
duplikat Undang-Undang merek Belanda (Merkenwet). Reglemen ini,
lebih dikenal dengan peraturan Milik Perindustrian tahun 1912,
reglemen ini hanya terdiri dari 27 pasal sehingga banyak hal-hal yang
belum jelas pengaturannya, misal belum mengatur tentang merek jasa,
pemalsuan merek, ganti rugi dan pemindahannya. Sistem yang dianut
adalah deklaratif yang memberikan perlindungan bagi pihak yang
memakai merek pertama kali.69
Pada era setelah kemerdekaan, perlindungan merek mulai
diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11
Oktober 1961. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan mengenal penggolongan barang-
barang dalam 35 kelas yang sejalan dengan klasifikasi internasional
berdasarkan persetujuan pendaftaran merek di Nice Perancis pada
tahun 1957 yang diubah di Stockholm tahun 1961 dengan
penyesuaian kondisi di Indonesia.

69
Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
berdasarkan Undang-undang Nomor 19 tahun 1992, (Citra Asitya Bakti, 1996).
47

Pada tanggal 28 Agustus 1992 diundangkan Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 1992 tentang merek yang berlaku efektif pada 1
April 1993. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang merek
menggantikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan. Berkaitan dengan kepentingan
reformasi undang-undang merek, indonesia turut serta meratifikasi
perjanjian internasional tentang merek, yaitu word intellectual
property organitation (WIPO). Pada tahun 1997, Undang-Undang
Nomor 19 tahun 1992 tentang merek diubah dengan Undang-Undang
Nomor 14 tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19
tahun 1992 tentang merek.
Pada undang-undang ini menentukan bahwa penggunaan
merek pertama di Indonesia dapat mendaftarkan mereknya,
pengaturan merek terbaru di Indonesia adalah Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2001 sebagai pengganti undang-undang yang lama
yaitu Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997, sehingga terjadi
perubahan secara menyeluruh pada peraturan tentang ketentuan merek
sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi perkembangan
teknologi informasi dan transportasi yang telah mendukung kegiatan
disektor perdagangan semakin meningkat secara cepat,
mempertahankan iklim persaingan usaha yang sehat, serta
menampung beberapa aspek dalam persatuan Agreement on
Traderelated Aspects of Intellectual Property Rights dan semenjak itu
segala sesuatu mengenai merek diatur dalam Undang-Undang Nomor
15 tahun 2001 tentang Merek.

B. Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual


Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal yang
baru di Indonesia. Sejak zaman pemerintah Hindia Belanda, Indonesia
telah mempunyai perundang-undangan tentang hak kekayaan
intelektual yang sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan
48

perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berlaku di


negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan
Belanda berdasarkan prinsip konkordasi. Pada masa itu, bidang hak
kekayaan intelektual mendapatkan pengakuan baru 3 (tiga) bidang hak
kekayaan intelektual, yaitu bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan
Industri, serta Hak Paten.70
Hak kekayaan intelektual adalah hak kebendaan, hak atas
sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil dari
pekerjaan rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa
benda immateril benda tidak berwujud. Hasil kerja otak itu kemudian
dirumuskan sebagai intelektualitas, orang yang optimal memerankan
kerja otaknya disebut sebagai orang yang terpelajar, mampu
menggunakan rasio, mampu berpikir secara rasional dengan
menggunakan logika, karena itu hasil pemikirannya disebut rasional
atau logis, orang yang tergabung dalam kelompom ini disebut kaum
intelektual.71
Demikian pula hasil kerja otak (intelektualitas) manusia dalam
bentuk penelitian atau temuan dalam bidang teknologi ia juga
dirumuskan sebagai Hak Kekayaan Intelektual. Kemampuan otak
untuk menulis, berhitung, berbicara, mengingat fakta dan
menghubungkan berbagai fakta menghasilkan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Benda immateril atau benda tidak berwujud yang berupa hak
itu dapat dicontohkan hak tagih, hak atas bunga uang, hak sewa, hak
guna bangunan, hak guna usaha, hak atas benda berupa jaminan, hak
kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights) dan lain
sebagainya. Hak immateril itu tidak mempunyai benda (berwujud)
sebagai objeknya, hak immateril termasuk ke dalam hak-hak yang
disebut Pasal 499 KUH Perdata. Oleh karena itu hak milik immateril
70
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h,. 1.
71
OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007), h,.10.-11.
49

itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Selanjutnya
dikatakannya pula bahwa, hak benda adalah hak absolut atas sesuatu
benda berwujud, tetapi ada hak absolut yang objeknya bukan benda
berwujud. Itulah yang disebut dengan nama Hak Kekayaan Intelektual
(Intellectual Property Rights).72
Pada dasarnya hak kekayaan intelektual itu tidak ada sama
sekali menampilkan benda nyata, ia bukanlah benda materil. Ia
merupakan hasil kegiatan berdaya cipta pikiran manusia yang
diungkapkan ke dunia luar dalam suatu bentuk, baik bentuk materil
maupun immateril. Bukan bentuk penjelmaannya yang dilindungi
akan tetapi daya cipta itu sendiri, daya cipta itu dapat berwujud dalam
bidang seni, industri dan ilmu pengetahuan atau paduan ketiganya.
Karena adanya unsur daya cipta yang dikembangkan dari kemampuan
berpikir manusia, untuk melahirkan sebuah karya hingga akhirnya
kata “intelektual” itu harus dilekatkan pada setiap temuan yang
berasal dari kreativitas berpikir manusia tersebut.
Sama halnya dengan hak cipta dan paten serta hak kekayaan
intelektual lainnya maka hak merek juga merupakan bagian dari hak
atas intelektual. Selain dari alasan yang telah disebutkan di atas, maka
khusus mengenai hak merek secara eksplisit disebut sebagai benda
immateril dalam konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indikasi Geografis bagian menimbang butir a,
yang berbunyi:
“Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan
konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi
Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting,
terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat,

72
OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual,..., h,. 12.
50

berkeadilan, perlindungan konsumen, serta perlindungan


usaha mikro, kecil, dan menengah indutri dalam negeri.”73
Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat
dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa
produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk
menjadi mahal bukan produknya tetapi mereknya. Merek adalah suatu
yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan
produk itu sendiri. Seringkali setelah barang dibeli, mereknya tak
dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan
kepuasan saja bagi pembeli benda materilnyalah yang dapat
dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda immateril yang tak
dapat memberikan apapun secara fisik, inilah yang membuktikan
bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.
Terdapat hak eksklusif pada hak kekayaan intelektual, yaitu
hak yang hanya dimiliki oleh pemilik hak kekayaan intelektual dan
tidak seorangpun berhak menikmatinya tanpa izin pemiliknya. Hak
eksklusif meliuputi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah
hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas hak kekayaan
intelektual yang dimilikinya, sedangkan hak moral adalah hak yang
melekat pada pemilik hak kekayaan intelektual berupa hak atas
keutuhan karyanya serta hak namanya tetap dicantumkan sebagai
penciptaan hak kekayaan intelektual.74
Suatu hal yang perlu dipahami dalam setiap kali menempatkan
hak merek dalam kerangka hak atas kekayaan intelektual adalah
bahwa, kelahiran hak atas merek itu diawali dari temuan-temuan
dalam bidang hak atas kekayaan intelektual lainnya,misalnya hak
cipta. Pada merek ada unsur ciptaan, misalnya desain logo, atau

73
Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2016, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
74
Sekar Hayu Ediningtyas, “Perlindungan Hukum Terhadap Pemalsuan Merek Dagang
Terkenal Asing di Indonesia ditinjau dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek”
CalyPutra.Vol.4 No.2, (2016), h.,9.
51

desain huruf. Ada hak cipta dalam bidang seni. Oleh karena itu, dalam
hak merek bukan hak cipta dalam bidang seni itu yang dilindungi,
tetapi mereknya itu sendiri sebagai tanda pembeda yang harus
dilindungi.75
Merek atas barang lazim disebut sebagai merek dagang, yaitu
merek yang digunakan/ditempelkan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang, atau badan hukum. Merek jasa
adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang, atau badan hukum. Merek sebagai
tanda pembeda dapat berupa nama, kata, gambar, huruf, angka,
susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut.76
Merek sebagai salah satu wujud karya intelektual memiliki
peranan penting bagi kelancaran dan peningkatan perdagangan barang
atau jasa dalam kegiatan perdagangan. Merek (dengan brand image-
nya) dapat memenuhi kebutuhan konsumen akan tanda pengenal atau
daya pembeda yang teramat penting dan merupakan jaminan kualitas
produk atau jasa dalam suasana persaingan bebas. Oleh karena itu,
merek adalah aset ekonomi bagi pemiliknya baik perorangan maupun
perusahaan (badan hukum) yang dapat menghasilkan keuntungan
besar. Demikian pentingnya peranan merek ini, maka terhadapnya
dilekatkan perlindungan hukum, yakni sebagai objek terhadapnya
terkait hak perseorangan atau badan hukum.
Beberapa fungsi merek antara lain menghubungkan barang
dan jasa yang bersangkutan dengan produsennya, hal itu
menggambarkan jaminan kepribadian, jaminan nilai atau kualitas
barang dan jasa yang bersangkutan, memberikan perlindungan dan
jaminan mutu barang pada konsumen, sebagai sarana promosi bagi
produsen kepada masyarakat.

75
OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007), h,.330.
76
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h,. 91.
52

Perlindungan atas Merek atau Hak atas Merek adalah hak


eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar
dalam daftar umum merek. Untuk jangka waktu tertentu ia
menggunakan sendiri merek tersebut ataupun memberi izin kepada
seseorang, beberapa orang secara bersama-sama, atau badan hukum
untuk menggunakannya. Perlindungan atas merek terdaftar yaitu
adanya kepastian hukum atas merek terdaftar, baik untuk digunakan,
diperpanjang, dialihkan, dan dihapuskan sebagai alat bukti bila terjadi
sengketa pelanggaran atas merek terdaftar.

C. Merek Cardinal Sebagai Jenis Hak Kekayaan Intelektual


Cardinal merupakan salah satu merek pakaian di Indonesia
yang sudah berkiprah sejak tahun 2005.77 Salah satu brand lokal asli
Indonesia yang sudah merambah pasar Internasional. Pada tahun 1970
PT. Multi Garmen Jaya mengawali usaha konveksi dari sektor “home
industry”. Dengan mengusung prinsip “Menjadi yang terdepan di
industri konveksi pakaian”, PT Multi Garmen Jaya tumbuh menjadi
perusahaan yang semakin besar dan maju pesat. Menuju era global,
pada tahun 1998 PT Garmen Jaya mulai melakukan expor barang ke
Amerika, Jepang, Timur Tengah, dan Rusia. Pada tahun-tahun
berikutnya PT Multi Garmen Jaya mulai merambah pasar Eropa
Barat.
Merek Cardinal terdaftar secara legal dikancah internasional,
dan menjadi merek terkemuka di pasar nasional. PT Multi Garmen
Jaya juga membuat beberapa merek lain seperti HARLEY,
GIONINO, GIOSURF,dan CAMPARI yang terdaftar secara
internasional namun diproduksi dan dipasarkan secara nasional

77
Diakses pada 3 Februari 2018 pukul 11.45 wib dari
Https://multigarmenjaya.com/brands/?lang:id
53

melalui saluran distribusi ritel PT. Multi Garmen Jaya diseluruh


Indonesia.78
Didukung dengan tim pengembangan produk yang terdiri dari
penata dan perancang mode yang berpengalaman, PT Multi Garmen
Jaya seIalu memproduksi barang inovatif yang sesuai dengan
permintaan pasar. PT Multi Garmen Jaya melakukan investasi jutaan
dolar untuk memiliki mesin tercanggih dibidang konveksi pakaian.
Pada tahun 1997, PT Multi Garmen Jaya mendapatkan penghargaan
dibidang komoditi non migas dari pemerintah Indonesia. PT Multi
Garmen Jaya tidak pernah berhenti melakukan perbaikan dan
perubahan agar dapat menghadapi tantangan ditengah kompetisi yang
ketat. PT Multi Garmen Jaya tidak pernah segan untuk meningkatkan
kapasitas sumber daya manusia melalrui pelatihan, workshop,
seminar, dan program pengembangan lainnya yang dilakukan sacara
in house maupun menggunakan pihak luar.
PT Multi Garmen Jaya selalu melakukan pembaharuan
teknologi mesin dan pengetahuan sumber daya manusianya agar
selalu bisa memberikan peningkatan pada hasil produksi. Pada tahun
2017, PT. Multi Garmen Jaya menuju masa depan, saat ini pabrik PT
Multi Garmen Jaya berlokasi di daerah Bandung Selatan dan memiliki
kapasitas 300.000 unit per bulan. Untuk menjamin mutu dan kualitas
pasokan bahan baku PT Multi Garmen Jaya bekerjasama dengan
banyak pihak, diantaranya penyuplai kain, washing dan dyeing,
bordir, dan percetakan, dsb.

78
Diakses pada 3 Februari 2018 pukul 10.44 wib dari
Http://www.pgsjjakarta.com/2017/10/cardinal-asli-buatan-Indonesia.htmlss
54

D. Tindak Pidana Pemalsuan Merek menurut Hukum Positif dan


Hukum Islam
1. Tindak Pidana Pemalsuan Merek menurut Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan
barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang
dan atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis, atau digunakan
untuk memberikan tanda dari produk yang dihasilkan. Pelanggaran
dibidang merek umumnya merupakan pemakaian merek terkenal
tanpa izin atau peniruan terhadap merek terkenal dengan tujuan untuk
memudahkan pemasaran, hal ini dilakukan umumnya untuk
kepentingan sesaat, namun sangat merugikan konsumen dan pemilik
merek tersebut.
Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum yang disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Apabila
pengertian tindak pidana dihubungkan dengan ketentuan pidana yang
terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek
dan Indikasi Geografis, maka disimpulkan bahwa tindak pidana
dibidang merek adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam
hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran sesuai dengan ketentuan
dalam undang-undang merek. Jadi, di dalam tindak pidana dibidang
merek objek hukumnya berkaitan dengan Hukum Kekayaan
Intelektual khususnya merek. Salah satu bentuk tindak pidana
dibidang merek adalah pemalsuan merek, tindak pidana pemalsuan
merek ini merupakan perbuatan yang tidak jujur akan merugikan
berbagai pihak, baik konsumen maupun merek itu sendiri.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, bahwa Merek
Dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
dipergunakan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-
55

sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis


lainnya.79yang dimaksud memiliki daya pembeda disini adalah
memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat
membedakan hasil perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain
yang sejenis, yang dapat diperdagangkan oleh perseorangan maupun
oleh seorang, kelompok atau badan hukum tertentu. Tanda tersebut
setidak-tidaknya mempunyai arti tertentu atau hanya sebagai suatu
nama saja yang tidak mempunyai makna tertentu.80
Pengelola merek dalam hukum di Indonesia dimulai dengan
diberlakukan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek
Perusahaan dan Merek Perniagaan pada tanggal 11 Oktober 1961.
Undang-Undang Merek tahun 1961 ini diperbaiki dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang berlaku efektif tanggal 1 April
1998. Selanjutnya diubah lagi Undang-Undang Nomor 11 tahun 1997
pada tanggal 17 Mei 1997.
Berdasarkan pertimbangan bahwa merek mempunyai peran
penting dalam era globalisasi dan juga mempertahankan persaingan
usaha yang sehat serta diratifikasinya perjanjian internasional tentang
perdagangan maka dibuatlah suatu undang-undang merek baru yang
dapat memenuhi kebutuhan usaha sekarang yaitu Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek yang diberlakukan sejak tanggal
1 Agustus 2001. Peraturan perundang-undang tersebut kemudian
diperbaharui kembali menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis perubahan atas Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

79
Republik Indonesia, Lembaran Negara Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Merek dan Indikasi Geografis.
80
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta: PT Raja Grafindo,2003), h,. 343.
56

Mengenai sanksi hukum pemalsuan merek, diatur dalam BAB


XVIII Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang termaktub dalam
Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103 mengenai ancaman
hukuman pidana pemalsuan merek.
Hukuman terhadap tindak kejahatan pemalsuan merek ini
dapat diberikan karena suatu perbuatan pemalsuan memiliki unsur-
unsur berikut ini :
a. Pelaku mempunyai niat atau maksud dengan menggambarkan
keadaan yang tidak benar itu seolah-olah benar, mempergunakan
sesuatu yang tidak asli, hingga orang lain percaya bahwa data
tersebut adalah benar dan asli dan karenanya orang lain terpedaya.
b. Unsur niat atau maksud dari pelaku tindak kejahatan pemalsuan
merek meliputi keinginan untuk menguntungkan diri sendiri
dengan menipu orang lain.81
c. Perbuatan yang menimbulkan suatu bahaya umum, dengan adanya
kerugian yang dialami masyarakat sebagai konsumen/pembeli,yang
mana produk yang dibelinya palsu atau tidak sesuai dengan yang
aslinya karena mereknya dipalsukan.
Suatu perbuatan dikatakan melanggar hukum dan dapat
dikenakan sanksi pidana maka harus terpenuhi dua unsur, yakni
adanya unsur actus reus dan means rea. Unsur actus reus dalam kasus
pemalsuan merek adalah kegiatan “memperdagangkan” yang menjadi
aspek fisiknya. Jadi pelaku bukanlah orang yang melakukan peniruan,
pemalsuan, ataupun pembajakan merek orang lain melainkan terbatas
pada kegiatan memperdagangkan barang atau jasa yang merupakan
hasil pelanggaran. Sedangkan unsur means rea adalah suatu
pertanggungjawaban yaitu “yang diketahui” atau “patut diketahui”.

81
Miranda Risang Ayu, “ Perlindungan Hukum Indikasi Geografis : Suatu Tantangan
Perlindungan Aset Bangsa Indonesia”, Media HKI, Vol.II, No.1, h,. 16.
57

Pelaku perdagangan mengetahui atau patut mengetahui barang


itu merupakan hasil pelanggaran tetapi tetap bersedia
memperdagangkannya.82

2. Tindak Pidana Pemalsuan Merek menurut Hukum Islam


Islam tidak menerangkan secara jelas dan eksplesit tentang
merek, baik dalam al-Qur‟an atau Hadits Nabi, permasalahan merek
merupakan masalah baru yang belum dikenal oleh umat Islam
terdahulu.
Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran
terhadap kebenaran dan kepercayaan, dengan tujuan memperoleh
keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup
yang teratur dalam masyarakat yang maju dan teratur tidak dapat
berlangsung lama tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa
bukti surat dan dokumen-dokumen lainnya. karenanya perbuatan
pemalsuan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari
masyarakat tersebut.83
Merek dalam Islam bisa dikatakan sebagai harta, karena
termasuk harta immateril. Harta immateril adalah harta kekayaan yang
tidak berwujud dan tidak dapat dinilai dengan suatu nilai nominal,
karena bentuk dan wujudnya yang abstrak. Merek juga termasuk
sebagai harta isti‟mal, karena merek tidak habis digunakan dalam
sekali pakai. Merek menempel pada bagan produk dan sifatnya
immateril, karena bisa berbentuk soft copy atau data yang bisa
diperbanyak jumlahnya.

82
Lukman Kardiasa, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dari
Tindakan Pelanggaran Terhadap Merek Terkenal”, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Vol.III, No.3,h,. 46.
83
Adam Chazawi, Kejahatan mengenai Pemalsuan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2001), h,.37.
58

Merek merupakan benda yang tidak berwujud, tapi karena


manfaatnya yang besar sehingga dianggap sebagai harta berharga bagi
pemiliknya. Mayoritas ulama‟ mengatakan bahwa manfaat suatu
benda merupakan kekayaan yang mempunyai nilai harga, karena
kebanyakan benda dinilai dari manfaatnya bukan zat fisiknya. Oleh
karena itu, manfaat tersebut harus dilindungi secara hukum. Demikian
pula dengan penemuan baru harus dinilai dari manfaatnya dan dari
situ diperlukan untuk melindunginya. Inilah landasan yang digunakan
untuk melindungi HKI (hak merek, hak paten dan hak cipta).84
Dengan demikian pencurian atas hak cipta, hak merek, dan hak paten
menurut hukum Islam juga bisa terancam hukuman.
Dalam hukum Islam, pemalsuan lebih sering ditujukan pada
kesaksian palsu sehingga sulit menemukan definisi yang tepat untuk
pidana pemalsuan. Dalam hukum Islam, pemalsuan adalah perbuatan
dusta atau berbohong yang dianggap sebagai sebuah dosa. Tindak
pidana pemalsuan jarang terjadi dalam sejarah hukum Islam, namun
yang sering dianggap sebagai pemalsuan adalah memberikan
kesaksian atau keterangan palsu. Masyarakat telah diciptakan untuk
hidup bermasyarakat, dalam suasana hidup bermasyarakat itulah ada
perasaan saling ketergantungan satu sama lain. Didalamnya terdapat
tuntutan, kebiasaan, aspirasi, norma, nilai kebutuhan dan sebagainya.
Kesemuanya ini dapat berjalan sebagaimana mestinya, jika ada
keseimbangan pemahaman kondisi sosial tiap pribadi. Tetapi
keseimbangan pemahaman kondisi sosial tiap pribadi. Tetapi
keseimbangan tersebut dapat goyah bilamana dalam masyarakat
tersebut terdapat ancaman yang salah satunya berupa tindak kejahatan
pemalsuan. Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru
atau benda, statistik, atau dokumen-dokumen, dengan maksud untuk
menipu. Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan

84
Muhammad Niam, “Hukum Tentang Hak Cipta”, Pesantren Virtual, Vol.II, No.4, h,.
76.
59

memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang


diperoleh melalui pemalsuan.85
Pemalsuan adalah perbuatan mengubah atau meniru dengan
menggunakan tipu muslihat sehingga menyerupai aslinya. Macam-
macam pemalsuan adalah sebagai berikut:86
a. Pemalsuan intelektual tentang isi surat/tulisan.
b. Pemalsuan uang: pemalsuan mata uang, uang kertas Negara/bank,
yang digunakan seperti sebagaimana aslinya.
c. Pemalsual merek : pemalsuan merek dengan maksud
menggunakan/ menyuruh orang lain menggunakannya seolah-
olah merek yang asli.
d. Pemalsuan materai: pemalsuan materai yang dikeluarkan Negara/
peniruan tanda tangan,yang diperlukan untuk keabsahan materai.
Merek dikatakan sebagai harta kekayaan intelektual, apabila
terjadinya pemalsuan merek maka sama saja dengan pencurian harta
kekayaan intelektual, karena merek sama dengan harta dan pencurian
merek dianggap sebagai pencurian harta kekayaan.

a) Konsep Harta dalam Islam


Harta dalam bahasa arab disebut ‫( ﺍﻟﻤﺎﻝ‬al-māl),bentuk masdar
dari lafadz ‫ ﻳعﻤﻴﻞ – ﻣﺎال‬- ‫ ﻣﺎﻝ‬yang berarti condong, cenderung, dan
miring. Harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh
manusia untuk menyimpan dan memilikinya.87 Para ulamā‟ fiqh
berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta. Pengertian harta (al-
māl) menurut Hanafiyah yaitu suatu yang bernilai dan dapat disimpan.
Jadi, sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat dikategorikan
sebagai harta. Sedangkan menurut ulamā‟fiqh selain Hanafiyah

85
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), h,. 435.
86
Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h,. 112.
87
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Ed.1 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h,.
9.
60

mendefinisikan bahwa konsep harta tidak terbatas pada bentuk bentuk


fisik dan materil. Tetapi memberikan pandangan bahwa manfaat juga
termasuk harta, karena yang terpenting adalah manfaatnya bukan
dzatnya.88 Menurut jumhur ulamā‟, maksud dari manfaat tersebut
adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang jelas
(nyata) dzatnya, seperti mendiami rumah atau mengendarai
kendaraan.
Para jumhur ulamā‟selain Hanafiyah, mendefinisikan bahwa
benda dan manfaat-manfaat itu merupakan kesatuan dalam kategori
harta kekayaan, begitu juga dengan hak-hak, seperti hak mengarang,
hak paten, hak cipta dan sejenisnya. Benda atau produk intelektual
yang pada mulanya belum merupakan harta, jika di kemudian hari
muncul manfaatnya yang bernilai (valued), maka ia menjadi harta.
Jika benda/ produk intelektual memberikan mudharat bagi orang
banyak, maka itu terhitung harta yang haram secara esensial.89

b) Pembagian Harta dalam Islam


Menurut fuqahā‟, harta dapat ditinjau dari beberapa bagian,
setiap bagiannya memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri.
Adapun pembagian harta dalam Islam dilihat dari bentuk wujudnya
hartanya, dibagi menjadi dua yakni harta materil dan immateril yaitu:
1. Harta materil adalah harta kekayaan yang wujud bentuk fisiknya
dapat dilihat, dan dapat dinilai dengan suatu nilai nominal.
Contohnya emas, batu mulia.
2. Harta immateril adalah harta kekayaan yang tidak berwujud dan
tidak dapat dinilai dengan suatu nominal karena bentuk dan
wujudny abstrak. Jenis harta yang termasuk harta immateril
seperti hak cipta atas lagu, merek, dan desain industri.

88
Habib Nazir dan Afifah Muhammad, Ensiklopedia Ekonomi dan Perbankan Syariah,
Cet.I, (Bandung: Kaki Langit, 2004), h,. 368.
89
As-Syaukani Luthfi, Politik, HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqih
Kontemporer,(Bandung: Pustaka Hidayah), 1998), h,. 29).
61

Pembagian harta juga dilihat dari berkurang dan tidaknya harta


itu bila digunakan dan diambil manfaatnya, dalam Islam dibagi
menjadi dua bagian yakni :
a. Harta Istihlāk, ialah suatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan
manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannya. Harta
istihlāk terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Istihlāk haqiqi ialah suatu benda yang menjadi harta yang
secara jelas (nyata) dzatnya, habis sekali digunakan, misalnya
makanan, kayu bakar.
2. Istihlāk huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah
digunakan, tetapi dzatnya tetap masih ada. Misalnya uang,
uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang
habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh,
hanya pindah kepemilikan.90
b. Harta Isti‟māl ialah sesuatu harta yang dapat digunakan berulang
kali dan materinya tetap terpelihara, artinya wujud benda tersebut
tidaklah habis atau musnah dalam sekali pakai. Seperti buku,
pakaian.
Merek dalam lughat (arti bahasa) dapat diartikan “memiliki
sesuatu” dan sanggup bertindak secara bebas terhadapnya. Hak milik
yakni wewenang yang diberikan oleh syariat kepada individu maupun
publik untuk menggunakan atau memanfaatkan suatu harta tertentu.
Dalam Islam, kepemilikan membutuhkan legalisasi dari syara, dimana
kepemilikan adalah suatu bentuk ikatan antara individu terkait dengan
harta. Pada prinsipnya, Islam tidak mengakui segala kepemilikan yang
lahir dari cara yang menyimpang.91

90
Lubis K, Hukum Ekonomi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h,. 5.
91
Faruq M, Sistem Ekonomi Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), h,. 38.
62

Merek merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual


(HKI), yaitu hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber
dari hasil kerja otak dan hasil dari pekerjaan rasio manusia yang
menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immateril atau benda yang
tidak berwujud.
Sebutan harta kekayaan menurut para ulamā‟ juga
mencangkup kekayaan intelektual, karena kekayaan intelektual
mendatangkan banyak manfaat, dan memiliki nilai ekonomis. Barang
atau jasa bisa terkeenal karena merek yang melekat pada barang dan
jasa itu yang melambangkan kualitasnya. Merek menyatakan jaminan
dan repusi barang atau jasa dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa. Merek merupakan simbol yang menjadi aset perusahaan yang
harus dijaga. Merek dapat dikategorikan sebagai harta kekayaan.
Sesuatu yang asalnya belum merupakan harta, kemudian hari tampak
manfaatnya, ia akan menjadi harta selama memberikan manfaat secara
umum.
Islam memang tidak menjelaskan secara jelas dan eksplisit
tentang merek baik dalam al-Qur‟an atau Hadits Nabi, karena gagasan
pengakuan atas merek dan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) sendiri
merupakan masalah baru yang belum dikenal oleh masyarakat
terdahulu. Hak kekayaan intelektual sesuai perkembangan dan
tuntutan zaman, termasuk hak yang harus dilindungi oleh syariat.
Mengingat tidak ada nash eksplisit yang membahasnya, maka sumber
hukum yang digunakan adalah mashlahah mursalah (kemashlahatan
umum). Temuan baru tersebut mempunyai nilai harga dan nilai
komersial. Jika itu dijual akan mendapatkan keuntungan yang tidak
sedikit, maka melindunginya tidak ada bedanya dengan melindungi
harta yang sifatnya jelas (nyata) zatnya.92

92
Mira, “Tinjauan Hukum Hak Cipta dalam Islam”, (Skripsi-IAIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2001),
h,. 32.
63

Mayoritas ulamā‟ mengatakan bahwa manfaat suatu benda


merupakan kekayaan yang mempunyai nilai harga, karena
kebanyakan benda dinilai dari manfaatnya bukan dzat fisiknya. Oleh
karena itu, manfaat tersebut dilindungi secara hukum. semikian pula
penemuan baru harus dinilai dari manfaatnya dan dari situ diperlukan
adanya perlindungan untuk melindunginya. Atas dasar inilah yang
digunakan untuk melindungi HKI (hak merek, hak cipta, dan hak
paten) dengan demikian pencurian atas HKI menurut hukum Islam
bisa terancam hukuman.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) tidak
bertentangan dengan hukum Islam, bahkan hak tersebut telah
dilindungi oleh syara‟(hukum Islam). Berlandaskan atas dasar
istihlah, karena pelanggaran hak kekayaan Intelektual merupakan
suatu tindakan kejahatan dan pelanggaran terhadap hak kepemilikan.
Perlindungan atas karya intelektualnya, sebagai bentuk penghargaan
atas karya kreativitas intelektualnya. Negara memberikan hak
eksklusif kepada pemiliknya sebagai pemegang hak yang sah dengan
melarang orang lain yang tanpa persetujuannya atau tanpa hak
memakai karya intelektualnya.
Mayoritas ulamā‟ dari kalangan mazhab Maliki, Syafi‟i dan
Hanbali berpendapat bahwa hak ciptaan yang orisinil dan manfaat
tergolong harta berharga sebagaimana benda yang bisa dimanfaatkan
secara syara‟(hukum Islam).93 Sebab dan alasan merek dimasukkan
ke dalam hak kekayaan intelektual yaitu :
1. Nama dagang, label, cap, hasil ciptaan dan hasil kreasi
mempunyai hak khusus yang dimiliki oleh pemiliknya, namun
hak tersebut memiliki nilai ekonomis yang diakui sebagai
kekayaan maka harus dilindungi.

93
Muhammad Djumhana, Perkembangan Doktrin dan Teori Perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h,.9.
64

2. Pemilik hak-hak non materil mempunyai kewenangan terhadap


ciptaannya, karena harta non materil bisa ditransaksikan dengan
sejumlah uang sama seperti harta yang bersifat material.
3. Hak merek, karang-mengarang dan hak cipta lainnya dilindungi
oleh syara‟ pemiliknya mempunyai kewenangan terhadapnya dan
tidak boleh ada yang mengambilnya dengan cara meniru atau
yang lainnya.
Sehingga dalam bentuk pelanggaran terhadap merek, terutama
pembajakan merupakan kezhaliman yang hukumnya haram. Seperti
dalam hadits ini tentang larangan menzhalimi sesama muslim :
)‫الْ ُم ْس ِ ُِل َاخ ُْو الْ ُم ْس ِ ُِل َالي َ ْظ ِل ُم ُه َو َال ي ُْس ِل ُم ُه (رواه البخاري‬
“Muslim adalah saudara muslim (yang lain), ia tidak
boleh menzhalimi dan menghinanya.” (HR. Bukhari).

Pemalsuan merek termasuk dalam suatu perbuatan


tindak pidana didalam hukum pidana islam dianggap sebagai
jarimah yaitu :

ُ ‫َش ِع َّي ُة َز َج َر‬


‫هللا َعْنْ َا َ ََب ِّد أَ ْوتَ ْع ِزْير‬ ْ َ ‫َم ْح ُز ْو َر ُات‬
“Larangan-larangan syara‟ yang diancam oleh Allah
SWT dengan hukuman hadd atau ta‟zir.
Maksud dari larangan tersebut adalah mengabaikan perbuatan
yang terlarang (tidak diperbolehkan) atau mengabaikan perbuatan
yang diperintahkan. Suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah
apabila dapat merugikan kepada tata aturan masyarakat, atau
kepercayaannya dan merugikan kehidupan anggota masyarakat.94Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
tindak pidana adalah suatu tindakan pada waktu, tempat dan keadaan

94
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h,.2.
65

tertentu yang dilarang oleh undang-undang serta diancam dengan


ketentuan pidana.
Pemalsuan berasal dari kata palsu, dalam al-Qur‟an kata yang
mempunyai kesamaan arti dengan kata pemalsuan itu tidak
ditemukan, yang ada hanya kata yang mempunyai persamaan dengan
kata palsu, kata tersebut dijumpai dalam al-Qur‟an berupa ,‫ الْ ُز ْو ُر‬,‫ْال ِك ْذ ُب‬

‫ أ ِالفْ ُك‬yang secara bahasa berarti bohong, yaitu hal yang tidak sesuai
dengan yang sebenarnya. Sehingga palsu juga dapat diartikan bohong
sesuai dengan penggunaannya.
Dari pengertian di atas, palsu adalah segala bentuk yang tidak
sesuai dengan apa yang ada dan yang seharusnya, baik itu berbentuk
pernyataan yang tertuang dalam suatu tulisan atau ucapan.
Beberapa pengertian di atas, pemalsuan adalah proses atau
rangkaian tindakan secara tidak sah atau tidak dibenarkan yang
merugikan orang lain dengan adanya unsur-unsur kesengajaan.95
Pemalsuan di dunia bisnis mempunyai tujuan untuk mendapatkan
keuntungan tanpa melihat tindakan tersebut melanggar hak orang lain
atau tidak. Dengan tindakan pemalsuan tersebut, pemalsuan
mendapatkan keuntungan dan orang yang menjadi korban dirugikan
atas perbuatannya. Dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa perbuatan
yang merugikan hak orang lain itu merupakan larangan. Larangan
tersebut berdasarkan pada Qs. asy-syu‟ara ayat 183 yaitu :

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-


haknya dan janganlah kamu merajalela dimuka bumi
dengan membuat kerusakan.(Qs.asy-syu‟ara : 183).96

95
Daryanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, h,. 426.
96
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahannya, h,. 115.
66

Pelanggaran merek berupa tindak pidana pemalsuan dapat


dikatakan sebagai pencurian, karena menggunakan hak milik orang
lain dengan tanpa izin. Merek mempunyai nilai dan manfaat yang
besar, sehingga diperlukan perlindungan untuk melindunginya.
Hukum Islam melarang segala bentuk kezhaliman dan tindakan yang
merugikan orang lain termasuk pelanggaran terhadap hak merek milik
orang lain karena sifat merek tersebut mempunyai nilai jika
dipergunakan atau dijual kepada pihak lain walaupun berbentuk
abstrak.
Tindak pidana pemalsuan merek dapat dikategorikan sebagai
jarimah karena unsur-unsur jarimah ada dalam tindak pemalsuan
merek. Dari uraian tersebut dapat diketahui unsur-unsur jarimah
secara umum yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan
jarimah, yaitu:
a. Rukun syar‟i (unsur formil), yaitu ada nash yang melarang
perbuatan dan mengancam perbuatan terhadapnya.
b. Rukun maddi (unsur materil), yaitu adanya tingkah laku yang
membentuk jarimah
c. Rukun adabi (unsur moril), yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggung jawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya.97

Pelanggaran merek tidak dapat dimasukkan ke dalam jarimah


hudud, karena wujud merek itu sendiri tidak ada ukuran jumlah yang
pasti dan termasuk barang yang abstrak. Jarimah hudud pencurian
dalam hukum pidana Islam ditegaskan mempunyai ancaman hukuman
potong tangan termasuk mengambil harta, dimana bila sudah ada
batas hartanya, yaitu satu nisab atau seperempat dinar atau lebih.

97
Darwin Haryatmoko, “Pelanggaran Merek dalam Perspektif Hukum Pidana Islam
(Studi Analisis Terhadap Sanksi Pelanggaran Merek Pasal 90-94 UU No.15 Tahun 2001 tentang
Merek)”Skripsi – IAIN Wali Songo, Semarang, 2005), h,.20.
67

Merek tidak dapat diukur secara pasti karena wujudnya


abstrak, maka pelanggaran merek tidak dapat dimasukkan ke dalam
kategori jarimah hudud pencurian dengan ancaman hukuman potong
tangan tetapi masuk ke dalam jarimah dengan sanksi pidana ta‟zir.98
Pelanggaran merek termasuk kasus yang belum pernah terjadi pada
masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, karena hak atas merek
termasuk permasalahan kontemporer yang terjadi akibat
perkembangan jaman dan perubahan sistem perdagangan dunia. Jika
di dalam al-Qur‟an dan Sunnah tidak ada yang mengatur tentang
permasalahan tersebut maka ulil amri akan mempertimbangkannya
dengan menetapkan suatu sistem maslahah. Pada dasarnya tujuan
awal dari hukum pidana Islam adalah mewujudkan kebaikan
kemashlahatan sekaligus mencegah terjadinya kerusakan (mafsadat)
untuk menarik manfaat dan menolak mudarat bagi seluruh umat.
Dalam hukum Islam, hak merek masuk dalam hak
kepemilikan (al-milkiyah) hak milik (al-milkiyah) dalam hukum Islam
merupakan suatu hak yang memberikan kepada pihak yang
memilikinya atau kewenangan atas sesuatu, sehingga ia mempunyai
kewenangan mutlak untuk menggunakan dan mengambil manfaat
sepanjang tidak menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. Menurut
Muhammad Abu Zahra al-milk yaitu:

‫ف‬ َ َّ‫طﺎ ِﺣبُهُ َﺷﺮْ ﻋًﺎ أَ ْﻥ ﻳَ ْسﺘَبِ َّﺪ ﺑِﺎﻟﺘ‬


ِ ُّ‫ظﺮ‬ َ ‫ظﺎصٌ ﻳُ ْﻤ ِك ُﻦ‬ َ ِ‫أِ ْخﺘ‬
.‫ﺎع ِﻋ ْﻨ َﺪ َﻋﺪ َِﻡ ْﺍﻟ َﻤﺎﻧِ ِع ﺍﻟ َّشﺮْ ِﻋ ِّي‬
ِ َ‫َؤﺍ ِال ْﻧﺘِف‬
“Pengkhususan seseorang terhadap pemilik sesuatu
benda menurut syara‟ untuk bertindak secara bebas dan
bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada
penghalang yang bersifat syara”.

98
Istin Himayah, “ Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Hak Merek (Studi Kasus
Pelanggaran atas Hak merek Jenang Mubarok di PT. Mubarok food cipta Delicia Kudus)” Skripsi-
IAIN Wali Songo,Semarang,2008), h,. 91.
68

Artinya, benda yang dikhususkan kepada seseorang itu


sepenuhnya berada dalam penguasannya, sehingga orang lain tidak
boleh bertindak dan memanfaatkannya, pemilik harta bebas untuk
bertindak hukum terhadap hartanya.99
Pelanggaran merek masuk ke dalam jarimah dengan sanksi
pidana ta‟zir. Hukuman ta‟zir bertujuan memberikan pengajaran dan
mendidik serta mecegah orang lain melakukan perbuatan serupa.
Adapun ketentuan pidana ta‟zir tidak ditetapkan, semua diserahkan
pada pemerintah atau pengadilan yang menentukan.
Hukuman ta‟zir merupakan hukuman yang dijatuhkan atas
jarimah-jarimah yang tidak dijatuhi hukuman yang telah ditentukan
oleh syariat yaitu jarimah hudud dan jarimah qisash diyat. Hukuman
tersebut banyak jumlahnya, dimulai dari hukuman yang sangat ringan
sampai yang terberat. Hakim diberi kewenangan untuk memilih
hukuman yang sesuai.100 Para ulama‟ telah menyusun jenis-jenis
hukuman tersebut adalah hukuman mati, penjara kurungan, cambuk,
pengasingan, pengucilann, ancaman, teguran, dan denda.

99
Abdul Rahman Ghazaly dan Ghufron Ihsan, Fiqih Muamalat, (Jakarta, Kencana, 2015),
h,. 46.
100
Marsum, Fiqih Jinayat : Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta : FHUII, 2001), h,. 143.
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
JAKARTA PUSAT
Nomor : 734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst

A.Kronologi Perkara
Kronologi kasus yang penulis sebutkan berikut ini adalah
salinan dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor:734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst, penulis salin sesuai dengan apa
adanya, dengan maksud agar kronologis tersebut tidak ada
penambahan maupun pengurangan. Kutipan tersebut adalah sebagai
berikut :
Sebelum menganalisis kasus dari tindak pidana ini, perlu
dijabarkan secara kronologis tentang tindak pidana pemalsuan merek
cukup terkenal yang dilakukan oleh terdakwa AFRIZAL, 36 Tahun.
Pada hari Kamis tanggal 27 Oktober 2011 atau setidak-tidaknya pada
waktu tertentu dalam bulan Oktober 2011, bertempatan di Toko X-
Four di Pasar Regional Tanah Abang Lantai III Blok F2 Los Bks
Nomor:177 Jakarta Pusat atau setidak-tidaknya pada suatu tempat
yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan.
Pada waktu dan tempat tersebut di atas berawal dari seorang
sales yang mendatangi toko milik terdakwa namun sales tersebut tidak
dikenal oleh terdakwa, kemudian sales tersebut menawarkan dan
menjual barang dagangannya berupa celana formal merek Cardinal
dengan harga yang sangat murah, kemudian terdakwa menjualnya
kembali dengan harga yang relative cukup murah dengan harga Rp.
75.000,-/pcs padahal harga merek aslinya sekitar Rp.150.000,- s/d
Rp.200.000,-/pcs terdakwa membelinya pada tanggal 5 Oktober 2011

69
70

sebanyak 5 (lima) lusin dengan harga Rp. 300.000,- dan 5 (lima) lusin
lagi sekitar Rp.420.000,- kemudian sudah terjual sebanyak 2 (dua)
lusin dengan harga Rp.75.000,-/pcs. Sehingga terdakwa mengetahui
dan patut mengetahui kalau barang dagangan berupa celana formal
merek Cardinal yang dijual kepada terdakwa untuk diperdagangkan
tersebut adalah hasil dari pelanggaran merek. Pada waktu terdakwa
membeli celana Cardinal tersebut, salesnya tidak memperlihatkan
sertifikat mereknya dan terdakwa juga tidak menanyakannya,
kemudian terdakwa telah membayar seharga Rp. 3.600.000,- untuk
pembelian 10 lusin celana merek Cardinal yang diduga palsu kepada
sales tersebut ternyata terdakwa tidak mengetahui kalau merek
Cardinal tersebut asli atau palsu dan terdakwa ternyata tidak
mengetahui pemilik asli dari merek Cardinal tersebut.
Pada hari Kamis tanggal 27 Oktober 2011, sekitar jam 11.00
WIB Polisi yang berpakaian seperti preman itu berhasil menggeledah
toko terdakwa yang berada di Pasar Regional Tanah Abang Jakarta
Pusat. Bahwa pada saat Polisi yang berpakaian layaknya seorang
preman itu terdakwa sedang tidak ada di toko melainkan terdakwa
sedang berada di rumah yaitu di RUSUN, dan hal itu terdakwa ketahui
dari pegawai toko miliknya yaitu Dodi Aryanto. Kemudian Polisi
menemukan barang bukti berupa 1 (satu) lembar nota penjualan Toko
X-Four tertaanggal 13 Oktober 2011 atas penjualan 2 (dua) pcs celana
merek Cardinal , 2 (dua)pcs celana merek Cardinal yang berada
ditoko tersebut serta 118 pcs celana formal/resmi merek Cardinal
yang telah didaftarkan.
Diketahui merek celana Cardinal merupakan produksi dari
PT.Multi Garmen Jaya yang telah didaftarkan di kantor Jendral Hak
Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM RI dengan
nomor sertifikat : IDM 000236055 tanggal 11 Februari 2010 atas
nama PT.Multi Garmen Jaya yang beralamat di Jl.Krwang No.1
Bandung, untuk kelas barang/jasa NCL9 25 dengan uraian barang/jasa
71

konfeksi, ikat pinggang, pakaian-pakaian jadi untuk pria, wanita dan


kanak-kanak. Maka akibat dari peristiwa ini PT.Multi Garmen Jaya
selaku pemilik merek resmi Cardinal mengalami kerugian kurang
yang lebih sebesar Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Bahwa dalam persidangan perkara tersebut untuk
membuktikan dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan
saksi-saksi diantaranya, yaitu Saksi 1 bernama H.Fahruroddin, yang
menyatakan bahwa saksi tidak kenal dengan terdakwa kemudian saksi
juga pernah diperiksa oleh Penyidik di kepolisian saksi merupakan
seorang staf yang bekerja di PT.Multi Garmen Jaya sejak tahun 2000
yang bertugas mengawasi personil dan mengawasi produk hasil
produksi. Kemudian saksi menyatakan bahwa barang bukti berupa
celana formal merek Cardinal+Logo 1 (satu)pcs dan 5 (lima)pcs
celana merek Cardinal yang diduga palsu yang diduga didapat dari
orang lain yang dijual ditoko terdakwa. Kemudian saksi menjelaskan
ciri-ciri merek Cardinal saksi mengatakan bahan yang dijual oleh
terdakwa jelek dan jahitannya juga tidak bagus dan tidak terdapat
hologram resmi milik Cardinal. Saksi kedua yaitu H.Jemi Mihatmo
Kuswandi, saksi bekerja di PT.Multi Garmen Jaya sejak tahun 2011
dan saksi juga mengatakan bahwa barang yang dijualnya adalah palsu
dan hanya dijual seharga Rp.50.000,- saja.

B. Dakwaan, Tuntutan dan Putusan


1. Dakwaan
Dalam kasus tindak pidana pemalsuan merek ini yang terjadi
diwilayah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, surat dakwaan
yang dibuat Jaksa Penuntut Umum adalah sebagai berikut :
Nama Lengkap : AFRIZAL
Tempat Lahir : Padang
Umur / Tanggal Lahir : 36 Tahun / 06 Nopember 1973
Jenis Kelamin : Laki-laki
72

Kebangsaan : Indonesia
Tempat Tinggal : Gang Porta Rt.009 Rw.017 Kelurahan Kebon
Melati Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat
atau Rusun Tanah Abang Blok 34 Lt.1 No.4
Tanah Abang Jakarta Pusat.
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa terdakwa atas nama
Afrizal secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“mempergunakan barang atau jasa yang diketahui atau patut diduga
merupakan hasil pelanggaran Pasal 91 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek, yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
yang terdiri dari :
a. Unsur barang siapa;
b. Unsur dengan tanpa hak memperdagangkan merek yang sama
dengan merek terdaftar milik pihak lain;
c. Unsur mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada
keseluruhan pada merek pihak lain yang terdaftar;
d. Unsur yang mengakibatkan pihak lain mengalami kerugian;

2. Tuntutan
a. Menyatakan terdakwa Afrizal terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana mempergunakan barang atau jasa yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari pelanggaran
merek yang mengakibatkan kerugian yang diderita pihak lain.
b. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Afrizal dengan dijatuhi
pidana dalam Pasal 94 Jo 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek.
c. Menetapkan kepada terdakwa dihukum untuk membayar biaya
perkara yang tinbul karenanya.
73

3. Putusan Hakim
Dalam perkara Putusan Nomor : 734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst,
dengan hakim Aswijon,SH.MH sebagai Ketua Majelis Sutio Jumagi
Akhirno, SH,M.Hum sebagai Hakim Anggota dan Jan Manoppo,SH.
Juga sebagai Hakim Anggota. Kemudian dibantu oleh Hj.Warsuti,SH
sebagai Panitera Pengganti dan Roginta Sirait, SH sebagai Jaksa
Penuntut Umum serta dihadiri oleh terdakwa yang tidak didampingi
penasihat hukumnya yang menyatakan menghadapi sendiri
perkaranya.
Memutuskan setelah membaca surat-surat perkara, mendengar
keterangan saksi-saksi dan terdakwa, menimbang dan sebagainya
dengan memperhatikan Pasal 94 Jo Pasal 91 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 tentang Merek, mengadili dengan menyatakan bahwa
terdakwa Afrizal terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana telah mempergunakan barang atau jasa yang
diketahui atau patut diduga merupakan hasil dari pelanggaran Pasal 91
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dengan
hukuman pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dan menetapkan
hukuman tersebut tidak perlu dijalankan oleh terdakwa kecuali
sebelum lewat masa percobaan 1 (satu) tahun terdakwa melakukan
tindak pidana.
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) lembar nota
penjualan Toko X-four tertanggal 13 Oktober 2011 atas penjualan 2
(dua) pcs celana merek Cardinal tetap terlampir dalam berkas, 2 (dua)
pcs celana merek Cardinal yang dibeli dari toko X-Four dan 118
(seratus delapan belas) pcs celana formal/resmi merek Cardinal yang
dirampas untuk selanjutnya dimusnahkan, serta membebankan kepada
terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu
rupiah).
74

C. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana


Pemalsuan Merek
Mengenai pertanggungjawaban pidana, suatu perbuatan yang
dilarang dan dapat diancamnya suatu perbuatan dengan suatu pidana
maka orang yang melakukan perbuatan tersebut harus dapat
mempertanggungjawabkan karena orang tidak mungkin dimintai
pertanggungjawaban (dijatuhi pidana) jika dia tidak melakukan suatu
perbuatan pidana atau sesuatu perbuatan yang dilarang. Tapi
meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu seseorang tersebut
dapat dipidana. Jika orang telah melakukan perbuatan pidana, belum
tentu dapat dijatuhi pidana sebab masih harus dilihat orang tersebut
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atau tidak. Apabila
ternyata tidak dapat dibuktikan kesalahannya maka berlakulah asas
tidak ada pidana tanpa adanya kesalahan.
Pertanggungjawaban pidana ini dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang pelaku tindak pidana ini akan dipidana
atau dibebaskan. Jika ia dipidana harus nyata bahwa tindakan yang
dilakukan itu bersifat melawan hukum dan mampu bertanggungjawab.
Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan101 dari pelaku yang
berbentuk kesengajaan atau kealpaan, artinya pelaku menyadari atau
tidak atas perbuatannya tersebut.102
Seseorang dimintai pertanggungjawaban karena adanya
kesalahan berupa perbuatan yang dapat berupa kesengajaan maupun
kealpaan dan tidak adanya alasan penghapusan kesalahan (alasan
pemaaf). Salah satu syarat untuk adanya pertanggungjawaban dalam
hukum pidana yaitu adanya kemampuan bertanggungjawab, artinya
manakala orang itu dianggap mampu bertanggungjawab.103

101
Kesalahan adalah mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang syara‟.
102
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta : PT Rineka Cipta, 2002), h,. 157.
103
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,…, h,. 158.
75

Dalam kasus tindak pidana pemalsuan merek Cardinal ini


terdakwa Afrizal sudah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban
pidana yang meliputi kemampuan bertanggungjawab, adanya
kesalahan yang diperbuat dan tidak ada alasan pemaaf.
Dalam hal ini terdakwa sudah dianggap mampu
bertanggungjawab karna sudah dewasa dan tidak memiliki gangguan
kejiwaan, kemudian adanya kesalahan berupa kesengajaan karena
terdakwa sudah mengetahui bahwa barang yang dijualnya tersebut
adalah hasil dari pelanggaran merek dan tidak adanya alasan pemaaf
karena dilakukannya atas kehendaknya sendiri atau dilakukan dengan
kesengajaan.
Apabila ditinjau dari pandangan hukum pidana Islam, maka
terdakwa Afrizal juga sudah memenuhi unsur-unsur dari
pertanggungjawaban pidana yang mana terdapat adanya perbuatan
yang dilarang adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang
dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan,
sedangkan suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila
perbuatan itu dilarang oleh syara‟ dan diancam dengan hukuman.104
Terdakwa melakukan suatu perbuatan tindakan yang dilarang oleh
syara‟ karena terdakwa telah memalsukan merek terdaftar milik orang
lain dan dianggap telah merugikan orang lain, kemudian perbuatan
tersebut dikerjakan dengan kemauan sendiri, terdakwa melakukan
perbuatan tindak pidana pemalsuan merek dengan kemauan sendiri
bukan atas dasar paksaan dari siapapun,karena terdakwa telah
mengetahui bahwa barang yang dijualnya merupakan hasil dari
pelanggaran yang dapat dikenai sanksi.105

104
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam,(Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), h,.9.
105
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 734/Pid.B/2013/PN.Jkt.Pst
76

Terdakwa mengetahui akibat dari perbuatan tersebut, akibat


dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menyebabkan pemilik merek
asli Cardinal mengalami kerugian yang cukup besar, dan terdakwa
juga dianggap telah mampu bertanggungjawab karena terdakwa sudah
dewasa dan seorang yang mukallaf atau orang yang telah cakap
hukum atau sudah dapat dibebani hukum taqlifi.
Dilihat dari keadaan jiwa serta kemampuan jiwa, terdakwa
Afrizal dianggap telah mampu bertanggungjawab karena menurut
keadaan jiwanya, terdakwa tidak mengalami gangguan jiwa atau
penyakit yang terus menerus, tidak cacat dalam pertumbuhannya,
tidak karena terhipnotis, melindur terdakwa melakukan dalam
keadaan sadar.106Kemudian dalam kemampuan jiwanya terdakwa
dapat menentukan kehendaknya atau tindakan tersebut apakah akan
dilaksanakan atau tidak ternyata terdakwa memilih untuk melakukan
perbuatan tersebut dan telah mengetahui bahwa perbuatan
memalsukan merek adalah suatu perbuatan yang tercela atau
perbuatan yang dilarang.
Maka dari uraian di atas, terdakwa patut untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dapat dijatuhi sanksi
pidana karena telah melakukan sesuatu perbuatan melawan hukum.

D.Pandangan Hakim dalam Putusan Nomor


734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst dalam Tinjauan Hukum Positif dan
Hukum Islam
1.Pandangan Hakim dalam Putusan Nomor
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst dalam Tinjauan Hukum Positif
Berdasarkan pemaparan kasus tersebut di atas, maka penulis
berpendapat dalam pandangan hukum positif, putusan yang dijatuhkan
oleh Majelis Hakim sebagaimana disebutkan di atas terhadap
penerapan hukum yang dijadikan dasar putusan bagi terdakwa yang

106
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007),h,. 266.
77

mengacu pada hukum pidana materil di Indonesia, yakni Pasal 94 Jo


Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst majelis hakim berpendapat bahwa
dakwaan yang dibuktikan oleh Penuntut Umum sesuai dengan
tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum yaitu telah melanggar
Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Kemudian dalam perkara pemalsuan merek Cardinal yang dilakukan
terdakwa tidak terjadi kekeliruan mengenai orang yang dihadapkan
dalam persidangan dan dianggap telah mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya dan tidak adanya alasan
pemaaf atau pembenar karena sudah terbukti memenuhi unsur
mamperdagangkan atau memperjual belikan barang yang mempunyai
nilai ekonomis hasil dari pelanggaran merek dengan adanya bukti-
bukti yang telah ada.
Berdasarkan fakta-fakta yang ada majelis berpendapat dan
berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam
dakwaan telah melanggar Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 tentang Merek.
Dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap
terdakwa bernama Afrizal yang terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah telah melakukan tindak pidana mempergunakan barang atau
jasa yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil pelanggaran
merek sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 94
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Jaksa
Penuntut Umum mendakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun sesuai dengan Pasal 94 serta menetapkan terdakwa dibebani
biaya sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
78

Terhadap penegakkan hukum kasus tersebut di atas, analisis


penulis adalah dakwaan Jaksa Penuntut Umum sudah tepat dan sesuai
dengan perbuatan yang dilakukan oleh kedua terdakwa yaitu Pasal 91
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, dengan
sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya
dengan merek pihak lain yang terdaftar untuk diperdagangkan atas
dasar itu terdakwa dipidana kurungan selama 6(enam) bulan atas
putusan hakim. Sedangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum pidana
selama 1(satu) tahun atas putusan hakim tersebut terdakwa tidak perlu
menjalani hukumannya sesuai dengan Pasal 14 huruf a KUHP kecuali
sebelum lewat masa percobaan 1(satu) tahun terdakwa melakukan
tindak pidana, namun seharusnya lebih baik hakim tetap
mengharuskan terdakwa ditahan selama 6 (enam) bulan karena
perbuatannya sudah menyebabkan orang lain mengalami kerugian.107
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
mengadili terdakwa menjatuhkan pidana kurungan selama 6 (enam)
bulan adalah sudah tepat dan memenuhi ketentuan undang-undang,
karena menurut Majelis Hakim berdasarkan fakta dan pertimbangan
maka Majelis Hakim berpendapat dan berkesimpulan bahwa terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dalam dakwaan kedua melanggar Pasal 94
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Dengan telah memenuhinya unsur-unsur tindak pidana
tersebut dan dikenakan sanksi pidana yang sesuai dengan
perbuatannya menurut Undang-Undang tersebut di atas, dengan
demikian hukuman tersebut diberikan agar tidak melakukan
pengulangan terhadap perbuatan tindak pidana pemalsuan merek
seperti yang telah dilakukan oleh terdakwa serta sebagai efek jera dan
untuk menjadikan orang yang lebih dimasa yang akan datang (sesuai
dengan tujuan pemidanaan).

107
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 734/Pid.B/PN/Jkt.Pst.
79

2.Pandangan Hakim dalam Putusan Nomor


734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst dalam Tinjauan Hukum Islam
Pada kasus tersebut di atas, jelas sekali bahwa terdakwa
Afrizal melakukan suatu jarimah, yaitu melakukan pemalsuan yang
mengakibatkan kerugian terhadap orang lain pada Kamis 27 Oktober
2011, bertempat di Toko X-Four di Pasar Regional Tanah Abang
Lantai III Blok F2 Los Bks Nomor: 177 Jakarta Pusat.
Islam memang tidak menerangkan secara jelas dan eksplisit
tentang merek baik dalam al-Qur‟an atau Hadits Nabi, karena
permasalahan merek merupakan masalah baru yang belum dikenal
oleh umat Islam terdahulu. Merek dalam Islam bisa dikatakan sebagai
harta karena termasuk harta immateril, yaitu harta kekayaan yang
tidak berwujud dan tidak berwujud dan tidak dapat dinilai secara
nominal karena bentuk dan wujudnya yang abstrak. Merek merupakan
suatu yang dinilai dari manfaatnya oleh karena itu, manfaat tersebut
harus dilindungi secara hukum. Dengan demikian, pencurian hak
merek dalam Islam dapat terancam hukuman.
Dalam hukum Islam, pemalsuan lebih sering ditujukan pada
kesaksian palsu, pemalsuan dalam Islam adalah perbuatan dusta atau
berbohong yang dianggap sebagai sebuah dosa. Tindak pidana
pemalsuan jarang terjadi dalam sejarah hukum Islam, yang sering
dianggap pemalsuan adalah memberikan keterangan palsu.
Pemalsuan berasal dari kata palsu, dalam al-Qur‟an kata yang
mempunyai kesamaan arti dengan pemalsuan ini tidak ditemukan
yang ada hanya kata yang mempunyai persamaan dengan kata palsu
yang dijumpai dalam al-Qur‟an kata ‫ أ ِالفْ ُك‬,‫ الْ ُز ْو ُر‬,‫ ْال ِك ْذ ُب‬secara bahasa

artinya bohong, yaitu hal yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya.
Sehingga palsu juga dapat diartikan bohong sesuai dengan
penggunaannya. Beberapa pengertian di atas, pemalsuan adalah
proses atau rangkaian tindakan secara tidak sah atau tidak dibenarkan
yang merugikan orang lain dengan adanya unsur-unsur kesengajaan.
80

Pemalsuan mempunyai tujuan untuk mendapatkan keuntungan


tanpa melihat tindakan tersebut melanggar hak orang lain atau tidak.
Dengan tindakan pemalsuan tersebut, pemalsuan mendapatkan
keuntungan dan orang yang menjadi korban dirugikan atas
perbuatannya. Dalam al-Qur‟an disebutkan bahwa perbuatan yang
merugikan hak orang lain itu merupakan larangan. Larangan tersebut
berdasarkan pada Qs. asy-syu‟ara ayat 183 yaitu :

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-


haknya dan janganlah kamu merajalela dimuka bumi
dengan membuat kerusakan.(Qs.asy-syu‟ara : 183).
Pelanggaran merek tidak dapat dimasukkan ke dalam jarimah
hudud, karena wujud merek itu sendiri tidak ada ukuran jumlah yang
pasti dan termasuk barang yang abstrak. Jarimah hudud108 pencurian
dalam hukum pidana Islam ditegaskan mempunyai ancaman hukuman
potong tangan termasuk mengambil harta, dimana bila sudah ada
batas hartanya, yaitu satu nisab atau seperempat dinar atau lebih.
Merek tidak dapat diukur secara pasti karena wujudnya abstrak, maka
pelanggaran merek tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori jarimah
hudud pencurian dengan ancaman hukuman potong tangan tetapi
masuk ke dalam jarimah dengan sanksi pidana ta‟zir.109
Pemalsuan merek termasuk dalam suatu perbuatan tindak
pidana didalam hukum pidana islam dianggap sebagai jarimah yaitu :

108
Jarimah Hudud adalah sanksi atau ancaman yang telah ditentukan secara jelas di
dalam al-Qur‟an dan Hadits. Lihat M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah,(Jakarta : Amzah,
2015), h,. 14.
109
Ta‟zir adalah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan
pelanggaran baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia dan tidak termasuk dalam
kategori hukuman hudud atau kafarat. Lihat M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah,(Jakarta
: Amzah, 2015), h,. 141
81

‫زَج َر هللاُ َع ْن َها بَ َح ِّد أَ ْوتَ ْع ِس ْير‬


َ ُ‫َم ْح ُس ْو َراتُ ش َْر ِعيَّة‬
ٍ
“Larangan-larangan syara‟ yang diancam oleh Allah
SWT dengan hukuman hadd atau ta‟zir.”
Karena ta‟zir merupakan sanksi yang diberlakukan kepada
pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran baik yang berkaitan
dengan hak Allah maupun hak manusia dan tidak termasuk dalam
kategori hudud atau kafarat. Karena ta‟zir tidak ditentukan secara
langsung oleh Al-Qur‟an dan Hadits, maka ini akan menjadi
kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran
sanksi ta‟zir harus tetap memperhatikan petunjuk nash karena
menyangkut kemashlahatan umat. Karena tidak boleh menjatuhkan
hudud jika terdapat syubhat di dalamnya.110

Macam-macam sanksi ta‟zir, diantaranya yaitu :


1. Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan badan
a. Hukuman mati
b. Hukuman cambuk
2. Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
a. Hukuman Penjara
b. Hukuman Pengasingan
3. Sanksi ta‟zir yang berhubungan dengan harta
a. Menghancurkannya (Al-Itlaf)
b. Mengubahnya (Al-Ghayir)
c. Memilikinya (Al-Tamlik)
4. Hukuman ta‟zir lainnya
a. Peringatan keras
b. dihadirkan dihadapan sidang
c. nasehat
d. celaan

110
M.Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta, Amzah, 2015), h,. 140.
82

e. pengucilan
f. pemecatan, dan
g. pengumuman kesalahan secara terbuka, seperti diberitakan di
media cetak atau elektronik.

Namun demikian untuk menjatuhkan hukuman kepada


seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana atau
jarimah didalam hukum islam, harus memperhatikan beberapa hal
yang erat kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana adalah kebebasan seseorang untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan atau biasa disebut
sebagai akibat yang ditimbulkan atau tidak diupayakan atas dasar
kemauannya sendiri.111 Dan tidak adanya alasan penghapusan pidana
sehingga terdakwa harus bertanggungjawab atas perbuatan yang telah
dilakukannya, karena hal yang dapat mengapuskan pidana diantaranya
adalah :
a. Karena paksaan atau terpaksa yang dalam hukum pidana islam
disebut ikrah, yaitu perbuatan yang terjadi atas seseorang
dikarenakan orang lain sehingga perbuatan itu luput dari
kerelaannya atau dari kemauan bebas orang tersebut.
b. Karena gila.
c. Karena mabuk.
d. Karena belum dewasa.112

Menurut penulis pelaku tindak pidana pemalsuan merek dalam


tinjauan hukum Islam dapat dikenakan hukuman ta‟zir yang
berhubungan dengan harta berupa ganti rugi kepada pemilik merek
asli atau mengambil harta hasil dari pemalsuan merek tersebut.

111
Rahmad Djatmika, Filsafat Hukum Islam dalam Berbagai Bidang,(Jakarta: Bumi
Aksara, 1992), h. 228.
112
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat Islam dalam
Wacana dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2003), Cet. 1, h. 189-191.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa :
1. Pandangan hukum positif Indonesia mengenai tindak pidana
pemalsuan merek pelaku telah melanggar Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Jo Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dan terdakwa
dianggap dapat dipidana kerena memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan bertanggungjawab,
adanya kesalahan yang telah diperbuat dan tidak adanya alasan
pemaaf dalam perbuatan tersebut. Kemudian dalam pandangan
hukum Islam terdakwa dianggap sudah memenuhi usnsur-unsur
pertanggungjawaban dalam Islam yaitu melakukan perbuatan yang
dilarang, dilakukan atas kemauan sendiri dan mengetahui akibat
dari yang dilakukan merugikan orang lain.
2. Pandangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri Nomor
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst majelis hakim berpendapat bahwa
dakwaan yang dibuktikan oleh Penuntut Umum sesuai dengan
tuntutan pidana dari Jaksa Penuntut Umum yaitu telah melanggar
Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
Kemudian dalam perkara pemalsuan merek Cardinal dianggap telah
mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dan tidak adanya
alasan pemaaf atau pembenar karena sudah terbukti memenuhi
unsur mamperdagangkan atau memperjual belikan barang yang
mempunyai nilai ekonomis hasil dari pelanggaran merek dengan
adanya bukti-bukti yang telah ada. Berdasarkan fakta-fakta yang
ada majelis berkesimpulan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan.

83
84

B. Saran
1. Suatu produk yang tidak terdaftar sebagai merek resmi oleh tempat
produksinya maka harus ditindak lanjuti agar tidak merugikan
pihak-pihak yang telah mendaftarkan mereknya sebagai merek
dagang resmi. Dan Aparat penegak hukum harus lebih tegas lagi
terhadap pelaku-pelaku yang melakukan pemalsuan terhadap
merek dagang terdaftar untuk mendapatkan keuntungan besar
dengan cara yang tidak baik.
2. Sebaiknya pemilik merek asli melakukan gugatan apabila
menemukan suatu pemalsuan merek dengan menggunakan merek
asli, sehingga dapat menimbulkan efek jera terhadap pelaku yang
ingin berbuat jahat dengan melakukan pemalsuan sehingga pemilik
merek tidak merasa dirugikan dengan adanya perbuatan yang
sangat dilarang oleh undang-undang dan terciptanya penegakan
hukum yang efektif.
3. Para konsumen harus lebih teliti dan cermat dalam membeli suatu
produk, biasanya barang yang diproduksi palsu harganya lebih
murah namun kualitasnya juga kurang baik. Maka konsumen
apabila menemukan suatu barang yang dibelinya dengan merek
yang dianggapnya cukup berkualitas baik namun tiba-tiba ada
barang yang diduga palsu segara lapor kepada pihak yang berwajib
agar tidak terjadi kecurangan dalam dunia perdagangan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
A.Djazuli. Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam
Hukum Pidana. Jakarta: PT.Bulan Bintang, 1997.
Abdurrahman dan Soejono, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1999.

Abidin Farid, Zainal. Hukum Pidana I. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.


Achjani Zulfa, Eva.Gugurnya Hak Menuntut Dasar Penghapusan,
Peringanan dan Pemberat Pidana.Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
Adami,Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana.Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
Ali,Zainudin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Atmasasmita, Romli, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam


Konteks Penegakkan Hukum di Indonesia.Bandung:Alumni,
1982.
Barkatullah, Abdul Halim,Politik Hukum Pidana (Kajian Kebiijakan
Kriminalisasi.Jakarta:Pustaka Pelajar,2005..
Deryanto.Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Djumhana, Muhammad, R.Djubaedillah. Hak Milik Intelektual
Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2013.
Firmansyah, Hery, Perlindungan Hukum Terhadap Merek,
Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2011.
Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqh Muamalat.Jakarta: Kencana.

Gunadi,Ismu, Jonaedi Efendi, Hukum Pidana.Jakarta:Kencana, 2015.


Hamzah, Andi, Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.

85
86

---------------Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta:PT Rineka Cipta, 1994.


Hanafi,Ahmad. Azaz-azaz Hukum Pidana Islam.Jakarta:PT Bulan
Bintang.1967.
Harahap,Yahya. Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1992.Citra Asitya Bakti.
Huda, Chairul. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan.Jakarta:Kencana,2006.
Ibrahim,Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Malang: Bayu Media Publishing, 2007.

Ichsan,H.Muhammad, Hukum Pidana Islam Sebuah


Alternatif.Yogyakarta : Lab Hukum UMY, 2008.
Irfan,M.Nurul,Masyrofah,Fiqh Jinayah.Jakarta:Amzah.2015.
Jened, Rahmi. Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak
Eksklusif. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.
------------------.Hukum Merek (Trademark
Law).Jakarta:Prenadamedia, 2015.
K, Lubis. Hukum Ekonomi. Jakarta : Sinar Grafika, 2000.
Kartonegoro,Diktat Kuliah Hukum Pidana.Jakarta:Balai Lektur
Mahasiswa
Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia.
Bandung:Sinar Baru.1984.
Luthfi, As-Syaukani, Politik,HAM, dan Isu-isu Teknologi dalam Fiqih
Kontemporer. Bandung : Pustaka Hidayah, 1998.
M. Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta:UUI Press, 1999.
M.Hamdan, Alasan Penghapusan Pidana Teori dan Studi
Kasus.Bogor Ghalia Indonesia, 2010.
Marpaung,Leden. Asas Teori Praktek Hukum Pidana,Jakarta: Sinar
Grafika,2009.
87

Marsum, Fiqih Jinayat : Hukum Pidana Islam. Yogyakarta : FHUII,


2001.
Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana.Jakarta: Rineka Cipta, 2008.
Muladi, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana.
Bandung:Alumni,1992.
Muladi, Pertanggungjawaban Korporasi. Jakarta: Kencana, 2010.
Nawawi Arief, Barda.Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan
Kejahatan dengan Hukum Pidana.Semarang:Ananta, 1994.
Nazir, Habin, Afiffah Muhammad. Ensiklopedi Ekonomi dan
Perbankan Syari‟ah. Bandung : Kaki Langit, 2004.
Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia.Jakarta:
Balai Pustaka, 2003.
Priyanto, Dwidja.Asas Hukum Pidana.Jakarta:Sinar Grafika, 2008.
Prodjodikoro,Wirjono,Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia.Bandung:PT Refika Aditama, 2008.
Rahman Ghazaly, Abdul, Ghufron Ihsan. Fiqih Muamalat. Jakarta
Kencana, 2015.
Renggong,Ruslan. Hukum Pidana Khusus. Jakarta: Kencana, 2016.

Saebani, Beni Ahma, Metode Penelitian Hukum.Bandung: Pustaka


Setia, 2008.

Saidin,OK, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual.Jakarta: PT Raja


Grafindo Persada, 2013.

Saleh,Ruslan, Masih Saja Tentang Kesalahan.Jakarta:Karya Dunia


Fikir,1994.
Sholehuddin,Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Jakarta:Raga
Grafindo Persada, 2003.
Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana dan
Penerapannya.Jakarta:Alumni Palehaem, 2004.
Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah,Ed.I.Jakarta:PT Raja Grafindo
Persada, 2007.
88

Sutedi, Andrian. Hak Atas Kekayaan Intelektual.Jakarta: Sinar


Grafika, 2013.
Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahli dalam Perkara
Pidana (Tinjauan terhadap Pasal 44 KUHP) dalam Andi
Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana.
Jakarta:Ghalia Indonesia, 78.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif
Pembaharuan.Malang:Press, 2008.
Wardi Muslich, Ahmad.Pengantar dan Asas Hukum Pidana
Islam.Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Republik Indonesia, Lembaran Negara Tahun 2016,Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis.
Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara No.4131,
Penjelasan Undang-Undang No.15 Tahun 2001 Tentang
Merek. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis perubahan atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merek.
Jurnal dan Skripsi
Candra Buana, Novita.Pertanggungjawaban Pidana yang
Menganjurkan Tindak Pidana Pemalsuan Merek
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 :
CalyPutra. Vol.4 No.2

Hayu Ediningtyas, Sekar. “Perlindungan Hukum terhaadap Merek


Dagang Terkenal Asing di Indonesia,ditinjau dari Undang-
89

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang


Merek”CalyPutra.Vol.4 No.2, 2016.
Kardiasa, Lukman. “Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap
Merek Terkenal dari Tindakan Pelanggaran Terhadap
Merek Terkenal”, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Vol.III No.3.
Niam, Muhammad. Hukum Tentang Hak Cipta.Pesantren Virtual.Vol
III No.4.
Risang Ayu, Miranda.”Perlindungan Hukum Indikasi Geografis :
Suatu Tantangan Perlindungan Aset Bangsa
Indonesia”,Media HKI,Vol.II No.1.
Haryatmoko, Darwin. Pelanggaran Merek dalam Perspektif Hukum
Pidana Islam (Studi Analisis Terhadap Sanksi Pelanggaran
Merek Pasal 90-94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tentang Merek. Skripsi IAIN Wali Songo. Semarang, 2005.
Himayah, Istin. “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Hak Merek
(Studi Kasus Pelanggaran atas Hak Merek Jenang
Mubarok”.PT Mubarok food cipta Delicia Kudus. Skripsi
IAIN Wali Songo Semarang, 2008.
Mira, “Tinjauan Hukum Hak Cipta dalam Islam”. Skripsi-AIAN
Sunan Ampel. Surabaya,2001.
Putusan Pengadilan :
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor :
734/Pid.B/2013/PN/Jkt.Pst

Internet :
90

Https://multigarmenjaya.com/brands/?lang:id , diakses pada 3


Februari 2018 pukul 11.45 wib.
Https://www.pgsjjakarta.com/2017/10/cardinal-asli-buatan-
Indonesia.htmls diakses 3 Februari 2018 pukul 10.44 wib.

Anda mungkin juga menyukai