Anda di halaman 1dari 22

1

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS HUKUM
Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
Nomor: BAN-PT No. 4071/SK/BAN-PT/Akred/M/X/2019

Sistem Bangun Guna Serah berdasarkan Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata Indonesia

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6

Nida Urrizqiyah
110620230004

Lia Gulianti Jonathan Jordi


110620230013 110620230014

Yuniarti Geraldo Adrian Stanis


110620230016 110620230017

Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Susilowati S. Dajaan, S.H., M.H.
Dr. Tri Handayani, S.H., M.H.

Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan


Untuk Menyelesaikan Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Perjanjian
Program Studi Kenotariatan

2023
1

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................................1
A. Pendahuluan.......................................................................................................................... 3
1. Latar Belakang................................................................................................................. 3
2. Identifikasi Masalah:........................................................................................................4
3. Tujuan Penelitian:........................................................................................................... 4
B. Metode Penelitian..................................................................................................................4
C. Tinjauan Pustaka................................................................................................................... 5
1. Bangun Guna Serah......................................................................................................... 5
a. Pengertian................................................................................................................5
i. Bangun................................................................................................................ 5
ii. Guna...................................................................................................................5
iii. Serah................................................................................................................. 5
b. Perjanjian Turunan Skema Perjanjian Bangun Guna Serah....................................6
i. Konstruksi............................................................................................................6
ii. Konsesi...............................................................................................................6
iii. Kebebasan Operasi........................................................................................... 6
iv. Alokasi Risiko.................................................................................................... 6
2. KUHPerdata..................................................................................................................7
a. Asas kebebasan berkontrak.................................................................................... 8
b. Perjanjian Kuasa......................................................................................................9
c. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan.......................................................................11
3. Undang-Undang Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat.............................................. 11
a. Perjanjian Pembebasan Lahan.............................................................................. 11
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah....................................................... 14
c. Pendaftaran Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 1997..........................................................................................14
4. Regeling Menteri Keuangan Republik Indonesia.........................................................15
a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Nomor: 248/KMK.04/1995.... 15
2. Hardship.......................................................................................................................16
a. Pengertian..............................................................................................................16
b. Pengaturan di KUHPerdata................................................................................... 17
D. Hasil dan Pembahasan........................................................................................................ 17
1. Analisis kedudukan skema perjanjian bangun guna serah di dalam KUHPerdata?.... 17
2. Analisis unsur naturalia dari keadaan hardship skema perjanjian bangun guna serah
berdasarkan KUHPerdata?..............................................................................................18
E. Penutup................................................................................................................................ 20
1. Simpulan........................................................................................................................ 20
2

a. Sistem Hukum..........................................................................................................20
Daftar Pustaka............................................................................................................................. 21

2
3

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang memiliki tujuan untuk memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia
sebagai negara hukum1 melalui badan-badan publik yang meliputi kegiatan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif melakukan pembentukan, pelaksanaan, dan
penegakkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kekuasaan yang
dimiliki oleh masing-masing lembaga Negara.

Berlandaskan pada Pancasila, kesejahteraan adalah bukan materiil saja melainkan


juga dapat bersifat immaterial. Pemerintah dapat memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat tidak hanya dengan memberikan harta benda melainkan juga
melalui infrastruktur yang dibangun untuk mempercepat kegiatan perekonomian
masyarakat. Sifat dari sistem ekonomi yang saling berkaitan dan saling
mempengaruhi mengakibatkan adanya “katalis” akan memberikan efek secara
langsung maupun tidak langsung dalam jangka waktu dekat dan panjang.

Keadaan Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat dipungkiri berakibat


pada kemampuan pemerintah untuk melakukan pembangunan yang lemah.
Pemerintah membutuhkan bantuan dari pihak-pihak yang memiliki posisi
ekonomi lebih kuat dan stabil untuk melakukan pembangunan negara. Terdapat
berbagai macam bantuan yang dapat dijadikan opsi untuk melakukan
pembangunan negara, terlebih Indonesia menganut sistem ekonomi campuran
terbuka yang mengakibatkan subjek hukum asing memiliki sedikit restriksi dalam
menjadi aktor ekonomi di Indonesia. Contoh dari bantuan yang diupayakan oleh
pemerintah antara lain adalah hutang luar negeri, penanaman modal asing, dan
sistem perjanjian dengan skema bangun guna serah.

Saat ini pembangunan di Indonesia ditetapkan dalam Rencana Pembangunan


Jangka Panjang Nasional tahun 2005 - 2025 tertuang dalam Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 17 tahun 2007. Perlunya perencanaan pembangunan
adalah karena perintah pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan
arah serta prioritas secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap untuk
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur untuk kesinambungan
pembangunan. Sebelumnya Rencana Pembangunan Nasional ditetapkan dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yaitu Garis Besar

1
Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3)

3
4

Haluan Negara, perubahan ini dikarenakan adanya penguatan otonomi daerah dan
desentralisasi pemerintahan.

Pelaksanaan Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional terbagi dalam


periodisasi waktu setiap 5 tahun yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah I, II,III, dan IV. Rencana Pembangunan Jangka Menengah
disusun dalam masing-masing periode yang memuat strategi pembangunan
nasional, kebijakan umum, program kementerian/lembaga dan lintas
kementerian/lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka
ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh
termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka
regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif yang dimuat di dalam
Rencana Kerja Pemerintah.

2. Identifikasi Masalah:
a. Bagaimana kedudukan skema perjanjian bangun guna serah di dalam
KUHPerdata?
b. Bagaimana unsur naturalia dari keadaan hardship skema perjanjian bangun
guna serah berdasarkan KUHPerdata?

3. Tujuan Penelitian:
a. Mengetahui dan memahami bagaimana kedudukan skema perjanjian bangun
guna serah di dalam KUHPerdata.
b. Mengetahui dan memahami bagaimana unsur naturalia dari keadaan hardship
skema perjanjian bangun guna serah berdasarkan KUHPerdata.

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yang melakukan
analisis atas kedudukan hukum waris adat patrilineal dalam sistem hukum Indonesia:
waris adat di manggarai melalui studi kepustakaan. Melalui metode penelitian ini penulis
akan menemukan kebenaran koheren yang memiliki validitas logikal meskipun tidak
dibuktikan secara empiris.

4
5

C. Tinjauan Pustaka
1. Bangun Guna Serah
a. Pengertian
Bangun guna serah adalah skema khusus dalam bidang perjanjian pendanaan atau
pembiayaan suatu pembangunan atau proyek yang dilakukan oleh pihak yang
tidak memiliki proyek untuk mendapatkan keuntungan berdasarkan izin yang
diberikan oleh pemilik proyek. Berdasarkan uraian tersebut unsur izin (dapat
menggunakan istilah lain) untuk mengambil suatu keuntungan dari proyek yang
bukan dimilikinya merupakan kekhasan yang dimiliki oleh skema perjanjian
bangun guna serah. Apabila perjanjian ini berakhir, maka pemilik proyek akan
menguasai secara utuh dan penuh proyek yang dimilikinya tanpa adanya
intervensi dari pihak manapun.
i. Bangun
Periode ini adalah periode pertama dari skema perjanjian bangun guna serah
secara keseluruhan, dalam tahapan ini pemilik proyek berdasarkan suatu
perjanjian meminta pihak lain untuk melakukan pembangunan proyek
dengan biaya sendiri. Pemilik proyek sama sekali tidak memberikan dana
ataupun jaminan kepada lembaga pembiayaan atas pinjaman yang dilakukan
pihak lain dalam rangka pembangunan proyek ini. Dalam tahap ini prestasi
pihak lain kepada pemilik proyek adalah hasil pekerjaan yang sesuai dengan
perjanjian tanpa mempedulikan cara mengerjakannya maupun perolehan
dana untuk pembangunannya.
ii. Guna
Setelah pembangunan proyek selesai, pemilik proyek memberikan izin
kepada pihak pembangun untuk melakukan pengoperasian/mengusahakan
proyek untuk jangka waktu tertentu. Periode ini adalah periode bagi pihak
lain untuk mengoperasikan/mengusahakan proyek tersebut seolah-olah untuk
mengembalikan modal dana yang telah dikeluarkan mungkin saja beserta
dengan bunga-bunga yang timbul dari proses pembangunan proyek tersebut.
Selain mengoperasikan/mengusahakan proyek pembangunan, pihak lain
memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kondisi dan keadaan dari proyek
yang dimiliki pihak lain tetap baik dan layak untuk digunakan sebagaimana
baiknya dalam keadaan yang optimal. Dalam hal maintenance ini pihak lain
adalah yang memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dana apabila
dibutuhkan.
iii. Serah
Setelah jangka waktu izin yang diberikan telah menemui akhirnya maka
pemilik proyek akan menguasai kembali proyek yang dimiliki olehnya.
Penyerahan secara nyata maupun yuridis secara otomatis akan mengakhiri
keseluruhan rangkaian dari skema perjanjian bangun guna serah ini.

5
6

Sifat dan unsur yang dimiliki oleh skema perjanjian perjanjian bangun guna serah
memiliki tingkat spekulasi yang tinggi dan dapat dikatakan memiliki sifat
untung-untungan. Izin pengoperasian/pengusahaan yang dimiliki oleh jangka
waktu yang sangat panjang sampai dengan puluhan tahun sehingga memiliki
kerentanan dari proyeksi yang sudah dimiliki atas keadaan-keadaan luar biasa
yang tidak terduga di kemudian hari.

b. Perjanjian Turunan Skema Perjanjian Bangun Guna Serah

i. Konstruksi
Pihak lain yang diberikan izin untuk menguasai proyek skema perjanjian
bangun guna serah akan disebut konsorsium. Dalam hal melakukan pekerjaan
konstruksi konsorsium umumnya memiliki kebebasan untuk menentukan
konstruksi yang akan digunakan untuk pembangunan proyek dan pihak
pemberi kuasa akan memberikan persetujuan atas konstruksi yang sudah
diajukan. Setelah pemilihan sudah menemukan kesepakatan maka
pelaksanaan pembangunannya adalah wewenang penuh dari konsorsium.
ii. Konsesi
Perjanjian konsesi adalah perjanjian yang paling penting dari skema bangun
guna serah karena perjanjian ini adalh titik tumpu keunikan dan kekhasan
yang dimiliki oleh skema perjanjian bangun guna serah. Perjanjian akan
mengatur kedudukan yang dimiliki oleh pemilik proyek dalam hal ini
pemerintah atau agen pemerintah dan konsorsium. Dalam perjanjian ini akan
mengandung unsur kepentingan privat dan kepentingan umum yang saling
berbenturan sehingga terdapat hal tentang mekanisme penentuan tarif, jangka
waktu konsesi, alokasi risiko, dan perikatan tambahan lain yang mungkin
timbul untuk mengakomodasi skema perjanjian bangun guna serah.
iii. Kebebasan Operasi
Hal ini sangat berkaitan erat dalam proses guna dalam skema perjanjian
bangun guna serah. Dalam hal ini klausula yang dibentuk oleh para pihak
adalah adanya keleluasaan yang dimiliki oleh konsorsium dari urusan politik
maupun birokrasi yang bisa saja menghambat pengembalian uang yang
sedang diusahakan oleh pihak konsorsium.
iv. Alokasi Risiko
Dalam skema perjanjian bangun guna serah pihak konsorsium menanggung
beban risiko secara penuh dan utuh karena dalam periode awal perjanjian
konsorsium yang mempertaruhkan segala miliknya dalam proyek
pembangunan tersebut tanpa adanya potensi kerugian yang mungkin timbul
akibat dari pembangunan proyek tersebut.

6
7

Skema perjanjian bangun guna serah juga menimbulkan adanya perjanjian


turunan lainnya yang digunakan untuk mendukungnya skema ini secara baik dan
lancar.

2. KUHPerdata
Jenis perjanjian BOT ini tidak dikenal atau tidak ada namanya dalam
KUHPerdata. Munculnya perjanjian BOT dilatarbelakangi adanya tuntutan
kebutuhan masyarakat, khususnya bagi para pelaku usaha yang menghendaki
terjalinnya hubungan kemitraan atau kerjasama dalam menjalankan usaha maupun
melakukan ekspansi yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis dan lazimnya
agar para pihak yang berkepentingan merasa terlindungi di kemudian hari yang
dibuat dihadapan Notaris. Mengenai pengertian perjanjian BOT secara normatif
tidak diatur secara formal dalam pengaturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Penggunaan istilah BOT pun juga masih beragam, ada yang masih
menggunakan istilah aslinya untuk kata BOT dan ada yang sudah diterjemahkan
dengan BGS (Bangun Guna Serah). Sampai dengan saat ini pengaturan mengenai
Perjanjian Build Operate Transfer (BOT) ini masih tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan. Memang belum ada undang-undang juga yang secara
khusus mengenai Perjanjian Build Operate Transfer (BOT) ini. Saat ini pun masih
disusun Rancangan Undang-Undang tentang Perjanjian BOT (RUU BOT). RUU
BOT ini nantinya diharapkan dapat dijadikan dasar hukum dalam mengatur BOT
baik dari aspek hukum perdatanya(hukum perjanjian), hukum pertanahan dan juga
hukum administrasi. Peraturan yang menjadi dasar dalam Perjanjian Build
Operate Transfer (BOT) yang meliputi aspek Hukum Perdata, Hukum Pertanahan
(Agraria) dan Hukum Administrasi. Pengaturan dari aspek hukum perdata dapat
dilihat di dalam ketentuan Buku III KUH Perdata tentang Perikatan (van
verbintenisen). Beberapa ketentuan dalam KUH Perdata yang dapat dijadikan
dasar pengaturan bagi Perjanjian Build Operate Transfer (BOT) yaitu Pasal 1313
sampai dengan Pasal 1352 KUH Perdata. Sumber hukum utama bagi lahirnya
perjanjian BOT yaitu Pasal 1338 KUH Perdata yang mengatur tentang kebebasan
berkontrak. Sedangkan pengaturan dari aspek Hukum Pertanahan, Perjanjian
Build Operate Transfer (BOT) diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan terkait pertanahan dan agraria yaitu Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960.
Undang-undang dalam hal ini salah satunya sebagaimana diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata yang menentukan bahwa syarat sahnya perjanjian termasuk
perjanjian BOT, jika memenuhi syarat (1) Sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya; (2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) Memenuhi suatu hal
tertentu; serta (4) Memiliki suatu sebab yang halal. Jika syarat-syarat sahnya

7
8

perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah dipenuhi,
maka berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, perjanjian Bangun Guna
Serah (Build Operate and Transfer/BOT) telah memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan kekuatan undang-undang. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata menyebutkan bahwa : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”. Namun demikian,
meskipun perjanjian BOT merupakan perikatan yang bersumber dari perjanjian,
jika terjadi pelanggaran atas perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and
Transfer/BOT) tersebut, sanksinya tetap diberikan oleh undang-undang. Salah
satu contohnya, yaitu bahwa ketika salah satu pihak tidak melaksanakan
perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT), yang
kemudian menyebabkan kerugian kepada pihak lainnya, maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 1239 KUH Perdata, pihak tersebut diwajibkan membayar ganti
rugi.2

Tanpa mengabaikan peran penting dari sumber-sumber perikatan yang lainnya,


dari sumber-sumber perikatan di atas, perjanjian merupakan salah satu sumber
perikatan yang terpenting dalam mengembangkan hukum perjanjian, sebab sesuai
dengan salah satu asas yang dianut dalam sistem hukum nasional Indonesia, yaitu:

a. Asas kebebasan berkontrak


Maka para pihak diberikan suatu kebebasan untuk membuat segala macam
perikatan, baik perikatan yang bernama yang tercantum dalam titel V sampai
dengan XVIII Buku III KUH Perdata maupun perikatan yang tidak bernama.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang disimpulkan dari Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, maka lahir perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate
and Transfer/BOT), yang dikenal sebagai perjanjian tidak bernama
(onbenoemde overeenkomst), yaitu perjanjian yang tidak diatur secara khusus
dalam undang-undang, tetapi tumbuh dan berkembang dalam kegiatan
ekonomi Indonesia. Sebagai suatu perjanjian tidak bernama, sampai saat ini
belum ada pengertian dan pengaturan secara khusus mengenai pembangunan
suatu proyek milik pemerintah ataupun swasta yang dibiayai melalui sistem
Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT). Aturan yang
digunakan saat ini adalah Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dikenal
sebagai asas kebebasan berkontrak.

2
Mercy M. Setlight, Keadilan Dalam Perjanjian Bangun Guna Serah ( Build, Operate And Transferred Contract/BOT)
Vol.1/No.6/Oktober-Desember /2023, Halaman 91.

8
9

b. Perjanjian Kuasa
Berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa pemberian
kuasa adalah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada
orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang
yang memberikan kuasa.
Pengaturan mengenai skema pembangunan Perjanjian Build Operate Transfer
dapat dilihat pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016
tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Skema pembangunan
Perjanjian Build Operate Transfer dikenal dengan istilah Bangun Guna Serah
(BGS). BGS adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya,
kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu
yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta
bangunan dan/ atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka
waktu. Selanjutnya ada juga dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah disebutkan
bahwa Bangun guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah
berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam
jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan
kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah
berakhirnya jangka waktu. Berbagai pengertian Perjanjian Build Operate
Transfer (BOT) yang telah dijelaskan pada paragraf-paragraf sebelumnya baik
yang didapat dari pendapat para ahli ataupun beberapa peraturan yang ada,
dapat disimpulkan bawa Perjanjian Build Operate Transfer (BOT) atau Bangun
Guna Serah (BGS) merupakan suatu perbuatan dengan mana pihak kesatu
(pemilik tanah/lahan yaitu instansi Pemerintah/ BUMN) mengikatkan diri
kepada pihak lain (swasta/ investor) untuk menyerahkan tanah/ lahan yang
dikuasai kepada pihak investor guna didirikan bangunan beserta sarana dan
fasilitasnya. Dengan biaya yang diperoleh dari investor dan kemudian investor
tersebut menggunakan atau memanfaatkan bangunan yang ada untuk jangka
waktu tertentu sesuai kesepakatan selanjutnya pada masa berakhirnya
Perjanjian Build Operate Transfer (BOT), investor wajib menyerahkan kembali
tanah beserta bangunan dan sarana/ fasilitasnya kepada pemilik tanah./ lahan.
Sesungguhnya bentuk kontrak ini merupakan pola kerjasama antara pemilik
tanah atau lahan (pemerintah) sebagai pengguna jasa dengan investor sebagai
penyedia jasa yang akan menjadikan lahan tersebut menjadi suatu fasilitas-
fasilitas publik seperti perdagangan, hotel, transportasi, telekomunikasi, resort,
dan lain-lain. Terlihat disini kegiatan yang dilakukan investor tersebut dimulai

9
10

dari membangun fasilitas sebagaimana yang dikehendaki, pengguna jasa inilah


yang diartikan dengan (build).3

Pada saat ini yang sesuai dengan tujuan kontrak antara BUJT dan investor
dalam kerjasama untuk pengelolaan Jalan Tol Jagorawi yaitu dengan bentuk
kerjasama BOT (Build Operate Transfer) yang juga sering dikenal dengan
Bangun Guna Serah (BGS). Hal ini dikarenakan BOT memiliki kerugian dan
keuntungan yang masih mampu dihadapi BUJT maupun investor dibandingkan
dengan bentuk kerjasama BOO. Berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2008
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pasal 1 angka 12, adalah
pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan
cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu. Sesuai
dengan Peraturan Pemerintah tersebut dapat disimpulkan bahwa Bangun Guna
Serah / Build Operate Transfer merupakan bentuk perjanjian kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian Build Transfer Operate (BOT),
dan mengalihkan kepemilikan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa Build Operate Transfer berakhir. Salah satu bentuk nyata penerapan
kontrak kerjasama dengan sistem Build Operate Transfer ini dilakukan oleh PT
Jasamarga Jakarta Pusat. selaku BUJT pemegang hak konsesi atas ruas Jalan
Tol Jagorawi. PT Jasamarga Jakarta Pusat merupakan salah satu anak
perusahaan dari Badan Usaha Milik Negara yakni PT Jasa Marga (Persero)
Tbk, dengan kegiatan usaha fokus di bidang pembangunan, pengoperasian dan
pemeliharaan Jalan Tol Jagorawi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Apabila mengidentifikasi secara seksama ciri-ciri proyek BOT, yang
pelaksanaannya terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu tahap pembangunan (Build),
tahap pengoperasian (Operate), dan tahap penyerahan (Transfer), maka
aspek-aspek hukum perjanjian yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah
melalui konsep BOT, di dalamnya memiliki keterkaitan dengan
perjanjian-perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, yaitu :

3
Sovia Hasanah, Dasar Hukum Pembangunan dengan Skema Build Operate Transfer
(BOT),Hukumonline.com,https://www.hukumonline.com,/klinik/detail/ulasan/lt5a4458d2105c1/dasar-huku
m-pembangunan-dengan-skema-ibuild-operate-transfer-i-bot/ diakses tanggal 27 Juli 2020.

10
11

c. Perjanjian Pemborongan Pekerjaan.


Perjanjian Pemborongan Pekerjaan diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang
Perikatan (van verbintenissen) Bab VII A, Pasal 1601 b KUH Perdata, yang
menyebutkan bahwa Pemborongan Pekerjaan adalah :
“Perjanjian, dengan mana pihak yang satu, si pemborong mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang
memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan”. Adanya
keterkaitan antara perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer
/BOT) dengan perjanjian pemborongan pekerjaan karena lazimnya pihak
investor yang memperoleh hak penuh untuk mendirikan proyek infrastruktur
dari pihak pemilik hak atas tanah (pemerintah/swasta) ini, pada umumnya tidak
mengerjakan sendiri pekerjaan-pekerjaan pembangunan proyek tersebut, tetapi
dilakukan dengan penunjukkan pemborong/ kontraktor melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan dimana si pemborong mengikatkan diri pada investor
untuk melakukan pekerjaan pembangunan proyek BOT dan sekaligus sebagai
perencana untuk pengerjaan bagian-bagian utama proyek dengan menerima
suatu imbalan tertentu. Pihak pemborong/kontraktor hanya memiliki hubungan
hukum dengan pihak investor saja, sebagai pihak yang memberikan kuasa
kepadanya untuk dan atas nama investor melakukan pekerjaan pembangunan
proyek. Namun demikian, dalam suatu perjanjian BOT dilakukan antara
pemilik hak atas tanah dengan pihak investor, dapat dimuat suatu klausul yang
menyebutkan bahwa selama masa pembangunan, pihak pemilik hak atas tanah
diberikan kewenangan melakukan pengawasan terhadap pekerjaan yang
dilakukan pemborong. Oleh karena itu, jika selama pengawasan dilakukan, ada
pengerjaan pembangunan proyek yang tidak sesuai dengan apa yang telah
diperjanjikan, maka pihak pemilik tanah dapat meminta pertanggungjawaban
kepada pihak investor bukan kepada pihak pemborong.

3. Undang-Undang Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat


a. Perjanjian Pembebasan Lahan
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan
barang Milik Negara dan Daerah pada pasal 27 bahwa bentuk-bentuk
pemanfaatan barang milik negara dan daerah dapat berupa sewa, pinjam pakai,
kerjasama pemanfaatan dan bangun guna serah (BOT), kerja sama penyediaan
infrastruktur. Peraturan Pemerintah ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari
ketentuan dalam pasal 48 ayat 2 dan pasal 49 ayat 6 Undang-Undang No 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Adapun dalam Perjanjian BOT ini
ada ketentuan terutama dalam pembebasan lahan Bangun Guna Serah adalah
pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara

11
12

mendirikan bangunan dan atau sarana berikut fasilitasnya. Kemudian


didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati.

Dari aspek hukum pertanahan (agraria), Perjanjian BOT tidak terlepas dari
aturan-aturan agraria misalnya Undang-undang Pokok Agaria nomor 5 Tahun
1960 sehubungan dengan Perolehan, Pengelolaan, Penggunaan, pemindahan
maupun pemanfaatan tanah sebagai objek perjanjian BOT.

Beberapa peraturan yang dijadikan dasar dalam pengaturan Perjanjian BOT


adalah :
1. UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara.
2. PP Nomor 38/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah jo PP
nomor 27/2014 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
3. Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengaduan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor 248/KMK.04/1995
5. Peraturan Menteri Keuangan

Afiliasi berarti, sehubungan dengan setiap orang, atau orang yang, secara
langsung atau tidak langsung, melalui satu atau lebih perantara, Mengendalikan
atau Dikendalikan oleh atau berada dalam Kendali bersama dengan orang
tersebut; dimana untuk tujuan definisi ini, istilah “orang” berarti
orang-perorangan, persekutuan perdata, kemitraan, perseroan terbatas,
perusahaan, badan hukum, perhimpunan, organisasi yang tidak berbadan
hukum, atau badan dan entitas atau pribadi, perangkat, kantor atau instansi
pemerintah atau politik.

Persetujuan berarti seluruh perizinan, pendaftaran, pengajuan, perjanjian,


pemberitahuan tidak ada keberatan, notarisasi, sertifikat, lisensi, persetujuan,
izin atau pengecualian dari, oleh atau dengan PJPK atau Lembaga
Pemerintahan lain
Dalam perjanjian adanya hak jaminan dimana dicadangkan di dalam atau atas
kepentingan pada setiap aset, termasuk retensi dari hak milik atau sebaliknya
timbul dalam atau diatas kepentingan di dalam segala aset.

Peraturan Presiden nomor 13 tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan


Presiden nomor 67 tahun 2005 tentang Kerjasama dengan Badan Usaha dalam

12
13

Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Menteri perjanjian kerjasama adalah


kesepakatan tertulis untuk penyediaan infrastruktur antara Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha yang ditetapkan melalui
pelelangan umum.

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat Republik


01/PRT/M/2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha
Untuk Pengusahaan Jalan Tol dalam hal ini Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol
yang selanjutnya disingkat PPJT adalah kesepakatan tertulis antara Menteri
selaku penanggung jawab proyek kerjasama Pengusahaan Jalan Tol yang
diwakili oleh Kepala BPJT berdasarkan penugasan dari Menteri, dengan BUJT
untuk melaksanakan Pengusahaan Jalan Tol.

Dalam hal perjanjian pembebasan lahan antara lain Hak Badan Usaha Jalan
Tol:
1. Memiliki hak pengusahaan jalan tol selama masa konsesi yang telah
disepakati;
2. Hak untuk menguasai seluruh tanah yang di butuhkan bagi pengusahaan
jalan tol
3. Dalam hal keterlambatan pengadaan tanah oleh pemerintah BUJT berhak
untuk menuntut kompensasi kepada Pemerinta dalam bentuk
Perpanjangan masa Konsesi dan atau penyesuaian tarif tol awal;
Hak Pemerintah
1. Selama masa konsesi BPJT berhak untuk melakukan pengawasan atas
pelaksanaan pengusahaan jalan tol yang meliputi aspek teknis dan
pengoperasian
2. Jaminan pelaksanaan akan menjadi aset pemerintah dan pemerintah
berhak untuk mencairkan dana jaminan pelaksanaan BUJT gagal untuk
melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang diatur
3. Apabila perjanjian diakhiri oleh pemerintah akibat cidera janji

Pengadaan Badan Usaha Untuk Pengusahaan Jalan Tol adalah rangkaian


kegiatan pemilihan Badan Usaha melalui Pelelangan atau Negosiasi yang
selanjutnya mendirikan Badan Usaha Jalan Tol untuk melaksanakan
Pengusahaan Jalan Tol.

Bangun Guna Serah (Build, Operate and Transfer/BOT) adalah bentuk


kerjasama Pengusahaan Jalan Tol di mana Badan Usaha Jalan Tol
berkewajiban untuk membangun Jalan Tol dan fasilitasnya, termasuk
pembiayaan, yang dilanjutkan dengan pengoperasian dan pemeliharaan dalam

13
14

jangka waktu tertentu serta berhak mendapatkan pengembalian modal


investasi, biaya pengoperasian dan pemeliharaan, serta keuntungan yang wajar,
dan setelah berakhirnya Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol, Jalan Tol dan
fasilitasnya beserta hak.

Subyek dan Obyek BOT/BGS


Dalam Pasal 103 Permenkeu Nomor 78/PMK.06/2014 disebutkan bahwa pihak
yang dapat melakukan BOT/BGS adalah pengelola barang, meliputi:
1) Badan Usaha Milik Negara,
2) Badan Usaha Milik Daerah,
3) Swasta kecuali perorangan, dan/atau
4) Badan Hukum lainnya
Namun Dalam hal mitra BOT/BGS membentuk konsorsium, mitra BOT/BGS
harus membentuk badan hukum Indonesia sebagai pihak yang bertindak untuk
dan atas nama mitra BOT/BGS dalam perjanjian BOT/BGS.

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang


Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah
Pasal 1 angka 36 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016
“Bangun Guna Serah yang selanjutnya disingkat BGS adalah pemanfaatan
barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh
pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, untuk
selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu”. Pelaksanaan pemanfaatan
barang melalui bangun guna serah secara khusus telah diatur dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016, adapun tahapan maupun
mekanisme pelaksanaannya mengacu kepada ketentuan Pasal 219 sampai
dengan Pasal 248 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016.

c. Pendaftaran Tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 24 Tahun 1997
Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
pendaftaran Tanah
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur. Meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi

14
15

bidang- bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak- hak tertentu yang membebaninya.”
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah,
bahwa pendaftaran tanah diselenggarakan dalam rangka menjamin
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah yang telah terdaftar agar dengan mudah dapat
membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan dan
bertujuan untuk menyediakan informasi berkenaan dengan hak-hak atas
tanah yang telah terdaftar, serta bertujuan untuk tertibnya administrasi
pertanahan.
Berbeda dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Pakai,
perjanjian Bangun Guna Serah (BOT) meskipun objeknya tanah, tetapi bukan
merupakan objek pendaftaran tanah.

4. Regeling Menteri Keuangan Republik Indonesia


a. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Nomor:
248/KMK.04/1995

Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanj
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan inves
yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kep
investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun g
serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kep
pemegang hak atas tanah selama masa bangun guna serah berakhir. Hal
diatur dalam pasal 1.
Biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang dikeluarkan oleh investor
merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan
atau hak mengusahakan bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang
dikeluarkan tersebut oleh investor diamortisasi dalam jumlah yang sama
besar setiap tahun selama masa Perjanjian bangun guna serah. Amortisasi
sebagaimana mana yang berada pada ayat 1 dimulai pada tahun bangunan
tersebut mulai digunakan atau diusahakan investor. Apabila masa perjanjian
bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa yang telah ditentukan
dalam perjanjian maka sisa biaya bangunan yang belum diamortisasi,
diamortisasi sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa bangun
guna serah yang lebih pendek tersebut Apabila dalam pelaksanaan bangun
guna serah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan penggantian atau
imbalan kepada investor, maka penggantian atau imbalan tersebut adalah

15
16

penghasilan bagi investor dalam tahun diterimanya hak penggantian atau


imbalan tersebut. Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih
panjang dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya
penambahan bangunan, maka biaya penambahan bangunan tersebut
ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum diamortisasi dan diamortisasi
oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna serah yang lebih panjang
tersebut.

Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah
setelah masa perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan
penghasilan bagi pemegang hak atas tanah berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun
1994. tas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak
Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai yang tertinggi
antara nilai pasar dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bangunan yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 12 tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 12 tahun 1994 dan harus dilunasi
selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa guna serah
berakhir. Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), bagi orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak badan adalah
merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat
diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan. Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari
investor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar nilai pasar atau
NJOP yang merupakan dasar pengenaan Pajak Penghasilan. Penghasilan lain
yang diterima atau diperoleh pemegang hak atas tanah selama masa bangun
guna serah merupakan objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1994.BR

2. Hardship
a. Pengertian
Konsep Hardship sebenarnya dimulai dari prinsip impossibilium nulla est
obligatio (the impossible is no legal obligation), yang memiliki makna bahwa
tidak ada kewajiban bagi para pihak menjalankan hal yang tidak mungkin
untuk dilakukan, namun doktrin tersebut masih belum lengkap karena
ketidakmungkinan memiliki ukuran yang beragam, variatif dan sulit untuk

16
17

didefinisikan. Doktrin rebus sic stantibus mengatur bahwa suatu keadaan yang
tidak dapat diperhitungkan oleh para pihak dan berakibat perubahan keadaan
secara ekstrim dan mengakibatkan kesulitan berat para pihak untuk
pelaksanaan sebuah perjanjian menjadi alasan pemaaf.
Perbedaan di antara kedua doktrin tersebut adalah impossibilium nulla est
obligatio menuntut adanya ketidakmungkinan yang memiliki arti adanya act
of God yang terkandung di dalamnya, sedangkan rebus sic stantibus memiliki
kaitan yang sangat erat pada hardship. Berbeda dengan impossibilium nulla
est obligatio, doktrin rebus sic stantibus memberikan penekanan bahwa
perjanjian harus tetap dipertahankan dengan mengatasi hambatan yang akan
terjadi. Sayangnya doktrin rebus sic stantibus tidak dikenal dan digunakan
secara luas sebagaimana force majeure tetapi doktrin ini masih tidak diakui
bahkan tidak dikenal dalam sistem hukum civil law.
b. Pengaturan di KUHPerdata
KUHPerdata pada dasarnya tidak mengenal konsep hardship di dalam
pengaturannya akan tetapi dengan adanya asas kebebasan berkontrak, klausula
hardship akan tetap berlaku karena sifatnya yang terbuka dan dapat
dikesampingkan.

D. Hasil dan Pembahasan


1. Analisis kedudukan skema perjanjian bangun guna serah di dalam
KUHPerdata?
Regulasi mengenai perjanjian Bangun Guna Serah hingga saat ini belum ada
yang secara spesifik mengatur atau dengan kata lain belum ada undang-undanganya.
Dasar hukum dari perjanjian Bangun Guna Serah secara umum berpatokan dari 2
aspek yaitu aspek privat dengan dasar buku III KUHPer tentang perikatan dan aspek
pertanahan dengan dasar hukum tanah nasional, di mana hal ini berkaitan erat dengan
ketentuan-ketentuan yang melekat atas penguasaan hak atas objek Bangun Guna
Serah. Selain dua aspek tersebut terdapat pula aspek publik, yaitu aspek yang
memiliki perbedaan regulasi dengan kedua aspek lainnya karena keterlibatan
pemerintah/badan hukum publik sebagai salah satu pihak dalam perjanjian.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) di Indonesia, skema


perjanjian bangun guna serah memiliki kedudukan sebagai salah satu bentuk
perjanjian yang tunduk pada prinsip-prinsip dan ketentuan hukum perdata yang
berlaku.

KUHPerdata mengakui perjanjian sebagai alat hukum yang sah, asalkan


memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian seperti adanya kesepakatan, kemampuan

17
18

hukum pihak-pihak yang terlibat, tujuan yang sesuai dengan hukum dan ketertiban
umum, serta pemenuhan persyaratan bentuk baku jika diatur oleh undang-undang.
Dalam konteks perjanjian bangun guna serah, pemilik tanah (pemberi tanah) dan
penerima tanah adalah pihak-pihak yang terlibat. Mereka memiliki hak-hak dan
kewajiban yang diatur dalam KUHPerdata terkait kepemilikan tanah, pembangunan
bangunan, pemakaian tanah, serta kewajiban menyerahkan bangunan setelah selesai
kepada pemilik tanah.

Selain itu, KUHPerdata juga memberikan kerangka kerja hukum untuk mengatur
situasi-situasi yang mungkin terjadi dalam perjanjian bangun guna serah, seperti
pemutusan kontrak dan ganti rugi dalam kasus pelanggaran kewajiban. KUHPerdata
juga mengakui kemungkinan perubahan ketentuan-ketentuan perjanjian jika
pihak-pihak yang terlibat setuju untuk mengubahnya.

Peraturan pelaksana sebagaimana mengatur perjanjian bangun guna serah antara


kewajiban yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Republik Indonesia nomor 01/PRT/M/2017, tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pengadaan Badan Usaha Untuk Perusahaan Jalan Tol bahwa perjanjian dilakukan
secara adil, terbuka, transparan, bersaing, bertanggung-gugat, saling menguntungkan,
efisien, dan efektif.

Dalam hal terjadi sengketa antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian bangun
guna serah, KUHPerdata juga memberikan kerangka hukum untuk penyelesaian
sengketa, termasuk melalui mediasi, arbitrase, atau proses peradilan.

Namun, penting untuk diingat bahwa sifat dan ketentuan perjanjian bangun guna
serah dapat beragam tergantung pada kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat
dan juga peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, dalam
praktiknya, para pihak yang terlibat dalam perjanjian bangun guna serah disarankan
untuk berkonsultasi dengan ahli hukum atau notaris yang berpengalaman untuk
memastikan bahwa perjanjian tersebut mematuhi hukum dan berjalan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam KUHPerdata.

2. Analisis unsur naturalia dari keadaan hardship skema perjanjian


bangun guna serah berdasarkan KUHPerdata?
Unsur Naturalia dari keadaan hardship skema perjanjian bangun guna serah harus
diatur secara khusus dan tidak termasuk di dalam unsur naturalia yang di “cover”
dalam KUHPerdata. Hal ini harus dimulai ditinjau dari unsur historis dimana pada
saat dibuatnya sebelum revolusi industri tahun 1847 yang memiliki pengaturan dari

18
19

perjanjian yang masih sangat sederhana dan dilakukan secara kontan dan jangka
pendek.
Pengaturan bangun guna serah yang dimiliki oleh Indonesia juga masih berdasarkan
pada asas kebebasan berkontrak dar Kitab Undang-Undang hukum perdata sehingga
tidak memiliki pengaturan yang secara khusus perlu untuk dipenuhi dan perlu untuk
dilaksanakan dalam pelaksanaan kontraknya.
Keadaan hardship pada dasarnya merupakan unsur accidentalia yang perlu diatur
secara khusus di dalam perjanjian dengan dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan dan sumber hukum lainnya sebagai kaidah hukum yang
memaksa dan tidak dapat dikesampingkan. Meskipun sistem hukum civil law secara
tegas tidak mengenal hardship karena tidak dirumuskan melalui peraturan
perundang-undangan, akan tetapi sifat terbuka yang didukung oleh doktrin dari sistem
hukum common law dapat dijadikan dasar dari penggunaan boilerplate clause ini.

3. Analisis dari skema perjanjian guna serah di dalam kementrian keuangan dan
KUHPerdata

Istilah Perjanjian Build Operate Transfer (BOT) terdapat di dalam Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) tertanggal 2 Juni 1995 Nomor
248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-Pihak yang
melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and
Transfer/BOT). Dalam keputusan tersebut dijelaskan bahwa BOT adalah “bentuk
perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor,
yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor
untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun serah guna (BOT) dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa guna serah selesai.” Sebenarnya pengertian Perjanjian Build Operate Transfer
(BOT) secara normatif tidak diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia. Dalam istilah Perjanjian Build Operate Transfer BOT) ada dua
hal yang memiliki pengertian masing-masing, yang pertama ada “ perjanjian” yang kedua
“Build, Operate, and Transfer (BOT)”. Namun kedua hal tersebut menjadi satu kesatuan
yang menimbulkan jenis atau bentuk perjanjian baru, penggunaan istilah Build, Operate,
and Transfer (BOT) ini pun masih beragam, selain ada yang menyebut BOT tetapi ada
juga yang menggunakan istilah BGS atau Bangun Guna Serah. Apabila perjanjian
diartikan sesuai dengan apa yang ada pada ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata maka
dapat dikatakan bahwa perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Pengertian tersebut tidak
lengkap dan sangat luas. Tidak lengkap karena perjanjian tersebut hanya bersifat sepihak
dan terlalu luas karena perjanjian tersebut menggunakan istilah perbuatan sehingga dapat
mencakup perbuatan perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Juga

19
20

mencakup perbuatan yang bukan perbuatan hukum. Hingga saat ini belum ada
Undang-Undang yang secara khusus mengatur dan memberikan pengertian tentang BOT.
Istilah BOT diterjemahkan sebagai Bangun Guna Serah (BGS yang diatur dalam berbagai
peraturan perundang- undangan. Dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 470/
KMK.01/1994 tentang Tata Cara Penghapusan dan Pemanfaatan Barang Milik/
Kepunyaan Negara dinyatakan bahwa: Bangun Guna Serah (BGS) adalah pemanfaatan
barang/ milik kekayaan negara berupa tanah oleh pihak lain dengan cara pihak lain
tersebut mendirikan bangunan atau sarana lain berikut fasilitasnya di atas tanah tersebut,
serta mendayagunakan dalam jangka waktu tertentu untuk kemudian menyerahkan
kembali tanah, bangunan dana tau sarana lain berikut fasilitasnya tersebut beserta
pendayagunaannya kepada instansi/ lembaga yang bersangkutan setelah berakhirnya
jangka waktu yang disepakati. Kemudian dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor:
248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan terhadap Pihak-Pihak yang
melakukan Kerjasama dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah, disebutkan bahwa:
Bangun Guna Serah (BGS) adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara
pemegang hak atas tanah dengan investor diberikan hak untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian BGS dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada
pemegang hak atas tanah setelah masa BGS berakhir.

E. Penutup
1. Simpulan
a. Sistem Hukum
Perjanjian BOT/BGS selain melibatkan banyak pihak, juga mengandung
banyak aspek dan tidak bisa hanya dipandang dalam aspek hukum
perjanjian atau hukum keperdataan saja, akan tetapi juga harus dipandang
dari aspek hukum pertanahan, hukum pemerintahan daerah, hukum
investasi, hukum keuangan negara, hukum lingkungan, hukum adat
bahkan hukum pidana. Oleh karena itu pembahasan mengenai perjanjian
BOT/BGS merupakan suatu pembahasan yang memerlukan suatu
pemikiran yang komprehensif, tanpa hal ini maka perjanjian BOT/BGS
akan sulit untuk memberikan manfaat bagi masyarakat. Perjanjian
BOT/BGS dilaksanakan dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga
dalam prosesnya dapat menimbulkan berbagai risiko. Namun berdasarkan
peraturan yang berlaku, pihak pemerintah sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen memiliki kedudukan yang lebih dominan dibanding dengan
pihak pelaksana proyek (mitra BGS/BOT) dalam Perjanjian BOT/BGS.
Kondisi yang tidak berimbang ini tampak pada adanya tindakan

20
21

penghentian dan pemutusan kontrak secara sepihak oleh pihak Pejabat


Pembuat Komitmen. Tindakan penghentian dan pemutusan kontrak secara
sepihak tersebut, dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain dan
kerugian bagi pihak pemerintah. Tindakan pemerintah yang merugikan
dalam hubungan kontraktual dapat menimbulkan tuntutan ganti rugi dari
pihak yang dirugikan. Sementara tidak hanya pihak pelaksana proyek saja
yang dapat melakukan wanprestasi, namun dari pihak pemerintahpun ada
kemungkinan melakukan wanprestasi. Dengan demikian, dalam perjanjian
BGS/BOT perlu diatur mengenai hak dan kewajiban Pemerintah maupun
pihak pelaksana proyek atau mitra BOT, dan juga sanksi untuk kedua
belah pihak apabila melakukan wanprestasi.

Daftar Pustaka
Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Mercy M. Setlight, Keadilan Dalam Perjanjian Bangun Guna Serah ( Build, Operate
And Transferred Contract/BOT) Vol.1/No.6/Oktober-Desember /2023, Halaman 91.
Sovia Hasanah, Dasar Hukum Pembangunan dengan Skema Build Operate Transfer
(BOT),Hukumonline.com,https://www.hukumonline.com,/klinik/detail/ulasan/lt5a4458d2
105c1/dasar-hukum-pembangunan-dengan-skema-ibuild-operate-transfer-i-bot/ diakses
tanggal 27 Juli 2020
Mercy M. Setlight, Keadilan Dalam Perjanjian Bangun Guna Serah ( Build, Operate
And Transferred Contract/BOT) Vol.1/No.6/Oktober-Desember /2023, Halaman 91.

21

Anda mungkin juga menyukai