DISUSUN OLEH :
DEPUTIPERUNDANG-UNDANGAN
SETJEN DPR RI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunia-
Nya-Iah Tim Penyusun dapat menyelesaikan Naskah Akademik dan Draft Awal Rancangan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan dapat diselesaikan tepat waktu.
Adapun pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik dan Draft Awal RUU tersebut
berdasarkan pada Surat Keputusan Sekretaris Jenderal DPR RI Nomor 109/SEKJEN/2009 tertanggal
30 Januari 2009.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka bersama ini disampaikan Naskah Akademik dan
Draft Awal Rancangan Undang-Undang tersebut dengan harapan Naskah Akademik dan Draft Awal
Rancangan Undang-Undang ini dapat bermanfaat.
Akhir kata Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung yang telah membantu dalam proses penyusunan Naskah Akademik
dan Draft Awal Rancangan Undang-Undang ini.
BAB I PENDAHULUAN
A Latar Belakang.................................................................................................... 1
B Identifikasi Masalahan '" '" .. 3
C Tujuan dan Kegunaan......... 4
o Metode Penyusunan................................................ 4
BAB V PENUTUP
A Kesimpulan................................................... 62
B Saran... 62
Daftar Pustaka
1
BABI
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pangan adalah kebutuhan dasar manusia paling utama, karena itu pemenuhan
pangan merupakan bagian dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat
penting sebagai kampanen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan, setiap negara akan
mendahulukan pembangunan ketahanan pangannya sebagai fondasi bagi pembangunan
sektar-sektor lainnya. Tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah menjamin
ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang,
baik pada tingkat nasianal, daerah hingga rumah tangga. Ketahanan pangan harus
diwujudkan secara merata diseluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan
sumber daya, kelembagaan, dan budaya loka!.
Dalam perjalanan perkembangan pembangunan pangan, Indonesia dulu dikenal
sebagai negara agraris karena sebagian besar rakyatnya bermata pencaharian sebagai
petani, dengan produk pertanian padi yang pada tahun 1984 - 1985 pemah menjadi
negara swasembada beras. Namun akhir-akhir ini Indonesia lebih dikenal sebagai salah
satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Tingginya kebutuhan beras dalam neger;
tidak dapat lagi dipenuhi oleh produksi bangsa sendiri oleh karena beberapa faktor, antara
lain perubahan fungsi lahan produktif menjadi kawasan pemukiman atau industri, dan
belum banyaknya diversifikasi pangan.
Ketersediaan pangan tingkat nasional dan regional tidak menjamin adanya
ketahanan pangan tingkat rumah tangga atau individu. Hal ini disebabkan karena di
samping ketersediaan pangan, ketahanan pangan rumah tanggalindividu sangat
ditentukan pula aleh akses mereka untuk mendapatkan pangan tersebut. Dalam hal in;
tingkat pendapatan dan daya beli merupakan faktor penentu akses rumah tangga terhadap
pangan. Selain itu, di tingkat pengambilan kebijakan, kejadian rawan pangan antara lain
2
terkait dengan masalah stabilitas harga pangan dan manajemen atau pengelolaan
cadangan/stok pangan.
Mewujudkan ketahanan pangan, merupakan tanggungjawab bersama antara
Pemerintah dan masyarakat. Dimana Pemerintah menyelenggarakan pengaturan,
pembinaan, pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan oleh daya
beli masyarakat. Tanggung jawab masyarakat antara lain dengan meningkatkan kualitas
produksi pangan dan keseimbangan dalam penggunaan produk pangan itu sendiri.
Dalam mewujudkan tanggungjawab dan untuk membangun sistem yang menjamin
adanya kontrol di tingkat produksi hingga di konsumsi tersebut, pada Tahun 1996,
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
(Undang-Undang Pangan). Dalam Undang-Undang tersebut bahwa seluruh aspek dalam
sistem pangan diatur dengan mengintegrasikan dengan undang-undang lainnya yang
mengatur tentang bahan-bahan pangan baik itu olahan dan bukan olahan, bahan pangan
lain selain pertanian seperti ternak, perkebunan, perikanan, dan hasil olahan industri.
Untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia dengan kondisi jumlah
penduduk di atas 200 juta jiwa, cakupan luas dan sebaran daerah yang meliputi ribuan
pulau, serta pola konsumsi, baik jenis, proporsi, ataupun pola menu yang demikian
beragam, dengan kondisi dUkungan infrastruktur dan sarana prasarana yang sangat
heterogen, termasuk masih banyaknya daerah yang termasuk terisolir, maka aspek
pengadaan/penyediaan maupun distribusi bahan pangan bukanlah hal yang mudah. Untuk
memenuhi kebutuhan standar keterjangkauan, baik menyangkut ketersediaan bahan
pangan ataupun menyangkut keterjangkauan harga sesuai dengan harga beli masyarakat,
tidak cukup hanya mengandalkan tata niaga/pola distribusi alokasi dari sentra produksi ke
sumber konsumen, tetapi juga harus dibarengi dengan distribusi dan alokasi proses
produksi secara menyeluruh pula.
Selanjutnya, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir menguat persoalan
diseputar pengawasan kualitas dan kandungannya, proses produksi dan labeling halal
pada kemasannya. Sering muncul kasus seperti keracunan makanan, beredarnya
makanan kadaluarsa, makanan yang mengandung bahan tertentu yang berbahaya, dan
3
B. JDENTIFIKASJ MASALAH
Undang-Undang Pangan dimaksudkan untuk menjadi acuan dari berbagai
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pangan, baik yang sudah ada
maupun yang akan dibentuk, serta menjadi landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan,
dan pengawasan terhadap kegiatan atau proses produksi, peredaran, dan atau
perdagangan pangan. Permasalahan yang akan dituangkan dalam penyusunan Naskah
Akademik RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1986 adalah
sebagai berikut :
1. Materi muatan dalam Undang-Undang Pangan sifatnya sangat umum dan banyak
dilakukan pendelegasian pengaturan sehingga dalam pelaksanaannya ditemui
beberapa kendala. Terutama dalam hal penegakan hukum menyangkut penerapan
sanksi yang relatif masih rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
2. Konsep ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan belum menjawab
penyediaan pangan dan produksi pangan dalam negeri, hal ini berkaitan dengan
kelembagaan pangan.
3. Belum adanya pengaturan yang jelas dan tegas menyangkut keamanan pangan
(Iabelisasi) untuk dikonsumsi masyarakat, misalnya dalam hal pencantuman tanggal
kadaluarsa.
4. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan BUdaya) dimana pangan adalah
bag ian dar; HAM (right to food), dan merupakan hak asasi manusia dibidang sosial,
ekonomi, dan budaya. Negara bertanggungjawab untuk menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak atas pangan serta menjamin ketersediaan pangan bagi rakyatnya
(terutama distribusi pangan dan kemudahan rakyat untuk mengakses pangan).
4
D. METODE PENYUSUNAN
Penyusunan Naskah Akademik dilakukan dengan menggunakan pendekatan:
1. Pendekatan Statuta (Statute Approach)
Pendekatan statuta digunakan untuk mengkaji suatu permasalahan dengan melihat
pada peraturan perundang-undangan yang mengatur dan terkait dengan Pangan.
Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui dan mengungkapkan secara akademik
permasalahan-permasalahan yang akan diatur da/am perubahan RUU tentang Pangan.
Di samping itu juga sebagai acuan dalam penyusunan draft RUU perubahan UU
tentang Pangan.
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Pendekatan konsep yang dimaksud adalah menggunakan konsep hukum dan
pelaksanaan tugas serta fungsi dari instansi terkait. Konsep yang digunakan dalam
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan memiliki keterkaitan dengan konsep
produksi, peredaran, perdagangan, dan atau jaminan ketahanan pangan.
3. Studi Dokumen
Studi dokumen dilakukan dengan mengadakan penelusuran bahan-bahan melalui
internet, dokumen dan data, buku-buku Iiteratur, daftar pustaka yang terkait dengan
pangan dan ketahanan pangan, dan peraturan perundang-undangan lainnya di biro
hukum dan perpustakaan
5
BAB II
KERANGKA KONSEPTUAL
Kedua spirit tersebut seringkali menimbulkan dilema yang harus dapat diselesaikan
secara baik antara Pemerintah dengan pelaku usaha yang ditunjang oleh para
cendekiawan/ilmuwan, melalui penggunaan analisa resiko, dalam hal ini kebijakan-
kebijakan untukdlterapkan kepada hal-hal yang termasuk resiko tinggi, resiko sedang
dan resiko rendah.
1. Resiko tinggi (high risk) adalah apabila kebijakan tersebut menyangkut pada
resiko kesehatan langsung, misalnya kondisi hygiene dalam proses produksi dan
transportasi, penggunaan bahan berbahaya atau bahan tambahan pangan,
kontaminasi fisik, kimia atau mikrobiologi, dan lain-lain. Untuk itu Pemerintah perlu
membuat technical regulation dengan berdasarkan data ilmiah dengan evaluasi
yang rasional, dan bila ada, berdasarkan referensi di beberapa negara, sehingga
sangat memungkinkan direalisasikannya kebijakan tanpa kompromi.
2. Resiko menengah (medium risk) adalah kelompok yangg harus hati-hati dalam
kebijakan yang sebetulnya tidak terlalu berbahaya tetapi perlu diatur guna
memberikan informasi yang benar, tidak membohongi konsumen misalnya khasiat,
berat, volume.
3. Resiko rendah (low risk) bila kebijakan tersebut bersifat voluntary atau sukarela.
Dalam UU Pangan, kelompok resiko menengah sebenamya telah ditampung
dalam Pasal 30 ayat (3) yang berbunyi "Selain keterangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemerintah dapat menetapkan keterangan lain wajib atau dilarang untuk
dicantumkan pada label pangan". Dalam Undang-Undang tersebut, kata "dapaf
mengidentifikasikan tidak harus tetapi mungkin bila dipandang perlu. Untuk melihat
keperluan tersebut, sebaiknya dipahami bahwa hal tersebut perlu bagi Pemerintah,
perlu bagi produsen dan perlu bagi konsumen, sehingga cara-cara
kesepakatan/konsensus menjadi kata kunci sebelum suatu peraturan yang termasuk
kelompok medium risk ini dibuat, dengan mempertimbangkan aspek teknis kesehatan,
teknis produksi, ekonomi dan sosial.
A.2. Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
7
aman, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting
dalam rangka pembangunan nasional untuk membentuk manusia Indonesia yang
berkualitas, mandiri, sejahtera melalui perwujudan ketersediaan pangan yang cukup,
aman, bermutu, bergizi, dan beragam serta tersebar merata di seluruh wilayah
Indonesia dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab untuk mewujudkan ketahanan
pangan, dimana Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya
beli masyarakat. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan Pemerintah
mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau menanggulangi gejala
kekurangan pangan dan rawan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi atau
manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan sehingga diperlukan cadangan
pangan nasional. Sedangkan tanggung jawab masyarakat antara lain dengan
meningkatkan kualitas produksi pangan dan keseimbangan dalam penggunaan produk
pangan itu sendiri.
Mengenai ketahanan pangan kita tidak lepas dari ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan (PP 68/2002). PP 681
2002 telah memberikan ruang dan akomodasi dalam penyelenggaraan fungsi
ketahanan pangan didaerah, dan yang menjadi kendala adalah persepsi stake holders
dalam menyikapi ketahanan pangan. Banyak kalangan melihat bahwa ketahanan
panngan masih terbatas dalam kacamata produksi pangan, sehingga sering ditafsirkan
bahwa kondisi ketahanan pangan adalah peningkatan produksi pangan semata.
Dasar penentuan cadangan pangan Pemerintah dan cadangan pangan
masyarakat adalah :
1. Undang-Undang Nomor 7Tahun 1996 tentang Pangan.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan.
3. Keputusan Bersama Menko Bidang Perekonomian dan Menko Bidang Kesra Noor :
46/M.Eko108/2005 dan Nomor 34/KP/Menko KesraNIII/2005 tanggal9 agustus 2005
tentang Pedoman Umum Koordinasi Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah.
8
Dalam praktek, patokan pola pangan disusun dalam Pola Pangan Harapan
(PPH) yang diartikan sebagai susunan beragam pangan atas kelompok pangan
yang didasarkan atas sumbangan enerjinya terhadap total enerji yang mampu
mencukupi kebutuhan konsumsi pangan dan gizi dari segi jumlah, kualitas, ragam,
dengan mempertimbangkan segi-segi sosial, ekonomi, budaya, agama, dan eita
rasa. Orang Indonesia tidak memerlukan lemak tinggi, tetapi cukup sekitar 18-22%
dan enerji dari protein sama yaitu 10-12% sedangkan sisanya 66-72% disediakan
oleh karbohidrat. Sumbangan enerji dari hewani eukup sekitar 15% dan tidak
harus 20% supaya tidak menimbulkan kekhawatiran kemungkinan meningkatnya
masalah gizi lebih.
Penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan bertambah
menjadi 2 kali Iipat dan jumlahnya sekarang, menjadi ± 400 juta jiwa 2. Dengan
meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, pula peningkatan
konsumsi/kapita untuk berbagai pangan. Akibatnya, dalam waktu 35 tahun yang
akan datang Indonesia memerlukan tambahan ketersediaan pangan yang lebih
dari 2 kali jumlah kebutuhan saat ini. Rata-rata konsumsi pangan per kapita per
tahun rakyat Indonesiauntuk beberapa pangan penting adalah sebagai berikut3:
3 Ibid.
14
meningkatkan mutu dan kesehatan pangan dalam negen Juga akan dapat
meningkatkan citra yang positif bagi perdagangan internasional.
4 Lowdermilk, C.W. 1948. Conquest of the Land Through Seven Thousand Years. USDA. Lowdermilk
menguraikan bahwa perkembangan peradaban (pertanian) di Syria mewariskan sekitar satu juta hektar lahan
yang hancur akibat erosi tanah, hancumya hutan diLebanon, dan kota-kota yang hilang karena erosi tanah yang
telah menimbunnya (kisah Hundred Dead Cities).
17
pangan. Bahkan dapat dikatakan bahwa "at any cosf' kebutuhan akan padi atau gandum
ini diupayakan untuk memperoleh kepastian akan tersedianya beras karena tanpa adanya
beras, seolah-olah Indonesia terancarn akan "ambruk".
Di sinilah letaknya makna ketahanan pangan yang utama, yaitu bagaimana kita
bisa dan kuat mentransformasi sesuatu yang telah membudaya, yaitu kebiasaan atau habit
dari sebagian besar masyarakat kita yang sangat tergantung kepada beras dalam
memaknai sumber utama pangan kita, ke arah pola pangan yang bukan hanya hemat dan
waspada tetapi juga bersumber dari keanekaragaman pangan yang telah disediakan oleh
alam di sekitar kita. Jadi, persoalan mendasarnya bukanlah berada dalam ruang-Iingkup
teknis, melainkan berada dalam alam budaya kita.
Sesuatu dikatakan sudah membudaya apabila kita mengerjakannya tanpa
didahului oleh pertimbangan-pertimbangan atau pemikiran terlebih dahulu. Hal itu terjadi
karena ia sudah menjadi hasil artikulasi dari hasil evolusi pemikiran, perasaan dan proses
kognitif lainnya dalam masyarakat yang sudah berlangsung lama. Hal yang sama juga
dengan pangan, bahwa orang setiap hari makan nasi karena memang makan nasi itu
sudah menjadi bagian dari budaya pangan kita.
Karenanya bukanlah hal yang sederhana dalam membangun ketahanan pangan
ini. Vaclav Smil (1993) menunjukkan sebenarnya lebih murah upaya meningkatkan
ketahanan ini melalui perubahan budaya, khususnya dalam mengubah kebiasaan makan,
dengan melepaskan diri dari ketergantungan terhadap satu atau dua jenis tanaman saja,
dibandingkan dengan meningkatkan supply sarana dan prasarana produksi pertanian
untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat,5
Dalam membangun budaya ketahanan pangan perlu dimulai dengan perubahan
sikap mental yang tidak terpisahkan dengan nilai-nilai nasionalisme, persatuan bangsa dan
kesejahteraan sosial. Hal ini merupakan titik awal dalam membangun ketahanan pangan
ke depan. Untuk membangun ketahanan pangan yang berkecukupan, dapat di Iihat dari
pengalaman Cina, penyebab utama yang membuat mereka bisa bangkitadalah kebulatan
tekad untuk membangun di bidang pertanian. Artinya, pertanian di nomor-satukan, sambil
sektor lainnya dibangun. Sebagai i1ustrasi, Agriculture Bank of China (ABC) merupakan
bank pertanian yang sangat besar yang mendukung perkembangan pertanian. Pada tahun
2002, dengan penerimaan US$ 10.3 milyar, ABC menyumbangkan US $ 242 juta kepada
Jilin University untuk menyiapkan teknologi pertanian pada era 2020-an. Pihak perbankan
menaruh perhatian yang sangat besar terhadap dunia pendidikandan rlset di bidang
pertanian dengan mengalokasikannya lebih dari 2.3 % dari penghasilannya. Sarana dan
prasarana pertanian di perdesaan juga mengalami perkembangan yang luar biasa.
Hasilnya adalah kemajuan pertanian dinegeri Cina ini luar biasa dengan indikatornya yang
sangat jelas dari ancaman kelaparan menjadi kelimpahan pangan. Bahkan, Cina memiliki
stok padi yang cukup untuk jangka waktu tahunan apabila negeri ini mengalami paceklik
panjang atau peperangan. 6 Kelimpahan pangan dapat terjadi dari hasil menempatkan
pertanian dan pangan bukan sekedar masalah sektoral saja, melainkan masalah hidup
atau mati suatu bangsa.
Pada saat Abraham Lincoln menjadi Presiden ke-16 di Amerika Serikat, bangsa
Amerika juga belum mencapai kelimpahan pangan. Abraham Lincoln-Iah yang
menghapuskan perbudakan yang menjadi tulang punggung pertanian di Amerika pada
saat itu. Kemudian Abraham Lincoln menciptakan landasan yang kokoh untuk pertanian di
Amerika Serikat dalam bentuk Homestead Act 1862 yang membuka peluang petani
mendapatkan lahan per luasan 64 hektar dan Morril Act 1863 yang menjamin kemajuan
i1mu pengetahuan dan teknologi pertanian dengan berdirinya Land Grant University di
seluruh negara bagian, serta membentuk Departemen Pertanian yang sekarang kita kenai
dengan United States Department of Agriculture. Langkah besar Abraham Lincoln ini
diulangi oleh Franklin D. Rossevelt dengan melahirkan Agriculture Adjustment Act 1933
yang melahirkan negara memberikan subsidi kepada para petaninya. Pandangan
yang "memuliakan" pertanian ini tampaknya sudah menjadi tradisi untuk negara-negara
maju, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan apa yang dilakukan oleh Thailand yang
pertaniannya relatif lebih maju dengan menempatkan keberadaan Bank Pertanian mereka
yang diberi nama Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BAAC ) sebagai bank
pertanian.
6Agus Pakpahan, Buah pemikiran disampaikan pada acara Studium General, Dies Natalis Ke-50 Tahun
Universitas Padjadjaran, Bandung, 18 September 2007.
19
7Wilson Sihombing, Bagaimana Pengaturan dan Pelaksanaan Pangan di Indonesia, dalam Jumal Inforrnasi
Hukum Biro Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan Undang-undang Sekretariat Jendral DPR RI, Edisi Perdana
November 2008, haI3?
setiap negara harus memproteksi kepentingan lokal dan nasionalnya terlebih dahulu.
Ketiga, petani harus diberikan akses untuk perumusan kebijakan pertanian. Karena selama
ini petani keeil dan buruh tani tidak dilibatkan dalam kebllakan-kebiiakan pertanian. 9
Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan ketahanan sekaligus juga
keamanan pangan, maka instansi yang utama menangani hal ini adalah Balai Pengawasan
Dbat dan Makanan (BPDM), Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan, Departemen Agama,
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Bea Cukai, Kepolisian, dan instansi lainnya yang terkatt.
10 Lihat: FAO 2003, Trade Refonn and Food Security - Conceptualizing the linkages. dan Maxwell, S.
(1996) Food security: a post-modem perspective. Food Policy, Vol. 21. No.2, pp 155-170 dan sedikitnya ada 450
indikator ketahanan pangan, Hoddinott, J. (1999) Operationalizing Household Food Security in Development
Projects: An introduction. Intemational Food Policy Research Institute Technical Guide No.1, Washington, D.C.
11 Sage, C. (2002) Food security and Environment. In Page & Redclift, ed. (2002) Human Security and
the Environment: International Comparisons. Cheltenham: Edward Elgar,
pp 128-153.
12 Lihat: Maxwell, S., and Frankenberger, T. (1992) Household food security concepts, indicators,and
measurements. New York, NY, USA: UNICEF and IFAD.
13 Op.Cit, Maxwell, S, (1996) Food security
21
aktif dan sehat. Kedua, akses atas pangan, yang didefinisikan sebagai hak (entitlements)
untuk berproduksi, membeli atau menukarkan (exchange) panganataupun menerima
sebagai pemberian (transfer). Ketiga ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan
antara kerentanan, resiko dan jaminan pengaman sosial. Keempat, fungsi waktu manakala
ketahanan pangan dapat bersifat kronis, transisi dan/atau siklus.
Masalah ketahanan pangan pada kenyataannya adalah sangat komplek mulai dari
aspek penyediaan jumlah pangan yang cukup untuk memenuhi permintaan pangan yang
meningkat karena pertumbuhan penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun akibat
peningkatan penduduk, aspek pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaragaman bahan
pangan untuk mengantisipasi perubahan preferensi konsumen yang semakin peduli pada
masalah kesehatan dan kebugaran, aspek tentang pendistribusian bahan-bahan pangan
pada ruang dan waktu dan juga aspek keterjangkauan pangan (food accessibility) yaitu
ketersediaan bahan pangan Oumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat dijangkau
oleh seluruh masyarakat. Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan disertai dengan
tuntutan Iingkungan strategis baik domestik maupun internasional mendorong adanya
perubahan paradigma pembangunan nasional termasuk pembangunan pertanian.
Perubahan paradigma pembangunan tersebut antara lain tercermin dari dirumuskannya
paradigma baru dalam pemantapan ketahanan pangan. Paradigma baru pembangunan
ketahanan pangan lebih menekankan pada pemantapan ketahanan pangan rumah tangga
yang didukung dengan daya beli dan keberdayaan masyarakat.
Upaya memenuhi kebutuhan pangan dihadapkan pada besarnya laju pertumbuhan
permintaan pangan lebih cepat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penyediaannya.
Permintaan pangan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan
ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Dinamika dari sisi permintaan ini
I
menyebabkan kebutuhan pangan meningkat dalam jumlah, mutu, keragaman jenis dan
keamanannya. Sementara itu, kapasitas produksi pangan nasional, terkendala oleh karena
adanya kompetisi pemanfaatan dan penurunan kualitas sumberdaya alam dan penerapan
teknologi yang belum optimal. Apabila permasalahan ini tidak dapat diantisipasi dengan
baik, maka dikhawatirkan akan mengganggu neraca pangan nasianal dalam jangka
panjang. Oleh karena itu, pembangunan ketahanan pangan nasional memerlukan
22
dukungan pengelolaan sumber daya alam yang optimal, penyediaan prasarana dan sarana
pertanian, pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, serta pengembangan
SDM yang memadai.
Kinerja pembangunan pertanian dan ketahanan pangan dalam tiga tahun terakhir,
memperlihatkan kondisl yang cukup baik. Produk Domestik Brute (PDB) sektor pertanian,
di luar perikanan dan kehutanan, tumbuh sebesar 2,55% pada tahun 2005 menjadi 3,50%
pada tahun 2006. 14 Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi
nasional kuartal ketiga 2007 mencapai 6,5 persen dibanding kuartal yang sarna tahun lalu,
dimana sumbangan tertinggi pertumbuhan ekonomi yang di luar perkiraan banyak pihak ini
berasal dari sektor pertanian sebesar 1,3 persen. Data BPS menunjukkan, tingkat
pertumbuhan pertanian naik menjadi 4,3%. Ini mengulangi sejarah bahwa pertumbuhan
pertanian mampu di atas 3%.15
Di bidang ketahanan pangan, berdasarkan data produksi padi nasional
menunjukkan bahwa kita telah mengalami surplus sejak tahun 2004, begitu pula pada
tahun 2007 dengan produksi sebesar 57,05 juta ton GKG (ARAM III) setara 33,43 juta ton
beras, meningkat 2,59 juta ton GKG atau 4,76% dibanding produksi tahun 2006.
Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai
sejak dua belas tahun terakhir. Data BPS juga menunjukkan kenaikan pada komoditas
jagung, tebu dan sapi. Produksi jagung tahun 2007 naik 14,39 %dibandingkan tahun 2006.
Adapun pada tahun 2007 produksi tebu dan daging berturut-turut naik sebesar 4,91 %dan
2,20 % dibanding produksi tahun 2006. 16 Dalam konteks kemandirian pangan, konsep
swasembada (Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Tahun 2005) masih
memberi toleransi terhadap penyediaan pangan melalui impor, tetapi dalam proporsi relatif
kecH, tidak lebih dari 10 (sepuluh) persen dari total produksi.
Strategi umum untuk mewujudkan ketahanan pangan yang akan dilaksanakan
adalah pendekatan jalur ganda (twin-track approach), yaitu: (a) membangun ekonomi
15 Ibid.
16 Ibid
23
berbasis pertanian dan pedesaan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan; dan
(b) memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan melalui
pemberian bantuan langsung agar tidak semakin terpuruk, serta pemberdayaan agar
mereka semakin mampu mewujudkan ketahanan pangannya secara mandiri. Kedua
pendekatan tersebut dijalankan dengan menggerakkan seluruh komponen bangsa, yaitu
Pemerintah, Masyarakat termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi
Profesi, Organisasi Massa, Koperasi, Organisasi Sosial, serta Pelaku Usaha, untuk
melaksanakan aktivitas ekonominya secara efisien dan bertanggungjawab, melaksanakan
kewajiban sosialnya serta, membantu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin,
rawan pangan dan gizi, golongan usia lanjut dan cacat ganda.
Dalam upaya peningkatan produksi pangan secara komprehensif dan
berkelanjutan, program pembangunan pertanian difokuskan pada lima fundamental
penanganan peltanian yang mencakup : (1) Pembangunan/perbaikan infrastruktur
perbenihan. riset dan sebagainya; (2) Penguatan kelembagaan petani melalui
pertumbuhan dan penguatan kelompoktani dan gabungan kelompoktani; (3) Perbaikan
penyuluhan melalui penguatan lembaga penyuluhan dan tenaga penyuluh; (4) Perbaikan
pembiayaan pertanian melalui perluasan akses petani ke sistem pembiayaan; serta (5)
Penciptaan sistem pasar pertanian yang menguntungkan petani. Peningkatan ketahanan
pangan masyarakat masih menghadapi berbagai masalah pada tingkat mikro maupun
makro. Pada sisi mikro, upaya pemantapan menghadapi tantangan utama dengan masih
besamya proporsi penduduk yang mengalami kerawanan pangan transien karena bencana
alam dan musibah serta kerawanan pangan kronis karena kemiskinan. Kerawanan pangan
ini berdampak langsung pada rendahnya status gizi, kualitas fisik dan tingkat intelegensia
masyarakat.
Pada sisi makro, upaya pengelolaan ketahanan pangan masyarakat menghadapi
tantangan utama pada peningkatan optimasi pemanfaatan sumberdaya lokal dan
peningkatan kapasitas produksi pangan dalam keterbukaan ekonomi dan perdagangan
global, agar produksi pangan domestik dapat tumbuh seiring dengan perkembangan
pemenuhan kebutuhan pangan yang terus meningkat dalam jumlah, kualitas dan
keragamannya ditengah persaingan pasar internasional yang semakin terbuka.
24
BAB III
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, YURIDIS
A. Landasan Filosofis
Istilah pangan sebagai soal hidup atau mati bangsa merupakan ungkapan dalam
sejarah pangan, sama lamanya dengan sejarah umat manusia itu sediri. Ungkapan ini
menempatkan bahwa pangan itu sangatlah strategis dan penting bagi manusia untuk
pemenuhan kebutuhan pokoknya. Bahkan lebih ekstrim lagi dalil yang kiranya menyatakan
bahwa suatu negara besar akan selamat dari berbagai kekacauan dan kemunduran
apabila negara yang bersangkutan mampu menjamin ketahanan pangan penduduknya
secara baik. Pangan juga merupakan kebutuhan manusia yang paling dasar yang
pemenuhannya menjadi hak bagi setiap orang, sebagaimana di jamin oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam rangka mempertahankan
hidup dan kehidupannya sebagai wujud pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara.
Berdasarkan Declaration of Human Right 1998 (Brundland, 1999), yang sudah
disepakati oleh Pemerintah Indonesia, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan salah
satu Hak Azazi Manusia. Artinya negara (pemerintah dan masyarakat) harus
bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduk yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangannya. Kondisi pangan yang sulit diperoleh penduduk dan
rendahnya daya beli masyarakat, baik karena pendapatan rendah atau kebijakan harga-
harga pangan, apalagi kalau sampai kelaparan dan gizi buruk dapat dikategorikan
adanya indikasi pelanggaran yang akhirnya berdampak pada "lost generation".
Akan tetapi, meski memiliki hak atas pangan yang cukup, pada kenyataannya
masih banyak orang yang mengalami kelaparan dan kekurangan pangan. Kelaparan dan
kekurangan pangan terjadi karena rapuhnya sistem ketahanan pangan. Namun demikian
ketahanan pangan tidak hanya program untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan
25
pangan semata, lebih dari itu ketahanan pangan adalah syarat bagi pembangunan sumber
daya manusia untuk mencapai tujuan akhir dari pembangunan nasiona!. Ketahanan
pangan di Indonesia, sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi,
stabilitas politik dan keamanan atau ketahanan nasiona!. Dimensi ketahanan pangan
nasional mencakup aspek ketersediaan, distribusi, konsumsi, dan keamanan
pangan.Aspek Ketersediaan pangan termasuk elemen produksi domestik, ekspor, impor,
cadangan dan transfer pangan dari pihak atau negara lain. Adanya elemen ekspor dan
impor pada aspek ketersediaan pangan menunjukkan bahka ketahanan pangan
nasional tidak terlepas dari dinamika peran perdagangan internasional, khususnya
perdagangan komoditas pangan.
Menurut Chacholiades (1978) partisipasi di dalam perdagangan internasional
bersifat bebas (free) sehingga keikutsertaan suatu negara pada kegiatan tersebut
dilakukan secara sukarela. Keputusan suatu negara melakukan kegiatan perdagangan
internasional merupakan pilihan (choice), oleh sebab itu sering dikatakan perdagangan
seharusnya memberi keuntungan kepada kedua belah pihak (mutually benefited). Dalam
sistem ekonomi tertutup (autarky) negara hanya dapat mengkonsumsi barang dan jasa
sebanyak yang diproduksi sendiri. Akan tetapi dengan melakukan perdagangan terbuka
(open economic) suatu negara mempunyai kesempatan mengkonsumsi lebih besar dari
kemampuan memproduksi karena terdapat perbedaan harga yang relatif dalam proses
produksi. Perbedaan harga yang relatif itu muncul sebagai dampak perbedaan dari
pengusahaan sumber daya dari bahan baku proses produksi (resourceendowmenQ antar
neqara".
Sistem perdagangan dunia yang bebas dan terbuka menghendaki hilangnya segala
bentuk intervensi yang dapat mendistorsi pasar. Secara konsep, penghapusan berbagai
bentuk intervensi dan hambatan menjadikan penerapan liberalisasi perdagangan akan
mendorong meningkatnya volume perdagangan lebih besar sehingga nilai tambah yang
diciptakan juga semakin meningkat.
17 Gatoet S. Hardono, Handewi P.S. Rachman, dan Sri H. Suhartini, "Liberalisasi Perdagangan: Sisi
Teori, Dampak Empiris dan PerspektifKetahanan Pangan", Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume
22 Nomor 2, Desember 2004
26
B. Landasan Sosiologis
B.1. Keamanan Pangan
Salah satu kebutuhan asasi manusia adalah tersedianya pangan. Dengan
segala kemampuannya manusia akan selalu berusaha mencukupinya. Pangan juga
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kehidupan bangsa serta memegang
peranan penting dalam perekonomian. Oleh karena itu, pangan yang merupakan
hasil olahan harus bermutu, aman, dan layak dikonsumsi. Pada era globalisasi
seperti sekarang, beberapa komoditas pangan telah menjadi semakin strategis,
sehingga negara-negara maju telah menerapkan sistem keamanan pangan untuk
kepentingan di dalam negerinya.
Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harusmelekat pada
pangan yang hendak dikonsumsi oleh semua masyarakat Indonesia. Pangan yang
bermutu dan aman dapat dihasilkan dari dapur rumah tangga maupun dari industri
pangan. Oleh karena itu industri pangan adalah salah satu faktor penentu
beredarnya pangan yang memenuhi standar mutu dan keamanan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
28
Keamanan pangan bukan hanya merupakan isu dunia tapi juga menyangkut
kepedulian individu. Jaminan akan keamanan pangan adalah merupakan hak asasi
konsumen. Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam
kehidupan manusia. Walaupun pangan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya jika tidak
aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sarna sekali.
Keamanan pangan selalu menjadi pertimbangan pokok dalam perdagangan,
baik perdagangan nasional maupun perdagangan internasional. Di seluruh dunia
kesadaran dalam hal keamanan pangan semakin meningkat. Pangan semakin
penting dan vital peranannya dalam perdagangan dunia.
Lebih dari 90% terjadinya penyakit pada manusia yang terkait dengan
makanan (foodborne diseases) disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi, yaitu
meliputi penyakit tipus, disentri bakteri/amuba, botulism, dan intoksikasi bakteri
lainnya, serta hepatitis A dan trichinellosis. 18 Foodborne disease lazim didefinisikan
namun tidak akurat, serta dikenal dengan istilah keracunan makanan. WHO
mendefinisikannya sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, yang
disebabkan oleh agent yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicema.
Foodbome disease baik yang disebabkan oleh mikroba maupun penyebab lain di
negara berkembang sangat bervariasi. Penyebab tersebut meliputi bakteri, parasit,
virus, ganggang air tawar maupun air laut, racun mikrobial, dan toksin fauna,
terutama marine fauna. Komplikasi, kadar, gejala dan waktu lamanya sakit juga
sangat bervariasi tergantung penyebabnya. Sebagian besar pemerintah berbagai
negara di dunia menggunakan deretan usaha atau langkah pengendalian
kontaminan pangan melalui inspeksi, registrasi, analisa produk akhir, untuk
menentukan apakah suatu perusahaan pangan memproduksi produk pangan yang
aman.
Oi Indonesia belum semua orang bisa mendapatkan akses terhadap
makanan yang aman. Hal ini ditandai dengan tingginya angka kematian dan
kesakitan yang diakibatkan penyakit bawaan makanan (PBM). Secara umum, PBM
dapat diakibatkan bahaya biologi dan kimia. Badan kesehatan dunia (WHO) dalam
18http://www.gizi.net/makalah/Food_Safety_Dadi.pdf
29
laporannya tahun 2004 menyebutkan, angka kematian global akibat diare selama
2002 adalah 1,8 juta orang. Angka kesakitan global karena PBM sulit sekali
diperkirakan. Selain diare, terdapat lebih dari 250 jenis penyakit karena
mengonsumsi makanan yang tidak aman. Terdapat tiga konsekuensi yang
ditimbulkan PBM: gizi buruk, dampak sosioekonomi di masyarakat, dan penyakit
sekunder yang timbul. 19
Angka kejadian keracunan makanan, sebagai salah satu manifestasi PBM
dapat menjadi indikator situasi keamanan pangan di Indonesia. Akhir-akhir ini
banyak produk pangan kedaluwarsa yang beredar di masyarakat. Selain itu, ada
sejumlah produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan, baik yang diproduksi
industri rumah tangga, kecil, menengah maupun industri besar. Produk pangan
tersebut umumnya menggunakan bahan tambahan kimia yang dilarang atau
melebihi batas penggunaan: pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba;
pangan yang kedaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan
komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai dengan persyaratan
(mengandung melamin). Penggunaan bahan tambahan pangan pada makanan
jajanan berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan karena dari jumlah. yang
diperiksa, sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan. Situasi ini berdampak
langsung terhadap masalah kesehatan, kondisi ini juga memengaruhi aspek-aspek
sosio ekonomi lainnya, seperti produktivitaskerja, aspek perdagangan, dan
kepariwisataan.
Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara
umum adalah: masih ditemukan beredamya produk pangan yang tidak memenuhi
persyaratan; masih banyak kasus keracunan makanan; masih rendahnya tanggung
jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang
diproduksi/diperdagangkannya; dan kurangnya kepedulian dan pengetahuan
konsumen terhadap keamanan pangan.Keamanan pangan, masalah, dan dampak
penyimpangan mutu, serta kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam
BTP adalah bahan atau .campuran bahan' yang secara alami bukan
merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi lebih kepada sesuatu yang
ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan,
antara lain bahan pewama, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat dan
pengental. 20
C. Landasan Yuridis
Saat ini pengaturan mengenai pangan telah diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1986 tentang Pangan (UU Pangan), tetapi di dalam perjalannya kemudian
melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), pemerintah telah meratifikasi Kovenan Internasional
Hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob). Kovenan ini antara lain berisi tentang
tanggung jawab negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan
bagi rakyatnya. Dengan kata lain, masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang
pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Konsekuensi dari ratifikasi itu adalah
pemerintah harus mengubah semua produk undang-undang yang tidak selaras dengan
ketentuan Kovenan Ekosob, termasuk soal pangan. 21
Sebagai tindak lanjut dari :atifikasi tersebut, pemerintah harus melakukan
penyesuaian-penyesuaian semua kebijakan terkait dengan upaya untuk memenuhi hak-
hak ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini menjadi alasan utama untuk melakukan revisi
terhadap UU Pangan mengingat pangan merupakan salah satu elemen Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.22
20 htlp:/fIslamicspace.wordpress.coml2007/01/26/bersikap-biiak-terhadap-bahan-tambahan-pangan-btp/, Rabu, 15
Juli 2009
hidup dengan standar yang layak. Hal serupa juga dalam persoalan akses masyarakat
kepada sumber-sumber agraria, khususnya akses kepada tanah 23.
BABIV
RUANG L1NGKUP PENGATURAN
A. MATERI MUATAN
A.1. Jaminan Ketersediaan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus
dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak
asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal27 UUD 1945. Pemenuhan
kebutuhan pangan sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas.
Setiap Negara harus mendahulukan pembangunan ketahanan
pangannya sebagai fondasi bagi pembangunan sector-sektor lainnya.
Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat
menciptakan ketidakstabilan ekonomi selain itu berbagai gejolak sosial dan politik
dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu.
Tujuan pembangunan ketahanan pangan menjamin ketersediaan dan
konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang baik pada
tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga dan senua itu harus diwujudkan
secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan
sumberdaya, kelembagaan dan budaya loka!.
Untuk membangun kemandirian pangan, diperlukan kebijakan
pengembangan agroindustri pangan secara terpadu dari hulu sampai hilir antara
lain melalui percepatan penguasaan i1mu pengetahuan dan tehnologi, termasuk
biotehnologi dan rekayasa genetika di bidang pangan yang diharapkan dapat
menghasilkan produk pangan yang meningkat dan berdaya saing tinggi. Dengan
melihat besarnya peningkatan produksi pangan yang kita butuhkan, maka upaya
35
peningkatan produksi itu perlu ditempuh melalui semua cara yang tersedia, baik
intensifikasi, ekstensifikasi, rekayasa genetika, maupun diversifikasi pangan.
Agar tercapai ketersediaan pangan bagi suatu keluarga, masyarakat
bahkan secara nasional setiap badan yang bersangkutan harus menyediakan
pangan dalam jumlah yang cukup, tersedia setiap saat, serta memenuhi giziyang
cukup dan berimbang. Hal ini sesuai dengan Ayat 17 Pasal 1 UU Pangan dan
Kesepakatan Roma mengenai pangan dari Badan Pangan Perserikatan Bangsa-
bangsa. Kelebihan pangan disuatu daerah atau negara harus dibawa ke daerah
atau negara lain. Transportasi, agar bahan tetap balk sampai tujuan walaupun
jaraknya jauh akan memerlukan pengemasan yang baik. Bahan pangan juga
harus tetap baik serta tidak timbul susut berat maupun mutu selama belum
dikonsumsi. Bahan pangan juga harus tahan disimpan sampai panen yang akan
datang. Tempat penyimpanan harus baik, serta terjaga sirkulasi udara
didalamnya agar suhu dan kelembaban memenuhi syarat. Sejalan dengan
pendapat di atas maka bahan harus diawetkan. Berbagai perlakuan diterapkan
agar bahan pangan tetap awet, antara lain pengurangan kadar air, dan
pemberian senyawa kimia. Masyarakat di pedesaan secara tradisional telah
mengenal cara-cara pengawetan pangan, antara lain pengeringan, pemberian
asam, garam, dan gula serta pengasapan. Dengan demikian teknologi pangan
merupan pendukung utama ketersediaan pangan.
Ketahanan pangan mengandung tiga unsur pokok yaitu ketersediaan,
distribusi dan konsumsi pangan, dimana unsur distribusi dan konsumsi
merupakan penjabaran aksessbilitas masyarakat terhadap pangan. Salah satu
unsur tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan
mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia cukup di
tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk memenuhi
kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih dikatakan
rapuh. Akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko terhadap akses
dan ketersediaan pangan tersebut merupakan determinan yang esensial
ketahanan pangan.
36
dipenuhi dengan beras impor. Jaminan ketersediaan beras impor lebih rendah
dibandingkan dengan ketersediaan beras di dalam negeri. Selain ditentukan
oleh kondisi produksi dari negara pengekspor, hubungan bilateral antara negara
pengekspor dengan Indonesia serta keamanan regional menentukan
ketersediaan beras impor. Berbeda dengan beras di dalam negeri yang
dihasilkan sampai di daerah terpencil, distribusi beras impor lebih terbatas.
Adanya impor tidak menjamin peningkatan aksebilitas penduduk di daerah
terpencil terhadap beras, akan tetapi areal produksi beras yang tersebar lebih
menjamin ketersediaan beras sampai kepelosok tanah air. Selain itu, jaminan
keamanan (food safety) untuk bahan pangan yang diproduksi di dalam negeri
mungkin lebih baik dibandingkan dengan pangan yang diimpor. Atau sekurang-
kurangnya kita lebih mengerti bagaimana bahan pangan diproduksi di dalam
negeri. Namun kita tidak tahu, pada lahan yang bagaimana beras impor
diproduksi dan apakah sistem produksinya aman untuk kesehatan
A.2.a. Konversi lahan sawah sebagai suatu proses yang tidak alami
Konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh
manusia (anthropogenic), dan bukan suatu proses alami. Dalam halini
kita ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi,
namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah
sistem produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik.
Contohnya beberapa sentra produksi beras di aerah pantura telah
dijadiikan sebagai kawasan industri. Hal ini menunjukkan antara sektor
pertanian dan industri masih berjalan sendiri-sendiri. Dengan tidak
adanya penilaian seberapa banyak kerugian ekonomi dan Iingkungan
akibat dikonversinya lahan sawah produktif. Maka analisis ekonomi
jangka pendek sering lebih mengemuka walaupun sebenarnya tidak
cocok karena pengelolaan lahan menyangkut aspek kelestarian
sumberdaya alam. Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah
untuk membatasi alih fungsi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak
hasilnya disebabkan karena:
40
dibangun dengan biaya tinggi. Akibat dari alih fungsi lahan tersebut
adalah semakin sUlitnya mempertahankan tingkat self sufficiency untuk
memenuhi kebutuhan pangan untuk tingkat keluarga maupun nasional
yang senantiasa meningkat seiring dengan meningkatnya laju
pertambahan penduduk.
24 Syahyuti, "Strategi dan Tantangan dalam Pengembangan Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) sebagai
Kelembagaan Ekonomi diPedesaan", Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
47
lapangan seperti sawah, ladang yang dapat ditanami bukan hanya padi tetapi
juga umbi-umbian dan polong-polongan.
Teknologi pangan padadasarnya diarahkan untuk memfasilitasi program
pengelolaan hasil pertanian dengan sasaran dapat mendukung kebijakan
strategis ketahanan pangan nasional.
Hasil dari panen digunakan atau disimpan untuk memenuhi kebutuhan
jika masa peceklik tiba, teknologi yang digunakan untuk mengawetkan hasil
panen antara lain :
1. Pengeringan, dehidrasi, evaporasi atau mengentalan;
2. Pemanasan, blanching pasteurisasi dan sterilisasi;
3. Penggunaan suhu rendah, pendingan dan pembekuan;
4. Perlakuan Khusus, fermentasi dan pemberian additif asam;
5. Pemberian senyawa kimia;
6. Iradiasi.
7. Roadmap yaitu instrumen yang digunakan dalam jangka panjang yang
bersifat umum riset dan roadmap riset komoditas;
8. Pemisahan;
9. Gilter;
10. Grading;
11. Sortasi;
12. Modifikasi Pati
13. Pengawetan Segar
Komoditas hasil ternak yang terdiri dari daging, kulit, telur dan susu
melibatkan berbagai disiplin i1mu seperti IImu Kimia, Biokimia, Fisika dan
Mikrobiologi. Kebijakan strategis pengembangan Teknologi Pangan adalah
sebagai berikut :
1. Pengembangan teknologi pangan hahus memenuhi kualifikasi teknis,
ekonomis dan sosial sehingga mampu menghasilkan produk olahan yang
memenuhi persyaratan mutu, berdaya saing dan ramah Iingkungan;
50
A.7.a. Masyarakat
32 Lihat pasal 2,"Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang
memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan keyakinan
masyarakat.", Republik Indonesia, Undang-Undang Nomar 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang
55
Nomor, 7 Tahun 1996 Termasuk Lembaran-Negara 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 3656
33 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan, Undang-Undang Nomor, 16 Tahun 2006 Termasuk Lembaran-Negara Tahun 2006 Nomor 92
34Sasaran utama penyuluhan pertanian adalah pelaku utama kegiatan pertanian, perikanan, dan kehutanan
(masyarakat di dalam dan sekitar hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudi daya ikan, pengolahikan,
beserta keluarga intinya). (UU No. 16 Tahun 2006 Pasal 5 Ayat 2) dan pelaku usaha (perorangan warga negara
Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian, perikanan,
dan kehutanan
56
35 Sasaran antara penyuluhan yaitu pemangku kepentingan lainnya yang meliputi kelompok atau lembaga
pemerhati pertanian, perikanan, kehutanan serta generasi muda dan tokoh masyarakat. (UU No. 16 Tahun 2006,
Pasal5 Ayat 3)
36 Ibid
37 Ibid
38 Loc.Cit, Republik Indonesia, Undang-Undang Nomar 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Pasa/52
57
A.7.b. Pemerintah
39Maastricht Guidelines Article 6,"The obligation torespect requires States to refrain from interfering with the
enjoyment ofeconomic, social, and cultural rights
58
40 Maastricht Guidelines mendefinisikan kewajiban untuk melindungi sebagai: "The obligation toprotect requires
States 10 prevent violations ofsuch rights bythird parties." .
59
41 Maastricht Guidelines mendefinisikan kewajiban untuk memenuhi sebagai: "The obligation tofulfil requires
States totake appropriate legislative, administrative, budgetary, judicial and other measures towards the full
realization ofsuch rights
42 pemulung, pengemis, dan gelandangan); laki-Iaki, perempuan, dan anak-anak
60
BABV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Materi muatan dalam Undang-Undang Pangan sifatnya sangat umum dan banyak
dilakukan pendelegasian pengaturan sehingga dalam pelaksanaannya ditemui
beberapa kendala. Terutama dalam hal penegakan hukum menyangkut penerapan
sanksi yang relatif masih rendah sehingga tidak menimbulkan efek jera.
2. Konsep ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan belum menjawab
penyediaan pangan dan produksi pangan dalam negeri, hal ini berkaitan dengan
kelembagaan pangan.
3. Belum adanya pengaturan yang jelas dan tegas menyangkut keamanan pangan
(Iabelisasi) untuk dikonsumsi masyarakat, misalnya dalam hal pencantuman
tanggal kadaluarsa.
4. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Intemasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) dimana pangan
adalah bagian dari HAM (right to food), dan merupakan hak asasi manusia
dibidang sosial, ekonomi, dan budaya. Negara bertanggungjawab untuk
menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan serta menjamin
ketersediaan pangan bagi rakyatnya (terutama distribusi pangan dan kemudahan
rakyat untuk mengakses pangan).
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Lowdermilk, CWo 1948 - Counquest ofthe Land Through Seven Thousand Year
USDA
Vaclav Smill 1993 - Global Ecology: Environmental change and social flexibility -
Routledge - London
Sage, C 2002 Food Security and Environmnet. In Page & Redclitt, ed 2002 Human
Security and The Environment International Comparisons. Cheltenham :
Edward Elgar
Lihat: FAO 2003, Trade Reform and Food Security -Conceptualizing the Linkages dan
Maxwell S 1996 Food Security: a post modern perspective, Food Policy, Vol
21 No.2, pp 155-170 dan sedikitnya 450 indikator ketahanan pangan,
Hoddinott, J 1999 Operationalizing Household Food Security In Development
ProjectAn Introduction International Food Policy Research Institute Technical
Guide No.1, Washington D.C
B. Artikel/Makalah/Situs
Maasstrich Guidelines Article 6, "The obligation to respect requires States to refrain from
interfering with the enjoyment ofeconomic. social, and cultural rights.
http://pangan/agroprima.com/incex.php?option=com content&task=view&id=34<emid=1.
15 Juni 2009
http://islamicspace.wordpress.com/2007/01/26/bersikap -bijak-terhadap-bahan-
ambahan-pangan-btp/, rabu, 15 Juli 2009
http://www.targetmdgs.org/index.php?option=com content&task=view&id=543&itemid=6
>, 15 Juni 2009, Irham Kovenan EKOSOB Soal Pangan
http://maharorastowo.blogspot.com/2008/01/press-release-revisi-uu-pangan-no-7-thn-
html>, 16 Juni 2009 Revisi Atas Undang-Undang NO.7 Tahun 1996 tentang
Pangan.
http://www.sinartani.com/mimbaroenvuluh /keluarga-petani-perlu-diversifikasi-pangan-
1242010881.htm 4 November 2009 pukul 17.05, Keluarga Petani Perlu
Diversifikasi Pangan.