Anda di halaman 1dari 42

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG


PERTAMBAKAN

HAYKAL AFDHOL BAGASKARA


190710101297

UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM
2023

1
KATA PENGANTAR

Atas Berkat dan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan dapat kami selesaikan.
Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan ini merupakan inisiatif dari
Dewan Perwakilan Rakyat melalui kerja sama dengan Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dengan dibentuknya tim
khusus penyusunan Naskah Akademik.
Sebagai karya akademik, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
tentang Pertambakan ini tentunya masih banyak kekurangan dari berbagai sisi,
tetapi hal ini tentu kami tidak menutup adanya kritik maupun saran yang
konstruktif sebagai sarana penyempurnaan regulasi ini. Untuk selanjutnya, tim
khusus penyusun Naskah Akademik ini mengucapkan terima kasih kepada
seluruh pihak yang terkait dan mampu bekerja sama dengan baik dalam
membangun suatu tujuan bersama yaitu untuk kesejahteraan dan pembangunan
bangsa di sektor pertambakan yang lebih baik lagi untuk bangsa dan negara
Indonesia.

Jember, 2023
Tim Penyusun

Haykal Afdhol Bagaskara

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 5
A. Latar Belakang .......................................................................................... 5
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 9
C. Tujuan dan Kegunaan .............................................................................. 11
D. Metode Penelitian.................................................................................... 12
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ................................... 14
A. Kajian Teoritik ........................................................................................ 14
1. Pembanguan Sektor Pertambakan ........................................................ 14
2. Petani Tambak ..................................................................................... 15
3. Pembudidaya Ikan ............................................................................... 18
4. Petambak Garam.................................................................................. 18
5. Pengolahan dan Pemasaran .................................................................. 20
B. Praktik Empiris ....................................................................................... 21
BAB III EVALUASI TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ............................ 24
A. Kondisi Hukum dan Status Hukum Yang Ada ......................................... 24
B. Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-Undangan Yang Lain ............. 25
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS ................ 26
A. Landasan Filosofis .................................................................................. 26
B. Landasan Yuridis .................................................................................... 30
C. Landasan Sosiologis ................................................................................ 28
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERTAMBAKAN ..... 31
A. Asas Dan Tujuan ..................................................................................... 32
1. Kekeluargaan ....................................................................................... 32
2. Demokrasi Ekonomi ............................................................................ 32

3
3. Kebermanfaatan ................................................................................... 33
4. Kemandirian ........................................................................................ 33
5. Kearifan Lokal ..................................................................................... 33
6. Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup ................................................. 33
B. Arah Pengaturan Pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), (3) dan (4) ................ 34
C. Materi Muatan Undang-Undang tentang Pertambakan ............................. 35
1. Konsideran Menimbang ....................................................................... 36
2. Ketentuan Umum ................................................................................. 36
3. Kebijakan Pertambakan ....................................................................... 38
4. Ruang Lingkup .................................................................................... 38
5. Sarana Pertambakan ............................................................................. 39
6. Perizinan.............................................................................................. 39
7. Pengendalian ....................................................................................... 40
8. Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah .............................. 40
9. Pelindungan dan Pengamanan Petambak .............................................. 40
10. Pengawasan...................................................................................... 40
11. Penyidikan ....................................................................................... 41
12. Ketentuan Pidana ............................................................................. 41
13. Ketentuan Penutup ........................................................................... 41
14. Penjelasan ........................................................................................ 41
BAB VI PENUTUP ........................................................................................... 42
A. Kesimpulan ............................................................................................. 42
B. Saran ....................................................................................................... 42

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejalan dengan amanat Pancasila dan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, salah satu tujuan pembangunan diarahkan untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat. Salah satu sektor penunjang kemakmuran
rakyat adalah sektor pertambakan yang mana mayoritas dari wilayah negara
Indonesia adalah kepulauan yang tentunya total dari seluruh panjang garis
pantai negara Indonesia sepanjang 81.290 KM yang menandakan potensi
sumber daya alam begitu melimpah yang dimiliki oleh negara Indonesia.
Dengan adanya potensi ini, negara mengharuskan mengelola sumber
daya yang ada semata-mata untuk kepentingan rakyatnya. Salah satu aspek
yang menjadi pondasi dalam memajukan kesejahteraan adalah adanya
regulasi yang jelas dan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu
diperlukannya suatu rancangan peraturan perundang-undangan berbentuk
Rancangan Undang-Undang dengan didahului pembentukan Naskah
Akademik.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjelaskan bahwa Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan salah
satu kategori dan masuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Melalui peraturan perundang-undangan, penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka mengatur berbagai sektor yang melahirkan
aturan-aturan yang dapat menunjang kemajuan pembangunan ke arah yang
menyejahterakan masyarakat guna mencapai keadilan sosial yang merata.
Dalam realitanya, pembentukan suatu peraturan perundang-undangan tidaklah
gampang dan membutuhkan sumber daya yang banyak. Oleh karena itu, suatu
peraturan perundang-undangan perlu disusun secara komprehensif dengan

5
melihat regulasi-regulasi yang sudah ada sebelumnya. Kunci penting dalam
membuat peraturan perundang-undangan adalah dengan melibatkan aspek
teknis dengan menjalankan aspek formil dan materil secara benar.
Pemahaman aspek pemikiran logis dan teori, metodologi, serta teknik
perancangan yang memadai adalah melalui penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Dengan menerapkan kajian yang
komprehensif dan mengakar tentang permasalahan dan kebutuhan peraturan
perundang-undangan dengan mendasarkan pada teori dan metodologi inilah
yang dapat memberikan sumbangsih berarti pada terbentuknya peraturan
perundang-undangan yang baik dan dapat dijalankan secara efektif. Oleh
karena itu dengan adanya proses penyusunan Naskah Akademik Peraturan
Perundang-Undangan merupakan suatu keniscayaan dalam setiap langkah
pembentukan peraturan perundang-undangan.
Menurut Harry Alexander, Naskah Akademik adalah naskah awal
yang memuat gagasan-gagasan pengaturan dan materi muatan peraturan
perundang-undangan bidang tertentu. Sedangkan menurut Jazim Hamid,
Naskah Akademik adalah naskah atau uraian yang berisi penjelasan tentang
urgansi pembuatan sebuah peraturan; tujuan dan kegunaan peraturan tersebut;
materi-materi yang harus diatur dalam peraturan tersebut; dan aspek-aspek
teknis penyusunannya.
Dari uraian tersebut, menurut Henry Alexander, kedudukan dan fungsi
Naskah Akademik adalah sebagai bahan awal yang memuat gagasan-gagasan
tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan materi muatan suatu
peraturanperundang-undangan; Bahan pertimbangan yang dipergunakan
dalam permohonan izin prakarsa penyusunan rancangan peraturan perundang-
undangan kepada pejabat yang berwenang; dan Sebagai bahan dasar bagi
penyusunan peraturan perundang-undangan.
Sony Maulana S, yang menggunakan istilah “rancangan akademik”
menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 3 (tiga) fungsi dari rancangan
akademik yaitu: untuk menginformasikan bahwa perancang telah
mempertimbangkan berbagai fakta dalam penulisan rancangan peraturan

6
perundang-undangan; memastikan bahwa perancang telah menyusun fakta-
fakta tersebut secara logis; dan menjamin bahwa rancangan peraturan
perundang-undangan lahir dari proses pengambilan keputusan yang
berdasarkan logika dan fakta.
Naskah Akademik merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan proses penyusunan sebuah rancangan produk peraturan perundang-
undangan. Hal ini karena dalam suatu Naskah Akademik termuat gagasan-
gagasan pengaturan serta materi muatan peraturan bidang atau sektor tertentu
yang telah ditinjau secara sistematis holistik dan futuristik dari berbagai aspek
ilmu. Dari pentingnya suatu Naskah Akademik dalam penyusunan rancangan
peraturan perundang-undangan maka Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat perintah
secara tegas perlunya dibuat Naskah Akademik. Dalam Pasal 163 ayat (2) UU
No. 17 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Rancangan undang-undang yang
berasal dari DPR, Presiden atau DPD disertai penjelasan atau keteranga
dan/atau naskah akademik.
Melihat semakin berkembangnya dinamika kehidupan sosial
masyarakat yang membutuhkan pengaturan hukum, maka penyusunan
Naskah Akademik sebagai langkah awal pembentukan peraturan perundang-
undangan nampaknya semakin penting dilakukan. Demikian terjadi dalam
sektor pertambakan di Indonesia memerlukan pengkajian yang mendalam dan
radikal baik dari aspek teori, metodologi, serta teknik perancangannya.
Melalui pembentukan Naskah Akademik tentang Pertambakan diharapkan
akan melahirkan Undang-Undang tentang Pertambakan yang tidak hanya baik
dari aspek normatifnya saja, tetapi sejalan dengan situasi, kondisi dan aspirasi
masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Artinya, hal-hal yang berkaitan
dengan sektor pertambakan baik dari aspek filosofis, sosiologis dan yuridis
dapat dikaji dengan baik. Ada beberapa alasan yang mendukung perlunya
disusun sebuah Naskah Akademik bagi pembentukan Undang-Undang
tentang Pertambakan yaitu:

7
Pertama, melalui Naskah Akademik yang disusun secara holistik,
komprehensif, dan futuristik maka berbagai faktor terkait dengan
pertambakan dapat dikaji secara mendalam baik dalam konteks normatif
terkait sistem hukum nasional, maupun dalam konteks sosiologis yang
berkaitan dengan aspek kehidupan realita masyarakat Indonesia. Dengan
demikian Naskah Akademik diperlukan agar rancangan peraturan perundang-
undangan yang dihasilkan akan sesuai dengan sistem hukum nasional dan
selaras dengan kebutuhan kehidupan masyarakat Indonesia.
Kedua, mekanisme dalam penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Perundang-Undangan tentang Pertambakan merupaan media nyata
peran masyarakat Indonesia dalam proses pembentukan Rancangan Peraturan
Perundang-Undangan tentang Pertambakan. Hal ini menjadi suatu nilai lebih
karena keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses penyusunan
mampu menampung aspirasi-aspirasi masyarakat dalam Rancangan Peraturan
Perundang-Undangan ini.
Ketiga, melalui Naskah Akademik dapat diketahui secara pasti
mengapa perlu dibuat Rancangan Peraturan Perundang-Undangan tentang
Pertambakan, dan apakah Rancangan Peraturan Perundang-Undangan ini
memang diperlukan adanya untuk masyarakat Indonesia atau tidak. Hal ini
karena dalam Naskah Akademik akan dipaparkan alasan-alasan, fakta-fakta
atau latar belakang tentang hal-hal yang mendorong disusunnya Rancangan
Peraturan Perundang-Undangan tentang Pertambakan secara komprehensif
baik dari aspek ideologis, politis, sosial budaya, ekonomi, hukum, maupun
pertahanan dan keamanan.
Keempat, melalui Naskah Akademik Rancangan Peraturan
Perundang-Undangan tentang Pertambakan, para pengambil keputusan akan
lebih mudah untuk melihat tingkat kebutuhan masyarakat akan sebuah
peraturan, sehingga Rancangan Peraturan Perundang-Undangan yang dibuat
dapat tepat guna dan tepat sasaran. Berbagai tinjauan yang dipaparkan dalam
Naskah Akademik baik secara filosofis, sosiologis dan yuridis akan
memudahkan untuk melihat tingkat kebutuhan tersebut.

8
Kelima, dengan adanya Naskah Akademik, maka pembahasan
Rancangan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pertambakan akan
menjadi lebih cepat dan sistematis karena didalamnya sudah terkandung
mengenai berbagai kajian dan gambaran umum materi dan ruang lingkup
Rancangan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pertambakan yang akan
dibuat.
Keenam, melalui Naskah Akademik yang proses pembuatannya
dilakukan secara rasional, objektif dan ilmiah maka kebutuhan dan harapan
masyarakat akan menjiwai Rancangan Peraturan Perundang-Undangan
tentang Pertambakan ini.

B. Identifikasi Masalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dalam Alinea IV menyatakan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa
Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Pasal 27 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan hak kepada tiap-
tiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang
layak.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjelaskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, Pasal 34
ayat (2) menyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Elemen masyarakat yang harus diperhatikan kehidupan ekonomi dan
kesejahteraan sosialnya salah satunya adalah di bidang pertambakan atau para
petani tambak. Perlindungan dan pemberdayaan di sektor pertambakan saat
ini dirasa masih belum optimal. Realita kehidupan di sektor pertambakan
masih banyak dijumpai berbagai permasalahan.

9
Naskah Akademik ini mengidentifikasi sejumlah permasalahan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan yaitu:
1) Sebuah tantangan di dalam menyusun Undang-Undang tentang
Pertambakan adalah harmoniasasi regulasi tentang daerah pesisir pantai,
sektor pertanian dan sektor perairan dan nelayan. Hal ini dikarenakan
pertambakan merupakan salah satu dari sektor daerah pesisir pantai yang
merupakan salah satu sumber daya alam yang sifatnya berada di daerah
khusus. Oleh karena itu perlu diadakannya harmonisasi peraturan
perundang-undangan yang saling beririsan ini.
2) Belum optimalnya pelaksanaan di sektor pertambakan oleh Pemerintah
maupun Pemerintah Daerah dalam hal pemberdayaan, pengawasan dan
perlindungan terhadap para petani tambak atau hal yang berkaitan dengan
sektor pertambakan.
3) Dari sisi keberpihakan terhadap rakyat Indonesia, maka undang-undang ini
harus memberikan kewenangan kepada Pemerintah dalam melakukan
stabilitas dan kontrol dalam pengelolaan daerah pertambakan.
4) Pengelolaan sumber daya alam khusus daerah pertambakan dapat
diakomodir oleh Pemerintah dalam menjaga keberlangsungan dan
keberlanjutan lahan yang ramah lingkungan dan mampu menopang
kebutuhan masyarakat.
5) Produk hukum undang-undang tentang seluruh ruang lingkup pesisir
pantai dan pertambakan sudah lebih dulu diatur secara umum dalam
Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam, Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang
Sumber Daya Air, dll menjadi tantangan tersendiri dalam pembuatan
Undang-Undang tentang Pertambakan. Undang-undang ini harus secara
cermat menghindari terjadinya benturan dengan undang-undang lain
sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
6) Dari segi persoalan pendukung perdagangan yang sering muncul maka
Undang-Undang tentang Pertambakan ini juga ditujukan untuk melindungi
hasil bumi domestik dan produksi ekspor Indonesia.

10
7) Pertambakan sebagai suatu sektor berkaitan dengan sektor lainnya.
Diperlukan adanya upaya integrasi agar seluruh sektor yang berkaitan
dapat mengarah kepada suatu kebijakan yang sama yaitu untuk
mendukung pemanfaatan sumber daya alam dan kemakmuran rakyat.

C. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan dibuatnya Naskah Akademik ini adalah untuk memberikan
landasan ilmiah bagi penyusunan Undang-Undang tentang Pertambakan
yang:
1) Memiliki cakupan yang luas sebagai suatu sektor;
2) Representatif dalam mengatur seluruh kegiatan tentang pertambakan
dengan tetap memperhatikan undang-undang terkait yang sudah mengatur
pertambakan yang berlaku;
3) Memperhatikan faktor internal dan faktor eksternal dalam pengelolaan
sumber daya alam Indonesia;
4) Mampu melihat potensi permasalahan jauh kedepan serta bersifat prinsip-
prinsip yang memungkinakan fleksibilitas dalam penetapan aturan-aturan
lain di bawahnya;
5) Menjadi pedoman bagi seluruh kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan
pertambakan.
6) Merumuskan permasalahan yang dihadapi negara Indonesia dalam sektor
pertambakan dalam upaya perlindungan hukum dan peningkatan
pengelolaan sumber daya alam dalam hal pertambakan.
7) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai penetapan
rancangan undang-undang tentang Pertambakan dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia.
8) Merumuskan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis Rancangan
Undang-Undang tentang Pertambakan.
Kegunaan dibuatnya Naskah Akademik ini adalah:
1) Menjadi dokumen resmi yang menjadi syarat pengajuan Rancangan
Undang-Undang tentang Pertambakan;

11
2) Menjadi rujukan bagi segenap pemangku kepentingan dalam membahas
pasal-pasal dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan.

D. Metode Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat dua jenis penelitian yaitu:
a. Metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang
menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, pendapat hukum para ahli hukum, analisis data
sekunder yang dilakukan secara normatif kualitatif yaitu yuridis kualitatif.
b. Metode penelitian hukum sosio legal atau empiris yang mempergunakan
semua metode dan teknik-teknik yang lazim dipergunakan di dalam
metode-metode penelitian ilmu-ilmu sosial atau empiris.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan sebagai mekanisme
penelitian yang dilakukan dalam upaya penyusunan Naskah Akademik ini
yaitu:
1) Analisis ilmiah berdasarkan teori. Studi ini menggunakan konsep,
pendekatan, teori dari pondasi dasar ilmu sosial dan pemanfaatan sumber
daya alam.
2) Studi literatur. Studi literatur atau studi pustaka dilakukan dengan
mempelajari konsep-konsep dasar khususnya dari disiplin ilmu sosial
yang terkait dengan pertambakan.
3) Analisis berdasarkan hasil penelitian. Studi ini juga dilengkapi dengan
beberapa kajian penelitian terkait pertambakan yang sudah dilakukan
sebelumnya. Hasil penelitian penting untuk mendukung argumen ilmiah
yang dibuat berdasarkan teori dan konsep.
4) Indepth Interview. Sumber data ini sesuai dengan namanya diperoleh
melalui wawancara dengan para ahli yang terkait dengan bidang
pertambakan.
5) Focus Group Discussion (FGD). Data yang dihasilkan dari kegiatan ini
bersifat data primer. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
pihak terkait mulai dari kalangan pengusaha di bidang pertambakan,

12
peneliti, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat
dan lain sebagainya. Pihak-pihak terkait dimina untuk memberikan
masukan atas Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan yang
terlebih dahulu yang dilengkapi dengan masukan dari hasil 3 (tiga)
metode sebelumnya. FGD digunakan untuk melengkapi dan memperkuat
argumentasi yang ditawarkan sebelumnya oleh tim peneliti.

13
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kajian Teoritik
1. Pembanguan Sektor Pertambakan
Enam keunggulan yang dimiliki oleh sektor pertambakan yang jarang
dimiliki oleh sektor lain serta dapat menggerakkan investasi baik skala
nasional maupun internasional antara lain: sumber daya yang kaya; Indonesia
memiliki daya saing yang tinggi; industri pertambakan ke depan dan
keterkaitan ke belakang yang erat dengan industri sektor lain; sumber daya
pertambakan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui; investasi di
sektor pertambakan memiliki efisiensi dan daya serap tenaga kerja yang
cukup; dan umumnya industri pertambakan berbasis sumber daya alam lokal
dengan input rendah tetapi output besar. Keunggulan tersebut diharapkan
sektor pertambakan menjadi tumpuan bagi usaha untuk meningkatkan
perekonomian dan mampu menyerap tenaga kerja yang mumpuni dalam
jumlah yang tidak sedikit.
Pengembangan sektor pertambakan perlu diarahkan untuk
meningkatkan peran dalam menciptakan keterkaitan dengan sektor lainnya
melalui peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan
pendapatan, dan hubungan yang erat dengan sektor lainnya baik ke depan
maupun ke belakang akan menumbuhkan kegiatan perekonomian dalam
proses multiple effect untuk Indonesia.
Studi-studi yang dilakukan di Indonesia banyak memberikan bukti
empiris mendukung pentingnya keterkaitan yang kuat antara sektor
pertambakan dengan pertumbuhan ekonomi. Uphoff (1999) mengatakan
bahwa selama tiga dekade kemajuan ekonomi yaang cepat dan mengesankan
sebelum masa krisis ekonomi, sektor pertanian, perikanan dan pertambakan
mampu mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan melalui
keterkaitan ke belakang dan ke depan yang kuat dan juga melalui
pertumbuhan permintaan yang diciptakan oleh sektor pertanian, perikanan
14
dan pertambakan. Studi lainnya yang dilakukan oleh Daryanto dan Marison
(1992) juga memperlihatkan hasil yang sama. Mereka menemukan bahwa
efek keterkaitan konsumsi yang diiduksikan oleh sektor pertania, perikanan
dan pertambakan menunjukkan pengaruh yang lebih besar dibandingkan efek
keterkaitan produksi terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Hal ini berarti bahwa sektor pertanian, perikanan dan pertambakan
yang termasuk di dalamnya di Indonesia yang kuat dan sehat akan
menyediakan potensi konsumsi yang besar dalam menyerap produk-produk
yang dihasilkan oleh sektor industri dan jasa. Dengan demikian dapat
diartikan sektor pertambakan mempunyai keterkaitan konsumsi yang besar
dengan yang lainnya.

2. Petani Tambak
Untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta untuk
memenuhi hak dan kebutuhan dasar tiap warga negara, negara berketetapan
menyelenggarakan perlindungan dan pemberdayaan petani tambak secara
terencana, terarah, dan berkelanjutan. Hal ini didasarkan pada resiko usaha di
bidang pertambakan yang besar seiring dengan perubahan alam yang
berdampak terhadap produktifitas petani tambak, kerentanan terhadap
bencana alam, ekses globalisasi dan gejolak ekonomi global.
Terminologi petani tambak sangat beragam. Pengertian petani tambak
adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil tambak. Di Indonesia
para petani tambak biasanya bermukim di pesisir atau daerah pinggir muara
sungai. Komunitas petani tambak adalah orang yang bermatapencaharian dari
hasil tambak dan tinggal di desa-desa atau pesisir.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian petani
tambak adalah orang yang mengusahakan tambak atau petambak. Menurut
Sastrawidjaya (2002), ciri komunitas petani tambak dapat dilihat dari
berbagai segi, sebagai berikut:
1) Dari segi mata pencaharian, petani tambak hidup dari segala aktivitas
yang berkaitan dengan lingkungan pesisir maupun muara sungai, atau

15
mereka yang menjadikan pertambakan sebagai mata pencaharian utama
mereka.
2) Dari segi cara hidup, komunitas petani tambak adalah komunitas gotong
royong. Kebutuhan gotong royong dan tolong menolong terasa sangat
penting pada saat untuk mengatasi keadaan yang menuntutu pengeluaran
biaya besar dan pengerahan tenaga yang banyak. Contohnya saat
membangun tanggul penahan gelombang, membangun petak tambak, dan
sebagainya.
3) Dari segi keterampilan, meskipun pekerjaan petani tambak adalah
pekerjaan berat namun pada umumnya mereka hanya memiliki
keterampilan sederhana. Kebanyakan petani tambak bekerja sebagai
profesi yang diturunkan oleh orang tua, bukan yang dipelajari secara
profesional.
Strategi pemberdayaan petani tambak dilakukan perbaikan pada:
1) Penyediaan prasarana Usaha Pertambakan dan Usaha Pergaraman;
2) Kemudahan memperoleh sarana Usaha Pertambakan dan Usaha
Pergaraman;
3) Jaminan kepastian usaha;
4) Jaminan resiko pembudidayaan tambak dan pergaraman;
5) Penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi;
6) Pengendalian impor komoditas pertambakan dan komoditas pergaraman;
7) Jaminan keamanan dan keselamatan;
8) Fasilitas dan bantuan hukum.
Perencanaan perlindungan petani tambak dilakukan dengan
berdasarkan pada daya dukung sumber daya alam dan lingkungan, potensi
sumber daya tambak di wilayah, pengelolaan tambak negara Republik
Indonesia, potensi lahan dan air, rencana tata ruang wilayah, rencana zonasi
wilayah pesisir dan muara sungai, rencana tata ruang laut nasional,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kebutuhan sarana dan
prasarana, kelayakan teknis dan ekonomis serta kesesuaian dengan

16
kelembagaan dan budi daya setempat, tingkat pertumbuhan ekonomi dan
jumlah petambak.
Pemberdayaan yang diadaptasi dari istilah empowerment yang
berkembang di Eropa mulai abad pertengahan terus berkembang hingga
akhir 70-an. Hakikat dari pemberdayaan berpusat pada manusia dan
kemanusiaan, dengan kata lain manusia dan kemanusiaan sebagai tolak ukur
normatif, struktural dan substansional. Dengan demikian konsep
pemberdayaan sebagai upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa, pemerintah, negara dan tata dunia di dalam kerangka
proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Konsep pemberdayaan lahir dari sebagai atensi terhadap model
pembangunan yang kurang memihak kepada rakyat. Konsep ini dibangun dari
kerangka logika sebagai berikut:
1) Bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan
faktor produksi;
2) Pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan mesyarakat pekerja
dan masyarakat pengusaha pinggiran;
3) Kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan,
sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk
memperkuat legitimasi; dan
4) Pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan
ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat
yaitu masyarakat berdaya dan tunadaya.
Pemberdayaan dimaknai sebagai suatu kegiatan untuk meningkatkan
kemampuan yang sudah ada menjadi lebih baik dan optimal dengan
menggunakan metode, proses, program dan upaya gerakan otorisasi pihak
yang berwenang sesuai dengan undang-undang demi mendatangkan hasil dan
manfaat yang lebih dari kondisi sebelumnya.

17
3. Pembudidaya Ikan
Pembudidaya ikan memiliki peranan yang penting dalam mendukung
upaya pemenuhan pangan dan kesehatan yang dapat diterima oleh seluruh
rakyat. Namun, dalam berbagai sisi terdapat isu dalam kegiatan
pembudidayaan ikan yang perlu untuk mendapatkan perhatian dari semua
pihak.
Pembudi daya ikan terdiri dari:
1) Pembudi daya ikan kecil, adalah pembudi daya ikan yang melakukan
pembudidayaan ikan untuk memnuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
2) Penggarap lahan bud daya, adalah pembudi daya ikan yang menyediakan
tenaganya dalam pembudidayaan ikan.
3) Pemilik lahan budi daya adalah pembudi daya ikan yang memiliki hak atau
izin atas lahan dan secara aktif melakukan kegiatan pembudidayaan ikan.

4. Petambak Garam
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 7 Tahun 2016
menyebutkan bahwa petambak garam adalah setiap orang yang melakukan
kegiatan usaha pergaraman. Usaha pergaraman merupakan kegiatan yang
dilaksanakan dengan sistem bisnis pergaraman yang meliputi praproduksi,
produksi, pascaproduksi, pengolahan, dan pemasaran.
Petambak garam terdiri dari:
1) Petambak garam kecil, yaitu petambak garam yang melakukan usaha
pergaraman pada lahannya sendiri dengan luas lahan paling luas lima
hektare dan perebus garam.
2) Penggarap tambak garam, yaitu petambak garam yang menyediakan
tenaganya dalam usaha pergaraman.
3) Pemilik tambak pergaraman, adalam petambak garam yang mimiliki hak
atas lahan yang dipergunakan untuk produksi garam dan secara aktif
melakukan usaha pergaraman.
Garam merupakan senyawa kimia yang komponen utamanya berupa
natrium klorida dan dapat mengandung unsur lain seperti magnesium,

18
kalsium, besi, dan kalium dengan bahan tambahan atau tanpa bahan tambahan
iodium. Garam merupakan komoditi yang sangat penting yang dibutuhkan
dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk dikonsumsi maupun dibutuhkan
sebagai bahan baku erbagai industri. Dengan penduduk yang banyak dan
berkembangnya industri di Indonesia, kebutuhan akan garamsangatlah besar.
Kebutuhan garam yang terus meningkat setiap tahunnya pada kenyataannya
tidak diikuti dengan peningkatan produksi garam Indonesia.
Wilayah Indonesia yang sebagian besar wilayahnya berupa lautan
yang seharusnya produksi garam melimpah, tetapi pada kenyataannya negara
Indonesia masih melakukan impor garam dari negara lain, karena sampai
pada saat ini, Indonesia memang masih belum bisa sepenuhnya mandiri
dalam produksi garam sendiri. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan atas
ketidakmampuan Indonesia melakukan swasembada garam meskipun kita
memiliki garis pantai yang begitu panjang.
Produksi garam di Indonesia pada saat ini masih terpantau
tersentralisasi di beberapa daerah saja. Daerah produksi garam masih
mayoritas dijumpai di pesisir Pulau Jawa saja. Hal ini terjadi karen tidak
semua daerah pesisir tidak dimanfaatkan semata-mata untuk produksi garam
saja. Ada yang dimanfaatkan sebagai budidaya ikan, atau dikembangkan
menjadi tempat pariwisata. Belum mencukupinya produksi garam di
Indonesia selain kedua faktor tersebut, juga karena faktor alam lainnya seperti
cuaca yang setiap tahun tidak selalu sama, kelembaban udara, ketebalan
lumpur, faktor teknologi juga mempengaruhi produksi garam.
Dari berbagai persoalan tersebut perlu adanya peningkatan produksi
dan kualitas garam. Daerah-daerah yang sudah mampu memproduksi garam
ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam memenuhi kebutuhan garam
nasional. Begitu pula diperlukannya persebaran daerah produksi garam di
Indonesia agar tidak tersentralisasi di Pulau Jawa saja. Daerah luar Pulau
Jawa juga harus diberdayakan dalam hal pemaksimalan produksi garam
nasional. Dengan berbagai upaya yang diharapkan mampu mendatangkan
produksi garam yang maksimal dalam hal swasembada garam.

19
5. Pengolahan dan Pemasaran
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 67/PERMEN-KP/2018 tentang
Usaha Pengolahan Ikan, yang dimaksud dengan Hasil Perikanan adalah Ikan
yang ditangani dan/atau diolah dan/atau dijadikan produk akhir yang berupa
ikan segar, ikan beku, dan olahan lain untuk konsumsi manusia dan/atau
pakan. Pasal 1 angka 3, Pengolahan Ikan adalah rangkaian kegiatan dan/atau
perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk konsumsi
manusia. Pasal 1 angka 4, yang dimaksud dengan Usaha Pengolahan Ikan
adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan pengolahan ikan. Pasal 1
angka 5 menentukan bahwa Unit Pengolahan Ikan yang selanjutnya disebut
UPI adalah tempat dan fasilitas untuk melakukan aktifitas pengolahan ikan.
Berbagai macam jenis Usaha Pengolahan Ikan terdiri dari:
1) Penggaraman/pengeringan ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan
dengan cara penambahan garam/pengeringan untuk mengurangi kadar air
dalam daging sampai batas tertentu guna memperpanjang masa simpan;
2) Pemindangan ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan dengan cara
perebusan atau pengukusan dengan atau tanpa tekanan tinggi untuk
mendapatkan cita rasa tertentu dan mengurangi kandungan
mikroorganisme yang dapat mempengaruhi mutu dan daya simpan
produk;
3) Pengasapan/pemanggangan ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan
dengan cara menggunakan media asap dan/atau panas untuk membunuh
mikroorganisme dan memberi cita rasa yang khas;
4) Peragian/fermentasi ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan dengan cara
perombakan protein ikan secara enzimatis, proteolitik, bakteorologis
dalam derajat keasaman tertentu untuk menghasilkan produk dengan cita
rasa yang khas;
5) Pembuatan minyak ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan berupa
minyak ikan dari hasil ekstraksi lemak yang dikandung dalam ikan dan

20
bersifat tidak larut dalam air dengan cara proses perebusan atau
pengukusan, pengepresan dan pemisahan;
6) Pengalengan ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan dengan cara
penggunaan suhu tinggi dalam suatu wadah kaleng, kemasan plastik,
botol, atau bahan baku lain yang sejenis dengan cara mengeliminasi
bakteri patogen dan pembusuk secara komersial atau mengeliminasi
bakteri patogen dan mereduksi bakteri pembusuk;
7) Pengolahan rumput laut, merupakan Usaha Pengolahan rumput laut
dengan proses perlakuan alkali, pencucian, pengeringan, ektraksi, dan
pemotongan;
8) Pembekuan ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan proses pendinginan
sampai ke titik beku untuk bertujuan mengawetkan ikan dan mengurangi
kadar mikroorganisme didalamnya;
9) Pendinginan/pengesan ikan, merupakan Usaha Pengolahan Ikan dengan
cara penyimpanan dingin dan/atau pengesan dengan atau tanpa
mengubah karakteristik ikan;
10) Pengolahan berbasis lumatan daging ikan/jelly ikan atau srimai,
merupakan Usaha Pengolahan Ikan dengan cara pencampuran lumutan
daging ikan segar atau surimai dengan penambahan bahan-bahan lain
untuk menghasilkan pasta dengan cita rasa, kekenyalan, dan bentuk
tertentu;
11) Pengolahan kerupuk ikan, keripik, peyek ikan, dan sejenisnya,
merupakan Usaha Pengolahan Ikan dengan cara pencampuran lumutan
daging ikan segar dan bahan-bahan lain menjadi produk akhir dengan
bentuk dan ketebalan tertentu.

B. Praktik Empiris
Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
sebagaimana yang dikehendaki oleh tujuan hukum yaitu adanya kepastian
hukum, kebermanfaatan hukum dan keadilan yang telah dipastikan dengan
adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

21
Peraturan Perundang-Undangan. Dalam Undang-Undang ini sebagaimana
dimaksud, asas bersifat formal diatur dalam Pasal 5 dan asas yang bersifat
materiil diatur dalam Pasal 6. Dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik, asas yang bersifat formal dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1) Kejelasan tujuan;
2) Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
3) Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
4) Dapat dilaksanakan;
5) Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6) Kejelasan rumusan
7) Keterbukaan.
Sedangkan dalam hal materiil dalam asas pembentukan peraturan
perundang-undangan harus termuat:
1) Pengayoman;
2) Kemanusiaan;
3) Kebangsaan;
4) Kekeluargaan;
5) Kenusantaraan;
6) Bhineka tunggal Ika;
7) Keadilan;
8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9) Ketertiban dan kepastian hukum;
10) Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Asas-asas tersebut kemudian harus membimbing legislator dalam
merumuskan norma hukum ke dalam aturan hukum yang berlangsung dengan
cara menjadikan dirinya sebagai titik tolak bagi permusuhan norma hukum
dalam aturan hukum.
Praktik empiris tentang sektor pertambakan yaitu perlunya
peningkatan dalam hal:
1) Perlindungan;

22
2) Pembiayaan dan permodalan;
3) Pendidikan, pelatihan, penyuluhan di bidang pertambakan;
4) Penumbuhkembangan kelompok petani tambak dan kelompok
pembudidaya ikan;
5) Kemitraan.
Dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam
hal ini di sektor pertambakan dan optimalisasinya, pembentukan Undang-
Undang tentang Pertambakan dibentuk dalam rangka mewujudkan
peningkatan dalam sektor pertambakan untuk menopang perekonomian
nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Optimalisasi tersebut
dimaksudkan untuk tujuan:
1) Batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban,
dan kewenangan seluruh pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan di
sektor pertambakan;
2) Sistem penyelenggaraan sektor pertambakan dengan memperhatikan
regulasi yang ada;
3) Sistem penyelenggaraan sektor pertambakan yang sesuai dengan asas-asas
umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
4) Kepastian hukum bagi masyarakat khususnya masyarakat yang hidup
berdampingan dengan sumber daya di sektor pertambakan.
Upaya pemaksimalan dan deregulasi mengenai sektor pertambakan
tentunya diarahkan dalam upaya perlindungan dan pemberdayaan sumber
daya alam yang menjadi lahan tambak oleh negara tentu membawa implikasi
pada aspek sosial dan perekonomian negara, sehingga sangat diperlukan
adanya landasan hukum yang kuat sebagai dasar penyelenggaraannya. Karena
itulah diperlukannya Undang-Undang tentang Pertambakan sebagai landasan
di sektor pengelolaan pertambakan nasional negara Indonesia.

23
BAB III
EVALUASI TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. Kondisi Hukum dan Status Hukum Yang Ada


Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini menandakan kewajiban pemerintah
mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara
menggunakan kekayaan alam yang terkandung di Indonesia sebagai alat
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia.
Dalam realitanya masih belum optimalnya negara dalam hal
peningkatan sektor pertambakan sebagai salah satu sektor penting dalam
memajukan kesejahteraan rakyat. Tidak meratanya penyebaran produksi atau
lahan tambak yang mampu diberdayakan oleh negara berakibat tidak
maksimalnya produksi hasil tambak. Terkait kebtuhan petani tambak juga
perlu diperhatikan lebih lagi sebagai penunjang produksi. Banyak faktor dan
hal yang perlu menjadi perhatian negara dalam hal ini pemerintah untuk
menuju rasa keadilan atas ketersediaan sumber daya alam yang ada.
Setiap orang harus mendapatkan perlakuan yang adil dari negara
termasuk keadilan dalam mencapai kesejahteraan sosial. Menurut Rawls,
untuk menciptakan keadilan dalam mensejahterakan rakyat, pemerintah
sebagai pemeran utama harus mengimplementasikan dua konsep: pertama,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar bagi setiap
orang walaupun dalam situasi ketidaksamaan. Hal ini dapat dilakukan melalui
penerapan peraturan hukum sedemikian rupa hingga dapat menguntungkan
golongan masyarakat yang paling lemah; kedua, menghargai kebebasan yang
sama bagi setiap orang atas hak fundamentalnya.
Dalam hubungannya dengan hal pemerintah Indonesia belum
memiliki landasan hukum setingkat undang-undang yang membahas secara

24
rinci, detail, komprehensif dan radikal dalam hal sektor pertambakan,
sehingga perlu membentuk peraturan terkait dengan upaya peningkatan sektor
pertambakan dalam hal mensejahterakan masyarakat Indonesia dari hasil
sumber daya alam yang tersedia. Hal ini sesuai dengan prinsip welfare state
yang mengandung arti bahwa negara menjamin kesejahteraan bagi
masyarakatnya.

B. Keterkaitan Dengan Peraturan Perundang-Undangan Yang Lain


Norma-norma hukum yang bersifat dasar biasanya tituangkan dalam
undang-undang dasar atau bisa juga disebut sebagai konstitusi. Di bawah
hierarki undang-undang dasar terdapat undang-undang sebagai bentuk
peraturan yang ditetapkan oleh legislatif dalam mengimplementasikan
konstitusi. Undang-undang ada karena kebutuhan masyarakat yang
membutuhkan regulasi yang mampu mengakomodir hak-hak warga negara
dan hak asasi manusia.
Upaya peningkatan di sektor pertambakan merupakan kegiatan atau
rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan bagi warga negara dan petani tambak
pada khususnya. Hal ini penting bagi pemerintah yang dapat dilihat adanya
upaya pemenuhan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut peningkatan sektor pertambakan yang diatur setingkat undang-
undang.
Dalam realitanya perlu dievaluasi bahwa regulasi mengenai aektor
pertambakan sudah dijumpai dalam regulasi yang sudah dulu ada yaitu
Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya
Ikan, dan Petambak Garam, Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang
Sumber Daya Air, dll

25
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

Pemberlakuan hukum yang layak dan baik harus mempunyai 3 (tiga)


kekuatan yaitu secara filosofis, sosiologis, dan yuridis, disamping dasar
teknik penyusunan dan perancangan. Suatu norma berlaku karena mempunyai
daya laku atau karena mempunyai keabsahan. Berlakunya hukum ini ada
apabila norma itu dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau lembaga yang
berwenang membentuknya. Daya laku ini mempunyai keabsahan, daya
bekerja agar norma tersebut dapat berlaku efektif.

A. Landasan Filosofis
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
mempunyai landasan filosofis sebagai argumen ilmiah perlunya pembentukan
perundang-undangan tersebut. Ada dua pandangan mengenai dasar/landasan
filosofis yang pertama, adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau
ideologi negara yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pandangan
yang kedua, menyatakan bahwa landasan filosofis adalah pandangan atau ide
pokok yang melandasi perundang-undangan.
Suatu undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang
diidealkan oleh suatu masyarakat ke arah cita-cita luhur kehidupan
bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Dalam undang-undang juga
dapat digambarkan sebagai cermin dari cita-cita kolektif yang hendak
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang
yang bersangkutan dalam realita kehidupan. Kajian secara filosofis yang
terkandung dalam undang-undang hendaknya mencerminkan cita-cita
filosofis yang dianut masyarakat dan bangsa yang bersangkutan.
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara filosofis apabila norma
hukum itu memang sesuai dengan nilai-nilai filosofis yang dianut oleh suatu
negara. Menurut Hans Kelsen mengenai teori Grundnorm atau dalam
pandangan Hans Nawiasky mengenai staatsfundalmentalnorm, pada setiap

26
negara selalu ditentukan adanya nilai-nilai dasar filosofis tertinggi yang
diyakini sumber kehidupan dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Setiap masyarakat selalu mempunyai rechtsidee, yaitu apa yang
masyarakat harapkan dari hukum. Cita-cita hukum ini tumbuh dalam sistem
nilai masyarakat tentang baik maupun buruk, pandangan mengenai hubungan
sosial kemasyarakatan. Semua ini bersifat filosofis yang artinya mempunyai
pandangan mengenai inti atau hakikat sesuatu. Hukum diharapkan
mencerminkan sistem nilai baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai
maupun sebagai sarana mewujudkan dalam tingkah laku masyarakat.
Menurut Rudolf Stammier, cita-cita hukum adalah konstruksi pikiran
yang merupakan keharusan untuk mengarahkan hukum pada cita-cita yang
diinginkan masyarakat. Selanjutnya Gustav Radbruch seorang ahli filsafat
hukum menyatakan bahwa cita-cita hukum berfungsi sebagai tolak ukur yang
bersifat regulatif dan konstruktif, karena tanpa cita-cita hukum, hukum akan
kehilangan maknanya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki tujuan bahwasannya
dalam menyelenggarakan kepentingan rakyat perlu adanya penjaminan atas
prinsip kelangsungan hidup bagi warga negaranya. Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) menyatakan
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Selain Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, juga dijelaskan tentang
kesejahteraan sosial dalam Pasal 34 ayat (2) UUD NRI 1945.
Kemakmuran rakyat hanya bisa disusun dan digapai melalui tatanan
perekonomian nasional yang diselenggarakan atas prinsip gotong-royong,
berkelanjutan, berkeadilan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
menjaga keseimbangan dan kesejahteraan rakyat.
Bumi dan air serta isinya yang merupakan salah satu anugerah dari
Tuhan Yang Maha Esa terhadap Bangsa Indonesia haruslah dimanfaatkan
serta dikelola secara maksimal dalam mencapai kedailan sosial bagi seluruh

27
rakyat Indonesia. Cita-cita kesejahteraan rakyat inilah yang mendasari negara
untuk turut andil dalam penataan Sumber Daya Alam yang terkandung di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Upaya untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, pemerintah
mengusahakan perekonomian nasional dan sistem kesejahteraan sosial yang
dapat meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup
masyarakat dan memulihkan fungsi sosialnya. Ketidaksejahteraan menjadi
penyakit bagi masyarakat Indonesia. Demi mencapai suasana kondusif dalam
masyarakat yang menjunjung tinggi budi pekerti sesuai dengan nilai-nilai
pancasila.
Tujuan kesejahteraan rakyat tentunya erat kaitannya dengan sektor
mata pencaharian serta pemanfaatan Sumber Daya Alam yang terkandung di
seluruh wilayah Indonesia. Salah satu sektor sebagai penunjang kemakmuran
rakyat adalah aktivitas di bidang pertambakan.
Perspektif kesejahteraan penting untuk ditekankan sebagai tujuan
utama bahwa negara hadir untuk melindungi seluruh rakyatnya dan menjamin
kelangsungan hidupnya di wilayah Indonesia. Pemanfaatan sumber daya alam
yang berupa wilayah pesisir pantai atau muara sungai dapat dijadikan sebagai
upaya peningkatan perekonomian bangsa serta mampu menciptakan lapangan
pekerjaan bagi rakyat.
Landasan filosofis ini sangatlah penting agar seluruh ketentuan
menimbang, dan materi muatan yang terkandung dalam Undang-Undang
tentang Pertambakan ini menempatkan bahwasannya sektor pertambakan
merupakan salah satu aspek mata pencaharian dan pemanfaatan sumber daya
alam yang perlu dikelola oleh negara sebagai strategi dalam meningkatkan
aspek perekonomian rakyat dan keberlangsungan bangsa dan negara
Indonesia.

B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau landasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kehidupan

28
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Pada hakikatnya landasan
sosiologis menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan
kebutuhan rakyat.
Pada umumnya, masyarakat yang hidup akan memiliki cita-cita untuk
mencapai kesejahteraan, dapat memenuhi kebutuhannya, dan mampu bekerja
dalam meraih hak asasinya dalam penghidupan pribadinya maupun untuk
keluarganya. Dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pertambakan
yang dibentuk berdasarkan kebutuhan sosiologis masyarakat Indonesia dan
diharapkan juga akan kembali berdampak positif kepada masyarakat akan
peningkatan kesejahteraan di sektor pertambakan, karena salah satu tugas
hukum adalah sebagai alat perekayasan sosial atau Law as a tool of social
engineering.
Dengan landasan sosiologis yang kuat diharpakan mampu
menciptakan tatanan sosial yang sesuai dengan cita-cita bangsa. Berbagai
landasan sosiologis Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan sebagai
berikut:
1) Undang-Undang tentang Pertambakan hendak mengatur kehidupan
masyarakat dan pemangku kepentingan terkait bidang pemanfaatan
Sumber Daya Alam tentang tambak. Secara sosiologis, adanya lahan yang
dapat dimanfaatkan sebagai mata pencaharian masyarakat mampu
meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat.
2) Keberlakuan norma-norma yang hidup di masyarakat tentunya berkaitan
dengan budaya dan wilayah tempat tinggal sehingga relasi sosial dalam
mewujudkan tatanan masyarakat mampu tercipta.
3) Pembuatan Undang-Undang tentang Pertambakan secara sosiologis
merupakan bagian dari social order atau tatanan masyarakat. Social order
dapat diartikan sebagai a concept used in sociology, history and other
social sciences. It refers to a set of linked cosial structures, social
institutions and social practices. Which conserve, maintain and enforce
normal ways of relating and behaving. Tujuan adanya regulasi undang-

29
undang haruslah menciptakan tatanan sosial yang berdampak positif
terhadap perkembangan masyarakat.
4) Tidak ada individu yang mampu menghasilkan seluruh kebutuhan
hidupnya sendiri sehingga adanya regulasi tentang pertambakan dapat
meningkatkan taraf hidup masyarakat.
5) Keberadaan Sumber Daya Alam yang mendukung tatanan masyarakat
dalam berkembang menjadi lebih baik dapat menciptakan pola masyarakat
yang mandiri dalam hal perekonomian dan matapencaharian sebagai hak
asasi manusia dan hak warga negara Indonesia.
6) Pengelolaan Sumber Daya Alam daerah pesisir pantai atau muara sungai
oleh negara merupakan upaya pemenuhan hak warga negara di bidang
kesejahteraan dan lingkungan yang dilakukan oleh pemerintah.

C. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan landasan atas pertimbangan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk ditujukan untuk mengatasi
permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam landasan yuridis memuat suatu tujuan terhadap peraturan
perundang-undangan yang ada kaitannya dengan judul penyusunan
Perancangan Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada dan masih
berlaku. Suatu peraturan perundang-undangan pada landasan yuridis adalah
sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa
Negara Indonesia dalah negara hukum. Hal ini berkaitan dengan Pasal 28 I
ayat (5) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang

30
demokratis, maka hak asasi manusia dijamin dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Produk hukum yang mengatur tentang pertambakan memang sudah
ada dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, Undang-
Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, Undang-Undang No. 17
Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, dll. Terkait perihal yang membahas
secara khusus dan rinci tentang tambak/pertambakan masih belum diatur
dalam tingkat undang-undang.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan mengandung beberapa
prinsip yaitu:
1) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat
dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah atau berada di bawahnya;
2) Peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih rendah harus bersumber
atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-undangan di
tingkat lebih tinggi;
3) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4) Suatu peraturan perundang-undangan hanya bisa dicabut atau diganti atau
diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
paling tidak yang sederajat;
5) Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang
sama maka peraturan terbaru yang harus diberlakukan walaupun tidak
dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama dicabut;
6) Peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus lebih
diutamakan daripada peraturan perundang-undangan yang lebih umum.

31
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG TENTANG
PERTAMBAKAN

A. Asas Dan Tujuan


Asas-asas yang digunakan dalam Naskah Akademik ini mengacu
pada:
1. Pasal 33 Ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
2. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
3. Teori-teori dalam ilmu sosial dan sumber daya alam.
Asas-asas tersebut adalah:

1. Kekeluargaan
Asas Kekeluargaan dari Pasal 33 UUD NRI 1945. Prinsip ini dirumuskan
dalam Rapat Besar Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, dimana
para pendiri bangsa merasakan kuatnya tradisi gotong royong dalam
masyarakat Indonesia, maka dalam menghadapi ketidakadilan di lapangan
sosial ekonomi. Sistem perekonomian Indonesia harus disusun dengan
prinsip kekeluargaan (Moh. Hatta, 1945).

2. Demokrasi Ekonomi
Demokrasi Ekonomi menganut pemahaman bahwa aktifitas ekonomi
diselenggarakan berdasarkan atas asas kerakyatan. Pembangunan
ekonomi menganut asas keberpihakan pada rakyat dilakukan oleh rakyat
dan ditujukan untuk rakyat. Pertambakan adalah salah satu sektor
kerakyatan yang dinilai mampu mendukung terwujudnya cita-cita
demokrasi ekonomi.

32
3. Kebermanfaatan
Dengan asas kebermanfaatan, sektor pertambakan diharapkan mampu
memberikan nilai kebermanfaatan bagi masyarakat dan perkembangan
bangsa secara utuh dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum.

4. Kemandirian
Kemandirian atau berdikari di bidang ekonomi merupakan salah satu
tujuan bangsa Indonesia yang menjadikan prinsip dasar dalam hal
kehidupan rakyat Indonesia. Dengan kemandirian diharapkan mampu
menumbuhkan kepribadian yang tidak bergantung pada pihak lain baik
dari segi permodalan maupun sumber daya.

5. Kearifan Lokal
Kearifan Lokal menjadikan dasar dalam sektor pertambakan karena tidak
lepas dan erat kaitannya dengan nilai-nilai luhur dan tata kelola kehidupan
masyaraat yang mengusung kelestarian alam.

6. Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup


Asas Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup merupakan dasar dalam
melakukan pengelolaan sumber daya alam yang tersedia bagi bangsa
Indonesia. Hal ini ditujukan untuk menjaga konsistensi lingkungan hidup
agar tidak rusak/tercemar sehingga mampu menopang keberlanjutan
kehidupan masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam.

Tujuan pengaturan kegiatan pertambakan terbagi menjadi 2 (dua)


yaitu Tujuan Umum dan Tujuan Khusus. Tujuan umum merupakan suatu
kerangka makro yang dikaitkan dengan tujuan pembuatan undang-undang
yang berkaitan dengan pertambakan. Sedangkan Tujuan Khusus adalah
penjabaran lebih spesifik terhadap pentingnya Undang-Undang tentang
Pertambakan ini.
Tujuan Umum:
a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
33
b. Meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
c. Meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan kebermanfaatannya.
Tujuan Khusus:
a. Menjamin ketersediaannya kebutuhan mata pencaharian rakyat.
b. Menjamin tersedianya kebutuhan pokok atas produksi dari pertambakan.
c. Meningkatkan tersedianya distribusi ekonomi.
d. Mendorong produktifitas atas pengelolaan sumber daya alam yang tersedia
di daerah pesisir atau muara sungai.
e. Meningkatkan tersedianya infrastruktur dan pembudidayaan sektor
pertambakan
f. Meningkatkan produksi dalam negeri dan ekspor nasional.

B. Arah Pengaturan Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD NRI 1945
1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargan.
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiansi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) dengan
prinsip-prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi.
Asas kekeluargaan dan prinsip ekonomi kerakyatan dimaksudkan
sebagai rambu-rambu yang penting dalam upaya mewujudkan demokrasi
ekonomi nasional. Hal tersebut dipandang penting agar seluruh sumber daya
alam penunjang perekonomian nasional digunakan sebaik-baiknya sesuai

34
dengan paham demokrasi ekonomi sehingga mendatangkan manfaat optimal
bagi seluruh warga negara dan peduduk Indonesia.
Pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4) UUD NRI
1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang dengan memperhatikan
prinsip-prinsip antara lain efisiensi yang berkeadilan. Dengan ini sumber daya
alam yang ada harus dialokasikan secara efisien untuk mendukung
perekonomian nasional secara sehat dan sekaligus untuk mencapai keadilan.
Kemajuan ekonomi di seluruh wilayah tanah air harus diperhatikan
keseimbangannya dan dalam pelaksanaan otonomi daerah harus pula dijaga
kesatuan dan persatuan dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi Indonesia.

C. Materi Muatan Undang-Undang tentang Pertambakan


Menurut Prof. A Hamid S. Attamimi terdapat 9 (sembilan) materi
muatan yang harus ada dalam undang-undang yaitu:
1) Yang tegas-tegas diperintahkan oleh UUD NRI 1945 dan TAP MPR;
2) Yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD NRI 1945;
3) Yang mengatur hak-hak asasi manusia;
4) Yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;
5) Yang mengatur pembagian kekuasaan negara;
6) Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga tertinggi/tinggi negara;
7) Yang mengatur pembagian wilayah/daerah negara;
8) Yang mengatur siapa warga negara dan cara memperoleh/kehilangan
kewarganegaraan; dan
9) Yang dinyatakan oleh suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-
undang.
Dari kesembilan alasan tersebut, harus tercermin dalam materi muatan
yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pertambakan. Keseluruhan materi
muatan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan secara garis besar
adalah sebagai berikut:

35
1. Konsideran Menimbang
1) Pembangunan di sektor Pertambakan dilaksanakan untuk mewujudkan
kesejahteraan umum sebagai salah satu tujuan Pemerintahan Negara
Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Peran sektor Pertambakan sangat penting dalam perekonomian
nasional Indonesia, sehingga perlu dilakukan penataan dan
pengelolaan secara menyeluruh, terpadu, dan dilaksanakan
berdasarkan prinsip berkelanjutan, manfaat bagi kepentingan nasional
dan berkeadilan.
3) Peraturan perundang-undangan di bidang pertambakan yang ada
belum memadai dan belum memenuhi tuntutan perkembangan zaman
terkini dan di masa depan, sehingga perlu dibentuk Undang-Undang
tentang Pertambakan.
4) Undang-Undang tentang Pertambakan dijadikan sebagai dasar
pembuatan kebijakan dan penataan sistem perekonomian kerakyatan
nasional.

2. Ketentuan Umum
Definisi-definisi terkait dengan kegiatan pertambakan yang dimuat
dalam batang tubuh Undang-Undang tentang Pertambakan antara lain:
1. Pertambakan adalah keseluruhan tatanan kegiatan yang terkait
dengan pengelolaan tambak yang dilakukan oleh pelaku usaha atau
masyarakat.
2. Tambak adalah lahan pengelolaan sumber daya alam baik air tawar,
air asin, maupun air payau yang terletak di daerah pesisir pantai
maupun kawasan muara sungai.
3. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
4. Muara Sungai adalah tempat berakhirnya aliran air sungai yang
berbatasan langsung dengan air laut.

36
5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan,
organisme dan non organisme lain serta proses yang
menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan
produktivitas.
6. Kawasan adalah bagian wilayah pesisir pantai dan muara sungai
yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria
karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan
keberadaannya.
7. Pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati
dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen
untuk menghasilkan komoditas pertanian hasil tambak.
8. Petani adalah warga negara Indonesia perorangan dan/atau beserta
keluarganya yang melakukan kegiatan usaha tani di bidang
pertambakan.
9. Pelaku Usaha adalah setiap orang yang melakukan usaha prasarana
pertambakan, pengelolaan, pemanfaatan penunjang pertambakan
yang berkedudukan di wilayah hukum Republik Indonesia.
10. Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang
dari sebagian wilayah pertambakan pada batas kekuasaan tertentu.
11. Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan
kegiatan pemanfaatan/pengelolaan sumber daya pertambakan.
12. Sertifikasi adalah serangkaian pemeriksaan dan/atau pengujian
dalam rangka penerbitan sertifikat.
13. Pelindungan Pertanian Tambak adalah segala upaya untuk mencegah
kerugian pada budi daya pertanian tambak yang diakibatkan oleh
faktor-faktor alam maupun non alam.
14. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh Wakil Presiden Negara Republik Indonesia dan
menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

37
15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonomi.
16. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang Kelautan da Perikanan.

3. Kebijakan Pertambakan
Kebijakan pertambakan merupakan penjabaran dari tujuan yang
dijadikan dasar dalam memperkuat legalitas pemerintah khususnya
melalui menteri yang menangani pertambakan untuk membuat regulasi.
Kebijakan ini selanjutnya dijabarkan dalam tugas dan tanggung jawab
pemerintah.
Adapun kebijakan pertambakan sebagai berikut:
1) Sistem pertambakan nasional Indonesia dirancang guna mendapatkan
manfaat perekonomian dan sosial sebesar-besarnya untuk kepentingan
nasional Indonesia;
2) Sistem pertambakan nasional menjamin tersedianya kebutuhan atas
sektor produksi di pertambakan maupun hasil dengan output dan
outcome yang tinggi;
3) Semua produksi dari hasil sektor pertambakan bebas bergerak di
seluruh wilayah Indonesia kecuali dinyatakan dilarang oleh
pemerintah;
4) Pengaturan sektor pertambakan nasional dilaksanakan sebagai
pelaksanaan kedaulatan Indonesia di bidang sosial ekonomi.
5) Pengembangan ekspor hasil sektor pertambakan menempatkan skala
prioritas ekspor barang jadi atau setengah jadi.

4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Undang-Undang tentang Pertambakan ini pada
dasarnya mengatur segala hal yang berkaitan dengan tatabab kegiatan yang

38
berkaitan dengan seluruh sektor pertambakan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Ruang lingkup pengaturan Undang-Undang tentang Pertambakan
ini meliputi:
1) Penataan kelembagaan yang menangani sistem pertambakan;
2) Penyediaan sarana dan prasarana atau infrastruktur pertambakan untuk
memperlancar produksi dan distribusi pemasaran hasil tambak;
3) Pengaturan pertambakan daerah;
4) Pengaturan pertambakan nasional;
5) Pengembangan pertambakan;
6) Perlindungan;
7) Standarisasi;
8) Distribusi;
9) Produksi.

5. Sarana Pertambakan
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pelaku usaha secara sendiri-
sendiri atau bersama-sama dapat mengembangkan sarana pertambakan
berupa:
1) Lahan tambak;
2) Pusat perbelanjaan sektor pertambakan;
3) Gudang;
4) Bendungan atau sarana pengairan;
5) Pusat informasi pertambakan; dan
6) Sarana pertambakan lainnya.

6. Perizinan
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan di sektor pertambakan
wajib memiliki perizinan di bidang tambak kecuali ditentukan lain oleh
Menteri.

39
Pemberian izin di bidang pertambakan dilaksanakan dengan
memperhatikan asas penyelenggaraan pelayanan publik.

7. Pengendalian
Pemerintah dan pemerintah daerah mengendalikan ketersediaan
barang atau kebutuhan pokok dalam penyelenggaraan di sektor
pertambakan di seluruh wilayah Indonesia dalam jumlah yang memadai,
mutu yang baik, dan harga terjangkau.
Dalam kondisi tertentu pemerintah menetapkan langkah
pemenuhan ketersediaan, stabilisasi harga dan distribusi mengenai segala
alat dan kebutuhan penunjang pertambakan.
Dalam kondisi tertentu pemerintah dapat melakukan pengendalian
sektor pertambakan di dalam negeri.

8. Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah


Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan terhadap
usaha mikro, kecil dan menengah di sektor pertambakan berupa
pemberian fasilitas, insentif, bimbingan teknis, bantuan promosi dan
pemasaran serta bekerja sama dengan pihak lain.

9. Pelindungan dan Pengamanan Petambak


Dalam hal terjadi pengaruh dari ketentuan ekspor dan impor
pemerintah dapat melakukan langkah-langkah perlindungan yang
diperlukan untuk mengurangi kerugian atau ancaman kerusakan yang
dimaksud.

10. Pengawasan
Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang melakukan
pengawasan terhadap kegiatan pertambakan.
Dalam melaksanakan pengawasan pemerintah menetapkan
kebijakan pengawasan di bidang pertambakan.

40
11. Penyidikan
Selain pejabat penyidik polisi negara republik Indonesia, pejabat
penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah
yang tugas dan ruang lingkupnya di bidang pertambakan di pusat
maupun daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

12. Ketentuan Pidana


Setiap pelaku usaha yang tidak memenuhi atau mematuhi
ketentuan larangan dalam hal pertambakan barang dan/atau jasa yang
ditetapkan oleh Undang-Undang wajib dikenakan sanksi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

13. Ketentuan Penutup


Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun
sejak Undang-Undang ini diundangkan. Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

14. Penjelasan
Penjelasan setiap pasal.

41
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada dasarnya Naskah Akademik ini memberikan argumentasi ilmiah
atas Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan. Naskah Akademik ini
mendefinisikan asas dan tujuan Rancangan Undang-Undang tentang
Pertambakan serta menjabarkan peran pemerintah di sektor pertambakan serta
pengaturan-pengaturan terkait dengan peran tersebut.
Adapun muatan Rancangan Undang-Undang tentang Pertambakan
meliputi pengaturan konsideran menimbang, ketentuan umum, kebijakan
pertambakan, ruang lingkup pertambakan, perizinan, pengendalian,
pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, perlindungan dan
pengamanan pertambakan, pengawasan, penyidikan, ketentuan pidana,
ketentuan penutup dan penjelasan.

B. Saran
Berlakunya Undang-Undang tentang Pertambakan memerlukan
ketentuan teknis dan peraturan turunan lagi dibawahnya yang membahasn
ketentuan masing-masing daerah dengan peraturan daerahnya masing-masing.
Oleh karena itu setelah seluruh proses pembentukan peraturan perundang-
undangan tentang pertambakan ini maka sosialisasi maupun realisasi kepada
masyarakat harus digencarkan semaksimal mungkin

42

Anda mungkin juga menyukai