Anda di halaman 1dari 70

NASKAH AKADEMIK

NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN


KARAWANG
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA
MIKRO

Disusun oleh ;
Yohanes Cahyo Haryono
211081020

PROGRAM STUDI STRATA SATU S-1 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIRGANTARA MARSEKAL SURYADARMA JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat
tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materi.Penulis
sangat berharap semoga makalah ini yang berjudul Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Karawang Tentang Perlindungan Dan Permberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro ini agar dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar
makalah ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini

Jakarta 10-06-2023
Yohanes Cahyo Haryono
Nim 211081020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………...……………….….................
B. Identifikasi Masalah…………………..……………………………
C. Tujuan dan Kegunaan…………………...……………………….....
D. Metode Penelitian…………………………..………………............
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. Kajian Teoritis……...…………………………...………………….
B. Kajian Terhadap Asas Terkait dengan Penyusunan Norma………..
C. Kajian Terhadap Praktik Pengaturan Ketahanan Pangan, Serta
Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat……................................
D. Kondisi dan Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat....................
E. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan
Diatur Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan
Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan
Daerah...............................................................................................
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANGAN-
UNDANGAN TERKAIT

A. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan...................................


B. Evaluasi dan Analisis…………………...……….............................

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis……………………………………………….…
B. Landasan Sosiologis……………………………………………......
C. Landasan Yuridis....................................................................................92

BAB V JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG


LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PERMBERDAYAAN
KOPERASI DAN USAHA MIKRO
A. Jangkauan Arah Pengaturan....................................................................98

B. Materi yang Akan di Atur.......................................................................99

BAB VI PENUTUP

A. Simpulan................................................................................................115

B. Saran.......................................................................................................119

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN : RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN


KARAWANG NOMOR :…… TAHUN 2021 TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PERMBERDAYAAN KOPERASI
DAN USAHA MIKRO
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia


Tahun 1945 (UUD 1945) berbunyi: “Negara mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Dari bunyi
pasal tersebut menggambarkan tentang kesejahteraan sosial.
Menindaklanjuti amanat dari UUD 1945 tersebut, pemerintah telah
mengatur tentang perlindungan terhadap Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tersebut telah
diupayakan untuk diatur tentang fungsi dan hak dari UMKM dalam
menindak pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, undang-undang tersebut
mewajibkan kepada pemerintah daerah untuk melindungi dalam bidang
pembiayaan dan investasi.
Pada bagian konsideran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008
tentang UMKM dijelaskan bahwa: (a) masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 harus diwujudkan melalui pembangunan
perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi, (b) sesuai dengan
amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XVI/MPR- RI/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka
2

Demokrasi Ekonomi, UMKM perlu diberdayakan sebagai bagian integral


ekonomi rakyat yang mempunyai kedudukan, peran, dan potensi strategis
untuk mewujudkan struktur perekonomian nasional yang makin seimbang
berkembang dan berkeadilan, (c) pemberdayaan UMKM sebagaimana
dimaksud dalam huruf b perlu diselenggarakan secara menyeluruh, optimal,
dan berkesinambungan melalui perkembangan iklim yang kondusif,
pemberian kesempatan berusaha, dukungan, perlindungan, dan
pengembangan usaha seluas-luasnya, sehingga mampu meningkatkan
kedudukan, peran, dan potensi UMKM dalam mewujudkan pertumbuhan
ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan
lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan. 1
Pada 20 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan
pidatonya mengenai rencana membentuk Omnibus Law2 dalam bentuk
Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dan Pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).3 RUU ini dibentuk untuk
memudahkan iklim berusaha di Indonesia.4 Dalam perkembangannya, dua
rancangan undang-undang (RUU) ini kemudian digabung menjadi satu
RUU dengan nomenklatur Cipta Kerja. Urgensinya adalah karena adanya
dinamika perubahan global yang perlu direspon secara cepat dan tepat,

1
Suhardi, Hukum Koperasi Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah Di Indonesia, hlm. 4.
2
“What Is OMNIBUS BILL? Definition of OMNIBUS BILL (Black’s Law Dictionary).”
3
Jokowi Ajak DPR Buat UU Cipta Lapangan Kerja & UU Pemberdayaan UMKM
- Tirto.ID.”
4
“Dorong Iklim Investasi Dan Daya Saing RI, Omnibus Law Segera Dirampungkan.”
3

karena tanpa reformulasi kebijakan maka pertumbuhan ekonomi akan


melambat. 5
Sebagaimana termuat pada bagian konsideran UU Cipta Kerja yang
berbunyi: “pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan,
dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah,
peningkatan ekosistem investasi dan percepatan proyek strategis nasional,
termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja yang tersebar
di berbagai undang-undang sektor saat ini belum dapat memenuhi
kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja sehingga perlu dilakukan
perubahan.”
Adanya RUU Cipta Kerja diharapkan terjadi perubahan struktur
ekonomi yang mampu menggerakkan semua sektor untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi mencapai 5.7 persen sampai 6 persen melalui
penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, peningkatan investasi sehingga
dapat meningkatkan income dan daya beli serta mendorong peningkatan
konsumsi dan peningkatan produktivitas yang akan diikuti peningkatan
upah, daya beli, dan konsumsi. Setelah disahkan menjadi UU Cipta Kerja,
dalam perkembangannya pun hingga hari ini masih menimbulkan
kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Penolakan atas UU Cipta Kerja ini
pun muncul ke permukaan karena UU Cipta Kerja dianggap lebih berpihak
kepada usaha besar dan investasi asing. UU ini pun dianggap mengabaikan

5
Aziz and Febriananingsih, “Mewujudkan Perseroan Terbatas (PT) Perseorangan Bagi Usaha
Mikro Kecil (UMK) Melalui Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja,” hlm. 92.
4

kepada pengaturan pelindungan mengenai isu ketenagakerjaan, lingkungan


hidup, dan sumber daya alam. Beberapa orang bahkan menganggap
pemerintah hanya mengejar kenaikan peringkat kemudahan berusaha saja
(ease of doing business).
Terlepas dari perdebatan pro dan kontra UU Cipta Kerja, di antara
materi yang diatur dalam UU ini adalah salah satunya mengenai:
kemudahan berusaha bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan
kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM. Hal ini mengingat
bahwa UMKM merupakan tulang punggung perekonomian negara.
Selanjutnya, UMKM merupakan bisnis berskala kecil yang mampu
memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1998 dan tahun 2008, usaha mikro
kecil dan menengah relatif mampu bertahan dibandingkan perusahaan
besar.6
Data dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
memperlihatkan, pasca krisis ekonomi tahun 1997-1998 jumlah UMKM
tidak berkurang, justru semakin meningkat, bahkan menyerap 85 juta hingga
120 juta tenaga kerja sampai tahun 2018. Pada tahun itu, jumlah pengusaha
di Indonesia sebanyak 64.199.606. Dari jumlah tersebut, Usaha Mikro Kecil
dan Menengah sebanyak 64.194.057 atau 99.99 persen. Sisanya, sekitar 0.1
persen atau 5.550 adalah usaha besar. Data tersebut membuktikan, UMKM

6
Manurung, Model Untuk Bisnis UKMI, hlm. 2.
5

merupakan pasar yang sangat potensial bagi perekonomian di negara


Indonesia. Pertumbuhan ekonomi terhadap kontribusi UMKM di Indonesia
dapat dilihat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai berikut:
Tahun UMKM/% Usaha Besar/ %

2015 61,41 38,59

2016 59,84 40,16

2017 60,90 39,10

2018 61,07 38,93

Sumber: Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Sejak tahun 2015 sampai 2018, kontribusi UMKM terhadap Produk


Domestik Bruto (PDB) Nasional pada tahun 2018 sebesar 61.07% lebih
besar dari kontribusi usaha besar, yaitu sebesar 38.93%. Hal tersebut
memperlihatkan bahwa UMKM memberikan porsi yang lebih besar
terhadap bisnis dibanding usaha besar. Selanjutnya, Pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) memberikan perhatiannya terhadap UMKM
dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UU UMKM). Dengan adanya undang-
undang tersebut maka gerak UMKM menjadi semakin leluasa karena telah
ada payung hukumnya.7
Indonesia yang masih berada pada tingkatan negara berkembang,
sedang giatnya membangun perekonomian melalui UMKM. Berbagai

7
Aziz and Febriananingsih, “Mewujudkan Perseroan Terbatas (PT) Perseorangan Bagi Usaha
Mikro Kecil (UMK) Melalui Rancangan Undang-Undang Tentang Cipta Kerja,” hlm. 2.
6

macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk terus mendorong


pertumbuhan dan perkembangan UMKM. Dalam rangka pengembangan
UMKM sebagai kekuatan strategi untuk mempercepat pembangunan daerah,
Pertama, potensi pengembangan UMKM di daerah sangat besar. Kedua,
pengembangan UMKM harus dilaksanakan sesuai dengan budaya lokal dan
potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. Ketiga, sektor
UMKM ini sangat berperan dalam menanggulangi masalah sosial di daerah
dengan penyerapan tenaga kerja yang sangat tinggi. Keempat, peranan
peningkatan sumber daya manusia, pemanfaatan teknologi, akses
permodalan, akses pemasaran, akses informasi, dan manajemen sangat
penting dalam mengembangkan usaha mikro. Kelima, sumber daya alam
dan sumber daya manusia serta pasar dunia yang semakin terbuka pada era
global merupakan potensi besar jika dikelola secara efektif dalam bentuk
kemitraan.8 Kendala yang paling sulit dihadapi pengusaha kecil adalah
menyangkut permodalan, manajemen keuangan perusahaan, akses
pemasaran, serta fokus usaha yang multi bisnis. Kesempatan berusaha bagi
UMKM akhir-akhir ini semakin sempit, karena kegiatan-kegiatan yang
dapat dilakukan UMKM diambil alih oleh usaha besar. Usaha besar dengan
kekuatan modal dan manajemen usaha yang kuat telah berhasil merambah
jaringan usaha dari hulu ke hilir, sehingga UMKM sulit berkembang dan
sering menghadapi kendala dalam menjalankan usahanya.9

8
Abidin, “Pengembangan Usaha Micro Kecil Dan Menengah (UMKM) Sebagai Kekuatan
Strategis Dalam Mempercepat Pembangunan Daerah,” hlm. 8.
9
Yusri, “Perlindungan Hukum Terhadap Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Dalam Perspektif
Keadilan Ekonomi,” hlm. 105.
7

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, maka identifikasi
masalah dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Tentang
Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro adalah sebagai
berikut:
1. Permasalahan apa sajakah yang dihadapi dalam pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Permberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro?
2. Mengapa diperlukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan
dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro?
3. Apa yang menjadi pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis
pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro?
4. Apa yang menjadi sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan Rancangan Peraturan
Daerah tentang Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha
Mikro?

C. Tujuan dan Kegunaan


Adapun tujuan dan kegunaan dari kegiatan penyusunan naskah
akademis ini adalah :
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam pembentukan
Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan rancangan peraturan daerah tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
8

D. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Yuridis normatif dilakukan
melalui studi pustaka yang menelaah, terutama data sekunderyang berupa
peraturan perundang-undangan, dokumen hukum, hasil penelitian, hasil
pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis empiris atau sosiolegal
adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan
terhadap peraturan perundang-undangan yang dilanjutkan dengan observasi
yang mendalamuntuk mendapatkan data faktor nonhukum seperti gejala-
gejala dalam masyarakat yang terkait dan yang berpengaruh terhadap
peraturan perundang-undangan yang diteliti.
9

Adapun sumber data yang digunakan dalam penulisan naskah


akademik ini diperoleh dari bahan-bahan sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer


Bahan-bahan yang mengikat, yang terdiri dari :

1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
(Berita Negara Tahun 1950), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan
Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan Mengubah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3250);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3817);
10

5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,


Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4866);
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6398);
7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan
Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
11

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor


58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
9. Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan danTata Cara
Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan AnggaranDasar Koperasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 8, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3540)
12

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis
Tinjauan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
UMKM adalah unit usaha produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha di semua sektor
ekonomi. Pada prinsipnya pembedaan antara usaha mikro, usaha kecil,
usaha menengah, usaha besar umumnya didasarkan pada nilai aset
awal (tidak termasuk tanah dan bangunan), omset rata-rata per tahun,
atau jumlah pekerja tetap. Namun, definisi UMKM berdasarkan tiga
alat ukur ini berbeda menurut negara. Oleh karena itu memang sulit
membandingkan pentingnya atau peran UMKM antar negara.17
Definisi UMKM diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM Pasal 1 berbunyi
bahwa usaha mikro adalah usaha produktif milik orang-perorangan
dan badan usaha perorangan yang memenuhi usaha mikro
sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Usaha kecil adalah usaha
ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang-
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
13

bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha mikro atau
usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana telah
diatur dalam UU tersebut. Sedangkan usaha menengah adalah usaha
ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang-
perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha mikro, usaha
kecil, atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha mikro
sebagaimana dimaksud dalam UU tersebut.18

1. Asas Umum Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan terdiri dari ;


a. Asas Kemanusiaan
b. Asas Pengayoman
c. Asas Kenusantaraan
d. Asas Kebangsaan
e. Asas Bhinneka Tunggal Ika
f. Asas Kekeluargaan atau Musyawarah untuk Mufakat
g. Asas Keadilan
h. Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum dan Pemerintahan
i. Asas Ketertiban dan Kepastian Hukum
j. Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan.
14

1. Asas-Asas Lain Yang Terkait Dengan Penyelenggaraan


Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini harus memperhatikan'
berbagai aspek bidang kehidupan yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil
penelitian, dalam hal ini yaitu:
a. asas kekeluargaan adalah asas yang melandasi upaya
pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai
bagian dari perekonomian nasional yang diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi
nasional untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas demokrasi ekonomi” adalah
pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
diselenggarakan sebagai kesatuan dari pembangunan
perekonomian nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.
b. asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Dunia Usaha secara
bersama-sama dalam kegiatannya untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat.
c. asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari
pelaksanaan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk
mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.
15

d. asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana


mengupayakan berjalannya proses pembangungan melalui
pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang
dilakukan secara berkesinambungan sehingga terbentuk
perekonomian yang tangguh dan mandiri.
e. asas berwawasan lingkungan adalah asas pemberdayaan Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah yang dilakukan dengan tetap
memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan
pemeliharaan lingkungan hidup.

B. Kajian Terhadap Praktik Pengaturan Perlindungan dan


Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Serta Permasalahan
yang Dihadapi Masyarakat
1. Praktik Pengaturan Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi
dan Usaha Mikro
Pengaturan di Kabupaten Karawang terkait dengan
pemberdayaan koperasi dan UMKM pada sekarang ini yaitu
menggunakan dasar hukum Peraturan Daerah Kabupaten Karawang
Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Permberdayaan Koperasi, Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah, namun kondisional sekarang sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum yang berlaku, yaitu
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja yang menitikberatkan pada perkembangan investasi di
Indonesia, sehingga aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah telah
diperbaharui yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 7
Tahun 2021 tentang Kemudahan Pelindungan, dan Pemberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Tentu hal ini menjadi dasar perlunya ada perubahan peraturan
daerah Kabupaten Karawang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang
Permberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

2. Pengertian Otonomi
Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ‘mengatur
sendiri’. Dari istilah ini tersirat kebebasan bertindak, artinya bukan
karena diperintah dari atas, melainkan semata – mata ats kehendak
dan inisiatif sendiri, guna kepentingan rumah tangga daerah sendiri,
yang harus diatur dan diurusnya.21
Otonomi lazim diartikan mengatur dan mengurus diri
dan/atau rumah tangga sendiri. Hak otonomi dengan demikian
diartikan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus diri dan/atau
rumah tangga sendiri. Apabila pengertian ini dihubungkan dengan
16

sistem penyelenggaraan pemerintahan, maka hak otonomi adalah hak


daerah (disebut daerah otonom) untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerah sendiri.22

3. Desentralisasi
Sistem penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan dapat
dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut :23
a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi, yaitu segala
sesuatu dalam negara itu langsung dan diurus oleh
pemerintah pusat, sedangkan daerah-daerah hanya tinggal
melaksanakannya saja.
b. Negara kesatuan dengan sstem desentralisasi, yaitu daerah
diberi kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi daerah) yang
dinamakan daerah otonom (swatantra).

4. Asas Penyelenggaraan Pemerintahan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan


Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan penyelenggaraan
pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara
sebagai berikut:
 Asas kepastian hukum
 Asas tertib penyelenggara negara

 Asas kepentingan umum


 Asas keterbukaan
 Asas proporsionalitas
 Asas profesionalitas
 Asas akuntabilitas
 Asas efisiensi
 Asas efektivitas
 Asas keadilan.
Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam
negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan perundang
undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
Yang dimaksud dengan “Asas tertib penyelenggara negara” adalah Tertib
penyelenggara negara merupakan asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
Yang dimaksud dengan “Asas kepentingan umum” adalah asas tersebut
merupakan asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Yang dimaksud dengan “Asas keterbukaan” adalah asas yang membuka
diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan
17

Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” adalah asas dalam


negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara
negara.
Yang dimaksud dengan “Asas tertib penyelenggara negara” adalah Tertib
penyelenggara negara merupakan asas yang menjadi landasan keteraturan,
keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
Yang dimaksud dengan “Asas kepentingan umum” adalah asas tersebut
merupakan asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan selektif.
Yang dimaksud dengan “Asas keterbukaan” adalah asas yang membuka
diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia.
Yang dimaksud dengan “Asas proporsionalitas” adalah asas yang
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara
negara.
Yang dimaksud dengan “Asas profesionalitas” adalah asas yang
mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Asas akuntabilitas” adalahasas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “Asas efisiensi” adalah asas yang berorientasi
pada minimalisasi penggunaan sumber daya dalam penyelenggaraan
negara untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.
Yang dimaksud dengan “Asas efektivitas” adalah asas yang berorientasi
pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna.
Yang dimaksud dengan “Asas keadilan” adalah bahwa setiap tindakan
dalam penyelenggaraan negara harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.

4. Asas Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dalam
rangka pelaksanaan asas desentralisasi menjadi wewenang dan tanggung
jawab daerah sepenuhnya. Dalam hal ini prakarsa sepenuhnya
dilimpahkan kepada daerah, baik menyangkut penentuan kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, maupun aspek- aspek yang menyangkut
pembiayaannya.

5. Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah oleh
18

pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada


instansi vertikal diwilayah tertentu. Oleh karena tidak seluruh urusan
pemerintahan diserahkan kepada daerah menurut asas desentralisasi,
maka penyelenggaraan urusan-urusan pemerintah lainnya di daerah
didasarkan pada asas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan
oleh pemerintah tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat baik
mengenai perencanaan, pelaksanaan maupun

6. Asas Tugas Pembantuan


Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemeritah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah kabupaten kepada kabupaten/kota
dan/atau desa serta dari pemerinta kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu. Penugasan disertai dengan pembiayaan,
sarana dan prasarana serta sumber daya manusia. Lahirnya tugas
pembantuan didasarkan pada adanya pertimbangan spesifik terhadap
suatu tugas yang akan lebik baik jika dilaksanakan oleh aparat
pemerintahan daerah. Tugas pembantuan dalam beberapa hal juga
menjadi ujian untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam pelaksanaan
otonomi secara lebih nyata dan bertanggung jawab.

7. Tujuan Pemberian Otonomi Daerah


Bagir Manan mengemukakan bahwa salah satu tujuan pokok
pemberian otonomi kepada daerah-daerah adalah dalam rangka
mendemokrasikan pemerintahan, karena sistem otonomi memberikan
kemungkinan yang lebih besar bagi rakyat untuk turut serta mengambil
bagian dan tanggung jawab dalam proses pemerintahan.

8. Isi dan Luas Otonomi


Ajaran atau teori atau sistem mengenai isi dan luasnya otonomi
dimaksudkan untuk menentukan sampai seberapa jauhkah hak mengatur
dan mengurus rumah tangga atau apa sajakah yang termasuk urusan
rumah tangga suatu daerah otonom. Tentang berapa banyaknya
ajaran/teori/sistem ysng berkaitan tentang luasnya otonomi ini, pada
umumnya para sarjana yang mengemukakan terdapat 3 (tiga). Disamping
itu ada juga sarjana yang mengemukakan terdapat 5 (lima)
ajaran/teori/sistem mengenai isi dan luasnya otonomi.
19

C. Kondisi dan Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat


Pengaturan di Kabupaten Karawang terkait dengan pemberdayaan
koperasi dan UMKM pada sekarang ini yaitu menggunakan dasar hukum
Peraturan Daerah Kabupaten Karawang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang
Permberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, namun
kondisional sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum
yang berlaku, yaitu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja yang menitikberatkan pada perkembangan
investasi di Indonesia, sehingga aturan pelaksana Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah telah
diperbaharui yaitu dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun
2021 tentang Kemudahan Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Tentu hal ini menjadi dasar perlunya ada perubahan peraturan
daerah Kabupaten Karawang Nomor 3 Tahun 2015 Tentang
Permberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang Akan Diatur


Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat
dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah
1. Implikasi
Rancangan peraturan daerah tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro di Kabupaten Karawang ini
merupakan salah satu upaya hukum yang memberikan dasar hukum dan
prosedur bagi pemerintah Kabupaten Karawang dalam Penyelenggaraan
Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikrodi Kabupaten
Karawang. Dalam menjawab permasalahan tentang pengaturan
Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikrodi Kabupaten
Karawang maka implikasi dari diaturnya Peraturan Daerah tentang
Perlindungan danPermberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro di Kabupaten
Karawang diharapkan dapat :
a. Subtansi mengisi kebaruan hukum mengenai pengaturan
Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Permberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro di Kabupaten Karawang.
b. Sebagai acuan yang baku bagi Pemerintah Daerah Kabupaten
Karawang dalam Penyelenggaraan Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
c. Meningkatkan kualitas kedaulatan melalui pembentukan
Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
d. Menyamakan persepsi tentang pentingnya Penyelenggaraan
Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
e. Menyelenggarakan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro di Kabupaten Karawang.

2. Dampak Keuangan
Dengan adanya peraturan daerah tentang Perlindungan dan Permberdayaan
20

Koperasi dan Usaha Mikro, tentunya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD) akan terbebani karena Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan daerah
tersebut, akan mengucurkan dananya antara lain :
- untuk menyusun dan membuat peraturan daerah;
- untuk menyusun Peraturan Bupati;
- menyelenggarakan sosialisasi;dan
pembiayaan lainnya yang merupakan implikasi dari adanya peraturan daerah ini.
Namun demikian berbagai pengeluaran APBD akibat munculnya Peraturan
Daerah tentang Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha
Mikroakan efisien dan efektif apabila dihubungkan dengan dampak positif bagi
Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro
diKabupaten Karawang.
21

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN TERKAIT

A. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Terkait Perlindungan


dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro
Pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan (Pasal 1
angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan).
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
adalah sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut :
1. Undang Undang Dasar Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.
22

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam membentuk
peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sebagai berikut :
1. Asas kejelasan tujuan yaitu setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang
hendak dicapai.
2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yaitu setiap
jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat lembaga/ pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang baik di
tingkat pusat maupun tingkat daerah.
3. Asas kesesuaian antara jenis dan muatan yaitu pembentukan
peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-
undangan
4. Asas dapat dilaksanakan yaitu setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan
perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosiologis.
5. Asas dayaguna dan hasilguna yaitu setiap peraturan perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
23

6. Asas kejelasan rumusan yaitu setiap peraturan perundang-undangan


harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan perundang-
undangan, sistematika, pilihan kata atau terminology, bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya.
7. Asas keterbukaan yaitu dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka.
Sedangkan materi muatan peraturan perudang-undangan menurut

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 harus mencerminkan asas :


- Asas pengayoman, yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketenteraman masyarakat.
- Asas kemanusiaan yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan Hak
Asasi Manusia (HAM) serta harkat dan martabat setiap warga negara dan
penduduk Indonesia secara proporsional.
- Asas kebangsaan yaitu setiap materi muatan perundang-udangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan
tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Asas kekeluargaan yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus mencerminkan musyawarah mencapai
mufakat dalam pengambilan keputusan kecuali tidak tercapai maka
dilakukan voting yang harus tetap dijaga dalam semangat kekeluargaan.
- Asas kenusantaraan yaitu setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan harus senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi peraturan perundang- undangan merupakan bagian
dari seluruh sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
- Asas bhineka tunggal ika yaitu setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,
agama, suku, golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya
yang menyangkut masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
- Asas keadilan yaitu setiap materi muatan peraturan perundang- undangan
harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga
negara tanpa kecuali.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu materi
muatan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan latar belakang agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial.
Dalam tataran teknis, agar menjadi harmonisasi terdapat cara untuk
menganalisis peraturan perundang-undangan, yaitu :
24

Pertama, terlebih dahulu harus menyiapkan dan mengumpulkan


peraturan perundang-undangan yang akan diteliti serta peraturan perundang-
undangan lainnya yang merupakan dasar pembentukan peraturan perundang-
undangan yang akan diteliti.
Kedua, setelah itu barulah dapat dilakukan penelitian terhadap
latar belakang peraturan perundang-undangan yang hendak diteliti, yaitu
dengan melihat pada ”Konsideran dan Penjelasan Umum” dari peraturan
perundang-undangan tersebut.
Konsideran menimbang membuat uraian singkat mengenai pokok-
pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan
perundang-undangan. Pokok-pokok pikiran pada konsideran menimbang
memuat unsur atau landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang menjadi
latar belakang pembuatannya.
Sementara itu, penjelasan umum dari suatu peraturan perundang-
undangan merupakan kebiasaan negara-negara yang menganut civil law
gaya Eropa Kontinental. Penjelasan berfungsi sebagai pemberi keterangan
mengenai kata-kata tertentu, frasa dan beberapa aspek atau konsep yang
terdapat dalam suatu ketentuan ayat atau pasal yang dinilai belum terang
atau belum jelas diwatirkan oleh perumusnya akan dapat menimbulkan
salah penafsiran di kemudian hari. Jika diuraikan, tujuan adanya penjelasan
itu adalah untuk :47
a. Menjelaskan pengertian dan maksud dari suatu ketentuan (to explain the
meaning and intention of the main provision).
b. Apabila terdapat ketidakjelasan (obscurity) atau kekaburan (vagueness)
dalam suatu undang-undang, maka penjelasan dimaksudkan untuk
memperjelas sehingga ketentuan dimaksud konsideran dengan tujuan
yang hendak dicapai oleh pengaturan yang bersangkutan (to classify
the same soas to make it consistent with the dominant object which it
seeks to suserve).
c. Menyediakan tambahan uraian pendukung terhadap tujuan utama
peraturan perundang-undangan agar keberadaannya semakin bermakna
dan semakin berguna (to provide an additional support to the object in
the main statute in orderto make it meaningful and purposeful).
d. Apabila terdapat perbedaan yang relevan dengan maksud penjelasan
untuk menekankan kesalahan dan mengedepankan obyek peraturan
perundang-undangan, penjelasan dapat membantu pengadilan dalam
menafsirkan the true purport and object of the enactment, dan (it cannot
take away statutory righ with which any person under a statute has been
25

clothed, or set at nought the working of an Act by becoming ahindrance


in the interpretation of the same).
Pada pokoknya, penjelasan suatu peraturan perundang-undangan
berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-
undangan itu atas norma-norma hukum tertentu yang diberi penjelasan.
Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian lebih lanjut norma yang
diatur dalam batang tubuh peraturan yang dijelaskan. Dengan demikian,
penjelasan yang diberikan tidak boleh menyebabkan timbulnya
ketidakjelasan atau malah membingungkan.
Selain itu, penjelasan juga tidak boleh berisi norma hukum baru
ataupun yang berisi ketentuan lebih lanjut dari apa yang sudah diatur
dalam batang tubuh. Untuk menghindari jangan sampai penjelasan itu
berisi norma-norma hukum baru yang berbeda dari batang tubuh ketentuan
yang dijelaskannya, maka pembahasan rancangan penjelasan haruslah
dilakukan secara integral dengan keseluruhan naskah rancangan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
Ketiga, kemudian dilakukan penelitian terhadap peraturan
perundang-undangan beserta penjelasan pasal demi pasalnya, dalam hal ini
dapatlah diteliti pasal demi pasal tersebut secara keseluruhan, atau hanya
difokuskan terhadap pasal-pasal tertentu saja yang menjadi fokus
permasalahan yang sedang dibahas.

Keempat, berdasarkan penelitian mengenai latar belakang


pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut serta melihat
ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasalnya, maka dapat dilakukan analisa
terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti tersebut.
Analisa terhadap peraturan perundang-undangan, tersebut dapat
disesuaikan dengan tujuan dari penelitian yang dilakukan, misalnya:
apakah peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, apakah ketentuan dalam
pasal-pasal peraturan perundang-undangan tersebut sesuai dengan fungsi
maupun materi muatannya, apakah peraturan perundang-undangan
tersebut mempunyai daya guna (efektivitas) yang memadai dalam
pelaksanaannya, dan sebagainya
26
27

B. Evaluasi dan Analisis

Berikut ini diuraikan tinjauan terhadap beberapa peraturan


perundang-undangan yang terkait, antara lain:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Dari ketentuan ini bahwa daerah diberikan kewenangan
konstitusional untuk membentuk peraturan daerah, di samping itu juga
daerah memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan-peraturan
lain terkait dengan pelaksanaan otonomi dan tugas pembantuan.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234);
Dalam Pasal 7 ayat (1) disebutkan jenis dan dan hierarki
Peraturan Perundang-undangan yang terdiri atas :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dari ketentuan Pasal ini bahwa peraturan daerah kabupaten
termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang secara hierarki
berada di bawah peraturan daerah provinsi, sehingga peraturan
daerah kabupaten/kota harus sinkron dengan peraturan daerah
provinsi. Sedangkan yang menjadi materi muatan peraturan daerah
disebutkan dalam Pasal 14 yaitu materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi.
28

3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,


Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4866);
Jika mengacu pada pengertian persaingan usaha seperti yang
dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad (1999), pelaku usaha baik
dari kriteria Mikro, Kecil dan Menengah memiliki kedudukan yang
sama. Artinya, setiap kategori usaha yang diatur dalam ketentuan
Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2008, memiliki kesamaan hak dan
kewajiban dimata hukum. Lebih jauh lagi, kedudukan yang sama
diartikan dengan pemberian perlakuan yang sama oleh pemerintah.
Perlakuan (distribusi hak dan kewajiban) yang sama adalah hal
yang bertolak belakang jika ditinjau dari materi dalam UU No. 20
Tahun 2008. Tanggapan yang menyatakan bahwa materi UU a quo
terkesan tidak adil adalah hal yang benar, jika memperhatikan
ketentuan Pasal yang memberikan toleransi tidak proposional pada
kategori usaha tertentu (Usaha Mikro dan Kecil).
Berdasarkan analisis, UU a quo memberikan kemudahan
dalam sarana dan prasarana bagi Usaha Mikro dan kecil. Namun,
pengaturan tersebut tidak diatur untuk usaha menengah. UU a quo
juga memberikan hak-hak istimewa yang dikhususkan untuk Usaha
Mikro dan Kecil. Pembedaan perlakuan tersebut adalah hal yang adil
jika mengacu pada penadangan Rawls. Hal terrsebut adalah bentuk
nyata dari jenis keadilan distributif yang dikemukakan oleh Reis.
Adapun alasan pembenar pembedaan perlakuan tersebut, juga sejalan
dengan teori social equity yang dikemukakan oleh George, yang
didasarkan atas kondisi sosial pelaku usaha.
Berdasarkan klasifikasi ketentuan-ketentuan berdasarkan
pertimbangan terhadap kondisi pelaku usaha (segmentasi keadilan),
jika disandingkan dengan pendapat George, keberpihakan pada pelaku
usaha Mikro dan Kecil sebagai hasil dari segmentasi kondisi pelaku
usaha (kelas usaha), disimpulkan sebagai proses untuk menciptakan
equilibrium antara efisiensi dan ekonomi. Akan tetapi, jika menilik isi
ketentuan Pasal 39 dalam a quo, terlihat bahwa untuk mendukung
UMKM, pemerintah (public servants) dalam upayanya untuk
menyeimbangkan efisiensi, ekonomi dan keadilan, justru
mengabaikan nilai keadilan yang secara legal normative seharusnya
tidak dapat diabaikan.
Dari sudut pandang juridis, pengenaan sanksi sudah
seharusnya dikenakan pada klausa „setiap orang/ barang siapa‟. Akan
tetapi, terkait ketentuan Pasal 39 dalam UU No. 20 Tahun 2008
maupun ketentuan Pasal 32 dalam PP No. 17 Tahun 2013, tidak
dijelaskan mengapa ketentuan tersebut hanya dikenakan pada Usaha
Menengah dan Usaha Besar.
29

Jika menggunakan interpretasi gramatikal48 terhadap ketentuan


Pasal dalam Pasal 35 UU No 20 Tahun 2008 jo. Pasal 12 PP No. 17
Tahun 2013, diketahui bahwa apabila Usaha Kecil dengan aset dan
omzet maksimal diasumsikan menguasai Usaha Mikro dengan besaran
aset dan omzet minimal, dari segi definisinya (legal normative), kelas
Usaha Kecil tersebut sudah naik menjadi kelas Usaha Menengah tanpa
menjadi Usaha Menengah terlebih dahulu. Hal ini merupakan
pelanggaran ketentuan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 35 UU
No 20 Tahun 2008 jo. Pasal 12 PP No. 17 Tahun 2013.
Terlebih lagi, jika dikaitkan dengan peraturan yang
mempengaruhi APBN yaitu PP No. 46 Tahun 2013 Tentang
Pengenaan PPh Final dalam hal tarif khusus untuk UMKM, negara
dapat dipastikan menderita kerugian apabila kelas usaha tertentu (yang
seharusnya telah naik kelasnya) tidak merubah data kelas usahanya.
Melalui temuan tersebut, jika pelanggaran administrasi dianggap
sebagai kesalahan minor (sehingga tidak diatur dalam pengenaan
sanksi administratif), pengenaan sanksi pidana justru lebih
mencerminkan ketidaksinkronan tujuan dari pengaturan kebijakan
UMKM yang bertujuan untuk mengembangkan Usaha Mikro dan
Kecil yang berlandaskan konsep ekonomi kerakyatan (baca: prinsip
efisiensi berkeadilan dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4)
UUD NRI Tahun 1945). Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam hal
Usaha Mikro dan Kecil melakukan pelanggaran (pelaporan data
palsu), tindakan yang diberikan adalah pemidanaan tanpa peringatan
(sanksi administrasi) terlebih dahulu. Sementara itu, Usaha Menengah
dan Besar justru mendapatkan kesempatan peringatan (baca: sanksi
administrasi). Hal ini tentu bertolak belakang dengan kedudukan
sanksi pidana yang seharusnya menjadi ultimum remidium dalam
penegakan hukum.
Kebijakan persaingan diarahkan untuk membatasi perilaku
penyalahgunaan (abusive) yang dilakukan oleh perusahaan, terutama
perusahaan dominan. Selain hambatan yang dilakukan oleh
perusahaan dominan di pasar, hambatan masuk ke pasar juga
seringkali bersumber dari regulasi pemerintah.49
Regulasi yang berpotensi menimbulkan dampak di pasar
sebagaimana yang dimaksudkan oleh Lubis (2009) tersebut dapat
ditemui dalam analisis efek yang disebabkan oleh batasan dalam
ketentuan Pasal 39 UU No. 20 Tahun 2008. Seperti telah dipaparkan
sebelumnya, berdasarkan analogi ketentuan normatifnya, Usaha Kecil
yang menguasai Usaha Mikro yang pada hakekatnya sama dengan
Usaha Menengah akan memiliki 2 (dua) pasar. Satu pasar melalui
mekanisme Usaha Kecil dan satu lagi melalui Usaha Mikro. Mengutip
pendapat Djoneri 50 hal tersebut adalah hal yang kerap dilakukan oleh
30

pelaku usaha untuk menghindari pajak. Menilik pada ketentuan dalam


UU No. 5 Tahun 1995, sudah jelas bahwa Usaha Mikro dan Usaha
Kecil memiliki keistimewaan (privillege) dalam aksesibilitas, fasilitas,
pasar dan pengecualian terhadap laranganlarangan (per-se-ilegal) bagi
pelaku usaha (vide Pasal 50 huruf h UU Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat). Bertolak dari adanya perlindungan sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 50 huruf h, UU Nomor 5 Tahun1999, „oknum
tertentu‟ dari kalangan pelaku usaha Mikro dan/atau Kecil dapat
memperoleh probabilitas keuntungan yang serupa dengan besaran
keuntungan kelas Usaha Menengah. Jika demikian, dari sisi
pengenaan pajak bagi pelaku usaha, hal tersebut jelas mencerminkan
ketidakadilan. Ketidakadilan tersebut merupakan potensi yang dapat
muncul sebagai dampak negatif dari perlindungan hukum terhadap
oknum-oknum yang memanfaatkan nama Usaha Mikro dan Usaha
Kecil.
Oleh karena itu, tepatlah jika ditarik keseimpulan bahwa
dampak positif yang ditimbulkan oleh kebijakan persaingan tidak
dapat dilihat hanya dari hasil akhir (outcome), melainkan juga dari
perubahan kecenderungan perilaku dari pelaku di pasar,yang
merupakan bagian dari proses.51 Artinya, pelaku usaha dapat
memanfaatkan celah dari kebijakan tersebut untuk menguntungkan
diri sendiri dalam prosesnya menjalankan kegiatan usaha.
31

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang- Undang Nomor9 Tahun
2015 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4679);
Dalam melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Daerah, kepala daerah dan DPRD selaku penyelenggara
Pemerintahan Daerah membuat Perda sebagai dasar hukum bagi
Daerah dalam menyelenggarakan Otonomi Daerah sesuai dengan
kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari Daerah tersebut.
Perda yang dibuat oleh Daerah hanya berlaku dalam batas-batas
yurisdiksi Daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian Perda
yang ditetapkan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi
tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan.
Di samping itu Perda sebagai bagian dari sistem peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda.

5. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011


tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dalam undang-undang ini yang terutama adalah letak susunan
Peraturan Daerah diantara peraturan perundangan lainnya.
Sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 7 undang-undang ini,
yaitu Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


Undang;
d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Kabupaten; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.


Kemudian pada Pasal (2) dikatakan bahwa Kekuatan hukum Peraturan
Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
32

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah

Hubungan Pemerintah Pusat dengan Daerah dapat dirunut dari alinea


ketiga dan keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Alinea ketiga memuat pernyataan kemerdekaan
bangsa Indonesia. Sedangkan alinea keempat memuat pernyataan bahwa
setelah menyatakan kemerdekaan, yang pertama kali dibentuk adalah
Pemerintah Negara Indonesia yaitu Pemerintah Nasional yang
bertanggung jawab mengatur dan mengurus bangsa Indonesia. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa tugas Pemerintah Negara Indonesia adalah
melindungi seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut
memelihara ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial. Selanjutnya Pasal 1 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi
logis sebagai Negara kesatuan adalah dibentuknya pemerintah Negara
Indonesia sebagai pemerintah nasional untuk pertama kalinya dan
kemudian pemerintah nasional tersebutlah yang kemudian membentuk
Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian
Pasal 18 ayat (2) dan ayat
(5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah berwenang untuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan
Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya.
Pada hakikatnya Otonomi Daerah diberikan kepada rakyat sebagai satu
kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenanganuntuk mengatur dan
mengurus sendiri Urusan Pemerintahan yang diberikan oleh Pemerintah
Pusat kepada Daerah dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh kepala
daerah dan DPRD dengan dibantu oleh Perangkat Daerah. Urusan
Pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berasal dari kekuasaan
pemerintahan yang ada ditangan Presiden. Konsekuensi dari negara
kesatuan adalah tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan
Presiden. Agar pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang diserahkan ke
Daerah berjalan sesuai dengan kebijakan nasional maka Presiden
berkewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan dibantu oleh menteri negara dan setiap menteri
bertanggung atas Urusan Pemerintahan tertentu dalam pemerintahan.
Sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab menteri
tersebut yang sesungguhnya diotonomikan ke Daerah.
33

BAB IV

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Tujuan awal adanya pengaturan tentang Perlindungan dan


Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro terutama untuk melakukan suatu
peningkatan dalam aspek kedaulatan nasional yang dilambangkan dengan
pelayanan dan pengabdian yang direpresentasikan oleh Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro sebagai salah satu aspek utama.
Hingga saat ini, kedaulatan menjadi salah satu bidang yang mencerminkan
Indonesia sebagai negara agraris. Sehingga dalam hal ini pemerintah daerah
perlu agar daerah mengatur Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan
Usaha Mikromenjadi lebih baik dan dapat mencerminkan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum yang menjungjung tingga rasa keadilan.
Situasi inilah yang kemudian membawa peraturan tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro menjadi penting untuk
dilakukan.
Landasan filosofis pada dasarnya memuat pandangan hidup,
kesadaran, dan cita-cita hukum serta cita-cita moral yang terdapat dalam
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan daerah
harus memuat norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norms) oleh
suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara hendak diarahkan. Karena itu idealnya Peraturan Daerah dapat
digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang
nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui pelaksanaan Peraturan Daerah dalam kenyataan. Karena
itu, cita-cita filosofis yang terkandung dalam Peraturan Daerah hendaklah
mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat Kabupaten
Karawang. Artinya, jangan sampai cita-cita filosofis yang terkandung
didalam Peraturan Daerah justru mencerminkan falsafah kehidupan yang
tidak cocok dengan cita-cita filosofis bangsa sendiri. Karena, itu dalam
konteks kehidupan bernegara, Pancasila sebagai falsafah haruslah tercermin
dalam pertimbangan-pertimbangan filosofis yang terkandung didalam
Peraturan Daerah.
34

Dalam kaitannya dengan Raperda, maka landasan filosofis harus


mencerminkan:
1. Sila Kedua Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab,
merupakan bagian landasan filosofis Raperda, sehingga pelaksanaan
kewenangan pemerintah daerah di bidang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro yang
berdaya guna dan berhasil guna sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta guna menunjang
sistem Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi
dan Usaha Mikro.
2. Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (6), dan (7) Undang-Undang Dasar
1945. Pasal 18 menyebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah
Kabupaten dan Daerah Kabupaten itu mempunyai Pemerintahan
Daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan
Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan Daerah
Kabupaten, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.
Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
berdasarkan prinsip negara kesatuan, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat. Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyusunan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan Permberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikroini pada prinsipnya didasarkan pada asas-asas
yang menjadi landasan filosofis penyusunan peraturan perundang-undangan
pada umumnya yaitu diantaranya :
1. Asas Pengayoman, bahwa materi muatan peraturan daerah berfungsi
untuk memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat;
2. Asas kemanusiaan, dimana peraturan daerah ini dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga masyarakat secara proporsional;
3. Asas Keadilan, dimana ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini
adalah untuk memberikan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga masyarakat tanpa kecuali serta;
4. Asas ketertiban, dan kepastian hukum dimana salah satu tujuan utama
dari peraturan daerah ini adalah untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
35

B. Landasan Sosiologis

Bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang


harus memiliki landasan sosiologis, yaitu yang mencerminkan tuntutan
kebutuhan masyarakat sendiri dan norma hukum yang sesuai dengan realitas
kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu dalam konsideran harus
dirumuskan dengan baik pertimbangan-pertimbangan yang bersifat empiris
sehingga sesuatu gagasan normatif yang dituangkan dalam undang-undang
harus benar-benar didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran
hukum masyarakat, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
ditengah masyarakat hukum yang diaturnya.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk dalam rangka memenuhi
kebutuhan masyarakat dari berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah
dan kubutuhan masyarakat dan negara.
Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha
Mikroperlu diselenggarakan dengan mengintegrasikan semua komponen.
Pada dasarnya keberadaan Perlindungan dan Permberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikrobukan saja menjungjung tinggi rasa keadilan bagi
penduduk sekitar tetapi juga mempunyai daya dukung yang sangat besar
pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan masyarakat Kabupaten Karawang
secara umum. Keberadaan Penyelenggaraan Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikroberfungsi sebagai salah satu
bagian dalam penegakan hukum maupun penanggulangan permasalahan
yang ada dengan melibatkan peran aktif dan peran serta pemerintah
Kabupaten Karawang.
36

C. Landasan Yuridis

Landasan yuridis dalam perumusan setiap undang-undang haruslah


ditempatkan pada bagian Konsideran “Mengingat”. Dalam Konsideran
mengingat ini harus disusun secara rinci dan tepat sebagai berikut :
1. Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang dijadikan rujukan, termasuk penyebutan pasal dan ayat
atau bagian tertentu dari Undang-Undang Dasar 1945 harus
ditentukan secara cepat;
2. Undang-undang lain yang dijadikan rujukan dalam bentuk undang-
undang yang bersangkutan, yang harus jelas disebutkan nomornya,
judulnya, dan demikian pula nomor dan tahun Lembaran Negara dan
Tambahan Lembaran Negara.
Penyebutan undang-undang dalam penulisan Konsideran “Mengingat”
ini tidak disertai dengan penyebutan nomor pasal ataupun ayat. Penyebutan
pasal dan ayat hanya berlaku untuk penyebutan nomor pasal undang-undang
yang menjadi dasar hukumnya saja. Misalnya, mengingat Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Artinya, undang-undang itu dijadikan dasar yuridis dalam
Konsideran mengingat itu sebagai suatu kesatuan sistem norma.
Landassan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk dapat mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan
dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan
Perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain,
peraturan yang sudah ketinggalan sehinga tidak memadai lagi sebagai
landasan normatif, disharmonisasi peraturan perundang-undangan.
37

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan landasan


yuridis yang dapat dipertimbangkan untuk penyusunan Peraturan Daerah
tentang Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, yaitu
sebagai berikut:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan


Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
(Berita Negara Tahun 1950), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan
Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang dengan Mengubah
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2851);

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3250);
4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3817);

5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,


Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4866);

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6398);

7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan


Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);

8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
38

5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan


Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

9. Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran


Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1994 tentang Persyaratan dan


Tata Cara Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran
Dasar Koperasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3540);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1994 tentang Pembubaran


Koperasi oleh Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1994 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3549);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1998 tentang Modal


Penyertaan pada Koperasi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3744);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan


Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

14. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang


Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan


Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021
Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6619).
39

BAB V

JANGKAUAN ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP


MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PERMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA
MIKRO

A. Jangkauan Arah Pengaturan


Jangkauan arah pengaturan dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Karawang tentang Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha
Mikro yang merupakan perwujudan sila lima Pancasila menyatakan bahwa
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, Pembukaan UndangUndang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan
dan perdamaian abadi, dan keadilan sosial, sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang.
Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan
Usaha Mikro perlu diselenggarakan dengan mengintegrasikan semua
komponen. Berdasarkan maksud tersebut maka perlu diatur dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten Karawang tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.

B. Materi yang Akan di Atur


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang di maksud dengan
:
1. Daerah adalah Daerah Kabupaten Karawang.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Karawang.
3. Bupati adalah Bupati Kabupaten Karawang.
4. DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Karawang.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia.
6. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
7. Dinas adalah Perangkat Daerah yang membidangi urusan pemerintahan
bidang Koperasi dan Usaha Mikro.
8. Kepala Dinas adalah Kepala Perangkat Daerah yang membidangi urusan
pemerintahan bidang Koperasi dan Usaha Mikro.
9. Pejabat yang ditunjuk adalah pejabat yang mendapat pelimpahan
kewenangan dengan Keputusan Bupati Karawang.
40

10. Instansi Teknis adalah instansi atau lembaga yang terkait dengan
PemberdayaanKoperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Kabupaten
Karawang.
11. Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk
penumbuhan iklim dan pengembangan usaha terhadap Koperasi dan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah agar mampu tumbuh dan berkembang menjadi
usaha yang tangguh dan mandiri.
12. Perkoperasian adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan
Koperasi.
13. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas dasar azas kekeluaragaan.
14. Koperasi Primer adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan
orang perseorangan.
15. Koperasi Sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan
koperasi.
16. Penggabungan Koperasi adalah bergabungnya sebuah atau beberapa
koperasi kepada satu koperasi yang sudah ada.
17. Peleburan Koperasi adalah meleburnya dua atau lebih koperasi menjadi
satu koperasi yang baru.
18. Gerakan Koperasi adalah keseluruhan organisasi koperasi dan kegiatan
perkoperasian yang bersifat terpadu menuju tercapainya cita-cita dan
tujuan Koperasi.
19. Pendidikan perkoperasian adalah pendidikan yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman dan keyakinan kepada para pemangku
kepentingan dalam pengembangan koperasi.
20. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau
badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro
sebagaimana diaturdalam Peraturan Daerah ini.
21. Dunia Usaha adalah usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah, dan usaha
besar yang melakukan kegiatan ekonomi Indonesia dan berdomisili di
Indonesia.
22. Jaringan Usaha adalah mata rantai saluran pengembangan dan perluasan
usaha Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.
23. Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah untuk memberdayakan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengahsecara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-
undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah memperoleh pemihakan,
kepastian, kesempatan, pelindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-
luasnya.
24. Kegiatan Usaha Simpan Pinjam adalah kegiatan yang dilakukan untuk
menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan
pinjam dari dan untuk anggota koperasi yang bersangkutan, calon
anggota koperasiyang bersangkutan, koperasi lain, dan/atau anggotanya.
41

25. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah


Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi dan
lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan
memperkuat permodalan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
26. Penjamin adalah pemberian jaminan pinjaman Koperasi, oleh Lembaga
Penjamin Simpanan Koperasi Simpan Pinjam sebagai dukungan untuk
memperbesar kesempatan memperoleh pinjaman dalam rangka
memperkuat permodalannya.
27. Modal Penyertaan adalah penyetoran modal pada koperasi berupa uang
dan/atau barang yang dapat dinilai dengan uang yang disetorkan oleh
perorangan dan/atau badan hukum untuk menambah dan memperkuat
permodalan Koperasi guna meningkatkan kegiatan usahanya.
28. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha, baik langsung
maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan,
mempercayai, memperkuat dan menguntungkan yang melibatkan
Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Pelaku Usaha
Besar baik swasta maupun pemerintah.
29. Monitoring dan Evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk
mengetahui hasil dan kinerja dari penyelenggaraan kegiatan aparat
Pemerintah Daerah bersama Instansi Teknis terkait lainnya dan Kamar
Dagang dan Industri Daerah dalam rangka memantau dan menilai hasil
pelaksanaan pemberdayaan, pengembangan, dan pelindungan Koperasi.

BAB II
LANDASAN DAN ASAS
Pasal 2

Pemberdayaan Pengembangan dan Pelindungan Koperasi dan Usaha Mikro


berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta berdasarkan asas kekeluargaan dan profesional usaha.

BAB III
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 3
Pengaturan pemberdayaan dan pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro
dimaksudkan untuk mewujudkan dan meningkatkan perekonomian Daerah, serta
kesejahteraan masyarakat melalui peran Koperasi dan Usaha Mikro secara
berkelanjutan.
Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro bertujuan untuk:
• menumbuhkan iklim usaha yang kondusif dalam mengembangkan, meningkatkan
kemampuan Koperasi dan Usaha Mikro menjadi usaha yang tangguh, mandiri,
berdaya saing dan berdaya sanding;
• meningkatkan peran Koperasi yang menjadi wadah bagi Usaha Mikro untuk
mengembangkan kemampuan usahanya agar menjadi usaha yang tangguh dan
mandiri;
42

• memberikan pelindungan dan dukungan usaha bagi pengembangan Koperasi


dan Usaha Mikro; dan
• meningkatkan peran Koperasi dan Usaha Mikro dalam pembangunan daerah,
penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan kemiskinan.

BAB IV
RUANG LINGKUP

Pasal 4Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:


30. Koperasi;
31. Usaha Mikro; dan
32. pemberdayaan koperasi sebagai wadah pengembangan Usaha Mikro.

BAB V
KOPERASI

Bagian Kesatu
Pembinaan Kelembagaan Koperasi

Paragraf 1
Umum
Pasal 5
Dalam rangka meningkatkan dan memantapkan fungsi kelembagaan, ketatalaksanaan
dan Sumber Daya Manusia Koperasi, Pemerintah Daerah melaksanakan kegiatan
pembinaan kelembagaan Koperasi.
Pembinaan kelembagaan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi
pelaksanaan pengesahan dan pengumuman akta pendirian koperasi, pengesahan
perubahan Anggaran Dasar yang menyangkut penggabungan, pembagian dan perubahan
bidang usaha Koperasi dalam wilayah Daerah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pembinaan kelembagaan Koperasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan bupati.

Paragraf 2
Pendirian
Pasal 6
(1) Dalam hal masyarakat akan mendirikan Koperasi baik Koperasi Primer
maupun Koperasi Sekunder, terlebih dahulu harus dilakukan
penyuluhan perkoperasian oleh Dinas.
(2) Anggaran penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai
olehAnggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Karawang.
(3) Akta Pendirian Koperasi kepada Notaris baru dapat diajukan setelah
mendapatkan penyuluhan perkoperasian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dibuktikan dengan surat keterangan dari Dinas.
(4) Prosedur dan persyaratan pendirian serta pengesahan Badan Hukum
Koperasidisesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
43

Paragraf 3
Pelaksanaan Pembinaan Kelembagaan

Pasal 7
Pelaksanaan pembinaan Kelembagaan Koperasi oleh Pemerintah Daerah melalui:
a. pengembangan kelembagaan dan bantuan pendidikan, pelatihan,
penyuluhan,dan penelitian Koperasi;
b. bantuan konsultasi dan fasilitasi guna memecahkan permasalahan yang
dihadapi oleh Koperasi dengan tetap memperhatikan Anggaran Dasar
Koperasi;
c. meningkatkan kompetensi/kemampuan sumber daya manusia Koperasi
dalamrangka meningkatkan produktivitas dan daya saing;
d. bantuan pengembangan teknologi informasi; dan
e. pembinaan khusus untuk koperasi yang bermasalah.

Paragraf 4
Penggabungan dan Peleburan

Pasal 8
(1) Untuk kepentingan efektivitas pengembangan dan/atau efisiensi, satu
Koperasi atau lebih dapat menggabungkan diri dengan Koperasi lain atau
beberapa Koperasi dapat meleburkan diri untuk membentuk suatu Koperasi
baru berdasarkan persetujuan Rapat Anggota Tahunan masing-masing
Koperasi.
(2) Bagi koperasi yang telah menjalani proses pembinaan khusus selama 3 (tiga)
tahun dan tidak mengalami perkembangan baik dari sisi organisasi maupun
usaha wajib menggabungkan atau meleburkan diri dengan koperasi lain.
(3) Kewajiban meggabungkan atau meleburkan diri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan keputusan bupati setelah melalui proses penilaian
koperasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengenai penggabungan dan
peleburan koperasi diatur dengan peraturan bupati.

Paragraf 5
Pembubaran

Pasal 9
Pembubaran Koperasi dapat dilakukan berdasarkan:
a. keputusan rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya telah berakhir; dan/atau
c. Keputusan Pemerintah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Usaha Koperasi
44

Pasal 10
(1) Koperasi menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan apa yang menjadi
kebutuhan anggota dan yang diputuskan dalam Rapat Anggota.
(2) Pemerintah Daerah mendorong dan memfasilitasi berbagai jenis usaha
yangberbasis koperasi.
(3) Koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah
sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Gerakan Koperasi

Pasal 11

(1) Koperasi di wilayah Daerah secara bersama-sama mendirikan 1 (satu)


Gerakan Koperasi di wilayah Daerah yang berfungsi sebagai wadah untuk
memperjuangkan kepentingan sebagai pembawa aspirasi koperasi. Gerakan
Koperasi di wilayah Daerah berfungsi sebagai:
a. wadah perjuangan, cita-cita, nilai-nilai, dan prinsip-prinsip
Koperasi;dan
b. mitra Pemerintah dalam pembangunan Koperasi untuk
mewujudkan tataekonomi yang berkeadilan.
(2) Pembiayaan organisasi dan program Gerakan Koperasi sebagaimana
dimaksudpada ayat (1) dibebankan kepada Gerakan Koperasi itu sendiri.
(3) Pemerintah Daerah dapat memberi dukungan pendanaan berupa hibah
kepada Gerakan Koperasi di wilayah Daerah sesuai ketentuan Peraturan
perundang- undangan.

Bagian Keempat
Pendidikan Perkoperasian

Pasal 12
(4) Pendidikan perkoperasian harus dijadikan dasar dalam upaya
pengembangan koperasi baik secara kuantitas, kualitas, dan sustainabilitas
(berkelanjutan).
(5) Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) bersama-sama dengan Pemerintah
Daerah menyusun rencana dan melaksanakan pendidikan perkoperasian
secara komprehensif dan sinergis.
(6) Pendidikan dalam upaya pengembangan Sumber Daya Manusia Koperasi,
diselenggarakan dengan cara:
a. meningkatkan pemahaman sumber daya manusia Koperasi,
mengenai pengertian, nilai-nilai dan prinsip-prinsip Koperasi
dalam praktek berkoperasi melalui penyuluhan dan pendidikan
serta pelatihan secaraperiodik;
b. mensosialisasikan dan mengampanyekan peran penting Koperasi
dalampengarusutamaan pembangunan ekonomi daerah;
c. memasyarakatkan dan membudayakan serta mengembangkan
jiwakewirakoperasian bagi pengurus Koperasi;
45

d. meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia dalam bidang


keterampilan teknis dan menajerial;
e. mendorong dan memfasilitasi kelompok-kelompok usaha untuk
mampumenjadi organisasi Koperasi yang berbadan hukum; dan
f. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan,
konsultasi dan penyuluhan, serta pendampingan bagi pembinaan dan
pengembangan Koperasi.

BAB VI
USAHA MIKRO

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 13
(1) Usaha Mikro bertujuan menumbuhkan dan mengembangkan usaha dalam
rangka membangun perekonomian daerah berdasarkan demokrasi
ekonomi yang berkeadilan.
(2) Prinsip pemberdayaan Usaha Mikro:
a. penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha
Mikro untuk berkarya dengan prakarsa sendiri;
b. perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan
berkeadilan;
c. pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar
sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro;
d. peningkatan daya saing Usaha Mikro; dan
e. penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara
terpadu.
46

Bagian Kedua
Kriteria

Pasal 14
Kriteria Usaha Mikro disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Penumbuhan Iklim
Usaha

Pasal 15
(1) Pemerintah Daerah menumbuhkan iklim Usaha Mikro melalui aspek:
a. pendanaan;
b. sarana dan prasarana;
c. informasi usaha;
d. kemitraan;
e. perizinan;
f. kesempatan berusaha;
g. promosi dagang; dan
h. dukungan kelembagaan.
(2) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif membantu menumbuhkan
iklim usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
47

Paragraf 1

Pendanaan

Pasal 16
Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a, bertujuan agar
Pemerintah Daerah:
a. memperluas sumber pendanaan dan memfasilitasi Usaha Mikro dalam
mengakseskredit perbankan dan lembaga keuangan bukan bank;
b. memperbanyak lembaga pembiayaan dan memperluas jaringannya,
sehinggadapat diakses oleh Usaha Mikro;
c. memberikan kemudahan dalam memperoleh pendanaan secara cepat, tepat,
murah dan tidak diskriminatif dalam pelayanan yang diberikan kepada
Usaha Mikro sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. membantu para pelaku Usaha Mikro mendapatkan pembiayaan dan
jasa/produk keuangan lainnya yang disediakan oleh perbankan dan
lembaga keuangan bukan bank, baik yang menggunakan sistem
konvensional maupun sistem syariah.

Paragraf 2
Sarana dan Prasarana

Pasal 17
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b,
ditujukan untuk menyediakan prasarana umum yang dapat mendorong dan
mengembangkan pertumbuhan Usaha Mikro.

Paragraf 4
Kemitraan

Pasal 19
Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d, dilakukan
PemerintahDaerah dunia usaha dan masyarakat untuk:
a. dapat melakukan kerjasama usaha antara Usaha Mikro dengan pihak lain
dalam bentuk kemitraan berdasar kesetaraan, keterbukaan, saling
membutuhkan, memperkuat, dan saling menguntungkan;
b. mewujudkan kemitraan antara Usaha Mikro dengan badan usaha lain di
daerahyang dilaksanakan atas dasar penerapan etika bisnis, yang dilandasi
kejujuran, kepercayaan, komunikasi yang terbuka, keadilan, dan
keseimbangan;
c. mendorong terjadinya hubungan kemitraan yang saling menguntungkan
dalam pelaksanaan transaksi Usaha Mikro dengan Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD)maupun usaha swasta; dan
d. mengembangkan kerjasama untuk meningkatkan posisi tawar Usaha
Mikro.
48

Paragraf 5
Perizinan

Pasal 20
(1) Perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e yaitu Izin Usaha
untuk Usaha Mikro sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam peraturan bupati.

Paragraf 6
Kesempatan Berusaha

Pasal 21
(1) Kesempatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf f,
ditujukan untuk:
a. menentukan peruntukan tempat usaha yang meliputi pemberian lokasi di
pasar, ruang pertokoan, lokasi sentra industri, lokasi wisata, hotel, serta
lokasi lainnya bagi Usaha Mikro;
b. mendorong kepada usaha besar untuk menyediakan ruang tempat usaha
kepada Usaha Mikro;
c. memberikan prioritas pada bidang kegiatan ekonomi yang hanya dapat
dikelola oleh Usaha Mikro sesuai dengan peraturan perundang-
undangan; dan
d. Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Daerah, dan/atau badan usaha
swasta wajib melakukan penyediaan tempat promosi dan pengembangan
Usaha Mikro paling sedikit 30% (tiga puluh persen) total luas lahan area
komersial, luas tempat perbelanjaan, dan/atau tempat promosi yang
strategis pada infrastruktur publik.
(2) Pemerintah Daerah melalui Dinas melakukan pengawasan dan pengendalian yang
berkoordinasi dengan Dinas/instansi terkait dalam pelaksanaan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Paragraf 7
Promosi Dagang

Pasal 22
Pemerintah Daerah dalam pengembangan ekspor terbatas pada penyelenggaraan promosi
dagang melalui pameran dagang nasional, pameran dagang lokal, dan misi dagang bagi
produk ekspor unggulan yang terdapat pada wilayah Daerah.

Paragraf 8
Dukungan Kelembagaan
49

Pasal 23
Dukungan kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf h,
ditujukan untuk memfasilitasi terbentuknya lembaga pendukung pengembangan
Usaha Mikro di Daerah.

Bagian Keempat
Pengembangan Usaha Mikro

Pasal 24
(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan Usaha Mikro berupa:
a. produksi dan pengolahan;
b. pemasaran;
c. penerapan desain dan teknologi;
d. pengembangan sumber daya manusia wirausaha; dan
e. pameran produk Usaha Mikro.
(2) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif
melakukanpengembangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).

Pasal 25
Fasilitasi pengembangan usaha dalam bidang produksi dan pengolahan
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan cara:
a. meningkatkan teknik produksi dan pengolahan serta kemampuan
manajemen bagiUsaha Mikro;
b. memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana, produksi
dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi produk
Usaha Mikro;
c. mendorong penerapan standarisasi dalam proses produksi dan pengolahan;
dan
d. meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan bagi Usaha
Mikro.

Pasal 26
Fasilitasi pengembangan usaha dalam bidang pemasaran sebagaimana dimaksud
dalamPasal 24 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan cara:
a. elaksanakan penelitian dan pengkajian pemasaran;
b. menyebarluaskan informasi pasar;
c. meningkatkan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran;
d. menyediakan pasar internal bagi produk Usaha Mikro dalam lingkup
pegawai dilingkungan Pemerintahan Daerah;
e. menyediakan sarana pemasaran yang meliputi penyelenggaraan uji coba
50

pasar, lembaga pemasaran, penyediaan rumah dagang, dan promosi bagi


51

Usaha Mikro;
f. memberikan dukungan promosi produk, jaringan pemasaran, dan distribusi;
dan
g. menyediakan tenaga konsultan profesional dalam bidang pemasaran.
52

Pasal 27
Fasilitasi pengembangan usaha dalam bidang penerapan desain dan teknologi
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c, dilakukan dengan cara:
a. meningkatkan kemampuan di bidang desain dan teknologi serta pengendalian
mutu;
b. meningkatkan kerjasama dan alih teknologi;
c. meningkatkan kemampuan Usaha Mikro di bidang penelitian untuk
mengembangkan desain dan teknologi baru;
d. memberikan insentif kepada Usaha Mikro yang mengembangkan teknologi
danmelestarikan lingkungan hidup; dan
e. mendorong Usaha Mikro untuk memperoleh sertifikat hak atas kekayaan
intelektual.

Pasal 28
Fasilitasi pengembangan usaha dalam bidang Pengembangan SDM wirausaha
sebagaimanadimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf d, dilakukan dengan cara:
a. memasyarakatkan dan membudayakan kewirausahaan;
b. meningkatkan keterampilan teknis dan manajerial; dan
c. membentuk dan mengembangkan lembaga pendidikan dan pelatihan untuk
melakukan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, motivasi dan kreativitas bisnis,
danpenciptaan wirausaha baru.

Bagian Kelima
Pembiayaan

Pasal 29
(1) Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan dan pengembangan Usaha
Mikro di bidang pembiayaan melalui fasilitasi dan mendorong peningkatan
modal kerja daninvestasi.
(2) Pemberian fasilitasi dan kemudahan untuk memperoleh pembiayaan bagi
UsahaMikro meliputi:
a. kredit perbankan;
b. modal ventura;
c. dana penyisihan sebagian laba Badan Usaha Milik Daerah;
d. hibah;
e. modal penyertaan yang bersumber dari:
1. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
2. anggota masyarakat;
53

3. Badan Usaha Milik Daerah; dan


4. sumber lain yang sah;
f. jenis pembiayaan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(3) Pemberian fasilitasi dan kemudahan memperoleh pembiayaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak bersifat diskriminatif dan tidak ada intervensi
pihak luar.

BAB VII
PEMBERDAYAAN KOPERASI SEBAGAI WADAH PENGEMBANGAN USAHA
MIKRO

Bagian
KesatuUmum

Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah mendorong Usaha Mikro membentuk Koperasi dalam
rangkapengembangan Usaha Mikro.
(2) Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berperan sebagai wadah
UsahaMikro untuk menumbuhkan iklim usaha dan pengembangan Usaha
Mikro.
(3) Penumbuhan iklim usaha Mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, bersama dengan dunia usaha dan
masyarakat secara sinergis, dalam memberdayakan Koperasi agar Koperasi
tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dan permodalan dalam
rangka perluasan usaha bagi Koperasi dan Usaha Mikro dalam bentuk
fasilitasi usaha,hibah, subsidi bunga pinjaman, dan penyertaan modal bagi
Koperasi.
(5) Pemberian insentif dan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diaturdengan peraturan bupati.
(6) Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan pembinaan, pengawasan dan
monitoring terhadap Koperasi dan Usaha Mikro.
(7)
Bagian Kedua
Perlindungan Usaha

Pasal 31
(1) Pemerintah Daerah memberikan pelindungan usaha bagi Koperasi dan
UsahaMikro melalui sistem perizinan dan pengawasan.
(2) Pelindungan usaha Koperasi dapat pula dilakukan dengan mengikutsertakan
elemen masyarakat, dengan memperhatikan unsur persaingan usaha yang
sehatsesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam rangka pemberian pelindungan pada koperasi, Pemerintah Daerah
54

dapat:
55

a. menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh


diusahakankoperasi; dan
b. menetapkan bidang kegiatan ekonomi suatu wilayah yang telah
berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak dusahakan oleh
badan usaha lainnya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelaksanaan
pelindungan pada Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
lebihlanjut dengan peraturan bupati.

Bagia Ketiga
Kebijakan dan Strategi

Pasal 32
(1) Dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang
mendorong pertumbuhan dan pemasyarakatan Koperasi sebagai wadah
Usaha Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), Pemerintah
Daerah menetapkan kebijakan yang bertujuan:
a. memberikan kesempatan usaha yang seluas-luasnya kepada
Koperasi;
b. meningkatkan dan memantapkan kemampuan Koperasi agar
sehat,tangguh, dan mandiri;
c. mengupayakan tata hubungan usaha yang saling menguntungkan
antaraKoperasi dengan badan usaha lainnya; dan
d. membudayakan Koperasi dalam masyarakat.
(2) Dalam rangka menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang
mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan Koperasi sebagai wadah
Usaha Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), serta
memberikan bimbingan dan kemudahan kepada Koperasi, Pemerintah
Daerah menyelenggarakan program pembinaan sebagai berikut:
a. bimbingan usaha Koperasi yang sesuai dengan kepentingan
ekonomianggotanya;
b. fasilitasi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan perkoperasian;
c. penyuluhan perkoperasian;
d. penelitian perkoperasian;
e. pemberian kemudahan untuk memperkokoh permodalan
Koperasi sertamengembangkan lembaga keuangan Koperasi;
f. fasilitasi pengembangan jaringan usaha Koperasi dan kerja sama
yangsaling menguntungkan antar koperasi; dan
g. penyelenggaraanbantuan konsultasi guna memecahkan
permasalahan yang dihadapi oleh Koperasi dengan tetap
memperhatikan Anggaran Dasar dan prinsip Koperasi.
(3) Untuk melaksanakan kebijakan pembangunan Koperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditempuh strategi sebagai berikut:
56

a. peningkatan pemasyarakatan Koperasi;


b. perkuatan kelembagaan, organisasi dan manajemen Koperasi,
sejajardengan pelaku usaha lain;
c. peningkatan kualitas sumberdaya manusia Koperasi;
d. peningkatan akses pembiayaan;
e. pengembangan restrukturisasi usaha;
f. perkuatan dan peningkatan kesehatan usaha;
g. peningkatan produktivitas Koperasi;
h. perkuatan dan peningkatan akses pemasaran;
i. pemberdayaan dan pengembangan kerjasama, dan kemitraan
usaha antarKoperasi dan dengan pelaku usaha lain;
j. pengembangan praktek-praktek terbaik berkoperasi
(benchmarking andbest practices) Koperasi sukses;
k. pengawasan dan pemeriksaan koperasi;
l. penyelenggaraan konsultasi dan/atau pendampingan;
m. pengembangan kajian terapan dan kajian strategis kebijakan
pembangunan Koperasi; dan
n. peningkatan dan perkuatan koordinasi antar para pemangku
kepentingan.

BAB VIII
KEWAJIBAN DAN LARANGAN

Bagian Kesatu
Kewajiban

Pasal 33
(1) Setiap Koperasi wajib:
a. memiliki domisili hukum yang tetap;
b. memiliki izin usaha selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak
disahkannya badan hukum koperasi;
c. memiliki perlengkapan administrasi dan sarana kantor;
d. mengutamakan pelayanan kepada anggota dan calon anggota;
e. memelihara administrasi organisasi, usaha dan keuangan yang
tertibsesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. melakukan survei kepuasan anggota minimal sekali dalam 3
(tiga)tahun;
g. menyampaikan laporan tertulis mengenai kinerja organisasi dan
usahaKoperasi secara periodik ke bupati melalui Dinas; dan
h. melaksanakan rapat anggota minimal 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
57

(2) Khusus Koperasi Simpan Pinjam kegiatan usaha yang diselenggarakan hanya
untuk melayani anggota dan calon anggota.
(3) Khusus Koperasi Simpan Pinjam besaran tertinggi jasa pinjaman dan jangka
waktu penetapan jasa ditetapkan dengan memperhtrasi penisatikan asas
kekeluargaan dalam Koperasi.
(4) Setiap Koperasi yang memperoleh bantuan dan fasilitas dari Pemerintah Daerah,
wajib diaudit.
(5) Bagi Koperasi yang sudah berbadan hukum paling sedikit 1 (satu) tahun dan telah
melaksanakan Rapat Anggota Tahunan, wajib dilakukan penilaian atas kesehatan
Koperasi, yang berlaku untuk 1 (satu) periode tertentu dalam jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun.
58

BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan

1. Pada saat ini belum ada dasar hukum mengenai Penyelenggaraan


Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro di
Kabupaten Karawang, sehingga perlu menetapkan Peraturan Daerah
tentang Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
2. Perlunya dibuat Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikrodi Kabupaten Karawang,
untuk menjamin landasan hukum yang kuat bagi Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro di Kabupaten Karawang.
3. Pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukan
peraturan daerah tentng Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan
Usaha Mikro:
a. Pertimbangan Filosofis
Dalam kaitannya dengan Raperda, maka landasan filosofis harus
mencerminkan :
1) Sila Lima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia, merupakan bagian landasan filosofis
Raperda, sehingga pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah
didalam penyusunan Penyelenggaraan Perlindungan dan
59

Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro yang berdaya guna


dan berhasil guna.
2) Pasal 18 ayat (1), (2), (3), (4), (6), dan (7) Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 18 menyebutkan bahwa NKRI dibagi atas
daerah-daerah Kabupaten dan Daerah Kabupaten itu
mempunyai Pemerintahan Daerah, yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, dan Walikota
masing-masing sebagai kepala Pemerintahan Daerah
Kabupaten, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.
Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya
berdasarkan prinsip negara kesatuan, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai
urusan pemerintah pusat. Pemerintahan Daerah berhak
menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

b. Landasan Sosiologis
Bahwa setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang-undang
harus memiliki landasan sosiologis, yaitu yang mencerminkan
tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri dan norma hukum yang
sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Oleh karena itu
dalam konsideran harus dirumuskan dengan baik pertimbangan-
pertimbangan yang bersifat empiris sehingga sesuatu gagasan
60

normatif yang dituangkan dalam undang-undang harus benar-benar


didasarkan atas kenyataan yang hidup dalam kesadaran hukum
masyarakat, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
ditengah masyarakat hukum yang diaturnya.
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat dari berbagai aspek. Landasan
sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai
perkembangan masalah dan kubutuhan masyarakat dan negara.
Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan
Usaha Mikroperlu diselenggarakan dengan mengintegrasikan semua
komponen, agar terciptanya produk hukum yang berkualitas.

c. Landasan Yuridis
Landassan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk dapat mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau
yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa
keadilan masyarakat.
Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan
dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk
Peraturan Perundang-undangan yang baru. Beberapa persoalan
hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan sehingga
61

tidak memadai lagi sebagai landasan normatif, disharmonisasi


peraturan perundang-undangan.
4. Sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup, pengaturan, jangkauan,
dan arah pengaturan Peraturan Daerah Tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
Jangkauan arah pengaturan dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Karawang tentang Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan
Usaha Mikro yang merupakan perwujudan sila lima Pancasila
menyatakan bahwa Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia,
Pembukaan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan dan
perdamaian abadi, dan keadilan sosial, sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang.
Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan Koperasi dan Usaha
Mikroperlu diselenggarakan dengan mengintegrasikan semua
komponen demi terlaksananya rencanya tersebut. Berdasarkan maksud
tersebut maka perlu diatur dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Karawang tentang Perlindungan dan Permberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro terbaru untuk menyesuaikan peraturan
perundang-undangan.
62

B. Saran

1. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang diharapkan segera


menetapkan Peraturan Daerah tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro.
2. Berdasarkan masukan dari naskah akademik ini, hendaknya dapat
dijadikan sebagai landasan filosofis, sosiologis dan yuridis atas
permasalahan Penyelenggaraan Perlindungan dan Permberdayaan
Koperasi dan Usaha Mikro.
3. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang agar memasukan dan
memberikan prioritas Peraturan Daerah Tentang Perlindungan dan
Permberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro ini dalam Program
Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) untuk segera dapat
dibahas bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
63

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Raja Grafindo


Persada, 2011.

Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan Jilid 1 (Jenis, Fungsi, Materi


Muatan). Jakarta: Kanisius, 2011.

----------.
Ilmu Perundang-undangan Jilid 2 (Proses dan
Teknik Pembentukannya). Jakarta: Kanisius, 2013.
Soerjono Soekanto. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia,
1984.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka, 2005.

Zudan Arif F, 2009. Ilmu Lembaga dan Pranata Hukum (Sebuah Pencarian).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan : Dasar, Jenis dan Teknik


Membuatnya, Bina Aksara.

Asep Warlan Yusuf, Metode Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan


(Makalah), Bandung :Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, 2010.

B.R. Atre, Legislative Drafting : Principles and Techniques, Universal Law


Publishing Co., 2001.

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta : IND-


HILL.Co.

, Menyonsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta,Pusat Studi


Hukum Fakultas Hukum UII.

, “Beberapa hal disekitar otonomi daerah sebagai sistem


penyelenggaraan pemerintahan”, Majalah Padjadjaran, Jilid V –
Nomor 3 – 4, Juli – Oktober 1974, Bina Cipta, Bandung.

, Belum mengaitkannya dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun


1974.
64

Bambang Yudoyono, Otonomi Daerah, Jakarta, Pustaka Sinar Harahap, 2001.


65

Dr. Ateng Syafrudin, SH. Bahan Kuliah Hukum Tata Negara (Bagian V), Fakultas
Hukum Universitas Konvensi Hak Anak tolik Parahyangan. Bandung.
1981.

Hadi, Sutrisno, Metode Penelitian, Yogyakarta : Andi Offset, 1992.


Hoogerwerf, Politikologi, Jakarta, Erlangga, 1985.
Mr. Tresna, Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan, Dibya, Bandung.2012.

Pipin Syarifin & Dedah Jubaedah, Ilmu Perundang-Undangan, (Bandung :


CV.Pustaka Setia), 2012.

Prof. DR.Mr. S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Cet. 6,


Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Prof.DR. Rochmat Sumitro, SH, Peraturan Perundang – Undangan Tentang


Pemerintahan Daerah, PT. Eresco-Tarate, Jakarta-Bandung, 1983.

Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,


Jakarta, Rineka Cipta, 1990.

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta :


Raja Grafindo Persada, 2001.

Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia,


Jakarta : Konstitusi Press, 2014.

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik,


PT. Raja Grafindo Persada, Depok : 2013.

Justice for The Poor – The World Bank, Menciptakan Peluang Keadilan, Jakarta:
The World Bank, 2005.

Commision on Legal Empowerment of The Poor, Making Law Works for


Everyone, New Jersey: Toppan Company Printing America, 2008.

David Udell and Rebecca Diller, White Paper, Access to Justice: Opening The
Courthouse Door, New York: Brennan Justice Center, New York
University School of Law, 2007.

H. Patrick Glenn dalam Justice for The Poor – The World Bank, Forging The
Middle Ground- Engaging Non State Justice in Indonesia, Jakarta:
The World Bank, 2008.
66

Cate Sumner, Memberi Keadilan Bagi Para Pencari Keadilan, Sebuah Laporan
Tentang Pengadilan Agama Indonesia:Penelitian tahun 2007 tentang
Akses dan Kesetaraan Jakarta: Mahkamah Agung dan Ausaid, 2008.

Hadi, Sutrisno, Metode Penelitian, Yogyakarta : Andi Offset, 1992.

Mulyana W. Kusumah dalam Kelompok Kerja Keparalegalan Indonesia, Analisis


Kritik RUU Bantuan Huk um, Jakarta: Pokja Paralegal.

Stephen Golub, Beyond Rule of law Orthodoxy, Washington D.C: Carniege


Endowment for International Peace, 2003.

Mr. Tresna, Bertamasya ke Taman Ketatanegaraan, Dibya, Bandung.

Bagir Manan, SH, “Beberapa hal disekitar otonomi daerah sebagai sistem
penyelenggaraan pemerintahan”, Majalah Padjadjaran, Jilid V –
Nomor 3 – 4, Juli – Oktober 1974, Bina Cipta, Bandung.

Riwu Kaho, Analisa Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia,


Jakarta, Rineka Cipta, 1990.

Wittman, H., A.A. Desmarais, N. Wiebe (2010), “The Origins and Potential of
Food Sovereignty” in H. Wittman, A.A. Desmarais, N. Wiebe (eds.),
Food Sovereignty: Reconnecting Food, Nature and Community, 1-14.
Oxford: Pambazuka.

Anda mungkin juga menyukai