Anda di halaman 1dari 123

ANALISIS PERSENGKOKOLAN TENDER PAKET PERKERJAAN

PEMBANGUNAN KONTRUKSI JALAN PADA SAKTER PEKERJA UMUM


DAN PENATAAN RUANG PROVINSI NUSA TANGGARA BARAT
(STUDI PUTUSAN NO. 35/KPPU-I /2020)

HASIL PENELITIAN TESIS

Diajukan Sebagai Prasyarat untuk Mengikuti Ujian Hasil Seminar Proposal


Penelitian Tesis Bidang Kajian Utama Hukum Ekonomi dan Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Oleh:

M DENI HEGAR
02012682024021

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2022
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN MENGIKUTI
SEMINAR PROPOSAL PENELITIAN TESIS

Nama : M Deni Hegar


NIM : 02012682024021
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
Bidang Kajian Utama : Hukum Ekonomi dan Bisnis

Judul Tesis
ANALISIS PERSENGKOKOLAN TENDER PAKET PERKERJAAN
PEMBANGUNAN KONTRUKSI JALAN PADA SAKTER PEKERJA UMUM
DAN PENATAAN RUANG PROVINSI NUSA TANGGARA BARAT
(STUDI PUTUSAN NO. 35/KPPU-I /2020)
Telah Disetujui Mengikuti Seminar Hasil Penelitian Tesis

Palembang, 2022

Pembimbing Utama, Pembimbing Kedua,

Prof. Dr. H. Joni Emirzon,S.H.,M.Hum Dr. Irsan, S.H., M.Hum


NIP.196606171990011001 NIP.198301172009121004

Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum

Dr. Hj. Nashriana, S.H., M.Hum


NIP.196509181991022001

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI………………………………………………………………...…. iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang……………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………………. 16
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………… 16
D. Kerangka Teori…………………………………………………….... 18
E. Definisi Konseptual…………………………..……………………… 27
F. Metode Penelitian ……..……………………………………………. 29
1. Jenis Penelitian………………………………………………….. 29
2. Pendekatan Penelitian………………………………………….. 30
3. Jenis dan Sumber Bahan Hukum………………………………. 32
4. Teknik Analisis Bahan Hukum…………………………………. 33
5. Teknik Penarikan Kesimpulan………..……………………… 34
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Persaingan Usaha ........................................................................................35

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia .........................................35

2. Pengertian Persaingan Usaha .....................................................................40

B. Hukum Acara Persaingan Usaha................................................................53

1. Peran KPPU Dalam Menegekan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia .42

2. Peraturan Komisi Persaingan Usaha Tentang Prosedur Penanganan Perkara

di KPPU Prosedur Penanganan Perkara di KPPU .....................................46

C. Subtansi Undang-Undang No.5 Tahun 1999 ............................................50

1. Asas dan Tujuan .........................................................................................50

iii
2. Perjanjian Yang Dilarang ..........................................................................52

3. Kegiatan Yang Dilarang ............................................................................54

4. Posisi Dominan .........................................................................................56

D. Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha .........................................57

1. Pendekatan Rule Of Reason .......................................................................57

2. Pendekatan Per Se Illegal ..........................................................................59

E. Sanksi Terhadap Persaingan Tender .........................................................61

BAB III PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tender Terkait Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Hukum

Persaingan Usaha .........................................................................................65

1. Pengertian Barang dan Jasa ........................................................................65

2. Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Tender Paket Pekerjaan Kontruksi

Jalan Provinsi Nusa Tenggara Barat ..............................................................80

B. Pertimbagan Hukum Majelis Komisi Dalam Memutus Perkara Nomor

35/KPPU-I/2020 Tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Telah Sesuai Rule Of Reason a ..............................81

1. Pemenuhan Unsur Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Dalam Putusan KPPU

No.35/KPPU-I/2020 .......................................................................................81

2. Pembuktian Sebagai Hukum Formil Dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-

I/2020 .............................................................................................................89

iv
3. Putusan Pertimbangan Hakim ...................................................................97

C. Untuk Menganalisis Akibat Hukum Dari Persengkokolan Tender Dalam

Putusan KPPU No.35/KPPU-I/2020 Terhadap Kasus Yang Serupa ......99

1. Kasus Posisi Perkara ..................................................................................99

2. Indikasih-Indikasih dan Dampak Persengkokolan Dalam Tender………104

3. Perbandingan Kasus Yang Serupa………………………………………113

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN …………………………………………………………..120

B. SARAN ……………………………………………………………………122

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................123

LAMPIRAN

v
vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara menjadi wadah bagi berlangsungnya proses ekonomi yang terjadi

didalamnya. Tanpa memandang latar belakang tradisi, politik maupun budaya, setiap

negara sebagai unit ekonomi berkepentingan untuk menentukan perencanaan dan

kebijakan mengenai sistem perekonomiannya. Pemikiran tentang sistem ekonomi apa

yang sebaiknya digunakan oleh suatu negara adalah proses yang tidak pernah berhenti.

Demikian halnya dengan Indonesia, pergulatan pemikiran tentang sistem ekonomi apa

yang sebaiknya diterapkan di Indonesia telah dimulai sejak Indonesia belum mencapai

kemerdekaannya.

Menyusun kebijakan perekonomian nasional, negara merujuk kepada Pasal 33

UUD 1945 dimana tujuan pembangunan ekonomi adalah berdasarkan demokrasi yang

bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan

pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar. Dalam Pasal 33 UUD 1945, GBHN

menggariskan bahwa pembangunan di bidang ekonomi yang didasarkan pada

demokrasi ekonomi menentukan masyarakat harus memegang peranan aktif dalam

kegiatan pembangunan.1

1
Prathama Rahardja, Pengantar Ilmu Ekonomi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2008), hlm.481

7
8

Sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap

pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia

usaha, dan sebaliknya dari dunia usaha diharapkan adanya tanggapan terhadap

pengarahan dan bimbingan tersebut serta menciptakan iklim yang sehat.2

Perkembangan untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dicita-citakan oleh

UUD 1945 tersebut, marak terjadi kegiatan konglomerasi, penguasaan bisnis pada

sentralisme kekuasaan yang disinyalir kuat mengandung unsur praktik korupsi, kolusi,

dan nepotisme (KKN).3 Hal tersebut membuat Indonesia mengalami krisis ekonomi

yang berkepanjangan dan dibuktikan dengan adanya krisis ekonomi di Indonesia sejak

tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998.

Salah satu dari berbagai faktor penyebab rapuhnya perekonomian adalah karena

Indonesia tidak mengenal kebijakan persaingan (competition policy) yang jelas dalam

menentukan batasan tindakan pelaku usaha yang menghambat persaingan dan merusak

mekanisme pasar.4 Terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan perbuatan monopoli

merupakan gambaran telah terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi yang dikontrol oleh

beberapa pihak saja.

Konsentrasi pemusatan kekuatan ekonomi oleh beberapa pelaku usaha

memberikan pengaruh buruk pada kepentingan umum dan masyarakat. Hal ini

2
Rochmat Soemitro, Himpunan Kuliah Pengantar Ekonomi dan Ekonomi Pancasila , (Jakarta-
Bandung : PT. Eresco, 1983), hlm. 185
3
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 1.
4
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan : Pustaka
Bangsa Press, 2003), hlm. 2.
9

disebabkan karena konsentrasi pemusatan kekuatan ekonomi secara langsung akan

berakibat pada pasar dan keinginan untuk bersaing. Akibat pengontrolan pasar dan

harga oleh beberapa pelaku usaha maka dalam jangka panjang dapat membatasi

keinginan pelaku usaha lain untuk masuk ke pasar karena mereka tidak mendapat

kesempatan berusaha yang sama.

Keadaan KKN yang terus-menerus terjadi mengakibatkan Indonesia tidak

mampu membangun fondasi ekonomi nasional yang kuat dan menimbulkan dampak

negatif lanjutan yang menimbulkan krisis ekonomi berkepanjangan dan juga

mengakibatkan pula krisis sosial serta politik. Kondisi tersebut akhirnya mendorong

masyarakat Indonesia untuk selanjutnya mengeluarkan Undang-Undang Anti

Monopoli.5

Namun pada waktu itu sulit sekali suatu Undang-Undang Antimonopoli

disetujui oleh pemerintah, hal itu dikarenakan pemerintah menganut konsep bahwa

perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk menjadi lokomotif

pembangunan, dengan demikian perusahaan besar tersebut diberikan proteksi yang

dapat menghalangi masuknya perusahaan lain dalam bidang usaha atau diberikan

posisi monopoli.

Dalam rangka mempertahankan persaingan inilah dibutuhkan intervensi dari

negara dengan membuat regulasi atau aturan hukum di bidang persaingan usaha. Hal

ini bertujuan agar perilaku pelaku usaha tunduk pada aturan main yang berlaku dalam

5
Insan Budi Mulia, Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.5.
10

proses persaingan yang sehat. Tanpa adanya aturan hukum, persaingan usaha yang

sehat tidak mungkin dapat diwujudkan. Untuk menjamin adanya persaingan usaha

yang sehat itu, maka dibuatlah Undang-Undang Persaingan Usaha Tidak Sehat yang

mengatur berbagai mekanisme persaingan usaha dan menjamin terwujudnya

persaingan usaha yang sehat dan adil.

Aturan hukum tersebut diharapkan dapat menjadi sarana pencapaian

demokrasi ekonomi yang memberikan peluang yang sama bagi semua pelaku usaha

untuk ikut serta dalam proses produksi barang dan jasa dalam suatu iklim usaha yang

sehat, kondusif, dan kompetitif sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi

pasar yang wajar.6 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan landasan yang kuat untuk

menciptakan perekonomian yang efisien dan bebas dari segala bentuk distorsi.

Tujuan persaingan usaha diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang No.5 Tahun

1999 yaitu:7

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha

yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang

sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

6
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Kencana
Prenada Media Group,2008), hlm.12.
7
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha tidak Sehat, Pasal 3
11

c. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat uang

ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

Struktur Undang-Undang No.5 Tahun 1999 mengatur mengenai ketentuan

umum, perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang, posisi dominan,

KomisiPengawas Persaingan Usaha, prosedur penanganan perkara, sanksi serta

pengecualian.

Sebenarnya sudah sejak lama masyarakat Indonesia, khususnya para pelaku

bisnis, merindukan sebuah undang-undang yang secara komprehensif mengatur

mengenai persaingan sehat.8 Keinginan itu didorong oleh munculnya praktik-praktik

perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering memberikan

perlindungan ataupun previlege kepada para pelaku bisnis tertentu sebagai bagian dari

praktik-praktik kolusi, korupsi, kroni, dan nepotisme.

Persekongkolan tender dilarang karena dapat menimbulkan persaingan usaha

tidak sehat dan bertentangan dengan tujuan diadakannya tender tersebut, yaitu untuk

memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku usaha agar dapat menawarkan

harga dan kualitas bersaing. Dalam hukum persaingan usaha dilarang untuk melakukan

persekongkolan dalam tender.9

8
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013),
hlm.3.
9
Surya Bakti, “Eksistensi Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Penanganan
Persekongkolan Tender Perspektif Hukum Positif Indonesia”, (Pagaruyuang Law Jurnal, Vol. 3 No. 2,
2020), hlm. 3
12

Persengkokolan di atur dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

yang menyebutkan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan

atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

persaingan usaha tidak sehat.”

Persekongkolan tender dianggap menghalangi untuk menciptakan sebuah

persaingan usaha yang sehat. Bentuk-bentuk persekongkolan dalam tender terdiri atas:

a. Persekongkolan Horizontal adalah persekongkolan yang terjadi antara

pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha

atau penyedia barang dan jasa pesaingnya;

b. Persekongkolan Vertikal adalah persekongkolan yang terjadi antara salah

satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan

Panitia Tender atau Panitia Lelang atau pengguna barang dan jasa atau

pemilik atau pemberi pekerjaan;

c. Persekongkolan Horizontal dan Vertikal adalah persekongkolan antara

Panitia Tender atau Panitia Lelang atau Pengguna Barang dan Jasa atau

pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang

dan jasa;10

Dalam berkompetisi, tender yang bertujuan untuk memperoleh pemenang

paling tidak terdiri dari 2 (dua) atau lebih pelaku usaha sehingga ide dasar pelaksanaan

10
Pedoman Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
13

tender berupa perolehan harga terendah dengan kualitas terbaik dapat tercapai. Akan

tetapi disisi lain, persekongkolan tender dapat pula menimbulkan tindakan kolusif yang

bertujuan untuk meniadakan persaingan dan menaikkan harga.

Salah satu putusan KPPU sebagai penegak UU No. 5 Tahun 1945 yang

menunjukkan adanya persekongkolan tender adalah Putusan KPPU No. 35/KPPU-

I/2020 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

terkait Pengadaan Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3

(Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas

Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun

Anggaran 2017-2018, yang dilakukan oleh para telapor adalah:

1. Terlapor PT Metro Lestari Utama, Dalam praktiknya, Terlapor I telah

mengikuti dan menjadi pemenang tender Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan

(Program Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) danmengikuti Paket

4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan

Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-

2018.

2. Terlapor PT Eka Praya Jaya, Dalam praktiknya, Terlapor II telah mengikuti

Tender Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3

(Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan mengikuti dan menjadi pemenang Paket 4

(Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan

Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-2018.


14

3. Terlapor Kelompok Kerja Konstruksi Tim 51 (Pokja 51) ULP Provinsi Nusa

Tenggara Barat, Biro Administrasi Pembangunan dan Layanan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dalam

praktiknya, Terlapor III telah menyelenggarakan Pengadaan Paket Pekerjaan

Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan

Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan

Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-

2018.

Para Terlapor tersebut diduga melakukan pelanggaran pasal 22 UU No. 5

Tahun 1999 dikarenakan terdapat tindakan-tindakan yang sengaja dilakukan oleh para

Terlapor untuk memenangkan tender, diketahui dengan adanya kesamaan Bahwa

berdasarkan alat bukti dokumen Penawaran Terlapor I dan Terlapor II ditemukan

adanya kesamaan alamat komisaris yang beralamat KTP di Jalan Abdul Munsyi, Punia,

Mataram.

Diketahui dari kesamaan alamat tersebut membuktikan adanya hubungan

keluarga antara komisaris utama Terlapor I dengan komisaris Terlapor II yang dapat

mengakibatkan persinggungan kepentingan dalam tender perkara Kerja sama dalam

penyusunan dokumen penawaran. Berdasarkan alat bukti diketahui bahwa dalam

menyusun Dokumen Penawaran, Terlapor II meminta bantuan staf Terlapor I dan

menggunakan sumber berupa softcopy penawaran Terlapor I. Berdasarkan alat bukti


15

diketahui bahwa terdapat keterkaitan Terlapor I dan Terlapor II dalam penyusunan

dokumen penawaran.

Pada kegiatan tender, ditemukan persekongkolan diantara para pelaku usaha

maupun pihak pelaku usaha lain yang menimbulkan persaingan yang tidak sehat.

Untuk memberikan efek jera kepada para pelaku usaha, maka Komisi Pengawas

Persaingan Usaha memberikan tindakan administratif sebagaimana yang telah

ditentukan di dalam UU No.5 Tahun 1999.

Tindakan administratif yang dijatuhkan pada perkara persekongkolan tender

ini adalah penjatuhan denda administratif kepada para pelaku usaha yang terbukti

melanggar Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999. Pengenaan denda yang diatur dalam UU

No.5 Tahun 1999 yaitu serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

dan setinggitingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Denda

merupakan usaha mengambil keuntungan yang di dapatkan oleh pelaku usaha yang

dihasilkan dari tindakan anti persaingan.

Amar Putusan

1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV dan

Terlapor V terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999;

2. Menghukum Terlapor I, membayar denda sebesar Rp. 1.927.965.395,00 (satu

miliar sembilan ratus dua puluh tujuh juta sembilan ratus enam puluh lima ribu

tiga ratus sembilan puluh lima rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai
16

setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan

Usaha);

3. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp. 942.560.860,00

(sembilan ratus empat puluh dua juta lima ratus enam puluh ribu delapan ratus

enam puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan

Usaha);

4. Menghukum Terlapor III, membayar denda sebesar Rp. 385.593.079,00 (tiga

ratus delapan puluh lima juta lima ratus sembilan puluh tiga ribu tujuh puluh

sembilan rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan

denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755

(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Perasingan Usaha);

5. Menghukum Terlapor IV, membayar denda sebesar Rp. 942.560.860,00

(sembilan ratus empat puluh dua juta lima ratus enam puluh ribu delapan ratus

enam puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode


17

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Perasingan

Usaha);

6. Memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV untuk

melakukan pembayaran denda, melaporkan dan menyerahkan salinan bukti

pembayaran denda ke KPPU.

Berdasarkan uraian diatas penulis dengan hal ini ingin membahas penelitian

dengan judul “ANALISIS PERSENGKOKOLAN TENDER PAKET

PERKERJAAN PEMBANGUNAN KONTRUKSI JALAN PADA SAKTER

PEKERJA UMUM DAN PENATAAN RUANG PROVINSI NUSA TANGGARA

BARAT (STUDI PUTUSAN NO. 35/KPPU-I /2020)”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan tender terkait pengadaan barang dan jasa dalam hukum

persaingan usaha?

2. Apakah Pertimbagan hukum Majelis Komisi dalam memutus Perkara Perkara

Nomor 35/KPPU-I/2020 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 Telah Sesuai Rule of Reason?

3. Bagaimana akibat hukum dari Persengkokolan Tender studi putusan Nomor

35/KPPU-I/2020 terhadap kasus yang serupa?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
18

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dilakukan penelitian

ini adalah:

a. Untuk menganalisis pengaturan tender terkait pengadaan barang dan jasa

dalam hukum persaingan usaha dalam putusan KPPU NO. 35/KPPU-I

/2020.

b. Untuk menganalisis Majelis Komisi dalam memutus Perkara Perkara

Nomor 35/KPPU-I/2020 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 Telah Sesuai Rule of Reason.

c. Untuk menganalisis akibat hukum dari persengkokolan tender dalam

putusan KPPU NO. 35/KPPU-I/2020 terhadap kasus yang serupa.

2. Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian diatas diharapkan dapat memberikan manfaat

antara lain:

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi

ilmu pengetahuan Hukum Persaingan Usaha dan Perlindungan

Konsumen. Penelitian diharapkan dapat menambah kepustakaan di

dalam bidang Hukum Persaingan Usaha dan Perlindungan Konsumen

pada Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya. Penelitian ini dapat


19

digunakan sebagai referensi di bidang Hukum Persaingan Usaha dan

Perlindungan Konsumen khususnya mengenai monopoli

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak yang

berwenang sebagai bahan membuat kebijakan yang berkaitan dengan

hukum persaingan usaha, dijadikan tolak ukur bagi pemerintah untuk

menjalankan fungsinya dalam perlindungan persaingan usaha tidak

sehat yang khususnya ada di Indonesia sesuai dengan kewenangan yang

dimilikinya.

D. Kerangka Teori

Menurut Soerjono Soekarno kerangka teori merupakan landasan dari

teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori yang dimaksud adalah kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak

disetujui.11

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan

11
Soerjono Soekanto, , Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,2010), hlm. 6.
20

mengadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Menurut Soerjono Soekanto, bahwa kontunuitas perkembangan ilmu hukum,

selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial

sangat ditentukan oleh teori.12

Pada dasarnya, di dalam suatu penelitian ilmu hukum teori dapat diuraikan

menjadi Grand Theory, Middle Range Theory, dan Applied Theory. Adapun

teori-teori yang digunakan dalam menjawab permasalahan hukum yang ada

sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut:

1. Grand Theory

Grand Theory yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Teori

Keberlakuan Hukum. Teori Keberlakuan Hukum dalam analisis teori perundang-

undangan, maka kajiannya bisa dilihat dari sistem hukum karena berkaitan dengan

berlakunya suatu peraturan hukum. Soerjono Soekanto13 menguraikan bahwa ada

tiga hal yang mempengaruhi tentang berlakunya hukum yang kemudian disebut

dengan gelding theorie, yaitu :

1. Kaidah hukum tersebut berlaku secara yuridis, tetapi berlakunya suatu

aturan hukum secara yuridis yang diistilahkan oleh Hans Kelsen sebagai

aturan yang memiliki keabsahan, bukan berarti aturan tersebut dengan

sendirinya sudah berlaku efektif. Hans Kelsen membagi keberlakuan

12
Ibid,hlm.10
13
Soerjono Soekanto, ,Penegakan Hukum, Bina Cipta, (Bandung,2011), hlm.29
21

menjadi dua bagian yaitu keabsahan dan efektifitas. Keabsahan hanyalah

dilihat dari aspek prosedural, sedangkan efektivitas melihat dari sisi

penerapannya. Kelsen menyebutkan bahwa keabsahan dan keefektifan

tidak mungkin terjadi secara bersamaan.14 Norma hukum menjadi absah

sebelum ia menjadi efektif, yakni sebelum ia diterapkan dan dipatuhi.

Malahan dikatakan bahwa keefektifan merupakan suatu syarat keabsahan

dalam artian bahwa kefektifan harus menyertai penetapan norma hukum

agar norma itu tidak kehilangan keabsahannya;

2. Kaidah hukum itu berlaku secara sosiologis yakni aturan hukum itu

diterima oleh masyarakat secara dapat berlaku secara efektif, walaupun

kaidah tersebut dipaksakan berlakunya oleh penguasa meskipun tidak

diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan) atau tatanan hukum itu bersifat

represif,37 atau bisa juga kaidah itu berlaku karena diterima dan diakui

oleh masyarakat (teori pengakuan);

3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-

cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Ditegaskan juga bahwa

berlakunya kaidah hukum karena faktorfaktor tersebut harus dipandang

sebagai satu kesatuan dan tidak terpisah satu sama lain. Kalau dipandang

secara terpisah maka akan menimbulkan pengertian:

14
Hans Kelsen, Pure Theory of Law, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusa Media, (Bandung,
2008).hlm. 13
22

a) kalau suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis maka

kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah mati (dode regel);

b) apabila hanya berlaku secara sosiologis saja dalam arti teori kekuasaan

atau hukum yang bersifat represif, maka kaidah tersebut hanya berlaku

karena aturan pemaksa (dwangmaatregel);

c) apabila berlakunya hanya karena faktor filosofis saja, maka kaidah

hukum itu hanya merupakan hukum yang dicita-citakan saja (ius

constituendum).

Dengan demikian, agar suatu kaidah hukum dapat benar-benar berfungsi dan

ditegakkan dengan baik, maka ada beberapa faktor yang menentukan, yaitu:15

1. Faktor hukumnya atau peraturannya sendiri; Faktor hukumnya sendiri yang

harus menjadi persyaratan utama adalah mempunyai cukup kejelasan baik

dari segi makna maupun arti ketentuan yang menjadi substansi peraturan

tersebut. Di samping itu faktor sanksi merupakan salah satu faktor yang

menentukan berlakunya suatu peraturan secara efektif. Secara empirik

dampak sanksi baik yang bersifat negatif maupun positif akan nampak dari

tingkat kepatuhan atau ketaatan masyarakat terhadap peraturan yang

berlaku. Disamping itu faktor lain yang berpengaruh terhadap ketaatan

15
Ibid.,hlm.20
23

masyarakat adalah terletak pada kepentingan masyarakat yang dilindungi

dengan berlakunya peraturan tersebut;

2. Faktor petugas atau penegak hukum. Secara sosiologis, antara hukum dan

pelaksana hukum merupakan dua hal yang berbeda, dimana hukum

termasuk perundang-undangan dan berbagai asas hukum yang

mendasarinya merupakan suatu yang abstrak, sebaliknya penegakan hukum

termasuk Pengadilan merupakan suatu yang konkret. Penghubung antara

yang abstrak dan konkret itu dalam bekerjanya hukum adalah penegak

hukum, utamanya para hakim di Pengadilan;

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung pelaksanaan kaidah hukum.

Faktor sarana dan fasilitas sangat penting dalam menentukan dan

memperlancar penegakan hukum. Petugas penegak hukum apabila tidak

ditunjang oleh ketersediaan fasilitas dan sarana sangat tidak mungkin secara

optimal akan dapat melakukan penegakan hukum;

4. Faktor masyarakat dan kebudayaan dari lingkungan tempat berlakunya

peraturan tersebut.

Menurut Utrecht, Keberlakuan hukum mengandung dua pengertian, yang

pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan

apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi

individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat
24

umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan

oleh Negara.

Dalam penelitian ini kegunaan Teori Keberlakuan Hukum berhubungan dengan

adanya sebuah aturan yang berlaku secara jelas untuk menjadi pedoman bagi pelaku

usaha atau perusahaan dalam melaksanakan tender. Dalam aturan tersebut pelaku usaha

atau perusahaan wajib mengetahui dan melaksanakan perbuatan apa yang boleh atau

tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha atau perusahaan, selain itu aturan tersebut

menjadi batasan bagi KPPU tentang apa yang boleh atau tidak boleh dibebankan

kepada pelaku usaha atau perusahaan.

2. Middle Range Theory

Pada penelitian ini Middle Range Theory yang akan digunakan berupa Teori

Penegakan Hukum.

Setiap negara hukum memiliki tiga prinsip dasar, yaitu kesetaraan dihadapan

hukum (equality before the law), supremasi hukum (supremacy of law) dan penegakan

hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).16

Tujuan utama hukum yang terdiri dari kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan

dapat dicapai melalui penegakan hukum yang baik. Menurut Satjipto Raharjo,

penegakan hukum merupakan bagian dari proses hukum selain pembuatan hukum dan

16
Hasaziduhu Moko, Penegakan Hukum Di Indonesia Menurut Aspek Kepastian Hukum,
Keadilan dan Kemanfaatan Hukum, (Jurnal Wata Edisi: 59, Januari 2019), hlm.1.
25

administrasi keadilan. Jimly Asshidiqie mengartikan penegakan hukum sebagai proses

dilakukannya upaya untuk menegakkan atau membuat berfungsinya norma-norma

hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum

dalam kehidupan bermasyarakat.

Jimly Asshidiqie membagi pengertian penegakan hukum menjadi 2, yaitu

ditinjau dari sudut subjek dan sudut objek. Penegakan hukum ditinjau dari sudut

subjek berarti proses penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum yang terkait

dalam setiap hubugan hukum. Penegakan hukum ditinjau dari objek berarti proses

penegakan hukum turut memperhatikan nilai-nilai keadilan yang tertulis secara

formal maupun yang hidup di dalam masyarakat.

Penegakan hukum dapat terlaksana apabila ada keserasian antara moralitas

sosial, moralitas kelembagaan dan moralitas sipil warga negara yang didasarkan pada

nilai-nilai aktual masyarakat.17 Keadilan, kemanfaatan, perlindungan hak asasi

manusia, akuntabilitas dan transparansi menentukan baik atau tidaknya penegakan

hukum. Secara sederhana, penegakan hukum yang baik mengacu pada kinerja dan

gaya moral-legal yang sesuai dari aparat pelaksananya.

Lembaga yudisial berupa lembaga peradilan menjadi ujung tombak dari upaya

penegakan hukum. Hakim dianggap akan mampu memberikan rasa keadilan bagi

masyarakat melalui putusannya, meskipun tolak ukur keadilan setiap orang berbeda.

17
Kunsu Goesniadhie S, Perspektif Moral Penegakan Hukum Yang Baik, Jurnal Hukum,
Vol.17 No.2, April 2010, hlm.196.
26

Demi mencapai pelaksanaan penegakan hukum yang baik, proses pembentukan dan

penegakan hukum diharapkan tidak hanya terjadi di badan yudisial, namun harus pula

mencakup wilayah eksekutif dan legislatif. Keputusan-keputusan berkualitas yang

dihasilkan sebagai bagian dari proses penegakan hukum yang memenuhi standar

predictability, accountability, transparency dan widely participated akan

memberikan gambaran tingginya demokrasi di dalam suatu negara.18

Kegunaan Teori Penegakan Hukum dalam penelitian ini dihubungkan dengan

Penegakan aturan yang telah dibuat khususnya untuk pelaku usaha atau perusahaan

agar dapat terlaksana secara nyata dalam persaingan usaha tidak sehat. Penegakan

hukum yang baik harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip keadilan,

kemanfaatan, akuntabilitas, dan perlindungan pelaku usaha.

3. Applied Theory

Applied Theory yang akan digunakan berupa Teori Pengawasan Hukum.

Terselenggaranya pengawasan dalam sebuah institusi yakni untuk menilai kinerja suatu

institusi dan memperbaiki kinerja sebuah institusi. Oleh karena itu dalam setiap

perusahaan mutlak, bahkan rutin adanya sistem pengawasan. Dengan demikian

pengawasan merupakan instrument pengendalian yang melekat pada setihap tahapan

opersional perusahaan.

Fungsi pengawasan bermaksud untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan

18
Ibid., hlm.207.
27

kegagalan yang terjadi setelah perencanaan dibuat dan dilaksanakan. Keberhasilan

perlu dipertahankan dan jika mungkin ditingkatkan dalam perwujudan

manajemen/administrasi berikutnya dilingkungan suatu organisasi/ unit kerja

tertentu. Sebaliknya setiap kegagalan harus diperbaiki dengan menghindari

penyebabnya baik dalam menyusun perencanaan maupun pelaksanaannya.

Untuk itulah, fungsi pengawasan dilaksanakan, agar diperoleh umpan

balik untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat kekeliruan atau penyimpangan

sebelum menjadi lebih buruk dan sulit diperbaiki. Dalam kaitannya dengan pengertian

pengawasan terdapat berbagai macam pengertian mengidentifikasikan

pengertian pengawasan menurut dari beberapa ahli sebagai berikut:19

1. Lyndal F. urwick, pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan sesuai

dengan peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi yang dikeluarkan.

2. Sondang Siagian, pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh

kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang dilaksanakan

sesuai dengan rencana yang telah ditemukan sebelumnya.

3. George R Terry, pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus

dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan

dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai

dengan rencana yaitu selaras dengan standar.

19
https://www.negarahukum.ac.id/teori-pengawasan.html diakses pada tangal 10 februari
2022.
28

4. Stephen Robein, pengawasan adalah proses mengikuti perkembangan kegiatan

untuk menjamin (to ensure) jalannya pekerjaan dengan demikian, dapat selesai

secara sempurna (accomplished) sebagaimana yang direncanakan sebelumnya

dengan pengoreksian beberapa pemikiran yang saling berhubungan.

5. David granick, pengawasan pada dasarnya memiliki tiga fase yaitu; fase

legislatif, fase administratif, dan fase dukungan.

Teori Pengawasan Hukum dalam penelitian ini dihubungkan dengan

adanya Pengawasan terhadap pelaku usaha atau perusahaan dalam

melaksanakan persaingan usaha yang berpedoman dengan aturan yang

berlaku, agar terlaksana secara baik dan tidak terjadi penyimpangan dari

pelaksanaan aturan tersebut.

Terselenggaranya Komisi Pengawasan Persainga Usaha (KPPU) dapat

meningkatkan tidak terjadinya pesaing usaha tidak sehat. Dalam hal ini

pengawasan terhadap pelaku usaha atau perusahaan dilakukan secara khusus

oleh sebuah Lembaga Independen yang berwenang yakni. Komisi

Pengawasan Persainga Usaha (KPPU)

E. Definisi Konseptual

Penjelasan konseptual dilakukan manakala penelitian tidak beranjak

dari aturan hukum yang ada.20 Kerangka konsep merupakan kerangka yang

20 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2011), hlm. 177
29

menghubungkan antara konsep-konsep hukum yang ingin atau akan diteliti.

Suatu konsep bukan merupakan suatu gejala yang akan diteliti, akan tetapi

merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala ini dinamakan dengan

fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-

hubungan dari fakta tersebut. Di dalam penelitian ini penulis memaparkan

beberapa konsep, yaitu:21

1. Persekongkolan adalah sekumpulan orang yang bersekutu atau

berkelompotan yang telah sepakat untuk melakukan sesuatu

kejahatan atau perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.22

2. Tender adalah memborongkan pekerjaan atau menyuruh pihak lain

untuk mengerjakan seluruhnya atau sebagian pekerjaan sesuai

dengan perjanjian atau kontrak yang dibuat oleh kedua belah pihak

sebelum pekerjaan pemborong itu dilakukan.23

3. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha

dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang,

21 https://studylibid.com/doc/1227659/rangkap-jabatan-notaris-sebagai-pemimpin-badan-
usaha diakses pada 12 februari 2022.
22
M.A. Siregar, Hukum Anti Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: Sinar Grafika, 2017, hlm.
54
23
Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Jakarta:
Deustche Gesseschaft Fur Technishe Zussammenarbeit (GTZ), 2009, hlm.148.
30

dan atau jasa ang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan

hukum atau menghambat persaingan usaha.24

4. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah

lembaga yang bersifat independen, dimana dalam menangani,

memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat

dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah maupun pihak

lain yang memiliki conflict of interest, walaupun pelaksanaan

wewenang dan tugasnya bertanggungjawab kepada presiden. KPPU

juga adalah lembaga quasi judicial yang mempunyai wewenang

eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan usaha.25

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan-

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang sedang dihadapi.26 Dalam rangka mencapai tujuan

penelitian, penelitian menggunakan metode penelitian yuridis normatif.27

2424
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Anti Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
25
Hermansyah. . Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2008, hlm. 73
26
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 35
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 11-13
31

Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan mengkaji suatu

permasalahan dari analisis hukum tertulis berbagai aspek, yaitu aspek teori,

sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,

konsistensi, penjelasan umum pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan

megikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.28

Penelitian hukum normatif berhubungan langsung dengan praktik hukum yang

menyangkut dua aspek utama yaitu : pembentukan hukum dan penerapan

hukum.29

2. Pendekatan Penelitian

Sebagai dasar untuk menyusun argument yang tepat, penulis menggunakan

tiga jenis pendekatan (approach):

a) Pendekatan Filsafat (Philosophical Approach)

Pendekatan filsafat digunakan untuk mendapatkan pemahaman

yang lebih mendalam atas implikasi sosial dan dampak dari diterapkannya

suatu peraturan Perundang-undangan terhadap masyarakat.30

b) Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute approach)

28
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2004), hlm. 102
29
Johny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Malang: Banyumedia, 2007),
hlm. 56
30
Johni Ibrahim, Teori dan Metofologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publishing, 2007), hlm. 300
32

Pendekatan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan

mengkaji semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu

yang dibahas.31 Pendekatan perundang-undangan memiliki kegunaan yang

akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah

konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-

undang lainnya atau suatu undang-undang dengan Undang-Undang Dasar.

Dari hasil telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan

isu yang dihadapi.32

c) Pendekatan Konsep (Conceptual approach)

Pendekatan konseptual hukum menurut Peter Mahmud, beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu

hukum.33 Pendekatan konseptual akan memunculkan objek-objek yang

menarik dari sudut pandangan pengetahuan yang praktis sehingga dapat

menentukan maknanya secara tepat dan dapat digunakan dalam proses

pemikiran dengan mengidentifikasi terhadap prinsip, pandangan dan doktrin

yang sudah ada untuk kemudian memunculkan gagasan baru.34

31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
2007), hlm. 96
32
Dyah Ochtoria Susanti dan A’am Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), (Sinar
Grafika, 2015), hlm. 17
33
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 95
34
M. Mulyadi, Riset Desain Dalam Metodologi Penelitian (Jurnal Studi Komunikasi dan
Media, Vol. 16 No. 1, Januari 2012), hlm. 28
33

Pendekatan ini dilakukan dengan mengumpulkan pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum

yang dikemukakan oleh para ahli.

d) Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus

yang berhubungan dan telah menjadi putusan yang memiliki kekuatan

hukum tetap, yang digunakan dalam penelitian adalah rasio decidendi atau

penalaran yaitu pertimbangan pengadilan terhadap putusan-putusan.35

3. Jenis dan Sumber Bahan-Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

bahan sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan

dengan cara membaca, menelaah, dan mengutip peraturan perundang-

undangan, dokumen, buku, jurnal, kamus, dan literature lain yang relavan

dengan permasalahan yang akan dibahas.

a. Bahan Hukum Primer

Untuk penulisan penelitian ini, bahan hukum primer yang dibutuhkan

adalah:

1) Undang-Undang Dasar 1945

35
Op.Cit, Peter Mahmud Marzuki, hlm. 94
34

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

3) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Uaha Nomor 1 Tahun 2019

Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli Dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berbagai buku, jurnal

publikasi ilmiah, karya ilmiah seperti disertasi, hasil penelitian

terdahulu, draft peraturan dan seluruh pustaka yang memuat hukum

mengenai wakaf.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan

maupun petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

yakni berupa kamus hukum, jurnal, media massa, dan internet.36

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum yang diperoleh terkumpul. Dilakukan dengan

teknik analisis deskriptif kualitatif yaitu analisis yang dilakukan terhadap

36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajawali Pers,2010), hlm. 13-14
35

bahan hukum agar dapat tersusun secara ringkas dan sistematis sehingga

diharapkan dari bahan-bahan hukum tersebut akan muncul suatu

kesimpulan yang menjawab permasalahan dalam penelitian ini sekaligus

untuk ditarik kesimpulan.37

5. Teknik Penarikan Kesimpulan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik penarikan

kesimpulan secara deduktif, yaitu penarikan kesimpulan yang diawali

dengan hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus

atau hal-hal yang dimulai dari suatu hukum menuju kepada hal-hal bersifat

konkret.38

37
Muhammad Abdulkadir, Op.Cit. hlm. 127
38
Edutafsi,”Cara Merumuskan Kesimpulan Secara Deduktif dan Induktif”, dapat ditemukan
pada pranala http://www.edutafsi diakses 13 februari pukul 11.36 WIB
BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Persaingan Usaha

1. Sejarah Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Kerjasama dalam Indonesia hal-hal seperti ini merupakan nilai-nilai yang hidup

pada kehidupan bermasyarakat. Kultur kita berasumsi bahwa persaingan menjadi

sesuatu yang serta tidak parallel dengan nilai-nilai tersebut. Maka bersaing diartikan

sebagai tindakan yang bersifat individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan

sepihak dengan cara melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk

mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya. Pada hakikatnya orang menjalankan

kegiatan usaha adalah untuk memperoleh keuntungan dan penghasilan dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup, baik kebutuhan primer,sekunder, maupun kebutuhan

tersier. 39

Dalam bidang ekonomi terdapat suatu persaingan yang sering disebut

persaingan usaha, yang secara sederhana bisa dimaknai persaingan antara para penjual

di dalam merebut pembeli dan pangsa pasar. Ada banyak istilah hukum persaingan

usaha (competition law) yang digunakan seperti hukum antimonopoli (antimonopoly

law) dan hukum antitrust (antitrust law).40 Istilah yang digunakan secara resmi di

39
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2008), hlm. 9.
40
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, (Bogor Selatan: Ghalia Indonesia, 2004), hlm 14

36
37

Indonesia adalah hukum persaingan Usaha sebagaimana secara jelas dalam

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 merupakan Undang-Undang yang berasaskan

demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku

usaha dan kepentingan umum, Undang-Undang ini mempunyai peranan yang sangat

penting dan strategis dalam mewujudkan ikim persaingan usaha yang sehat di

Indonesia.41

Walau sebenarnya aturan-aturan yang terkait dengan persaingan usaha juga

telah ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun tentu belum

terintegrasi dan komprehensif. Seperti terdapat pada KUHP, KUHPerdata, Ketetapan-

Ketetapan MPR, UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1984

tentang Perindustrian, UU No.19 Tahun tahun 1992 tentang Merek, PP No.1 Tahun

1995 tentang Perseroran Terbatas, UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, UU

No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan PP No. 27 Tahun 1998 tentang

Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan.42

Lahirnya Undang-Undang Antimonopoli bermula ketika Indonesia mengalami

krisis moneter pada pertengahan tahun 1997 hingga mencapai puncaknya pada tahun

1998. Krisis yang dialami menggoncangkan perekonomian dan pemerintahan,

tantangan yang dihadapi pemerintah antara lain berupa masalah inflasi, infrastruktur

41
Suhasril & Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010) hlm. 13
42
Mustapa Khamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha: Teori dan Praktiknya di Indonesia,
(Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2019) hlm. 21
38

ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan kebutuhan pangan yang belum tercukupi

serta struktur pasar monopoli.43

Pada masa Orde Baru, pembangunan yang dilakukan tidak berdasarkan pada

teori hukum pembangunan, yang mana strategi pembangunan Indonesia pada saat itu

lebih berorientasi kepada pertumbuhan (growth) yang antara lain menggunakan strategi

substitusi impor, sementara dalam hal pendistribusian barang hanya dikuasai oleh

orang-orang tertentu. Krisis ekonomi yang terjadi kala itu disebabkan oleh manajemen

ekonomi pemerintahan Orde Baru yang telah merusak pilar-pilar ekonomi dalam dunia

perbankan, kebijakan ekonomi moneter, dan pinjaman utang luar negeri yang tinggi.

Maka untuk mengatasinya pemerintah mencari sumber dana lain untuk menghidupi

perekonomian dan pemerintahannya. Hampir semua lembaga keuangan dunia dilobi

agar bisa mengucurkan dananya ke Indonesia.44

International Monetary Fund (IMF) menyutujui pemberian bantuan keuangan

kepada Indonesia sebesar US$ 43 Miliar yang bertujuan untuk mengatasi krisis

ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan

hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya Undang-Undang

Antimonopoli. Syarat program IMF berisi 50 (lima puluh) butir kesepakatan yang

dituangkan dalam Letter Of Intent, ini merupakan serangkaian kebijakan deregulasi

yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah RI pada waktu itu, untuk menindaklanjuti

43
Op.Cit., hlm. 100
44
,Op.Cit., hlm. 23
39

program IMF akhirnya pemerintah mengeluarkan deregulasi terhadap berbagai

peraturan di bidang ekonomi yang menginstruksikan penghentian tindakan yang

mendistorsi pasar yang dilakukan oleh dan untuk kepentingan beberapa kelompok

usaha yang dekat dengan penguasa pemerintah.

Perjanjian antara Pemerintah RI dengan IMF bukan satu-satunya yang menjadi

alasan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Antimonopoli, jika berlandaskan

pada motivasi larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang

berkembang dalam perekonomian Indonesia yang semakin maju, seharusnya undang-

undang tersebut sudah lahir sekitar tahun 1980-an atau awal 1990-an ketika praktik

monopoli sedang gencar-gencarnya ditentang, sebab ketika itu diperlukan sebuah

peraturan perundang-undangan yang dapat mencegah munculnya konsentrasi ekonomi

dan monopoli, mana kala pembangunan ekonomi sudah bersifat monopolistik yang

dilakukan oleh penguasa, sementara di sisi lain kelakuan pelaku usaha anti persaingan

semakin sulit dikendalikan.45

Karena kenyataan di tanah air terjadi ketimpangan ekonomi, dimana data

menunjukkan, bahwa 99% pelaku usaha di tanah air merupakan sektor usaha kecil dan

menengah, dan mereka hanya menguasai aset ekonomi sebanyak 40% dari ekonomi

Nasional. Sedangkan sisanya yang 1% disebut sebagai pelaku usaha besar atau kakap

yang menguasai sekitar 60% aset ekonomi nasional. Timbul konglomerat pelaku usaha

45
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2009) hlm. 11
40

yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan

menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah melalui praktik usaha yang kasar

serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang

serta pasar keuangan.46

Kalangan konglomerat tersebut malahan diberikan perlindungan undang-

undang, contohnya adanya kartel semen, kaca, kayu, kertas serta penetapan harga

semen, gula, dan beras, penentuan akses masuk ke pasar untuk kayu dan kendaraan

bermotor, lisensi istimewa untuk cengkeh dan tepung terigu, pajak, pabean dan kredit

dalam sektor industri pesawat dan mobil. Oleh karenanya iklim persaingan usaha pada

masa orde baru itu bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi ekonomi, bahkan

sekaligus dapat dikatakan sebagai salah satu faktor penghambat terwujudnya

demokrasi di bidang ekonomi.

Dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi, tidak boleh dan harus ditiadakan

terjadinya penumpukan aset dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang,

sekelompok orang, atau perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan

pemerataan. Akhirnya untuk pertama kalinya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

menggunakan hak inisiatif untuk mengusulkan Undang-Undang Antimonopoli.47

Rancangan Undang-Undang Antimonopoli tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang

Paripurna DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh

46
Ibid, hlm. 11-12
47
Hikmahanto Juwanto, Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, (Jakarta: Lentera Hati,
2002) hlm. 56
41

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Rahemalan. Setelah seluruh prosedur

legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan

diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.

2. Pengertian Persaingan Usaha

persaingan adalah usaha memperlihatkan keunggulan masing-masing yang

dilakukan oleh perseorangan (perusahaan, negara) pada bidang perdagangan, produksi,

persenjataan, dan sebagainya. Kondisi persaingan sebenarnya merupakan satu

karakteristik yang lekat dengan kehidupan manusia yang cenderung untuk saling

mengungguli dalam banyak hal.48 Salah satu bentuk persaingan di bidang ekonomi

adalah persaingan usaha (business competition) yang secara sederhana bisa

didefinisikan sebagai persaingan antara para penjual dalam “merebut” pembeli dan

pangsa pasar. Sedangkan Khemani menyatakan bahwa persaingan ekonomi adalah :

“a situation where firms or sellers independently strive for buyer’s patronage

in order to achieve a particular business objective, for example, profits, sales or market

share… Competitive rivalry may take place in terms of price, quantity, service, or

combination of these and other factors that customers may value.”

Sama seperti yang dikemukakan sebagai definisi umum, dari pengertian diatas

juga tersirat adanya dua pihak (firms or sellers) yang bertujuan mencapai tujuan usaha

48
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Bogor : Ghalia Indonesia, 2004), hlm.13.
42

tertentu seperti keuntungan, penjualan, ataupun pangsa pasar. Persaingan dianggap hal

baik karena persaingan akan menuntut produsen (barang ataupun jasa) untuk berusaha

keras memuaskan keinginan konsumen dengan harga yang paling rendah dengan

menggunakan sumber daya yang sesedikit mungkin. Jadi tujuan utama hukum

persaingan adalah untuk mendorong persaingan.49

Sebenarnya, banyak istilah persaingan usaha yang digunakan di berbagai

negara namun memiliki arti sama, yaitu mengenai persaingan usaha. Seperti di

Amerika Serikat yang memakai istilah Hukum Antitrust atau Undang-Undang Antitrus

(Antitrust Law). Penggunaan istilah Antitrust Law oleh Amerika Serikat didasari

karena pada awalnya aturan hukum tersebut ditujukan untuk mencegah

pengelompokan kekuatan industri-industri yang membentuk “trust” (sejenis kartel atau

penggabungan) untuk memonopoli komoditi-komoditi strategis dan menyingkirkan

para pesaing lain yang tidak tergabung dalam trust tersebut.50

Secara hakiki istilah “hukum antitrust” memiliki pengertian yang sama dengan

istilah “hukum anti-monopoli”. Keduanya dipakai untuk menunjuk ketentuan-

ketentuan hukum yang ditujukan untuk meniadakan monopoli. Selain Antitrust Law,

terdapat istilah lain yang memiliki persamaan dengan Hukum Persaingan Usaha seperti

Unfair Trade Practices Law37 dan Fair Competition Law (Hukum Persaingan „Sehat‟).

Dalam penelitian ini, istilah yang akan sering digunakan adalah “hukum persaingan

49
Ibid, hlm. 13-14
50
Jhon W Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi (Jakarta: Elips, 2009), hlm. 9
43

usaha” yang mencakup ketentuan antimonopoli maupun ketentuan persaingan dalam

bidang usaha. Dengan melihat beberapa istilah diatas, dapat dikatakan bahwa apapun

istilah yang dipakai, kesemuanya berkaitan dengan tiga hal utama berikut ini :

a. pencegahan atau peniadaan monopoli.

b. menjamin terjadinya persaingan yang sehat.

c. melarang persaingan yang tidak jujur.

B. Hukum Acara Persaingan Usaha

1. Peran KPPU Dalam Menegakkan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia

Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang selanjutnya disebut

Komisi melalui Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 pada tanggal 8 Juli 1999. Pasal

30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa KPPU merupakan

lembaga independen yang terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah serta pihak

lain.

Dalam pelaksanaan tugasnya KPPU bertanggung jawab kepada Presiden

setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 1 angka 18 Undang-

Undang No.5 Tahun 1999 telah memberikan ketentuan tentang pengertian KPPU,

dimana yang dimaksud dengan “Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah komisi
44

yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegitan usahanya

agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.51

Komisi Pengawas Persaingan Usaha disebut sebagai state auxiliary organ

(lembaga negara bantu) yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga negara

pokok. Lembaga negara pokok yang dimaksudkan adalah lembaga legislatif, eksekutif

dan yudikatif. Komisi Pengawas Persaingan Usaha memiliki kewajiban

pertanggungjawaban kepada Presiden, ini menggambarkan bahwa fungsi dari Komisi

Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga negara bantu merupakan bagian dari

lembaga negara utama di ranah eksekutif.

KPPU Sebagai lembaga independen yang melaksanakan kewenangannya

sebagai lembaga penegak dan pengawas pelaksana UU No. 5 Tahun 1999. Dalam

menyelesaikan kasus-kasus yang berhubungan dengan praktek monopoli, diperlukan

suatu penekanan melalui kewenangannya dalam menjaga serta mendorong sistem

perekonomian yang lebih baik sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Adapun tugas KPPU adalah:

a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

51
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XIV/2016, hlm. 192
45

b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan/atau tindakan pelaku usaha

yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan

usaha tidak sehat.

c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi

dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat.

d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang komisi.

e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah yang

berkaitan dengan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

f. Menyusun pedoman dan/atau publikasi yang berkaitan dengan Undangundang

No.5 Tahun 1999.

g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada Presiden

dan DPR.

Tugas KPPU yang paling utama dari semua tugas dalam UU No. 5 Tahun 1999

adalah tugas sebagai penegak hukum (law enforcement). KPPU melaksanakan

tugasnya melalui tindakan penanganan perkara, penerbitan penetapan, serta putusan

atas perkara yang ditangani dalam melaksanakan upaya-upaya lanjutan yang

berhubungan dengan pelaksanaan penetapan putusan atas suatu perkara. Sebagai

lembaga penegak hukum yang melaksanakan tugas berdasarkan asas keadilan serta
46

melakukan perlakuan yang sama adil maka semua anggota wajib menjunjung tinggi

prinsip dan mematuhi tata tertib.52

Selain memiliki tugas KPPU juga memiliki kewenangan dalam melaksanakan

tugas tersebut. Kewenangan KPPU diatur dalam Pasal 36 UU No.5 Tahun 1999, yaitu:

a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang

dugaan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau

tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan

oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi

sebagai hasil penelitiannya.

d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau

tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap ketentuan undang-undang ini.

f. Memanggil dan menghadiri saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang

dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.

52
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm
328
47

g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi

ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang

tidak bersedia memenuhi panggilan komisi.

h. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan

penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini.

i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti

lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.

j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

pelaku usaha lain atau masyarakat.

k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga

melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha

yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

KPPU juga mendapat kepercayaan pemerintah dan legislatif dengan

diberikannya tugas dan kewenangan baru di luar pengawasan persaingan yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Tugas dan kewenangan ini diatur dalam

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

terkait dengan pengawasan pelaksanaan perjanjian kemitraan.

2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tentang Prosedur Penanganan

Perkara di KPPU Prosedur penanganan perkara di KPPU


48

pertama kali diatur dalam Keputusan Komisi Nomor 05/KPPU/Kep/IX/2000

tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran

Terhadap Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, yang kemudian disempurnakan

dalam Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara

di KPPU, yang kemudian diperbaharui menjadi Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun

2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, berdasarkan hasil Rapat Komisi tanggal

18 November 2009, dan kemudian seiring pesatnya perkembangan zaman yang juga

mempengaruhi model dan praktik usaha serta sejumlah pendekatan berbeda yang

diadopsi oleh KPPU, maka Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 dicabut dan

digantikan dengan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara

Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Perkara tender yang penulis bahas dalam skripsi ini terjadi pada tahun 2016

sehingga peraturan yang digunakan adalah Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010

tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Dalam Perkom 1 Tahun 2010 penangan

perkara didasarkan pada:53

a. Laporan Pelapor

b. Laporan Pelapor dengan permohonan ganti rugi

c. Inisiatif Komisi

53
Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara, Pasal 2
49

Sementara dalam Perkom yang terbaru yaitu Perkom No. 1 Tahun 2019

penanganan perkara hanya berdasarkan 2 hal, yaitu perkara Inisiatif & laporan , tetapi

tidak ada mengatur mengenai laporan dengan permohonan ganti rugi. Secara garis

besar tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang

No. 5 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2019

tentang Tata Cara Penanganan Perkara Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat adalah sebagai berikut:

1. Penyampain Laporan/Inisiatif Komisi

2. Klarifikasi Laporan/Penelitian

3. Penyelidikan

4. Pemeriksaan Pendahuluan

5. Pemeriksaan Lanjutan

6. Musyawarah Majelis Komisi

7. Pembacaan Putusan

Laporan dapat disampaikan melalui kantor pusat Komisi. kantor perwakilan

Komisi di daerah, atau melalui aplikasi pelaporan secara daring. Terhadap laporan yang

disampaikan akan dilakukan klrafikasi sementara penelitian inisiatif dimulai dengan

melakukan penelitian, nantinya hasil dari klarifikasi dan penelitian yang memenuhi

persyaratan akan dilanjutkan ke tahap penyelidikan untuk memperoleh bukti yang

cukup, kejelasan, dan kelengkapan dugaan pelanggaran Undang-Undang. Jika Laporan


50

Hasil Penyelidikan memenuhi persyaratan, maka proses penanganan perkara

dilanjutkan ke tahap Pelaporan dan dicatat dalam Daftar Perkara.54

Laporan Hasil Penyelidikan yang dinilai layak dan telah dilakukan Pelaporan

disusun oleh Investigator Penuntutan dalam Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP)

kemudian Majelis Komisi akan menetapkan Pemeriksaan Pendahuluan dan

pembentukan Majelis Komisi yang menangani perkara yang bersangkutan. Dalam

Perkom No. 1 Tahun 2019 terhadap pelanggaran tertentu sesuai pertimbangan Majelis

Komisi, diberikan kesempatan perubahan perilaku terhadap Terlapor setelah

pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran.

Komitmen Terlapor untuk melakukan perubahan perilaku dibuat dalam Pakta

Integritas Perubahan Perilaku yang ditandatangani Terlapor dan akan menjadi obejk

pengawasan Komisi dalam jangka waktu paling lama 60 hari. Apabila Terlapor

melanggar Pakta Integritas Perubahan Perilaku, maka unit kerja yang menangani

penyelidikan melaporkan pada Rapat Koordinasi agar perkara dilanjutkan ke tahap

Pemeriksaan Lanjutan.

Dalam hal seluruh Terlapor mengakui dan menerima Laporan Dugaan

Pelanggaran dan menyatakan tidak akan mengajukan alat-alat bukti untuk membantah

Laporan Dugaan Pelanggaran, maka proses pemeriksaan dilanjutkan ke tahap

Musyawarah Majelis Komisi untuk menjatuhkan Putusan. Terhadap Putusan yang

54
lebih lanjut mengenai tata cara upaya hukum keberatan ini telah diatur di dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2019.
51

dijatuhkan Komisi, terlapor dapat mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri tempat

kedudukan hukum usahanya paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak Pelaku

Usaha menerima petikan dan salinan Putusan Komisi dan/atau diumumkan melalui

situs web Komisi. Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara upaya hukum keberatan

ini telah diatur di dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2019.

C. Subtansi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

1. Asas dan Tujuan

Memahami suatu aturan perundang – undangan, perlu disimak terlebih dahulu

apa asas dan tujuan dibuatnya suatu aturan tersebut karena asas dan tujuan akan

memberi refleksi bagi pengaturan dan norma-norma yang dikandung dalam aturan

tersebut.55 Terkait dengan asas pada hukum persaingan usaha terdapat dalam Pasal 2

UU No. 5 Tahun 1999 yaitu bahwa:

“Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan

demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antar kepentingan pelaku

usaha dan kepentingan umum”

Demokrasi ekonomi yang dimaksudkan merupakan penjabaran Pasal 33 ayat

(4) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa:

55
Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia,
(Jakarta: ELIPS, 1999) hlm. 50
52

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar asas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan

lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi pasar”.

Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang mencantumkan mengenai asas demokrasi

ekonomi secara tegas dapat diteliti mengenai adanya kewajiban dalam operasional

struktur kelembagaan ekonomi yang dapat menunjukkan bahwa dari kepemilikan

usaha tersebut telah diatur secara adil berdasarkan konstitusi

Tujuan dari pembentukan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 menurut Pasal

3 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa :56

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional

sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan

usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan

berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan

pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha;

d. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

56
Reka Dewantara, Rekonseptualisasi Asas Demokrasi Ekonomi Dalam Konstitusi Indonesia,
Arena Hukum Vol. 7 No.2, Agustus 2014, hal. 195-196
53

Tujuan-tujuan yang ditegaskan dalam Pasal 3 maupun di dalam konsiderans

merupakan gabungan antara tujuan yang semata-mata didasari oleh kepentingan

ekonomis (meningkatkan efektivitas dan efisiensi ekonomi) dengan tujuan yang

didasarkan pada pertimbangan nonekonomis. Pertimbangan yang bersifat

nonekonomis ini tampak dalam tujuan “menjamin kesempatan yang sama bagi setiap

warga negara untuk ikut serta dalam proses produksi dan pemasaran barang/jasa” serta

“menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama di antara pelaku usaha besar,

menengah, kecil.

Selaku asas dan tujuan, pasal 2 dan 3 tidak memiliki relevansi langsung

terhadap pelaku usaha, karena kedua pasal tersebut tidak menjatuhkan tuntutan konkrit

terhadap perilaku pelaku usaha. Walaupun demikian, kedua pasal tersebut harus

digunakan dalam interpretasi dan penerapan setiap ketentuan dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999. Peraturan persaingan usaha agar di interpretasikan sedemikian

rupa sehingga tujuan – tujuan yang termuat dalam pasal 2 dan 3 tersebut dapat di

laksanakan se-efisien mungkin.57

2. Perjanjian Yang Dilarang

Pengertian perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu

perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih

pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. dapat

57
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2011), hlm 20
54

disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konteks Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999, meliputi:71

a. Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;

b. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak

dalam perjanjian;

c. Perjanjiannya dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis;

d. Tidak menyebutkan tujuan perjanjian.

Secara umum, perjanjian secara lisan merupakan sesuatu hal yang sulit

dibuktikan. Namun dengan adanya Pasal 1 angka 7 sebagaimana yang telah disebutkan

diatas secara hukum perjanjian lisan sudah dapat dianggap sebagai suatu perjanjian

yang sah. Adanya istilah “understanding” juga menimbulkan pertanyaan apakah hal

istilah tersebut juga dapat dianggap sebagai perjanjian. 58

Perjanjian dengan understanding ini disebut dengan “tacit agreement” yaitu jika

seorang pelaku usaha memberikan sinyal kepada pelaku usaha lain dengan jalan

membatasi produksi atau mengumumkan tambahan harga dengan harapan akan diikuti

oleh pelaku usaha yang lain. . Dalam hukum persaingan usaha yang terdapat di

beberapa negara mengatur tentang istilah tacit agreement misalnya Amerika. Akan

tetapi dalam hukum persaingan usaha di Indonesia sebagaimana yang diatur dengan

58
Ibid, hlm. 20-21
55

adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 “tacit agreement” masih belum mungkin

untuk diterima.59

3. Kegiatan Yang Dilarang

Dalam konteks hukum persaingan usaha, yang dimaksud dengan kegiatan

adalah suatu usaha, aktivitas, tindakan atau perbuatan hukum secara sepihak yang

dilakukan oleh pelaku usaha dengan tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya. Sementara

dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak dapat kita temukan suatu definisi

mengenai apa itu kegiatan.

Namun demikian, jika ditafsirkan secara a contrario terhadap definisi

perjanjian yang diberikan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dapat dikatakan

bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan kegiata adalah tindakan atau perbuatan

hukum sepihak yang dilakukan oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha

tanpa ada keterkaitan hubungan (hukum) secara langsung dengan pelaku usaha lainnya.

Dari sini jelaslah bahwa “kegiatan” merupakan suatu usaha, aktivitas, tindakan, atau

perbuatan hukum oleh pelaku usaha tanpa melibatkan pelaku usaha lainnya.

Jenis – jenis dari kegiatan yang dilarang menurut Undang – Undang No 5 tahun

1999 adalah sebagai berikut:

59
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
hlm 369
56

a. Monopoli

Monopoli adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau satu

kelompok pelaku usaha yang “menguasai” suatu produksi dan/atau pemasaran barang

dan/atau penggunaan jasa tertentu, yang akan ditawarkan kepada banyak konsumen,

yang mengakibatkan pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha tersebut dapat

mengontrol dan mengendalikan tingkat produksi, harga, dan sekaligus wilayah

pemasarannya.

b. Monopsi

Monopsoni diatur dalam pasal 18, yaitu terjadi ditingkat pembelian ketika

pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal

atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Pelaku usaha patut

diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal

apabila satu pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar

satu jenis barang atau jasa tertentu.

c. Penguasaan pasar

Bagian ketiga, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang

Penguasaan Pasar, yaitu terdapat di dalam pasal 19, 20, dan 21 dimana pada pasal 19

dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
57

sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

d. Persengkokolan

Persekongkolan diatur dalam pasal 22, 23, dan 24 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999. Definisi persekongkolan sendiri menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha

dengan pelaku usaha lain dengan maksud unttuk menguasai pasar bersangkutan bagi

kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.60

4. Posisi Dominan

Salah satu tujuan pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha adalah untuk

mendapatkan posisi dominan atau menjadi lebih unggul di pasar bersangkutan.

Penguasaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha tidak dilarang, sepanjang

pelaku usaha dalam mencapai posisi dominan tersebut pada pasar bersangkutan

menggunakan kemampuannya sendiri dan bersaing secara sehat. Bentuk posisi

dominan yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999 adalah yang bersifat umum,

jabatan rangkap, pemilikan saham, dan penggabungan, peleburan dan

pengambilalihan.

60
Ibid, hlm, 369-373
58

D. Pendekatan Dalam Hukum Persaingan Usaha

Secara yuridis atau hukum ada dua cara pendekatan yang dapat diterapkan,

yaitu per se illegal dan rule of reason. Kedua pendekatan ini digunakan oleh KPPU

utuk menganalisa apakah telah terjadi atau tidak indikasi pelanggaran Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 atau praktik persaingan usaha tidak sehat. Selain digunakan

untuk menganalisis terhadap praktik indikasi pelanggaran Undang-Undang,

pendekatan hukum ini juga dapat digunakan oleh KPPU untuk menindak pelaku usaha

yang secara terang-terangan melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999.

1. Pendekatan Rule Of Reason

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang menggunakan alasan

pembenaran apakah perbuatan yang dilakukan meskipun bersifat anti persaingan tetapi

mempunyai alasan pembenaran yang menguntungkan dari pertimbangan sosial,

keadilan maupun akibat yang akan muncul serta unsur maksud (intent).61

Substansi dari pasal-pasal dalam UU No. 5 Tahun 1999 mayoritas

menggunakan pendekatan rule of reason, yang tergambar dari konteks kalimat yang

membuka alternatif interprestasi bahwa tindakan tersebut harus dibuktikan dulu

akibatnya secara keseluruhan dengan memenuhi unsur-unsur yang ditentukan dalam

undang-undang apakah telah mengakibatkan terjadinya praktek monopoli ataupun

praktek persaingan tidak sehat. Adapun yang menjadi kelebihan dalam menggunakan

61
Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta Pusat: KPPU, 2017), hlm 76
59

pendekatan rule of reason adalah dalam melakukan analisis digunakan analisis

ekonomi untuk mencapai efisiensi yang bertujuan untuk mengetahui secara pasti

apakah perbuatan pelaku usaha tersebut memiliki keterkaitan terhadap persaingan.

Namun penggunaan pendekatan ini juga memiliki kelemahan yakni pendekatan yang

digunakan oleh hakim dan juri mensyaratkan pengetahuan tentang teori ekonomi dan

sejumlah data ekonomi yang kompleks,

dimana mereka belum tentu memiliki kemampuan yang cukup untuk

memahaminya agar dapat menghasilkan putusan yang tepat. Selain itu, sulit untuk

membuktikan kekuatan pasar, terlapor, mengingat pelapor harus menghadirkan saksi

ahli di bidang ekonomi dan bukti dokumenter. Dalam beberapa Negara,

persekongkolan dalam tender merupakan jenis pelanggaran yang sangat serius

sehingga digolongkan dalam per se illegal. Hal itu disebabkan karena persekongkolan

tersebut mengandung unsur kecurangan dan akibat yang merugikan terhadap anggaran

belanja pemerintah dan anggaran Negara.62

Di Indonesia, Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diperiksa

menggunakan pendekatan Rule of Reason, dikarenakan dalam Pasal 22 terdapat

cantuman kata “dapat mengakibatkan”. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang

62
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014),
hlm 328
60

mendalam apakah proses persekongkolan dalam tender tersebut dilakukan dengan cara

tidak jujur atau melawan hukum serta menghambat persaingan usaha.63

2. Pendekatan Per Se Illegal

Istilah kata Pendekatan per se berasal dari bahasa latin yang bermakna by itself,

in itself, taken alone, by means of itself, inherently, in isolation, unconnected with other

matter, simpley as such, in its own nature without reference to its relations. Pendekatan

Perse illegal adalah sebuah pendekatan yang menyatakan bahwa suatu perjanjian atau

kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha tertentu dilarang tanpa memerlukan adanya

suatu pembuktian yang ditimbulkan oleh suatu perjanjian atau kegiatan pelaku usaha

tersebut.

Oleh sebab itu, dalam konsep ini pelapor tidak perlu membuktikan akibat dari

perjanjian atau kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha terlapor. Bukti yang

dibutuhkan adalah perjanjian yang dibuat atau kegiatan bisnis tersebut benar-benar

dilakukan oleh pelaku usaha terlapor. Pada umumnya, pendekatan perse illegal

menggunakan kalimat dilarang tanpa ada kalimat tambahan yang dapat mengakibatkan

atau dapat mengakibatkan terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehat seperti yang

diatur dalam pendekatan rule of reason.

Konsep pendekatan ini memiliki kelebihan, yaitu:

63
Fitrah Akbar Citrawan, Hukum Persaingan Usaha (Penerapan Rule of Reason dalam
Penanganan Praktik Kartel), (Yogyakarta: Suluh Media, 2017), hlm 27
61

a. Adanya kepastian hukum terhadap munculnya suatu permasalahan hukum

antimonopoli;

b. Apabila ada suatu perjanjian atau perbuatan mengenai kegiatan yang

dilarang dilakukan yang akibatnya merusak dan merugikan persaingan

maka tanpa bersusah payah melakukan pembuktian, pendekatan ini dapat

diterapkan;

c. Pendekatan ini memudahkan hakim untuk memutus perkara persaingan

usaha karena hukum persaingan usaha mempunyai jangkauan yang sangat

luas yang memberikan kepada hakim untuk menafsirkan apakah terlapor

tersebut telah melanggar atau melakukan hambatan. Oleh sebab itu, dengan

menggunakan pendekatan ini dapat memudahkan majelis dalam memutus

perkara.

Namun apabila pendekatan ini diterapkan secara berlebihan dapat

mengakibatkan suatu perbuatan yang mungkin tidak merugikan atau mendorong

persaingan menjadi salah menurut hukum, karena terkadang pendekatan ini tidak

secara cermat menghasilkan pandangan apakah perbuatan perilaku usaha tersebut telah

merugikan konsumen dan menghilangkan persaingan.64

64
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Prakteknya di Indonesia,
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2011), hlm 72
62

E. Sanksi Terhadap Persekongkolan Tender

Pemberian sanksi pada hakikatnya diharapkan lebih komprehensif

pelaksanaannya dalam kehidupan masyarakat. Terkhususnya yang berkaitan dengan

persaingan usaha. Sanksi yang diatur didalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999

terdiri dari tindakan administratif, pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi

administratif diatur di dalam Pasal 47, pidana pokok di atur didalam Pasal 48 dan

pidana tambahan dalam Pasal 49 UU No.5 Tahun 1999. Sanksi administratif terhadap

pelaku usaha yang melanggar Pasal 22 yaitu :

a. Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti

menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak

sehat dan atau merugikan masyarakat.

b. Penetapan pembayran ganti rugi; dan atau

c. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar

rupiah). 65

Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjatuhkan sanksi administratif kepada

pelaku usaha yang melanggar ketentuan undangundang saja. Sedangkan bagi pihak

yang bukan pelaku usaha dalam kasus persekongkolan tender seperti Kelompok Kerja

(Pokja) Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, KPPU hanya memberikan rekomendasi

65
Indonesia ( UU No.5 Tahun 1999, pasal 47 )
63

kepada atasan dari ketua panitia dan/atau penyelenggaraan tender untuk melakukan

pemeriksaan terhadap panitia sehubungan dengan adanya indikasi pelanggaran.

Pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dikenakan pidana pokok seperti yang

diatur didalam Pasal 48 UU No.5 Tahun 1999, yakni berupa :

a. Pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000 dan setinggi-tingginya Rp

25.000.000.000 atau pidana kurungan pengganti denda selama 5 bulan

b. Pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000 dan setinggi-tingginya Rp

5.000.000.000 atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan,

dalam hal perilaku pelaku usaha dan/atau menolak menyerahkan alat bukti yang

diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan atau menolak diperiksa,

menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau

pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan/atau pemeriksaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan (2)

Pelanggaran terhadap Pasal 22 juga dapat dijatuhi pidana tambahan seperti

yang telah diatur di dalam Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1999 yakni :

a. Pencabutan izin usaha, atau;

b. Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran

terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau

komisaris sekurang-kurangnya 2 tahun dan selamalamanya 5 tahun, atau;


64

c. Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian pada pihak lain.

Penerapan sanksi terhadap para pelaku usaha yang melakukan pelanggaran

dalam persekongkolan tender, KPPU hanya dapat memebrikan sanksi admnistratif saja,

sebagaimana yang terdapat didalam Pasal 36 huruf l yakni menjatuhkan sanksi berupa

tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang

ini. Sedangkan mengenai penerapan sanksi pidana yang mana dalam persekongkolan

tender terdapat unsur pidana (menyebabkan kerugaian negara), KPPU mnyerahkan

perkara itu kepada pihak yang berwenang seperti Polisi maupun Komisi Pemberatasan

Korupsi (KPK).
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Tender Terkait Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Hukum

Persaingan Usaha

1. Pengertian Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan adalah suatu proses yang bertujuan untuk memperoleh barang/jasa

dengan pengeluaran yang minimal, dalam kualitas dan kuantitas yang tepat, waktu

yang tepat, dan pada tempat yang tepat untuk menghasilkan keuntungan atau kegunaan

secara langsung bagi pemerintah, perusahaan atau bagi pribadi yang dilakukan melalui

sebuah kontrak. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud,

baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. Sedangkan jasa

adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan

dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha66

Pengadaan Barang dan Jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa oleh

Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD yang

prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima hasil. Pengadaan

barang dan jasa merupakan perwujudan pelaksanaan tugas dan fungsi Negara dalam

66
Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, (Jakarta: PT
RajaGrafindo, 2000), hlm 12

65
66

memberikan pelayanan umum yang bersumber dari APBN dan APBD yang harus

dapat dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah.

Tujuan diadakannya pengadaan barang dan jasa adalah :

a. Menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang dibelanjakan,

diukur dari aspek kualitas, kuantitas, waktu, biaya, lokasi dan Penyedia;

b. Meningkatkan penggunaan produk dalam negeri;

c. Meningkatkan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi;

d. Meningkatkan peran Pelaku Usaha nasional;

e. Mendukung hasil penelitian dan pemanfaatan barang/jasa hasil penelitian;

f. Meningkatkan keikutsertaan industri kreatif;

g. Mewujudkan pemerataan ekonomi dan memberikan perluasan kesempatan

berusaha; dan

h. Meningkatkan Pengadaan Berkelanjutan.

2. Sejarah Pengaturan Pengadaan Barang dan Jasa

Pengadaan barang dan jasa muncul karena adanya kebutuhan akan suatu barang

dan jasa. Dan oleh karenanya, masyarakat akan berusaha untuk mendapatkan barang

dan jasa tersebut dan bisa melalui pasar.67 Metode yang digunakan dalam jual beli di

67
Siti Alisah, Sejarah Peraturan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, diakses dari
https://ilmu.lpkn.id/2021/02/22/sejarah-peraturan-pengadaan-barang-jasa-pemerintah, Pada 22 Mei
2022
67

pasar adalah dengan melakukan tawar menawar secara langsung antara penjual dan

pembeli. Artinya adalah transaksi jual beli tersebut terjadi setelah ada kesepakatan

harga antara penjual dan pembeli (pengguna barang dan jasa) dan pembeli akan

membayar harga berdasarkan harga yang telah disepakati dengan pihak penjual. Pada

hakekatnya, pengadaan barang dan jasa merupakan upaya untuk mendapatkan barang

dan jasa yang diinginkan dengan menggunakan metode dan proses tertentu agar

tercapai kesepakatan harga, waktu dan kesepakatan lainnya.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan bagian dari pengelolaan

keuangan Negara sehingga perlu memiliki penganturan tata kelola dan akuntabilitas.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah memiliki peranan yang sangat penting

dalampembangunan nasional karena bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik

dan pengembangan perekonomian nasional dan daerah. Dahulu sebelum adanya

Peraturan Presiden yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa, pengaturan

tentang pelaksanaan PBJ diatur dalam Keppres tentang pedoman pelaksanaan APBN.

Pengaturan mengenai Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Indonesia sudah beberapa

kali mengalami perubahan dan penyempurnaan ketentuan beserta segala aturan

pelaksana dan aturan turunannya.68

Dalam pelaksanaannya, pengadaan barang dan jasa berpedoman pada Peraturan

Presiden, yang dimana pengaturan terbarunya diatur dalam Peraturan Presiden No. 12

68
Agus Kasiyanto, Tindak Pidana Korupsi Pada Proses Pengadaan Barang dan Jasa, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2018), hlm 56
68

Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018

Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

3. Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa

Prinsip adalah suatu asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir dan

bertindak. Dalam pengadaan barang dan jasa terdapat beberapa prinsip sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 6 Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 yang terdiri atas

a. Efisien

Pengertian dari prinsip ini adalah dalam pengadaan barang/jasa harus

mengoptimalkan penggunaan dana dan daya yang terbatas guna mencapai sasaran yang

telah ditentukan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan bisa dipertanggungjawabkan.

Adapun yang menjadi tujuan dari prinsip efisien adalah:69

1. Untuk menghindari tindakan pemborosan yakni dengan menekan biaya yang

sedikit namun tetap beriorientasi untuk mencapai sasaran yang semaksimal

mungkin berdasarkan perencanaan yang telah ditentukan.

2. Penggunaan waktu yang seminimal mungkin tanpa ada pengurangan mutu dari

barang/jasa yang dihasilkan.

Langkah-langkah yang dilakukan supaya pengadaan barang dan jasa dapat efisien

adalah:

69
Peraturan Presiden RI No. 54 tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa, Penjelasan
Pasal 5 huruf a.
69

1. Penilaian kebutuhan, yaitu apakah suatu barang dan jasa tersebut benar-benar

diperlukan oleh suatu instansi pemerintah.

2. Penilaian metode pengadaan harus dilakukan secara tepat sesuai kondisi yang

ada. Kesalahan pemilihan metode pengadaan dapat mengakibatkan

pemborosan biaya dan waktu.

3. Survei harga pasar sehingga dapat dihasilkan HPS (Harga Perkiraan Sendiri)

dengan harga yang wajar.

4. Evaluasi dan penilaian terhadap seluruh penawaran dengan memilih nilai value

for money yang terbaik.

5. Menerapkan prinsip-prinsip dasar lainnya dalam proses pemilihan penyedia

barang dan jasa.70

b. Efektif

Pengertian dari prinsip ini adalah pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan

kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-

besarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan. Maksud dari manfaat yang besar

adalah kualitas terbaik, penyerahan tepat waktu, kuantitas terpenuhi, mampu bersinergi

dengan barang/jasa lainnya dan terlaksananya dampak optimal bagi keseluruhan

pencapaian kebijakan atau program.

70
Penerapan Prinsip Pengadaan, diakses dari https://pengadaan.kemdikbud.go.id//peenerapan
prinsip dasar pengadaan bagian 1, Pada 23 Mei 2022
70

c. Transparan

Pengertian dari prinsip ini adalah semua ketentuan dan informasi mengenai

pengadaan barang dan jasa bersifat jelas dan dapat diketahui oleh penyedia barang/jasa

yang berminat serta oleh masyarakat pada umunya.103 Informasi tersebut dapat berupa

dasar hukum, syarat teknis, tata cara, mekanisme, spesifikasi barang/jasa dan semua

hal yang berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa.71

d. Terbuka

Pengertian dari prinsip ini adalah pengadaan barang dan jasa dapat diikuti oleh

semua penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan tertentu berdasarkan

ketentuan dan prosedur yang jelas. Setiap peserta yang memenuhi syarat dapat dengan

mudah memperoleh informasi mengenai prosedur yang jelas untuk mengikuti seleksi

dalam pengadaan.

e. Bersaing

Pengertian dari prinsip ini adalah pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui

persaingan yang sehat di antara sebanyak mungkin Penyedia Barang/Jasa yang setara

dan memenuhi persyaratan, sehingga dapat diperoleh barang/jasa yang ditawarkan

secara kompetitif dan tidak ada intervensi yang menggangu terciptanya mekanisme

71
Purwosusilo, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm 331
71

pasar dalam Pengadaan Barang/Jasa. Adapun yang menjadi syarat agar suatu proses

pengadaan barang dan jasa bersaing secara sehat adalah:

1. Pengadaan barang dan jasa harus transparan dan dapat diakses oleh seluruh

calon peserta;

2. Kondisi yang memungkinkan masing-masing calon peserta mempu melakukan

evaluasi diri berkaitan dengan tingkat kompetisi serta peluang untuk

memenangkan persaingan;

3. Dalam setiap tahapan dari proses pengadaan harus mendorong terjadinya

persaingan sehat;

4. Pengelola Pengadaan Barang/Jasa harus secara aktif menghilangkan hal-hal

yang menghambat terjadinya persaingan yang sehat;

5. Dihindarkan terjadinya conflict of interest108; dan

6. Ditegakkannya prinsip tidak diskriminasi.72

f. Adil

Pengertian dari prinsip ini adalah memberikan perlakuan yang sama bagi semua

calon Penyedia Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada

pihak tertentu, dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Contohnya adalah

mengikutsertakan usaha kecil, usaha menengah dan koperasi kecil dalam pengadaan,

dan haruslah mengutamakan produksi dalam negeri. Dalam proses penyediaan barang

72
Ibid, hlm 333
72

dan jasa haruslah dilaksanakan berdasarkan cara-cara yang telah ditentukan dalam

Peraturan Presiden dan tidak boleh ada kepentingan tertentu dari Pihak Pejabat

pengadaan dengan penyedia barang/jasa yang dapat mengakibatkan perlakuan khusus

bagi salah satu calon penyedia barang/jasa. Jika dalam prosespemilihan ada yang

mendapat perlakuan tidak adil maka pihak calon penyedia yang merasa dirugikan dapat

mengajukan sanggahan.

g. Akuntabel

Pengertian dari prinsip ini adalah harus sesuai dengan aturan dan ketentuan yang

terkait dengan Pengadaan Barang/Jasa sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Salah

satu cara agar pengadaan barang dan jasa pemerintah lebih kredibel adalah dengan

menerapkan etika diantara pengelola dan dan pengadaan barang/jasa pemerintah. Hal-

hal yang wajib diperhatikan sehingga Pengadaan Barang/Jasa akuntabel adalah:

a. Adanya arsip dan pencatatan yang lengkap;

b. Adanya suatu sistem pengawasan untuk menegakkan peraturan;

c. Adanya mekanisme untuk mengevaluasi, mereview, meneliti dan mengambil

tindakan terhadap protes dan keluhan yang dilakukan oleh peserta.

4. Etika Pengadaan Barang dan Jasa

Kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yakni ethos dan

ethikos. Ethos artinya sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa. Ethikos artinya susila,

keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik
73

dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). 73 Etika dalam

pengadaan barang dan jasa adalah perilaku yang baik dari semua pihak yang terlibat

dalam proses pengadaan barang dan jasa dimana maksud dari perilaku baik ini adalah

saling menghormati terhadap tugas dan fungsi masing-masing pihak.

Dalam suatu perbuatan yang tidak dapat dilakukan dan sangat bertentangan dalam

pelaksanaan pengadaan barang dan jasa adalah salah satu pihak atau lebih secara

bersama-sama melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh karena

itu diperlukan adanya upaya untuk peningkatan mutu pelaksanaan pengadaan barang

dan jasa, yaitu penyempurnaan regulasi hukum yang mengatur tentang pengadaan,

meningkatkan profesionalisme para pelaku pengadaan serta meningkatkan

pengawasan serta penegakan hukum.

Dan supaya tujuan pengadaan barang dan jasa tercapai dengan baik maka semua

pihak yang terlibat dalam proses pengadaan wajib mengikuti norma yang berlaku. Jenis

norma dalam pengadaan barang dan jasa terdiri atas dua, yaitu norma tertulis dan norma

tidak tertulis. Norma tertulis pada umumnya adalah norma yang bersifat operasional

sedangkan norma tidak tertulis pada umumnya adalah norma yang sifatnya ideal.

Norma ideal dalam pengadaan barang dan jasa tersirat dalam pengertian tentang

hakikat, filosofi, etika dan profesionalisme dalam bidang pengadaan. Sedangkan norma

yang bersifat operasional pada umumnya telah dirumuskan dan dituangkan dalam

73
Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari https://kbbi.web.id/etika, Pada 23 Mei 2022
74

peraturan perundang-undangan yang berupa undang-undang, peraturan, pedoman,

petunjuk, dan bentuk produk hukum lainnya.

5. Para Pihak dalam Pengadaan Barang dan Jasa

Dalam pengadaan barang dan jasa terdapat beberapa pihak yang terlibat, yaitu:74

a. Pengguna Anggaran (PA)

Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran

Kementerian Negara/Lembaga/Perangkat Daerah. Dalam pengadaan barang dan

jasa yang bersumber dari APBN, maka yang jadi PA adalah Menteri dan Kepala

Lembaga, dan yang bersumber dari APBD adalah Kepala Dinas dan Kepala Badan.

b. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)

Kuasa pengguna anggaran adalah pejabat di bidang pengadaan yang ditunjuk oleh

Pengguna Anggaran untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) atau ditunjuk oleh perangkat daerah untuk menggunakan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam menjalankan tugasnya, KPA dapat

dibantu oleh Pengelola Pengadaan Barang/Jasa.

c. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk mengambil

keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran

anggaran belanja negara/anggaran belanja daerah serta mengadakan dan

74
Peraturan Presiden RI No. 12 Tahun 2021, Pasal 8
75

menetapkan perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran belanja yang telah

ditetapkan.

d. Pejabat Pengadaan

Pejabat Pengadaan adalah pejabat administrasi/pejabat fungsional/personel yang

bertugas melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan atau E-

purchasing.

e. Pokja Pemilihan

Pokja Pemilihan adalah sumber daya manusia yang ditetapkan oleh kepala UKPBJ

untuk mengelola pemilihan Penyedia. Pokja Pemilihan biasanya beranggotakan tiga

orang.75

f. Agen Pengadaan

Agen pengadaan adalah UKPBJ atau Pelaku Usaha yang melaksanakan sebagian

atau seluruh pekerjaan Pengadaan Barang/Jasa yang diberi kepercayaan oleh

Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah sebagai pihak pemberi pekerjaan. Agen

pengadaan berwenang untuk melakukan proses pemilihan Penyedia.

g. Penyelenggara Swakelola

Penyelenggaran swakelola adalah tim yang melaksanakan kegiatan secara

swakelola. Penyelenggara swakelola terdiri atas:

75
UKPBJ (Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa) adalah unit kerja di
Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah yang menjadi pusat keunggulan Pengadaan Barang/Jasa.
Lihat Pasal 1 Angka 11 Peraturan Presiden No. 12 tahun 2021
76

1. Tim Persiapan bertugas untuk menyusun sasaran, rencana kegiatan, jadwal

pelaksanaan, dan rencana biaya;

2. Tim Pelaksana bertugas untuk melaksanakan, mencatat, mengevaluasi, dan

melaporkan secara berkala kemajuan pelaksanaan kegiatan dan penyerapan

anggaran;

3. Tim Pengawas bertugas untuk mengawasi persiapan dan pelaksanaan fisik

maupun administrasi swakelola.76

h. Penyedia

Penyedia adalah pelaku usaha yang menyediakan barang dan jasa yang disepakati

berdasarkan kontrak. Penyedia harus memenuhi kualifikasi barang dan jasa yang

diadakan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemilihan

penyedia dapat dilakukan melalui metode e-purchasing, pengadaan langsung,

penunjukan langsung, tender cepat dan tender. Dalam pengadaan barang dan jasa,

penyedia bertanggung jawab atas pelaksanaan kontrak, kualitas barang/jasa,

ketepatan penghitungan jumlah/volume, ketepatan waktu dan tempat penyerahan.

6. Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik

Pengadaan barang dan jasa secara elektronik (E-procurement) adalah Pengadaan

Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan

76
Swakelola adalah pekerjaan yang dilaksanakan atau dikelola secara independen. Kamus
Besar Bahasa Indonesia, diakses dari https://www.kbbi.web.id, Pada 23 Mei 2022.
77

transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Tujuan pengadaan

barang dan jasa secara elektronik adalah:

a. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas

b. Meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat

c. Memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan

d. Mendukung proses monitoring dan audit

e. Memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time. Dalam penyelenggaraan

pengadaan barang dan jasa secara elektronik,77

pemerintah menyediakan Sistem Informasi Pengadaan nasional yang terdiri dari

Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan Sistem Pendukungnya. SPSE adalah

aplikasi pengadaan barang dan jasa secara elektronik yang dikembangkan oleh LKPP

dan diterapkan pada kementrian/lembaga/perangkat daerah di seluruh Indonesia. SPSE

dikembangkan oleh LKPP dan bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara

(BSSN) yang berfungsi untuk enkripsi dokumen, serta Badan Pengawasan Keuangan

dan Pembangunan (BPKP) yang berfungsi untuk sub system

Secara umum, pengadaan barang dan jasa secara elektronik dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu:

77
Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan
Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Paralegal.id, Transaksi Elektronik,
diakses dari https://paralegal.id/pengertian/transaksi-elektronik, Pada 23 Mei 2022
78

a. E-Tendering

Adalah tata cara pemilihan penyedia barang dan jasa yang dilakukan secara terbuka

dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang dan jasa yang terdaftar pada SPSE

dengan cara menyampaikan satu kali penawaran dalam waktu yang sudah ditentukan.

Para pihak yang terlibat dalam e-tendering adalah PPK, ULP/Pejabat Pengadaan dan

penyedia barang dan jasa. Dalam aplikasi e-tendering terdapat beberapa unsur-unsur

yang harus dipenuhi, yaitu perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan kerahasiaan

dalam pertukaran dokumen, serta tersedianya sistem keamanan dan penyimpanan

dokumen elektronik yang menjamin dokumen elektronik tersebut hanya dapat dibaca

pada waktu yang telah ditentukan.

Metode E-tendering terdiri atas E-Lelang untuk pemilihan Penyedia

barang/pekerjaan kontruksi/jasa lainnya, E-Lelang cepat untuk pemilihan penyedia

barang/konstruksi/jasa lainnya dengan memanfaatkan informasi kinerja penyedia

barang/ jasa yang tidak memerlukan penilaian kualifikasi, administrasi dan teknis, E-

Seleksi untuk pemilihan penyedia jasa konsultasi, serta E-Seleksi Cepat utuk pemilihan

penyedia jasa konsultasi dengan memanfaatkan informasi kinerja penyedia barang/ jasa

yang tidak memerlukan penilaian kualifikasi, administrasi dan teknis. E-tendering

diadakan menggunakan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik yang

diselenggarakan oleh LPSE.78

78
Utami Reginasti, “Tinjauan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Sistem Pengadaan
Barang/Jasa Elektronik”, Jurnal Pengadaan, Vol. 1, No. 2, April 2018, hlm. 30
79

b. E-Purchasin

Adalah tata cara pembelian barang dan jasa melalui sistem katalog elektronik (e-

catalog) yang memuat informasi teknis dan harga barang/jasa. Katalog elektronik ini

disusun oleh LKPP melalui sebuah kontrak payung kepada produsen atau penyedia

utama sehingga harga yang ditawarkan dipastikan jauh lebih rendah dibandingkan

harga pasaran. Tujuan diselenggarakannya e-purchasing adalah:

1. Terciptanya proses pemilihan barang atau jasa secara langsung melalui sistem

katalog elektronik sehingga memungkinkan semua ULP/Pejabat pengadaan

dapat memilih barang atau jasa pada pilihan terbaik; dan

2. Efisiensi biaya dan waktu proses pemilihan barang atau jasa dari sisi penyedia

barang atau jasa dan pengguna. Pengadaan barang/jasa elektronik dapat

mempermudah penyedia barang/jasa dalam mengikuti proses pengadaan sebab

penyedia barang/jasa tidak perlu melakukan tatap muka dengan panitia.

Pengadaan barang/jasa elektronik pun dapat mencakup wilayah yang lebih luas.

Dengan terminimalisirnya tatap muka antara peserta dan penyelenggara, berkurang

juga potensi penyimpangan yang dapat dilakukan baik oleh panitia maupun peserta

pengadaan barang/jasa pemerintah.79

79
I Putu Jati Arsana, Manajemen Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, (Yogyakarta:
Deepublish, 2016), hlm 113
80

2. Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Dalam Tender Paket Pekerjaan Konsrtuksi

Jalan Propinsi Nusa Tenggara Barat

Dalam Tender Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3

(Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker

Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-2018, pendaftaran tender

secara elektronik Setiap intansi pemerintah memiliki Layanan Pengadaan Secara

Elektronik dengan Berdasarkan pembukaan dokumen penawaran, urutan harga

penawaran dari peserta tahap evaluasi dilakukan terhadap data administrasi yang

disampaikan oleh peserta tender dan evaluasi hanya dilakukan terhadap hal-hal yang

tidak dinilai pada saat penilaian kualifikasi.

Adapun hasil evaluasi administrasi terhadap dokumen penawaran peserta. Bahwa

tahap evaluasi teknis meliputi evaluasi terhadap data teknis dalam dokumen penawaran

dari peserta yang dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi (lulus tahap evaluasi

administrasi). Bahwa evaluasi harga dilakukan terhadap penawaran yang memenuhi

persyaratan teknis. Unsur-unsur yang dievaluasi adalah total harga penawaran terhadap

HPS, harga satuan timpang, mata pembayaran yang harga satuannya nol, kewajaran

harga dan upah pekerja.

Bahwa evaluasi formulir isian kualifikasi dilakukan dengan menggunakan metode

sistem gugur. pembuktian persyaratan kualifikasi dilakukan dengan cara melihat

keaslian dokumen atau legalisir dan meminta salinannya. Selanjutnya menetapkan dan

mengumumkan pemenang tender memberikan kesempatan menyampaikan sanggahan.


81

Hingga berakhirnya jangka waktu, tidak ada peserta yang menyampaikan sanggahan

atas penetapan pemenang.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem pengadaan barang dan

jasa yang digunakan dalam Tender Paket Pekerjaan Pembangunan jalan Propinsi Nusa

Tenggara Barat adalah sistem pengadaan secara elektronik dengan menggunakan

metode lelang elektronik atau E-Lelang.80 Pengadaan barang dan jasa secara elektronik

adalah Pengadaan Barang/Jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi

informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

B. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi dalam memutus Perkara Perkara

Nomor 35/KPPU-I/2020 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 Telah Sesuai Rule of Reason

1. Pemenuhan Unsur Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-

I/2020

Dalam Perkara Nomor 35/KPPU-I/2020 tentang Dugaan Pelanggaran Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengadaan Paket Pekerjaan Konstruksi

Jalan (Program Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan Paket 4 (Pelangan-

80
E-Lelang adalah metode pemilihan Penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya secara
elektronik untuk semua pekerjaan yang dapat diikuti oleh semua Penyedia barang/pekerjaan
konstruksi/jasa lainnya yang memenuhi syarat. Lihat Peraturan Kepala LKPP No. 1 Tahun 2015 Tentang
E-Tendering, Pasal 1 angka 1
82

Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi

Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-2018, yang dilakukan oleh

Terlapor I, PT Metro Lestari Utama, merupakan badan usaha didirikan berdasarkan

Akta Nomor: 25 tanggal 30 September 1991 yang dibuat oleh Abdullah, S.H., Notaris

di Mataram dengan kegiatan usaha di bidang ekspedisi angkutan darat, pemborongan

bangunan dalam arti umum seperti Gedung-gedung, jalan-jalan, jembatan-jembatan,

saluran air (irigasi), instalateur, pertukangan kayu/mabeleur dan lain-lain yang

berhubungan dengan teknik bangunan, perdagangan umum dan pengeboran air tanah,

selanjutnya disebut Terlapor I Dalam praktiknya, Terlapor I telah mengikuti dan

menjadi pemenang tender Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan)

Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan mengikuti Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4)

pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat

APBD Tahun Anggaran 2017-2018

Terlapor II, PT Eka Praya Jaya, merupakan badan usaha didirikan berdasarkan Akta

Nomor 46 tanggal 21 Oktober 2003 yang dibuat oleh Petra Mariawati A.I.S, S.H.,

Notaris di Mataram dengan maksud dan tujuan untuk melakukan kegiatan usaha

pemborongan, pertambangan, perindustrian dan perdagangan, selanjutnya disebut

Terlapor II. Dalam praktiknya, Terlapor II telah mengikuti Tender Paket Pekerjaan

Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan

mengikuti dan menjadi pemenang Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker


83

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD

Tahun Anggaran 2017-2018

Terlapor III, Kelompok Kerja Konstruksi Tim 51 (Pokja 51) ULP Provinsi Nusa

Tenggara Barat, Biro Administrasi Pembangunan dan Layanan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, selanjutnya disebut Terlapor

III. Merupakan unit layanan pengadaan barang/jasa yang dibentuk berdasarkan Surat

Perintah Tugas Nomor: 090.1/567/BAPP-LPBJP tertanggal 17 Mei 2017

Berdasarkan Peraturan Komisi No. 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22

UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, yang dimaksud dengan persekongkolan tender adalah kerjasama antara

dua pihak atau lebih, yang dilakukan secara terang-terangan maupun diam-diam melalui

tindakan penyesuaian atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan dan

menciptakan persaingan semu dan atau menyetujui untuk memberikan fasilitas dan atau

tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui bahwa tindakan

tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender

tertentu.81

Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diperiksa menggunakan

pendekatan Rule of Reason, dikarenakan dalam Pasal 22 terdapat cantuman kata “dapat

81
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktik serta
Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 369
84

mengakibatkan” sehingga perlu dilakukan kajian yang mendalam apakah

persekongkolan dalam tender tersebut bersifat menghambat persaingan di antara pelaku

usaha. Dalam hal pembuktian pelanggaran pada perkara a quo, Majelis Komisi

melakukan metode pendekatan untuk membuktikan bahwa Para Terlapor tersebut benar

adanya melakukan persekongkolan tender.82

Ketentuan Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam

Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pelaku usaha lain dan/atau pihak

yang terkait dengan pelaku usaha lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang

tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 tersebut, yang menjadi unsur-unsur dari

persekongkolan tender, yaitu:

1. Pelaku Usaha Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 yang dimaksud

dengan pelaku usaha adalah:

“setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi.”

82
Akhmad Suraji, et al, Dua Dekade Penegakan Hukum Persaingan: Perdebatan dan Isu Yang
Belum Terselesaikan, (Jakarta: KPPU, 2021) hlm. 79
85

Dalam perkara a quo ini, yang menjadi pelaku usaha adalah Terlapor I, yaitu

PT Metro Lestari Utama, yang mana merupakan pemenang Tender Paket

Pekerjaan kontruksi jalan n (Program Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp.

Pengantap 3) dan mengikuti Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD

Tahun Anggaran 2017-2018. Dengan demikian, unsur pelaku usaha telah

terpenuhi.

2. Pelaku Usaha Lain Dalam perkara KPPU No.35/KPPU-I/2020, yang dimaksud

dengan pelaku usaha lain adalah Terlapor II PT Eka Praya Jaya, yang dimana

dalam prakteknya merupakan peserta Tender Paket Pekerjaan dan menjadi

pemenang Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan

Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun

Anggaran 2017-2018. Dalam hal ini unsur pelaku usaha lain telah terpenuhi.

3. Pihak yang terkait dengan Pelaku Usaha.

Berdasarkan Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016:

“Makna persekongkolan sebagaimana yang dimaksudkan pada Pasal 1 angka 8

UU No. 5 Tahun 1999 dapat menjawab dan mengimbangi kompleksitas modus

persekongkolan yang ada, maka harus diperluas tidak saja hanya antar pelaku

usaha dalam pengertian yang konvensional akan tetapi juga “pihak yang terkait

dengan pelaku usaha”. 83

83
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013),
hlm. 1-3.
86

Pemaknaan demikian menurut Mahkamah tidak saja menjadikan frasa “pihak

lain” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU 5/1999

yang ada dalam praktik selama ini dan dapat menjangkau siapa saja dan tanpa

batas, akan tetapi diharapkan akan menjadi terbatas yaitu sampai pada pihak yang

ada kaitannya dengan pelaku usaha”.

Dalam perkara KPPU No. 35/KPPU-I/2020, yang dimaksud dengan pihak yang

terkait dengan pelaku usaha adalah Kelompok Kerja Konstruksi Tim 51 (Pokja 51)

ULP Provinsi Nusa Tenggara Barat, Biro Administrasi Pembangunan dan Layanan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat,

selanjutnya disebut Terlapor III. Dalam hal ini unsur pihak lain terpenuhi.

4. Unsur Bersekongkol

Dalam perkara ini terdapat persekongkolan horizontal yang dilakukan oleh

Terlapor I, II, III,. Bahwa berdasarkan alat bukti dokumen Penawaran Terlapor I dan

Terlapor II ditemukan adanya kesamaan alamat komisaris yang beralamat KTP di Jalan

Abdul Munsyi, Punia, Mataram. Diketahui dari kesamaan alamat tersebut

membuktikan adanya hubungan keluarga antara komisaris utama Terlapor I dengan

komisaris Terlapor II yang dapat mengakibatkan persinggungan kepentingan dalam

tender perkara.

Bahwa dalam alat bukti diketahui adanya kesamaan dokumen penawaran Terlapor

I dan Terlapor II diantaranya yaitu hitungan, Daftar Harga Satuan Upah, hitungan

Daftar Harga Satuan Bahan dan hitungan Daftar Harga Satuan Peralatan. Terdapat
87

Kerja sama dalam penyusunan dokumen penawaran, Berdasarkan alat bukti diketahui

bahwa dalam menyusun Dokumen Penawaran, Terlapor II meminta bantuan staf

Terlapor I dan menggunakan sumber berupa softcopy penawaran Terlapor I.

Berdasarkan alat bukti diketahui bahwa terdapat keterkaitan Terlapor I dan Terlapor II.

Selanjutnya tindakan Terlapor III terkait dengan adanya kesamaan dan kerjasama

dapat dikategorikan sebagai tindakan menyetujui dan/atau memfasilitasi terjadinya

persekongkolan dan pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau

pihak terkait secara langsung maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang

mengikuti tender dengan cara melawan hukum. Oleh karena itu dapat disimpulkan

unsur persekongkolan terpenuhi.84

5. Mengatur dan Menentukan Pemenang Tender

Maksud dari mengatur atau memenangkan peserta tender adalah suatu perbuatan

para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol yang bertujuan untuk

menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan/atau untuk memenangkan

peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Dalam kasus ini, Tindakan Terlapor I dan

Terlapor II yang melakukan kerja sama dalam penyusunan dokumen penawaran baik

pada Paket 3 dan Paket 4 secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan

84
Insan Budi Mulia, Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.
5
88

tindakan penyesuaian dokumen peserta tender lainnya dan membandingkan

penyesuaian dokumen tender sebelum penyerahan membuktikan keikutsertaan.

Terlapor I dan Terlapor II dalam tender a quo dilakukan dengan cara tidak jujur

untuk mengatur dan/atau menentukan Terlapor I dan II sebagai pemenang tender.

Terlapor I dan Terlapor II terbukti melakukan persekongkolan akan tetapi tidak cukup

bukti untuk membuktikan tindakan mengatur dan menentukan pemenang tender.

Terlapor III melakukan pembiaran dengan cara tidak melakukan evaluasi secara benar

serta tidak menggagalkan proses tender perkara a quo meskipun terdapat berbagai

macam indikasi persaingan usaha tidak sehat dan tindakan Terlapor III tersebut

memfasilitasi Terlapor I dan II sebagai pemenang tender. Dalam hal ini unsur mengatur

dan menentukan pemenang tender terpenuhi.

6. Unsur Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berdasarkan Pasal 1 Angka 6 UU No. 5 Tahun 1999, persaingan usaha tidak sehat

adalah:85

“Persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau

pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan

hukum atau menghambat persaingan usaha.”

Pada perkara KPPU No. 35/KPPU-I/2020, ditemukan bahwa Pokja Terlapor III

terkait dengan adanya kesamaan dan kerjasama dapat dikategorikan sebagai tindakan

85
Ibid, hlm.7.
89

menyetujui dan/atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan dan pemberian

kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender atau pihak terkait secara langsung

maupun tidak langsung kepada pelaku usaha yang mengikuti tender dengan cara

melawan hukum.

Terlapor III melakukan tindakan pembiaran dengan cara tidak melakukan evaluasi

secara benar serta tidak menggagalkan proses tender perkara a quo meskipun terdapat

berbagai macam indikasi persaingan usaha tidak sehat dan tindakan Terlapor III

tersebut memfasilitasi Terlapor I dan II sebagai pemenang tendern sehingga Terlapor I

lulus dalam tahapan evaluasi dan menguntungkan Terlapor I dan II sebagai pemenang

tender. Adapun tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan

mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam hal ini, unsur

terjadinya persaingan usaha tidak sehat telah terpenuhi. Berdasarkan analisa yang telah

dipaparkan di atas, menurut Penulis, Majelis Komisi telah tepat dalam membuktikan

unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999.86

2. Pembuktian Sebagai Hukum Formil dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-

I/2020

Dalam penanganan suatu perkara terdapat sejumlah tahapan untuk sampai pada

tahap pembacaan putusan. Salah satu tahapan tersebut adalah tahap pembuktian.

Hukum pembuktian dilaksanakan sebagai upaya untuk mewujudkan sebuah keadilan

86
Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha (Bogor : Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 73-74
90

dan kepastian dalam hal peradilan. Pada hakikatnya, hukum pembuktian diadakan

untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya sehingga dapat melahirkan suatu putusan

yang adil.87

Pembuktian dalam perkara persaingan usaha akan menjadi penentu apakah perkara

yang berasal dari laporan atau perkara inisiatif dari KPPU akan terbukti atau tidak.

Dalam hal terdapat bukti yang cukup maka terlapor akan dinyatakan terbukti secara

sah dan menyakinkan melakukan pelanggaran dalam perkara tersebut. Begitupun

sebaliknya, apabila tidak terbukti maka Majelis Komisi akan menjatuhkan putusan

yang isinya menyatakan bahwa dugaan pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak terbukti

secara sah dan menyakinkan.

Dengan adanya pembuktian akan menjadi titik terang untuk mengetahui siapa yang

melakukan pelanggaran terhadap UU Persaingan Usaha. Membuktikan dalam arti

yuridis adalah memberi dasar-dasar yang cukup kepada majelis komisi yang

memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran

kepastian yang diajukan. Pembuktian secara yuridis tidak hanya memberi kepastian

kepada majelis, tetapi juga bagaimana terjadinya suatu peristiwa, yang tidak tergantung

pada tindakan para pihak, seperti persangkaan dan keyakinan majelis atas keterangan

terlapor.

87
Ibid, hlm.76.
91

Maksud dari pembuktian adalah menyakinkan majelis komisi tentang kebenaran

dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara persaingan usaha, baik itu yang

sumber perkaranya berasal dari laporan masyarakat maupun inisiatif dari KPPU

mengenai dugaan pelanggaran terhadap pasal atau ayat tertentu dari UU No. 5 Tahun

1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.88 Dalam

suatu perkara persaingan usaha, tidak semua dalil yang menjadi dasar laporan harus

dibuktikan kebenarannya karena dalil yang tidak disangkal terlebih diakui sepenuhnya

oleh terlapor tidak perlu dibuktikan lagi.

Apabila pelaku usaha terlapor mengakui kebenaran dari laporan tersebut maka

sudah cukup alasan bagi majelis komisi untuk menjatuhkan putusan bahwa pelaku

usaha terbukti melakukan pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha tidak sehat.

Dalam pembuktian di KPPU, Majelis Komisi akan menentukan siapa diantara pihak-

pihak berperkara yang diwajibkan untuk memberikan bukti.

Dengan kata lain, majelis komisilah yang akan menentukan pihak mana yang

memikul beban pembuktian. Berdasarkan Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menjadi alat

bukti dalam hukum persaingan usaha adalah:

88
Binoto Nadapdap, Hukum Acara Persaingan Usaha Pasca Putusan Makahmah Konstitusi,
(Jakarta: Kencana, 2020), hlm 101
92

1. Keterangan Saksi

Keterangan Saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan

dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh Saksi sendiri. Keterangan saksi

bisa dinyatakan dalam bentuk tertulis maupun lisan dandibuat berdasarkan sumpah.

Kehadiran saksi dalam perkara persaingan usaha terjadi karena permintaan tiga

pihak, yaitu permintaan investigator penuntuntutan, permintaan dari terlapor, dan

permintaan dari majelis komisi berdasarkan jabatannya.89

2. Keterangan Ahli

Keterangan Ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam

persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengetahuan dan pengalamannya.

Syarat seseorang yang dapat memberikan keterangan ahli adalah memiliki keahlian

khusus dan pengalaman yang sesuai dengan keahliannya yang dituangkan dalam

dokumen riwayat hidup asli.

3. Surat dan/atau Dokumen

89
Saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan
dan/atau pemeriksaan tentang suatu perkara pelanggaran Undang-Undang, yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan ia alami sendiri serta mempunyai pengetahuan yang terkait langsung terjadinya
pelanggaran Undang-Undang. Lihat Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019, Pasal 1 angka 15.
93

Surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang

dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran

seseorang dan digunakan sebagai pembuktian. Surat atau dokumen yang diajukan

sebagai alat bukti merupakan salinan atau copy surat atau dokumen asli yang telah

dilegalisasi di Kantor Pos.

4. Petunjuk

Petunjuk merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan perjanjian

dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan menurut

ketentuan Undang-Undang, menandakan bahwa telah terjadi suatu perjanjian

dan/atau kegiatan yang dilarang dan/atau penyalahgunaan posisi dominan dan siapa

pelakunya. Petunjuk dapat berupa bukti ekonomi dan atau bukti komunikasi yang

oleh Majelis Komisi diyakini kebenarannya.90

5. Keterangan Pelaku Usaha

Adalah keterangan yang disampaikan oleh pelaku usaha yang diduga

melakukan pelanggaran Undang-Undang dalam persidangan yang berupa

pengakuan, dimana pengakuan tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh pelaku

usaha, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis

Komisi.

90
Binoto Nadapdap, Op.cit, hlm 104
94

Dalam perkara KPPU No. 35/KPPU-I/2020, pembuktian dilakukan oleh tim

investigator komisi dan para terlapor. Pembuktian dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-

I/2020 dilaksanakan untuk membuktikan:

a. Persekongkolan Horizontal

Dalam LDP, tim investigator menguraikan terkait penemuan indikasi

persekongkolan yang dilakukan oleh Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III,. Adapun

pembuktian terhadap penemuan indikasi persekongkolan tender di dalam persidangan

terdiri atas:

Kesamaan Dokumen penawaran yang berdekatan, antar Peserta Tender

Terlapor I, Terlapor II, Terlapor Ahli LKPP (Nosin), dalam evaluasi dokumen, Telapor

pokja harus melakukan pemeriksaan untuk mencari apakah ada indikasi dari

persekongkolan tender, dan apabila ada kesamaan dalam pengetikan atau dilakukan

oleh satu orang dengan user ID atau IP Addres komputer yang sama maka itu

merupakan persekongkolan tender. Bahwa berdasarkan alat bukti diketahui bahwa

terdapat kesamaan perhitungan TKDN pada penawaran yang disampaikan oleh

Terlapor I dan Terlapor II pada bagian perhitungan Jasa.91

Berdasarkan keterangan ahli LKPP (Nosin) bahwa apabila terjadi kesamaan

metadata tidak bisa serta merta langsung menyimpulkan berasal dari sumber yang

sama/mempunyai keterhubungan yang erat dan harus dilakukan pemeriksaan secara

91
OECD, Pedoman untuk Mengatasi Persekongkolan Tender dalam Pengadaan Publik, hlm
3-4
95

fisik isi dokumen untuk memastikan dugaan pelanggaran yang terjadi. Terlapor III

dalam persidangan yang menyatakan pada pokoknya tidak melakukan pemeriksaan

penawaran secara cermat atau membandingkan seluruh dokumen penawaran peserta

tender, terlebih in casu Terlapor III telah berpengalaman melaksanakan pengadaan

barang dan jasa sejak tahun 2006 untuk Ketua Pokja dan sejak tahun 2012 untuk

Anggota Pokja.

b. Persengkokolan Vertikal

Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor III melakukan tindakan pembiaran

terjadinya persekongkolan horizontal antara Terlapor I dan Terlapor II yang

menciptakan persaingan semu melalui pengaturan pemenang tender melalui

pengaturan harga penawaran pada masing-masing Paket 3 dan Paket 4. Berdasarkan

uraian fakta persidangan tersebut di atas, Majelis Komisi menilai Terlapor III telah

melakukan tindakan berupa tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun

mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk

mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.92

Bahwa Majelis Komisi menilai berdasarkan bukti persekongkolan vertikal

sebagaimana diuraikan di atas, Terlapor I, Terlapor II dan Terlapor III telah melanggar

etika pengadaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf f Perpres

Nomor 54 Tahun 2010 yaitu melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung

92
Ibid, hlm.6.
96

jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan Pengadaan

Barang/Jasa; serta menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan

para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses

Pengadaan Barang/Jasa.93

Bahwa Majelis Komisi menyimpulkan berdasarkan fakta dan analisis

sebagaimana telah diuraikan di atas, terdapat bukti persekongkolan vertikal yang

dilakukan oleh Terlapor I dan Terlapor II dengan Terlapor III dalam tender Paket 3 dan

Paket 4 berupa tindakan Terlapor III yang menyetujui atau memfasilitasi terjadinya

persekongkolan dan tindakan Terlapor III yang tidak menolak melakukan suatu

tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut

dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.

Berdasarkan Uraian diatas bersekongkol menurut Pedoman Pasal 22 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha

dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dengan cara apapun dalam upaya

memenangkan peserta tender tertentuBahwa Majelis Komisi menilai gabungan

persekongkolan horizontal dan persekongkolan vertikal yang dilakukan oleh Terlapor

I dan Terlapor II dengan Terlapor III sebagaimana diuraikan pada bagian Tentang

Hukum butir 6 Tentang Persekongkolan Horizontal dan butir 7 Tentang

Persekongkolan Vertikal merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan dengan

93
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dalam Teori dan Praktik serta
Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm 326
97

berbagai cara untuk mengatur dan/atau menentukan Terlapor I sebagai pemenang

tender pada Paket 3 dan Terlapor II sebagai pemenang tender pada Paket 4.

Dari Pemeriksaan fakta-fakta dokumen dalam persidangan, dan fakta-fakta lain

Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha menerapkan pendekatan rule of reason

terhadap Putusan KPPU NKPPU N0. 35/-I/2020, membuktikan bahwa telah

terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran yang terdapat dalam Pasal 22 UU Persaingan

Usaha, dan telah membuktikan bahwa adanya dampak akibat dari persekongkolan yang

dilakukan oleh antar pelaku usaha dan pelaku usaha dengan Panitia Pengadaan Barang/

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat.94 dengan

demikian telah sesuai dengan rule of reason dan unsur bersekongkol untuk mengatur

dan/atau menentukan pemenang tender terpenuhi

3. Putusan Pertimbangan Hakim

Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta, penilaian, analisis dan kesimpulan di

atas, serta dengan mengingat Pasal 43 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

Majelis Komisi Memutuskan;

1. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, dan Terlapor III terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

2. Menghukum Terlapor I untuk membayar denda sebesar Rp1.359.000.000,00 (satu

miliar tiga ratus lima puluh sembilan juta rupiah) yang harus disetor secara langsung

94
Andi Fahmi Lubis et. al., Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, Jakarta, ROV
Creative Media,2009, hlm.108
98

ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan

usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah

dengan kode penerimaan 425812 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

3. Menghukum Terlapor II untuk membayar denda sebesar Rp1.149.000.000,00 (satu

miliar seratus empat puluh sembilan juta rupiah) yang harus disetor secara langsung

ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan

usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah

dengan kode penerimaan 425812 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang

Persaingan Usaha);

4. Memerintahkan Terlapor I dan Terlapor II untuk melakukan pembayaran denda

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak Putusan ini berkekuatan hukum tetap

(inkracht);

5. Memerintahkan Terlapor I dan Terlapor II untuk melakukan pembayaran denda,

melaporkan dan menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU;

6. Memerintahkan Terlapor I dan Terlapor II untuk menyerahkan jaminan bank

sebesar 20% (dua puluh persen) dari nilai denda ke KPPU paling lama 14 (empat

belas) hari setelah menerima pemberitahuan Putusan ini, jika mengajukan upaya

hukum keberatan.
99

C. Menganalisis Akibat Hukum Dari Persengkokolan Tender Dalam Putusan

KPPU NO. 35/KPPU-I/2020 Terhadap Kasus Yang Serupa

1. Kasus Posisi Perkara

Majelis Komisi menerima Laporan Dugaan Pelanggaran tentang Dugaan

Pelanggaran Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait Pengadaan

Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp.

Pengantap 3) dan Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan

Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran

2017-2018 yang dilakukan oleh para Terlapor yang pada pokoknya sebagai berikut;

1. Terlapor I, PT Metro Lestari Utama, merupakan badan usaha didirikan

berdasarkan Akta Nomor: 25 tanggal 30 September 1991 yang dibuat oleh

Abdullah, S.H., Notaris di Mataram dengan kegiatan usaha di bidang ekspedisi

angkutan darat, pemborongan bangunan dalam arti umum seperti

gedunggedung, jalan-jalan, jembatan-jembatan, saluran air (irigasi), instalateur,

pertukangan kayu/mabeleur dan lain-lain yang berhubungan dengan teknik

bangunan, perdagangan umum dan pengeboran air tanah, selanjutnya disebut

Terlapor I. Dalam praktiknya, Terlapor I telah mengikuti dan menjadi

pemenang tender Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket

3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan mengikuti Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap

4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa

Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-2018


100

2. Terlapor II, PT Eka Praya Jaya, merupakan badan usaha didirikan berdasarkan

Akta Nomor 46 tanggal 21 Oktober 2003 yang dibuat oleh Petra Mariawati

A.I.S, S.H., Notaris di Mataram dengan maksud dan tujuan untuk melakukan

kegiatan usaha pemborongan, pertambangan, perindustrian dan perdagangan,

selanjutnya disebut Terlapor II. Dalam praktiknya, Terlapor II telah mengikuti

Tender Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3

(Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan mengikuti dan menjadi pemenang Paket 4

(Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan

Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-2018

3. Terlapor III, Kelompok Kerja Konstruksi Tim 51 (Pokja 51) ULP Provinsi

Nusa Tenggara Barat, Biro Administrasi Pembangunan dan Layanan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat,

selanjutnya disebut Terlapor III. Merupakan unit layanan pengadaan

barang/jasa yang dibentuk berdasarkan Surat Perintah Tugas Nomor:

090.1/567/BAPP-LPBJP tertanggal 17 Mei 2017 d Dalam praktiknya, Terlapor

III telah menyelenggarakan Pengadaan Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan

(Program Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan Paket 4

(Pelangan-Sp. Pengantap 4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan

Ruang Propinsi Nusa Tenggara Barat APBD Tahun Anggaran 2017-2018.

Objek perkara adalah Pengadaan Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program

Percepatan) Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dan Paket 4 (Pelangan-Sp. Pengantap


101

4) pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa Tenggara

Barat APBD Tahun Anggaran 2017-2018.

Kronologis Pengadaan Paket Pekerjaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan)

Paket 3 (Pelangan-Sp. Pengantap 3) dapat diuraikan sebagai berikut:

Bahwa tanggal 31 Mei 2017, Pokja 51 (Terlapor III) mengumumkan Pekerjaan

Pengadaan Konstruksi Jalan (Program Percepatan) Paket 3: Pelangan - Sp. Pengantap

3 pada Satker Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Nusa Tenggara

Barat APBD Tahun Anggaran 2017 – 2018. Bahwa Terlapor III memberikan

kesempatan kepada calon peserta tender untuk mengunduh (download) Dokumen

Pengadaan sejak tanggal 31 Mei 2017 pukul 17.00 WITA sampai dengan tanggal 8

Juni 2017 pukul 15.00 WITA, hingga batas waktu tersebut, perusahaan yang

mengunduh atau melakukan pendaftaran tender secara elektronik sebanyak 19

(sembilan belas) perusahaan Bahwa Terlapor III melakukan Evaluasi Dokumen

Penawaran pada tanggal 12 Juni 2017 - 21 Juli 2017.

Bahwa Tahap evaluasi administrasi meliputi evaluasi terhadap data administrasi

yang disampaikan oleh peserta tender dan hanya mencakup hal-hal yang tidak dinilai

pada saat penilaian kualifikasi.95 Bahwa evaluasi harga dilakukan terhadap penawaran

yang memenuhi persyaratan teknis. Unsur-unsur yang dievaluasi adalah total harga

penawaran terhadap HPS, harga satuan timpang, mata pembayaran yang harga

95
Susanti, , Naskah Akademis Tentang Persaingan Usaha Anti Monopoli, Mahkamah Agung
RI, Jakarta,2009, hlm. 50
102

satuannya nol, kewajaran harga dan upah pekerja. Adapun hasil evaluasi harga

terhadap dokumen penawaran peserta adalah Telapor I dan Telapor II

Bahwa terkait dengan Fakta/Temuan Lain Dalam Paket 3: Pelangan-Sp. Pengantap

3 ditemukan beberapa fakta antara lain sebagai berikut Kesamaan penawaran teknis

antar peserta tender dalam alat bukti diketahui adanya kesamaan dokumen penawaran

Terlapor I dan Terlapor II diantaranya:96

a. hitungan Daftar Harga Satuan Upah;

b. hitungan Daftar Harga Satuan Bahan;

c. hitungan Daftar Harga Satuan Peralatan;

d. hitungan pada Daftar Mata Pembayaran Pekerjaan Utama (Lapisan Pondasi

Agregat Kelas S, Pondasi Agregat Kelas A, Beton mutu rendah fc’15 Mpa, Baja

Tulangan U 24 Polos, Baja Tulangan U 32 Polos, Pasangan Batu)

e. hitungan Uraian Analisa Harga Satuan (Item Pembayaran Pengadaan Agregat

Kasar & Halus untuk bahan lapis Agregat dan lapis Aspal);

f. hitungan Uraian Harga Satuan Pekerjaan (HSP);

g. hitungan Uraian Analisa Alat)

h. hitungan Harga & Jarak Rata-rata dari Sumber Bahan

i. hitungan Rekapitulasi Daftar Kuantitas dan Harga (Umum, Pekerjaan Drainase,

Pekerjaan Tanah, Pekerjaan Perkerasan dan Bahu Jalan, Pekerjaan Berbutir,

Struktur);

96
Ibid, hlm.62.
103

j. hitungan Daftar Kuantitas dan Harga BOQ Gabungan (I,II,III);

k. kesamaan pada dokumen Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kontrak

((RK3K)97

Bahwa berdasarkan alat bukti diketahui bahwa terdapat kesamaan perhitungan

TKDN pada penawaran yang disampaikan oleh Terlapor I dan Terlapor II pada bagian

perhitungan JasaBerdasarkan dokumen tersebut terlihat jelas adanya kesamaan

penghitungan TKDN pada nilai Subtotal Jasa, Kerja sama dalam penyusunan dokumen

penawaran. Berdasarkan alat bukti diketahui bahwa dalam menyusun Dokumen

Penawaran, Terlapor II meminta bantuan staf Terlapor I dan menggunakan sumber

berupa softcopy penawaran Terlapor I.

Kesamaan alamat komisaris para peserta tender Bahwa adanya kesamaan alamat

Farid Amir selaku pemegang saham dan komisaris utama Terlapor I dengan alamat

Atika selaku komisaris Terlapor II yaitu sama-sama beralamat di Jalan Abdul Kadir

Munsyi Mataram Barat; Kesamaan alamat Direktur Terlapor I dengan alamat Terlapor

II. Bahwa alamat Ir. Mochamad Yunus selaku Direktur Terlapor I adalah Jalan Panji

Tilar Negara 15, Tanjung Karang, Mataram Data dari situs Administrasi Hukum

Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, tercantum alamat Ir.

Mochamad Yunus selaku direktur Terlapor I yang ternyata sama dengan alamat Adji

97
Ayudha D. Prayoga, Persaingan Usaha Dan Hukum Yang Mengaturnya Di Indonesia, Proyek
ELIPS, Jakarta,2008, hlm.83
104

Waspodo selaku direktur Terlapor II, yang sekaligus alamat tersebut juga menjadi

alamat kantor Terlapor II.

2. Indikasi-indikasi dan dampak Persengkongkolan dalam Tender

Tender yang berpotensi menciptakan persaingan usaha tidak sehat atau mengahmbat

persaingan usaha adalah:98

1. Tender yang bersifat tertutup atau tidak transparan dan tidak diumumkan

secaraluas, sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat dan

memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya.

2. Tender yang bersifat diskriminatif dan tidak dapat diikuti oleh semua pelaku

usaha dengan kompetensi yang sama.

3. Tender dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah

kepada pelaku usaha tertentu sehingga mengahambat pelaku usaha lain untuk

ikut.

Indikasi bentuk-bentuk persekongkolan tender dapat berupa:

a. Penggelembungan anggaran (mark up)

b. Pengadaan/tender barang/jasa yang diarahkan

c. Penentuan jadwal yang tidak realistis

d. Pembentukan panitia yang tidak transparan

98
Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, cetakan pertama,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 70.
105

e. Keberpihakan panitia pada salah satu peserta tender

f. Dokumen administrasi yang tidak memenuhi syarat/kadang asli atau palsu

g. Spesifikasi yang diarahkan sesuai keinginan salah satu peserta tender, dan lain-

lain.

Untuk mengetahui telah terjadi atau tidaknya suatu persekongkolan dalam tender, ada

bebrapa indikasi persekongkolan yang sering dijumpai pada pelaksanaan tender. Hal-

hal berikut ini merupakan indikasi persekongkolan, sedangkan bentuk dan perilaku

persekongkolan maupun ada tidaknya persekongkolan tersebut harus dibuktikan

melalui pemeriksaan oleh Tim Pemeriksa atau Majelis KPPU.99

1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, meliputi:

a. Pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan tender/lelang

secara terbuka

b. Pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu, dan/atau waktu penyerahan

barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang yang hanya dapat

disuplai oleh satu pelaku usaha.

c. Tender/atau lelang dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu

yang dapat mengikuti atau melaksanakannya.

d. Ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/jasa.

e. Nilai uang jaminan lelang diterapkan jauh lebih tinggi daripada nilai dasar

lelang

99
Ibid, hlm. 90.
106

f. Penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.

2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan panitia, meliputi:100

a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga

mudah dipengaruhi.

b. Panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu.

c. Susunan dan kinerja panitia tidak diumumkan atau cenderung ditutup-tutupi.

3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pralelang,

meliputi:81

a. Persyaratan untuk mengikuti prakualifikasi membatasi dan/atau mengarah

kepada pelaku usaha tertentu.

b. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai spesifikasi,

merek, jumlah, tempat, dan/atau waktu penyebaran barang dan jasa yang akan

ditender atau dilelang.

c. Adanya kesepakatan mengenai cara, tempat, dan/atau waktu pengumuman

tender/lelang.

d. Adanya pelaku usaha yang diloloskan dalam prakualifikasi walaupun tidak

atau kurang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

e. Panitia memberikan perlakuan khusus/istimewa kepada pelaku usaha tertentu.

100
Insan Budi Maulana, Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Laranga Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2009,
hlm. 33.
107

f. Adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah prakualifikasi dan tidak

diberitahukan kepada semua peserta.

g. Adanya pemegang saham yang sama diantara peserta atau panitia atau pemberi

pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan tender.

4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti

tender/lelang maupun pada saat penyusunan dokumen tender/lelang, meliputi:101

a. Adanya persyaratan tender/lelang yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu

terkait dengan sertifikasi barang, mutu, kapasitas, dan waktu penyerahan yang

harus dipenuhi.

5. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender/lelang, meliput:

a. Jangka waktu pengumuman tender/lelang yang sangat terbatas.

b. Informasi dalam pengumuman tender/lelang dengan sengaja dibuat tidak

lengkap dan tidak memadai. Sementara, informasi yang lebih lengkap diberikan

hanya kepada pelaku usaha tertentu.

c. Pengumuman tender/lelang dilakukan melalui media dengan jangkauan yang

sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal ataupun pada

papan pengumuman yang jarang diliahat publik atau pada surat kabar dengan

jumlah eksemplar yang tidak menjangkau sebagan besar target yang diinginkan.

101
Ibid, hlm.35.
108

d. Pengumuman tender/lelang pada surat kabar dengan ukuran iklan yang sangat

kecil atau pada bagian lay-out surat kabar yang seringkali dilewatkan oleh

pembaca yang menjadi target tender/lelang.

6. Indikasi persekongkolan pada saat pengambilan dokumen tender/lelang,

meliputi:

a. Dokumen tender/lelang yang diberikan tidak sama bagi seluruh calo peserta

tender/lelang.

b. Waktu pengambilan dokumen tender/lelang yang diberikan sangat terbatas.

c. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender/lelang sulit ditemukan oleh

calon peserta temder/lelang.

d. Panitia memindahkan tempat pengambilan tender/lelang secara tiba-tiba

menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan tersebut tidak

diumumkan secara terbuka.

7. Indikasi persekongkolan pada saat penentuan harga perkiraan sendiri atau harga

dasar lelang, meliputi:102

a. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu produk

atau jasa yang ditender/dilelangkan.

b. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar hanya diberikan kepada pelaku usaha

tertentu.

102
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 24.
109

c. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan

yang tidak jelas dan tidak wajar.

8. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house lelang,

meliputi:

a. Informasi atas barang/jasa yang ditender atau dilelang tidak jelas dan

cenderung ditutupi.

b. Penjelasan tender/lelang dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas

sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya.

c. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang

seharusnya diberikan secara terbuka.

d. Salah satu calon peserta tender/lelang melakukan pertemuan tertutup dengan

panitia.

9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau

kotak penawaran tender/lelang, meliputi:103

1. Adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu.

2. Adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-sama dengan

penawaran peserta tender/lelang yang lain.

3. Adanya penawaran yang diterima oleh panitia dari pelaku usaha yang tidak

mengikuti atau tidak lolos dalam proses kualifikasi atau proses administrasi.

103
Sutan Remi Sjahdeni, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
Jurnal Hukum Bisnis, 2004, hlm. 14.
110

4. Terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir sebelum

memasukkan penawaran.

5. Adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran secara

tiba-tiba tanpa pengumuman secara terbuka.

10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang

tender/lelang, meliputi:

a. Jumlah peserta tender/lelang yang lebih sedikit dari jumlah peserta

tender/lelang dalam tender/lelang sebelumnya.

b. Harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari harga

tender/lelang sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku usaha yang sama.

c. Para peserta tender/lelang memasukkan harga penawaran yang hampir sama.

d. Peserta tender.lelang yang sama, dalam tender/lelang yang berbeda

mengajukan harga yang berbeda untuk barang yang sama, tanpa alasan yang

logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut.104

e. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta tender/lelang

tertentu.

f. Adanya beberapa dokumen penawaran tender/lelang yang mirip.

g. Adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh panitia.

h. Proses evaluasi dilakukan ditempat yang terpencil dan tersembunyi.

104
Ibid, hlm.17.
111

i. Perilaku dan penawaran para peserta tender/lelang dalam memasukkan

penawaran mengikuti pola yang sama dengan beberapa tender/lelang

sebelumnya.

11. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang, meliputi:

a. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga pengumuman tersebut

tidak diketahui secara optimal oleh pelaku usaha yang memenuhi persyaratan,

misalnya diumumkan melalui faksimili dengan nama pengirim yang kurang

jelas.

b. Tanggal pengumuman tender/lelang ditunda dengan alasan yang tidak jelas.

c. Peserta tender/lelang memenangkan tender/lelang cenderung berdasarkan

giliran yang tetap.

d. Ada peserta tender/lelang yang memenangkan tender/lelang secara terus

menerus di wilayah tertentu.

e. Ada selisih harga yang besar atara harga yang diajukan pemenang

tender/lelang dengan harga penawaran peserta lainnya, dengan alasan yang

tidak dapat dijelaskan.105

12. Indiaksi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, meliputi:

a. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender/lelang.

b. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi.

105
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang Indonesia,( FH UII Press, Cet. Pertama,
Yogyakarta, 20060, hlm. 9-11.
112

13. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukkan pemenang tender/lelang dan

penandatanganan kontrak, meliputi

a. Surat penunjukkan pemenang tender/lelang telah dikeluarkan sebelum proses

sanggahan diselesaikan.

b. Penerbitan surat penunjukkan pemenang tender/lelang mengalami penundaan

tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

c. Surat penunjukkan pemenang tender/lelang tidak lengkap.

d. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal-hal yang penting yang

seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kontrak.

e. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang tidak dapat

dijelaskan.

14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan,

meliputi:

a. Pemenang tender/lelang mensub-kontrakkan pekerjaan kepada perusahaan lain

atau peserta tender/lelang yang kalah dalam tender.lelang tersebut.

b. Volume atau nilai proyek yang diserahkan tidak sesuai dengan ketentuan awal,

tanpa alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

c. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan dengan

ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis, tanpa alasan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan.106

106
Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia (Disertasi),
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2011, hlm. 31
113

3. Perbandingan Kasus Yang Serupa

Kasus persekongkolan tender merupakan kasus yang paling banyak ditangani

oleh KPPU berikut kasus yang serupa;

1. Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2016 Tentang Persekongkolan Tender Dalam

Pekerjaan Peningkatan Jalan Pesut Pada Satuan Kerja Dinas Bina Marga Dan

Sumber Daya Air Kabupaten Kutai Kartanegara.

Kasus posisi

Putusan KPPU No.01/KPPU-L/2016 yaitu para pelaku usaha yang terdiri atas

PT.Aset Prima Tama (Terlapor I), PT.Budi Bakti Prima (Terlapor II), PT.Bangun Cipta

Kontaktor (Terlapor III), dan PT. Karuna Wahananusa (Terlapor IV) mengikuti

pengadaan tender dalam proyek Pekerjaan Peningkatan Jalan Pesut pada Satuan Kerja

Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun

Anggaran 2015 yang bernilai 49 Miliar.

Unsur mengatur dan/atau menentukan pemenang tender dalam pedoman pasal

22 dijelaskan bahwa suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender

secara bersekongkol yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai

pesaingnya dan/atau memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara.107

107
Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, dalam teori dan praktek
serta penerapan hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 282.
114

Amar Putusan

7. Menyatakan bahwa Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV dan

Terlapor V terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999;

8. Menghukum Terlapor I, membayar denda sebesar Rp. 1.927.965.395,00 (satu

miliar sembilan ratus dua puluh tujuh juta sembilan ratus enam puluh lima ribu

tiga ratus sembilan puluh lima rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai

setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan

Usaha);

9. Menghukum Terlapor II, membayar denda sebesar Rp. 942.560.860,00

(sembilan ratus empat puluh dua juta lima ratus enam puluh ribu delapan ratus

enam puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan

Usaha);

10. Menghukum Terlapor III, membayar denda sebesar Rp. 385.593.079,00 (tiga

ratus delapan puluh lima juta lima ratus sembilan puluh tiga ribu tujuh puluh

sembilan rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran pendapatan

denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja Komisi Pengawas


115

Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 423755

(Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Perasingan Usaha);

11. Menghukum Terlapor IV, membayar denda sebesar Rp. 942.560.860,00

(sembilan ratus empat puluh dua juta lima ratus enam puluh ribu delapan ratus

enam puluh rupiah) yang harus disetor ke Kas Negara sebagai setoran

pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui bank Pemerintah dengan kode

penerimaan 423755 (Pendapatan Denda Pelanggaran di Bidang Perasingan

Usaha);

12. Memerintahkan Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, dan Terlapor IV untuk

melakukan pembayaran denda, melaporkan dan menyerahkan salinan bukti

pembayaran denda ke KPPU.

2. Putusan KPPU No. 04/KPPU-L/2020 Terkait Tender dalam Paket Pekerjaan

Pembangunan Rumah Sakit Rujukan Regional Langsa.

Kasus Posisi

(Terlapor I), PT Sumber Alam Sejahtera (Terlapor II), PT Arafah Alam Sejahtera

sebagai (Terlapor III), PT Betesda Mandiri (Terlapor IV), PT Eka Jaya Lestari

(Terlapor V), PT Adhi Putra Jaya (Terlapor VI), dan Pokja Konstruksi–LXXXIX Biro

Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Aceh Tahun Anggaran 2018 (Terlapor VII).

Pengadaan barang dan jasa dalam tender ini berpedoman pada Peraturan Presiden No.

16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.


116

Unsur terjadinya Persaingan usaha Terlapor VII melakukan tindakan Post Bidding.

Hal ini dapat dilihat dari tindakan Terlapor I yang melampirkan Daftar Personil Inti

yang tidak sesuai dengan dokumen pengadaan dimana dalam dokumen penawaran

menawarkan Zarli Yanto ST yang hanya memiliki sertfikat SKA Teknik Bangunan

Gedung Madya. Padahal dalam dokumen tersebut memiliki syarat harus memiliki dua

sertifikat. Terlapor I memperlihatkan dokumen sertifikat yang kedua pada saat

pembuktian kualifikasi. Oleh karena itu seharusnya Terlapor VII menggugurkan

Terlapor I, akan tetapi terlapor VII malah membiarkan Terlapor I menambah isi

dokumen penawaran sehingga Terlapor I lulus dalam tahapan evaluasi dan

menguntungkan Terlapor I sebagai pemenang tender.

Amar Putusan

1. Menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor VII terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

2. Menyatakan bahwa Terlapor II, Terlapor III, Terlapor IV, Terlapor V, dan

Terlapor VI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat;

3. Menghukum Terlapor I, PT Mina Fajar Abadi, membayar denda sebesar

Rp1.723.500.000,00 (satu miliar tujuh ratus dua puluh - 201 - tiga juta lima

ratus ribu rupiah) yang harus disetor secara langsung ke Kas Negara sebagai
117

setoran pendapatan denda pelanggaran di bidang persaingan usaha Satuan Kerja

KPPU melalui bank Pemerintah dengan kode penerimaan 425812 (Pendapatan

Denda Pelanggaran di Bidang Persaingan Usaha);

4. Memerintahkan Terlapor I untuk melakukan pembayaran denda selambat-

lambatnya 3 (tiga) bulan sejak Putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap

(inkracht);

5. Memerintahkan Terlapor I melakukan pembayaran denda, melaporkan, dan

menyerahkan salinan bukti pembayaran denda tersebut ke KPPU;

6. Memerintahkan Terlapor I dan Terlapor VII tidak mengulangi perbuatan

persekongkolan tender dengan pihak manapun dalam pengadaan barang/jasa

Pemerintah.

Dari kasus yang serupa diatas Perkara Persekongkolan Tender merupakan

perkara yang paling mendominasi yang ditangani KPPU sejak awal berdirinya hingga

saat ini memasuki tahun 2022. Dilihat dari Laporan Tahunan KPPU sejak tahun 2000

sampai 2022 KPPU telah menerima 3061 laporan dan persekongkolan tender masih

mendominasi diantara laporan-laporan yang masuk ke KPPU.Hal ini menunjukkan

bahwa tingkat kepatuhan pelaku usaha terhadap hukum persaingan usaha masih sangat

minim.108 Oleh karena itu diperlukan penindakan yang lebih tegas dan perlu dipikirkan

108
Elya Ras Ginting, Hukum Anti Monopoli Indonesia: Analisis dan Perbandingan
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999, (Citra Aditya Bakti, Bandung, 20011), hlm. 72
118

sanksi yang bisa memberikan efek jera sehingga bisa menekan mundur angka

persekongkolan yang meningkat setiap tahunnya.

Dampak Persekongkolan dalam Tender Dilihat dari sisi konsumen atau pemberi

kerja, persekongkolan dalam tender dapat merugikan dalam bentuk antara lain

Konsumen atau pemberi kerja membayar harga yang lebih mahal daripada yang

sesungguhnya. Barang atau jasa yang diperoleh (baik dari sisi mutu, jumlah, waktu,

maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender

dilakukan secara jujur. Terjadi hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak

memperolah kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender.

Nilai proyek (untuk tender pengadaan jasa) menjadi lebih tinggi akibat mark-

up yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan

dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya melalui Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara, maka persekongkolan tersebut berpotensi menimbulkan ekonomi

biaya tinggi.109 Dallam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, persekongkolan dalam

tender dinyatakan sebagai perilaku yang bersifat Rule of Reason, yaitu bahwa suatu

tindakan memerlukan pembuktian dalam menentukan telah terjadinya pelanggaran

terhadap persaingan usaha tidak sehat. Untuk itu dalam persekongkolan tender, perlu

diketahui apakah proses tender tersebut dilakukan dengan cara tidak jujur atau

melawan hukum atau menghambat persaingan usaha

109
Ari Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ctk. Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta. 2009,
hlm. 13.
119
120

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan seluruh uraian pembahasan sebelumnya,

maka kesimpulannya sebagai berikut:

1. Pengadaan Barang dan Jasa adalah kegiatan pengadaan barang dan jasa oleh

Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh APBN/APBD

yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai dengan serah terima

hasil. Pengadaan barang dan jasa merupakan perwujudan pelaksanaan tugas

dan fungsi Negara dalam Tentang memberikan pelayanan umum yang

bersumber dari APBN dan APBD yang harus dapat dipertanggungjawabkan

oleh Pemerintah Pedoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lembaga

yang berwenang merumuskan kebijakan di bidang pengadaan barang dan

jasa adalah LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah) dan Pengadaan barang/jasa dilaksanakan secara elektronik

melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).

2. Mengenai persekongkolan tender yang dibahas dalam penulisan ini dari

Pemeriksaan fakta-fakta dokumen dalam persidangan, dan fakta-fakta lain

Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha menerapkan pendekatan rule

of reason terhadap Putusan KPPU NKPPU N0. 35/-I/2020, membuktikan


121

bahwa telah terpenuhinya unsur-unsur pelanggaran yang terdapat dalam

Pasal 22 UU Persaingan Usaha, dan telah membuktikan bahwa adanya

dampak akibat dari persekongkolan yang dilakukan oleh antar pelaku usaha

PT Metro Lestari Utama dan PT Eka Praya Jaya dengan Panitia Pengadaan

Barang/ Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Propinsi Nusa

Tenggara Barat. dengan demikian unsur bersekongkol untuk mengatur

dan/atau menentukan pemenang tender terpenuhi dan telah sesuai dengan

rule of reason.

3. Persekongkolan dalam Tender Dilihat dari sisi konsumen atau pemberi

kerja, persekongkolan dalam tender dapat merugikan dalam bentuk antara

lain Konsumen atau pemberi kerja membayar harga yang lebih mahal

daripada yang sesungguhnya. Barang atau jasa yang diperoleh (baik dari

sisi mutu, jumlah, waktu, maupun nilai) seringkali lebih rendah dari yang

akan diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur. Terjadi hambatan

pasar bagi peserta potensial yang tidak memperolah kesempatan untuk

mengikuti dan memenangkan tender tender, akan menimbulkan akibat yang

buruk bagi dunia persaingan usaha karena dapat menimbulkan hilangnya

minat persaingan diantara pelaku usaha yang dapat menyebabkan tidak

adanya variasi harga, barang/jasa yang beranekaragam maupun tidak

adanya variasi kualitas dari sebuah barang/jasa dan dengan demikian dapat

menimbulkan kerugian baik bagi konsumen maupun bagi negara.


122

B. Saran

Dari pembahasan dan kesimpulan yang dikemukakan diatas, maka terdapat

beberapa saran yang bisa penelitian kemukakan antara lain :

1. Dalam suatu perbuatan yang tidak dapat dilakukan dan sangat bertentangan

dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa adalah salah satu pihak atau

lebih secara bersama-sama melakukan praktik korupsi, kolusi dan

nepotisme. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya untuk peningkatan

mutu pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, yaitu penyempurnaan

regulasi hukum yang mengatur tentang pengadaan, meningkatkan

profesionalisme para pelaku pengadaan serta meningkatkan pengawasan

serta penegakan hukum.

2. Para pelaku usaha di Indonesia yang bergerak di bidang pengadaan barang

dan jasa diharapkan untuk bersaing secara sehat dalam menjalankan

kegiatan usahanya agar tidak menimbulkan persaingan usaha yang tidak

sehat. Persekongkolan merupakan suatu bentuk perjanjian, Adapun

pendekatan yang digunakan dalam membuktikannya yaitu pendekatan Per

se Illegal. Oleh karena itu, penempatan pengaturan persekongkolan tender

lebih tepatnya di perjanjian yang dilarang bukan pada kegiatan yang

dilarang. Di Indonesia, kasus persekongkolan tender berkaitan dengan

tindak pidana korupsi. Sebaiknya, dalam aturan persekongkolan tender di

cantumkan ketentuan mengenai korupsi


123

3. Pengawasan Persengkokolan tender sebaiknya di tingkatkan, karena akan

menimbulkan akibat yang buruk bagi dunia persaingan usaha karena dapat

menimbulkan hilangnya minat persaingan diantara pelaku usaha yang dapat

menyebabkan tidak adanya variasi harga, barang/jasa yang beranekaragam

maupun tidak adanya variasi kualitas dari sebuah barang/jasa dan dengan

demikian dapat menimbulkan kerugian baik bagi konsumen maupun bagi

negara.

Anda mungkin juga menyukai