Anda di halaman 1dari 68

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN


TENTANG
UNDANG-UNDANG NOMOR 7TAHUN 1996
TENTANG PANGAN

DISUSUN OLEH :

BAG IAN PERANCANGAN UNDANG-UNDANG BIDANG INDAG

DEPUTIPERUNDANG-UNDANGAN

SETJEN DPR RI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-
Nya-Iah Tim Penyusun dapat menyelesaikan Naskah Akademik dan Draft Awal Rancangan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dapat diselesaikan tepat waktu.
Adapun pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik dan Draft Awal RUU tersebut
berdasarkan pada Surat Keputusan Sekretaris Jenderal DPR RI Nomor 109/SEKJEN/2009 tertanggal
30 Januari 2009.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka bersama ini disampaikan Naskah Akademik dan
Draft Awal Rancangan Undang-Undang tersebut dengan harapan Naskah Akademik dan Draft Awal
Rancangan Undang-Undang ini dapat bermanfaat.
Akhir kata Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam proses penyusunan Naskah Akademik
dan Draft Awal Rancangan Undang-Undang ini.

Jakarta, Desember 2009


Ketua Tim,

Ora. TRI BUOI UTAMI, M.Si


DAFTAR lSI

BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang.................................................................................................... 1
B Identifikasi Masalahan '" '" .. 3
C Tujuan dan Kegunaan......... 4
o Metode Penyusunan................................................ 4

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL


A Pengertian Pangan dan Ketahanan Pangan
A.1 Pangan...................................................... 5
A.2 Ketahanan Pangan........................................................................ 6
B Kebijakan dan Strategi Nasional Penyelenggaraan Ketahanan Pangan...... 16
C Struktur/Kelembagaan Penyelenggaraan Ketahanan Pangan... 19
o Perkembangan Ketahanan Pangan di Indonesia......................................................... 20

BAB III LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS


A Landasan Filosofis............................................................................................... 24
B Landasan Sosiologis... 27
B.1 Keamanan Pangan..................................................................................... 27
B.2 Bahan Tambahan Pangan........................................................................... 30
C Landasan Yuridis........................... 31

BAB IV RUANG L1NGKUP PENGATURAN


A Materi Muatan... 34
A.1 Jaminan Ketersediaan Pangan...................................................................... 34
A.2 Jaminan Ketersediaan Lahan Pangan............................................................. 36
A.3 Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah...... 44
A.4 Pengaturan Jaminan Keamanan Produk Pangan......... 47
A.5 Teknologi Pangan , 48
A.6 Peran Serta Masyarakat.............................................................................. 50
A.7 Hak dan Kewajiban............ 54
B Usulan Sistematika RUU...... 60

BAB V PENUTUP
A Kesimpulan................................................... 62
B Saran... 62

Daftar Pustaka
1

BABI
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan
pangan merupakan bagian dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat
penting sebagai kampanen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan, setiap negara akan
mendahulukan pembangunan ketahanan pangannya sebagai fondasi bagi pembangunan
sektar-sektor lainnya. Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin
ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang,
baik pada tingkat nasianal, daerah hingga rumah tangga. Ketahanan pangan harus
diwujudkan secara merata diseluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan
sumber daya, kelembagaan, dan budaya loka!.
Dalam perjalanan perkembangan pembangunan pangan, Indonesia dulu dikenal
sebagai negara agraris karena sebagian besar rakyatnya bermata pencaharian sebagai
petani, dengan produk pertanian padi yang pada tahun 1984 - 1985 pemah menjadi
negara swasembada beras. Namun akhir-akhir ini Indonesia lebih dikenal sebagai salah
satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Tingginya kebutuhan beras dalam neger;
tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi bangsa sendiri oleh karena beberapa faktor, antara
lain perubahan fungsi lahan produktif menjadi kawasan pemukiman atau industri, dan
belum banyaknya diversifikasi pangan.
Ketersediaan pangan tingkat nasional dan regional tidak menjamin adanya
ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini disebabkan karena di
samping ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumah tanggalindividu sangat
ditentukan pula aleh akses mereka untuk mendapatkan pangan tersebut. Dalam hal in;
tingkat pendapatan dan daya beli merupakan faktor penentu akses rumah tangga terhadap
pangan. Selain itu, di tingkat pengambilan kebijakan, kejadian rawan pangan antara lain
2

terkait dengan masalah stabilitas harga pangan dan manajemen atau pengelolaan
cadangan/stok pangan.
Mewujudkan ketahanan pangan, merupakan tanggungjawab bersama antara
Pemerintah dan masyarakat. Dimana Pemerintah menyelenggarakan pengaturan,
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan oleh daya
beli masyarakat. Tanggung jawab masyarakat antara lain dengan meningkatkan kualitas
produksi pangan dan keseimbangan dalam penggunaan produk pangan itu sendiri.
Dalam mewujudkan tanggungjawab dan untuk membangun sistem yang menjamin
adanya kontrol di tingkat produksi hingga di konsumsi tersebut, pada Tahun 1996,
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
(Undang-Undang Pangan). Dalam Undang-Undang tersebut bahwa seluruh aspek dalam
sistem pangan diatur dengan mengintegrasikan dengan undang-undang lainnya yang
mengatur tentang bahan-bahan pangan baik itu olahan dan bukan olahan, bahan pangan
lain selain pertanian seperti ternak, perkebunan, perikanan, dan hasil olahan industri.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia dengan kondisi jumlah
penduduk di atas 200 juta jiwa, cakupan luas dan sebaran daerah yang meliputi ribuan
pulau, serta pola konsumsi, baik jenis, proporsi, ataupun pola menu yang demikian
beragam, dengan kondisi dUkungan infrastruktur dan sarana prasarana yang sangat
heterogen, termasuk masih banyaknya daerah yang termasuk terisolir, maka aspek
pengadaan/penyediaan maupun distribusi bahan pangan bukanlah hal yang mudah. Untuk
memenuhi kebutuhan standar keterjangkauan, baik menyangkut ketersediaan bahan
pangan ataupun menyangkut keterjangkauan harga sesuai dengan harga beli masyarakat,
tidak cukup hanya mengandalkan tata niaga/pola distribusi alokasi dari sentra produksi ke
sumber konsumen, tetapi juga harus dibarengi dengan distribusi dan alokasi proses
produksi secara menyeluruh pula.
Selanjutnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menguat persoalan
diseputar pengawasan kualitas dan kandungannya, proses produksi dan labeling halal
pada kemasannya. Sering muncul kasus seperti keracunan makanan, beredarnya
makanan kadaluarsa, makanan yang mengandung bahan tertentu yang berbahaya, dan
3

bahkan terdapat makanan dengan kandungan tertentu yang mengancam keyakinan


beragama konsumen.

B. JDENTIFIKASJ MASALAH
Undang-Undang Pangan dimaksudkan untuk menjadi acuan dari berbagai
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan, baik yang sudah ada
maupun yang akan dibentuk, serta menjadi landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan,
dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau
perdagangan pangan. Permasalahan yang akan dituangkan dalam penyusunan Naskah
Akademik RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1986 adalah
sebagai berikut :
1. Materi muatan dalam Undang-Undang Pangan sifatnya sangat umum dan banyak
dilakukan pendelegasian pengaturan sehingga dalam pelaksanaannya ditemui
beberapa kendala. Terutama dalam hal penegakan hukum menyangkut penerapan
sanksi yang relatif masih rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
2. Konsep ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan belum menjawab
penyediaan pangan dan produksi pangan dalam negeri, hal ini berkaitan dengan
kelembagaan pangan.
3. Belum adanya pengaturan yang jelas dan tegas menyangkut keamanan pangan
(Iabelisasi) untuk dikonsumsi masyarakat, misalnya dalam hal pencantuman tanggal
kadaluarsa.
4. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan BUdaya) dimana pangan adalah
bag ian dar; HAM (right to food), dan merupakan hak asasi manusia dibidang sosial,
ekonomi, dan budaya. Negara bertanggungjawab untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak atas pangan serta menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya
(terutama distribusi pangan dan kemudahan rakyat untuk mengakses pangan).
4

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN


Kegiatan penyusunan Naskah Akademik bertujuan dan berguna untuk : Pertama,
memberikan masukan yang bersifat substansi maupun secara akademik, sebagai bahan
untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pangan. Kedua,
memberikan gambaran mengenai permasalahan di bidang pangan, khususnya yang
berkaitan dengan ketahanan pangan, dengan disertai alternatif solusi berdasarkan teori,
dan ketentuan peraturan perundenp-undenqan yang berlaku, serta sebagai
panduan/acuan da/am penyusunan dan perumusan pasal-pasa dalam perubahan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1986 tentang Pangan.

D. METODE PENYUSUNAN
Penyusunan Naskah Akademik dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
1. Pendekatan Statuta (Statute Approach)
Pendekatan statuta digunakan untuk mengkaji suatu permasalahan dengan melihat
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait dengan Pangan.
Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui dan mengungkapkan secara akademik
permasalahan-permasalahan yang akan diatur da/am perubahan RUU tentang Pangan.
Di samping itu juga sebagai acuan dalam penyusunan draft RUU perubahan UU
tentang Pangan.
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Pendekatan konsep yang dimaksud adalah menggunakan konsep hukum dan
pelaksanaan tugas serta fungsi dari instansi terkait. Konsep yang digunakan dalam
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan memiliki keterkaitan dengan konsep
produksi, peredaran, perdagangan, dan atau jaminan ketahanan pangan.
3. Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan mengadakan penelusuran bahan-bahan melalui
internet, dokumen dan data, buku-buku Iiteratur, daftar pustaka yang terkait dengan
pangan dan ketahanan pangan, dan peraturan perundang-undangan lainnya di biro
hukum dan perpustakaan
5

BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL

A. Pengertian Pangan dan Ketahanan Pangan


A.1. Pangan
Pangan adalahsegala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik
yang diolah maupun tidak diolah, yang d;peruntukkan sebagai makanan atau minuman
bagi konsumen manusta, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan
bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau
pembuatan makanan atau minuman. Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam
wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib memenuhi persyaratan tertentu, begitu pula
terhadap pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan,
Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji
dan atau diperiksa dari seg; mutu, keamanan, mutu, persyaratan label, dan atau giz;
pangan.
Masalah yang terkait dengan peraturan perundangan yang berkahan dengan
pangan adalah adanya dua spirit yang berbeda yanu:
1. Spirit kehati-hatian
Semangat untuk melindungi kesehatan/keamanan konsumen merupakan tUjuan
utama agar masyarakat dapat mendapatkan pangan yang sehat, bermutu, bergizi
dan tidak disesatkan/dibohongi.
2. Spirit pengembangan industri pangan yang efisien secara ekonomi dan teknologi
Pelaku usaha yang utama dalam penyediaan pangan adalah perusahaan/industri
yang dituntut dapat efisien, praktis dan mendapatkan kemudahan tertentu (fasilitas
dan dari Pemerintah agar masyarakat dapat memperoleh pangan yang
terjangkau, murah, mudah, dan industri perlu dipacu untuk dapat meningkatkan
efisiensinya sehingga kompetitif dan mampu menjalankan roda ekonomi secara
baik, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan ekonomi negara.
6

Kedua spirit tersebut seringkali menimbulkan dilema yang harus dapat diselesaikan
secara baik antara Pemerintah dengan pelaku usaha yang ditunjang oleh para
cendekiawan/ilmuwan, melalui penggunaan analisa resiko, dalam hal ini kebijakan-
kebijakan untukdlterapkan kepada hal-hal yang termasuk resiko tinggi, resiko sedang
dan resiko rendah.
1. Resiko tinggi (high risk) adalah apabila kebijakan tersebut menyangkut pada
resiko kesehatan langsung, misalnya kondisi hygiene dalam proses produksi dan
transportasi, penggunaan bahan berbahaya atau bahan tambahan pangan,
kontaminasi fisik, kimia atau mikrobiologi, dan lain-lain. Untuk itu Pemerintah perlu
membuat technical regulation dengan berdasarkan data ilmiah dengan evaluasi
yang rasional, dan bila ada, berdasarkan referensi di beberapa negara, sehingga
sangat memungkinkan direalisasikannya kebijakan tanpa kompromi.
2. Resiko menengah (medium risk) adalah kelompok yangg harus hati-hati dalam
kebijakan yang sebetulnya tidak terlalu berbahaya tetapi perlu diatur guna
memberikan informasi yang benar, tidak membohongi konsumen misalnya khasiat,
berat, volume.
3. Resiko rendah (low risk) bila kebijakan tersebut bersifat voluntary atau sukarela.
Dalam UU Pangan, kelompok resiko menengah sebenamya telah ditampung
dalam Pasal 30 ayat (3) yang berbunyi "Selain keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemerintah dapat menetapkan keterangan lain wajib atau dilarang untuk
dicantumkan pada label pangan". Dalam Undang-Undang tersebut, kata "dapaf
mengidentifikasikan tidak harus tetapi mungkin bila dipandang perlu. Untuk melihat
keperluan tersebut, sebaiknya dipahami bahwa hal tersebut perlu bagi Pemerintah,
perlu bagi produsen dan perlu bagi konsumen, sehingga cara-cara
kesepakatan/konsensus menjadi kata kunci sebelum suatu peraturan yang termasuk
kelompok medium risk ini dibuat, dengan mempertimbangkan aspek teknis kesehatan,
teknis produksi, ekonomi dan sosial.
A.2. Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
7

aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting
dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang
berkualitas, mandiri, sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah
Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan
pangan, dimana Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan Pemerintah
mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala
kekurangan pangan dan rawan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau
manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan sehingga diperlukan cadangan
pangan nasional. Sedangkan tanggung jawab masyarakat antara lain dengan
meningkatkan kualitas produksi pangan dan keseimbangan dalam penggunaan produk
pangan itu sendiri.
Mengenai ketahanan pangan kita tidak lepas dari ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (PP 68/2002). PP 681
2002 telah memberikan ruang dan akomodasi dalam penyelenggaraan fungsi
ketahanan pangan didaerah, dan yang menjadi kendala adalah persepsi stake holders
dalam menyikapi ketahanan pangan. Banyak kalangan melihat bahwa ketahanan
panngan masih terbatas dalam kacamata produksi pangan, sehingga sering ditafsirkan
bahwa kondisi ketahanan pangan adalah peningkatan produksi pangan semata.
Dasar penentuan cadangan pangan Pemerintah dan cadangan pangan
masyarakat adalah :
1. Undang-Undang Nomor 7Tahun 1996 tentang Pangan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
3. Keputusan Bersama Menko Bidang Perekonomian dan Menko Bidang Kesra Noor :
46/M.Eko108/2005 dan Nomor 34/KP/Menko KesraNIII/2005 tanggal9 agustus 2005
tentang Pedoman Umum Koordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah.
8

4. Surat Menteri Pertanian RI Nomor : 64/PP.310/M/2006 TANGGAL 13 maret 2006


perihal Pengelolaan Cadangan Pangan yang ditujukan kepada seluruh Gubernur
dan BupatilWalikota.
5. Surat Menteri Pertanian RI Nomor : 89/PP310/M/2008 tanggal 9 April 2008 perihal
Penyelenggaraan Cadangan Pangan Daerah.
Kendala yang dihadapi dalam penanganan masalah ketahanan pangan adalah
belum berjalannya sistem informasi ketahanan pangan, minimnya dana penanganan
ketahanan pangan dan lemahnya koordinasi antara instansi terkait. Sebab ketahanan
pangan adalah hal yang kompleks, termasuk· ketersediaan pangan, distribusi dan
konsumsi serta keamanan pangan, oleh sebab itu tidak bisa diselesaikan oleh satu
aspek saja. Kendala lain adalah kurangnya dana untuk melakukan intervensi terhadap
kasus kejadian kerawanan pangan yang terjadi dimasyarakat.
Masalah yang sering dihadapi dalam implementasi ketiga sub sistem
ketahanan pangan (ketersediaan, distribusi, dan konsumsi) pada dasamya terletak
pada sub sistem konsumsi pangan. Kondisi. tersebut merupakan gambaran bahwa sub
sistem konsumsi pangan .sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pemahaman,
pengetahuan serta perilaku penduduk serta kemampuan daya beli (purchasing power)
penduduk. Kemampuan daya beli penduduk terhadap bahan pangan yang bergizi
sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan penduduk dengan prevalensi kemiskinan
penduduk yang relatif rnoderat, maka pencapaian gizi yang baik masih memerlukan
perjuangan panjang. Ketersediaan pangan di tingkat makro tidak dipengaruhi
pemasukan dari daerah lain, sedangkan ketersediaan pangan di tingkat mikro (rurnsh
tangga) akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kemampuan daya beli sebagaimana
kendala yang dihadapi dalam pencapaian konsumsi pangan. Ada 3 subsistem
ketahanan pangan yang menjadi indikator ketahanan pangan yaitu ketersediaan
(produksi), distribusi, dan konsumsi.
1. Produksi
Kendala ketersediaan pangan adalah masih tinggi tingkat ketergantungan
antara satu daerah dengan daerah lain, masih adanya titik rawan pangan di
sejumlah daerah terkait dengan lemahnya daya beli yang disebabkan oleh
9

kemiskinan. Penanggulangan masalah pangan diselenggarakan untuk


menanggulangi terjadinya kelebihan pangan, kekurangan pangan, dan/atau
ketidakmampuan rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan, demikian
Pasal11 PP 68/2002. Penanggulangan tersebut dilakukan dengan:
a. pengeluaran pangan apabila terjadi kelebihan pangan;
b. peningkatan produksi dan/atau pemasukan pangan apabila terjadi kekurangan
pangan;
c. penyaluran pangan secara khusus apabila terjadi ketidakmampuan rumah
tangga dalam memenuhi kebutuhan pangan;
d. melaksanakan bantuan pangan kepada penduduk miskin.
Pemberian bantuan pangan kepada penduduk miskin merupakan
instrumen yang menjadi prioritas kebijakan Pemerintah Daerah. Sebaiknya
bantuan pangan yang diberikan adalah bantuan pangan khusus yaitu baik berupa
produk pangan siap konsumsi maupun berupa program-program. Bantuan pangan
siap konsumsi dapat diberikan kepada keluarga yang mengalami ketidakmampuan
dalam memenuhi komsumsinya, sedangkan bantuan berupa program dapat
diberikan untuk menjaga kondisi keluarga agar secara berkelanjutan mampu
memenuhi kebutuhan pangannya.
2. Distribusi
Ada keeratan hubungan antara pertambahan penduduk dengan
pembangunan, sehingga diperlukan upaya yang maksimal untuk tercapainya
kondisi ketersediaan pangan bagi penduduk di Indonesia, karena pada intinya
kebijakan pangan di suatu negara bertujuan untuk menjamin tersedianya pangan
yang adil dan merata di tingkat masyarakat, rumah tangga dan perseorangan,
sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat sehingga terpenuhi gizinya.
Salah satu indikator strategis dan penting untuk diantisipasi dalam masalah
pangan yaitu distribusi pangan. Hal ini disamping wilayah Indonesia yang terdiri
dari beragam pulau-pulau, terutama adalah pembenahan secara sungguh-
sungguh sistem distribusi pangan yang ada. Indonesia dengan jumlah konsumen
yang besar merupakan pasar yang sangatmenarik bagi produsen pangan dunia.
10

Dengan dorongan bagi terbukanya pasar domestik Indonesia menyebabkan


berbagai produk dipasarkan ke Indonesia, hal ini dikhawatirkan dapat
menimbulkan masalah baru dalam ketahanan pangan.
Distribusi pangan pada dasarnya diserahkan pada mekanisme pasar dan
melalui kebijakan harga yang mantap untuk merangsang dunia usaha dan
masyarakat dalam rnendistribusikan pangan, kebijakan ini ditempuhuntuk
rnemelihara kernantapan swasembada pangan, rneningkatkan efektivitas dan
efisiensi distribusi pangan dan pada akhirnya meningkatkan daya beli masyarakat
serta kernarnpuan penyediaan pangan yang diperlukan. Hanya apabila ada
indikasi kegagalan pasar maka Pemerintah akan ikut campur sesuai dengan
kondisi subyektif untuk rnenjamin tercapainya tujuan distribusi tersebut.
Penataan dan pemantapan sistem distribusi pangan yang efektif dan
efisien pada dasarnya rnerupakan syarat utama terwujudnya swasernbada pangan,
narnun yang lebih penting adalah bagairnana sistem tersebut rnarnpu rnernberi
kernanfaatan dan kernaslahatan bagi semua pihak, termasuk dampak social,
ekonomi, dan budaya bagi rakyat banyak baik produsen ataupun konsurnen.
Distribusi pangan bersifat dinarnis karena perkembangan dan karakteristik
pada kornoditas pangan yang beragam. Pada saat defisit karena sumber
penawaran lokal tidak mencukupi, maka situasi pasar harus dirangsang untuk
dapat tercapainya perdagangan antar daerah yang rnencukupi dengan tingkat
harga yang dapat realistis dan terjangkau. Sebaliknya pada kondisi surplus,
perbedaan harga anatr daerah harus dapat dijaga sehingga sistern distribusi
dapat menyebar rnengisi kantong-kantong .daerah yang kekurangan, dan
selebihnya rnenjadi kewajiban Pemerintah untuk rnenampungnya untuk rnenjaga
tingkat harga yang rnernadai.
Masalah distribusi akan sernakin kompleks bila dihadapkan pada
kepentingan konsurnen yang menuntut pangan semakin berkualitas, beragarn
jenisnya dan praktis. Pilihan apakah pangan yang dikonsumsi berasal dari
produksi dalarn negeri atau import sangat tergantung dari bagaimana pangan
tersebut mampu memenuhi kebutuhannya. Kondisi ini juga dipicu kenyataan
11

semakin menyebarnya pusat-pusat produksi pangan, menyebabkam sistem


distribusi pangan menuntut perencanaan yang lebih komprehensif dan kompleks
dnegan jaringan pasar yang makin meluas. Mudahnya akses bagi konsumen untuk
memperoleh komoditas pangan mengakibatkan semakin berkembangnya jaringan
pemasaran pangan dan terbukanya kompetisi berbagai komoditas pangan sejenis.
Antisipasi yang dapat dilakukan adalah penerepana kebijakan haraga yang
longgar dan mendorong peran serta dunia usaha swasta dalam perdagangan
antar waktu maupun antar tempat.
Jaringan pemasaran harus dikembangkan agar. dapat memenuhi
kebutuhan konsumen dan memberikan jaminan pendapatan yang memadai bagi
produsen, hal ini harus disertai dengan pembentukan pasar yang terbuka dengan
harga kompetitif. Namun demikian campur tangan pemerintah dalam penentuan
kebijakan harga masih diperlukan terutama untuk menjaga persaingan yang sehat
dan menjamin stabilisasi keamanan pangan.
Distribusi pangan belum dapat dilakukan secara merata dan berkeadilan
karena faktor infrastruktur yang belum memadai, terutama prasarana dan sarana
transportasi daarat dan air. Panjangnya jalur distribusi (geografis dan infrastruktur)
mengakibatkan harga pangan menjadi f1uktuatif dan cenderung menjadi mahal.
Selain itu, sistem distribusi pangan telah ditentukan oleh mekanisme pasar,
sehingga harga yang terbentuk ditentukan oleh pasar. Pada sisi lain pangan
adalah masalah hak asasi, dimana pemenuhannya tidak bisa ditunda, sehingga
diperlukan adanya peranan Pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak tersebut
secaralebih maksimal.
3. Konsumsi
Masalah utama yang dihadapi dalam konsumsi pangan adalah
problematika gizi ganda. Oi satu sisi, masih tersebar jutaan penduduk yang hidup
di bawah garis kemiskinan dan kekurangan gizi, namun di sisi lain, sebagai
dampak kesuksesan pembangunan dan tidak adanya pengawasan yang ketat
terhadap produk impor, timbul gizi lebih pada sebagian warga masyarakat yang
dipengaruhi pola makan, konsumsi makan yang berlebihan, dan
12

ketidakseimbangan gizi. Gizi lebih, cenderung menyebabkan penyakit degeneratif


seperti jantung dan liver. Kondisi ini harus ditangani melalui peningkatan program
perbaikan gizi yang lebih terarah serta pemberian pengetahuan yang lebih
mendasar kepada masyarakat tidak hanya melihat kemasan suatu produk pangan
tetapi lebih jauh memperhatikan kandungan yang ada pada produk pangan
tersebut.
Mutu gizi makanan penduduk ditentukan oleh jumlah dan macam zat-zat
gizi yang dikonsumsi, semakin beragam sumber zat-zat gizi yang dikonsumsi
seseorang makin besar kemungkinan terpenuhinya kebutuhan gizinya. Faktor-
faktor penting dalam pemenuhan gizi antara lain 1:
1. Faktor kecukupan, tersedianya bahan pangan untuk mencukupi kebutuhan.
Penyediaan pangan ini harus diupayakan dari dalam negeri, impor hanya
dilakukan apabila diperlukan apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi.
2. Faktor daya beli, tersedianya pendapatan yang memadai dan kestabilan harga
agar masyarakat mampu untuk membeli bahan pangan.
3. Faktor distribusi, tersedianya pangan yang cukup diseluruh wilayah dalam
waktu tertentu dan jumlah yang memadai.
4. Faktor gizi, yaitu tersedianya produk pangan yang memenuhi kebutuhan gizi,
baik secara kualitas maupun kuantitas.
5. Faktor kesadaran dan pengetahuan gizi, yaitu kesadaran dan pengetahuan
penduduk mengenai gizi masyarakat dapat mengkonsumsi pangan sesuai
dengan harapan gizi seimbang.
Panduan mengenai keseimbangan pola konsumsi pangan telah ditetapkan
oleh Food and Agriculture Organization (FAD), dimana susunan hidangan
makanan yang dianggap baik apabila mengandung 10-12% enerji dan protein, 20-
25% dari lemak, dan sisanya 63-70% dari karbohidrat. Pola pangan versi FAD ini
tidak sepenuhnya cocok diterapkan di Indonesia, oleh karena itu perlu dimodifikasi
sesuai dengan kondisi Indonesia.

1 Untukmu Dewan Ketahanan Pangan, hal. 30.


13

Dalam praktek, patokan pola pangan disusun dalam Pola Pangan Harapan
(PPH) yang diartikan sebagai susunan beragam pangan atas kelompok pangan
yang didasarkan atas sumbangan enerjinya terhadap total enerji yang mampu
mencukupi kebutuhan konsumsi pangan dan gizi dari segi jumlah, kualitas, ragam,
dengan mempertimbangkan segi-segi sosial, ekonomi, budaya, agama, dan eita
rasa. Orang Indonesia tidak memerlukan lemak tinggi, tetapi cukup sekitar 18-22%
dan enerji dari protein sama yaitu 10-12% sedangkan sisanya 66-72% disediakan
oleh karbohidrat. Sumbangan enerji dari hewani eukup sekitar 15% dan tidak
harus 20% supaya tidak menimbulkan kekhawatiran kemungkinan meningkatnya
masalah gizi lebih.
Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah
menjadi 2 kali Iipat dan jumlahnya sekarang, menjadi ± 400 juta jiwa 2. Dengan
meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, pula peningkatan
konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang
akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih
dari 2 kali jumlah kebutuhan saat ini. Rata-rata konsumsi pangan per kapita per
tahun rakyat Indonesiauntuk beberapa pangan penting adalah sebagai berikut3:

1. Beras 133 kg (tertinggi di dunia).


2. Jagung 5,93 kg.
3. Ikan 12,5 kg (rata-rata dunia 16 kg).
4. Ayam 3,8 kg.
5. Daging 7,10 kg.
6. Telur 52 butir.
7. Susu 6,50 kg.
8. Ketela pohon 9,93 kg.
9. Buah-buahan 40,06 Kg).

2 http://pangan.agroprima.com/index.php?option=com content&task=view&id=34&ltemid=1, 15 Juni 2009 pukul


16.17.

3 Ibid.
14

10. Gula 15,6 kg (rata-rata dunia 25,1 kg).


11. Kedelai 6,01 kg (rata-rata dunia 7 kg).
12. Sayur-sayuran 37,94 kg.

Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, dengan kecepatan yang meningkat


semakin banyak mengkonsumsi roti dan mie, yang bahan bakunya gandum,
bahan makanan yang belum dapat kita produksi sendiri. Jenis-jenis makanan
Eropa/Amerika berupa roti, hamburger, serta makanan Jepang, kuat sekali
merasuk ke masyarakat kita khususnya golongan berpenghasilan tinggi. Akibatnya,
sejak tahun 1996 setiap tahun kita mengimport gandum 4,5 juta ton.

BPS setiap 3 tahun mengumpulkan data perkembangan konsumsi


(SUSENAS) berbagai komoditas yang kemudian dikelompokan ke karbohidrat
yang diukur dengan kilo kalori (kkal) dan protein yang diukur dengan gram, dan
kedua unsur pangan tsb amat dibutuhkan manusia agar dapat bekerja dan hidup
sehat. Pada tahun 1984 misalnya, konsumsi karbohidrat/kalori untuk masyarakat
Indonesia telah mencapai 2.021 kkal per kapita/hari dan terus meningkat dari
tahun ketahun yaitu menjadi 2.237 kkal di tahun 1996 (Jatileksono 1997).
Demikian juga konsumsi protein, pada tahun 1984 hanya 48,6 gram dan
meningkat menjadi 60,9 gram tahun 1996. Peningkatan ini tentu terkait erat
dengan peningkatan pendapatan masyarakat dan pengetahuan masyarakat
terhadap kesehatan.

Hal terakhir yang sangat penting dalam konsumsi pangan adalah


keamanan pangan (food safety) merupakan masalah yang banyak dihadapi oleh
negara-negara berkembang termasuk indonesia. Hal ini biasanya disebabkan
adanya kontaminasi kuman penyakit dan kontaminasi kimia serta berbagai bahan
beracun di dalam makanan yang dikonsumsi. betapapun tinggi gizinya, lezat
rasanya serta menarik penampilannya, namun bila tidak menyehatkan, makanan
tersebut tidak ada artinya. Dalam hal ini, masyarakat perlu mendapat perlindungan
yang cukup terhadap keamanan bahan pangan yang dikonsumsi. dengan
15

meningkatkan mutu dan kesehatan pangan dalam negen Juga akan dapat
meningkatkan citra yang positif bagi perdagangan internasional.

Konsep ketahanan pangan perlu dikuatkan dalam Undang-undang tentang


pangan dengan komitmen yang lebih konkret dan terjamin mengenai kewajiban
Pemeritah di bidang pangan, terutama ketegasan menganai siapa yang
memproduksi, dari mana diproduksi dan bagaimana pangan tersedia.
Dalam Pasal17 PP 68/2002 disebutkan bahwa untuk mewujudkan ketahanan
pangan dilakukan perumusan kebijakan, evaluasi dan pengendalian ketahanan
pangan dengan berkoordinasi dengan Dewan Ketahanan Pangan. Dalam
melaksanakan tugasnya, Dewan Ketahanan Pangan dibantu oleh Sekretariat
Dewan yang secara ex-officio dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan yang
merupakan unit kerja struktural di lingkungan Departemen Pertanian. Berdasarkan
PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, bidang
ketahanan pangan dan bidang pertanian dinyatakan sebagai urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah, dimana ketahanan pangan
merupakan urusan wajib, sedangkan pertanlan merupakan urusan pilihan.
Dengan adanya berbagai ketentuan tersebut, seharusnya terhadap
penanganan ketahanan pangan ditingkat daerah terjadi penguatan kelembagaan.
Namun kenyataannya belum semua daerah melaksanakan ketentuan ini
sebagaimana mestinya. Beberapa daerah telah menjadikan urusan ketahanan
pangan ditangani oleh setingkat Badan, sedangkan di beberapa daerah lain
ditangani oleh unit setingkat kantor, bahkan ada pula yang menjadikan urusan
ketahanan pangan ini hanya merupakan bagian dari stuktur dinas daerah atau
bagian dari struktur Sekretaris Daerah.
Hal tersebut menunjukkan lemahnya pemahaman urusan pangan di tingkat
daerah, dimana implementasi dari peraturan pelaksanaan tentang kelembagaan
urusan pangan belum dijalankan secara seragam di tingkat daerah. Urusan
pangan ada yang ditangani oleh Dinas Pertanian atau hanya menjadi bagian
urusan ekonomi di Iingkungan Sekretaris Daerah. Akibatnya koordinasi dan
16

implementasi kebijakan akan mengalami kendala karena tingkat urgensi urusan


pangan ditingkat daerah berbeda-beda.
Mengingat ketahanan pangan merupakan urusan wajib, maka untuk
penanganan masalah ketahanan pangan di daerah, perlu segera dibentuk struktur
organisasi unit kerja Ketahanan Pangan Daerah dengan tugas pokok dan
fungsinyamelaksanakan koordinasi dan operasionalisasi fungsi-fungsi pangan.

B. Kebijakan dan Strategi Nasional Penyelenggaraan Ketahanan Pangan


Sejarah pangan sarna lamanya dengan sejarah umat manusia itu sediri. Mulai dari
berburu, meramu, perladangan berpindah hingga pertanian menetap (agriculture), dan
pertanian modem sebagaimana yang berkembang saat ini merupakan proses evolusi
segala upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Lowdermilk (1948) 4
bahkan menunjukkan bahwa dalam proses pencarian upaya pemenuhan kebutuhan
pangan itu, manusia bukan hanya mendapatkan sumber pangan tetapi juga meninggalkan
berbagai jenis kerusakan alam seperti gurun pasir atau kota mati.
Perkembangan peradaban yang didukung oleh keberhasilan manusia memenuhi
kebutuhan pangannya tersebut temyata menghasilkan kenyataan bahwa manusia semakin
tergantung pada satu atau dua jenis tanaman utama saja, khususnya terdiri dari kelompok
serealia. Masyarakat Asia sangat tergantung pada padi (beras) dan masyarakat Barat
sangat tergantung kepada gandum (wheaQ. Tanpa kedua jenis makanan ini seolah-
olah "kiamatlah sudah dunia ini", walaupun alam ini memberikan berbagai jenis makanan
yang nilai kandungan bahan kimianya dapat mencukupi kebutuhan gizi bagi manusia.
Ketergantungan ini merupakan faktor utama yang menyebabkan
pemusatan pangan dari banyak jenis pada saat tahapan evolusi manusia sebagai pemburu
dan peramu ke hanya sedikit jenis pangan pokok pada era pertanian sekarang ini.
Economies of scale dalam sistem produksi pangan yang sangat besar untuk padi dan
gandum ini didukung oleh economies of scale yang sangat tinggi 'pula dalam hal konsumsi

4 Lowdermilk, C.W. 1948. Conquest of the Land Through Seven Thousand Years. USDA. Lowdermilk
menguraikan bahwa perkembangan peradaban (pertanian) di Syria mewariskan sekitar satu juta hektar lahan
yang hancur akibat erosi tanah, hancumya hutan diLebanon, dan kota-kota yang hilang karena erosi tanah yang
telah menimbunnya (kisah Hundred Dead Cities).
17

pangan. Bahkan dapat dikatakan bahwa "at any cosf' kebutuhan akan padi atau gandum
ini diupayakan untuk memperoleh kepastian akan tersedianya beras karena tanpa adanya
beras, seolah-olah Indonesia terancarn akan "ambruk".
Di sinilah letaknya makna ketahanan pangan yang utama, yaitu bagaimana kita
bisa dan kuat mentransformasi sesuatu yang telah membudaya, yaitu kebiasaan atau habit
dari sebagian besar masyarakat kita yang sangat tergantung kepada beras dalam
memaknai sumber utama pangan kita, ke arah pola pangan yang bukan hanya hemat dan
waspada tetapi juga bersumber dari keanekaragaman pangan yang telah disediakan oleh
alam di sekitar kita. Jadi, persoalan mendasarnya bukanlah berada dalam ruang-Iingkup
teknis, melainkan berada dalam alam budaya kita.
Sesuatu dikatakan sudah membudaya apabila kita mengerjakannya tanpa
didahului oleh pertimbangan-pertimbangan atau pemikiran terlebih dahulu. Hal itu terjadi
karena ia sudah menjadi hasil artikulasi dari hasil evolusi pemikiran, perasaan dan proses
kognitif lainnya dalam masyarakat yang sudah berlangsung lama. Hal yang sama juga
dengan pangan, bahwa orang setiap hari makan nasi karena memang makan nasi itu
sudah menjadi bagian dari budaya pangan kita.
Karenanya bukanlah hal yang sederhana dalam membangun ketahanan pangan
ini. Vaclav Smil (1993) menunjukkan sebenarnya lebih murah upaya meningkatkan
ketahanan ini melalui perubahan budaya, khususnya dalam mengubah kebiasaan makan,
dengan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap satu atau dua jenis tanaman saja,
dibandingkan dengan meningkatkan supply sarana dan prasarana produksi pertanian
untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat,5
Dalam membangun budaya ketahanan pangan perlu dimulai dengan perubahan
sikap mental yang tidak terpisahkan dengan nilai-nilai nasionalisme, persatuan bangsa dan
kesejahteraan sosial. Hal ini merupakan titik awal dalam membangun ketahanan pangan
ke depan. Untuk membangun ketahanan pangan yang berkecukupan, dapat di Iihat dari
pengalaman Cina, penyebab utama yang membuat mereka bisa bangkitadalah kebulatan
tekad untuk membangun di bidang pertanian. Artinya, pertanian di nomor-satukan, sambil
sektor lainnya dibangun. Sebagai i1ustrasi, Agriculture Bank of China (ABC) merupakan

5 Vaclav Smil. 1993.GlobalEcology: Environmental changeand socialflexibility. Routledge, London


18

bank pertanian yang sangat besar yang mendukung perkembangan pertanian. Pada tahun
2002, dengan penerimaan US$ 10.3 milyar, ABC menyumbangkan US $ 242 juta kepada
Jilin University untuk menyiapkan teknologi pertanian pada era 2020-an. Pihak perbankan
menaruh perhatian yang sangat besar terhadap dunia pendidikandan rlset di bidang
pertanian dengan mengalokasikannya lebih dari 2.3 % dari penghasilannya. Sarana dan
prasarana pertanian di perdesaan juga mengalami perkembangan yang luar biasa.
Hasilnya adalah kemajuan pertanian dinegeri Cina ini luar biasa dengan indikatornya yang
sangat jelas dari ancaman kelaparan menjadi kelimpahan pangan. Bahkan, Cina memiliki
stok padi yang cukup untuk jangka waktu tahunan apabila negeri ini mengalami paceklik
panjang atau peperangan. 6 Kelimpahan pangan dapat terjadi dari hasil menempatkan
pertanian dan pangan bukan sekedar masalah sektoral saja, melainkan masalah hidup
atau mati suatu bangsa.
Pada saat Abraham Lincoln menjadi Presiden ke-16 di Amerika Serikat, bangsa
Amerika juga belum mencapai kelimpahan pangan. Abraham Lincoln-Iah yang
menghapuskan perbudakan yang menjadi tulang punggung pertanian di Amerika pada
saat itu. Kemudian Abraham Lincoln menciptakan landasan yang kokoh untuk pertanian di
Amerika Serikat dalam bentuk Homestead Act 1862 yang membuka peluang petani
mendapatkan lahan per luasan 64 hektar dan Morril Act 1863 yang menjamin kemajuan
i1mu pengetahuan dan teknologi pertanian dengan berdirinya Land Grant University di
seluruh negara bagian, serta membentuk Departemen Pertanian yang sekarang kita kenai
dengan United States Department of Agriculture. Langkah besar Abraham Lincoln ini
diulangi oleh Franklin D. Rossevelt dengan melahirkan Agriculture Adjustment Act 1933
yang melahirkan negara memberikan subsidi kepada para petaninya. Pandangan
yang "memuliakan" pertanian ini tampaknya sudah menjadi tradisi untuk negara-negara
maju, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan apa yang dilakukan oleh Thailand yang
pertaniannya relatif lebih maju dengan menempatkan keberadaan Bank Pertanian mereka
yang diberi nama Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC ) sebagai bank
pertanian.

6Agus Pakpahan, Buah pemikiran disampaikan pada acara Studium General, Dies Natalis Ke-50 Tahun
Universitas Padjadjaran, Bandung, 18 September 2007.
19

Pengalaman negara-negara di atas, menunjukkan keseriusan mereka yang secara


orisinal membangun negerinya dengan menjadikan pertanian rakyat sebagai landasan
perekonomian. Dalam hal ini, Pemerintah memiliki posisi, fungsi dan kekuatan yang sangat
besar dalam menentukan arah pembangunan pertanian dan ketahanan pangan pada
masa mendatang. Kekuatan tersebut bukan harus diwujudkan dalam regulasi yang
menghambat proses investasi, melainkekuatan yang menumbuhkan iklim investasi yang
subur, sehat, dan kuat bagi para investor untuk mau bekerjasama dengan petani.

C. Struktur/Kelembagaan Penyelenggaraan Ketahanan Pangan

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang dalam pemenuhannya


merupakan hak setiap warga Indonesia, dalam mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas untuk pembangunan nasional. Untuk menjamin hak-hak dasar rakyat terpenuhi
secara cukup, berkualitas, dan terjangkau diperlukan sistem pangan yang secara
sistematis mengatur hUbungan dari mulai produksi, distribusi dan konsumsinya terkendali
dan terukur, sehingga dapat mengantisipasi tingkat keamanan dan kebutuhan pangan
yang berubah-ubah. 7
Terdapat 3 subsistem dari Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia, yaitu
ketersedian (produksi), distribusi, dan konsumsi. Dibeberapa daerah masih banyak ditemui
permasalahan yang menyangkut ketiga subsistem tersebut, seperti ketersedian pangan
terkendala dengan terbatasnya produksi!
Ada beberapa pilar yang harus ditegakkan untuk melaksanakan kedaulatan
pangan diantaranya; pertama, melaksanakan pembaruan agraria dengan konsep utama
tanah untuk penggarap yang bekerja diatasnya. Karena tanpa adanya kedaulatan petani
atas tanah tidak mungkin tercipta sistem pertanian yang berkeadilan, tanpa tanah petani
akan selalu menjadi objek eksploitasi dari pihak-pihak yang berkuasa atas tanah. Kedua,
pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi besar dan pasar global. Pemerintah di

7Wilson Sihombing, Bagaimana Pengaturan dan Pelaksanaan Pangan di Indonesia, dalam Jumal Inforrnasi
Hukum Biro Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang Sekretariat Jendral DPR RI, Edisi Perdana
November 2008, haI3?

8 Ibid, hal 42.


20

setiap negara harus memproteksi kepentingan lokal dan nasionalnya terlebih dahulu.
Ketiga, petani harus diberikan akses untuk perumusan kebijakan pertanian. Karena selama
ini petani keeil dan buruh tani tidak dilibatkan dalam kebllakan-kebiiakan pertanian. 9
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan ketahanan sekaligus juga
keamanan pangan, maka instansi yang utama menangani hal ini adalah Balai Pengawasan
Dbat dan Makanan (BPDM), Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan, Departemen Agama,
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bea Cukai, Kepolisian, dan instansi lainnya yang terkatt.

D. Perkembangan Ketahanan Pangan di Indonesia


Definisi ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks, waktu dan
tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan 10. Istilah ketahanan pangan (food
security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muneul pada tahun 1974,
yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunla" .Perubahan-perubahan definisi
tentang ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan
dekade 90an. Perubahan definisi tersebut terjadi pada level global, nasional, skala rumah
tangga dan individu dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective)
hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-indikator
objektif ke persepsi yang subjektif. 12Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan
berkelanjutan (sustainable food security) di level keluarga 13yakni, pertama,keeukupan
pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang

9 Kedaulatan Panqan Adalah Konsep dan Praktek Altematif Pembangunan Pertanian.


<http://www.spi.or.id/?p=828>. 15Juni 2009.

10 Lihat: FAO 2003, Trade Refonn and Food Security - Conceptualizing the linkages. dan Maxwell, S.
(1996) Food security: a post-modem perspective. Food Policy, Vol. 21. No.2, pp 155-170 dan sedikitnya ada 450
indikator ketahanan pangan, Hoddinott, J. (1999) Operationalizing Household Food Security in Development
Projects: An introduction. Intemational Food Policy Research Institute Technical Guide No.1, Washington, D.C.

11 Sage, C. (2002) Food security and Environment. In Page & Redclift, ed. (2002) Human Security and
the Environment: International Comparisons. Cheltenham: Edward Elgar,
pp 128-153.

12 Lihat: Maxwell, S., and Frankenberger, T. (1992) Household food security concepts, indicators,and
measurements. New York, NY, USA: UNICEF and IFAD.
13 Op.Cit, Maxwell, S, (1996) Food security
21

aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements)
untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) panganataupun menerima
sebagai pemberian (transfer). Ketiga ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan
antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat, fungsi waktu manakala
ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.
Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat komplek mulai dari
aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk memenuhi permintaan pangan yang
meningkat karena pertumbuhan penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun akibat
peningkatan penduduk, aspek pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan
pangan untuk mengantisipasi perubahan preferensi konsumen yang semakin peduli pada
masalah kesehatan dan kebugaran, aspek tentang pendistribusian bahan-bahan pangan
pada ruang dan waktu dan juga aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yaitu
ketersediaan bahan pangan Oumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat dijangkau
oleh seluruh masyarakat. Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan
tuntutan Iingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya
perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian.
Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya
paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Paradigma baru pembangunan
ketahanan pangan lebih menekankan pada pemantapan ketahanan pangan rumah tangga
yang didukung dengan daya beli dan keberdayaan masyarakat.
Upaya memenuhi kebutuhan pangan dihadapkan pada besarnya laju pertumbuhan
permintaan pangan lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penyediaannya.
Permintaan pangan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini
I

menyebabkan kebutuhan pangan meningkat dalam jumlah, mutu, keragaman jenis dan
keamanannya. Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional, terkendala oleh karena
adanya kompetisi pemanfaatan dan penurunan kualitas sumberdaya alam dan penerapan
teknologi yang belum optimal. Apabila permasalahan ini tidak dapat diantisipasi dengan
baik, maka dikhawatirkan akan mengganggu neraca pangan nasianal dalam jangka
panjang. Oleh karena itu, pembangunan ketahanan pangan nasional memerlukan
22

dukungan pengelolaan sumber daya alam yang optimal, penyediaan prasarana dan sarana
pertanian, pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, serta pengembangan
SDM yang memadai.
Kinerja pembangunan pertanian dan ketahanan pangan dalam tiga tahun terakhir,
memperlihatkan kondisl yang cukup baik. Produk Domestik Brute (PDB) sektor pertanian,
di luar perikanan dan kehutanan, tumbuh sebesar 2,55% pada tahun 2005 menjadi 3,50%
pada tahun 2006. 14 Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi
nasional kuartal ketiga 2007 mencapai 6,5 persen dibanding kuartal yang sarna tahun lalu,
dimana sumbangan tertinggi pertumbuhan ekonomi yang di luar perkiraan banyak pihak ini
berasal dari sektor pertanian sebesar 1,3 persen. Data BPS menunjukkan, tingkat
pertumbuhan pertanian naik menjadi 4,3%. Ini mengulangi sejarah bahwa pertumbuhan
pertanian mampu di atas 3%.15
Di bidang ketahanan pangan, berdasarkan data produksi padi nasional
menunjukkan bahwa kita telah mengalami surplus sejak tahun 2004, begitu pula pada
tahun 2007 dengan produksi sebesar 57,05 juta ton GKG (ARAM III) setara 33,43 juta ton
beras, meningkat 2,59 juta ton GKG atau 4,76% dibanding produksi tahun 2006.
Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai
sejak dua belas tahun terakhir. Data BPS juga menunjukkan kenaikan pada komoditas
jagung, tebu dan sapi. Produksi jagung tahun 2007 naik 14,39 %dibandingkan tahun 2006.
Adapun pada tahun 2007 produksi tebu dan daging berturut-turut naik sebesar 4,91 %dan
2,20 % dibanding produksi tahun 2006. 16 Dalam konteks kemandirian pangan, konsep
swasembada (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Tahun 2005) masih
memberi toleransi terhadap penyediaan pangan melalui impor, tetapi dalam proporsi relatif
kecH, tidak lebih dari 10 (sepuluh) persen dari total produksi.
Strategi umum untuk mewujudkan ketahanan pangan yang akan dilaksanakan
adalah pendekatan jalur ganda (twin-track approach), yaitu: (a) membangun ekonomi

14 http://cidesonline.org/contentiview/, Rabu 17 Juni 2009

15 Ibid.
16 Ibid
23

berbasis pertanian dan pedesaan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan; dan
(b) memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui
pemberian bantuan langsung agar tidak semakin terpuruk, serta pemberdayaan agar
mereka semakin mampu mewujudkan ketahanan pangannya secara mandiri. Kedua
pendekatan tersebut dijalankan dengan menggerakkan seluruh komponen bangsa, yaitu
Pemerintah, Masyarakat termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi
Profesi, Organisasi Massa, Koperasi, Organisasi Sosial, serta Pelaku Usaha, untuk
melaksanakan aktivitas ekonominya secara efisien dan bertanggungjawab, melaksanakan
kewajiban sosialnya serta, membantu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin,
rawan pangan dan gizi, golongan usia lanjut dan cacat ganda.
Dalam upaya peningkatan produksi pangan secara komprehensif dan
berkelanjutan, program pembangunan pertanian difokuskan pada lima fundamental
penanganan peltanian yang mencakup : (1) Pembangunan/perbaikan infrastruktur
perbenihan. riset dan sebagainya; (2) Penguatan kelembagaan petani melalui
pertumbuhan dan penguatan kelompoktani dan gabungan kelompoktani; (3) Perbaikan
penyuluhan melalui penguatan lembaga penyuluhan dan tenaga penyuluh; (4) Perbaikan
pembiayaan pertanian melalui perluasan akses petani ke sistem pembiayaan; serta (5)
Penciptaan sistem pasar pertanian yang menguntungkan petani. Peningkatan ketahanan
pangan masyarakat masih menghadapi berbagai masalah pada tingkat mikro maupun
makro. Pada sisi mikro, upaya pemantapan menghadapi tantangan utama dengan masih
besamya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan transien karena bencana
alam dan musibah serta kerawanan pangan kronis karena kemiskinan. Kerawanan pangan
ini berdampak langsung pada rendahnya status gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia
masyarakat.
Pada sisi makro, upaya pengelolaan ketahanan pangan masyarakat menghadapi
tantangan utama pada peningkatan optimasi pemanfaatan sumberdaya lokal dan
peningkatan kapasitas produksi pangan dalam keterbukaan ekonomi dan perdagangan
global, agar produksi pangan domestik dapat tumbuh seiring dengan perkembangan
pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat dalam jumlah, kualitas dan
keragamannya ditengah persaingan pasar internasional yang semakin terbuka.
24

BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS

A. Landasan Filosofis

Istilah pangan sebagai soal hidup atau mati bangsa merupakan ungkapan dalam
sejarah pangan, sama lamanya dengan sejarah umat manusia itu sediri. Ungkapan ini
menempatkan bahwa pangan itu sangatlah strategis dan penting bagi manusia untuk
pemenuhan kebutuhan pokoknya. Bahkan lebih ekstrim lagi dalil yang kiranya menyatakan
bahwa suatu negara besar akan selamat dari berbagai kekacauan dan kemunduran
apabila negara yang bersangkutan mampu menjamin ketahanan pangan penduduknya
secara baik. Pangan juga merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar yang
pemenuhannya menjadi hak bagi setiap orang, sebagaimana di jamin oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rangka mempertahankan
hidup dan kehidupannya sebagai wujud pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara.
Berdasarkan Declaration of Human Right 1998 (Brundland, 1999), yang sudah
disepakati oleh Pemerintah Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah
satu Hak Azazi Manusia. Artinya negara (pemerintah dan masyarakat) harus
bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangannya. Kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan
rendahnya daya beli masyarakat, baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-
harga pangan, apalagi kalau sampai kelaparan dan gizi buruk dapat dikategorikan
adanya indikasi pelanggaran yang akhirnya berdampak pada "lost generation".
Akan tetapi, meski memiliki hak atas pangan yang cukup, pada kenyataannya
masih banyak orang yang mengalami kelaparan dan kekurangan pangan. Kelaparan dan
kekurangan pangan terjadi karena rapuhnya sistem ketahanan pangan. Namun demikian
ketahanan pangan tidak hanya program untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan
25

pangan semata, lebih dari itu ketahanan pangan adalah syarat bagi pembangunan sumber
daya manusia untuk mencapai tujuan akhir dari pembangunan nasiona!. Ketahanan
pangan di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi,
stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasiona!. Dimensi ketahanan pangan
nasional mencakup aspek ketersediaan, distribusi, konsumsi, dan keamanan
pangan.Aspek Ketersediaan pangan termasuk elemen produksi domestik, ekspor, impor,
cadangan dan transfer pangan dari pihak atau negara lain. Adanya elemen ekspor dan
impor pada aspek ketersediaan pangan menunjukkan bahka ketahanan pangan
nasional tidak terlepas dari dinamika peran perdagangan internasional, khususnya
perdagangan komoditas pangan.
Menurut Chacholiades (1978) partisipasi di dalam perdagangan internasional
bersifat bebas (free) sehingga keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut
dilakukan secara sukarela. Keputusan suatu negara melakukan kegiatan perdagangan
internasional merupakan pilihan (choice), oleh sebab itu sering dikatakan perdagangan
seharusnya memberi keuntungan kepada kedua belah pihak (mutually benefited). Dalam
sistem ekonomi tertutup (autarky) negara hanya dapat mengkonsumsi barang dan jasa
sebanyak yang diproduksi sendiri. Akan tetapi dengan melakukan perdagangan terbuka
(open economic) suatu negara mempunyai kesempatan mengkonsumsi lebih besar dari
kemampuan memproduksi karena terdapat perbedaan harga yang relatif dalam proses
produksi. Perbedaan harga yang relatif itu muncul sebagai dampak perbedaan dari
pengusahaan sumber daya dari bahan baku proses produksi (resourceendowmenQ antar
neqara".
Sistem perdagangan dunia yang bebas dan terbuka menghendaki hilangnya segala
bentuk intervensi yang dapat mendistorsi pasar. Secara konsep, penghapusan berbagai
bentuk intervensi dan hambatan menjadikan penerapan liberalisasi perdagangan akan
mendorong meningkatnya volume perdagangan lebih besar sehingga nilai tambah yang
diciptakan juga semakin meningkat.

17 Gatoet S. Hardono, Handewi P.S. Rachman, dan Sri H. Suhartini, "Liberalisasi Perdagangan: Sisi
Teori, Dampak Empiris dan PerspektifKetahanan Pangan", Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume
22 Nomor 2, Desember 2004
26

Upaya perlindungan pemerintah terhadap petani dari gejolak harga beras


international masih harus dilakukan mengingat selama dua dekade terakhir masih
menunjukkan gejala terjadinya fluktuasi harga internasional dan laju peningkatan harga
domestik masih lebih tinggi dari harga pasar internasional. Harga domestik yang
cenderung masih lebih tinggi dari harga internasional memang pada satu sisi
menguntungkan petani dalam negeri namun pada sisi lain akan terjadi tekanan pasar
internasional termasuk berakibat impor i1egal yang terjadi beberapa tahun
terakhir. Selain itu, peningkatan konsumsi beras, baik yang disebabkan oleh peningkatan
jumlah penduduk maupun tingkat konsumsi per kapita akan menyebabkan naiknya
permintaan (demand) beras domestik. Meningkatnya permintaan beras domestik dengan
laju pertumbuhan yang lebih besar dari produksi domestik akan semakin mendorong
naiknya harga beras domestik yang langsung maupun tidak langsung akan memotivasi
meningkatnya impor pula.
Upaya membangun ketahanan pangan membutuhkan ketersediaan pangan yang
cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau
oleh daya beli masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan. Strategi ketahanan pangan yang berlaku di dalam komunitas petani
bersifat sangat lokalitas atau sangat spesifik lokasi (local spesific phenomenon). Bagi
pembuat kebijakan pangan, dalam penyusunan perencanaan pembangunan di bidang
pangan hendaknya mempertimbangkan sumberdaya lokal yang dikaitkan dengan aspek
kelembagaan dan modal sosial setempat. Hal ini akan dipenuhi dari kemampuan sektor
pertanian domestik dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Ketersediaan pangan dibangun melalui peningkatan kemampuan produksi didalam negeri,
peningkatan pengelolaan cadangan, serta impor untuk mengisi kesenjangan antara
produksi dan kebutuhan. Ketahanan pangan diwujudkan melalui pemanfaatan potensi dan
keragaman sumber daya lokal, mendorong pengembangan sistem dan usaha agribisnis
pangan yang berdaya saing dan berkelanjutan, mengembangkan perdagangan pangan,
memanfaatkan pasar pangan internasional secara bijaksana, dan memberikan jaminan
akses yang lebih baik bagi masyarakat miskin atas pangan yang bersifat pokok.
27

Ketahanan pangan merupakan salah satu isu strategis dalam konteks


pembangunan negara berkembang, karena memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai salah
satu sasaran utama pembangunan, dan instrumen utama pembangunan ekonomi.
Fungsi pertama merupakan fungsi ketahanan pangan sebagai prasyarat untuk
terjaminnya akses pangan bagi semua penduduk. Akses terhadap pangan dalam jumlah
yang memadai merupakan hak azasi manusia yang harus selalu dijamin oleh negara
bersama masyarakat. Fungsi kedua, merupakan implikasi dari fungsi ketahanan pangan
sebagai syarat keharusan dalam pembangunan sumberdaya manusia yang kreatif dan
produktif dan sebagai determinan penting dalam mendukung Iingkungan perekonomian
yang stabil dan kondusif bagi pembangunan nasional. Sasaran ketahanan pangan dapat
dibangun dengan mengacu kepada potensi sumberdaya alam, pengembangan komoditas
unggulan daerah dan dukungan institusi perdagangan untuk meningkatkan efisiensi,
produktivitas, dan mampu menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi.

B. Landasan Sosiologis
B.1. Keamanan Pangan
Salah satu kebutuhan asasi manusia adalah tersedianya pangan. Dengan
segala kemampuannya manusia akan selalu berusaha mencukupinya. Pangan juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan bangsa serta memegang
peranan penting dalam perekonomian. Oleh karena itu, pangan yang merupakan
hasil olahan harus bermutu, aman, dan layak dikonsumsi. Pada era globalisasi
seperti sekarang, beberapa komoditas pangan telah menjadi semakin strategis,
sehingga negara-negara maju telah menerapkan sistem keamanan pangan untuk
kepentingan di dalam negerinya.
Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harusmelekat pada
pangan yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang
bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri
pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu
beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
28

Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut
kepedulian individu. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi
konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam
kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak
aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sarna sekali.
Keamanan pangan selalu menjadi pertimbangan pokok dalam perdagangan,
baik perdagangan nasional maupun perdagangan internasional. Di seluruh dunia
kesadaran dalam hal keamanan pangan semakin meningkat. Pangan semakin
penting dan vital peranannya dalam perdagangan dunia.
Lebih dari 90% terjadinya penyakit pada manusia yang terkait dengan
makanan (foodborne diseases) disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi, yaitu
meliputi penyakit tipus, disentri bakteri/amuba, botulism, dan intoksikasi bakteri
lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis. 18 Foodborne disease lazim didefinisikan
namun tidak akurat, serta dikenal dengan istilah keracunan makanan. WHO
mendefinisikannya sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, yang
disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicema.
Foodbome disease baik yang disebabkan oleh mikroba maupun penyebab lain di
negara berkembang sangat bervariasi. Penyebab tersebut meliputi bakteri, parasit,
virus, ganggang air tawar maupun air laut, racun mikrobial, dan toksin fauna,
terutama marine fauna. Komplikasi, kadar, gejala dan waktu lamanya sakit juga
sangat bervariasi tergantung penyebabnya. Sebagian besar pemerintah berbagai
negara di dunia menggunakan deretan usaha atau langkah pengendalian
kontaminan pangan melalui inspeksi, registrasi, analisa produk akhir, untuk
menentukan apakah suatu perusahaan pangan memproduksi produk pangan yang
aman.
Oi Indonesia belum semua orang bisa mendapatkan akses terhadap
makanan yang aman. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kematian dan
kesakitan yang diakibatkan penyakit bawaan makanan (PBM). Secara umum, PBM
dapat diakibatkan bahaya biologi dan kimia. Badan kesehatan dunia (WHO) dalam

18http://www.gizi.net/makalah/Food_Safety_Dadi.pdf
29

laporannya tahun 2004 menyebutkan, angka kematian global akibat diare selama
2002 adalah 1,8 juta orang. Angka kesakitan global karena PBM sulit sekali
diperkirakan. Selain diare, terdapat lebih dari 250 jenis penyakit karena
mengonsumsi makanan yang tidak aman. Terdapat tiga konsekuensi yang
ditimbulkan PBM: gizi buruk, dampak sosioekonomi di masyarakat, dan penyakit
sekunder yang timbul. 19
Angka kejadian keracunan makanan, sebagai salah satu manifestasi PBM
dapat menjadi indikator situasi keamanan pangan di Indonesia. Akhir-akhir ini
banyak produk pangan kedaluwarsa yang beredar di masyarakat. Selain itu, ada
sejumlah produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan, baik yang diproduksi
industri rumah tangga, kecil, menengah maupun industri besar. Produk pangan
tersebut umumnya menggunakan bahan tambahan kimia yang dilarang atau
melebihi batas penggunaan: pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba;
pangan yang kedaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan
komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai dengan persyaratan
(mengandung melamin). Penggunaan bahan tambahan pangan pada makanan
jajanan berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan karena dari jumlah. yang
diperiksa, sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Situasi ini berdampak
langsung terhadap masalah kesehatan, kondisi ini juga memengaruhi aspek-aspek
sosio ekonomi lainnya, seperti produktivitaskerja, aspek perdagangan, dan
kepariwisataan.
Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara
umum adalah: masih ditemukan beredamya produk pangan yang tidak memenuhi
persyaratan; masih banyak kasus keracunan makanan; masih rendahnya tanggung
jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang
diproduksi/diperdagangkannya; dan kurangnya kepedulian dan pengetahuan
konsumen terhadap keamanan pangan.Keamanan pangan, masalah, dan dampak
penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam

19 Wisnu Cahyadi, Keamanan Pangan, Tanggung Jawab Bersama, www.ahmadheryawan.com. Saturday, 13


December 2008
30

pengembangan sistem mutu industri pangan merupakan tanggung jawab bersama


antara pemerintah, industri, dan konsumen, yang sudah harus mulai
mengantisipasinya dengan implementasi sistem mutu pangan. Pasalnya, di era
pasar bebas ini industri pangan Indonesia mau tidak mau harus mampu bersaing
dengan derasnya arus produk industri pangan negara lain yang telah mapan sistem
mutunya.Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang
keamanan pangan tereermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen
untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen
jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai dengan informasi yang tereantum pada
label ataupun iklan. Industri rumah tangga, keeil, menengah pangan (IRTKMP)
merupakan salah satu pemangku kepentingan yang punya peran penting dalam
mewujudkan sistem keamanan pangan nasional di Indonesia. Namun, kondisi
(IRTKMP) di Indonesia umumnya, khususnya diJawa Barat, masih memprihatinkan.
Sampai saat ini, tingkat kemanan pangan industri rumah tangga, keeil, dan
menengah masih rendah. Masih marak penggunaan bahan tambahan kimia (BTK)
yang dilarang untuk pangan.
B.2 Bahan Tambahan Pangan
Seringkali kita memiliki prasangka buruk terhadap asupan bahan kimia
dalam produk pangan. Padahal sebenarnya, seluruh makanan yang kita konsumsi
sehai-hari pun merupakan senyawa kimia. Contohnya saja garam dapur yang
merupakan senyawa Na CI. Nasi sekalipun, merupakan senyawa kimia. Jadi tidak
semua bahan kimia adalah zat asing yang otomatis akan ditolak oleh tubuh. Lebih
jauh, mari kita kenali, apa saja jenis dan manfaat bahan tambahan pangan.
Bahan Tambahan Pangan (BTP) saat ini seringkali kita temukan dalam
makanan dan minuman kemasan hasil olahan industri. Mengapa BTP diperlukan?
Karena BTP memiliki berbagai manfaat, selain mempertahankan dan memperbaiki
nilai gizi makanan, menghambat kerusakan bahan oleh mikroba, mempertahankan
kesegaran bahan, warna dan aroma, membantu proses pengolahan pangan, juga
memperbaiki penampilan dan aroma pangan.
31

BTP adalah bahan atau .campuran bahan' yang secara alami bukan
merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi lebih kepada sesuatu yang
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan,
antara lain bahan pewama, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan
pengental. 20

C. Landasan Yuridis
Saat ini pengaturan mengenai pangan telah diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1986 tentang Pangan (UU Pangan), tetapi di dalam perjalannya kemudian
melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), pemerintah telah meratifikasi Kovenan Internasional
Hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob). Kovenan ini antara lain berisi tentang
tanggung jawab negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan
bagi rakyatnya. Dengan kata lain, masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang
pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Konsekuensi dari ratifikasi itu adalah
pemerintah harus mengubah semua produk undang-undang yang tidak selaras dengan
ketentuan Kovenan Ekosob, termasuk soal pangan. 21
Sebagai tindak lanjut dari :atifikasi tersebut, pemerintah harus melakukan
penyesuaian-penyesuaian semua kebijakan terkait dengan upaya untuk memenuhi hak-
hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini menjadi alasan utama untuk melakukan revisi
terhadap UU Pangan mengingat pangan merupakan salah satu elemen Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.22

20 htlp:/fIslamicspace.wordpress.coml2007/01/26/bersikap-biiak-terhadap-bahan-tambahan-pangan-btp/, Rabu, 15
Juli 2009

21 Irham, Kovenan EKOSOB Soal Pangan,


http://www.targetmdgs.orgflndex.php?option=com content&task=view&id=543&ltemid=6>, 15 Juni 2009.

22 Revisi Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan,


<htlp://maharorastowo.blogspot.coml200B/01/press-release-revisi-uu-pangan-no-7-thn.html>, 16 Juni 2009.
32

Pasal 11 Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB -


International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang telah diratifikasi
oleh pemerintah Republik Indonesia (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights) menyebutkan:
1. Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan
yang layak baginya dan keluarganya termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan
atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambillangkah-
langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti
penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela.
2. Negara Pihak pada Kovenan lnl, dengan mengakui hak mendasar dari setiap orang
untuk bebas dari kelaparan, baik secara individual maupun melalui kerjasama
intemasional, harus mengambil langkah-Iangkah termasuk program-program khusus
yang diperlukan untuk:
a. meningkatkan cara-cara produksi, konservasi dan distribusi pangan, dengan
sepenuhnya memanfaatkan pengetahuan teknik dan i1mu pengetahuan, melalui
penyebarluasan pengetahuan tentang asas-asas i1mu gizi, dan dengan
mengembangkan atau memperbaiki sistem pertanian/agraria (reforming agrarian
systems) sedemikian rupa, sehingga mencapai suatu perkembangandan
pemanfaatan sumber daya alam yang efisien;
b. memastikan distribusi pasokan pangan dunia yang adil yang sesuai kebutuhan,
dengan memperhitungkan masalah-masalah.
Dari Kovenan EKOSOB di atas secara gamblang disebutkan bahwa pemenuhan
hak atas pangan merupakan bagian dari kebijakan dan strategi pengurangan kemiskinan
atau pengakuan hak hidup yang layak (huruf 1) dan memperlihatkan keterkaitan antara
akses rakyat kepada tanah, reforma agraria dan hak atas pangan (huruf 2). Masalah
pangan tidak semata-mata persoalan ketersediaan saja, tetapi bagaimana akses
masyarakat kepada pangan itu sendiri, hal lain yang harus di diatur adalah kemampuan
,
akses masyarakat kepada pangan sendin, kemudian terkait sejauhmana pemenuhan hak
33

hidup dengan standar yang layak. Hal serupa juga dalam persoalan akses masyarakat
kepada sumber-sumber agraria, khususnya akses kepada tanah 23.

23 Tentang Gugatan Terhadap


UU No. 7/1996 tentang Pangan, <http://petanLblogsome.comlarsip-email/gugatan-terhadap-pangan/>, 16 Juni
2009.
34

BABIV
RUANG L1NGKUP PENGATURAN

A. MATERI MUATAN
A.1. Jaminan Ketersediaan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus
dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak
asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal27 UUD 1945. Pemenuhan
kebutuhan pangan sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas.
Setiap Negara harus mendahulukan pembangunan ketahanan
pangannya sebagai fondasi bagi pembangunan sector-sektor lainnya.
Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat
menciptakan ketidakstabilan ekonomi selain itu berbagai gejolak sosial dan politik
dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu.
Tujuan pembangunan ketahanan pangan menjamin ketersediaan dan
konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang baik pada
tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga dan senua itu harus diwujudkan
secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan
sumberdaya, kelembagaan dan budaya loka!.
Untuk membangun kemandirian pangan, diperlukan kebijakan
pengembangan agroindustri pangan secara terpadu dari hulu sampai hilir antara
lain melalui percepatan penguasaan i1mu pengetahuan dan tehnologi, termasuk
biotehnologi dan rekayasa genetika di bidang pangan yang diharapkan dapat
menghasilkan produk pangan yang meningkat dan berdaya saing tinggi. Dengan
melihat besarnya peningkatan produksi pangan yang kita butuhkan, maka upaya
35

peningkatan produksi itu perlu ditempuh melalui semua cara yang tersedia, baik
intensifikasi, ekstensifikasi, rekayasa genetika, maupun diversifikasi pangan.
Agar tercapai ketersediaan pangan bagi suatu keluarga, masyarakat
bahkan secara nasional setiap badan yang bersangkutan harus menyediakan
pangan dalam jumlah yang cukup, tersedia setiap saat, serta memenuhi giziyang
cukup dan berimbang. Hal ini sesuai dengan Ayat 17 Pasal 1 UU Pangan dan
Kesepakatan Roma mengenai pangan dari Badan Pangan Perserikatan Bangsa-
bangsa. Kelebihan pangan disuatu daerah atau negara harus dibawa ke daerah
atau negara lain. Transportasi, agar bahan tetap balk sampai tujuan walaupun
jaraknya jauh akan memerlukan pengemasan yang baik. Bahan pangan juga
harus tetap baik serta tidak timbul susut berat maupun mutu selama belum
dikonsumsi. Bahan pangan juga harus tahan disimpan sampai panen yang akan
datang. Tempat penyimpanan harus baik, serta terjaga sirkulasi udara
didalamnya agar suhu dan kelembaban memenuhi syarat. Sejalan dengan
pendapat di atas maka bahan harus diawetkan. Berbagai perlakuan diterapkan
agar bahan pangan tetap awet, antara lain pengurangan kadar air, dan
pemberian senyawa kimia. Masyarakat di pedesaan secara tradisional telah
mengenal cara-cara pengawetan pangan, antara lain pengeringan, pemberian
asam, garam, dan gula serta pengasapan. Dengan demikian teknologi pangan
merupan pendukung utama ketersediaan pangan.
Ketahanan pangan mengandung tiga unsur pokok yaitu ketersediaan,
distribusi dan konsumsi pangan, dimana unsur distribusi dan konsumsi
merupakan penjabaran aksessbilitas masyarakat terhadap pangan. Salah satu
unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan
mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di
tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi
kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses
dan ketersediaan pangan tersebut merupakan determinan yang esensial
ketahanan pangan.
36

Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat komplek


mulai dari aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk memenuhi
permintaan pangan yang meningkat karena pertumbuhan penduduk, perubahan
komposisi penduduk maupun akibat peningkatan penduduk. Selain itu ada aspek
pemenuhan tuntutan kualitas dan keaneka ragaman bahan pangan untuk
mengantisipasi perubahan preferensi konsumen yang semakin peduli pada
masalah kesehatan dan kebugaran, aspek pendistribusian bahan-bahan pangan
pada ruang dan waktu serta aspek keterjangkauan pangan yaitu ketersediaan
bahan pangan harus dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat.
Keamanan pangan bukan berarti swasembada pangan nasional, tetapi
lebih kepada jaminan ketersediaan pangan yang cukup, mudah diperoleh di
mana saja dan dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat.
Ketersediaan pangan yang cukup dapat dilakukan melalui swasembada
dalam negeri atau sebagian berasal dari luar negeri. Kemudahan diperoleh di
mana saja memerlukan sistem distribusi yang bagus. Keterjangkauan daya beli
rnasyarakat dipengaruhi oleh harga dan tingkat pendapatan masyarakat. Oleh
karena itu, jaminan keamanan pangan harus dikelola secara bijak dengan
memperhatikan semua aspek yang mempengaruhinya.

A.2. Jaminan Ketersediaan Lahan Pangan


Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu
Iingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi dan hidrologi
yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia. Sedangkan
Lahan Pertanian adalah bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian.
Lahan merupakan modal dasar dalam usaha dan kegiatan pertanian sekaligus
sebagai indikator tingkat kesejahteraan. Semakin luas lahan, semakin besar
manfaat yang dapat diraih, semakin sejahtera pula masyarakat. Sayangnya, 60
persen lahan pertanian hanya dikuasai oleh 34 persen keluarga. Artinya,
sebagian besar petani telah beralih status menjadi buruh tani.
37

Jumlah penduduk yang terus meningkat serta belum tertibnya


pelaksanaan tata guna lahan menyebabkan tekanan terhadap pemanfaatan
lahan makin besar. Kompetisi di antara berbagai kepentingan terhadap lahan
makin ketal. Sering kali (Iahan) pertanian yang menjadi korban atau
dikorbankan. Pada tahun 1990-an, masih tersedia lahan pertanian seluas 25 juta
ha, namun terus menyusut hingga tahun 2004 tersisa 14,2 juta ha yang terdiri
dari lahan basah 7,7 juta ha dan lahan kering 6,5 juta ha. Penyusutan lahan
pertanian sangat intensif terjadi di Jawa. Antara 1999 hingga 2002 saja lebih dari
149.000 hektare sawah disulap menjadi lahan permukiman dan industri dengan
tingkat konversi tertinggi terjadi di Jawa Barat.
Dalam rangka peningkatan produksi pangan maka diperlukan areal
perluasan lahan pertanian per keluarga untuk para petani. Dengan kepemilikan
lahan rata-rata sekitar 0,3 hektar dan ini dibawah skala ekonomis 0,5 hektar.
Maka kepemilikan lahan seperti itulah yang membuat proses pemiskinan jadi
bukan diakibatkan dari akumulasi pendapatan. Hingga kini masih ada beberapa
negara-negara dunia yang hendak membangun pertanian masih memperluas
areal pertanian, seperti Amerika, Brazil dan Thailand. Sementara di Indonesia
terjadi laju konversi lahan sebesar 110.000 hektar tiap tahun akibat alih fungsi
lahan (Berdasarkan data Dirjen Sumber Daya A/am Departemen Pertanian
Tahun 1999 - 2003). Kegiatan perluasan lahan pertanian seperti yang pernah
dicanangkan oleh Presiden RI dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN)
sebagai pelaksananya ini sangat bagus walau pelaksanaannya ternyata tidak
jalan sampai sekarang. Diharapkan dengan kegiatan perluasan lahan kiranya
perlu didukung mengenai pelaksanaan Konsep Tata Ruang dan Tata Wilayah
yang pro pertanian dan Pemerintah perlu melakukan percepatan dalam
melakukan suatu perbaikan administrasi dan sertifikasi lahan pertanian. Guna
memperbaiki administrasi dan sertifikasi lahan pertanian kiranya dapat
meningkatkan nilai hak guna pakai lahan bagi para petani untuk menggunakan
sertifikat tersebut sebagai jaminan untuk mendapatkan kredit.
38

Untuk mencegah krisis pangan, Indonesia memerlukan tak


kurang 15 juta hektar lahan pertanian. Untuk mewujudkannya maka Pemerintah
perlu bertindak tegas dalam melindungi sawah dari konversi lahan pertanian
sekaligus mendasari pencetakan areal baru di berbagai daerah Indonesia dan
diharapkan dengan Jaminan ketersediaan Lahan pertanian perlu di
pertimbangkan keberadaannya, hal ini bukan hanya diperuntukan lahan sawah,
bukan hanya untuk padi, karena pola makan bangsa kita tidak hanya beras, tapi
juga sagu, jagung, dan lain sebagainya, Sejak krisis ekonomi yang pemah kita
alami dan berkepanjangan maka akan berakibat ketahanan pangan kita menjadi
permasalahan yang perlu segera di tangani dan diselesaikan dengan cara
mencegah, menghentikan dan menindak kecenderungan para oknum-oknum
yang telah melakukan alih fungsi (konversi) lahan pertanian. Sebab untuk
meningkatkan produksi pangan, perlu dan di butuhkan perluasan lahan
pertanian dan pemberian insentlf kepada petani.
Tiga hal inilah yang menjadi rekomendasi dalam menjaga konversi lahan
pertanian secara Nasional. Sehingga pertahunnya luas lahan yang berkurang
mencapai 21 ribu hektar. Sedangkan saat ini, pemilikan lahan rata-rata 0;25
hektare diJawa sudah tidak ideallagi. perluasan lahan pertanian bisa dilakukan
dengan memanfaatkan lahan milik negara bagi petani. Bagaimana pun, negara
yang hendak membangun pertanian harus memperluas area pertanian. Contoh
di Amerika Serikat (AS), Brazil dan Thailand melakukan perluasan itu. Dengan
kegiatan tersebut perlunya dukungan dan pelaksanaan konsep tata ruang dan
tata wilayah yang pro-pertanian. Dengan demikian Pemerintah perlu
mempercepat perbaikan administrasi dan sertifikasi lahan pertanian.
Lahan sawah mempunyai arti yang terpenting dalam menentukan dan
ketahanan pangan secara nasional. Ketahanan pangan meliputi aspek
ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan,
dan keamanan pangan (food safety). Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di
Indonesia dihasilkan di dalam negeri, dan sekitar 95% dari beras dalam negeri
tersebut dihasilkan dari lahan sawah. Kekurangan kebutuhan beras selama ini
39

dipenuhi dengan beras impor. Jaminan ketersediaan beras impor lebih rendah
dibandingkan dengan ketersediaan beras di dalam negeri. Selain ditentukan
oleh kondisi produksi dari negara pengekspor, hubungan bilateral antara negara
pengekspor dengan Indonesia serta keamanan regional menentukan
ketersediaan beras impor. Berbeda dengan beras di dalam negeri yang
dihasilkan sampai di daerah terpencil, distribusi beras impor lebih terbatas.
Adanya impor tidak menjamin peningkatan aksebilitas penduduk di daerah
terpencil terhadap beras, akan tetapi areal produksi beras yang tersebar lebih
menjamin ketersediaan beras sampai kepelosok tanah air. Selain itu, jaminan
keamanan (food safety) untuk bahan pangan yang diproduksi di dalam negeri
mungkin lebih baik dibandingkan dengan pangan yang diimpor. Atau sekurang-
kurangnya kita lebih mengerti bagaimana bahan pangan diproduksi di dalam
negeri. Namun kita tidak tahu, pada lahan yang bagaimana beras impor
diproduksi dan apakah sistem produksinya aman untuk kesehatan
A.2.a. Konversi lahan sawah sebagai suatu proses yang tidak alami
Konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh
manusia (anthropogenic), dan bukan suatu proses alami. Dalam halini
kita ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi,
namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah
sistem produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik.
Contohnya beberapa sentra produksi beras di aerah pantura telah
dijadiikan sebagai kawasan industri. Hal ini menunjukkan antara sektor
pertanian dan industri masih berjalan sendiri-sendiri. Dengan tidak
adanya penilaian seberapa banyak kerugian ekonomi dan Iingkungan
akibat dikonversinya lahan sawah produktif. Maka analisis ekonomi
jangka pendek sering lebih mengemuka walaupun sebenarnya tidak
cocok karena pengelolaan lahan menyangkut aspek kelestarian
sumberdaya alam. Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah
untuk membatasi alih fungsi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak
hasilnya disebabkan karena:
40

1. kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah;


2. peraturan yang bertujuan untuk mengandalikan konversi lahan secara
umum hanya bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang
jelas; dan
3. ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri
pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi
lahan (Irawan etall., 2000).
Ketiga kelemahan tersebut pada gilirannya menyebabkan aparat
cenderung mendukung proses konversi lahan dengan alasan untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan Konversi lahan
pertanian terutama ditentukan oleh faktor sebagai berikut:
a. Rendahnya nilai persewaan (land rent) lahan sawah yang berada
disekitar pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai persewaan
untuk pemukiman dan industri.
b. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga
terkait.
c. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar
pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian
(sustainability) sumberdaya alam diera otonomi ini.
Alasan peningkatan PAD sangat beresiko tinggi. Sehingga harus
ada konsep untuk mempertahankan dalam ketahanan pangan sebagai
pemersatu bangsa dan Ketahanan pangan menjadi tanggungjawab
Nasional sehingga konversi harus dihentikan. Pemerintah harus
berkorban demi keuntungan jangka panjang.
A.2.b. Percetakan Lahan Sawah Sebagai Solusi?
Usaha Perluasan I percetakan lahan sawah merupakan alternatif
untuk mengatasi penciutan lahan sawah. Akan tetapi usaha ini
memerlukan investasi yang sangat tinggi sehingga ada tambahan areal
yang berpotensi untuk dijadikan lahan sawah, untuk di luar pulau Jawa
pada umumnya mempunyai tingkat kesesuaian (potensi produksi) yang
41

lebih rendah dibandingkan lahan sawah yang ada sekarang di pulau


Jawa. Sebagian besar lahan sawah di Jawa sudah dilengkapi dengan
sarana irigasi teknis sehingga konversi lahan sawah juga berarti menyia-
nyiakan investasi yang sudah ada.
Selain itu perlu diketahui bahwa dibutuhkan waktu 5-15 tahun
untuk terciptanya struktur tanah sawah yang dikehendaki (misalnya untuk
pembentukan lapisan tapak bajak untuk efisiensi air irigasi).
Pertimbangan lain untuk tidak mengkonservasi lahan sawah yang ada
sekarang diJawa adalah pertimbangan ekologis multifungsi lahan sawah
yang sangat penting untuk dipertahankan pada pulau yang sangat padat
penduduknya ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa percetakan
lahan sawah harus diikuti dengan pencegahan konversi. Percetakan
lahan sawah saja tanpa diikuti dengan pencegahan konversi (seperti
yang tejadi selama ini) sebelum mampu mengurangi ketergantungan
Indonesia terhadap beras impor.
A.2.c. Aspek Ketersediaan Pangan
Didalam aspek ketersediaan Lahan untuk pangan permasalah
pokok adalah semakin terbatasnya dan menurunnya kapasitas produksi
serta daya saing pangan nasional. Hal ini disebabkan oleh faktor faktor
teknis dan sosial- ekonomi, adapun faktor-faktor teknis sebagai berikut :
1. berkurangnya areal lahan pertanian karena derasnya alih lahan
pertanian ke non pertanian seperti industri dan perumahan (Iaju
1%/tahun).
2. produktifitas pertanian yang relatif rendah dan tidak meningkat.
3. teknologi produksi yang belum efektif dan efisien.
4. infrastruktur pertanian (irigasi) yang tidak bertambah selama krisis dan
kemampuannya semakin menurun.
5. masih tingginya proporsi kehilangan hasil pada penanganan pasca
panen (10-15%).
6. kegagalan produksi karena faktor iklim seperti el-nino.
42

Aspekketersediaan pangan di dalam tingkat rumah tangga


penduduk dalam jumlah yang cukup, merata, aman dan terjangkau
dikatakan sebagai cerminan dari ketahanan pangan. Salah satu komoditi
pangan terpenting adalah beras, karena beras memiliki fungsi ekonomi,
kesehatan, sosial, budaya dan juga politik. Beras telah menjadi makanan
pokok penduduk di Indonesia, konsumsi terbesar adalah untuk pangan
dengan asumsi 130 kg per kapita per hari. Ada beberapa Oaerah yaitu
Bali yang masyarakatnya seringkali mengonsumsi beras dalam jumlah
cukup banyak melalui kegiatan upacara keagamaan (bebantenan),
upacara adat membutuhkan beras untuk acara pesta di banjar, syukuran
dan acara-acara lainnya. Para wisatawan atau pekerja tidak tetap yang
jumlahnya cukup banyak di Bali, juga mengonsumsi beras melalui jasa
rumah makan dan restoran atau lainnya. Jumlah kebutuhan itu
diperkirakan mencapai 4,5 persen dari produksi beras total.
A.2.d. Swasembada Seras
Ada Salah satu prestasi yang pernah diraih Indonesia dalam
pembangunan pertanian adalah keberhasilannya mengubah status dari
negara pengimpor beras terbesar di dunia menjadi negara swasembada
beras pada tahun 1984. Keberhasilan tersebut didukung oleh strategi
sistem Bimas sejak 1965/1966, dan lnmas tahun 1979 yang terbungkus
oleh revolusi hijau. Namun sayang, dua tahun kemudian Indonesia
kembali mengimpor beras. Ini disebabkan tingkat harga jiJal yang tidak
menguntungkan petani, sehingga petani tidak serius menggarap
sawahnya, kurangnya kemandirian petani, dan masih lemahnya
manajerial SOM petani.
Revitalisasi pertanian yang ditetapkan oleh pemerintahan SBY-
JK dalam RPJMN 2004-2009, merupakan langkah penting bangsa ini
kembali menata perekonomian nasional secara lebih efektif.
Apabila program revitalisasi pertanian diimplementasikan secara nyata,
kemiskinan terutama di pedesaan akan sernakin berkurang, kesejahteraan
43

petani akan semakin meningkat, impor produk pertanian pun makin


berkurang, ketahanan pangan maupl1n ketahanan nasianal akan terjaga.
Sebagai tindak lanjut revitalisasi pertanian, mulai tahun 2007
pemerintah Indonesia telah mencanangkan Program Produksl Beras
Nasional (P2BN). Pemerintah menargetkan peningkatan produksi minimal
2 juta ton seterusnya setiap tahun hingga tahun2009 naik rata-rata 5
rsen/tahun. Program tersebut diikuti beberapa langkah besar seperti
peningkatan anggaran Rp 2,5 trilyun dari Rp 6,2 trilyun menjadi Rp 8,7
trilyun. Anggaran tersebut dialokasikan untuk subsidi benih, jaminan kredit
petani, subsidi bunga bank, penyuluhan pertanian, mendongkrak
produktivitas padi dari 4,6 ton/ha menjadi 4,9 ton/ha, dan reformasi agraria
yang memihak kepada kepentingan petani. Langkah peningkatan
produktivitas juga diikuti dengan diizinkannya impor padi hybrida, misalnya
padi Longping dari Cina.
A.2.e. Kesejahteraan Petani
Kenyataannya dalam hal ini menunjukkan bahwa petani
merupakan fihak yang kurang beruntung, dan dirasakan amat dirugikan
hal ini disebabkan oleh rendahnya efisiensi produksi pertanian dan
rendahnya harga jual beras. Kondisi ini lebih diperburuk lagi dengan
melimpahnya beras impor dengan harga yang lebih murah. Akibatnya
daya saing beras dalam negeri semakin terancam dan selanjutnya
menyebabkan semakin sulitnya posisi petani diIndonesia. Dalam keadaan
demikian bertani, terutama untuk tanaman pangan, merupakan tumpun
terakhir. Dimana Orang yang akan bertani apabila kesempatan bekerja di
sektor lain sudah tidak ada hal ini merupakan pilihan akhir dalam
menjalankan roda penghasilan keluarga dan Konsekuensi dari semaa ini
adalah semakin lajunya proses alih fungsi lahan pertanian menjadi areal
pemukiman, perkotaan atau daerah industri. Yang sangat ironis adalah
bahwa alih fungsi lahan pertanian lebih banyak terjadi pada areal
persawahan yang telah dilengkapi dengan sarana irigasi teknis yang
44

dibangun dengan biaya tinggi. Akibat dari alih fungsi lahan tersebut
adalah semakin sUlitnya mempertahankan tingkat self sufficiency untuk
memenuhi kebutuhan pangan untuk tingkat keluarga maupun nasional
yang senantiasa meningkat seiring dengan meningkatnya laju
pertambahan penduduk.

A.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Daerah


Isu tentang desentralisasi sudah ada semenjak pemerintahan Hindia
Belanda (tahun 1903) dan kemudian berkembang pada zaman pemerintahan
Jepang. Baik pada zaman Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan
Jepang, politik desentralisasi bertujuan untuk mempertahankan kekuasaannya di
Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda lebih mengenal dekonsentrasi
dibandingkan dengan desentralisasi. Dekonsentrasi berarti pelimpahan
kekuasaan dari aparatur pemerintahan pusat kepada pejabat-pejabat pusat yang
lebih rendah tingkatannya. Namun seiring dengan adanya reformasi yang ditandai
dengan era otonomi daerah, maka otonomi (autonomy) disini diartikan sebagai
"hak mengurus rumah tangga sendiri" bagi satu Daerah diluar urusan yar:tg
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah, meliputi palitik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, serta bidang agama.
Diluar hal tesebut, menjadi urusan pemerintahan yang dapat di bagi bersama
antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Dengan demikian masalah pertanian dan ketahanan pangan, maka
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menjadi urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah yang disertai dengan sumber
pendanaannya. Sedangkan Pemerintah berperan sebagai pembuat kebijakan di
bidang ketahanan pangan.
Secara kelembagaan ditingkat pemerintah daerah, Perhatian pemerintah
daerah pada pembangunan pertanian umumnya akan meliputi infrastuktur
45

pertanian, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi Iingkup


pertanian, serta menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi daya saing
pertanian, serta alokasi APBO yang memadai. Oi level ini, akan dirumuskan juga
kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pertanian
dalam upaya pengembangan lembaga keuangan perdesaan, pengembangan
sarana pengolahan dan pemasaran. Salah satu kelemahan selama ini adalah
kinerja kelembagaan penyuluhan. Kelembagaan penyuluhan berperan sangat
esensial untuk meningkatkan inovasi dan diseminasi teknologi tepat guna.
Kelembagan ini diarahkan untuk mampu merespon permasalahan dan kebutuhan
pengguna, mendukung optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pertanian spesiflk
lokasi, pengembangan produk berdayasaing, penyelarasan dan integrasi dengan
penguasaan IPTEK pertanian, dan percepatan proses serta perluasan jaringan
diseminasi dan penjaringan umpan balik inovasi pertanian.
Sesuai dengan karakteristik permasalahan dan sumberdaya daerah yang
beragam, maka pengembangan kelembagaan untuk ketahanan pangan
semestinya berada di tingkat komunitas. Hal ini didasarkan kepada pelajaran
selama ini bahwa secara lokalitas masyarakat memiliki cara-cara untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dan mencapai ketahanan pangan rumah
tangganya. Salah satu yang penting pada level ini adalah pengembangan
kelembagaan untuk pembiayaan pertanian, baik yang berasal dari masyarakat
maupun lembaga keuangan berperan penting dalam perjalanan pembangunan
pertanian di Indonesia. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan
pembiayaan pertanian dalam konteks kelembagaan selama ini adalah sistem
dan prosedur penyaluran kredit masih rumit, , birokratis dan kurang
memperhatikan kondisi lingkungan sosio budaya pedesaan sehingga sulit
menyentuh kepentingan petani yang sebenarnya. Kemampuan petani dalam
mengakses sumber-sumber pembiayaan sangat terbatas karena lembaga
keuangan perbankan dan non perbankan menerapkan prinsip 5-C (Character,
Collateral, Capacity, Capital, dan Condition) dalam menilai usaha pertanian yang
tidak semua persyaratan yang diminta dapat dipenuhi oleh petani. Selain itu,
46

secara umum usaha disektor pertanian masih dianggap beresiko tinggi,


sedangkan skim kredit masih terbatas untuk usaha produksi, belum menyentuh
kegiatan pra dan pasca produksi.
Dalam konsiderans "Menimbang" pada Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan
untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. makna filosofis sesungguhnya dari prinsip keotonomian pada
tingkat terendah adalah mengacu pada individu sebagai perwujudan dari hasrat
untuk bebas (free will) yang melekat pada diri setiap manusia sebagai salah satu
anugerah paling berharga dari Sang Pencipta. 24
Free will inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi otonom
sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di
dalam dirinya secara optimal, yang selanjutnya akan membentuk komunitas yang
otonom, dan akhirnya bangsa yang mandiri serta unggul. Jadi, pada hakekatnya,
individu-individu yang otonom menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi
daerah yang hakiki. Dengan dasar ini, maka penguatan otonomi daerah harus
membuka kesempatan yang sama dan seluas-Iuasnya bagi setiap pelakunya
secara bertanggung jawab.
Pada dasamya konsep otonom daerah adalah "local government"
menekankan kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian
masyarakat serta perlunya keterlibatan masyarakat setempat. Karena
beragamnya persoalan antar wilayah maka tak ada pendekatan yang ·one
solution fits air dalam pengembangan kelembagaan. Secara konseptual, otonomi
daerah merupakan wadah yang baik untuk berkembangnya civil society dan
menjamin berjalannya mekanisme checks and balances antara pemerintah

24 Syahyuti, "Strategi dan Tantangan dalam Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) sebagai
Kelembagaan Ekonomi diPedesaan", Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
47

dengan warganya. Dalam konteks pemberdayaan masyakat melalui otonomi


daerah inilah konsep ketahanan pangan di bangun, dimana daerah dapat
berperan langsung dalam membangun infrastuktur pertanian dan penyediaan
lahan, pemberdayaan penyuluh pertanian, pengembangan instansi Iingkup
pertanian, serta menghilangkan berbagai pungutan yang mengurangi daya saing
pertanian, serta alokasi anggaran yang memadai.
A.4. Pengaturan Jaminan Keamanan Produk Pangan
Dalam UU Pangan telah diatur bahwa keamanan, mutu, dan gizi
merupakan upaya pemerintah dalam pembangunan pangan khususnya untuk
pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia secara adil dan merata
berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting peranannya bagi
pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta
peningkatan kecerdasan masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat perlu dilindungi
dari pangan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kesehatan
masyarakat.
Tetapi dalam implementasinya, perlindungan terhadap masyarakat
tersebut belumlah berjalan dengan sempurna. Berdasarkan hasil uji laboratorium
masih banyak ditemui pangan yang mengandung bahan berbahaya, terutama
pangan olahan industri rumah tangga, pangan siap saji, dan jajanan anak
sekolah25.
Salah satu upaya untuk melindungi masyarakat terhadap pangan yang
tidak layak atau berbahaya bagi kesehatan masyarakat adalah melalui
pelaksanaan ketentuan label dan iklan pangan. Label dan iklan pangan
merupakan sarana dalam kegiatan perdagangan pangan yang memiliki arti
penting, sehingga perlu diatur dan dikendalikan agar informasi mengenai pangan
yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar dan tidak menyesatkan.
Masyarakat perlu memperoleh informasi yang benar, jelas, dan lengkap baik

25 Op cit, Wilson Sihombing, hal 39.


48

mengenai kuIitas, kuantitas maupun hal-hal lain yang diperlukan mengenai


pangan yang beredar dimasyarakat. Informasi pada label pangan atau melalui
iklan sangat diperlukan bagi masyarakat agar masing-masing individu secara
tepat dapat menentukan pilihan sebelum membeli dan atau mengkonsumsi
pangan, tanpa informasi yang jelas maka kecurangan akan terjadi. Selain itu
pemberian label dan iklan pangan juga memberikan perlindungan batiniah
kepada masyarakat. Masyarakat Islam merupakan jumlah terbesar dari penduduk
Indonesia yang secara khusus dan non diskriminatif perlu dilindungi melalui
pengaturan hala!. 26
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penulisan tanggal kadaluarsa
pada kemasan produk pangan. Huruf dan angka yang digunakan haruslah mudah
dibaca dan terang, dan diletakkan pada bagian yang mudah untuk dilihat. Untuk
itu perlulah dipertegas mengenai tempat pencantuman dan keseragaman cara
penulisan tanggal kadaluarsa pada produk kemasan pangan.
Tingginya pelanggaran terhadap ketentuan mengenai label, iklan, dan
pencantuman tanggal kadaluarsa pada kemasan produk makanan sebagai besar
disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakpatuhan produsen. Selain itu
disebabkan juga oleh ketidaktegasan dari aparat penegak hukum, dimana belum
diterapkannya sanksi secara optimal kepada produsen yang tersangkut masalab
sehingga belum menimbulkan efek jera. 27 Se/ain itu pengenaan sanksi
administratif antara pelanggaran keamanan, mutu, dan gizi pangan haruslah
dibedakan dibandingkan pengenaan sanksi administratif terhadap pelanggaran
label dan iklan, karena substansi pelanggaran terhadap dua hal ini berbeda.

A.5. Teknologi Pangan


Teknologi Pangan merupakan pendukung utama ketersediaan pangan
sesuai dengan UU Pangan. Teknologi yang digunakan berakar pada budaya
masyarakat dan cara hidup sehari-hari para petani didesa dan di mulai dari

26 Ibid, hal 40-41.

27 Ibid, hal 42.


49

lapangan seperti sawah, ladang yang dapat ditanami bukan hanya padi tetapi
juga umbi-umbian dan polong-polongan.
Teknologi pangan padadasarnya diarahkan untuk memfasilitasi program
pengelolaan hasil pertanian dengan sasaran dapat mendukung kebijakan
strategis ketahanan pangan nasional.
Hasil dari panen digunakan atau disimpan untuk memenuhi kebutuhan
jika masa peceklik tiba, teknologi yang digunakan untuk mengawetkan hasil
panen antara lain :
1. Pengeringan, dehidrasi, evaporasi atau mengentalan;
2. Pemanasan, blanching pasteurisasi dan sterilisasi;
3. Penggunaan suhu rendah, pendingan dan pembekuan;
4. Perlakuan Khusus, fermentasi dan pemberian additif asam;
5. Pemberian senyawa kimia;
6. Iradiasi.
7. Roadmap yaitu instrumen yang digunakan dalam jangka panjang yang
bersifat umum riset dan roadmap riset komoditas;
8. Pemisahan;
9. Gilter;
10. Grading;
11. Sortasi;
12. Modifikasi Pati
13. Pengawetan Segar
Komoditas hasil ternak yang terdiri dari daging, kulit, telur dan susu
melibatkan berbagai disiplin i1mu seperti IImu Kimia, Biokimia, Fisika dan
Mikrobiologi. Kebijakan strategis pengembangan Teknologi Pangan adalah
sebagai berikut :
1. Pengembangan teknologi pangan hahus memenuhi kualifikasi teknis,
ekonomis dan sosial sehingga mampu menghasilkan produk olahan yang
memenuhi persyaratan mutu, berdaya saing dan ramah Iingkungan;
50

2. Pengembangan teknologi pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan


dengan aspek sertifikasi dan standarisasi produk serta perlu mendapatkan
dukungan efisiensi pemasaran yang memadai, sasarannya adalah agar nUai
tambah dan bagian harga yang diterima petani pengolah relatif tinggi dan
menguntungkan sebagai bagian insentif pengembangan usaha;
3. Pengembangan teknologi pangan harus mampu memecahkan permasalah
yang riil dihadapi masyarakat, dapat memfasilitasi program paska panen dan
pengolahan serta dapat serta meyakinkan memberi dukungan terhadap
pencapaian sasaran kebijakan strategi ketahanan pangan;
4. Kebijakan pengembangan teknologi pangan sepantasnya memberikan
otonomi yang luas kepada Pemerintah Daerah mengingat penguasaan
sumber daya, pendanaan dan otoritas perencanaan ada didaerah;
5. Pemilihan komoditas prospektif, pendekatan partisipatif dan pemberdayaan,
pelibatan peran swasta dan pengembangan jaringan kerja domestik dan
internasional dalam pengembangan industri pengolahan (agroindustri) di
pedesaan;
6. Program kemitraan
7. Program Primatani

A.6. Peran Serta Masyarakat


Paradigma pembangunan pangan harus disesuaikan dengan
perkembangan Iingkungan strategis global dan domestik, desentralistik,
demokratis, dan kompetitif. Salah satunya adalah perubahan pendekatan yang
digunakan mengenai pelaku utama pembangunan pangan dari dominasi peran
Pemerintah menjadi dominasi peran masyarakat. 28 Dalam pendekatan ini,
masyarakat dapat berperan sebagai konsumen atau sebagai produsen.
A.6.a. Masyarakat sebagai konsumen
Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) ada 4
masalah besar dalam kaitannya dengan hak konsumen yang belum

28 Entang Sastraatmadja, Untukmu Dewan Ketahanan Pangan, hal. 11


51

diatur dalam UU Pangan yaitu ketidakjelasan instansi atau yang


bertanggung jawab dalam fungsi pengawasan pangan, akses dan
ketersediaan pangan, keamanan (kualitas) pangan, serta hak atas
informasi yang benar29 . Hal ini yang menyebabkan masih ada kasus
keracunan makanan, beredarnya makanan dengan kandungan zat
tertentu yang berbahaya bagi kesehatan, serta produk pangan yang
kadaluarsa atau tanpa ijin.
Sikap konsumen dalam memilih pangan yang dikonsumsi adalah
wajar sebagai akibat membaiknya ekonomi dan mudahnya akses
konsumen memperoleh berbagai komoditas pangan. Oi samping itu,
pilihan apakah pangan yang akan di konsumsi barasal dari produksi
dalam negeri atau impor sangat tergantung dari bagaimana pangan
tersebut mampu memenuhi kebutuhannya. Namun demikian, sejalan
dengan keinginan bersama untuk mewujudkan kemandirian dan
kedaulatan pangan, maka sebaiknya kita mulai berusaha untuk
mengembangkan kreativitas manusia dan potensi alam yang ada di
Indonesia. Impor pangan memang tidak bisadihapuskan, tetapi
mengurangi ketergantungan terhadap impor adalah kondisi yang sangat
penting untuk menanggulangi rawan pangan, disamping itu konsumen
harus dilindungi oleh Undang-Undang bahwa produk import pangan di
labelnya harus menginformasikan asal barang, kandungan kesehatan
dan cara budidayanya, hal ini untuk mencegah timbulnya gangguan
kesehatan khususnya penyakit degeneratif.
A.6.b. Masyarakat sebagai produsen
Masyarakat sebagai produsen harus berperan secara aktif untuk
menghasilkan produk pangan yang sehat, halal, dan berkualitas. Oari
segi kesehatan dan kualitas, Pemerintah harus menyediakan fasilitas-
fasilitas untuk menguji kesehatan dan kualitas pangan yang biayanya
dapat dijangkau dan prosedur yang mudah melalui satu instansi (satu

29 Wawancara dengan YLKI, Jakarta 18 Juni 2009.


52

atap), sehingga masyarakat produsen akan dengan sukarela menguji


produk-produk pangannya terlebih dahulu sebelum dipasarkan untuk
dikonsumsi seluruh masyarakat.
Kehalalan produk pangan masyarakat produsen dapat
mengujinya ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI merupakan lembaga
yang menerbitkan sertifikat jaminan kehalalan suatu produk setelah
melalui uji laboratorium yang ketat, saat ini sertifikasi oleh MUI masih
bersifat himbauan padahal peran MUI sangat penting untuk memberikan
rasa nyaman dan aman bagi masyarakat ketika mengkonsumsi suatu
produk pangan 30 , untuk Itu keberadaan dan kewenangan MUI harus
dijamin oleh peraturan perundang-undangan ten18ng pangan sebagai
lembaga yang berperan sangat penting dalam produksi pangan.
Selanjutnya, masyarakat dalam kedudukannya sebagai
penghasil pangan, harus mengupayakan penganekaragaman pangan,
yaitu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
peningkatan mutu gizi pangan dengan pola konsumsi yang lebih
beragam atau usaha untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan,
meningkatkan penyediaan pangan, mengarahkan pola konsumsi pangan
dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat. Pada dasamya
penganekaragaman pangan merupakan tugas Iintas sektoral dan
melibatkan seluruh rakyat Indonesia, upaya ini perlu dilakukan secara
intensif untuk mendorong pemenuhan sumber-sumber karbohidrat dan
protein yang beragam.
Menurut Susilo Astuti 31 , diversifikasi atau penganekaragaman
pangan adalah proses pemilihan pangan yang tidak tergantung pada satu
jenis saja, tetapi diharapkan dari berbagai jenis bahan pangan. Proses

30Wawancara dengan MUl, Jakarta 3Juni 2009.

31"Keluarga Petani Perlu Diversifikasi Pangan" , http://www.sinartani.com/mimbarpenyuluh/keluarga·petani.


perlu-diversifikasi.pangan-1242010881.htm 4 November 2009 puku/17.05.
53

pemilihan pangan ini dimulai dari aspek produksi, aspek pengolahan,


aspek distribusi, hingga aspek konsumsi pangan di tingkat rumah tangga.
Penganekaragaman dapat dilihat melalui 2 aspek, Pertama,
penganekaragaman horizontal, yaitu upaya untuk menganekaragamkan
konsumsi dengan memperbanyak macam komoditas pangan dan upaya
meningkatkan produksi dari masing-masing komoditas tersebut.
Contohnya mengganti komposisi disamping beras juga umbi-umbian,
sagu, kacang-kacangan, ikan, sayur, buah. Kedua, penganekaragaman
vertical, yaitu upaya untuk mengolah komoditas pangan, terutama non
beras, sehingga mempunyai niali tambah dari segi ekonomi, nutrisi,
maupun sosiat Misalnya mengolah jagung menjadi com flake, ubi kayu
diolah menjadi berbagai macam makanan baik makanan pokok maupun
kudapan,
Dalam masyarakat Indonesia sebenarnya terdapat potensi sosial
budaya yang besar untuk mendukung pola makan yang beragam, baik di
dalam satu kelompok masyarakat (suku, masyarakat satu wilayah
tertentu) maupun antar kelompok masyarakat. Faktor sosial budaya dan
preferensi konsumsi akibat perubahan pendapatan dan status sosial
tersebut dinilai kurang diperhatikan dalam pengembangan keaneka-
ragaman pangan, khususnya dalam meningkatkan citra produk-produk
pangan altematif dan pola pangan beragam merupakan hal yang sangat
menentukan.
Program Penganekaragaman pangan yang dilakukan selama ini
masih didominasi oleh peran Pemerintah. Dalam program tersebut
terdapat banyak konsep tetapi kurang diturunkan dalam bentuk langkah
implementatif yang melibatkan stake-holder, dan tidak memiliki target
kuantitatif yang disepakati bersama. Peran Departemen Pertanian sangat
menonjol dalam program yang disusun, sedangkan departemen lain
cenderung untuk enggan berperan aktif di dalamnya dan terlihat adanya
hambatan koordinasi baik secara horizontal maupun vertikal. PadahaI
54

masalah pangan bersifat lintas sektoral dan melibatkan berbaagai


instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Dalam 20 tahun terakhir terdapat kecenderungan
penganekaragaman pangan ke arah konsumsi produk -produk tepung
terutama dalam bentuk mie. Proses tersebut patut dicatat sebagai bagian
dari proses penganekaragaman pangan rakyat, namun disayangkan
bahwa makanan alternatif tersebut adalah produk yang berbasis bahan
baku impor.
Mengingat besarnya jumlah penduduk Indonesia, dan karena
tersedia lahan yang cukupluas dan tenaga kerja pertanian yang cukup
banyak, itu besarnya devisa yang terkuras untuk impor pangan, dan
mengingat sangat terbatasnya devisa yang dimiliki, Indonesia perlu
berusaha semaksimal mungkin mencukupi kebutuhan pangannya secara
mandiri. Mandiri dalam bidang pangan dalam arti kita mampu
memproduksi sendiri produk-produk pangan yang kita butuhkan dengan
dukungan unsur-unsur pendukungnya (seperti benih, alsintan, pupuk,
obat-obatan dan lain-lain) yang dapat disediakan sendiri.

A.7. Hak dan Kewajiban

A.7.a. Masyarakat

Masyarakat adalah pihak yang perlu dipenuhi kebutuhan


pangannya. Klausul ini menyatakan bahwa pangan bagi masyarakat
adalah kebutuhan dan bukan hak. Hal ini bertentangan dengan
Konsideran Butir a yang menyatakan pangan adalah hak asasi.
Kebutuhan adalah konsep yang relative, sementara hak adalah konsep
yang absolute32, Masyarakat bertanggung jawab bersama pemerintah

32 Lihat pasal 2,"Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang
memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan
masyarakat.", Republik Indonesia, Undang-Undang Nomar 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang
55

untuk mewujudkan ketahanan pangan. Ketentuan ini bertentangan


dengan ketentuan dalam Kovenan Ekosob bahwa pemerintah atau
Negara bertanggung jawab memenuhi hak masyarakat atas pangan.
Prinsip distribusi peran yang dianut oleh Undang-Undang Pangan No.
7 Tahun 1996 sekali lagi mengingkari peran Negara sebagai
pengemban kewajiban (Duty Bearet) dan masyarakat sebagai Right
Claimer.

Pengembangan sumber daya manusia pangan adalah


kewajiban Negara karena Negara memiliki instrumen untuk
merealisasikan tanggung jawab tersebut. 33 Keikutsertaan masyarakat
ini didefinisikan sebagai keterlibatan masyarakat sebagai penyuluh
swasta yang berasal dan dunia usaha dan/atau lembaga yang
mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan dan penyuluh
swadaya yaitu pelaku pertanian yang berhasil dalam usahanya dan
warga masyarakat lainnya yang dengan kesadaran sendiri mau dan
mampu menjadi penyuluhan.

Dalam Undang-Undang Penyuluhan Pertanian dinyatakan


secara jelas bahwa pihak yang paling berhak memperoleh manfaat
penyuluhan meliputi sasaran utama 34 dan sasaran antara 35 (Pasal 5
Ayat 1).36

Nomor, 7 Tahun 1996 Termasuk Lembaran-Negara 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 3656

33 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan, Undang-Undang Nomor, 16 Tahun 2006 Termasuk Lembaran-Negara Tahun 2006 Nomor 92

34Sasaran utama penyuluhan pertanian adalah pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan kehutanan
(masyarakat di dalam dan sekitar hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolahikan,
beserta keluarga intinya). (UU No. 16 Tahun 2006 Pasal 5 Ayat 2) dan pelaku usaha (perorangan warga negara
Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian, perikanan,
dan kehutanan
56

Penyelenggaran hak itu diawasi oleh Negara dan terdapat


konsekuensi pidana dan sanksi administratif (Pasal 35 dan Pasal 36)37
jika menimbulkan kerugian sosial ekonomi, Iingkungan hidup, serta
kesehatan masyarakat. Ketentuan dalam Undang·Undang ini adalah
semata-mata memuat ketentuan mengenai sanksi apabila pemenuhan
hak menimbulkan dampak negative (act of commission) tetapi tidak
menyatakan apapun mengenai sanksi yang diberikan apabila hak tidak
dipenuhi apakah akan menimbulkan dampak negatif pula.

Perlindungan bagi konsumen pangan merupakan tanggung


jawab negara. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam menyampaikan
informasi mengenai hal-hal yang berpotensi menimbulkan ancaman
keselamatan konsumen pangan.

Peran serta masyarakat dalam menyampaikan permasalahan,


masukan, dan pemecahan mengenai hal-hal di bidang pangan perlu
dipertahankan 38 akan tetapi perlu diperluas dengan hak masyarakat
. untuk menuntut haknya. Untuk menjamin hal ini dapat berlaku, maka
perlu dirumuskan mekanismenya dalam Undang-Undang Pangan yang
baru guna menjamin terpenuhinya hak-hak masyarakat atas pangan.

Hanya ada 2 aspek yang dapat dikategorikan sebagai


pemenuhan hak masyarakat yang tercantum dalam Undang·Undang
Pangan NO.7 Tahun 1996, yakni pemenuhan kebutuhan pangan
(Pasal 2) dan memperoleh perbaikan status gizi (Pasal 27 Ayat 1).
Sekali lagi, Undang-Undang ini sangat tidak dapat diandalkan untuk

35 Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga
pemerhati pertanian, perikanan, kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat. (UU No. 16 Tahun 2006,
Pasal5 Ayat 3)

36 Ibid

37 Ibid

38 Loc.Cit, Republik Indonesia, Undang-Undang Nomar 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasa/52
57

menegakkan hak atas pangan karena terlalu bias memandang warga


negara sebagai konsumen. Sesungguhnya kebijakan pangan harus
memuat ketentuan-ketentuan mengenai hak masyarakat terkait dengan
akses pasar, keberpihakan institusi, sistem informasi kepada publik,
akses pada sumber daya dan asset; akses atas tanah, air, sumber
daya genetik pangan dan pertanian, nutrisi, transparansi dan
akuntabilitas dan akuntabilitas dalam penggunaan sumber daya pUblik
untuk ketahanan pangan, dan bantuan kepada kelompok rentan.

A.7.b. Pemerintah

Kewajiban Negara untuk menghormati hak atas pangan. 39


Kewajiban ini mencakup tindakan yang terkalkulasi secara rasional
untuk memastikan terealisasikannya hak atas pangan (obligation of
conducts). Realisasi dari obligation of conduct dapat meliputi adopsi
dan implementasi rencana aksi untuk melakukan tindakan-tindakan
untuk mengkaji berbagai produk perundang-undangan yang tidak
kondusif serta menghambat penikmatan hak-hak atas pangan.
Mengikuti kaidah ini, maka tidak ada satu pun peran Pemerintah dalam
kategori di atas yang dapat dikatakan telah memenuhi pengertian
obligation to conducts untuk memenuhi kewajiban Negara dalam
menghormati hak atas pangan.

Obligation of results terkait dengan pemenuhan kewajiban


Negara untuk menghormati hak atas pangan dapat dwujudkan dengan
merumuskan target-target pencapaian jumlah regulasi dan produk
hukum yang perlu direvisi untuk menjamin bahwa produk hukum
tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip pemenuhan hak atas pangan.
Tidak ada satu ketentuan pun yang tekandung dalam Undang-Undang

39Maastricht Guidelines Article 6,"The obligation torespect requires States to refrain from interfering with the
enjoyment ofeconomic, social, and cultural rights
58

Pangan NO.7 tahun 1996 yang memenuhi prinsip obligation of results


untuk memenuhi kewajiban Negara dalam menghormati hak atas
pangan.

Undang-Undang Pangan No. 7 Tahun 1996 telah berisi


berbagai ketentuan yang berusaha melindungi orang perseorangan
dari tindakan negatif pihak ketiga (orang perseorangan/produsen dan
Badan Usaha) yang terkait dengan produksi, pengedaran, serta
perdagangan pangan olahan. 40 Akan tetapi, regulasi ini memiliki
pandangan yang sempit mengenai pihak ketiga yakni semata-mata
produsen pangan perseorangan dan badan usaha sehingga gagal
untuk mengatur perilaku pihak ketiga yang tidak dideskripsikan dalam
regulasi ini. Diperlukan Undang-Undang pangan baru yang memuat
pihak ketiga yang meliputi: produsen pangan skala rumah tangga;
produsen pangan besar; pedagang pangan;perusahaan swasta dan
mendefinisikan peran Negara untuk melindungi masyarakat, rumah
tangga, perseorangan dari tindakan-tindakan pihak ketiga yang dapat
mengancam pemenuhan hak atas pangan.

Regulasi ini juga memandang secara sangat terbatas peran


Pihak Ketiga, yakni semata-mata hanya sebagai produsen, pengedar,
serta pedagang pangan olahan. Kelemahan ini menjadi alas an yang
cukup untuk merevisi undang-undang ini dengan memperluas
ketentuan-ketentuan mengenai peran pihak ketiga sebagai penanam
modal. Undang-Undang Pangan NO.7 tahun 1996 tidak mengatur
mengenai batasan atau standar yang harus dipatuhi oleh Pihak Ketiga
dalam . melakukan aktivitasnya sehingga hak-hak atas pangan
masyarakat, keluarga, dan orang perseorangan dapat terpenuhi.

40 Maastricht Guidelines mendefinisikan kewajiban untuk melindungi sebagai: "The obligation toprotect requires
States 10 prevent violations ofsuch rights bythird parties." .
59

Pangan No. 7 tahun 1996 dipenuhi dengan


klausul-klausul yang merupakan tindakan administratif negara untuk
memenuhi hak atas pangan. Dengan demikian, negara berdasarkan
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 hanya mendefinisikan
tanggung jawab pemenuhan hak atas pangan sebagai kewajiban
administratif dan mengabaikan kewajiban-kewajiban legislatif,
penganggaran, dan yUdikatif. 41 Diperlukan sebuah Undang-Undang
Pangan baru yang memuat tentang tindakan-tindakan legislasi,
penganggaran, dan yudisial dalam upaya pemenuhan hak atas
pangan.

A.7.c. Orang perseorangan

Konsumen berhak mengajukan gugatan ganti rugi akibat


mengkonsumsi pangan olahan Pasal 41.Pendefinisian orang
perseorangan semata-mata sebagai konsumen yang hanya memiliki
hak gugat akibat mengkonsumi pangan olahan menunjukkan betapa
sempitnya perspektif yang digunakan dalam merumuskan
Undang pangan No. 7 tahun 1996. Perspektif ini mengabaikan prinsip
bahwa orang perseorangan bukan hanya sebagai konsumen pangan,
tetapi juga dapat berupa produsen pangan subsisten, penerima
bantuan pangan karena miskin, pengungsi karena konflik, korban
bencana alam, penerima kredit bantuan pangan, orang cacat,
masyarakat terpencil dan masyarakat terpinggirkan. 42

Regulasi ini juga memandang secara sangat terbatas peran


orang perseorangan, yakni semata-rnata hanya sebagai produsen,
pengedar, serta pedagang pangan olahan. Kelemahan ini menjadi alas

41 Maastricht Guidelines mendefinisikan kewajiban untuk memenuhi sebagai: "The obligation tofulfil requires
States totake appropriate legislative, administrative, budgetary, judicial and other measures towards the full
realization ofsuch rights
42 pemulung, pengemis, dan gelandangan); laki-Iaki, perempuan, dan anak-anak
60

an yang cukup untuk merevisi undang-undang ini dengan memperluas


ketentuan-ketentuan mengenai peran orang perseorangan sebagai
penanam modal, produsen sarana produksi (benih, pupuk); pedagang
secara umum; pemegang konsesi laut dan hutan; pengembang
perumahan; perusahaan penangkap ikan; serta lembaga keuangan.

B. USULAN SISTEMATIKA RUU

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penyusunan RUU tentang Pangan


dapat diusulkan sistematika sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum
2. Asas dan Tujuan
3. Jaminan Ketersediaan Pangan
a. Umum
b. Produksi dalam negeri
c. Cadangan pangan nasional
d. Pemasukan pangan dari luar negeri
e. Penganekaragaman pangan
f. Pengeluaran pangan dari wilayah Indonesia
4. Jaminan Keterjangkauan Pangan
a. Distribusi pangan
b. Pengendalian harga
5. Kemanan Pangan
a. Umum
b. Sanitasi pangan
c. Bahan tambahan pangan
d. Rekayasa genetika dan iradiasi pangan
e. Kemasan pangan
f. Standar mutu pangan dan pemeriksaan laboratirium
g. Gizi pangan
h. Pangan tercemar
61

6. Label dan Iklan Pangan


7. Klembagaan Pangan
8. Peran Serta Masyarakat
9. Sanksi Administratif
10. Ketentuan Pidana
11. Ketentuan Penutup
62

BABV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Materi muatan dalam Undang-Undang Pangan sifatnya sangat umum dan banyak
dilakukan pendelegasian pengaturan sehingga dalam pelaksanaannya ditemui
beberapa kendala. Terutama dalam hal penegakan hukum menyangkut penerapan
sanksi yang relatif masih rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
2. Konsep ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan belum menjawab
penyediaan pangan dan produksi pangan dalam negeri, hal ini berkaitan dengan
kelembagaan pangan.
3. Belum adanya pengaturan yang jelas dan tegas menyangkut keamanan pangan
(Iabelisasi) untuk dikonsumsi masyarakat, misalnya dalam hal pencantuman
tanggal kadaluarsa.
4. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Intemasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dimana pangan
adalah bagian dari HAM (right to food), dan merupakan hak asasi manusia
dibidang sosial, ekonomi, dan budaya. Negara bertanggungjawab untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan serta menjamin
ketersediaan pangan bagi rakyatnya (terutama distribusi pangan dan kemudahan
rakyat untuk mengakses pangan).

B. Saran

Perlu segera disusun UU yang memberikan landasan hukum bagi penyelenggaraan


pangan yang menjamin keberlangsungan ketersediaan, keterjangkauan, dan
keamanan pangan.
63

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Lowdermilk, CWo 1948 - Counquest ofthe Land Through Seven Thousand Year
USDA

Vaclav Smill 1993 - Global Ecology: Environmental change and social flexibility -
Routledge - London

Agus Pakpahan - Buah Pemikiran disampaikan pada acaraStudium General, Dies


Natalis ke-50 Tahun Universitas Padjajaran - Bandung -18 September 2007

Wilson Sihombing - Bagaimana Pengaturan dan Pelaksanaan Pangan di Indonesia


dalam Jurnal Informasi Hukum Biro Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan
Undang-Undang SETJEN DPR RI, Edisi Perdana , November 2008 - hal 37

Gatot S Hardono, Handewi P.S. Rachman dan Sri H. Suhartini, "Liberarisasi


Perdagangan:Sisi Teori, Dampak Empiris dan Perspektif Ketahanan Pangan",
Forum Penelitian Agro EKonomi, Volume 22 Nomor 2, Desember 2004.

Syahyuti, "Strategi dan Tantangan Dalam Pengembangan Gabungan Kelompok Tani


(GAPOKTAN) sebagai Kelembagaan Ekonomi Pedesaan", Pusat Analisis
Sosial EKonomi dan Kebijakan Pertanian.

Maxwell S and Frankenberger, T 1992 Household Food Security Concepts, Indicators


and Measurements, New York, NY, USA: UNICEP and IFAD

Sage, C 2002 Food Security and Environmnet. In Page & Redclitt, ed 2002 Human
Security and The Environment International Comparisons. Cheltenham :
Edward Elgar

Lihat: FAO 2003, Trade Reform and Food Security -Conceptualizing the Linkages dan
Maxwell S 1996 Food Security: a post modern perspective, Food Policy, Vol
21 No.2, pp 155-170 dan sedikitnya 450 indikator ketahanan pangan,
Hoddinott, J 1999 Operationalizing Household Food Security In Development
ProjectAn Introduction International Food Policy Research Institute Technical
Guide No.1, Washington D.C

Lihat pasal 2, "Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan


dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata
berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan
masyarakaf, Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996
tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, Termasuk Lembaran
64

Negara 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia


nomor 3656.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan


Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006
termasuk Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 92

Sasaran utama penyuluhan pertanian adalah pelaku utama kegiatan pertanian,


perikanan dan kehutanan (masyarakat di dalam dan sekitar hutan, petani,
pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolah ikan berserta
keluarga intinya).(UU No. 16 Tahun 2006 Pasal 5 Ayat 2) dan pelaku usaha
(perorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut
hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanlan, perikanan dan kehutanan.

Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi


kelompok atau lembaga pemerhati pertanian, perikanan, kehutanan serta
generasi muda dan tokoh masyarakat. (UU No. 16 Tahun 2006 Pasal5 Ayat 3)

B. Artikel/Makalah/Situs

Untukmu Dewan Ketahanan Pangan hal11 Entang Sastraatmadja

Wawancara dengan YLKI, Jakarta 18 Juni 2009

Wawancara dengan MUI, Jakarta 3Juni 2009

Maasstrich Guidelines Article 6, "The obligation to respect requires States to refrain from
interfering with the enjoyment ofeconomic. social, and cultural rights.

Maastrich Gudelines mendefinisikan kewajiban untuk melindungi sebagai :"The


obligation to protect requires States to prevent violations ofsuch rights by third
parties.

Maastrich Gudelines mendefinisikan kewajiban untuk memenuhi sebagai : " The


Obligation to fulfil requires States to take appropriate legislative, administrative.
budgetary, judicial and other measures towards the full realization of such
rights.

Pemulung, pengemis, dan gelandangan, laku-Iaki, perempuan dan anak-anak

http://pangan/agroprima.com/incex.php?option=com content&task=view&id=34&ltemid=1.
15 Juni 2009

http://www.spLor.id/?p=>. 15 Juni Kedaulatan Pangan adalah Konsep dan Pratek


Alternatif Pembangunan Pertanian.
65

http://cidesonline.org/contentlview/, Rabu 17 Juni 2009

http://www.gizLnetimakalah/Food Safety DadLpdf

http://islamicspace.wordpress.com/2007/01/26/bersikap -bijak-terhadap-bahan-
ambahan-pangan-btp/, rabu, 15 Juli 2009

http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com content&task=view&id=543&itemid=6
>, 15 Juni 2009, Irham Kovenan EKOSOB Soal Pangan

http://maharorastowo.blogspot.com/2008/01/press-release-revisi-uu-pangan-no-7-thn-
html>, 16 Juni 2009 Revisi Atas Undang-Undang NO.7 Tahun 1996 tentang
Pangan.

http://petanLblogsome.com/arsip-email/gugatan-terhadap-pangan/>, 16 Juni 2009


Tentang Gugatan Terhadap UU No. 7/1996 tentang Pangan

http://www.sinartani.com/mimbaroenvuluh /keluarga-petani-perlu-diversifikasi-pangan-
1242010881.htm 4 November 2009 pukul 17.05, Keluarga Petani Perlu
Diversifikasi Pangan.

Wisnu Cahyadi, Keamanan Pangan, Tanggung Jawab Bersama,


www.ahmadheryawan.com. Saturday 13 Desember 2008

Anda mungkin juga menyukai