Anda di halaman 1dari 211

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WAKAF

YANG DIKUASAI OLEH PIHAK KETIGA


(STUDI PUTUSAN PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR
425/Pdt.G/2019/PA.Kdr)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Magister Ilmu


Hukum (M.H) Bidang Kajian Utama Hukum Ekonomi dan Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Oleh:

RACHMA DWI MAULINA


02012681923025

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2021
ii
iii
iv
Motto dan Persembahan

“MUNDUR SELANGKAH JURANG BAGIKU SETETES AIR MATA ORANG


TUA KU JATUH SELANGKAH AKU HARUS MAJU”

(Anonim)

Tesis ini kupersembahkan untuk :

1. Ayah dan Ibu Tercinta


2. Saudara-Saudara ku tersayang
3. Keluarga Besarku
4. Kekasih Hatiku
5. Sahabat-sahabatku
6. Almamaterku

v
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt yang telah

memberikan hikmat dan akal budi serta bimbingan yang begitu besar sehingga penulis

dapat menyelesaikan Tesis ini. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada

Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya yang selalu

istiqomah dalam menetapi kebaikan.

Tesis ini membahas tentang PENYELESAIAN SENGKETA TANAH

WAKAF YANG DIKUASAI OLEH PIHAK KETIGA (STUDI PUTUSAN

PENGADILAN AGAMA KEDIRI NOMOR 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr) untuk

mengkaji apakah pertimbangan hukum hakim sesuai berdaasarkan keadilan,

kemanfaatan dan berkepastian hukum.

Penulis menyadari banyaknya dorongan dan semangat yang penulis dapat

dalam penulisan tesis ini. Melalui kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu serta dukungan dan motivasi

untuk menyelesaikan tesis ini. Hormat dan terimakasih penulis tujukan kepada :

1. Allah SWT, tuhan semesta alam atas semua hidayah dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

2. Bapak Dr. Febrian, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya

3. Ibu Dr. Hj. Nashriana, S.H., M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Hukum, terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya

untuk mengikuti Pendidikan di Program Pasca Sarjana

vi
4. Bapak Dr. M. Syaifuddin , S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik dan

Pembimbing Kedua. Terima kasih atas bimbingan dan ilmu yang telah

diberikan.

5. Bapak Dr. H. KN. Sofyan S.H., M.H., selaku pembimbing Utama, Terima kasih

atas bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.

6. Bapak Dr. Mada Apriandi Zuhir, S.H., M.CL, selaku Wakil Dekan I Fakultas

Hukum Di Universitas Sriwijaya.

7. Bapak Dr. Ridwan, S.H, M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Di

Universitas Sriwijaya.

8. Bapak Drs. Murzal, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Di

Universitas Sriwijaya.

9. Bapak dan Ibu Dosen di Program Pascasarjana Univesritas Sriwijaya,

terimakasih atas ilmu dan dedikasinya selama ini.

10. Segenap karyawan Magister Hukum Universitas Sriwijaya, Mba Putri, Kak

Andre, dan lain-lain yang telah membantu penulis dalam urusan akademik.

11. Kedua orangtuaku Ayah Edy Susianto, S.H.,M.H dan Ibu Elmiyati Am.Keb

yang senantiasa mendoakan dan tak henti memberikan semangat serta dorongan

kepada penulis baik secara materil maupun Moril sehingga penulis dapat

menyelesaikan Tesis ini.

12. Saudara-saudaraku M. Hafiz Al-Hakim, S.H, M. Akbar Putra Adhyaksa, M.

Raffi Al-Kautsar yang selalu ada saat penulis membutuhkan bantuan dan

senantiasa memberikan semangat di saat penulis merasa lelah dan jenuh.

vii
13. Kekasih hatiku Mohammad Aldiansyah Putra Hamid, yang selalu memberikan

support dan motivasi, yang selalu berusaha menjadi moodbooster agar saya

dapat menyelesaikan tesis ini.

14. Teman-teman Seperjuangan Sadana, Siti Nur Zhafirah, Mba Oktapira Pratiwi,

Serli, Nur Intan Akuntari, Zhelin, Kak Bia Mangkudilaga, Diki Zulkarnain, Kak

Novrianto, Kak Gilang Ramadhan, Machdum yang telah membantu dalam

pembuatan tesis ini.

15. Sahabatku Wasqita Putri Agustina, Mufidha Puspa Ditha, Anisa Byrulia, Alfi

Elisa, dan Rizka Mesa Ayu. Terima kasih atas bantuannya

16. Teman-teman kantor Ka Rizka Rahmalia, Reygita Yusniani, Reny Aryani,

Adelia Khoirunnisa yang telah membantu membackup kerjaan kantor disaat

saya sibuk bolak balik kampus.

17. Dan Seluruh teman-teman Magister Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya

Angkatan 2019

Semoga segala kebaikan yang telah diberkan akan mendapat berkah Allah

SWT. Harapan penulis kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya

Palembang, Desember 2021

Penulis

Rachma Dwi Maulina

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………… ii

PERNYATAAN………………………………………………………………… iv

MOTTO dan PERSEMBAHAN………………………………………………… v

DAFTAR ISI………………………………………………………………...…. ix

ABSTRAK………………………………………………………………...……. xii

ABSTRACT………………………………………………………………...……. xiii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1

A. Latar Belakang……………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………… 12
D. Kerangka Teori…………………………………………………….... 15
E. Definisi Konseptual…………………………..………………….. 47
F. Metode Penelitian ……..………………………………………….. 49
1. Jenis Penelitian………………………………………………… 49
2. Pendekatan Penelitian………………………………………… 50
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum…………………………….. 52
4. Teknik Analisis Bahan Hukum…………………………………. 53
5. Teknik Penarikan Kesimpulan………..……………………… 54

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG WAKAF DAN PENYELESAIAN


SENGKETA……………………….……………………………………………. 55

A. Wakaf…………………………………………….…………………. 55
1. Pengertian Wakaf………………..………………………………. 55
2. Dasar Hukum Wakaf………………..………………..…………. 59

ix
3. Rukun dan Syarat Wakaf………………..………………………. 64
4. Macam-Macam Wakaf…………………..………………………. 77
5. Wakaf Tanah………………..……………………………………. 81
B. Penyelesaian Sengketa………………………………………………. 87
1. Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Islam………………. 87
2. Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Positif………………. 90
3. Cara Penyelesaian Sengketa……………………………………. 92

BAB III Pembahasan……………………………………………………….... 102

A. Proses Terjadinya Penguasaan Tanah Wakaf oleh Pihak Ketiga dalam


Perkara Nomor
425/Pdt.G/2019/PA.Kdr…………………………………………… 102
1. Penguasaan Tanah……………………………………………… 103
2. Proses Terjadinya Penguasaan Tanah Wakaf oleh Pihak
Ketiga……………………………………………….…………….107

B. Pertimbangan Hukum Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama


Kediri Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr dalam Rangka Penyelesaian
Sengketa Tanah Wakaf yang Dikuasai Oleh Pihak Ketiga Telah Sesuai
Ketentuan Hukum yang Berkeadilan, Berkemanfaatan, dan
Berkepastian Hukum ……………………………………………… 114
1. Kasus Posisi Perkara…………………………………………… 114
2. Pertimbangan Hukum Hakim…………………….…………….122
3. Amar Putusan…………………...………………….…………….131
4. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim…………………….…...132

x
C. Akibat Hukum Tanah Wakaf yang Dikuasai oleh Pihak Ketiga
Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor
425/Pdt.G/2019/PA.Kdr……………………………………………. 184
1. Akibat Hukum Terhadap Para Pihak ………………………… 184
2. Akibat Hukum Terhadap Para Tanah Wakaf Yang Disengketakan
…………………….…………………….……….188

BAB IV Penutup………………………………….…….……………………….. 192

A. Kesimpulan……………………………………………………… 192
B. Saran…………………………………………………..………... 193

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………….. 193

xi
xii
ABSTRACT

Waqf is one way that can be used to get the right to ownership of land. This
research will discuss the Settlement of Waqf Land Disputes Controlled by Third Parties
(Study of the Kediri Religious Court Decision Number 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr).
Furthermore, this research is normative juridical research, which conducts an
assessment of the problem through analyzing written law from various aspects such as
the scope of the material, theory, legislation, and others. In addition, this study aims to
explain the reasons for the causes of waqf land controlled by third parties and analyze
the Court Decision Number 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr), whether it is under legal
provisions that are fair, beneficial, and with legal certainty or not. In conclusion, this
study found several facts that the problem occurred because of an interest or need
followed by a claim, namely a third party felt that the waqf land was his right so that
there was control through a forced claim on the land. In addition, Nazir's lack of
supervision over waqf land ended in problems in the relationship. Furthermore, there
were problems encountered in the legal considerations of the Kediri Religious Court
Decision Number 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr regarding waqf so that the judge gave
several considerations in the decision. That aims to provide a sense of justice, benefit,
and legal certainty between the two litigants. Finally, the legal consequence of waqf
land in the Kediri PA Decision Number 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr is that the judge does
not ratify the waqf, so that the status of waqf returns to land in accordance with the
provisions of the applicable inheritance law.
Keyword: Waqf, Land Tenure, Third Party

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam) telah mengatur

hal yang terkait dengan kehidupan manusia ( baik muslim maupun non muslim).

Sebagai agama yang rahmatan lil’alamin Islam telah mewarnai berbagai aspek

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara khususnya di Indonesia.1 Salah

satu aspek tersebut ialah aspek hukum yang didalamnya terdapat pembahasan

mengenai hukum wakaf.

Wakaf merupakan suatu pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan

cara menahan pokoknya (tahbis al ashli) dan memberikan hasil atau manfaatnya

kepada masyarakat (tasbil al-tsamrah). Maksud dari “menahan pokok” adalah

menahan barang yang telah diwakafkan dari berbagai transaksi bersifat memindahkan

hak seperti jual beli, hibah dan sebagainya. Sedangkan penggunaan serta

pemanfaatannya dilakukan dengan cara mengorientasi pada sektor-sektor kebajikan

1
Jamaluddin Mahasari, Pertanahan Dalam Hukum Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2008),
Cetakan ke-1, hlm. 1-2

1
2

dan maslahat sesuai dengan kehendak wakaf yang telah dituangkan dalam ikrarnya

tanpa mengharap imbalan.2

Dalam mendapatkan kepemilikan tanah dapat dilakukan berbagai cara, untuk

mendapatkan perolehan dan peralihan hak atas tanah sebagai pengakuan eksitensi hak

milik tanah dapat dilakukan dengan cara jual beli, hibah, tukar menukar, infak,

sedekah, hadiah, zakat, membuka lahan baru dan wakaf.

Wakaf merupakan sebagai salah satu cara mendapatkan hak kepemilikan atas

tanah sudah ada sejak islam masuk ke Indonesia. Dilihat dari keberadaannya, asal usul

wakaf tanah dari hukum islam yang diberlakukan sebagai hukum nasional. Negara

Republik Indonesia menganut asas Pancasila terdapat dalam sila 1 yaitu “Ketuhanan

Yang Maha Esa” dengan makna bahwa memberikan hak kepada rakyatnya untuk

melaksanakan kaidah-kaidah sesuai dengan keyakinan agamanya.

Wakaf sebagai suatu institusi keagaamaan yang memiliki fungsi sebagai

ibadah kepada allah selain itu memiliki fungsi sosial. Oleh karena itu, wakaf adalah

salah satu usaha yang dapat mewujudkan serta memelihara “hablum min allah dan

hablum min an-nas”. Fungsi wakaf sebagai ibadah ialah sebagai bekal bagi kehidupan

wakif (orang yang berwakaf) di kemudian hari karena wakaf termasuk bentuk amal

yang pahalanya akan terus-menerus mengalir selama harta yang diwakafkan

2
Mukhlisin Muzaire, Hukum Perwakafan dan Implikasinya Terhadap Kesejahteraan
Masyarakat (Implementasi Wakaf di Pondok Modern Darussalam Gontor), (Kementerian Agama RI,
2010), Cetakan-1, hlm. 2
3

bermanfaat.3 Dapat dilihat dalam surah Al-Baqarah ayat 261 Allah berfirm

Artinya : “ Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) Lagi Maha Mengetahui”.4

Praktek perwakafan di Indonesia terjadi sudah sejak lama, sekalipun

keberadaannya wakaf berasal dari Hukum Islam. Tetapi kenyataannya menjadi

kesepakatan para ahli hukum memandang wakaf sebagai masalah dalam hukum adat

Indonesia. Hal ini disebabkan lembaga wakaf telah mendapatkan penerimaan di dalam

masyarakat Indonesia. Diterimanya lembaga wakaf ini karena mayoritas penduduk

Indonesia beragama Islam.5

Mengenai pengertian wakaf dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal

215 ayat 5 bahwa “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau

3
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis
Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), Cetakan ke-3,
hlm. 409
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an Dan Terjemahnya, Juz 3, (Jakarta: Pelita
II,1974), hlm. 65
5
Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) hlm. 72
4

badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya

untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai

dengan ajaran Islam6. Benda milik yang dimaksud tidak hanya benda bergerak tetapi

juga benda tidak bergerak (tetap) asalkan memiliki nilai serta daya tahan yang tidak

hanya sekali pakai. Ketentuan dalam Pasal 215 angka 4 Kompilasi Hukum Islam

menentukan bahwa “benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak maupun

tidak bergerak yang memiliki daya tahan tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut

ajaran Islam.”

Sebagian besar obyek perwakafan adalah tanah, maka untuk melindungi wakaf

diperlukan suatu pengaturan untuk memberikan jaminan kepastian hukum tentang

tanah wakaf. Maka dari itu pemerintah menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 28

Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, di dalam peraturan tersebut menganut

asas Al-Qur’an serta Sunah Rasul. Sebelum dikeluarkan peraturan pemerintah keadaan

tanah wakaf belum jelas seperti mengenai jumlahnya, bentuknya penggunaannya serta

pengelolaannya karena tidak ada administrasi yang mengatur.

Salah satu hal yang mendasari terbentuknya Undang-Undang Nomor 41 Tahun

2004 tentang Wakaf selanjutnya disingkat UU Wakaf adalah praktik wakaf yang ada

di masyarakat belum terlaksana secara tertib dan efisien, seperti harta benda wakaf

tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan beralih ke tangan pihak ketiga secara

6
Kompilasi Hukum Islam Pasal 215
5

melawan hukum.7. Selain itu, karena tidak adanya ketertiban pendataan yang jelas,

banyak benda wakaf yang tidak diketahui datanya dan tidak terurus bahkan wakaf

masuk dalam siklus perdagangan. Keadaan demikian ini tidak sesuai dengan maksud

dari tujuan wakaf yang sesungguhnya serta akan mengakibatkan penyelewengan

wakaf, sebab tidak jarang sangketa wakaf terpaksa harus diselesaikan di Pengadilan.8

Dalam Undang-Undang Wakaf tersebut ialah memberikan penyelesaian

sangketa melalui musyawarah, mediasi, arbitrase dan jalan terakhir melalui pengadilan,

pada dasarnya penyelesaian sangketa wakaf adalah dengan cara musyawarah dapat

dilihat Pasal 62 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, yaitu : (1) Penyelesaian

sangketa perwakafan dapat ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat;

(2) Apabila cara penyelesaian sangketa sebagai mana dimaksud ayat 1 tidak berhasil,

maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.

Dalam pelaksanaannya wakaf di Indonesia masih banyak dilakukan secara

agamis atau dengan rasa saling percaya, yaitu wakif hanya menyerahkan tanah wakaf

kepada seorang nazhir tanpa dibarengi dengan adanya pembuatan Akta Ikrar Wakaf

(AIW) atau sejenisnya. Keadaan ini menjadikan tanah yang telah diwakafkan tidak

memiliki dasar hukum, sehingga jika kemudian hari terjadi permasalahan mengenai

hak kepemilikan tanah wakaf maka akan mengalami kesulitan dalam pembuktiannya.

Terdapat juga perkara lain yang sering menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan

7
Jaih Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2008), hlm. 58
8
Abdul Ghofur, Hukum dan Praktif Perwakafan di Indonesia, (Yogyakarta: Pilar
Media,2005) hlm. 1
6

wakaf di Indonesia yaitu dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif dan

tanah wakaf dikuasai turun temurun yang penggunaannya menyimpang dari akad

wakaf. Perkara tersebut biasanya timbul ketika ahli waris wakif setelah wakif tersebut

meninggal dunia. Namun, khusus untuk wakaf tanah ketentuan dalam pembuatan akta

ikrar telah menghapuskan kepemilikan hak atas tanah yang telah diwakafkan, maka

dari itu tanah yang telah diwakafkan tidak dapat ditarik kembali.

Pada hakikatnya benda yang telah diberikan untuk wakaf tidak dapat dilakukan

perubahan. Rasulullah SAW bersabda bahwa :

“Sesungguhnya tanah wakaf tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan

tidak boleh diwaris (HR.Bukhari)”.

Ketentuan pada Pasal 11 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

tentang Wakaf menyatakan bahwa :

“Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat

dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain dari yang dimaksud

dalam ikrar wakaf”.

Sedangkan pengaturan lain mengenai larangan benda yang telah diwakafkan

terdapat dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

berbunyi:
7

“Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b.

disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g.dialihkan dalam

bentuk pengalihan hak lainnya.”

Agar permasalahan mengenai wakaf tidak terjadi maka institusi yang bertugas

melakukan pembinaan serta pengawasan terhadap pelaksanaan wakaf agar

mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf adalah Menteri Agama. Selain Menteri Agama

dalam melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan wakaf terdapat pula

Badan Wakaf Indonesia. Menteri Agama dan Badan Wakaf Indonesia bekerja sama

dalam memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia dalam

melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan wakaf. Selain itu Menteri Agama

dan Badan Wakaf Indonesia dapat berkerja sama dengan Organisasi Masyarakat,

Badan Internasional, para ahli dan serta pihak yang memiliki memiliki kepentingan

untuk pembinaan penyelenggaraan wakaf. Selanjutnya Menteri Agama dapat

mengunakan akuntan publik dalam melaksanakan pengawasan penyelenggaraan

wakaf.9.

“Ketentuan dalam Pasal 63 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang


wakaf menjelaskan bahwa “Menteri Agama dianggap telah melanggar hukum
wakaf apabila: (1) tidak membina serta mengawasi penyelenggaraan wakaf; (2)
tidak mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia dalam membina dan
mengawasi penyelenggaraan wakaf; dan atau (3) tidak memperhatikan saran
dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam membina dan
mengawasi penyelenggaraan wakaf.”

9
Jaih Mubarok, Op. Cit. hlm. 169
8

Apabila terjadi permasalahan atau sengketa yang berhubungan dengan wakaf

baik terjadi karena pelanggaran yang dilakukan wakif, nazhir ataupun

kurangnyapengawasan yang efektif dari Pemerintah, perkara dapat diselesaikan

melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila musyawarah tidak berhasil,

maka penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan melalui media arbitrase, atau

pengadilan. Penyelesaian perselisihan wakaf termasuk yuridiksi Pengadilan Agama.

Maka sengketa wakaf diperiksa, diputuskan dan diadili di Pengadilan Agama.

Dalam penelitian ini, mengambil permasalahan yang terdapat dalam Putusan

Pengadilan Agama Kediri Nomor: 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr. Permasalahan sengketa

wakaf yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor:

0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr yaitu akan diuraikan dibawah ini.

Dahulu sekitar tahun 1935 di Dusun Ngembak Kulon RT 06, RW 01 Kelurahan

Gayam, Mojoroto Kediri pernah hidup suami istri yang bernama H. Imam Mukti dan

Umi Kultsum. Dari pernikahannya H. Imam Mukti dan Umi Kultsum dikarunia 4

(empat) orang anak kandung yang bernama Tafsir bin H. Imam Mukti, Moebin bin H.

Imam Mukti, Masringah binti H. Imam Mukti, Bitah binti H. Imam Mukti. Moebin

memiliki anak yang bernama Achmad Zainal Abidin dan cucu yang bernama Ali

Hasan. Sedangkan Bitah memiliki suami bernama Rosyidi dan anak yang bernama

Badrun.
9

Sekitar tahun 1940, semasa hidup H. Imam Mukti mengikrarkan dua harta

wakaf yang terletak di Dusun Ngembak Kulon RT. 06 RW. 01 Kelurahan Gayam,

Mojoroto Kediri yaitu :

1. Sebuah bangunan mushalla yang diberi nama Ash Shabawi (nama kecil H.

Imam Mukti);

2. Sebidang tanah kering atau darat kosong di halaman mushalla, untuk

dijadikan madrasah di masa mendatang;

Walaupun pada saat itu (sekitar tahun 1940), belum diterbitkan peraturan

perundang-undnagan apapun tentang wakaf, ikrar wakaf yang dilakukan oleh H. Mukti

selaku wakif adalah sah dan dibenarkan menurut hukum, bahkan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang dibuat setelahnya. Selanjutnya H. Imam Mukti

dan istrinya Umi Kultsum meninggal dunia, sehingga keempat anaknya membagi harta

waris yang ditinggalkan tanpa membagi kedua harta wakaf yang telah diikrarkan. Data

yuridis kedua harta wakaf tertulis atas nama 2 (dua) orang anak kandungnya untuk

pembayaran IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) yakni bangunan mushalla Ash

Shabawi tertulis nama Bitah (anak terakhir wakif) dalam Letter C no Kohir 104, persil

2a, kelas desa d.I, sedangkan sebidang tanah kering atau darat kosong tertulis atas nama

Moebin dalam letter C nomor kohir 234, persil 2, kelas desa d II, dengan posisi tanah

hak Moebin berada di sebelah timur tanah hak Bitah, dan memiliki batas yang lurus.
10

Bahwa sepeninggalan H.Imam Mukti, Moebin yang merupakan anak kedua

wakif menjadi takmir pertama mushalla Ash Shabawi tanpa mengubah status objek

wakaf. Lalu Moebin meninggal takmir kedua mushalla Ash Shabawi digantikan oleh

Rosyidi (suami sah Bitah) dan juga tidak mengubah status wakaf mushalla Ash

Shabawi dan Tanah kosong untuk dibangun madrasah mendatang, sesuai amanah

wakif.

Sekitar tahun 1970 Rosyidi meninggal dunia, Badrun yang merupakan anak

sulung Rosyidi dan Bitah mulai mendirikan rumah tembok permanen seluas 142 M2

diatas sebagian objek wakaf sebidang Tanah Kering atau Darat Kosong yang untuk

dijadikan Madrasah di masa mendatang secara sepihak tanpa melalui musyawarah

sehingga diperingatkan oleh seluruh keluarga besar H. Imam Mukti namun Badrun

tidak pernah menanggapinya.

Pada tahun 1991 Ahmad Zaid anak kandung dari Badrun menjabat sebagai

sekretaris nazhir mushalla ash shabawi melakukan Perbuatan Melawan Hukum yaitu

dengan tanpa sepengetahuan nazhir yang lain bahkan menggunakan nama bendahara

nazhir telah memalsukan tanda tangan dari ahli waris Moebin yang bernama H.

Achmad Zainal Abidin (anak kandung Moebin) dan Drs. Ali Hasan ( cucu kandung

Moebin) sebagai pemiliki-pemilik tanah berseberangan dalam Berita Acara

Pemasangan Tugu Batas untuk dasar pengajuan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf

nomor W3/55/02 tahun 1991 atas nama Badrun.


11

Akibat perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat yang menguasai objek

sengketa yang merupakan tanah wakaf H. Imam Mukti merupakan pelanggaran

terhadap UU Wakaf Pasal 40 yang melarang harta benda yang sudah diwakafkan untuk

dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan.

Berdasarkan uraian diatas penulis dengan hal ini ingin membahas penelitian

dengan judul “PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WAKAF YANG

DIKUASAI OLEH PIHAK KETIGA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN

AGAMA KEDIRI NOMOR 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam tesis

ini antara lain yaitu:

1. Bagaimana proses terjadinya penguasaan tanah wakaf oleh pihak ketiga

dalam Perkara Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan Agama

Kediri Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr dalam rangka penyelesaian

sengketa tanah wakaf yang dikuasai oleh pihak ketiga apakah telah sesuai

ketentuan hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian

hukum?

3. Bagaimana akibat hukum tanah wakaf yang dikuasai oleh pihak ketiga

Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr?


12

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dilakukan penelitian

ini adalah:

a. Untuk menganalisis proses terjadinya penguasaan tanah wakaf oleh pihak

ketiga dalam Perkara Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr.

b. Untuk menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Pengadilan

Agama Kediri Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr dalam rangka penyelesaian

sengketa tanah wakaf yang dikuasai oleh pihak ketiga telah sesuai ketentuan

hukum yang berkeadilan, berkemanfaatan, dan berkepastian hukum.

c. Untuk menganalisis akibat hukum tanah wakaf yang dikuasai oleh pihak

ketiga Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr.

2. Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian diatas diharapkan dapat memberikan manfaat

antara lain:
13

a. Manfaat teoritis

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi ilmu pengetahuan Hukum Perdata Islam terutama mengenai

perkara sengketa tanah wakaf.

2) Penelitian diharapkan dapat menambah kepustakaan di dalam

bidang Hukum Perdata Islam pada Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya.

3) Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi di bidang Hukum

Perdata Islam khususnya mengenai perkara sengketa tanah wakaf.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi Badan Wakaf Indonesia

Digunakan sebagai bahan masukan untuk Badan Wakaf Indonesia

dalam melakukan pemberdayaan, pengembangan serta pengelolaan

perwakafan secara professional dan produktif sehingga wakaf dapat

memberikan manfaat serta mensejahterakan masyarakat

2) Bagi Wakif

Memberikan informasi kepada wakif mengenai wakaf supaya

wakaf yang diberikan kepada masyarakat memberikan manfaat dan

memiliki fungsi sosial.

3) Bagi Nazhir
14

Memberikan informasi kepada Nazhir mengenai wakaf agar dalam

mengelola wakaf dikembangkan sesuai dengan peruntukanya agar

tidak terjadi permasalahan.

4) Bagi Hakim Pengadilan Agama

Memberikan sumbangan pemikiran kepada Hakim Pengadilan

Agama dalam rangka menyelesaikan sengketa wakaf. Agar putusan

yang dibuat berkekuatan hukum yang berkeadilan, kemanfaatan,

dan berkepastian.

5) Bagi Advokat atau Kuasa Hukum

Memberikan informasi dan masukan kepada advokat atau kuasa

hukum terkait pembelaan, advokasi serta bantuan hukum.

6) Bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai wakaf,

sengketa wakaf yang sering terjadi, bagaimana penyelesaian jika

wakaf terjadi permasalahan agar masyarakat mendapat pengetahuan

umum mengenai wakaf.

D. Kerangka Teori

1. Grand Theory

Grand Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori tujuan hukum.

Grand Theory tentang tujuan hukum akan dikaji berdasarkan teori tujuan hukum
15

menurut hukum islam dan teori tujuan hukum menurut hukum barat. Teori tujuan

hukum menurut hukum islam pada prinsipnya bagaimana mewujudkan kemanfaatan

kepada seluruh umat manusia dalam kehidupan dunia maupun diakhirat. Tujuan

kemanfaatan ini sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an : a. Al-Asl al-manafi al-hall

wa fi al-mudar al man’u (segala yang bermanfaat dibolehkan dan segala mudarat

dilarang); b. La Darara wa la dirar (jangan menimbulkan kemudaratan dan jangan

menjadi korban kemudaratan); c. Ad-darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).10 Selaras

dengan tujuan hukum barat menurut Gustav Radburch terdapat tiga teori tujuan hukum

yaitu keadilan (gerechtigheit), kemanfaatan (zwekmaeszigkeit), dan kepastian hukum

(rechtssichherkeit).11 Ketiga nilai dasar tersebut tidak selalu berada dalam hubungan

yang serasi (harmonis) satu sama lain, melainkan saling berhadapan, bertentangan satu

sama lain. Dalam menjalankan ketiga tujuan hukum harus menggunakan asas prioritas.

Berdasarkan ajaran prioritas baku, Gustav Radburch mengemukakan kembali yang

awalnya bahwa ide dasar hukum secara bersama-sama, namun setelah berkembang

bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, dimana prioritas pertama keadilan,

kedua kemanfaatan, yang terakhir adalah kepastian hukum. Kepastian dan kemanfaatan

10
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
termasuk interpretasi Undang-Undang (legalsprudence), (Jakara: Kencana Perdana Media Group, Cet
ke-1, 2009), hlm 213
11
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, ( Jakarta: Raja Grafindo, 2012),hlm. 123
16

tidak boleh bertentangan dengan keadilan, juga sebaliknya kepastian hukum tidak

boleh bertentangan dengan kemanfaatan.12

Keadilan bisa saja lebih diutamakan dan mengorbankan kemanfaatan bagi

masyarakat luas. Gustav Radbruch menuturkan bahwa adanya skala prioritas yang

harus dijalankan, dimana prioritas pertama selalu keadilan, kemudian kemanfaatan,

dan terakhir barulah kepastian hukum. Hukum menjalankan fungsinya sebagai sarana

konservasi kepentingan manusia dalam masyarakat. Tujuan hukum mempunyai

sasaran yang hendak dicapai yang membagi hak dan kewajiban antara setiap individu

di dalam masyarakat. hukum juga memberikan wewenang dan mengatur cara

memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.

Menurut pendapat Jean van Kan dalam bukunya yang berjudul “Inleiding tot

de reschts wetenschap” dikutip dari pendapat Ahmad Ali yang mendefinisikan bahwa

tujuan dari hukum terhadap kepentingan orang dalam masyarakat dapat dikaji melalui

3 sudut pandang yaitu:

1. Sudut pandang ilmu hukum positif normative atau yuridis dogmatic, tujuan

hukum di titik beratkan pada segi kepastian hukum (rechtszekerheid);

2. Sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum di titik beratkan pada segi

keadilan;

12
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Jurisprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Perdana Media Group,
Cetakan Ke-I) hlm. 212
17

3. Sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum di titik beratkan pada segi

kemanfaatan (utilitisme).13

Soedjono Dirdjosisworo berpendapat bahwa dalam pergaulan hidup manusia,

kepentingan-kepentingan manusia bisa saja senantiasa bertentangan satu dengan yang

lain, maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu.14

Sedangkan Rudolf Von Jhering mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk

memelihari keseimbangan antara berbagai kepentingan. Menurut Aristoteles tujuan

hukum ialah untuk memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi anggota

masyarakat sebanyak-banyaknya, sebagaimana selaras dengan pendapat Roscoe Pound

yang menegaskan law is tool of social engineering yang artinya tujuan hukum sebagai

alat untuk membangun masyarakat.15 Teori yang berkenaan dengan teori tujuan hukum

dalam penelitian ini berkaitan dengan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang

menggunakan konsep umum tujuan hukum yang sama dengan negara-negara barat

yang menggunakan sistem hukum civil law yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian.

Tetapi lebih dominan bercorak legalistic yang menekankan pada aspek hukum tertulis

yang berorientasi pada kepastian. Dengan demikian, pada hakikatnya suatu hukum

harus memiliki tujuan yang di dalamnya mengandung unsur keadilan, kemanfaatan dan

13
Lukman Santoso Az dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Sejarah, Pengertian, Konsep
Hukum, Aliran Hukum dan Penafsiran Hukum, (Malang: Setara Press, 2016), hl. 76-77
14
Soedjono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983),
hlm. 11
15
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), hlm. 11
18

kepastian. Ketiga-ketiganya imperative merupakan syarat yang tidak boleh hanya

terdapat satu unsur atau dua unsur melainkan harus terpenuhi ketiganya.

a. Teori Keadilan

1) Teori Keadilan Menurut Hukum Islam

Para kaum teolog muslim terbagi menjadi dua kelompok yaitu

Kaum Mu’tazilah yang mana dalam gerakannya selalu membela keadilan

dan kebebasan, sedangkan kaum Asy’ari dalam gerakannya membela

keterpaksaan. Keadilan menurut kaum Asy’ari ditafsirkan menyatakan

bahwa Allah itu adil, segala tindakan Allah SWT adalah adil dan bukan

setiap keadilan harus dilakukan oleh Allah sehingga nilai keadilannya ialah

mutlak. Sehingga keadilan merupakan suatu tindakan atau perbuatan Allah

SWT lah yang menjadi tolak ukur keadilan. Sedangkan menurut kaum

Mu’tazillah bahwa keadilan memiliki hakikat tersendiri dan sepanjang

Allah Maha Bijaksana dan Adil.16

Dikutip dari Jurnal Rendra Widyakso mengenai salah satu

pemikiran Murtadha Muthahari mengemukakan konsep keadilan yang

dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Keadilan yang dimaknai sebagai arti keseimbangan;

16
Dikutip dalam Jurnal Rendra Widyakso S.H, Konsep Keadilan Menurut Al-Qur’an,
(Pengadilan Agama Purworejo Jawa Tengah, 2019)
19

2. Adil yang dimaknai sebagai persamaan makna terhadap

perbedaan;

3. Adil yang dimaknai sebagai arti memelihara hak-hak dari setiap

individu dan memberikan hak-hak tersebut kepada setiap orang

yang berhak menerimanya;

4. Adil memelihara hak atas berlanjutnya eksitensi.

Adapun konsep keadilan menurut Qadri yang menafsirkan

konsep keadilan lebih detail daripada konsep keadilan Aristoteles yaitu

keadilan distributive. Beliau menganggap bahwa konsep keadilan

seharusnya telah merasuk kedalam jiwa yang paling dalam dari setiap

manusia. Hal ini dikarenakan segala sesuatu perbuatan yang dilakukan

oleh manusia harus mengatas namakan Allah SWT. Dalam pelaksanaan

keadilan dalam Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta

kedaulatan rakyat atau komunitas Muslim.17

Madjis Khadduri menggambarkan bahwa suatu konsep keadilan

dalam dua kategori, yaitu :18

17
AA. Qadri, Sebuah Potret Teori dan Praktek Keadilan Dalam Sejarah Pemerintahan
Muslim, (Yogyakarta: PLP2M, 1987), hlm 1
18
Madjid Khadduri, Teori Keadilan Prespektif Islam, (Surabaya, Risalah Gusti, 1999), hlm.
119-201
20

1. Asperk Substantif, berupa elemen-elemen atau bagian-

bagian dari keadilan dalam substansi syariat (keadilan

substansi)

2. Aspek Prosedural, berupa elemen-elemen atau bagian dari

keadilan dalam hukum procedural yang dilaksanakan

(keadilan procedural).

Sehingga ketika kaidah-kaidah procedural tidak dilaksanakan

atau diabaikan bahkan pelaksanaannya tidak tepat maka keadilan

procedural tidak muncul. Sedangkan keadilan substantive merupakan

aspek inti atau internal dari suatu hukum dimana segala perbuatan yang

wajib pasti adil. Hal ini dikarenakan sebagai firman Allah SWT dan

sifatnya atau hukumnya haram dianggap suatu ketidakadilan. Karena

dalam hal ini wahyu tidak mungkin pernah membebani orang-orang

yang beriman.

2) Teori Keadilan Menurut Hukum Barat

Teori Keadilan menurut Aristoteles dibagi menjadi dua macam

keadilan yaitu keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”.

Keadilan distributive ialah keadilan yang memberikan kepada tiap

orang porsi menurut prestasinya. keadilan Keadilan komutatif

memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-


21

bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar

menukar barang dan jasa.19 Dari pembagian keadilan ini Aristoteles

mendapatkan banyak kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributisi

menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan

barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat.

dengan mengesampingkan pembuktian matematis, jelaslah bahwa apa

yag ada dibenak Aristoteles ialah distribusi dan barang berharga lain

berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil

boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya,

yakni nilainya bagi masyarakat.20

Konsep keadilan John Rawls dipandang sebagai prespektif

“liberal-egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa keadilan

adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial. Akan

tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat

mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang

telah memperoleh rasa keadilan.21 John Rawls mengembangkan

gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan

19
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Prespektif Historis, (Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004), hlm. 24
20
Pan Mohammad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor
1, 2009, hlm. 135
21
Pan Mohammad Faiz, Ibid, hlm. 139
22

sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan posisi asli (original

position) dan “selubung ketidaktahuan (veil of ignorance).22

Pandangan John Rawls memposisikan adanya situasi yang sama

dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada

pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara

satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat

melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls

sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium

reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan

(freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar

masyarakat (basic structure of society). Sementara konsep “selubung

ketidaktahuan” memiliki arti bahwa setiap orang dihadapkan pada

tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk

terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu sehingga membutakan

adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah

berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk

memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut

sebagai “Justice as Fairness”.23

22
Ibid
23
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 90
23

John Rawls menegaskan pandangannya bahwa program

penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah

memperhatikan dua prinsip yaitu pertama memberi hak dan kesempatan

yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan bagi

setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial

ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat

timbal balik.24

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis

ini, teori keadilan digunakan untuk menganalisis bagaimana

pertimbangan hukum hakim atas putusan dalam penyelesaian sengketa

tanah wakaf, apakah putusan tersebut memberikan keadilan bagi pihak

yang bersengketa atau tidak,. Jadi penelitian tesis ini membutuhkan

teori keadilan untuk mengkaji pertimbangan hukum hakim putusan

yang akan dibahas dalam tesis ini.

b. Teori Kemanfaatan

1) Teori Kemanfaatan Menurut Hukum Islam

Teori kemanfaatan dalam hal ini menggunakan teori Maslahah,

Menurut Al-Khawarizmi yang dimaksud dengan Al-Mashlahah adalah

memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindarkan kemafsadahan

24
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 7
24

dari manusia. Dari pengertian tersebut beliau memandang maslahah

hanya dari satu sisi, yaitu menghindarkan mafsadat semata padahal

kemaslahatan mempunyai sisi lain yang justru lebih penting yaitu

memberi manfaat.25

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Muhammad Said Ramadan

Al-Buhti sebaiamana dikutip dari kitab “Dawabit al-Maslahah fi-

Shyariah al-Islamiyah al-Maslahah adalah sesuatu yang bermanfaat dari

syari’I untuk kepentingan hamba-Nya baik menjaga agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta mereka, sesuai urutan tertentu yang terdapat dalam

kategori pemeliharaan tersebut.26 Sedangkan menurut Imam Ghazali

mengemukakan bahwa maslahah pada dasarnya adalah sesuatu

gambaran dari meraih manfaat atau menghindarkan mudarat. 27

Menurut Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur sebagaimana dikutip

oleh Kemal Muchtar bahwa ketentuan-ketentuan atau hukum baru yang

berhubungan dengan peristiwa atau masalah-masalah yang baru dapat

ditetapkan berdasarkan dalil maslahah karena adanya alas an-alasan

berikut ini :28

25
Dahlan, Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 116
26
Ibid, Dahlan, Tamrin, hlm. 116
27
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqasid Syari’ah menurut Al-Syatibi, (Jakarta; PT Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 61
28
Kemal Muhtar, Maslahah sebagai dalil Penetapan Hukum Islam Rekontruksi Metodologi
ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 228
25

a. Hukum itu dapat mewujudkan kebaikan masyarakat, dengan

adanya hukum itu dapat ditegakkan kebaikan masyarakat

dengan sebaik-baiknya.

b. Hukum itu dapat menolak atau menghindarkan kerusakan dan

kerugian bagi manusia baik individu maupun masyarakat.

c. Hukum itu harus dapat menutup pintu-pintu yang mengarah

pada perbuatan dilarang. Ada suatu perbuatan yang pada

hakikatnya boleh dikerjakan, namun jika perbuatan itu ketika

dikerjakan membuka pintu kemadaratan maka hal itu

perbuatan terlarang.

Tujuan kemanfaatan ini sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an

: a. Al-Asl al-manafi al-hall wa fi al-mudar al man’u (segala yang

bermanfaat dibolehkan dan segala mudarat dilarang); b. La Darara wa

la dirar (jangan menimbulkan kemudaratan dan jangan menjadi korban

kemudaratan); c. Ad-darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).29

2) Teori Kemanfaatan Menurut Hukum Barat

Teori kemanfaatan (Utilitarisme) dikemukakan oleh Jeremy

Bentham yang mengatakan bahwa manusia bertindak untuk

29
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence)
termasuk interpretasi Undang-Undang (legalsprudence), (Jakara: Kencana Perdana Media Group, Cet
ke-1, 2009), hlm 213
26

mendapatkan kebahagiaan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan

mengurangi penderitaannya. Ukuran baik buruknya suatu perbuatan

manusia tergantung apakah perbuatan itu akan mendatangkan

kebahagiaan, kemanfaatan atau tidak. Teori kemanfaatan mempunyai

tanggung jawab kepada pihak atau orang yang melakukan apakah itu

baik atau buruk. Lebih lanjut Jeremy Bentham dalam pembentukan

peraturan berpendapat:

“Pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan

undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua

individu, setiap orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan

kebahagiaan yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh (Volwaardig),

tidak seorang pun bernilai lebih (Everybody to count for one, no body

for more than one).30

Jhon Stuar Mill salah satu tokoh penganut asas Utilisme selain

Jeremy Bentham31, dengan merumuskan utilisme sebagai teori

kebahagiaan terbesar, Bentham berprinsip “The greatest happiest for

the greatest number” yang artinya kebahagiaan yang terbesar bagi

manusia dalam jumlah banyak. Syarat utama hukum menurut teori ini

adalah kemanfaatan, hukum dan moral merupakan dua hal yang tidak

30
Abdul Manan, Asperk Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009),
hlm. 17
31
Ibid, hlm. 18
27

bisa dipisahkan hukum harus bermuatan moral dan moral harus

bermuatan hukum, mengingat moral merupakan salah satu sendi utama

kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya, hukum yang

efisien dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya

yaitu untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga

terbanyak.

Jeremy Bentham dalam ajarannya mengatakan, Hubungan yang

sehat adalah hubungan hukum yang memiliki legitimasi atau keabsahan

yang logis, etis dan estetis dalam bidang hukum secara yuridis, yaitu :

1) Logis yuridis artinya menurut akal sehat dalam bidang

hukum, hubungan hukum itu dimulai dari sebab atau latar

belakang sampai dengan keberadaannya yang telah melalui

prosedur hukum yang sebenarnya.

2) Secara etis yuridis, yaitu bila di ukur dari sudut moral yang

melandasi hubungan itu, maka hubungan hukum itu

beressensi dan bereksistensi secara wajar dan pantas.

3) Secara estetis yuridis yaitu apabila diukur dari unsur seni dan

keindahan hukum, keberadaan hukum tidak melanggar


28

norma-norma hukum ataupun norma-norma sosial lainnya

seperti norma kesusilaan dan norma sopan santun.32

Dilihat dari pemaparan diatas ukuran moral mesti dipakai

sebagai salah satu sarana pertimbangan dalam pembuatan hukum,

sehubungan moral tidak bisa dipisahkan dari hukum, karena hukum

senantiasa mengatur hubungan kehidupan manusia kearah yang lebih

baik dan beradap. Dengan adanya keberadaan hubungan hukum yang

sehat adalah tidak mengganggu dan merusak tatanan/sistem, serta iklim

kemasyarakatan yang teratur. Berdasarkan uraian diatas menurut

pandangan Jeremy Bentham peraturan perundang-undangan yang baik

dapat mengayomi rakyat dalam jumlah terbanyak serta berusaha

mencapai 4 (empat) tujuan yaitu:

1. Mencari nafkah hidup (to provide subsinstence);

2. Memberi makanan yang berlimpah (to provide abundance);

3. Memberikan perlindungan (to provide security);

4. Mencapai persamaan (to attain equity).33

Jika dikaitkan dengan permasalahan penelitian tesis, kegunaan

teori kemanfaatan yaitu untuk mengkaji apakah putusan pengadilan

yang dikeluarkan telah memberikan kemanfaatan bagi pihak yang

32
Ibid, hlm. 18-19
33
R. Subekti, Aneka Perjanjian,( Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 128-129
29

bersengketa. Karena teori kemanfaatan adalah untuk mendapatkan

kebahagiaan serta mengurangi penderitaan. Teori kemanfaatan

mempunyai tanggung jawab kepada pihak atau orang yang melakukan

apakah itu baik atau buruk. Dengan menggunakan teori kemanfaatan

dapat dilihat pertimbangan hukum hakim tersebut mengacu kepada

kemanfaatan bagi masyarakat atau tidak. Berhubung mengenai sengketa

wakaf, karena wakaf merupakan salah satu institusi keagamaan yang

memiliki fungsi sosial yaitu fungsi ibadah serta guna keperluan lain

sesuai syariat islam. Maka dari itu teori kemanfaatan perlu untuk

digunakan dalam pembahasan tesis ini.

c. Teori Kepastian Hukum

1) Teori Kepastian Hukum Menurut Hukum Islam

Asas kepastian hukum adalah sebagian ciri negara hukum.

Kepastian hukum sangat erat terkait dengan asas legalitas. Artinya,

hukum yang tujuannya antara lain untuk menertibkan masyarakat, harus

jelas diketahui oleh masyarakat sehingga di dalam hukum itu larangan

sudah jelas mengenai hal-hal yang dilarang.

Hukum berasal dari Allah SWT sebagai otoritas tertinggi dalam

pandangan Islam yang diterapkan dalam masyarakat untuk menjadi


30

pedoman pelaksanaan kehidupan mereka. Hal tersebut diinfromasikan

oleh Allah dalam firmannya yang berbunyi :

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia


mengutus di Ibukota itu sorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami
kepada mereka: dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota
kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman (Q.S Al-
Qasas ayat 59).”
Rasul yang diutus untuk membacakan ayat-ayat Allah berarti

menjelaskan secara terang sehingga masyarakat tahu secara pasti

hukum yang berlaku berarti ada kepastian hukumnya. Hal itu sama

dengan ketentuan setiap undang-undang yang dapat berlaku setelah

diundangkan. Pengundangan suatu undang-undang bertujuan agar

masyarakat mendapat kepastian hukum.

Mohammad Daud Ali menunjuk juga kepastian hukum dalam

ayat “Dan Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang

Rasul (Q.S Al-Isra ayat 15) “ . Anwar Harjono berpendapat bahwa asas

kepastian hukum juga berarti tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat

dipidana kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan

perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu.34

34
Dikutip dalam Jurnal Muhammad Alim, Asas-Asas Hukum Modern Volume 17 No. 1 Juni
2010
31

2) Teori Kepastian Hukum Menurut Hukum Barat

Menurut Hans Kelsen yang dikutip dari buku Darji

Darmodiharjo dan Shidarta yang berjudul “Pokok-Pokok Filsafat

Hukum” Apa dan bagaimana filsafat hukum di Indonesia menyatakan :

“Hukum adalah sebuah sistem norma, norma adalah pernyataan


yang menekankan aspek seharusnya atau “das sollen” dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan
dan apa yang tidak boleh dilakukan. Hukum mempunyai sasaran
yang hendak dicapai. Adapun tujuan hukum adalah menciptakan
tatanan masyarakat yang tertib, ketertiban dan keseimbangan,
sehingga diharapkan kepentingan masyarakat terlindungi.”35

Menurut pendapat Jean van Kan dalam bukunya yang berjudul

“Inleiding tot de reschts wetenschap” dikutip dari pendapat Ahmad Ali

yang mendefinisikan bahwa tujuan dari hukum terhadap kepentingan

orang dalam masyarakat dapat dikaji melalui 3 sudut pandang yaitu:

1) Sudut pandang ilmu hukum positif normative atau yuridis

dogmatic, tujuan hukum di titik beratkan pada segi kepastian

hukum (rechtszekerheid);

2) Sudut pandang filsafat hukum, tujuan hukum di titik beratkan

pada segi keadilan;

35
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2003), hlm. 77
32

3) Sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum di titik beratkan

pada segi kemanfaatan (utilitisme).36

Menurut Pieter Mahmud Marzuki bahwa kepastian hukum

diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya membuat suatu aturan hukum

yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan hukum membuktikan

bahwa hukum tidak hanya bertujuan mewujudkan keadilan atau

kemanfaatan semata, melainkan juga memberikan kepastian hukum.37

Sedangkan kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J. M.

Otto terdiri dari beberapa unsur yaitu:

1. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan, atau

ditetapkan negara;

2. Aparat pemerintah menetapkan aturan hukum secara

konsisten dan berpegang pada hukum;

3. Rakyat pada dasarnya hanya tunduk pada hukum.

4. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten

menerapkan hukum itu;

5. Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.38

36
Lukman Santoso Az dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Sejarah, Pengertian, Konsep
Hukum, Aliran Hukum dan Penafsiran Hukum, (Malang: Setara Press, 2016), hl. 76-77
37
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158
38
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, (Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2002), hlm. 18
33

Berdasarkan uraian diatas maka timbul pertanyaan apakah

kepastian hukum tidak menimbulkan masalah dalam kenyataannya,

karena seringkali ditemui kepastian hukum berbenturan dengan

keadilan, benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan,

keadilan dengan kemanfaatan, sebagai contoh kasus hukum tertentu jika

hakim menginginkan putusan perkara atau determinacy, putusan

tersebut bagi Penggugat atau Tergugat sering merugikan kemanfaatan

bagi masyarakat luas, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu

seringkali dikorbankan.

Menurut Radburch, keputusan yang baik adalah keputusan yang

adil dan responsive di masyarakat, untuk memastikan sebuah keputusan

yang adil dan responsive harus menggunakan asas prioritas dimana

prioritas pertama adalah keadilan selanjutnya kemanfaatan (utilisme)

dan terakhir kepastian hukum (rechtszekerheid).39

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis

ini, teori kepastian hukum digunakan untuk menganalisis bagaimana

pertimbangan hukum hakim atas putusan dalam penyelesaian sengketa-

sengketa tanah wakaf, karena putusan pengadilan merupakan salah satu

cara untuk mendapatkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang

39
Tatiek Sri Djatmiati , Ibid, hlm. 80
34

bersengketa. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian

hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya

masyarakat. kepastian hukum yang realistis dapat memberikan adanya

keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam memahami sistem

hukum. Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan,

dengan adanya putusan pengadilan dapat memberikan kepastian hukum

bagi pihak bersengketa. Jadi penelitian tesis ini membutuhkan teori

kepastian hukum untuk mengkaji pertimbangan hukum hakim putusan

yang akan dibahas dalam tesis ini.

2. Middle Range Theory

a. Teori Hak Kepemilikan

1) Teori Hak Kepemilikan Menurut Hukum Islam

Menurut Abdul Ghofur Anshori, hak milik dalam pandangan

hukum islam dibedakan menjadi hak milik sempurna yaitu kepemilikan

yang meliputi penguasaan terhadap bendanya dan manfaat benda secara

keseluruhan, hak milik yang kurang sempurna yaitu kepemilikan

tersebut hanya meliputi bendanya saja atau manfaatnya saja.


35

Seseorang mempunyai hak milik menurut Hukum Islam, dapat

diperoleh dengan cara-cara:40

(1) Sebagai ihrazul muhabat (memiliki benda yang boleh dimiliki),

benda yang dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan adalah

benda yang bukan menjadi milik orang lain, dan bukan benda

yang dilarang hukum agama.

(2) Sebab al uqud (akad), perikatan dalam lapangan hukum harta

kekayaan antara dua orang atau lebih, memberi hak kepada yang

lain untuk menuntut barang sesuatu.

(a) Perbuatan hukum sepihak, seperti hibah, wasiat;

(b) Perbuatan hukum dua pihak seperti wakaf, jual beli, sewa.

(3) Sebab al khalafiyah (pewarisan), seseorang memperoleh hak

milik disebabkan karena menempati tempat orang lain.

(4) Sebab attawalludu minal mmluk (beranak pinak), segala yang

lahir dari benda yang dimiliki merupakan hak bagi pemilik

barang atau benda tersebut.

2) Teori Hak Kepemilikan menurut Hukum Positive

40
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2006), hlm.
135
36

Kata milik berbeda dengan arti kata milik dalam sistem hukum,

kajian para filsuf, teori sosial dan ilmu politik. Dalam pengertian umum

milik adalah harta benda sementara dalam pengertian hukum milik

bukan saja harta benda melainkan ha katas benda, hak diartikan sesuatu

yang bukan saja dapat diperoleh, tetapi uga dapat dituntut apabila tidak

terpenuhi. Dalam prospektif hukum, hak (right) diartikan sebagai

property artinya suatu konsep tentang sejumlah hak dalam kaitannya

dengan orang lain. Menurut Jhon Locke terdapat dua fakta hakekat

milik yaitu pertama, bahwa milik adalah suatu hak dalam artian klain

yang dapat dipaksakan. Kedua, meskipun bersifat klain yang dapat

dipaksakan tergantung pada keyakinan suatu masyarakat bahwa itu

adalah hak moral.41

Menurut Aristoteles terdapat dua macam sistem milik sebagai

penjaba

ran dari ulasan Jhon Locke yaitu (1) Bahwa semua barang

dimiliki secara bersama, (2) secara perorangan, diluar dua sistem itu

disebutkan pula sistem campuran yang menyatakan bahwa tanah adalah

41
Jhon Locke, Perwakafan Tanah Ulayat Untuk Kesejahteraan Sosial di Sumbar.( Disertasi
Doktor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Andalas, 2017), hlm. 25-26
37

hak milik umum, tetapi hasil pertanian adalah milik pribadi. Bila hasil

pertanian adalah milik umum, tanahnya adalah milik pribadi.42

Konsep hak milik dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Pokok Agraria menggambarkan bentuk kepemilikan atas tanah

secara turun temurun, terkuat dan terpenuhi dalam kepemilikan atas

tanah, sarat dengan nilai-nilai sosial. Semua hak tanah memiliki fungsi

sosial.

Hak milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang

memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan

kembali suatu hak lain di atas bidang tanah, hak milik tersebut dapat

berupa hak guna bangunan atau hak pakai, dengan pengecualian hak

guna usaha yang hamper sama kewenangan negara (sebagai penguasa)

untuk memberikan ha katas tanah kepada warganya.43

Subyek hak milik atas tanah yaitu warga negara Indonesia dan

badan hukum. Badan-badan hukum dapat mempunyai hak milik atas

tanah:44

42
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama), hlm. 188
43
Kartini, Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 30
44
Supriyadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 66
38

1) Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut

bank negara);

2) Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 79 Tahun 1958;

3) Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian atau Agraria setelah mendengar Menteri Agama;

dan

4) Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri

Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan

Sosial.

Hak kepemilikan pada penelitian ini mengarah ke tanah milik

bersama atau tanah milik public. Karena penelitian membahas

mengenai tanah wakaf, yang dimana wakaf merupakan sebagai suatu

institusi keagaamaan yang memiliki fungsi sebagai ibadah kepada allah

selain itu memiliki fungsi sosial. Sedangkan penggunaan serta

pemanfaatannya dilakukan dengan cara mengorientasi pada sektor-

sektor kebajikan dan maslahat sesuai dengan kehendak wakaf yang

telah dituangkan dalam ikrarnya tanpa mengharap imbalan.

Jika dikaitkan dengan penelitian ini, teori kepemilikan tanah

dapat menjadi acuan untuk menganalisis kepemilikan tanah dalam tanah

wakaf. Sehinggan teori kepemilikan tanah ini perlu dalam penelitian ini.
39

b. Teori Putusan

Putusan adalah suatu pernyataan oleh hakim yang diucapkan di

persidangan untuk mengakhiri suatu perkara yang dihadapkan

kepadanya.45

Putusan hakim terbagi atas beberapa jenis. Pembagian

didasarkan atas beberapa hal.

1) Putusan dari aspek kehadiran para pihak, putusan terbagi

menjadi empat, yaitu:

a) Putusan biasa

Putusan biasa adalah putusan yang dijatuhkan

pengadilan dimana pada saat pembacaan putusan kedua belah

pihak hadir.

b) Putusan Verstek

Putusan verstek aalah putusan yang dijatuhkan

pengadilan dimana Tergugat sama sekali tidak perna datang di

persidangan meskipun telah dipanggil secara resmi dan patut,

sementara ketidakhadirannya tersebut tidak disebabkan oleh

halangan yang sah.

c) Putusan Contradictoir

45
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2002),
hlm. 201
40

Putusan Contradictoir adalah putusan pengadilan yang

saat diucapkan salah satu pihak tidak hadir sementara pada

persidangan sebelumnya pihak selalu hadir atau pernah hadir.

d) Putusan Gugur

Putusan gugur adalah putusan yang dijatuhkan

pengadilan karena penggugat tidak pernah datang menghadap

sendiri di persidangan.

2) Putusan ditinjau dari sifatnya

Ditinjau dari sifatnya putusan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a) Putusan Declatoir

Putusan Declatoir adalah putusan yang mengandung

amar pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau

kedudukan hubungan hukum diantara para pihak berpekara.

b) Putusan Constitutief

Putusan Constitutief adalah putusan yang menciptakan

atau meniadakan hubungan hukum tertentu.

c) Putusan Condemnatoir

Putusan condemnatoir adalah putusan yang di dalamnya

mengandung amar penghukuman, yaitu amar menghukum atau


41

membebankan kepada salah satu atau kedua belah pihak untuk

melakukan sesuatu perbuatan hukum.46

3) Putusan ditinjau dari saat penjatuhan

a) Putusan sela

Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan hakim saat

proses pemeriksaan berlangsung untuk memudahkan

pemeriksaan perkara sebelum hakim menjatuhkan putusan

akhir.

b) Putusan Akhir

Putusan akhir adalah putusan hakim yang merupakan

jawaban terhadap persengketaan para pihak untuk mengakhiri

suatu perkara.47

Putusan hakim harus berdasarkan asas-asas, asas-asas dalam Putusan

Hakim yaitu:

1) Asas Musyawarah Majelis

Putusan hakim harus didasarkan pada hasil musyawarah

majelis, musyawarah ini dilakukan oleh hakim untuk mengambil

46
Soedikno Mertukusumo, Ibid, hlm.14
47
Retnowulan dan Iskandan Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 109-110
42

kesimpulan terhadap sengketa yang sedang diadili untuk

selanjutnya dituangkan dalam putusan. Dalam musyawarah majelis

ini, hakim diperbolehkan mengajukan pendapat berbeda (dissenting

opinion) sepanjang didasari para argumentasi yang kuat dan

rasional.

2) Putusan Harus Memuat Dasar atau Alasan yang Cukup

Putusan hakim harus dilandasi atas pertimbangan hukum

(legal reasoning, ratio decidendi) yang komprehensif. Putusan

hakim yang tidak cukup pertimbangannya menyebabkan putusan

tersebut dapat dikategorikan onvoldoende gemotiveerd. Keadaan

demikian merupakan permasalahan yuridis, karenanya dapat

dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

3) Putusan Harus Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Seluruh bagian adalah segala sesuatu yang menjadi pokok

persengketaan para pihak di dalam gugatan. Dalam pengertian yang

lebih sederhana, seluruh bagian gugatan adalah petitum penggugat,

karena pada dasarnya setiap petitum dilandasi atau dilatari oleh

posita (fundamentum potendi).

4) Asas Ultra Petitum Partium


43

Asas ultra petitum partium adalah asas yang melarang

hakim untuk memutus melebihi apa yang dituntut. Hakim yang

memutus melebihi apa yang dituntut Penggugat dianggap telah

melampaui kewenangannya (ultra vires, beyond the power of his

authority).

5) Asas Keterbukaan

Substansi utama dari asas keterbukaan adalah kewajiban

untuk mengucapkan putusan dalam persidangan yang terbuka untuk

umum. Asas keterbukaan ini bertujuan agar putusan pengadilan

dapat lebih transparan dan akuntabel. Asas keterbukaan juga

dimaksudkan untuk memberikan akses kepada publik yang ingin

mengetahui langsung vonis pengadilan atas kasus tertentu.

6) Putusan Harus Tertulis

Putusan sebagai produk pengadilan merupakan akta autentik

yang memiliki kekuatan pembuktian dan kekuatan mengikat

terhadap pihak-pihak berperkara dan pihak ketiga. Sebagai kata

autentik, putusan harus dibuat secara tertulis dengan memperhatikan


44

sistematika tertentu dan syarat-syarat formil yang ditetapkan oleh

perundang-undangan yang berlaku.48

Dilihat dari uraian diatas teori putusan perlu dalam pembahasan

tesis ini karena untuk menganalisis apakah jenis putusan yang

dikeluarkan, bagaimana asas-asas dalam putusan apakah sudah

terpenuhi atau belum dan apakah putusan yang dikeluarkan sudah

memenuhi tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum. Jadi teori putusan diperlukan dalam penelitian ini.

3. Applied Theory

Teori yang digunakan ialah Teori Penyelesaian Sengketa. Secara filosofis

penyelesaian sengketa merupakan upaya unutk mengembalikan hubungan pihak

bersengketa dalam keadaan seperti semula. Dengan pengembalian tersebut mereka

dapat mengadakan hubungan atau berintegrasi, baik sosial maupun hukum satu dengan

yang lainnya, teori yang mengkaji hal tersebut disebut teori penyelesaian sengketa.49

Penyelesaian adalah proses, perbuatan, upaya, tindakan, cara menyelesaikan.

Menyelesaikan diartikan menyudahi, membuat seperti semula, membereskan,

48
Retnowulan dan Iskandan Oeripkartawinata, Ibid hlm. 111
49
Soedikno Mertokusumo, Ibid, hlm136
45

memutuskan, memperdamaikan perselisihan atau pertengkaran sehingga menjadi lebih

baik.50

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin melihat sengketa dari perbedaan

kepentingan atau tidak tercapainya kesepakatan para pihak. Sengketa dalam definisi ini

diartikan pertentangan, perselisihan, atau percekcokan yang terjadi antara pihak yang

satu dengan pihak yang lain, berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik berupa uang

atau benda.

Dean G Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuah teori tentang

penyelesaian sengketa, ada 5 (lima) yaitu:

1) Contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang

lebih disukai olah salah satu pihak atas pihak yang lainnya.

2) Yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia

menerima kekurangan dari yang sebetulnya diinginkan.

3) Problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternative yang

memuaskan dari kedua belah pihak.

4) With drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa

baik secara fisik maupun psikologis.

5) In action (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa.51

50
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,( Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 180
51
Dean G. Pruitt dan Z. Rubin, Konflik Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 4-6
46

Laura Nadel dan Harry F. Todd Jr mengartikan sengketa sebagai berikut:

“Keadaan dimana sengketa tersebut dinyatakan di muka atau dengan


melibatkan pihak ketiga, selanjutnya ia mengemukakan istilah pra konflik dan
konflik. Pra konflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang
atau suatu pihak terhadap suatu masalah. Konflik itu sendiri adalah keadaan
dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak
puas atas sesuatu keadaan atau tidakan serta perbuatan.”52
Sengketa bidang pertanahan dapat berbentuk perbedaan konsep, nilai, norma,

dan kepentingan antara perseorangan atau lebih atau badan hukum (public atau privat)

mengenai status penguasaan hak kepemilikan dan penggunaan bidang tanah tertentu,

termasuk pemilik atau pengelola dalam perwakafan. Sengketa tanah dapat berupa

sengjeta hak ulayat, sengketa administrasi, peralihan hak, transaksi, sengketa perdata,

pidana terkait kepemilikan, transaksi pendaftaran, penjaminan dan penguasaan tanah.

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, teori

penyelesaian sengketa digunakan untuk mengkaji bagaimana upaya pertimbangan

hukum hakim dalam mengembalikan hubungan pihak bersengketa seperti keadaan

semula. Dengan menggunakan teori penyelesaian sengketa dalam penulisan tesis maka

dapat mengkaji serta menganalisis tentang kategori sengketa , faktor penyebab

sengketa, strategis atau aturan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa kasus

hukum (rules of adjudication), serta kepastian hukum dari hasil putusan setelah

penyelesaian sengketa. Teori ini perlu digunakan untuk mengkaji permasalahan yang

52
Valerine J.L. Kriekhoff, Mediasi dalam Antropologi Hukum, Sebuah Bangsa Rampai oleh
T.O Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor, 2001), hlm. 225
47

dibahas dalam tesis ini mengenai putusan pengadilan dalam menyelesaikan sengketa

wakaf.

E. Definisi Konseptual

1. Pengadilan Agama

Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang.

Kompetensi peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 sampai dengan

Pasal 53 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Wewenang tersebut

terdiri atas wewenang Relatif dan wewenang Absolut. Wewenang Relatif

Peradilan Agama pada Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBg jo Pasal 66 dan Pasal

73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, sedangkan wewenang absolut

berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Rahun 1989, yaitu

kewenangan mengadili perkara-perkara perdata bidang perkawinan, kewarisan,

wasiat, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan Ekonomi Islam.53

53
M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di
Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 33
48

2. Penyelesaian Sangketa

Penyelesaian sengketa merupakan upaya untuk mengembalikan

hubungan pihak bersengketa dalam keadaan seperti semula. Dengan

pengembalian tersebut mereka dapat mengadakan hubungan atau berintegrasi,

baik sosial maupun hukum satu dengan yang lainnya, teori yang mengkaji hal

tersebut disebut teori penyelesaian sengketa.54

3. Tanah

Menurut Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria adalah

permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di

bawah air. Permukaan bumi menurut PAsal 4 Ayat (1) UUPA adalah tanah.55

4. Wakaf

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 Wakaf adalah perbuatan

hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan

sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya

guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran

Islam.

54
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006),
hlm. 136
55
Kitab Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria.
49

5. Wakif

Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. 3. Ikrar

Wakaf adalah pernyataan kehendak Wakif yang diucapkan secara lisan

dan/atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

6. Nazhir

Nazhir dalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk

dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Mauquf alaih adalah

pihak yang ditunjuk untuk memperoleh manfaat dari peruntukan harta benda

wakaf sesuai pernyataan kehendak Wakif yang dituangkan dalam Akta Ikrar

Wakaf.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan-

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang sedang dihadapi.56 Dalam rangka mencapai tujuan

penelitian, penelitian menggunakan metode penelitian yuridis normatif.57

56
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 35
57
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 11-13
50

Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan mengkaji suatu

permasalahan dari analisis hukum tertulis berbagai aspek, yaitu aspek teori,

sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,

konsistensi, penjelasan umum pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan

megikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.58

Penelitian hukum normatif berhubungan langsung dengan praktik hukum yang

menyangkut dua aspek utama yaitu : pembentukan hukum dan penerapan

hukum.59

2. Pendekatan Penelitian

Sebagai dasar untuk menyusun argument yang tepat, penulis

menggunakan tiga jenis pendekatan (approach):

a) Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)

Pendekatan filsafat digunakan untuk mendapatkan pemahaman

yang lebih mendalam atas implikasi sosial dan dampak dari diterapkannya

suatu peraturan Perundang-undangan terhadap masyarakat.60

58
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), hlm. 102
59
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Malang: Banyumedia,
2007), hlm. 56
60
Johni Ibrahim, Teori dan Metofologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2007), hlm. 300
51

b) Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute approach)

Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan

mengkaji semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu

yang dibahas.61 Pendekatan perundang-undangan memiliki kegunaan yang

akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah

konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-

undang lainnya atau suatu undang-undang dengan Undang-Undang Dasar.

Dari hasil telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan

isu yang dihadapi.62

c) Pendekatan Konsep (Conceptual approach)

Pendekatan konseptual hukum menurut Peter Mahmud, beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam

ilmu hukum.63 Pendekatan konseptual akan memunculkan objek-objek

yang menarik dari sudut pandangan pengetahuan yang praktis sehingga

dapat menentukan maknanya secara tepat dan dapat digunakan dalam

proses pemikiran dengan mengidentifikasi terhadap prinsip, pandangan dan

61
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
2007), hlm. 96
62
Dyah Ochtoria Susanti dan A’am Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), (Sinar
Grafika, 2015), hlm. 17
63
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 95
52

doktrin yang sudah ada untuk kemudian memunculkan gagasan baru.64

Pendekatan ini dilakukan dengan mengumpulkan pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum yang

dikemukakan oleh para ahli.

d) Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus

yang berhubungan dan telah menjadi putusan yang memiliki kekuatan

hukum tetap, yang digunakan dalam penelitian adalah rasio decidendi atau

penalaran yaitu pertimbangan pengadilan terhadap putusan-putusan.65

3. Jenis dan Sumber Bahan-Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan

dengan cara membaca, menelaah, dan mengutip peraturan perundang-

undangan, dokumen, buku, jurnal, kamus, dan literature lain yang relavan

dengan permasalahan yang akan dibahas.

64
M. Mulyadi, Riset Desain Dalam Metodologi Penelitian (Jurnal Studi Komunikasi dan
Media, Vol. 16 No. 1, Januari 2012), hlm. 28
65
Op.Cit, Peter Mahmud Marzuki, hlm. 94
53

a. Bahan Hukum Primer

Untuk penulisan penelitian ini, bahan hukum primer yang dibutuhkan

adalah:

1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

2) Kompilasi Hukum Islam ( Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991).

3) Peraturan Badan Wakaf Indonesia Nomor 01 Tahun 2020 Tentang

Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Harta Benda Wakaf.

4) Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

Putusan Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berbagai buku, jurnal

publikasi ilmiah, karya ilmiah seperti disertasi, hasil penelitian

terdahulu, draft peraturan dan seluruh pustaka yang memuat hukum

mengenai wakaf.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan


54

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

yakni berupa kamus hukum, jurnal, media massa, dan internet.66

d. Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum yang diperoleh terkumpul. Dilakukan dengan

teknik analisis deskriptif kualitatif yaitu analisis yang dilakukan terhadap

bahan hukum agar dapat tersusun secara ringkas dan sistematis sehingga

diharapkan dari bahan-bahan hukum tersebut akan muncul suatu

kesimpulan yang menjawab permasalahan dalam penelitian ini sekaligus

untuk ditarik kesimpulan.67

e. Teknik Penarikan Kesimpulan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik penarikan

kesimpulan secara deduktif, yaitu penarikan kesimpulan yang diawali

dengan hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus

atau hal-hal yang dimulai dari suatu hukum menuju kepada hal-hal bersifat

konkret.68

66
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajawali Pers,2010), hlm. 13-14
67
Muhammad Abdulkadir, Op.Cit. hlm. 127
68
Edutafsi,”Cara Merumuskan Kesimpulan Secara Deduktif dan Induktif”, dapat ditemukan
pada pranala http://www.edutafsi diakses 20 September pukul 11.36 WIB
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG WAKAF DAN

PENYELESAIAN SENGKETA

A. Wakaf

1. Pengertian Wakaf

Wakaf berasal dari bahasa arab “Waqafa yaqifu waqfan” yang berarti menahan,

berhenti, tetap, berdiri atau diam ditempat.69 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

wakaf memiliki pengertian yaitu sesuatu yang diperuntukkan bagi kepentingan umum

sebagai derma atau untuk kepentingan umum yang berhubungan dengan agama.70

Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia menjelaskan bahwa wakaf berasal dari kata

“waqafa” yang menurut bahasa artinya menahan atau berhenti, wakaf diartikan sebagai

perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara

menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik keluarga, perorangan maupun lembaga

untuk dipergunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah.71

Menurut istilah wakaf adalah menghentikan (menahan) perpindahan milik suatu

harta yang bermanfaar dan tahan lama, sehingga manfaat harta itu dapat digunakan

untuk mencari keridhaan Allah SWT. Para ahli fikih memiliki cara pandang yang

69
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia,
Fiqih Wakaf (Jakarta : Departemen Agama, 2007), hlm. 1
70
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1989), hlm. 1006
71
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1989), hlm. 168

55
56

berbeda dalam menentukan hukum wakaf, sehingga masing-masing mujtahid dalam

mendefinisikan tentang wakaf. Menurut Abu Hanifah wakaf adalah menahan harta dari

otoritas kepemilikan orang yang mewakafkan dalam rangka menggunakan manfaatnya

untuk kebajikan.72 Dilihat dari uraian definisi ini kepemilikan harta wakaf tidak

terlepas dari si wakif. Jika wakif meninggal, lalu harta tersebut dapat diwariskan

kepada ahli warisnya.73 Jadi yang diwakafkan adalah manfaat dari benda yang

diwakafkan dan tidak termasuk bendanya.

Menurut Mazhab Maliki bahwa wakaf tidak melepaskan harta yang diwakafkan

dari pemiliknya, namun wakaf mencegah wakif untuk melakukan tindakan yang dapat

melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut. Wakif diwajibkan untuk

menyedekahkan manfaat dari harta yang diwakafkan selama jangka waktu tertentu

sesuai keinginan wakif.74

Imam Syafi’I, Ahmad bin Hambal dan Jumhur Ulama’ memiliki pandangan

bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif setelah

sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta

yang diwakafkan seperti menjual, mengibahkan, dan mewariskan.75

72
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani,
(Jakata: Gema Insani), hlm. 269
73
Fiqh Wakaf, (Jakarta; Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), hlm. 7
74
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Op.Cit, hlm. 273
75
Depag, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf,
2006), hlm. 3
57

Mazhab Imamiyah memiliki pendapat yang sama dengan Mazhab Syafi’I,

namun terdapat perbedaan sedikit dari segi kepemilikan atas benda yang diwakafkan

yaitu menjadi milik maukuf alaih (yang diberi wakaf), meskipun maukuf alaih tidak

berhak melakukan sesuatu tindakan atas benda wakaf baik menjual atau

menghibahkannya.76

Muhammad Jawad Mughniyah mengartikan bahwa wakaf adalah sejenis

pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal,

lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum dan maksud dari tahbis al-asli adalah

menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk

dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkan, dan sejenisnya. Lalu cara

pemanfaatannya yakni dengan cara mempergunakannya sesuai dengan kehendak

pemberi wakaf tanpa imbalan.77

Berdasarkan uraian diatas secara garis besar wakaf ialah menahan harta yang

mungkin bisa dimanfaatkan hasilnya dengan tetap mempertahankan atau mengabdikan

harta itu sendiri. As-Sayyid Sabiq memberikan pendapat bahwa pengertian wakaf

adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah SWT. Dalam hukum

fikih berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang

atau nazhir, atau kepada badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau

manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Maka

76
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, hlm. 2
77
Muhammad Jawad Mughniyah, editor. Umar Shahab, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta; Basrie
Press, 1994), hlm. 635
58

dari itu benda yang telah diwakafkan bukan lagi menjadi hak milik wakif dan bukan

pula milik orang atau tempat diserahkan melainkan menjadi milik Allah.

Pengertian wakaf dalam Hukum Positif Indonesia yaitu :

a. Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 ayat 1

“ Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau

badan hukum yang memisahkan sebagian dari miliknya dan

melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau

keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.

b. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1 Ayat 1

“ Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk

jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan guna keperluan ibadah

dan/ atau kesejahteraan umum menurut syariah.”78

Berdasarkan uraian diatas menyimpulkan bahwa pengertian wakaf adalah

sesuatu perbuatan hukum yang memisahkan seluruh maupun sebagian harta benda

miliknya untuk pelaksanaan kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum menurut

syariat Agama Islam. Harta benda yang telah diwakafkan dapat dimanfaatkan selama-

78
Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, ( Bandung: Fokus
Media, 2005), hlm. 94
59

lamanya atau jangka waktu tertentu yang akan dikelola oleh pengelola wakaf baik

perorangan maupun badan hukum.

2. Dasar Hukum Wakaf

a. Menurut Syariat Islam

Dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah mengenai wakaf

dapat dilihat dari beberapa ayat Al-Qur’an meskipun tidak secara implisit

menjelaskan mengenai wakaf, ayat-ayat yang dipahami dan digunakan oleh

Fuqha sebagai dasar atau dalil yang mengacu terhadap masalah wakaf, antara

lain firman Allah SWT sebagai berikut:

QS. Al-Baqarah ayat 261 :

Artinya : “ Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang


yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir
benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan
Allah Maha Luas (karunia-Nya) Lagi Maha Mengetahui”.79

79
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an Dan Terjemahnya, Juz 3, (Jakarta: Pelita
II,1974), hlm. 65
60

QS. Al-Baqarah ayat 267:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah)


sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya. Padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji”.80

Pengertian menafkahkan harta di jalan Allah yang terdapat dalam surah

Al-Baqarah ayat 261 dan 267 adalah belanja untuk kepentingan jihad,

pembangunan, dan hal-hal yang berdasarkan dengan syariat Islam.

QS. Ali’Imran ayat 92 :

Artinya : “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang (yang


sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu

80
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an Dan Terjemahnya, Juz 3, (Jakarta: Pelita
II,1974), hlm. 65
61

cintai dan apa saja yang kamu nafkahkan MAka sesungguhnya Allah
mengetahuinya”.81

Rasulullah SAW pernah bersabda :

“Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar.


Umar bertanya kepada Rasulullah SAW, “Apakah Perintahmu
kepadaku yang berhubungan dengan tanah yang aku dapat ini ? ‘Jawab
beliau,’ Jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan
manfaatnya’, Maka dengan petunjuk beliau itu lalu Umar sedekahkan
manfaatnya dengan perjanjian tidak boleh dijual tanahnya, tidak boleh
diwariskan (diberikan), dan tidak boleh dihibahkan. “ (HR. Bukhari
dan Muslim).82
Rasulullah SAW tidak mengatakan perkataan wakaf secara langsung di

dalam haditsnya. Akan tetapi terdapat semangat-semangat dari perbuatan

Rasulullah dan para sahabat yang kemudian dijadikan dasar untuk

mendefinisikan istilah wakaf. Dalam uraian hadits diatas menjelaskan bahwa

ibadah yang dilakukannya dengan menyedekahkan manfaat dari hartanya

dengan menahan asal dari harta itu sendiri, ibadah inilah yang disebut wakaf.

b. Peraturan Perundang-undangan

Didalamnya akan dimuat bagaimana sejarah perundang-undangan

tentang wakaf sebelum Indonesia merdeka dan setelah Indonesia merdeka.

1) Sebelum Indonesia Merdeka

81
Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an Dan Terjemahnya, Juz 3, (Jakarta: Pelita
II,1974), hlm. 65
82
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo 2014), hlm. 340
62

Pada zaman Pemerintahan Belanda peraturan tentang wakaf

keluar dengan diberlakukannya beberapa peraturan diantaranya :

a) Surat edaran sekretaris government pertama tanggal 31

Januari 1905 no. 435 sebagaimana disebutkan dalam bijlad

1905 walaupun dalam surat keputusan ini pemerintah

Kolonial Belanda tidak menyebut secara spesifik tentang

wakaf, tetapi Pemerintah Belanda tidak melarang dan

menghalang-halangi pengelolaan wakaf untuk kepentingan

keagamaan.

b) Surat edaran sekretaris government pada tanggal 4 Januari

1931 No. 1361/A yang dimuat dalam bijlad 1931 No. 125/A,

surat edaran ini dikeluarkan agar bijlad 1905 dipatuhi dan

dalam pelaksanaan wakaf harus mendapat izin dari bupati,

demikian apabila bupati telah mengeluarkan izin maka

selanjutnya dipelihara oleh pengadilan agama setempat

dengan wakaf ini harus diberitahukan kepada asisten

wedana untuk pembuatan laporan ke perkantoran landrete.

c) Surat edaran sekretaris government tanggal 24 Desember

1934 No. 3088/A yang termuat dalam bijlad No. 13390,

surat edaran ini mempertegas surat edaran sebelumnya

dimana bupati berwenang untuk menyelesaikan perkara, jika

terjadi perselisihan atau sengketa pada harta tanah wakaf.


63

d) Surat edaran sekretaris government pada tanggal 27 Mei

1935 No. 1273/A yang termuat dalam bijlad 1935 No.

13480, dimana surat edaran ini menyatakan tentang tata cara

pelaksanaan wakaf.83

2) Setelah Indonesia Merdeka

a) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-

Undang Pokok Agraria, dengan lahirnya undang-undang ini

telah memperoleh eksitensi wakaf Indonesia, Pasal 49 ayat

2 berbunyi “untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci

lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 14 dapat diberikan

tanah yang dikuasai langsung oleh hak pakai”.84

b) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang

Perwakafan tanah milik.

c) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Mengenai

Kompilasi Hukum Islam Buku III tentang Hukum

Perwakafan

d) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

83
Hasan Mansur Nasution, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),
hlm. 151-152
84
R. Subekti, R. Tjitrosubidio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan
Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan
64

e) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf.

Berdasakan uraian diatas penulis menyimpulkan dasar hukum wakaf ialah

bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis walaupun tidak diisyaratkan secara khusus

mengenai wakaf, akan tetapi dalam makna dari menafkahkan harta di jalan Allah

yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 261 dan 267 adalah belanja untuk

kepentingan jihad, pembangunan, dan hal-hal yang berdasarkan dengan syariat

Islam, selain itu dasar hukum wakaf juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor

42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

Tentang Wakaf. Meskipun telah mengalami perkembangan dari mulai sebelum

Indonesia merdeka sampai Indonesia merdeka, hal ini menunjukkan bahwa

perbuatan wakaf adalah ibadah yang penting yang terdapat dalam pengaturannya

tidak hanya berdasarkan pada aturan Agama Islam, tetapi juga harus diatur sesuai

dengan Hukum Positif.

3. Rukun dan Syarat Wakaf

Rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu disiplin tertentu,

dimana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Para ulama berbeda

pendapat dalam menentukan rukun wakaf. Perbedaan tersebut merupakan implikasi

dari perbedaan mereka dalam memandang substansi wakaf. Sedangkan syarat


65

adalah segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu

tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun

dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula ada hukum.85

Meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menentukan definisi wakaf,

namun dalam ketentuan pelaksanaannya perlu adanya rukun dan syarat. Imam An-

Nawawi mengatakan bahwa rukun wakaf ada empat, yaitu:

a. Wakif ;

b. Maukuf biharta;

c. Maukuf alaih;

d. Sigat.

Di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 6 unsur (rukun)

wakaf ditambah dua hal, yaitu :

e. Nazir;

f. Jangka waktu wakaf.86

Masing-masing rukun yang tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat

yaitu :

85
Alaidin Kato, Ilmu Fikih dan Ushul Fikh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.
50
86
Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Wakaf (Jakarta: Harvarindo, 2004), hlm. 10
66

1) Wakif

Wakif merupakan pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.87

Syaratnya adalah orang yang bebas untuk berbuat kebaikan meskipun bukan

muslim dan dilakukan dengan kehendak sendiri bukan karena paksaan dari

orang lain. Wakif harus mempunyai kecakapan tabbaru88, tabarru adalah

kecakapan melepaskan hak miliknya kepada orang lain. Syarat lainnya ialah

berakal sehat, dan sudah dianggap dewasa. Wakif dalam Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dibagi menjadi tiga yaitu :

a) Wakif Perorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa,

berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan

pemilik sah harta benda wakaf;

b) Wakif Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi

untuk mewakafkan harta benda milik organisasi sesuai dengan

anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.

c) Wakif Badan Hukum adalah apabila memenuhi ketentuan

organisasi untuk mewakafkan harta benda milik badan hukum

sesuai dengan anggaran dasar hukum badan hukum yang

bersangkutan.89

87
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
88
Zakiyah Derajat, Ilmu Fikih, ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995) III, hlm. 192
89
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
67

Adapun syarat-syarat wakif untuk melakukan perwakafan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf adalah :90

a) Dewasa;

b) Berakal sehat;

c) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;

d) Pemilik sah harta benda wakaf.

Dalam Pasal 215 ayat (2) KHI jo. Pasal 1 ayat (2) PP No. 28 Tahun 1977

disebutkan bahwa wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum

yang mewakafkan harta miliknya. Syarat-syaratnya adalah :

a) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang

telah dewasa dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang

melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa

paksaan dari pihak lain dapat mewakafkan benda miliknya dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas

namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (Pasal 217

KHI jo. Pasal 3 PP No. 28 Tahun 1977).91

90
Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
91
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Aqademika Pressindo,
1992), hlm. 177
68

2) Maukuf Biharta

Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama

dan mempunyai manfaat jangka panjang, serta memiliki nilai.

Adapun beberapa syarat dari benda yang diwakafkan adalah :

a) Benda itu dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang dan dapat diambil

manfaatnya.92

b) Harta adalah milik orang yang mewakafkan, meskipun bercampur dan

tidak dapat dipisahkan dengan yang lain, maka boleh mewakafkan uang

yang berupa modal atau saham pada perusahaan.

c) Benda yang diwakafkan harus bernilai ekonomis, tetap zatnya, dan

boleh dimanfaatkan menrurut Islam.

d) Benda yang diwakafkan harus kekal. pada umumnya para ulama

berbeda pendapat mengenai kekekalan zat/benda wakaf, diantaranya

adalah :

(1) Mazhab Hanafi

Ulama Hanafiyah mensyaratkan bahwa harta yang

diwakafkan dipastikan ‘ain-nya memiliki sifat kekal dan

memungkinkan dimanfaatkan terus menerus. Mereka berpendapat

92
Said Aqil Husain Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta: Penamadani,
2004) hlm. 136
69

bahwa pada dasarnya benda yang diwakafkan adalah benda tidak

bergerak. Akan tetapi benda bergerak dapat diwakafkan dalam

beberapa hal yakni :

(a) Keadaan harta bergerak itu mengikuti harta tidak

bergerak seperti bangunan, pohon dan masjid.

(b) Kebolehan wakaf bergerak itu berdasarkan atsar yang

memperbolehkan wakaf senjata dan binatang-binatang

yang digunakan untuk perang.

(c) Wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan

seperti wakaf kitab-kitab mushaf.93

(2) Mazhab Syafi’i

Menurut ulama’ yang mengikuti mazhab syafi’I bahwa

barang yang diwakafkan haruslah kekal manfaatnya, baik berupa

barang tidak bergerak maupun barang kongsi (milik bersama).94

(3) Mazhab Maliki

Mazhab maliki berpendapat bahwa mewakafkan benda

bergerak adalah boleh. Mazhab Maliki tidak mensyaratkan ta’bid

93
Mustofa Edwin dan Uswatun Hasanah, Wakaf Tanah Inovasi Financial Islam : Peluang
dan Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: Program Studi Timur Tengah dan
Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm. 61
94
Dirjen Bimas Islam, Fiqih Wakaf, hlm. 32
70

pada wakaf, maka menurut mazhab ini wakaf sah walaupun

sementara.95

e) Harta wakaf harus segera dapat diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila

wakaf itu diperuntukan membangun tempat-tempat ibadah umum

hendaknya ada badan yang menerimanya disebut nazir. Orang yang

mengurus wakaf diperbolehkan mengambil sebagian dari hasil wakaf

untuk kebutuhan pokoknya.96 Dalam Pasal 15 Undang-Undang No 41

2004 tentang Wakaf, harta benda hanya dapat diwakafkan apabila

dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.97

Harta benda wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

tentang wakaf dibagi menjadi dua yaitu benda bergerak dan tidak

bergerak.98 Dalam Undang-Undang Wakaf Pasal 16 membagi benda yang

tidak bergerak untuk diwakafkan adalah :

(1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

(2) Bangunan atau bagian dari bangunan yang terdiri diatas tanah ;

(3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan rumah;

95
Ibid, hlm. 32-33
96
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 177
97
Departemen Agama RI, Undang-Undang Wakaf dan Peraturan Pemerintahan Tentang
Pelaksanaannya, (Jakarta: Dirjend Bimas Islam Depag, 2007), hlm. 10
98
Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
71

(4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

(5) Benda tidak bergerak lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah

dan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf juga mengatur tentang

hak atas tanah yang diwakafkan meliputi :99

(1) Hak milik atas tanah baik yang sudah ada maupun yang belum

terdaftar;

(2) Hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3) Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai yang berada

diatas tanah negara;

(4) Hak guna bangunan atau hak pakai yang berada diatas tanah hak

pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis

dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.

Benda bergerak yang dapat diwakafkan berdasarkan Pasal 16 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf meliputi :

99
Pasal 17 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomr 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
72

“1) Uang; 2) logam mulia; 3) surat berharga; 4) kendaraan; 5) Hak atas


kekayaan intelektual meliputi : hak cipta, hak merk, hak paten, hak
desain industri, hak rahasia dagang, hak sirkuit terpadu, hak
perlindungan varietas tanaman, dan lain-lain; 6) hak sewa; 7) benda
bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
Harta benda wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 Ayat 4

merupakan harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang tahan lama

dan mempunyai nilai. Dengan ini tidak ada perbedaan antara harta benda wakaf

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf maupun

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaannya dengan

Kompilasi Hukum Islam tentang Perwakafaan. Akan tetapi dalam Undang-

Undang Wakaf dan PP tentang Pelaksanaan Wakaf menjelaskan lebih detail

mengenai penyebutan harta benda dalam perwakafan.

3) Maukuf Alaih

Peruntukan harta benda wakaf mengacu pada Pasal 22 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, harta benda wakaf dapat digunakan

untuk :

(1) Sarana dan kegiatan ibadah;

(2) Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;

(3) Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;

(4) Kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;


73

(5) Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan

dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.

Diisyaratkan tidak bertentangan dengan nilai ibadah.100 Wakaf harus

dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan yang diperbolehkan syariat

Islam. Pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang mendekatkan diri kepada

Allah, oleh karena itu, maukuf ‘alaih haruslah di jalan kebaikan.101

4) Ikrar Wakaf (Sigat)

Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara

lisan dan atau tulisan kepada nadzir untuk mewakafkan harta benda miliknya.102

Adapun pelaksanaan ikrar wakaf itu dilakukan dihadapan PPAIW dengan dua

orang saksi103 Sigat atau ikrar wakaf bisa dalam bentuk lisan, tulisan maupun

isyarat, bahkan dengan perbuatan. Sigat hendaknya diucapkan dengan ucapan

yang menunjukkan tujuan dari akad asal seseorang yang mampu berbicara

karena kepemilikan dalam akad wakaf ergantung pada proses perpindahannya

kepada orang yang menerima wakaf melalui ucapan qabul. 104 Secara umum

syarat sah sigat adalah :105

100
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 177
101
Departemen Agama RI, Undang-Undang Wakaf dan Peraturan Pemerintahan Tentang
Pelaksanaannya, (Jakarta: Dirjend Bimas Islam Depag, 2007), hlm. 46
102
Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
103
Pasal 17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
104
Abdula Aziz Muhammad Azam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam,
(Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 407
105
Dirjen Bimas Islam, Fikih Wakaf, hlm. 59-60
74

(a) Harus terjadi seketika/selesai;

(b) Tidak diikuti syarat palsu;

(c) Tidak diikuti syarat pembatasan waktu. Pendapat ini diungkapkan oleh

hampir semua Imam Mazhab kecuali Imam Malik;

(d) Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang

sudah dilakukan.

5) Nazir

Nazir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk

dikelola dan dikembangkan sesuai peruntukannya. Menurut Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 10 Ayat (1) tentang syarat untuk nazir perorangan

adalah :

(a) Warga Negara Indonesia;

(b) Beragama Islam;

(c) Dewasa;

(d) Amanah

(e) Mampu secara jasmani dan rohani;

(f) Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.

Untuk nazir organisasi syaratnya adalah:

(a) Pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat nazir

perorangan.
75

(b) Organisasi bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan, dan atau keagamaan Islam.

Syarat-syarat untuk nazir badan hukum adalah:106

(a) Pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat

nazir perorangan;

(b) Badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

(c) Badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,

kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam.

6) Jangka Waktu Wakaf

Unsur-unsur perwakafan yang ada telah mengalami perkembangan,

yang mana terdapat perbedaan antara unsur-unsur waakf dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dan Kompilasi Hukum Islam Buku ke III

Tentang Perwakafan dengan unsur-unsur wakaf dalam Undang-Undang Nomor

41 Tahun 2004 tentang Wakaf, terdapat penambahan dua unsur yaitu

peruntukan harta benda wakaf dan unsur jangka waktu perwakafan.

Peruntukan harta benda wakaf ini dimuat dalam Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dimungkinkan agar masyarakat lebih

106
Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Wakaf, hlm. 6
76

terbuka berkaitan dengan peruntukan harta benda wakaf, sehingga bukan hanya

berproses sebagai tempat ibadah atau sejenisnya saja, akan tetapi dengan

adanya aturan ini masyarakat diharapkan lebih terbuka lagi menggunakan

peruntukan harta wakaf untuk sarana pendidikan atau sarana umum lainnya.

Dalam undang-undang Wakaf juga telah menjelaskan kriteria harta

benda yang bisa diwakafkan harta benda bergerak atau tidak bergerak, yang

mana dalam peraturan sebelumnya yaitu dalam Kompilasi Hukum Islam Buku

III tentang Perwakafan tidak dijabarkan terkait benda bergerak dan tidak

bergerak yang dapat diwakafkan, penjabaran yang ada bukan hanya sampai

kriteria benda bergerak dan benda tidak bergerak saja namun juga berkaitan

dengan hak atas tanah yang dapat diwakafkan. Adanya hak atas tanah yang

dapat diwakafkan inilah yang menyebabkan adanya syarat jangka waktu wakaf

dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa pendapat mengenai rukun

wakaf secara garis besar rukun wakaf terdiri dari 1) wakif atau orang yang

mewakafkan, 2)Maukuf Biharta atau harta benda yang akan diwakafkan, 3)

Maukuf Alaih atau peruntukan harta benda yang diwakafkan, 4) Ikrar yaitu

ucapan yang diucapkan wakif untuk mewakafkan harta bendanya, 5) Nazir

yaitu pengelola wakaf, 6) Jangka waktu wakaf. Dalam melakukan wakaf harus

memenuhi rukun wakaf tersebut agar wakaf yang dilakukan sah baik secara

agama maupun peraturan yang berlaku.


77

4. Macam-Macam Wakaf

Ada beberapa macam wakaf yang dikenal dalam islam, dapat dibedakan dalam

beberapa kriteria yaitu :

a) Macam-macam wakaf berdasarkan peruntukannya atau tujuannya ada tiga:

1) Wakaf sosial untuk kebaikan (khairi), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk

kepentingan umum.

2) Wakaf keluarga (dzurri), yaitu apabila tujuan wakaf untuk memberikan

manfaat kepada wakif, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang

tertentu, tanpa melihat apakah kaya atau miskin, sakit atau sehat, dan tua

atau muda.

3) Wakaf gabungan (musytarak), yaitu apabila tujuan wakafnya untuk umum

dan secara bersamaan.

b) Sedangkan berdasarkan batasan waktunya, wakaf terbagi menjadi dua macam:

1) Wakaf Abadi

Apabila wakafnya berebntuk barang yang bersifat abadi, seperti tanah dan

bangunan dengan tanahnya, atau barang bergerak yang ditentukan oleh

wakif sebagai wakaf abadi dan produktif, di mana sebagian hasilnya untuk

disalurkan sesuai tujuan wakaf, sedangkan sisanya untuk biaya perawatan

wakaf dan menggantikan kerusakannya.

2) Wakaf Sementara
78

Apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah rusak ketika

dipergunakan tanpa memnerikan syarat untuk menggantu bagian yang

rusak. Wakaf sementara juga bisa dikarenakan oleh keinginan wakif yang

memberikan batasan waktu ketika mewakafkan barangnya.

c) Berdasarkan penggunaannya wakaf dibagi menjadi dua macam:

1) Wakaf Langsung

Wakaf yang produk barangnya digunakan untuk mencapai tujuannya,

seperti masjid untuk sholat, sekolahan untuk kegiatan mengajar, rumah

sakit untuk mengobati untuk orang sakit dan lain sebagainya.

2) Wakaf Produktif

Wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan

hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.107

Menurut Fyzee Asaf A.A yang mengutip pendapat Ameer Ali membagi wakaf

dalam 3 golongan sebagai berikut :

1) Untuk kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak berbeda.

2) Untuk keperluan yang kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin, dan

3) Untuk keperluan yang miskin semata-mata.

107
Muhyiddin Mas Rida, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Khalifa, 2005), hlm. 161-162
79

Menurut Ahmad Azhar Basyir, wakaf terbagi menjadi wakaf ahli (keluarga

atau khusus) dan wakaf umum (khairi).

1) Wakaf Keluarga (ahli)

Merupakan wakaf yang ditunjukkan kepada orang-orang tertentu

seseorang atau lebih, baik keluarga wakif atau bukan. Misalnya, wakaf buku-

buku untuk anak-anaknya yang mampu mempergunakan, kemudian diteruskan

kepada cucu-cucunya. Wakaf semacam ini dipandang sah dan yang berhak

menikmati harta adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.

2) Wakaf Umum (khairi)

Merupakan wakaf yang semula ditunjukan untuk kepentingan umum, tidak

dikhusukan untuk orang tertentu. Wakaf umum ini sejalan dengan amalan

wakaf yang menyatakan bahwa pahalanya akan terus mengalir sampai

wakif tersebut meninggal. Apabila harta wakaf masih, tetap dapat diambil

manfaatnya sehingga wakaf ini dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas

dan merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat

baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kebudayaan, serta

keagamaan.108

108
Elsa Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 57-
58
80

Dalam bukunya Juhaya S. Praja dan Muhlisin Muzaire yang berjudul

Pranata Ekonomi Islam Wakaf menyebutkan bahwa wakaf dalam Pondok

Modern Gontor ada 3 (tiga) macam yaitu:109

1) Wakaf Properti (Benda Tidak Bergerak)

Wakaf yang berupa bangunan atau tanah, untuk dikelola oleh Pondok

Gontor. Dari situlah Pondok Modern Darussalam Gontor dapat

berkembang dan sangatlah luas yaitu atas bantuan berupa wakaf dari

banyak pihak.

2) Cash Wakaf (Wakaf Uang)

Wakaf yang berupa uang dari wali santri, tidak hanya digunakan untuk

operasional pondok, tetapi menjadi aset pondok yang selanjutnya

diberdayakan melalui unit-unit usaha milik pondok.

3) Wakaf Diri (Wakaf Jasa dan Pelayanan)

Wakaf diri adalah seseorang menyerahkan seluruh hidupnya kepada

sebuah lembaga untuk dimanfaatkan baik ilmu, tenaga maupun jasanya.

Di Pondok Gontor sudah sejak tahun 1951 sudah ada beberapa santri

bahkan alumni santri yang merelakan dirinya sepenuhnya untuk

kemajuan pondok.

109
Juhaya S. Pradja dan Mukhlisin Muzarie, Pranata Ekonomi Islam Wakaf, (Yogyakarta:
Dinamika, 2009) hlm. 58
81

Berdasarkan uraian macam-macam wakaf diatas penulis berpendapat

secara garis besar wakaf diserahkan untuk kebaikan baik untuk internal maupun

eksternal. Internal yang berarti dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga,

sanak, kerabat dan lain-lain sedangkan eksternal dimanfaatkan untuk

kesejahteraah umum dan berlaku untuk umum. Wakaf dapat dilakukan dengan

menyerahkan harta tidak bergerak yang telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan, menyerahkan sejumlah uang, dan wakaf juga dapat berbentuk jasa

dan pelayanan.

5. Wakaf Tanah

110
Tanah Wakaf adalah tanah hak milik yang sudah diwakafkan. .

Menurut Boedi Harsono, perwakafan tanah hak milik merupakan suatu

perbuatan hukum yang suci, mulia dan terpuji yang dilakukan oleh seseorang

atau badan hukum, dengan memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang

berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi


111
wakaf sosial. wakaf sosial adalah wakaf yang diperuntukkan bagi

kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran

agama Islam.

110
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, (Jakarta: Djambatan, 2005) hlm. 272
111
Ibid, Boedi Harsono, hlm 345
82

Dasar hukum dari perwakafan tanah milik dapat ditemukan di Pasal 49

ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA yang menentukan bahwa perwakafan

tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan

Pemerintah yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik selanjutnya

disebut PP 28/1977. Pasal 1 ayat (1) PP 28/1977 menyatakan bahwa wakaf

adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan

sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau

keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.

Tanah yang diwakafkan harus memenuhi unsur-unsur yaitu tanah hak

milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, atau

perkara. Sedangkan pihak yang mewakafkan tanah miliknya dsebut wakif. Pada

umumnya wakif adalah seseorang atau beberapa orang pemilik tanah yang telah

dewasa, sehat akalnya dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum.

Perwakafan tanah milik harus dilakukan atas kehendak sendiri dan tanpa

paksaan dari pihak lain.

Dalam Pasal 215 ayat (2) KHI jo. Pasal 1 ayat (2) PP No. 28 Tahun 1977

disebutkan bahwa wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum

yang mewakafkan harta miliknya. Syarat-syaratnya adalah :


83

a) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang

telah dewasa dan sehat akalnya serta oleh hukum tidak terhalang

melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dan tanpa

paksaan dari pihak lain dapat mewakafkan benda miliknya dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas

namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (Pasal 217

KHI jo. Pasal 3 PP No. 28 Tahun 1977).112

Harta benda wakaf dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004

tentang wakaf dibagi menjadi dua yaitu benda bergerak dan tidak bergerak.113

Dalam Undang-Undang Wakaf Pasal 16 membagi benda yang tidak bergerak

untuk diwakafkan adalah :

(1) Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;

(2) Bangunan atau bagian dari bangunan yang terdiri diatas tanah ;

(3) Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan rumah;

(4) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

112
H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Aqademika Pressindo,
1992), hlm. 177
113
Pasal 16 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
84

(5) Benda tidak bergerak lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah

dan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf juga mengatur tentang

hak atas tanah yang diwakafkan meliputi :114

(1) Hak milik atas tanah baik yang sudah ada maupun yang belum

terdaftar;

(2) Hak atas tanah bersama dari satuan rumah susun sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3) Hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai yang berada

diatas tanah negara;

(4) Hak guna bangunan atau hak pakai yang berada diatas tanah hak

pengelolaan atau hak milik pribadi yang harus mendapat izin tertulis

dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik.

Mengenai Tata cara perwakafan terdapat dalam Pasal 16 ayat 2 Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perwakafan tanah milik dapat

diuraikan sebagai berikut:115

114
Pasal 17 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomr 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
115
Badan Wakaf Indonesia
85

1) Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya

(sebagai calon wakif) diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW

untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.

2) Calon Wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu

menyerahkan kepada PPAIW, surat-surat sebagai berikut :

a) Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah;

b) Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat

mengenai kebenaran pemilikan tanah dan tidak dalam sengketa;

c) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah;

d) Ijin Bupati/Walikota madya c.q Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini

terutama dalam rangka tata kota atau master plan city.

3) PPAIW meneliti surat-surat dan syarat-syarat apakah sudah memenuhi

\\\untuk pelepasan hak tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi

dan mengesahkan susunan nadzir.

4) Dihadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau

mengucapkan kehendak wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan.

Akta ikrar wakaf tersebut ducapkan dengan jelas, tegas dan dituangkan

dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). sedangkan bagi yang

tidak bisa mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan

kehendaknya dengan suatu isyarat dan kemudian mengisi blanko

dengan bentuk W.1


86

Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap Pejabat Pembuat Akta

Ikrar Wakaf (PPAIW) maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis

dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan

kemudian surat atau naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah

mendapat persetujuan dari Kandepag dan semua yang hadir dalam

upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk

W.1).

5) PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap empat

dengan dibubuhi materi menurut ketentuan yang berlaku dan

selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat ikrar wakaf, tiap-tiap

lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusinya sebagai

berikut:

a) Akta Ikrar Wakaf :

(1) Lembar pertama disimpan PPAIW

(2) Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran

tanah wakaf ke kantor Subdit Agraria Setempat (W.7)

(3) Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat

b) Salinan Akta Ikrar Wakaf

(1) Lembar pertama untuk wakif

(2) Lembar kedua untuk nadzir

(3) Lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupaten/Kotamadya

(4) Lembar keempat untuk Kepala Desa setempat.


87

Dilihat dari uraian diatas bahwa wakaf tanah adalah wakaf yang benda atau

obyeknya ialah tanah. Tanah yang merupakan hak milik wakif dengan bebas dari

pembebanan, perkara, ikatan, sitaan. Karena tanah akan digunakan untuk membangun

bangunan atau peruntukan lainnya sesuai dengan amanah dari wakif untuk kepentingan

umum berdasarkan syariat Islam biasanya dengan jangka waktu selamanya. Untuk

mewakafkan tanah wakif perorangan ataupun badan hukum harus melalui prosedur

yang telah ditentukan oleh Peraturan perundang undangan yang berlaku serta

berdasarkan ketentuan dari Badan Wakaf Indonesia.

B. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Sengketa

1. Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Islam

Al-Quran menjelaskan persoalan persengketaan dan persoalan konflik yang

terjadi pada kalangan umat manusia adalah satu realitas sosial, manusia sebagai

khalifah-Nya di bumi diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa karena manusia

diberikan akal dan petunjuk dalam menata kehidupannya. Manusia senantiasa dibekali

akal dan wahyu. Manusia harus mencari dan menemukan pola penelesaian sengketa

sehingga penegakan keadilan dapat terwujud. Pola penyelesaian sengketa dapat

dirumuskan manusia dengan merujuk pada sejumlah ayat Al-Quran, hadis nabi,

praktek adat dan berbagai kearifan lokal. Kolaborasi dari sumber ini akan memudahkan

manusia mewujudkan kedamaian dan keadilan.


88

Perdamaian (Ishlah) yaitu mekanisme penyelesaian konflik yang ditawarkan oleh

Al-Quran. Pada dasarnya setiap konflik yang terjadi antara orang-orang beriman harus

diselesaikan dengan damai (Ishlah). Ishlah merupakan salah satu cara penyelesaian

konflik yang dapat menghilangkan dan menghentikan segala bentuk dari beberapa

permusuhan dan pertikaian antara sesama manusia. Tetapi kata Ishlah lebih

menekankan arti suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata shluh lebih

menekankan arti hasil dari proses Ishlah tersebut yaitu berupa shulh

(perdamaian/kedamaian). Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat Ayat 9-10:

Artinya: dan jika ada dua golongan dari mereka yang beriman itu dari mereka
berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua
golongan itu berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada
perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (Kepada perintah Allah), maka
damaikanlah keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil (9). Sesungguhnya orang-orang
89

mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah diantara saudaramu (yang


berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan rahmat.116
Surah Al-Huujurat merupakan landasan teori dan sumber penyelesaian konflik

yang terjadi diantara orang-orang beriman, yaitu apabila mereka terlibat konflik

selesaikanlah dengan cara damai (Faslihu). Cara Ishlah berkembang menjadi

mekanisme sengketa di luar pengadilan yang kemudian dipraktekkan peradilan di

Indonesia melalui mediasi. Kemudian apabila dikaitkan dengan bentuk penyelesaian

sengketa pada umumnya, maka ishlah bisa dikategorikan sebagai bentuk mediasi.

Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa latin “mediare” yang berarti

berada di tengah. Makna mengenai mediasi menunjukkan pada peran yang ditampilkan

pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan

menyelesaikan sengketa para pihak. Makna berada di tengah juga berarti bahwa

mediator harus berada di posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan

sengketa. Ia harus mampu untuk menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan

secara adil, dan sama lalu menimbulkan kepercayaan dari para pihak yang ikut dalam

bersengketaan.

Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa dalam syariat Islam

penyelesaian sengketa dilakukan dengan perdamaian, karena dengan perdamaian

menghentikan perlakuan permusuhan antara pihak yang bersengketa.

116
Q.S Al-Hujurat ayat 9-10
90

2. Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Positif

Pengertian sengketa dalam KBBI adalah pertentangan atau konflik yang berarti

adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok atau

organisasi-organisasi terhadap suatu obyek permasalahan. Winardi berpendapat bahwa

pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-

kelompok yang mempunyai hubungan-hubungan atau kepentingan yang sama atas

suatu obyek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang

lain.

Sengketa dalam bidang pertanahan dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Tata

Cara penanganan sengketa dalam bidang pertanahan yang kemudian selanjutnya

disebut dengan PMNA/KBPN 1/1999, yaitu “Perbedaan pendapat antara pihak yang

berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran

hak atas tanah, termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang

berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang

berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut”.

Berdasarkan pendapat Ali Achmad sengketa tanah adalah pertentangan antara

dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu

kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Sedangkan menurut Sarjita sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara
91

dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk

penggunaan dan penguasaan hak atas tanah, yang diselesaikan melalui musyawarah

atau pengadilan.117 Edi Prajoto berpendapat bahwa sengketa tanah adalah konflik

antara dua orang atau lebih yang sama mempunyai kepentingan atas status hak obyek

tanah antara satu atau beberapa obyek tanah yang dapat mengakibatkan akibat hukum

tertentu bagi para pihak.118 Kemudian sebagaimana definisi sengketa terdapat beberapa

bentuk sengketa yang sering dijumpai yaitu:119

1) Sengketa dibidang Ekonomi

2) Sengketa dibidang Pajak

3) Sengketa dibidang Internasional

4) Sengketa dibidang Pertanahan

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa sengketa tanah adalah perilaku

pertentangan diantara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat

hukum dan akibatnya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

117
Sarjita, Teknik Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, (Yogyakarta: Tugujogja
Pustaka, 2005),hlm 8
118
Edi Prajoto, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh
Peradilan Tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, (Bandung: CV. Utomo, 2006), hlm.
21
119
Ali. Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta; Prestasi Pustaka,
2003),hlm 14
92

3. Cara Penyelesaian Sengketa

Pada dasarnya penyelesaian sengketa dilakukan dengan dua cara yaitu

penyelesaian sengketa melalui Lembaga Litigas (melalui pengadilan) dan penyelesaian

sengketa melalui non-litigasi (diluar pengadilan).

a. Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi

Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan

definisi mengenai litigasi, namun dapat dilihat dalam Pasal 6 Ayat 1 UU No.

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang pada intinya bahwa sengketa dalam

bidang perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian

yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara

litigasi di Pengadilan Negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa litigasi

merupakan proses menyelesaikan perselisihan hukum di pengadilan yang mana

setiap pihak bersengketa memiliki hak dan kewajiban yang sama baik untuk

mengajukan gugatan maupun membantah gugatan melalui jawaban.120

Penyelesaian sengketa secara litigas merupakan upaya penyelesaian

melalui Lembaga Peradilan. Frans Hendra Winarta dalam bukunya Hukum

Penyelesaian Sengketa mengatakan bahwa litigasi merupakan penyelesaian

120
Yessi Nadia, Penyelesaian Sengketa Litigasi dan Non Litigasi (Tinjauan Terhadap Mediasi
dalam Pengadilan Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
https://www.academia.edu/29831296/Penyelesaian_Sengketa_Litigasi_dan_Non
Litigasi_Tinjauan_terhadap_mediadi_dalam_Pengadilan_sebagai_Alternatif, diakses tangal 8 Februari
2021
93

sengketa secara konvensional dalam dunia bisnis seperti bidang perdagangan,

perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur dan

sebagainya. Proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawan satu sama

lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir

(ultimum remidium) setelah upaya-upaya alternatif penyelesaian sengketa tidak

membuahkan hasil.121

Penyelesaian sengketa melalui litigasi memiliki kelebihan dan

kekurangan. Proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan

suatu keputusan yang bersifat adversarial yang belum mampu merangkul

kepentingan bersama karena menghasilkan suatu putusan win-lose-solution .

Sehingga pasti akan ada pihak yang menang pihak satunya akan kalah,

akibatnya ada yang merasa puas dan ada yang tidak sehingga dapat

menimbulkan suatu persoalan baru diantara para pihak yang bersengketa.

Belum lagi proses penyelesaian sengketa yang lambat, waktu yang lama dan

biaya yang tidak tentu sehingga dapat relative lebih mahal. Proses yang lama

tersebut selain karena banyaknya perkara yang harus diselesaikan tidak

sebanding dengan jumlah pegawai dalam pengadilan. Terdapat juga tingkatan

upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak sebagaimana dijamin oleh

peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia yaitu mulai dari tingkat

121
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan
Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 1 dan 2
94

pertama di Pengadilan Negeri, Banding di Pengadilan Tinggi, Kasasi di

Mahkamah Agung dan terakhir Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum

terakhir. Sehingga tidak tercapai asas pengadilan cepat, sederhana dan biaya

ringan.

b. Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi

Menurut Rachmadi Usman penyelesaian sengketa selain melalui litigas

(pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui jalur non-

litigasi (diluar pengadilan) yang biasanya disebut dengan Alternative Dispute

Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia biasanya disebut dengan Alternatif

Penyelesaian Sengketa selanjutnya disebut APS.122

Terhadap penyelesaian sengketa diluar pengadilan telah memiliki

landasan hukum yang mengatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

Tentang Arbitrase. Walaupun pada prakteknya penyelesaian sengketa di luar

pengadilan merupakan nilai-nilai budaya, kebiasaan, atau adat masyarakat

Indonesia dan hal ini sejalan dengan cita-cita masyarakat Indonesia

sebagaimana tercantuk dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yaitu dengan

cara musyawarah dan mufakat untuk mengambil keputusan.

122
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2012), hlm. 8
95

Pasal 1 Angka (1) UU 30/1999 tentang Arbitrase merumuskan bahwa

APS sendiri merupakan Lembaga Penyelesaian sengketa atau beda pendapat

melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian sengketa diluar

pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsoliasi, atau

penilaian ahli.123 Seangkan APS sebagai Alternative to Adjudication meliputi

penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif.124

Namun dalam perkembangan dan pemberlakuan khususnya di

Indonesia terdapat 6 (enam) APS diuraikan sebagai berikut : 125

1) Konsultasi

Tidak ada suatu rumusan ataupun penjelasan yang diberikan

dalam UU 30/1999 tentang arbitase mengenai makna konsultasi. Jika

dilihar dalam Black’s Law Dictionary dapat diketahui konsultasi adalah

“act of consulting or conferring : e.g. patient with doctor, client

with lawyer. Deliberation of persons on some subject.”126

123
Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
124
Rika Lestari. Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi di Pengadilan
dan di Luar Pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3 No. 2, hlm 219 dan 220
125
Riski Abdriana Yuriani, Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Menyelesaikan
Sengketa Melalui, Mediasi (Skripsi : Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta), hlm. 21-24
126
Black’s Law Dictionary
96

Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa prinsip konsultasi

merupakan suatu tindakan yang bersifat personal antara satu pihak

tertentu yang disebut dengan klien dengan satu pihak lain yang

merupakan konsultan yang memberikan pendapatnya kepada klien

tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersebut.

Klien dapat menggunakan pendapat yang telah diberikan maupun

memilih untuk tidak menggunakan adalah bebas, karena tidak terdapat

unsur yang menyatakan “keterikatan” atau “kewajiban” dalam

melakukan konsultasi.127 Hal ini berarti konsultasi sebagai bentuk

pranata APS, peran dari konsultan dalam menyelesaikan sengketa atau

perselisihan hanyalah sebatas memberikan pendapat hukum saja

sebagaimana permintaan klien. Lalu mengenai keputusan penyelesaian

sengketa akan diambil sendiri oleh pihak yang bersengketa, meskipun

adakalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan untuk

merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki

oleh para pihak yang bersengketa tersebut.

2) Negoisasi

Istilah negoisasi dilihat dalam Pasal 1 Angka (1) UU 30/1999

tentang Arbitrase pengertian negoisasi tidak diatur secara eksplisit

127
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan, (Surabaya: Airlangga
University Press), hlm. 429
97

dalam Undang-Undang. Ficher dan Ury berpendapat sebagaimana

dikutip oleh Nurmaningsih Amriani negoisasi merupakan komunikasi

dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua

belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang

berbeda.128 Hal ini selaras dengan pendapat Susanti Adi Nugroho bahwa

negoisasi adalah proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan

dengan pihak lain melalui proses interaksi, komunikasi yang dinamis

dengan tujuan untuk mendapatkan penyelesaian atau jalan keluar dari

permasalahan yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak.129

3) Mediasi

Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor

1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (Selanjutnya

disebut PERMA 1/2016) bahwa mediasi merupakan cara penyelesaian

sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan

para pihak dengan dibantu mediator.130 Mediasi pada dasarnya adalah

negoisasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian

mengenai prosedur mediasi yang efektif, sehingga dapat membantu

128
Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012) hlm. 23
129
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Telaga
Ilmu Indonesia, 2009), hlm. 21
130
Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
98

dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka

sehingga dapat lebih efektif dalam proses tawar menawar. Mediasi juga

dapat diartikan sebgaai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan

kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral dan tidak

membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang

sebagai fasilitator untuk terlaksananya dialog antara pihak dengan

seuasan keterbukaan, kejujuran, tukar pendapat, untuk tercapainya

mufakat.

4) Konsoliasi

Konsoliasi merupakan lanjutkan dari mediasi. Mediator berubah

fungsi menjadi konsiliator dalam hal konsiliator menjalankan fungsi

yang lebih aktif dalam mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa

dan menawarkannya kepada para pihak apabila para pihak dapat

menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator akan menjadi resolution.

Kesepakatan yang terjadi akan bersifat final dan mengikat para pihak.

Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu

kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari

sengketa. Konsoliasi memiliki kesamaan dengan mediasi, kedua cara ini

melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai.131

131
Sri Hajati, Op.Cit, hlm. 423
99

5) Penilaian Ahli

Dilihat pengertian dalam Pasal 1 Angka (1) UU 30/1999 tentang

Arbitrase, penilaian ahli merupakan salah satu cara penyelesaian

sengketa dengan cara para pihak meminta pendapat atau penilaian ahli

terhadap perselisihan yang sedang terjadi. Bahwa arbitrase tidak hanya

bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan pendapat

maupun sengketa yang terjadi diantara para pihak dalam suatu

perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberikan konsultasi dalam

bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak

yang memerlukannya tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian.

Pemberian opini atau pendapat hukum tersebut dapat merupakan suatu

masukan bagi para pihak dalam menyusun atau membuat perjanjian

yang akan mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak dalam

perjanjian, maupun dalam memberikan penafsiran ataupun pendapat

terhadap satu atau lebih ketentuan dalam perjanjian yang telah dibuat

oleh para pihak untuk memperjelas pelaksaannya.132

6) Arbitrase

Pasal 1 ayat (1) UU 30/1999 tentang Arbitrase menjelaskan

bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar

132
Sri Hajati, Loc. Cit.
100

pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang

dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase

digunakan untuk mengantisipasi perselisihan yang mungkin terjadi

maupun yang sedang mengalami perselisihan yang tidak dapat

diselesaikan secara negoisasi atau konsultasi melalui pihak ketiga serta

untuk menghindari penyelesaian sengketa melalui Lembaga Peradilan

yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang cukup lama.

Terdapat dua aliran ADR, yang pertama ialah pendapat bahwa

arbitrase terpisah dari alternatif penyelesaian sengketa sedangkan aliran

kedua berpendapat bahwa arbitrase merupakan alternatif penyelesaian

sengketa. Di dalam UU 30/1999 tentang arbitrase menganut aliran

kombinasi dari kedua aliran tersebut yakni arbitrase dapat berdiri sendiri

dan juga bagian dari alternatif penyelesaian sengketa.133

Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan

dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut sebagai

berikut :134

133
Sudargo Gautama, Prospek dan Pelaksaaan Arbitrase di Indonesia : Penyelesaian Sengketa
Secara Alternatif (ADR), (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm 122
134
Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase bagian umum.
101

(1) Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak sehingga citra

yang sudah dibangun tidak terpengaruh karena privat

penyelesaian sengketa;

(2) Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal

prosedural dan administrasi, karena sidang dapat langsung

dilaksanakan ketika persyaratan sudah dipenuhi para pihak;

(3) Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut

keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta

latar belakang yang cukup mengenai masalah yang

disengketakan, jujur, dan adil;

(4) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk

menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat

penyelenggaraan arbitrase; dan

(5) Putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para

pihak dan dengan melalui tata cara prosedur sederhana saja

ataupun langsung dapat dilaksanakan karena putusan

arbitrase memiliki sifat final dan binding.


BAB III

PEMBAHASAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH WAKAF YANG


DIKUASAI OLEH PIHAK KETIGA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN
AGAMA KEDIRI NOMOR 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr)

A. Proses Terjadinya Penguasaan Tanah Wakaf oleh Pihak Ketiga dan

Akibat Hukum dalam Perkara Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr

Wakaf adalah sesuatu perbuatan hukum yang memisahkan seluruh maupun

sebagian harta benda miliknya untuk pelaksanaan kepentingan ibadah dan

kesejahteraan umum menurut syariat Agama Islam. Harta benda yang telah diwakafkan

dapat dimanfaatkan selama-lamanya atau jangka waktu tertentu yang akan dikelola

oleh pengelola wakaf baik perorangan maupun badan hukum. Dalam melakukan wakaf

terdapat hak penguasaan tanah yang bersifat perseorangan yang mengakibatkan di

dalamnya terdapat perbuatan hukum yang harus dilakukan.akan tetapi dalam

pelaksanaannya terdapat tanah wakaf yang hak penguasaannya dilakukan oleh pihak

ketiga yang mengakibatkan tanah wakaf yang seharusnya dimanfaatkan kepentingan

umum menjadi kepentingan pribadi seperti kasus yang dibahas dalam penelitian.

Mengenai proses terjadinya penguasaan tanah wakaf oleh pihak ketiga dalam perkara

Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr akan diuraikan dalam pembahasan dibawah ini.

1. Penguasaan Tanah

Penguasaan merupakan suatu proses, cara dan perbuatan dapat yang berarti

penguasaan mempunyai suatu kemampuan, kecakapan dan keterampilan yang dimiliki

102
103

seseorang. Pengertian penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti yuridis.

Ada penguasaan beraspek privat dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis

adalah penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum pada umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang

dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah

yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.

Penguasaan secara yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai

tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dikuasai

oleh pihak lain. Sebagai contoh seseorang yang memiliki tanah tidak

mempergunakan tanahnya sendiri akan tetapi disewakan kepada pihak lain.

Mengenai secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah akan tetapi

secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis

yang tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan

secara fisik.

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian, wewenang, kewajiban dan

atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang

dihaki. Hal-hal yang dibolehkan, wajib serta dilarang untuk diperbuat adalah isi

dari penguasaan tanah itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di

antara hak-hak penguasaan atas tanah diatur dalam hukum tanah.


104

Macam-macam Penguasaan Hak Atas Tanah menurut Urip Santoso ialah

hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional, antara lain:

a. Hak Bangsa Indonesia atas tanah;

b. Hak Menguasai dari Negara atas tanah;

c. Hak Ulayat masyarakat hukum adat;

d. Hak perseorangan atas tanah, meliputi:

1) Hak-hak atas tanah

2) Wakaf tanah hak milik

3) Hak tanggungan

4) Hak milik atas satuan rumah susun

Masing-masing hak penguasaan atas tanah dalam hierarki tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a. Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah

Pasal 33 Ayat (3) UUD 45 menyatakan “Bumi dan Air dan kekayaan

Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hak Bangsa

Indonesia atas tanah ini merupakan hak penguasaan atas tanah tertinggi

dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara. Hak Bangsa

Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik artinya semua tanah

yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah bersama rakyat


105

Indonesia yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1)

UUPA. Selain itu juga mempunyai sifat religious yang artinya

merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA).

b. Hak Menguasai dari Negara Atas Tanah

Hak menguasai dari negara atas tanah bersumber pada Hak Bangsa

Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan tugas

kewenangan bangsa yang mengandung unsur public. Tugas mengelola

seluruh tanah bersama tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh

Bangsa Indonesia, maka dalam pelaksanaannya Bangsa Indonesia

sebagai pemegang hak dan pengemban amanat tersebut, pada tingkatan

tertinggi dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 Ayat (1) UUPA).

c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 3

UUPA yaitu dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 Pelaksanaan

hak-hak ulayat dan pelaksanaan hak-hak serupa itu dari masyarakat-

masyarakat hukum adat, menurut kenyataannya masih ada harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara,

yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan


106

dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Hak

ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan

kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah

yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

d. Hak perseorangan Atas Tanah

Hak perseorangan atas tanah adalah ha katas tanah sebagai hak

individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung

bersumber pada hak bangsa (Pasal 16 dan 51 UUPA), ha katas tanah

ditentukan berdasarkan :

a) Pasal 16 UUPA:

(1) Hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh perseorangan itu meliputi:

(a) Hak Milik

(b) Hak Guna Usaha

(c) Hak Guna Bangunan

(d) Hak Pakai

(e) Hak Sewa

(f) Hak Membuka Tanah

(g) Hak Memungut Hasil Hutan


107

(h) Hak-hak lain termasuk dalam hak-hak tersebut diatas akan

ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya

sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.

(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam

PAsal 4 ayat (3) adalah:

(a) Hak Guna Air

(b) Hak Pemeliharaan dan Penangkapan ikan

(c) Hak guna ruang angkasa

b) Pasal 49, ayat (3) UUPA tentang Wakaf yaitu hak milik yang sudah

diwakafkan.

c) Hak Jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan dalam Pasal 25,

Pasal 33, Pasal 39, dan Pasal 51 UUPA

2. Proses Terjadinya Penguasaan Tanah Wakaf Oleh Pihak Ketiga

Sampai saat ini penguasaan hak atas tanah sering menimbulkan konflik baik

secara vertical maupun horizontal. Konflik di bidang penguasaan hak atas tanah ini

dapat disebabkan karena beberapa faktor seperti adanya perubahan pola pikir

masyarakat dari komunal menuji individualistic, dari sosial religious menuju sekuler

individual juga adanya perubahan pemaknaan konsep penguasaan menuju

kepemilikan.
108

Menurut Teori Hak Kepemilikan Menurut Hukum Islam yang dinyatakan oleh

Abdul Ghofur Anshori, hak milik dalam pandangan hukum islam dibedakan menjadi

hak milik sempurna yaitu kepemilikan yang meliputi penguasaan terhadap bendanya

dan manfaat benda secara keseluruhan, hak milik yang kurang sempurna yaitu

kepemilikan tersebut hanya meliputi bendanya saja atau manfaatnya saja.

Seseorang mempunyai hak milik menurut Hukum Islam, dapat diperoleh

dengan cara-cara:135

(1) Sebagai ihrazul muhabat (memiliki benda yang boleh dimiliki), benda yang

dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan adalah benda yang bukan

menjadi milik orang lain, dan bukan benda yang dilarang hukum agama.

(2) Sebab al uqud (akad), perikatan dalam lapangan hukum harta kekayaan

antara dua orang atau lebih, memberi hak kepada yang lain untuk menuntut

barang sesuatu.

(a) Perbuatan hukum sepihak, seperti hibah, wasiat;

(b) Perbuatan hukum dua pihak seperti wakaf, jual beli, sewa.

(c) Sebab al khalafiyah (pewarisan), seseorang memperoleh hak milik

disebabkan karena menempati tempat orang lain.

135
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2006), hlm.
135
109

(d) Sebab attawalludu minal mmluk (beranak pinak), segala yang lahir dari

benda yang dimiliki merupakan hak bagi pemilik barang atau benda

tersebut.

Berdasarkan uraian diatas hak milik suatu benda dapat diperoleh dengan cara

ihrazul muhabat memiliki benda yang boleh dimiliki, sebab al-uqud dengan cara akad,

sebab al-khalafiyah dengan cara pewarisan dan attawalludu minal mmluk (beranak

pinak). Wakaf adalah salah satu cara untuk mendapatkan hak milik dengan cara akad,

wakaf yang baik ialah wakaf yang memenuhi syarat dan unsur yang telah tercantum

dalam peraturan perundang-undangan berlaku.

Hak kepemilikan menurut Jhon Locke terdapat dua fakta hakekat milik yaitu

pertama, bahwa milik adalah suatu hak dalam artian klain yang dapat dipaksakan.

Kedua, meskipun bersifat klain yang dapat dipaksakan tergantung pada keyakinan

suatu masyarakat bahwa itu adalah hak moral.136

Menurut Aristoteles terdapat dua macam sistem milik sebagai penjabaran dari

ulasan Jhon Locke yaitu (1) Bahwa semua barang dimiliki secara bersama, (2) secara

perorangan, diluar dua sistem itu disebutkan pula sistem campuran yang menyatakan

136
Jhon Locke, Perwakafan Tanah Ulayat Untuk Kesejahteraan Sosial di Sumbar.( Disertasi
Doktor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Andalas, 2017), hlm. 25-26
110

bahwa tanah adalah hak milik umum, tetapi hasil pertanian adalah milik pribadi. Bila

hasil pertanian adalah milik umum, tanahnya adalah milik pribadi.137

Konsep hak milik dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok

Agraria menggambarkan bentuk kepemilikan atas tanah secara turun temurun, terkuat

dan terpenuhi dalam kepemilikan atas tanah, sarat dengan nilai-nilai sosial. Semua hak

tanah memiliki fungsi sosial.

Pada pembahasan sub ini penguasaan tanah wakaf yang dilakukan oleh pihak

ketiga, berdasarkan teori kepemilikan hukum Islam yang dinyatakan oleh Abdul

Ghofur Anshori Wakaf memperoleh hak milik dengan cara Al-Uqud atau akad,

terdapat perbuatan hukum dua pihak di dalamnya.

Menurut Boedi Harsono dalam hubungannya dengan penguasaan atas tanah

menyatakan, bahwa konsep penguasaan dapat dipakai dalam arti fisik, dan dalam arti

yuridis. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi hukum dan umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang

dihaki. Namun dalam kenyataannya penguasaan tanah fisiknya dapat dilakukan pihak

lain seperti menyewa atau jika tanah itu dikuasai secara fisik pihak lain tanpa hak, maka

pemilik tanah berdasar hak penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya

kembali tanah dimaksud secara fisik kepadanya.

137
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama), hlm. 188
111

Hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan

atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai yang dihaki.

Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat yang merupakan isi hak itu.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa penguasaan ada dua unsur yang harus

dipenuhi yaitu: Pertama, adanya kenyataan bahwa subjek menguasai atau

menggunakan objek dimaksud dan Kedua adanya sikap batin bahwa subjek dimaksud

memang punya keinginan untuk menguasai atau menggunakan objeknya.

Konsekuensinya pemegang kedudukan berkuasa mempunyai suatu hak untuk

mempertahankan, menikmati, memanfaatkan, dan mendayagunakan benda yang ada

dalam penguasaannya dengan tidak meninggalkan kewajibannya.

Penguasaan tanah wakaf oleh pihak ketiga adalah salah satu masalah yang

sering terjadi di masyarakat. pihak ketiga yang melakukan penguasaan biasanya

mengklaim secara paksa bahwa tanah wakaf tersebut adalah hak miliknya. Machperson

menyatakan bahwa milik dirumuskan sebagai suatu hak yang dapat berlaku baik bagi

tanah, atau untuk harta benda perseorangan yang ada. Memiliki suatu pemilikan adalah

hak, artinya suatu klaim yang bersifat memaksa terhadap sesuatu kegunaan atau

manfaat sesuatu baik itu hak untuk menikmati sumber umum maupun suatu hak

perseorangan atas harta benda tertentu. Jadi yang membedakan antara harta milik

dengan sekedar pemilikan sementara adalah bahwa milik itu merupakan klaim yang
112

dapat dipaksakan oleh masyarakat atau negara, oleh adat, kesepakatan atau hukum.138

Sedangkan konsep milik menurut Panesar bahwa konsep milik atau pemilikan lebih

menunjuk pada hak daripada bendanya, yaitu yang diungkapkan dengan istilah

“Property in legal term, therefore means a right to thung rather than the things itself”,

dengan demikian milik atau pemilikan bukan hanya sekedar hubungan antara

seseorang atau badan hukum dengan benda atau barang yang mempunyai nilai yang

secara hukum dapat dikuasai tetapi hubungan hukum memperoleh apa yang disebut

hak. Jadi kosenpnya bahwa dalam pemilikan terkandung makna penguasaan di

dalamnya, sedangkan dalam penguasaan belum tentu terkandung makna pemilikan.

Proses penguasaan tanah wakaf oleh pihak ketiga dalam Putusan Pengadilan

Agama Kediri Nomor 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr. Jadi pada tahun 1970 Rosyidi sebagai

takmir yang merupakan menantu H. Imam Mukti menerima amanah wakif, selama

Rosyidi menjadi takmir tidak mengubah peruntukan tanah wakaf tersebut.

Sepeninggalam Rosyidi anak sulung nya mendirikan tembok permanen di sebagian

objek sengketa tanpa musyawarah telah diperingatkan oleh keluarga besar H. Imam

Mukti (wakif) akan tetapi Badrun tidak menanggapinya.

138
C.B Macoherson, Property Mainstream and critical Positions. Pemikiran Dasar tentang
Hak Milik. (Jakarta: Terjemahan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, 1989),
hlm. 3
113

Pertama, masalah interest atau needs yaitu kebutuhan. Akibat kebutuhan pihak

ketiga mendirikan bangunan diatas tanah wakaf tersebut. Karena sebidang tanah kering

yang masih kosong belum di bangun madrasah.

Kedua pengklaiman. pihak ketiga yang melakukan penguasaan biasanya

mengklaim secara paksa bahwa tanah wakaf tersebut adalah hak miliknya. Machperson

menyatakan bahwa milik dirumuskan sebagai suatu hak yang dapat berlaku baik bagi

tanah, atau untuk harta benda perseorangan yang ada. Memiliki suatu pemilikan adalah

hak, artinya suatu klaim yang bersifat memaksa terhadap sesuatu kegunaan atau

manfaat sesuatu baik itu hak untuk menikmati sumber umum maupun suatu hak

perseorangan atas harta benda tertentu. Dengan mengklaim tanah wakaf tersebut milik

ahli warisnya maka mereka mendirikan bangunan diatas tanah wakaf tersebut.

Ketiga, masalah relationship yang merupakan salah satu faktor terpenting

karena mempengaruhi sengketa wakaf yang terjadi, karena hubungan kekeluargaan

telah memicu anggapan dari pihak ahli waris bahwa tanah yang sudah diwakafkan

adalah tanah warisan dari orang tuanya.

Keempat, kurangnya pengawasan nazir terhadap tanah wakaf. Seharusnya

ketika permasalahan terjadi nazir selaku pengelola tanah wakaf menyelesaikan

permasalahan itu. terlihat tidak ada kejelasan dan kepengurusan nazir yang membuat

tanah wakaf akhirnya dikuasai oleh pihak ketiga.


114

B. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama Kediri

Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr Dalam Rangka Penyelesaian Sengketa

Tanah Wakaf yang Dikuasai oleh Pihak Ketiga Telah Sesuai Ketentuan

Hukum yang Berkeadilan, Berkemanfaatan, dan Berkepastian Hukum.

1. Kasus Posisi Perkara

Tentang Duduk Perkara

Bahwa, para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi dalam syrat gugatannya


bertanggal 7 Juli 2019 telah mengajukan perkara sengketa wakaf dan telah terdaftar di
kepaniteraan Pengadilan Agama Kediri dengan Nomor Register:
0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr tanggal 8 Juli 2019 dengan alas an-alasan berikut :
1. Bahwa dahulu sekitar tahun 1935, di Dusun Ngembak Kulon RT.06 RW.
01 Kelurahan Gayam, Mojoroto Kediri hiduplah seorang lelaki bernama H.
Imam Mukti yang menikah sah dengan seorang perempuan bernama Umi
Kultsum;
2. Bahwa dari pernikahan sah H. Imam Mukti dengan Umi Kultsum , lahirlah
4 (empat) orang anak kandung, yang bernama:
- Tafsir bin H. Imam Mukti
- Moebin bin H. Imam Mukti (Kakek Buyur Penggugat I)
- Masringah binti H. Imam Mukti (Tidak memiliki keturunan)
- Bitah binti H. Imam Mukti ( Nenek Penggugat II,Tergugat II)
3. Bahwa selanjutnya sekitar tahun 1940 semasa hidup H. Imam Mukti dengan
diketahui oleh istri dan keempat orang anak kandungnya, mengikrarkan
wakaf terhadap dua harta wakaf, yang juga terletak di Dusun Ngembak
Kulon RT. 06 RW. 01 Kelurahan Gayam, Mojoroto Kediri, yaitu:
a. Sebuah bangunan mushalla yang diberi nama Ash Shabawi (nama kecil
H. Imam Mukti);
b. Sebidang Tanah Kering/Darat kosong di halaman mushalla, untuk
dijadikan madrasah di masa mendatang;
4. Bahwa sejak H.Imam Mukti selaku wakif berikrar wakaf terhadap dua harta
wakaf sebagaimana posita gugatan angka 3 (tiga) diatas, seluruh keluarga
wakif menjaga kedua harta tersebut karena telah dilepaskan
115

kepemilikannya oleh wakif untuk selama-lamanya sebagai harta Allah


SWT untuk kepentingan Agama Islam;
5. Bahwa walaupun pada saat itu (sekitar tahun 1940) belum diterbitkan
peraturan perundang-undangan apapun tentang wakaf, ikrar wakaf yang
dilakukan oleh H. Mukti selaku waif adalah sah dan dibenarkan menurut
hukum bahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat
hukum setelahnya, yaitu:
a. Syarat H. Imam Mukti selaku wakif telah terpenuhi, karena telah
dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum
dan sebagai penguasa penuh atas harta tak bergerak miliknya sendiri
sebelum diwakafkan (UU 41 Tahun 2004 Pasal 8 Ayat 1 juncto PP
Np. 42 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 2);
b. H. Imam Mukti mengikrarkan 2(dua) harta wakaf yang berupa
sebuah bangunan mushalla dan sebidang Tanah Kering/Darat
kosong di halaman mushalla (harta tak bergerak), yang disepakati,
disaksikan oleh istri dan seluruh keluarganya sebagai harta Allah
untuk selama-lamanya (KHI Pasal 215 ayat 1,2,3,4,5, Pasal 217
Ayat 3 juncto UU 41 tahun 2004 Pasal 16 Ayat 1a,2a,20 juncto PP
No. 42 Tahun 2006 Pasal 1 ayat 1,2,3,4);
c. Unsur/Rukun wakaf sesuai UU Wakaf No 41 Tahun 2004 Pasal 6
telah terpenuhi yaitu:
1) Adanya wakif (H Imam Mukti);
2) Adanya Nazhir (seluruh keluarga H. Imam Mukti yang
mengelola harta wakaf);
3) Adanya harta benda wakaf (sebuah bangunan mushalla
dan sebidang tanah kering/ darat kosong di halaman
mushalla);
4) Adanya Ikrar Wakaf (H. Imam Mukti berikrar wakaf
terhadap dua harta tak bergerak miliknya dan disepakati
seluruh keluarganya;
5) Peruntukan harta wakaf yang jelas (sebuah bangunan
mushalla untuk beribadah dan sebidang tanah kering/darat
kosong di halaman mushalla untuk dijadikan madrasah di
masa mendatang);
6) Jangka waktu wakaf yang jelas (selama-lamanya untuk
kepentingan Agama Islam;
d. Seluruh keluarga wakif yang tetap menjaga amanah wakif terhadap
harta wakaf sesuai dengan amanah wakif juga telah sesuai dengan
UU wakaf no tahun 2004 Pasal 3 bahwa wakaf yang telah diikrarkan
tidak bisa dibatalkan;
6. Bahwa selanjutnya H. Imam Mukti meninggal dunia, lalu istrina yang
bernama Umi Kultsum juga meninggal dunia, sehingga keempat anak
kandung H.Imam Mukti (wakif) membagi harta waris yang ditinggalkan H.
116

Imam Mukti dan Umi Kultsum, tanpa membagi kedua harta wakaf yang
telah diikrarkan wakaf oleh H. Imam Mukti yaitu:
a. Sebuah bangunan mushalla yang diberi nama Ash Shabawi (nama
kecil H. Imam Mukti);
b. Sebidang tanah kering/darat kosong di halaman mushalla, untuk
dijadikan madrasah mendatang;
7. Bahwa walaupun tidak ikut dibagi sebagai harta waris, data yuridis kedua
harta wakaf yang telah diikrarkan wakaf oleh H. Imam Mukti tertulis atas
nama 2 (dua) orang anak kandungnya, untuk pembayaran IPEDA (iuran
pembangunan daerah) yaitu:
a. Sebuah bangunan mushalla yang diberi nama Ash Shabawi (nama kecil
H. Imam Mukti) tertulis atas nama Bitah (anak terakhir wakif) dalam
Letter C no kohir 104, persil 2a, kelas d.I (bukti P-1)
b. Sebidang tanah kering/darat kosong di halaman mushalla yang untuk
dijadikan madrasah di masa mendatang, tertulis atas nama Moebin
(anak kedua wakif) dalam letter C nomor kohir 234, nomor persil 2,
kelas desa II (bukti P-2) dengan posisi tanah hak Moebin berada di
sebelah timur tanah hak Bitah, dan memiliki batas yang lurus;
8. Bahwa harta wakaf peninggalan H. Imam Mukti (wakif) yang berupa
bangunan mushalla bernama Ash Shabawi (nama kecil H. Imam Mukti) dan
persil 2a, kelas desa d.I sampai saat ini tidak ada masalah apapun karena
masih berfungsi sebagai mushalla untuk beribadah kepada Allah SWT,
sehingga Para Penggugat tidak akan menguraikannya lebih lanjut dalam
gugatan aquo;
9. Bahwa harta wakaf peninggalan H. Imam Mukti (wakif) yang berupa
sebidang Tanah Kering/ Darat kosong di halaman mushalla untuk dijadikan
madrasah di masa mendatang, tertulis atas nama Moebin (anak kedua
wakif) dalam letter C nomor kohir 234, nomor persil 2, kelas desa d II inilah
yang menjadi objek sengketa dalam perkara aquo, sehingga para penggugat
akan menguraikannya secara detil, yaitu seluas 342 M2 / 24 Ru, dengan
batas-batas:
a) Utara : tanah Hak Moebin (tertulis atas nama Moebin dalam
Letter C no 234)
b) Timur: Tanah hak Moebin ( tertulis atas nama Moebin dalam
Letter C no 234)
c) Selatan : Jalan Umum/ Jalan aspal
d) Barat : Jalan pertolongan (tertulis atas nama Bitah dalam
Letter C no 104)
Yang terletak di Dusun Ngembak Kulon RT. 06 RW.01 Kelurahan
Gayam, Mojoroto Kediri untuk selanjutnya disebut OBJEK
SENGKETA;
117

10. Bahwa sepeninggalan H. Imam Mukti, Moebin bin H. Imam Mukti sebagai
anak kedua wakif, menjadi takmir pertama mushalla ash-shabawi tanpa
mengubah status Objek Sengketa sebagai tanah wakaf darat H. Imam Mukti
dan masih berupa tanah kosong untuk dibangun madrasah dimasa
mendatang, sesuai amanah wakif;
11. Bahwa selanjutnya Moebin bin H. Imam Mukti meninggal, lalu takmir
kedua mushalla ash shabawi adalah adik ipar Moebin bin H. Imam Mukti
yang bernama Rosyidi (suami sah bitah binti H. Mukti) Rosyidi selaku
takmir juga tidak mengubah status objek sengketa sebagai tanah wakaf
darat H. Imam Mukti dan masing berupa tanah kosong untuk dibangun
madrasah dimasa mendatang, sesuai amanah wakif;
12. Bahwa setelah Rosyidi meninggal dunia, sekitar tahun 1970 Badrun (anak
sulung Rosyidi dan Bitah) mulai mendirikan rumah tembok permanen
seluas sekitar 142 M2 diatas sebagian objek sengketa aquo secara sepihak,
tanpa melalui musyawarah sehingga diperingatkan oleh seluruh keluarga
besar H. Imam Mukti (wakif) namun Badrun tidak pernah menanggapi
sebagaimana mestinya;
13. Bahwa Badrun tetap melanjutkan pembangunan rumah tembok permanen
diatas sebagaian objek sengketa namun tetap mengakui bahwa rumahnya
berada diatas tanah wakaf darat/kering yang telah diikrarkan wakaf oleh
H.Imam Mukti (wakif) dan tertulis atas nama Moebin (anak kedua wakif)
dalam letter C nomor kohir 234, nomor persil 2, kelas desa d II;
14. Bahwa seiring berkembangnya waktu, pada tahun 1991, Tergugat II
menjabat sebagai sekretaris nazhir mushalla ash shabawi dan Penggugat II
menjabat sebagai bendahara nazhir ash shabawi;
15. Bahwa pada tahun 1991, Tergugat II melakukan perbuatan melawan hukum
yaitu dengan tanpa sepengetahuan nazhir lain, bahkan menggunakan nama
Penggugat II sebagai bendahara nazhir yang lain, telah memalsukan tanda
tangan dari ahli waris Moebin yang bernama H. Achmad Zainal Abidin.
B.A., (anak kandung Moebin) dan Drs. Ali Hasan (cucu kandung Moebin)
sebagai pemilik-pemilik tanah bersebrangan dalam Berita Acara
Pemasangan Tugu Batas (bukti P-5) untuk dasar pengajuan Akta Pengganti
Akta Ikrar Wakaf nomor W3/55/02 tahun 1992 atas nama BAdrun (bukti P-
6) yang diterbitkan oleh Turut Tergugat I, sehingga Akta Pengganti Akkta
Ikrar Wakaf nomor W3/55/02 tahun 2001 atas nama BAdrun aquo patut dan
layak untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum;
16. Bahwa selanjutnya, masih di tahun 1991 Tergugat II menggunakan Akta
Pengganti Akta Ikrar Wakaf Nomor W3/55/02 tahun 1991 atas nama
BAdrun (bukti P-6) yang diterbitkan oleh Turut /tergugat I, untuk
mengajukan SHM Wakaf no 304 atas nama Bitah Desa Gayam, gambar
situasi no 1742, tanggal 22-11-1991 seluas 258 M2 ( bukti P-7) yang
diterbitkan SHM wakaf no 304 atas nama Bitah gambar situasi no 1742,
118

tanggal 22-11-1991, seluas 258 M2 aquo juga patut dan layak untuk
dinyatakan tidak berkekuatan hukum;
17. Bahwa PMH yang dilakukan oleh Tergugat II sebagaimana telah terurai
dalam posita gugatan angka 15 dan 16 diatas, juga telah mengubah 4 unsur
wakaf sebagaimana UU Wakaf No 41 Tahun 2004 Pasal 6 yaitu:
a. Bahwa wakif pengikrar wakaf yang awalnya H. Imam Mukti berubah
menjadi Bitah yang diikrarkan oleh Badrun
b. Nazhir lain tidak ada yang mengetahui tipu daya ini, sehingga
Penggugat II yang saat itu (1991) menjabat sebagai bendahara nazhir
juga menggugat dalam perkara aquo
c. Harta wakaf yang awalnya ada dua (sebuah bangunan mushalla dan
sebidang Tanah Kering/Darat kosong di halaman mushalla), menjadi
tinggal satu (sebuah bangunan mushalla)
d. Pengucap ikrar wakaf berubah menajdi Badrun, padahal Badrun adalah
Penyerobot Objek Sengketa yang merupakan harta wakaf peninggalan
H. Imam Mukti yang tertulis atas nama Moebin.
Sehingga unsur/rukun wakaf dari H. Imam Mukti (wakif) yang awalnya
telah terpenuhi, menjadi tidak terpenuhi karena tipu daya Tergugat II
menerbitkan SHM Wakaf no 304 atas nama Bitah Desa Gayam gambar
situasi no 1742. Tgl 22-11-1991 seluas 258 M2 (bukti P-7) melalui Turut
Tergugat II dan sudah sepatutnya bahwa SHM wakaf no 304 atas nama
Bitah gambar situasi no 1742, tgl 22-11-1991, seluas 258 M2 aquo juga
patut dan layak untuk dinyatakan tidak berkekuatan hukum.
18. Bahwa objek sengketa yang merupakan tanah wakaf darat H. Mukti seluas
342 M2 aquo, sampai saat ini masih tertulis sebagai hak milik Moebin
(kakek buyut Penggugat I) sesuai dengan Letter C nomor Kohir 234 nomor
persil 2, kelas d II, hal inilah yang membuat Tergugat II memalsukan
tandatangan kedua ahli waris Moebin untuk mengajukan SHM Wakaf no
304 atas nama Bitah Desa Gayam gambar situasi no 1742 tgl 22-11-1991
seluas 258 M2 (bukti P-7) yang diterbitkan oleh Turut Tergugat II, secara
sembunyi-sembunyi.
19. Bahwa pada tahun 1994 Tergugat I menjadi menantu Badrun karena
menikahi adik kandung Tergugat II yang bernama Badriyah, namun
Tergugat I tidaklah mengetahui bahwa rumah Badrun berdiri diatas objek
sengketa yang merupakan tanah wakaf darat H. Mukti seluas 342 M2 aquo
dan masih tertulis atas nama Moebin.
20. Bahwa mulai tahun 216, Tergugat I yang didukung oleh Tergugat II secara
terang-terangan mengakui bahwa seluruh Objek Sengketa seluas 342 M2
adalah miliknya beserta keluarganya, padahal hamper seluruh keluarga
besar wakif mengetahui bahwa Objek Sengketa aquo adalah tanah wakaf
darat/kering H. Mukti yang tertulis atas nama Moebin dalam Letter C 234.
119

21. Bahwa komulasi PMH para Tergugat sebagaimana posita gugatan angka 15
s.d 20 diatas telah mengubah seluruh unsru/hukum wakaf sebagaimana UU
wakaf no 41 tahun 2004 Pasal 6 yaitu :
a. Bahwa wakif pengikrar wakaf yang awalnya H. Imam Mukti berubah
menjadi bitah yang diikrarikan oleh Badrun
b. NAzhur lain tidak ada yang mengetahui tipu daya Tergugat II dalam
penerbitan SHM wakaf 304 atas nama Bitah sehingga Penggugat II
yang saat itu (1991) menjabat sebagai bendahara nazhir juga menggugat
dalam perkara aquo
c. Harta wakif yang awalnya ada dua (sebuah bangunan mushalla dan
sebidang tanah kering/darat kosong di halaman mushalla) menjadi
tinggal satu (sebuah bangunan mushalla).
d. Pengucao ikrar wakaf berubah menjadi Badrun, padahal Badrun adalah
penyerobot objek sengketa yang merupakan harta wakaf peninggalan H.
Imam Mukti dan tertulis atas nama Moebin.
e. Peruntukkan objek sengketa selaku tanah wakaf untuk dibangun
madrasah di masa mendatang, berubah menjadi dikuasai oleh Tergugat
I sebagai hak milik pribadi beserta keluarganya.
f. Jangka waktu wakaf yang awalnya selama-lamanya untuk kepentingan
Agama Islam, berubah menjadi untuk kepentingan pribadi Tergugat I.
sekeluarga.
Sehingga unsur/rukun wakaf H. Imam Mukti (wakif) yang awalnya
terpenuhi, menjadi tidak terpenuhi dan berubah secara keseluruhan dari
ikrar yang semula diucapkan oleh wakif karena PMH yang dilakukan oleh
para Tergugat, sehingga patutlah para Tergugat untuk mengembalikan
Objek Sengketa sebagai tanah wakaf sebagaimana yang telah diikrarkan
oleh H. Imam Mukti (wakif) dengan cara membongkar seluruh bangunan
dan memotong seluruh tanaman sehingga keadaan tanah menjadi kosong
dan baik.
22. Bahwa upaya-upaya persiasif telah ditempuh oleh pihak-pihak keluarga,
namun tidak pernah dihiraukan oleh Para Penggugat, bahkan Tergugat I
memasang pagar di sebelah selatan Objek sengketa dan tetap mengakui
bahwa Objek Sengketa adalah hak milik Tergugat I beserta keluarganya.
23. Bahwa perbuatan para Tergugat yang tetap menguasai Objek Sengketa yang
merupakan tanah wakaf H. Imam Mukti merupakan pelanggaran terhadap
UU no. 41 2004 Pasal 40 yang melarang harta benda yang sudah
diwakafkan untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan,
ditukar, atau dialihkan.
24. Bahwa sekitar bulan September 2016, Para Penggugat menemukan salinan
dari sertifikat HM wakaf no 304 atas nama Bitah Seluas 258 M2 yang
diterbitkan oleh Turut Tergugat II dan para Penggugat juga menyadari
bahwa SHM aquo salah, dan tetap meminta penyerahan objek sengketa
yang berupa tanah wakaf darat/kering yang telah diikrarkan wakaf oleh H.
120

Imam Mukti dari para Tergugat secara kekeluargaan, namun tidak pernah
dihiraukan oleh Para Tergugat.
25. Bahwa selanjutnya pada tanggal 29 Maret 2017, Para Penggugat menggugat
Para Tergugat di PA Kota Kediri dengan nomor perkara 224/Pdt
G/201/PA.Kdr yang akhirnya judex factie menyatakan Para Penggugat
mampu untuk membuktikan seluruh dalil-dalil gugatannya, dan pada
akhirnya pada tanggal 1 Februari 2018 dalam amar putusannya Para
Penggugat dinyatakan menang, sehingga para Tergugat harus
mengembalikan objek sengketa sebagai tanah wakaf.
26. Bahwa kemudian para Terguat mengajukan banding di PTA Surabaya
dengan nomor perkara 145/Pdt.G/2018/PTA.Sby tertanggal 6 Juni 2018
yang dalam amar putusannya judex factie menguatkan amar putusan PA
Kota Kediri dengan mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk
seluruhnya.
27. Bahwa kemudian para Tergugat mengajukan kasasi di MA dengan nomor
perkara 75/K/AG/2019 yang dalam amarnya judex juris membatalkan
putusan PTA Surabaya juncto putusan PA Kediri, karena Para PEnggugat
tidak menguraikan tidak sahnya wakaf, syarat wakaf, rukun wakaf,
sehingga gugatan Para Penggugat dinilai kabur (obscuur) sehingga
dinyatakan tidak dapat diterima (niet otvankelijke veklaard)
28. Bahwa karena penyebab gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet
otvankelijke veklaard) adalah karena mengandung cacat formil gugatan
kabur (obscuur liebel) yang tidak menguraikan syarat dan rukun wakaf
dalam perkara aquo, maka para Penggugat memperbaiki gugatannya
sebagai pertimbangan Judex Juris, menguraikannya dalam posita Gugatan
angka 5,15,16,17,21 dan mengajukan gugatan aquo di PA kota Kediri yang
memiliki kewenangan absolut dan relative dalam memeriksa perkara aquo.
29. Bahwa para penggugat memiliki hak dan kapasitas penuh (legal standing)
untuk menggugat Para Tergugat karena dalam perkara yang berhubungan
dengan harta wakaf peninggalan H.Imam Mukti. Siapapun seluruh
keturunan wakif berkapasitas untuk menggugat terhadap sesame
keturunannya maupun orang lain yang dianggap merugikan atau
menghilangkan hak-hak harta wakaf yang telah diikrarkan oleh wakif,
sebagai harta Allah SWT untuk kepentingan Islam, terbebas dan terlepas
dari penguasaan siapapun untuk selama-lamanya.
30. Bahwa para penggugat tidak sedikitpun khawatir akan dipindah
tangankannyan objek sengketa oleh para Tergugat, karena Para Penggugat
menyakini Allah SWT akan melindungi para Penggugat dalam upaya-
upaya pengembalian hartaNya, sehingga Para Penggugat tidak perlu
mengajukan peletakan sita jaminan (conservatoir beslag) dalam perkara
aquo.
121

Berdasarkan alas an-alasan tersebut diatas, dengan telah lengkapna para pihak
selaku subjek hukum, hak dan kapasitas penuh yang dimiliki oleh Penggugat
untuk menggugat (legal standing judicio), berdasarkan posita yang terang-
benderang (duidelijk), tidak kabur (obscuur), dan telah tepat (radelijk) dalam
mengajukan gugatan terhadap Para Tergugat dan para Turut Tergugat.
Maka dengan segala kerendahan hati, Para Penggugat memohon kepada ketua
Pengadilan Agama Kota Kediri c.q majelis hakim/judex facti yang memeriksa
dan mengadili perkara aquo supaya berkenan menjatuhkan amar putusan
(petitum) yang berbunyi sebagai berikut:
A. PRIMAIR
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya
2. Menyatakan sah dan berharga seluruh alat bukti Para Penggugat dalam
perkara Aquo.
3. Menyatakan bahwa perbuatan Tergugat II, yang memanipulasi dan
memalsukan tanda tangan ahli waris Moebin yang bernama H. Achmad
Zainal Abidin B.A dan Drs. Ali Hasan, dalam dokumen Berita Acara
Pemasangan Tugu-Tugu Batas serta surat-surat lain untuk proses
penerbitan SHM wakaf nomor 304 atas nama Bitah adalah Perbuatan
Melawan Hukum.
4. Menyatakan bahwa Akta Penggati Akta Ikrar Wakaf nomor W3/55/02
tahun 1991 atas nama Badrun, tertanggal 16 Maret 1991 yang diterbitkan
oleh Turut Tergugat I adalah tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak
dapat menimbulkan akibat hukum.
5. Menyatakan bahwa SHM wakaf no 304 atas nama Bitah , desa Gayam,
gambar situasi no 1742, tgl 22-11-1991 seluas 258 M2 yang diterbitkan
oleh Turut Tergugat II adalah tidak memiliki kekuatan hukum.
6. Menyatakan perbuatan Tergugat I beserta keluarganya yang menguasai
objek sengketa berupa tanah wakaf darat H. Imam Mukti seluas 342 M2
yang tertulis atas nama Moebin dalam Letter C no kohir 234, no persil 2
kelas d II sebagai hak milik pribadi adalah perbuatan melawan hukum.
7. Menghukum Para Tergugat untuk membongkar semua bangunan dan
memotong semua tanaman diatas objek sengketa seluas 342M2 / 24 Ru,
yang telah diikrarkan wakaf oleh H. Imam Mukti (tertulis atas nama
Moebin dala
8. m Letter C nomor Kohir 234 persil 2 kelas d II), di Kota Kediri dengan
batas-batas:
Utara : Tanah hak Moebin (tertulis atas nama Moebin dalam Letter C
no 234)
Timur : Tanah hak Moebin (tertulis atas nama Moebin dalam Letter C
no 234)
Selatan : Jalan Umum/ Jalan Aspal
122

Barat : Jalan pertolongan (tertulis atas nama Bitah dalam Letter C no


104)
Sehingga keadaan Objek Sengketa menjadi kosong dan baik, untuk diserahkan
kepada Para PEnggugat guna dibebaskan sebagai tanah wakaf sesuai amanat H.
Imam Mukti.
9. Memerintahkan kepada Turut Tergugat I dan Turut Tergugat II untuk
tunduk dalam melaksanakan isi putusan tanpa syarat dan keberatan apapun.
10. Menyatakan bahwa putusan ini serta merta (Uitvourbaar bij Voorad),
sebagaimana diatur Pasal 180 Ayat (1) HIR, 191 ayat (1) Rbg, walaupun
ada upaya hukum (banding, verzet, kasasi).
11. Memberikan semua biaya yang timbul dalam perkara ini kepada Para
Tergugat.

2. Pertimbangan Hukum Hakim

Sebelum melakukan analisis pertimbangan hukum hakim dalam Putusan

Pengadilan Agama Kediri Nomor 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr, akan diuraikan mengenai

pertimbangan hukum hakim sebagai berikut ini:

Tentang Pertimbangan Hukum


Dalam Eksepsi:
“Menimbang, bahwa para Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi dalam
jawabannya mengajukan eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi berupa:
eksepsi gugatan salah pihak (error in persona), eksepsi gugatan kurang pihak
(Plurium Litis Consortium) dan Eksepsi Nebis in Idem;
“Menimbang, terhadap eksepsi para Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi
tersebut Majelis Hakim akan mempertimbangkan satu per satu sebagai berikut:
Eksepsi Gugatan Salah Pihak (Error In Persona)
“Menimbang, bahwa gugatan Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi I
mendalilkan bahwa gugatan para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi
salah pihak, karena menarik Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi I sebagai
pihak sedangkan Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi I hanyalah anak
menantu dari alm. Badrun bukan sebagai ahli waris dari Badrun;
123

Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis Hakim akan mempertimbangkan


sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam perkara ini para penggugat Konvensi/Tergugat
Rekovensi mengajukan perkara gugatan sengketa wakaf bukan perkera
sengketa waris dan para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi mendalilkan
bahwa obyek sengketa a quo sekarang dikuasai oleh Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekovensi I. Dengan demikian, maka eksepsi tentang
Error in Persona yang diajukan Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi I
tersebut tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak;
Eksepsi Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium)
“Menimbang, bahwa Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi II mendalilkan
bahwa gugatan para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi kurang pihak,
karena para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi hanya menarik Tergugat
Konvensi/Tergugat Rekovensi II sebagai pihak sedangkan saudara-saudara
Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi II yang lain tidak ditarik sebagai
pihak, padahal Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi II mempunyai 6
(enam) saudara kandung yang kesemuanya adalah ahli waris dari Badrun;
Menimbang, bahwa dalam hal ini Majelis Hakim akan mempertimbangkan
sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dalam perkara ini Para Tergugat Konvensi/Rekovensi
mengajukan perkara gugatan sengketa wakaf bukan perkara sengketa waris dan
Para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi mendalilkan bahwa Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekovensi II pada tahun 1991 telah memalsukan tanda
tangan pemilik tanah yang bersebelahan dengan obyek sengketa untuk
mengajukan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf. Dengan demikian, maka
eksepsi tentang gugatan kurang pihak (Plurium Litis Consortium) yang
diajukan oleh Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi II tersebut tidak
beralasan dan harus dinyatakan ditolak.
Eksepsi Gugatan Nebis In Idem:
“Menimbang, bahwa para Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi
mendalilkan bahwa gugatan Para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi
baik pihak maupun obyek sengketanya sama dengan perkara yang telah diputus
oleh Mahkamah Agung RI Nomor 75 K/Ag/2019, tanggal 12 Februari 2019 dan
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan demikian maka gugatan para
Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi tersebut Nebis In Idem;”
124

“Menimbang, bahwa Pasal 1917 KUH Perdata mengatur tentang Nebis In Idem
dalam suatu putusan. Berdasarkan Pasal tersebut melekatnya Nebis In Idem
dalam suatu putusan harus memenuhi syarat-syarat komulatif sebagai berikut:
1) Apa yang digugat sudah pernah diperkarakan sebelumnya;
2) Terhadap perkara terdahulu telah ada putusan hakim yang berkekuatan
hukum tetap;
3) Putusan bersifat positif;
4) Subyek atau pihak yang berperkara sama;
5) Obyek gugatab sama;
“Menimbang, bahwa sedangkan di dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor
75K/Ag/2019 tanggal 12 Februari 2019 tersebut sebagaimana bukti P.13
meskipun subyek hukum dan obyek sengketanya sama, namun isi putusan
tersebut bersifat negative. Dengan demikian, maka salah satu syarat mengenai
melekatnya Nebis In Idem dalam suatu putusan tidak terpenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, makan Majelis
Hakim berpendapat bahwa dalil eksepsi para Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekovensi tersebut tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak;
Dalam Konpensi:
“Menimbang, bahwa dalam pertimbangan ini yang semula sebagai Penggugat
Konvensi/Tergugat Rekovensi untuk selanjutnya disebut sebagai Penggugat
Konvensi, sedangkan yang semula sebagai Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekovensi untuk selanjutnya disebut sebagai Tergugat Konvensi;
“Menimbang, bahwa terlebih dahulu Majelis Hakim akan mempertimbangkan,
apakah para Tergugat Konvensi tersebut mempunyai legal standing dalam
mengajukan perkara ini;
“Menimbang, bahwa dalam perkara sengketa wakaf maka ang berhak
mengajukan perkara adalah wakif atau keluarga (ahli warisnya), nadzir, orang
yang merasa mempunyai kepentingan dengan tanah wakaf;”
“Menimbang, bahwa para Penggugat Konvensi didalam surat gugatannya
mendalilkan, bahwa Penggugat Konvensi I adalah keturunan ke empat dari
H.Imam Mukti selaku wakif sedangkan Penggugat Konvensi II adalah
keturunan ketiga dari H.Imam Mukti selaku wakif. Dengan demikian maka para
penggugat Konvensi masih termasuk keturunan dari H. Imam Mukti, oleh
karena itu para Penggugat Konvensi mempunyai legal standing untuk
mengajukan perkara a quo;
125

“Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan para Penggugat
Konvensi dan Para Tergugat Konvensi datang menghadap sendiri
kepersidangan, sedangkan Turut Tergugat I datang menghadap ke persidangan
hanya pada sidang pertama saja dan Turut Tergugat II tidak pernah datang
menghadap kesidang meskipun ia telah dipanggil secara resmi dan patut.
Sedangkan tidak ternyata bahwa ketidak hadiran Turut Tergugat I dan Turut
Tergugat II tersebut tidak disebabkan oleh suatu alas an yang sah;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan para
Penggugat Konvensi dan para Tergugat Konvensi agar menyelesaikan
sengketanya dengan cara kekeluargaan, namun tidak berhasil. Dengan
demikian usaha Majelis telah memenuhi PAsal 130 (ayat 1) HIR;
“Menimbang, bahwa untuk memenuhi Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor
1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Mejelis Hakim telah
memerintahkan kepada Para Penggugat Konvensi dan Para Tergugat Konvensi
untuk upaya damai melalui proses mediasi dengan mediator H. Hadiyatullah,
S.H., M.H namun upaya tersebut tidak berhasil;
“Menimbang bahwa selanjutnya Penggugat Konvensi I menguasakan kepada
Ahmad Mustafa Al-Qahhar bin Drs. Ali Hasan, berdasarkan surat kuasa
tertanggal 2 September 2019 yang telah terdaftar di Register Surat Kuasa
Pengadilan Agama Kediri Nomor:0175/Kuasa/IX/2019/PA.Kdr;
“Menimbang, bahwa selanjutknya Tergugat Konvensi II menguasakan kepada
Yunita Rafika Sari, S.H Advokat/Pengacara dan Penasehat Hukum yang
berkantor di Jalan Raya Kediri-Pare, Perum Sukarejo Indah Nomor 25 C, Desa
Gurah, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, berdasarkan surat kuasa khusus
tertanggal 15 September 2019 yang telah terdaftar di Register Surat Kuasa
Pengadilan Agama Kediri Nomor: 190/Kuasa/9/2019/PA.Kdr tanggal 17
September 2019;
“Menimbang, bahwa surat kuasa baik yang dibuat oleh Penggugat Konvensi I
maupun Tergugat Konvensi II kepada kuasa hukumnya masing-masing tersebut
telah memenuhi unsur kekhususan sebagai surat kuasa khusus, karena secara
jelas telah menunjuk jenis perkaranya di Pengadilan Agama Kediri dengan
memuat materi telaah yang menjadi batas da nisi dari materi kuasa yang
diberikan oleh karenanya penerima kuasa harus pula dinyatakan mempunyai
kedudukan dan kapasitas sebagai subyek hukum yang berhak melakukan
tindakan hukum atas nama pemberi kuasa;
“Menimbang, bahwa yang menjadi dasar diajukannya gugatan ini oleh Para
Penggugat Konvensi adalah bahwa pada sekitar tahun 1940 H, H. Imam Mukti
126

mewakafkan sebuah musholla yang diberi nama Ash Shabawi dan tanah kosong
ang ada di halaman musholla;
“Menimbang, bahwa pada tahun 1970 salah satu cucu H.Imam Mukti yang
bernama Badrun membangun rumah diatas tanah kosong yang diwakafkan oleh
H. Imam Mukti tersebut dan sekarang rumah tersebut yang menempati adalah
Tergugat I dan keluarganya.
“Menimbang, bahwa tahun 1991 Tergugat Konvensi II melakukan perbuatan
melawan hukum yakni tanpa sepengetahuan nazhur yang lain dan dengan
memalsukan tanda tangan H.Achmad Zainal Abidin, B.A dan Drs. Ali Hasan
(sebagai pemilik tanah sebelahnya) dalam berita acara pemasangan tugu batas
yang selanjutnya dipergunakan sebagai dasar pengajuan Akta Pengganti Ikrar
Wakaf nomor W3/55/02 tahun 1991 atas nama Badrun;
“Menimbang bahwa pada tahun 1991 itu juga Tergugat Konvensi II
menggunakan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf Nomor W3/55/02 tahun 1991
atas nama BAdrun untuk mengajukan SHM Wakaf No 304 atas nama Bitah,
seluas 258 M2 ;
“Menimbang, bahwa atas gugatan para Penggugat Konvensi tersebut, para
Tergugat Konvensi telah mengajukan jawaban secara tertulis yang pada
pokoknya menolak dalil gugatan para Penggugat Konvensi;
“Menimbang, bahwa hal-hal yang ditolak oleh Para Tergugat Konvensi, adalah
sebagai berikut:
1) Bahwa Para Penggugat Konvensi tidak mempunai legal standing sebagai
Penggugat Konvensi, karena para Penggugat Konvensi bukan ahli waris
dari alm Badrun;
2) Bahwa para Tergugat Konvensi menolak telah mengubah 4 unsur wakaf;
3) Bahwa para Tergugat Konvensi menolak, bahwa alm. Badrun telah
menyerobot obyek sengketa yang merupakan peninggalan H. imam Mukti;
“Menimbang, bahwa oleh karena para Tergugat Konvensi membantah dalil-
dalil gugatan para Penggugat Konvensi, maka kepada para Penggugat Konvensi
dan para Tergugat Konvensi diberi kesempatan untuk membuktikan dalilnya
masing-masing secara berimbang sesuai dengan ketentuan Pasal 163 HIR;
“Menimbang, bahwa sebelum Majelis Hakim menetapkan apakah obyek
sengketa yang didalilkan oleh para Penggugat Konvensi tersebut harta wakaf
atau bukan, terlebih dahulu Majelis Hakim akan memberikan batasan dan ruang
lingkup tentang kewenangan Pengadilan Agama berkaitan dengan sengketa
wakaf;
127

“Menimbang, bahwa Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang


Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa : “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b.
waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah dan i. ekonomi
syariah;
“Menimbang, bahwa sedangkan ruang lingkup yang menjadi kewenangan
Pengadilan Agama dibidang wakaf ini diatur pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan
Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978, tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, tentang Perwakafan Tanah Milik, yang
berbunyi “Pengadilan Agama mewilayahi tanah wakaf berkewajiban menerima
dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut syari’at Islam
yang antara lain mengenai:
a. Wakaf, wakif, nadzir, ikrar, dan saksi;
b. Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf);
c. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf;
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim terlebih dahulu akan mempertimbangkan
apakah benar-benar terjadi ikrari wakaf terhadap obyek yang disangketakan dan
apakah ikrar wakaf yang telah dilaksanakan tersebut telah memenuhi syarat dan
rukun ikrar wakaf atau tidak;
“Menimbang, bahwa didalamnya positanya, para Penggugat konvensi telah
menguraikan tentang pelaksanaan ikrar wakaf dan juga telah menguraikan
tentang syarat dan rukun wakaf terhadap obyek sengketa a quo, tetapi para
Penggugat Konvensi didalam petitumnya tidak meminta agar ikrar wakaf yang
telah dilaksanakan tersebut sah. Namun demikian oleh karena ikrar wakaf
tersebut merupakan hal penting dalam persoalan wakaf, maka Majelis Hakim
berpendapat perlu terlebih dahulu mempertimbangkan apakah ikrar wakaf yang
telah dilaksanakan oleh H. Imam Mukti selaku wakif tersebut sah atau tidak.
Hal ini sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor
425/K/Sip/1975 tanggal 15 Juli 1975, yang konstruksi hukumnya menyatakan:
“Mengabulkan lebih dari petitum diizinkan, asal saja sesuai dengan posita:
“Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya, para Penggugat
Konvensi telah menghadirkan dua orang saksi yang bernama SAKSI 1 dan
SAKSI 2 dibawah sumpah kedua saksi telah memberikan keterangan didepan
persidangan;
128

“Menimbang, bahwa saksi yang bernama H.Ahmad Zainal Abidin, B.A telah
memberi keterangan yang pada pokoknya:
- Bahwa saksi mengetahui obyek wakaf yang disengketakan para pihak
terletak di Kota Kediri;
- Bahwa tanah wakaf tersebut asalnya adalah milik kakek saksi yang bernama
Mbah Mukti;
- Bahwa Mbah Mukti mewakafkan tanah kosong dan musholla tersebut
sebelum tahun 1942 dan pada tahun 1942 juga mbah Mukti dan isterinya
yang bernama Umi Kultsum meninggal dunia;
- Bahwa pada waktu mbah Mukti mewakafkan tanahnya, tanah yang ada
mushollanya itu masih atas nama Bitah, sedangkan tanah kosong yang ada
di depan musholla atas nama Mobin;
- Bahwa saksi mengetahui mbah Mukti mewakafkan tanah tersebut dari
cerita ayah saksi yang bernama Mobin;
- Bahwa Mobin sudah meninggal dunia pada tahun 1949;
- Bahwa ketika Badrun menjadi takmir musholla membangun rumah diatas
tanah wakaf dan sekarang rumah tersebut yang menempati adalah Tergugat
I dan keluarganya;
“Menimbang, bahwa saksi yang bernama SAKSI 2 telah memberi keterangan
yang pada pokokna:
- Bahwa saksi mengetahui obyek wakaf yang disengketakan para Pihak
terletak di Kota Kediri;
- Bahwa yang mewakafkan tanah tersebut adalah Mbah Mukti;
- Bahwa saksi tidak mengetahui sendiri ketika mbah Mukti mewakafkan
tanah tersebut, saksi tahunya dari cerita mbah Insiyah (Isteri Mobin);
- Bahwa yang diwakafkan oleh Mbah Mukti adalah Musholla dan tanah
kosong yang ada dihalaman musholla;
- Bahwa sepengetahuan saksi tanah yang ditempati musholla tersebut dalam
buku letter C desa masih atas nama Bitah, sedangkan tanah kosong yang
dihalaman musholla dalam buku letter C desa masih atas nama Mobin;
- Bahwa saksi tidak mengetahui mengapa obyek wakaf masih atas nama
Bitah dan Mobin didalam buku letter C desa;
“Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil bantahannya, para Tergugat
Konvensi telah menghadirkan dua orang saksi yang bernama SAKSI 1 dan
SAKSI 2, dibawah sumpah kedua saksi telah memberi keterangan didepan
persidangan;
“Menimbang, bahwa saksi yang bernama SAKSI 1 telah memberikan
keterangan yang pada pokoknya, sebagai berikut:
129

- Bahwa saksi mengetahui bahwa Para PEnggugat Konvensi dan Para


Tergugat Konvensi ke sidang ini dalam rangka menyelesaikan sengketa
wakaf;
- Bahwa obyek sengketa wakaf tersebut terletak di Kota Kediri;
- Bahwa saksi pernah menjabat Kepala Desa Gayam antara tahun 1998
sampai tahun 2010;
- Bahwa setahu saksi obyek sengketa tersebut milik Badrun sejak tahun 1970
yang berasal dari warisan ibunya dan sekarang obyek sngketa tersebut yang
menempati anak Badrun yang bernama Badriah (isteri Tergugat);
- Bahwa pada tahun 2000 ada pengukuran tanah untuk pembayaran pajak,
jadi saksi tahunya pada saat diadakan pengukuran tanah tersebut;
“Menimbang, bahwa saksi yang bernama Anwar Muslih, S.E bin H. Abu Bakar
telah memberikan keterangan yang pada pokoknya, sebagai berikut;
- Bahwa saksi menjabat sebagai sekretaris Kelurahan Gayam sejak tahun
2014;
- Bahwa saksi mengetahui ada sengketa wakaf antara Penggugat Konvensu
dan Tergugat Konvensi dari surat Panggilan sidang ini;
- Bahwa saksi mengetahui obyek wakaf yang disengketakan tersebut dan
sekarang obyek obyek sengketa yang menguasai Tergugat Konvensi I;
- Bahwa saksi tidak mengetahui asal usul tanah tersebut, karena perpindahan
tanah tidak dilaporkan ke kelurahan;
- Bahwa asal usul tanah bisa diketahui dari buku C desa dan buku C desa itu
hanya untuk keperluan wajib pajak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh
para Penggugat Konvensi kedua saksi tidak mengetahui sendiri periswita ikrar
wakaf terhadap tanah kosong yang ada dihalaman musholla yang didalam
Letter C tertulis nama Mobin nomor kohir 234, nomot perdil 2, kelas desa d II,
kedua orang saksi mengetahui kalau tanah tersebut diwakafkan oleh H. Imam
Mukti untuk dibuat madrasah dimasa mendatang hanya berdasarkan cerita dari
orang lain dan ini diperkuat dengan unsur saksi dimana pada saat ikrar wakaf
yang menurut dalil para Penggugat Konvensi terjadi pada tahun 1940, saksi
pertama baru berumur 2 tahun (lahir tahun 1938), sedangkan saksi kedua
bahkan belum lahir, karena lahir tahun 1954;
“Menimbang, bahwa disatu sisi saksi-saksi para Tergugat Konvensi juga tidak
mengetahui proses ikrar wakaf tersebut berdasarkan keterangan saksi I para
Tergugat Konvensi yang nota bene pernah menjabat sebagai kepala Kelurahan
Gayam dimana pada tahun 2000 diadakan pengukuran tanah dalam rangka
penertiban wajib pajak dan ternyata obyek sengketa a quo atas nama BAdrun,
sedangkan saksi kedua para Tergugat Konvensi yang juga menjabat sebagai
sekretaris Kelurahan Gayam menerangkan, bahwa obyek sengketa sekarang
130

yang menguasai Tergugat Konvensi I, saksi tidak mengetahui asal-usul tanah


tersebut karena perpindahan tanah tersebut tidak pernah dilaporkan ke
Kelurahan;
“Menimbang, bahwa Pasal 171 Ayat (1) HIR menyatakan, bahwa “Tiap-tiap
kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui
kesaksiannya’, sedangkan Pasal 1907 KUH Perdata, bahwa:”Tiap kesaksian
harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya”;
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka kedua saksi para Penggugat
Konvensi termasuk saksi yang “Testimonium De Auditu”, karena saksi tidak
mengalami, melihat atau mendengar sendiri tentang peristiwa ikrar wakaf aquo.
Dengan demikian, maka Majelis Hakim tersebut tidak dapat diterima sebagai
alat bukti;
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka dalil para Penggugat Konvensi
tentang telah terjadinya ikrar wakaf dari H. Imam Mukti (sebagai wakif) kepada
keluarganya yang terjadi pada Tahun 1940 tidak terbukti dan harus dinyatakan
ditolak;
“Menimbang, bahwa oleh karena gugatan para Penggugat Konvensi ditolak,
maka Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan tentang petitum dari
para Penggugat Konvensi yang lain, demikian halnya dengan alat-alat bukti
baik yang diajukan para Penggugat Konvensi maupun Para Tergugat Konvensi
tidak perlu lagi dipertimbangkan, lagi pula masalah pemalsuan tanda tangan
bukanlah kewenangan dari Pengadilan Agama;
DALAM REKOVENSI:
“Menimbang, bahwa dalam pertimbangan ini yang semula sebagai para
Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi untuk selanjutnya disebut sebagai
para Tergugat Rekovensi, sedangkan yang semula sebagai para Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekovensi untuk selanjutnya disebut sebagai para
Penggugat Rekovensi;
“Menimbang, bahwa pertimbangan hukum yang termuat dalam perkara
konvensi sebagaimana tersebut diatas menjadi satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan pertimbangan hukum perkara Rekovensi;
“Menimbang, bahwa bersamaan dengan jawabannya dalam perkara konvensi,
para Penggugat Rekovensi mengajukan gugatan balik (rekovensi) yang pada
pokoknya sebagaimana tersebut diatas;
“Menimbang, bahwa oleh karena perkara dalam konvensi sebagaimana tersebut
diatas dinyatakan ditolak, maka Majelis Hakim tidak perlu lagi
131

mempertimbangkan perkara rekovensi dan oleh karenanya gugatan rekovensi


dari PEnggugat Rekovensi dinyatakan tidak dapat diterima;
DALAM KONVENSI DAN REKOVENSI:
“Menimbang, bahwa oleh karena para Penggugat Konvensi/Tergugat
Rekovensi berada di pihak kalah, maka berdasarkan Pasal 1818 ayat (1) HIR
Majelis Hakim menetapkan menghukum para penggugat Konvensi/Tergugat
Rekovensi untuk membayar biaya perkara ini.

3. Amar Putusan Hakim

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum hakim diatas, Majelis Hakim

memberikan Putusan dengan amar sebagai berikut :

Mengadili :
Dalam Eksepsi :
-Menolak eksepsi para Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi;
Dalam Konvensi:
-Menolak gugatan para Penggugat Konvensi;
Dalam Rekovensi :
-Menyatakan gugatan Rekovensi para Penggugat Rekovensi dinyatakan
tidak diterima;
Dalam Konvensi dan Rekovensi:
-Menghukum kepada para Penggugat Konvensi/para Tergugat Rekovensi
untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.
1.516.000,- (satu juta lima ratus enam belas ribu rupiah);

4. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim

Tentang Pertimbangan Hukum


a) Dalam Eksepsi:
“Menimbang, bahwa dalam perkara ini para penggugat Konvensi/Tergugat
Rekovensi mengajukan perkara gugatan sengketa wakaf bukan perkara
sengketa waris dan para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi mendalilkan
bahwa obyek sengketa a quo sekarang dikuasai oleh Tergugat
132

Konvensi/Penggugat Rekovensi I. Dengan demikian, maka eksepsi tentang


Error in Persona yang diajukan Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi I
tersebut tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak;
Istilah Error in Persona di pengadilan pada tahap eksepsi atas gugatan

dialamatkan kepada orang yang salah. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara

Perdata menjelaskan bahwa cacat formil yang timbul atas kekeliruan atau kesalahan

bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik sebagai tergugat dikualifikasi

mengandung error in persona sebagai berikut :

1) Diskuaslifikasi Secara Langsung

Diskualifiksi dalam person terjadi karena yang bertidak sebagai penggugat

adalah orang yang tidak memenuhi syarat karena penggugat dalam kondisi berikut :

(a) Tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan

Gugatan yang diajukan oleh orang yang tidak berhak atau tidak

memiliki hak itu, merupakan gugatan yang mengandung kesalahan formil yaitu

pihak yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak punya syarat

untuk itu.

(b) Tidak cakap melakukan Tindakan Hukum

Orang yang berada dibawah umur atau perwalian tidak cakap melakukan

tindakan hukum. Oleh sebab itu, orang yang dibawah umur atau perwalian

tidak dapat bertindak sebagai penggugat tanpa abntuan orang tua atau wali.

Gugatan yang mereka ajukan tanpa bantuan orang tua atau wali yang
133

mengandung kesalahan formil dalam persona dalam bentuk diskualifikasi

karena tidak bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi

syarat.

2) Salah Sasaran Pihak yang Digugat

Bentuk lain kesalahan dalam persona yang mungkin terjadi adalah orang yang

ditarik sebagai tergugat keliru (gemis aanhoeda nigheid).

3) Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium)

Bentuk Error in Persona yang lain disebut Plurium Litis Consortium (gugatan

kurang pihak) yakni pihak yang bertindak sebagai penggugat atau yang ditarik

sebagai tergugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus bertindak sebagai

penggugat atau ditarik tergugat. Oleh karena itu gugatan dalam bentuk plurium

litis consortium yang berarti gugatan kurang pihaknya.

Dalam pertimbangan hukum hakim diatas hakim menilai bahwa dalil tergugat

mengenai gugatan yang Error In Persona tidak tepenuhi. Error in Pesona yang

dimaksud dalam dalil gugatan ialah salah sasaran pihak yang digugat, akan tetapi

gugatan ini mengenai sengketa wakaf bukan ahli waris jadi gugatan Error In Persona

tidaklah tepat. Jika dianalisis menggunakan teori keadilan, kemanfaatan dan kepastian

hukum maka dapat dilihat apakah pertimbangan hakim sudah memenuhi teori tujuan

hukum.
134

a) Menurut Teori Keadilan

Berdasarkan teori keadilan menurut. Madjis Khadduri menggambarkan

bahwa suatu konsep keadilan dalam dua kategori, yaitu :139

(1) Aspek Substantif, berupa elemen-elemen atau bagian-bagian dari

keadilan dalam substansi syariat (keadilan substansi).

(2) Aspek Prosedural, berupa elemen-elemen atau bagian dari keadilan

dalam hukum procedural yang dilaksanakan (keadilan procedural).

Sehingga ketika kaidah-kaidah procedural tidak dilaksanakan atau

diabaikan bahkan pelaksanaannya tidak tepat maka keadilan procedural

tidak muncul. Sedangkan keadilan substantive merupakan aspek inti atau

internal dari suatu hukum dimana segala perbuatan yang wajib pasti adil.

Hal ini dikarenakan sebagai firman Allah SWT dan sifatnya atau hukumnya

haram dianggap suatu ketidakadilan. Karena dalam hal ini wahyu tidak

mungkin pernah membebani orang-orang yang beriman.

Dalam teori keadilan hukum Islam pertimbangan hukum hakim

sudah sesuai menurut konsep keadilan dari aspek procedural. Karena hakim

melaksanakan kaidah-kaidah procedural dan pelaksanaannya tepat,

pertimbangan mengenai gugatan Error in Persona tidak terpenuhi sudah

sesuai berdasarkan aspek procedural.

139
Madjid Khadduri, Teori Keadilan Prespektif Islam, (Surabaya, Risalah Gusti, 1999), hlm.
119-201
135

Menurut Pandangan John Rawls keadilan memposisikan adanya

situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam

masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi

lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan

lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan

Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian

ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),

kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur

dasar masyarakat (basic structure of society). Sementara konsep “selubung

ketidaktahuan” memiliki arti bahwa setiap orang dihadapkan pada

tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk

terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu sehingga membutakan adanya

konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.

Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh

prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as

Fairness”.140

John Rawls menegaskan pandangannya bahwa program penegakan

keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip

yaitu pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan

140
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 90
136

dasar yang paling luas seluas kebebasan bagi setiap orang. Kedua, mampu

mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.141

Berdasarkan teori keadilan menurut John Rawls, jika dikaitkan

dengan pertimbangan hukum hakim diatas. Hakim tidak membeda-bedakan

posisi penggugat maupun tergugat. Bagi dalil pihak yang tidak terpenuhi

serta tidak beralasan hakim tidak segan untuk menolak dalil tersebut karena

hakim melihat unsur-unsur gugatan secara detail dan tidak hanya terpaku

terhadap eksepsi tergugat saja melainkan melihat dua sisi yaitu dari pihak

Penggugat maupun Tergugat.

b) Menurut Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan dalam hal ini menggunakan teori Maslahah,

Menurut Al-Khawarizmi yang dimaksud dengan Al-Mashlahah adalah

memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindarkan kemafsadahan dari

manusia. Dari pengertian tersebut beliau memandang maslahah hanya dari

satu sisi, yaitu menghindarkan mafsadat semata padahal kemaslahatan

mempunyai sisi lain yang justru lebih penting yaitu memberi manfaat.142

141
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 7
142
Dahlan, Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 116
137

Berdasarkan teori kemanfaatan diatas, pertimbangan hukum hakim

telah memberikan manfaat bagi para Pihak, karena menghindarkan dari

tuduhan yang tidak benar terhadap Penggugat. Karena dalil Tergugat tidak

beralasan untuk memenuhi unsur Error In Persona dalam gugatan sengketa

wakaf penelitian ini, karena berdasarkan teori kemaslahatan memandang

maslahah hanya dari satu sisi, yaitu menghindarkan mafsadat semata

padahal kemaslahatan mempunyai sisi lain yang justru lebih penting yaitu

memberi manfaat.

Teori kemanfaatan (Utilitarisme) dikemukakan oleh Jeremy

Bentham yang mengatakan bahwa manusia bertindak untuk mendapatkan

kebahagiaan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan mengurangi

penderitaannya. Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung

apakah perbuatan itu akan mendatangkan kebahagiaan, kemanfaatan atau

tidak. Teori kemanfaatan mempunyai tanggung jawab kepada pihak atau

orang yang melakukan apakah itu baik atau buruk

Pertimbangan hukum hakim telah sesuai berdasarkan teori

kemanfaatan karena memberikan manfaat kepada Para Pihak, hakim

memilah pertimbangan mana yang baik dan buruk yang akan menjadi

pertimbangan hukum dalam suatu putusan. Karena dari pertimbangan

hukum yang baik akan menghasilkan putusan yang berkemanfaatan.


138

c) Teori Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah sebagian ciri negara hukum.

Kepastian hukum sangat erat terkait dengan asas legalitas. Artinya, hukum

yang tujuannya antara lain untuk menertibkan masyarakat, harus jelas

diketahui oleh masyarakat sehingga di dalam hukum itu larangan sudah

jelas mengenai hal-hal yang dilarang.

Rasul yang diutus untuk membacakan ayat-ayat Allah berarti

menjelaskan secara terang sehingga masyarakat tahu secara pasti hukum

yang berlaku berarti ada kepastian hukumnya. Hal itu sama dengan

ketentuan setiap undang-undang yang dapat berlaku setelah diundangkan.

Pengundangan suatu undang-undang bertujuan agar masyarakat mendapat

kepastian hukum.

Sedangkan kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J. M.

Otto terdiri dari beberapa unsur yaitu:

(1) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan, atau

ditetapkan negara;

(2) Aparat pemerintah menetapkan aturan hukum secara

konsisten dan berpegang pada hukum;

(3) Rakyat pada dasarnya hanya tunduk pada hukum.


139

(4) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten

menerapkan hukum itu;

(5) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.143

Menurut Radburch, keputusan yang baik adalah keputusan yang adil

dan responsive di masyarakat, untuk memastikan sebuah keputusan yang

adil dan responsive harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas

pertama adalah keadilan selanjutnya kemanfaatan (utilisme) dan terakhir

kepastian hukum (rechtszekerheid).144

Berdasarkan teori kepastian hukum diatas baik menurut hukum

Islam maupun Hukum Barat, Hukum harus memberikan kepastian hukum

yaitu dengan peraturan serta norma yang berlaku, tidak ada perbuatan yang

dapat dihukum tanpa ada norma yang mengaturnya. Dalil mengenai Error

In Persona dalam hal ini salah sasaran pihak yang digugat adalah tidak

terpenuhi karena gugatan yang diajukan mengenai sengketa wakaf bukan

ahli waris. Pertimbangan hukum hakim telah sesuai berdasarkan teori

kepastian hukum karena hakim memberikan pertimbangan hukum melihat

norma aturan yang sedang berlaku bukan hanya pertimbangan logika

semata.

143
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, (Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2002), hlm. 18
144
Tatiek Sri Djatmiati , Ibid, hlm. 80
140

Eksepsi Gugatan Kurang Pihak (Plurium Litis Consortium)


“Menimbang, bahwa dalam perkara ini Para Tergugat Konvensi/Rekovensi
mengajukan perkara gugatan sengketa wakaf bukan perkara sengketa waris dan
Para Penggugat Konvensi/Tergugat Rekovensi mendalilkan bahwa Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekovensi II pada tahun 1991 telah memalsukan tanda
tangan pemilik tanah yang bersebelahan dengan obyek sengketa untuk
mengajukan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf. Dengan demikian, maka
eksepsi tentang gugatan kurang pihak (Plurium Litis Consortium) yang
diajukan oleh Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi II tersebut tidak
beralasan dan harus dinyatakan ditolak.
Salah satu eksepsi yang dapat digunakan dalam suatu perkara adalah Eksepsi

Plurium Litis Consortium yaitu eksepsi yang termasuk dalam kualifikasi eksepsi Eror

in Persona. Plurium litis Consortium berasal dari bahasa latin, pluries berarti banyak,

litis conserters berarti kawan berperkara atau teman sejawat. Bentuk plurium litis

Consortium yaitu eksepsi yang termasuk dalam kualifikasi eksepsi eror in persona

terjadi karena kurang pihak. Baik itu kurangnya penggugat maupun tergugat dan

apabila pihak yang mengajukan eksepsi bisa membuktikan dalilnya maka gugatan yang

diajukan dapat dinyatakan cacat formil yang dapat mengakibatkan gugatan tidak dapat

diterima.

Dalam pertimbangan hukum hakim diatas hakim menolak eksepsi tentang

gugatan kurang pihak dari pihak Tergugat karena tidak beralasan. Jika dianalisis

menggunakan teori keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum maka dapat dilihat

apakah pertimbangan hakim sudah memenuhi teori tujuan hukum.


141

a) Menurut Teori Keadilan

Berdasarkan teori keadilan menurut. Madjis Khadduri

menggambarkan bahwa suatu konsep keadilan dalam dua kategori, yaitu

:145

(1) Aspek Substantif, berupa elemen-elemen atau bagian-bagian dari

keadilan dalam substansi syariat (keadilan substansi).

(2) Aspek Prosedural, berupa elemen-elemen atau bagian dari keadilan

dalam hukum procedural yang dilaksanakan (keadilan procedural).

Sehingga ketika kaidah-kaidah procedural tidak dilaksanakan atau

diabaikan bahkan pelaksanaannya tidak tepat maka keadilan procedural

tidak muncul. Sedangkan keadilan substantive merupakan aspek inti atau

internal dari suatu hukum dimana segala perbuatan yang wajib pasti adil.

Hal ini dikarenakan sebagai firman Allah SWT dan sifatnya atau hukumnya

haram dianggap suatu ketidakadilan. Karena dalam hal ini wahyu tidak

mungkin pernah membebani orang-orang yang beriman.

Dalam teori keadilan hukum Islam pertimbangan hukum hakim

sudah sesuai menurut konsep keadilan dari aspek procedural. Karena hakim

melaksanakan kaidah-kaidah procedural dan pelaksanaannya tepat,

145
Madjid Khadduri, Teori Keadilan Prespektif Islam, (Surabaya, Risalah Gusti, 1999), hlm.
119-201
142

pertimbangan mengenai gugatan kurang pihak tidak terpenuhi sudah sesuai

berdasarkan aspek procedural.

Menurut Pandangan John Rawls keadilan memposisikan adanya

situasi yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam

masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi

lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan

lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan

Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian

ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),

kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur

dasar masyarakat (basic structure of society). Sementara konsep “selubung

ketidaktahuan” memiliki arti bahwa setiap orang dihadapkan pada

tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk

terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu sehingga membutakan adanya

konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.

Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh

prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as

Fairness”.146

146
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 90
143

John Rawls menegaskan pandangannya bahwa program penegakan

keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip

yaitu pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan

dasar yang paling luas seluas kebebasan bagi setiap orang. Kedua, mampu

mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.147

Berdasarkan teori keadilan menurut John Rawls, jika dikaitkan

dengan pertimbangan hukum hakim diatas. Hakim tidak membeda-bedakan

posisi penggugat maupun tergugat. Bagi dalil pihak yang tidak terpenuhi

serta tidak beralasan hakim tidak segan untuk menolak dalil tersebut karena

hakim melihat unsur-unsur gugatan secara detail dan tidak hanya terpaku

terhadap eksepsi tergugat saja melainkan melihat dua sisi yaitu dari pihak

Penggugat maupun Tergugat.

b) Menurut Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan dalam hal ini menggunakan teori Maslahah,

Menurut Al-Khawarizmi yang dimaksud dengan Al-Mashlahah adalah

memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindarkan kemafsadahan dari

manusia. Dari pengertian tersebut beliau memandang maslahah hanya dari

147
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 7
144

satu sisi, yaitu menghindarkan mafsadat semata padahal kemaslahatan

mempunyai sisi lain yang justru lebih penting yaitu memberi manfaat.148

Berdasarkan teori kemanfaatan diatas, pertimbangan hukum hakim

telah memberikan manfaat bagi para Pihak, karena menghindarkan dari

tuduhan yang tidak benar terhadap Penggugat. Karena dalil Tergugat tidak

beralasan untuk memenuhi Gugatan kurang pihak dalam gugatan sengketa

wakaf penelitian ini, karena berdasarkan teori kemaslahatan memandang

maslahah hanya dari satu sisi, yaitu menghindarkan mafsadat semata

padahal kemaslahatan mempunyai sisi lain yang justru lebih penting yaitu

memberi manfaat.

Teori kemanfaatan (Utilitarisme) dikemukakan oleh Jeremy

Bentham yang mengatakan bahwa manusia bertindak untuk mendapatkan

kebahagiaan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan mengurangi

penderitaannya. Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung

apakah perbuatan itu akan mendatangkan kebahagiaan, kemanfaatan atau

tidak. Teori kemanfaatan mempunyai tanggung jawab kepada pihak atau

orang yang melakukan apakah itu baik atau buruk.

Pertimbangan hukum hakim telah sesuai berdasarkan teori

kemanfaatan karena memberikan manfaat kepada Para Pihak, hakim

148
Dahlan, Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 116
145

memilah pertimbangan mana yang baik dan buruk yang akan menjadi

pertimbangan hukum dalam suatu putusan. Karena dari pertimbangan

hukum yang baik akan menghasilkan putusan yang berkemanfaatan.

c) Menurut Teori Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah sebagian ciri negara hukum.

Kepastian hukum sangat erat terkait dengan asas legalitas. Artinya, hukum

yang tujuannya antara lain untuk menertibkan masyarakat, harus jelas

diketahui oleh masyarakat sehingga di dalam hukum itu larangan sudah

jelas mengenai hal-hal yang dilarang.

Rasul yang diutus untuk membacakan ayat-ayat Allah berarti

menjelaskan secara terang sehingga masyarakat tahu secara pasti hukum

yang berlaku berarti ada kepastian hukumnya. Hal itu sama dengan

ketentuan setiap undang-undang yang dapat berlaku setelah diundangkan.

Pengundangan suatu undang-undang bertujuan agar masyarakat mendapat

kepastian hukum.

Sedangkan kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J. M.

Otto terdiri dari beberapa unsur yaitu:

(1) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan, atau ditetapkan

negara;
146

(2) Aparat pemerintah menetapkan aturan hukum secara konsisten dan

berpegang pada hukum;

(3) Rakyat pada dasarnya hanya tunduk pada hukum.

(4) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan

hukum itu;

(5) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.149

Menurut Radburch, keputusan yang baik adalah keputusan yang adil dan

responsive di masyarakat, untuk memastikan sebuah keputusan yang adil dan

responsive harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama adalah keadilan

selanjutnya kemanfaatan (utilisme) dan terakhir kepastian hukum (rechtszekerheid).150

Berdasarkan teori kepastian hukum diatas baik menurut hukum Islam maupun

Hukum Barat, Hukum harus memberikan kepastian hukum yaitu dengan peraturan

serta norma yang berlaku, tidak ada perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada norma

yang mengaturnya. Dalil mengenai gugatan kurang adalah tidak terpenuhi karena

gugatan yang diajukan mengenai sengketa wakaf bukan ahli waris, eksepsi baik itu

kurangnya penggugat maupun tergugat dan apabila pihak yang mengajukan eksepsi

bisa membuktikan dalilnya maka gugatan yang diajukan dapat dinyatakan cacat formil

149
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, (Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2002), hlm. 18
150
Tatiek Sri Djatmiati , Ibid, hlm. 80
147

yang dapat mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima. Maka dapat dilihat bahwa

pertimbangan hukum hakim telah sesuai dengan teori kepastian hukum.

Eksepsi Gugatan Nebis In Idem:


“Menimbang, bahwa sedangkan di dalam putusan Mahkamah Agung RI
Nomor 75K/Ag/2019 tanggal 12 Februari 2019 tersebut sebagaimana bukti
P.13 meskipun subyek hukum dan obyek sengketanya sama, namun isi putusan
tersebut bersifat negative. Dengan demikian, maka salah satu syarat mengenai
melekatnya Nebis In Idem dalam suatu putusan tidak terpenuhi;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa dalil eksepsi para Tergugat Konvensi/Penggugat
Rekovensi tersebut tidak beralasan dan harus dinyatakan ditolak;
Pengertian mengenai asas nebis in idem tidak ditemukan secara langsung dalam

peraturan perundang-undangan, melainkan dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal

1917 KUHPerdata yang berbunyi :

“Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak


tidaklah lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Untuk dapat
memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama;
bahwa tuntutan didasarkan atas dasar yang sama; lagipula dimajukan oleh dan
terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula.” Menurut
Subekti asas nebis in idem berarti tidak boleh dijatuhkan putusan lagi dalam
sengketa yang sama”.
Persyaratan suatu sengketa dikenai asas nebis in idem adalah pihak yang

digugat harus sama. Apabila pihak-pihak yang bersengketa tersebut sama dan sengketa

tersebut sudah pernah diputus oleh pengadilan dan putusan tersebut sudah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap, maka sengketa tersebut dikenai nebis in idem, unsur-unsur

nebis in idem sebagai berikut :

1) Subyek gugatan sama


148

Subyek gugatan adalah para pihak dalam sengketa tersebut yakni pihak

penggugat dan pihak tergugat. Subyek gugatan yang dapat dikenai asas nebis

in idem adalah apabila dalam sengketa terdahulu baik penggugat maupun

tergugatnya sama dengan sengketa yang diajukan kemudian.

2) Obyek tuntutan sama

Obyek gugatan adalah mengenai apa yang menjadi soal atau masalah

dari sebuah gugatan terdahulu dan gugatan yang diajukan kemudian. Obyek

gugatan dapat dikenai asas nebis in idem apabila soal atau masalah gugatan

terdahulu dan yang diajukan kemudian adalah sama.

3) Alasan yang sama

Syarat ketiga untuk adanya asas nebis in idem adalah gugatan atau

tuntutan adalah sama. Ini berarti dasar dari gugatan yang telah diputus terdahulu

mempunyai kekuatan hukum tetap adalah sama dengan alas an atau dasar

gugatan yang diajukan kemudian.

Putusan hakim mempunyai kekuatan mengikat yaitu mengikat kedua belah

pihak. Terikatnya para pihak kepada putusan menimbulkan beberapa teori yang hendak

mencoba memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan. Terikatnya para

pihak kepada putusan dapat mempunyai arti positif dan arti negative.
149

a. Arti positif, yaitu kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa apa yang

telah diputus di antara para pihak berlaku sebagai positif benar. Apa yang

telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (res judicata pro veritate

habetur). Pembuktian lawan tidak dimungkinkan.

b. Arti negative, yaitu kekuatan mengikat suatu putusan ialah bahwa hakim

tidak boleh memutus sengketa yang pernah diputus sebelumnya antara

pihak yang sama serta mengenai pokok sengketa yang sama. Ulangan dari

tindakan itu tidak akan mempunyai akibat hukum : nebis in idem (Pasal 134

Rv) kecuali didasarkan atas Pasal 134 Rv kekuatan mengikat dalam arti

negative ini juga didasarkan pada asas “litis finiri opertet”, yang menjadi

dasar ketentuan tentang tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum

apa yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tidak boleh

diajukan lagi kepada hakim.

Dalam hukum acara yang berlaku putusan mempunyai kekuatan mengikat

baik dalam arti positif maupun negative (Pasal 1917, 1920 KUHPerdata dan

134 Rv).

Berdasarkan uraian pertimbangan hukum hakim diatas, hakim menolak dalil

eksepsi tergugat mengenai Nebis In Idem, karena di dalam putusan Mahkamah Agung

RI Nomor 75K/Ag/2019 tanggal 12 Februari 2019 tersebut meskipun subyek hukum

dan obyek sengketanya sama, tetapi isi putusan tersebut bersifat negative. Dengan

demikian, maka salah satu syarat mengenai melekatnya Nebis In Idem dalam suatu
150

putusan tidak terpenuhi. Pertimbangan hukum hakim akan dianalisis menggunakan

teori tujuan hukum. Apakah pertimbangan hakim sudah sesuai berdasarkan teori

keadilan, kemanfaatan dan memberikan kepastian hukum.

a) Menurut Teori Keadilan

Para kaum teolog muslim terbagi menjadi dua kelompok yaitu Kaum

Mu’tazilah yang mana dalam gerakannya selalu membela keadilan dan

kebebasan, sedangkan kaum Asy’ari dalam gerakannya membela keterpaksaan.

Keadilan menurut kaum Asy’ari ditafsirkan menyatakan bahwa Allah itu adil,

segala tindakan Allah SWT adalah adil dan bukan setiap keadilan harus

dilakukan oleh Allah sehingga nilai keadilannya ialah mutlak. Sehingga

keadilan merupakan suatu tindakan atau perbuatan Allah SWT lah yang

menjadi tolak ukur keadilan. Sedangkan menurut kaum Mu’tazillah bahwa

keadilan memiliki hakikat tersendiri dan sepanjang Allah Maha Bijaksana dan

Adil.151

Berdasarkan teori keadilan diatas, setiap keadilan mempunyai tolak

ukur tersendiri, manusia tidak bisa mengukur tolak adil itu sendiri. Hakim

sebagai wakil tuhan di dunia diberikan amanah untuk menegakan keadilan

dalam memutuskan suatu perkara. Terkadang adil menurut penggugat belum

tentu adil menurut tergugat begitu pula sebaliknya. Hakim memberikan

151
Dikutip dalam Jurnal Rendra Widyakso S.H, Konsep Keadilan Menurut Al-Qur’an,
(Pengadilan Agama Purworejo Jawa Tengah, 2019)
151

pertimbangan hukum nya berdasarkan patokan norma yang berlaku dan aturan-

aturan yang berlaku. Sepanjang hakim berpedoman terhadap norma dan aturan

serta berpegang teguh kepada Allah SWT, hakim dapat membuat putusan

tersebut menjadi adil.

Menurut Pandangan John Rawls keadilan memposisikan adanya situasi

yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak

ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu

dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan

kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli”

yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri

rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna

mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Sementara

konsep “selubung ketidaktahuan” memiliki arti bahwa setiap orang dihadapkan

pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk

terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu sehingga membutakan adanya

konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan

konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan

yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as Fairness”.152

152
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 90
152

John Rawls menegaskan pandangannya bahwa program penegakan

keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip

yaitu pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar

yang paling luas seluas kebebasan bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur

kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi

keuntungan yang bersifat timbal balik.153

Berdasarkan teori keadilan menurut John Rawls, dalam pertimbangan

hukum hakim menolak bahwa gugatan tergugat mengenai nebis in idem, karena

dalam putusan sebelumnya yang dikeluarkan hakim bersifat negative itu artinya

masih terdapat upaya hukum yang harus dilakukan. Pertimbangan hakim

tersebut memberi kesempatan bagi penggugat karena bisa melanjutkan

gugatannya. Hakim tidak membeda-bedakan posisi penggugat maupun

tergugat. Hakim memberi pertimbangannya sesuai berdasarkan gugatan yang

tercantum tidak melebihi maupun mengurangi.

b) Menurut Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan dalam hal ini menggunakan teori Maslahah,

Menurut Al-Khawarizmi yang dimaksud dengan Al-Mashlahah adalah

memelihara tujuan syara’ dengan cara menghindarkan kemafsadahan dari

manusia. Dari pengertian tersebut beliau memandang maslahah hanya dari satu

153
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 7
153

sisi, yaitu menghindarkan mafsadat semata padahal kemaslahatan mempunyai

sisi lain yang justru lebih penting yaitu memberi manfaat.154

Berdasarkan teori kemanfaatan diatas, pertimbangan hukum hakim

yang menolak adanya nebis in idem telah sesuai dengan teori kemanfaatan

karena pertimbangan hukum hakim memberikan manfaat bagi para Pihak,

Manfaatnya yaitu memberi keadilan untuk sebuah putusan, agar putusan yang

dikeluarkan berdasarkan pertimbangan hakim yang bijak. Karena berdasarkan

teori kemaslahatan memandang maslahah hanya dari satu sisi, yaitu

menghindarkan mafsadat semata padahal kemaslahatanmempunyai sisi lain

yang justru lebih penting yaitu memberi manfaat.

Teori kemanfaatan (Utilitarisme) dikemukakan oleh Jeremy Bentham

yang mengatakan bahwa manusia bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan

kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaannya. Ukuran

baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung apakah perbuatan itu akan

mendatangkan kebahagiaan, kemanfaatan atau tidak. Teori kemanfaatan

mempunyai tanggung jawab kepada pihak atau orang yang melakukan apakah

itu baik atau buruk.

Pertimbangan hukum hakim telah sesuai berdasarkan teori kemanfaatan

karena memberikan manfaat kepada Para Pihak, hakim memilah pertimbangan

154
Dahlan, Tamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), hlm. 116
154

mana yang baik dan buruk yang akan menjadi pertimbangan hukum dalam

suatu putusan. Karena dari pertimbangan hukum yang baik akan menghasilkan

putusan yang berkemanfaatan.

d) Teori Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah sebagian ciri negara hukum. Kepastian

hukum sangat erat terkait dengan asas legalitas. Artinya, hukum yang tujuannya

antara lain untuk menertibkan masyarakat, harus jelas diketahui oleh

masyarakat sehingga di dalam hukum itu larangan sudah jelas mengenai hal-

hal yang dilarang.

Rasul yang diutus untuk membacakan ayat-ayat Allah berarti

menjelaskan secara terang sehingga masyarakat tahu secara pasti hukum yang

berlaku berarti ada kepastian hukumnya. Hal itu sama dengan ketentuan setiap

undang-undang yang dapat berlaku setelah diundangkan. Pengundangan suatu

undang-undang bertujuan agar masyarakat mendapat kepastian hukum.

Sedangkan kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J. M. Otto

terdiri dari beberapa unsur yaitu:

(1) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan, atau

ditetapkan negara;

(2) Aparat pemerintah menetapkan aturan hukum secara konsisten

dan berpegang pada hukum;


155

(3) Rakyat pada dasarnya hanya tunduk pada hukum.

(4) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten

menerapkan hukum itu;

(5) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.155

Menurut Radburch, keputusan yang baik adalah keputusan yang adil

dan responsive di masyarakat, untuk memastikan sebuah keputusan yang adil

dan responsive harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama

adalah keadilan selanjutnya kemanfaatan (utilisme) dan terakhir kepastian

hukum (rechtszekerheid).156

Berdasarkan teori kepastian hukum diatas baik menurut hukum Islam

maupun Hukum Barat, pertimbangan hukum hakim yang baik ialah

memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa, hakim

menolak dalil nebis in idem karena hakim menilai bahwa putusan terdahulu

masih bisa dilakukan upaya hukum, akan tetapi pihak penggugat tidak

melakukan upaya hukum yang terakhir yaitu peninjauan kembali. Jadi pihak

penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kediri. Hakim memiliki

pertimbangan sendiri untuk memutuskan suatu perkara tersebut nebis in idem

atau tidak. Dalam pertimbangan hakim, hakim melihat unsur-unsur nebis in

idem yang terdapat di putusan sebelumnya yaitu gugatan dan obyek sama akan

155
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, (Disertasi Program Pasca
Sarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2002), hlm. 18
156
Tatiek Sri Djatmiati , Ibid, hlm. 80
156

tetapi putusan sebelumnya bersifat negative. Jadi hakim memberikan

pertimbangan hukum bahwa menolak dalil nebis in idem dari tergugat supaya

para pihak mendapatkan kepastian hukum.

b) Dalam Konpensi:
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan para
Penggugat Konvensi dan para Tergugat Konvensi agar menyelesaikan
sengketanya dengan cara kekeluargaan, namun tidak berhasil. Dengan
demikian usaha Majelis telah memenuhi Pssal 130 (ayat 1) HIR;
Mediasi berasal dari bahasa latin “mediare” artinya berada di tengah. Makna

mengenai mediasi menunjukkan pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai

mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa para

pihak. Makna berada di tengah juga berarti bahwa mediator harus berada di posisi

netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu untuk

menjaga kepentingan para pihak yang bersangkutan secara adil, dan sama lalu

menimbulkan kepercayaan dari para pihak yang ikut dalam bersengketaan.

Mediasi di dalam Pengadilan mulai di Indonesia sejak diterbitkannya Peraturan

Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan. PERMA ini bertujuan menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Agung

(SEMA) No 1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama dalam

Menerapkan Lembaga Damai diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Pasal

130 HIR dan 154 RBg menetapkan pembantuan tentang prasejarah dan mewajibkan

hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan pihak yang berperkara sebelum perkaranya

diberlakukan.
157

Kedudukan dan peran mediasi dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan

sangat penting bahkan dalam PERMA yang terakhir, bahwa jika para pihak terutama

Penggugat/Pemohon tidak beritikad baik dalam melaksanakan mediasi maka gugatan

dari Penggugat/Pemohon bisa tidak diterima oleh pengadilan bersangkutan. Mediasi

sebagai salah satu solusi yang dikenal dalam Islam.

Dilihat dari uraian diatas, hakim telah melakukan mediasi kepada para pihak,

namun tidak berhasil. Hakim telah berusaha untuk mendamaikan dengan cara mediasi.

Pertimbangan hukum hakim akan dianalisis menggunakan teori tujuan hukum yaitu

teori keadilan, teori kemanfaatan dan teori kepastian hukum.

a) Menurut Teori Keadilan


Konsep keadilan dalam Islam menurut Qadri yang menafsirkan konsep

keadilan lebih detail daripada konsep keadilan Aristoteles yaitu keadilan

distributive. Beliau menganggap bahwa konsep keadilan seharusnya telah

merasuk kedalam jiwa yang paling dalam dari setiap manusia. Hal ini

dikarenakan segala sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia harus

mengatas namakan Allah SWT. Dalam pelaksanaan keadilan dalam Islam

bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta kedaulatan rakyat atau komunitas

Muslim.

Berdasarkan teori keadilan menurut Islam, keadilan harus mengatas

namakan Allah SWT karena dalam pelaksanaan keadilan Islam bersumber dari

Al-Qur’an dan Hadits. Perdamaian (Ishlah) yaitu mekanisme penyelesaian


158

konflik yang ditawarkan oleh Al-Quran. Pada dasarnya setiap konflik yang

terjadi antara orang-orang beriman harus diselesaikan dengan damai (Ishlah).

Ishlah merupakan salah satu cara penyelesaian konflik yang dapat

menghilangkan dan menghentikan segala bentuk dari beberapa permusuhan

dan pertikaian antara sesama manusia. Tetapi kata Ishlah lebih menekankan arti

suatu proses perdamaian antara dua pihak. Sedangkan kata shluh lebih

menekankan arti hasil dari proses Ishlah tersebut yaitu berupa shulh

(perdamaian/kedamaian). Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat Ayat 9-10.

Surah Al-Huujurat merupakan landasan teori dan sumber penyelesaian

konflik yang terjadi diantara orang-orang beriman, yaitu apabila mereka terlibat

konflik selesaikanlah dengan cara damai (Faslihu). Cara Ishlah berkembang

menjadi mekanisme sengketa di luar pengadilan yang kemudian dipraktekkan

peradilan di Indonesia melalui mediasi.

Berdasarkan uraian diatas pertimbangan hakim hukum melakukan

mediasi sudah sesuai menurut teori keadilan Islam, karena dalam Islam

penyelesaian snegketa yang baik ialah dilakukan dengan berdamai. Hakim

sudah berusaha mendamaikan akan tetapi tidak berhasil karena para pihak lebih

memilih jalur litigasi.

Menurut Pandangan John Rawls keadilan memposisikan adanya situasi

yang sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak
159

ada pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu

dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan

kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli”

yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri

rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna

mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Sementara

konsep “selubung ketidaktahuan” memiliki arti bahwa setiap orang dihadapkan

pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk

terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu sehingga membutakan adanya

konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan

konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan

yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as Fairness”.157

Berdasarkan teori diatas jika dikaitkan dengan pertimbangan hukum

hakim mengenai mediasi, hakim memposisikan para pihak sama di kedudukan

hukum karena melewati proses mediasi bersama. Hakim tidak memaksakan

untuk berhasil dalam proses mediasi karena hakim memberi kebebasan para

Pihak untuk menerima mediasi atau tidak. Hal ini menggambarkan bahwa

pertimbangan hukum hakim sesuai berdasarkan teori keadilan yang

memberikan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

157
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 90
160

b) Menurut Teori Kemanfaatan

Menurut Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur sebagaimana dikutip oleh

Kemal Muchtar bahwa ketentuan-ketentuan atau hukum baru yang

berhubungan dengan peristiwa atau masalah-masalah yang baru dapat

ditetapkan berdasarkan dalil maslahah karena adanya alas an-alasan berikut ini

:158

1) Hukum itu dapat mewujudkan kebaikan masyarakat, dengan adanya

hukum itu dapat ditegakkan kebaikan masyarakat dengan sebaik-

baiknya.

2) Hukum itu dapat menolak atau menghindarkan kerusakan dan kerugian

bagi manusia baik individu maupun masyarakat.Hukum itu harus dapat

menutup pintu-pintu yang mengarah pada perbuatan dilarang. Ada

suatu perbuatan yang pada hakikatnya boleh dikerjakan, namun jika

perbuatan itu ketika dikerjakan membuka pintu kemadaratan maka hal

itu perbuatan terlarang.

Tujuan kemanfaatan ini sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an : a.

Al-Asl al-manafi al-hall wa fi al-mudar al man’u (segala yang bermanfaat

dibolehkan dan segala mudarat dilarang); b. La Darara wa la dirar (jangan

158
Kemal Muhtar, Maslahah sebagai dalil Penetapan Hukum Islam Rekontruksi Metodologi
ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 228
161

menimbulkan kemudaratan dan jangan menjadi korban kemudaratan); c.

Ad-darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).159

Berdasarkan uraian teori keadilan menurut pandangan Islam, jika

dikaitkan dengan pertimbangan hukum hakim mengenai mediasi bahwa telah

sesuai berdasarkan teori kemanfaatan, karena pertimbangan hukum hakim yang

mengusahakan mediasi adalah perbuatan yang bermanfaat dan menghindarkan

dari segala ke mudaratan. Karena mediasi adalah bentuk penyelesaian dengan

perdamaian yang didasarkan dari Al-Quran dan Hadits.

Jhon Stuar Mill salah satu tokoh penganut asas Utilisme selain Jeremy

Bentham160, dengan merumuskan utilisme sebagai teori kebahagiaan terbesar,

Bentham berprinsip “The greatest happiest for the greatest number” yang

artinya kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah banyak. Syarat

utama hukum menurut teori ini adalah kemanfaatan, hukum dan moral

merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan hukum harus bermuatan moral

dan moral harus bermuatan hukum, mengingat moral merupakan salah satu

sendi utama kehidupan manusia yang berakar pada kehendaknya, hukum yang

efisien dan efektif adalah hukum yang bisa mencapai visi dan misinya yaitu

untuk memberikan kebahagiaan terbesar kepada jumlah warga terbanyak.

159
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-Undang (legalsprudence), (Jakara: Kencana
Perdana Media Group, Cet ke-1, 2009), hlm 213
160
Ibid, hlm. 18
162

Berdasarkan teori kemanfaatan diatas pertimbangan hukum hakim

mengenai mediasi seharusnya memberikan kebahagiaan bagi para pihak,

karena dengan mediasi penyelesaian sengketa berjalan dengan damai. Akan

tetapi tolak ukur kebahagiaan masing-masing berbeda. Hakim telah berusaha

agar penyelesaian sengketa dilakukan dengan mediasi walaupun tidak berhasil.

Pertimbangan hukum hakim mengenai mediasi ini telah memberikan

kemanfaatan bagi pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara nanti.

c) Menurut Teori Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah sebagian ciri negara hukum. Kepastian

hukum sangat erat terkait dengan asas legalitas. Artinya, hukum yang tujuannya

antara lain untuk menertibkan masyarakat, harus jelas diketahui oleh

masyarakat sehingga di dalam hukum itu larangan sudah jelas mengenai hal-

hal yang dilarang.

Hukum berasal dari Allah SWT sebagai otoritas tertinggi dalam

pandangan Islam yang diterapkan dalam masyarakat untuk menjadi pedoman

pelaksanaan kehidupan mereka. Hal tersebut diinfromasikan oleh Allah dalam

firmannya yang berbunyi :

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia

mengutus di Ibukota itu sorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
163

mereka: dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota kecuali

penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman (Q.S Al-Qasas ayat 59).”

Rasul yang diutus untuk membacakan ayat-ayat Allah berarti

menjelaskan secara terang sehingga masyarakat tahu secara pasti hukum yang

berlaku berarti ada kepastian hukumnya. Hal itu sama dengan ketentuan setiap

undang-undang yang dapat berlaku setelah diundangkan. Pengundangan suatu

undang-undang bertujuan agar masyarakat mendapat kepastian hukum.

Mohammad Daud Ali menunjuk juga kepastian hukum dalam ayat “Dan

Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul (Q.S Al-

Isra ayat 15) “ . Anwar Harjono berpendapat bahwa asas kepastian hukum juga

berarti tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan

ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku

untuk perbuatan itu.

Menurut Pieter Mahmud Marzuki bahwa kepastian hukum diwujudkan

oleh hukum dengan sifatnya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum.

Sifat umum dari aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak hanya

bertujuan mewujudkan keadilan atau kemanfaatan semata, melainkan juga

memberikan kepastian hukum.161

161
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158
164

Berdasarkan uraian diatas maka pertimbangan hukum hakim apakah

telah memenuhi kepastian hukum dan tidak menimbulkan masalah dalam

kenyataannya, karena seringkali ditemui kepastian hukum berbenturan dengan

keadilan, benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan, keadilan

dengan kemanfaatan, sebagai contoh kasus hukum tertentu jika hakim

menginginkan putusan perkara atau determinacy, putusan tersebut bagi

Penggugat atau Tergugat sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas,

maka perasaan keadilan bagi orang tertentu seringkali dikorbankan.

Menurut Radburch, keputusan yang baik adalah keputusan yang adil

dan responsive di masyarakat, untuk memastikan sebuah keputusan yang adil

dan responsive harus menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama

adalah keadilan selanjutnya kemanfaatan (utilisme) dan terakhir kepastian

hukum (rechtszekerheid).162

Berdasarkan uraian kepastian hukum diatas, pertimbangan hukum

hakim dalam mediasi merupakan salah satu cara hakim untuk memberikan

kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Akan tetapi usaha mediasi yang

dilakukan tidak berhasil. Sehingga hakim harus memberikan kepastian hukum

melalui putusan pengadilan yang akan hakim keluarkan berdasarkan dalil-dalil

162
Tatiek Sri Djatmiati , Ibid, hlm. 80
165

gugatan yang telah diajukan Para Pihak. Hal tersebut telah sesuai dengan teori

kepastian hukum.

“Menimbang, bahwa Pasal 171 Ayat (1) HIR menyatakan, bahwa “Tiap-tiap
kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui
kesaksiannya’, sedangkan Pasal 1907 KUH Perdata, bahwa:”Tiap kesaksian
harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya”;
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka kedua saksi para Penggugat
Konvensi termasuk saksi yang “Testimonium De Auditu”, karena saksi tidak
mengalami, melihat atau mendengar sendiri tentang peristiwa ikrar wakaf aquo.
Dengan demikian, maka Majelis Hakim tersebut tidak dapat diterima sebagai
alat bukti;
“Menimbang, bahwa dengan demikian maka dalil para Penggugat Konvensi
tentang telah terjadinya ikrar wakaf dari H. Imam Mukti (sebagai wakif) kepada
keluarganya yang terjadi pada Tahun 1940 tidak terbukti dan harus dinyatakan
ditolak;
Kata saksi berarti kesaksian atau bukti kebenaran. Kesaksian artinya keterangan

atau bukti pernyataan yang diberikan oleh orang yang melihat, atau keterangan atau

pernyataan yang diberikan saksi.163 Sedangkan menurut syara’ pada umumnya yang

diutarakan adalah definisi kesaksian. Kesaksian menurut bahasa arab adalah asy-

syahadah ialah mengemukakan kesaksian untuk menetapkan ha katas diri orang lain.164

Suatu kesaksian harus mengenai peristiwa-peristiwa yang dilihat dengan mata

sendiri oleh seorang saksi. Jadi tidak boleh saksi itu hanya mendengar saja tentang

adanya peristiwa dari orang lain. Selanjutnya tidak boleh pula keterangan saksi itu

merupakan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya sendiri dari peristiwa yang dilihat

163
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, hlm.
131
164
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqey, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, 1997), hlm. 139
166

atau dialaminya. Karena hakimlah yang berhak menarik kesimpulan-kesimpulan.

Kesaksian bukanlah suatu alat bukti yang sempurna dan mengikat hakim, tetapi

terserah pada hakim untuk menerimanya atau tidak. Artinya, hakim leluasa untuk

mempercayai atau tidak keterangan seorang saksi.165

Kesaksian yang dapat dikemukakan di depan pengadilan hanyalah terbatas pada

apa yang telah dilihatnya atau yang telah dialaminya sendiri. Jadi keterangan yang

diberikan oleh seorang saksi tidak boleh berupa hasil kesimpulan yang ditarik apa yang

dilihatnya dari suatu peristiwa tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan HIR Pasal 171

yaitu :

a. Dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi.

b. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena kata akal tidak

dipandang sebagai penyaksian.

Berdasarkan ketentuan Pasal 301 HIR berbunyi :

a. Tiap-tiap penyaksian yang diberikan harus memperkatakan kejadian yang

sungguh, yang didengar, dilihat atau yang dirasa oleh saksi itu sendiri, lagi

pula harus disebutkan dalam penyaksian itu sebab-sebab hal itu jadi

diketahui.

165
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, hlm. 180-181
167

b. Kira atau sangka yang istimewa yang disusun dengan kata akal saja bukan

penyaksian.

Selaras dengan ketentuan Pasal 1907 KUHPerdata yang berbunyi “Pendapat-

pendapat maupun perkiraan-perkiraan khusus, yang diperoleh dengan jalan pikiran

bukan kesaksian.” Dengan mengetahui apa yang dimaksud dengan kesaksian, maka

dapatlah dikemukakan bahwa pengertian saksi ialah orang yang

mempertanggungjawabkan kesaksian dan mengemukakan, karena dia menyaksikan

suatu peristiwa, yang ia lihat (dialaminya sendiri), tanpa mengada-ada ataupun menarik

kesimpulan dalam memberikan kesaksian.

Kesaksian di pengadilan dapat terjadi dikarenakan anjuran para pihak yang

berperkara atau berdasarkan panggilan hakim karena jabatannya. Hakim dapat

memaksa memanggil saksi untuk didengar keterangannya di muka sidang, dan jika

pada waktu yang ditentukan saksi tersebut tidak hadir ia dapat dibawa ke sidang oleh

polisi.

Berdasarkan pertimbangan hukum hakim diatas mengenai saksi, akan dianalisi

menggunakan teori tujuan hukum untuk melihat apakah pertimbangan hukum hakim

telah sesuai dengan teori tersebut atau tidak.


168

a) Menurut Teori Keadilan


Teori keadilan menurut Islam Dikutip dari Jurnal Rendra Widyakso

mengenai salah satu pemikiran Murtadha Muthahari mengemukakan konsep

keadilan yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1. Keadilan yang dimaknai sebagai arti keseimbangan;

2. Adil yang dimaknai sebagai persamaan makna terhadap perbedaan;

3. Adil yang dimaknai sebagai arti memelihara hak-hak dari setiap

individu dan memberikan hak-hak tersebut kepada setiap orang

yang berhak menerimanya;

4. Adil memelihara hak atas berlanjutnya eksitensi.

Adapun konsep keadilan menurut Qadri yang menafsirkan konsep

keadilan lebih detail daripada konsep keadilan Aristoteles yaitu keadilan

distributive. Beliau menganggap bahwa konsep keadilan seharusnya telah

merasuk kedalam jiwa yang paling dalam dari setiap manusia. Hal ini

dikarenakan segala sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia harus

mengatas namakan Allah SWT. Dalam pelaksanaan keadilan dalam Islam

bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta kedaulatan rakyat atau komunitas

Muslim.

Berdasarkan teori keadilan diatas, pertimbangan hukum hakim

mengenai saksi ialah hakim tidak dapat menerima sebagai alat bukti karena

kesaksian tidak dialami oleh saksi itu sendiri. Dilihat dari pemikiran Murthada
169

Mathari yaitu adil yang dimaknai sebagai arti keseimbangan, artinya hakim

mengambil sikap tengah dalam mengambil keputusan tidak memihak diantara

para pihak. Pertimbangan yang dikeluarkan ialah berdasarkan hukum yang

berlaku. karena yang mewajibkan tiap-tiap penyaksian harus berdasarkan

pengetahuan saksi baik kejadian yang di dengar, dilihat atau yang dirasa oleh

saksi itu sendiri. Maka pertimbangan hukum hakim telah memenuhi unsur adil

yang dimaknai sebagai arti keseimbangan.

Pandangan John Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan

sederajat antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan

status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang

lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan

yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang

bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri

rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna

mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Sementara

konsep “selubung ketidaktahuan” memiliki arti bahwa setiap orang dihadapkan

pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk

terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu sehingga membutakan adanya

konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang. Dengan


170

konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip persamaan

yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice as Fairness”.166

John Rawls menegaskan pandangannya bahwa program penegakan

keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip

yaitu pertama memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar

yang paling luas seluas kebebasan bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur

kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi

keuntungan yang bersifat timbal balik.167

Berdasarkan teori keadilan diatas, keadilan menurut John Rawls

berprinsip yaitu memberi hak dan kesempatan yang sama dengan tidak ada

pembedaan status, kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu

dengan yang lainnya, sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan

kesepakatan yang seimbang. Saksi mendapatkan perlakuan adil yaitu walaupun

saksi masih keluarga dengan Pihak akan tetapi pertimbangan hukum hakim

tidak melihat itu. Hakim mengeluarkan pertimbangan hukumnya berdasarkan

aturan norma yang berlaku baik saksi penggugat maupun tergugat.

Pertimbangan hukum hakim hanya terbatas pada norma tersebut tidak melebih-

lebihkan dan tidak pula mengurang-ngurangkan. Pertimbangan hukum hakim

166
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006),
hlm. 90
167
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien
(Bandung: Nusa Media, 2011), hlm. 7
171

mengenai menolak kesaksian dari saksi para pihak ialah telah tepat berdasarkan

teori keadilan.

b) Menurut Teori Kemanfaatan

Menurut Muhammad Tahir Ibnu ‘Asyur sebagaimana dikutip oleh

Kemal Muchtar bahwa ketentuan-ketentuan atau hukum baru yang

berhubungan dengan peristiwa atau masalah-masalah yang baru dapat

ditetapkan berdasarkan dalil maslahah karena adanya alas an-alasan berikut ini

:168

1) Hukum itu dapat mewujudkan kebaikan masyarakat, dengan adanya hukum

itu dapat ditegakkan kebaikan masyarakat dengan sebaik-baiknya.

2) Hukum itu dapat menolak atau menghindarkan kerusakan dan kerugian bagi

manusia baik individu maupun masyarakat.

3) Hukum itu harus dapat menutup pintu-pintu yang mengarah pada perbuatan

dilarang. Ada suatu perbuatan yang pada hakikatnya boleh dikerjakan,

namun jika perbuatan itu ketika dikerjakan membuka pintu kemadaratan

maka hal itu perbuatan terlarang.

Berdasarkan teori kemanfaatan diatas, hukum yang baik ialah hukum

yang dapat mewujudkan keadilan, hukum juga dapat menolak atau

168
Kemal Muhtar, Maslahah sebagai dalil Penetapan Hukum Islam Rekontruksi Metodologi
ilmu-ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Suka Press, 2003), hlm. 228
172

menghindarkan kerusakan dan kerugian serta hukum harus dapat menutup

pintu-pintu yang mengarah pada perbuatan dilarang. Pertimbangan hukum

hakim mengenai mendengarkan keterangan saksi dari para Pihak dan menolak

keterangan saksi-saksi tersebut ialah semata-mata untuk membuat hukum itu

dapat mewujudkan kebaikan masyarakat karena pertimbangan hukum hakim

ingin mengeluarkan yang berkemanfaatan. Dengan mendengarkan keterangan

dari saksi-saksi para Pihak hakim menambah wawasan dalam memberikan

pertimbangan tidak hanya membaca dan mendengarkan gugatan, eksepsi dari

Para Pihak. Hal ini menjadikan referensi hakim dalam mengambil keputusan

agar putusan yang dikeluarkan berkemanfaatan bagi para Pihak.

Teori kemanfaatan (Utilitarisme) dikemukakan oleh Jeremy Bentham

yang mengatakan bahwa manusia bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan

kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaannya. Ukuran

baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung apakah perbuatan itu akan

mendatangkan kebahagiaan, kemanfaatan atau tidak. Teori kemanfaatan

mempunyai tanggung jawab kepada pihak atau orang yang melakukan apakah

itu baik atau buruk. Lebih lanjut Jeremy Bentham dalam pembentukan

peraturan berpendapat:

“Pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-


undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu, setiap
orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan
yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh (Volwaardig), tidak
173

seorang pun bernilai lebih (Everybody to count for one, no body for
more than one).169

Berdasarkan teori kemanfaatan menurut Jeremy Bentham, pembentuk

undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat

mencerminkan keadilan bagi semua individu begitu pula dengan putusan

hakim, putusan yag dikeluarkan haruslah mencerminkan keadilan bagi para

Pihak. Pertimbangan hukum hakim menolak keterangan saksi dari para Pihak

karena saksi tidak melihat, mengalami sendiri kejadian tersebut. Hakim

memberikan pertimbangan menolak hal tersebut agar membuat putusan yang

dikeluarkan sesuai dengan teori kemanfaatan.

c) Menurut Teori Kepastian Hukum

Hukum berasal dari Allah SWT sebagai otoritas tertinggi dalam

pandangan Islam yang diterapkan dalam masyarakat untuk menjadi pedoman

pelaksanaan kehidupan mereka. Hal tersebut diinfromasikan oleh Allah dalam

firmannya yang berbunyi : “Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-

kota sebelum Dia mengutus di Ibukota itu sorang rasul yang membacakan ayat-

ayat Kami kepada mereka: dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-

169
Abdul Manan, Asperk Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009),
hlm. 17
174

kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman (Q.S Al-Qasas

ayat 59).”

Rasul yang diutus untuk membacakan ayat-ayat Allah berarti

menjelaskan secara terang sehingga masyarakat tahu secara pasti hukum yang

berlaku berarti ada kepastian hukumnya. Hal itu sama dengan ketentuan setiap

undang-undang yang dapat berlaku setelah diundangkan. Pengundangan suatu

undang-undang bertujuan agar masyarakat mendapat kepastian hukum.

Mohammad Daud Ali menunjuk juga kepastian hukum dalam ayat “Dan

Kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul (Q.S Al-

Isra ayat 15) “ . Anwar Harjono berpendapat bahwa asas kepastian hukum juga

berarti tidak ada suatu perbuatan pun yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan

ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku

untuk perbuatan itu.

Menurut Pieter Mahmud Marzuki bahwa kepastian hukum diwujudkan

oleh hukum dengan sifatnya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum.

Sifat umum dari aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak hanya

bertujuan mewujudkan keadilan atau kemanfaatan semata, melainkan juga

memberikan kepastian hukum.170

170
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 158
175

Berdasarkan teori kepastian hukum diatas, hakim memberikan

pertimbangan hukum dengan menolak saksi-saksi dari para Pihak berdasarkan

undang-undang yang berlaku, hal ini memberikan kepastian hukum bagi para

Pihak. Dalam asas legalitas yang dimana tidak ada perbuatan yang dapat

dipidana kecuali atas kekuatan hukum atau peraturan perundang-undangan

yang berlaku untuk perbuatan itu. Jika dilihat dari makna asas legalitas, bahwa

hakim memberikan pertimbangan hukumnya memenuhi unsur legalitas karena

mengenai sanski tersebut diatur dalam Pasal 171 HIR, pertimbangan hukum

hakim ini sesuai dengan teori kepastian hukum.

“Menimbang, bahwa oleh karena gugatan para Penggugat Konvensi ditolak,


maka Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan tentang petitum dari
para Penggugat Konvensi yang lain, demikian halnya dengan alat-alat bukti
baik yang diajukan para Penggugat Konvensi maupun Para Tergugat Konvensi
tidak perlu lagi dipertimbangkan, lagi pula masalah pemalsuan tanda tangan
bukanlah kewenangan dari Pengadilan Agama;
Dalam hukum acara perdata yang menyebutkan bahwa hakim terikat pada alat-

alat bukti yang sah. Artinya dalam mengambil suatu keputusan, hakim senantiasa

terikat dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Macam-

macam alat bukti dalam acara perdata menurut RBg/HIR dan KUHPerdata, meliputi ;

1. Alat bukti tertulis atau surat

2. Alat bukti saksi

3. Alat bukti persangkaan

4. Alat bukti pengakuan


176

5. Alat bukti sumpah

Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan

Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang Peradilan

Agama disebutkan bahwa : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b. waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f.

zakat, g. infaq, h. shadaqah dan i. ekonomi syariah;

Ruang lingkup yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dibidang wakaf

ini diatur pada Pasal 17 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978,

tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, tentang

Perwakafan Tanah Milik, yang berbunyi “Pengadilan Agama mewilayahi tanah wakaf

berkewajiban menerima dan menyelesaikan perkara tentang perwakafan tanah menurut

syari’at Islam yang antara lain mengenai:

a. Wakaf, wakif, nadzir, ikrar, dan saksi;

b. Bayyinah (alat bukti administrasi tanah wakaf);

c. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil wakaf;

Pertimbangan hukum hakim diatas mengenai Majelis Hakim tidak perlu lagi

mempertimbangkan petitum dari para Pihak serta tidak perlu dipertimbangkan lagi

mengenai alat-alat bukti dan majelis hakim juga menolak mengenai pemalsuan tanda
177

tangan diluar kewenangan Pengadilan Agama akan dianalisis menggunakan Teori

Keadilan, Teori Kemanfaatan dan Teori Kepastian Hukum apakah telah sesuai atau

tidak.

a) Menurut Teori Keadilan


Madjis Khadduri menggambarkan bahwa suatu konsep keadilan dalam dua

kategori, yaitu :171

1) Asperk Substantif, berupa elemen-elemen atau bagian-bagian dari keadilan

dalam substansi syariat (keadilan substansi)

2) Aspek Prosedural, berupa elemen-elemen atau bagian dari keadilan dalam

hukum procedural yang dilaksanakan (keadilan procedural).

Sehingga ketika kaidah-kaidah procedural tidak dilaksanakan atau

diabaikan bahkan pelaksanaannya tidak tepat maka keadilan procedural tidak

muncul. Sedangkan keadilan substantive merupakan aspek inti atau internal

dari suatu hukum dimana segala perbuatan yang wajib pasti adil. Hal ini

dikarenakan sebagai firman Allah SWT dan sifatnya atau hukumnya haram

dianggap suatu ketidakadilan. Karena dalam hal ini wahyu tidak mungkin

pernah membebani orang-orang yang beriman.

171
Madjid Khadduri, Teori Keadilan Prespektif Islam, (Surabaya, Risalah Gusti, 1999), hlm.
119-201
178

Berdasarkan uraian teori Madjis Khadduri yang menggambarkan

konsep teori dibagi menjadi aspek substansif dan aspek procedural.

Pertimbangan hukum hakim diatas dilihat dari unsur aspek substantive yaitu

hakim mengambil pertimbangan dengan melihat isi yang diajukan dari para

Pihak mengani alat-alat bukti yang tertera di dalam petitum para Pihak. Akan

tetapi, hakim hanya melihat alat bukti mengenai saksi saja. Di dalam

pertimbangan hukum hakim ini hakim tidak menjabarkan mengenai alat-alat

bukti yang lain. Padahal alat bukti yang terkuat dalam hukum perdata ialah alat

bukti tertulis. Masing-masing para Pihak memberikan alat bukti tertulis yang

tidak dikaji Majelis Hakim secara mendalam.

Wakaf yang sah adalah wakaf yang memenuhi rukun wakaf yaitu 1)

adanya wakif, 2) Maukuf Biharta atau Harta benda yang diwakafkan, 3)

Maukuf Alaih atau peruntukan wakaf, 4) Ikrar, 5) Nadzir. Jika dijabarkan

berdasarkan rukun diatas maka wakif yang mewakafkan harta bendanya yaitu

H. Imam Mukti, Maukuf Biharta ialah Bangunan Mushalla yang diberi nama

Ash Shabawi dan Sebidang Tanah Kering yang diperuntukan madrasah di masa

mendatang dan nadzir yang sampai sekarang masih mengurus wakaf.

Permasalahan ialah ikrar yang tidak tertulis, pada tahun 1940 belum ada aturan

yang mengatur mengenai wakaf akan tetapi ikrar disaksikan disepakati seluruh

keluarganya. Data dalam yuridis kedua harta wakaf yang telah diikrarkan wakaf
179

H. Imam Mukti tertuis dua nama anak kandungnya untuk pembayaran IPEDA

(Iuran Pembangunan Daerah).

Berdasarkan uraian diatas, Majelis Hakim memberikan pertimbangan

hukum hakim diatas hanya memberikan pertimbangan berdasarkan alat bukti

saja, tidak mengkaji terlalu dalam mengenai alat bukti tertulis yang diajukan

oleh para Pihak, hal ini tidak sesuai dengan aspek substansif teori keadilan

menurut Madjis Khadduri.

Konsep kedua yaitu aspek procedural yaitu berupa elemen-elemen atau

bagian dari keadilan dalam hukum procedural yang dilaksanakan (keadilan

procedural). Majelis Hakim memberikan pertimbangan mengenai kewenangan

Peradilan Agama Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, tentang

Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,

tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa : “Pengadilan Agama bertugas dan

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat

pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan, b.

waris, c. wasiat, d. hibah, e. wakaf, f. zakat, g. infaq, h. shadaqah dan i. ekonomi

syariah. Pertimbangan hukum hakim ini telah sesuai dengan aspek procedural

dari teori keadilan, karena Kewenangan Peradilan Agama tidak termasuk

mengenai pemalsuan tanda tangan melainkan kewenangan Peradilan Agama

mengenai perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan
180

ekonomi syariah. Pemalsuan tanda tangan termasuk dalam kewenangan

pengadilan negeri.

b) Menurut Teori Kemanfaatan


Tujuan kemanfaatan ini sesuai dengan prinsip umum Al-Qur’an : a. Al-

Asl al-manafi al-hall wa fi al-mudar al man’u (segala yang bermanfaat

dibolehkan dan segala mudarat dilarang); b. La Darara wa la dirar (jangan

menimbulkan kemudaratan dan jangan menjadi korban kemudaratan); c. Ad-

darar yuzal (bahaya harus dihilangkan).172

Teori kemanfaatan (Utilitarisme) dikemukakan oleh Jeremy Bentham

yang mengatakan bahwa manusia bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan

kemanfaatan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaannya. Ukuran

baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung apakah perbuatan itu akan

mendatangkan kebahagiaan, kemanfaatan atau tidak. Teori kemanfaatan

mempunyai tanggung jawab kepada pihak atau orang yang melakukan apakah

itu baik atau buruk. Lebih lanjut Jeremy Bentham dalam pembentukan

peraturan berpendapat:

“Pembentuk undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-


undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu, setiap
orang akan mendapat kesempatan untuk mewujudkan kebahagiaan

172
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (legal theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) termasuk interpretasi Undang-Undang (legalsprudence), (Jakara: Kencana
Perdana Media Group, Cet ke-1, 2009), hlm 213
181

yang terbanyak, setiap orang bernilai penuh (Volwaardig), tidak


seorang pun bernilai lebih (Everybody to count for one, no body for
more than one).173

Berdasarkan teori kemanfaatan diatas, pertimbangan hukum hakim

seharusnya memberikan kemanfaatan bagi para Pihak, jika dilihat menurut

prinsip umum Al-Qur’an La Darara wa la dirar (jangan menimbulkan

kemudaratan dan jangan menjadi korban kemudaratan. Jika dilihat berdasarkan

aspek keadilan substantive dimana Majelis Hakim tidak mengkaji terlalu dalam

mengenai alat bukti tertulis sehingga pertimbangan hukum hakim tersebut tidak

sepenuhnya memberikan kemanfaatan bagi para Pihak, karena teori

kemanfaatan mempunyai tanggung jawab kepada pihak atau orang yang

melakukan itu baik atau buruk. Akan tetapi, aspek keadilan procedural telah

memberikan kemanfaatan bagi para Pihak karena hakim memberikan

pertimbangan sesuai dengan prosedur serta undang-undang yang berlaku.

c) Menurut Teori Kepastian Hukum

Menurut Hans Kelsen yang dikutip dari buku Darji Darmodiharjo dan

Shidarta yang berjudul “Pokok-Pokok Filsafat Hukum” Apa dan bagaimana

filsafat hukum di Indonesia menyatakan :

“Hukum adalah sebuah sistem norma, norma adalah pernyataan yang


menekankan aspek seharusnya atau “das sollen” dengan menyertakan

173
Abdul Manan, Asperk Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009),
hlm. 17
182

beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.
Adapun tujuan hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang
tertib, ketertiban dan keseimbangan, sehingga diharapkan kepentingan
masyarakat terlindungi.”174

Berdasarkan teori kepastian hukum diatas, hukum mempunyai sasaran

yang hendak dicapai ialah tujuan hukum menciptakan tatanan masyarakat yang

tertib dan keseimbangan sehingga diharapkan kepentingan masyarakat

terlindungi. Pertimbangan hukum hakim yang baik diharapkan mengeluarkan

putusan yang berkepastian hukum untuk para Pihak, walaupun dalam keadilan

substantive hakim tidak terlalu mengkaji mengenai alat bukti tertulis karena

hakim memiliki pemikiran tersendiri mengapa hal tersebut tidak dikaji secara

dalam. Sehingga pertimbangan hukum hakim kurang memberikan kepastian

hukum terhadap para pihak karena hakim terlalu kaku hanya berdasarkan aturan

yang berlaku. Padahal menurut hukum islam wakaf tidak dapat dibatalkan

apabila telah diikrarkan.. Akan tetapi pertimbangan hukum hakim dalam aspek

procedural mengenai kewenangan peradilan agama telah sesuai menurut teori

kepastian hukum. Maka dari itu, pertimbangan hakim memberikan pengaruh

terhadap produk putusan yang dikeluarkan sehingga diharapkan putusan yang

dikeluarkan memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi para

174
Darji Darmodiharjo dan Sidharta, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 2003), hlm. 77
183

pihak dan produk hukum tersebut dapat mempengaruhi kelanjutan daripada

putusan di masa akan datang.

Jadi menurut teori kepastian hukum tidak sepenuhnya memberikan

keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum karena hakim hanya fokus mencari

kebenaran formil. Dalam mencari kebenaran yang sesungguhnya

mengutamakan pembuktian dari keterangan saksi karena alat bukti tertulis

menurut hakim tidak kuat dan tidak adanya bukti akta ikrar waakaf seperti yang

diatur Pasal 21 UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf


184

C. Akibat Hukum Tanah Wakaf yang Dikuasai oleh Pihak Ketiga dalam

Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor 425/Pdt.G/2019/PA.Kdr

Akibat hukum menurut Soeroso mendefinisikan sebagai akibat suatu tindakan

yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat hukum yang dikehendaki oleh pelaku

yang diatur oleh hukum. tindakan ini dinamakan tindakan hukum. Dengan kata lain,

akibat hukum adalah akibat dari suatu tindakan hukum. wujud dari akibat hukum dapat

berupa ;175

a. Lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu keadaan hukum

b. Lahirnya berubahnya atau senyapnya suatu hubungan hukum antara dua

atau lebih subjek hukum dimana hak dan kewajiban pihak yang satu

berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak lain

c. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum

Akibat hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh karena suatu sebab,

yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum baik perbuatan yang sesuai dengan

hukum maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum. 176

175
R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 259
176
Ibid
185

1) Akibat Hukum terhadap Para Pihak

Dalam penyelesaian sengketa tanah wakaf permasalahan dalam Putusan

Pengadilan Agama Kediri Nomor: 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr yaitu mengenai Sebidang

tanah kering atau darat kosong di halaman mushalla, untuk dijadikan madrasah di masa

mendatang. Akan tetapi ahli waris mendirikan rumah tembok permanen seluas 142 M2

diatas sebagian objek wakaf sebidang Tanah Kering atau Darat Kosong yang untuk

dijadikan Madrasah di masa mendatang secara sepihak tanpa melalui musyawarah

sehingga diperingatkan oleh seluruh keluarga besar H. Imam Mukti namun Badrun

tidak pernah menanggapinya.

Akibat perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat yang menguasai objek

sengketa yang merupakan tanah wakaf H. Imam Mukti merupakan pelanggaran

terhadap UU Wakaf Pasal 40 yang melarang harta benda yang sudah diwakafkan untuk

dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan.

Dilihat dari kasus posisi diatas, diduga tanah sebidang tanah wakaf dikuasai

oleh pihak ketiga, akan tetapi dalam pertimbangan hukum hakim yang berbunyi

“Menimbang, bahwa oleh karena perkara dalam konvensi sebagaimana tersebut diatas

dinyatakan ditolak, maka Majelis Hakim tidak perlu lagi mempertimbangkan perkara

rekovensi dan oleh karenanya gugatan rekovensi dari Penggugat Rekovensi dinyatakan

tidak dapat diterima”. Dapat disimpulkan bahwa hakim menolak gugatan konvensi dan

menyatakan tidak menerima gugatan rekovensi tersebut. Hakim memiliki pandangan


186

dalam pertimbangannya bahwa wakaf yang dilakukan tidak memenuhi rukun wakaf

yaitu ikrar wakaf. Karena dalam kesaksian tidak ada saksi yang mendengar secara

langsung mengenai ikrar wakaf yang diucapkan H. Imam Mukti.

Dalam mengeluarkan putusan, Putusan hakim harus berdasarkan asas-asas,

asas-asas dalam Putusan Hakim yaitu:

a) Asas Musyawarah Majelis

Putusan hakim harus didasarkan pada hasil musyawarah majelis,

musyawarah ini dilakukan oleh hakim untuk mengambil kesimpulan terhadap

sengketa yang sedang diadili untuk selanjutnya dituangkan dalam putusan.

Dalam musyawarah majelis ini, hakim diperbolehkan mengajukan pendapat

berbeda (dissenting opinion) sepanjang didasari para argumentasi yang kuat

dan rasional.

b) Putusan Harus Memuat Dasar atau Alasan yang Cukup

Putusan hakim harus dilandasi atas pertimbangan hukum (legal

reasoning, ratio decidendi) yang komprehensif. Putusan hakim yang tidak

cukup pertimbangannya menyebabkan putusan tersebut dapat dikategorikan

onvoldoende gemotiveerd. Keadaan demikian merupakan permasalahan

yuridis, karenanya dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.


187

c) Putusan Harus Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Seluruh bagian adalah segala sesuatu yang menjadi pokok

persengketaan para pihak di dalam gugatan. Dalam pengertian yang lebih

sederhana, seluruh bagian gugatan adalah petitum penggugat, karena pada

dasarnya setiap petitum dilandasi atau dilatari oleh posita (fundamentum

potendi).

d) Asas Ultra Petitum Partium

Asas ultra petitum partium adalah asas yang melarang hakim untuk

memutus melebihi apa yang dituntut. Hakim yang memutus melebihi apa yang

dituntut Penggugat dianggap telah melampaui kewenangannya (ultra vires,

beyond the power of his authority).

e) Asas Keterbukaan

Substansi utama dari asas keterbukaan adalah kewajiban untuk

mengucapkan putusan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Asas

keterbukaan ini bertujuan agar putusan pengadilan dapat lebih transparan dan

akuntabel. Asas keterbukaan juga dimaksudkan untuk memberikan akses

kepada publik yang ingin mengetahui langsung vonis pengadilan atas kasus

tertentu

.
188

f) Putusan Harus Tertulis

Putusan sebagai produk pengadilan merupakan akta autentik yang

memiliki kekuatan pembuktian dan kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak

berperkara dan pihak ketiga. Sebagai kata autentik, putusan harus dibuat secara

tertulis dengan memperhatikan sistematika tertentu dan syarat-syarat formil

yang ditetapkan oleh perundang-undangan yang berlaku.177

Amar Dalam penylesaian sengketa tanah wakaf dalam Putusan Pengadilan


Agama Kediri Nomor 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr Majelis hakim megadili :
Mengadili :
Dalam Eksepsi :
-Menolak eksepsi para Tergugat Konvensi/Penggugat Rekovensi;
Dalam Konvensi:
-Menolak gugatan para Penggugat Konvensi;
Dalam Rekovensi :
-Menyatakan gugatan Rekovensi para Penggugat Rekovensi dinyatakan
tidak diterima;
Dalam Konvensi dan Rekovensi:
-Menghukum kepada para Penggugat Konvensi/para Tergugat Rekovensi
untuk membayar semua biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar Rp.
1.516.000,- (satu juta lima ratus enam belas ribu rupiah);
Berdasarkan asas-asas teori putusan diatas mengenai putusan harus mengadili

seluruh bagian gugatan artinya seluruh bagian adalah segala sesuatu yang menjadi

pokok persengketaan para pihak di dalam gugatan. Majelis Hakim juga memberikan

putusan tertulis karena Putusan sebagai produk pengadilan merupakan akta autentik

yang memiliki kekuatan pembuktian dan kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak

berperkara dan pihak ketiga. Sebagai kata autentik, putusan harus dibuat secara tertulis

177
Retnowulan dan Iskandan Oeripkartawinata, Ibid hlm. 111
189

dengan memperhatikan sistematika tertentu dan syarat-syarat formil yang ditetapkan

oleh perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian amar diatas Majelis Hakim mengadili seluruh bagian gugatan

yang diajukan Para Pihak. Akibat hukum dari amar putusan Majelis Hakim yaitu

gugatan serta eksepsi dari para pihak tidak diterima sehingga Pihak yang kalah dan

pera pihak tidak mempunyai hak terhadap tanah wakaf tersebut serta harus membayar

biaya perkara dalam persidangan ini. Putusan yang dikeluarkan secara tertulis agar

putusan mengikat Para Pihak.

2) Akibat Hukum Terhadap Tanah Wakaf yang Disengketakan

178
Tanah Wakaf adalah tanah hak milik yang sudah diwakafkan. . Menurut

Boedi Harsono, perwakafan tanah hak milik merupakan suatu perbuatan hukum yang

suci, mulia dan terpuji yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan

memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan
179
melembagakannya untuk selama-lamanya menjadi wakaf sosial. wakaf sosial

adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum

lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dasar hukum dari perwakafan tanah milik dapat ditemukan di Pasal 49 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

178
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, (Jakarta: Djambatan, 2005) hlm. 272
179
Ibid, Boedi Harsono, hlm 345
190

selanjutnya disebut UUPA yang menentukan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi

dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam

ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang

Perwakafan Tanah Milik selanjutnya disebut PP 28/1977. Pasal 1 ayat (1) PP 28/1977

menyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang

memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan

melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau

keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Agama Islam.

Pada sengketa tanah wakaf dalam Putusan Pengadilan Kediri Nomor

0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr tidak terdapat bukti yang menguatkan baik dari pihak

Penggugat maupun Tergugat sehingga Majelis Hakim Menolak gugatan para Pihak.

Dengan dikuasainya tanah wakaf oleh pihak ketiga menjadikan tanah wakaf yang

seharusnya berfungsi sebagai madrasah di masa yang akan datang dan porsi yang

diharapkan oleh wakif terhadap tanah wakaf yang diwakafkan menjadi hilang karena

sebidang tanah kering tersebut dibangun bangunan permanen.

Dalam pertimbangan hukum hakim “Menimbang, bahwa didalamnya

positanya, para Penggugat konvensi telah menguraikan tentang pelaksanaan ikrar

wakaf dan juga telah menguraikan tentang syarat dan rukun wakaf terhadap obyek

sengketa a quo, tetapi para Penggugat Konvensi didalam petitumnya tidak meminta

agar ikrar wakaf yang telah dilaksanakan tersebut sah. Namun demikian oleh karena

ikrar wakaf tersebut merupakan hal penting dalam persoalan wakaf, maka Majelis
191

Hakim berpendapat perlu terlebih dahulu mempertimbangkan apakah ikrar wakaf yang

telah dilaksanakan oleh H. Imam Mukti selaku wakif tersebut sah atau tidak. Hal ini

sejalan dengan yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 425/K/Sip/1975 tanggal 15

Juli 1975, yang konstruksi hukumnya menyatakan: “Mengabulkan lebih dari petitum

diizinkan, asal saja sesuai dengan posita.”

Dilihat dari pertimbangan hukum hakim diatas bahwa Penggugat Konvensi

didalam petitumnya tidak meminta agar ikrar wakaf yang telah dilaksanakan tersebut

sah. Akibat hukum tanah wakaf dalam Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor

0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr yatu hakim tidak mengesahkan wakaf tersebut sehingga

status tanah kembali menjadi tanah waris yang menjadi hak seluruh ahli waris sesuai

ketentuan hukum waris yang berlaku. Karena pada tahun 1940 belum ada peraturan

yang mengatur dan belum merdeka sehingga Pemerintah Kolonial Belanda

mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Government tahun 1931 Nomor 1361/A yang

termuat dalam Bijblad 1931 No. 12573.Akan tetapi berdasarkan Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 2 Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut

Syariah dan Pasal 3 Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan. Merujuk

Peraturan sekarang, Seharusnya hakim tetap mengesahkan wakaf agar keinginan wakif

mewakafkan wakafnya tidak hilang dan melanjutkan untuk melakukan pendaftaran

wakaf agar tidak terjadi sengketa di masa yang akan datang.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan permasalahan, maka kesimpulan yang didapat

sebagai berikut:

1. Proses terjadinya penguasaan tanah wakaf Dalam Putusan hukum hakim

Pengadilan Agama Kediri Nomor 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr pada tahun 1935

wakaf terdiri dari mushalla dan sebidang tanah kering, lalu sepeninggalan

takmir kedua tahun 1970 mulai didirikan tembok permanen diatas Sebagian

objek secara sepihak dan melanjutkan pembangunan tanpa menanggapi

peringatan dari keluarga besar Wakif dan tahun 1990 terjadi pemalsuan tanda

tangan diperuntukkan Akta Pengganti Ikrar Wakaf.

2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim memutus perkara sengketa tanah wakaf

dalam Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor 0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr

yaitu majelis hakim menggunakan metode penafsiran restrictive atau

penghalusan hukum dengan mempersempit aturan-aturan dalam memberikan

pertimbangan hukum sehingga hakim terfokus mencari kebenaran formil.

Sehingga putusan yang dikeluarkan kurang mencerminkan asas kepastian

hukum, keadilan dan kemanfaatan.

192
193

3. Akibat hukum tanah wakaf dalam Putusan Pengadilan Agama Kediri Nomor

0425/Pdt.G/2019/PA.Kdr yaitu batal demi hukum, dan wakaf dianggap tidak

pernah ada karena hakim tidak mengesahkan wakaf tersebut sehingga status

tanah kembali menjadi tanah waris yang menjadi hak seluruh ahli waris sesuai

ketentuan hukum waris yang berlaku. Selanjutnya, berdasarkan Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 2 Wakaf sah apabila

dilaksanakan menurut Syariah dan Pasal 3 Wakaf yang telah diikrarkan tidak

dapat dibatalkan. Merujuk Peraturan sekarang, Seharusnya hakim tetap

mengesahkan wakaf agar keinginan wakaf dari wakif tetap berlangsung serta

melakukan pendaftaran wakaf agar tidak terjadi sengketa di masa yang akan

datang.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan permasalahan, maka saran yang didapat sebagai

berikut:

1. Kepada Wakif kehendak wakaf harus diutarakan supaya tidak menjadi

permasalahan dikemudian hari antara ahli waris atau pihak penerima wakaf

(masyarakat) untuk kepastian hukum wakaf yang sah.

2. Kepada Nazir seharusnya lebih meningkatkan dalam pengelolaan dan

pengembangan wakaf, Nazir wajib mengelola tanah wakaf sesuai dengan

tujuan, fungsi, dan peruntukannya berdasarkan prinsip syariah.


194

3. Kepada Kantor Kementrian Agama seharusnya melakukan pencatatan atau

pendataan kembali status harta benda wakaf yang diwakafkan yang belum

terdaftar atau dibuatkan Akta Ikrar Tanah (AIW), agar status tanah wakaf jelas

dan memiliki bukti tertulis atau otentik terhadap tanah wakaf yang di

wakafkan.
195

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Ghofur. 2005. Hukum dan Praktif Perwakafan di Indonesia. Yogyakarta: Pilar
Media
Abdul Manan. 2006. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta:FajarInterpratama.
Abdul Ghofur. 2005. Hukum dan Praktif Perwakafan di Indonesia. Yogyakarta: Pilar
Media
Darji Darmodiharjo dan Sidharta. 2003. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty.
Dyah Ochtoria Susanti dan A’am Efendi. 2015. Penelitian Hukum (Legal Research).
Jakarta: Sinar Grafika.
Jaih Mubarok. 2008. Wakaf Produktif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media

Jamaluddin Mahasari. 2008. Pertanahan Dalam Hukum Islam.Yogyakarta: Gama


Media Cetakan ke-1
M. Daud Ali. 1998. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Masyarakat. Jakarta : UI Press.

M. Fauzan. 2007. Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah


Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
R. Subekti. 2014. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti

Satria Effendi M. Zein. 2010. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer


Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah . Jakarta: Prenada Media
Group.
Siah Khosyi’ah .2010. Wakaf & Hibah Perspektif Ulama Fiqh Dan Perkembangannya
di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
Soedikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
196

Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia


Press
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya:
Airlangga University Press
Sudargo Gautama. 2001. Prospek dan Pelaksaaan Arbitrase di Indonesia :
Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif (ADR). Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti
Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jakarta: Telaga Ilmu Indonesia.

Jurnal

Ahmad Hidayat. 2018. Sangketa Wakaf Atas Jaminan Hutang. Skripsi Fakultas Hukum
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
Nur Fadhilah, 2011. Sengketa Tanah Wakaf dan Strategi Penyelesaiannya. Jurnal
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulungagung. Volume 3
Mustofa Edwin dan Uswatun Hasanah. 2006. Wakaf Tanah Inovasi Financial Islam :
Peluang dan Tantangan Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat. Jakarta:
Program Studi Timur Tengah dan Universitas Islam Indonesia.
Islamiyati, Ahmad Rofiq, Rof’ah Setywati, Dewi Hendrawati. 2019. Implementasi UU
Wakaf Dalam Penyelesaian Sengketa Wakaf Di Wilayah Pesisir Jawa Tengah.
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Rika Lestari. Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi di
Pengadilan dan di Luar Pengadilan di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 3
No. 2
Riski Abdriana Yuriani, Upaya Pengadilan Negeri Yogyakarta dalam Menyelesaikan
Sengketa Melalui, Mediasi. Skripsi : Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri
Yogyakarta.
197

Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Dilengkapi dengan


Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, 2014
Jakarta: Buana Press.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase.

Kompilasi Hukum Islam dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun


1974 dan Kompilasi Hukum Islam Dilengkapi dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia,
Bandung: Citra Umbara, 2010
Peraturan Pemerintah Nomr 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
195

Anda mungkin juga menyukai