Anda di halaman 1dari 114

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH


KABUPATEN PURBALINGGA
TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN INDUSTRI
KABUPATEN (RPIK) PURBALINGGA
TAHUN 2018-2038

DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN


KABUPATEN PURBALINGGA
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkah
dan karunia yang diberikan sehingga penyusunan Laporan
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten
Purbalingga dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan ini
merupakan hasil karya dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Purbalingga, khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kabupaten Purbalingga bekerjasama dengan CV Dhipa
Cakrawala.

Kegiatan ini merupakan salah satu pengembangan keilmuan


khususnya dalam bidang hukum perundang-undangan.
Tersusunnya naskah akademik ini tidak terlepas dari kontribusi
berbagai pihak yang dengan sungguh-sungguh telah memberi
dukungan secara optimal. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah berkontribusi hingga
tersusunnya naskah akademik ini sampai selesai.

Apabila dalam penyusunan Laporan Naskah Akademik


Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga tentang
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten Purbalingga ini masih
terdapat kekurangan, dengan senang hati kami menerima kritik
dan masukan. Akhirnya kami mengharapkan naskah akademik ini
dapat bermanfaat dengan baik, khususnya dalam proses
pembangunan di Kabupaten Purbalingga.

Purbalingga, Desember 2018

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman

Halaman Judul ................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................. ii
Daftar Isi .......................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................... 1


B. Identifikasi Masalah ........................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan
Naskah Akademik .............................................. 7
D. Metode ............................................................... 9

BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritis .................................................... 11


1. Pengertian Industri ....................................... 11
2. Klasifikasi Industri ....................................... 16
3. Teori Lokasi Industri ..................................... 20
4. Faktor-faktor Produksi Industri .................... 25
B. Kajian terhadap Asas/ Prinsip yang Terkait
dengan Penyusunan Norma ................................ 25
C. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan
Kondisi yang Ada, serta Permasalahan yang
Dihadapi Masyarakat ......................................... 33
1. Praktik Penyelenggaraan di Daerah Lain ....... 33
2. Kondisi dan Permasalahan di Daerah ........... 36
D. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem
Baru yang Akan Diatur dalam Peraturan Daerah 49

iii
BAB III. EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT PERATURAN RENCANA
PEMBANGUNAN INDUSTRI KABUPATEN ..............56

BAB IV. LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS

A. Landasan Filosofis ............................................. 61


B. Landasan Yuridis ............................................... 72
C. Landasan Sosiologis ........................................... 74

BAB V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG


LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Jangkauan dan Arah Pengaturan ..................... 76


B. Ruang Lingkup dan Materi Muatan .................. 77

BAB VI. PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................... 88
B. Saran ................................................................ 85

DAFTAR PUSTAKA ............................................................ 87

LAMPIRAN ........................................................................ 8

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Mengupayakan kesejahteraan masyarakat telah

diamanatkan dalam dasar Negara Republik Indonesia Pancasila

sila kelima yang berbunyi “Kesejahteraan Sosial bagi Seluruh

Rakyat Indonesia”. Berbagai kebijakan dan upaya yang disusun

dan dilakukan oleh Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah dengan tujuan memajukan kesejahteraan

masyarakat. Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat

tersebut pemerintah pusat memberikan otonomi bagi pemerintah

daerah agar upaya dan kebijakan yang diterapkan sesuai dan

tepat sasaran sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

Kebijakan-kebijakan tersebut diterapkan dengan tujuan

untuk mendukung pembangunan suatu daerah. Pembangunan

daerah merupakan rangkaian pembangunan berkesinambungan

meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, untuk

melaksanakan tugas mewujudkan tujuan, baik tujuan

pembangunan daerah maupun nasional sebagaimana dirumuskan

dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Upaya-upaya pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1
Otonomi daerah telah memberikan ruang bagi pemerintah

daerah untuk mengatur dan mengelola dirinya sendiri. Hal

tersebut telah memberikan jalan seluas-luasnya kepada

pemerintah daerah untuk mengelola sumber-sumber penghasilan

bagi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sebagai salah satu

modal pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan

masyarakatnya, demikian daerah dipacu untuk melakukan

pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara maksimal dan

bijaksana. Salah satu cara meningkatkan pendapatan asli daerah

(PAD) adalah dengan mendirikan dan mengembangkan industri-

industri yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Secara nasional pengelolaan dan penyelenggaraan industri

berdasarkan Pasal bertujuan 3 UU No. 3 Tahun 2014, yaitu: (a)

mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak

perekonomian nasional; (b) mewujudkan ke dalaman dan

kekuatan struktur industri; (c) mewujudkan industri yang

mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; (d)

mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta

mencegah pemusatan atau penguasaan industri satu kelompok

atau perseorangan yang merugikan masyarakat; (e) membuka

kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (f)

mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh

wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh

2
ketahanan nasional; (g) meningkatkan kemakmuran dan

kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.

Peraturan Daerah yang mengatur tentang penyelenggaraan

perindustrian di Kabupaten Purbalingga diperlukan untuk

memberikan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat,

serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu

kelompok atau perseorangan yang dapat merugikan masyarakat

serta membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan

kerja. Peraturan Daerah tersebut diharapkan mampu

mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka

memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah, serta

meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara

berkeadilan. Selain itu, dapat menjawab berbagai kebutuhan dan

perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan

sekaligus menjadi landasan hukum bagi tumbuh berkembang dan

kemajuan industri di Kabupaten Purbalingga.

Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan

perindustrian berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, termasuk urusan pilihan, yaitu urusan

pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah sesuai potensi

dimiliki daerah. Pemerintah Daerah bersama-sama Pemerintah

Pusat diberi tugas dan wewenang oleh negara menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang perindustrian melalui UU No. 3

Tahun 2014 tentang Perindustrian, sebagai berikut: (a) percepatan

3
penyebaran dan pemerataan pembangunan industri melalui

kawasan industri; (b) pembangunan sumber daya manusia

industri untuk menghasilkan sumber daya manusia yang

kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia di

bidang industri; (c) memfasilitasi penyediaan pusat pendidikan

dan pelatihan industri di pusat pertumbuhan industri; (d)

mendorong pengembangan industri pengolahan berwawasan

lingkungan; (e) menjamin ketersediaan, penyaluran, dan

pemanfaatan sumber daya alam untuk industri dalam negeri

melalui kerja sama antar daerah; (f) pengembangan, peningkatan

penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan teknologi industri;

(g) memfasilitasi kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi di bidang industri antara perusahaan

industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan

pengembangan industri dalam negeri dan luar negeri; (h)

memfasilitasi promosi alih teknologi dari industri besar, lembaga

penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau

lembaga lain ke industri kecil dan industri menengah; (i)

memfasilitasi lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri

dan/atau perusahaan industri dalam negeri yang mengembangkan

teknologi di bidang industri; (j) memfasilitasi pengembangan dan

pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam

pembangunan industri; (k) memfasilitasi ketersediaan pembiayaan

yang kompetitif untuk pembangunan industri; (l) menjamin

4
tersedia infrastruktur industri; (m) membangun sistem informasi

industri dan menyampaikan data industri yang akurat, lengkap,

dan tepat waktu secara berkala melalui sistem informasi industri

yang terintegrasi; (n) melakukan pembangunan dan pemberdayaan

industri kecil dan industri menengah; (o) pemberian izin usaha

industri; (p) mendorong penanaman modal di bidang industri

untuk memperoleh nilai tambah yang sebesar-besarnya dalam

pemanfaatan sumber daya daerah dan/atau nasional dalam

rangka pendalaman struktur industri dan peningkatan daya saing

industri; (q) memberikan fasilitas industri untuk mempercepat

pembangunan industri; (r) mengawasi dan mengendalikan

pembangunan industri; (s) memberikan sanksi kepada yang

melakukan pelanggaran.

Sejalan dengan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah

tersebut di atas, Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga

memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan tujuan

penyelenggaraan perindustrian. Tujuan pembangunan

perindustrian di Kabupaten Purbalingga antara lain sebagai

berikut: (1) Membangun industri yang berdaya saing dan bernilai

tambah berdasarkan potensi unggulan dan budaya daerah; (2)

Mengembangkan Industri Kecil Menengah (IKM) yang mampu

berdaya saing baik di pasar lokal maupun internasional; (3)

Meningkatkan kreativitas dalam pengembangan, inovasi serta

5
aplikasi teknologi; dan (4) Meningkatkan kontribusi industri

terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan rakyat.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Meningkatkan kualitas hidup masyarakat untuk

mewujudkan kehidupan yang layak dan bermartabat salah

satunya dilakukan dengan upaya pembangunan pada bidang

ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional yang saat ini

telah mengambil peran aktif dalam Pergeseran pembangunan ke

arah desentralistik dalam suasana otonomi daerah memberikan

peran lebih besar kepada daerah kabupaten/kota sebagai pelaku

utama pembangunan serta memberikan kewenangan yang seluas-

luasnya untuk menyelenggarakan pembangunan dan mengurus

rumah tangganya sendiri.

Seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian digantikan dengan

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah. Guna melaksanakan otonomi daerah yang menuntut

kemandirian daerah dalam segala hal, pemerintah daerah

Kabupaten Purbalingga perlu menggali sumber pendapatan

daerah.

Seiring berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014

tentang Perindustrian dengan mengacu pada Rencana Induk

Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dan Kebijakan Industri

Nasional (KIN) serta Rencana Pembangunan Industri Provinsi Jawa

6
Tengah, oleh karena itu diperlukan penyusunan RPIK Purbalingga

Tahun 2018-2038.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN


NASKAH AKADEMIK
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda)

tentang Pembangunan Industri Kabupaten Purbalingga disusun

untuk memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman diperlukan

Peraturan Daerah mengenai perindustrian berdasarkan referensi

yang ada saat ini dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat

dan/atau dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Kabupaten Purbalingga sebagai dasar pertimbangan dan/atau

bahan masukan materi muatan Raperda tentang Perindustrian,

sehingga materi muatan Raperda tersebut serasi dan selaras atau

harmonis dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

ada.

Tujuan penyusunan Naskah Akademik Peraturan Daerah

(Raperda) tentang Pembangunan Industri Kabupaten Purbalingga

adalah sebagai bahan pertimbangan yang dapat dijadikan

pokokpokok pemikiran atau gagasan dan aspirasi aktual yang

berkembang, baik dalam kehidupan masyarakat termasuk pelaku

usaha maupun dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Kabupaten Purbalingga yang dapat dipertanggungjawabkan secara

7
ilmiah dalam rangka penyusunan atau perumusan dan

pembahasan Raperda tentang Perindustrian.

Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah (Raperda) Pembangunan Industri Kabupaten Purbalingga

ini bertujuan untuk memberikan kajian dalam kerangka filosofis,

sosiologis dan yuridis tentang perlunya Peraturan Daerah

Pembangunan Industri di Kabupaten Purbalingga. Naskah

akademik yang diajukan diharapkan dapat menjadi panduan bagi

Pemerintah Daerah untuk mengkaji dan memutuskan isi materi

rancangan perda. Secara umum tujuan penyusunan naskah

akademik ini adalah:

1. Memberikan landasan hukum dan kerangka pemikiran bagi

Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembangunan Industri.

2. Mengkaji dan meneliti pokok-pokok materi yang ada dan harus

ada dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang

Pembangunan Industri.

3. Melihat keterkaitan isi materi dengan peraturan perundang-

undangan terkait sehingga jelas kedudukan dan ketentuan

hukum yang perlu diatur

4. Memberikan bahan dan data pembanding antara peraturan

perundang-undangan yang ada dalam merancang rancangan

Perda tentang Pembangunan Industri.

8
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah

sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan

Rancangan Peraturan Daerah.

D. METODE PENELITIAN

Penyusunan Naskah Akademik dilakukan dengan

menggunakan metode deskriptif analitis. Bahan hukum dan

informasi yang diperoleh dari hasil literatur dan peraturan

perundang-undangan, hasil kajian, survey dan penelitian

dideskripsikan secara terstruktur dan sistematis. Selanjutnya

bahan hukum dan informasi dianalisa menyangkut isi dari data

dan informasi yang disajikan serta keterkaitannya dengan

peraturan perundang-undangan yang berada pada level yang sama

maupun peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya.

Bahan hukum dan informasi yang diperoleh di golongkan

dalam 2 (dua) jenis yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer mencakup data-data lapangan

yang diperoleh baik melalui wawancara, kuesioner maupun

9
data dokumentasi yang diperoleh dari instansi terkait di

Kabupaten Purbalingga. Bahan hukum ini mencakup pula

data dokumen yang diperoleh dari seminar atau konggres

pendidikan, kertas kerja, makalah maupun buku dan teori

ilmiah yang terkait dengan masalah pembangunan industri.

Bahan Hukum pimer juga diperoleh dengan proses dengar

pendapat (hearing) yang diperoleh dengan dinas/lembaga

terkait.

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder mencakup semua data

perundang-undangan yang relevan dengan masalah yang dikaji

yaitu penyertaan modal. Bahan-Bahan Hukum yang berkaitan

dengan kondisi kekinian dan fakta yang terjadi di lapangan

akan dianalisa secara kontekstual. Teknik analisa ini terutama

digunakan untuk mengidentifikasi fakta-fakta sosiologis yang

mendasari pentingnya keberadaan peraturan daerah tentang

penyertaan modal. Sedangkan teknik analisa isi dilakukan

terhadap bahan-bahan hukum (teks perundang-undangan dan

penjelasannya) yang dimiliki untuk mengetahui maksud,

konteks hukum, interpretasi dan keterkaitannya dengan isu

pentingnya penyertaan modal. Hal ini dilakukan untuk

memastikan bahwa rancangan peraturan daerah yang dibuat

memiliki landasan hukum yang jelas serta tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

10
11
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

1. Industri

Menurut Djojodipuro (1992) dalam Ichsani (2010)


kumpulan perusahaan sejenis disebut industri. Perusahaan
(firm) adalah unit produksi yang bergerak dalam bidang
tertentu. Bidang ini dapat merupakan bidang pertanian,
bidang pengolahan dan bidang jasa. Industri dalam arti sempit
adalah kumpulan perusahaan yang menghasilkan produk
sejenis dimana terdapat kesamaan dalam bahan baku yang
digunakan, proses, produk akhir dan konsumen akhir. Dalam
arti yang lebih luas, industri merupakan kumpulan
perusahaan yang memproduksi barang dan jasa dengan
elastisitas silang yang positif dan tinggi (Kuncoro, 2007).
Sedangkan pengertian industri menurut Sandy (1985) adalah
usaha untuk memproduksi barang dari bahan baku atau
bahan mentah melalui proses penggarapan dalam jumlah
besar sehingga barang tersebut dapat diperoleh dengan harga
satuan yang serendah mungkin tetapi dengan mutu setinggi
mungkin. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
mengolah barang dari bahan mentah, bahan baku, barang
setengah jadi hingga barang jadi menjadi barang yang siap
digunakan dengan nilai yang lebih tinggi.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor


3 Tahun 2014 tentang perindustrian, industri merupakan
bentuk seluruh kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku
dan memanfaatkan sumber daya industri sehingga

12
menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau
manfaat lebih tinggi, termasuk jenis industri.

Undang-undang nomor 3 tahun 2014 tentang


perindustrian telah meletakkan industri sebagai salah satu
pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup besar
kepada pemerintah untuk mendorong kemajuan industri
nasional secara terencana. Peran tersebut diperlukan dalam
mengarahkan perekonomian nasional untuk tumbuh lebih
cepat dan mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih
dahulu maju.

Pasal 9 undang-undang nomor 3 tahun 2014 tentang


perindustrian juga dimaksudkan untuk mempertegas
keseriusan pemerintah dalam mewujudkan tujuan
penyelenggaraan perindustrian, yaitu:

1) Mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan


penggerak perekonomian nasional;

2) Mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur industri;


3) Mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan
maju, serta industri hijau;
4) Mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat,
serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh
satu kelompok atau perseorangan yng merugikan
masyarkat;
5) Membuka kesempatan berusaha dn perluasan
kesempatan kerja;
6) Mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke
seluruh wilayah indonesia guna memperkuat dan
memperkukuh ketahanan nasional; dan;

13
7) Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat secara berkeadilan.

Industri dalam arti sempit adalah kumpulan


perusahaan yang menghasilkan produk sejenis dimana
terdapat kesamaan dalam bahan baku yang digunakan,
proses, bentuk produk akhir, dan konsumen akhir. Dalam
arti yang lebih luas, industri dapat didefinisikan kumpulan
perusahaan yang memproduksi barang dan jasa dengan
elastisitas silang (cross elasticities of demand) yang positif
dan tinggi (Kuncoro, 2007). Industri memiliki dua arti.
Pertama, industri dapat berarti himpunan perusahaan-
perusahaan sejenis, yang kedua industri dapat merujuk ke
suatu sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan
produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi
atau barang setengah jadi (Dumairy, 1996).

Sedangkan pengertian industri menurut Sandy (1985)


dalam ialah untuk memproduksi suatu barang yang berasal
dari bahan baku atau bahan mentah dengan proses
penggarapan dalam jumlah besar jadi barang tersebut dapat
diperoleh melalui harga satuan yang serendah mungkin
tetapi dengan mutu yang setinggi mungkin. Berdasarkan
pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa mengolah
barang dar bahan mentah, bahan baku, barang setengah
jadi hingga barang jadi menjadi barang yang siap untuk
digunakan dengan nilai yang lebih tinggi.

Dalam istilah ekonomi, pemaparan industri


mempunyai dua pengertian ialah yang pertama pengertian
secara luas dan kedua pengertian secara sempit. Dalam
pengertian yang luas, industri mencakup semua usaha dan
kegiatan dalam bidang ekonomi yang bersifat produktif.

14
Sedangkan pengertian secara sempit, industri ialah suatu
kegiatan yang mengubah suatu barang dasar secara
mekanis, kimia maupun dengan tangan sehingga menjadi
barang yang setengah jadi. Menurut Kementerian
Perindustrian Republik Indonesia tahun 2014, industri ialah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan
memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan
barang yang mempunyai manfaat dan nilai tambah.

Perusahaan industri ialah badan usaha yang


melakukan kegiatan dalam bidang industri di wilayah
Indonesia (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang
kawasan industri, 2014). Setiap perusahaan industri akan
menghasilkan produk-produk yang memiliki ciri khas
tersendiri oleh perusahaan-perusahaan tersebut demi
perkembangan dan pertumbuhannya agar perlindungan
hukum dapat diperoleh dari hak-hak perusahaan terhadap
produk industri yang dihasilkan. Dalam hal ini untuk
mendirikan suatu perusahaan tidak terlepas dari
pengawasan pemerintah.

Departemen Perindustrian mengelompokkan industri


nasional Indonesia menjadi tiga kelompok besar yaitu:

1) Industri Dasar
Kelompok industri besar dibagi menjadi dua, pertama
mencakup Industri Mesin dan Logam Dasar (IMLD) yang
termasuk dalam kelompok IMLD yaitu industri mesin
pertanian, elektronika, kereta api, pesawat terbang,
kendaraan bermotor, besi baja, aluminium, tembaga dan
sebagainya. Kelompok kedua yaitu Industri kimia dasar
(IKD), yang termasuk dalam IKD ialah industri
pengolahan kayu dan karet alam, industri pestisida,

15
industri pupuk, industri silikat dan yang lainnya.
Industri dasar mempunyai tujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, membantu struktur industri dan
bersifat padat modal serta mendorong untuk
menciptakan lapangan pekerjaan secara besar.

2) Industri Aneka (IA)


Pengolahan yang secara luas untuk berbagai sumber
daya hutan, pengolahan sumber daya pertanian dan lain
sebagainya termasuk dalam kategori aneka industri.
Aneka industri mempunyai tujuan dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, tidak padat
modal dan memperluas kesempatan kerja.

3) Industri Kecil
Industri kecil mencakup industri sandang dan kulit
(tekstil, pakaian jadi dan barang dari kulit), industri
pangan (makanan, minuman dan tembakau), industri
kerajinan umum (industri rotan, kayu, bambu, barang
galian bukan logam), industri logam (mesin, listrik, alat-
alat ilmu pengetahuan, barang dan logam dan
sebagainya), industri kimia dan bahan bangunan
(industri kertas, percetakan, penerbitan, barang-barang
karet dan plastik.

Badan Pusat Statistik menggolongkan sektor industri


pengolahan di Indonesia didasarkan atas empat kategori
yang berdasarkan dari banyaknya tenaga kerja yang bekerja
pada perusahaan industri pengolahan dengan tidak
memperhatikan seberapa besar modal yang ditanam
maupun kekuatan mesin yang dipakai. Empat kategori
tersebut yaitu:

16
1) Industri kerajinan rumah tangga, ialah perusahaan atau
usaha industri pengolahan yang memiliki pekerja 1-4
orang.
2) Industri kecil, ialah perusahaan atau usaha industri
pengolahan yang mempunyai pekerja 5-19 orang.
3) Industri sedang, ialah perusahaan atau usaha industri
pengolahaan yang mempunyai pekerja 20-99 orang.
4) Industri besar, ialah perusahaan atau usaha industri
pengolahan yang mempunyai pekerja 100 orang atau
lebih.
Menurut Peraturan Menteri Perindustrian Republik
Indonesia Nomor 64/M-IND/PER/7/2016 Tentang Besaran
Jumlah Tenaga Kerja dan Nilai Investasi Untuk Klasifikasi
Usaha Industri, dinyatakan bahwa kegiatan usaha industri
meliputi a). Industri Kecil, b). Industri Menengah; dan c).
Industri Besar. Industri Kecil merupakan Industri yang
mempekerjakan paling banyak 19 (sembilan belas) orang
tenaga Kerja dan meminiki Nilai Investasi kurang dari
Rp.1000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha. Industri Menengah
merupakan Industri yang memenuhi ketentuan sebagai
berikut: a. mempekerjakan paling banyak 19 (sembilan
belas) orang Tenaga Kerja dan memiliki Nilai Investasi paling
Investasi paling sedikit Rp.1000.000.000,00 (satu milyar
rupiah) atau, mempekerjakan paling sedikit 20 (dua puluh)
orang Tenaga Kerja dan memiliki Nilai Investasi paling
banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
Industri Besar merupakan Industri yang mempekerjakan
paling sedikit 20 (dua puluh) orang Tenaga Kerja dan
memiliki Nilai Investasi lebih dari Rp.15.000.000.000,00
(lima belas milyar rupiah).

17
Definisi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
dinyatakan bahwa kriteria usaha kecil adalah usaha yang
memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil
penjualan tahunan lebih dari Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Kriteria usaha menengah adalah yang memiliki kekayaan
bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Pengertian dari kawasan industri merupakan kawasan


pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana
prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh
perusahaan kawasan industri. Sedangkan pengertian kluster
industri merupakan kelompok aktivitas produksi yang
sangat amat terkonsentrasi secara spasial dan umumnya
berspesialisasi hanya pada satu atau dua industri.
Terdapatnya faktor yang menjadikan terjadinya proses
kluster industri, yaitu:

1) Adanya proses kluster membuat perusahaan yang ada


data berspesialisasi lebih baik daripada bila perusahaan-
perusahaan tersebut terkluster. Peningkatan spesialisasi

18
nantinya akan membawa ke peningkatan efisiensi
produksi
2) Dapat memfasilitasi perusahaan untuk meningkatkan
penelitian dan inovasi dalam sebuah industri.
3) Proses klaster perusahaan-perusahaan sejenis akan
mengurangi risiko bagi pihak pekerja namun pihak
pemberi pekerjaan (Kuncoro, 2007).

2. Klasifikasi Industri

Menurut Pujoalwanto (2014), untuk mengetahui


macam-macam industri dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang, pengelompokan industri yang dilakukan oleh
Departemen Perindustrian

a. Klasifikasi Industri Berdasarkan Bahan Baku


Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri dapat
dibedakan menjadi.
1) Industri ekstraktif, yaitu yang bahan bakunya
diperoleh langsung dari alam. Misalnya industri hasil
perikanan, industri, hasil kehutanan, industri hasil
pertanian.
2) Industri non ekstraktif, yaitu industri yang mengolah
lebih lanjut hasil industri lain. Misalnya industri
kayu lapis, industri kain.
3) Industri fasilitatif atau disebut juga industri tersier
yang kegiatan industrinya adalah dengan menjual
jasa layanan untuk keperluan orang lain. Misalnya
perbangkan, perdagangan, angkutan dan pariwisata.

b. Klasifikasi Industri Berdasarkan Tenaga Kerja


Berdasarkan jumlah tenaga kerja yang digunakan,
industri dapat dibedakan menjadi:

19
Industri rumah tangga, yaitu industri yang
menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang.
Industri rumah tangga batu bata memiliki modal yang
sangat terbatas, tenaga kerja berasal dari anggota
keluarga, dan pemilik atau pengelola industri. Pemilik
atau pengelola industri biasanya kepala rumah tangga
itu sendiri atau anggota keluarganya atau masih ada
hubungan saudara. Misalnya industri kerajinan, industri
bahan bangunan sederhana, industri makanan ringan.
Industri kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya
berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang. Ciri industri kecil
adalah memiliki modal yang relatif kecil, tenaga kerjanya
berasal dari lingkungan sekitar.
1) Industri sedang, yaitu industri yang menggunakan
tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang. Ciri industri
sedang adalah memiliki modal yang cukup besar,
tenaga kerja memiliki ketrampilan tertentu, dan
pimpinan perusahaan memiliki kemampuan
manajerial tertentu. Misalnya industri konveksi,
industri border, dan industri keramik.
2) Industri besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga
kerja lebih dari 100 orang. Ciri industri besar adalah
memiliki modal besar yang dihimpun secara secara
kolektif dalam bentuk pemilikan saham, tenaga kerja
harus memiliki ketrampilan khusus, dan pimpinan
perusahaan dipilih melalui uji kemampuan dan
kelayakan, misalnya industri tekstil, industri mobil,
industri besi baja.

c. Klasifikasi Industri Berdasarkan Produk yang Dihasilkan


Berdasarkan produk yang dihasilkan, industri dapat
dibedakan menjadi:

20
1) Industri primer, yaitu industri yang menghasilkan
barang atau benda yang tidak perlu pengolahan lebih
lanjut. Barang atau benda yang dihasilkan tersebut
dapat dinikmati atau digunakan secara langsung.
Misalnya industri anyaman, industri konveksi,
industri makanan dan minuman.
2) Industri sekunder, yaitu industri yang menghasilkan
barang atau benda yang membutuhkan pengolahan
lebih lanjut sebelum dinikmati atau digunakan.
Misalnya industri permintalan benang, industri ban,
industri baja dan industri tekstil.
3) Industri tersier, yaitu industri yang hasilnya tidak
berupa barang atau benda yang dapat dinikmati atau
digunakan baik secara langsung maupun tidak
langsung, melainkan berupa jasa layanan yang dapat
mempermudah atau membantu kebutuhan
masyarakat.

d. Klasifikasi Industri Berdasarkan Lokasi Unit Usaha


Keberadaan suatu industri menentukan sasaran atau
tujuan kegiatan industri. Berdasarkan pada lokasi unit
usahanya, industri dapat dibedakan menjadi:
1) Industri berorientasi pada pasar, yaitu industri yang
didirikan mendekati daerah persebaran konsumen.
Industri berorientasi pada tenaga kerja, yaitu industri
yang didirikan mendekati daerah pemusatan
penduduk, terutama daerah yang memiliki banyak
angkatan kerja tetapi kurang pendidikannya.
2) Industri berorientasi pada pengolahan, yakni industri
yang didirikan dekat atau ditempat pengolahan.

21
3) Industri berorientasi pada bahan baku, yaitu industri
yang didirikan di tempat tersedianya bahan baku.
Misalnya industri batu bata berdekatan dengan
bahan baku tanah liat, industri konveksi berdekatan
dengan industri tekstil, industri pengalengan ikan
berdekatan dengan pelabuhan laut, industri gula
berdekatan lahan tebu.

e. Klasifikasi Industri Berdasarkan Proses Produksi


Berdasarkan proses produksinya industri dibedakan
menjadi:
1) Industri Hulu, yaitu industri yang hanya mengolah
bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Industri
ini sifatnya hanya menyediakan bahan baku untuk
kegiatan industri yang lain. Misalnya industri kayu
lapis, industri alumunium, industri permintalan, dan
industri baja.
2) Industri Hilir, yaitu industri yang mengolah barang
setengah jadi menjadi barang jadi sehingga barang
yang dihasilkan dapat langsung dipakai atau
dinikmati oleh konsumen. Misalnya industri pesawat
terbang, industri konveksi, industri otomotif dan
industri mebel.

f. Klasifikasi Industri Berdasarkan Kegunaan Barang yang


dihasilkan
Berdasarkan barang yang dihasilkan, industri dapat
dibedakan menjadi:
1) Industri besar, yaitu industri yang menghasilkan
mesin-mesin atau alat produksi lainnya. Misalnya
industri alat-alat berat, industri mesin, dan industri
percetakan;

22
2) Industri ringan, yaitu industri yang menghasilkan
barang siap pakai untuk dikonsumsi. Misalnya
industri obat-obatan, industri makanan dan industri
minuman.

3. Teori Lokasi Industri

Lokasi merupakan letak suatu tempat diatas permukaan


bumi. Lokasi merupakan salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan usaha. Faktor-faktor yang ikut menentukan
berdirinya industri di suatu wilayah yaitu faktor ekonomis,
historis, manusia, politis dan geografis.

Teori lokasi adalah ilmu yang mempelajari tata ruang


(spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki
alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta
hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan
berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun
sosial. Teori lokasi membantu memecahkan masalah
penentuan lokasi, khususnya industri maupun kepentingan
lain. Menurut ahli ekonomi regional/geographer dalam
mempelajari lokasi berbagai kegiatan terlebih dahulu membuat
asumsi bahwa ruang yang dianalisi adalah datar dan
kondisinya di semua arah adalah sama.

Kegunaan teori lokasi adalah untuk mendapatkan


perusahaan atau lokasi ekonomis yang baik. Beberapa teori
lokasi yang berkembang diantaranya 1) Teori lokasi industri
dari Weber (least cost location), 2) Teori lokasi optimal dari
losch, 3) Teori lokasi memaksimumkan laba.

a. Teori Lokasi Industri Dari Weber (Least Cost Location)

23
Teori lokasi pertama dikemukakan oleh Alfred
Weber. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri
tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja
dimana penjumlahan keduanya harus minimum. Tempat
dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang
minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan
yang maksimum (Tarigan, 2012).

Dalam perumusan modelnya, Weber bertitik tolak


pada asumsi bahwa:

1) Unit telaah adalah suatu wilayah yang terisolasi,


iklim yang homogen konsumen yang terkonsentrasi
pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah
persaingan sempurna.
2) Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir, dan
batu bara tersedia di mana-mana (ubiquitous) dengan
jumlah yang memadai.
3) Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan
tambang tersedia secara (sporadic) dan hanya
terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
4) Tenaga kerja tidak (ubiquitous) tidak menyebar
secara merata tetapi berkelompok pada beberapa
lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.

Berdasarkan asumsi diatas biaya transportasi


dan biaya upah tenaga kerja merupakan faktor umum
yang secara fundamental menentukan pola lokasi dalam
kerangka geografis. Menurut Weber, biaya transportasi
merupakan faktor pertama dalam menentukan lokasi
sedangkan kedua faktor lainnya merupakan faktor yang
dapat memodifikasi lokasi. Titik terendah biaya
transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya

24
minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi
hasil produksi.

Biaya transportasi dipengaruhi oleh berat


lokasional. Berat lokasional adalah berat total barang
berupa input yang harus diangkut ke tempat produksi
untuk menghasilkan satu satuan output ditambah berat
output yang akan dibawa kepasar. Ada kemungkinan
sumber berbagai barang baku dan pasar berada pada
arah yang berbeda. dalam hal ini, lokasi biaya
transportasi termurah adalah pada pertemuan dari
berbagai arah tersebut. Weber memberikan konsep yang
dinyatakan sebagai segitiga lokasi atau locational
triangle.

b. Teori Lokasi Pendekatan Pasar Losch


August Losch menerbitkan sebuah buku yang
kemudian diterjemahkan dalam bahasa ingris dengan
judul The Economic of Location. Apabila Weber melihat
persoalan dari sisi produksi maka losch melihat
persoalan dari sisi permintaan (pasar). Losch
mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh
terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya.
Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan
penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan
terbesar. Losch cenderung menyarankan agar lokasi
produksi berada di pasar. Banyaknya pemerintah kota
yang melarang industri berada di dalam kota, dengan
demikian, lokasi produksi harus berada di pinggir kota
atau di luar kota tetapi dengan membuat kantor
pemasaran di dalam kota. Dalam arti kata
memanfaatkan ruang (range) atau wilayah pengaruh dari
kota tersebut.

25
Perkembangan wilayah pasar dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:

a) b) c)

Sumber: Djoldjoeni, 1992

1) Pusat-pusat wilayah perdagangan berbentuk


lingkaran terletak di titik-titik produksi

2) Wilyah- wilayah perdagangan diperluas; yang


berwarna gelap itu wilayah yang tidak dilayani
3) Heksagonal-heksagonal itu mencerminkan bentuk
wilayah perdagangan yang paling efisien

Setiap pabrik akan mencari lokasi yang dapat


menguasai wilayah pasaran seluas-luasnya. Jika wilayah
pasaran akan bertindih dengan wilayah pasaran milik
pabrik lain yang menghasilkan barang yang sama,
karena itu akan mengurangi pendapatannya. Sebagai
akibat dari pemikiran itu di dalam wilayah datar itu akan
tersebar pabrik-pabrik secara merata dan saling
bersambungan, dan terbentuk suatu heksagonal.

Pada skala yang lebih besar, pabrik-pabrik dalam


diagram masing-masing memiliki suatu hinterland yang
heksagonal bentuknya. Sudah semestinya bahwa
kemudian tiap produk akan memiliki permintaannya

26
sendiri. Jadi berlainan pabrik, berlainan pula luas
wilayah pasarannya karena mengikuti kelainan kompleks
industrinya.

c. Teori Lokasi Memaksimumkan Laba


Teori Weber hanya melihat sisi produksi, hanya
melihat lokasi yang memberikan ongkos terkecil
sedangkan sedangkan teori Losch hanya melihat sisi
permintaan, melihat pada penjualan maksimal yang
dapat diperoleh. Kedua pandangan itu perlu
digabungkan, yaitu dengan mencari lokasi yang
memberikan keuntungan maksimal setelah
memperhatikan lokasi yang menghasilkan ongkos
terkecil dan lokasi yang memberikan penerimaan
terbesar.

Dengan mengintroduksi konsep average cost (biaya


rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata-rata).
Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka
dapat dibuat kurva average cost (per unit produksi) yang
bervariasi dengan lokasi. Disisi lain dapat pula dibuat
kurva average revenue yang terkait dengan lokasi.
Kemudian kedua kurva itu digabungkan dan di mana
terdapat selisih average renever dikurangi average cost
adalah tertinggi, itulah lokasi yang memberikan
keuntungan optimal.

4. Faktor-faktor Produksi Industri

Faktor-faktor produksi yang mempengaruhi berdirinya


industri antaranya faktor. Menurut Mubyarto (2000), modal
diperlukan untuk membeli bahan baku, alat-alat produksi,
bahan bakar, pembayaran tenaga kerja, transportasi. Menurut
Robinson (1979), faktor-faktor yang mempengaruhi berdirinya

27
sebuah industri disuatu wilayah diantaranya adalah: bahan
baku, tenaga kerja, sumberdaya tenaga, pemasaran, suplai air
dan transportasi. Jadi faktor-faktor produksi yang
mempengaruhi berdirinay suatu industri di suatu wilayah
antara lain: 1) Modal, 2) Bahan baku, 3) Tenaga tenaga, 4)
Sumberdaya tenaga, 5) Pemasaran, 6) Suplay air, dan 7)
transportasi.

B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT


DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Hukum merupakan landasan di bidang lainnya yang


bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa
sosial dan pembangunan (law as a tool of social engineering),
instrumen penyelesaian masalah (dispute resolution), dan
instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control). Begitu
pun konteks Indonesia, hukum telah memberikan peran penting
melalui tiga fungsinya tersebut, dengan demikian dalam
pembentukan hukum termasuk di dalamnya peraturan
perundang-undangan harus senantiasa memperhatikan asas
pemebentukannya serta tujuan pembentukannya.

Pembahasan tentang asas-asas pembentukan perundang-


undangan sangat berkaitan dengan pemahaman ihwal ilmu
perundang-undangan. Ilmu perundang-undangan, dalam arti
sempit, adalah suatu ilmu yang bersifat normatif dan yang
berhubungan dengan pembentukan norma-norma dalam
peraturan perundang-undangan.

Indrati (1998) mengemukakan dua pendapat ahli yang


selama ini berkecimpung dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan, yaitu (1) pendapat I.C. Van Der Vlies dan (2)

28
pendapat A. Hamid S. Attamimi. I.C. Van Der Vlies membagi asas-
asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
patut kedalam asas formal dan asas material. Asas asas formal
yang dimaksud Van Der Vlies, meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid);
dan
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus).

Sedangkan asas Material, menurut Van Der Vlies, meliputi:


1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van
duidelijke systematiek);
2. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
rechtsgelijkheidsbeginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtzekerheidsbeginsel); dan
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het
beginsel van de individuele rechtbedeling).

Pandangan Attamimi (1990) tentang asas-asas pembentukan


peraturan perundang-undangan di Indonesia juga bersimpul pada
dua asas penting, yang relatif sama dengan konsepsi Van Der
Vlies, yaitu asas formal dan asas material.

Menurut Attamimi (1990), pembentukan suatu peraturan


perundang-undangan harus dilandasi asas-asas formal, meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas perlunya pengaturan;
3. Asas organ/lembaga yang tepat;
4. Asas materi muatan yang tepat;
5. Asas dapatnya dilaksanakan; dan

29
6. Asasnya dapatnya dikenali.

Berkaitan dengan asas-asas material pembentukan suatu


peraturan perundang-undangan, Attamimi (1990) menggaris
bawahi, sepatutnya memenuhi beberapa penyesuaian, antara lain:

1. Asas harus sesuai dengan cita hukum dan norma fundamental


negara;
2. Asas harus sesuai dengan hukum dasar negara;
3. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas
hukum; dan
4. Asas harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan
berdasar sistem konstitusi.

Asas (principle) dalam pengertian luas merupakan suatu


dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa
menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang
diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk
yang tepat bagi perbuatan itu. Dengan demikian, asas hukum
bukanlah merupakan aturan hukum (rechtregel). Dengan kata
lain, asas hukum bukanlah hukum. Oleh karena itu asas-asas
hukum tidak boleh dipandang sebagai norma hukum yang
konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau
petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis
perlu berorientasi pada asas-asas hukum tersebut (Gie, 1992).

Dalam proses penyusunan peraturan daerah ini, selalu


memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Seperti dipahami bersama bahwa dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:

30
1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan; dan
7. Keterbukaan.

Sebelum UU No. 12 Tahun 2011, beberapa asas


pembentukan peraturan perundang-undangan juga menjadi
materi yang harus diperhatikan dalam penyusunan peraturan. Hal
tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 10 tahun 2004
juga menggariskan, dalam membentuk UU harus didasarkan pada
Asas-asas pembentukan. Demikian juga berdasarkan ketentuan
Pasal 137 UU No. 32 Tahun 2004, ditentukan peraturan daerah
dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan perundang-
undanganyang meliputi:

1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan; dan
7. Keterbukaan.

Asas “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap pembentukan


peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.

Asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat”


adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan

31
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat
oleh lembaga atau pejabat yang tidak berwenang.

Asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatan” adalah


bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundang-undangannya.

Asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap


pembentukan peraturan perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis.

Asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa


setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang
benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa,dan bernegara.

Asas “kejelasan rumusan” adalah bahwa peraturan


perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan peraturan prundang-undangan, sistematika dan
pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan
mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.

Asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses


pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari
perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisa
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.

32
Berdasarkan ketentuan Pasal 138 UU No. 32 Tahun 2004,
ditentukan bahwa materi muatan peraturan daerah harus
memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan yang meliputi:
1. Pengayoman;
2. Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kekeluargaan;
5. Kenusantaraan;
6. Bhineka tunggal ika;
7. Keadilan; dan
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Yang dimaksud dengan asas “pengayoman” adalah bahwa


setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan
ketentraman masyarakat.

Asas “kemanusiaan” adalah bahwa setiap materi muatan


peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia, serta
harkat dan martabat setiap warga dan penduduk Indonesia secara
proporsional.

Asas “kebangsaan” adalah bahwa setiap materi muatan


peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang prularistik (kebhinekaan) dengan
tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Asas “kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi muatan


peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapat mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan.

33
Asas “kenusantaraan” adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila

Asas “bhineka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan


peraturan perundang-undangan haru memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah,
budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif
dalam kehidupan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.

Asas “keadilan” adalah bahwa setiap materi muatan


peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

Asas “kesamaan kedudukan dalam hukum dan


pemerintahan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat
membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.

Asas “ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap


materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
adanya kepastian hukum.

Asas “keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah


bahwa setiap materi muatan peraturan prundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara
kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa
dan negara.

34
Sedangkan tujuan kebijakan pembentukan peraturan
perundang-undangan termasuk di dalamnya pembentukan
peraturan daerah harus dilandasi oleh tujuan yang jelas. Tujuan
yang jelas yang dimaksud tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:

1. Mendukung upaya ke arah mewujudkan supremasi hukum,


terutama penggantian terhadap peraturan perundang-
undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang sudah
tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.
2. Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah
ada selama ini, namun tidak sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan masyarakat.
3. Membentuk peraturan perundang-undangan baru yang sesuai
dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN,


KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG
DIHADAPI MASYARAKAT

1. Praktik Penyelenggaraan di Daerah Lain

Peraturan Daerah tentang Rencana Pengembangan


Industri Kabupaten (RPIK) diselenggarakan oleh beberapa
daerah di Indonesia. Berikut ini, beberapa daerah yang telah
mengatur tentang Rencana Pengembangan Industri
Kabupaten (RPIK) sebagai berikut :

a. Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 10 Tahun


2016 Tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten
Tahun 2016-2036.

35
b. Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang Nomor 10 Tahun
2017 Tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten
Tangerang Tahun 2017-2037.
c. Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 25 Tahun
2017 Tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten
Kotabaru Tahun 2017-2037.
d. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 1
Tahun 2017 Tentang Rencana Pembangunan Industri
Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2017-2037.

Berdasarkan peraturan daerah yang telah


diselenggarakan oleh beberapa daerah terkait Rencana
Pembangunan Industri Kabupaten (RPIK), peraturan dareah
tersebut setidak-tidaknya mengatur:
a. Ketentuan Umum
Ketentuan Umum dalam Peraturan Daerah secara
umum menjelaskan secara teori mengenai istilah-istilah
yang terkait dengan peraturan daerah tentang rencana
pengembangan industri kabupaten.
b. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan yang termuat di peraturan
daerah menjelaskan tujuan yang akan dicapai dengan
adanya peraturan daerah tentang rencana pembangunan
industri kabupaten (RPIK). Adapun tujuannya adalah:
mewujudkan pembangunan industri nasional di daerah;
menentukan sasaran, strategi dan rencana aksi
pembangunan industri unggulan kabupaten; mewudujkan
industri daerah yang mandiri, berdaya saing, maju dan
berwawasan lingkungan; mewudujkan pemerataan
pembangunan industri unggulan kabupaten guna
memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan,

36
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat daerah secara berkeadilan.
c. Pembangunan Industri Daerah
Pada bab ini dijelaskan mengenai tahapan
pembangunan industri daerah melalui RPIK yang
dilakukan pemerintah daerah. Tahapan-tahapan tersebut
sekurang-kurangnya terdiri dari: Penetapan sasaran dan
program pengembangan industri; Pengembangan
perwilayahan industri; pembangunan sumber daya
industri; pembangunan sarana dan prasarana industri;
dan, pemberdayaan kegiatan industri.

d. Industri Unggulan
Pada bab ini ditentukan klasifikasi baku lapangan
usaha yang kemudian dijadikan industri unggulan di
kabupaten. Industri unggulan kabupaten tersebut harus
memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat
lokal. Kesiapan sumber daya manusia untuk menunjang
kegiatan industri unggulan diupayakan agar mampu
menunjang dan diharapkan mampu menyerap tenaga
kerja.
e. Keterkaitan RPIK dengan Dokumen Pembangunan Lain
RPIK merupakan pedoman bagi pemerintah
kabupaten dan pelaku industri dalam prencanaan dan
pembangunan industri, oleh sebab itu RPIK harus
memperhatikan: Rencana induk pembangunan industri
nasional; Kebijakan industri nasional; Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD);
Potensi sumber daya industri daerah; Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi maupun Kabupaten; serta
diserasikan dengan keseimbangan dengan kegiatan sosial
ekonomi dan daya dukung lingkungan. Kemudian RPIK

37
harus tertuang dan menjadi bagian dari Rencana Strategis
Perangkat daerah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah.
f. Jangka Waktu
Berdasarkan regulasi yang berlaku RPIK berlaku
untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. RPIK
kemudian dapat ditinjau kembali apabila terjadi
perubahan kebijakan nasional, perubahan rencana
pembangunan jangka panjang daerah, perubahan rencana
pembangunan jangka mengenah daerah, ataupun
perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

g. Sistematika Dokumen RPIK


Dokumen RPIK sekurang-kurangnya terdiri dari 5
(lima) bab, yaitu: Bab I yang memuat pendahuluan; Bab II
yang menjelaskan Kondisi Daerah Terkait Pembangunan
Industri; Bab III yang memuat Visi dan Misi Pembangunan
Darah serta Tujuan dan Sasaran Pembangunan Industri
Daerah; Bab IV yang memuat Strategi dan Program
Pembangunan Industri Daerah; dan, Bab V yang memuat
penutup.
h. Pelaksanaan
Pelaksana kegiatan RPIK ini adalah pemerintah
daerah dengan melakukan kerjasama dan koordinasi
dengan berbagai pemangku kepentingan seperti
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta, Perguruan
Tinggi, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, dan
Lembaga Kemasyarakatan lainnya.
i. Pengendalian RPIK
Pengendalian pelaksanaan RPIK dilakukan Bupati
melalui dinas teknis terkait. Tujuan pengendalian adalah
agar terjadinya konsisitensi antar kebijakan baik di
tingkat daerah hingga pusat, terjadi konsistensi dengan

38
RPJPD, RPJMD dan RTRW, serta agar terjadi kesesuaian
dengan capaian pembangunan industri dengan indikator
kinerja yang telah ditetapkan.
j. Pembiayaan
Pembiayaan pelaksanaan RPIK adalah dibebankan
pada anggaran pendapatan dan belanja nasional,
anggaran pendapatan dan belanja provinsi, anggaran
pendapatan dan belanja daerah, maupun sumber
pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat.

k. Ketentuan Penutup
Memuat tentang tindak lanjut dari pemberlakuan
peraturan daerah tentang rencana pembangunan industri
kabupaten (RPIK).

2. Kondisi dan Permasalahan di Daerah


a. Kondisi Kewilayahan
Kabupaten Purbalingga terletak di wilayah Provinsi
Jawa Tengah bagian barat daya. Daerah ini membentang
seluas 77.764,12 Ha atau sekitar 2,39% dari total luas
Provinsi Jawa Tengah. Posisi daerah ini berada di 101011’ –
109035’ Bujur Timur dan 7010’ – 7029’ Lintang Selatan.

Secara administratif, Kabupaten Purbalingga


berbatasan dengan kabupaten lain yaitu:
 Sebelah Utara : Kabupaten Pemalang dan
Pekalongan
 Sebelah Timur : Kabupaten Banjarnegara
 Sebelah Selatan : Kabupaten Banjarnegara dan
Banyumas

39
 Sebelah Barat : Kabupaten Banyumas

Kabupaten Purbalingga terdiri dari 18 kecamatan


dengan luas yang beragam, antara 1.472 Ha (Kecamatan
Purbalingga dengan luas terkecil) sampai kecamatan
terluas 9.159 Ha (Kecamatan Rembang). Wilayah
administratif Kabupaten Purbalingga disajikan dalam
Gambar 2.1.
Meskipun merupakan daerah kabupaten dengan
luasan yang relatif lebih kecil daripada kabupaten lain di
Jawa Tengah, secara topografi wilayah Purbalingga cukup
unik. Bentang daerah meliputi wilayah dataran rendah
sampai dataran tinggi.
Pembagian bentang alamnya meliputi: Bagian Utara
dan Bagian Selatan. Bagian Utara merupakan daerah
dataran tinggi yang berbukit–bukit dengan kelerengan lebih
dari 40 persen, meliputi Kecamatan Karangreja,
Karangjambu, Bobotsari, Karanganyar, Kertanegara,
Rembang, sebagian wilayah Kecamatan Kutasari,
Bojongsari dan Mrebet. Bagian Selatan, merupakan daerah
yang relatif rendah dengan nilai faktor kemiringan berada
antara 0 persen sampai dengan 25 persen meliputi wilayah
Kecamatan Kalimanah, Padamara, Purbalingga,
Kemangkon, Bukateja, Kejobong, Pengadegan.

40
Gambar 2.1
Peta Admiinistrasi Kabupaten Purbalingga

Sebagian Wilayah Kecamatan Kutasari, Bojongsari


dan Mrebet. Gambar 4.2 memberikan visualisasi perbedaan
topografi rata-rata ketinggian setiap desa antar kecamatan
di Purbalingga. Beberapa kecamatan memperlihatkan
topografi yang ekstrem, seperti Kecamatan Bojongsari
dengan ketinggian antara 82 mdpl (Desa Brobot) sampai
350 mdpl (Desa Bumisari). Menurut Klasifikasi ketinggian,
Kabupaten Purbalingga hanya menempati lima kelas
dengan klasifikasi sebagai berikut: 15–25 m (0,56 %), 25–
100 m (27,02 %), 100–500 (44,13 %), 500–1000 m (23,05
%), di atas 1000 m (5,24 %) (BPS Purbalingga, 2017).

41
Gambar 2.2
Rata-rata Ketinggian Wilayah Kabupaten Purbalingga

Purbalingga beriklim tropis dengan sejumlah curah


hujan sepanjang tahun. Hal ini berlaku bahkan untuk
bulan terkering. Suhu rata-rata tahunan rata-rata wilayah
adalah 26.4 °C di Purbalingga. Presipitasi di sini rata-rata
3238 mm. Bulan terkering adalah Juli, dengan 81 mm
hujan. Dengan rata-rata 427 mm, hampir semua presipitasi
jatuh pada Desember. April adalah bulan terhangat
sepanjang tahun. Suhu di April rata-rata 27.1 °C. Juli
memiliki suhu rata-rata terendah dalam setahun, 25.2 °C
(id.climate-data.org, 2018).

42
Terkait perencanaan pembangunan kewilayahan,
Kabupaten Purbalingga pada saat ini telah menuangkannya
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Purbalingga
yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga nomor 5 tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga Tahun 2011 –
2031. Rencana detail RTRW tersebut meliputi penetapan
kawasan-kawasan: lindung, budidaya, perdesaan,
perkotaan, strategis, permukiman, hutan, pariwisa,
taindustri, agropolitan, budidaya pertanian, serta
minapolitan.

Gambar 2.3
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga
Tahun 2011-2031

43
Gambar 2.3 menampilkan kawasan strategis bidang
pertahanan dan keamanan ditetapkan di Desa Toyareja
yang berada di kecamatan Purbalingga, berbatasan
Kecamatan Kemangkon. Kawasan pemusatan
pertumbuhan ekonomi dilebarkan dari wilayah perkotaan
Kecamatan Purbalingga ke wilayah sekitar yang meliputi
sebagian wilayah Kecamatan Padamara dan Kalimanah.
Kecamatan Bobotsari juga ditetapkan sebagai kawasan
pertumbuhan berkembang, demikian pula sebagian
wilayah di Kecamatan Rembang. Kawasan Agropolitan
ditetapkan di Kecamatan Karangreja, Purbalingga,
Kaligondang, Kemangkon dan Bukateja.

b. Potensi Ekonomi Sektoral

Dengan posisi diapit oleh beberapa Kabupaten


dengan topografi dan kondisi alam tidak berbeda jauh,
kondisi perekonomian di Purbalingga tidak terlalu berbeda
dengan wilayah sekitar.
Kabupaten Purbalingga masih mengandalkan
perekonomian bersumber dari sektor primer, khususnya
sektor pertanian. Sektor ini, termasuk di dalamnya sub
sektor kehutanan, peternakan dan perikanan, merupakan
penyumbang ekonomi utama. Pada tahun data terakhir
(2016), sektor pertanian ini memberikan kontribusi bagi
PDRB Purbalingga sebesar 26,94% atau senilai Rp3.986,86
miliar (Gambar 4.6). Sektor ekonomi kedua adalah industri
pengolahan yang memberikan kontribusi ekonomi sebesar
25,79% dan ketiga adalah sektor perdagangan besar dan
eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 13,71%
(BPS, 2017).

44
Gambar 2.4
Nilai PDRB Kabupaten Purbalingga 2016 (Miliar Rupiah)

Jika ditinjau dari pertumbuhannya pada 2016,


sektor yang paling berkembang adalah sektor jasa
perusahaan yang tercatat tumbuh 10,45%. Berturut-turut,
sektor yang tumbuh lebih tinggi adalah jasa kesehatan
sosial (9,70%), jasa keuangan asuransi (9,33%), jasa
lainnya (8,53%) dan sektor informasi dan komunikasi
(8,35%).
Sektor-sektor tersier tersebut terdeteksi tumbuh
lebih tinggi daripada sektor sekunder (industri pengolahan
dan konstruksi) maupun sektor primer (pertanian dan
pertambangan). Sektor pertanian hanya mampu tumbuh
2,86%, sementara industri pengolahan tumbuh sekitar
4,94%. Fenomena pertumbuhan yang lebih tinggi pada

45
sektor jasa dibandingkan sektor lainnya menunjukkan
pergerakan pola struktur ekonomi di Kabupaten
Purbalingga. Fenomena ini menunjukkan signal pergeseran
minat masyarakat pada dunia jasa. Namun demikian,
pergeseran struktur ini juga mengancam keberlangsungan
sektor primer dan sekunder yang merupakan sektor
penghasil pangan dan produk konsumtif lainnya, di
samping pula persoalan ketenagakerjaan. Sektor jasa pada
umumnya lebih hemat tenaga kerja daripada sektor
ekonomi lainnya.
Dilihat dari perkembangannya selama 6 tahun
terakhir, pola perubahan struktur ekonomi di Purbalingga
dapat terlihat lebih jelas. Salah satunya adalah indikator
penurunan kontribusi sektor pertanian. Pada tahun 2011,
pangsa sektor ekonomi ini terhadap PDRB Purbalingga
masih sebesar 30,38% dan berangsur-angsur mengalami
penurunan dan menjadi 26,94% pada tahun 2016. Sektor
perdagangan juga menunjukkan kontribusi menurun, dari
14,38% menjadi 13,71%. Bersama kedua sektor tersebut,
sektor ekonomi lain yang menurun kontribusinya adalah
sektor pertambangan, pengadaan air dan pengelolaan
limbah/sampah dan sektor administrasi pemerintahan.
Meskipun sektor pertanian Purbalingga
menunjukkan kontribusi yang menurun terhadap PDRB
Purbalingga dengan pertumbuhan yang lambat
dibandingkan pertumbuhan sektor jasa dan sektor
sekunder, sektor pertanian Purbalingga menunjukkan
kondisi yang lebih baik daripada kecenderungan daerah-
daerah lain di Provinsi Jawa Tengah. Sektor pertanian
Purbalingga menyumbang pada total sektor pertanian Jawa
sebesar 3,38% pada 2011, meningkat pada 2016 menjadi
3,43%.

46
Posisi kenaikan kontribusi ekonomi pertanian
Purbalingga terhadap pertanian Jawa Tengah tersebut
menunjukkan adanya kemajuan pembangunan sektor
pertanian yang lebih baik daripada umumnya daerah atau
kabupaten lain di Jawa Tengah. Sektor ekonomi lain di
Purbalingga yang menunjukkan tendensi menguat
dibandingkan sektor yang sama di Jawa Tengah adalah
sektor konstruksi, perdagangan, akomodasi makan dan
minum, informasi komunikasi, real estat, maupun beragam
sektor jasa kecuali jasa pemerintahan dan pertahanan.
Menguatnya beragam sektor ekonomi tersebut menjadi
tendensi awal sektor-sektor ekonomi tersebut semakin
diminati dunia usaha dan memiliki potensi untuk semakin
berkembang.
Dengan melakukan pemerincian terhadap 17 sektor-
sektor ekonomi Purbalingga dan dibandingkan secara
relatif terhadap rata-rata daerah di Jawa Tengah,
identifikasi sektor potensial tergambar dari nilai Location
Quotient sebagaimana pada Gambar 2.5. Wilayah atau area
I menunjukkan sektor ekonomi pada kategori paling
potensial untuk berkembang. Sektor ini meliputi sektor
pertanian, transportasi pergudangan, sektor pengadaan air
dan pengelolaan sampah, serta beragam sektor jasa
(pendidikan, kesehatan sosial, pemerintahan dan
pertahanan, jasa lainnya). Berbasis data BPS (2017),
beberapa komoditas pertanian Purbalingga yang
memberikan kontribusi penting produksi tingkat Jawa
Tengah antara lain padi sawah (Purbalingga berkontribusi
2,26% pada produksi pada Jawa Tengah pada 2015),
jagung (1,22%), ubi kayu (2,08%), ubi jalar (2,38%).
Demikian kontribusi produksi buah-buahan dari
Purbalingga cukup mendominasi di Jawa Tengah, di

47
antaranya adalah Stroberi (55,05%), duku (22,88%),
rambutan (7,06%) dan nanas (9,21%).
Sektor pertambangan masuk pada kategori sektor
yang memberikan kontribusi penting namun potensinya
mengalami pelambatan. Nilai ekonomi pertambangan
Purbalingga terdeteksi tinggi untuk wilayah Jawa Tengah,
sebesar 637,01 Miliar atau sebesar 4,16% dari nilai
ekonomi hasil tambang se-Jawa Tengah. Pertumbuhan
ekonomi sektor pertambangan Purbalingga hanya 0,24%.

II I

III III

48
Gambar 2.5
Peta Potensi Ekonomi Sektoral Kabupaten Purbalingga

Sektor industri pengolahan menunjukkan sektor


yang kurang potensial. Meskipun di Purbalingga telah
dikenal beberapa sektor industri yang memiliki nilai
ekonomi tinggi, yaitu industri wig, bulu mata dan rambut
palsu, juga industri knalpot, namun dari hasil identifikasi
ini menunjukkan kontribusi sektor ini.
terhadap sektor industri pengolahan Jawa Tengah
relatif kecil, yaitu sebesar 1,29%. Nilai ini lebih kecil dari
kontribusi sektor yang sama pada tahun 2011 yang sebesar
1,05%. Menurunnya peran sektor industri pengolahan ini
dapat disebabkan oleh beberapa faktor: lebih tingginya
pertumbuhan sektor pengolahan di daerah-daerah lain di
Jawa Tengah dibandingkan dengan pertumbuhan sektor
yang sama di Kabupaten Purbalingga, serta fenomena
meningkatnya kontribusi sektor pengolahan di daerah lain
di Jawa Tengah terhadap PDRB daerah tersebut yang
membuat kontribusi pengolahan Purbalingga menurun
terhadap Jawa Tengah.
Sektor industri pengolahan merupakan sektor
ekonomi yang efisien dalam penggunaan lahan dan
memberikan kontribusi penting dalam tingginya serapan
tenaga kerja. Terkait dengan menurunnya kinerja industri
pengolahan Purbalingga tersebut, diperlukan kebijakan
yang tidak sebatas mendorong masuknya penanaman
modal sektor pengolahan ke Purbalinga, namun juga pada
penekanan investasi pada produk yang lebih inovatif dan
memberikan kontribusi riil dalam perekonomian daerah.

c. Kinerja Penanaman Modal

49
Kinerja dari upaya mendorong investasi baru
(penanaman modal) masuk ke Kabupaten Purbalingga
selama 5 tahun terakhir terlihat mengesankan, meskipun
pada 2015 sempat mengalami penurunan. Total realisasi
investasi baru di Purbalingga pada tahun 2017 sebesar
Rp547,08 miliar, meningkat 13,20% dari tahun
sebelumnya.
Pada 2013 dan 2014 tercatat tidak ada Penanaman
Modal Asing (PMA) baru masuk, namun pada tahun-tahun
berikutnya PMA masuk dan meningkat signifikan. Tahun
2015, realisasi investasi PMA masih sebesar Rp14,92
miliar, meningkat 310% menjadi Rp61,2 miliar pada 2016
dan meningkat lagi 160% pada 2017 senilai Rp159,04
miliar.
Pada Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN),
investasi sempat menurun pada 2014 dan 2015, namun
meningkat kembali pada tahun-tahun berikutnya. Realisasi
investasi PMDN turun 34,02% tahun 2014 dan turun lagi
31,68% pada 2015 menjadi senilai Rp215,08 miliar. Tahun
2016 investasi baru meningkat Rp422,07 miliar dan turun
pada 2017 menjadi Rp388,04 miliar. Hal yang perlu
ditekankan pada fenomena penurunan investasi ini adalah
penurunan pada nilai realisasi investasi baru, bukan pada
penurunan pembentukan modal tetap bruto. Meskipun
terdapat penurunan investasi baru di tahun-tahun
tersebut, namun total akumulasi kapital tetap meningkat
sepanjang tahun di Purbalingga. Di samping itu, kinerja
investasi positif tercatat juga dari tidak adanya investor
yang meninggalkan wilayah Kabupaten Purbalingga.
Terkait dengan tren positif perkembangan investasi di
Kabupaten Purbalingga, DPMPTSP Purbalingga membuat
indikator kinerja capaian investasi baru. Indikatornya

50
meliputi tambahan jumlah perusahaan (PMDN dan PMA)
beserta target capaian realisasi investasi. Tahun 2016
realisasi investasi tercapai dan melebihi target yang
ditetapkan. Target total investasi baru sebesar Rp270
miliar, terealisasi sebesar Rp483,27 miliar. Demikian pula
pada 2017, pencapaian investasi baru mencapai 170,96%,
di mana target sebesar Rp320 miliar terealisasi Rp547,08
miliar. Tabel 4.1 berikut menyajikan target investasi tahun
2016 dan 2017, yang telah berjalan, beserta target 2018
sampai 2021.

Tabel 2.1
Target Investasi Kabupaten Purbalingga 2016-2021

No Indikator kinerja 2016 2017 2018 2019 2020 2021

1 Tambahan jumlah
Perusahaan PMDN 550 600 650 700 750 800
(baru/unit)
2 Tambahan jumlah
Perusahaan PMA 2 2 2 2 2 2
(baru/unit)
3 Tambahan Nilai
investasi PMDN 250 300 450 550 650 750
(miliar)
4 Tambahan Nilai
investasi PMA
(miliar) 20 20 20 20 20 20
5 Realisasi investasi
total (milar) 270 320 470 570 670 770

Sumber : DPMPTSP Purbalingga, 2018

d. Permasalahan di Daerah

51
Berdasarkan analisis kondisi lapangan di atas dapat
diketahui bahwa Kabupaten Purbalingga memiliki beberapa
potensi yang berpeluang untuk dapat dijadikan komoditas
unggulan. Meski demikian pada sub bab ini akan mencaba
menginventarisasi permasalahan yang dapat menghambat
pelaksanaan pengembangan industri di Kabuapaten
Purbalingga.
Permasalahan yang pertama dan cukup menonjol
adalah terkait kesiapan tenaga kerja (persoalan kualitas
SDM). Ketersediaan tenaga kerja dalam menunjang
pengembangan industri di Kabupaten Purbalingga sudah
dirasa cukup memadai. Namun keualitas/keterampilan
(skill labour) tenaga kerja perlu untuk ditingkatkan. Hal ini
sangat penting untuk memenuhi kebutuhan kegiatan
industri yang banyak membutuhkan tenaga kerja terampil.
Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah
Kabupaten Purbalingga untuk meningkatkan kualitas
tenaga kerja. Salah satunya adalah dengan mengadakan
pelatihan kerja bagi tenaga kerja secara berkelanjutan.
Permasalahan yang berikutnya adalah infrastruktur
penunjang kegiatan industri. Salah satu diantaranya
adalah sarana dan prasarana transportasi yang dirasa
masih belum merata ke beberapa daerah di Purbalingga.
Kegiatan-kegiatan industri perlu banyak ditunjang oleh
ketersediaan sarana-prasarana yang memadai.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM


BARU YANG AKAN DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH

Upaya penyusunan peraturan daerah yang mengatur


tentang rencana pembangunan industri Kabupaten Purbalingga

52
tahun 2018-2038, merupakan langkah strategis bagi pemerintah
Kabupaten Purbalingga sebagai upaya menciptakan sebuah
panduan bersama dalam mengembangkan arah pembangunan
sektor industri yang ada. Selanjutnya, langkah strategis dalam
bentuk regulasi peraturan daerah ini perlu untuk ditindaklanjuti
dalam bentuk kegiatan teknis yang sifatnya lebih operasional atau
pun menyusun regulasi berikutnya yang sifatnya lebih teknis,
seperti peraturan bupati atau sejenisnya, sehingga mampu
bermanfaat secara nyata bagi masyarakat.
Selanjutnya, sebelum proses pengesahan peraturan daerah
yang mengatur tentang rencana pembangunan industri Kabupaten
Purbalingga tahun 2018-2038 dilakukan, maka perlu
dilaksanakan analisa terkait bagaimana dampak atau impilkasi
yang potensial akan terjadi. Dampak atau implikasi ini bisa
bersifat positif dan juga dapat berbentuk negatif. Keduanya perlu
disikapi secara bijaksana sehingga dalam pelaksanaannya nanti
dapat memaksimalkan dampak positifnya namun bisa
meminimalisir dampak negatif yang potensial bisa terjadi.
Implikasi dari keberadaan regulasi dalam bentuk peraturan
daerah ini jika mampu disikapi dengan bijaksana akan mampu
membawa pada harapan atau tujuan dari disusunya peraturan
daerah tersebut. Beberapa implikasi baik yang sifatnya positif
atau pun negatif dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini.
Berdasarkan hasil identifikasi dan juga forum diskusi, dapat
diketahui beberapa implikasi dan juga dampak yang mungkin
timbul dari adanya regulasi terkait rencana pembangunan industri
Kabupaten Purbalingga tahun 2018-2038. Pertama, beberapa
implikasi positif yang akan muncul ketika peraturan daerah ini
berlaku antara lain sebagai berikut:

1. Arah dan Target yang Jelas dalam Pembangunan Industri

53
Kejelasan dan kepastian merupakan instrumen penting yang
perlu diciptakan oleh pemerintah dalam melaksanakan roda
pemerintahan. Termasuk dalam hal ini terkait dengan
pengaturan rencana pembangunan industri di Kabupaten
Purbalingga. Adanya peraturan daerah ini akan menciptakan
atmosfer yang positif dalam merealisasikan pembangunan
industri ke depannya, yaitu dengan adanya acuan arah dan
target yang jelas dan terukur. Selain itu, keselarasan arah dan
juga pencapaian target tersebut juga bisa dipantau bersama
oleh antar pihak, baik pemerintah atau pun masyarakat.
Kemudahan proses evaluasi setiap tahapnya juga akan sangat
membantu dalam proses perbaikan di setiap periodenya.

2. Keselarasan Stakeholders dalam Pengembangan Industri


Berjalannya kegiatan industri di setiap daerah selama ini
hanya dipelopori oleh semangat dan juga inisiatif para pelaku
industri yang berminat untuk terjun di dalamnya. Adanya
peraturan daerah ini dapat menciptakan keselarasan arah
kegiatan baik yang dilakukan para pelaku industri,
pemerintah, dan juga masyarakat di bidang industri.
Keselarassan dapat tercipta karena para pelaku industri
memiliki roadmap yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan
secara hukum. Kejelasan tersebut secara tidak langsung
menciptakan kemantapan para pelaku industri karena
pemerintah telah memberikan kepastian hukum yang selama
ini banyak dipertimbangkan pelaku industri ketika akan
mengembangkan sebuah industri di sebuah wilayah.

3. Optimalisasi Potensi Sumber Daya di Daerah


Potensi sumber daya merupakan sesuatu yang unik yang bisa
membedakan antar satu daerah dengan daerah lain. jika
potensi tersebut unik akan sangat mungkin bisa menciptakan

54
keunggulan yang sulit disaingi oleh daerah lainnya. Adanya
peraturan daerah ini akan mendorong pemerintah dan juga
para pelaku industri untuk dapat melakukan optimalisasi
potensi sumber daya yang ada di daerah. Hal tersebut karena
basis rencana pembangunan industri yang ditetapkan dalam
peraturan daerah adalah berdasarkan pada kondisi yang
dibutuhkan daerah dalam upaya pembangunan dalam jangka
panjang. Ketika potensi tersebut secara intens difokuskan
untuk dikembangkan maka akan menciptakan inovasi baru
yang dapat memberikan daya saing di sebuah daerah.

4. Menciptakan Pusat Pertumbuhan Industri


Istilah pusat pertumbuhan industri dikenal dalam teori
Perroux (1970), teori ini menjadi dasar dari strategi
kebijaksanaan pembangunan industri di daerah yang banyak
diterapkan di berbagai negara dewasa ini. Perroux mengatakan
bahwa, pertumbuhan tidak muncul di berbagai daerah pada
waktu yang sama. Pertumbuhan hanya terjadi di beberapa
tempat yang disebut pusat pertumbuhan dengan intensitas
yang berbeda. Di samping keuntungan skala ekonomis,
kawasan industri mempunyai keuntungan lain yaitu
menurunnya biaya transportasi. Penumpukan industri pada
suatu daerah akan mendorong didirikannya perusahaan jasa
angkutan dengan segala fasilitasnya. Dengan adanya fasilitas
tersebut, industri-industri tidak perlu menyediakan atau
mengusahakan jasa transportasi sendiri. Padahal penyediakan
jasa transportasi sendiri biaya sangat mahal. Kawasan industri
yang dapat berkembang dengan baik, di dalamnya akan berdiri
banyak pabrik maupun pergudangan. Banyaknya pabrik yang
berdiri di suatu kawasan industri dapat merangsang
pemusatan/aglomerasi industri di suatu daerah.

55
5. Menciptakan Keterkaitan Antar Industri
Pertumbuhan yang cepat dari satu atau beberapa industri
mendorong perluasan industri-industri lainnya yang terkait
dengan sektor industri yang tumbuh lebih dahulu tersebut.
Keterkaitan-keterkaitan (linkages) ini bisa keterkaitan ke
belakang (backward linkages) jika pertumbuhan tersebut,
misalnya, industri tekstil menyebabkan dalam produksi kapas
atau zat-zat pewarna untuk disediakan bagi industri tekstil
tersebut. Keterkaitan tersebut bisa juga keterkaitan ke depan
(forward linkages) yaitu jika adanya industri tekstil domestik
tersebut mendorong tumbuhnya investasi dalam industri
pakaian jadi misalnya. Keberadaan kawasan industri yang di
dalamnya banyak berdiri berbagai macam industri, akan
menjadi daya tarik bagi investor untuk mendirikan pabrik di
daerah di mana kawasan industri berada khususnya di dalam
kawasan industri. Daya tarik ini dapat terjadi salah satunya
dikarenakan industri yang berdiri sebelumnya mempunyai
keterikatan dengan industri yang baru seperti keterkaitan
bahan baku, sebagai pemasok, dapat memakai mesin produksi
bersama-sama sehingga menghemat investasi, bahkan bagi
perusahaan asing dapat berupa keterikatan karena negara
asal, dan lain-lain.

Selanjutnya, yang kedua, beberapa implikasi negatif


yang berpotensi muncul ketika peraturan daerah ini berlaku
antara lain sebagai berikut:

1. Potensi Polusi
Seperti perkembangan industri secara umum, bahwa
dengan berkembangnya kawasan industri juga memiliki
dampak negatif dengan adanya potensi polusi, terutama
polusi udara karena asap hasil kegiatan industri. Melihat

56
kondisi tersebut sudah semestinya pemerintah
memberikan rambu-rambu yang tegas terkait aktivitas
kawasan industri sehingga meminimalisir dampak polusi
yang diciptakannya.

2. Potensi Pencemaran Lingkungan


Selain potensi polusi, kegiatan kawasan industri juga
berpotensi terhadap pencemaran lingkungan, terutama
pencemaran air yang berasal dari limbah hasil industri.
Penataan lokasi kawasan industri sangat menentukan
dalam meminimalisir dampak pencemaran terhadap
masyarakat. Selain itu, perlu juga melakukan kontrol dari
pemerintah dalam bentuk regulasi terkait manajemen
pengelolaan limbah industri oleh perusahaan yang ada di
kawasan industri.

3. Potensi Kerusakan Sumber Daya Alam


Kegiatan industri terutama yang mengambil bahan baku
langsung dari alam dalam bentuk pertambangan dan
sejenisnya jelas akan berpotensi merusak sumber daya
alam yang ada di sana. Oleh karena itu, perlu adanya
pengaturan khusus terkait kegiatan industri yang ada di
kawasan industri sehingga dapat meminimalisir dampak
negatif terhadap kerusakan sumber daya alam tersebut.

4. Potensi Tergerusnya Industri Lokal


Dibangunnya kawasan industri memberi peluang pada
investor, termasuk investor asing, agar mau menginvestasi-
kan dananya untuk mendirikan industri dalam sebuah
kawasan industri. Semakin banyak investor asing yang
masuk dalam kawasan industri dapat berpotensi negatif
dengan tergerusnya industri lokal di sana. Padahal
perkembangan industri diharapkan bisa memberi manfaat

57
pada pengusaha lokal yang ada di daerah yang
bersangkutan. Oleh karena itu, dalam penyusunan regulasi
terkait izin usaha kawasan industri perlu untuk mengatur
perihal keberadaan industri lokal yang ada, termasuk
dalam hal ini industri berskala UMKM, agar tidak punah
tergerus oleh industri asing.

5. Monopoli Industri Tertentu


Jumlah yang begitu besar dari modal yang dimiliki oleh
seorang investor dapat menjadikan industri yang dia
dirikan memonopoli industri yang lainnya. Kondisi
monopoli dalam perekonomian tidak selalu baik
dampaknya. Oleh karena itu, perlu adanya antisipasi
terhadap dampak negatif dari monompoli yang diakibatkan
oleh berkembangnya industri tertentu di sebuah kawasan
industri.

58
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan yang


terkait dengan rencana pembangunan industri dilakukan dalam
rangka harmonisasi regulasi, atau biasa dikenal dengan
melakukan sinkronisasi baik secara vertikal maupun horizontal.
Upaya harmonisasi regulasi didasarkan oleh teori pembentukan
peraturan perundang-undangan. Berdasarkan pada stuffenbau
theory (teori hierarki peraturan perundang-undangan), secara
umum dapat dikelompokkan peraturan perundang-undangan
ke dalam 4 (empat) tingkat yaitu:

1. Pertama, yaitu ketentuan yang memuat norma dasar


(grundnorm) yaitu Undang Undang Dasar;

2. Kedua, ketentuan legislatif yang menjabarkan norma dasar


yaitu Undang Undang;

3. Ketiga, ketentuan yang dibentuk oleh pemerintah sebagai


aturan pelaksanaan dari Undang Undang yaitu Peraturan
Pemerintah (implementing legislation), dan

4. Keempat, ketentuan organik untuk mengoperasionalkan secara


rinci Peraturan Pemerintah yaitu antara lain: Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah.

Namun banyak dijumpai bahwa penyusunan peraturan


perundang-undangan tidak selalu dilakukan secara runtut,
dapat saja misalnya suatu Undang-Undang memerintahkan
penetapan peraturan pelaksanaan dari salah satu norma yang
dimuatnya untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan

59
Presiden, Peraturan Menteri, atau Peraturan Daerah. Sebagai
penguat dari teori Hans Kelsen dapat dipadankan dengan teori
Algemeine Rechtslehre (Hans Nawiasky). Berdasarkan teori
Nawiasky ini norma hukum itu terdiri dari: Pertama,
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara); Kedua,
Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara); Ketiga, Formell
Gesetz (UU Formal); dan Keempat, Verordnung dan Autonome
Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom).

Di Indonesia hukum industri telah diatur dalam Undang-


Undang Perindustrian dan telah diterapkan dan menjadi sebuah
persyaratan atau legalisasi pada setiap usaha perindustrian baik
industri rumah tangga atau pun perusahaan. Dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian yang
dimaksud dengan Perindustrian adalah tatanan dan segala
kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri. Industri adalah
seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku
dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga
menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat
lebih tinggi, termasuk jasa industri. Kemudian pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 mengatur mengenai asas
perindustrian. Perindustrian diselenggarakan berdasarkan asas
kepentingan nasional, demokrasi ekonomi, kepastian berusaha,
pemerataan persebaran, persaingan usaha yang sehat, dan
keterkaitan industri. Sedangkan mengenai tujuan industri diatur
dalam Pasal 3 dimana terdapat 8 tujuan industri diantaranya,
mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak
perekonomian nasional, mewujudkan kedalaman dan kekuatan
struktur Industri, mewujudkan Industri yang mandiri, berdaya
saing, dan maju, serta Industri Hijau, mewujudkan kepastian
berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau
penguasaan Industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang

60
merugikan masyarakat, membuka kesempatan berusaha dan
perluasan kesempatan kerja, mewujudkan pemerataan
pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia guna
memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan,
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara
berkeadilan. Pada Pasal 8 undang-undang tersebut menyatakan
bahwa untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan Perindustrian
sebagaimana, disusun Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional, rencana Induk Pembangunan Industri Nasional sejalan
dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional merupakan
pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan
dan pembangunan Industri, Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh)
tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
Pada rencana pembentukan peraturan daerah tentang
rencana pembangunan industri Kabupaten Purbalingga tahun
2018–2023, perlu diidentifikasi beberapa peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar perlunya disusun rancangan
peraturan daerah tersebut. Uraian dari hal tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan
Daerah-Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Jawa
Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950
Nomor 24);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2013);

61
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 - 2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
6. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4725);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana
Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5671);

62
11. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang
Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 365, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5806);
12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2008
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 Nomor 3);
13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2009 – 2029 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2010 Nomor 6);
14. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2017
tentang Rencana Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Tahun
2017-2037 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun
2017 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 94);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 1 Tahun
2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Kabupaten Purbalingga Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah
Tahun 2009 Nomor 1);
16. Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 05 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Purbalingga Tahun 2011-2031 (Lembaran Daerah Tahun 2011
Nomor 05);

63
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, YURUDIS,
DAN SOSIOLOGIS

A. LANDASAN FILOSOFIS

Tujuan nasional merupakan suatu cita-cita masyarakat


yang tertulis dalam konstitusi. Untuk mencapai serta menegas-
kan tujuan tersebut, maka negara memerlukan adanya sarana-
prasana yang mendukung, baik berupa sumber daya manusia
maupun sarana yang berbentuk benda, karena negara tidak dapat
melakukannya sendiri. Dalam kaitan ini, tujuan nasional dapat
tercapai apabila adanya peningkatan kualitas sumber daya
manusia yang diwujudkan dalam masyarakat madani yang taat
hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil dan
bermoral tinggi. Usaha untuk mencapai tujuan nasional yaitu
dengan peningkatan kualitas manusia dan masyarakat secara
berkelanjutan, berlandasan kemampuan nasional dengan
memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
memperhatikan perkembangan sosial.

Dalam rangka merealisasikan tujuan nasional, maka faktor


wilayah, sarana prasarana dan kualitas sumber daya manusia
akan saling mempengaruhi. Dalam kaitan ini, wilayah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia tidak hanya terdiri dari daerah atau
wilayah provinsi. Daerah atau wilayah provinsi itu terbagi lagi
dalam daerah atau wilayah kabupaten/kota yang terbagi lagi
dalam satuan pemerintahan terendah, yaitu desa. Keberadaan
wilayah desa di Indonesia sebagai satuan pemerintahan terendah
tidak bisa diabaikan, karena keberadaan desa telah dikenal sejak
zaman kerajaan-kerajaan nusantara sebelum kedatangan Belanda.
Sehingga dari perspektif historis, dapat dikatakan bahwa desa ini

64
sebenarnya merupakan “embrio bagi terbentuknya masyarakat
politik dan pemerintahan di Indonesia”.

Sebagai miniatur negara Indonesia, di dalam lingkungan


Desa terdapat hubungan antarperilaku antara masyarakat dengan
pemegang kekuasaan (Kepala Desa dan perangkat Desa). Kepala
Desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh
legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di Desanya.
Legitimasi mempunyai asal-usul dan sumbernya dan berkorelasi
dengan partisipasi masyarakatnya. Partisipasi adalah bentuk
dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan
pemerintah Desa yang melibatkan elemen masyarakat dalam
pembuatan kebijakannya. Dalam kaitan ini, partisipasi dan
legitimasi akan mengarahkan pada upaya agar masyarakat dapat
terlibat dalam suatu perubahan yang memungkinkan mereka
mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang
berpengaruh. Secara sederhana, diartikan sebagai feedforward
information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat
tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi
dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu). Tujuan dasar
dari partisipasi adalah untuk menghasilkan masukan dan aspirasi
yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang
berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan.

Dalam rangka menempatkan posisi masyarakat dalam


partisipasi dan legitimasi, maka didalamnya terkandung nilai-nilai
demokrasi. Mayo (1960) merinci nilai-nilai dalam demokrasi,
dengan catatan bahwa perincian ini tidak berarti bahwa setiap
masyarakat demokratis menganut semua nilai yang dirinci itu,
tetapi tergantung pada perkembangan sejarah serta budaya politik

65
masing-masing. Mayo (1960) menyatakan bahwa demokrasi
didasari oleh beberapa nilai (values) yang meliputi :

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara


melembaga (institutionalized peaceful settlement of conflict).
Dalam setiap masyarakat terdapat perselisihan pendapat
serta kepentingan, yang dalam alam demokrasi dianggap
wajar untuk diperjuangkan. Perselisihan-perselisihan ini
harus dapat diselesaikan melalui perundingan serta dialog
terbuka dalam usaha untuk mencapai kompromi, konsensus
atau mufakat. Kalau golongan-golongan yang berkepentingan
tidak mampu mencapai kompromi, maka ada bahaya bahwa
keadaan semacam ini akan mengundang kekuatan-kakuatan
dari luar untuk campur tangan dan memaksakan dengan
kekerasan tercapainya kompromi atau mufakat. Dalam
rangka ini dapat dikatakan bahwa setiap pemerintah
mempergunakan persuasi (persuasion) serta paksaan
(coercion). Dalam beberapa Negara perbedaan antara
dukungan yang dipaksakan dan dukungan yang diberikan
secara sukarela hanya terletak dalam intensitas dari
pemakaian paksaan dan persuasi tadi. Intensitas ini dapat
diukur dengan misalnya memerhatikan betapa sering
kekuasaan dipakai, saluran apa yang tersedia untuk
memengaruhi orang lain atau untuk mengadakan
perundingan dan dialog.
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam
suatu masyarakat yang sedang berubah (peaceful change in a
changing society). Dalam setiap masyarakat yang
memodernisasikan diri terjadi perubahan sosial yang
disebabkan oleh faktor-faktor seperti misalnya, majunya
teknologi, perubahan-perubahan dalam pola kepadatan
penduduk, dalam pola-pola perdagangan, dan sebagainya.

66
Pemerintah harus dapat menyesuaikan kebijaksanaannya
dengan perubahan-perubahan ini, dan sedapat mungkin
membinanya jangan sampai tidak terkendalikan lagi. Sebab
kalau hal ini terjadi, ada kemungkinan sistem demokratis
tidak dapat berjalan, sehingga timbul system dictator.
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur
(orderly succession of rulers). Pergantian atas dasar
keturunan, atau dengan jalan mengangkat diri sendiri,
ataupun melalui coup d’etat, dianggap tidak wajar dalam
suatu demokrasi.
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum (minimum
of coercion). Golongan-golongan minoritas ini sedikit banyak
akan kena paksaan akan lebih menerimanya kalau diberi
kesempatan untuk turut serta dalam diskusi-diskusi yang
terbuka dan kreatif, mereka akan lebih terdorong untu
memberikan dukungan sekalipun bersyarat, karena merasa
turut bertanggung jawab.
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman
(diversity) dalam masyarakat yang tercermin dalam
keanekaragaman pendapat, kepentingan serta tingkah laku.
Untuk hal ini perlu terselenggaranya suatu masyarakat
terbuka (open society) serta kebebasan-kebebasan politik
(political liberties) yang memungkinkan timbulnya fleksibilitas
dan tersedianya alternatif dalam jumlah yang cukup banyak.
Dalam hubungan ini demokrasi sering disebut suatu gaya
hidup (way of life). Tetapi keanekaragaman perlu dijaga
jangan sampai melampaui batas, sebab di samping
keanekaragaman diperlukan juga persatuan serta integrasi.
6. Menjamin tegaknya keadilan. Dalam suatu ddemokrasi
umumnya pelanggaran terhadap keadilan tidak akan terlalu
sering terjadi karena golongan-golongan terbesar diwakili
dalam lembaga-lembaga perwakilan, tetapi tidak dapat

67
dihindarkan bahwa beberapa golongan akan merasa
diperlakukan tidak adil. Maka yang dapat dicapai secara
maksimal ialah suatu keadilan yang relatif (relative justice).
Keadilan yang dapat dicapai barangkali lebih bersifat keadilan
dalam jangka panjang.

Mencermati nilai-nilai demokrasi, maka Dahl (1971)


mengemukakan indikator sebuah democratic political order yang
dijadikan sebagai kerangka acuan untuk mengamati ada tidaknya
demokrasi yang diwujudkan dalam pemerintahan. Dalam hal ini,
Dahl mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik,
meliputi:

1. Control over government decicions about policy is


constitusionally vested in elected officials. (Pengawasan
terhadap keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara
konstitusional diterapkan pada petugas terpilih);
2. Elected officials are chosen and peacfully removed in relatively
frequent, fair and free elections in which coercion is quite limited.
(Petugas terpilih dipilih dan diberhentikan melalui pemilihan
yang cukup sering, adil dan bebas dimana pemaksaan
dibatasi);
3. Practically all adults have the right in vote in these elections.
(Dalam praktek, semua orang dewasa mempunyai hak untuk
memberikan suara pada pemilihan ini);
4. Most adults have the rigth to run for public officer for which
candidates run in these elections. (Kebanyakan dari orang-
orang dewasa ini berhak untuk mencalonkan diri menjadi
petugas publik untuk mana para kandidat mencalonkan diri
pada pemilihan ini);
5. Citizens have an effectifly enforced right to freedom of
expression, particulary political expression, including criticsm of
of the officials, the conduct of the government, the prevalling

68
political, economic, and social system, and the dominants
idiology. (Warga negara memiliki hak (yang telah diperjuangkan
secara efektif) untuk bebas mengeluarkan ekspresi, terutama
ekspresi politik, termasuk mengkritik petugas publik,
perbuatan pemerintah, sistem politik, ekonomi, sosial yang
berlaku, dan ideologi yang dominan);
6. These olso have acces of alternative sources of information that
are not monopolized by the government or any other single
group. (Mereka juga mempunyai akses pada alternatif sumber
daya informasi yang tidak dimonopoli oleh pemerintah atau
oleh kelompok lain);
7. Finally the have and effectively enforced right to form and join
autonomous associations, including political parties interest
groups, that attempt to influnce the government by competing in
elections and by other peaceful means. (Pada akhirnya mereka
mempunyai hak-hak yang diperjuangkan secara efektif untuk
membentuk dan bergabung pada sosiasi otonom, termasuk
kelompok kpentingan partai politik, yang mencoba
mempengaruhi pemerintah dengan berkompetisi dalam
pemilihan dan melakui sarana-sarana damai lainnya).

Pemerintahan dapat dikategorikan telah mewujudkan


hakikat demokrasi apabila dalam proses penyelenggaraan
pemerintahannya selalu melibatkan keikutsertaan rakyat dan
senantiasa bertanggung jawab kepada rakyat dan memerintah
atas nama rakyat. Hal inilah yang secara substantif mensyaratkan
adanya partisipasi yang didalamnya terkandung:

1. Voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk


menyampaikan suaranya dalam proses pemerintahan.
Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang
berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan
sebagai basis pembuatan keputusan;

69
2. Akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk
mengakses atau mempengaruhi pembuatan kebijakan,
termasuk akses dalam layanan publik;
3. Kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat
mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan
pengawasan (kontrol) terhadap jalannya pemerintahan
maupun pengelolaan kebijakan dan keuangan pemerintah.
4. Bentuk kongkrit dalam mengejawantahkan demokrasi dalam
Desa adalah menciptakan aturan yang jelas tentang Tata Cara
Pencalonan, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala
Desa Hal ini dimaksudkan agar setiap masyarakat dapat
berpartisipasi dan mengontrol proses Pemerintahan Desa dan
memberikan legitimasi terhadap pihak yang terpilih.
Hubungan-hubungan antar anggota kelompok, kelompok dan
kekuasaan umum yang berisikan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban perlu dituangkan dalam peraturan-peraturan
melalui satu atau lain cara. hal ini bermaksud untuk
memberikan suatu keadilan.

Imanuel Kant memberikan elaborasi dalam tesisnya yang


terkenal tentang prinsip hukum umum (principle of universal law),
“Bertindaklah dengan sebuah maksim yang dalam waktu yang
sama Anda dapat menghendaki maksim tersebut menjadi hukum
umum”. Peran hukum untuk menciptakan keadilan yang
didambakan setiap orang dan yang menjadi takaran keadilan
adalah hukum (justice according to the law). Untuk itu Agustinus
berani menegaskan dalam suatu postulatnya bahwa hukum yang
tidak adil itu bukanlah hukum (lex iniusta non est lex–an unjust
law is no law).

Dalam hal pencapaian hukum dan keadilan, Rawls (2006)


berpendapat bahwa dalam keadilan, terdapat rangkaian secara

70
intrinsik prinsip-prinsip moral dan prinsip-prinsip hukum.
Manusia sebagai person moral terutama dituntun oleh norma-
norma yang dianutnya sendiri secara internal, yakni norma-norma
moral. Akan tetapi, perlu diakui bahwa norma-norma moral tidak
dengan sendirinya efektif mengatur tata hubungan serta pola
sikap antarmanusia. Dalam hal ini, yang dibutuhkan adalah
prinsip-prinsip hukum yang mampu menjamin stabilitas serta
kebaikan bersama dalam di dalam masyarakat sebagai
keseluruhan. Dengan memperlihatkan relasi mendasar antara
prinsip-prinsip moral dan prinsip hukum, Rawls (2006)
menegaskan bahwa tujuan akhir dari prinsip-prinsip moral yakni
menghasilkan manusia yang baik. Dengan demikian, isi dari
aturan hukum harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral.
Dalam arti itu, norma-norma legal harus merupakan determinasi
yang lebih jauh serta penerapan lebih kongkret dari prinsip-
prinsip moral dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, prinsip-
prinsip hukum harus merupakan refleksi dari prinsip-prinsip
moral. Secara lebih khusus, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh
Rawls (2006) bahwa hukum harus dibentuk demi memelihara dan
mendukung keadilan.

Perlu ditegaskan bahwa tugas dari keadilan sebagai fairness


adalah menetapkan hak dan kewajiban secara berimbang. Oleh
karena itu kebebasan harus disertai dengan kesadaran akan
tanggung jawab. Tanpa keseimbangan kewajiban dan tanggung
jawab, kebebasan dapat membawa manusia ke dalam peradaban
rimba di mana berlaku prinsip the survival of the strongest. Tanpa
adanya tanggung jawab sebagai kewajiban yang tak terpisahkan
dari hak atas kebebasan dapat saja menjungkirbalikkan situasi
sosial.

71
Dalam pencapaian keadilan, maka hal tersebut bukanlah
hal yang mudah. Jika hukum dan keadilan dipersamakan, maka
hanya tata adil saja yang yang disebut hukum. Kecenderungan
untuk menyamakan hukum dan keadilan adalah kecenderungan
untuk membenarkan suatu tata sosial tertentu. Usaha untuk
memperlakukan hukum dan keadilan sebagai dua bidang masalah
yang berbeda terkena kecurigaan untuk mengesampingkan
seluruh persyaratan bahwa hukum positif harus adil. Kerinduan
akan keadilan adalah kerinduan abadi manusia akan
kebahagiaan. Kebahagiaan inilah yang tidak dapat ditemukan
manusia sebagai seorang individu tersendiri dan oleh sebab itu
berupaya mencarinya di dalam masyarakat. Keadilan adalah
kebahagiaan sosial.

Unsur lain yang dibutuhkan manusia dari hukum yakni,


“ketertiban”, dalam kepustakaan common law sering
menyandingkan hukum dengan ketertiban atau menyebutnya law
and order, untuk mewujudkan ketertiban itu, maka manusia
memunculkan keharusan-keharusan berperilaku dengan cara
tertentu yang dirumuskan dalam bentuk kaidah. Dengan
terwujudnya ketertiban maka berbagai keperluan sosial manusia
dalam bermasyarakat akan terpenuhi. Sesungguhnya ketertiban
dan kaidah yang diperlukan manusia adalah ketertiban dan
kaidah yang secara otentik menciptakan kondisi yang
memungkinkan manusia secara wajar mengekspresikan
kepribadiannya secara utuh dalam rangka pengembangan potensi
yang dimilikinya selaku manusia. Oleh karenanya menjadi penting
pemahaman bahwa hukum adalah tatanan pemikiran demi
kebaikan bersama yang diungkapkan oleh siapa saja yang peduli
terhadap ketertiban masyarakat.

72
Aspek yang tidak kala pentingnya dalam hukum adalah apa
yang dikenal dengan “Kepastian”, ketika kita mengadakan dan
mengakui adanya pranata hukum, lembaga hukum, dituntut
adanya komitmen keras untuk menepatinya. Karena tanpa
kepastian hukum akan berimbas pada terjadinya kekacauan
dalam masyarakat. Itulah sebabnya hukum akan berperan dalam
fungsinya untuk menciptakan keadilan, ketertiban, dan kepastian
dalam masyarakat.

Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum


yang diidealkan (ideals norm) oleh suatu masyarakat ke arah mana
cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara
diarahkan, karena itu undang-undang dapat digambarkan sebagai
cermin dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai
luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang
bersangkutan dalam kenyataan. Oleh karena itu cita-cita filosofis
yang terkandung dalam undang-undang itu hendaklah
mencerminkan cita-cita filosofis yang dianut masyarakat bangsa
yang bersangkutan.

Peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai


landasan atau dasar filosofis (filosofische grondstag) apabila
rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran
(rechtvaardiging) dikaji secara filosofis. Landasan atau dasar
firosofis peraturan perundang-undangan adalah landasan atau
dasar yang berkaitan dengan, filosofis atau ideologi negara. Setiap
masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat
menciptakan keadilan, ketertiban dan kesejahteraan. Hal ini
yang disebut dengan cita hukum; yaitu yang berkaitan
dengan baik dan buruk adil atau tidak. Hukum diharapkan

73
mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan dirasa adil dalam
masyarakat.

Peraturan perundang-undangan harus mencerminkan


nilai-nilai (cita hukum) yang terkandung dalan Pancasila. Menurut
Rudolp Stamler, cita hukum adalah konstruksi pikiran yang
merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita
yang diinginkan masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai
bintang pemandu (leitstern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat.
Meski merupakan titik akhir yang tidak mungkin tercapai, namun
cita hukum memberikan manfaat karena mengandung dua sisi
yaitu dengan cita hukum kita dapat menguji hukum positif yang
berlaku dan cita hukum kita dapat mengarahkan hukum positif
sebagai usaha dengan sanksi pemaksa menuju sesuatu yang adil
(zwangversuch zum richtigen).

Selanjutnya Radbruch (1950) menyatakan bahwa cita


hukum berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulative dan
konstruktif. Tanpa cita hukum, hukum kehilangan maknanya.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan proses
terwujudnya nilai-nilai yang terkandung dalam cita hukum
kedalam norma hukum tergantung kepada tingkat kesadaran dan
penghayatan akan nilai-nilai tersebut oleh para pembentuk
peraturan perundang-undangan. Tiadanya kesadaran akan nilai-
nilai tersebut dapat terjadi kesenjangan antara cita hukum dan
norma hukum yang dibuat.

Oleh karena itu dalam Negara Indonesia yang memiliki


cita Hukum Pancasila sekaligus sebagai norma fundamental
negara, maka peraturan perundang-undangan yang hendak
dibuat, hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang
terkandung dalam cita hukum tersebut. Menurut Lampiran I
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

74
Peraturan Perundang-undangan bahwa landasan filosofis
merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan
hidup, kesadaran dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Selain itu dalam Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dijelaskan juga bahwa “Materi muatan
Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus
daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi”.

Dengan demikian yang menjadi dasar filosofis dari


Rancangan Peraturan Daerah ini adalah pandangan hidup Bangsa
Indonesia yang telah dirumuskan dalam butir-butir Pancasila
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Nilai-nilai Pancasila ini dijabarkan dalam
hukum yang dapat menunjukkan nilai-nilai keadilan, ketertiban
dan kesejahteraan serta menampung nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat (lokalitas). Rumusan Pancasila ini yang merupakan
dasar hidup Negara Indonesia dituangkan dalam pembukaan UUD
Republik Indonesia Tahun 1945.

B. LANDASAN YURIDIS

Dilihat secara landasan yuridis, adanya rencana


pembangunan industri di Indonesia telah diatur oleh pemerintah
melalui beberapa regulasi. Beberapa landasan yuridis yang telah
ditetapkan oleh pemerintah dalam upaya mengatur hal tersebut
adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

75
Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam
Lingkungan Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1950 Nomor 24); Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013);
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4421); Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005 - 2025 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4700); Undang-undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725); Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (Lembaran Negara Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234); Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5492); Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

76
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana
Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5671);
dan Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang
Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 365, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5806). Dari beberapa peraturan tersebut, yang pada
akhirnya diperkuat pula dengan peraturan daerah pada tingkat
provinsi dan juga kabupaten, sehingga lengkap dan kuat untuk
mengatur tentang rencana pembangundan industri dimana
peraturan daerah tersebut disusun dan diperuntukkan.

Langkah lebih lanjut setelah adanya sederet peraturan,


maka upaya menegakan hukum (law enforcement) agar hukum
yang ada disegani dan dijadikan acuan perilaku masyarakat
secara keseluruhan. Dalam kontek ini aparat pemerintah adalah
sebagai pengontrolnya, oleh karena itu aparat pemerintah harus
memiliki energi yang kuat. Sebaliknya energi aparat yang lemah,
maka yang akan terjadi adalah penegakan yang rendah (low
enforcement).

C. LANDASAN SOSIOLOGIS

Masyarakat sebagai suatu kesatuan hidup individu-individu


yang memiliki norma, tentu memiliki keinginan akan jaminan
keselamatan hidup. Jaminan keselamatan hidup tersebut
diejawantahkan dengan berusaha mewujudkan hak dan kewajiban
yang berimbang. Salah satu bentuk dari upaya menentukan hak
dan kewajiban yang berimbang adalah dengan membuat suatu
norma hukum yang diejawantahkan melalui suatu produk hukum
yang memiliki kepastian hukum dan berlandaskan pada nilai
sosiologis masyarakat.

77
Landasan sosiologis dalam kajian naskah akademik ini
menyangkut permasalahan empiris dan kebutuhan yang dialami
oleh masyarakat berkaitan dengan rencana pembangunan industri
Kabupaten Purbalingga. Oleh karena itu penyusunan rancangan
peraturan daerah tentang Rencana Pembangunan Industri
Kabupaten Purbalingga Tahun 2018-2038 ini haruslah
memberikan jawaban dan juga solusi terhadap permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan industri di
Kabupaten Purbalingga.

Dilihat secara aspek sosiologis, penyusunan rencana


pembangunan industri Kabupaten Purbalingga haruslah dimaknai
sebagai usaha untuk memajukan kualitas sosial masyarakat di era
modern seperti saat ini dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai
kerakyatan, keadilan, dan nilai luhur budaya masyarakat dengan
mengutamakan kepentingan umum. Perhatian terhadap aspek ini
memberikan jaminan bahwa detil penyusunan rencana
pembangunan industri Kabupaten Purbalingga yang akan
dilaksanakan ini merupakan pernyataan atas kebutuhan
masyarakat yang diakomodir dalam bentuk regulasi. Adanya
regulasi dalam bentuk rancangan peraturan daerah tentang
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten Purbalingga Tahun
2018-2023 ini akan selaras dengan landasan sosiologis jika dalam
perumusannya memperhatikan kenyataan dan kondisi sosiologis
masyarakat yang telah berjalan selama ini.

78
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN
RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
PERATURAN DAERAH

A. JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN

Jangkauan dan arah pengaturan mengenai Rancangan


Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Industri
Kabupaten Purbalingga mengacu pada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2014 tentang Perindustrian. Seperti dipahami bersama
bahwa tujuan bernegara adalah untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur yang merdeka, bersatu, dan berdaulat,
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan
nasional berdasar atas demokrasi ekonomi. Kegiatan
pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka menciptakan
struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang
maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh
kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh. Guna
mencapai hal tersebut, perlu diwujudkan melalui penguatan
struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing dengan
mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta
mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi yang
berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai luhur budaya
bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional.

79
B. RUANG LINGKUP DAN MATERI MUATAN

1. Ketentuan Umum

Ketentuan umum berisi batasan-batasan atau definisi,


akronim yang digunakan di dalam peraturan dan hal-hal lain
yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal-pasal yang ada di
dalam materi peraturan. Pada ketentuan ini memuat tentang
batasan pengertian. Beberapa istilah yang perlu dicantumkan
dalam rancangan peraturan daerah tentang rencana
pembangunan industri Kabupaten Purbalingga ini adalah
sebagai berikut:

a. Daerah adalah Kabupaten Purbalingga.


b. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah otonom.
c. Bupati adalah Bupati Purbalingga.
d. Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga pada
Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada
Bupati dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di
Daerah yang terdiri atas Sekretariat daerah, Dinas
Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.
e. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber
daya industri sehingga menghasilkan barang yang
mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,
termasuk jasa industri.
f. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan
kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana
prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh Perusahaan Kawasan Industri.

80
g. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan
yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
h. Sentra Industri Kecil dan Industri Menengah (Sentra
IKM) adalah lokasi pemusatan kegiatan industri kecil
dan industri menengah yang menghasilkan produk
sejenis, menggunakan bahan baku sejenis dan atau
mengerjakan proses produksi yang sama, dilengkapi
sarana dan prasarana penunjang yang dirancang
berbasis pada pengembangan potensi sumberdaya
daerah serta dikelola oleh suatu pengurus profesional.
i. Industri Unggulan Kabupaten adalah Industri yang
ditetapkan menjadi Industri unggulan dan utama di
Kabupaten Purbalingga.
j. Rencana Pembangunan Industri Provinsi Jawa Tengah
2017-2037 yang selanjutnya disingkat RPIP adalah
adalah dokumen perencanaan yang menjadi acuan
dalam pembangunan industri di Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2017-2037.
k. Rencana Pembangunan Industri Kabupaten Tahun 2018-
2038 yang selanjutnya disingkat RPIK 2018-2038 adalah
dokumen perencanaan yang menjadi acuan dalam
pembangunan industri di Kabupaten Purbalingga Tahun
2018-2038.

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pengaturan yang ada dalam rancangan


peraturan daerah tentang rencana pembangunan industri
Kabupaten Purbalingga tahun 2018-2038 terdiri atas lima
bagian, yaitu: (1) kewenangan pemerintah daerah; (2) industri

81
unggulan kabupaten; (3) RPIK 2018-2038; (4) pelaksanaan;
dan (5) pembinaan, pengawasan, dan pelaporan.

3. Maksud & Tujuan

Adapun maksud dari disusunnya rancangan peraturan


daerah tentang rencana pembangunan industri Kabupaten
Purbalingga tahun 2018-2038 ini terdiri dari dua bagian.
Masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Memberikan pedoman pembangunan industri bagi


Perangkat Daerah dan pelaku industri, pengusaha
dan/atau institusi terkait; dan
b. Memberikan pedoman bagi peran serta masyarakat dalam
pembangunan Industri Unggulan Kabupaten.

Kemudian, tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan


rancangan peraturan daerah ini adalah sebagai berikut:

a. Mewujudkan kebijakan pembangunan Industri nasional di


Daerah;
b. Menentukan sasaran, strategi dan rencana aksi
pembangunan Industri Unggulan Kabupaten;
c. Mewujudkan Industri Daerah yang mandiri, berdaya saing,
maju dan berwawasan lingkungan;
d. Mewujudkan pemerataan pembangunan Industri Unggulan
Kabupaten guna memperkuat dan memperkukuh
ketahanan nasional; dan
e. Meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
Daerah secara berkeadilan.

82
4. Materi yang Akan Diatur

Materi yang akan diatur dalam rancangan peraturan


daerah ini terdiri dari 10 (sepuluh) bab. Pertama membahas
tentang ketentuan umum. Kedua membahas tentang maksud,
tujuan, dan ruang lingkup. Ketiga membahas tentang
kewenangan pemerintah daerah. Keempat membahas tentang
industri unggulan kabupaten. Kelima membahas tentang
sistematika. Keenam membahas tentang RPIK 2018-2038.
Ketujuh membahas tentang pelaksanaan. Kedelapan
membahas tentang pembinaan, pengawasan, dan pelaporan.
Kesembilan membahas tentang pembiayaan. Kesepuluh
membahas tentang ketentuan penutup.

Dari masing-masing bab tersebut kemudian diuraikan ke


dalam bentuk pasal-pasal yang membahas secara rinci terkait
dengan materi yang akan diatur dalam rancangan peraturan
daerah tentang rencana pembangunan industri Kabupaten
Purbalingga tahun 2018-2038. Setiap bagian/ kelompok pasal
yang ada membahas sebuah ketentuan tertentu yang diatur
dalam rancangan peraturan daerah.

Bagian pertama yang diatur adalah membahas tentang


kewenangan pemerintah daerah. Perlu dijelaskan bahwa
pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggung jawab atas pencapaian tujuan pembangunan
industri di daerah. Pembangunan industri yang ada di daerah
dilaksanakan sesuai Kawasan Peruntukan Industri yang
ditetapkan dalam Tata Ruang. Kewenangan Pemerintah Daerah
yang dimaksud meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Perencanaan dan penetapan Kawasan Peruntukan Industri;
b. Penyediaan infrastruktur Industri;

83
c. Pemberian kemudahan data dan informasi pada wilayah
daerah yang diperuntukkan bagi pembangunan/
pengembangan Kawasan Peruntukan Industri;
d. Pelayanan Terpadu Satu Pintu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. Pemberian insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. Penataan kegiatan Industri untuk berlokasi di Kawasan
Peruntukan Industri; dan
g. Pengawasan pelaksanaan pembangunan Kawasan
Peruntukan Industri.

Lebih jauh, peran dari Pemerintah Daerah dapat


membangun/mengembangkan Kawasan Industri pada
Kawasan Peruntuan Industri sesuai arahan Pemerintah.
Pemerintah daerah juga dituntut sesuai dengan
kewenangannya untuk dapat menjamin beberapa hal penting
di daerah. Jaminan tersebut adalah terkait dengan
ketersediaan infrastruktur industri dan infrastruktur
penunjang.

Bagian berikutnya membahas tentang industri unggulan


yang ada di Kabupaten Purbalingga. Industri unggulan yang
ada berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia
(KBLI) terdiri atas industri pangan, industri tekstil, industri
pengolahan lainnya, industri furniture, industri alat angkut
lainnya, industri mesin, industri barang logam, dan aktivitas
gambar bergerak, video dan program televisi, perekaman suara
dan penerbitan musik. Selain Industri Unggulan tersebut,
Pemerintah Daerah dapat mengembangkan Industri lain yang
potensial dan merupakan prioritas yang ada di Kabupaten
Purbalingga.

84
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan industri unggulan kabupaten, yaitu harus
memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat.
Pemerintah Daerah juga harus menyiapkan sumber daya
manusia untuk masyarakat setempat dalam upaya akses
kesempatan kerja pada Industri Unggulan Kabupaten.

Bagian selanjutnya yang diatur dalam rancangan


peraturan daerah ini adalah tentang sistematika penyusunan
dokumen rencana pembangunan industri Kabupaten
Purbalingga tahun 2018-2038. Dokumen tersebut merupakan
ditempatkan sebagai lampiran dalam rancangan peraturan
daerah ini. Sistematika yang diatru tersebut adalah sebagai
berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

BAB II : GAMBARAN KONDISI INDUSTRI KABUPATEN


PURBALINGGA

BAB III : VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN


PEMBANGUNAN INDUSTRI KABUPATEN
PURBALINGGA

BAB IV : STRATEGI DAN PROGRAM PEMBANGUNAN


INDUSTRI KABUPATEN PURBALINGGA

BAB V : PENUTUP

Penentuan jangka waktu RPIK yang diatur dalam


rancangan peraturan daerah ini adalah selama 20 (dua puluh)
tahun. Ketentuan yang ada dalam RPIK dapat ditinjau kembali
1 (satu) kali setiap 5 (lima) tahun sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

85
Bagian berikutnya adalah mengatur tentang teknis
pelaksanaan RPIK. Pemerintah Daerah bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan program pembangunan industri dalam
RPIK 2018-2038. Dalam melaksanakan program pembangunan
tersebut, Pemerintah Daerah dapat bekerjasama dengan
pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan yang
dimaksud terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Swasta, Perguruan Tinggi, Lembaga penelitian dan
pengembangan, dan Lembaga kemasyarakatan lainnya.
Penyelenggaraan kerjasama sebagaimana dimaksud di atas
mengacu pada peraturan perundangan-undangan yang
mengatur tentang kerjasama daerah. Ketentuan lebih lanjut
tentang kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan para
pemangku kepentingan diatur dengan peraturan Bupati.

Bagian berikutnya mengatur tentang ketentuan


pembinaan, pengawasan, dan pelaporan. Bupati diarahkan
untuk melakukan pembinaan, pengawasan, monitoring dan
evaluasi terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah tentang RPIK
ini. Bupati membuat laporan kepada Gubernur 1 (satu) kali
dalam setahun atas pelaksanaan RPIK yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari laporan penyelenggaraan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Laporan pelaksanaan tersebut paling
sedikit meliputi pertumbuhan Industri, kontribusi sektor
Industri terhadap PDRB, penyerapan tenaga kerja sektor
Industri, realisasi investasi sektor Industri dan ekspor produk
Industri termasuk permasalahan dan langkah-langkah
penyelesaian sektor Industri.

Bagian terakhir yang diatur dalam rancangan peraturan


daerah ini adalah terkait dengan pembiayaan. Ditentukan

86
dalam hal pembiayaan pelaksanaan RPIK 2018-2038
dibebankan pada sumber-sumber keuangan sebagai berikut:
a. anggaran pendapatan dan belanja nasional;
b. anggaran pendapatan dan belanja provinsi;
c. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
d. sumber pembiayaan lain yang sah dan tidak mengikat.

5. Ketentuan Penutup

Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal


diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Purbalingga.

87
BAB VI
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan sebagaimana pada bab-bab


sebelumnya maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain
sebagai berikut:

1. Rancangan peraturan daerah tentang rencana pembangunan


industri Kabupaten Purbalingga tahun 2018-2038 yang akan
dibentuk melalui naskah akademik ini merupakan upaya
untuk menciptakan kepastian hukum.

2. Rancangan peraturan daerah tentang rencana pembangunan


industri Kabupaten Purbalingga tahun 2018-2038 ini secara
fungsional sebagai instrumen yang dapat memberikan
pedoman bagi masyarakat dan pemerintah di Kabupaten
Purballingga sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan
industri untuk periode 20 (dua puluh) tahun ke depan.

3. Di dalam rancangan peraturan daerah yang akan dibentuk ini


masih terbuka ruang untuk memperkaya materi muatan yang
sifatnya lokal sekaligus merepresentasikan “perasaan”
masyarakat secara aspiratif sebagai basis sosial tempat produk
hukum ini diterapkan.

B. SARAN

Guna mendukung realisasi rencana pembentukan peraturan


daerah tentang rencana pembangunan industri Kabupaten
Purbalingga tahun 2018-2038, berikut ini beberapa hal yang patut
diagendakan antara lain sebagai berikut:

88
1. Materi muatan rancangan peraturan daerah ini masih bersifat
umum, untuk itu diharapkan secara lebih detil dapat
dijabarkan ke dalam peraturan bupati atau keputusan bupati
pada hal-hal yang diperlukan.

2. Agar implementasi peraturan daerah ini dapat berlangsung


efektif maka dalam tataran pelaksanaan harus diwarnai
dengan komitmen dan konsistensi serta rasa memiliki dari
basis sosial masyarakat sebagai wujud kebersamaan dalam
kerangka visi dan misi Kabupaten Purbalingga.

89
DAFTAR PUSTAKA

Attamimi, A. Hamid S, 1990. Hukum tentang peraturan


perUndang-Undangan dan peraturan kebijakan (hukum
tata Negara), Universitas Indonesia, Yogyakarta.

Dahl, Robert A. 1971. Analisa Politik Modern. Jakarta : PT


Gramedia.

Djojodipuro, M. 1992. Teori Lokasi . Lembaga Peneltian Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta.

Gie,The Liang.1992. Administrasi Perkantoran Modern , Edisi


Keempat, Penerbit Liberti bersama dengan Yayasan Studi
Ilmu dan Teknologi Yogyakarta

Gustav Radbruch, 1950. Legal Philosophy, in the Legal


Philosophies of Lask, Radbruch and Dabin, translated by
Kurt Wilk, Massachusetts: Harvard University Press.

Henry B. Mayo, 1960. An Introduction to Democratic Theory.


Oxford University Press, New York.

Indrawati. (1999). Keterampilan Proses Sains, Tinjauan Kritis dari


Teori ke Praktis. Bandung: PPPG IPA.

Kuncoro, Mudrajad. 2007. Ekonomika Industri Indonesia Menuju


Negara Industri Baru 2030 (Edisi I). Yogyakarta: ANDI.

Mubyarto. 2000. Strategi Pembangunan Pedesaan . Bumi Aksara.


Jakarta.

Pujoalwanto, Basuki. 2014. Perekonomian Indonesia Tinjauan


Historis, Teoritis, dan Empiris. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Robinson, H. 1979. Economic Geography, Estover, Plymouth:


Magdonald and Evans.

Sandy. I.M.1985. Geografi Regional. Buku Teks Jurusan Geografi


FMIPA-UI. Jakarta: Puri Margasari.

Tarigan, Robinson. 2012. Perencanaan Pembangunan Wilayah


Edisi Revisi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

90
91
LAMPIRAN:

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN PURBALINGGA

TENTANG

RENCANA PEMBANGUNGAN INDUSTRI KABUPATEN


PURBALINGGA TAHUN 2018-2038

92
BUPATI PURBALINGGA
PROVINSI JAWA TENGAH
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA
NOMOR .... TAHUN 2018
TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN INDUSTRI KABUPATEN
PURBALINGGA
TAHUN 2018-2038

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI PURBALINGGA,
Menimban : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 11
g ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian, perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Rencana Pembangunan Industri Kabupaten
Purbalingga.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten Dalam
Lingkungan Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 24);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2013);
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang

93
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4421);
5. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
Tahun 2005 - 2025 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
6. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5492);
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik

94
Indonesia Nomor 5679);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015
tentang Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional Tahun 2015-2035 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5671);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015
tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 365,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5806);
12. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3
Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-
2025 (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah
Tahun 2008 Nomor 3);
13. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6
Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029 (Lembaran
Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 Nomor 6);
14. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10
Tahun 2017 tentang Rencana Pembangunan Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2017-2037 (Lembaran Daerah
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2017 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah
Nomor 94);
15. Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 1
Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun
2005-2025 (Lembaran Daerah Tahun 2009 Nomor
1);

95
16. Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 05
Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Purbalingga Tahun 2011-2031
(Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 05);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN
PURBALINGGA
dan
BUPATI PURBALINGGA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA
PEMBANGUNAN INDUSTRI KABUPATEN
PURBALINGGA TAHUN 2018-2038

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kabupaten Purbalingga.
2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang
memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom.
3. Bupati adalah Bupati Purbalingga.
4. Perangkat Daerah adalah organisasi atau lembaga
pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab
kepada Bupati dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan di Daerah yang terdiri atas
Sekretariat daerah, Dinas Daerah dan Lembaga

96
Teknis Daerah.
5. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi
yang mengolah bahan baku dan/atau
memanfaatkan sumber daya industri sehingga
menghasilkan barang yang mempunyai nilai
tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa
industri.
6. Kawasan Industri adalah kawasan tempat
pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi
dengan sarana prasarana penunjang yang
dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan
Kawasan Industri.
7. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan
lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Sentra Industri Kecil dan Industri Menengah
(Sentra IKM) adalah lokasi pemusatan kegiatan
industri kecil dan industri menengah yang
menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan
baku sejenis dan atau mengerjakan proses
produksi yang sama, dilengkapi sarana dan
prasarana penunjang yang dirancang berbasis pada
pengembangan potensi sumberdaya daerah serta
dikelola oleh suatu pengurus profesional.
9. Industri Unggulan Kabupaten adalah Industri yang
ditetapkan menjadi Industri unggulan dan utama di
Kabupaten Purbalingga.
10. Rencana Pembangunan Industri Provinsi Jawa
Tengah 2017-2037 yang selanjutnya disingkat RPIP
adalah adalah dokumen perencanaan yang menjadi

97
acuan dalam pembangunan industri di Provinsi
Jawa Tengah Tahun 2017-2037.
11. Rencana Pembangunan Industri Kabupaten Tahun
2018-2038 yang selanjutnya disingkat RPIK 2018-
2038 adalah dokumen perencanaan yang menjadi
acuan dalam pembangunan industri di Kabupaten
Purbalingga Tahun 2018-2038.

BAB II
MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
Maksud dibentuk Peraturan Daerah ini adalah:
a. pedoman pembangunan Industri bagi Perangkat
Daerah dan pelaku Industri, pengusaha dan/atau
institusi terkait; dan
b. pedoman bagi peran serta masyarakat dalam
pembangunan Industri Unggulan Kabupaten.

Pasal 3
Tujuan Peraturan Daerah ini dibentuk untuk:
a. mewujudkan kebijakan pembangunan Industri
nasional di Daerah;
b. menentukan sasaran, strategi dan rencana aksi
pembangunan Industri Unggulan Kabupaten;
c. mewujudkan Industri Daerah yang mandiri,
berdaya saing, maju dan berwawasan lingkungan;
d. mewujudkan pemerataan pembangunan Industri
Unggulan Kabupaten guna memperkuat dan
memperkukuh ketahanan nasional; dan
e. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat Daerah secara berkeadilan.

98
Pasal 4
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Daerah ini
meliputi:
a. Kewenangan Pemerintah Daerah;
b. Industri Unggulan Kabupaten;
c. RPIK 2018-2038;
d. Pelaksanaan; dan
e. Pembinaan, Pengawasan dan Pelaporan.

BAB III
KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 5
1) Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
bertanggung jawab atas pencapaian tujuan
pembangunan industri daerah.
2) Pembangunan Industri Daerah dilaksanakan sesuai
Kawasan Peruntukan Industri yang ditetapkan
dalam Tata Ruang.
3) Kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Perencanaan dan penetapan Kawasan
Peruntukan Industri;
b. Penyediaan infrastruktur Industri;
c. Pemberian kemudahan data dan informasi pada
wilayah daerah yang diperuntukkan bagi
pembangunan/ pengembangan Kawasan
Peruntukan Industri;
d. Pelayanan Terpadu Satu Pintu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. Pemberian insentif dan kemudahan lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

99
undangan;
f. Penataan kegiatan Industri untuk berlokasi di
Kawasan Peruntukan Industri; dan
g. Pengawasan pelaksanaan pembangunan
Kawasan Peruntukan Industri.
4) Pemerintah Daerah dapat
membangun/mengembangkan Kawasan Industri
pada Kawasan Peruntuan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a sesuai arahan
Pemerintah.

Pasal 6
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menjamin ketersediaan:
a. Infrastruktur industri; dan
b. Infrastruktur penunjang.

BAB IV
INDUSTRI UNGGULAN KABUPATEN
Pasal 7
(1) Industri Unggulan Kabupaten berdasarkan
Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)
yaitu :
a) Industri Pangan;
b) Industri Tekstil;
c) Industri Pengolahan Lainnya;
d) Industri Furniture;
e) Industri Alat Angkut Lainnya;
f) Industri Mesin;
g) Industri Barang Logam; dan
h) Aktivitas Produksi Gambar Bergerak, Video dan
Program Televisi, Perekaman Suara dan

100
Penerbitan Musik.
Selain Industri Unggulan Kabupaten sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat
mengembangkan Industri lain yang potensial dan
merupakan prioritas Kabupaten.

Pasal 8
(1) Pengembangan Industri Unggulan Kabupaten harus
memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat
setempat.
(2) Pemerintah Daerah menyiapkan sumber daya
manusia untuk masyarakat setempat dalam upaya
akses kesempatan kerja pada Industri Unggulan
Kabupaten.

BAB V
SISTEMATIKA
Pasal 9
(1) RPIK 2018-2038 sebagaimana dimaksud memiliki
sistematika sebagai berikut:
a. BAB I : PENDAHULUAN
b. BAB II : GAMBARAN KONDISI INDUSTRI
KABUPATEN PURBALINGGA
c. BAB III : VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN
PEMBANGUNAN INDUSTRI
KABUPATEN PURBALINGGA
d. BAB IV : STRATEGI DAN PROGRAM
PEMBANGUNAN INDUSTRI
KABUPATEN PURBALINGGA
e. BAB V : PENUTUP

(2) RPIK 2018-2038 berdasarkan sistematika


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum

101
dalam lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

BAB VI
RPIK 2018-2038

Pasal 10
(1) RPIK 2018-2038 ditetapkan untuk jangka waktu 20
(dua puluh) tahun.
(2) RPIK 2018-2038 sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali setiap 5
(lima) tahun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB VII
PELAKSANAAN

Pasal 11
(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan program pembangunan industri
dalam RPIK 2018-2038.
(2) Dalam melaksanakan program pembangunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat
bekerjasama dengan pemangku kepentingan.
(3) Pemangku kepentingan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri dari:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Provinsi;
c. Pemerintah Daerah;
d. Swasta;
e. Perguruan Tinggi;
f. Lembaga penelitian dan pengembangan; dan

102
g. Lembaga kemasyarakatan lainnya.
(4) Penyelenggaraan kerjasama sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengacu pada peraturan
perundangan-undangan yang mengatur tentang
kerjasama daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang kerjasama antara
Pemerintah Daerah dengan para pemangku
kepentingan diatur dengan peraturan Bupati.

BAB VIII
PEMBINAAN, PENGAWASAN DAN PELAPORAN

Pasal 12
(1) Bupati melakukan pembinaan, pengawasan,
monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
Peraturan Daerah tentang RPIK ini.
(2) Bupati membuat laporan kepada Gubernur 1 (satu)
kali dalam setahun atas pelaksanaan RPIK yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan
penyelenggaraan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Laporan pelaksanaan sebagimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit meliputi pertumbuhan
Industri, kontribusi sektor Industri terhadap PDRB,
penyerapan tenaga kerja sektor Industri, realisasi
investasi sektor Industri dan ekspor produk
Industri termasuk permasalahan dan langkah-
langkah penyelesaian sektor Industri.

BAB IX

103
PEMBIAYAAN

Pasal 13
Pembiayaan dalam pelaksanaan RPIK 2018-2038
dibebankan pada :
a. anggaran pendapatan dan belanja nasional;
b. anggaran pendapatan dan belanja provinsi;
c. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
d. sumber pembiayaan lain yang sah dan tidak
mengikat.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14
Peraturan daerah ini berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan


pengundangan peraturan daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran daerah Kabupaten
Purbalingga.

Ditetapkan di Purbalingga
Pada tanggal Desember 2018
BUPATI PURBALINGGA

DYAH HAYUNING PRATIWI

Diundangkan di Purbalingga

104
Pada tanggal Desember 2018
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN PURBALINGGA

WAHYU KONTARDI

BERITA DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2018


NOMOR : ...

PENJELASAN
ATAS

105
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA
NOMOR : TAHUN 2018
TENTANG
RENCANA PEMBANGUNAN INDUSTRI KABUPATEN
PURBALINGGA
TAHUN 2018-2038

I. UMUM
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah telah memberikan otonomi dan
kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Dalam
kaitannya dengan sektor industri, adanya pembagian urusan
pemerintahan memberi banyak peluang yang dapat
dimanfaatkan oleh daerah provinsi, kabupaten dan kota untuk
mempercepat pertumbuhan dan pengembangan industri di
daerah serta meminimalkan ketidakmerataan penyebaran
industri di wilayah Indonesia.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian telah meletakkan industri sebagai salah satu
pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup besar kepada
pemerintah untuk mendorong kemajuan industri nasional
secara terencana. Peran tersebut diperlukan dalam
mengarahkan perekonomian nasional untuk tumbuh lebih
cepat dan mengejar ketinggalan dari negara lain yang lebih
dahulu maju.
Pembangunan sektor industri di Kabupaten Purbalingga
mengacu pada beberapa hal penting diantaranya visi
pembangunan industri nasional yaitu “Indonesia menjadi
Negara Industri Tangguh”, selain itu terdapat visi

106
pembangunan industri Provinsi Jawa Tengah “Terwujudnya
Industri Jawa Tengah yang Berdaya Saing dan
Berkesinambungan”, selanjutnya visi pembangunan
Kabupaten Purbalingga 2005-2025 yang digaungkan sebagai

“Purbalingga yang mandiri dan berdaya saing menuju


masyarakat sejahtera yang berakhlak mulia”. Berdasarkan
visi pembangunan tersebut, maka visi pembangunan industri
Kabupaten Purbalingga Tahun 2018-2038 adalah
“Terwujudnya industri yang mandiri, berdaya saing dan
berkelanjutan guna meningkatkan perekonomian
masyarakat Kabupaten Purbalingga”.
Penyusunan RPIK Purbalingga mengacu pada Rencana
Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-
2035, Rencana Pembangunan Industri Provinsi Jawa Tengah
(RIPIP) tahun 2017-2037 dan Kebijakan Industri Nasional. RPIK
Purbalingga Tahun 2018-2038 disusun dengan
memperhatikan:
a. Potensi sumber daya industri daerah;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purbalingga;
c. Keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial
ekonomi serta daya dukung industri.
Penyusunan RPIK Purbalingga Tahun 2018-2038 selain
dimaksudkan untuk melaksanakan amanat ketentuan Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian juga dimaksudkan untuk mempertegas
keseriusan Pemerintah Kabupaten Purbalingga dalam
mewujudkan tujuan penyelenggaraan Pembangunan Industri
Unggulan Kabupaten Purbalingga 2018-2038 yaitu :

107
a. Meningkatkan pertumbuhan dan kontribusi sektor industri
terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Purbalingga;
b. Meningkatkan penguasaan pasar dalam dan luar negeri
serta mengurangi ketergantungan terhadap impor;
c. Membangun infrastruktur serta fasilitas industri yang
memadai;
d. Membangun struktur industri yang kuat secara vertikal dan
horizontal;
e. Meningkatkan kualitas dan kompetensi tenaga kerja,
inovasi dan penguasaan teknologi
f. Menumbuhkembangkan kegiatan penelitian dan
pengembangan produk industri;
g. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar lokasi
industri maupun masyarakat secara luas; serta
h. Mencegah terjadinya pemusatan atau penguasaan industri
oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan
masyarakat.
Penyusunan RPIK Purbalingga Tahun 2018-2038 mengacu
pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor
110/MIND/PER/12/2015 tentang Pedoman Penyusunan
Rencana Pembangunan Industri Provinsi dan Rencana
Pembangunan Industri Kabupaten /Kota dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas

108
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Infrastruktur industri” meliputi
jaringan energi dan kelistrikan, jaringan telekomunikasi,
jaringan sumber daya air dan jaminan pasokan air baku,
sanitasi dan jaringan transportasi
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Infrastruktur penunjang” meliputi
perumahan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan
pengembangan, kesehatan, pemadam kebakaran dan tempat
pembuangan sampah.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas

109
Pasal 14
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA


NOMOR :

110

Anda mungkin juga menyukai